Chapter 1 benny

12
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara yang kaya akan suku bangsa. Suku bangsa Tionghoa (biasa disebut juga Cina) adalah salah satu etnis di Indonesia. Biasanya mereka menyebut dirinya dengan istilah Tenglang (Hokkien), Tengnang (Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka). Dalam bahasa Mandarin mereka disebut Tangren (Hanzi: 唐 唐, "orang Tang"). Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa-Indonesia mayoritas berasal dari Cina selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang, sementara orang Cina utara menyebut diri mereka sebagai orang Han (Hanzi: 唐唐, hanyu pinyin: hanren, "orang Han"). Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka beberapa kali muncul dalam sejarah Indonesia, bahkan sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Catatan-catatan dari Cina menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Cina. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Cina ke Nusantara dan sebaliknya. 1

description

buku

Transcript of Chapter 1 benny

8

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan Negara yang kaya akan suku bangsa. Suku bangsa Tionghoa (biasa disebut juga Cina) adalah salah satu etnis di Indonesia. Biasanya mereka menyebut dirinya dengan istilah Tenglang (Hokkien), Tengnang (Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka). Dalam bahasa Mandarin mereka disebut Tangren (Hanzi: , "orang Tang"). Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa-Indonesia mayoritas berasal dari Cina selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang, sementara orang Cina utara menyebut diri mereka sebagai orang Han (Hanzi: , hanyu pinyin: hanren, "orang Han").

Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka beberapa kali muncul dalam sejarah Indonesia, bahkan sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Catatan-catatan dari Cina menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Cina. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Cina ke Nusantara dan sebaliknya.

Setelah negara Indonesia merdeka, orang Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia, sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. (www.wapedia.com)Medan didirikan oleh Guru Patimpus Sembiring Pelawi pada tahun 1590. John Anderson, orang Eropa pertama yang mengunjungi Deli pada tahun 1833 menemukan sebuah kampung yang bernama Medan. Kampung ini berpenduduk 200 orang dan seorang pemimpin bernama Tuanku Pulau Berayan sudah sejak beberapa tahun bermukim disana untuk menarik pajak dari sampan-sampan pengangkut lada yang menuruni sungai. Pada tahun 1886, Medan secara resmi memperoleh status sebagai kota, dan tahun berikutnya residen Pesisir Timur serta Sultan Deli pindah ke Medan. Tahun 1909, Medan menjadi kota yang penting di luar Jawa, terutama setelah pemerintah kolonial membuka perusahaan perkebunan secara besar-besaran. Dewan kota yang pertama terdiri dari 12 anggota orang Eropa, dua orang bumiputra, dan seorang Tionghoa.Proses sejarah dan peristiwa kultural diantaranya, yang dapat diduga menjadi salah satu faktor pendorong lajunya pertumbuhan dan perkembangan di kota Medan, tidaklah luput dari upaya kreativitas warga masyarakat keturunan Tionghoa yang ada di Medan. Kedatangan mereka ke tanah Deli khususnya di Medan dengan jumlah yang relatif cukup besar adalah upaya Jacob Nienhuys (Orang-orang dari negeri Cina sebelumnya juga pernah melakukan kunjungan ke daerah ini tetapi untuk tujuan perdagangan dengan penduduk setempat).Pada mulanya mereka didatangkan untuk menjadi kuli di perkebunan yang ada di sekitarnya. Gelombang pertama di datangkan dari Singapura, sebanyak 300 orang menurut catatan yang terdaftar dibagian arsip kedatangan di pelabuhan Belawan, kemudian menyusul sebanyak 100 orang lagi. Sebagian besar orang-orang Tionghoa yang didatangkan ke daerah ini berasal dari Penang, yang dahulunya adalah orang Tionghoa yang berasal dari suku Teo Chiu (dari propinsi Kwantung, Cina Selatan). Mereka dikumpulkan oleh broker-broker ( Keh tau ), dan sekaligus merupakan kepala gerombolan Kongsi Toh Pe Kong yang ada di sana (Sinar, 1994:58). Ada pula yang langsung didatangkan dari daratan Cina bagian Selatan yaitu dari Propinsi Fukien dan Kwantung.

Jumlah mereka, pada tahun 1874, sudah mencapai 4.476 orang, dan dalam tahun 1890 meningkat menjadi 53.806 orang. Selanjutnya pada tahun 1900 jumlah mereka sudah sebanyak 58.516 orang. Namun dalam proses perkembangan selanjutnya, kedatangan orang-orang Tionghoa ini tidak hanya sebagai kuli saja, tetapi ada juga yang melakukan aktivitas untuk perniagaan. Menurut sensus pada tahun 1920, migran Tionghoa jumlahnya sudah mencapai 121.716 orang, yang terdiri dari 92.985 orang pria dan hanya 18.731 orang saja yang wanita. (Vleming Jr, 1989:185).Ada pendapat yang menyatakan orang-orang Tionghoa mau meninggalkan daerah asalnya, karena pada saat itu, suasana politik dan kondisi sosial di tempat asalnya sedang memburuk. Perebutan dinasti tengah terjadi yang menimbulkan perang saudara diantara mereka, salah satu diantaranya adalah gagalnya pemberontakan Taiping (Soetriyono, 1989: 5) Kehidupan mereka di tempat asalnya dirasakan serba sulit, tanah kurang subur, penduduknya sangat padat terutama di daratan Cina bagian Selatan. Di samping itu, daerah asal mereka kerap kali terjadi bencana alam (banjir). Hal ini menjadi faktor pendorong bagi mereka untuk bermigrasi ke daerah Nan-Yang . Peluang semacam itu, memberi keuntungan pula bagi pihak kolonial untuk merekrut tenaga kerja yang murah, terampil dan rajin. Hal inilah yang menyebabkan pemerintah Hindia Belanda selama beberapa decade mendatangkan ratusan ribu orang Tionghoa dari bagian Selatan daratan Cina. Mereka kebanyakan adalah orang-orang Hokkian, didatangkan oleh pemerintah colonial Belanda terutama untuk dijadikan buruh perkebunan ke daerah Sumatera Timur, sedangkan orang-orang Hakka untuk dijadikan sebagai buruh tambang di daerah pertambangan timah di pulau Bangka dan Bilitung. Namun, banyak juga orang-orang Tionghoa yang atas kemauannya sendiri berdatangan ke Indonesia untuk mencari kehidupan baru. Terutama ketika terjadi serangan yang dilakukan oleh tentera Jepang ke daerah Cina sekitar tahun 1937-38, membuat rakyat Cina Selatan selalu dicekam ketakutan. Mereka pun pada mengungsi ke daerah lain, bahkan diantara mereka berupaya meninggalkan negerinya untuk merantau (Soetriyono, 1989: 30). Karena tujuan mereka memang untuk memperbaiki nasib, oleh karena itu kesungguhan untuk menduduki posisi yang dominan dalam bidang perekonomian memang mereka harapkan. Kesempatan ini diberi peluang pula oleh pemerintah kolonial.(Chalida, 1975:4). Sejak kuli-kuli Tionghoa tidak lagi terikat kontrak dengan pihak perkebunan, atau pertambangan, sebagian besar dari mereka tidak pula kembali ke daerah asalnya. Mereka kebanyakan tinggal menetap di wilayah tanah Deli Sumatera Timur, terutama tinggal di daerah perkotaan seperti Medan. Mereka diberi peluang kesempatan oleh pemerintah kolonial Belanda pada waktu itu untuk bergerak di dunia bisnis. Dalam waktu yang cukup singkat mereka sudah beralih ke berbagai sektor perdagangan dan jasa (Sinar, 1980), disertai dengan kegigihannya yang sungguh-sungguh sehingga sebagian besar dari mereka telah pula meningkat dan berhasil dalam usahanya. Di kota Medan, masyarakat Tionghoa telah banyak memberikan corak tertentu, yang khas terhadap perkembangan kehidupan kota Medan itu sendiri. Kendatipun masyarakat Tionghoa yang jumlahnya hanya minoritas saja, bila dibanding dengan penduduk asli pribumi, tetapi mereka sering kali dapat menguasai berbagai posisi yang strategis dan dapat pula menggerakan kehidupan sosio-ekonomi penduduk lain yang non-Tionghoa di kota ini. Baik yang bergerak di sektor produsen maupun mereka yang bergerak disektor distributor dan jasa. Keberadaan etnis Tionghoa di kota Medan saat ini merupakan The Godfather, khususnya di bidang ekonomi. Di tengah-tengah kehidupan masyarakat kota Medan yang heterogen dan serba kompleks kehandalan mereka membuat kota Medan menjadi suatu yang lain . Suatu fenomena yang menarik untuk dicermati (Bergerak, 1994: 4). (Thesis Agustrisno Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa terhadap pembangunan di kota Medan )Suku Tionghoa ini mempunyai pemukiman yang berkelompok. Pemukiman ini biasanya disebut sebagai Pecinan atau Chinatown. Salah satu dasar terbentuknya pecinan adalah karena faktor sosial, dimana merupakan keinginan masyarakat Tionghoa sendiri untuk hidup berkelompok karena adanya perasaan aman dan dapat saling bantu-membantu. Ini sering dikaitkan dengan sifat ekslusif orang Tionghoa, namun sebenarnya sifat ekslusif ada pada etnis dan bangsa apapun, semisal adanya kampung Keling/India di Medan, Indonesia, kampung Arab di Fujian, Tiongkok atau pemukiman Yahudi di Shanghai, Tiongkok. (www.wapedia.com)Pecinan sebagai domain ekonomi kota memang telah dikenal umum, bahkan hampir setiap kota di Nusantara ini memiliki pecinan yang berfungsi sebagai sentra ekonomi dan hunian. Sebagai sebuah komponen perkotaan yang memiliki keunikan dari segi etnisitas dan fungsi (dan latar belakang sejarah tentunya) selain perbedaan fisiknya, pecinan ternyata menyimpang banyak keunikan potensi dan masalah, baik dalam aspek-aspek perkotaan, arsitektur, dan sosial budaya yang kesemuanya saling jalin-menjalin. Pecinan yang kita kenal memiliki banyak problematika dan segudang persepsi dan mitos yang bisa jadi turut melatarbelakangi berbagai problematikanya. Mitos, persepsi, dan problematika tersebut telah terbentuk secara historis sedemikian panjang dan berliku sehingga tidaklah mengherankan jika kita menelusurinya tak kunjung nampak akar masalah dan malah berujung pada masalah lain.

Tetapi selain menyimpan berbagai masalah, pecinan juga menyimpan berbagai aset budaya penting yang dapat mengingatkan (menalarkan) kepada kita semua sebagai sebuah nation bahwa budaya dan etnis bukanlah sebuah kotak-kotak kaku, klasifikasi yang ketat. Budaya dan etnisitas, seiring dengan kontak-kontak individu lewat kegiatan sehari-hari dan perjuangan, adalah hal yang cair, penetratif, tanpa embel-embel agresi dan unsur pemaksaan.Secara gamblang kita sebenarnya dapat mengamati bangunan-bangunan yang cenderung tidak dilirik orang lagi untuk menemukan nilai-nilai kesejarahan, pelajaran sejarah yang tidak akan pernah kita dapat dari sekolah. Kita dapat langsung menyadari dari ekspresi bangunan-bangunan tersebut bahwa masyarakat Tionghoa di Indonesia adalah masyarakat yang majemuk. Masing-masing individu memiliki preferensi, orientasi, dan selera estetika masing-masing sesuai dengan aspirasi, status, dan latar belakang mereka. (Koran Kompas, 13 Februari 2001)Di Medan, juga memiliki Pecinan. Pecinan di Medan merupakan tempat perdagangan, pemukiman dan wisata kuliner Pecinan ini terletak di Jl. Pandu, Jl. Semarang, Jl. Ahmad Yani, Jl. Selat Panjang, Jl. Asia, Asia Mega Mas, dan rumah susun. Namun, wisatawan yang datang tidak dapat merasakan suasana berada pada Pecinan. Hal ini dikarenakan di kota Medan, kesan bangunan dan suasana Pecinan itu tidak dimunculkan. Semua bangunannya tidak ditata sedemikian rupa yang dapat menghidupkan suasana selayaknya Pecinan. Untuk itu, maka saya mengangkat topik ini untuk dibahas agar Medan memiliki suatu Pecinan yang dapat menjadi daya tarik bagi wisatawan.I.2. Maksud dan Tujuan

Adapun maksud dan tujuan perencanaan dan perancangan kawasan Pecinan ini antara lain adalah :

Menciptakan suatu kawasan Pecinan sehingga penggunjung bisa merasakan suasana berada di kota China Membuat suatu wadah untuk tempat wisata, perdagangan dan kuliner I.3. Rumusan Permasalahan

Kawasan Chinatown merupakan suatu tempat wisata, perdagangan, pendidikan, kuliner dan pemukiman dengan gaya arsitektur China. Tempat wisata ini juga memperhatikan perancangan semaksimal mungkin, baik dari segi penataan tapak maupun dari segi aktivitas yang dilakukan didalamnya, untuk lebih dapat menarik minat para pengunjung.

Masalah yang sering dihadapi pada masa kini antara lain adalah :

Bagaimana cara mendesain kawasan Pecinan? Apa saja yang dibutuhkan di sebuah Pecinan?

Bagaimana cara menciptakan suasana Pecinan?

Bagaimana konsep yang disajikan untuk mendukung adanya wisata, perdagangan, dan kulinerI.4. Batasan Permasalahan

Mengingat luasnya lingkup masalah dan hal-hal yang berkaitan dengan proyek kawasan Chinatown ini, maka pembahasan dibatasi antara lain :

Pecinan yang merupakan tempat wisata, perdagangan, dan kuliner Menata suatu kawasan dari segi arsitektur untuk menjadi sebuah Pecinan Menyediakan sarana dan prasarana yang mendukung suasanan PecinanI.5. Metodologi PenelitianMetodologi Penelitian yang digunakan adalah pembahasan secara umum mengenai tempat wisata budaya, hiburan dan perbelanjaan yang berkembang di Indonesia. Pendekatan yang dilakukan yaitu pendekatan secara langsung dan pendekatan secara tidak langsung. Pendekatan secara langsung dilakukan dengan :

Survey Lapangan , Survey lapangan dilakukan di Chinatown yang sudah ada.

Studi Wawancara Proses perolehan data melalui tanya jawab dengan pihak yang berkepentingan yang berhubungan dengan perencanaan dan perancangan Wisata Oriental Modern ini.

Sedangkan pendekatan secara tidak langsung dilakukan dengan :

Studi literatur Studi pengenalan masalah yang berhubungan dengan perencanaan dan perancangan fasilitas Wisata Oriental Modern untuk melengkapi data-data bagi proses perencanan dan perancangan tersebut yang diperoleh dari perpustakaan dan instansi yang terkait.

I.6. Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah pembahasan, maka sistematika pembahasan secara garis besar melalui BAB ke BAB dilakukan sebagai berikut :

BAB I: PENDAHULUAN

Berisikan uraian mengenai latar belakang maksud dan tujuan direncanakan proyek Kawasan Pecinan di kota Medan, pembatasan dan perumusan masalah serta kerangka pemikiran dalam penyusunan laporan ini.

BAB II: TINJAUAN UMUM

Berisikan pembahasan mengenai pengertian, sejarah dan gambaran umum Kawasan Pecinan di kota Medan, tugas dan fungsi dari proyek.

BAB III: TINJAUAN KHUSUS

Berisikan pembahasan khusus pada proyek yang direncanakan, tentang pemilihan lokasi dan tapak, deskripsi proyek serta intepretasi dan elabolasi tema yang digunakan dalam perencanaan proyek.

BAB IV: ANALISA

Berisikan analisis terhadap kondisi tapak, lingkungan, bangunan dan hal-hal yang berpengaruh dalam desain.BAB V: KONSEP

Berisikan konsep-konsep perencanaan tapak, konsep perencanaan bangunan yang digunakan dalam studio perancangan tugas akhir.

I.7. Kerangka Pemikiran

Keterangan :

: langkah selanjutnya

: feed backLATAR BELAKANG

DATA PRIMER

MAKSUD DAN TUJUAN

DATA SEKUNDER

TINJAUAN KHUSUS

TINJAUAN UMUM

LATAR BELAKANG

PERMASALAHAN

METODOLOGI PENELITIAN

ANALISA

KONSEP

LAPORAN PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

DESAIN

Diagram 1. Skema Kerangka Pemikiran

1