CONSTITUTIONAL COMPLAINT: ALTERNATIVE PERLINDUNGAN ...
Transcript of CONSTITUTIONAL COMPLAINT: ALTERNATIVE PERLINDUNGAN ...
CONSTITUTIONAL COMPLAINT : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA
Mukhlish, SH.,MH.
Abstract
The only judicial institution that has a function to maintain the constitution, the Constitutional Court shall have the authority to determine the Constitutional Complaint (filing of case to the Court for violations of constitutional rights that there is no legal instrument to memperkarakannya or no longer available at the point of completion of the legal / judicial) filed individual (individual) citizens who feel their constitutional rights (constitutional rights or fundamental rights) aggrieved by the decision of state institutions, whether legislative, executive, and judiciary. It is intended that the basic rights or the rights possessed by every citizen can not be reduced or completely disrupted, whether by individuals, groups, even by the state. Implementation of the constitutional complaint through the institution of the Constitutional Court is a reflection of renewal, protection and enforcement of constitutional rights of every citizen.Keyword : constitutional complaint, protection and enforcement of constitutional, constitutional
rights of every citizen
A. Pendahuluan
The Rule of Law adalah adanya peran peradilan yang bebas dan tidak memihak untuk
memberikan putusan terhadap segala kasus hukum yang terjadi dalam suatu negara1. Pada
prinsipnya Indonesia harus menyelesaikan segala persoalan hukum melalui proses hukum,
termasuk penegakan hak konstitusional warga negara yang dilindungi oleh UUD 1945. Menurut
Satjipto Rahardjo dalam Anis Ibrahim, komunitas hukum Indonesia yang diharapkan mampu
memposisikan diri sebagai pencerah justru masih lamban dalam menangkap dan menyelesaikan
segala persoalan hukum yang begitu komplek, hal tersebut berimplikasi terhadap lambannya
penegakkan hukum.2
1 F. J. Stahl dan A.V. Dicey ditinjau dari International Comission of Jurist, Mengutip The Dynamic Aspects of The Rule of Law in The Modern Age, International Comission of Jurist, 1965, hlm. 39-50
2 Anis Ibrahim, Merekonstruksi Keilmuan Ilmu Hukum & Hukum Milenium Ketiga, (Malang : In-TRANS, 2007), hlm. 32
35
Para penegak hukum tidak bisa secara penuh dipersalahkan dalam keterpurukan hukum
yang di alami bangsa Indonesia , karena keterpurukan hukum saat ini sebagai akibat dari tidak
optimalnya berbagai komponen dalam sistem hukum (legal structure, legal substance, legal
culture)3 serta yang terpenting adalah masih rendahnya kesadaran hukum dalam setiap sendi
kehidupan masyarakat.4
Sebagai satu-satunya lembaga peradilan yang memiliki fungsi untuk mengawal
konstitusi, MK selayaknya berwenang untuk memutus Constitutional Complaint (pengajuan
perkara ke MK atas pelanggaran hak konstitusional yang tidak ada instrumen hukum atasnya
untuk memperkarakannya atau tidak tersedia lagi atasnya jalur penyelesaian hukum/peradilan)
yang diajukan perorangan (individu) warga negara yang merasa hak-hak konstitusionalnya
(constitutional rights atau basic rights) dirugikan oleh keputusan suatu institusi negara, baik
legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Hal ini dimaksudkan bahwa hak dasar atau hak asasi yang
dimiliki oleh setiap warga negara tidak bisa dikurangi atau diganggu sedikitpun, baik oleh
individu, kelompok, bahkan oleh negara.
Kewenangan MK untuk memutus constitutional complaint saat ini masih terkendala
karena kewenangan tersebut masih belum termuat secara ekplisit di dalam UUD 1945. Tetapi
dengan mengingat pentingnya perlindungan terhadap hak konstitusional warga negara, maka
fungsi MK sebagai lembaga pengawal konstitusi dipandang perlu memiliki kewenangan
constitutional complaint. Selama ini salah satu kewenangan MK adalah menguji Undang-
Undang terhadap UUD 1945 (Judicial review), yang berarti hanya sebatas pelanggaran hak
konstitusional warga negara dalam bentuk undang-undang.
3 legal structure berarti kerangka, bentuk permanen, lembaga institusionalnya. Struktur hukum berarti lembaga peradilan, hakim, termasuk orang-orang yang terkait dengan berbagai jenis pengadilan. legal substance adalah peraturan-peraturan yang tersusun dan ketentuan yang mengatur bagaimana peran dan perilaku institusi. legal culture berarti elemen sikap dan nilai sosial yang berkembang dalam masyarakat.
4 Lawrence M .Friedman, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, (Bandung : Penerbit Nusa Media, 2009), hlm. 15-19
36
Ketentuan yang mengatur mekanisme constitutional complaint di Indonesia belum
termuat secara eksplisit di konstitusi, artinya tidak tertulis dalam UUD 1945. Namun secara
tersirat terkandung adanya hak-hak konstitusional warga yang dilindungi oleh negara. Sehingga
bagi setiap warga negara yang merasa hak-hak konstitusionalnya dilanggar oleh tindakan
penguasa dapat mengajukan perkara kepada lembaga peradilan yang berwenang, dalam hal ini
adalah MK (sesuai fungsinya sebagai pengawal konstitusi). Hal tersebut terkait erat dengan teori
pembangunan hukum responsif, yakni teori yang menyatakan bahwa bingkai hukum pada
prinsipnya harus partisipatif, serta berisi nilai-nilai yang tepat berdasarkan asas-asas hukum yang
berkembang dalam masyarakat.5
Kasus pelanggaran konstitusi yang paling menyita perhatian publik adalah kasus
pembunuhan aktivis HAM Munir. Putusan Peninjauan Kembali (PK) dengan terpidana
Pollycarpus diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) setelah MA memutus bebas dalam
memori kasasi. Padahal secara teoritis dalam ketentuan hukum acara pidana, PK hanya dapat
diajukan oleh terpidana atau oleh kuasa hukumnya, jadi putusan PK yang Menghukum
Pollycarpus dinilai keliru karena diajukan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). Contoh
Pelanggaran konstitusi lain adalah sengketa Pilkada Lampung yang melibatkan Alzier Dianis
Thabrani (Kader Partai Golkar) dengan Sjachroedin Z.P (Kader PDIP). Dalam kasus tersebut,
MA memutuskan untuk memenangkan Alzier sehingga berhak ditetapkan sebagai Gubernur
Lampung. Tetapi hingga berakhirnya masa jabatan Presiden Megawati Soekarnoputri, Alzier
tidak dapat dilantik karena Presiden sudah terlanjur melantik Sjachroedin sebagai Gubernur
Lampung.
B. Konsep Constitutional Complaint
5 Anis Ibrahim, Op.Cit, hlm. 77
37
Setiap negara yang memiliki lembaga peradilan bernama Mahkamah Konstitusi (MK)
memiliki fungsi sebagai pengawal konstitusi (the guardian of constitution), penegak demokrasi,
penjaga hak asasi manusia, bahkan penafsir tunggal (sole interpreter) konstitusi. Contohnya di
Korea Selatan, lambang dan kredonya adalah “the protector” atau sang pelindung Konstitusi.6
Fungsi pengawalan konstitusi adalah untuk menjaga kesakralan dari sebuah konstitusi.
Sehingga fungsi tersebut hanya dimiliki oleh satu lembaga negara yang berwenang dan
independen, dalam hal ini adalah MK. Karena MK m//erupakan lembaga yang berfungsi untuk
menafsirkan dan menjaga konstitusi. Secara prinsip kewenangan MK tidak hanya terbatas pada
hal-hal yang termuat dalam Pasal 24C UUD 1945 maupun UU MK. Tetapi, secara tersirat
kewenangan MK meliputi pengawalan terhadap konstitusi termasuk menyelesaikan perkara yang
diajukan perorangan (individu) warga negara yang merasa hak-hak konstitusionalnya
(constitutional rights atau basic rights) dirugikan oleh keputusan suatu institusi negara, baik
legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.
Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 juncto Pasal 2 UU
Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, bahwa kedudukan MK adalah 7:
a. Merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman;
b. Merupakan kekusaan kehakiman yang merdeka; dan
c. Sebagai penegak hukum dan keadilan.
Sedangkan tugas dan fungsi MK berdasarkan Penjelasan Umum UU MK adalah
menangani setiap perkara ketatanegaraan atau perkara konstitusi tertentu dalam rangka menjaga
konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-
cita demokrasi. Keberadaan MK sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan yang
6 Abdul Mukhti Fadjar, Konstitusionalisme Demokrasi , (Malang : In-TRANS Publishing, 2010), hlm. 17 Abdul Mukhti Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta, Sekreteriat Jendral dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2005), hlm. 119.
38
stabil, dan juga merupakan koreksi pengalaman ketatanegaraan dimasa lalu yang ditimbulkan
oleh tafsir ganda terhadap konstitusi. Dalam pasal 28 UUD 1945 dinyatakan bahwa
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya di tetapkan dengan undang-undang”.
Berdasarkan pasal tersebut diatas secara jelas sudah tersirat bahwa kebebasan dan hak-
hak konstitusi warga negara dilindungi oleh UUD 1945, hal ini berarti bahwa negara melalui
perangkatnya tidak bisa melanggar hak-hak warga tersebut. Karena hak-hak konstitusi warga
negara merupakan hak dasar yang wajib untuk dillindungi oleh negara. Kewenangan dalam
menyelesaikan perkara terkait pelanggaran konstitusional warga negara pada umumnya disebut
kewenangan constitutional complaint. Menurut Moh. Mahfud MD,8 pengertian constitutional
complaint adalah pengajuan perkara ke MK atas pelanggaran hak konstitusional yang tidak ada
instrumen hukum atasnya untuk memperkarakannya atau tidak tersedia lagi atasnya jalur
penyelesaian hukum/peradilan.
Dalam pandangan Ahmad Syahrizal, constitutional complaint adalah mekanisme
pengaduan konstitusional bagi setiap warga negara atau masyarakat yang ingin mempertanyakan
dugaan pelanggaran hak konstitusional kepada peradilan konstitusi.9 Sebagai contoh negara yang
sudah menerapkan constitutional complaint dalam sistem peradilannya adalah Jerman dan
Korea, di Jerman constitutional complaint dikenal dengan nama verfassungsbechwerde. Setiap
warga negara yang merasa hak-hak fundamentalnya dilanggar oleh pejabat publik dapat
mengajukan constitutional complaint ke MK. Tetapi pengaduan ini baru bisa dilakukan apabila
sudah melewati sarana pengadilan lain. Pengajuan constitutional complaint tidak dikenai biaya
serta dalam proses beracara pun tidak wajib untuk didampingi pengacara. 8 Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, (Jakarta : PT. RadjaGrafindo Persada,
2010), hlm. 2879 Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi Suatu Studi tentang Adjudikasi Konstitusional Sebagai
Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif, (Jakarta : PT. Pradnya Paramita, 2006), hlm.102
39
Berdasarkan pendapat tersebut, pemahaman tentang constitutional complaint hampir
sama dan mengandung makna yang tidak jauh berbeda. Apabila dikaitkan dengan paradigma
hukum yang berkembang saat ini, dimana masih banyak kasus pelanggaran konstitusional
terhadap warga negara, sementara aturan hukum yang tersedia belum mampu melindungi hak-
hak konstitusional mereka. Karena itu, langkah yang tepat dilakukan adalah melalui mekanisme
constitutional complaint.
C. Constitutional Complaint : Cermin Perlindungan dan Penegakan Hukum Terhadap Hak-Hak Konstitusional Warga Negara
Aturan hukum yang ada di Indonesia merupakan produk politik, yakni dibuat oleh
legislatif yang di dalam lembaga tersebut terdiri dari unsur-unsur perwakilan dari partai politik.
Karena itu, setiap aturan hukum yang ada dalam sistem hukum Indonesia kemungkinan bisa
bertentangan dengan konstitusi. Sehingga produk undang-undang yang dihasilkan bisa
dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang mungkin memiliki kecenderungan yang tidak sesuai
dengan konstitusi. Karena itu, diperlukan sebuah mekanisme pengujian konstitusionalitas
terhadap aturan hukum, misalnya pengujian terhadap undang-undang. Melalui mekanisme
tersebut, norma yang dianggap melanggar hak konstitusional warga negara diuji dalam lembaga
peradilan sesuai dengan kompetensi perkaranya.
Mekanisme pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar sudah diatur dalam
UU MK, karena itu setiap produk hukum yang dibuat atas konfigurasi politik yang berkembang
di legislatif harus diuji konstitusionalitasnya sehingga tidak bertentangan dengan konstitusi.
Undang-undang yang dibuat dan diberlakukan kepada seluruh lapisan masyarakat Indonesia
tidak bertentangan dengan nilai dan norma dasar yang terkandung di dalam konstitusi.
Salah satu prinsip dari negara hukum adalah pemerintahan berdasarkan undang-undang.
Artinya, setiap penyelenggaraan negara harus memiliki dasar hukum yang jelas sehingga tidak
40
menimbulkan kesalahan penafsiran suatu produk undang-undang. Dengan adanya mekanisme
pengujian peraturan perundang-undangan yang berpuncak pada konstitusi, maka dapat mencegah
tindakan atau keputusan penyelenggara negara yang melanggar hak konstitusional warga negara.
Meskipun demikian, hal tersebut masih memungkinkan adanya tindakan atau keputusan
penyelenggara negara yang melanggar hak konstitusional warga negara.
Hal itu dapat terjadi paling tidak karena beberapa hal, yaitu; Pertama, pejabat
penyelenggara negara sebagai pemegang kekuasaan tertentu memiliki kesempatan melakukan
penyalahgunaan kekuasaan, baik secara sengaja maupun karena kelalaian. Kedua, banyak
ketentuan hukum yang dalam pelaksanaannya membutuhkan penafsiran dan penyesuaian dengan
kondisi nyata dari aparat pelaksana. Penafsiran yang dilakukan aparat dapat saja keliru dan
mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak konstitusional warga negara. Ketiga, salah satu ciri
negara modern adalah negara kesejahteraan yang memberikan kebebasan bertindak kepada
pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Biasanya tindakan itu dimaksudkan untuk
meningkatkan pembangunan ekonomi yang tidak jarang berdampak pada terjadinya pelanggaran
hak konstitusional warga negara.
Pelanggaran hak konstitusional warga negara dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan dapat diselesaikan melalui mekanisme judicial review. Untuk tindakan atau keputusan
penyelenggara negara yang melanggar hak konstitusional digunakan mekanisme peradilan biasa,
terutama terhadap pelanggaran yang terjadi karena penyalahgunaan wewenang dan penafsiran
yang keliru, misalnya melalui peradilan pidana, perdata, maupun tata usaha negara.
Prosedur penyelesaian pelanggaran terhadap hak konstitusional warga negara pada
umumnya dikenal dengan mekanisme constitutional complaint. Sebelum menentukan apakah
suatu mekanisme constitutional complaint dapat diterapkan di Indonesia, maka terlebih dahulu
41
harus ditentukan tindakan pemerintah yang dianggap pantas untuk dimasukkan ke dalam ranah
constitutional complaint.
Aturan hukum tertulis pada umumnya disebut norma, dalam sistem hukum Indonesia
dikenal dua jenis norma, yaitu norma hukum yang berlaku umum dan norma hukum yang
berlaku khusus. Jadi dapat diketahui kebijakan mana yang termasuk kategori pelanggaran
konstitusional sehingga dapat digunakan mekanisme constitutional complaint. Apabila
constitutional complaint sudah termuat secara eksplisit dalam sebuah peraturan perundang-
undangan, maka lembaga yang berwenang menyelesaikan perkara yang dianggap
inkonstitusional akan lebih mudah dalam menentukan perkara yang layak diselesaikan melalui
mekanisme constitutional complaint.
Seperti telah diketahui bahwa norma hukum terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu norma hukum
yang berlaku umum dan norma hukum yang berlaku khusus. Norma hukum umum berupa
peraturan perundang-undangan, peraturan daerah, dan sebagainya. Sebaliknya norma hukum
yang berlaku khusus berupa keputusan (beschikking) yang dikeluarkan oleh pejabat yang
berwenang. Karena itu, letak perbedaan antara kedua jenis norma hukum itu jelas terlihat dari
produk yang dihasilkan, serta pengujian yang dilakukan. Apabila norma hukum yang berlaku
umum, maka pengujiannya terletak pada 2 (dua) kekuasaan kehakiman, apabila menguji
peraturan dibawah undang-undang terhadap undang-undang maka diuji ke MA, sedangkan
pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar dapat diuji ke MK, sesuai hierarki
peraturan perundang-undangan.
Adapun norma hukum yang dapat diajukan melalui mekanisme constitutional complaint
adalah norma hukum yang berlaku khusus, karena norma hukum yang berlaku khusus ditujukan
42
untuk individu maupun kelompok tertentu. Menurut Paulus E. Lotulung dalam Ni’matul Huda,10
suatu keputusan dari pejabat yang berwenang dapat dibatalkan dengan beberapa alasan. Pertama,
illegal ekstern yakni: (1) tidak berwenang dan (2) kekeliruan bentuk dan prosedur, alasan kedua
yaitu illegal intern yang meliputi: (1) bertentangan dengan undang-undang atau peraturan hukum
lainnya, dan (2) adanya penyalahgunaan kekuasaan.
Berdasarkan alasan-alasan pembatalan keputusan diatas, kedua alasan tersebut tidak
memuat suatu alasan pembatalan sebuah keputusan karena dianggap melanggar hak-hak
konstitusional warga negara, karena dasar terbitnya sebuah keputusan adalah peraturan yang ada
diatasnya, bukan berdasar pada UUD 1945. Karena itu, suatu keputusan yang dianggap
melanggar hak konstitusional warga negara dapat diajukan melalui mekanisme constitutional
complaint, jika substansi dari keputusan tersebut bertentangan dengan hak asasi maupun hak
konstitusional warga negara. Sebagaimana tersirat dalam UUD 1945 tentang jaminan hak
konstitusionalitas warga negara.
Mekanisme constitutional complaint dapat pula diberlakukan terhadap putusan-putusan
MA. Seperti diketahui MA hanya berwenang menguji produk dibawah undang-undang terhadap
undang-undang, jadi yang dijadikan alat uji bukan UUD 1945, karena itulah bisa keluar putusan-
putusan yang melanggar hak konstitusional warga negara. Tetapi sebelum dilakukan mekanisme
constitutional complaint, setiap putusan yang dikeluarkan oleh MA terlebih dahulu dilakukan
upaya hukum sesuai ketentuan yang berlaku. Setelah semua proses hukum dilalui, baru dapat
dilakukan mekanisme constitutional complaint terhadap substansi putusan yang dianggap
melanggar hak konstitusionalitas warga negara.
10 Ni’matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi dan Jucial Review, (Yogyakarta : UII Press, 2005), hlm. 75-76
43
Meskipun semua proses tersebut sudah dilalui, seorang hakim bisa saja keliru dalam
setiap putusan yang dijatuhkan, pada umumnya kekeliruan tersebut berupa salah tafsir suatu
produk hukum. Terkait hal itu, setiap warga negara yang merasa dirugikan hak-hak
konstitusionalnya atas suatu putusan dapat mengajukan perkara konstitusional ke MK, karena
MK sebagai lembaga pengawal konstitusi dianggap pantas dan mampu untuk menyelesaikan
perkara yang termasuk constitutional complaint.
Dalam ketentuan Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945 dan UU Nomor 24 Tahun 2003
tentang MK, secara jelas mengatur mengenai kewenangan dan kewajiban MK, yakni:
1) Menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar (Judicial review);
2) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh undang-undang dasar (disputes regarding state institution’s authority);
3) Memutus pembubaran partai politik (political party’s dissolution);
4) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum (disputes regarding
General Election’s result); serta
5) Wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran
oleh presiden dan/atau wakil presiden menurut undang-undang dasar (pemakzulan atau
impeachment).11
Setiap produk hukum yang dibuat oleh legislatif, eksekutif maupun yudikatif pada
prinsipnya dapat dilakukan upaya uji konstitusionalitas. Hal ini dimaksudkan agar produk hukum
yang sudah dihasilkan oleh ketiga lembaga negara tersebut tidak disimpangi, bahkan mampu
melindungi hak-hak konstitusional warga negara. Sebelum adanya mekanisme constitutional
complaint praktis hanya produk undang-undang yang dibuat oleh legislatif yang dapat diuji
konstitusionalitasnya. Kewenangan menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar
11 Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945 dan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Makamah Konstitusi.
44
mengandung makna melakukan pengujian atas setiap produk hukum yang dihasilkan
berdasarkan proses politik di legislatif terhadap konstitusi, terkait uji konstitusionalitas undang-
undang dengan undang-undang dasar.
Terkait mekanisme pengajuan permohonan agar suatu kasus dapat diselesaikan di MK
melalui constitutional complaint, pada prinsipnya hampir sama dengan pengajuan perkara-
perkara lain yang diajukan ke MK. Adapun yang membedakan pengajuan constitutional
complaint dengan pengajuan perkara lain adalah apabila perkara yang diajukan dianggap
constitutional complaint, maka dalam pengajuannya tidak diwajibkan didampingi kuasa hukum
atau pengacara. Dengan demikian, bagi warga negara yang akan mengajukan perkara
constitutional complaint dapat langsung ke MK untuk membela hak-hak konstitusionalnya yang
merasa dirugikan. Langkah hukum yang dilakukan oleh warga negara tersebut pada akhirnya
akan menumbuhkan pemahaman dan kesadaran dalam berkonstitusi.
Setiap warga negara yang mengajukan sendiri permohonannya ke MK tidak akan
kesulitan meskipun tidak didampingi oleh kuasa hukum maupun pengacara, karena pada
dasarnya konstitusi yang dianut adalah suara rakyat dan selalu bejalan sesuai dengan kehendak
dari rakyat. Jadi, setiap perkara yang diajukan ke MK dan diteliti terkait perkara yang masuk,
maka dianggap sudah memenuhi syarat formil. Karena itu, dalam menentukan perkara-perkara
yang sudah diajukan dan dianggap sudah masuk ranah constitutional complaint, maka perkara
tersebut bisa dilanjutkan.
Menurut Harjono dalam Abdur Rasyid Thalib, terdapat suatu garis besar kewenangan
dari MK yang secara umum dapat dibagi menjadi kewenangan utama dan kewenangan
tambahan. Kewenangan utama meliputi (1) uji materiil konstitusionalitas undang-undang
terhadap undang-undang dasar; (2) memutus pengaduan yang dilakukan oleh rakyat terhadap
45
pelanggaran hak-hak konstitusi mereka atau biasa disebut constitutional complaint; (3) memutus
sengketa kewenangan antar lembaga negara. Sedangkan kewenangan di luar itu bersifat asesoris
atau tambahan yang dapat bervariasi antara negara yang satu dengan yang lainnya.12
Dalam penegakan supremasi hukum, posisi kekuasaan kehakiman yang bebas dan
mandiri sangat berperan besar. Karena itu, diperlukan suatu lembaga peradilan yang tepat dan
mampu menjalankan tugas, fungsi dan wewenang yang telah diamanahkan oleh UUD 1945
untuk mengawal konstitusi. Peradilan yang bebas dan mandiri diharapkan mampu menjalankan
fungsi melindungi hak-hak konstitusional warga negara, agar setiap individu bisa mendapatkan
perlindungan hukum dan perlindungan hak asasi serta mendapat jaminan hak konstitusionalnya.
Karena itu, peran MK sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sangat penting, karena
MK dianggap lembaga yang tepat untuk menyelesaikan perkara-perkara inkonstitusional dalam
kapasitasnya sebagai pengawal konstitusi.
Sebelum berdirinya MK, setiap penyelesaian perkara terkait pelanggaran konstitusi hanya
dilakukan oleh lembaga peradilan biasa. Hal ini berarti, setiap warga negara dapat mengajukan
gugatan dan/atau permohonan kepada pengadilan, terkait pelanggaran hak-hak konstitusional
yang dialami akibat tindakan dari penguasa atau pejabat publik. Perkara-perkara yang masuk ke
pengadilan tidak terbatas pada hal-hal yang secara umum diselesaikan di tataran peradilan biasa,
tetapi juga termasuk perkara-perkara pelanggaran atas hak konstitusional warga negara.
Akibatnya berimplikasi pada rendahnya kualitas putusan sehingga belum mampu memberikan
rasa keadilan bagi warga negara.
Dengan demikian, pengakuan sekaligus penerapan terhadap mekanisme constitutional
complaint melalui lembaga MK, pada akhirnya diharapkan dapat berjalan dengan baik. Hal ini
12 Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2006), hlm.187
46
tentu merupakan bagian dari cerminan pengakuan sekaligus perlindungan dari nilai-nilai
keadilan dan pada hakikatnya merupakan kehendak sebagian besar anggota masyarakat
sebagaimana tercermin dalam UUD 1945 yang menegaskan bahwa cita negara hukum Indonesia
didalamnya mengandung substansi pengakuan, perlindungan sekaligus penegakan terhadap hak-
hak konstitusional masyarakat. Untuk itu, penerapan terhadap constitutional complaint bersinergi
dengan azas hukum yaitu nilai-nilai keadilan, yang pada dasarnya bersumber dari kebutuhan
masyarakat akan rasa aman tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan dan
penghidupan. Masyarakat harus mendapat pelayanan, dan perlindungan dari segala macam
tindak-tanduk yang mengganggu ketenteraman mereka untuk berbuat, memiliki, berusaha, dan
semua kegiatan dan kepemilikan yang sah dan benar. Karena itu setiap tindakan hukum atas
setiap pelanggaran yang bersinggungan dengan kepemilikan dan ketenteraman masyarakt, harus
mencerminkan azas keadilan itu.
Konstitusi selain menjamin hak-hak individu, juga menentukan pula cara atau prosedur
untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin tersebut. Namun yang perlu
dijadikan catatan di sini, budaya kesadaran berkonstitusi bangsa ini juga harus mulai
ditumbuhkembangkan, seiring dengan kesiapan dari MK dalam menerima, mengadili, dan
memutus setiap permohonan constitutional complaint yang masuk kepadanya. Seyogyanya jika
instrumen ini telah nyata menjadi salah satu kewenangan MK, maka dapat diperkirakan MK
akan kebanjiran permohonan mengenai constitutional complaint, sebab hingga saat ini disinyalir
begitu banyak hasil warisan kebijakan publik yang dianggap telah melangkahi basic rights warga
negara Indonesia. Selain membutuhkan kesiapan yang cukup matang, dibutuhkan juga dukungan
dari berbagai stakeholder bangsa ini. Oleh karena itu sebagai batasannya, menurut penulis
47
sebaiknya permohonan constitutional complaint baru dapat diperiksa apabila upaya-upaya
hukum yang tersedia telah habis (exhausted).
Di lain sisi, dengan adanya instrumen constitutional complaint ini, maka lambat laun
akan tercipta kesadaran di tengah-tengah masyarakat untuk membela diri di hadapan hukum
ketika hak-hak dasar mereka dilanggar. Selain itu, berbagai kebijakan yang menyentuh ranah
publik dan warga negara biasa, dengan sendirinya akan mempunyai kepekaan terhadap
perlindungan dan pemenuhan basic rights atau fundamental rights bagi setiap masyarakat.
Perlindungan terhadap warga negara yang merasa hak-hak konstitusionalnya
(constitutional rights atau basic rights) dirugikan oleh keputusan suatu institusi negara, baik
legislatif, eksekutif, maupun yudikatif harus dijalankan dan ditegakan oleh seluruh komponen
institusi negara, terutama yang memiliki kewenangan dalam mengawal konstitusi, yakni MK.
Pengawalan dan perlindungan hak-hak konstitusional warga negara tidak bisa dilakukan oleh
beberapa pihak dalam negara, melainkan harus dilakukan secara menyeluruh dan komitmen
tinggi dari seluruh komponen negara. Karena itu, perlu dilakukan suatu langkah hukum yang
progresif, konsep yang tepat dan memiliki landasan hukum dalam membuat suatu ketentuan
hukum sebagai landasan normatif yang memuat mekanisme constitutional complaint.
Perlu diketahui bahwa syarat-syarat dari ketentuan hukum yang akan di normakan
kedalam sebuah aturan hukum, tidak boleh merusak tatanan sistem hukum yang sudah kokoh,
sehingga kepastian hukum tetap terjaga. Hal ini merupakan sebuah harapan agar ketentuan
mengenai constitutional complaint dapat dimasukan ke dalam suatu aturan hukum, sebagai acuan
bagi warga negara dalam melakukan gugatan atau permohonan atas pelanggaran konstitusional
yang dialami. Karena itu, MK sebagai lembaga yang berfungsi sebagai pengawal konstitusi layak
untuk diberikan satu kewenangan (perluasan) lagi yakni memiliki kewenangan untuk memutus
48
constitutional complaint, sehingga mampu menyelesaikan setiap permasalahan warga negara
yang dianggap inkonstitusional melalui mekanisme constitutional complaint.
D. Penutup
Mahkamah Konstitusi (MK) selaku lembaga negara yang diatur dalam UUD 1945 dan
UU MK secara prinsip diposisikan sebagai pengawal konstitusi (the guardian of constitution),
penafsir akhir konstitusi (the final interpreter of constitution), pengawal demokrasi (the guardian
of democracy), pelindung hak-hak konstitusional warga negara (the protector of citizen’s
constitutional rights), dan pelindung hak-hak asasi manusia (the protector of human rights).
Sehingga, sebagai lembaga yang berfungsi untuk mengawal konstitusi, maka MK dalam konteks
perlindungan sekaligus penegakan hukum harus memiliki kewenangan untuk menyelesaikan
constitutional complaint, dengan tujuan untuk melindungi hak-hak warga negara yang telah
dirugikan hak konstitusionalnya. Kewenangan terkait dengan constitutional complaint ini adalah
merupakan bagian dari perluasan kewenangan MK yang tentu akan berimplikasi terhadap
perubahan UU MK. Disamping itu, kewenangan constitutional complaint MK adalah merupakan
cerminan perlindungan sekaligus penegakan hukum terhadap pelanggaran hak-hak konstitusional
warga Nega yang dirugikan oleh keputusan suatu institusi negara, baik legislatif, eksekutif,
maupun yudikatif.
49
DAFTAR PUSTAKA
Fadjar A. Mukhti, 2005, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Sekreteriat jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
, 2010, Konstitusionalisme Demokrasi , Jakarta : In-TRANS Publishing.
Friedman Lawrence M., 2009, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, Bandung : Penerbit Nusa Media.
Huda Ni’matul, Negara Hukum,2005, Demokrasi dan Jucial Review, Yogyakarta: UII Press,.
Ibrahim Anis, 2007, Merekonstruksi Keilmuan Ilmu Hukum & Hukum Milenium Ketiga, Malang : In-TRANS.
Mahfud MD, Moh, 2010, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Jakarta : PT. RadjaGrafindo Persada.
,dkk, 2010, Constitutional Question, Alternati Baru Pencarian Keadilan Konstitusionail, Malang : UB Press.
Strong C.F., 2004, Konstitusi-konstitusi Politik Modern : Kajian tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia,Bandung : Nuansa dan Nusamedia.
Stahl F.J., A.V. Dicey, 1965, ditinjau dari International Comission of Jurist, Mengutip The Dynamic Aspects of The Rule of Law in The Modern Age, International Comission of Jurist.
Sutiyoso Bambang, Sri mastuti Puspitasari, 2005, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, Yogyakarta : UII Press.
Syahrizal Ahmad, 2006, Peradilan Konstitusi Suatu Studi tentang Adjudikasi Konstitusional Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif, Jakarta : PT. Pradnya Paramita.
Thaib Dahlan, Jazim hamidi, Ni’matul Huda, 2004, Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada.
Thalib Abdul Rasyid, 2006, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
Indonesia, Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Indonesia, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sebagaimana telah dirubah dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
50