Cover : BOG-BOG Bali GRATIS...Dari sekian banyak konsep pencitraan pada media tercetak, kesemuanya...

12
Dari sekian banyak konsep pencitraan pada media tercetak, kesemuanya menampakkan pengkomodifikasian caleg layaknya dagangan Sejarah Budaya Sosial Kampus GRATIS ! ! ! APRIL 2009, EDISI # 6 Cover : BOG-BOG Bali Cartoon Magazine Seputar Pemilu ! ! 4 TAHUN OASE UPDATED BY: BIMO ADRIAWAN a..k.a gommu KLIK GAMBAR DISAMPING UNTUK KEMBALI KE SINI. TERSEDIA DI SEMUA BAGIAN BAWAH HALAMAN DAFTAR ISI : Hal 2 Pemilu dan Persib Hal 4 Musim Banjir Citraan Hal 6 Sejarah RIngan Lalu Lintas Indonesia Hal 9 Hantu di Balik Autobiografi Hal 11 Kalender Sejarah Quotation KLIK DAFTAR ISI UNTUK MENUJU KE HALAMAN YANG DIINGINKAN

Transcript of Cover : BOG-BOG Bali GRATIS...Dari sekian banyak konsep pencitraan pada media tercetak, kesemuanya...

  • Dari sekian banyak konsep pencitraan pada

    media tercetak, kesemuanya menampakkan

    pengkomodifikasian caleg layaknya

    dagangan

    Sejarah Budaya Sosial Kampus

    GRATIS ! ! !

    APRIL 2009, EDISI # 6

    Cover : BOG-BOG Bali

    Cartoon Magazine

    Seputar Pemilu ! !

    4 TAHUN

    OASE UPDATED BY:

    BIMO ADRIAWAN

    a..k.a gommu

    KLIK GAMBAR DISAMPING UNTUK KEMBALI KE SINI.

    TERSEDIA DI SEMUA BAGIAN BAWAH HALAMAN

    DAFTAR ISI :

    Hal 2 Pemilu dan Persib

    Hal 4 Musim Banjir Citraan

    Hal 6 Sejarah RIngan Lalu Lintas Indonesia

    Hal 9 Hantu di Balik Autobiografi

    Hal 11 Kalender Sejarah

    Quotation

    KLIK DAFTAR ISI UNTUK MENUJU KE HALAMAN

    YANG DIINGINKAN

  • Bulletin Mahasiswa Sejarah 1

    PENGANTAR REDAKSI OASE

    Iseng itulah modal kita selama ini hingga

    mampu menerbitkan Oase hingga edisi ke-6. Sungguh

    modal kecil yang bermanfaat. Tanpa iseng mungkin

    tak akan ada artikel terpampang, tak akan ada ribuan eksemplar tercetak, tak akan ada dahi mengkerut

    para pembaca, karena memang semua tulisan dalam

    Oase adalah karya-karya amatir yang ingin sedikit

    memberi manfaat dan mencoba berkaca pada realitas. Walaupun mungkin seringkali ngaco, ngawur,

    atau berantakan namun ini adalah sebuah ekspresi,

    ekspresi keisengan yang sewaktu-waktu hinggap.

    Mudah-mudahan keisengan ini, berbeda

    dengan keisengan para selebriti yang akhir-akhir ini banyak nongol sebagai caleg. Ya mungkin mereka

    belum kenyang dengan popularitas sampai merambah

    amanat rakyat. Demikian redaksi pun mencoba kali

    ini mengamati fenomena janggal selama masa

    kampanye, tentu dengan bahasa sederhana dan apa

    adanya di kepala. Semoga bermanfaat.

    Redaksi

    ISI :

    Hal 2 Pemilu dan Persib

    Hal 4 Musim Banjir Citraan

    Hal 6 Sejarah Ringan Lalu-lintas Indonesia

    Hal 9 Hantu di Balik Autobiografi

    Hal 11 Kalender Sejarah dan Quotation

    Bulletin Mahasiswa Sejarah

    Pemimpin Redaksi: H.G.Corleone

    Redaktur : Bulky Rangga Permana

    Wakil Redaktur : Hary G. Budiman

    Sidang Redaksi : Teguh V. Andrew,

    Yandri, Refki, Rendi, H.G Corleone

    Desain Visual : Rizki Adi, Agung,

    Wildan, Prasetyanto, Idham, Komeng

    Dokumentasi: Yeni, Dheti, Uni, Hani, Krisna, Deni, Pramesta, Ferri, Wilman,

    Fotografer: Reza Pahlevi, Sari, Hafidz,

    Ardi, Rina, Nopida, AM

    Pemasaran: Aji Moerdani, Didi, Alang,

    Seno, Syamsir, Erik, Nizar, Dona, Reza

    Kupret, Dea, Desi, Devita, Hilda, Wina

    Penulis: Maul, Fadli, Ade, Yandri, Haq

    Alamat Redaksi: Nomaden, seperti

    pitechantropus di masa megalithikum

    E-mail: [email protected]

    MENYEDIAKAN RUANG IKLAN:

    iklan kehilangan barang, iklan kehilangan

    Hp, iklan orang hilang, iklan acara, iklan

    dagangan, dll.

    bag i y ang betminat hubungi :

    085221575229

  • Bulletin Mahasiswa Sejarah 2

    Pemilu dan Persib

    A dakah saat ini benar-benar pesta demokrasi

    rakyat ? Mungkin benar karena

    bertriliyunan rupiah digelontorkan untuk

    pesta yang katanya buat rakyat ini. Benar, kita

    sekarang berpesta, pesta dengan kebingungan.

    Bingung ? Ya bingung... karena jumlah partai hari

    ini sama banyaknya dengan jumlah band-band

    lebai di TV. Adakah partai-partai ini sama lebainya

    dengan band-band itu? Sepertinya ada benarnya

    juga, bukankah mereka bermodal

    tampang ? Tampang selebriti, tampang

    tokoh-tokoh lawas (dengan track record

    buruk), tampang yang sok kaum muda,

    tampang kayak orang jujur saja, tampang

    sok berwibawa, tampang basi, tampang

    rupiah. Lho koq, tampang rupiah...? ya iya lah...

    kan agar itu tampang bisa nemplok di gedung-

    gedung, jalan-jalan, pasar, tukang beca, angkot,

    bak sampah, trotoar, mobil bagus, mobil butut,

    pake rupiah. Memangnya itu baligo, poster, stiker,

    bendera, spanduk di biayai negara?! seperti fakir

    miskin dan anak-anak terlantar dalam pasal 34 ayat

    1 (?).

    Lha..! Ada apa pula dengan fakir miskin

    dan anak-anak terlantar sampai di bawa-bawa

    begini? Ow..ternyata memang harus kita bawa-

    bawa.

    Kenapa? Coba saja kita bayangkan, adakah

    mereka semua sibuk memikirkan pemilu?

    jumlah partai yang berjibun, jumlah caleg

    yang menggunung, pemilu conterng, pemilu

    coblos, money politic, black campaign, calon

    presiden S, calon presiden M, calon presiden

    J, calon presiden P, calon presiden H, ah..

    apapun itu tak mungkin mereka (fakir miskin

    dan anak-anak terlantar) peduli.

    Mereka peduli dimana

    mencari beras, di mana ada sesuap

    nasi. Ah, Indonesia ini memang penuh

    paradoks. Si caleg, si capres sibuk

    hambur-hamburkan rupiah demi citra,

    pajang-pajang iklan di TV, bahkan

    konon katanya itu capres dari partai warna

    biru, si pengusaha batik dari Pekalongan,

    menghabiskan duit 20 milyar hanya untuk

    iklan dan cuap-cuap bola pada Euro 2008 lalu.

    Hm...sungguh nilai yang besar. Coba itu duit

    dibelikan ikan asin saja, banjirlah pulau Jawa

    dengan ikan asin. Tapi pasti, itu orang-orang

    yang biasa makan nasi dan garam saja, akan

    menggoreskan senyum di bibir karena si nasi

    kini ada temannya.

    Pojok Ngawur ! !

  • Bulletin Mahasiswa Sejarah 3

    Waduh...parah benar kita menghayal. Sekarang

    yang jadi persolan adalah adakah caleg yang door

    to door ke pemilihnya? Adakah caleg yang bukan

    bersenjatakan kata tapi tindak nyata? Adakah

    caleg yang talk less do more ? Adakah mereka

    masih memegang prinsip umum demokrasi:

    reasonable, eficiency, freedom..? duit, duit, duit,

    kuasa, dan tampang. Adakah itu ongkos

    demokrasi kita?

    Kita mungkin mimpi mengharapkan

    caleg layaknya Cicero. Ia, Cicero,

    menghafal nama calon-calon pemilihnya,

    membongkar kebusukan-kebusukan

    korupsi, membela-bela rakyat tanpa dibayar,

    walaupun memang pragmatis tujuannya:

    kekuasaan, tapi toh ia menawari pemilihnya

    dengan jasa yang setimpal sehingga ia layak

    dipilih. Lalu, sekarang, apa yang kita temui?

    Bukankah hanya kampanye-kampanye aneh

    macam balap beca, balap mancing, check up

    gratis bersama caleg, cukur murah 2000 perak,

    dan tentu saja dangdut erotis. Hanya di Indonesia!

    Tapi itu tak apa, yang jadi “apa-apa” adalah

    dihentikannya hiburan kita, sarana refreshing kita,

    pelepas adrenalin kita, obat dahaga, dan pride of

    suppporters: Liga Indonesia. Tentu kita rindu

    Persib, rindu Persija, rindu teriak-teriak wasit

    goblog, rindu Eka Ramdani, rindu Cabanas, rindu

    Kayamba, rindu BP, rindu Jimmi Napitupulu,

    rindu bacot-bacot Rendra Sudjono. Ah, jikalah

    demikian, jahat benar pemilu ini. Katanya pesta

    rakyat... padahal jika berandai-andai, itu

    simpatisan Persib mungkin lebih banyak daripada

    simpatisan partai-partai. Sudah saja bikin partai

    Persib, calegnya Maman Abdulrachman, Nova

    Arianto, Eka Ramdani, Robby Darwis

    sekalian. Pasti banyak yang milih, bukankah

    itu yang sekarang banyak di cari, banyak

    yang milih !

    Tulisan ini sekedar gambaran

    kelinglungan menjelang 9 April mendatang.

    Hanya gerutuan si penulis yang bingung dengan 3

    lembar kertas suara selebar 56 cm, tinggi ± 58 cm

    (?) dengan tulisan kecil-kecil bernomor-nomor.

    Kita hanya bisa mengucapkan: selamat berpusing

    -pusing ria dengan kertas suara.

    (H.G. Corleone ‘05)

    Pojok Ngawur ! !

  • Bulletin Mahasiswa Sejarah 4

    H erankah kita ketika hujan terus mengguyur

    sepanjang bulan November hingga Desember?

    Sudah lumrah, dan tak mesti kita heran, karena

    hal demikian sudah hampir pasti menjadi siklus di setiap

    tahunnya. Lalu, manakala banjir datang geleng-geleng

    kepala dan jengkel tentu ikut hinggap. Demikian, ini

    merupakan sebab dan konsekuensi

    yang kita terima di setiap musim

    penghujan. Tentu di sini kita bukan

    membahas banjir di musim

    penghujan. Namun, adakah rasa

    yang sama –rasa jengkel— ikut

    hinggap ketika musim kampanye

    tiba dan banjir citraan di mana-

    mana? Tidak salah jika kita menjawab ‖ya‖. Bukankah

    citraan tersebut selalu setia nemplok tanpa kompromi?

    Setidaknya tepatlah kita katakan: citraan tersebut telah

    menjadi polusi pemandangan karena muncul di ruang

    publik – yang sebagian besar—tidak disertai dengan etika

    dan estetika dalam penempatannya. Lalu, sudah kah kita

    siap dengan kejengkelan-kejengkelan lainnya? Karena bulan

    ini banjir citraan segera menerpa menyongsong musim

    kampanye yang semakin memuncak.

    Dalam tingkatan daerah, para calon legislatif banyak

    memilih media tercetak untuk mengakomodasi kampanye

    dan citraannya. Spanduk, baligo, poster, mungkin dinilai

    efektif dalam mengenalkan, namun tak efisien dan tak

    seefektif yang mereka kira. Media-media tersebut mungkin

    mampu mengenalkan tapi tidak serta merta menyedot

    minat pemilih. Membanjirnya citraan dalam media tercetak

    baru-baru ini menampilkan keunikan-keunikan dalam

    melalui citraan (khususnya media tercetak). Citraan para

    calon legislatif, khususnya dalam media seperti baligo,

    poster, spanduk, dll, ternyata menawarkan konsep yang

    beraneka ragam dengan simbol dan pesan yang berbeda

    pula. Jika diklasifikasikan ada beberapa konsep yang

    disuguhkan:

    Pertama, gambar si calon dengan men-

    close up wajah atau ¼ badan disertai

    nama dan gelar yang ramai. Citraan

    demikian yang umum dan paling banyak

    ditemui. Konsep seperti ini berusaha,

    tentu saja memperkenalkan diri dan

    memberi kesan keteguhan, kesiapan,

    serta pesona yang coba dihadirkan,

    walaupun sering kali sebagian besar gambar para calon

    sama sekali tidak menampakkan pesona. Sementara gelar

    yang dipampang seolah menyatakan kompetensi dirinya

    sebagai seorang yang mampu dan layak menduduki kursi

    legislatif kerena ahli dibidangnya. Bagi mereka yang merasa

    sedikit unggul dalam penampilan mungkin bisa berbangga

    diri dengan konsep ini, sayang tidak banyak calon yang

    nampak menonjol dalam penampilan.

    Kedua, gambar si calon yang disandingkan dengan

    tokoh nasional atau dengan figur yang reputasinya dikenal

    oleh publik. Konsep ini hanya memperlihatkan ketidak

    percayaan diri si calon. Kedudukan figur yang disandingkan

    tidak lepas dari ikatan kepartaiannya, disamping untuk

    turut mendongkrak daya tarik si calon. Konsep citraan

    seperti ini cukup marak ditemui, meski efektivitasnya

    masih sangat dipertanyakan sebagaimana konsep yang

    pertama. Kesan yang ada hanyalah bayang-bayang si f1gur

    S o s i a l

    Musim Banjir Citraan

  • Bulletin Mahasiswa Sejarah 5

    dan si calon sendiri hanya memberi kesan jauh dari

    kemandirian berpikir.

    Ketiga, si calon mengusung isu kaum muda atau

    mengklasifikasikan diri sebagai kaum muda. Konsep kaum

    muda begitu populer belakangan ini, dengan menghadirkan

    konsep muda, calon seolah diidentikan dengan semanagat

    perubahan, revolusioner, penuh optimisme, dan tentu saja

    energik. Sayangnya dari citraan yang muncul dengan

    mengusung isu kaum muda, seolah menjustifikasi

    keburukan yang tua dan secara implisit menyatakan bahwa

    kuantitas umur menjadi faktor penentu sejauh mana

    prubahan/perbaikan yang lebih baik. Dengan kaum muda,

    seolah perubahan lebih banyak terjadi. Tetapi sangat

    disayangkan, yang mengaku kaum muda namun media

    kampanyenya tidaklah inovatif, konvensional dan kuno.

    Keempat, optimalisasi nilai jual selebriti. Konsep citraan

    seperti ini dapat mencakup berbagai jenis keterlibatan

    selebriti/publik figur. Ada kalanya si selebriti menjadi calon

    legislatif itu sendiri atau pun si selebriti menjadi

    pendongkrak calon lain. Adanya publik figur, tidak bisa

    dipungkiri sedikit banyak mendorong daya ‖lirik‖ pemilih.

    Setidaknya pemilih akan ada kecenderungan untuk sekedar

    melihat dan mengamati pada figur yang lebih dikenal.

    Disamping itu, keberadaan publik figur diasumsikan mampu

    meningkatkan nilai jual sebuah partai bagi pemilih, dengan

    catatan bagi pemilih yang mudah dibodohi. Dengan konsep

    ini, intensits pengenalan ke publik bisa lebih efisien. Ibarat

    menjual produk yang lebih dikenal pasar tentu lebih

    mudah dari pada memperkenalkan produk baru dan belum

    tau kualitasnya. Tetapi tentunya, masih dengan catatan,

    bagi mereka pemilih yang tidak kritis.

    Kelima, gambar yang menampakkan keseluruhan calon

    dari sebuah partai dari wilayah pemilihan tertentu, berdiri

    bak keluarga besar. Suatu konsep yang cukup

    menarik, kesan yang ditimbulkan adalah mengeliminir

    persaingan dalam partai itu sendiri, kolektifitas kelompok,

    serta kesatuan visi. Konsep ini sedikit memberi nilai lebih

    jika dibandingkan gambar perseorangan, yang lebih

    mengandalkan pesona personal. Konsep ini

    menggambarkan kegotong royongan dan penekanan

    egoisme pribadi. Dengan konsep ini, orang ada

    kecenderungan untuk sekedar melihat partainya tetapi

    pengenalan pribadi calon kurang dapat terakomodasi.

    Dari sekian banyak konsep pencitraan pada media

    tercetak, kesemuanya menampakkan pengkomodifikasian

    caleg layaknya dagangan. Citraan ini membentuk opini

    publik, entah itu menjadi simpati atau antipati. Citraan

    yang ada bukan hanya hadir unuk mengenalkan namun

    mencoba menyampaikan gagasan serta pesan agar pemilih

    tertarik akan gagasan yang berusaha disampaikan.

    Mengutip tulisan Yasraf Amir Piliang, bahwa citra

    merupakan cara utama di mana gagasan, dan konsep-

    konsep dikemas untuk dipersembahkan ke dalam memori

    –memori publik, untuk mengatur tindak tanduk publik

    (Ibrahim, 328: 1997). Dikaitkan dalam konteks citraan

    dalam media kampanye--khususnya media tercetak, yang

    menjadi masalah apakah memori-memori publik itu

    mampu mengarah pada tindak tanduk publik yang positif

    atau sama sekali tak memberi pengaruh pada tindak

    tanduk publik? Jikalah tidak, lalu buat apa sekian banyak

    rupiah mengalir untuk membentuk citra? Memangnya

    dengan berbagai jenis citraan dan ribuan baligo yang

    terpampang kita dibuat kenyang? Toh, putaran rupiah

    kampanye tak mampir pada tangan-tangan hampa yang

    menunggu beras. Ataukah memang ada benarnya pula jika

    kita dikatakan kenyang, kenyang dengan kepalsuan ribuan

    image. (H.G. Corleone ’05)

    S o s i a l

  • Bulletin Mahasiswa Sejarah 6

    Sejarah Ringan

    Lalu- lintas Indonesia * Oleh : Luthfi

    M engapa Nomor Polisi Jakarta

    itu di kode dengan Huruf "B" ?

    Penggunaan tanda nomor

    kendaraan bermotor di Indonesia, terutama

    di Jawa, merupakan warisan sejak zaman

    Hindia Belanda, yang

    menggunakan kode wilayah

    berdasarkan pembagian

    wilayah karesidenan. Awalnya

    tidak ada orang

    Indonesia yang memiliki

    mobil. Dan biasanya orang-

    orang Indonesia yang kaya

    adalah orang yang tinggal

    disekitar pelabuhan, mereka

    biasanya adalah saudagar nasional dan

    internasional, yang kedua adalah orang-

    orang yg menjadi juragan perkebunan,

    sebagai "ndoro" perkebunan tidak heran bila

    uang mereka banyak. Sampailah saatnya

    orang kaya pertama di Indonesia memiliki

    mobil, dan orang pertama tersebut adalah

    orang Banten (pelabuhan) maka mobilnya di

    tetap "A". Selanjutnya orang Batavia

    (betawi, pelabuhan) yang membeli mobil,

    sesuai urutan abjad, maka mobil orang ini

    oleh pemerintah Belanda di beri kode "B"

    diikuti nomor .., selanjutnya semua mobil

    duta dan consul diberi kode C yg saat ini

    menjadi CD. Kemudian seorang

    "ndoro" perkebunan di Bandung

    membeli mobil maka di kode "D",

    orang kaya Cirebon (pelabuhan)

    juga kemudian beli, maka "E",

    orang kaya Bogor (perkebunan)

    juga beli, maka "F", orang kaya

    Pekalongan (pengusaha kain)

    kemudian beli, maka "G", orang

    kaya Semarang (pelabuhan) juga beli mobil,

    maka nomor polisinya "H". dst... Kira-kira

    apa yang kita pikir tentang Huruf "Z" (Tasik)

    dan kota-kota yg sudah tidak kebagian abjat

    alphabet tunggal? seperti AA (Kedu), AB

    (Jogya). Apakah mereka adalah orang-orang

    kaya belakangan? belum tentu karena "Z"

    untuk Tasik adalah hasil modifikasi

    Mesin Waktu

  • Bulletin Mahasiswa Sejarah 7

    sebagian besar memang menggambarkan

    urutan orang-orang yg "berhasil kaya" di

    Indonesia. (ha..ha..ha. ., untuk orang - orang

    yang nomor polisi mobilnya dua huruf,

    Peace... ah, he.. he.. he..)

    Mengapa Jembatan2 jalan raya buatan

    Belanda, tahan lama?

    Sebenarnya konstruksinya hampir biasa-

    biasa saja, tetapi Belanda merancang

    jembatan, bagaimana mobil yg akan

    melaluinya bisa pelan-pelan. Maka jalan

    masuk jembatan dan keluar jembatan itu

    harus dibuat menikung, bila perlu malah

    menikung tajam 90 derajat agar kendaraan

    mau-tidak mau mengerem kendaraannya.

    Alhasil mereka masuk ke jembatan dengan

    pelan-pelan, keluar jembatan pun mereka

    pelan-pelan karena jalan masih menikung.

    Akhirnya jembatanpun menjadi awet. Bahkan

    ada yg tahan 100 tahun lebih. Bandingkan

    dengan jembatan-jembatan buatan setelah

    itu.

    Mengapa Jarak antar kota di Jawa rata

    -rata ± 60 km?

    Perhatikan: Jakarta - Bogor ± 60 km, Bogor -

    Sukabumi ± 60 km , Sukabumi - Cianjur ± 60

    km, Cianjur - Bogor ± 60 km, Cianjur -

    Bandung ± 60 km, Bandung - Garut ±

    60 km,

    Garut - Tasik ± 60 km, Rangkasbitung -

    Banten ± 60 km dst. (atau sekitar 60 an

    lah.he..he.. . peace.). Mengapa 60 km?

    Karena Pemerintah Belanda saat itu

    merancang jarak kota, juga mempunyai peri-

    kehewanan, yaitu memikirkan kuda. Kuda

    standard itu setelah berjalan 60 km perlu

    istirahat besar (beda dengan kuda modif, he..

    he.. he...), yaitu makan dan minum dan

    istirahat cukup. Nah untuk bisa minum dan

    makan, sebaiknya ditempat itu sudah ada

    daerah yg dihuni manusia, sehingga

    biasanya ada sumur, ladang, lapangan, alun-

    alun sehingga tersedia air dan rerumputan yg

    bisa disabit untuk si kuda.

    Mengapa mobil tanpa hidung /

    moncong dibuat. (Carry, Zebra,

    Espass dsb.)

    Mobil dengan hidung (bagian mesinnya

    didepan), sebenarnya lebih nyaman dan

    lebih aman dari pada mobil tanpa hidung

    (bagian mesinnya dibawah jok pengemudi),

    mengapa? kedua jenis mobil ini, dengan

    kecepatan yang sama bila terjadi tabrakan

    frontal maka tingkat melukainya thdp

    pengemudi akan lebih parah yg tanpa

    hidung, dan biasanya menggencet si

    pengemudi. Berbeda dengan mobil yg punya

    Mesin Waktu

  • Bulletin Mahasiswa Sejarah 8

    moncong. Sebagian dari sedan Honda

    bahkan telah didesign mengurangi impact

    orang yang ditabrak juga. Mobil-mobil

    berhidung zaman dulu umumnya

    bumpernya full besi, sehingga orang yang

    tertabrak saat kecepatan diatas 45 km/jam

    bisa meninggal. Pada saat pemerintahan

    Jepang masih berkuasa di Indonesia,

    banyak orang Indonesia yang

    mengemudikan kendaraan mengantuk, hal

    ini banyak menimbulkan kecelakaan. Mobil

    menabrak rumah, pohon bahkan menabrak

    orang yg sedang berjalan di tepi jalan.

    Disinyalir penyebabnya adalah suasana

    kabin yang cukup senyap, nyaman, tidak

    panas, karena mesinnya didepan,

    ditambah lagi pada saat itu si pengemudi

    banyak yang kekurangan gizi yg berakibat

    saat mengemudikan kendaraan sering

    mengantuk, maklum zaman penjajahan,

    kebutuhan gizi amatlah kurang. Para

    petinggi Indonesia saat itu akhirnya

    mengusulkan kepada pemerintahan

    Jepang agar mendesain mobil yang tidak

    mudah membuat ngantuk, yaitu yang tidak

    nyaman, taruh saja mesinnya dibawah

    pengemudi. Para engineer Jepang

    terheran-heran dengan usulan ini.

    Tapi rancangannya tetap diselesaikan.

    Jadilah saat itu mobil dengan mesin di

    bawah pengemudi, agar berisik, tidak

    nyaman, dan yg "hot" lagi adalah di bawah

    pengemudi ada pemanas. jadi deh supirnya

    pada melek. Kalau masih ada yang

    mengantuk ya memang bawaan bayi kali ya.

    Juga sang supir mikir terus "mobil ini tidak

    ada moncongnya kalau nabrak aku bisa

    gepeng" (qodar ya.), setidaknya ini membuat

    mereka terjaga saat mengemudi.

    Saat ini banyak sekali mobil tanpa moncong

    berkeliaran di jalan raya, bahkan bisa

    dikatakan juga mobil rakyat. (Untuk

    penggemar mobil tanpa moncong, peace

    ah..).

    *) Artikel diambil dari milis JasMerah.

    Mesin Waktu

  • Hantu dibalik Autobiografi

    Bulletin Mahasiswa Sejarah 9

    S kandal, kejayaan, penderitaan masa

    lalu, dan hal-hal pribadi yang tak

    tersentuh oleh publik adalah syarat

    yang diperlukan oleh sebuah

    autobiografi untuk meledak di pasaran. Figur si

    tokoh dalam biografi itu sendiri, tentulah unsur

    mutlaknya. Selebriti, olahragawan, rockstar, maupun

    tokoh politik. Profesi yang disebutkan terakhir ini

    yang dihadirkan dalam novel The Ghost buah karya

    Robert Harris. Harris, yang belum lama ini cukup

    menarik perhatian lewat novel Imperium, kembali

    menawarkan dunia penulisan yang dibalut nuansa

    politik, namun kali ini ia membubuhi aroma thriller,

    dan konspirasi. Bagi pembaca yang mengharapkan

    unsur kejut dari pembunuhan, plot cepat dan

    meledak-ledak khas novel pop, siaplah untuk sedikit

    kecewa. Tapi tidak demikian bagi para pecinta

    konspirasi, apalagi minat pada politik, karena The

    Ghost menyuguhkan isu-isu seruis seputar politik

    internasional yang dituturkan dengan plot sedikit

    lambat namun penuh misteri tetapi cerdas.

    Perang melawan terorisme. Demikian yang

    digembar-gemborkan para pemimpin dunia barat

    tahun-tahun belakangan ini. Amerika dan Inggris

    adalah garda terdepan dalam misi penuh kebiadaban

    ini. Tentulah tak ada perang yang menguntungkan,

    ekses negatif bagai gerbong yang membuntut.

    Pembunuhan, pengingkaran HAM, penyiksaan adalah

    sekian banyak kejahatan perang. Kejahatan peranglah

    yang menjadi benang merah dalam The Ghost. Adalah

    Adam Lang, seorang mantan Perdana Menteri Inggris,

    yang mencoba menyelamatkan sisa-sisa reputasinya

    melalui autobiografi yang sebenarnya tidak ―auto‖. Ya,

    ada penulis lain di belakang Adam Lang yang mencoba

    merekonstruksi ulang alur hidup seorang mantan

    negarawan ini.

    Ditengah cacian dan makian publik Inggris atas

    kebijakan perangnya, Adam Lang seolah menyongsong

    akhir karir politiknya. McAra, sang sekretaris pibadi

    berusaha menyusun autobiografi Adam Lang, namun

    ditengah penulisan McAra ditemukan tewas. Di sinilah

    kemudian sosok tokoh utama muncul dengan narasi

    sebagai ‖Aku‖ sang penulis bayangan menggantikan

    McAra. Aku, si penulis bayangan ini ternyata menyibak

    berbagai misteri masa lalu Adam Lang dari manuskrip

    milik McAra. Apakah kebijakan Inggris yang selalu

    mendukung Amerika ada kaitannya dengan masa lalu

    Lang yang dekat dengan agen CIA? Bagaimana mungkin

    seorang artis kampus di Cambridge, gemar berfoya-

    foya dan tukang gonta-ganti wanita sekelas Adam Lang

    dapat terjun ke dunia politik?

    Konspirasi yang mungkin sudah akrab dengan telinga

    kita. Ada Amerika, CIA, perang, dan pembunuhan.

    Memang terdengar tidak terlalu istimewa. Namun The

    Ghost memiliki nilai plus dan sisi lain dari sebuah novel

    pop: deskripsi yang kuat mengenai seluk beluk

    kehidupan sehari-hari seorang mantan perdana

    menteri, sisi manusiawi, pesona, dan relasi suami istri

    RESENSI

  • Bulletin Mahasiswa Sejarah 10

    yang kompleks dalam sebuah keluarga negarawan.

    Salah satu elemn penting yang tidak bisa dilewatkan

    dalam buku ini adalah perkenalan kita dengan profesi

    Ghostwritter. Tentutulah kita tidak akan menyangka

    bahwa mungkin saja autobiografi sekelas Cristiano

    Ronaldo, Valentino Rossi, Paul McCarthy, atau

    Barrack Obama sekalipun sebenarnya ditulis oleh

    seorang Ghostwritter.

    Setidaknya novel ini mampu mengobati

    antusiasme pembaca yang menaruh minat pada

    politik dan sisi gelap dunia penulisan. Memang tak

    sehebat masterpiece Harris, Imperium, tetapi buku

    ini patut masuk list: ‖buku dibaca kala senggang‖.

    Konon buku ini adalah sindiran pada mantan Perdana

    Menteri Inggris, Tony Blair.

    (H.G. Corleone)

    Puisi Iseng. . . "kosong"

    Dinamis

    sungutmu lontarkan berhujan kata

    tentu berbuih sudah itu mulut

    sering kosong tak berisi

    namun selalu

    kosong ucapmu isi kekosongan lain:

    rindu hangat sahabat

    makian menjadi lecut

    lelucon adalah pengikat

    dan banyol selayak simpul

    (Hary G. Budiman)

    "Belukar"

    Celoteh rekat berpadu belukar

    bertilam hangat rerumputan

    kisah dan cerita menggantung

    mengangkasa pada dedaun sepoi-sepoi

    di sudut jauh hingar bingar

    bersama sahabat pasti

    lepas kuasa sesak

    jatuh sisa awan pagi

    sebentar sisakan kesempurnaan hening

    (Hary G. Budiman)

    RESENSI

    The Ghost: Sang Penulis Bayangan

    Robert Harris

    Harga : Rp 50.000,-

    Ukuran : 15 x 23 cm

    Tebal : 320 halaman

  • Bulletin Mahasiswa Sejarah 11

    Peristiwa Bersejarah di Bulan

    Maret — April

    14 Maret 1980 : Proklamator RI, Moh. Hatta wafat

    24 Maret 1946 : Peristiwa Bandung Lautan Api

    25 Maret 1947 : Persetujuan Lingga Djati

    28 Maret 1981 : Pembajakan pesawat pertama di Indonesia terhadap pesawat Garuda

    5 April 1950 : Peristiwa Andi Aziz di Ujungpandang

    21 April 1879 : Lahirnya RA Kartini

    18-21 April 1955 : Konferensi Asia-Afrika

    23 April 1987 : Pemilihan Umum ke-4 masa Orde Baru

    Quotations

    “Janganlah mencita-cita adanya pemimpin-

    pahlawan bagi Indonesia, melainkan kendakilah

    adanya pahlawan-pahlawan yang tak punya

    nama.’’

    — Bung Hatta —

    " Setinggi-tinggi Ilmu, semurni-murni tauhid,

    sepintar-pintar siasat "

    — H.O.S Tjokroaminoto —

    “Ketika orang tidak lagi diberi ruang kecuali untuk

    melawan, Maka intelektual pun menjadi

    pemberontak”

    — Cornelis Lay —