contoh makalah PAI

download contoh makalah PAI

of 17

Transcript of contoh makalah PAI

contoh makalah PAISENIN, 12 MARET 2012

REVOLUSI ILMU PENGETAHUAN SERTA DAMPAKNYA TERHADAP PEMIKIRAN ISLAM DAN PENDIDIKAN ISLAMREVOLUSI ILMU PENGETAHUAN SERTA DAMPAKNYA TERHADAP PEMIKIRAN ISLAM DAN PENDIDIKAN ISLAM Penulis: Muhammad Syarif NIM: 201010290211003 PENDAHULUAN Sains merupakan bidang ilmu yang sangat menarik untuk dikaji, dan tentu saja selalu dibutuhkan oleh semua orang. Mengapa tidak, karena setiap kita lihat dan mengamati dari semua lini kehidupan hamper tidak ada satu noktahpun yang tidak disentuh ataupun dirasakan oleh manusia, terutama sekali implikasi dan aplikasinya dalam bentuk tekhnologi. Munculnya sains/tekhnologi semacam itu tidak terlepas dari dobrakan yang dilakukan oleh para tokoh ilmuwan (kerap disebut sebagai pemberontakkan terhadap positivisme)[1] seperti Thomas Samuel Kuhn yang menolak paham masa lalu yang beranggapan bahwa setiap bentuk ilmu pengetahuan berawal dari pengalaman dan ilmu pasti dan menolak adanya ilmu metafisika. Thomas S. Kuhn merupakan ilmuwan yang berjasa dalam memberikan kontribusi yang besar untuk mengubah cara pandang lama (The old Story) ke pemikiran yang betulbetul mengubah tradisi tersebut dengan sebuah Paradigma baru (The new Story) dengan salah satu teori terkenalnya yaitu teori kuantum. Thomas S. Kuhn mula-mula meniti karirnya sebagai ahli fisika yang mendalami sejarah Ilmu, dan lewat tulisannya The Strukture of Scientific Revolutions (1962), ia dengan gigihnya menganjurkan agar setiap sikap untuk selalu berguru pada sejarah ilmu karena titik pangkal dari segala bentuk penyelidikan berawal dari sejarah masa lalu yang harus dikaji dan dirombak dengan suatu gagasan baru melalui revolusi ilmiah.[2] Dalam The structure of Science Revolution, Kuhn menggunakan paradigma dalam dua pengertian. Di satu pihak paradigma berarti keseluruan konstelasi kepercayaan, nilai, teknik yang dimiliki bersama oleh anggota masyarakat ilmiah tertentu. Di pihak lain paradigma menunjukan sejenis unsur dalam konstelasi itu dan pemecahan teka-teki yang kongkrit yang jika digunakan sebagai model, pola, atau contoh dapat menggantikan kaidahkaidah yang eksplisit sebagai dasar bagi pemecahan permasalahan dan teka-teki normal sains yang masih tersisa. Revolusi adalah proses menjebol tatanan lama sampai ke akar-akarnya, kemudian menggantinya dengan tatanan yang baru. Begitu juga yang di maksud dengan revolusi sains atau revolusi sains muncul jika paradigma yang lama mengalami krisis dan akhirnya orang mencampakkannya serta mencita-gunakan paradigma yang baru yang sekiranya lebih rasional dan logis. Dulu misalnya, orang hanya mengetahui hanya ada lima planet di cakrawala kita. Kemudia dengan laju-pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka ditemukan kembali tiga planet baru dan ribuan planet kecil, hal ini mengindikasikan bahwasanya kemajuan dari aspek astronomi kian pesat.

Setiap masyarakat yang beradap sekarang percaya bahwa bumi dengan semua anggota tata surya beredar mengelilingi matahari, padahal semula orang beranggapan, bahwa bumilah pusat alam semesta. Semua benda angkasa beredar mengelilingi bumi. Inilah yang di sebut revolusi astronomi. Transformasi-transformasi paradigma semacam ini adalah revolusi sains, dan transisi yang berurutan dari paradigma yang satu ke paradigma yang lainnya melalui revolusi yang mengakibatkan timbulnya suatu dampak yang sangat luar biasa adalah pola perkembangan yang biasa dari sains yang telah matang. Menurut Khun, ilmu dapat berkembang maju dalam pengertian tertentu, jika ia tidak dapat mencapai kesempurnaan absolud dalam konotasi dapat dirumuskan dengan definisi teori. Oleh karena itu ia memandang bahwa ilmu itu berkembang secara open-endend atau sifatnya selalu terbuka untuk direduksi dan dikembangkan. PEMBAHASAN Anomali dan munculnya penemuan Sains Pandangan Thomas Samuel Kuhn tentang perkembangan Ilmu Kuhn melihat adanya kesalahan-kesalahan fondamental tentang image atau konsep ilmu yang telah dielaborasi oleh kaum filsafat ortodoks, sebuah konsep ilmu yang dengan membabi-buta mempertahankan dogma-dogma yang diwarisi dari Empirisme dan Rasionalisme klasik. Dalam teori Kuhn, faktor Sosiologis Historis serta Phsikologis mendapat perhatian dan ikut berperan. Kuhn berusaha menjadikan teori tentang ilmu lebih cocok dengan situasi sejarah. Pada stage ini terdapat persetujuan yang kecil bahkan tidak ada persetujuan tentang subjeck matter, problem-problem dan prosedur di antara para ilmuwan yang bersaing, karena tidak adanya suatu pandangan tersendiri yang diterima oleh semua ilmuan tentang suatu teori (fenomena), maka aktivitas-aktivitas ilmiah pada stage ini dilakukan secara terpisah dan tidak terorganisir. Sejumlah aliran yang bersaing, kebanyakan diantara mereka mendukung satu atau lain varian dalam teori tertentu, misalnya tentang sifat cahaya. Teori Epicurus, teori Aristoteles, atau teori Plato, satu kelompok menganggap cahaya sebagai partikel-partikel yang keluar dari benda-benda yang berwujud; bagi yang lain cahaya adalah modifikasi dari medium yang menghalang di antara benda itu dan mata; yang lain lagi menerangkan cahaya sebagai interaksi antara medium dan yang dikeluarkan oleh mata[3] di samping itu ada kombinasi dan modifikasi lain yang masing-masing aliran mendukung teorinya sendirisendiri. Sehingga sejumlah teori boleh dikatakan ada sebanyak jumlah pelaksanaannya di lapangan dan setiap ahli teori itu merasa wajib memulai dengan yang baru dan membenarkan pendekatannya sendiri. Walaupun aktivitas ilmiah masing-masing aliran tersebut dilakukan secara terpisah, tidak terorganisir sesuai dengan pandangan yang dianut, hal ini tetap memberikan sumbangan yang penting kepada jumlah konsep, gejala, teknik yang dari padanya suatu paradigma tunggal akan diterima oleh semua aliran-aliran ilmuan tersebut, dan ketika paradigma tunggal diterima, maka jalan menuju normal science mulai ditemukan. Dengan kemampuan paradigma dalam membanding penyelidikan, menentukan teknik memecahkan masalah, dan prosedur-prosedur riset, maka ia dapat menerima (mengatasi) ketergantungan observasi pada teori. Sains dalam perspektif Historis Ilmuwan seperti Issac Newton ataupun Galileo Galilei merupakan salah satu ilmuwan yang membangkitkan gairah para ilmuwan yang memiliki keyakinan adanya paradigma yang harus dibangun untuk membuktikan teori-teori sebelumnya. Para ilmuwan seperti

Thomas S. Kuhn memiliki suatu anggapan bahwa Newton ataupun Galilei memperbaharui ilmu. pengetahuannya tanpa dukungan dan pengaruh dari factor-faktor lainnya. Sehingga terciptalah sebuah keyakinan bahwa mereka seakan bekerja secara individual dan tanpa berbuat kesalahan.[4] Dalam hal ini, para ilmuwan mulai mengamati dan mengkaji keadaan tersebut dengan kritis, sehingga mendapatkan suatu kesimpulan dan pembuktian terhadap teori-teori klasik (Newton dan Galilei) ternyata banyak melakukan kesalahan dalam praktek ilmiahnya. Dalam kegiatan ilmunya, mereka hanya menggunakan cara kerja yang tidak sesuai dengan criteria kerja ilmiah yang ideal. Kalaupun mereka melakukan eksperimen-eksperimen, itu dimaksudkan untuk mendukung kesimpulan yang telah dibuatnya terlebih dahulu secara a priori. Bahkan Newton membuat hipotesis tanpa dasar empiris apapun.[5] Para stage ini, tidak terdapat sengketa pendapat mengenai hal-hal fundamental di antara para ilmuan sehingga paradigma tunggal diterima oleh semuanya. Dan hal inilah merupakan ciri yang membedakan antara normal science dan pra science. Paradigma tunggal yang telah diterima tersebut dilindungi dari kritik dan falsifikasi sehingga ia tahan dari berbagai kritik dan falsifikasi. Paradigma yang membimbing eksperimen atau riset ilmiah tersebut memungkiri adanya definisi yang ketat, meskipun demkian, didalam paradigma tersebut tercakup : Beberapa komponen tipikal yang secara eksplisit akan mengemukakan hukum-hukum dan asumsi-asumsi teoritis. Dengan demikiann, hukum gerak Newton membentuk sebagian paradigma Newtonian. Dan hukum persamaan Maxwell merupakan sebagian paradigma yang telah membentuk teori elektromagnetik klasik. Beberapa cara yang baku dalam penggunaan hukum-hukum fundamental untuk berbagai tipe situasi, beberapa instrumentasi dan teknik-tekniknya yang diperlukan untuk membuat agar hukum-hukum paradigma itu dapat bertahan dalam dunia nyata dan di dalam paradigma itu sendiri, beberapa prinsip metafisis yang sangat umum yang membimbing pekerjaan di dalam suatu paradigma, bebrapa keterangan metodologis yang sangat umum yang memberikan cara pemecahan teka-teki science. Normal science melibatkan usaha terperinci dan terorganisir untuk menjabarkan paradigma dengan tujuan memperbaiki imbangannya dengan alam (fenomena) dengan memecahkan teka-teki science, baik teka-teki teoritis maupun teka-teki eksperimental. Tekateki teoritis (dalam paradigma Newtonian) meliputi perencanaan teknik matematik untuk menangani gerak suatu planet yang tergantung pada beberapa gaya tarik dan mengembangkan asumsi yang sesuai untuk penterapan hukum Newton pada benda cair. Teka-teki eksperimental meliputi perbaikan keakuratan observasi dan pengembangan teknik eksperimen sehingga mampu menghasilkan pengukuran yang dapat dipercaya. Tanggapan Kuhn terhadap Krisis Revolusi Walaupun sasaran normal adalah memecahkan teka-teki science dan bukan mengahsilkan penemuan-penemuan baru yang konseptual, gejala-gejala baru dan tidak terduga berulangkali muncul dan tersingkap oleh ilmiah tersebut yang diikuti dengan munculnya teori-teori baru. Apabila hal-hal baru yang terungkap tersebut tidak dapat diterangkan oleh paradigma dan kelainan-kelainan antara teori dan fakta menimbulkan problem yang gawat, dan anomalianomali tersebut secara fundamental menyerang paradigma maka dalam keadaan demikian, kepercayaan terhadap paradigma mulai goyah yang kemudian terjadilah keadaan krisis yang berujung pada perubahan paradigma (revolusi). Anomali dipandang sebagai hal serius yang dapat menggoyahkan paradigma jika anomali tersebut :

a) Menyerang hal-hal yang paling fundamental dari suatu paradigma dan secara gigih menentang usaha para ilmuan normal science untuk mengabaikannya. b) Mempunyai arti penting dalam kaitannya dengan beberapa kebutuhan masyarakat yang mendesak. Krisis dapat diasumsikan sebagai pra kondisi yang diperlukan dan penting bagi munculnya teori-teori baru. Pada stage ini diantara para ilmuan normal science terjadi sengketa filosofis dan metafisis. Mereka membela penemuan baru dengan argumen-argumen filosofis yang dipandang dari sudut paradigma. Walaupun kemungkinan mereka kehilangan kepercayaan dan kemudian mempertimbangkan beberapa alternatif, mereka tidak meninggalkan paradigma yang telah membawa mereka kedalam krisis begitu saja. Sampai diterimanya suatu paradigma baru yang berbeda dari paradigma semula. Setiap krisis selalu diawali dengan penngkaburan paradigma serta pengenduran kaidah-kaidah riset yang normal, sebagai akibatnya paradigma baru (paradigma rival) muncul, setidak-tidaknya sebagai embrio, sebelum krisis berkembang lebih jauh atau telah diakui dengan tegas. Setiap paradigma yang bersaing akan memandang dunia ini terbuat dari berbagai macam hal yang berlainan dan masing-masing paradigma tersebut akan melibatkan standar yang berlainan dan bertentangan dalam memandang dunia. Paradigma Aristotelian melihat alam semesta ini terbagi menjadi dua dunia yang berlainan, dunia super-lunar (yang abadi dan tidak berubah-ubah) dan dunia sub-lunar (yang bisa musnah dan berubah-ubah). Paradigma yang muncul berikutnya melihat alam semesta terbuat dari bahan-bahan material yang sama. Kuhn beragumentasi bahwa, para penyususn paradigma baru (paradigma rival) hidup di dalam dunia yang berlainan. Oleh karena itu, dalam diskusi dan adu argumen antara pendukung paradigmayang bersaing tersebut adalah untuk mencoba meyakinkan dan bukan memaksakan paradigma. Sebab tidak ada argumen logis yang murni yang dapat mendemontrasikan superioritas satu paradigma atas lainnya, yang karenanya dapat memaksa seorang ilmuan yang rasional untuk melakukan perpindahan paradigma. Peristiwa perubahan kesetiaan para ilmuan individual dari satu paradigma ke paradigma lain disamakan oleh Kuhn dengan Gestalt Switch (perpindahan secara keseluruhan atau tidak sama sekali). Juga disamakan dengan religious conversion (pertukaran agama). Proses peralihan komunitas ilmiah dari paradigma lama ke paradigma baru yang berlawanan inilah yang dimaksud oleh Kuhn sebagai revolusi science. Oleh karena itu, menurut Kuhn, perkembangan ilmu itu tidak secara komulatif dan evolusioner tetapi, secara revolusioner, yakni membuang paradigma lama dan mengambil paradigma baru yang berlawanan dan bertentangan. Paradigma baru tersebut dianggap dan diyakini lebih memberikan janji atas kemampuannya memecahkan masalah untuk masa depan. Melalui revolusi science inilah menurut Kuhn dalam sebuah tulisannya yang dikutip Tjun Surjaman bahwa revolusi sains dianggap sebagai episode perkembangan nonkomulatif yang di dalamnya paradigma yang lama diganti seluruhnya atau sebagian oleh paradigma baru yang bertentangan.[6] Dengan kata lain, dengan paradigma baru para pengikutnya mulai melihat subjek maler dari sudut pandang yang baru dan berbeda dengan yang semula, dan teknik metodologinya lebih unggul dibanding paradigma klasik dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Berdasarkan paradigma baru inilah tradisi ekstra ordinari science dilakukan oleh para komunitas ilmuan yang mendukungnya dan sampai pada tahap tertentu dapat meyakinkan

para pendukung paradigma klasik tentang keberadaan paradigma baru yang lebih mendekati kebenaran dan lebih unggul dalam mengatasi science di masa depan. Menurut Kuhn, tidak ada paradigma yang sempurna dan terbebas dari kelainankelainan (anomali), sebagai konsekwensinya ilmu harus mengandung suatu cara untuk mendobrak keluar dari satu paradigma ke paradigma lain yang lebih baik, inilah fungsi revolusi tersebut. Dampak Revolusi terhadap pemikiran Islam dan Pendidikan Islam Konsep Kuhn tentang sains yang normal yang terdapat dalam bukunya The Structure Of Scientific Revolution yang berpusat pada paradigma, telah mendobrak adanya citra suatu pencapaian ilmiah yang absolut, atau suatu yang mempunyai kebenaran seakan-akan suigeneris dan objektif. Kuhn menyatakan (Teori Kuantum) bahwa, pengetahuan tidak terlepas dari ruang dan waktu, serta menyanggah adanya pendirian posivitistik dan pendekatan yang dilakukan secara rasionalistik.[7] Konsep dan pandangan Kuhn tentang science progres tersebut memungkinkan terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat dengan revolusi besar menuju ke arah yang makin mendekati suatu kesempurnaan dan lebih sesuai dengan kondisi sejarah dan zaman. Dengan konsep paradigmanya yang fleksibel dan tidak ketat di satu sisi, mampu mendukung adanya tradisi-tradisi ilmiah dan melepaskan adanya ketergantungan observasi pada teori. Di sisi lain, sifat paradigma yang tidak sempurna dan tidak terbebas dari anomalianomali, mampu mendorong terjadinya suatu revolusi science dan mencapai kemajuan ilmu pengetahuan yang pesat (Ilmu umum dan Ilmu Agama). Paradigma lahir menurut zamannya Setiap paradigma yang muncul adalah diperuntukkan mengatasi dan menjawab tekateki atau permasalahan yang dihadapi pada zaman tertentu. Jika mengikuti pendapat Kuhn, bahwa ilmu pengetahuan itu terikat oleh ruang dan waktu, maka sudah jelas bahwa suatu paradigma hanya cocok dan sesuai untuk permasalahan yang ada pada saat tertentusaja. Sehingga apabila dihadapkan pada permasalahan berbeda dan pada kondisi yang berlainan, maka perpindahan dari satu paradigma ke paradigma yang baru yang lebih sesuai adalah suatu keharusan. Sebagaimana dalam ilmu-ilmu sosial yang berparadigma ganda, usaha-usaha dalam menemukan paradigma yang lebih mampu menjawab permasalahan yang ada sesuai perkembangan zaman terus dilakukan. Perpaduan antara paradigma fakta sosial, paradigma perilaku sosial, dan paradigma definisi sosial yang masing-masing mempunyai perbedaan dan berlawanan diformulasikan dalam suatu paradigma yang utuh yang dapat memecahkan permasalahan yang lebih kompleks seiring dengan perkembangan zaman. Dari hal tersebut mencerminkan adanya suatu kemajuan dalam bidang tertentu jika terjadi revolusi-revolusi yang ditandai adanya perpindahan dari paradigma klasik ke paradigma baru. Aplikasi paradigma dalam pemikiran islam Mungkinkah revolusi yang ditandai konversi paradigma tersebut terjadi dalam ilmuilmu agama? Pertanyaan itu paling tidak mengingatkan kita pada sejarah penetapan hukum oleh salah satu imam mazhab empat yang terkenal dengan qaul qadim dan jadidnya. Adanya perubahan (revolusi) tersebut terjadi karena dihadapkan pada perbedaan varian kondisi ruang dan waktu. Berpijak pada hal tersebut dan pola yang dikembangkan Kuhn maka sudah menjadi keniscayaan untuk menemukan paradigma baru dalam menjawab permasalahan dan

tantangan zaman. Paradigma yang telah dibuat pijakan oleh para ulama terdahulu yang muncul sesuai dengan varian kondisi ruang dan waktunya serta kecenderungan profesionalnya perlu dipertanyakan dengan melihat kenyataan-kenyataan yang terjadi pada saat terakhir ini. Hal ini juga dimanfaatkan oleh pemikir-pemikir islam seperti Hasan Hanafi dengan konsep kiri Islamnya, telah mencoba menawarkan paradigma baru dalam ajaran pokok Islam, yakni Tauhid. Konsep atau ajaran Tauhid yang hanya dipandang dan dilekatkan pada ke-Esaan Tuhan perlu dirubah dan diperluas sebagai suatu konsep ketauhidan makhlukNya sehingga akan terbentuk pola kehidupan umat yang seimbang antara ritual dan sosial, lahir dan batin, dunia dan akherat. Sehingga umat dapat melaksanakan tugas dan fungsinya di dunia dengan baik. Dan masih banyak lagi bidang-bidang yang perlu adanya pengembangan paradigma baru. Maka dari itu menurut Hanafi, seringnya umat islam mendapat kekalahan disetiap pertempuran selalu berpatokan pada kerangka konseptual lama yang berasal dari kebudayaan klasik, dan hal tersebut harus diubah dengan konseptual baru yang berasal dari kebudayaan modern.[8] Kemudian pemikir muslim Indonesia Harun Nasution menawarkan adanya pembaharuan teologi. Sejalan dengan pandangan kaum modernis lainnya, Harun Nasution pada dasarnya juga menganggap bahwa adanya keterbelakangan dan kemunduran umat islam Indonesia adalah disebabkan ada yang salah dalam berteologi, dan harus dirubah dan segera kembali kepada teologi islam sejati. Panangan ini mengandung arti bahwa umat islam dengan teologi fatalistic, irasional, pre-determinisme serta penyerahan nasib telah membawa mereka menuju kesengsaraan dan keterbelakangan. Dengan demikian, jika hendak mengubah nasib umat islam hendaklah mengubah teologi seperti itu menuju teologi yang berwatak freewill, rasional, serta mandiri.[9] Lain lagi dengan konsep Negara yang ditawarkan oleh Mohammad Natsir tentang istilah syuro dalam islam yang sering dikaitkan dengan perkembangan demokrasi masa modern sebagai theistic demokrasi sehingga mengakibatkan kepala Negara berfungsi sebagai eksekutif yang bekerja sama dengan legislative dalam penyelenggaraan suatu Negara. Padahal menurutnya, sumber kekuasaan dan legitimasi adalah Allah SWT. Dan manusia sebagai khalifah atau pemimpin yang bertugas menjalankan dan menegakkan perintah dari pemegang kedaulatan.[10] Kedudukan lembaga syuro ini menurut Natsir dianggap sangat penting, disebabkan oleh adanya ketentuan-ketentuan dalam ajaran islam supaya mengatur urusan mengenai orang banyak, penguasa harus harus mendapatkan keridhoan dari orang-orang yang diaturnya dan memusyawarahkan segala sesuatu mengenai kehidupan dan kepentingan rakyat. Bahkan menurutnya, musyawarah merupakan satu perintah agama. Aplikasi Paradigma dalam Pendidikan Agama Tidak terlepas dari pengaruh revolusi terhadap pemikiran Islam, maka dalam pelaksanaan pendidikan agamapun akan berubah sebagaimana perubahan dalam paradigma pemikiran Islam. Dari segi Materi jelas akan mengikuti perubahan pemikiran Islam tersebut. Dan dari segi teori belajar, akan memiliki perubahan yang signifikan. Istilah paradigma identik dengan skema dalam teori belajar. Skema adalah suatu struktur mental atau kognisi yang dengannya seseorang secara intelektual beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Skema ini akan beradaptasi dan berubah seiring perkembangan mental anak. Perubahan skema ini bisa mengambil bentuk asimilasi atau akomodasi. Asimilasi merupakan proses kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep atau pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada di dalam pikirannya. Senada

dengan itu, mungkin yang tidak kalah penting istilah yang dipakai dalam rangka menemukan sesuatu yang baru untuk merubah cara pandang lama dalam hal pendidikan, terutama pendidikan agama islam adalah inovasi pembelajaran ( termasuk kurikulumnya ). Seperti yang dalam pandangan At-Taumi seperti yang dikutip oleh Sudiyono ; bahwa prinsip perkembangan dan perubahan dalam islam merupakan salah satu sumber yang harus dijadikan sumber pengambilan falsafah, prinsip, dasar, dan kurikulum. Karena menurutnya, kebanyakan tidak berhasilnya seorang guru dalam melaksanakan metode-metode pengajaran pendidikan islam hanya dilaksanakan dengan mengikuti apa yang sudah-sudah (taqlid) tanpa ada penyelidikan lebih lanjut. Oleh karena itu, menurut At-Taumi Islam sangat menggalakkan perkembangan yang membangun dan berguna, perubahan yang progresif dan bermanfaat, serta membolehkan sifat menyesuaikan diri dengan perkembangan perubahan yang berlaku dalam kehidupan.[11] Jadi, metode (partisipasi) seorang pendidik dengan peserta didik yang seperti itu harus segera dirubah, karena dengan perkembangan tekhnologi seperti internet misalnya semua orang sudah dengan mudahnya mendapatkan info-info penting dan guru bukan lagi dianggap orang yang satu-satunya memiliki sumber pengetahuan, sehingga istilah teacher centered sudah dianggap tradisional dan perlu diubah dengan pendekatan baru learner centered.[12] Disamping itu menurut Ngainun Naim dan Achmad Sauqi dari pernyataan Muhammad Abduh yang dikutip Azyumardi Azra ; bahwa pendidikan merupakan alat yang ampuh untuk melakukan suatu perubahan. Dalam kerangka funsional yang demikian signifan, pendidikan harus diletakkan dalam posisi yang tepat dan diposisikan dalam kerangka pengembangan akal sehat secara krtis dan kreatif, dengan demikian pendidikan akan menjadi suatu pengembangan paradigm intelektual, serta bisa diharapkan nantinya anak didik akan memiliki kesiapan mental dan kemampuan teoritik dalam menjalani kehidupannya yang senantiasa berubah dalam kompleksitas era modern.[13] Pendidikan, sebagaimana ditegaskan Abdul Munir Mulkhan, merupakan model rekayasa sosial yang paling efektif untuk menyiapkan suatu bentuk masyarakat masa depan. Dalam konteks pendidikan islam secara benar, dalam arti fungsional, terhadap problem kemanusiaan dan masyarakatnya akan menjadi sumbangan bagi realisasi manusia sebagai khalifah dalam melaksanakan tugasnya di bawah bimbingan wahyu dan uswah Nabi Muhammad Saw.[14] Fungsionalisasi pendidikan Islam untuk mengembangkan potensi manusia yang handal tidak bisa terlepas dari peranan lembaga-lembaga yang ada. Karena, lembaga-lembaga pendidikan Islam mempunyai tugas penting untuk menciptakan suatu situasi yang dimana dalam proses pendidikan dapat berlangsung sesuai dengan beban tugas yang diembannya. Jadi, untuk mewujudkan fungsionalisasi tersebut harus dibutuhkan usaha stimultan dan komprehensif. Selain sebagai nstitusi penddikan, sekolah juga merupakan sebuah unit sosial. Karena di dalamnya terdiri dari banyak orang yang memiliki tujuan yang sama, yaitu mendidik peserta didik dan mengatarkan menuju fase kedewasaan. Maka langkah penting yang dapat dilakukan untuk mewujudkan fungsionalisasi Pendidikan Islam sebagaimana menurut Mastuhu yang dikutip oleh Ngainum Naim dan Achmad Sauqi adalah dengan melakukan perubahan paradigma. Perubahan paradigma yang dimaksud adalah dengan merubah cara belajar dari model warisan menjadi cara belajar pemecahan masalah, dari hafalan ke dialog, dari pasif ke heuristic, dari strategi menguasai materi sebanyak-banyaknya menjadi menguasai metodologi, dari mekanis ke kreatif, dari memandang dan menerima ilmu sebagai hasil final yang mapan menjadi memandang dan menerima ilmu dalam dimensi

proses, dan fungsi pendidikan bukan hanya mengasah dan mengembangkan akal, namun mengolah dan mengembangkan hati (moral) dan keterampilan.[15] Berikut kelompok tiga dimensi yang dikelompokkan oleh Dennis Sale seperti yang dikutip M.Taufiq Amir tentang pendekatan pembelajaran dan pemberdayaan pemelajar.[16]

Yang ingin dicapai dengan pemberdayaan pembelajaran adalah dari tiga dimensi tersebut adalah ; Dalam dimensi pengetahuan (knowledge), peserta didik dijadikan sebagai actor utama saat proses pembelajaran berlangsung. Peserta didiklah yang lebih banyak mencari, memperoleh, menggabungkan berbagai sumber informasi yang akan menjadi pengetahuan mereka . dan mereka mengkonstruk seniri berbagai konsep yang dipelajarinya dari berbagai sumber asli. Kalau kita ketiga dimensi tersebut dapat kita lakukan secara berulang dengan niat menjadi tepat dalam menerapkan metode, maka kita sudah menambahkan dimensi berikutnya dari pembelajaran, yakni perubahan pada seseorang. Bukan saja perubahan terjadi pada aktivitas fisik, tetapi sekaligus perubahan pada cara berpikir. Begitu pula untuk dimensi berpikir (thinking), peserta didik bukan lagi penerima pasif atas pemikiran-pemikiran pendidiknya. Mereka bukan hanya sekedar merasa dan melihat dengan jelas, seperti apa pemikiran pendidiknya atas sebuah konsep, namun harus dipastikan bahwa mereka bisa melihat dengan jelas pemikirannya sendiri, sehingga mereka menjadi kreatif untuk melihat lebih banyak opsi-opsi yang muncul, dan tidak menutup kemun gkinan mereka juga bisa menghasilkan berbagai variasi bahkan menemukan gagasan-gagasan yang orisinal. Cara berpikir mereka seperti itu sekaligus juga metakognitif; memonitor, mengevaluasi, dan mampu merevisi

pemikirannya sendiri. Dengan cara ini juga mereka akan menjadi kritis, tahu menganalisis berbagai komponen dan hubungan yang ada dalam sebuah konsep, bisa membandingkan dan melihat perbedaan dari pilihan yang ada. Merekapun bisa menafsirkan serta membuat kesimpulan dengan lebih baik. Sedangkan pada dimensi melakukan (doing), artinya para peserta didik harus tahu bahwa mereka harus melakukan latihan terus. Tentu saja hal ini bukan hanya sekedar latihan fisik akan tetapi juga pikiran. Mereka akan sadar kalau mau mendapatkan informasi lebih banyak harus, terampil menggunakan mesin pencari informasi seperti internet, kalau mau kompeten dalam berkomukasi haruslah tampil sebagai pembicara, dan kalau mau melatih argument, harus menuangkannya dalam tulisan dan selalu merevisinya, dan kalau sedang mendengarkan ceramah harus mencoba kritis tidak hanya menerima apa yang disampaikan. Tentu saja pemberdayaan tersebut menjadi mustahil tanpa peran pendidik. Pemberdayaan semacam itu bukanlah melepas begitu saja peserta didik untuk menjalankan ketiga dimensi yang dimaksud. Seorang pendidik tetap memiliki peranan yang penting. Bila memang peserta didik perlu akses terhadap pengetahuan tertentu, seorang pendidik menunjukkan trik dan tipnya, kalau memang harus terampilberpikir, maka seorang pendidik harus mendorongnya dengan budaya berpikir dengan cara; (misalnya) member pertanyaan yang menyelidik, menanyakan alas an-alasan, meminta perbandingan, dan tentunya menciptakan suasana yang interaktif dengan sesame peserta didik. Sehingga pendidik akan menjadi fasilitator yang sesungguhnya. PENUTUP Sebagaimana telah disinggung dalam uraian di atas, revolusi sains muncul karena adanya anomali dalam riset ilmiah yang dirasakan semakin parah, dan munculnya krisis yang tidak dapat diselesaikan oleh paradigma yang dijadikan referensi riset. Revolusi sains di sini dianggap sebagai episode perkembangan non-kumulatif yang di dalamnya paradigma yang lama diganti sebagian atau seluruhnya oleh paradigma baru yang bertentangan. Adanya revolusi sains bukan merupakan hal yang berjalan dengan mulus tanpa hambatan. Sebagian ilmuwan atau masyarakat sains tertentu ada kalanya tidak mau menerima paradigma baru. Dan ini menimbulkan masalah sendiri yang memerlukan pemilihan dan legitimasi paradigma yang lebih definitif. Dalam pemilihan paradigma tidak ada standar yang lebih tinggi dari pada persetujuan masyarakat yang bersangkutan. Untuk menyingkapkan bagaimana revolusi sains itu dipengaruhi, kita tidak hanya harus meneliti dampak sifat dan dampak logika, tetapi juga teknik-teknik argumentasi persuasif yang efektif di dalam kelompok-kelompok yang sangat khusus yang membentuk masyarakat sains itu. Oleh karena itu permasalahan paradigma sebagai akibat dari revolusi sains, hanyalah sebuah konsensus yang sangat ditentukan oleh retorika di kalangan akademisi dan atau masyarakat sains itu sendiri. Semakin paradigma baru itu diterima oleh mayoritas masyarakat sains, maka revolusi sains kian dapat terwujud. Selama revolusi, para ilmuwan melihat hal-hal yang baru dan berbeda dengan ketika menggunakan instrumen-instrumen yang sangat dikenal untuk melihat tempat-tempat yang pernah dilihatnya. Seakan-akan masyarakat profesional itu tiba-tiba dipindahkan ke daerah lain di mana obyek-obyek yang sangat dikenal sebelumnya tampak dalam penerangan yang berbeda dan juga berbaur dengan obyek-obyek yang tidak dikenal. Kalaupun ada ilmuwan yang tidak mau menerima paradigma baru sebagai landasan risetnya, dan ia tetap bertahan pada paradigma yang telah dibongkar dan sudah tidak

mendapat dukungan lagi dari mayoritas masyarakat sains, maka aktivitas-aktivitas risetnya hanya merupakan tautologi, yang tidak berguna sama sekali. Untuk itu, pemikir muslim juga menawarkan adanya pembaharuan dalam segala lini kehidupan (pemikiran Islam ataupun pendidikan Islam). Sejalan dengan pandangan kaum modernis lainnya, bahwa pada dasarnya juga menganggap bahwa adanya keterbelakangan dan kemunduran umat islam disebabkan ada yang salah dalam di dalam menerapkan konsep-konsep yang diberikan oleh ajaran Islam, makanya harus dirubah dan segera kembali kepada pemahaman atau ajaran islam sejati. Pandangan ini mengandung arti bahwa umat islam selama menerapkan konsep-konsep usang serta prinsip penyerahan nasib hanya membawa kepada kesengsaraan dan keterbelakangan. Dengan demikian, jika hendak mengubah nasib umat islam hendaklah mengubah cara pandang yang baru berwatak free-will, rasional, serta mandiri. Suatu perubahan itu terjadi manakala suatu paradigma yang lama dan mapan kemudian mengalami anomaly, krisis, revolusi, dan kemudian muncul paradigma baru lagi yang lebih mapan dari paradigma lama. Wallahu alam bi shawwab.

DAFTAR PUSTADr. Abdul Rozak, M.Ag. Dkk. 2010. Ilmu Kalam Islam. Pustaka Setia. Bandung. Drs. K.H. Abdul Hamid, M.Ag. Dkk. 2010. Pemikiran Modrn dalam Islam. Pustaka Setia. Bandung. Drs. H.M. Sudiyono. 2009. Ilmu Pendidikan Islam. Rineka Cipta. Jakarta. Greg Soetomo. 1997. Sains dan problem Ketuhanan. Kanisius. Yogyakarta. M.Taufiq Amir. 2009. Inovasi Pendidikan Melalui Problem Based Learning: Bagaimana Pendidik Memberdayakan Pemelajar di Era Pengetahuan. Kencana Prenada Media Group. Jakarta. Ngainun Naim, dkk. 2010. Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi. Arr-Ruzz Media. Jogjakarta. Thomas S. Kuhn. 2002. The structure of Science Revolution (Peran Paradigma dalam Revolusi Sains). Remaja Rosda Karya.Bandung.

Diposkan oleh AbuzZen di 06:50 0 komentar Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook

PENDIDIKAN iSLAM DAN MULTIKULTURALISMEISU-ISU KOTEMPORER PENDIDIKAN ISLAM DAN MULTIKULTURALISMEDOSEN PENGAMPU: PROF. DR. SYAMSUL ARIFIN, M.Si OLEH : MUHAMMAD SYARIF NIM : 201010290211003 UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

Pendahuluan Mempelajari filsafat pendidikan Islam berarti memasuki wilayah yang membahas suatu bentuk pemikiran yang mendasar, sistematis, logis, dan universal tentang pendidikan yang tidak hanya dilatarbelakangi oleh ilmu pengetahuan agama Islam, melainkan kita dituntut untuk mampu mempelajari ilmu-ilmu yang relevan dengan ilmu tersebut. Melakukan pemikiran filosof pada hakikatnya adalah usaha untuk menggerakkan semua potensi

psikologis manusia, seperti ; pikiran, kecerdasan, kemauan, perasaan, ingatan serta pengamatan panca indera tentang gejala kehidupan, terutama manusia dan alam sekitarnya (lingkungan pendidikan). Filsafat pendidikan pada umumnya dan filsafat pendidikan Islam pada khususnya, adalah bagian dari ilmu filsafat. Maka dalam mempelajari filsafat, perlu memahami terlebih dahulu tentang pengertian filsafat terutama dalam hubungannya dengan masalah pendidikan (pendidikan Islam). Secara harfiah, filsafat berarti cinta kepada ilmu yang berasal dari kataphilo (cinta) dan sophos (ilmu/hikmah). Secara historis, filsafat menjadi induk segala ilmu pengetahuan yang berkembang sejak zaman Yunani kuno sampai zaman modern sekarang. Huzayyin Arifin (2010 : 3) Bila dilihat dari fungsinya, filasafat pendidikan Islam merupakan pemikiran mendasar yang melandasi dan mengarahkan proses pelaksanaan pendidikan Islam itu sendiri. Oleh karena itu, filsafat juga memberikan gambaran tentang sampai dimana proses tersebut dapat direncanakan dan dalam ruang lingkup serta dimensi bagaimana proses tersebut bisa dilaksanakan. Dalam era keberagaman (multicultural) seperti sekarang ini, sangat diperlukan sekali adanya kebijakan re-orientasi (konsepsi masyarakat madani) dalam pembelajaran agama (pendidikan Islam). Karena dengan konsepsi semacam itu, terutama melalui proses pembelajaran yang berlangsung dalam institusi formal, apa yang dipandang mutlak dalam agama akan dibakukan atau diobjektivitasikan yang akan mampu mempertahankan keaslian doktrin yang berkaitan dengan kemutlakan, dan mampu untuk memperkaya khazanah epistemologi keagamaan, yakni lahirnya ilmu-ilmu keagamaan yang secara sosiologisnya mempermudah dan memperkokoh ikatan primordial komunitas beragama. Sesuai dengan fungsinya tersebut, filsafat pendidikan Islam juga bertugas melakukan kritik-kritik tentang medote-metode yang digunakan dalam proses pendidikan Islam serta memberikan pengarahan mendasar tentang bagaimana metode tersebut harus didayagunakan agar tercipta lingkungan sekolah yang kondusif dan sadar akan keberagaman, serta mampu melahirkan peserta didik yang betul-betul mempraktikkan nilai-nilai Islam. Akhir-akhir ini, kekerasan antar kelompok yang terjadi secara sporadis diberbagai kawasan di Indonesia menunjukkan betapa rentannya rasa kebersamaan yang dibangun, betapa kentalnya prasangka antar kelompok dan betapa rendahnya sikap saling pengertian mengakibatkan bertambahnya kompleksitas persoalan keragaman dan hubungan antar kelompok dan tidak menutup kemungkinan, persoalan-persoalan ini akan berimbas kepada peserta didik (yang mengambil contoh) bisa memicu terjadinya konflik-konflik kecil seperti percekcokan sampai pada perkelahian antar pelajar (homogen) yang bisa berimbas kepada masyarakat luas. Dalam konteks itulah wacana multikulturalisme melalui pendekatan filsafat dijadikan sebagai sarana untuk membangun toleransi atas keragaman yang ada. Karena telah diketahui bersama, asas filsafat adalah membimbing dan memberi arah kesemua asas pendidikan lainnya dan menyelaraskannya. Hal ini terjadi karena filsafat memiliki karakter ; (1) memiliki sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara kritis, (2) filsafat merupakan sebuah proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang dijunjung tinggi, (3) filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan, (4) filsafat ialah analisis logis dari bahasan dan penjelaan tentang arti konsep, (5)filsafat berisi sekumpulan problema-problema yang langsung mendapat perhatian manusia dan dicarikan jawabannya oleh ahli filsafat. Abuddin Nata (2009 : 99). Dalam hubungannya dengan pendidikan, filsafat bukan hanya memberikan sumbangan berupa prinsip-prinsip berpikir filosofis dalam memecahkan berbagai masalah

pendidikan, melainkan juga terdapat aspek-aspek filsafat lainnya yang dapat digunakan dalam membantu merumuskan masalah pendidikan, terutama pada aspek yang menjadi pokok bahasan filsafat itu sendiri, yakni logika, estetika, etika, politik, metafisika, realitas, pengetahuan, nilai, Tuhan, manusia, alam, dan sebagainya. Hasil pemikiran filsafat tentang berbagai masalah, dengan karakteristiknya sangat dibutuhkan oleh dunia pendidikan (pendidikan Islam). Multikulturalisme Istilah multikulturalisme diambil dari kata multicultural menjadi multiculturalisme, sebuah istilah yang digunakan oleh masyarakat Kanada pada sektar tahun 1950-an. Kata multicultural juga menurut Kymlicka yang dikutip Fahri Hamzah (2011 : 117), seringkali digunakan dalam arti yang lebih luas. Namun istilah tersebut tetap menekankan pada konsep tentang sejumlah kelompok sosial nonetnis, yang karena berbagai alasan, dikucilkan atau dikesampingkan dalam aliran utama masyarakat. Kymlicka menekankan pengucilan dan pengesampingan itu sebagai fenomena yang tampak dalam masyarakat modern, dimana multikulturlisme yang direpresentasikan dengan adanya kelompok budaya minoritas yang menuntut pengakuan atas identitas mereka serta diterima perbedaan budaya mereka, hadir sebagai tantangan bagi masyarakat modern. Multikulturalisme menurut Donny Gahral Adian yang dikutip Fahri, pada dasarnya dapat dipahami ke dalam pelbagai pemahaman. Antara lainnya ; pertama, pemahaman politis. Kalangan politisi memahami multikulturaisme sebagai majemuknya masyarakat secara cultural yang menimbulkan pelbagai persoalan sosial yang menuntut kebijakan-kebijakan tertentu (pengetatan imigrasi, pendataan, sampai program asimilasi). Kedua, pemahaman akademis. Pemahaman akademis multikulturalisme mendasarkan diri pada filsafat postmodernisme dancultural studies yang menekankan prinsip paralogisme di atas monologisme, kemajuan diatas kesatuan. Selain itu, isu-isu multikulturalisme yang menjadi perbincangan akademis antara lain : konsep budaya, relasi budaya dan politik, hak minoritas, kritik liberalisme, toleransi, dan solidaritas. Berdasarkan pada pemahaman tersebut sangat jelas sekali, bahwa masyarakat multikultural adalah masyarakat yang mampu mengedepankan adanya berbagai keragaman budaya dalam lingkungan masyarakat luas dan meyakini bahwa keragaman tersebut merupakan suatu keniscayaan yang telah menjadi sunatullah yang tidak bisa diingkari dan perlu adanya sebuah konsensus untuk bisa melayani aspirasi dan hak-hak dari masing-masing anggota masyarakat. Karena justru dalam keragaman itulah tekandung nilai-nilai yang penting bagi pembangunan eksistensi manusia, sesuai dengan apa yang telah disuratkan oleh Allah SWT. Dalam Q.S. Al-Nisa : 1 dan Q.S. Al-Rum : 22. Senada dengan hal tersebut, Yasraf Amir Pialang menafikkan adanya masyarakat yang multicultural pluralis, karena menurutnya masyarakat yang demikian dapat menjerumuskan kepada sifat balkanisasi kebudayaan. Dan menawarkan paradigma baru yaitu multicultural transformatif. Karena menurutnya, dengan multikultural transformatif sebuah masyarakat diarahkan untuk menemukan ruang hidupnya lewat pekembangan berbagai subkultur, sehingga tidak lagi berlandaskan pada sebuah sentiment kesukuan, kedaerahan, atau keagamaan (primordialisme) secara kaku. (Fahri Hamzah : 2011 : 120). Dalam konteks keragaman , keberagamaan seorang multikulturalis dalam keragaman menjadi sangat penting. Karena apapun organisasi keberagamaannya maupun afiliasi organisasi manapun yang menjadi pendiriannya, cenderung tidak melihat dan mengedepankan masalah keagamaan dan nonkeagamaan secara hitam putih, benar atau salah, murni atau tidak murni, melainkan memandang dan memaknai suatu masyarakat sebagai bentuk adanya relativisme budaya. Hal ini, memakai istilah Fahri Hamzah, bahwa seorang

multikulturalis tidak beragama secara mutlak-mutlakan, atau paling tidak seorang multikulturalis tidak mengklaim kebenaran yang dianutnya sebagai relatively absolute. Senada dengan hal itu, Marc Howard Ross yang dikutip Fahri Hamzah menyatakan masyarakat multikulturalime sering kali juga dimaknai sebagai bentuk masyarakat yang meyakini adanya relativisme budaya, yang pada titik radikalnya (radical status) akan bermakna sebagai paham atas absolutisme budaya. Keanekaan budaya yang masing-masing duduk sama rendah berdiri sama tinggi ini merupakan konsistensi yang disodorkan oleh multikulturalisme. Pada tingkat praktis, masyarakat multikultural juga menunjuk kemungkinan penyesuaian budaya atau dialog budaya dalam pengalaman individual maupun kelompok. Pendidikan Islam Pendidikan Islam adalah studi tentang proses kependidikan yang bertujuan untuk membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik berbentuk jasmaniyah maupun rohaniyah, menumbuhsuburkan hubungan yang harmonis setiap pribadi manusia dengan Allah, manusia dan alam semesta. Lebih lanjut, dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 1 ayat (1) dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkanpotensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Dalam perspektif Islam, potensi diri manusia tersebut diistilahkan dengan fitrah manusia. Dengan demikian, pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mampu mengembangkan potensi dirinya. Bertolak dari pandangan Islam tentang manusia tersebut, menurut Muhammad Tolchah Hasan yang dikutip Muhaimin, upaya pendidikan disamping berusaha untuk mengembangkan potensi-potensi fithrah manusia, juga berusaha menyelamatkan dan melindungi fitrah manusia, serta menyelaraskan fitrah mukhalafah dan fitrah munazzalah dalam semua aspek kehidupannya. Pada umumnya, Pendidikan sebagai usaha membina dan mengembangkan pribadi manusia tersebut, juga harus dilakukan secara langsung dan bertahap, karena kematangan dan optimalnya perkembangan dan pertumbuhan peserta didik berlangsung melalui proses demi proses kearah tujuan secara bertahap dan terus menerus (kontiunitas). Suatu proses yang diinginkan dalam usaha kependidikan sebagaimana dimaksud adalah proses yang terarah dan bertujuan, yakni usaha untuk mengarahkan peserta didik kepada arah yang optimal sesuai dengan kemampuannya, dengan tujuan yang hendak dicapai yaitu terbentuknya kepribadian peserta didik yang utuh dan mantap sebagai manusia yang taat. Dari kalangan pemikir Islam sebagai pemerhati pendidkan terutama pendidikan Islam, memberikan definisi pendidikan Islam secara bervariasi. Antara lain: 1. Prof. Dr. Omar Muhammad Al-Tauny al-Syaebani memberikan definisi, bahwa pendidikan Islam diartikan sebagai usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses kependidikan perubahan itu dilandasi dengan nilai-nilai Islam. (Muzayyin Arifin, 2010 : 15). Jadi, kalau kita bawa ke lingkungan institusi formal seperti sekolah, dari devinisi tersebut dapat dirumuskan, bagaimana kiat dan usaha para pendidik itu sendiri bisa memoles peserta

didik agar mampu mengenal siapa dirinya, dan bagaimana dia mampu mengaplikasikan pengetahuan yang didapatnya untuk menyeimbangkan tingkah lakunya dengan lingkungan masyarakat dan alam sekitarnya dengan nilai-nilai yang baik (Islam). 2. Lebih terperinci, Zarkowi Soejoeti yang dikutip Ngainun Naim & Achmad Sauqi (2010 : 32), memberikan beberapa pengertian pendidikan Islam, antara lain; Pertama, jenis pendidikan dan penyelenggaraannya didorong oleh hasrat dan semangat cita-cita untuk mengejawantahkan nilai-nilai Islam, baik yang tercermin dalam nama lembaganya maupun dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakannya. Kedua, jenis pendidikan yang memberikan perhatian dan sekaligus menjadikan ajaran Islam sebagai pengetahuan untuk program studi yang diselenggarakannya. Ketiga, jenis pendidikan yang mencakup kedua pengertian di atas. Dalam hal ini, Islam ditempatkan sebagai sumber nilai dan sebagai bidang studi yang ditawarkan melalui program studi yang diselenggarakan. Dari ketiga pengertian pada poin dua di atas, dapat dipahami bahwa persoalan pendidikan Islam bukan saja mengenai ciri khas suatu lembaga maupun memasukan pelajaran agama sebagai bidang studi baku dalam kurikulum, melainkan bagaimana pendidikan Islam yang menyangkut hal fundamental dan urgensi bagi peserta didik bisa mengarah ketujuan yang diinginkan dan diyakini sebagai paling ideal. Atau dalam pembahasan filsafatnya dapat diistilahkan sebagai peserta didik yang insan kamil. Jadi, pendidikan memiliki kaitan erat dengan setiap perubahan peseta didik, baik menyangkut kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Untuk itu, dalam kerangka fungsional seperti itu, pendidikan Islam harus diletakkan dalam posisi yang tepat, yakni diposisikan dalam kerangka pengembangan akal sehat secara kritis dan kreatif. Karena hal ini merupakan bentuk pemahaman dan pengamalan ajaran Islam itu sendiri. Disinilah nantinya diharapkan muncul seperangkat nilai dan norma yang terlembagakan dalam hukum obyektif maupun tradisi yang menjadi control social kearah perkembangan masyarakat yang utuh. Lebih lanjut, pendidikan Islam di sekolah pada dasarnya berusaha untuk bagaimana membina sikap dan perilaku keberagamaan peserta didik itu sendiri, yang tidak hanya difokuskan pada aspek pemahaman (tentang agama) semata, tetapi bagaimana usaha pendidikan agama (Islam) mampu menanamkan perilaku khalq dan khuluqnya, dengan mengetahui ajaran agama (knowing), kemudian mempraktekkan tentang apa yang diketahuinya (doing), dan mampu beragama atau menjalani hidup atas dasar ajaran dan nilainilai agama (being). Muhaimin (2009 : 306) Pendidikan Islam dengan pendekatan filsafat Pendidikan merupakan salah satu bentuk ilmu terapan (appliet), tempat bertemunya hasil-hasil berbagai asas filsafat membimbing dan memberi arah kepada semua asas pendidikan lainnya dan menyelaraskannya. Hal ini karena filsafat merupakan bidang garapan ilmu yang memiliki berbagai karakter, seperti menurut Jalaluddin dan Said dalam Abudin Nata (2009), antara lain ; (1) filsafat memiliki sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara kritis, (2) filsafat merupakan sebuah proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang dijunjung tinggi, (3) filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan, (4) filsafat ialah analisis logis dari bahasan dan penjelaan tentang arti konsep, (5) filsafat berisi sekumpulan problema-problema yang langsung mendapat perhatian manusia dan dicarikan jawabannya oleh ahli filsafat. Lebih lanjut, Imam Barnadib dalam Abuddin Nata (2009) menyatakan bahwa filsafat juga memiliki karakter-karakter sebagai ciri khasnya. Antara lain ;

(1) bahwa filsafat memiliki pandangan yang menyeluruh dan sistematis. (2) filsafat juga mengedepankan berpikir secara sadar, teliti, dan teratur sesuai dengan hukum-hukum yang ada. Dari karakter-karakter filsafat sebagaimana tersebut di atas, maka pendekatan dengan filsafat sangat tepat kiranya untuk menjawab semua isu-isu keragaman akhir-akhir ini. Sebab, dengan hal seperti itu manusia (peserta didik) bukan hanya meyakini wahyu yang diturunkan dengan mendalaminya secara tekstual saja tanpa membarenginya dengan kajian yang kritis dan pantas berdasarkan fakta-fakta yang ada di lingkungan sekelilingnya. Dalam hubungannya dengan pendidikan, filsafat bukan hanya sekedar memberikan sumbangan berupa prinsip berpikir filosofis dalam memecahkan berbagai masalah, melainkan juga terdapat aspek-aspek filsafat lainnya yang dapat digunakan dalam membantu merumuskan masalah pendidikan, terutama pada aspek yang menjadi pokok bahasan filsafat itu sendiri, yaitu; logika, estetika, etika, politik, metafisika, realitas, pengetahuan, nilai, Tuhan, manusia, masyarakat, alam, dan sebagainya. Jadi sangatlah jelas, bahwa dengan memahami serta menerapkan aspek-aspek tersebut, peserta didik akan mampu mengenal lebih jauh lagi tentang eksistensi dan tujuannya diciptakan, dan secara sekaligus akan cakap dalam kognitif, afektif serta psikomotor. Jalaluddin & Abdullah memberikan penjelasan bahwa hasil pemikiran filsafat tentang berbagai masalah dengan karakteristiknya sangat dibutuhkan oleh pendidikan, mengingat apa yang menjadi obyek filsafat juga menjadi obyek pendidikan. Dengan demikian, hubungan antara filsafat dan pendidikan sangat erat. Kuatnya hubungan tersebut disebabkan karena kedua disiplin ilmu tersebut meghadapi problemaproblema filsafat secara bersama-sama. Imam Barnadib sebagaimana dikutip, lebih lanjut mengatakan, bahwa hasil pemikiran filsafat tentang berbagai hal tersebut dapat digunakan dengan baik. Hal yang penting lainnya adalah bahwa dalam menyelenggarakan pendidikan perlu diketahui tentang pandangan dunia (world vieuw) terhadap pendidikan yang diperlukan masyarakat pada masanya. Pengetahuan tentang pandangan dunia ini termasuk kajian metafisika dalam filsafat. Demikian pula dengan keberadaan kajian tentang epistemologi, aksiologi, dan logika yang terdapat dalam filsafat amat diperlukan bagi pengembangan ilmu pendidikan (Abuddin Nata, 2009 : 101). Pendidikan Multikultural Pendidikan Islam memang merupakan suatu upaya pendidikan dan ajaran nilai-nilai Islam menjadi way of life seseorang. Namun demikian. Sebagai pandangan dan sikap hidup, nilai-nilai tersebut akan bisa berimplikasi positif maupun negatif, sebab penanaman konsep nilai semacam itu berpotensi mewujudkan pada sikap integrasi atau disintrgrasi, berpotensi mengarah pada sikap toleran atau intoleran. Fenomena-fenomena tersebut tidak menutup kemungkinan akan banyak ditentukan setidaknya oleh pandangan teologi agama dan doktrin ajarannya; sikap dan perilaku pemeluknya dalam memahami dan menghayatai agama tersebut; lingkungan sosio-kultural yang mengelilinginya; dan peranan dan pengaruh pemuka agama, termasuk guru agama, dalam mengarahkan pengikutnya (Muhaimin, 2009 : 46) Fenomena-fenomena tersebut akan muncul apabila pandangan teologi agama dan ajaran yang dipegangi bersifat ekstrim, dibarengi dengan model pemahaman dan penghayatan agama yang simbolik, tekstual dan scriptural,karena penjelasan-penjelasan dan arahan dari para guru agama yang bersifat doktriner, rigid dan mengembangkan sikap fanatisme buta serta dukungan oleh lingkungan sosio-kultural yang eksklusif, maka bisa jadi akan melahirkan sikap-sikap intoleran dan agama diposisikan sebagai faktor diintegratif atau intoleransi.

Dalam rangka merespons tantangan dunia pendidikan tersebut, maka pengembangan pendidikan sangatlah tepat apabila bisa diterapkan dalam dunia pendidikan (lembaga sekolah). Karena pendidikan multicultural sebagaimana disebutkan Ainurrafik Dawam, yakni proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghadapi pluralitas dan heterogenitanya sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku, dan aliran (agama) (Ngainun Naim & Achmad Sauqi, : 2010 : 50). Dengan demikian, pendidikan seperti itu, peserta didik diharapkan memiliki rasa hormat dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia tanpa memandang latar belakang kehidupannya. Secara terperinci, ada beberapa aspek yang dapat dikembangkan dari konsep pendidikan Islam pluralis-multikultural tersebut, antara lain : pertama, pendidikan Islam pluralis-multikultural adalah pendidikan yang menghargai dan merangkul segala bentuk keragaman. Kedua, pendidikan pluralis-multikultural merupakan sebuah usaha sistematis untuk membangun pengertian, pemahaman, dan kesadaran anak didik terhadap realita pluralis-multikultural yang ada. Ketiga, pendidikan pluralis-multikultural memberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembangnya sense of self kepada setiap anak didik (Ngainun Naim & Achmad Sauqi, : 2010 : 54). Dengan demikian, pendidikan Islam pluralis-multikultural akan mampu menumbuhkan kearifan berpikir anak didik dalam melihat segala bentuk perbedaan, dan anak didik dengan leluasa memposisikan dirinya untuk mengapresiasikan potensi dan karakter yang dimilikinya. Lebih lanjut, selain ketiga aspek tersebut menurut A. Malik Fadjar pendidikan Islam perlu untuk dikembangkan lagi ke arah : (1) pendidikan Islam Multikulturalis, yakni pendidikan Islam dikemas dalam watak multicultural, ramah menyapa pebedaan budaya, social dan agama; (2) mempertegas misi penyempurnaan akhlak (liutammima makarimalakhlak); dan (3) spiritual watak kebangsaan, termasuk spiritualisasi berbagai aturan hidup untuk membangun bangsa yang beradab (Muhaimin, 2009 : 47). Untuk mewujudkan upaya-upaya tersebut, diharapkan kepada guru selaku pendidik untuk mau berusaha meningkatkan, memperkuat serta memperluas wawasan keislaman peserta didik, karena dengan keluasan wawasan keislaman tentang keberagaman, akan berimplikasi pada sikap husnudzan serta akan memiliki akhlakul karimah, baik terhadap sesama agama maupun kepada orang lain. Penutup Kesimpulan 1. masyarakat multikulturalisme merupakan masyarakat yang mampu mengedepankan adanya berbagai keragaman budaya dalam lingkungan masyarakat luas dan meyakini bahwa keragaman tersebut merupakan suatu keniscayaan yang telah menjadi sunatullah yang tidak bisa diingkari. 2. Paradigma multikultural transformatif merupakan pandangan atau usaha yang bisa mengarahkan masyarakat untuk menemukan ruang hidupnya lewat pekembangan berbagai subkultur, sehingga tidak lagi berlandaskan pada sebuah sentiment kesukuan, kedaerahan, atau keagamaan (primordialisme) secara kaku. 3. Pada umumnya, Pendidikan merupakan bentuk usaha yang dilakukan untuk membina dan mengembangkan pribadi manusia (peserta didik) secara langsung dan bertahap, karena kematangan dan optimalnya perkembangan dan pertumbuhan peserta didik berlangsung melalui proses pendidikan.

4. antara filsafat dan pendidikan memiliki hubungan yang sangat erat, karena apapun persoalan yang dihadapi ilmu pendidikan yang menyangkut kajian epistemologi, aksiologi, dan logika terdapat dalam filsafat. 5. Pendidikan Islam pluralis-multikultural adalah pendidikan yang menghargai dan merangkul segala bentuk keragaman, dan sebuah bentuk usaha sistematis untuk membangun pengertian, pemahaman, dan kesadaran anak didik terhadap realita pluralis-multikultural yang ada. 6. Pendidikan Islam pluralis-multikultural merupakan bentuk pendidikan yang bisa menumbuhkan kearifan berpikir anak didik dalam melihat segala bentuk perbedaan, dan anak didik dengan leluasa memposisikan dirinya untuk mengapresiasikan potensi dan karakter yang dimilikinya. 7. Pendidikan Islam Multikulturalis, merupakan bentuk pendidikan yang mempertegas adanya misi penyempurnaan akhlak dalam Islam (liutammima makarimalakhlak) yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Wallahu alam bi shawwab.

DAFTAR PUSTAKAArifin, Muzayyin, Filsafat Pendidikan Islam (Edisi Revisi), Jakarta : Bumi Aksara, Cetakan Kelima, 2010. Hamzah, Fahri, Negara, Pasar dan Rakyat: Pencarian Makna, Relevansi dan Tujuan, __ : Yayasan Faham Indonesia, Cetakan Kedua, 2011. Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran, Jakarta : Rajawali Pers, 2009. Naim, Ngainun & Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural : Konsep dan Aplikasi, Jogjakarta : ArRuzz Media, Cetakan II, 2010. Nata, Abuddin, Ilmu Pendidikan Islam Dengan : Pendekatan Multidisipliner Normatif Perenialis, Sejarah, Filsafat, Psikologi, Sosiologi, Manajemen, Teknologi, Informasi, Kebudayaan, Politik, Hukum, Jakarta : Rajawali Pers, 2009.