CONTOH MAKALAH

21
PENGGUNAAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL DALAM PEMBELAJARAN APRESIASI SASTRA DENGAN SUMBER BELAJAR NOVEL REMAJA Yuni Pratiwi 1. Pendahuluan Pembelajaran Apresiasi Sastra Indonesia telah puluhan tahun dilaksanakan di sekolah. Jika dilihat dari segi usianya, siapa pun tentu boleh berharap bahwa pembelajaran apresiasi sastra Indonesia seharusnya telah berkembang menjadi sosok dengan citra yang cukup dewasa. Pikiran dan tenaga beratus ribu guru mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia telah disumbangkan untuk mencapai target yang ditetapkan dalam kurikulum. Akan tetapi, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa guru masih menghadapi sejumlah masalah antara lain, minat siswa dalam belajar apresiasi sastra tidak sehebat minat belajar terhadap mata pelajaran lain seperti matematika, biologi, bahasa Inggris; sebagian guru menghadapi kesulitan memilih strategi pembelajaran yang dapat membangkitkan motivasi belajar, tidak tersedia teks sastra yang memadai untuk mendukung kegiatan pembelajaraan apresiasi, alokasi waktu tidak jelas, pengukuran hasil belajar belum sesuai dengan hakikat pembelajaran apresiasi sastra, dan kurang ada kepedulian

description

BIK

Transcript of CONTOH MAKALAH

Page 1: CONTOH MAKALAH

PENGGUNAAN PENDEKATAN KONTEKSTUALDALAM PEMBELAJARAN APRESIASI SASTRADENGAN SUMBER BELAJAR NOVEL REMAJA

Yuni Pratiwi

1. Pendahuluan

Pembelajaran Apresiasi Sastra Indonesia telah puluhan tahun dilaksanakan di

sekolah. Jika dilihat dari segi usianya, siapa pun tentu boleh berharap bahwa

pembelajaran apresiasi sastra Indonesia seharusnya telah berkembang menjadi sosok

dengan citra yang cukup dewasa. Pikiran dan tenaga beratus ribu guru mata pelajaran

Bahasa dan Sastra Indonesia telah disumbangkan untuk mencapai target yang

ditetapkan dalam kurikulum. Akan tetapi, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa

guru masih menghadapi sejumlah masalah antara lain, minat siswa dalam belajar

apresiasi sastra tidak sehebat minat belajar terhadap mata pelajaran lain seperti

matematika, biologi, bahasa Inggris; sebagian guru menghadapi kesulitan memilih

strategi pembelajaran yang dapat membangkitkan motivasi belajar, tidak tersedia teks

sastra yang memadai untuk mendukung kegiatan pembelajaraan apresiasi, alokasi

waktu tidak jelas, pengukuran hasil belajar belum sesuai dengan hakikat pembelajaran

apresiasi sastra, dan kurang ada kepedulian masyarakat untuk mendukung

terselenggarakannya kegiatan pembelajaran apresiasi sastra yang benar.

Kenyataan di atas, sangat kontras dengan hasil penelitian yang dilaporkan

sejumlah guru dari negara lain. Penelitian berjudul “A Gay-Themed Lesson in an

Ethnic Literature Curriculum: Tenth Graders’ Respones to “Dear Anita” yang

dilakukan oleh Steven Z. Athanases (1995) memberikan gambaran tentang kegiatan

kelas yang dilakukan siswa-guru dalam mengapresiasi karya sastra. Langkah-langkah

apresiasi yang dirancang secara cermat dengan mempertimbangkan pengalaman dan

kebutuhan hidup siswa dapat menumbuhkan motivasi belajar yang tinggi. Lebih dari

itu, kegiatan kelas yang dikembangkan dengan diskusi dan penulisan tugas akhir juga

memberikan kesempatan untuk berbagi pengalaman dan menggali pandangan yang

jernih terhadap masalah dalam teks sastra. Penelitian lainnya, berjudul “Cultural

Identity and Response to Literature: Running Lessons from Maniac Magee” yang

Page 2: CONTOH MAKALAH

dilakukan oleh Patricia Enciso (1994) menjelaskan bahwa teks sastra dapat menjadi

salah satu sumber vital yang dapat membantu menjadi penunjuk arah untuk

memahami manusia sebagai anggota sosial yang berbeda-beda. Karya sastra diyakini

dapat mengembangkan minat siswa untuk memahami dan merasakan empati terhadap

perbedaan manusia, waktu, dan dilema. Phyllis E. Within (1996) melakukan

penelitian dengan judul “Exploring Visual Response to Literature” memberikan

alternatif bahwa untuk menyatakan hasil analisisnya siswa dapat memanfaatkan

simbol-simbol non linguistik, misalnya gambar, sketsa, dan chart. Simbol-simbol

tersebut dimanfaatkan sebagai bahan diskusi. Dalam diskusi siswa berlatih untuk

mengorganisasikan pikiran-pikirannya dengan mengggunakan argumentasi yang

runtut dan jelas. Untuk itu, guru perlu membuat persiapan secara menyeluruh dan

teliti sehingga pembelajaran sastra dapat memberikan sumbangan yang berarti.

Masalah menumpuk dalam pembelajaran apresiasi sastra Indonesia

mengakibatkan ketidakmampuan pembelajaran apresiasi sastra Indonesia untuk

memberikan sumbangan bagi pertumbuhan dan perkembangan mental-spritual siswa.

Pembelajaran apresiasi sastra juga tidak siap mengantarkan siswa memasuki abad

kemajuan teknologi informasi. Padahal, kemajauan teknologi informasi telah

mengaburkan batas-batas geografis wilayah negara yang ditandai identitas budaya.

Pada saat ini yang terjadi bukan hanya akulturasi budaya beserta tatanilai yang

menyertainya, tetapi sudah merupakan peleburan budaya. Dalam kondisi tersebut,

pembelajaran apresiasi satra memiliki tugas melakukan pemberdayaan anak didik agar

tetap bertahan dalam perubahan tatanilai dalam masyarakat yang berlangsung amat

cepat. Pada masa depan, untuk bertahan ditengah gelombang perubahan selain

diperlukan power of reasoning, juga harus dilengkapi dengan power of culturing.

Raka Joni (1991) juga menegaskan bahwa siswa pada masa yang akan datang

diharapkan memiliki kemampuan answering questions, questioning answer, dan

questioning questions. Fungsi imperatif itu diharapkan mampu memasuki wilayah

cultural, education dan ideologi serta memberikan nilai-nilai etis di semua tingkatan

masyarakat.

Dilihat dari kacamata pendidikan nasional, isu mutakhir yang perlu

mendapatkan perhatian serius adalah membangun kehidupan dengan semangat moral

yang dilandasi demokrasi, kebebasan berpendapat, kejujuran, mengembangkan sikap

2

Page 3: CONTOH MAKALAH

toleransi dalam hidup, hukum sebagai panglima, maupun semangat reformasi menuju

masyarakat madani. Semiawan (2000: 4) menyatakan bahwa kekerasan dan benturan-

benturan sosial dapat dicegah sejak dini dengan mengedepankan kebersamaan dan

pluralitas, prinsip-prinsip toleransi, dan anti terhadap segala bentuk kekerasan. Selaras

dengan pendapat ini, melalui pembelajaran apresiasi sastra dapat dikembangkan

pemikiran bahwa anak dilahirkan seperti sehelai kertas putih yang siap ditulisi

pengalaman apresiasi yang membentuk pendidikan nilai moral. Pengalaman belajar

apresiasi sastra dapat memberikan sumbangan bagi siswa untuk membentuk dirinya

menjadi makhluk yang mengedepankan nilai moral, sehingga membantu siswa

mencapai point of arrival-nya sebagai manusia Indonesia bermoral.

2. Pembahasan2.1 Kedudukan Pendekatan Kontekstual dalam Sistem Pembelajaran Apresiasi

Sastra

Pendekatan kontekstual dapat dijelaskan sebagai suatu konsep mengajar dan

belajar yang membantu guru menghubungkan kegiatan dan materi pembelajaran

dengan situasi nyata yang dapat memotivasi siswa untuk dapat menghubungkan

pengetahuan dan terapannya dengan kehidupan sehari-hari siswa sebagai anggota

keluarga dan bahkan sebagai anggota masyarakat di mana siswa hidup (US

Departemen of Education, 2001).

Ketika gagasan pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning) mulai

mengemuka pada tahun1990-an, pandangan tokoh seperti Dewey (1918) dan

Vygotsky (1968 ) yang menekankan perlunya pemberian kesempatan kepada siswa

untuk menghubungkan kegiatan pembelajaran yang mereka alami dengan konteks

kehidupan siswa yang sesungguhnya mulai dikaji kembali. Moll (1993: 1) mengutip

pandangan Vygotsky yang menyatakan bahwa pendidikan bukan hanya berfokus pada

pengembangan aspek kogintif, tetapi juga sebagai aktivitas sosiokultural yang sangat

esensial. Mengikuti pendapat Vygotsky, Revière (1984) dalam Moll (1990)

melakukan observasi, dan melaporkan bahwa sekolah (dan juga situasi pendidikan

informal lainya) sebagai “laboratorium budaya” terbaik untuk belajar berpikir dengan

latar sosial yang secara khusus didesain untuk mengembangkan mengubah cara

berpikir. Misalnya, pembelajaran menulis, merupakan bentuk organisasi sosial

pembelajaran yang unik, perwujudan kerja sama anak (siswa) dengan orang dewasa

3

Page 4: CONTOH MAKALAH

(guru). Kerja sama tersebut merupakan elemen sentral dalam proses pendidikan dan

memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengalami pengembangan kemampuan

dalam sistem yang nyata. Hal tersebut sekaligus menunjukkan bahwa pembelajaran

memiliki kedudukan yang fundamental dalam aktivitas manusia. Kemampuan

mengajar dan manfaat dari pembelajaran berpengaruh pada perkembangan proses

psikologis siswa.

Pada kenyataannya, banyak siswa di sekolah mengalami kesulitan

menghubungkan pengetahuan yang telah dipelajarinya dalam kelas dengan cara-cara

memanfaatkan pengetahuan tersebut dalam kehidupan yang nyata (Teacher

Workshops Contextual Learning Resources, 2001). Kesulitan tersebut timbul karena

cara-cara yang digunakan untuk memproses informasi dan motivasi belajar tidak

mampu dijangkau dengan metode pengajaran tradisional. Dalam pengajaran dengan

metode tradisional, siswa mengalami saat-saat yang sulit untuk memahami konsep

akademik (misalnya memahami unsur intrinsik dalam fiksi), karena penjelasannya

sangat abstrak. Meskipun demikian, di dalam kelas siswa tetap didorong untuk

berusaha untuk memahami konsep tersebut meski tanpa menghubungkannya dengan

tempat kerja atau lingkungan sosial yang luas tempat mereka tinggal. Dalam

pengajaran tradisional, siswa diperkirakan telah menghubungkan sendiri sesuatu yang

dipelajarinya dengan dengan apa yang dimilikinya di luar kelas.

Pendekatan kontekstual berpandangan bahwa pengetahuan menjadi lebih

bermakna apabila pengetahuan tersebut dibangun melalui pengalaman belajar yang

menunut kemampuan berpikir kritis dan berhubungan dengan konteks kehidupan yang

nyata. Oleh karena itu, materi yang dipelajari siswa dalam kelas hendaknya

berhubungan kebutuhan yang nyata dalam konteks sehari-hari. Untuk mendukung

maksud tersebut, sekolah perlu mengembangkan lingkungan atau situasi pembelajaran

yang bersifat alamiah. Artinya, belajar akan lebih bermakna jika siswa mengalami dan

membangun sendiri pengetahuan yang dipelejarinya dan dapat menggunakannya

dalam kesempatan yang tepat. Tugas guru dalam pembelajaran kontekstual adalah

membantu siswa mencapai tujuannya.

Istilah-istilah yang digunakan pembahasan prinsip-prinsip pembelajaran dengan

pendekatan kontekstual telah dikenal sebelumnya melalui studi tentang

pendekatan,metode, atau teknik pembelajaran yang mempertimbangkan keterlibatan

4

Page 5: CONTOH MAKALAH

siswa dan konteks pembelajaran dalam pemrosesan informasi. Misalnya, pendekatan

komunikatif dalam pembelajaran bahasa menekankan pada latihan berbahasa dengan

memperhatikan fungsi dan konteks komunikasi dalam kehidupan yang nyata. Prinsip-

prinsip pokok dalam pendekatan kontektual yakni kontruktivisme, inquiry, bertanya,

masyarakat belajar, pemodelan, refeksi, dan penilaian autentik. Ketujuh prinsip

tersebut bersifat saling mendukung dalam pencapaian tujuan pembelajaran. Secara

visual ketujuh prinsip tersebut dapat digambarkan seperti berikut.

Gambar 1: Skema Prinsip-pinsip Pendekatan Kontekstual

Pendekatan kotekstual dikembangkan berdasarkan paradigma konstruktivisme.

Paradigma konstruktivisme berpandangan bahwa pengetahuan bersifat non-objektif,

temporer, dan selalu berubah. Paradigma ini menyikapi belajar sebagai usaha untuk

membangun pemahaman melalui aktivitas yang bersifat produktif dan kreatif. Belajar

berlangsung dalam proses interaksi antara pembelajar dengan lingkungan kehidupan

dan lingkungan sosial-budayanya. Kompetensi siswa terbentuk dari akumulasi

pengalaman belajar yang melibatkan elemen pengetahuan, sikap, dan ketrampilan.

Pengalaman belajar antara lain diperoleh dari kegiatan mendomenontrasikan

pemahaman, mendeskripsikan, mengidentifikasikan, menglasifikasikan,

menghubungkan, membandingkan, merencanakan, memilih tindakan, membuat

prediksi, dan mengambil keputusan.. Kompetensi siswa terbentuk melalui kegiatan

mandiri, kerja sama, partisipasi, dan pemberian bimbingan. Dalam proses

pembelajaran siswa melakukan pemahaman, penyesuaian, penghayataan,

5

INQUIRY KONTRUKTIVISME

BERTANYA

PENDEKATAN KONTEKSTUAL MASYARAKAT

BELAJAR

PEMODELANREFLEKSI PENILAIAN

AUTENTIK

Page 6: CONTOH MAKALAH

pengembangan, penciptaan melalui proses berpikir berkenaan dengan kenyataan-

kenyataan yang dipelajarinya.

Salah satu konsekuensi paling awal yang dihadapi dalam penggunaan

pendekatan kontekstual, yakni memikirkan pengembangan strategi pembelajaran.

Strategi pembelajaran selain menciptakan kesempatan yang seluas-luasnya bagi siswa

untuk membangun sendiri pengetahuan baru juga harus menumbuhkan motivasi yang

tinggi untuk memecahkan berbagai masalah. Lembaga penelitian pendidikan kejuruan

dan pendidikan orang dewasa di Amerika (US Departement of Education Office of

Vocational and Adult Education and National School-to-Work Office) mengusulkan

beberapa pikiran dasar untuk mengembangkan strategi belajar-mengajar seperti

berikut ini.

(1) Pendekatan kontekstual menekankan pada pentingnya pemecahan masalah.

(2) Kegiatan belajar dan mengajar dilakukan dalam berbagai konteks seperti di rumah,

di masyarakat, di tempat kerja.

(3) Kegiatan belajar dipantau dan diarahkan agar siswa dapat belajar mandiri.

(4) Mendorong siswa agar dapat belajar dengan temannya dalam kelompok atau

secara mandiri.

(5) Pelajaran menekankan pada konteks kehidupan siswa yang berbeda-beda.

(6) Menggunakan penilaian otentik.

Apabila gagasan yang dicetuskan oleh US Departement of Education Office of

Vocational and Adult Education and National School-to-Work Office dan Pearson

(2001) melalui Centre for Occupational Reseach, di atas diaplikasikan dalam

pembelajaran apresiasi sastra, maka dapat dikembangkan pemikiran bahwa strategi

pembelajaran apresiasi sastra dirancang dengan pendekatan kontekstual harus

memberikan kesempatan kepada siswa untuk berlatih memecahkan masalah yang

relevan dengan berbagai konteks seperti, di rumah, di masyarakat, di sekolah, dan

kemungkinan kelak jika siswa telah berada di tempat kerja. Untuk itu, berbagai

masalah kehidupan yang diketengahkan pengarang sastra dapat menjadi sumber

pelajaran bagi siswa. Siswa belajar tentang manusia dan kehidupannya, konflik-

konflik kehidupan, jalan pikiran, sikap, dan perilaku melalui tokoh dalam fiksi.

Tokoh-tokoh, peristiwa, setting budaya dalam fiksi memberikan gambaran

tentang bagaimana manusia membangun, mempertahankan, atau sebaliknya

6

Page 7: CONTOH MAKALAH

mengahancurkan pilar-pilar hakiki dari kehidupan yang berupa kebersamaan,

kepedulian dan empati, kerja sama, keteguhan hati, saling menolong, percaya diri,

kejujuran, kesabaran, tanggung jawab, dan toleransi, dan sebagainya. Kegiatan

membaca, diskusi, dan menulis tentang karya sastra yang dibacanya dapat menolong

siswa memiliki pemahaman yang lebih baik bagaimana makna teks dan bagaimana

teks sastra tersebut dimaknai (Beach dan Marshall, 1991: 17).

Pembelajaran apresiasi sastra dirancang untuk mengaktifkan siswa

memecahkan suatu masalah melalui kegiatan eksplorasi dan penemuan. Sastra

disikapi sebagai sumber data verbal yang dapat digunakan untuk memecahkan

masalah. Tugas guru adalah sebagai pembimbing dan pengalaman belajar apresiasi

sastra yang telah diperoleh hendaknya dapat ditransfer untuk memecahkan masalah

dalam situasi yang baru. Dengan demikian, siswa akan terus-menerus melakukan

ekspansi pengetahuan melalui proses belajar yang dialaminya.

Kedudukan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran apresiasi sastra dapat

digambarkan sebagai berikut.

Gambar 2: Kedudukuan Pendekatan Kontekstual dalam Sistem Pembelajaran Apresiasi Sastra

2.2 Memilih Profa Fiksi sebagai Sumber Pelajaran Apresiasi Sastra

7

Kompetensi Dasar

Indikator Hasil Belajar

Pengalaman Belajar

Evaluasi

Materi Pembelajaran:

Sumber Naskah Sastra

Pendekatan Kontekstual:

Strategi Skenario

PembelajaranKondisi Awal

Siswa

Konteks Sosial

Page 8: CONTOH MAKALAH

Dalam konteks pembelajaran, pertimbangan apakah yang perlu dipikirkan

dalam memilih prosa fiksi sebagai sumber pelajaran? Perrine (1983: 7) mengibaratkan

fiksi seperti halnya makanan. Dalam makanan, terdapat kandungan protein dan

vitamin, yang dapat membangun tulang dan daging. Di antara makanan tersebut, ada

yang memiliki rasa yang cocok, tetapi tidak begitu penting. Bahkan di antaranya, ada

yang mengandung bahan-bahan jelek, sehingga merusak kesehatan. Sudut pandang

dalam membeda-bedakan kandungan makanan ini dapat juga digunakan untuk sebagai

pertimbangan dalam fiksi sebagai sumber pelajaran. Fiksi hiburan (escape fiction)

memiliki dua sifat sebagaimana makanan. Jenis yang pertama, terdapat fiksi hiburan

yang sejak awal sudah jelas memperlihatkan diri sebagai fiksi hiburan. Fiksi ini tidak

menuntut pembaca untuk berpikir serius terhadap kisah dan pesan-pesan yang ada di

dalamnya.. Fiksi kelompok ini berisi kisah-kisah yang dikembangkan dari peristiwa

kehidupan nyata yang seringkali diolah menjadi peristiwa yang lebih fantastik,

menghibur, dan kemungkinan bersifat temporer. Dengan membaca karya-karya

semacam ini seseorang seringkali dapat melupakan problema kehidupan yang

sesungguhnya yang tengah dihadapi. Pengarang mengembangkan cerita sederhana,

misalnya seorang pemuda miskin yang tampan, cerdas, jujur, dan berwatak ksatria

tengah berjuang sebagai hero untuk menumpas kejahatan, ketamakan, kerakusan,

penindasan, dan pada akhirnya ia pun beruntung karena dicintai dengan setulus hati

oleh seorang putri jelita yang kaya raya. Tokoh tersebut seakan tak terkalahkan karena

nasib baik dan pertolongan selalu berpihak padanya. Pembaca tidak perlu berpikir

keras dalam membaca fiksi semacam ini dan lebih sering terlibat secara emosional

dalam mengikuti kisah yang dikembangkan pengarang.

Jenis yang kedua, tergolong fiksi yang dapat menyesatkan pembacanya.

Penampilan fiksi ini dari permukaan tampak seakan-akan menjanjikan sebuah terapi

terhadap hidup, tetapi sebenarnya tidak pernah berbicara tentang secara serius tentang

hidup, dan hanya berbicara hal-hal yang serba menyenangkan. . Apabila fiksi ini tidak

dibaca serius dan tanpa koreksi, justru dapat menimbulkan kesalahan pemahaman

terhadap realitas, sebab pengalaman seperti yang dikisahkan dalam fiksi itu tidak

pernah terjadi dalam kehidupan yang nyata.

Selain fiksi hiburan, pengarang tertentu mengkhususkan diri menulis karya

yang bersifat interpretatif (interpretaitive literature). Karya interpretatif ditulis

8

Page 9: CONTOH MAKALAH

dengan penghayatan dan kesadaran makna kehidupan yang luas dan mendalam. Karya

interpretatif memberikan penerangan tentang beberapa aspek kemanusiaan atau

tingkah laku manusia. Prosa fiksi interpretatif juga membukakan pandangan tentang

alam, gejala kejiwaan, dan kondisi kebedaraan manusia. Karya semacam ini

mengetengahkan kesadaran yang mendalam tentang kebiasaan-kebiasaan manusia

yang satu saat menjadi amat ramah dan pada waktu yang lain saling bermusuhan.

Kisah-kisah yang dikembangkan membantu pembaca memahami kehidupan manusia,

perilaku, dan eksistensinya.

2.3 Memanfaatkan Novel Remaja sebagai Sumber Pelajaran Apresiasi Sastra

Konsekuensi penggunaan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran apresiasi

sastra, yakni pembelajaran harus menyediakan kesempatan bagi siswa untuk

meningkatkan pengetahuan sambil mengembangkan kepribadian. Tugas guru yakni

mengembangkan pembelajaran apresiasi yang mendukung terciptanya kesempatan

belajar yang sebaik-baiknya. Pembelajaran apresiasi dikembangkan untuk

menyediakan kesempatan bagi siswa mengakomodasi dan mengasimilasikan

informasi, mengontruksi pengetahuan melalui proses interaksi, memecahkan masalah

melalui proses inkuiri, menemukan model, melakukan refleksi atas proses belajar

yang telah dan akan dilakukannya, dan merancang kegiatan lain untuk melakukan

ekspansi dan transformasi pemahaman moral yang telah diperolehnya.

Dalam pembelajaran apresiasi dengan pendekatan kontekstual, karya sastra

berperan sebagai salah satu sumber pelajaran dalam pembentukan manusia yang

mengedepankan semangat moral sebagai titik tolak dalam berpikir, bersikap dan

betindak. Perspektif yang dikembangkan dalam pengajaran sastra adalah menjadikan

siswa sebagai subjek pembelajaran. Siswa menjadi pelaku yang aktif mencari,

memikirkan, merenungkan, menghayati, dan menilai nilai-nilai moral yang

diperbincangkan oleh sastrawan dalam karyanya. Dengan demikian, siswa akan

menjadi individu yang memiliki dan menghargai nilai-nilai moral. Pemahaman atas

nilai moral mengantarkan siswa tumbuh menjadi manusia dewasa yang menjujung

tinggi martabat kemanusiaannya.

9

Page 10: CONTOH MAKALAH

Pembelajaran apresiasi sastra mengalami pemekaran makna, tidak sebatas pada

upaya penguasaan aspek-apek literer, melainkan sebagai upaya pendidikan nilai

moral. Pengalaman belajar memberikan pencerahan batin kepada siswa untuk

memahami diri sendiri, orang lain, alam semesta, dan Tuhan. Nilai moral merupakan

abstraksi metafisik berdasarkan filsafat atau etika tertentu untuk mengembangkan dan

menjelaskan implikasi nilai moral tersebut secara empiris dalam berbagai situasi.

Apresiasi nilai moral menumbuhkan kesadaran bahwa terdapat kewajiban moral

(oughtness) pada tiap-tiap keputusan dalam kehidupan, dan pengingkaran terhadap

kewajiban tersebut membawa sanksi secara langsung atau tidak langsung. Di sinilah

pentingnya pendidikan untuk melakukan hibridasi terhadap local wishdom atau

kearifan lokal yang telah lama dimiliki masyarakat kita sejak zaman dahulu. Guru

sejak awal bertugas mendeskripsikan, mengidentifikasi, menglasifikasi, memilih, dan

memutuskan budaya dan nilai yang perlu dipelajari siswa.

Dalam Garis-Garis Beasar Haluan Negara 1999-2004, Bab IV Arah Kebijakan,

pada butir E tentang Pendidikan dinyatakan, bahwa pemerintah berusaha

memberdayakan lembaga pendidikan sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat

pembudayaan nilai, sikap, dan kemampuan, serta meningkatkan partisipasi keluarga

dan masyarakat yang didukung oleh sarana dan parasarana memadai. Pemerintah

berusaha mewujudkan rencana tersebut antara lain dengan memberikan kedudukan

pembelajaran apresiasi sastra sebagai sarana dalam pertumbuhan mental dan

kepribadian siswa. Hal tersebut tercermin pada rumusan tujuan pengajaran sastra,

yakni siswa mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk

mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan

ilmu pengetahuan, dan kemampuan berbahasa (GBPP BI, 1994:10). Dalam draft

Kurikulum 2004 pada bagian pendahuluan dinyatakan secara tegas bahwa hakikat

belajar sastra adalah belajar tentang manusia dan nilai-nilai nilai kemausiaannya.

Pernyataan-pernyataan tersebut mengisyaratkan bahwa kegiatan pembelajaran, karya

sastra disikapi sebagai wacana tentang manusia dan kehidupannya. Demikian pula

sastra dipandang sebagai social stock of konowledge (Dhakidae dalam Sayuti, 1999:

38) sehingga memungkinkan siswa memahami dan menghayati berbagai masalah

kehidupan.

10

Page 11: CONTOH MAKALAH

Dalam pembelajaran apresiasi sastra, siswa bukanlah individu yang berada di

luar dunia yang dibangun pengarang, melainkan terlibat dalam berbagai masalah yang

dibicarakan pengarang. Siswa diberi kesempatan yang luas dan suasana yang

menyenangkan untuk mengenal, memahami, menghayati nilai yang terkandung dalam

karya sastra. Interaksi siswa dengan karya sastra memungkinkan terjadinya

kontemplasi dan refleksi yang berlangsung secara kritis dan kreatif, sehingga terjadi

proses internalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam teks. Pada akhirnya,

pemahaman terhadap nilai-nilai yang terdapat dalam teks sastra tersebut dimanfaatkan

untuk mengembangkan pengetahuan dan pemahaman tentang manusia dan

kehidupannya, menentukan sikap dan pilihan niali untuk meningkatkan martabatnya.

Sastra merupakan salah satu bentuk refleksi semangat moral suatu bangsa. Jika

sebuah karya sastra mendapat tanggapan dan penghargaan yang mendalam dari suatu

khalayak, maka tanggapan dan penghargaan itu tidak semata-mata tertuju pada karya

tersebut, melainkan juga pada bangsanya. Kebermaknaan nilai-nilai moral yang

ditawarkan bagi setiap individu mampu menembus batas-batas geografis, waktu, dan

ciri-ciri pengenal yang bersifat formal. Karya-karya besar ditulis dari proses

pencerapan dan kontemplasi moral yang matang. Masyarakat sendirilah yang akan

yang akan mendokumentasikan muatan nilai moral pada karya fiksi semacam ini.

Perhatikan gambar berikut..

Gambar 3: Penggunaan Pendekatan Kontekstual untuk Pendidikan Nilai Moral

11

Norma Moral

l

Norma hukum

Norma Sopan santun

ASPEK LITERER

TEKS SASTRA

PENDEKATAN KONTEKSTUAL

Page 12: CONTOH MAKALAH

Dalam novel remaja dapat ditemukan perikehidupan remaja yang tentu saja lebih

akrab dengan pembaca kalangan remaja. Dalam “Eiffel, I’m in Love” (selanjutnya

akan disingkat Eiffel), misalnya, dapat ditemukan dunia remaja ketika ia berada di

sekolah, di jalan ketika pulang dari sekolah, percakapan di luar kelas ketika mereka

membincangkan guru yang disukai/tidak disukai, keresahan mereka ketika

dikungkung oleh orang tua yang menurut mereka “kolot” karena anaknya tidak boleh

berpacaran, dan sebagainya. Aspek-aspek yang sangat sangat kontekstual bagi

kalangan remaja ini merupakan “modal dasar” untuk mengakrabkan remaja dengan

karya sastra yang dibacanya. Dalam pembelajaran apresiasi sastra pembahasan tentang

tokoh, urutan peristiwa, latar cerita, tema yang dihubungkan dengan relatitas

kehidupan remaja akan menjadi lebih bermakna.

Pemanfaatan novel remaja sebagai sumber pelajaran dapat dirancang dalam

dengan strategi dan skenario yang melibatkan siswa dalam bentuk aktivitas sosial-

kemasyarakatan misalnya, reportase, debat, sarasehan, representasi-visaul, penulisan

dan pementasan fragmen drama, wawancara, dan lomba penulisan esai dan kritik

sastra. Dengan demikian, analisis aspek-aspek literer hanyalah sebagai titian untuk

mencapai tujuan pembelajaran yang lebih bermakna. Tugas-tugas yang variastif dan

partisipatif menghindarkan siswa dari situasi rutin analisis teks sastra.

3. Penutup

Pendekatan kontekstual dapat digunakan sebagai dasar pemilihan strategi dan

skenario pembelajaran apresiasi sastra. Pendekatan kontekstual menyediakan

kesempatan bagi siswa membangun pengetahuan bermakna melalui kegiatan

pemecahan masalah, kerja sama, partisipasi, pemberian contoh, bimbingan, serta

refleksi. Lebih dari itu, pengetahuan dibangun dengan mempertimbangkan relevansi

dan fungsinya dengan kehidupan yang nyata. Sesuai dengan hakikat pembelajaran

apresiasi sastra, pengetahaun yang dibangun dalam pembelajaran apresiasi sastra

yakni untuk memahami kehidupan dan manusia. Dalam lingkup yang lebih khusus,

pembelajaran apresiasi sastra dapat memanfaatkan novel remaja yang sekaligus dapat

difungsikan sebagai media pendidikan nilai moral.

RUJUKAN

12

Page 13: CONTOH MAKALAH

Beach,, R. dan Marshall, J. 1990. Teaching Literature in the Secondary School. San Diego: Harcourt Brace Javanovich, Publisher.

Clymer, T. Tanpa tahun. “10 Ways to Recognize Great Childrens Literature”. Dalam Burdet, S. & Ginn (Ed.). Star-Walk. California: World of Reading.

Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kurikulum Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia SLTP. Jakarta: Depdiknas.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1993. Garis-Garis Besar Program Pengajaran Mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta: Depdikbud.

Enciso, Patricia. 1994.Cultural Identity and Response to Literature: Running Lessons from Maniac Magee. Language Art. Vol. 71, November 1994

Falikowski, A. 1990. Moral Philosophy. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Harris, A. 1976. Teaching Morality and Religion. London: George Allen & Unwin Ltd.

Johnson, E.B. 2002. Contextual Teaching and Learning. California: Corwin Press, Inc.

Joyce, B.; Weit, M.; Showers, B. 1992. Models of Teaching. Boston: Allyn and bacon.

Mool, L.C (Ed.)., 1993. Vygotsky and Education. New York: Cambridge University Press.

Perrine, L.. 1983. Story and Structure. New York: Harcourt Brace Jovanovich, Publisher

Semiawan, C. 2000. Kebijakan Pendidikan Dasar Menengah Masyarakat Indonesia Baru. Makalah disajikan dalam Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia. Universitas Negeri Jakarta, Jakarta, 19-22 September 2000.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Whitin. P.E. 1996. Exploring Visual Response to Literature. Research in the Teaching of English, Halaman 114-141.

13