Chapter I

10
115 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada dasarnya pembangunan merupakan suatu usaha untuk mengubah keseimbangan yang ada menjadi keseimbangan baru yang dianggap lebih baik untuk kehidupan manusia. Untuk itu paling tidak terdapat empat faktor kunci yang berpengaruh terhadap kinerja pembangunan yaitu sumberdaya alam (natural capital), sumberdaya manusia (human capital), sumberdaya buatan manusia (man made capital), serta pranata institusi formal maupun informal masyarakat (social capital). Peran keempat faktor tersebut berlangsung secara simultan dan saling menunjang. Dengan demikian, kinerja pembangunan, berupa peningkatan produktivitas masyarakat dalam jangka pendek maupun jangka panjang, akan dapat ditingkatkan apabila peran keempat faktor tersebut dapat dioptimalkan (Kartodihardjo et al, 2000). Sebagaimana sumberdaya alam lainnya, Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan karakteristik alami biofisiknya yang spesifik merupakan faktor yang hampir tidak dapat dimanipulasi dalam jangka pendek, relatif terhadap ketiga faktor lainnya. Oleh karena itu, sebagai natural capital, karakteristik alami biofisik DAS yang spesifik tersebut harus diperhatikan pada saat melakukan pengembangan sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan manusia atau teknologi melalui analisis bentuk institusi yang sesuai. Upaya optimasi sebenarnya telah banyak dilakukan terhadap faktor sumberdaya alam, sumberdaya manusia maupun sumberdaya buatan, tetapi kinerja program pengelolaan DAS dan konservasi tanah sejauh ini masih belum memuaskan. Universitas Sumatera Utara

description

Chapter I

Transcript of Chapter I

  • 115

    I. PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Pada dasarnya pembangunan merupakan suatu usaha untuk mengubah

    keseimbangan yang ada menjadi keseimbangan baru yang dianggap lebih baik untuk

    kehidupan manusia. Untuk itu paling tidak terdapat empat faktor kunci yang

    berpengaruh terhadap kinerja pembangunan yaitu sumberdaya alam (natural capital),

    sumberdaya manusia (human capital), sumberdaya buatan manusia (man made

    capital), serta pranata institusi formal maupun informal masyarakat (social capital).

    Peran keempat faktor tersebut berlangsung secara simultan dan saling menunjang.

    Dengan demikian, kinerja pembangunan, berupa peningkatan produktivitas

    masyarakat dalam jangka pendek maupun jangka panjang, akan dapat ditingkatkan

    apabila peran keempat faktor tersebut dapat dioptimalkan (Kartodihardjo et al, 2000).

    Sebagaimana sumberdaya alam lainnya, Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan

    karakteristik alami biofisiknya yang spesifik merupakan faktor yang hampir tidak

    dapat dimanipulasi dalam jangka pendek, relatif terhadap ketiga faktor lainnya. Oleh

    karena itu, sebagai natural capital, karakteristik alami biofisik DAS yang spesifik

    tersebut harus diperhatikan pada saat melakukan pengembangan sumberdaya manusia

    dan sumberdaya buatan manusia atau teknologi melalui analisis bentuk institusi yang

    sesuai. Upaya optimasi sebenarnya telah banyak dilakukan terhadap faktor

    sumberdaya alam, sumberdaya manusia maupun sumberdaya buatan, tetapi kinerja

    program pengelolaan DAS dan konservasi tanah sejauh ini masih belum memuaskan.

    Universitas Sumatera Utara

  • 116

    Pada hakekatnya secara konseptual, pengelolaan DAS dapat dipandang sebagai

    suatu sistem perencanaan dari (Asdak, 2002): (1) Aktivitas pengelolaan sumberdaya

    termasuk tataguna lahan, praktek pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya

    setempat, dan praktek pengelolaan sumberdaya di luar daerah kegiatan program; (2)

    Alat implementasi untuk menempatkan usaha-usaha pengelolaan DAS seefektif

    mungkin melalui elemen-elemen masyarakat dan perseorangan; dan (3) Pengaturan

    organisasi dan kelembagaan di wilayah kegiatan dilaksanakan. Dengan demikian,

    terdapat dua butir penting yang dapat diperoleh dari analisis sistem pengelolaan DAS.

    Hal pertama, adanya perbedaan yang jelas antara aktivitas pengelolaan (hal-hal yang

    akan dilakukan) dan alat implementasi (bagaimana cara melakukannya). Para

    perencana pengelolaan DAS seringkali mengkosentrasikan pemikirannya pada

    penyusunan formulasi alternatif kegiatan pengelolaan sumberdaya tanpa terlebih

    dahulu memformulasikan alat implementasi alternatif pada tingkat lebih detail

    termasuk penentuan siapa yang harus melakukan program pengelolaan sumberdaya

    tersebut serta bagaimana melaksanakan program yang telah dirumuskan di tingkat

    lapangan. Akibatnya, hal tersebut di atas seringkali menyebabkan terabaikannya

    perumusan permasalahan pada tingkat penyusunan rencana pengelolaan DAS. Hal

    kedua menyatakan bahwa pengaturan keadaan ini dimaksudkan untuk lebih

    menegaskan lagi peran penting kelembagaan dalam menentukan keberhasilan atau

    kegagalan pengelolaan DAS.

    Selanjutnya berbagai kenyataan yang terjadi dewasa ini menunjukkan bahwa

    sumber daya alam tanah, air dan vegetasi telah dimanfaatkan secara berlebihan dan

    kurang bijaksana. Walaupun beberapa usaha pelestariannya telah dilakukan, namun

    Universitas Sumatera Utara

  • 117

    ternyata masih menimbulkan masalah-masalah lingkungan yang serius di beberapa

    wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berpenduduk padat. Kekeringan yang

    terjadi dimusim kemarau dan banjir yang terjadi hampir di setiap musim hujan, yang

    bersamaan dengan itu terjadi pula proses penghanyutan tanah atau erosi,

    menyebabkan tanah menjadi miskin akan unsur kimia dan fisik. Adanya endapan

    lumpur di sungai-sungai yang semakin meningkat merupakan indikasi meningkatnya

    erosi tanah. Proses erosi tanah yang semakin berlanjut tanpa adanya usaha-usaha

    yang serius untuk menanggulangi, akan menyebabkan produktivitas lahan semakin

    merosot. Pada gilirannya lahan-lahan kritis semakin meluas.

    Berdasarkan data Lake Toba Ecosystem Management Plan (LeTEMP) yang

    dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Pelestarian Ekosistem DTA Danau Toba

    (LeTEMP, 2006), DTA Danau Toba mempunyai luas 263.844 ha, merupakan DAS

    bagian hulu yang mengalirkan airnya ke Danau Toba dan selanjutnya mengalir ke

    laut melalui Sungai Asahan. DTA Danau Toba mempunyai fungsi yang sangat

    penting karena berkaitan dengan sektor pariwisata, perikanan, sumber air minum,

    irigasi pertanian serta sumber pembangkit listrik tenaga air (PLTA) PT. Inalum yang

    menghasilkan listrik bagi kebutuhan industri peleburan aluminium di Kuala Tanjung

    dan masyarakat. Untuk itu pengelolaan lahan di DTA Danau Toba mempunyai nilai

    penting dalam pembangunan Propinsi Sumatera Utara dan Nasional.

    Secara administrasi kawasan DTA Danau Toba terdiri dari 7 kabupaten yaitu

    Kabupaten Simalungun, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Tapanuli Utara,

    Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Samosir, Kabupaten Dairi, dan

    Kabupaten Karo.

    Universitas Sumatera Utara

  • 118

    Secara geologis jenis tanah disekitar DTA Danau Toba umumnya peka erosi,

    lahan berbukit/ bergunung dengan lereng yang sangat curam, solum tanah sangat

    dangkal (dibawah 30 cm) sampai dangkal (antara 30 cm sampai 60 cm). Selain itu

    DTA Danau Toba juga mempunyai curah hujan yang cukup tinggi (walaupun hanya

    kurang dari 4 bulan dalam setahun). Dengan demikian secara alami DTA Danau Toba

    mempunyai tingkat bahaya erosi yang cukup tinggi.

    Pada kawasan ini terdapat kawasan lindung yang berfungsi sebagai daerah

    resapan dan sumber air, pengendali tata air, penstabil struktur tanah dan pencegah

    erosi. Saat ini kondisi ekosistem Danau Toba sudah sangat kritis sebagai akibat pola

    penggunaan lahan yang kurang mengindahkan prinsip konservasi dan akibat

    perambahan kawasan hutan maupun pencurian kayu (illegal logging) oleh oknum

    pengusaha kayu.

    Upaya rehabilitasi hutan dan lahan baik berupa penanaman pepohonan/tanaman

    keras sudah banyak dilakukan melalui program pemerintah salah satu diantaranya

    adalah Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL). Namun program

    ini masih belum membuahkan hasil seperti yang diharapkan akibat seringnya terjadi

    kebakaran hutan dan lahan di DTA Danau Toba yang ikut memusnahkan tanaman

    yang baru ditanam. Faktor lain yang menyebabkan kurang berhasilnya rehabilitasi

    hutan dan lahan adalah kondisi alam yang sangat kritis sehingga diperlukan upaya

    ekstra untuk perawatan tanaman agar mampu tumbuh dengan kondisi alam yang

    relatif kering dan berbatu-batu.

    Universitas Sumatera Utara

  • 119

    1.2. Permasalahan

    Pola pemanfaatan lahan di DTA Danau Toba pada dasarnya belum optimal,

    pada lahan dengan kelerengan diatas 40 % masih ditanami dengan palawija tanpa

    diikuti dengan teknik konservasi tanah yang memadai. Disamping itu masih sering

    ditemui pembukaan lahan dengan cara membakar karena memang sangat mudah

    dilaksanakan tapi tidak baik bagi kesuburan tanah. Pembukaan lahan dengan

    melakukan pencincangan terhadap semak belukar untuk kemudian dikuburkan/

    ditimbun di dalam tanah agar membusuk menjadi kompos alami sudah sangat jarang

    dilakukan.

    Pembakaran lahan juga dilakukan dengan sengaja untuk penggembalaan ternak;

    dan seringkali menyebabkan kebakaran menjadi tidak terkendali sehingga merembes

    ke kawasan yang berhutan dan menimbulkan kebakaran lahan dan hutan yang sangat

    besar. Praktek seperti ini merupakan salah satu penyebab terjadinya penggunaan

    lahan yang berlebihan terutama di bagian hulu, sehingga tidak sesuai dengan

    kemampuan lahan.

    Pada dasarnya tingkat kepadatan penduduk di DTA Danau Toba tidaklah

    terlalu besar dengan rata-rata 221 jiwa tiap kilometer persegi (BPS, 2008) namun

    kurangnya pengertian, pengetahuan dan kesadaran masyarakat merupakan penyebab

    pemanfaatan lahan yang melebihi kemampuannya. Akibat dari kesemuanya itu adalah

    rusaknya tata air dimana fluktuasi air sungai menjadi besar, laju erosi dan sedimentasi

    semakin tinggi, dan semakin meluasnya lahan kritis. Hal ini tampak dari meluapnya

    sungai-sungai di Pulau Samosir saat musim hujan, dan keringnya sungai-sungai di

    pulau tersebut saat musim kemarau. Adapun sungai-sungai di daratan Sumatera

    Universitas Sumatera Utara

  • 120

    Utara yang mangarah ke Danau Toba kondisinya hampir sama dimana pada musim

    kemarau air sungai menjadi sangat sedikit/kecil.

    Pada musim kemarau terjadi kekurangan air yang sangat parah seperti di

    wilayah dataran tinggi Pulau Samosir; untuk sekedar kebutuhan air minum saja

    masyarakat harus turun gunung untuk mengambil air dari danau karena persediaan/

    sumber mata air di daratan sudah kering. Karena hal itu maka lazim dijumpai

    masyarakat tidak mandi berhari-hari pada saat-saat musim kemarau, dan banyak

    ternak besar seperti kerbau atau sapi yang mati tergelincir karena berusaha mencari

    air minum ke daerah-daerah cerukan air/lembah yang sangat sulit dijangkau. Disisi

    lain tanaman semusim pun umumnya sering layu kekeringan yang menyebabkan

    merosotnya pendapatan masyarakat (dikenal sebagai musim paceklik) akibat gagal

    panen.

    Sebaliknya pada musim hujan umumnya curah hujan cukup besar dan seringkali

    terjadi tanah longsor karena penutupan lahan (hutan) sangat sedikit ditambah dengan

    topografi yang sangat curam, sehingga limpasan air permukaan sangat besar.

    Disamping itu erosi dan sedimentasi yang sangat besar dapat menyebabkan

    pendangkalan pinggiran pantai Danau Toba disatu pihak dan di pihak lain erosi juga

    akan menyebabkan lahan-lahan menjadi menurun kesuburannya akibat terkikisnya

    lapisan top soil yang relatif subur.

    Dalam era otonomi daerah seperti sekarang, banyak ditemui (menginginkan)

    kawasan hutan berubah menjadi non kawasan hutan seperti pemukiman, perkebunan,

    pertanian, sarana prasarana pemerintah sebagai akibat pemekaran wilayah

    pemerintahan. Sebelum diterapkannya otonomi daerah, wilayah administrasi

    Universitas Sumatera Utara

  • 121

    pemerintahan yang ada di DTA Danau Toba hanya 4 kabupaten yaitu Tapanuli Utara,

    Dairi, Karo dan Simalungun. Saat ini wilayah administrasi pemerintahan sudah

    bertambah menjadi 7 (tujuh) kabupaten dengan terbentuknya kabupaten Toba

    Samosir, Samosir dan Humbang Hasundutan. Hampir seluruh kabupaten berlomba-

    lomba untuk menarik investor ke daerahnya untuk membuka pembangunan baru

    dengan kebutuhan lahan yang tidak sedikit jumlahnya dan pada umunya kawasan

    hutanlah yang menjadi sasarannya.

    Disamping itu penempatan konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) PT. Toba Pulp

    Lestari (PT. TPL) di DTA Danau Toba oleh Departemen Kehutanan merupakan

    kebijakan yang kurang pas karena HTI tersebut melakukan penebangan hutan yang

    berada di hulu DAS yang seharusnya dipertahankan sebagai tegakan hutan untuk

    memberikan fungsi hidrologis yang optimal bagi DTA Danau Toba. Kebijakan ini

    menjadi kontraproduktif bagi upaya-upaya pelestarian DTA Danau Toba.

    Pada tahun 2008 sampai 2009, masih ditemukan adanya penebangan hutan alam

    oleh kontraktor yang disuruh oleh PT. Toba Pulp Lestari untuk melakukan land

    clearing untuk diganti dengan tanaman Eucalyptus sebagai bahan baku industri

    mereka. Hutan alam tersebut umumnya didominasi oleh jenis kemenyan (Styrax

    benzoin) yang merupakan mata pencaharian bagi masyarakat disekitar kawasan hutan

    untuk menyadap getah kemenyan dan menjualnya dengan harga yang relatif tinggi.

    Akibatnya masyarakat dari Kabupaten Humbang Hasundutan beberapa kali

    melakukan demonstrasi agar penebangan hutan alam dihentikan.

    Program pembangunan pada ke tujuh kabupaten ini juga belum selaras dan

    bersinergi dimana masing-masing pemerintah kabupaten mempunyai agenda

    Universitas Sumatera Utara

  • 122

    tersendiri sesuai dengan visi dan misi masing-masing bupati, sehingga pengelolaan

    DTA danau Toba kurang berjalan dengan baik. Peran koordinasi yang dipunyai oleh

    Badan Koordinasi Pelestarian Ekosistem DTA Danau Toba (BKPEDT) dirasakan

    tidak cukup untu memaksa ketujuh kabupaten tersebut agar mengikuti program

    bersama dalam pengelolaan DTA Danau Toba, sehingga diperlukan suatu lembaga

    khusus yang menangani pengelolaan DTA danau Toba dengan kewenangan/legislasi

    yang lebih tinggi.

    Pada tahun 2009 pemerintah pusat telah menetapkan DTA Danau Toba sebagai

    Kawasan Strategis Nasional. Untuk itu program pembangunan di DTA Danau Toba

    harus mengikuti Tata Ruang yang diatur dan ditetapkan oleh pemerintah pusat,

    sehingga diperlukan suatu kajian yang ilmiah terhadap pola penggunaan lahan yang

    optimal yang bisa menjaga fungsi hidrologis secara seimbang. Hasil penelitian ini

    diharapkan bisa menjadi rujukan bagi pengambil keputusan untuk menetapkan pola

    penggunaan lahan di DTA Danau Toba.

    Berdasarkan penjelasan diatas maka penurunan fungsi DTA Danau Toba yang

    akan dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.

    1. Penggunaan lahan/sistem usaha tani harus menjamin fungsi hidrologis DTA

    Danau Toba.

    2. Penggunaan lahan/sistem usaha tani masih mengakibatkan erosi yang lebih besar

    dari erosi yang dapat ditoleransikan.

    3. Tidak adanya lembaga khusus yang menagani pengelolaan DTA Danau Toba

    Universitas Sumatera Utara

  • 123

    1.3. Kerangka Pemikiran

    Pada dasarnya untuk melaksanakan penelitian secara benar sesuai dengan tujuan

    penelitian itu sendiri diperlukan kerangka berpikir yang tepat. Dalam penelitian ini

    secara garis besar kerangka berpikir yang diajukan sesuai identifikasi masalah yang

    telah dijelaskan. Identifikasi masalah dimaksudkan untuk membantu mengenal dan

    memahami masalah yang akan dirumuskan dan langkah pemecahannya.

    Seperti telah dijelaskan, kondisi DTA Danau Toba saat ini telah mengalami

    kerusakan yang cukup serius, sehingga diperlukan berbagai upaya pengelolaan yang

    berkelanjutan. Langkah pertama adalah pengkajian dari segi penggunaan lahan pada

    saat ini apakah sudah menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan. Langkah kedua

    adalah mengkaji indikator keluaran DAS yang meliputi jumlah air (water yield),

    waktu penyediaan air (water regime) dan Sedimen (Singh, 1977) dimana ketiga aspek

    tersebut akan memberikan gambaran kualitas DAS.

    Selanjutnya adalah pengkajian dari kondisi sosial ekonomi masyarakat yang

    tinggal dilokasi ini. Hasil kajian ini akan menentukan penggunaan lahan yang

    optimal. Tahap akhir adalah kajian kelembagaan yang sesuai untuk pengelolaan DTA

    Danau Toba (Gambar 1).

    1.4. Tujuan Penelitian

    Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

    1 Mengkaji kombinasi penggunaan lahan yang menghasilkan kondisi hidrologis

    yang stabil, laju erosi yang lebih kecil atau sama dengan laju erosi yang

    masih dapat ditoleransikan, serta sedimentasi yang rendah.

    2 Mengkaji kebijakan pengelolaan DTA Danau Toba.

    Universitas Sumatera Utara

  • 124

    Gambar 1. Kerangka Pemikiran

    1.5. Hipotesis

    Hipotesis dalam penelitian ini adalah :

    Terdapat kombinasi penggunaan lahan optimal yang menjamin

    stabilitas debit air dengan tingkat sedimentasi yang rendah.

    Subsistem Hidrologi

    Subsistem Erosi & Sedeimentasi

    SISTEM DTA Toba-Asahan

    Hasil

    Air/fluktuasi debit yang stabil.

    Erosi lebih kecil dari Etol

    Produktivitas Lahan tinggi

    PENGELOLAAN SISTEM (Usaha konversasi tanah dan air Serta intensivikasi usaha tani)

    MASUKAN YANG DAPAT DI KONTROL

    (Jenis Penggunaan Lahan & Agroteknologi)

    MASUKAN YANG TIDAK DAPAT DIKONTROL

    (Unsur-unsur Iklim)

    Indikator pengelolaan yang berkelanjutan

    PARAMETER SISTEM

    Subsistem Sosek

    KELEMBAGAAN

    MASUKAN EKSOGENUS (Unsur-unsur Geomorfologi)

    Universitas Sumatera Utara