conoth kepribadian
-
Upload
belantara-nokturno -
Category
Documents
-
view
5 -
download
1
description
Transcript of conoth kepribadian
Pengendalian diri dalam komunikasi
Dosen : Riani Lubis. M.T
Oleh:
- Jajang Amin Mansyur 10111723
PROGRAM STUDI TEKNIK INFORMATIKAFAKULTAS TEKNIK DAN ILMU KOMPUTER
UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA2015
BAB IPENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Manusia merupakan makhluk individu sekaligus makhluk sosial yang senantiasa
melakukan hubungan interpersonal dengan sesamanya. Dalam hubungan dengan lingkungan
sosialnya, manusia seringkali mengalami berbagai pengalaman emosi dan ekspresi yang berbeda.
Pengalaman emosi dan ekspresi itu nampak beberapa hal seperti gerakan tubuh, perubahan raut
wajah, dan nada suara. Perubahan-perubahan inilah yang dengan mudah dapat dirasakan oleh
orang yang mengalaminya. Demikian pula dapat dimengerti oleh orang yang menyaksikannya
terutama jika intensitasnya sangat kuat, yang seringkali disebut emosi.
Perubahan-perubahan ekspresi emosi manusia nampak dalam proses interaksinya dengan
lingkungan. Interaksi tersebut dapat mengakibatkan manusia mengalami saat-saat dimana ia
merasa sangat marah, jengkel, ataupun muak terhadap perlakuan orang yang tidak adil. Pada
waktu yang lain, manusia mampu merasakan sedih sehingga menangis tersedu-sedu, muka pucat
pasi atau merah padam, dan nada bicaranya terputus-putus. Atau bahkan ada manusia yang
pingsan ketika merespon berita kehilangan salah seorang anggota keluarga yang amat dicintai.
Berbagai ekspresi ini merupakan perihal yang dipicu oleh kadar emosi yang teramat mendalam
dan meluap-luap. Terlebih lagi, emosi nampak dalam kehidupan sehari-hari.
Istilah “emosi” dalam pemakaiannya sehari-hari sangat berbeda dengan pengertian
psikologi. Orang-orang seringkali menggunakan emosi sebagai ketegangan akibat tingkat
kemarahan yang tinggi. Ketegangan marah yang tinggi nampak dalam perubahan nada suara,
raut muka, ataupun tingkah laku. Ekspresi marah seperti inilah yang seringkali dimengerti
sebagai emosi. Namun tidak mudah juga untuk memberikan gambaran mengenai perbedaan
emosi dan ekspresi amarah.
1.2 RUMUSAN PERMASALAHAN
Berdasarkan emosi yang nampak dalam kehidupan manusia sehari-hari, maka menjadi
hal yang menarik untuk mengetahui apa dan bagaimana sebenarnya emosi itu? Demi memeroleh
pembahasan yang mendalam, maka penulis melakukan elaborasi berbagai teori dan penelitian
yang tertera dalam jurnal penelitian. Lalu berdasarkan elaborasi teori, maka penulis bermaksud
menganalisa kasus untuk memperjelas pembahasan yang terkait dalam bagian kepribadian yang
emosional. Pemaparan kasus tersebut mengenai penodongan pistol oleh seorang Jaksa terhadap
karyawan SPBU. Pada bagian akhir makalah, penulis menyimpulkan makalah dan mengambil
relevansinya. Adapun bentuk-bentuk rumusan pertanyaan permasalahan, diantaranya :
a. Apakah definisi dan makna emosi?
b. Apa dan bagaimana penyebab munculnya emosi?
c. Bagaimana hubungan emosi dan kepribadian?
d. Bagaimana relevansi dari analisis kasus terhadap tema emosi dalam kepribadian?
1.3 MANFAAT PENULISAN
Beberapa manfaat penulisan makalah ini diantaranya :
a. Manfaat bagi mahasiswa adalah sebagai panduan dalam memperdalam
pemahaman mengenai emosi dan kepribadian.
b. Manfaat demi memperkaya karya tulis mengenai emosi dalam hubungannya
dengan kepribadian melalui analisis studi kasus.
c. Manfaat bagi setiap individu untuk memahami bahwa emosi mempunyai
perbedaan yang khas dalam sensitivitas dan kecenderungan pada bagian
emosional
d. Manfaat bagi masyarakat untuk memahami kepribadian dan emosi sehingga
mampu mengendalikannya dalam aktivitas hidup sehari-hari.
1.4 TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan makalah ini antara lain :
a. Mengetahui definisi dan makna emosi.
b. Mengetahui penyebab munculnya emosi.
c. Mengetahui hubungan antara emosi dan kepribadian.
d. Mengetahui relevansi dari analisis kasus terhadap tema emosi.
BAB IIPEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN EMOSIDari segi etimologi, istilah “emosi” berasal dari akar kata bahasa Latin, yakni “movere”
yang berarti “menggerakkan, bergerak”. Oleh sebab itu nampak secara tersirat kesan bahwa
kecenderungan tindakan seseorang merupakan sebab dari emosi. Atau dengan kata lain, emosi
menjadi kecenderungan mutlak dalam menggerakkan tingkah laku manusia. Namun untuk
memeroleh definisi mengenai emosi yang tegas, para ahli psikologi masih mengalami perdebatan
terus menerus.
Definisi mengenai emosi dan pengklasifikasiannya merupakan hal yang rumit sehingga
tetap menjadi perdebatan oleh para ahli. Kerumitan definisi dan pengklasifikasian emosi ini
disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut (Sarlito, 1996) :
a. Emosi yang sangat mendalam menyebabkan aktivitas badan juga meninggi sehingga seluruh
tubuh diaktifkan, dan dalam keadaan seperti itu sulit menentukan apakah seseorang sedang
marah atau takut.
b. Seseorang dapat menghayati satu jenis emosi dengan beragam cara. Misalnya, dalam situasi
marah ia gemetar, dan pada saat yang lain memaki-maki atau mungkin lari.
c. Penanaman jenis-jenis emosi biasanya didasarkan pada sifat rangsangannya, dan bukan
keadaan emosinya. Takut adalah emosi yang timbul terhadap suatu bahaya, marah adalah emosi
yang timbul oleh karena sesuatu yang menjengkelkan.
d. Pengenalan emosi secara subjektif dan instrospektif sukar dilakukan karena tetap saja ada
pengaruh dari lingkungan.
Kendala-kendala sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, menurut Goleman, (1997)
merupakan kerumitan yang dipicu oleh jenis-jenis emosi yang sangat beragam sehingga
perbendaharaan kata kurang ataupun tidak sepadan dalam menyebutkannya. Dengan demikian
para ahli pun dapat berbeda dalam merumuskan pengertian dan pembagian emosi, meskipun
sebenarnya merupakan pengalaman kita sehari-hari baik dialami langsung secara pribadi maupun
ketika berinteraksi dengan orang lain.
Para ahli kemudian memberi semacam tajuk atau panduan yang mengarah pada makna
emosi (Hude, 2006), yakni pertama, bahwa emosi adalah sesuatu yang dapat manusia rasakan
pada saat terjadinya; kedua, bersifat fisiologis dan berbasis pada perasaan emosional; ketiga,
menimbulkan efek pada persepsi, pemikiran dan perilaku; keempat, menimbulkan dorongan atau
motivasi; kelima, mengacu pada cara pengekspresian yang diejawantahkan dalam bentuk bahasa,
ekspresi wajah, dan isyarat. Jadi apabila muncul pembahasan mengenai emosi, maka para ahli
tidak memulai dengan definisi melainkan berdasarkan contoh-contoh konkrit dalam kehidupan.
Namun terdapat beberapa definisi emosi yang diungkapkan oleh demi menjelaskan
emosi. Caplin (2005) mengungkapkan bahwa emosi merupakan reaksi yang kompleks yang
mengandung aktivitas dengan derajat yang tinggi dan adanya perubahan jasmaniah serta terkait
dengan perasaan yang kuat. Reaksi yang kompleks itu berfungsi untuk membedakan emosi
dengan perasaan-perasaan (feelings) yang adalah pengalaman disadari yang diaktifkan baik oleh
perangsang eksternal maupun oleh bermacam-macam keadaan jasmaniah. Emosi juga
merupakan kecenderungan terhadap perilaku yang mengarah (approach) atau menyingkir
(advoidance) terhadap sesuatu situasi tertentu yang disertai adanya ekspresi kejasmanian
(Walgito, 2003). Akhirnya emosi, menurut Goleman (1997) merujuk pada suatu perasaan dan
pikiran khasnya, yakni suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan
untuk bertindak. Jadi emosi bisa menjadi tujuan manusia untuk melakukan aktivitas tertentu,
karena ia tahu bahwa aktivitas tersebut menyenangkan. Adapun pendapat yang terakhir ini
menjadi definisi yang digunakan oleh penulis.
B. KARAKTERISTIK EMOSIManusia adalah makhluk individu dan juga makhluk sosial sehingga faktanya manusia
mengalami berbagai macam peristiwa yang melibatkan emosi. Namun manusia tidak dapat
memungkiri pengalaman yang terjadi dalam kehidupannya ketika emosi sedang memuncak.
Pengalaman-pengalaman masa lampau yang tersimpan dalam memori manusia kemudian
muncul ketika peristiwa yang sama terulang kembali sehingga menimbulkan tingkah laku
ekspresif saat itu. Goleman, (1997) mengemukakan reaksi ekspresif delapan jenis emosi, yaitu:
1. Amarah : beringas, mengamuk, benci, marah besar, jengkel, kesal, hati terganggu, berang,
tersinggung, bermusuhan, agresi, tindak kekerasan, dan kebencian patologis
2. Kesedihan : pedih, sedhi, muram, suram, kesepian, ditolak, putus asa, dan depresi berat
(patologis)
3. Rasa Takut: cemas, takut, gugup, khawatir, waswas, waspada, tidak tenang, ngeri, fobia, dan
panik (patologis)
4. Kenikmatan: bahagia, gembira, puas, senang, terhibur, bangga, kenikmatan inderawi, rasa
terpesona, rasa terpenuhi, kegirangan, luar biasa, dan mania.
5. Cinta: penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat,
kasmaran, kasih.
6. Terkejut : kaget, takjub, terpana, terkesiap.
7. Jengkel : hina, jijik, mual, benci, tidak suka, mau muntah
8. Malu : rasa salah, kesal hati, sesal, aib, dan hati hancur lebur
Emosi-emosi itu kemudian dikategorikan lagi ke dalam emosi inti atau emosi dasar, yaitu
takut, marah, sedih, dan senang. Dan oleh ahli lain, menurut Santrok (1988), ditambahkan benci
dan kaget sehingga keseluruhannya menjadi enam kategori emosi dasar.
C. EMOSI DAN KEPRIBADIANEmosi dan kepribadian memiliki hubungan yang dapat dijelaskan berdasarkan analogi
cuaca dan iklim (Revelle dan Scherer, 2008). Secara definitif, kepribadian adalah pola yang
berhubungan dengan pengaruh, perilaku, kognisi dan keinginan (tujuan lintas waktu dan lokasi).
Sedangkan luapan emosi menghadirkan integrasi dari perasaan, perilaku, penilaian dan keinginan
pada waktu khusus dan lokasi tertentu sehingga kepribadian menghadirkan integrasi dalam
waktu dan tempat (Orthony, 2005). Jadi akumulasi dari emosi yang berkaitan dengan
karakterisasi khususnya menghadirkan pengertian mengenai kepribadian manusia tersebut.
Sigmund Freud merupakan tokoh terkenal dalam psikodinamika yang mengemukakan
pendapatnya mengenai kepribadian manusia. Kepribadian merupakan struktur dalam diri
manusia yang terdiri dari tiga sistem yaitu Id, Ego dan Superego. Id (bawah sadar) merupakan
“kenyataan psikis yang sebenarnya”, karena merepresentasikan dunia batin pengalaman subjektif
dan tidak mengenal objektif (mis: lapar tidak bisa memakan khalayan). Ego (sadar) berfungsi
membedakan dunia batin dan dunia luar (persepsi makanan diubah dengan menghadirkan
makanan di lingkungan melalui pancaindera). Ego yang tidak berhasil menghadapi stimulus yang
berlebihan dari luar mengakibatkan kecemasan. Sedangkan Superego (atas sadar) memutuskan
apakah sesuatu itu benar/salah sesuai norma-norma moral yang dilakukan oleh masyarakat.
Dengan demikian pendapat Freud mengenai kepribadian merupakan hasil dari konflik dan
rekonsiliasi ketiga sistem kepribadian tersebut. Adapun konflik dan rekonsiliasi itu terjadi oleh
karena adanya pengaruh emosi.
Gordon Allport merumuskan kepribadian sebagai “sesuatu” yang terdapat dalam diri
individu yang membimbing dan memberi arah kepada seluruh tingkah laku individu yang
bersangkutan. Lebih detail, kepribadian adalah organisasi yang dinamis dari sistem psikofisik
dalam individu yang turut menentukan cara-caranya yang unik atau khas dalam menyesuaikan
diri dengan lingkungannya (dalam Supraktiknya, 2005). Kedinamisan sistem psikofisik pun
terjadi oleh karena pengaruh penggalan-penggalan emosi di dalamnya. Oleh sebab itu, Allport
memberikan suatu definisi yang positif terhadap kepribadian manusia sebagai mahkluk yang
baik dan penuh harapan. Oleh sebab itu, manusia yang sehat secara psikologis, khususnya dalam
pemeliharaan emosi, hendaknya melihat ke depan, tidak melihat ke belakang.
D. TINJAUAN KASUSII. C. 1. “Penodongan Seorang Petugas SPBU oleh Jaksa”
Pada hari Senin, 02 September 2013 lalu telah terjadi penodongan senjata oleh seorang
Jaksa dari Kejaksaan Negeri Tigaraksa berinisial MP terhadap karyawan Stasiun Pengisian
Bahan Bakar Umum (SPBU) bernomor 3415317 di Tangerang Selatan. Seorang saksi bernama
Sumiran menyatakan bahwa bukan penodongan senjata melainkan Jaksa yang sedang marah
meletakkan senjata api di atas meja dan hal itu membuat petugas syok karena ketakutan. Polisi
kini tengah mengusut laporan mengenai penodongan senjata dan keaslian senjata api yang
digunakan pelaku.
Berdasarkan keterangan yang dihimpun Tempo di lapangan, kemarahan jaksa diduga
tersulut ketika istrinya LE yang saat itu bersama MR sedang mengisi bensin di SPBU tersebut.
Saat itu, seorang petugas SPBU meminta agar kendaraan Daihatsu Terios yang dikendarai LE
mengubah posisi karena masuk dari arah berlawanan dengan kendaraan lain. Namun, hal itu
membuat LE marah dan langsung mencak-mencak mengomeli petugas itu.
Tak lama MR yang tercatat sebagai warga perumahan BSD sector 14.6, Kelurahan rawa
Buntu, Serpong itu keluar dari kendaraan tersebut. MR langsung menemui Iskandar yang
sedang berjaga. Tanpa basa-basi ia langsung menggebrak meja dan mengeluarkan senjata api.
Setelah puas marah dan memaki-maki MR langsung keluar meninggalkan kantor SPBU
tersebut. Sementara itu, Iskandar syok melihat senjata api langsung pingsan dan dilarikan ke
rumah sakit Sari Mulia, Pasar Bengkok, Kota Tangerang.
Sumber : Joniansyah, Surat kabar “Tempo”, Rabu, 04 September 2013 | 07:29 WIB
II. C. 2. Tinjauan Emosi dan Kepribadian
Penodongan senjata oleh seorang jaksa sebagaimana pemaparan kasus di atas merupakan
kasus yang hangat dalam pembicaraan di berbagai media elektronik. Hal ini menjadi pertanyaan
besar ketika seorang abdi negara yang selayaknya menunjukkan diri sebagai contoh, suri
tauladan, kenyataannya terbawa oleh reaksi ekspresif emosinya sehingga berakibat pada muncul
masalah penodongan tersebut. Reaksi ekspresif emosi yang termasuk dalam jenis emosi amarah
seperti tersinggung, marah besar, dan beringas, (Goleman, 1997) nampak bagi MR sebagai
tujuannya dalam aktivitas untuk menyenangkan/memuaskan dirinya.
Emosi MR terpuaskan, tetapi bukan dalam arti yang positif membahagiakan, melainkan
lebih kepada aktivitas luapan amarah (negatif). Jadi MR yang menerima kabar dari istrinya LE
merasakan gangguan terhadap keadaan psikologis dan biologisnya. Gejolak gangguan itu
kemudian memotivasi dirinya untuk pergi ke kantor SPBU mencari orang yang menegur LE,
istrinya. Ia pergi ke kantor SPBU seraya membawa pistol sebagai simbol kekuasaannya. Oleh
karena luapan amarah emosi yang menggebu-gebu dan didukung dengan simbol kekuasaan
(jaksa dan pistol) yang besar, maka MR bahkan menantang pegawai-pegawai disana. Reaksi
ekspresif emosi inilah yang memotivasi dirinya sehingga melakukan aktivitas “berani mati”
tersebut. Iskandar, pegawai SPBU, yang melihat kejadian itu juga merasakan luapan emosi yang
besar dalam dirinya (terkejut dan rasa takut) pada segi biologis dan psikologisnya sehingga
terjadilah pingsan.
Barangkali dalam penelusuran yang lebih mengenai riwayat hidup MR, maka dapat
ditemukan pengalaman-pengalaman hidupnya yang menunjukkan penyebab dari tingkah laku
seperti itu. Pengalaman-pengalaman emosi memuncak seperti ketika pada masa lampau
mengalami memori yang kurang menyenangkan (diremehkan, sedang dimarahi atasan, bullying,
disingkirkan, dll.). Akhirnya, memori MR yang kurang menyenangkan muncul atau peristiwa
yang sama terulang kembali sehingga menimbulkan tingkah laku ekspresif saat itu (Goleman,
1997).
Akumulasi memori emosi masa lampau yang kurang menyenangkan kemudian
membentuk kepribadian MR, yang penuh amarah, tidak mau diremehkan, dan mudah
tersinggung. Kepribadian yang terbentuk seperti itu, menurut Freud, merupakan akibat Id (bawah
sadar) yang tidak terpuaskan, ego (kesadaran) yang mengalami represif, dan superego (atas
sadar) dirinya sebagai jaksa sehingga memahami norma-norma moral – hukum mana
benar/salah. Ketika permasalahan muncul (cerita dari LE), MR mengalami gejolak stimulus yang
besar terhadap sistem Id dan Ego. Namun analogi gunung es bagian bawah dalam sistem Id diri
MR yang tidak stabil secara emosi mengakibatkan dirinya harus melakukan sifat instingtif demi
pemuasan terhadap prinsip kenikmatan subjektifnya. Sistem ego pun mengimplementasikan
permintaan Id dengan “pembenaran” dalam sistem superego. Dengan demikian ketiga sistem
dalam kepribadian yang telah terakumulasi pada masa lampau dimanifestasikan dengan aktivitas
MR dengan konflik dan rekonsiliasi ketiga sistem kepribadian menurut Freud.
II. D. PENERAPAN EMOSI POSITIF
Sebuah penelitian ekperiensial mengenai emosi positif menghadirkan masukan dalam
proses internal individu dengan keterkaitan sosial yang mendorong peningkatan fungsi
psikologis (Gross, Maus, Shallcross, Troy, John, Ferrer, Wilhelm, 2011). Secara sederhana,
emosi yang positif seringkali berhubungan dengan hasil yang baik. Namun dalam terminologi
sebab-akibat, bukti-bukti mengakumulasikan bahwa emosi positif tidak hanya memiliki
konsekuensi terhadap terjadinya hal-hal yang baik. Begitu juga emosi positif mengkontribusi
hasil yang baik termasuk meningkatkan fungsi psikologis. Dengan demikian penelitian ini
berfungsi untuk meningkatkan komunikasi emosi positif yang seefektif mungkin sehingga dapat
mendorong hubungan sosial dan fungsi psikologis yang lebih baik.
Selain pengkomunikasi emosi positif, penelitian lainnya juga memaparkan bahwa
dampak perilaku antisosial (yang berkembang pada masa remaja) memerlukan intervensi
preventif dari segi sosial-kognitif (Dodge, Godwin, dan Tim Peneliti, 2013). Jadi bukan saja
emosi semata yang memerlukan pengkomunikasian sehingga menghasilkan hasil yang baik,
tetapi sejak awal juga perlu intervensi sosial-kognisi demi bekal perilaku di seluruh
perkembangan rentang kehidupan manusia. Dengan mekanisme psikologis (sosial-kognitif)
dalam pengalaman hidup positif yang disimpan sebelumnya, maka berfungsi pula secara positif
untuk mewakili sikap internal perilaku yang kemudian.
Dari pemaparan di atas, maka bagi masing-masing peneliti menyadari terhadap
kekurangan dalam penelitian mereka. Peningkatan emosi positif memerlukan akurasi komunikasi
yang seefektif mungkin sehingga perilaku cocok dengan perasaan pribadi. Tetapi komunikasi
emosi positif kurang mencukupi apabila belum menambahkan bagian penting dari pengetahuan
untuk memahami bagaimana emosi positif mendorong pada hasil yang baik. Peningkatan proses
sosial-kognitif memang mampu berfungsi dalam jangka panjang, tetapi pertimbangan terhadap
proses jangka pendek pun perlu diciptakan seperti atribusi yang ramah tentang orang lain (bukan
bermusuhan) dan intervensi dalam mengolah informasi. Oleh sebab itu hasil dari dua penelitian
ini pun dapat berfungsi secara integral demi pengkondisian emosi yang positif. Akhirnya,
kemampuan manusia untuk mengendalikan emosi adalah tanda bahwa seseorang mampu
melakukan pengendalian diri dari sisi Psikologis (Passer, Michael W. dan Ronald E. Smith.
2008).
BAB III
PENUTUP
II. A. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan mengenai emosi dan kepribadian di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa emosi menjadi kecenderungan tujuan manusia untuk menggerakkan tingkah
lakunya. Sedangkan akumulasi dari emosi yang berkaitan dengan karakterisasi-karakterisasi
khususnya membentuk kepribadian manusia. Peninjauan kasus pun turut menjelaskan
latarbelakang kepribadian manusia oleh karena reaksi ekspresif dari emosi. Akhirnya,
peningkatan emosi yang positif dan pengkomunikasian intervensi preventif sosial-kognitif pada
masa kanak-kanak merupakan jalan keluar bagi pengkondisian reaksi emosional yang stabil dan
terkontrol dalam jangka yang panjang.