CR Bunuh Diri

download CR Bunuh Diri

of 16

description

l

Transcript of CR Bunuh Diri

BAB ILATAR BELAKANG

Bunuh diri merupakan kegawatdaruratan pada bidang psikiatri, yang terkadang sulit atau gagal didiagnosa dari kondisi medis yang berpotensial fatal, walaupun jarang, tetapi gawat darurat. Bunuh diri merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting. Lebih dari 30.000 orang yang bunuh diri setiap tahun di Amerika Serikat dengan 600.000 orang pasien yang melakukan percobaan bunuh diri.1 Pada Mental Atlas 2011, WHO, angka bunuh diri di Indonesia belum ada2. Walaupun bunuh diri tidak mungkin untuk diprediksi secara pasti, terdapat beberapa klue yang dapat terlihat, yang membantu praktisi untuk mengurangi risiko bunuh diri pada pasiennya. Standar perawatan secara umum menfasilitasi pengurangan risiko, seperti kemungkinan untuk gantung diri. Bunuh diri juga perlu diperhitungkan pada orang yang mencoba untuk bunuh diri atau orang terdekat atau keluarga korban bunuh diri. Bunuh diri merupakan masalah yang penting dan hampir selalu dilatarbelakangi oleh gangguan mental, biasanya depresi, dan hal tersebut harus segera ditangani untuk mencegah terjadinya bunuh diri. Terdapat beberapa psikoterapi dan terapi farmakologi yang dapat membantu untuk membantu pasien pulih dari gangguan mental sehingga dapat mengurangi risiko untuk melakukan bunuh diri. Walaupun sudah banyak terapi yang dapat mengurangi risiko bunuh diri, tetapi bunuh diri tetap terjadi. Hal tersebut mungkin dikarenakan kurangnya perhatian dan terapi yang adekuat untuk pasien yang memiliki risiko untuk bunuh diri. Maka dari itu, referat ini akan membahas mengenai bunuh diri yang akan dibahas secara rinci dengan harapan dapat digunakan sebagai pegangan untuk menghadapi pasien dengan risiko bunuh diri.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 DefinisiSuicide merupakan derivat dari bahasa latin dengan arti self murder atau dalam bahasa Indonesia bunuh diri.1 Bunuh diri atau suicide adalah tindakan yang bertujuan membunuh diri sendiri. Bunuh diri adalah kematian yang disebabkan diri sendiri dan disengaja. Ide bunuh diri dan usaha bunuh diri adalah keadaan gawat darurat yang paling sering ditemukan. Masalah yang sering pada bunuh diri adalah krisis yang menyebabkan penderitaan yang berat dan perasaan putus asa dan tidak berdaya, konflik antara bertahan hidup dan stress yang tidak dapat ditahan, sempitnya pilihan yang dimiliki pasien, dan harapan untuk dapat membebaskan diri. Ide bunuh diri terjadi pada orang yang rentan sebagai respon dari berbagai stressor pada setiap usia dan dapat ditemukan untuk jangka waktu yang lama tanpa menyebabkan suatu usaha bunuh . Terdapat rentang dari ide bunuh diri hingga tindakan bunuh diri. Beberapa orang dengan ide bunuh diri tidak dilakukan, beberapa merencanakan dari beberapa hari, minggum atau tahun sebelum bunuh diri, dan yang lain bunuhdiri secara impulsive, tanpa premeditasi.1 Perilaku bunuh diri Emile Durkheim (seorang sosiolog Prancis), mengelompokkan bunuh diri menjadi 3 jenis: Altruistic suicide, yaitu bila individu merasa terikat pada tuntutan tradisi khusus ataupun ia cenderung untuk bunuh diri karena identifikasi terlalu kuat dengan suatu kelompok, sehingga ia merasa kelompok tersebut sangatmengharapkannya, misalnya harakiri di Jepang. Egoistic suicide, yaitu apabila individu tidak mampu berintegrasi dengan masyarakat karena masyarakat menjadikan individu itu seolah-olah tidak berkepribadian, misalnya orang yang kesepian, tidak menikah dan pengangguran. Anomic suicide, yaitu apabila terdapat gangguan keseimbangan integrasi antara individu dengan masyarakat,sehingga individu mengalami krisis identitas, misalnya orang kaya yang mengalami kebangkrutan dalam usahanya.

2.2 EpidemiologiDi Amerika terdapat sekitar 30.000 kematian akibat bunuh diri setiap tahun. Hal ini kontras dengan kematian akibat pembunuhan sekitar 20.000 kematian tiap tahunnya. Walaupun terdapat perpindahan karakteristik populasi dari kematian yang disebabkan oleh bunuh diri sejak abad lalu (seperti meningkatnya remaja yang bunuh diri dan menurunnya bunuh diri pada usia lanjut), angka terjadinya bunuh diri tetap konstan, dengan rata-rata sekitar 12.5/100.000 dari abad 20 dan 21. Secara keseluruhan angka terjadinya bunuh diri relative stabil, walaupun angka terjadinya bunuh diri pada usia 15 hingga 24 tahun meningkat dua hingga tiga kali. Bunuh diri menduduki peringkat ke 8 dari seluruh kematian di Amerika Serikat, setelah penyakit jantung, kanker, penyakit pembuluh darah otak, Chronic Obstructive Pulmonary Disease, kecelakaan, pneumonia dan influenza, dan diabetes mellitus. Angka kejadian bunuh diri di Amerika Serikat berada pada titik tengah angka bunuh diri dari negara industri dan berkembang. Secara internasional, angka terjadinya bunuh diri dalam rentang tinggi lebih daripada 25/100.000 orang di Scandinavia, Switzerland, Jerman, Austria, Negara Eropa Timur (disebut lempeng bunuh diri), dan Jepang, rendah lebih rendah dari 10/100.000 orang di Spanyol, Itali, Irlandia, Mesir, dan Belanda.1 73 % dari bunuh diri terjadi di negara berkembang.3 Pada Mental Atlas 2011, WHO, angka bunuh diri di Indonesia belum ada.4 Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kematian akibat bunuh diri di Jakarta tahun 1997-1998 angka bunuh diri meningkat 34 bunuh diri dan pada tahun 2006, sekitar 100.000 orang bunuh diri. Angka bunuh diri di Gunung Kidul 4.48/100.000 pada tahun 2007, dengan jumlah populasi 720.465 orang dan kasus bunuh diri 32 kasus. Menurut data dari polisi, divisi Operational Gunung Kidul Departemen RI dilaporkan 2006-2010 sekitar 157 kasus bunuh diri, sebagian besar adalah wanita, dan pada tahun 2011 dari Januari hingga Agustus ditemukan 18 kasus bunuh diri.3

2.3 Faktor Risiko2.3.1 Jenis KelaminLaki-laki melakukan tindakan bunuh diri empat kali lebih sering dari wanita. Walau begitu, wanita sebanyak empat kali lebih untuk mencoba bunuh diri dibanding pria. Metode yang sering digunakan oleh pria yaitu tembak, gantung, atau lompat dari ketinggian. Pada wanita, metode yang biasa dipilih yaitu overdosis zat psikoaktif atau racun atau tembak.1

2.3.2 UmurAngka bunuh diri meningkat dengan bertambahnya usia, terutama pada usia 50-an tahun. Pada pria, bunuh diri berpuncak pada usia 45 tahun dan pada wanita berpuncak pada 55 tahun. Orang yang lebih tua lebih jarang melakukan percobaan bunuh diri dibanding dengan orang yang lebih muda, tetapi lebih sering berhasil untuk bunuh diri. Walaupun orang usia tua hanya 10% dari total populasi, 25% melakukan bunuh diri. Pada usia lebih dari 75 tahun atau lebih memiliki angka bunuh diri lebih dari tiga kali dibandingkan dengan usia muda. Walaupun begitu, angka bunuh diri pada usia muda terus meningkat terutama usia antara 15 tahun hingga 24 tahun. Peningkatan bunuh diri pada wanita lebih cenderung lebih rendah dibandingkan pria. Bunuh diri merupakan penyebab kematian ketiga pada usia antara 15 tahun hingga 24 tahun, setelah kecelakaan dan pembunuhan. Sebagian besar bunuh diri sekarang ini terjadi pada usia antara 15 tahun hingga 44 tahun. Bunuh diri jarang pada usia pubertas.1

2.3.3 RasDua dari tiga bunuh diri adalah pria berkulit putih. Pria dan wanita berkulit putih memiliki angka bunuh diri tiga kali lebih tinggi dari pria dan wanita berkulit putih. 1

2.3.4 AgamaAngka bunuh diri dari populasi Katolik Roman lebih rendah dibandingkan dengan Protestan dan Yahudi.1

2.3.5 Status PerkawinanPernikahan memiliki risiko bunuh diri lebih rendah, terutama dengan adanya anak. Orang yang belum pernah menikah memiliki nilai dua kali lipat dibanding dengan orang yang sudah menikah. Perceraian meningkatkan risiko bunuh diri, dengan pria yang bercerai memiliki risiko tiga kali lipat dibandingkan dengan wanita yang bercerai. Janda dan duda juga memiliki risiko tinggi untuk bunuh diri.1

2.3.6 OkupasiOrang dengan status sosial yang lebih tinggi, lebih tinggi pula risiko untuk bunuh diri. Penurunan status sosial juga meningkatkan risiko bunuh diri. Pekerjaan, secara umum, melindungi dari bunuh diri. Bunuh diri lebih tinggi pada pengangguran daripada orang yang memiliki pekerjaan. Dari tingkatan okupasi, professional, terutama dokter memiliki risiko yang paling tinggi. Okupasi risiko tinggi yang lain termasuk pengacara, dokter gigi, seniman, mekanik, agen asuransi. Bunuh diri meningkat pada saat krisis ekonomi.1

2.3.6.1 Bunuh diri pada Profesi KedokteranAngka terjadinya bunuh diri pada dokter pria dan wanita di Amerika Serikat meningkat, dengan wanita dengan risiko lebih tinggi. Data dari Inggris dan Scandinavia menunjukan angka bunuh diri pada dokter pria dua atau tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan pria pada populasi general dengan usia yang sama. Dokter wanita juga memiliki risiko yang lebih tinggi bunuh diri dibanding dengan wanita lain. Di Amerika Serikat, angka terjadinya bunuh diri pada dokter wanita sekitar 41 dari 100.000, dibandingkan dengan wanita berkulit putih yaitu 12 dari 100.000 pada usia 25 tahun keatas. Di Indonesia belum ada data mengenai angka bunuh diri pada profesi dokter. Pada beberapa studi dokter-dokter yang bunuh diri memiliki gangguan mental, yang lebih sering gangguan depresi, ketergantungan obat, atau keduanya. Baik dokter pria maupun wanita yang bunuh diri secara signifikan lebih sering disebabkan oleh overdosis obat dan jarang dengan tembak dibandingkan dengan populasi pada umumnya, dikarenakan pengetahuan akan obat dan dosis toksisitas. Dari dokter-dokter, psikiatri merupakan risiko terbesar untuk bunuh diri, diikuti dokter mata dan dokter anestesi. Walau begitu, semua spesialistik memiliki risiko untuk bunuh diri.1

2.3.7 IklimTidak ada korelasi yang signifikan iklim dengan bunuh diri. Bunuh diri lebih sering pada musim semi dan gugur, tetapi tidak pada bulan Desember dan periode libur.1

2.3.8 Kesehatan FisikRelasi kesehatan fisik dengan bunuh diri adalah signifikan. Sekitar sepertiga orang yang bunuh diri memiliki riwayat berobat dalam 6 bulan sebelum meninggal dan penyakit diestimasi sebagai faktor konstribusi dari setengah bunuh diri. Faktor yang berasosiasi dengan sakit dan berkonstribusi baik bunuh diri maupun percobaan bunuh diri adalah tidak dapat bergerak, terutama ketika aktivitas fisik penting untuk bekerja atau rekreasi, kelainan figure tubuh, terutama pada wanita, dan rasa sakit kronis. Pasien yang menjalani hemodialisi memiliki risiko yang tinggi. Disamping dari efek langsung dari sakit, efek sekunder, seperti masalah hubungan dengan pasangan dan kehilangan pekerjaan merupakan faktor prognosis. Beberapa obat-obatan dapat menyebabkan depresi, yang menyebabkan bunuh diri pada beberapa kasus. Obat-obatan tersebut, yaitu reserpine, kortikosteroid, anti hipertensi, dan beberapa anti kanker. Penyakit yang berasosiasi dengan alkohol, seperti sirosis, berasosiasi dengan angka bunuh diri yang tinggi.1

2.3.9 Pasien Psikiatri Risiko pasien psikiatri untuk bunuh diri 3-12 kali dibanding dengan non-pasien psikiatri. Derajat risiko bervariasi, tergantung dengan umur, jenis kelamin, diagnosis, dan status dirawat atau rawat jalan. Pasien psikiatri pria dan wanita yang dirawat cukup lama memiliki risiko 5-10 kali lebih tinggi untuk bunuh diri. Pasien yang rawat jalan tanpa pernah dirawat di rumah sakit untuk terapi psikiatri memiliki risiko 3-4 kali untuk bunuh diri. Diagnosis psikiatik dengan risiko bunuh diri terbesar pada kedua jenis kelamin yaitu gangguan mood. Secara general populasi yang melakukan bunuh diri biasanya usia setengah baya atau lebih tua, tetapi beberapa studi melaporkan meningkatnya pasien psikiatri yang melakukan bunuh diri relatif pada usia muda. Pada suatu studi, rerata umur bunuh diri pada pria yaitu usia 29.5 tahun dan wanita 38.4 tahun. Bunuh diri pada usia tua terjadi karena onset awal dari gangguan mental kronis, yaitu skizophrenia dan gangguan afektif depresi mayor yang merupakan lebih dari setengah bunuh diri dan merefleksikan umur dan pola diagnosis yang ditemukan pada sebagian besar studi dari pasien psikiatri yang bunuh diri. Persentasi pasien psikiatri bunuh diri kecil tetapi signifikan ketika mereka dirawat. Pada kedua jenis kelamin, risiko bunuh diri paling tinggi pada minggu pertama sejak pasien masuk rumah sakit. Setelah 3-5 minggu risiko bunuh diri sama seperti risiko pada populasi secara umum. Periode setelah dikeluarkan dari rumah sakit risiko bunuh diri juga meningkat. Sebuah follow up dari suatu studi, 5000 pasien yang dipulangkan dari Rumah Sakit Jiwa Iowa pada 3 bulan pertama setelah dipulangkan, angka bunuh diri pada pasien wanita 275 kali dari semua pasien wanita, dan 70 kali pada semua pasien pria. Beberapa studi menunjukkan sepertiga atau lebih dari pasien depresi bunuh diri dalam jangka waktu 6 bulan setelah keluar rumah sakit; diasumsikan pasien tersebut relaps. Kelompok utama risiko bunuh diri yaitu pasien dengan gangguan depresi, skizophrenia, dan penyalahgunaan obat, dan pasien yang berulang-ulang mengunjungi unit gawat darurat. Pasien dengan gangguan panik yang sering ke UGD, juga meningkatkan risiko bunuh diri.1

2.3.10 Gangguan MentalHampir 95% dari semua orang yang bunuh diri atau melakukan percobaan bunuh diri didiagnosa memiliki gangguan mental. Gangguan depresi sekitar 80%, skizophrenia sekitar 10%, dementia atau delirium sekitar 5% bunuh diri. Dari orang-orang yang memiliki gangguan mental, 25% merupakan ketergantungan alkohol. Orang dengan waham depresi memiliki risiko bunuh diri yang tinggi. Riwayat kebiasaan yang impulsif atau tindakan kekerasan meningkatkan risiko bunuh diri, begitu juga dengan pasien psikiatri. Orang dewasa yang bunuh diri memiliki diagnosis psikiatri dan stressor yang berbeda dengan remaja dan usia tua. Diagnosis penyalahgunaan obat-obatan dan kepribadian antisosial terjadi sering pada bunuh diri pada pasien kurang dari 30 tahun, dan diagnosis gangguan mood dan kognitif lebih sering pada usia lebih dari 30 tahun. Stresor pada usia dibawah 30 tahun yaitu perpisahan, ditolak, pengangguran, dan problem legalitas sedangkan stresor diatas 30 tahun yaitu sakit yang diderita.1

2.4 Etiologi2.4.1 Faktor Sosiologik2.4.1.1 Teori DurkheimKonstribusi utama pertama yang mempelajari pengaruh sosial dan kultural pada bunuh diri pada abad 19 oleh ahli sosiologi dari Perancis Emile Durkheim. Pada percobaan untuk menjelaskan pola sosial, Durkheim membagi bunuh diri menjadi 3 kategori sosial: egoistik, altruistik, dan anomik. Bunuh diri egoistik pada mereka yang tidak kuat berintegrasi dalam kelompok sosial. Integrasi keluarga yang kurang menjelaskan mengapa orang yang tidak menikah lebih memungkinkan untuk melakukan bunuh diri dibandingkan yang sudah menikah dengan memiliki anak yang merupakan kelompok yang terlindungi dari kemungkinan bunuh diri. Komunitas desa memiliki sosial integrasi yang lebih dibandingkan dengan daerah perkotaan. Protestan merupakan agama yang kurang kohesif dibandingkan dengan Katolik Roman, sehingga lebih banyak yang melakukan bunuh diri. Bunuh diri altruistik pada mereka yang rentan melakukan bunuh diri dari integrasi yang melampaui batas dalam sebuah grup, dengan bunuh diri menjadi hasul dari integrasi, seperti contohnya pada prajurit Jepang yang mengorbankan hidupnya pada perang. Bunuh diri anomik pada mereka yang integrasi pada masyarakat terganggu sehingga mereka tidak dapat mengikuti kebiasaan adat. Anomik menjelaskan mengapa terjadinya perubahan drastic pada kondisi ekonomi yang membuat orang lebih rentan dibandingkan bila memiliki keberuntungan. Anomik juga disebut instabilitas pada sosial dan kehancuran sosial dari norma-norma.1

2.4.2 Faktor Psikologikal2.4.2.1 Teori FreudSigmund Freud menunjukkan peran penting keyakinan psikologik terhadap bunuh diri. Freud mendeskripsikan hanya satu pasien yang mencoba bunuh diri, tetapi ia melihat banyak pasien depresi. Dalam tulisannya, Mourning and Melancholia, Freud menyatakan keyakinannya bahwa bunuh diri mencerminkan agresi yang dibelokan ke dalam terhadap objek cinta yang terintroyeksi, dan ditangkap secara ambivalen. Freud meragukan bahwa seharusnya bunuh diri tanpa keinginan untuk membunuh orang lain yang direpresikan sebelumnya. 1

2.4.2.2 Teori MenningerBerasal dari temuan Freud, Karl Menninger, pada Man against Himself, memahami bunuh diri sebagai lawan dari pembununhan karena amarah pasien terhadap orang lain, yang dibalikkan. Dia mendeskripsikan insting kematian terhadap diri sendiri (konsep kematian Freud) ditambah dengan 3 komponen permusuhan pada bunuh diri: keinginan untuk membunuh, keinginan untuk dibunuh, dan keingnan untuk mati. 1

2.4.2.3 Teori yang lainPeneliti bunuh diri tidak yakin bahwa stuktur psikodinamika atau kepribadian spesifik memiliki hubungan dengan bunuh diri. Mereka mempercayai bahwa banyak yang daoat dipelajari mengenai psikodinamika dari pasien bunuh diri mengani fantasinya tentang apa yang akan terjadi dan apa akibatnya jika mereka bunuh diri. Fantasi yang sering termasuk keinginan untuk balas dendam, kekuatan, kontrol, atau hukuman; penebusan dosa, pengorbanan, atau pemulihan; kabur atau tidur; penyelamatan; lahir kembali, bergabung dengan roh-roh; atau hidup baru. Pasien bunuh diri paling mungkin berfantasi bunuh diri ketika kehilangan objek yang dicintai atau memiliki trauma batin, mungkin mengalami afek yang berat seperti amarah dan rasa bersalah, atau mungkin mereka yang beridentifikasi dengan korban bunuh diri. Orang yang depresi mungkin mencoba untuk bunuh diri tepat sebelum mereka pulih dari depresi. Percobaan bunuh diri dapat menyebabkan depresi telah berlangsung lama menghilang, terutama jika hal tersebut memenuhi kebutuhan pasien sebagai hukuman. Banyak pasien mengunakan preokupasi dengan bunuh diri sebagai cara untuk melawan depresi yang tidak dapat ditoleransi dan rasa tidak ada harapan. Studi yang dilakukan Auron Beck menunjukkan bahwa tidak ada harapan merupakan indicator yang akurat dari risiko bunuh diri jangka panjang. 1

2.4.3 Faktor Biologik Berkurangnya serotonin pusat berperan dalam bunuh diri. Konsentrasi yang rendah dari metabolit serotonin 5-hydroxyindoleacetic acid (5-HIAA) pada cairan cerebrospinal berasosiasi dengan bunuh diri. Studi neurokimia pada post mortem menunjukan serotonin yang berkurang pada batang otak atau korteks frontal pada korban bunuh diri. Studi reseptor pada post mortem juga dilaporkan terjadinya perubahan presinaptik dan post sinaptik tempat pengikatan serotonin. Studi dari cerebrospinal fluid (CSF), neurokimia, dan reseptor mendukung hipotesis berkurangnya serotonin pusat yang berasosiasi dengan bunuh diri.1

2.4.4 Faktor GenetikTindakan bunuh diri diperkirakan diturunkan oleh keluarga. Sebagai contoh, bunuh diri Margaux Hemingway 1997 adalah bunuh diri ke lima dari 4 generasi keluarga Ernest Hemingway. Pada pasien psikiatri, riwayat keluarga bunuh diri meningkatkan risiko percobaan bunuh diri dan bunuh diri. Kembar monozigotik memiliki kemungkinan untuk melakukan percobaan bunuh diri atau bunuh diri lebih tinggi dibanding dengan dizigotik jika salah satu kembarannya bunuh diri. Faktor genetik juga mempengaruhi penurunan ambang bunuh diri yang menyebabkan ketidakmampuan untuk mengontrol kebiasaan impulsif. Triptophan hydroxylase (TPH) merupakan enzim yang mempengaruhi biosentesis dari serotonin. Polimorfisme pada gen TPH telah diidentifikasi, dengan dua lalel U dan L. Karena konsentrasi serotonin yang rendah pada CSF berasosiasi dengan bunuh diri, memunculkan hipotesa bahwa orang tersebut memiliki gangguan pada gen yang mengkontrol sintesis dan metabolime dari serotonin. Alel L berasosiasi dengan peningkatan risiko percobaan bunuh diri dan bunuh diri. Alel U juga berasosiasi dengan peningkatan risiko bunuh diri tetapi lebih rendah dibanding dengan alel L. 1

2.5 PrediksiKlinisi harus dapat mengassess risiko bunuh diri pasien dengan cara pemeriksaan klinis. Alat prediksi yang berasosiasi dengan risiko bunuh diri pada tabel 1. Bunuh diri yang dikelompokan menjadi risiko rendah dan tinggi pada tabel 2. Risiko tinggi memiliki karakteristik yaitu lebih dari 45 tahun, laki-laki, ketergantungan alkohol, kebiasaan kasar, percobaan bunuh diri sebelumnya, dan hospitalisasi psikiatri sebelumnya. Penting untuk menanyakan tentang perasaan dan tindakan untuk bunuh diri. Menanyakan ide bunuh diri pada pasien dengan depresi tidak akan menanamkan benih bunuh diri pada mereka. 5 % menyatakan secara terbuka bahwa mereka ingin mati. 1 Terdapat tanda-tanda penting yang perlu diperhatikan yang mungkin dapat memprediksi bunuh diri pada tabel 3.

Tabel 1. Variabel yang meningkatkan risiko bunuh diri.1

Tabel 2. Evaluasi dari risiko bunuh diri1VariabelRisiko TinggiRisiko Rendah

Profil demografi dan sosial

Usia>45 tahun45 years of age, especially with new onset of psychiatric illness or suicidal thinkingPatient has limited family and/or social support, including lack of stable living situationCurrent impulsive behavior, severe agitation, poor judgment, or refusal of help is evidentPatient has change in mental status with a metabolic, toxic, infectious, or other etiology requiring further workup in a structured settingIn the presence of suicidal ideation with:Specific plan with high lethalityHigh suicidal intentAdmission may be necessary: moderate risk of suicideAfter a suicide attempt or aborted suicide attempt, except in circumstances for which admission is generally indicated in the presence of suicidal ideation with:PsychosisMajor psychiatric disorderPast attempts, particularly if medically seriousPossibly contributing medical condition (e.g., acute neurological disorder, cancer, infection)Lack of response to or inability to cooperate with partial hospital or outpatient treatmentNeed for supervised setting for medication trial or electroconvulsive therapyNeed for skilled observation, clinical tests, or diagnostic assessments that require a structured settingLimited family and/or social support, including lack of stable living situationLack of an ongoing clinician-patient relationship or lack of access to timely outpatient follow-upIn the absence of suicide attempts or reported suicidal ideation/plan/intent but evidence from the psychiatric evaluation and/or history from others suggests a high level of suicide risk and a recent acute increase in riskRelease from emergency department with follow-up recommendations may be possible: lesser riskAfter a suicide attempt or in the presence of suicidal ideation/plan when:Suicidality is a reaction to precipitating events (e.g., exam failure, relationship difficulties), particularly if the patient's view of situation has changed since coming to emergency departmentPlan/method and intent have low lethalityPatient has stable and supportive living situationPatient is able to cooperate with recommendations for follow-up, with treater contacted, if possible, if patient is currently in treatmentOutpatient treatment may be more beneficial than hospitalization: lesser risk of suicidePatient has chronic suicidal ideation and/or self-injury without prior medically serious attempts, if a safe and supportive living situation is available and outpatient psychiatric care is ongoing

*Suicide occurs infrequently, even in high-risk populations. This statistical rarity makes suicide prediction, based on risk factors, either alone or in combination, impossible. Psychiatrists, however, can use knowledge of suicide risk factors to help determine appropriate treatment settings and individual treatment plans. The objective of suicide risk assessment is to clarify the presence or absence of risk and protective factors, and then estimate the patient's individual risk for suicide. The primary and ongoing goal of this assessment is to reduce the patient's suicide risk.(From the Practice Guidelines for Assessment and Treatment of the Suicidal Patient, 2nd ed. The American Psychiatric Association Practice Guidelines for the Treatment of Psychiatric Disorders Compendium,

BAB IIIKESIMPULAN

Bunuh diri atau suicide adalah tindakan yang bertujuan membunuh diri sendiri. Hal ini merupakan emergensi pada bidang psikiatri. Setiap tahunnya di Amerika angka bunuh diri terus meningkat. Indonesia belu memiliki data epidemiologi bunuh diri. Faktor risiko yang dapat meningkatkan terjadinya bunuh diri yaitu laki-laki, usia muda atau tua, berkulit putih, status perkawinan, pekerjaan, kesehatan fisik, kesehatan psikiatri, dan adanya riwayat percobaan bunuh diri sebelumnya. Seseorang dapat melakukan bunuh diri dimana terdapat beberapa faktor yang berperan meliputi faktor sosiologik, psikologikal, biologik, dan genetik. Bunuh diri dapat diprevensi bila mana klinisi dapat melakukan pendekatan kepada pasien dengan mengali faktor risiko yang ada. Terapi pada pasien dengan ide, rencana, dan percobaan bunuh diri perlu adanya beberapa modalitas terapi dan support dari lingkungan pasien. Terapi meliputi farmakologi yang sesuai dengan penyakit atau gangguan mental yang diderita pasien dan juga psikoterapi. Selain itu, dukungan dari keluarga, teman, klinisi, dan motivasi dari pasien sendiri yang dapat menunjang pulihnya pasien.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sadock, Benjamin James; Sadock, Virginia A. (2007).Kaplan & Sadock's synopsis of psychiatry : behavioral sciences/clinical psychiatry. Philadelphia: Wolters Kluwer.2. Jacobson, Alan M.; Jacobson, James L. (2001). Psychiatric secrets. Philadelphia: Hanley & Belfus.3. T. Ronny. Suicide Preventive In Indonesia. Providing Public Advocacy. Simposium: Role of Physicians in suicide patient. 4. WHO. Mental Health Atlas 2011: Indonesia. Department of Mental Health and Substance Abuse: World Health Organization. 5. Jose Manoel Bertolote, Alexandra Fleischmann. Suicide and psychiatric diagnosis: a worldwide perspective. Mental Health Policy Paper. Department of Mental Health and Substance Dependence, World Health Organization, Geneva, Switzerland.6. C. Kevin. Suicide Warning Signs. Available from: www.suicide.org/suicide-warning-signs.html 7. SAVE. Sign and Warning Sign of Suicide. Available from: www.save.org/index.cfm?fuseaction =home.viewpage&page_id=705f4071-99a7-f3f5-e2a64a5a8beaadd8 8. NHS. Warning signs Suicide. Available from: www.nhs.uk/Conditions/Suicide/Pages/ warning-signs.aspx

0