CINTA: ASAL DAN TUJUAN HIDUP MANUSIA (Sebuah ......kesempurnaan hidup. Saya kemudian menambahkan...
Transcript of CINTA: ASAL DAN TUJUAN HIDUP MANUSIA (Sebuah ......kesempurnaan hidup. Saya kemudian menambahkan...
BETANG FILSAFAT 011/Bet.Fil./Art./XII/2019
1 | w w w . b e t a n g f i l s a f a t . o r g
CINTA: ASAL DAN TUJUAN HIDUP MANUSIA (Sebuah
Tinjauan Filosofis-Teologis)
Romanus Piter
(STF Widya Sasana Malang)
Pendahuluan
Salah satu kata di dunia ini yang sampai sekarang masih menjadi misteri adalah Cinta. Orang
sangat kerap menyebut kata Cinta dalam kehidupan sehari-hari, baik itu dalam relasi dengan
sesama, relasi dengan Allah, dalam dunia kerja dan lain sebagainya. Misalnya seorang lelaki
mengatakan kesungguhannya dalam berrelasi dengan pasangannya, “aku mencintaimu dengan
segenap jiwa dan ragaku,” atau seseorang yang mensyukuri hidupnya dalam doanya mengatakan,
“terima kasih Engkau telah mencintaiku sehingga aku senantiasa luput dari marabahaya,” dan
yang lain lagi tentang pekerjaannya berkata, “aku sangat mencintai pekerjaanku, maka aku akan
setia melaksanakannya.” Bahkan belakangan ini muncul istilah Bucin (budak cinta) untuk
menjuluki orang yang sedang dimabuk cinta, khususnya anak-anak muda.
Orang-orang di atas menyebut kata Cinta untuk situasi yang berbeda-beda. Bila dikaji secara
teliti, ungkapan-ungkapan tersebut – yang menyertakan kata Cinta – tampaknya adalah suatu
perkara serius. Dalam hal ini kemudian kita dapat bertanya, apa sebetulnya Cinta itu? mengapa
ada Cinta di dunia ini? dari mana Cinta berasal? mengapa Cinta begitu populer dalam kompleksitas
hidup manusia? apa sebetulnya peranan Cinta dalam hidup manusia? haruskah ada Cinta di dunia
ini?
Dalam karya tulis ini saya akan memberikan penjelasan mengenai Cinta dan sekaligus
menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Di sini saya ingin menjelaskan Cinta secara lebih
kompleks yakni, Cinta itu sebagai Asal dan Tujuan Hidup Manusia. Dalam pembahasan ini saya
akan lebih menonjolkan peran dan eksistensi manusia, karena dari manusialah lahir konsep tentang
Cinta. Selain itu, hanya manusialah – oleh karena akal budinya – yang dapat memikirkan Cinta
secara lebih baik dari semua makhluk hidup yang ada di dunia ini. Penjelasan tentang Cinta yang
saya sajikan dalam karya tulis ini menggunakan telaah dalam sudut pandang filosofis teologis.
Kodrat dan Karakter Cinta
Cinta adalah perkara hidup. Hanya orang yang hidup dapat mencintai dan memiliki Cinta
sejati. Ungkapan aku mencintaimu adalah suatu ungkapan kepenuhan atau tingkat tertinggi dari
jiwa manusia. Ungkapan semacam itu atau sejenisnya – menyertakan kata Cinta – semestinya
adalah perkara serius. Karena ini perkara serius, maka dengan sendirinya kata Cinta memiliki
tingkat yang paling tinggi dalam hidup manusia. Dalam hal semacam ini saya ingin menolak suatu
ungkapan cinta itu buta.
BETANG FILSAFAT 011/Bet.Fil./Art./XII/2019
2 | w w w . b e t a n g f i l s a f a t . o r g
Dalam hemat saya, Cinta itu tidak buta, justru ia melihat dengan sangat tajam sampai ke
bagian terdalam dari diri manusia. Cinta itu melihat dengan jelas dan mampu menembus sekat-
sekat kebebalan hati manusia. Gabriel Marcel menyebut Cinta adalah itu yang dikatakan sebagai
Allah. Ia adalah puncak atau kepenuhan dari relasi intersubyektif manusia. Dalam relasi semacam
itu tidak ada kecurangan dan penipuan, melainkan hanyalah semata kebaikkan dan keindahan.
Hanya oleh karena Cinta, menurut Marcel, manusia dapat menjadi manusia sejati.1 Marcel juga
menegaskan bahwa Cinta itu memiliki kodrat yang mutlak dan absolut. Mengapa Ia mutlak dan
absolut? Karena Cinta adalah asal dan tujuan segala sesuatu yang ada di dunia ini, termasuk
manusia. Cinta itu sekaligus juga mampu melampaui ruang dan waktu, menurutnya, bahkan
kematian sekalipun.
Kitab Suci, dalam hemat saya, memberikan gambaran Cinta yang begitu luar biasa. Ini tidak
hanya sekadar suatu gambaran tentang Cinta, melainkan kodrat dan hakikat Cinta itu sendiri.
Penulis Injil Yohanes menyebutkan bahwa oleh karena Kasih-Nya yang sungguh besar, Allah rela
mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal untuk menyelamatkan manusia (bdk. Yoh 3:16). Rasul
Paulus dalam suratnya kepada umat di Roma juga berbicara tentang Cinta (bdk. Rm 8:32).
Memang ia mengatakannya tidak secara gamblang, namun lagi-lagi Cinta Allah dikatakan di sini
adalah landasan atau dasar yang menyelamatkan manusia. Makna Cinta yang lebih indah datang
dari Yesus sendiri yakni, Cinta untuk rumah-Mu menghanguskan Aku (Yoh 2:17).
Beberapa filosof dan teolog menyebutkan pula arti Cinta dalam hematnya masing-masing,
misalnya Empedokles menyebut Cinta itu menyatukan, Plato menyebut Cinta adalah penuntun
manusia pada kebaikan, Aristoteles menyebut Cinta sebagai itu yang menjadi dasar untuk menjalin
persahabatan, Martin Buber menyebut Cinta sebagai itu mengenal yang lain dalam dialog,
Agustinus menyebut Cinta adalah segalanya, Thomas Aquinas menyebut Cinta sebagai dasar
untuk mencintai sesama, dan Edith Stein menyebut Cinta sebagai itu yang mengantar manusia
pada kesempurnaan.2 Menjadi semakin jelas bahwa Cinta itu memiliki makna yang begitu amat
kaya. Yang lebih luar biasa adalah bahwa makna Cinta selalu mengarah pada kebaikan hidup
pribadi manusia.
Yang tidak kalah menarik adalah makna dan arti Cinta menurut Armada Riyanto. Ia
menyebut Cinta sebagai itu yang mendasari sebuah relasi, yakni relasi antara Aku dan Liyan (yang
lain). Relasi yang sempurna dan baik adanya mesti dilandasi dan ditandai oleh Cinta. Cinta di sini
memiliki peranan yang sangat vital, karena olehnya manusia dapat menjadi sempurna. Ia
melukiskan Cinta itu demikian:
Cinta adalah relasional antara Aku dan Liyan, dalam maksud relasi cinta tidak pernah
sepihak, tidak pernah berkisar pada ruang diri sendiri. Cinta adalah pengenalan terus-
menerus kesadaran Aku dan kesadaran akan eksistensi Liyan. Cinta tidak mengabdi diri
sendiri di satu pihak, dan menghancurkan yang lain (Liyan) di lain pihak. Cinta bukan
sebuah rivalitas kesadaran Aku dan Liyan. Melainkan cinta adalah sebuah perjumpaan Aku
1 Bdk. Dr. Theo Huijbers, Mencari Allah: Pengantar Ke Dalam Filsafat Ketuhanan (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 134. 2 Bdk. Pius Pandor, Seni Merawat Jiwa: Tinjauan Filosofis (Jakarta: Obor, 2014), 90-91.
BETANG FILSAFAT 011/Bet.Fil./Art./XII/2019
3 | w w w . b e t a n g f i l s a f a t . o r g
dan Liyan. Sebuah perjumpaan artinya: cinta berasal dari penerimaan dan penyambutan.
Kehadirannya berhiaskan senyuman dan mimpi-mimpi.3
Cinta bukan soal menang-kalah, untung-rugi, melainkan soal bagaimana seorang manusia
mampu berrelasi dengan manusia lainnya secara lebih dekat, baik, jujur dan adil. Cinta juga pada
gilirannya mesti memiliki aspek kebahagiaan bersama. Saya menyebutnya aspek kebahagiaan
bersama, karena Cinta tidak boleh hanya untuk kenikmatan atau kebaikkan sepihak saja. Seperti
yang dikatakan oleh Armada Riyanto di atas bahwa Cinta juga mesti dirasakan dan dinikmati oleh
Liyan, karena – dalam hemat saya – manusia yang bereksistensi di dunia ini dan Cinta yang
dimiliki olehnya berasal dari sumber yang sama yakni, itu yang disebut sebagai Sang Cinta.
Masih dalam perspektif Armada Riyanto. Ia juga menyebut Cinta itu sebagai itu yang indah.4
Cinta dikatakan indah karena ia identik dengan keindahan. Keindahan Cinta tak dapat dan tak
mungkin mendapat tandingan dalam semua ciptaan yang ada di dunia ini. Atau, Cinta tak pernah
bisa disamakan dengan keindahan apapun yang ada di dunia ini, karena Cinta itu kesempurnaanya
amat tinggi dan besar serta juga tidak berkesudahan.
Armada Riyanto juga mengatakan bahwa Cinta itu menggerakan dan membaharui.5 Artinya
adalah bahwa Cinta itu menggerakkan hati setiap orang untuk menuju pada kesempurnaan hidup
dan Ia sekaligus juga membaharui manusia untuk menjadi semakin sejati dan sempurna. Cinta
adalah juga itu yang disebut pemberian.6 Artinya adalah bahwa Cinta itu berasal dari Sang Cinta
atau Allah sendiri. Manusia diberi Cinta oleh Sang Cinta supaya ia juga mau memberi kepada
sesamanya sebagaimana ia telah diberi. Hal ini sekaligus menantang manusia untuk mau rendah
hati memberi dan membagi Cintanya kepada sesamanya dan terlebih untuk mencintai Sang
Pemberi Cinta. Cinta itu juga adalah itu yang disebut membebaskan.7 Armada Riyanto lagi-lagi
mau menegaskan bahwa Cinta itu tidak mengikat, melainkan membebaskan manusia.
Membebaskan dari apa? Membebaskan dari keterikatan dan keterkungkungan diri serta
keterbatasan diri. Hal yang sama juga adalah membebaskan diri manusia dari kepesimisannya.
Oleh karena Cinta itu manusia dapat menjadi bebas, mentransendir dirinya sendiri dan menemukan
makna baru dalam hidupnya secara lebih baik. Yang terakhir, ia mengatakan pula bahwa Cinta itu
menyelamatkan.8 Cinta mampu menyelematkan hanya bila manusia mau rendah hati dan melayani
sesama. Cinta itu bisa menyelamatkan bila pelayanan terhadap sesama dilandasi dan didasari oleh
Cinta. Persahabatan sejati yang mungkin terus berlanjut, dalam hemat saya, adalah juga hanya
karena Cinta. Oleh sebab itu, kekuatan dan kemahakuasaan Cinta pada gilirannya mampu menjadi
terang dalam kegelapan dan merombak kematian menjadi kehidupan.
Franz Magnis-Suseno pun mengafirmasi bahwa Cinta atau Allah memiliki kekuatan yang
besar dan luar biasa. Menurutnya Cinta adalah realitas yang tinggi dan tanpa batas sehingga tidak
satu pun hal-hal atau benda-benda di dunia ini yang dapat mencirikan-Nya. Menurutnya semua
3 Armada Riyanto, Relasionalitas (Filsafat Fondasi Interpretasi: Aku, Teks, Liyan, Fenomen) (Yogyakarta: Kanisius,
2018), 373. 4 Bdk. Armada Riyanto, Menjadi-Mencintai: Berfilsafat Teologis Sehari-hari (Yogyakarta: Kanisius, 2016), 161. 5 Ibid. 6 Ibid., 165. 7 Ibid., 166. 8 Ibid., 167.
BETANG FILSAFAT 011/Bet.Fil./Art./XII/2019
4 | w w w . b e t a n g f i l s a f a t . o r g
ciptaan di dunia ini atau alam raya ini tidak sama dengan Allah, namun semua yang ada ini adalah
ciptaan Allah. Dengan kasih-Nya yang begitu besar Allah telah menjadikan semua yang ada ini
baik adanya. Demikian Franz Magnis-Suseno menjelaskan hal tersebut:
... di satu pihak Allah tidak dapat ditemukan di mana pun di dunia. Allah bukan
bagian dunia dan dunia bukan bagian Allah. Apa pun yang kita temukan di dunia
bukan Allah. Tetapi di lain pihak Allah ada di mana-mana karena apa pun yang ada
ditunjang dalam eksistensinya oleh Allah dengan cinta-Nya.9
Di sini hendak dikatakan bahwa Allah begitu luar biasa agung sehingga apa pun yang ada di
dunia ini tak cukup baik dan kuat untuk melukiskannya. Namun, kita tetap bisa mengenal dan
memiliki pemahaman tentang Allah yakni, lewat alam raya ciptaan-Nya yang indah dan
menakjubkan ini. Dengan kata lain, di sini sekaligus mau dikatakan bahwa Cinta atau Allah itu
memiliki kodrat yang sangat luar biasa sempurna. Kesempurnaan kodrat Cinta itu dapat dipahami
dalam ketidakterpahamian seluruh realitas yang ada di alam raya yang indah ini. Cinta itu dengan
sendirinya juga dapat dikatakan memiliki kodrat yang mutlak.
Selanjutnya saya akan memberikan karakter Cinta. Menurut Pius Pandor, Cinta adalah
sebuah kata yang kaya makna, kompleks, indah dan memesona.10 Oleh karena kekayaannya, Cinta
dapat memiliki banyak aspek. Hal demikian dapat dilihat dalam banyak orang yang menggunakan
kata Cinta pada situasi yang berbeda-beda. Cinta menjadi kompleks karena Ia memiliki keterikatan
atau keterpautan dalam banyak hal, khususnya relasi antarmanusia. Cinta itu sangat nyata dalam
kompleksitas hidup manusia dan saya yakin bahwa setiap manusia mengalami Cinta dalam
peristiwa atau pengalaman hidupnya. Cinta dikatakannya indah dan memesona karena Ia mampu
menghadirkan daya atau energi yang mampu menyatukan perbedaan antar manusia, bahkan
mampu membuatnya menjadi sempurna seperti Sang Cinta itu sendiri.
Pius Pandor juga mengatakan bahwa Cinta adalah kodrat manusia itu sendiri. Saya
mengafirmasi pendapatnya ini, karena saya mengakui pula bahwa manusia yang ada ini adalah ada
karena Cinta Allah. Allah yang telah mencintai dan membagi Cinta-Nya yang membuat manusia
menjadi ada. Maka kemudian Pius Pandor juga memberikan sebelas karakter Cinta sejati11 dan
kesebelas karakter Cinta sejati ini pasti dapat membawa manusia pada taraf kesempurnaan hidup
bila ia mengikuti dan melakukannya. Berikut ini sebelas karakter Cinta sejati itu: 1) Cinta sebagai
kata kerja dan tanda seru, 2) Indah dan memesona, 3) Niat yang tulus, 4) Terima orang lain ‘apa
adanya’ bukan ‘ada apanya’, 5) Pemberian diri, 6) Sabar, 7) Empati dan simpati, 8) Jujur, 9)
Afirmatif dan promotif, 10) Tak bersyarat, dan 11) Informatif, formatif dan preformatif.
Kesebelas karakter Cinta tersebut memiliki tendensi yang mengarahkan manusia pada
kesempurnaan hidup. Saya kemudian menambahkan karakter Cinta dengan empat aspek
transendental yakni, satu (unum), baik (bonum), benar (verum) dan indah (phulcrum). Dalam
hemat saya, Cinta itu jelas memiliki keempat aspek transendental tersebut sehingga Ia sanggup
membaharui hidup manusia menjadi sungguh sempurna.
9 Franz Magnis-Suseno, Katolik Itu Apa?: Sosok – Ajaran – Kesaksiannya (Yogyakarta: Kanisius, 2018) 122. 10 Pius Pandor, 77. 11 Ibid., 79.
BETANG FILSAFAT 011/Bet.Fil./Art./XII/2019
5 | w w w . b e t a n g f i l s a f a t . o r g
Manusia Berasal Dari Sang Cinta
Sebuah pertanyaan besar diajukan oleh manusia kepada dirinya sendiri, “Berasal dari mana
manusia yang ada di dunia ini?” Pertanyaan ini tampaknya mudah saja untuk dijawab, karena
dengan melihat adanya kisah penciptaan dalam Kitab Suci dan teori evolusi dari Darwin yang
menggemparkan dunia dianggap mampu secara praktis menjawabnya. Menurut hemat saya,
tidaklah semudah itu untuk mengatakan asal muasal manusia yang bereksistensi di dunia ini.
Namun bukan berarti sumber-sumber tersebut saya nafikan begitu saja. Tidaklah demikian. Di sini
saya perlu memberi penekanan khusus bahwa kita mesti mendalami secara lebih jauh dan
mengelaborasi secara filosofis teologis untuk mengatakan asal usul manusia.
Menurut Kitab Kejadian, manusia adalah ciptaan Allah. Allah menciptakan manusia pada
hari yang ke enam. Dengan apa Allah menciptakan manusia? Kitab Kejadian mengatakan dengan
debu tanah (bdk. Kej 2:7). Namun, yang menarik bagi saya adalah bahwa Armada Riyanto
mengatakan kisah penciptaan manusia ini sesungguhnya adalah kisah Cinta Allah. Berikut ini
penjelasannya:
Kisah penciptaan sesungguhnya adalah kisah Cinta Tuhan. Dalam kisah penciptaan kita
tahu Cinta memiliki karakter kreatif, persis seperti Cinta Tuhan. Ia membuat segalanya
mengada dan menjadi. Mengada maksudnya memiliki kehidupan. Menjadi memaksudkan
perkembangan dan perubahan menuju kepada kesempurnaannya. Dan segala yang dijadikan
Tuhan atau segala yang menjadi produk Cinta Tuhan itu baik adanya.12
Dari penjelasannya tersebut, saya memahami bahwa Armada Riyanto melihat kisah
penciptaan manusia seperti dalam Kitab Suci bukan hanya soal Allah mengadakan manusia,
melainkan Allah yang membagi Cinta-Nya atau berrelasi dengan manusia sehingga manusia
bernafas dan hidup. Menurut saya, yang jauh lebih luar biasa juga adalah bahwa Allah menciptakan
manusia menurut gambar dan rupa-Nya sendiri (bdk. Kej 1:26a).
Keserupaan dengan Allah merupakan gambaran istimewa manusia. Namun, saya meyakini
bahwa manusia dikatakan serupa atau secitra dengan Allah tidaklah menggambarkan secara penuh
citra Allah. Allah itu amat luar biasa, Ia begitu agung dan mutlak. Gabriel Marcel menyebut kodrat
Allah itu absolut. Ia ingin mengatakan sungguh-sungguh bahwa Allah itu bukanlah seperti gambar
atau rupa manusia yang bereksistensi di dunia ini. Ia jauh lebih dari itu. Keberadaan manusia yang
bereksistensi sekarang ini adalah hanya bagian kecil dari Allah yang agung dan mahakuasa itu.
Hanya perlu ditegaskan bahwa manusia adalah sungguh-sungguh berasal dari Allah. Maka dengan
sendirinya ada kesatuan ontologis antara manusia dengan Allah. Maksudnya, manusia berasal dari
Cinta Allah dan karena Cinta itu milik Allah, maka manusia sepenuhnya terikat dengan-Nya. Di
sinilah letak kesatuan ontologis itu.
Max Scheler pun mengafirmasi kebenaran bahwa manusia berasal dari Cinta atau Kasih.
Dalam pembahasannya tentang persoalan manusia itulah Max Scheler semakin menyadari bahwa
manusia itu berasal dari Allah, yakni kasih yang tertinggi. Ia mengatakan bahwa Cinta adalah
Allah, yaitu sesuatu yang suci, yang tinggi, yang bukan termasuk dalam tataran fisik atau inderawi,
melainkan tataran pribadi. Pembahasannya tentang Cinta terebut ia jelaskan demikian:
12 Ibid.
BETANG FILSAFAT 011/Bet.Fil./Art./XII/2019
6 | w w w . b e t a n g f i l s a f a t . o r g
... puncak kasih adalah kasih kepada Allah, bukan kasih kepada Allah yang baik, melainkan
kasih kepada Allah sebagai kasih yang ikut serta melaksanakan kasih Allah kepada dunia.
Di sini Allah muncul sebagai pusat kasih yang tertinggi.13
Max Scheler memang tidak secara gamblang mengatakan bahwa manusia adalah produk dari
kasih Allah. Namun, kita dapat melihat makna di balik pernyataannya seperti di atas bahwa semua
apa yang ada di dunia ini adalah ciptaan Allah atau karya Allah. Manusia dan semua ciptaan lain
sungguh berasal dari kasih Allah. Kasih atau Cinta itu bukan sekadar untuk membuat yang tidak
ada menjadi ada, melainkan untuk menjadi sempurna seperti Sang Cinta itu adalah sempurna. Max
Scheler juga menekankan bahwa Cinta itu adalah dasar dari segala sesuatu.14 Karena Ia adalah
dasar, maka semua yang ada memiliki tendensi untuk mengarah kepada yang mendasari itu.
Masih dalam lingkaran pemikiran Max Scheler. Ia juga mengakui bahwa manusia yang
berasal dari Sang Cinta itu memiliki kebebasan dan otonomi diri. Kebebasan dan otonomi ini mau
mengatakan bahwa manusia bebas memilih apa saja dalam hidupnya. Di samping manusia
memiliki kebebasan dan otonomi diri, manusia ternyata juga memiliki itu yang disebut akal budi.
Akal budi inilah yang memungkinkan manusia mengenal Sang Cinta itu dan juga untuk mengenal
segala sesuatu yang ada di dunia ini. Akal budi ini bagi manusia berfungsi sebagai penuntun dan
dasar untuk melakukan sesuatu, memikirkan apa yang disebut baik atau buruk dan sekaligus
mencirikannya sebagai makhluk ciptaan yang memiliki derajat lebih baik dan lebih tinggi dari
makhluk ciptaan-ciptaan lainnya.
Berbicara tentang kebebasan ini, Franz Magnis-Suseno juga menegaskan bahwa Allah
dengan bebas menciptakan manusia. Allah tidak dipaksa untuk menciptakan manusia, namun
karena Cinta-Nya yang begitu besar Ia berinsiatif untuk menyatakan Cinta-Nya itu dalam suatu
ciptaan yang serupa atau secitra dengan-Nya sendiri. Franz Magnis-Suseno mengatakan demikian
mengenai kehendak bebas dari Allah dalam menciptakan manusia tersebut:
... Allah dengan bebas, didorong oleh kasih-Nya, mengadakan seluruh alam raya dan
manusia dari ketiadaan. Alam raya sampai hari ini hanya dapat bereksistensi karena terus
ditunjang oleh daya pencipta Ilahi itu.15
Dalam pernyataan di atas, nampak bahwa Cinta atau Kasih dari Allah tersebut bukan hanya
terjadi pada saat peristiwa penciptaan, melainkan sepanjang zaman atau terus-menerus. Itu artinya
kehidupan manusia di dunia ini juga masih diliputi oleh Cinta Allah itu. Dalam hemat saya,
manusia mesti kembali dan mengarahkan diri hanya pada sang empunya Cinta tersebut. Mengapa
mesti kembali dan mengarahkan diri hanya kepada Cinta? supaya hidup manusia di dunia ini dapat
menjadi sempurna seperti Sang Pemberi kehidupan tersebut.
Lebih jauh Franz Magnis-Suseno menjelaskan bahwa manusia tidak dapat dengan sendirinya
mencapai Sang Cinta. Hal tersebut dikarenakan manusia diciptakan memiliki kebebasan untuk
memilih jalan hidupnya dan bertindak apa saja. Selain itu, karena manusia diciptakan menjadi
makhluk sosial, ia diharuskan untuk menjadi makhluk dialogal. Manusia yang dapat ada karena
Cinta Allah adalah suatu keluhuran baginya, ia dapat berinteraksi dengan sesamanya dan juga
13 Dr. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 2012), 147. 14 Ibid. 15 Franz Magnis-Suseno, 120-121.
BETANG FILSAFAT 011/Bet.Fil./Art./XII/2019
7 | w w w . b e t a n g f i l s a f a t . o r g
memungkinkan hal tersebut dengan Sang Penciptanya, yakni Allah. Dalam relasi dengan Allah
itu, manusia dimungkinkan pula menjadi partner atau sahabat atau rekan kerja Allah. Berikut ini
penjelasan Franz Magnis-Suseno mengenai keluhuran manusia dan kebebasannya dalam
menanggapi Cinta Allah terhadapnya:
Adalah keluhuran manusia bahwa ia diciptakan sebagai makhluk dialogal. Ia dapat diajak
berkomunikasi oleh Allah. Ia dapat mengakui, tetapi juga menolak sapaan Allah. Maka
manusia dapat menjadi partner Allah, tentu bukan partner sederajat, namun partner yang,
karena rahmat Allah, mampu membalas kasih Ilahi. Karena itu manusia, dan hanya manusia,
dapat berdosa, yaitu apabila ia menolak sapaan Allah. Karena itu Kristianitas percaya
bahwa alam raya diciptakan demi manusia.16
Pada gilirannya ternyata manusia memiliki kemungkinan pula untuk tidak mencapai Sang
Cinta. Dalam penjelasan Franz Magnis-Suseno di atas ternyata manusia yang salah dalam
menggunakan kebebasannya tidak akan mampu mencapai Kasih atau Cinta Allah dalam hidupnya.
Manusia yang semacam itu dikatakan sebagai orang yang tidak mampu membalas kasih Ilahi dari
Allah sendiri.
Kasih dari Allah selalu bersifat memaksa, karena hanya pada Dialah ada kebahagiaan dan
kenyamanan. Hal semacam ini ternyata ada kaitannya pula dalam relasi antarmanusia. Dalam
relasi dengan sesamanya tersebut, manusia baru menjadi manusia sepenuhnya bila ia mau terbuka
dan menyerahkan dirinya secara total terhadap sesamanya. Oleh karena itu, manusia yang berasal
dari Sang Cinta mesti mencintai sesamanya sebagai wujud kepenuhan kodratnya yang adalah
bagian dari Sang Cinta itu sendiri.
Manusia Diciptakan Untuk Diberdayakan
Franz Magnis-Suseno mengatakan dengan lugas bahwa penciptaan manusia adalah upaya
pemberdayaan atau untuk memberdayakannya. Apa yang mendasari pernyataan semacam ini?
Alangkah baiknya kita melihat kembali bahwa manusia diciptakan oleh Allah dengan Cinta-Nya.
Manusia dari tidak ada menjadi ada oleh karena Cinta Allah yang begitu amat besar. Sudah barang
tentu karena manusia berasal dari Cinta, maka ia pun diliputi oleh Cinta dan pada hakikatnya mesti
kembali lagi atau senantiasa mengarahkan dirinya hanya pada Sang Cinta sebagai sumbernya.
Manusia yang berasal dari ketiadaan menjadi ada oleh Allah merupakan upaya
pemberdayaan manusia itu sendiri. Cinta sekaligus juga menjadikan manusia sebagai makhluk
yang memiliki kebebsan dan otonomi diri untuk menentukan hidupnya sendiri. Namun, di sini
manusia sekaligus memiliki ketergantungan pula dengan Allah. Ketergantungan dengan Allah
tidak sama dengan ketergantungan manusia dengan sesamanya. Ketergantungan dengan Allah
adalah untuk membuatnya menjadi bebas dan berdaya. Apa maksudnya? Maksudnya ialah bahwa
manusia itu berasal dari Cinta Allah yang memiliki hakikat memberdayakan, maka dengan
sendirinya manusia juga memiliki kemampuan untuk memberdayakan dirinya oleh karena Cinta
Allah tersebut. Berikut ini penjelasan Franz Magnis-Suseno mengenai penciptaan manusia sebagai
pemberdayaan tersebut:
16 Ibid.
BETANG FILSAFAT 011/Bet.Fil./Art./XII/2019
8 | w w w . b e t a n g f i l s a f a t . o r g
Ciptaan menerima segala apa yang ada padanya dari Sang Pencipta dan seratus persen
tergantung dari pada-Nya. Akan tetapi kalau Allah menciptakan sesuatu dari ketiadaan,
maka Allah justru memberdayakannya. Dan karena itu, ketergantungan total ciptaan dari
Allah sekaligus menganugerahkan kemandirian dan otonomi kepada ciptaan. Allah
menciptakan kita dengan memberi kita daya untuk hidup, berkembang, menentukan, dan
mempertanggungjawabkan diri sendiri. Maka berbeda dari ketergantungan dari manusia,
ketergantungan dari Allah justru membebaskan. ... Allah tidak merampas, melainkan
memberdayakan jati diri kita.17
Pemberdayaan manusia adalah sekaligus pula gambaran bagaimana Allah sesungguhnya
menginginkan sesuatu yang baik, indah dan benar dalam diri manusia itu. Pemberdayaan ini hanya
mungkin terjadi bila manusia sungguh-sungguh mengupayakan sesuatu yang baik dan berguna
dalam hidupnya. Di samping itu, dalam relasi dengan sesamanya, manusia mesti senantiasa
menyertakan Cinta. Hanya oleh Cintalah manusia dapat menjadi semakin sempurna dalam
hidupnya.
Pengalaman manusia berasal dari Cinta pada gilirannya merupakan tugasnya untuk
meneruskan Cinta tersebut. Dalam hal apa manusia dapat meneruskan Cinta itu? hal yang paling
penting adalah ia mesti meneruskan Cinta itu dalam hidup kesehariaannya. Pengalaman hidup
sehari-hari mengharuskan manusia meneruskan Cinta supaya semua perbuatannya senantiasa
dapat mengarah pada karakter Cinta seperti yang telah dibahas pada bagian sebelumnya di atas.
Pemberdayaan manusia oleh Allah hanya mungkin terjadi bila ada relasi yang sangat dekat antara
manusia dengan sesamanya. Itu pun mesti dalam relasi yang dilandasi oleh Cinta sejati. Berikut
penjelasannya:
Hal cinta menunjukkan bagaimana Allah memberdayakan kita. Apabila dua manusia
bersatu dalam cinta sejati, mereka di satu pihak mengalami diri sama sekali bebas: Dalam
cinta sejati tak ada unsur paksaan atau manipulasi. Dalam saling mencintai, mereka sedikit
pun tidak merasa tertekan, melainkan justru memberikan diri satu kepada yang lain secara
sama sekali bebas. Maka dalam cinta, jati diri mereka mencapai puncaknya. Sekaligus
mereka total bergantung satu dari yang lain karena merasa tidak bisa hidup lagi kalau
terpisah dari yang dicintai. Kebebasan dan pemberdayaan terwujud bersama dengan
ketergantungan, dan ketergantungan antara dua sosok yang saling mencintai justru
membebaskan. ... kita dapat mengerti bahwa kemahakuasaan Allah yang merupakan kasih
bukan melumpuhkan, melainkan membuat kita berdaya. Kemahakuasaan kasih Allah justru
memberdayakan kita agar bebas dan bertanggung jawab atas diri kita.18
Pemberdayaan manusia sangat luar biasa. Manusia tidak hanya menjadi berdaya dalam
individunya sendiri, melainkan juga untuk sesamanya dan bahkan Tuhannya yang empunya Cinta.
Hal yang sama saya lihat dalam perspektif Armada Riyanto di mana ia mendasarkan Cinta sebagai
itu yang mengenal prinsip keselarasan.19 Dalam hemat saya, keselarasan yang dimaksud di sini
mau mengatakan bahwa manusia yang diciptakan sebagai pemberdayaan harus membagikan
Cintanya kepada sesamanya. Dengan membagikan Cinta terhadap sesamanya, manusia akan
mampu mengalahkan otonomi diri yang memiliki tendensi untuk berbuat jahat atau buruk.
Keselarasan ini mau memaksudkan juga bahwa Cinta kepada sesama manusia harus selaras dengan
17 Ibid., 123. 18 Ibid., 129-130. 19 Armada Riyanto, Relasionalitas, 375.
BETANG FILSAFAT 011/Bet.Fil./Art./XII/2019
9 | w w w . b e t a n g f i l s a f a t . o r g
Cinta kepada Allah. Hanya dengan mengamalkan Cinta secara selaras, manusia dapat menjadi
individu yang sempurna.
Manusia: Makhluk Rasional dan Otonom
Gabriel Marcel adalah salah seorang filsuf modern yang mengatakan bahwa manusia adalah
makhluk rasional dan sekaligus otonom. Hal itu memaksudkan bahwa manusia memiliki akal budi
untuk berpikir dan bertindak sekaligus memiliki pula kebebasan untuk melakukan apa saja dalam
hidupnya. Dengan akal budinya itu sejatinya manusia diarahkan untuk menuju kepada kebaikkan,
namun karena otonominya pula ia memiliki tendensi tidak mencapai kebaikkan tersebut. Hal itu
dikarenakan manusia tidak menggunakan kebebasan atau otonomi dirinya dengan sebaik-baiknya.
Manusia sebagai makhluk yang rasinonal atau memiliki akal budi dapat dilihat pada teori
evolusi Darwinisme. Dengan akal budinya, Charles Robert Darwin memaklumkan terori evolusi
untuk menjelaskan asal-usul manusia. Dengan rasionalitas pula ia telah membuat suatu teori
evolusi yakni bahwa gejala-gejala biologis yang terus berubah, yang tampak pada segala makhluk
hidup20 merupakan suatu gambaran cara kerja akal budi.
Lalu dalam kebebasanya, manusia juga memiliki macam-macam kebebasan. Pius Pandor
sendiri mengatakan bahwa diskursus tentang kebebasan ini selalu ada kaitannya dengan hak asasi
manusia atau hak dasar yang dimiliki manusia yang hidup di dunia ini. Menurutnya kebebasan dan
hak asasi itu merupakan kodrat manusia sendiri.21 Ia melanjutkan dengan pemikiran Franz Magnis-
Suseno bahwa hak asasi manusia tersebut dapat dikelompokkan dalam empat bagian atau kategori
yakni, hak-hak asasi negatif atau liberal, hak-hak asasi aktif atau demokratis, hak-hak asasi positif
dan hak-hak asasi sosial.22 Di sini makin tampak lebih jelas bahwa manusia memiliki kebebasan
dalam hidup sosial. Dalam hemat saya, hak-hak asasi seperti yang dijelaskan di atas merupakan
hak bebas milik setiap individu. Kebebasan ini hanya mungkin mencapai itu yang disebut
sempurna bila didasari oleh akal budi manusia. Namun yang tak kalah memiliki peranan penting
adalah juga Cinta, karena semuanya berasal dari Cinta dan mesti diarahkan kembali hanya pada
Cinta itu sendiri.
Jalan Menuju Cinta: Manusia Menghadapi Tantangan
Kendati manusia berasal dari Cinta, namun bukan berarti ia dapat secara langsung mampu
mencapai Cinta tersebut. Ada beberapa persoalan yang dihadapai manusia untuk mencapai Cinta.
Namun sebelumnya perlu disegarkan lagi pemahaman tentang Cinta, mengapa manusia harus
menuju Cinta? alasannya jelas karena manusia berasal dari Cinta, maka dengan sendirinya ia mesti
mengarahkan dirinya ke sana. Karena hanya dalam Cinta itu ia dapat menjadi sempurna. Hanya
dalam Cinta pula manusia dapat menjadi baik dan indah seperti karakter Cinta. Dan, sudah barang
tentu bahwa semua karakter Cinta yang mesti diikuti manusia akan menjadikannya kembali seperti
Cinta itu sendiri.
20 Bdk. Harun Hadiwijono, 86. 21 Pius Pandor, 169. 22 Ibid., 169-170.
BETANG FILSAFAT 011/Bet.Fil./Art./XII/2019
10 | w w w . b e t a n g f i l s a f a t . o r g
Berbicara tentang persoalan atau tantangan dalam mencapai Cinta sebetulnya secara
langsung membahas jati diri manusia. Mengapa demikian? Karena manusia adalah makhluk yang
otonom dan bebas. Dengan kebebasan itu ia dapat memilih dan mengikuti apa saja. Hal yang
kemudian menjadi tantangan baginya adalah ketika ia salah dalam menggunakan kebebasan yang
dianugerahkan oleh Sang Cinta kepadanya.
Dalam pengalaman hidup sehari-hari kita dapat menjumpai banyak sekali orang-orang yang
salah dalam menggunakan jabatan, sebutlah saja misalnya seorang kepala daerah korupsi uang
negara atau para wakil rakyat yang secara masal juga melakukan hal yang sama. Korupsi telah
terjadi di segala bidang atau lembaga masyarakat yang pada gilirannya merusak moral bangsa.23
Hal semacam ini menunjukkan bahwa manusia tersebut sedang mengalami suatu tantangan. Ia
ditantang untuk berbuat jujur, berlaku adil dan bersikap baik. Hal ini tidaklah mudah bila hanya
mengandalkan kekuatan fisik atau inderawi kita. Namun bila kita menengok dan bercermin pada
hakikat Cinta sebagai asal dan sumber kita, maka dapat dijamin bahwa tantangan-tantangan yang
ada tersebut dapat di atasi.
Armada Riyanto juga masuk dalam persoalan mengenai tantangan-tantangan menuju Cinta
ini. Memang ia tidak secara gamblang menyebutkan bahwa tindakan me-Liyan-kan perempuan24
adalah juga salah satu kejatuhan manusia yang tidak mampu menghadapi tantangan tersebut.
Namun, dalam elaborasi saya, hal ini pun merupakan salah satu ciri manusia yang sedang
menghadapi tantangan untuk mencapai Cinta. Di sini saya menyebutnya bahwa orang yang me-
Liyan-kan perempuan adalah orang yang tidak mampu lagi menghadapi tantangan dalam mencapai
Cinta tersebut sehingga ia menjadi jatuh dalam kubangan dosa. Apa itu dosa?
Franz Magnis-Suseno lagi-lagi menjelaskan dengan sangat baik bahwa akar dosa adalah
sebuah kesombongan.25 Kesombongan ini juga identik dengan ketidakjujuran dari manusia. Hal
itu kemudian melahirkan kebohongan, kemunafikan, pelecehan, penipuan dan macam-macam
perbuatan jahat lainnya. Hal yang sama juga adalah kerakusan, serakah dan ingin menang sendiri.
Itulah macam-macam tantangan manusia untuk mencapai Cinta. Memang mesti diakui bahwa
tantangan tersebut bukanlah perkara mudah dan ringan, namun sangat serius dan berat. Dalam
hemat saya, Cinta itu begitu agung dan mahakuasa, maka tantantangan untuk mencapainya pun
juga setara.
Manusia Kembali Kepada Sang Cinta
Sejatinya hidup manusia di dunia ini adalah kembali kepada Sang Cinta yakni Allah sendiri.
Allah telah menciptakan manusia dengan percikan Cinta-Nya. Allah juga telah merahmati manusia
dengan kuasa-Nya dan Allah pun senantiasa mencintai manusia tanpa henti. Allah begitu luar
biasa, oleh Cinta-Nya Ia memberdayakan manusia sehingga memiliki kemampuan untuk menjadi
makhluk sempurna.
23 Bdk. Koran Kompas, Sabtu, 27 Oktober 2018, 1. 24 Armada Riyanto, Relasionalitas, 290. 25 Bdk. Franz Magnis-Suseno, 135.
BETANG FILSAFAT 011/Bet.Fil./Art./XII/2019
11 | w w w . b e t a n g f i l s a f a t . o r g
Barangkali patutlah ditanyakan di mana tempat manusia ketika ia kembali kepada Sang Cinta
tersebut? Dalam perspektif iman Katolik ada suatu tempat bagi jiwa-jiwa manusia yang telah
meninggal. Untuk manusia yang dalam hidupnya senantiasa mengarahkan hati dan pikiran serta
tindakannya hanya pada Allah, maka dapat dijamin ia akan mencapai Allah, bertemu dengan Sang
Cinta. Tempat itu dikatakan Surga. Dalam Surga itu ada suasana damai, tenteram, sejahtera, adil,
baik dan indah. Di sana tidak ada pertentangan dan kecurangan, yang ada hanyalah saling membagi
Cinta satu sama lain. Di sana juga ada kehadiran Sang Cinta itu sendiri. Franz Magnis-Suseno
menjelaskan demikian tentang Surga tersebut:
Perdamaian itulah yang kita sebut surga. Yang menentukan segala-galanya adalah kehadiran
Allah, sumber keselamatan kita dan kerinduan hati kita yang paling dalam. Damai karena
kita terekonsiliasi penuh dengan Allah. Kita juga terekonsiliasi dengan semua orang yang
dalam arti apa pun berdampak pada hidup kita serta kita berdampak pada mereka.26
Gambaran Surga begitu luar biasa. Dalam hemat saya, situasi yang digambarkan tentang
Surga adalah situasi di mana manusia sungguh-sungguh dalam suasana yang begitu amat bahagia.
Bahagia karena di sana ada kedamaian yang menenteramkan. Agustinus juga menyebut bahwa
perdamaian adalah kodrat manusia dan ia pun menegaskan bahwa perdamaian adalah itu yang
dirindukan oleh setiap manusia, bahkan oleh setiap makhluk.27 Maka hal ini menunjukkan bahwa
manusia mesti kembali kepada Sang Cinta supaya menjadi sempurna.
Lalu dapat lagi ditanyakan di mana tempat jiwa-jiwa manusia yang tidak kembali kepada
Sang Cinta? lagi dalam perspektif iman Katolik tempat yang semacam itu disebut Neraka. Di sini
neraka bukan dimaknai sebagai tempat di mana orang-orang berdosa dikutuk dan dikurung,
melainkan Neraka adalah manusia itu sendiri, manusia yang menolak Allah dan rangkulan kasih-
Nya.28 Artinya manusia yang melakukan kejahatan adalah Neraka, karena di situ bersemayam
segala macam kejahatan yang lainnya.
Sekarang menjadi semakin jelas bahwa manusia yang berasal dari Cinta Allah, dinaungi
oleh-Nya dan cintai-Nya sehingga mampu menjadi sempurna. Dalam menciptakan manusia, Allah
ingin memberdayakan manusia dan mengusahakan segala macam kebaikan di alam semesta ini.
Allah juga bersedia menjadi partner bagi manusia untuk mengusahakan kebaikkan itu. Maka
sekarang, manusia yang berasal dari Cinta kembali kepada Cinta untuk menjadi sempurna.
Penutup
Penciptaan manusia di dunia ini bukan suatu peristiwa kebetulan atau ide yang datang begitu
saja dari Allah. Allah menciptakan manusia dengan Cinta-Nya yang besar dan kemahakuasaan-
Nya. Ia tidak dipaksa, melainkan atas kehendak bebas-Nya Ia membuat makhluk yang secitra dan
segambar dengan-Nya sendiri. Allah ingin memberdayakan manusia dan menjadi partner-Nya
dalam mengusahakan kebaikkan di dunia ini. Allah memberi akal budi untuk berpikir kepada
26 Ibid., 145-146. 27 Pius Pandor, 150. 28 Bdk. Franz Magnis-Suseno, 147-148.
BETANG FILSAFAT 011/Bet.Fil./Art./XII/2019
12 | w w w . b e t a n g f i l s a f a t . o r g
manusia dan kehendak bebas untuk bertindak. Semua ini sama sekali bukan suatu peristiwa
kebetulan atau produk iseng dari Allah. Ini murni karena Cinta.
Pada gilirannya dan dengan sendirinya manusia yang berasal dari Sang Cinta mesti kembali
lagi kepada Sang Cinta tersebut. Kehendak bebas yang salah digunakan ternyata menjadi tantangan
manusia atau penghambat baginya untuk bertemu dengan Sang Cinta itu. Maka oleh akal budi dan
rahmat Cinta yang tertanam dalam jiwanya, manusia dapat kembali mencapai Sang Cinta. Kembali
kepada Sang Cinta menandakan manusia itu menjadi sempurna. Dalam kesempurnaannya itu
manusia tidak dapat binasa. Pada taraf sempurna itu manusia bersatu dan menyatu dengan Sang
Cinta yang hanya mungkin dipahami dengan konsep metafisik. Persatuan manusia dengan Sang
Cinta adalah tujuan akhir hidup manusia.
Daftar Pustaka
Hadiwijono, Dr. Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius, 2012.
Huijbers, Dr. Theo. Mencari Allah: Pengantar Ke Dalam Filsafat Ketuhanan. Yogyakarta:
Kanisius, 1992.
Magnis-Suseno, Franz. Katolik Itu Apa?: Sosok – Ajaran – Kesaksiannya. Yogyakarta: Kanisius,
2018.
Pandor, Pius. Seni Merawat Jiwa: Tinjauan Filosofis. Jakarta: Obor, 2014.
Riyanto, Armada. Relasionalitas (Filsafat Fondasi Interpretasi: Aku, Teks, Liyan, Fenomen).
Yogyakarta: Kanisius, 2018.
_______________. Menjadi-Mencintai: Berfilsafat Teologis Sehari-hari. Yogyakarta: Kanisius,
2016.
Koran Kompas, Sabtu, 27 Oktober 2018.