Critical Review RTH Malang

download Critical Review RTH Malang

of 24

Transcript of Critical Review RTH Malang

PERKEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) KOTA MALANGSeptiana Hariyani Staf Pengajar Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Brawijaya

I.

RESUME Kota Malang sampai tahun 1900-an masih merupakan sebuah kota kabupaten kecil di

1.1. Pendahuluan pedalaman yang merupakan bagian dari karisidenan Pasuruan. Kota Malang berkembang pesat sebagai kota modern pada tahun 1914 setelah ditetapkan sebagai Gementee/Kotamadya. Perkembangan Kota Malang ini tentunya sangat berdampak pada kehidupan di dalamnya. Penduduk kota yang bertumbuh dengan pesat menyebabkan angka kepadatan penduduk terus bertambah tinggi yang mengakibatkan terbatasnya lahan perkotaan untuk menampung kepesatan pertambahan penduduk. Kondisi tersebut menyebabkan berkurangnya ruang-ruang terbuka hijau di lingkungan kota, padahal sejatinya ruang terbuka hijau sangat diperlukan sebagai paru-paru kota sekaligus untuk mempertahankan keseimbangan ekosistem didalamnya. Perencanaan Ruang Terbuka Hijau (RRTH) yang merupakan suatu usaha merencanaan penataan unsur pembentuk ruang terbuka hijau secara menyeluruh dalam rangka mewujudkan bentuk suatu kota yang berwawasan lingkungan, berlandaskan pelestarian dan kelestarian serta peningkatan kemampuan lingkungan binaan secara serasi, selaras dan seimbang guna menunjang pembangunan yang berkelanjutan. Rencana Ruang Terbuka Hijau (RRTH) ini merupakan landasan pokok bagi pemerintah daerah dalam rangka proses pelaksanaan penghijauan. Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang sesuai dengan ruang lingkunp perencanaanya akan memuat pengarahan rancangan penghijauan kota yang meliputi fungsi antara lain : taman-taman kota, jalur hijau, areal pelestarian atau konservasi dan peremajaan daerah bantaran suangai, hutan kota, kawasan lindung setempat, makam, lapangan olahraga, jalur tegangan tinggi, tata hijau fasilitas umum, parkir, plasa dan lain sebagainya serta dilengkapi dengan berbagai detai konstruksi dengan skala tertentu yang lebih rinci.

1.2. Teori Berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 tahun 1988, Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk areal atau kawasan maupun dalam bentuk areal memanjang atau menjalar dan dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan. Rencana Ruang Terbuka Hijau adalah suatu rencana yang memiliki keterkaitan yang cukup luas dan merupakan perencanaan khusus ruang terbuka hijau yang pada prinsipnya mengikuti alur perencanaan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kota Malang yang telah disusun, sehingga secara teknis merupakan rencana tindak lanjut dari pola penghijauan yang telah ada. Menurut aspek desainnya, ruang terbuka hijau di kota-kota Jawa pada umumnya berkiblat pada gaya penataan arsitektur Kolonial, karena pada umumnya ruang terbuka hijau yang ada di kota-kota Jawa dibangun pada masa pemerintahan Kolonial dengan pembaharuan-pembaharuan yang baru dilakukan berikutnya. Menurut aspek bentuknya, pada umumnya bentuk-bentuk RTH memiliki bentuk simetris dengan spasifikasi bentuk, yaitu oval, bulat, persegi atau simetris, lonjong dan segitiga. Menurut aspek fungsionalnya, masing-masing ruang terbuka hijau memiliki fungsi masing-masing, yaitu antara lain : taman jalur hijau yang berfungsi sebagai peneduh bagi para pemakai jalan serta sebagai paru-paru kota yang dapat dimanfaatkan sebagai penyedia udara bersih untuk menetralisir polusi udara, taman monumen memiliki fungsi historis yang sesuai dengan peristiwa bersejarah yang terjadi adalah sebagi elemen keindahan kota, taman rotonde memiliki fungsi sebagai elemen-elemen penunjang keindahan kota yang hanya bersifat dekoratif dan melunakkan pandangan, taman makam berfungsi penghijauan taman pada umumnya dimaksudkan untuk memberikan kesan estetis dan fungsi peneduhan serta merupakan kantong-kantong peresapan air tanah dan air hujan, taman olahraga dan rekreasi adalah tempat-tempat rekreasi yang umumnya bersifat rekreasi ruang luar atau ruang terbuka termasuk di dalamnya dan untuk taman olahraga sendiri berfungsi untuk pemenuhan kebutuhan akan fasilitas olahraga, dan taman ruang terbuka yang merupakan ruang-ruang terbuka kota ditinjau dari penggunaannya dapat dimanfaatkan untuk aktifitas sejauh tidak didirikan bangunan. 1.3. Metodologi Penelitian Penyusunan jurnal Perkembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) ini diungkapkan dalam dua proses, yaitu pertama merupakan pengumpulan data primer dan data sekunder

yang kemudian dilanjutkan dengan proses analisis yang mencakup jumlah, luasan, fungsi RTH, lokasi, dan bentuk tamannya. 1.4. Analisa dan Pembahasan Pembahasan perkembangan ruang terbuka hijau Kota Malang secara garis besar dibagi ke dalam empat periode, yaitu 1) Periode I tahun 1800-1913 Masa Malang Sebelum Berstatus Gementee, 2) Periode II tahun 1914-1945 Masa Malang Berstatus Gementee, 3) Periode III tahun 1946-1966 Masa Orde Lama, 4) Periode IV tahun 1967-2004 Masa Orde Baru hingga Reformasi. Periode I tahun 1800-1913 Masa Malang Sebelum Berstatus Gemente, bentukan ruang terbuka hijau yang terdapat pada masa ini hanya berupa alun-alun dan makam. Alunalun pada masa ini merupakan alun-alun perkembangan dari alun-alun yang sudah ada pada masa jaman kerajaan dan dibangun kembali pada masa prakolonial. Untuk ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan pada umumnya berpusat di alun-alun yang berfungsi sebagai pusat kota dan pusat pemerintahan. Pada periode ini, satu-satunya ruang terbuka yang besar adalah alun-alun, sedangkan makam yang dibangun hanya difungsikan sebagai makam Belanda yang berada pada Klojenstraat dekat bekas perbentengan kuno Belanda. Periode II tahun 1914-1945 Masa Malang Berstatus Gementee, dibangun alun-alun bunder atau J.P.Coen Plein yang berfungsi sebagi pusat kota sekaligus pusat pemerintahan, adalah simbol dari sistem pemerintahan lama yang dipandang oleh sementara orang Belanda sebagai berbau Indisch. Ruang terbuka hijau lain yang ada pada periode ini adalah makam, fasilitas olahraga, dan taman-taman jalur hijau. Makam tidak hanya dibangun untuk Belanda, namun pada masa ini sudah terdapat makam lain, yaitu makam Klojen, makam Islam Soekoredjo, makam Cina, dan makam Soekoen. Fungsi-fungsi jalur hijau pada masa ini pada umumnya dibangun untuk memenuhi kebutuhan estetika dan penghijauan serta bermanfaat untuk paru-paru kota. Periode III tahun 1946-1966 Masa Orde Lama, tidak banyak perubahan yang terjadi dibandingkan dengan jumlah RTH pada periode II. Hanya terjadi beberapa pengurangan, antara lain untuk fasilitas olahraga, arena pacuan kuda dan lapangan hockey dipugar menjadi areal kebun dan tegalan. Fungsi RTH pada periode ini lebih ditekankan pada bentukan RTH, yaitu taman dimanfaatkan untuk sarana rekreatif dan kenyamanan, jalur hijau berfungsi untuk paru-paru kota, dan sarana olahraga umunya digunakan oleh orangorang Indonesia karena masa pemerintahan Belanda sudah berakhir.

Periode IV tahun 1967-2004 Masa Orde Baru hingga Reformasi, jumlah RTH dapat lebih terspesifikasi karena sejak pemerintahan orde baru dibentuk suatu badan yang fungsinya berkaitan dengan pembangunan, perombakan, maupun perawatan taman. Menurut data, sejak tahun 1966 tidak banyak perubahan yang berarti mengenai jumlah RTH pada periode ini, namun terdapat penambahan dan pengurangan pada beberapa lokasi. Tata letak RTHnya juga tidak banyak berubah sejak periode pertama. Perubahan yang terjadi umumnya disebabkan oleh perluasan kota yang semakin melebar. Bentukanbentukan RTH-pun lebih bervariasi dibandingkan dengan bentukan RTH pada periodeperiode sebelumnya, namun bentuk-bentuk tersebut tidak dapatt diklasifikasikan menurut standar tertentu misalnya menurut fungsinya atau menurut jenis tanamannya. 1.5. Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil oleh penulis adalah bahwa perubahan yang terjadi adalah akibat adanya program perluasan kota, selain itu juga disebabkan pembaharuan bentuk-bentuk RTH untuk memperindah wajah kota, serta untuk menyesuaikan dengan bangunan-bangunan fisik yang baru dibangun, namun pada realisasinya hanya sedikit perubahan yang terjadi. II. ANALISA 2.1. Biografi Penulis Jurnal ini ditulis oleh orang yang memiliki latar belakang pendidikan Perencanaan Wilayah dan Kota, yaitu Septiana Hariyani seorang staf pengajar program studi Perencanaan Wilayah dan Kota Fakuultas Teknik Universitas Brawijaya Malang. 2.2. Alur Pemikiran Penulis Penulis mencermati tentang pentingnya ruang terbuka hijau sebagai salah satu komponen utama suatu kota, sehingga ruang terbuka hijau dianggap perlu direncanakan serta perlu disediakan sebagai paru-paru kota sekaligus mempertahankan keseimbangan ekosistem didalamnya. Berdasarkan periode perkembangan Kota Malang mulai tahun 1800-an sampai 2004, kota Malang telah mengalami perkembangan yang sangat pesat sehingga memberikan dampak pada kehidupan di dalamnya. Oleh karena itu, penulis ingin melihat dan menjabarkan perkembangan ruang terbuka hijau di kota Malang dari segi jumlah, luas, fungsi, lokasi, dan bentuk RTH mulai tahun 1800-2004 sehingga nantinya dapat diketahui bahwa adanya perubahan yang terjadi pada

RTH adalah akibat dari program perluasan kota, pembaharuan bentuk-bentuk RTH untuk memperindah wajah kota yang menyesuaikan dengan bangunan-bangunan fisik yang baru dibangun. Metode yang digunakan penulis adalah dengan mengungkapkannya dalam dua proses, yaitu pertama merupakan pengumpulan data primer dan data sekunder yang kemudian dilanjutkan dengan proses analisis yang mencakup jumlah, luasan, fungsi RTH, lokasi, dan bentuk tamannya. Pembahasan yang dilakukan secara garis besar dibagi dalam empat periode masa perkembangan kota Malang. 2.3. Batasan Kajian Kajian yang dilakukan penulis terbatas pada penggambaran perkembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Malang dari masa pemerintahan kolonial Belanda tahun 1800-an hingga tahun 2004. 2.4. Kontribusi Kajian Kajian yang dilakukan penulis menghasilkan informasi dan pengetahuan tentang perkembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Malang mulai tahun 1800-an hingga tahun 2004 yang dilihat dari segi jumlah, luas, fungsi, lokasi, dan bentuk RTHnya, sehingga nantinya diharapkan dapat menjadi dasar pemikiran dalam perencanaan taman kota yang ideal bagi masyarakat kota serta dalam pelestarian ruang terbuka hijau kota nantinya sehingga dapat mewadahi kebutuhan masyarakat kota sebagai sarana rekreasi ruang luar. III. SINTESA 3.1. Diskusi Topik Kajian yang mengangkat topik ruang terbuka hijau kota yang pada masa kini fungsinya telah beralih dari fungsi perencanaan awal bukan merupakan hal yang baru, beberapa kajian terdahulu yang menjadi landasan teori penulisan kajian ini adalah kajian yang berjudul Analisa Ruang Terbuka Hijau Kotamadya Malang yang ditulis antara tahun 1994 hingga tahun 1995 oleh seseorang yag berinstitusi di Bappeda Kodya Malang. Topik yang lebih komprehensif dilakukan oleh Nerdi Mahardyan, Tunjung. W. Suharso dan Fadly Usman (2006) dalam jurnalnya yang berjudul Pengembangan Ruang Terbuka Hijau dengan Menggunakan Konsep Hutan Kota, Nerdi dkk menganggap bahwa ruang terbuka hijau di kota Kediri mulai terancam tergeser oleh semakin berkembanganya kawasan terbangun, tidak hanya memaparkan karakteristik RTH Kecamatan Kota ditinjau

dari aspek fisik dan fungsionalnya yang dibahas, mendeskripsikan kondisi RTH, menganalisa tingkat perubahan RTH, namun juga menganalisis kesesuaian fisik RTH dalam pengembangan konsep hutan kota dengan pendekatan fungsi estetis. Kajian yang hampir sama juga dilakukan oleh Lisa Dwi Wulandari (2001) dalam jurnalnya yang berjudul Penataan Ruang Terbuka Dalam Pengembangan Bagian Wilayah Kota Malang Dengan Memperhatikan Potensi Alam, dimana penulis merumuskan permasalahan adalah terjadinya distorsi antara keterbatasan lahan/alam dengan kebutuhan masyarakat Malang akan ruang luar maupun ruang terbuka hijau, serta adanya kecenderungan menurunnya kualitas ruang luar dan ruang terbuka kota Malang dari segi fungsi maupun potensi lahannya. Ada pula kajian yang lebih memfokuskan kepada pemecahan masalah pengendalian lingkungan binaan (ruang terbuka) pada kawasan MAS sebagai landmark kota dan lingkungannya yaitu kajian yang dilakukan oleh Lisa Dwi Wulandari (2003) dalam jurnalnya yang berjudul Kajian Ruang Terbuka (Taman dan Pola Ruang Luar) di Kawasan Masjid Al-Akhbar Surabaya. Berbeda dengan Nerdi dkk, Lisa Dwi Wulandari berpendapat bahwa proses pembangunan kota sangat berpengaruh terhadap penataan dan pengembangan ruang terbuka disekitarnya, bahkan ruang terbuka itu sendiri bahkan dapat mempengaruhi keadaan lingkungan fisik disekitarnya sehingga dianggap ruang terbuka perlu ditata dan direncanakan dengan baik. Kajian yang lebih mengidentifikasikan penggunaan ruang publik oleh remaja dengan berbagai alasan pilihan penggunaan ruang publik dilakukan oleh Ismu Rini Dwi Ari (2001) dalam jurnalnya yang berjudul Penggunaan Ruang Publik Oleh Remaja di Kota Malang, dalam jurnal dengan topik ruang terbuka yang lebih menekankan pada pembentukan ruang terbuka publik, Ismu Rini ingin lebih mengetahui dan memaparkan bahwa bukan hanya ruang terbuka hijau yang perlu dijadikan perhatian dalam penataan lansekap kota, namun juga diperlukan perhatian yang cukup pada penataan ruang terbuka publik untuk dapat memfasilitasi aktivitas masyarakat utamanya remaja di kota Malang. Dari kajian jurnal-jurnal yang telah dilakukan dengan topik yang sama, yaitu tentang ruang terbuka, penulis-penulis tersebut mengungkapkan karakteristik masing-masing ruang terbuka sesuai dengan tujuan penelitian yang dilakukan penulis.

3.2. Diskusi Teoritik

Menurut penulis, dari beberapa teori yang digunakan menunjukkan bahwa perencanaan ruang terbuka hijau merupakan landasan pokok bagi pemerintah dalam rangka proses pelaksanaan penghijauan sesuai dengan fungsi-fungsi penghijauan kota seperti yang dipaparkan dalam jurnal berdasarkan Inmendagri No. 14/1988 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau, definisi ruang terbuka hijau adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas dalam bentuk area atau kawasan dalam bentuk area memanjang atau jalur dimana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka pada dasarnya tanpa bangunan yang diwujudkan dalam bentuk taman, jalur hijau, hutan kota, lapangan, dan pekarangan. Lain halnya menurut Perda No. 7 tahun 1997 yang mendefinisikan ruang terbuka adalah bagian dari kota yang tidak didirikan bangunan atau sesedikit mungkin unsur bangunan, terdiri dari unsur alami (vegetasi dan air) dan unsur binaan (produksi budidaya, pemakaman, pertanian kota, taman kota, jalur hijau, tempat satwa, rekreasi ruang luar, berbagai upaya pelestiran lingkungan). Sedikit berbeda tentang definisinya, Rapuano (1964:11) definisikan ruang terbuka/open space pada awalnya merupakan bagian dari lahan perkotaan yang tidak terbangun. Ruang terbuka ini dapat dikenali atau dirasakan keberadaannya jika sebagian atau seluruhnya terpagari. Ruang terbuka didefinisikan sebagai lahan dengan penggunaan spesifik yang berfungsi dan kualitasnya dapat dilihat dari komposisinya. Lain halnya dengan kajian yang dilakukan oleh Andi Guntur Asapa, Ismu Rini Dwi Ari, dan Wara Indira Rukmi (2006) yang menjabarkan bahwa kota merupakan pusat konsentrasi penduduk dengan berbagai kegiatannya, salah satu komponen utama perkotaan adalah ruang terbuka. Pertumbuhan kota perlahan tapi pasti menyita banyak lahan. Kekuatan politik dan tekanan ekonomi banyak mempengaruhi terhadap perkembangan kota terhadap akses untuk penyediaan ruang publik karena menurut Setiawan (2004:2), prosesproses perkembangan kota di Indonesia telah sepenuhnya dikendalikan oleh pasar dan kapital, ruang-ruang sosial dan kultural kota-kota telah terancam. Beberapa faktor yang telah memberikan atau membuat hilangnya ruang kota masa kini dikemukakan oleh Roger Trancik (1986) dalam bukunya Finding Lost Space Theories of Urban Design diantaranya adalah kesadaran peningkatan ketergantungan pada kendaraan, sikap dari perencana dalam pergerakan modern terhadap ruang publik, kebijaksanaan dalam pembagian zoning atau land use dalam membagi kota dan adanya ketidaksadaran pada sebagian institusi publik dan privat untuk memperoleh tanggung jawab bagi lingkungan umum kota. Menurut informasi yang didapat dari Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup Kota Kediri seperti yang dijabarkan dalam jurnal Pengembangan Ruang Terbuka Hijau dengan Menggunakan Konsep Hutan Kota (Studi Kasus : Kecamatan Kota, Kediri) bahwa

permasalahan yang terdapat di ruang terbuka hijau secara umum adalah terjadinya penurunan kualitas dan vegetasi yang mengakibatkan tidak dapat berjalan maksimal dan menjalankan fungsinya terutama untuk fungsi estetisnya. Dalam jurnal yang ditulis oleh Sugeng Triyadi S. dan Andi Harapan S. dijelaskan bahwa keberadaan ruang terbuka tidak lagi dilihat sebagai objek, namun seringkali lebih dianggap sebagai ruang sisa atau junc space yang menyebabkan ruang kota tidak terasa akrab dan berskala manusiawi, dimensi sosial tidak tampak lagi, dan kesatuan anatara tempat dan penghubung menjadi terbelah. Secara teoritis dijabarkan bahwa prinsip-prinsip dan elemen-elemen arsitektural perkotaan secara fisik perlu diciptakan dan disusun secara dinamis dengan cara tertentu yang sesuai dengan lokasi kawasan ruang terbuka tersebut, menurut Wiryomartono (1995), untuk pembangunan fisik kota diperlukan satuan-satuan kewargaan sosial untuk memungkinkan terbentuknya neighborhood movement untuk menjaga kualitas lingkungan yang sehat, indah, dan aman. Marcus dan Francis (1998) dalam teori ruang terbuka membagi ruang terbuka tersebut sesuai dengan kepemilikannya menjadi tiga, yaitu ruang milik publik atau yang bisa diakses oleh publik, ruang milik atau yang dikelola secara pribadi/swasta tetapi bisa diakses oleh publik, dan ruang milik pribadi dan hanya bisa diakses oleh kelompok tertentu saja. Sedangkan menurut penulis, dijelaskan bahwa secara aspek fungsionalnya, ruang terbuka hijau dapat dibagi menjadi enam, diantaranya adalah taman jalur hijau, taman monumen, taman rotonde, taman makam, taman olahraga dan rekreasi, dan taman ruang terbuka. Dalam konteks ruang terbuka hijau, dari kajian yang dilakukan secara umum dapat diambil kesimpulan bahwa ruang terbuka hijau memiliki peranan yang cukup penting dalam keberlangsungan kehidupan perkotaan diantaranya sebagai paru-paru kota, dapat mempertahankan keseimbangan ekosistem didalamnya, sebagai sarana penunjang aktivitas ruang luar, daerah resapan air dan jalur terbuka hijau, memperindah wajah kota (fungsi estetis) dan menyeimbangkan kawasan kota dengan bangunan-bangunan fisik terbangun. Untuk dapat menjaga keberlangsungan dan keberadaan ruang terbuka hijau kota, maka diperlukan upaya-upaya untuk menjaga dan merawat ruang terbuka hijau secara bersama antara pemerintah kota dengan masyarakat sekitar yang menjadi pengguna fasilitas ruang luar ini. Teori-teori diatas menggambarkan keterkaitan dan sumbangsih antara faktor alam, perencanaan kawasan oleh pemerintah daerah setempat dan perilaku manusia dalam menjaga fungsi ruang terbuka hijau kota. Keterpaduan faktor-faktor diatas dapat meminimalkan terjadinya pengurangan maupun perombakan ruang terbuka hijau kota yang

terjadi akibat adanya program perluasan kota serta program pembaharuan bentuk-bentuk ruang terbuka hijau serta untuk menyesuaikan dengan bangunan-bangunan fisik yang baru dibangun. 3.3. Diskusi Metodologi Penulis menyusun kajian Perkembangan Ruang Terbuka Hijau ini dengan mengungkapkannya dalam dua proses, yaitu pertama merupakan pengumpulan data primer dan data sekunder yang kemudian dilanjutkan dengan proses analisis yang mencakup jumlah, luasan, fungsi RTH, lokasi, dan bentuk tamannya. Pada jurnal lain, yaitu metode deskriptif, evaluatif preskriptif dilakukan oleh Nerdi Mahardyan, Tunjung. W. Suharso dan Fadly Usman. Metode deskriptif digunakan untuk menganalisa karakteristik RTH di Kecamatan Kota yang dibahas sesuai fungsi RTH masing-masing dengan mendeskripsikan kondisi RTH dan jenis tanaman yang ada, metode evaluatif digunakan dalam dalam analisis perubahan luas ruang terbuka hijau dengan analisis evaluatif historis (perbandingan dengan masa lampau) untuk mengetahui tingkat perubahan luas RTH, dan analisis kesesuaian fisik RTH dengan pendekatan fungsi estetis dengan metode evaluatif normatif, sedangkan untuk analisis preskriptif adalah analisis SWOT dan analisis penentuan lokasi hutan kota dengan pendekatan fungsi estetis (metode skoring). Jurnal lain yang ditulis oleh Nerdi Mahardyan, Tunjung. W. Suharso dan Fadly Usman dalam kajiannya yang berjudul Pengembangan Ruang Terbuka Hijau dengan Menggunakan Konsep Hutan Kota menggunakan pendekatan analisis kuantitatif dan kualitatif dengan metode deskriptif kualitatif, yaitu mendeskripsikan jenis tanaman apa saja yang terdapat pada ruang terbuka hijau dan unsur serta aspek lain yang ada pada ruang terbuka hijau kota serta metode deskriptif explanatory yang digunakan oleh Andi Guntur Asapa, Ismu Rini Dwi Ari, dan Wara Indira Rukmi untuk mengkaji kecenderungan aktifitas dan karakteristik ruang terbuka hijau kota berdasarkan tipologi ruang terbuka hijau, sehingga akan juga didapatkan deskripsi dan karakteristik ruang terbuka hijau yang sesuai dengan tipologi kota Malang sehingga dapat dijadikan dasar pertimbangan dan dasar acuan untuk pembangunan, perombakan, maupun perawatan ruang terbuka hijau kota Malang pada umumnya. 3.4. Diskusi Pendekatan Analisa Pembahasan Tidak diragukan lagi bahwa dengan adanya ruang terbuka hijau di kawasan kota dapat memberi pencitraan tersendiri bagi kawasan tersebut, namun apabila pembangunan,

perombakan, maupun perawatan ruang terbuka hijau kota tidak dilaksanakan dengan baik maka tentunya akan memberi dampak yang kurang baik bagi pencitraannya. Pengaruh dari proses pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan masyarakat kota telah mengubah kondisi dan suasana kota, elemen struktur kota yang dibentuk tidak lagi sesuai dengan struktur alam kota Malang ditambah dengan beragam keinginan dan kebutuhan masyarakat yang semakin memudarkan citra keindahan kota Malang. Potensi pemanfaatan untuk mempertahankan keberadaan ruang terbuka hijau yang dapat dilakukan dengan menggunakan lahan tak terbangun yang relatif masih luas. Terdapat beberapa penggunaan lahan yang secara fisik dapat menyediakan ruang terbuka hijau, misalnya kawasan rekreasi, lahan pekarangan, serta beberapa lahan yang merupakan lahan konservasi. Dengan adanya perencanaan, pembangunan, maupun perawatan yang baik dan kerjasama antara pemerintah kota dan masyarakat kota selaku pengguna ruang terbuka hijau dengan jelas dapat meminimalisasi kerusakan, pengurangan, maupun pengalihan fungsi ruang terbuka hijau. Pada ruang terbuka hijau yang dikaji perubahan jumlah, luas, fungsi, lokasi, maupun bentuk RTHnya mulai tahun 1800-an pada masa kota Malang sebelum berstatus Gementee hingga masa reformasi tahun 2004 dihasilkan pembahasan yang secara garis besar dibagi dalam empat periode pemerintahan. Secara garis besar, pada empat periode pemerintahan di kota Malang perubahan yang terjadi adalah akibat adanya program perluasan kota serta adanya pembaharuan bentuk-bentuk ruang terbuka hijau untuk memperindah wajah kota yang disesuaikan dengan bangunan-bangunan fisik yang baru dibangun. Pernyataan yang hampir sama juga diungkapkan oleh Sugeng Triyadi S. dan Andi Harapan S. bahwa akibat bentuk perkembangan kota yang terjadi, ruang terbuka kota dalam perwujudan fisiknya tidak lagi memperoleh perhatian utama, sehingga terlihat tidak menjadi bagian integral dalam perencanaan dan pemekaran kawasan. Akibat yang terasa adalah kemunduran dalam perkembangan ruang terbuka kotanya, baik secara fisik maupun pemanfaatannya. Perubahan-perubahan yang terjadi pada ruang terbuka hijau pada kajiannya tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kebijakan pengelola kota dalam memandang keberadaan ruang terbuka hijau, pengaruh perubahan guna lahan disekitar ruang terbuka hijau, pengaruh perubahan fisik pada suatu RTH dan pengaruh keadaan sosial ekonomi secara keseluruhan. Sehingga Lisa Dwi Wulandari dapat memberikan solusi untuk permasalahan tersebut yaitu dengan melakukan sistem expansi atau perluasan ruang terbuka hijau secara dimensi atau kuantitatif dengan mencari alternatif-alternatif lokasi baru yang dapat dikembangkan menjadi ruang terbuka hijau.

Penulis melakukan kajian studi dengan mengungkapkannya dalam dua proses, yaitu pertama merupakan pengumpulan data primer dan data sekunder yang kemudian dilanjutkan dengan proses analisis yang mencakup jumlah, luasan, fungsi RTH, lokasi, dan bentuk tamannya Dengan menggunakan hasil kajian pustaka berupa definisi ruang terbuka hijau, fungsi ruang terbuka hijau, maupun klasifikasi ruang terbuka hijau kota yang berupa aspek bentuk, aspek desain atau arsitektur, dan aspek fungsional sebagai acuan teori dalam pembahasannya, secara sistematis penulis mencoba untuk menjelaskan, menjabarkan, dan menggambarkan perkembangan ruang terbuka hijau di kota Malang selama empat periode masa pemerintahan di kota Malang, yaitu pemerintahan periode tahun 1800-an hingga tahun 2004. IV. EVALUASI 4.1 Kelemahan Kekurangan pada jurnal ini terletak pada kurang dijelaskannya deskripsi kriteria jenis tanaman dan unsur serta aspek lain yang ada pada ruang terbuka hijau kota, juga kajian tentang mengkaji kecenderungan aktifitas dan karakteristik ruang terbuka hijau kota berdasarkan tipologi ruang terbuka hijau di Kota Malang yang sesuai dengan kondisi alamnya. 4.2 Kelebihan Jurnal ini memiliki kelebihan antara lain memberikan kontribusi pengetahuan dan informasi tentang perkembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Malang mulai tahun 1800-an hingga 2004 yang dilihat dari segi jumlah, luas, fungsi, lokasi, dan bentuk RTH serta memberikan kontribusi keilmuan dalam hal perencanaan, perancangan, dan pelestarian RTH kota sebagai ruang terbuka hijau yang mencakup kualitas sektor-sektor kehidupan masyarakat kota yang akan terus berkembang sehingga dapat menjadi dasar pemikiran dalam merencanakan dan menata ruang terbuka hijau yang lebih ideal sesuai dengan keadaan kawasan serta masyarakatnya. V. KESIMPULAN Jurnal ini sudah cukup baik karena tujuan dari penelitian ini telah dicapai, yaitu untuk mengetahui dan melihat perkembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Malang mulai tahun 1800-an hingga 2004, namun dirasa kurang apabila belum didapatkan kesimpulan

tentang karakteristik ruang terbuka hijau yang sesuai dengan tipologi kota Malang dan tidak dapat diklasifikasikannya ruang terbuka hijau kota Malang menurut standar tertentu menurut fungsinya. DAFTAR PUSTAKA Ari,Ismu Rini D.(2001). Penggunaan Ruang Publik Oleh Remaja Di Kota Malang, Jurnal Teknik, Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang, Volume VIII Nomor 3, Desember, hlm.1-11. Hariyani,Septiana.(2004). Perkembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Malang, Jurnal Ruas, Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang, Volume 2 Nomor 1, Juni, hlm.42-54. Mahardyan,Nerdi dkk. (2006). Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Dengan Menggunakan Konsep Hutan Kota, Jurnal Ruas, Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang, Volume 4 Nomor 1, Juni, hlm.72-83. Triyadi,Sugeng S. & Harapan,Andi S.(2005). Perubahan Fungsi Taman Kota Sebagai Ruang Terbuka Publik, Jurnal Ruas, Jurusan Arsitektur/Pasca Sarjana Arsitektur Institut Teknologi Bandung, Volume 3 Nomor 1, Juni, hlm.61-70. Wulandari,Lisa D.(2003). Kajian Ruang Terbuka (Taman dan Pola Ruang Luar) Di Kawasan Masjid Al-Ahkbar Surabaya, Jurnal Ruas, Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang, Volume I Nomor 1, Juni, hlm.51-60. Wulandari,Lisa D.(2003). Penataan Ruang Terbuka Dalam Pengembangan Bagian Wilayah Kota Malang Dengan Memperhatikan Potensi Alam, Jurnal Teknik, Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang, Volume VIII Nomor 2, Agustus, hlm.11-18.

PENGGUNAAN RUANG PUBLIK OLEH REMAJA DI KOTA MALANG (Tinjauan Alun-alun Tugu, Alun-alun Merdeka, Stadion Gajayana, dan Lapangan Rampal)

Ismu Rini Dwi Ari Staf Pengajar Jurusan perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Brawijaya

RESUME Kota merupakan suatu tatanan rekayasa dari manusia yang merupakan perpaduan antara teknologi dan arsitektur yang bersifat kompleks, yakni terdiri dari jalinan solid dan void yang terus bartambah dan berkembang sejalan dengan waktu. Perkembangan dan pertumbuhan suatu kota banyak dipengaruhi oleh faktor sosial budaya, politik, dan yang utama adalah kondisi lingkungan geografisnya. Ruang publik kota dapat menjadi sumber stimulasi dan sekaligustempat melarikan diri sejenak dari kesibukan dan tekanan kehidupan kota. Oleh karena itu, salah satu kualitas yang esensial dari ruang publik kota adalah bahwa ia dapat memenuhi kebutuhan penggananya (Carr, 1992). Kualitas ruang publik kota dipengaruhi oleh kenyamanan/kesenangan, kedekatan dan kemudahan dalam pencapaian ke lokasi, keamanan, dan kebebasan untuk beraktifitas (diterjemahkan dan disarikan dari Leanne, 1994:293). Responden yang dilibatkan dalam pengisian kuisioner adalah kelompok remaja karena remaja menilai beragam ruang publik sebaggai tempat mereka dapat menyendiri dan mereka dapat mencari dan tidak terlihat, tempat berkumpul, tempat aman yang tidak dikontrol, tempat yang mudah dicapai dan tempat mereka menjadi diri sendiri. Terdapat tiga alasan utama bagi remaja dalam pilihan penggunaan ruangnya. Pertama, ruang publik digunakan sebagai ruang untuk menghilangkan kejenuhan aktivitas rutin dan menyalurkan hobby yang membuat mereka merasa segar kembali secra jiwa maupun fisik. Kedua, ruang publik sebagai sarana unruk berkomunikasi dengan teman sesama remaja, dan alasan ketiga adalah ruang publik sebagai sarana ruang untuk melakukan atau menyalurkan aktiftas yang berkaitan dengan kegemaran dan ketrampilan. Penulis menyimpulkan bahwa ruang publik yang dipergunakan remaja secara umum mempunyai karakteristik yang lebih ditentukan oleh faktor kenyamanan/kesenangan dan kebebasan untuk beraktifitas, kemudian faktor kemudahan dan kedekatan pencapaian ke lokasi, dan faktor yang terakhir adalah keamanan. Dengan demikian tampaknya menjadi masuk akal kalau remaja masih lebih banyak memilih menggunakan ruang publik-non open space, dibandingkan ruang publik-open space. Studi ini bermaksud untuk mengidentifikasi penggunaan ruang publik oleh remaja disekitar tempat tinggal dan pengguna ruang terbuka, sehingga diharapkan dari hasil studi ini dapat memberikan gagasan dan pertimbangan bagi pemerintah daerah setempat untuk dapat merencanakan dan merancang ruang terbuka publik menjadi lebih baik dan ideal sesuai dengan kebutuhan akan masyarakat pengguna bukan hanya remaja, namun juga orang dewasa maupun anak-anak Lampiran

PERKEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) KOTA MALANG

Septiana Hariyani

Staf Pengajar Program Studi Perencanaan Wilayah Kota Fakultas Teknik Universitas Brawijaya

RESUME Kota Malang sampai tahun 1900-an masih merupakan sebuah kota kabupaten kecil di pedalaman yang merupakan bagian dari karisidenan Pasuruan. Kota Malang berkembang pesat sebagai kota modern pada tahun 1914 setelah ditetapkan sebagai Gementee/Kotamadya. Perkembangan tersebut tentunya berdampak pada kehidupan didalamnya. Penduduk yang tumbuh dengan pesat menyebabkan angka kepadatan penduduk bertambah tinggiyang mengakibatkan terbatasnya lahan perkotaan dalam menampung kepesatan pertambahan penduduk. Perkembangan fisik yang semakin pesat menimbulkan dampak berkurangnya ruangruang terbuka hijau dilingkungan kota yang sangat diperlukan sebagai paru-paru kota sekaligus mempertimbangkan keseimbangan ekosistem didalamnya. Menurut Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kota Malang, Rencana Ruang Terbuka Hijau (RRTH) merupakan suatu rencana yang memiliki keterkaitan yang cukup luas dan merupakan perencanaan khusus ruang terbuka hijau yang sesuai dengan ruang lingkup perencanaannyaakan memuat pengarahan rancangan penghijauan kota. Rencana Ruang Terbuka Hijau ini merupakan landasan pokok bagi pemerintah daerah dalam rangka proses pelaksanaan penghijauan. Pada umumnya bentuk-bentuk RTH memiliki bentuk simetris dengann spesifikasi bentuk, yaitu oval, bulat, persegi atau simetris, lonjong dan segitiga. Desain RTH di kotakota Jawa pada umumnya berkiblat pada gaya penataan arsitektur kolonial karena pada umumnya kota-kota tersebut dibangun pada masa pemerintahan kolonial, dengan pembaharuan-pembaharuan yang baru dilakukan berikutnya. Pendekatan yang dilakukan penulis dalam menyusun jurnal ini diungkapkan dalam dua proses, yaitu pertama merupakan pengumpulan data primer dan data sekunder kemudian dilanjutkan dengan proses analisis yang mencakup jumlah, luasan, fungsi RTH, lokasi dan bentuk tamannya. Penulis menguraikan hasil penelitiannya dalam empat periode masa perkembangan kota Malang. Periode I Masa Malang Sebelum Berstatus Gementee (Tahun 1800-1913), ruang terbuka hijau hanya berupa alun-alun hanya berupa alun-alun dan makam. RTH dikawasan perkotaan pada umumnya berpusat di alun-alun yang berfungsi sebagai pusat kota dan pusat pemerintahan dengan bentuk simetris atau persegi, sedangkan letak makam bagi orang-orang Belanda terdapat di Klojenstraat dekat dengan bekas benteng kuno Belanda. Periode II Masa Malang Berstatus Gementee (Tahun 1914-1945), RTH berupa alun-alun, makam, fasilitas olahraga dan taman-taman jalur hijau. Pada Periode III Masa Oerde Lama (Tahun 1946-1966), jumlah RTH tidak banyak berubah dibandingkan pada periode II, hanya saja terjadi beberapa pengurangan, antara lain arena pacuan kuda dan lapangan hockey dipugar. Periode IV Masa Orde Baru-Orde Reformasi (Tahun 1967sekarang), jumlah RTH dapat lebih terspesifikasi karena telah dibentuk suatu badan yang

fungsinya berkaitan dengan pembangunan, perombakan, maupun perawatan taman. Pada periode IV ini bentukan RTH lebih bervariasi dibandingkan pada periode sebelumnya. Penulis menyimpulkan bahwa perubahan yang terjadi ini adalah akibat adanya program perluasan kota serta pembaharuan bentuk-bentuk RTH untuk memperindah wajah kota, serta untuk menyesuaikan dengan bangunan-bangunan fisik yang baru dibangun. Namun, pada realisasinya hanya sedikit perubahan yang terjadi. Jurnal ini diharapkan dapat memberikan informasi dan gambaran tentang perkembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di kota Malang dari masa pemerintahan Kolonial Belanda pada tahun 1800-an hingga tahun 2004.

Lampiran

PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU DENGAN MENGGUNAKAN KONSEP HUTAN KOTA (Studi Kasus : Kecamatan Kota, Kediri)

Nerdi Mahardyan, Tunjung W. Suharjo, Fadly Usman Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Brawijaya

RESUME Pada umumnya kawasan pusat kota pada setiap daerah mempunyai beberapa permasalahan yang identik, yaitu masalah kemacetan, polusi, serta terdapat ketidakteraturan pada perencanaan fisiknya. Hal ini dapat dipicu dengan semakin meningkatnya pertumbuhan penduduk kota yang memerlukan kebutuhan ruang yang lebih banyak. Pembangunan yang tidak terencana tersebut dapat menggeser secara perlahan fungsi non komersial yang dianggap kurang menguntungkan secara ekonomis sehingga dapat mengurangi kualitas lingkungan. Optimalisasi ruang terbuka juga dapat dikembangkan dengan pendekatan hutan kota, dan semua kawasan terbuka hijau dapat dikembangkan dengan konsep hutan kota. Fandeli (2001) mendefinisikan hutan kota yang lebih fleksibel sebagai sebidang lahan di dalam kota yang ditandai atas asosiasi jenis tanaman pohon yang kehadirannya mampu menciptakan iklim mikro yang berbeda dengan di luarnya (suhu, kelembaban, intensitas cahaya matahari, arah dan kecepatan angin). Pengembangan ruang terbuka hijau di Kota Kediri memiliki beberapa prioritas prioritas pengembangan yang didasarkan pada beberapa pertimbangan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, metode evaluatif dan metode preskriptif. Metode deskriptif kualitatif digunakan untuk analisa karakteristik RTH. Metode evaluatif digunakan dalam analisis perubahan luas ruang terbuka hijau, dan untuk metode preskriptif adalah analisis SWOT dan analisis penentuan lokasi hutan kota dengan pendekatan fungsi estetis. Ruang terbuka hijau di Kecamatan Kota yang berfungsi sebagai tempat rekreasi berada di dua kelurahan, yaitu Kelurahan Banjaran dan Kelurahan Kampungdalem. RTH yang digunakan sebagai pelindung terhadap kerusakan ekologis di Kecamatan Kota berupa RTH untuk penyangga sempadan Sungai Brantas dan kawasan industri. Sempadan sungai Brantas yang terbentang dari arah utara ke selatan memiliki jarak sempadan yang beragam, karena tingkat kondisi lahan terbangun pada setiap lokasi yang bermacam-macam.RTH yang berada di sempadan rel kereta api yang digunakan sebagai pelindung dan pembatas kegiatan berada disepanjang rel kereta. Beberapa karakteristik RTH yang juga dianalisa, yaitu karakteristik RTH sebagai sarana rekreasi, RTH sebagai pemakaman, RTH sebagai sarana olahraga, RTH sebagai lahan produktif (pertanian) dan RTH sebagai sarana keindahan dan kenyamanan fisik kota. Penulis menyimpulkan bahwa jenis penggunaan ruangg terbuka hijau di Kecamatan Kota terdiri dari beberapa kelompok penggunaan, yaitu sarana rekreasi, kawasan lindung, pemakaman, sarana olahraga, lahan pertanian, dan sarana keindahan. Selain pengelompokan penggunaan RTH, penulis juga mendapakan beberapa lokasi yang sesuai untuk pengembangan hutan kota di Kecamatan Kota Kediri.

Jurnal ini diharapkan dapat mengidentifikasi karaktristik Ruang terbuka hijau di Kecamatan Kota ditinjau dari aspek fisik dan fungsional, dan menilai kesesuaian RTH untuk pengembangan hutan kota ditinjau dari aspek fisik dan fungsi estetis, juga dapat memberikan gagasan untuk mengembangkan konsep hutan kota di beberapa lokasi yang dianggap oleh penulis sesuai untuk pengembangan hutan kota.

Lampiran

PERUBAHAN FUNGSI TAMAN KOTA SEBAGAI RUANG TERBUKA PUBLIK (Studi Kasus : Taman Koridor Cilaki)

Sugeng Triyadi S. Departemen Arsitektur Institut Teknologi Bandung ([email protected]) Andi Harapan S. Program Magister Arsitektur Institut Teknologi Bandung ([email protected])

RESUME Kota merupakan pusat konsentrasi penduduk dengan berbagai kegiatan yang berbeda yang dilakukan di tempat yang berbeda pula. Permasalahan yang sering dihadapi kota modern adalah bahwa jalan dan runag terbuka kota seringkali tidak dilihat sebagai objek spatial yang perlu digarap, bahkan cenderung diabaikan keberadaannya. Ruang terbuka kota merupakan salah satu komponen utama dari kehidupan kota yang dapat mencakup sektor ekonomi, politik, sosial budaya dan sejarah, oleh karenanya ruang terbuka kota perlu direncanakan dan diracang untuk dapat memenuhi aktivitas-aktivitas tersebut. Kota Bandung yang menjadi sasaran kajian pada mulanya adalah salah satu kota yang dirancang dengan konsep garden city dengan taman kota dan lingkungan hijau merupakan elemen yang sangat diperhatikan dalam perencanaannya. Menurut Carr (1992) ruang publik adalah ruang atau lahan umum tempat masyarakat dapat melakukan kegiatan publik fungsional maupun kegiatan sampingan lainnya yang dapat mengikat suatu komunitas, baik itu kegiatan sehari maupun berkala. Lebih lanjut Carr (1992) menjelaskan bahwa ruang publik harus bersifat responsif, democratic, dan meaningful. Prinsip dan elemen pembentuk ruang terbuka kota secara fisik perlu diciptakan dan disusun secara dinamis sesuai dengan kawasan kota karena elemen fisik tersebut mampu menimbulkan kesan tersendiri bagi pengamatnya. Kesan ini dapat timbul apabila kehadiran ruang terbuka kota cukup menonjol dan kuat serta menunjang penampilan lingkungan sekitarnya. Metode yang digunakan oleh penulis adalah melakukan studi literatur dan observasi lapangan. Studi literatur digunakan sebagai landasan konseptual untuk menyusun dan merumuskan masalah yang lebih jelas, akurat dan memberikan wawasan dan kerangka pikir awal, sedangkan observasi lapangan sebagai sumber data primer dan sekunder. Taman Cilaki pada awalnya berfungsi sebagai salah satu daerah sabuk hijau (green belt), daerah resapan air, daerah penyangga dan jalur RTH. Secara fisik ruang terbuka koridor Cilaki terbagi-bagi dalam beberapa ruang mikro karena terpenggal-penggal oleh jalan yang membelahnya menjadi kontur. Pola lansekap taman Cilaki adalah pola taman Inggris yang mengutamakan dan memanfaatkan unsur-unsur alam (topografi, badan air, tanaman) yang ditampilkan secara alami. Permukaan tanah yang ditutupi rumput menjadi salah satu penyebab sedikitnya aktivitas dalam koridor.

Penulis menyimpulkan bahwa pada sebagian besar ruang terbuka kota Bandung yang berupa taman kurang termanfaatkan sebagai ruang publik karena bentuk dan jenis taman tidak sesuai dengan kebutuhan, pola aktivitas, dan perilaku warga kota Bandung. Selain itu, perubahan-perubahan yang terjadi pada RTH di kota Bandung, baik dari segi jumlah, proporsi maupun pemanfaatannya dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kebijakan pengelola kota dalam memandang keberadaan RTH, pengaruh perubahan guna lahan, pengaruh perubahan fisik RTH dan pengaruh keadaan sosial-ekonomi secara keseluruhan. Kajian yang dilakukan oleh penulis menghasilkan informasi dan pengetahuan kondisi Taman Koridor Cilaki ditinjau dari aspek kurangnya potensi taman sebagai ruang terbuka publik yang menyebabkan ruang terbuka ini kurang berhasil sebagai ruang publik sehingga nantinya diharapkan dapat menjadi dasar pemikiran dalam perencanaan taman kota yang ideal bagi masyarakat kota.

Lampiran

KAJIAN RUANG TERBUKA (TAMAN dan POLA RUANG LUAR) DI KAWASAN MASJID AL-AKHBAR SURABAYA

Lisa Dwi Wulandari

Staf Pengajar Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Brawijaya

RESUME Perkembangan fisik kota Surabaya selama ini konsentrasi pertumbuhannya hanya berpusat di kawasan pusat kota. Sejalan dengan upaya Pemerintah Kota Surabaya untuk mendorong pertumbuhan pada kawasan pinggiran telah ditempuh dengan pembangunan sarana dan prasarana kota dalam skala besar. Salah satu landmark kota Surabaya adalah Masjid Al-Akhbar Surabaya (MAS)yang merupakan sarana fasilitas peribadatan dengan skala pelayanannya tidak hanya untuk Surabaya, namun juga wilayah yang lebih luas sehingga nilai lahan dikawasan sekitarnya menjadi meningkat. Namun dengan semakin berkembangnya lingkungan sekitar MAS yang tidak terencana dan tidak terkendali akan merusak kesan monumental MAS. kajian ini difokuskan pada kondisi ruang terbuka, khususnya taman dan pola ruang luar MAS karena masih banyak lahan di lingkungan MAS yang belum difungsikan secara optimal, dan akan direncanakannya akses baru menuju MAS oleh Pemerintah daerah Surabaya. Pola penataan ruang luar khususnya yang terkait dengan teknik/tata cara penataan lansekap jalan akan dipertimbangkan penataan vegetasi pada lokasi-lokasi tertentu pada koridor jalan yang disesuaikan dengan kondisi kota Surabaya serta fuungsi-fungsi ekologis, fisik, sosial budaya dan fungsi estetisnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode evaluasi, yaitu mendeskripsikan seluruh data primer yang diperoleh lalu mengkomparasikannya dengan kajian teori yang digunakan untk menyetarakan antara kebenaran teori yang telah teruji dengan kenyataan yang telah terjadi di lapangan. Penulis dalam pembahasannya membuat beberapa analisa dan konsep tentang ruang luar, yaitu analisa pemilihan jenis vegetasi, analisa pola ruang luar, analisa pemilihan jenis RTH, analisa penempatan RTH, konsep perencanaan, konsep pemilihan jenis vegetasi, konsep pemilihan jenis taman (ruang terbuka), serta konsep pola ruang luar dan penempatan ruang terbuka. Kesimpulan yang didapatkan dan dikemukakan oleh penulis adalah penataan yang dilakukan meliputipertimbangan atas kebutuhan akan keberadaan taman, lapangan olahraga, square, jalur hijau (termasuk di dalamnya karakteristik jalur hijau tepian jalan, jalur hijau median jalan, tikungan jalan dan lainnya). Lebih detai dari itu, lebih dipertimbangkan jenis vegetasi yang dipilih penempatannya, perawatannya dan jumlah yang dibutuhkan untuk kawasan penelitian ini. Jadi sesuai dengan tujuan penelitian bahwa penataan ruang terbuka yang akan dilakukan adalah upaya mengekspos keberadaan MAS sebagai landmark kota adalah dengan dilakukannya penataan pada setiap koridor jalan eksisting maupun koridor jalan yang direncanakan. Jurnal ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi banyak pihak, antara lain manfaat bagi dunia pendidikan dapat dipakai sebagai dasar studi lanjutan, baik dalam bidang keilmuan (perencanaan dan perancangan kota) maupun dalam bidang keahlian dan pengendalian dalam implementasi pengembangan dan pembangunan kota; manfaat dalam

proses pembangunan merupakan masukan dan bahan pertimbangan dalam upaya pengembangan/pengendalian bagi pembangunan lingkungan fisik kota Surabaya pada umumnya, dan kawasan penelitian pada khususnya; serta manfaat bagi peneliti adalah memperluas wawasan peneliti tentang kondisi/permasalahan ruang terbuka di kawasan studi hingga dalam proses penelitian lebih lanjut mampu memberikan solusi untuk pembangunan lingkungan yang berkelanjutan.

Lampiran

PENATAAN RUANG TERBUKA DALAM PENGEMBANGAN BAGIAN WILAYAH KOTA MALANG DENGAN MEMPERHATIKAN POTENSI ALAM (Studi Kasus Pada Kawasan Pusat Kota Malang)

Lisa Dwi Wulandari Staf Pengajar Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Brawijaya

RESUME Kota Malang merupakan kota yang direncanakan dengan baik pada masa pemerintahan Hindia Belanda berdasarkan konsepsi estetika kotanya dan perencanaanya disesuaikan dengan keadaan masyarakatnya dan iklim kota Malang. Hal tersebut dapat dilihat dari penataan palem raja di sepanjang boulevard jalan Ijen serta keberadaan Alunalun Tugu sebagai salah satu landmark kota Malang. Dalam sebuah perencanaan kota, modal yang dimiliki kota Malang adalah struktur alam dan struktur kotanya. Beragam fenomena yang muncul menyebabkan perubahan fungsi dari ruang terbuka ini. Alun-alun Merdeka misalnya, kini telah banyak digunakan sebagai lahan parkir bagi pengunjung pusat perbelanjaan disekitarnya dan menjadi tempat para pedagang kaki lima menjajakan barang dagangannya. Penulis menggunakan lima macam aspek teori sebagai landasan teori penelitian, yaitu teori ruang terbuka, teori pengambangan kota, teori konservasi alam, teori aspek pendukung, serta kajian peraturan. Pendekatan yang digunakan penulis adalah mengkaji teori-teori perancangan kota, menganalisis data yang terkumpul dengan cara evaluasi dan SWOT analisys, serta melibatkan masyarakat dengan cara mengkoordinasikan keingingan dan kebutuhan masyarakat. Analisis yang dilakukan dibagi menjadi tiga pendekatan penyelesaian masalah untuk dapat menjabarkan dan mendapatkan solusi bagi masing-masing permasalahan. Pendekatan penyelesaian masalah 1 yaitu Supply (keterbatasan alam/lahan) dan Demand (kebutuhan akan ruang luar dan/atau RTH) pada tahap ini pemeriksaan dilakukan pada masing-masing kecamatan yang ada untuk memudahkannya. Pendekatan penyelesaian masalah 2 yaitu Memudarnya Citra Keberhasilan Kota Malang dalam Penataan RTH-nya untuk menyelesaikan permasalahan pada tahap ini digunakan SWOT analisys dan pendekatan penyelesaian masalah 3 yaitu Keterlibatan PK-5 dan Parkir Yang Tidak Terkoordinasikan Dengan Baik untuk memberikan solusi atas permasalahan lahan parkir dan PK-5 yang berada pada RTH. Penulis menyimpulkan bahwa solusi yang dapat ditawarkan pada pendekatan penyelesaian masalah 1 adalah dengan sistem expansi atau perluasan ruang terbuka hijau secara dimensi/kuantitatif dengan mencari alternatif lokasi-lokasi baru di tiap kecamatan yang berpotensi sebagai RTH. Pada pendekatan penyelesaian masalah 2 digali potensi, kelemahan, peluang, dan kendala pada masing-masing objek studi yang diteliti hingga bisa ditemukan suatu rumusan strategi kebijakan yang akan diterapkan pada lokasi penelitian, dan pada pendekatan penyelesaian masalah 3 solusi yang dapat ditawarkan adalah dengan memindahkan lokasi untuk PK-5, menuntut lahan parkir yang lebih luas pada pusat-pusat perbelanjaan disekitar Alun-alun, serta mengembalikan fungsi Alun-alun Tugu sebagai ruang terbuka pasif yang hanya bisa dinikmati masyarakat secara visual. Jurnal ini diharapkan dapat memberikan kontribusi sebagai dasar studi lanjutan, baik dalam bidang keilmuan (perencanaan dan perancangan kota) maupun dalam bidang

keahlian dan pengendalian dalam implementasi pengembangan/pembangunan kota; sebagai masukan dan bahan pertimbangan dalam upaya pengembangan dan pengendalian pembangunan fisik kota Malang pada umumnya, dan kawasan studi kasus pada khususnya; serta diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran masyarakat dan Pemkot akan potensipotensi alam yang dimiliki kota Malang, dalam upaya pelestarian/peningkatan kualitas lingkungan binaan di kota Malang.