Chapter i

19
10 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap manusia memiliki kebudayaannya masing - masing, dan masing - masing manusia tersebut mewujudkan kebudayaannya dalam bentuk ide - ide, gagasan, nilai - nilai, norma - norma, peraturan - peraturan yang ada pada masyarakat, dan suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat, serta benda - benda hasil karya manusia ( Koentjaraningrat, 1990 : 186 - 187 ). Wujud dari kebudayaan yang diungkapkan tersebut terdapat juga di dalam sistem religi ( kepercayaan ) yang ada pada setiap masyarakat, dan juga merupakan kenyataan hidup dari masyarakat yang tidak dapat dipisahkan. Kebudayaan dan adat istiadat yang dimiliki oleh masyarakat merupakan alat pengatur dan memberi arahan kepada setiap tindakan, prilaku dan karya manusia yang menghasilkan benda - benda kebudayaan. Kebudayaan yang ada pada masyarakat juga mempengaruhi pola - pola perbuatannya, bahkan juga cara berpikir dari setiap masyarakat. Manusia adalah makhluk berbudaya dan budaya manusia penuh dengan simbol, sehingga dapat dikatakan bahwa budaya manusia penuh diwarnai dengan simbolisme yaitu suatu tata pemikiran atau paham yang menekankan atau mengikuti pola - pola yang mendasarkan diri kepada simbol atau lambang. Simbol merupakan salah satu bentuk kebudayaan yang terkandung sebuah makna yang dapat menjelaskan kebudayaan dari manusia. Geertz ( 1992 ) berpendapat bahwa, Universitas Sumatera Utara

Transcript of Chapter i

10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap manusia memiliki kebudayaannya masing - masing, dan masing -

masing manusia tersebut mewujudkan kebudayaannya dalam bentuk ide - ide,

gagasan, nilai - nilai, norma - norma, peraturan - peraturan yang ada pada

masyarakat, dan suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia

dalam masyarakat, serta benda - benda hasil karya manusia ( Koentjaraningrat,

1990 : 186 - 187 ). Wujud dari kebudayaan yang diungkapkan tersebut terdapat

juga di dalam sistem religi ( kepercayaan ) yang ada pada setiap masyarakat, dan

juga merupakan kenyataan hidup dari masyarakat yang tidak dapat dipisahkan.

Kebudayaan dan adat istiadat yang dimiliki oleh masyarakat merupakan alat

pengatur dan memberi arahan kepada setiap tindakan, prilaku dan karya manusia

yang menghasilkan benda - benda kebudayaan. Kebudayaan yang ada pada

masyarakat juga mempengaruhi pola - pola perbuatannya, bahkan juga cara

berpikir dari setiap masyarakat.

Manusia adalah makhluk berbudaya dan budaya manusia penuh dengan

simbol, sehingga dapat dikatakan bahwa budaya manusia penuh diwarnai dengan

simbolisme yaitu suatu tata pemikiran atau paham yang menekankan atau

mengikuti pola - pola yang mendasarkan diri kepada simbol atau lambang. Simbol

merupakan salah satu bentuk kebudayaan yang terkandung sebuah makna yang

dapat menjelaskan kebudayaan dari manusia. Geertz ( 1992 ) berpendapat bahwa,

Universitas Sumatera Utara

11

hal - hal yang berhubungan dengan simbol yang dikenal oleh masyarakat yang

bersangkutan sehingga untuk mengetahui kebudayaan dari masyarakat dapat

dilihat dari simbol yang mereka gunakan, dan makna harus dicari dalam fenomena

budaya. Sehingga untuk memahami makna yang terdapat di dalam simbol, harus

mengetahui terlebih dahulu tentang pengetahuan dan pemahaman dari masyarakat

mengenai simbol - simbol kebudayan yang mereka wujudkan di dalam tingkah

laku dan perbuatannya.

Di lain pihak Turner ( Winangun, 1990 : 19 ) berpendapat bahwa, Simbol

adalah unit ( bagian ) terkecil dalam ritual yang mengandung makna dari tingkah

laku ritual yang bersifat khusus. Simbol tersebut merupakan unit pokok dari

struktur khusus dalam konteks ritual. Selain itu Turner juga menyatakan bahwa

tindakan ritual itu banyak mengungkapkan simbol, berarti analisis ritual juga

harus diarahkan pada simbol - simbol ritual tersebut. Berdasarkan pernyataan

Turner tersebut dapat diketahui bahwa simbol merupakan bagian terkecil dari

ritual yang menyimpan sesuatu makna dari tingkah laku atau kegiatan dalam

upacara ritual yang bersifat khas. Dengan demikian, bagian - bagian terkecil ritual

pun perlu mendapat perhatian, seperti : sesajen, mantra, dan lain -lain.

Sesajen merupakan sesajian - sesajian yang berbentuk benda, makanan,

binatang, bunga, dan lain - lain yang dipersembahkan ( diberi ) sebagai tanda

penghormatan atau rasa syukur kepada Tuhan, dewa, roh nenek moyang, mahluk

halus yang dianggap dapat mendatangkan keberuntungan, menolak kesialan dan

rasa syukur terhadap semua yang terjadi di masyarakat dengan berbagai macam

ritual religi ( Suyono, 1985 : 358 ). Sesajen juga salah satu bentuk objek atau

Universitas Sumatera Utara

12

peristiwa ritual yang terdapat dalam sebuah religi. Sesajen dapat memberitahukan

tanda kepada seseorang dalam tingkah laku ritual.

Sesajen merupakan warisan budaya tradisional yang biasa dilakukan untuk

memuja para dewa, roh tertentu atau penunggu tempat ( pohon, batu,

persimpangan, dan lain - lain ) yang mereka yakini dapat mendatangkan

keberuntungan dan menolak kesialan. Seperti : Upacara menjelang panen yang

mereka persembahkan kepada Dewi Sri ( dewi padi dan kesuburan ) yang masih

dipraktekkan di sebagian daerah Jawa. Upacara nglarung ( membuang kesialan )

ke laut yang masih banyak dilakukan oleh mereka yang tinggal di pesisir pantai

selatan pulau Jawa tepatnya di tepian Samudera Indonesia ( Mustafid,

www.makna-sesajen.htm ). Sesajen memiliki nilai yang sangat sakral bagi

pandangan masyarakat yang masih mempercayainya, Tujuan dari pemberian

sesajen ini untuk mencari berkah. Pemberian sesajen ini biasanya dilakukan di

tempat - tempat yang dianggap keramat dan mempunyai nilai magis yang tinggi.

Prosesi tersebut telah terjadi sudah sangat lama, bisa dikatakan sudah berasal dari

nenek moyang kita yang mempercayai adanya pemikiran - pemikiran yang

religius. Kegiatan ini dilakukan oleh masyarakat guna mencapai sesuatu keinginan

atau terkabulnya sesuatu yang bersifat duniawi. Saat ini orang beranggapan bahwa

menyajikan sesajen adalah suatu kemusyrikan. Tapi sebenarnya ada suatu simbol

dan makna di dalam sesajen yang harus dipelajari.

Agama Hindu merupakan salah satu agama yang menyatu dengan

kebudayan suku bangsa. Sehingga agama Hindu melebur dengan kebudayaan

lokal yang menghasilkan bentuk pemujaan yang berbeda - beda. Agama Hindu

Universitas Sumatera Utara

13

menggunakan sesajen di dalam melakukan kegiatan religinya. Sepertinya sesajen

yang terdapat pada Hindu, merupakan kewajiban yang tidak dapat ditiadakan.

Sesajen dan Hindu sudah menjadi satu kesatuan yang utuh, Sehingga setiap

penganut agama Hindu di manapun berada dalam melaksanakan kegiatan

religinya menggunakan sesajen. Akan tetapi agama yang di luar Hindu

menganggap pemberian sesajen kepada Tuhan ataupun kepercayaan terhadap

sesuatu ( roh leluhur, mahluk halus, dan lain - lain ) dianggap tidak masuk akal

dan kolot.

India merupakan tempat asal dan menjadi pusat agama Hindu berada.

Agama Hindu yang ada di India dan yang beretnis Tamil yang ada di Indonesia

tidak begitu mononjol dalam mempergunakan sesajen dalam kegiatan religinya,

tetapi lebih menonjolkan tatwa 1. Namun masih menggunakan sesajen, adapun

sesajen ( persembahan ) yang digunakan oleh agama Hindu di India adalah berupa

salah satu persembahan yang bersifat satvik yaitu bunga, buah dan masakan yang

bersifat vegetarian. Bahkan makanan yang disantap bersama di Kuil atau di rumah

setelah acara persembahyangan juga vegetarian ( Hira D Ghindawani,

www.printnews.php.htm ).

Penganut agama Hindu yang ada di Bali menggunakan kata banten untuk

menyebutkan sesajen yang mereka gunakan. Hindu Bali dan Jawa sangat

menonjolkan tatwa dan upakara2 ( sesajen persembahan ). Di dalam kegiatan

upacara religi Hindu Bali dan Jawa selain menggunakan sesajen yang bersifat

1 Tatwa adalah Mantra - mantra dan lagu - lagu pujian yang terdapat pada Agama

Hindu. 2 Upakara adalah sebutan sesajen yang digunakan oleh agama Hindu secara

umum

Universitas Sumatera Utara

14

satvik juga menggunakan sesajen dalam bentuk hewani yaitu sapi, kambing,

ayam, dan lain - lain. Penganut agama Hindu yang ada di Bali memberikan

sesajen kepada dewa, roh para leluhur, dan roh jahat melalui upacara religi.

Sesajen terdiri dari makanan, buah - buahan, bunga, dan lain - lain. Sesajen

tersebut dibentuk dan dirangkai sedemikian rupa sehingga kelihatan menarik,

sebagai persembahan yang akan diberikan kepada dewa dan roh. Peletakan

sesajen disesuaikan dengan tujuan dan fungsinya. Sesajen untuk para dewa dan

roh leluhur yang lebih tinggi, sesajen harus diatur sedemikian rupa agar menarik

dan diletakkan di altar yang tinggi. Sedang sesajen untuk roh - roh jahat

diletakkan di bagian dasar. Sesajen yang diberikan untuk para roh jahat berisi

daging mentah. Pemberian sesajen tersebut adalah pemberian terbaik sebagai

pernyataan terima kasih kepada para dewa, dan membujuk roh jahat agar tidak

mengganggu keharmonisan kehidupan manusia (Made Mariana,

www.HinduIndiaVSHinduIndonesia(Bali)«Kebenaran…Kedamaian..Keindahan.h

tm ).

Sesajen yang digunakan sebagai persembahan pada agama Hindu Bali

memiliki arti simbolis yang kuat. Oleh karena itu, persiapan sesajen merupakan

bagian dari bentuk seni tradisi yang penting yang berlaku di Bali. Salah satu

bentuk dan jenis sesajen yang mereka gunakan adalah bentuk kerucut yang terbuat

dari nasi secara keseluruhan yang dimasukkan dalam sesajen, merupakan lambang

dari gunung yang garis dasarnya terhubung dengan alam dunia bawah tanah,

dunia bagian tengah dan dunia bagian atas, dan merupakan simbol dari

keseluruhan ruang dan sumber kehidupan di bumi ( www.sesajen.php.htm ).

Universitas Sumatera Utara

15

Penganut agama Hindu yang ada di Jawa khususnya sekitar Gunung Bromo,

setiap tahunnya mengadakan upacara kasodo ( www.Umat Hindu Mulai Upacara

Kasodo Lempar Sesajen ke Gunung Bromo.htm ). Upacara diadakan pada tengah

malam hingga dini hari setiap bulan purnama sekitar tanggal 14 atau 15 di bulan

Kasodo ( Kesepuluh ) menurut penanggalan Jawa. Dari desa, masyarakat berjalan

menuju kawah Gunung Bromo dan menebarkan sesajen berupa buah - buahan,

tanam - tanaman, yang berasal dari lahan pertanian serta ternak. Umat agama

Hindu Jawa menganggap upacara kasodo dengan menebarkan sesajen ke dalam

kawah Gunung Bromo akan memberi berkah kesuburan bagi tanah mereka.

Etnis Karo yang ada di Sumatera Utara, belum begitu lama menjadi

penganut agama Hindu yaitu sekitar tahun 1972. Sehingga etnis Karo dapat

dikatakan masih baru mengenal Hindu dibandingkan etnis - etnis lainnya yang ada

di Indonesia. Pada waktu 1985 diresmikannya Parisada Hindu Dharma Karo

(PHDK) dan etnis Karo mejadi pemeluk agama Hindu yang terbesar di Indonesia

setelah Bali. Jumlah etnis Karo yang menjadi penganut agama Hindu tercatat

5.000 anggota dan 5.000 simpatisan ( Juara Ginting, 2009 ). Sebelum agama

Hindu ada pada etnis Karo, etnis Karo sudah menggunakan sesajen pada kegiatan

religi tradisionalnya. Karena pada saat itu, etnis Karo masih menganut agama

perbegu atau pemena 3. Jenis sesajen yang digunakan berupa bunga, air, buah -

buahan ( jeruk, apel, dan lain - lain ), makanan, hewan berupa ayam yang

dipersembahkan kepada Tuhan, roh nenek moyang dan mahluk halus melalui

3 Perbegu atau pemena merupakan sebutan bagi penganut kepercayaan tradisional

Karo sebelum masuknya agama modren.

Universitas Sumatera Utara

16

berbagai upacara religi yaitu erpangir ku lau, ndilo tendi 4 dan lain - lain dengan

perantara guru sibaso 5. Hal tersebut dilakukan dengan maksud tujuan ucapan

terima kasih kepada Tuhan, menghindari mala petaka yang mungkin terjadi,

menyembuhkan suatu penyakit, mencapai maksud tujuan tertentu ( Darwan prinst,

2008 : 242 ).

Seperti yang dijelaskan di atas sesajen sangat erat kaitannya dengan Hindu.

Walaupun setiap etnis menjadi penganut agama Hindu, namun jenis dan bentuk

sesajen, cara persembahan sesajen, serta makna sesajen berbeda. Dengan

memahami arti pentingnya sesajen tersebut, maka sangat perlu dilakukan kejian -

kajian mengenai makna sesajen. Hal tersebut perlu dilakukan untuk

menggambarkan makna sesajen pada etnis Karo setelah menjadi penganut agama

Hindu.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka perumusan masalah dari

penelitian ini dapat digolongkan menjadi 3 ( tiga ) pertanyaan yaitu :

1. Bagaimanakah bentuk dan jenis sesajen yang terdapat pada penganut agama

Hindu etnis Karo ?

4 Erpangir ku lau adalah upacara pembersihan tubuh untuk mencapai maksud

tujuan tertentu yang dilakukan pada air yang mengalir. Ndilo tendi adalah upacara religi untuk memanggil roh seseorang yang pergi

meninggalkan tubuhnya, dengan upacara ini diharapkan roh yang yang telah pergi tersebut dapat kembali lagi keasalnya seperti semula. Dapat juga upacara ini berfungsi untuk memanggil roh nenek moyang dengan menggunakan media Guru sibaso.

5 Guru Sibaso adalah nama yang diberikan oleh Etnis Karo kepada seorang dukun yang dianggap memiliki kekuatan megik dan ilmu sakti.

Universitas Sumatera Utara

17

2. Bagaimana cara persembahan sesajen ?

3. Apakah makna sesajen bagi penganut agama Hindu etnis Karo ?

1.3 Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Desa Lau Rakit, yang terletak di Kecamatan

STM Hilir, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara. Pemilihan lokasi

penelitian di daerah tersebut, karena daerah tersebut terdapat penganut agama

Hindu etnis Karo yang berjumlah 85 jiwa.

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dilakukannya penelitian ini dengan tujuan untuk menggambarkan

(deskripsi) secara mendalam mengenai bentuk dan jenis sesajen, tata cara

persembahan sesajen, serta makna sesajen pada penganut agama Hindu etnis Karo

di Desa Lau Rakit. Sesajen merupakan salah satu bagian yang sangat penting di

dalam melakukan upacara agama Hindu khususnya yang beretniskan Karo.

Manfaat dari penelitian ini adalah untuk menambah khasanah dan

memperkaya literatur pengetahuan ilmu Antropologi khususnya dalam bidang

budaya. Penelitian ini juga diharapkan dapat berguna bagi etnis Karo, lembaga

keagamaan ( khususnya Hindu ) dan lembaga pemerintahan, agar dapat

melestarikan dan memelihara kebudayaan yang ada pada etnis Karo sendiri.

Universitas Sumatera Utara

18

1.5 Tinjauan Pustaka

Pada kepercayaan tradisional etnis Karo mengunakan kata ercibal untuk

menyebutkan sesajian dan persembahan yang mereka gunakan. Akan tetapi pada

penganut agama Hindu etnis Karo menyebutkan sesajen sebagai persembahan

atau sesajian kepada Tuhan, dewa, dan roh leluhur. Penganut agama Hindu etnis

Karo menganggap ercibal yang dilakukan etnis Karo pada tempo dulu,

merupakan persembahan yang diberikan kepada roh yang telah meninggal saja.

Sedangkan pada penganut agama Hindu etnis Karo tidak hanya memberikan

persembahan dan sesajian kepada roh yang telah meninggal saja, tetapi juga

memberikan sajian kepada Tuhan, dewa, roh leluhur dengan berbagai macam

kegiatan upacara religi keagamaan, namun tidak melupakan kebiasaan - kebiasaan

yang ada pada etnis Karo sendiri. Dengan demikian penganut agama Hindu etnis

Karo menyebutkan sesajen sebagai persembahan dan sajian yang mereka

gunakan.

Setiap masyarakat memiliki beraneka ragam kepercayaan ( Religi ) yang

menjadi keyakinannya. Setiap kepercayaan dan keyakinannya tersebut

diwujudkan dalam tingkah lakunya sehari - hari. Menurut E. Durkheim

(Koentjaraningrat, 2005 : 201), unsur - unsur dari kepercayaan ( Religi ) yang

terdapat pada masyarakat adalah :

1. Emosi keagamaan ( getaran jiwa ) yang menyebabkan bahwa manusia

didorong untuk berperilaku keagamaan.

Emosi keagamaan adalah suatu getaran jiwa yang pada suatu saat

dapat menghinggapi seorang manusia. Getaran jiwa seperti itu ada

Universitas Sumatera Utara

19

kalanya hanya berlangsung beberapa detik saja. Emosi keagamaan

tersebutlah yang mendorong orang berperilaku serba religi. Emosi

keagamaan disebabkan karena manusia takut menghadapi berbagai

krisis dalam hidupnya, manusia tidak mampu menjelaskan berbagai

gejala dengan akalnya, percaya akan adanya kekuatan sakti dalam

alam. Emosi keagamaan inilah yang menyebabkan timbulnya sifat

keramat dari setiap perilaku manusia.

2. Sistem Kepercayaan.

Setiap manusia sadar bahwa selain dunia nyata ini, ada suatu alam

dunia yang tidak tampak olehnya dan berada diluar batas akalnya.

Berbagai kebudayaan menganut kepercayaan bahwa dunia yang tidak

tampak ( gaib ) tersebut dihuni oleh berbagi mahluk dan kekuatan

yang tidak dapat dikuasai oleh manusia dengan cara - cara biasa, dan

karena itu dunia yang tidak tampak tersebut sering ditakuti oleh

manusia. Mahluk dan kekuatan yang menghuni dunia yang tidak

tampak tersebut adalah dewa - dewa yang baik maupun yang jahat,

mahluk - mahluk halus ( para leluhur, hantu, dan lain - lain ) yang

bersifat baik ataupun jahat dan kekuatan sakti yang dapat bermanfaat

bagi manusia maupun yang dapat membawa bencana.

3. Sitem Upacara Religi

Sistem upacara religi mengandung empat komponen yaitu

a. Tempat upacara.

b. Saat upacara.

Universitas Sumatera Utara

20

c. Benda - benda dan alat - alat upacara.

d. Orang - orang yang melakukan dan memimpin upacara.

4. Kelompok Keagamaan ( Religi) .

Kelompok keagamaan adalah kesatuan kemasyarakatan yang

mengkonsepsikan dan mengaktifkan suatu religi berserta sistem

upacara keagamaannya. Adapun kesatuan - kesatuan kemasyarakatan

yang menjadi pusat dari religi dalam kenyataan kehidupan sosial, bisa

berupa empat tipe yaitu keluarga inti sebagai kelompok keagamaan,

kelompok kekerabatan unilineal sebagai kelompok keagamaan,

komunitas sebagai kelompok keagamaan dan perkumpulan -

perkumpulan khusus sebagai kelompok keagamaan.

Sesajen merupakan salah satu kepercayaan yang terdapat pada agama Hindu

yang diberikan kepada Tuhan, dewa, roh leluhur ( nenek moyang ), dan lain - lain

yang dilakukan dengan berbagai macam kegiatan upacara ritual religi. Suwardi

Endraswara (www.Studi Religi dan Ritual-Antro « TeguhIman Prasetya.htm)

berpendapat bahwa sesajen yang diberikan kepada Tuhan, dewa, roh nenek

moyang, dan lain - lain, kadang - kadang memang kurang masuk akal. Namun

demikian, bagi pendukung budaya yang bersangkutan yang dipentingkan adalah

sikap dasar spiritual yang berbau emosi religi, bukan logika. Karena itu, dalam

tradisi sesajen biasanya terdapat upacara berupa sesaji sebagai bentuk

persembahan atau pengorbanan kepada mahluk spiritual yang kadang - kadang

sulit diterima nalar. Hal ini semua sebagai perwujudtan bakti mahluk kepada

Universitas Sumatera Utara

21

kekuatan supranatural. Selain itu, ritual pemberian sesajen menurutnya

mempunyai fungsi bagi setiap masyarakat yaitu :

1. Mampu mengintegrasikan dan menyatukan rakyat dengan memperkuat

kunci dan nilai utama kebudayaan. Berarti ritual menjadi alat pemersatu atau

integrasi.

2. Ritual menjadi sarana pendukungnya untuk mengungkapkan emosi,

khususnya nafsu - nafsu negatif.

3. Ritual akan mampu melepaskan tekanan - tekanan sosial.

Pada saat manusia menghidangkan sesaji, menurut Robertson Smith ( dalam

Koentjaraningrat, 1990 : 68 ) memiliki fungsi sebagai aktivitas untuk mendorong

rasa solidaritas dengan para dewa. Dewa dianggap sebagai komunitas istimewa.

Hal tersebut juga ditegaskan oleh Preusz bahwa pusat dari religi dan kepercayaan

adalah ritus atau upacara. Menurutnya, upacara religi akan bersifat kosong, tak

bermakna, apabila tingkah laku manusia didalamnya didasarkan pada akal

rasional dan logika, tetapi secara naluri manusia memiliki suatu emosi mistikal

yang mendorongnya untuk berbakti kepada kekuatan tertinggi yang menurutnya

tampak konkret di sekitarnya, dalam keteraturan dari alam, serta proses pergantian

musim, dan kedahsyatan alam dalam hubungannya dengan masalah hidup dan

maut.

Sehubungan dengan hal tersebut, Van ball ( Koentjaraningrat, 1993 : 42 )

menyatakan bahwa sesajian adalah pemberian kepada dewa dan mahluk halus

dalam dunia gaib yang mana pada umumnya mempunyai fungsi sebagai

pemberian. Marcel Mauss ( Suparlan, 1992 ) berpendapat pemberian dalam suatu

Universitas Sumatera Utara

22

interaksi sosial ialah sebagai lambang pengukuhan suatu hubungan antara si

pemberi dan penerima. Kemudian lebih dikukuhkan lagi dengan pemberian

balasan dan pemberian ini melibatkan kelompok - kelompok dan masyarakat yang

bersangkutan secara menyeluruh. Pemberian sesajen kepada Tuhan, dewa, dan roh

halus merupakan sebuah hadiah yang mempunyai tujuan yang lebih baik untuk

membeli perdamaian.

Berkorban merupakan suatu perbuatan membunuh binatang yang

dikorbankan. Binatang korban tersebut dijadikan sebagai sesajen, secara upacara.

Jalan pikiran yang ada di belakang perbuatan serupa itu ada banyak. Kadang -

kadang ada maksud bahwa binatang yang dibunuh itu disajikan kepada dewa -

dewa, tetapi biasanya dalam perbuatan - perbuatan upacara seperti itu orang

sendirilah yang akan memakan binatang yang dikorbankan itu, dan bukan dewa-

dewa. Dalam hal ini binatang yang dibunuh itu rupanya dianggap dari lambang

dewa - dewa atau leluhur. Dengan makan binatang korban tadi, orang akan

memasukkan dewa kedalam dirinya sendiri. Kadang - kadang ada pula suatu jalan

pemikiran lain dibelakang upacara berkorban itu. Binatang yang dibunuh

dianggap sebagai tempat dosa orang dan segala hal yang menyebabkan kesedihan

dan kesengsaraan manusia dapat dibuang. Dengan membunuh binatang, segala

dosa manusia untuk sementara telah dibersihan terhadap dosa dan kesengsaraan

dalam masyarakat ( Koentjaraningrat, 1992 : 263 ).

Munurut Koentjaraningrat ( 1992 : 262 ) memberikan sesajen meliputi

perbuatan - perbuatan upacara yang biasanya diterangkan sebagai perbuatan -

perbuatan untuk menyajikan makanan, benda - benda, atau sebagainya kepada

Universitas Sumatera Utara

23

dewa - dewa, roh - roh nenek moyang, atau mahluk halus lainya. Pada banyak

upacara sesajen, dewa diberi makanan yang oleh manusia dianggap lezat, seolah-

olah dewa - dewa atau roh itu mempunyai kegemaran yang sama dengan manusia.

Dalam upacara sesajen, api dan air sering mempunyai peranan yang penting.

Sesajen dilempar kedalam api atau air ( sungai, laut ), dengan demikian akan

sampai kepada dewa - dewa. Seringkali dari persembahan sesajen kepada para

leluhur hanya merupakan lambang saja. Sajian diletakkan ditempat - tempat

keramat, dan dengan demikian rasa dari makanan tersebut akan sampai kepada

tujuannya, atau para leluhur hanya datang untuk menghirup saja. Seringkali kita

lihat bahwa upacara pemberian itu dikerjakan oleh sipelaku tanpa kesadaran akan

kepentingan para leluhur. Upacara menjadi perbuatan kebiasaan, dan dianggap

seolah - olah suatu aktifitas yang secara otomatis akan menghasilkan apa yang

diinginkan.

Seperti yang telah diungkapkan di atas, pada saat menghidangkan sesajen,

Tuhan, dewa, mahluk halus dianggap akan datang untuk menikmati sesajian.

Kehadiran Tuhan, dewa, mahluk halus diserap dalam bentuk benda - benda

lambang ( Hendropuspito, 1983 ) dengan dua cara yaitu :

1. Kehadiran Tuhan, dewa, mahluk halus, secara spontan.

Tuhan, dewa, mahluk halus sendiri yang hadir dalam lambang yang dipilih-

Nya.

2. Secara dimohon

Tuhan, dewa, maluk halus hadir dalam benda ( lambang ) atau manusia

karena dimohon. Tuhan, dewa, maluk halus dimohon turun dan mengambil

Universitas Sumatera Utara

24

tempat dan bentuk dalam suatu lambang, sehingga dapat bergaul dengan

manusia.

Ada dua macam permohonan ialah invokasi magis dan invokasi religius. Invokasi

magis mendasarkan kekudusan kepada kekuatan gaib seseorang ( Dukun ).

Sehingga kekudusan benda lambang bervariasi intensitasnya menurut gradasi

kekudusan sipemohon. Bentuk invokasi magis adalah kutukan, jampi - jampi, dan

lain - lain. Invokasi religius mengandalkan kekuatan pada Tuhan, dewa, mahluk

halus sendiri serta kerelaannya untuk turun pada lambang. Tuhan dimohon, bukan

dipaksa. Bentuk - bentuk invokasi religius adalah doa, sembahyang, nyayian.

Salah satu usaha yang dominan pengaruhnya dalam pengukuhan nilai - nilai

ajaran dan sekaligus untuk menunjukkan nilai - nilai keagamaan dan kepercayaan

dalam mentransformasikannya adalah dalam melalui simbol - simbol pada setiap

upacara. Simbol dalam hal ini yaitu lambang - lambang dari bentuk pemikiran dari

perbuatan yang dimaksud dalam agama ( religi ). Pada umumnya setiap upacara

religi merupakan rangkaian perangkat lambang - lambang berupa benda atau

materi, kegiatan - kegiatan dan isyarat - isyarat yang penggunaannya dilakukan

secara simbolis yang dapat ditangkap dan diinterprestasikan oleh orang - orang

yang terlibat langsung ataupun oleh para pengamat. Simbol - simbol yang mereka

gunakan tersebut berfungsi untuk menertibkan tata cara upacara. Suatu simbol

atau lambang merupakan sesuatu yang dikaitkan dengan hal tertentu atau

menggantikan sesuatu yang mungkin merupakan tanggapan dari situasi tertentu.

Reaksi terhadap lambang tergantung kepada pengakuan adanya hubungan sesuatu

yang digantikan lambang tersebut ( Su’ib, 1992 : 9 ).

Universitas Sumatera Utara

25

Clifford Geertz ( 1992 : 149 - 150 ) melihat simbol sebagai lambang

kebudayaan yang dijadikan kendaraan budaya, dalam mengirimkan simbol -

simbol sebagai makna dan cara berkomunikasi di mana orang harus melihat,

merasakan, dan berpikir tentang sesuatu. Selain itu, Clifford Geertz mengartikan

simbol - simbol yang bertindak adalah simbol yang ada di alam pola pikir

manusia, dan bagaimana mereka membentuk cara orang berpikir dan

berkomunikasi tentang sesuatu, bagaimana mereka mempengaruhi kepribadian

dan hubungan sosial. Sedangkan Menurut Spradley ( 1997 : 121 ) simbol adalah

objek atau peristiwa apapun yang menunjuk pada sesuatu. Jadi simbol adalah

suatu tanda yang memberitahukan sesuatu kepada seseorang yang telah

mendapatkan persetujuan umum dalam tingkah laku ritual.

Di dalam upacara religi yang menggunakan sesajen terdapat berbagai

macam bentuk lambang - lambang yang digunakan sebagai simbol. Untuk dapat

menangkap makna simbol yang tersembunyi dari sesajen, menurut Vitor Tuner

(Winangun, 1990 : 19) ada 3 cara yang dapat dilakukan, yaitu :

1. Multivokal artinya simbol memiliki banyak arti, menunjuk pada banyak hal,

pribadi, dan atau fenomena. Hal ini menunjukkan betapa kaya makna simbol

ritual.

2. Polarisasi simbol karena simbol memiliki banyak arti sering ada arti simbol

yang bertentangan.

3. Unifikasi artinya memiliki arti terpisah.

Universitas Sumatera Utara

26

1.6 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskripsi

(menggambarkan) dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Dengan metode

penelitian deskripsi kualitatif, maka akan dapat menggambarkan secara mendalam

makna sesajen sebagi salah satu bagian yang sangat penting pada setiap upacara

religi Hindu, khususnya yang beretnis Karo.

Agar dapat menggambarkan ( mendiskripsikan ) makna sesajen yang

terdapat pada penganut agama Hindu etnis Karo, maka dibutuhkan informasi yang

lengkap, sehingga dibutuhkan alat pengumpulan data.

Adapun alat yang digunakan dalam penggumpulan data dalam penelitian ini

adalah :

1. Data Primer

Data primer adalah salah satu data yang diperoleh dari observasi

(pengamatan) dan wawancara lapangan.

- Observasi ( pengamatan )

Observasi yang digunakan adalah observasi pastisipasi yaitu dengan cara

berada dalam setiap aktifitas, dan turut serta mengikuti dan mengamati

segala kegiatan penganut agama Hindu pada masyarakat yang beretnis

Karo dalam hal mengunakan sesajen. Dengan cara tersebut peneliti dapat

memperoleh informasi lengkap dan kongrit. Dari hasil pengamatan atau

observasi, peneliti lalu menulisnya kedalam sebuah catatan lapangan.

Universitas Sumatera Utara

27

- Wawancara Lapangan

Wawancara lapangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

wawancara mendalam dengan di bantu pedoman wawancara ( interview

guide ). Dengan menggunakan wawancara mendalam, maka akan dapat

memperoleh segala informasi yang dibutuhkan secara lengkap mengenai

sesajen yang digunakan oleh penganut agama Hindu etnis Karo.

Adapun informan yang digunakan dan diwawancarai dalam penelitian

ini adalah

a. Informan Pangkal

Informan pangkal yang digunakan dalam penelitian ini adalah orang

yang memiliki pengetahuan tentang sesajen yang digunakan oleh

penganut agama Hindu pada etnis Karo dan digunakan sebagai

informasi awal. Adapun informan pangkal tersebut adalah pemuka

adat, kepala desa setempat.

b. Informan Pokok ( kunci )

Informan pokok yang akan digunakan adalah orang yang paham dan

mengerti benar mengenai masalah penelitian yang akan dilakukan

yaitu makna sesajen bagi penganut agama Hindu etnis Karo. Adapun

informan pokok tersebut adalah pemimpin umat Hindu, pengurus

pura, umat Hindu.

c. Informan Biasa

Informan biasa yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah

orang yang akan dimintai dan memberikan informasi mengenai

Universitas Sumatera Utara

28

masalah penelitian yang dilakukan yaitu penduduk Desa Lau Rakit

yang pernah melihat atau mengetahui tentang sesajen yang

digunakan oleh penganut agama Hindu, ataupun penduduk setempat.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumentasi yang ada

pada kepala desa, buku kepustakaan, artikel, surat kabar, jurnal, internet,

dan lain - lain. Data sekunder tersebut digunakan sebagai pelengkap dan

penyempurna hasil dari obserfasi dan wawancara.

1.7 Analisa Data

Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis data

kualitatif. Data yang telah terkumpul dan diperoleh melalui metode penelitian

akan dipilah - pilah dan diorganisasikan kedalam konsep - konsep, tema, serta

nilai - nilai budaya yang ada pada penganut agama Hindu etnis Karo mengenai

makna sesajen. Setelah data diorganisasikan, maka akan di cari hubungan -

hubungan yang saling keterkaitan antara peristiwa yang satu dengan yang lainnya.

Dari hasil tersebut akan ditemukan kognitif penganut agama Hindu etnis Karo

terhadap makna sesajen yang digunakan. Hasil dari analisis data yang telah

dilakukan akan disusun secara sistematis.

Tahap akhir analisis data yang akan dilakukan adalah membaca kembali

hasil analisis yang telah dilakukan agar tidak terjadi kesalahan penafsiran terhadap

makna sesajen. Dari hasil keseluruhannya di tulis secara deskripsi kedalam sebuah

laporan penelitian ( Skripsi ).

Universitas Sumatera Utara