Chapter 3 dari Buku Getting Health Reform Right : A Guide to Improving Performance and equity

11
3. Penilaian Kinerja Sektor Kesehatan: Teori Etis Pendapat mengenai hal-hal yang semestinya dilakukan oleh warga masyarakat selalu melibatkan etika. Buku ini berlandaskan pada keyakinan mendalam kami bahwa penilaian kinerja sektor kesehatan mensyaratkan analisis etis. Di bab ini, kami memperkenalkan tiga sudut pandang etis utama sebagai dasar penilaian: utilitarianisme, liberalisme, komunitarianisme. Tujuan kami bukan meneliti filosofi moralnya, melainkan penggunaannya untuk memutuskan hal-hal yang berhubungan dengan reformasi kesehatan. Utilitarianisme mengungkapkan bahwa kita harus menilai suatu kebijakan melalui konsekuensinya. Utilitarianisme mengevaluasi konsekuensi dengan mengkaji akibat yang timbul dari suatu keputusan pada kesejahteraan seseorang di masyarakat. Liberalisme fokus pada hak dan kesempatan pada titik permulaan seseorang, bukan pada akhirnya. Pandangan ini juga berperan penting dalam pembahasan reformasi sektor kesehatan. Klaim yang sering diajukan bahwa warga berhak atas pelayanan kesehatanbahkan kesehatan itu sendirimencerminkan persoalan liberal. Komunitarianisme menyatakan bahwa hal yang penting adalah masyarakat yang dibangun oleh kebijakan publik dan sifat orang-orang yang tinggal di dalamnya. Dalam pandangan ini, komunitas berkewajiban menghimpun anggotanya untuk bersama-sama mewujudkan sifat dan perilaku yang baik dari komunitas yang bersangkutan. Komunitarianisme mungkin bertentangan dengan pemikiran berlandaskan konsekuensi maupun hak, karena akan ada aksi-aksi yang tidak menambah kesejahteraan atau membatasi kebebasan individu. Bab ini membahas tiga teori tersebut dan mengkaji implikasinya pada reformasi sektor kesehatan, juga memaparkan variasi dalam sudut pandang masing-masing pendekatan itu. Teori Etis #1: Utilitarianisme Pendekatan berdasarkan konsekuensi ini secara umum menganggap bahwa “hasil akhir memberikan alasan kepada maksudnya”. Menurutnya, kita harus menilai suatu kebijakan dengan mencari tahu pengaruhnya terhadap seseorang di dalam masyarakat dan tentukan pilihan yang paling meningkatkan kesejahteraan. Ada dua pendekatan tradisi intelektual yang membantu pembuatan keputusan tentang

Transcript of Chapter 3 dari Buku Getting Health Reform Right : A Guide to Improving Performance and equity

Page 1: Chapter 3 dari Buku Getting Health Reform Right : A Guide to Improving Performance and equity

3. Penilaian Kinerja Sektor Kesehatan: Teori Etis

Pendapat mengenai hal-hal yang semestinya dilakukan oleh warga masyarakat

selalu melibatkan etika. Buku ini berlandaskan pada keyakinan mendalam kami

bahwa penilaian kinerja sektor kesehatan mensyaratkan analisis etis. Di bab ini, kami

memperkenalkan tiga sudut pandang etis utama sebagai dasar penilaian:

utilitarianisme, liberalisme, komunitarianisme. Tujuan kami bukan meneliti filosofi

moralnya, melainkan penggunaannya untuk memutuskan hal-hal yang berhubungan

dengan reformasi kesehatan.

Utilitarianisme mengungkapkan bahwa kita harus menilai suatu kebijakan

melalui konsekuensinya. Utilitarianisme mengevaluasi konsekuensi dengan mengkaji

akibat yang timbul dari suatu keputusan pada kesejahteraan seseorang di masyarakat.

Liberalisme fokus pada hak dan kesempatan pada titik permulaan seseorang, bukan

pada akhirnya. Pandangan ini juga berperan penting dalam pembahasan reformasi

sektor kesehatan. Klaim yang sering diajukan bahwa warga berhak atas pelayanan

kesehatan—bahkan kesehatan itu sendiri—mencerminkan persoalan liberal.

Komunitarianisme menyatakan bahwa hal yang penting adalah masyarakat yang

dibangun oleh kebijakan publik dan sifat orang-orang yang tinggal di dalamnya.

Dalam pandangan ini, komunitas berkewajiban menghimpun anggotanya untuk

bersama-sama mewujudkan sifat dan perilaku yang baik dari komunitas yang

bersangkutan. Komunitarianisme mungkin bertentangan dengan pemikiran

berlandaskan konsekuensi maupun hak, karena akan ada aksi-aksi yang tidak

menambah kesejahteraan atau membatasi kebebasan individu. Bab ini membahas tiga

teori tersebut dan mengkaji implikasinya pada reformasi sektor kesehatan, juga

memaparkan variasi dalam sudut pandang masing-masing pendekatan itu.

Teori Etis #1: Utilitarianisme

Pendekatan berdasarkan konsekuensi ini secara umum menganggap bahwa

“hasil akhir memberikan alasan kepada maksudnya”. Menurutnya, kita harus menilai

suatu kebijakan dengan mencari tahu pengaruhnya terhadap seseorang di dalam

masyarakat dan tentukan pilihan yang paling meningkatkan kesejahteraan. Ada dua

pendekatan tradisi intelektual yang membantu pembuatan keputusan tentang

Page 2: Chapter 3 dari Buku Getting Health Reform Right : A Guide to Improving Performance and equity

reformasi kesehatan, utilitarianisme subjektif dan objektif, yang memanfaatkan

sumber-sumber secara efisien demi mendapatkan ‘kebaikan’ tertinggi.

Utilitarianisme Subjektif

Utilitarianisme berasal dari tulisan Jeremy Bentham (1748-1832) yang

berpendapat bahwa manusia menikmati “manfaat/faedah (utility)”—kebahagiaan yang

dirasakan—pada tingkat berbeda di berbagai situasi, tergantung selera dan preferensi

mereka. Berdasarkan filosofi bahwa tindakan yang benar adalah yang menghasilkan

“kebahagiaan terbesar dalam jumlah terbanyak” (Bentham 1789), evaluasi kinerja

sistem pelayanan kesehatan dilakukan dengan cara menentukan tingkat kebahagiaan

yang dihasilkannya, dan memasukkan ukuran tersebut untuk mengetahui manfaat

yang dihasilkan oleh sistem.

Menurut pendapat Bentham, semua individu menilai kebahagiaan mereka

sendiri, maka ini disebut utilitarianisme subjektif. Konsep ini sangat tidak hierarkis.

Padahal, penilaian suatu kebijakan mengharuskan kita untuk memasukkan tingkat

pemanfaatan semua orang untuk setiap pilihan kebijakan kemudian memilih

kebijakan yang paling membahagiakan atau berfaedah. Para ahli ekonomi

mengusulkan analisis biaya-manfaat untuk menentukan tindakan yang menghasilkan

faedah terbesar, dengan mencari tahu seberapa banyak orang yang kemungkinan

diuntungkan oleh kebijakan atau program tertentu dan bersedia membayar

keuntungan tersebut. Jika keuntungan yang diperkirakan lebih besar daripada

biayanya, maka kebijakan tersebut harus dilaksanakan karena akan menjadi kebaikan

terbesar bagi jumlah terbanyak. Dalam reformasi kesehatan, penggunaan analisis

biaya-manfaat tidaklah mudah. Salah satu alasannya adalah kesulitan dalam

menentukan bentuk pelayanan yang akan dibeli oleh masyarakat, padahal bisa jadi

masyarakat tidak membayar apapun (misalnya pelayanan gratis di klinik publik).

Utilitarianisme subjektif sangat berpengaruh dalam pembahasan tentang

reformasi kesehatan. Para penentu kebijakan sering didesak menggunakan pasar untuk

mengalokasikan pelayanan kesehatan. Hal ini didasari ide bahwa ketika pasar berjalan

dengan baik, para konsumen hanya bersedia membeli barang dan jasa yang akan

mereka bayar melebihi biaya produksinya. Sistem pasar yang seperti ini memiliki

barang-barang yang sangat diinginkan dari sudut pandang utilitarian subjektif. Pada

Page 3: Chapter 3 dari Buku Getting Health Reform Right : A Guide to Improving Performance and equity

titik tertentu, tidak akan ada barang tersisa untuk dimanfaatkan, hingga satu-satunya

cara untuk meningkatkan kegunaan seseorang adalah dengan mengurangi milik orang

lain. Kemudian, pasar itu akan dianggap efisien dalam hal alokasi sumber-sumbernya

(Graaf 1967), dan situasi ini disebut “Pareto Optimal”.

Sayangnya, kebanyakan pasar pelayanan kesehatan nyatanya jauh dari kondisi

Pareto Optimal (Arrow 1963). Penyebabnya adalah pasien bergantung kepada dokter

mengenai perawatan yang harus mereka terima, sehingga dokter dapat mempengaruhi

keputusan terkait perawatan sesuai dengan kepentingan sang dokter. Pasar pelayanan

kesehatan juga sering kali mengabaikan masalah keadilan. Dalam suatu pasar,

konsumsi seseorang didasarkan pada pendapatannya. Ini tetap berlaku di dalam

“Pareto Optimal”, sehingga orang harus berpikir cermat dalam memanfaatkan pasar

dan mengatasi kejadian yang tak diinginkan. Pendekatan utilitarian subjektif juga

mungkin menyebabkan pelayanan yang tidak maksimal kepada orang-orang miskin

karena mereka tidak mampu membayarnya. Meski argumen dengan dasar pasar ini

mendapatkan pengaruh politis yang memberi kesempatan kepada pemikiran utilitarian

subjektif untuk masuk ke dalam pembahasan reformasi kesehatan, alasan-alasan di

atas seolah-olah menggambarkan kesehatan bukan sesuatu yang istimewa, melainkan

komoditi yang akan dibeli sesuai keputusan konsumen.

Utilitarianisme Objektif

Para pembaharu yang ingin mempromosikan kesejahteraan individual, namun

meragukan reabilitas dan validitas keputusan individual, mendasarkan pengertian

kesejahteraan individual pada penjelasan objektif yang dikemukakan para ahli. Para

ahli ini mengembangkan indeks yang mengandung komponen-komponen yang “dapat

dimengerti secara rasional” tentang kesejahteraan, dan indeks tersebut digunakan

untuk mengukur keadaan orang per orang. Ini lah yang dikenal dengan utilitarian

objektif (Griffin 1986).

Sejarah panjang utilitarianisme objektif kesehatan umum dapat dilihat dari

abad ke-19, ketika indeks status kesehatan – sebelumdan sesudah Perang Dunia II –

dibuat, setelah Florence Nightingale menganjurkan kepada Pasukan Inggris untuk

merawat tentara yang terluka agar tak perlu merekrut orang baru. Pendekatan ini juga

dipakai secara luas riset klinis, seperti pengukuran “kualitas hidup” untuk

Page 4: Chapter 3 dari Buku Getting Health Reform Right : A Guide to Improving Performance and equity

mengevaluasi hasil perawatan alternatif (McDowell dan Newell 1987), juga analisis

pada pengukuran DALY (Disability-Adjusted Life Year, usia menurut

ketidakmampuan fungsi tubuh) atau QALY (Quality-Adjusted Life Years, usia

menurut kualitas hidup yang dialami) oleh Bank Dunia (1993) dan WHO (2000).

Dalam bidang analisis kebijakan, utilitarianisme objektif menjadi dasar analisis

biaya-keefektifan, yang telah banyak digunakan di sektor kesehatan. Para penganut

utilitarian objektif menggunakan indeks tunggal untuk mengukur kesejahteraan

seseorang tanpa memperhitungkan variasi preferensinya; menghindari penyakit tetapi

memperpendek usia, atau hidup lebih lama walaupun harus menderita.

Pengukuran terhadap pencapaian kesehatan tak lepas dari masalah teknis,

yaitu mengenai cara menggabungkan perpanjangan usia seseorang dengan

peningkatan kualitas hidup. Masalah yang muncul dalam pendekatan ini adalah

banyaknya orang yang lebih memilih hidup lama daripada mengurangi kelemahannya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa indeks status kesehatan menambahkan penilaian

tentang keinginan relatif terhadap kesehatan, walaupun pelaku reformasi kesehatan

yang menggunakan utilitarian objektif tidak harus menggunakan ukuran pencapaian

kesehatan yang komprehensif. Beberapa persoalan lainnya yaitu menerjemahkan

statistika kesehatan, memperkirakan penyebab, dan kerumitan membuat prediksi yang

dapat dipercaya tentang akibat suatu kebijakan.

Beberapa Kerumitan dalam Utilitarian: Ketidakpastian dan Waktu

Dua pemasalahan teknis yang sering menghinggapi analisis utilitarian adalah

ketidakpastian dan waktu. Konsekuensi reformasi kesehatan selalu tidak pasti dan

beberapa di antaranya tidak terjadi hingga beberapa tahun mendatang (Weinstein dan

Stason 1977, Wenz 1986). Bagi penganut utilitarianisme subjektif, perolehan yang

tidak-pasti diungkapkan secara terus terang. Keuntungan dan biaya yang tidak pasti

dievaluasi dengan menanyai orang-orang yang terkena akibatnya tentang tingkat

perubahan nilai dari perolehan atau pengeluaran yang ditimbulkan ketidakpastian.

Ketidakpastian sangat berkaitan dengan kesediaan seseorang untuk melakukan

pembayaran. Kendati demikian, asumsi dan implikasi pendekatan ini rumit, karena

kita harus berasumsi bahwa orang tidak hanya memilih satu hasil tertentu tetapi juga

besar nilai yang dimiliki pilihan tersebut. Evaluasi ini menjadi sangat penting ketika

Page 5: Chapter 3 dari Buku Getting Health Reform Right : A Guide to Improving Performance and equity

pencapaian yang diraih bergantung pada probabilitas, misalnya probabilitas kematian

suatu penyakit.

Masalah keuntungan yang muncul di masa mendatang juga menimbulkan

persoalan serupa. Di sini, ada perdebatan tentang tingkat diskonto. Menurut beberapa

analis, perolehan yang akan datang harus dinilai sesuai yang ada saat ini, karena

diskonto secara efektif akan mendiskriminasikan masa depan. Analis lainnya

berpendapat bahwa tanpa diskonto, kita akan menghadapi “paradoks investasi”, yakni

keadaan ketika kita menangguhkan terlalu banyak pengeluaran di masa depan.

Tingkat diskonto ini dapat berdampak pada daya tarik relatif suatu kebijakan yang

menghasilkan pendapatan jangka pendek vs jangka panjang.

Ada dua pendapat tentang penyusunan tingkat diskonto. Pertama adalah

tingkat diskonto pasar, yaitu menggunakan suku bunga yang sama dengan yang

terdapat pada pasar finansial negara yang bersangkutan atau suku bunga

pengembalian yang diperoleh sektor pribadi. Pendapat kedua mengemukakan bahwa

masyarakat harus membuat perkiraan sendiri tentang nilai pendapatan pada waktu

yang berbeda. Penilaian terpisah ini mendasari tingkat diskonto sosial (yang

cenderung mendukung utilitarian objektif). Terlepas dari tingkat diskonto yang

berlaku dalam analisis, keduanya berdampak pada penyusunan prioritas karena

kebijakan tertentu akan memberikan keuntungan dalam jangka waktu cukup lama.

Masalah terakhir dalam pendekatan utilitarian adalah komitmen untuk

memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa mempertimbangkan keadilan

atau kesetaraan hasilnya. Konsekuensi negatif yang diderita oleh orang atau kelompok

tertentu dapat diterima selama hasil akhirnya menguntungkan. Penentu kebijakan

penganut utilitarianisme mungkin akan mengabaikan pasien yang menghabiskan

terlalu banyak biaya dan mengorbankan seseorang demi keuntungan orang banyak.

Teori Etis #2: Liberalisme

Sesuai penuturan Immanuel Kant (1788), semua manusia memiliki kapasitas

untuk melakukan aksi moral, yakni kekuatan untuk mengetahui hal yang benar secara

moral dan memutuskan untuk mengikuti aturan moralitas. Penganut Kant modern

berpendapat, oleh karena manusia memiliki kapasitas untuk mengembangkan dan

menerapkan keputusan mereka tentang cara hidup (“rencana hidup”), mereka berhak

Page 6: Chapter 3 dari Buku Getting Health Reform Right : A Guide to Improving Performance and equity

untuk melakukannya. Hak-hak ini dianggap universal dan semua sistem harus

menghormatinya, karena diambil dari status masing-masing orang sebagai manusia

(O’Neill 1989). Kini penerus dari pendekatan Kant, kaum liberal, telah

mengembangkan argumen yang mengatur penyelenggaraan negara dan penentuan

kebijakan (Rawls 1971).

Konsep utama liberal adalah hak—pernyataan yang dapat dimiliki semua

orang atas nama kemanusiaan. Hak yang tersirat dari prinsip saling menghormati

dimaknai oleh kaum liberal dalam dua cara. Libertarian percaya bahwa hanya hak

negatif yang harus dilindungi (Nozick 1974). Hak-hak ini menjamin kebebasan

individu, sehingga orang dapat melakukan apapun yang diinginkan tanpa campur

tangan pemerintah. Libertarian menginginkan peran pemerintah hanya terbatas pada

perlindungan atas hak kepemilikan dan kebebasan pribadi. Sebaliknya, kaum liberal

egaliter berpendapat bahwa hak memutuskan sesuatu tidak berarti tanpa sumber yang

tepat. Setiap orang memiliki hak positif hingga level terbawah atas pelayanan dan

sumber daya yang dibutuhkan agar tercipta kesetaraan peluang yang adil (Daniels

1985). Pengertian hak positif menimbulkan perspektif redistributif yang menolong

orang-orang yang terpinggirkan seumur hidupnya. John Rawl (1971) menyebut

pandangan ini “keadilan yang berarti pemerataan”, keadilan bagi semua orang.

Dalam hal sistem pelayanan kesehatan, liberal egaliter memandang bahwa

demi kapasitas moral, pendapatan harus diedarkan secara merata dan biarkan masing-

masing membelanjakannya pada pelayanan kesehatan (atau asuransi kesehatan) sesuai

keinginan (Dworkin 1993). Bagi mereka, kesehatan tidak berbeda dengan barang dan

jasa lainnya dan tidak hak khusus untuk kesehatan atau perawatan kesehatan.

Penganut egaliter lainnya meyakini bahwa masyarakat memiliki kewajiban di bidang

kesehatan (Daniels 1985), namun ini pun mengandung perbedaan pendapat. Beberapa

mengira bahwa hal yang paling utama adalah menyediakan pelayanan kesehatan

minimal pada tingkat terendah bagi semua orang, sementara lainnya menyatakan yang

terpenting adalah status kesehatan yang sebenarnya pada setiap individu.

Pandangan tentang hak positif memberikan tanggung jawab kepada

pemerintah untuk menyediakan kuantitas dan kualitas kehidupan bagi semua orang

minimal pada tingkat terendah, dan menyediakan pelayanan kesehatan yang

diperlukan untuk mewujudkannya. Hal ini berdampak pada hubungan antara negara

(pemerintah) dengan warga (perorangan), karena jika pemerintah bertanggung jawab

Page 7: Chapter 3 dari Buku Getting Health Reform Right : A Guide to Improving Performance and equity

pada kesehatan warganya, maka masyarakat bertanggung jawab mempengaruhi

keputusan individu terhadap urusan kesehatan. Di sisi lain jika masyarakat hanya

bertanggung jawab menyediakan pelayanan dan tidak mengharuskan orang-orang

menggunakannya, maka setiap orang lebih bertanggung jawab atas kesehatannya

sendiri. Dengan demikian, status kesehatan menjadi keputusan individu.

Liberalisme dan Pembiayaan Pelayanan Kesehatan

Bagi para libertarian, hak negatif yang harus dibiarkan salah satunya adalah

hak menikmati properti. Bagi mereka pajak adalah pencurian.Pajak yang

mendistribusikan ulang sumber daya sama artinya dengan membagi hak milik

seseorang dengan orang lain. Lain dengan libertarian egaliter, mereka berpikir bahwa

banyak kesejahteraan yang tidak pantas di masyarakat. Menurut mereka, orang-orang

kaya memperoleh kenikmatan yang tidak layak mereka dapatkan (Rawls 1971, Rawls

1999). Seharusnya, pendapatan mereka dikenai pajak untuk membantu kaum miskin.

Hak milik tidak akan dilanggar oleh perpajakan karena keuntungan itu sendiri tidak

diperoleh dari usahanya sendiri. Terlebih keuntungan dari investasi, bagi liberal

egaliter itu merupakan sumber dana yang tepat untuk redistribusi keuangan.

Klaim-klaim tentang distribusi kesehatan atau pelayanan kesehatan yang

“tidak merata” dalam masyarakat sepertinya berdasarkan pada etika liberal egaliter.

Sebagai contoh pada negara-negara miskin, fokus reformasi kesehatan tergantung

pada pihak yang menjalankannya. Seorang liberal egaliter akan memprioritaskan

kesetaraan agar semua orang memperoleh peluang yang sama, sedangkan seorang

utilitarian objektif akan membuat keputusan berdasarkan dampak terbesar yang akan

muncul. Walaupun begitu berbeda, terdapat persamaan antara liberalisme dan

utilitarianisme. Keduanya bersifat universal; mencoba membangun standar moral

tunggal untuk semua kemanusiaan. Keduanya juga fokus pada perorangan

(individual)—kesejahteraan individu dan hak individu. Kedua pandangan itu dikritik

atas pengabaian terhadap sifat sosial kehidupan manusia (Sandel 1982). Kritik

terhadap liberalisme menyatakan bahwa nilai-nilai penting komunitas terabaikan oleh

visi individualistiknya. Utilitarianisme gagal karena seseorang tidak akan dapat

menolong keluarga, teman atau sesama warga negara jika pertolongan tersebut tidak

memberikan manfaat baginya (Williams 1973). Begitu pula, pendekatan utilitarian

Page 8: Chapter 3 dari Buku Getting Health Reform Right : A Guide to Improving Performance and equity

untuk meningkatkan status kesehatan seseorang dapat menimbulkan konflik dengan

pandangan moral masyarakat.

Teori Etis #3: Komunitarianisme

Teori ini menyatakan bahwa karakter suatu komunitas tergantung pada

karakter orang-orang yang menjadi anggotanya. Oleh karena itu, suatu negara harus

dapat mengembangkan karakter warga yang baik agar tercipta masyarakat yang baik.

Ada dua jenis komunitarian. Pertama, komunitarian universal, adalah orang-

orang yang meyakini bahwa terdapat model universal tunggal untuk individu yang

baik dan masyarakat yang baik. Pola pikir komunitarian yang relevan bagi pembaharu

sektor kesehatan adalah Konfusianisme. Perspektif ini (Konfusius 551-479 SM)

mengatur perilaku manusia, baik sebagai individu maupun bersama-sama, melalui

“lima hubungan”. Interaksi manusia dimulai dari keluarga, diperluas hingga tingkat

negara. Inti ajaran Konfusianisme didasarkan pada refleksi internal seseorang

terhadap kewajiban dan haknya, dan pada pemahaman tentang interaksi manusia

dalam kelompok tertentu (Bloom 1996). Ajaran Konfusian masih mempengaruhi

nilai-nilai individual dan sosial di berbagai negara.

Bentuk komunitarianisme kedua secara sejarah sangat dipengaruhi oleh

antropologi dan tulisan-tulisan antara lain oleh Boas (1932) dan Mead (1964).

Pandangan ini menerangkan berbagai tradisi di dunia dan keterikatan orang-orang

dengan budaya tersebut. Komunitarianisme relativis ini menegaskan bahwa setiap

komunitas harus menentukan norma-norma dan organisasi sosialnya sendiri. Para

komunitarian ini memandang bahwa moralitas bersifat kontekstual. Orang-orang yang

menyetujui bahwa setiap kelompok menentukan normanya sendiri, harus menetapkan

batas masing-masing komunitas dan perwakilan bagi komunitas yang bersangkutan.

Pendapat komunitarian mengemuka di reformasi kesehatan dalam berbagai

cara. Bagi beberapa orang di kesehatan umum, menjalani gaya hidup sehat menjadi

suatu hal baik yang tidak hanya meningkatkan status kesehatan. Para komunitarian

juga mungkin memiliki pandangan kuat atas pelayanan kesehatan tertentu. Hal itu

terlihat dari kebijakan yang berlainan di negara yang satu dengan lainnya seperti

tentang aborsi, penentuan kematian, transplantasi organ, dan lain-lain. Pada bab ini,

kami membahas dimensi normatif dari reformasi kesehatan, keputusan yang dipilih

Page 9: Chapter 3 dari Buku Getting Health Reform Right : A Guide to Improving Performance and equity

oleh masyarakat dalam melaksanakan reformasi kesehatan. Analisis etis dapat

membantu para pembaharu dengan menggarisbawahi hal-hal yang diasumsikan dan

disiratkan dalam berbagai jenis komunitarian, serta hubungannya dengan pandangan-

pandangan berbasis konsekuensi dan hak.

Masalah Pembenaran

Bermacam-macam pendekatan muncul ketika berurusan pembenaran atas

suatu posisi etis. Salah satunya adalah keyakinan terhadap suatu agama. Lainnya

adalah pandangan bahwa manusia memiliki indera untuk mengenali moralitas,

sehingga kebenaran moral terungkap kepada kita melalui emosi atau intuisi.

Pemikiran ketiga menyatakan bahwa logika atau alasan dapat mendikte kandungan

moralitas (Harman 1977). Argumen modern yang paling banyak diterima adalah

realisme moral (Putnam 1990). Pada posisi ini, kandungan moralitas dapat dipelajari

dari pengalaman kita, ketika pelajaran tersebut dipahami dan diproses dengan tepat.

Realis moral percaya bahwa kebenaran moral itu nyata dan dapat ditemukan, dan

bahwa kenyataan moral dapat dikaji dengan memahami sifat manusia, menganalisis

kebutuhan manusia dan menilai persyaratan kehidupan sosial.

Pemikir kontemporer lainnya dalam ajaran postmodern, berpendapat bahwa

etika tidak dapat dibenarkan dengan memakai landasan apapun (Lyotard 1984).

Menurut mereka, etika itu diciptakan, seperti karya seni atau puisi. Kriteria untuk

menilai pendapat moral didasarkan pada aturan-aturan di dalam kesatuan, misalnya

norma-norma gaya bahasa yang mengatur tradisi budaya sosial. Meski demikian,

peraturan tersebut tidak dapat diperoleh dari prinsip-prinsip fundamental, tidak dan

tidak dapat memiliki pembenaran yang lebih mendalam. Perkataan yang digunakan

manusia untuk menjelaskan konsep-konsep seperti keadilan, kesejahteraan atau tradisi

hanyalah—kata-kata—simbol-simbol untuk mengekspresikan gagasan yang

diciptakan oleh manusia (Johnson 1993).

Pembaharu kesehatan postmodern tetap harus bergulat dengan persoalan

keputusan moral. Richard Rorty (1989) mengungkapkan bahwa penilaian moral itu

mungkin, walaupun tidak dapat dibenarkan dalam landasan tertentu. Kita tidak

memiliki pilihan selain bertindak sesuai pandangan masing-masing tentang kebajikan,

dan mencoba mengajak orang lain mengikuti cara pandang kita.

Page 10: Chapter 3 dari Buku Getting Health Reform Right : A Guide to Improving Performance and equity

Mengembangkan Posisi Etis

Salah satu pendekatan yang dapat digunakan pembaharu dalam

mengembangkan posisi etis adalah dengan bekerja secara maju dan mundur—artinya

memulai dengan teori yang menarik kemudian menjelajahi implikasinya dalam

praktik. Atau sebaliknya, memulai dengan intuisi mengenai praktik yang ingin

diwujudkan kemudian menggali teori yang dapat mendukung kebijakan tersebut.

Ketika ada pertentangan antara asumsi awal dan intuisi kebijakan, yang harus

dilakukan adalah menyesuaikan salah satu atau keduanya, sehingga diperoleh gagasan

teoritis umum yang dapat diubah demi mencapai konsistensi internal yang disebut

dengan ekuilibrum reflektif(Rawls 1971).

Proses iteratif ini dapat mengungkapkan keterbatasan posisi teoritis tertentu.

Misalnya, seseorang yang menganut pandangan utilitarian mengenai perolehan

sebesar-besarnya mungkin akan menekan paksaan yang dikenakan dalam meraih

tujuan. Bisa jadi paksaan-paksaan tersebut berasal dari ketertarikan intuitif terhadap

gagasan liberal tentang asas saling menghormati. Setelah mempertimbangkan banyak

hal, mungkin akan muncul posisi baru yang disebut dengan “utilitarianisme yang

dipaksakan oleh hak”. Sikap kami terhadap posisi etis yang campur aduk ini

berdasarkan pada pandangan tentang teori etis secara umum. Kami sangat sadar akan

bentuk-bentuk sederhana ketika isu-isu menyangkut etika dibahas secara normal

dalam diskusi kebijakan publik. Kata-kata yang digunakan di sebagian besar

perbincangan reformasi sektor kesehatan—seperti hak, kesejahteraan, komunitas atau

kesehatan itu sendiri—memetakan tekstur kompleks tentang masalah yang sebenarnya

secara tidak sempurna. Meski demikian, menurut kami para pembaharu perlu mencari

konsistensi dan koherensi dalam pandangan etis mereka sendiri. Artinya, kita harus

berusaha lebih dari sekadar memilih dan mencomot dari teori-teori tersebut, karena itu

akan menjadikannya seperti hiasan belaka tanpa pendukung analitis.

Koherensi dan keeksplisitan merupakan hal penting dengan beberapa alasan.

Pertama, menjadikan pola pikir seseorang lebih mudah dijelaskan—itu penting dalam

diskusi publik tentang prioritas dalam rencana reformasi kesehatan. Koherensi dan

keeksplisitan menciptakan potensi untuk kesepakatan dan ketaksepakatan, sehingga

orang lain dapat memahami hal-hal yang menjadi patokan dan mengubah atau

mempertahankan posisi etis mereka secara lebih efektif daripada ketika beragumen

secara asal untuk kepentingan tertentu. Keeksplisitan juga berkontribusi pada

Page 11: Chapter 3 dari Buku Getting Health Reform Right : A Guide to Improving Performance and equity

transparansi dan akuntabilitas. Para pembaharu akan lebih dipercaya atas nilai-nilai di

balik rekomendasi kebijakannya jika tidak dapat menunjukkan nilai-nilai tersebut

dengan jelas (Robert dan Reich 2002, Gutmann dan Thompson 1996).

Oleh karena itu, pengungkapan pandangan etis harus dipersiapkan agar

memberikan alasan rasional yang koheren untuk keputusan tertentu. Misalnya jika ada

yang percaya bahwa pencarian akan faedah harus dibatasi oleh hak-hak tertentu, maka

ia harus dapat menjelaskan alasan didirikannya batas-batas tersebut dan

mempertahankan pendapatnya agar orang lain dapat menerima perpaduan antara

tujuan utilitarian dan pertimbangan hak yang dimaksud. Kita juga harus mengetahui

bahwa pengembangan pemikiran etis pada reformasi kesehatan merupakan proses

yang terus berjalan dan bukan aktivitas sekali-jadi. Kompleksitas masalah sistem

kesehatan dan keterbatasan kategori analisis etis membantu memastikan bahwa proses

tersebut akan berlanjut. Ketika para pembaharu bergerak di siklus sektor kesehatan,

mereka harus mencoba belajar dan tumbuh secara etis, juga secara ilmiah dan politis.

Sumber : Chapter 3 dari Buku Getting Health Reform Right : A Guide to

Improving Performance and equity