Creative Problem Solving

20
CREATIVE PROBLEM SOLVING Creative Problem Solving dalam Pembelajaran Matematika Creative Problem Solving dalam Pembelajaran Matematika Pemecahan Masalah (Problem Solving) dipandang sebagai suatu proses untuk menemukan kombinasi dari sejumlah aturan yang dapat diterapkan dalam upaya mengatasi situasi yang baru (Wena, 2009:52). Kemampuan pemecahan masalah sangat penting artinya bagi siswa dan masa depannya. Suharsono (dalam Wena, 2009:53) mengatakan bahwa para ahli pembelajaran sependapat bahwa kemampuan pemecahan masalah dalam batas-batas tertentu, dapat dibentuk melalui bidang studi dan disiplin ilmu yang diajarkan. Mengutip pendapat Wankat dan Oreovocs (1995) dalam Wena (2009:53) mengklasifikasikan lima tingkat taksonomi pemecahan masalah, yaitu: a. Rutin: tindakan rutin atau bersifat alogaritmik yang dilakukan tanpa membuat suatu keputusan. b. Diagnostik: pemilihan suatu prosedur atau cara yang tepat secara rutin. c. Strategi: pemilihan prosedur secara rutin untuk memecahkan suatu masalah. d. Interprestasi: kegiatan pemecahan masalah yang sesungguhnya, karena melibatkan kegiatan mereduksi masalah yang nyata, sehingga dapat dipecahkan. e. Generalisasi: pengembangan prosedur yang bersifat rutin untuk memecahkan masalah-masalah baru.

description

Creative Problem Solving

Transcript of Creative Problem Solving

Page 1: Creative Problem Solving

CREATIVE PROBLEM SOLVING

Creative Problem Solving dalam Pembelajaran Matematika

Creative Problem Solving dalam Pembelajaran Matematika

Pemecahan Masalah (Problem Solving) dipandang sebagai suatu

proses untuk menemukan kombinasi dari sejumlah aturan yang dapat

diterapkan dalam upaya mengatasi situasi yang baru (Wena, 2009:52).

Kemampuan pemecahan masalah sangat penting artinya bagi siswa dan

masa depannya. Suharsono (dalam Wena, 2009:53) mengatakan bahwa para

ahli pembelajaran sependapat bahwa kemampuan pemecahan masalah

dalam batas-batas tertentu, dapat dibentuk melalui bidang studi dan disiplin

ilmu yang diajarkan.

Mengutip pendapat Wankat dan Oreovocs (1995) dalam Wena

(2009:53) mengklasifikasikan lima tingkat taksonomi pemecahan masalah,

yaitu:

a.         Rutin: tindakan rutin atau bersifat alogaritmik yang dilakukan tanpa membuat

suatu keputusan.

b.        Diagnostik: pemilihan suatu prosedur atau cara yang tepat secara rutin.

c.         Strategi: pemilihan prosedur secara rutin untuk memecahkan suatu masalah.

d.        Interprestasi: kegiatan pemecahan masalah yang sesungguhnya, karena

melibatkan kegiatan mereduksi masalah yang nyata, sehingga dapat

dipecahkan.

e.         Generalisasi: pengembangan prosedur yang bersifat rutin untuk

memecahkan masalah-masalah baru.

Meyer (dalam Wena, 2009: 87) mengungkapkan bahwa terdapat tiga

karakteristik pemecahan masalah, yaitu (1) pemecahan masalah merupakan

aktivitas kognitif, tetapi dipengaruhi oleh prilaku, (2) hasil-hasil pemecahan

masalah dapat dilihat dari tindakan/prilaku dalam mencari pemecahan, dan

(3) pemecahan masalah adalah merupakan suatu proses tindakan manipulasi

dari pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.

Page 2: Creative Problem Solving

Model Creative Problem Solving (CPS) adalah suatu model

pembelajaran yang melakukan pemusatan pada pengajaran dan

keterampilan pemecahan masalah, yang diikuti dengan penguatan

keterampilan. Ketika dihadapkan dengan suatu pertanyaan, siswa dapat

melakukan keterampilan memecahkan masalah untuk memilih dan

mengembangkan tanggapannya. Tidak hanya dengan cara menghafal tanpa

dipikir, keterampilan memecahkan masalah memperluas proses berpikir

(Pepkin, 2004:1)

Menurut Polya (dalam Shadiq, 2004: 3) dalam menyelesaikan suatu

masalah dalam matematika ada beberapa langkah yang dapat dilakukan:

1. Memahami masalah

Dalam langkah ini yang harus dilakukan adalah membaca soal dengan

seksama sehingga benar-benar dimengerti arti dari semua kata dalam soal.

Buat tanda khusus untuk beberapa istilah yang digunakan kalimat dalam soal.

Tentukan apa yang diketahui dan apa yang tidak diketahui.

2. Menyusun rencana

Langkah kedua ini merupakan kunci dari empat langkah ini. Dalam

menyusun rencana penyelesaian banyak strategi dan teknik yang digunakan

dalam menyelesaikan masalah. Beberapa pertanyaan yang dapat digunakan

untuk merancang penyelesaian masalah adalah sebagai berikut:

a.         Adakah gambar, diagram, chart atau tanda bantu lainnya yang dapat

membantu menyusun data dalam soal?

b.        Apakah terdapat hubungan dari keterangan – keterangan yang dapat

digunakan sebagai petunjuk dalam menyelesaikan masalah?

c.         Adakah rumus yang dapat digunakan?

d.        Apakah masalah ini pernah diselesaikan sebelumnya tapi dengan kalimat

yang berbeda?

e.         Apakah masalah perhitungan ini dibutuhkan untuk menyusun proses

perhitungan?

Page 3: Creative Problem Solving

f.          Dapatkah kamu menyempurnakan masalah yang sama dengan lebih

sederhana dan mempelajari sesuatu dari penyelesaiannya yang mungkin

digunakan dalam masalah ini?

g.        Jika pertanyaannya merupakan tipe pertanyaan umum, dapatkah kamu

mencoba soal yang lebih spesifik?

h.        Apakah terdapat hubungan masalah yang dapat kamu selesaikan sehingga

dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah ini?

i.          Sudahkah kamu menggunakan proses “trial and learn from your error”?

3. Pelaksanaan rencana

Jika dalam langkah kedua telah berhasil dirinci dengan lengkap, maka

dalam pelaksanaan rencana penyusunan soalnya menjadi bentuk yang

sederhana dan melakukan prhitungan yang diperlukan. Perancangan yang

mantap membuat pelaksanaan rencana lebih baik.

4. Memeriksa kembali

Langkah keempat ini penting, walaupun sering dilupakan dalam

menyelesaikan masalah. Beberapa pertanyaan yang muncul dalam langkah

ini adalah sebagai berikut:

a.    Apakah jawabannya sudah tepat?

b.    Adakah cara untuk memeriksa jawaban?

c.    Periksa jawaban sekali lagi, apakah ditemukan cara lain yang mungkin dapat

digunakan dalam penyelesaian masalah?

Hal senada juga disampaikan oleh Wena (2009: 88) bahwa dalam

model pemecahan masalah kreatif (Creative Problem Solving), terdiri atas

lima tahapan pembelajaran, yaitu:

a. Identifikasi masalah

            Dalam tahap ini guru membimbing siswa untuk memahami aspek-

aspek permasalahan, seperti membantu untuk

mengembangkan/menganalisis permasalah, mengajukan pertanyaan,

Page 4: Creative Problem Solving

mengkaji hubungan antardata, memetakan masalah, mengembangkan

hipotesis-hipotesis.

b. Mendefinisikan masalah

            Dalam tahap ini kegiatan guru meliputi membantu dan membimbing

siswa, melihat hal/data/variabel yang sudah diketahui dan hal yang belum

diketahui, mencari berbagai informasi, menyaring informasi yang ada dan

akhirnya merumuskan permasalahan.

c. Mencari solusi

            Dalam tahap ini kegiatan guru adalah membantu membimbing siswa

mencari berbagai alternative pemecahan masalah, melakukan brainstorming,

melihat alternative pemecahan masalah dari berbagai sudut pandang dan

akhirnya memilih satu alternative pemecahan masalah yang paling tepat.

d. Melaksanakan strategi

            Melakukan langkah-langkah pemecahan masalah dengan alternative

yang telah dipilih. Dalam tahap ini siswa dibimbing secara tahap demi tahap

dalam melakukan pemecahan masalah.

e. Mengkaji kembali dan mengevaluasi pengaruh

            Dalam tahap ini kegiatan guru adalah membimbing siswa

melihat/mengoreksi kembali cara-cara pemecahan masalah yang telah

dilakukan apakah sudah benar, sudah sempurna, atau sudah lengkap.

            Jadi dapat disimpulkan bahwa pemecahan masalah yang berhasil,

harus selalu disertakan upaya-upaya khusus yang dihubungkan dengan

jenis-jenis persoalan tersendiri serta pertimbangan-pertimbangan mengenai

isi yang dimaksud. Mengingat begitu pentingnya siasat atau strategi dalam

pemecahan masalah matematika, maka sangat diperlukan langkah-langkah

untuk mempermudah pemahamannya.

http://blognyaalul.blogspot.com/2011/03/creative-problem-solving-dalam.html

Page 5: Creative Problem Solving

Model Pembelajaran Creative Problem Solving (CPS)

Model diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan

sebagai pedoman dalam melakukan suatu aktivitas tertentu.

Dalam pengertian lain, model diartikan sebagai barang tiruan,

metafor, atau kiasan yang 

dirumuskan. Pouwer (1974:243) menerangkan tentang model

dengan anggapan seperti kiasan yang dirumuskan secara

eksplisit yang mengandung sejumlah unsur yang saling

tergantung. Sebagai metafora model tidak pernah dipandang

sebagai bagian data yang diwakili. Model menjelaskan fenomena

dalam bentuk yang tidak seperti biasanya. Setiap model

diperlukan untuk menjelaskan sesuatu yang lebih atau berbeda

dari data. Syarat ini dapat dipenuhi dengan menyajikan data

dalambentuk: ringkasan (tipe, diagram), konfigurasi ( structure ),

korelasi (pola), idealisasi, dan kombinasi dari keempatnya. Jadi

model merupakan kiasan yang padat yang bermanfaat bagi

pembanding hubungan antara data terpilih dengan hubungan

antara unsur terpilih dari suatu konstruksi logis.

Model pembelajaran merupakan kerangka yang melukiskan

prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman

belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi

sebagai pemandu bagi para perancang desain pembelajaran dan

para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas

belajar mengajar (Soekamto, 1997:78),. Menurut Mitchell dan

Kowalik (Rahman, 2009:8): Creative, an idea that has an element

of newness or uniqueness, at least to the one who creates the

solution, and also has value and relevancy. Problem, any

situation that presents a challenge, an opportunity, or is a

concern. Solving, devising ways to answer, to meet, or to resolve

the problem . Therefore, creative problem solving or cps is a

Page 6: Creative Problem Solving

process, method, or system for approaching a problem in an

imaginative way and resulting in effective action.

Sedangkan menurut Karen (Dewi, 2008:28) model Creative

problem Solving (CPS) adalah model pembelajaran yang

melakukan pemusatan pada pengajaran dan keterampilan

pemecahan masalah, yang diikuti dengan penguatan

keterampilan.

Model Creative Problem Solving (CPS) pertamakali dikembangkan

oleh Alex Osborn pendiri The Creative Education Foundation

(CEF) dan co-founder of highly successful New York Advertising

Agenncy . Pada tahun 1950-an Sidney Parnes bekerjasama

dengan Alex Osborn melakukan penelitian untuk

menyempurnakan model ini. Sehingga model Creative Problem

Solving ini juga dikenal dengan nama The Osborn-parnes

Creative Problem Solving Models. Pada awalnya model ini

digunakan oleh perusahaan-perusahaan dengan tujuan agar para

karyawan memiliki kreativitas yang tinggi dalam setiap

tanggungjawab pekerjaannya, namun pada perkembangan

selanjutnya model ini juga diterapkan pada dunia pendidikan.

Langkah-langkah dalam CPS menurut William E. Mitchell dan

Thomas F. Kowalik (Rahman, 2009:10) adalah:

a. Mess-finding (menemukan masalah yang dirasakan sebagai

pengganggu)

Tahap pertama, merupakan suatu usaha untuk mengidentifikasi

situasi yang dirasakan mengganggu.

b. Fact-finding (menemukan fakta)

Tahap kedua, mendaftar semua fakta yang diketahui yang

berhubungan dengan situasi tersebut, yang dibutuhkan untuk

mengidentifikasi informasi yang tidak diketahui tetapi esensial

pada situsi yang sedang diidentifikasi dan dicari.

Page 7: Creative Problem Solving

c. Problem-finding (menemukan masalah)

Pada tahap menemukan masalah, diupayakan mengidentifikasi

semua kemungkinan pernyataan masalah dan kemudian memilih

yang paling penting atau yang mendasari masalah.

d. Idea-finding

Pada tahap ini diupayakan untuk menemukan sejumlah ide atau

gagasan yang mungkin dapat digunakan untuk memecahkan

masalah.

e. Solution-finding

Pada tahap penemuan solusi, ide-ide atau gagasan-gagasan

pemecahan masalah diseleksi, untuk menemukan ide yang

paling tepat untuk memecahkan masalah.

f. Acceptance-finding

Berusaha untuk memperoleh penerimaan atas solusi masalah,

menyusun rencana tindakan dan mengimplementasikan solusi

tersebut.

Proses pembelajaran dengan model pembelajaran CPS menurut

Pepkin (Dewi, 2008:30) terdiri dari langkah-langkah:

a. Klarifikasi Masalah

Klasifikasi masalah meliputi penjelasan mengenai masalah yang

diajukan kepada siswa, agar siswa memahami penyelesaian

seperti apa yang diharapkan.

b. Pengungkapan Pendapat

Pada tahap ini siswa diberi kebebasan untuk mengungkapkan

pendapat tentang bagaimana macam strategi penyelesaian

masalah. Dari setiap ide yang diungkapkan, siswa mampu untuk

memberikan alasan.

c. Evaluasi dan Pemilihan

Pada tahap evaluasi dan pemilihan ini, setiap kelompok

mendiskusikan pendapat-pendapat atau strategi mana yang

Page 8: Creative Problem Solving

cocok untuk menyelesaikan masalah

d. Implementasi (penguatan)

Pada tahap ini siswa menentukan strategi mana yang dapat

diambil untuk menyelesaikan masalah, kemudian menerapkanya

sampai menemukan penyelesaian dari masalah tersebut. Selain

itu, pada tahapan implementasi, siswa diberi permasalahan baru

agar dapat memperkuat pengetahuan yang telah diperolehnya.

Daftar Bacaan:

Depdiknas. 2005. Kemampuan Guru dalam Mengajarkan

Matematika [Online] . Tersedia:

http://www.dikdasmen.depdiknas.go.id/htm/info-Dikdasmen/info-

6hal-07.htm [12 April 2009].

Dewi, E P. 2008. Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran

Creative Problem Solving (CPS) dalam Pembelajaran Matematika

terhadap Kemampuan Penalaran Adaptif Matematika Siswa SMA .

Skripsi FPMIPA UPI. Bandung: tidak diterbitkan.

Pepkin, K. 2000. Creative Problem Solving in Math . [Online].

Tersedia: www.artofproblemsolving.com. [7 Februari 2008].

Rahman, B. 2009. Perbandingan Kemampuan Koneksi Matematik

Siswa yang Pembelajarannya Menggunakan Model Creative

Problem Solving (CPS) dengan Siswa yang Pembelajarannya

Menggunakan Model Konvensional. Skripsi FPMIPA UPI. Bandung:

tidak diterbitkan.

Sumber gambar: http://creativeeducationfoundation.org

http://weblogask.blogspot.com/2012/08/model-pembelajaran-creative-

problem.html

Page 9: Creative Problem Solving
Page 10: Creative Problem Solving

GROUP INVESTIGATION

Sunday, August 12, 2012

Jika anda tertarik untuk mencoba menerapkan model

pembelajaran kooperatif tipe group investigation (GI) di dalam

kelas anda, atau barangkali sedang melakukan penelitian

tindakan kelas / ptk tentang model pembelajaran kooperatif yang

satu ini, maka sebaiknya anda cermati sintaks atau langkah-

langkah/fase-fase model pembelajaran ini. Ada 5 (lima) sintaks

/langkah/fase penting dalam model pembelajaran kooperatif tipe

group investigation, yaitu:

Fase 1: menggorganisasikan kelompok-kelompok

kooperatif dan mengidentifikasi topik

Kedua tugas yang disebut di atas urutannya dapat bervariasi,

sesuai dengan situasi. Guru dapat terlebih dahulu

mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok

kooperatif sebelum mengidentifikasi topik pembelajaran, atau

sebaliknya terlebih dahulu mengidentifikasi topik, baru kemudian

mengorganisasikan siswa ke kelompok-kelompok. Bergantung

pada topik yang dipilih pada fase 1, maka adalah sangat penting

untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat membangun

kekompakan tim (kelompok), sehingga terbentuk solidaritas dan

kohesi antar anggotanya. Perlu dicatat bahwa model

pembelajaran kooperatif tipe group investigation ini merupakan

sebuah model pembelajaran yang kompleks, yang berbeda sama

sekali dengan model pembelajaran kooperatif lainnya, di mana

tingkat kooperasi antar anggota kelompok harus benar-benar

baik dan efektif. Agar apa-apa yang dilakukan oleh kelompok

bermanfaat dan efektif, maka setiap anggota kelompok harus

produktif dan mempunyai hubungan kooperasi yang baik satu

sama lain.

Page 11: Creative Problem Solving

Fase 2: Perencanaan Kelompok

Selama fase perencanaan kelompok, siswa harus menentukan

batasan/cakupan penyelidikan mereka, mengevaluasi sumber

daya yang mereka miliki, merencanakan suatu aksi/tindakan, dan

menugaskan /memberikan tanggung jawab yang berbeda kepada

setiap anggota kelompok. Pada model pembelajaran kooperatif

yang lain, perencanaan kelompok jauh lebih mudah dibanding

perencanaan kelompok pada group investigation. Bila semua

anggota kelompok menyelidiki topik yang sama, tugas utama

mereka pada fase ini adalah menentukan bagaimana cara

membagi informasi dasar yang telah mereka miliki masing-

masing. Jika anggota-anggota kelompok bertugas sendiri-sendiri

untuk menyelidiki sub-sub topik, maka keputusan penting  pada

fase perencanaan ini adalah bagaimana mereka seharusnya

berkoordinasi, dan membagi tugas siapa yang akan

bertanggungjawab terhadap informasi dasar, siapa yang

mengumpulkan data, siapa yang menganalisis, siapa yang

mengkombinasikan sub-sub proyek menjadi suatu keutuhan,

serta siapa yang akan menulis laporan. Tugas-tugas demikian

tentu amat rumit dan tidak dapat dibagi secara tegas. 

Fase 3: Mengimplementasikan penyelidikan (investigasi)

Kelompok-kelompok yang telah terorganisasi dengan baik pada

fase 2, dan topik yang telah diidentifikasi pada fase 1, serta telah

mempunyai rencana pemecahan masalah selanjutnya siap

memasuki fase 3. Pada fase ini setiap kelompok akan

mengimplementasikan penyelidikan/inkuiri. Biasanya fase 3 ini

memerlukan waktu lebih panjang dari fase lainnya. Setiap

kelompok memerlukan banyak waktu untuk mendesain prosedur

pengambilan data, mengambil data, menganalisis, dan

mengevaluasi data, dan mengambil kesimpulan. Menjaga agar

setiap kelompok dan anggota-anggotanya bekerja secara efektif

Page 12: Creative Problem Solving

dan produktif, dapat saja sulit dilakukan karena kadang-kadang

setiap sub-proyek/proyek penyelidikan berbeda kebutuhan

waktunya. Laporan-laporan kemajuan setiap kelompok terhadap

sub proyek/proyek penyelidikan mereka sangat penting pada

fase iniagar guru dapat mengkoordinasikan usaha-usaha setiap

kelompok dalam memecahkan masalah melalui penyelidikan

mereka masing-masing. 

Fase 4: Mengalasis hasil penyelidikan dan menyiapkan

laporan

Saat siswa mengumpulkan informasi, maka informasi tersebut

perlu dianalisis dan dievaluasi. Guru dapat membantu proses ini

dengan beberapa cara. Salah satunya adalah dengan secara

kontinyu memfokuskan perhatian setiap kelompok pada

pertanyaan atau masalah yang sedang diselidiki. Pada

penyelidikan-penyelidikan yang panjang, siswa dapat saja

kehilangan arah terhadap fokus pembelajaran/studi mereka. Cara

lain untuk membantu siswa adalah dengan membantu mereka

menganalisis hasil dengan meminta mereka agar selalu

membagi penemuan-penemuan mereka terhadap anggota-

anggota kelompoknya. Atau, guru dapat pula meminta siswa

bereksperimen dengan berbagai cara dalam memberikan display

data, bentuk diagram, dan tabel-tabel, sehingga setiap anggota

dapat memahami hubungan antar data yang telah mereka

kumpulkan.

Fase 5: Mempresentasikan hasil penyelidikan

Pada fase kelima ini ada dua tujuan yang harus dilakukan.

Pertama adalah mendesiminasikan informasi; yang kedua

mengajarkan kepada siswa bagaimana mempresentasikan

informasi dengan jelas dan dengan cara yang menarik. Format

fase terakhir ini dapat sangat bervariasi, misalnya: presentasi

untuk seluruh kelas; presentasi untuk sebagian kelas saja;

Page 13: Creative Problem Solving

presentasi dalam bentuk poster; demonstrasi; presentasi melalui

rekaman video; atau satasiun pusat belajar. Tugas siswa pada

fase kelima ini amat bergantung pada jenis informasi itu sendiri,

jenis audiens, dan pembuatan presentasi informasi secara

menarik. Tugas-tugas pada fase kelima ini sangat berguna bagi

hidup mereka kelak ketika terjun langsung ke masyarakat, dan

sering tidak dipelajari pada kelas-kelas konvensional/tradisional.

Posted by: Muhammad Faiq

http://penelitiantindakankelas.blogspot.com/2012/08/sintaks-model-pembelajaran-kooperatif.html

Model Pembelajaran Problem Based

Learning (PBL)

SEKOLAHDASAR.NET - Problem Based Learning (PBL) adalah suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa untuk memecahkan masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki ketrampilan untuk memecahkan masalah (Kamdi, 2007: 77). PBL atau pembelajaran berbasis masalah sebagai suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran.

PBL memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) belajar dimulai dengan satu masalah, (2) memastikan bahwa masalah tersebut berhubungan dengan dunia nyata siswa, (3) mengorganisasikan pelajaran seputar masalah, bukan seputar disiplin ilmu, (4) memberikan tanggung jawab yang besar kepada siswa dalam membentuk dan menjalankan secara langsung proses belajar mereka sendiri, (5) menggunakan kelompok kecil, dan (6) menuntut siswa untuk mendemonstrasi-kan yang telah mereka pelajari dalam bentuk produk atau kinerja. Berdasarkan uraian di atas, tampak jelas bahwa pembelajaran dengan model PBL dimulai oleh adanya masalah yang dalam hal ini dapat dimunculkan oleh siswa ataupun guru, kemudian siswa memperdalam pengetahuannya tentang apa yang mereka telah

Page 14: Creative Problem Solving

ketahui dan apa yang mereka perlu ketahui untuk memcahkan masalah tersebut. Siswa dapat memilih masalah yang dianggap menarik untuk dipecahkan sehingga mereka terdorong berperan aktif dalam belajar.

Masalah yang dijadikan sebagai fokus pembelajaran dapat diselesaikan siswa melalui kerja kelompok sehingga dapat memberi pengalaman-pengalaman belajar yang beragam pada siswa seperti kerjasama dan interaksi dalam kelompok, di samping pengalaman belajar yang berhubungan dengan pemecahan masalah seperti membuat hipotesis, merancang percobaan, melakukan penyelidikan, mengumpulkan data, menginterpretasikan data, membuat kesimpulan, mempresentasikan, berdiskusi, dan membuat laporan. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa model PBL dapat memberikan pengalaman yang kaya pada siswa. Dengan kata lain, penggunaan PBL dapat meningkatkan pemahaman siswa tentang apa yang mereka pelajari sehingga diharapkan mereka dapat menerapkannya dalam kondisi nyata pada kehidupan sehari-hari.

PBL merupakan model pembelajaran yang berorientasi pada kerangka kerja teoritik konstruktivisme. Dalam model PBL, fokus pembelajaran ada pada masalah yang dipilih sehingga siswa tidak saja mempelajari konsep-konsep yang berhubungan dengan masalah tetapi juga metode ilmiah untuk memecahkan masalah tersebut. Oleh sebab itu, siswa tidak saja harus memahami konsep yang relevan dengan masalah yang menjadi pusat perhatian tetapi juga memperoleh pengalaman belajar yang berhubungan dengan ketrampilan menerapkan metode ilmiah dalam pemecahan masalah dan menumbuhkan pola berpikir kritis.

Bila pembelajaran yang dimulai dengan suatu masalah apalagi kalau masalah tersebut bersifat kontekstual, maka dapat terjadi ketidakseimbangan kognitif pada diri siswa. Keadaan ini dapat mendorong rasa ingin tahu sehingga memunculkan bermacam-macam pertanyaan di sekitar masalah seperti “apa yang dimaksud dengan….”, “mengapa bisa terjadi…”, “bagaimana mengetahuinya…” dan seterusnya. Bila pertanyaan-pertanyaan tersebut telah muncul dalam diri siswa maka motivasi intrinsik siswa untuk belajar akan tumbuh. Pada kondisi tersebut diperlukan peran guru sebagai fasilitator untuk mengarahkan siswa tentang “konsep apa yang diperlukan untuk memecahkan

Page 15: Creative Problem Solving

masalah”, “apa yang harus dilakukan” atau “bagaimana melakukannya” dan seterusnya. Dari paparan tersebut dapat diketahui bahwa penerapan PBL dalam pembelajaran dapat mendorong siswa mempunyai inisiatif untuk belajar secara mandiri. Pengalaman ini sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari dimana berkembangnya pola pikir dan pola kerja seseorang bergantung pada bagaimana dia membelajarkan dirinya.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti menarik kesimpulan bahwa PBL sebaiknya digunakan dalam pembelajaran karena dengan PBL akan terjadi pembelajaran yang bermakna. Siswa yang belajar memecahkan suatu masalah akan membuat mereka menerapkan pengetahuan yang dimilikinya atau berusaha mengetahui pengetahuan yang diperlukannya. Artinya belajar tersebut ada pada konteks aplikasi konsep. Belajar dapat semakin bermakna dan dapat diperluas ketika siswa berhadapan dengan situasi dimana konsep tersebut diterapkan. Selain itu melalui PBL ini siswa dapat mengintegrasikan pengetahuan dan ketrampilan secara berkesinambungan dan mengaplikasikannya dalam konteks yang relevan. Artinya, apa yang mereka lakukan sesuai dengan aplikasi suatu konsep atau teori yang mereka temukan selama pembelajaran berlangsung. PBL juga dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan inisiatif siswa dalam bekerja, motivasi internal untuk belajar, dan dapat mengembangkan hubungan interpersonal dalam bekerja kelompok.

Ada beberapa langkah cara menerapkan PBL dalam pembelajaran. Secara umum penerapan model ini dimulai dengan adanya masalah yang harus dipecahkan atau dicari pemecahannya oleh siswa. Masalah tersebut dapat berasal dari siswa atau mungkin juga diberikan oleh guru. Siswa akan memusatkan perhatiannya di sekitar masalah tersebut. Dengan begitu siswa belajar teori dan metode ilmiah agar dapat memecahkan masalah yang menjadi pusat perhatiannya.Pemecahan masalah dalam PBL harus sesuai dengan langkah-langkah metode ilmiah. Dengan demikian siswa belajar memecahkan masalah secara sistematis dan terencana. Oleh sebab itu, penggunaan PBL dapat memberikan pengalaman belajar melakukaan kerja ilmiah yang sangat baik kepada siswa. Adapun langkah-langkah pemecahan masalah dalam

Page 16: Creative Problem Solving

pembelajaran PBL ada delapan tahapan (Pannen, 2001: 11), yaitu: (1) identifikasi masalah, (2) mengumpulkan data, (3) analisis data, (4) pemecahan masalah berdasarkan analisis data, (5) memilih cara pemecahan masalah, (6) merencanakan penerapan pemecahan masalah, (7) ujicoba terhadap rencana yang ditetapkan, dan (8) melakukan tindakan untuk pemecahan masalah. Dalam proses pemecahan masalah sehari-hari, seluruh tahapan terjadi dan bergulir dengan sendirinya, demikian pula ketrampilan seseorang harus mencapai seluruh tahapan tersebut.

Langkah mengidentifkasi masalah merupakan tahapan yang sangat penting dalam PBL. Pemilihan masalah yang tepat agar dapat memberikan pengalaman belajar yang mencirikan kerja ilmiah seringkali menjadi masalah bagi guru dan siswa. Artinya, pemilihan masalah yang kurang luas, kurang relevan dengan konteks materi pembelajaran, atau suatu masalah yang sangat menyimpang dengan tingkat berpikir siswa dapat menyebabkan tidak tercapainya tujuan pembelajaran. Oleh sebab itu, sangat penting adanya pendampingan oleh guru pada tahap ini. Walaupun guru tidak melakukan intervensi terhadap masalah tetapi dapat memfokuskan melalui pertanyaan-pertanyaan agar siswa melakukan refleksi lebih dalam terhadap masalah yang dipilih. Dalam hal ini guru harus berperan sebagai fasilitator agar pembelajaran tetap pada bingkai yang direncanakannya.

Selain guru sebagai fasilitator, guru hendaknya juga menyadari arti penting suatu pertanyaan dalam PBL. Pertanyaan hendaknya berbasis “Why” bukan sekedar “How”. Oleh karena itu, setiap tahap dalam pemecahan masalah, ketrampilan siswa dalam tahap tersebut hendaknya tidak semata-mata ketrampilan “How”, tetapi kemampuan menjelaskan permasalahan dan bagaimana permasalahan dapat terjadi. Tahapan dalam proses pemecahan masalah digunakan sebagai kerangka atau panduan dalam proses belajar melalui PBL.