Copy of Laporan Penelitian
Transcript of Copy of Laporan Penelitian
PENGARUH LAMA PERENDAMAN BIJI KACANG HIJAU (Phaseolus
vulgaris) DALAM AIR KELAPA TERHADAP KECEPATAN
PERKECAMBAHAN
LAPORAN
disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Metode Penelitian yang dibina olehProf. Dra. Herawati Susilo, M.Sc., Ph. D dan Dr. Hadi Suwono, M.Si
Disusun oleh :
Ema Aprilisa (207341408135)Dea Vindi Amalindah
Off. AA
UNIVERSITAS NEGERI MALANGFAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGIJanuari 2009
PENGARUH LAMA WAKTU PERENDAMAN BIJI KACANG HIJAU
(Phaseolus vulgaris) DALAM AIR KELAPA TERHADAP KECEPATAN
PERKECAMBAHAN
BAB I
PENDAHULUAN
a.1 Latar Belakang
Pada perbanyakan secara generatif, masalah utama yang dihadapi adalah
lamanya waktu yang diperlukan biji untuk berkecambah. Hal ini dikarenakan
beberapa faktor antara lain keadaan biji (keadaan khusus yang menghambat
perkecambahan biji kacang hijau adalah tidak mempunyai endosperm sebagai
cadangan makanan pada awal perkecambahan biji), permeabilitas kulit biji, dan
tersedianya air di sekeliling biji.
Jika ketiga faktor tersebut tidak mendukung biji untuk melakukan
perkecambahan maka biji memiliki kemampuan untuk mengundurkan fase
perkecambahannya yang disebut dengan dormansi. Peranan hormon tumbuh di
dalam biji yang mengalami dormansi adalah dapat menstimulasi sintesis
ribonuklease, amilase dan protease di dalam biji.
Fase akhir dari dormansi adalah fase berkecambah. Permulaan fase
perkecambahan ini ditandai dengan penghisapan air (imbibisi) kemudian terjadi
pelunakan kulit biji sehingga terjadi hidratasi protoplasma. Setelah fase istirahat
berakhir, maka aktivitas metabolisme meningkat dengan disertai meningkatnya
aktivitas enzimatik dan respirasi. Di dalam aktivitas metabolisme, gibberellin yang
dihasilkan oleh embrio ditranslokasikan ke lapisan aleuron sehingga menghasilkan
enzim α amilase. Proses selanjutnya yaitu enzim tersebut masuk ke dalam cadangan
makanan dan mengkatalis proses perubahan cadangan makanan yang berupa pati
menjadi gula sehingga dapat menghasilkan energi yang berguna untuk aktivitas sel
dan pertumbuhan.
Gibberellin yang merupakan senyawa organik penting dalam proses
perkecambahan karena dapat mengaktifkan reaksi enzimatik di dalam benih, selain
disintesis secara alami dalam biji, juga terkandung di dalam bahan alami salah
satunya adalah air kelapa (Bey, 2005). Sehubungan dengan lamanya waktu yang
diperlukan biji untuk berkecambah, dan peranan gibberellin dalam memacu
perkecambahan biji, begitu juga dengan peran air kelapa dalam perkecambahan
maka dilakukan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pemberian giberelin dan
air kelapa terhadap perkecambahan biji kacang hijau (Phaseolus radiatus).
a.2 Rumusan Masalah
a. Apakah lama waktu perendaman biji kacang hijau (Phaseolus vulgaris)
dalam air kelapa berpengaruh terhadap kecepatan perkecambahannya?
b. Bagaimana pengaruh perendaman biji kacang hijau (Phaseolus vulgaris)
dalam air kelapa terhadap kecepatan perkecambahannya?
a.3 Hipotesis Penelitian
a. Perendaman biji kacang hijau (Phaseolus vulgaris) dalam air kelapa
berpengaruh terhadap kecepatan perkecambahannya
b. Jika semakin lama waktu perendaman biji kacang hijau (Phaseolus
vulgaris) dalam air kelapa maka waktu yang dibutuhkan untuk
berkecambah semakin singkat.
a.4 Tujuan
a. Memaparkan pengaruh lama waktu perendaman biji kacang hijau
(Phaseolus vulgaris) dalam air kelapa terhadap kecepatan
perkecambahannya.
b. Mendeskipsikan hubungan antara lama waktu perendaman biji kacang
hijau (Phaseolus vulgaris) dalam air kelapa terhadap waktu yang
dibutuhkan untuk berkecambah.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Hormon berasal dari bahasa Yunani yaitu “hormoein” yang berarti
menggiatkan, atau suatu substansi yang disintesis pada suatu organ yang pada
gilirannya merangsang terjadinya respons pada organ yang lain (Gardner, dkk.,
1991). Pada www. 360.yahoo.com , dijelaskan bahwa dengan menganalogikan
senyawa kimia yang terdapat pada hewan yang disekresi oleh kelenjar ke aliran
darah yang dapat mempengaruhi perkembangan bagian-bagian yang berbeda pada
tubuh, sinyal kimia pada tumbuhan disebut hormon pertumbuhan. Namun, beberapa
ilmuwan memberikan definisi yang lebih terperinci terhadap istilah hormon yaitu
senyawa kimia yang disekresi oleh suatu organ atau jaringan yang dapat
mempengaruhi organ atau jaringan lain dengan cara khusus. Berbeda dengan yang
diproduksi oleh hewan senyawa kimia pada tumbuhan sering mempengaruhi sel-
sel yang juga penghasil senyawa tersebut disamping mempengaruhi sel lainnya,
sehingga senyawa-senyawa tersebut disebut dengan zat pengatur tumbuh untuk
membedakannya dengan hormon yang diangkut secara sistemik atau sinyal jarak
jauh.
Hormon yang membantu pertumbuhan pada tanaman dikenal dengan
fitohormon atau substansi pertumbuhan tanaman atau pengatur pertumbuhan
tanaman (plant growth regulators = PGRs) (Gardner, dkk., 1991). Fitohormon
adalah senyawa organik bukan hara yang dihasilkan oleh tanaman yang dalam
konsentrasi tertentu dapat mendukung atau menghambat pembelahan sel serta
berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Abidin, 1989).
Konsep bahwa pertumbuhan dan perkembangan tanaman diatur oleh suatu
substansi yang dihasilkan dalam jumlah sangat sedikit, dalam suatu organ yang
menyebabkan suatu respon pada organ yang lain, pertama kali diajukan oleh Julius
von Sachss, bapak Fisiologi Tumbuhan, pada pertengahan abad ke-19.
Hormon tumbuh terdiri dari tiga group senyawa, yaitu auxin, gibberillin dan
sitokonin (Heddy, 1986). Selain itu diduga masih ada senyawa lainnya yang
mempunyai aktivitas yang sama seperti kelompok senyawa di atas, tetapi dengan
konsentrasi dan peranan yang kecil dalam fungsi fisiologis tumbuhan.
Gibberellin adalah jenis hormon tumbuh yang mula-mula diketemukan di
Jepang oleh Kurosawa pada tahun 1926. Penelitian lanjutan dilakukan oleh Yabuta
dan Hayashi (1939). Ia dapat mengisolasi crystalline material yang dapat
menstimulasi pertumbuhan pada akar kecambah. Dalam tahun 1951, Stodola dkk
melakukan penelitian terhadap substansi ini dan menghasilkan "Gibberelline A" dan
"Gibberelline X". adapun hasil penelitian lanjutannya menghasilkan GA1, GA2, dan
GA3.
Pada saat yang sama dilakukan pula penelitian di Laboratory of the Imperial
Chemical Industries di Inggris sehingga menghasilkan GA3. Nama Gibberellin acid
untuk zat tersebut telah disepakati oleh kelompok peneliti itu sehingga populer
sampai sekarang (Abidin, 1989).
Pada saat ini dilaporkan terdapat lebih dari 110 macam senyawa giberelin yang
biasanya disingkat sebagai GA. Setiap GA dikenali dengan angka yang terdapat
padanya, misalnya GA6 . Giberelin dapat diperoleh dari biji yang belum dewasa
(terutama pada tumbuhan dikotil), ujung akar dan tunas , daun muda dan cendawan.
Sebagian besar GA yang diproduksi oleh tumbuhan adalah dalam bentuk inaktif,
tampaknya memerlukan prekursor untuk menjadi bentuk aktif. Pada spesies
tumbuhan dijumpai kurang lebih 15 macam GA. Disamping terdapat pada tumbuhan
ditemukan juga pada alga, lumut dan paku, tetapi tidak pernah dijumpai pada
bakteri. GA ditransportasikan melalui xilem dan floem, tidak seperti auksin
pergerakannya bersifat tidak polar.
Asetil koA, yang berperan penting pada proses respirasi berfungsi sebagai
prekursor pada sintesis GA. Kemampuannya untuk meningkatkan pertumbuhan pada
tanaman lebih kuat dibandingkan dengan pengaruh yang ditimbulkan oleh auksin
apabila diberikan secara tunggal. Namun demikian auksin dalam jumlah yang sangat
sedikit tetap dibutuhkan agar GA dapat memberikan efek yang maksimal.
Sebagian besar tumbuhan dikotil dan sebagian kecil tumbuhan monokotil akan
tumbuh cepat jika diberi GA, tetapi tidak demikian halnya pada tumbuhan konifer
misalnya pinus. Jika GA diberikan pada tanaman kubis tinggi tanamannya bisa
mencapai 2 m. Banyak tanaman yang secara genetik kerdil akan tumbuh normal
setelah diberi GA.
Efek gibberellin tidak hanya mendorong perpanjangan batang, tetapi juga
terlibat dalam proses regulasi perkembangan tumbuhan seperti halnya auksin.
Pada beberapa tanaman pemberian GA bisa memacu pembungaan dan mematahkan
dormansi tunas-tunas serta biji.
Giberelin juga berperan penting dalam perkecambahan biji pada banyak
tanaman. Biji-biji yang membutuhkan kondisi lingkungan khusus untuk
berkecambah seperti suhu rendah akan segera berkecambah apabila disemprot
dengan gibberellin. Diduga gibberellin yang terdapat di dalam biji merupakan
penghubung antara isyarat lingkungan dan proses metabolik yang menyebabkan
pertumbuhan embrio. Sebagai contoh, air yang tersedia dalam jumlah cukup akan
menyebabkan embrio pada biji rumput-rumputan mengeluarkan gibberellin yang
mendorong perkecambahan dengan memanfaatkan cadangan makanan yang terdapat
di dalam biji. Pada beberapa tanaman, giberelin menunjukkan interaksi antagonis
dengan zat pengatur tumbuh lainnya misalnya dengan asam absisat yang
menyebabkan dormansi biji (www. 360.yahoo.com ).
Definisi perkecambahan menurut Copeland (1976) dalam Abidin (1989)
adalah the resumption of active growth by the embryo culminating in the
development of a young plant from the seed. Yang artinya aktivitas pertumbuhan
yang sangat singkat suatu embrio dalam perkembangan dari biji menjadi tanaman
muda. Perkecambahan biji bergantung pada imbibisi. Imbibisi merupakan
penyerapan air oleh biji. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses imbibisi
adalah temperatur, kelembapan lingkungan, permeablitas kulit biji, susunan kimia di
dalam biji dan lamanya biji di dalam kondisi lembab.
Hasil penelitian Haberladnt (1890) yang disitir oleh Copeland (1976)
menunjukkan bahwa hidrolasi pati dengan bantuan amylase terjadi pada titik tumbuh
embryo. Hasil penelitian berikutnya menunjukkan bahwa gibberellin sebagai hormon
tumbuh dihasilkan di dalam pucuk dan bermigrasi ke dalam lapisan aleuron.
Kehadiran gibberellin ini adalah untuk mengontrol aktivitas amylase (Abidin, 1989).
Pada air kelapa selain mengandung bahan makanan seperti asam amino, asam
organik, gula dan vitamin juga terkandung sejumlah hormon tumbuh yang dapat
memacu proses perkecambahan biji. Menurut Morel (1974) dalam Bey (2005), air
kelapa merupakan endosperm dalam bentuk cair yang mengandung unsur hara dan
zat pengatur tumbuh sehingga dapat menstimulasi perkecambahan dan pertumbuhan.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 19 sampai 20 Desember 2008 dengan
lokasi penelitian Jl. Surabaya No. 17, Malang.
3.2. Metodologi Penelitian
Penelitian dilakukan secara eksperimen menggunakan Rancangan Acak
Kelompok (RAK) dengan 5 level variabel bebas yaitu lama waktu
perendaman selama 0, 1, 3, 6 dan 9. Setiap perlakuan terdiri dari 5 ulangan
sehingga diperoleh 25 unit percoban.
3.3 Alat dan Bahan
Alat : - Wadah untuk merendam biji kacang hijau
- Kapas
- Gelas plastik
- Jam
Bahan : - Biji kacang hijau
- Air kelapa
- Air tawar.
3.3. Rancangan Penelitian
Hipotesis : Jika semakin lama waktu perendaman biji kacang hijau
(Phaseolus vulgaris) dalam air kelapa maka waktu yang
dibutuhkan untuk berkecambah semakin singkat.
Tabel 1. Diagram Desain Eksperimen
Varabel bebas : Waktu perendaman biji kacang hijau dalam air kelapa
0 jam 1 jam 3 jam 6 jam 9 jam
Kontrol 5 biji 5 biji 5 biji 5 biji
Variabel terikat : Kecepatan perkecambahan biji kacang hijau.
Kelompok kontrol : Biji kacang hijau yang direndam air tawar biasa.
Konstan : Volume air kelapa yang digunakan untuk merendam, jenis
kelapa yang diambil airnya, medium yang digunakan untuk
mengkecambahkan, lingkungan pengecambahan, perlakuan
pada biji.
Prosedur percobaan:
1. Menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.
2. Memilih biji kacang hijau dengan cara memasukkannya ke dalam air kemudian
mengambil biji yang tenggelam dan membuang biji yang terapung.
3. Merendam biji kacang hijau yang akan digunakan ke dalam air kelapa.
4. Setelah satu jam, mengambil 5 biji kacang hijau kemudian meletakkannya ke
dalam gelas plastik yang telah diisi dengan kapas yang telah dibasahi dengan air
tawar biasa.
5. Mengulangi langkah nomor 4 untuk biji yang telah direndam selama 3, 6 dan 9
jam.
6. Untuk kontrol, 5 biji kacang hijau tidak direndam dalam air kelapa namun
langsung diletakkan ke dalam gelas plastik yang telah diisi dengan kapas yang
telah dibasahi dengan air tawar biasa.
7. Mengamati perkecambahan dari biji-biji kacang hijau tersebut.
8. Mencatat selang waktu antara peletakkan biji kacang hijau tersebut pada media
pengecambahan dengan munculnya lembaga pada biji.
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1. Deskripsi Data
Tabel 2. Data Hasil Pengamatan
Waktu
Perendaman
(jam)
Ulangan
1 2 3 4 5
0 (kontrol) 16,00 jam 16,01 jam 16,13 jam 18,72 jam 19,10 jam
1 12,56 jam 12,68 jam 12,68 jam 12,68 jam 15,02 jam
3 9,37 jam 9,68 jam 13,78 jam 14,02 jam 16,62 jam
6 4,66 jam 4,66 jam 4,73 jam 7,85 jam 7,85 jam
9 4,05 jam 4,80 jam 6,05 jam 8,08 jam 8,17 jam
Tabel 3. Pengaruh Lama Perendaman Biji Kacang Hijau (Phaseolus vulgaris) dalam
Air Kelapa terhadap Kecepatan Perkecambahan
Informasi
Deskriptif
Waktu perendaman (jam)
0 jam 1 jam 3 jam 6 jam 9 jam
Rata-rata 17,19 13,12 12,70 5,95 6,23
Rentang
Maks
Min
3,10
19,10
16,00
2,46
15,02
12,56
7,3
16,67
9,37
3,19
7,85
4,66
4,12
8,17
4,05
Jumlah 5 5 5 5 5
Pengaruh Lama Perendaman Biji Kacang Hijau (Phaseolus vulgaris) dalam
Air Kelapa terhadap Kecepatan Perkecambahan dapat dilihat pada tabel 3.
Perkecambahan yang memerlukan waktu paling sedikit adalah pada
perendaman biji kacang hijau pada air kelapa selama 6 jam yang
membutuhkan waktu selama 5,96 jam, lebih cepat dari kontrolnya yaitu 0
jam yang membutuhkan waktu 17,19 jam. Sedangkan waktu perendaman
selama 1 jam dan 3 jam tidak berbeda jauh yaitu memerlukan waktu 13,12
jam dan 12,70 jam waktu perkecambahan.
Rentang terbesar terdapat pada 3 jam waktu perendaman biji kacang hijau
pada air kelapa yaitu 7,3 jam sedangkan rentang terkecil pada 1 jam waktu
perendaman biji kacang hijau pada air kelapa yaitu 2,46 jam.
Data mendukung hipotesis, kecuali pada waktu perendaman biji kacang
hijau selama 9 jam pada air kelapa, yakni semakin lama waktu perendaman
biji kacang hijau pada air kelapa semakin cepat waktu perkecambahan.
0 1 3 6 90
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Grafik 1. Pengaruh Lama perendaman Biji Kacang HijauPhaseolus vulgaris) terhadap Kecepatan Perkecambahan
Berdasarkan grafik di atas dapat disimpulkan bahwa semakin lama waktu
perendaman biji kacang hijau (Phaseolus vulgaris) dalam air kelapa maka waktu
yang dibutuhkan untuk berkecambah semakin singkat.
4.2. Pengujian Hipotesis
Tabel 4. Pengolahan Data Hasil Penelitian
lama perendaman (jam)w
aktu yang dibutuhkan untuk berkecam
bah (jam)
Ulanga
n
0 jam 1 jam 3 jam 6 jam 9 jam Jumlah
1 16,00 jam 12,56 jam 9,37 jam 4,66 jam 4,05 jam46,64
jam
2 16,01 jam 12,68 jam 9,68 jam 4,66 jam 4,80 jam47,83
jam
3 16,13 jam 12,68 jam 13,78 jam 4,73 jam 6,05 jam53,37
jam
4 18,72 jam 12,68 jam 14,02 jam 7,85 jam 8,08 jam61,35
jam
5 19,10 jam 15,02 jam 16,67 jam 7,85 jam 8,17 jam66,81
jam
Jumlah 85,96 jam 65,62 jam 63,52 jam 29,75 jam 31,15 jam 276 jam
Rata-
rata17,19 jam 13,12 jam 12,70 jam 5,95 jam 6,23 jam
Pengujian hipotesis dengan analisis varian dalam rancangan acak kelompok
(perhitungan terlampir) menghasilkan nilai seperti yang tercantum dalam tabel 5 di
bawah ini :
Tabel 5. Analisis Varian
SK Df JK KT F hitungF tabel
5 % 1 %
Ulangan
Perlakuan
Galat
4
4
16
6,7108
470,01628
18,64592
15,1777
117,50407
1,16537
100,8298395 3,01 4,77
Total 24 549,373
F hitung (100,8398395) > F tabel 0,05 (3.01). Jadi hipotesis nol ditolak dan
hipotesis penelitian diterima. Sehingga lama perendaman biji kacang hijau
(Phaseolus vulgaris) dalam air kelapa berpengaruh terhadap waktu yang dibutuhkan
untuk berkecambah.
Karena dengan uji chi-square lama perendaman biji kacang hijau (Phaseolus
vulgaris) dalam air kelapa berpengaruh terhadap waktu yang dibutuhkan untuk
berkecambah, maka dilakukan uji lanjut BNT (perhitungan terlampir) yang
menghasilkan nilai BNT sebesar 1,913.
Tabel 6. Uji Lanjut BNT
Perlakuan Rata-rata Notasi BNT
6 jam
9 jam
3 jam
1 jam
0 jam (kontrol)
5,95
6,23
12,70
13,12
17,19
a
a
b
b
c
Berdasarkan uji lanjut BNT diketahui bahwa perlakuan perendaman biji
kacang hijau dalam air kelapa selama 0 jam (kontrol) menghasilkan rata-rata waktu
perkecambahan yang paling lama dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya.
Perlakuan perendaman biji kacang hijau dalam air kelapa selama 6 jam
menghasilkan rerata waktu perkecambahan yang paling sedikit namun tidak berbeda
nyata dengan perlakuan perendaman selama 9 jam.
BAB V
PEMBAHASAN
Dari analisis data dapat diketahui hipotesis nihil ditolak dan hipotesis
penelitian diterima sehingga semakin lama waktu perendaman biji kacang hijau
(Phaseolus vulgaris) dalam air kelapa maka waktu yang dibutuhkan untuk
berkecambah semakin singkat. Berdasarkan uji lanjut BNT diketahui bahwa
perlakuan perendaman biji kacang hijau dalam air kelapa selama 6 jam
menghasilkan rerata waktu perkecambahan yang paling sedikit namun tidak berbeda
nyata dengan perlakuan perendaman selama 9 jam.
Perendaman biji kacang hijau dalam air kelapa dapat mengurangi waktu yang
dibutuhkan biji tersebut untuk berkecambah karena adanya kandungan hormon
pertumbuhan yaitu gibberellin pada air kelapa tersebut. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Bey (2005) bahwa peristiwa ini terjadi akibat adanya kandungan
gibberellin pada air kelapa yang merupakan senyawa organik penting dalam proses
perkecambahan karena dapat mengaktifkan reaksi enzimatik di dalam benih.
Air kelapa selain mengandung bahan makanan seperti asam amino, asam
organik, gula dan vitamin juga terkandung sejumlah hormon tumbuh yang dapat
memacu proses perkecambahan biji. Menurut Morel (1974) dalam Bey (2005), air
kelapa merupakan endosperm dalam bentuk cair yang mengandung unsur hara dan
zat pengatur tumbuh sehingga dapat menstimulasi perkecambahan dan pertumbuhan.
Pada hasil penelitian tersebut biji kacang hijau yang direndam pada air kelapa
selama 6 jam membutuhkan waktu perkecambahan yang paling sedikit dari yang
lainnya karena waktu perendaman tersebut dinilai paling efektif sehingga
dimungkinkan kandungan gibberellin yang diserap lebih banyak daripada lainnya.
Biji-biji yang membutuhkan kondisi lingkungan yang sesuai untuk berkecambah
akan lebih cepat berkecambah apabila diberi gibberellin. Diduga gibberellin yang
terdapat di dalam biji merupakan penghubung antara isyarat lingkungan dan proses
metabolik yang menyebabkan pertumbuhan embrio.
Hasil penelitian Haberladnt (1890) yang disitir oleh Copeland dalam tahun
1976 menunjukkan bahwa hidrolasi pati dengan bantuan amilase terjadi pada titik
tumbuh embryo. Hasil penelitian berikutnya menunjukkan bahwa gibberellin
sebagai hormon tumbuh dihasilkan di dalam pucuk dan bermigrasi ke dalam lapisan
aleuron. Kehadiran gibberellin ini adalah untuk mengontrol aktivitas amilase
(Abidin, 1989).
Dengan bertambahnya kandungan gibberellin pada biji kacang hijau akibat
perendaman dengan waktu yang sesuai dalam air kelapa, maka proses hirolisis pati
menjadi gula yang merupakan aktivitas yang berkaitan dengan proses penyediaan
energi bagi embrio untuk tumbuh, akan semakin cepat sehingga munculnya
lembaga pada biji kacang hijau juga akan semakin cepat.
Pada hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa pada operendaman biji
kacang hijau pada air kelapa selama 9 jam membutuhkan waktu yang lebih lama
daripada parendaman selama 6 jam namun lebih cepat daripada waktu perendaman
selama 3 jam. Hal ini disebabkan karena kandungan gibberellin yang diserap
melebihi batas konsentrasi optimum sehingga perkecambahan membutuhkan waktu
yang lebih lama. George dan Sherrington (1984) dalam Bey (2005) menyatakan
bahwa penggunaan zat pengatur tumbuh dalam kultur in vitro pada batas-batas
tertentu mampu merangsang pertumbuhan, namun dapat bersifat sebagai
penghambat apabila digunakan melebihi konsentrasi optimum.
BAB VI
PENUTUP
6.1. Kesimpulan
a. Perendaman biji kacang hijau (Phaseolus vulgaris) dalam air kelapa
berpengaruh terhadap kecepatan perkecambahannya
b. Semakin lama waktu perendaman biji kacang hijau (Phaseolus vulgaris)
dalam air kelapa maka waktu yang dibutuhkan untuk berkecambah
semakin singkat, kecuali pada waktu perendaman selama 9 jam. Pada
perendaman biji kacang hijau selama 6 jam membutuhkan waktu
perkecambahan yang paling singkat daripada perlakuan lainnya.
6.2. Saran
a. Untuk mendapatkan data yang lebih akurat, sebaiknya dilakukan
penelitian dengan jumlah sampel yang lebih besar serta lokasi penelitian
yang benar-benar dapat dikontrol sehingga faktor-faktor lain yang dapat
mempengaruhi waktu perkecambahan dapat dihomogenkan.
b. Agar data yang diperoleh lebih valid, sebaiknya peneliti menggunakan alat
bantu berupa perekam video untuk memantau munculnya lembaga pada
biji.
c. Sebaiknya dilakukan penelitian serupa dengan bahan lain yang diduga
juga mengandung gibberellin.
d. Peneliti lain dapat pula mengembangkan penelitian ini dengan mengganti
variabel bebas misalnya menjadi banyaknya air kelapa yang digunakan
untuk merendam atau menambah variabel terikatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2006. Peranan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) dalam Pertumbuhan dan
Perkembangan Tumbuhan (online)
(http://www.360.yahoo.com/aglodenium’s_blog/Peranan%Zat%Pengatur
%Tumbuh%(ZPT)%dalam%Pertumbuhan%dan%Perkembangan
%Tumbuhan diakses tanggal 23 Desember 2008)
Abidin, Z. 1987. Dasar-dasar Pengetahuan tentang Zat Pengatur Tumbuh.
Bandung:Angkasa
Abidin, Z. 1991. Dasar Pengetahuan Ilmu Tanaman. Bandung : Angkasa
Bey, Y. 2005. Pengaruh Pemberian Giberelin pada Media Vacint dan Went
terhadap Perkecambahan Biji Anggrek Bulan (Phalaenopsis amabilis BL)
secara In Vitro. Jurnal Biogenesis. Vol 1(2):57-61
Gardner, F.P., R. B. Pearce, Roger L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman
Budidaya. Jakarta : Universitas Indonesia Press
Heddy. 1986. Hormon Tumbuhan. Jakarta : Rajawali
Lampiran 1. Perhitungan pengujian hipotesis secara statistikal dengan analisis
varian dalam rancangan acak kelompok
JK total = ∑ Xij2 –(∑ Xij)2
n
= (16,002 + 16,012 + 16,132 + 18,722 + 19,102 + 12,562 + 12,682 + 12,682 + 12,682 15,022 + 9,372 + 9,682 + 13,782 + 14,022 + 16,672 + 4,662 + 4,662 + 4,732 + 7,852 + 7,852 + 4,052 + 4,802 + 6,052 + 8,082
+ 8,172) −2762
25
= 549,373
JK perlakuan = ∑ Xj2 –(∑ Xij)2
n
= 85,962 + 65,622 + 63,522 + 29,752 + 31,152 −2762
25
= 470,01628
JK ulangan = ∑ Xi2 –(∑ Xij)2
n
= 46,642 + 47,832 + 53,372 + 61,352 + 66,812 −2762
25
= 6,7108
JK galat = JK total – (JK perlakuan + JK ulangan)
= 549,373 – (470,01628 + 6,7108)
= 18,64592
KT perlakuan = JK perlakuan
n−I =
470,016284
= 117,50407
KT ulangan = JK ulangan
n−I =
6,71084
= 15,1777
KT galat = JK galat
n−I =
18,6459216
= 1,16537
F hitung = KT perlakuan
KT galat = 100,8298395
Lampiran 2. Perhitungan uji lanjut menggunakan BNT
BNT 0,05 = t 0,05 (db galat) × √ 2. KT galatr
= 2,1199 × √ 2.1,165375
= 2,1199 × 0,68275032
= 1,913510404
= 1,913