Cerpen Yang Terkecil

3
Yang Terkecil Tatkala langit mulai tampakkan semburat jingganya.Kubuka jendela kamarku yang tepat menghadap sungai dan desa sebrangnya.Tentu bagai santapan sehari-hari bau menusuk sampah dari sungai.Namun, tak akan kulewatkan indahnya matahari terbit dari balik bukit Desa Subur Makmur. Aku sangat bersyukur menempati kamar yang jendelanya menjurus pada Desa Subur Makmur. Namun aku akan lebih bersyukur bila aku hidup di dalamnya. Oh, indahnya sinar yang menerpa air sungai itu, bagai kilauan emas yang memancar. Betapa aku takjub hingga sampah-sampah yang justru tepat di depanku bagai hamparan padi yang berwarna-warni dan bau menyengatnya bagai bau tanakan nasi para wanita desa. Oh, beruntungnya aku. “Neeenngg….!!! Banguuunn.!!! Bantuin Emak!” teriak emak yang bagai petir membuatku tersontak. “Ya, Mak.Oneng datang!!” sahutku dan segera menuju dapur. Ketika aku sampai di dapur, emak menyodorkanku sebuah kantong plastic besar berisi sampah ”Nih, buang!” ujarnya singkat. Aku agak berat hati melaksanakannya.Bukannya aku anak yang tidak patuh orang tua.Tapi membuang sampah di sungai sama halnya membuat impianku mempunyai sungai yang bersih semakin sirna. “Neng, kok bengong??Ayo buruan buang!” ucap emak menepuk bahuku. “Di sungai, Mak??” tanyaku. “Ya iyalah, Oneng.Kan biasanya kamu juga buang di situ.Gimana, sih??” Dengan setengah hati aku membawa kantong plastic itu dan membawanya ke bantaran sungai. Aku berdiri dan diam sejenak.Ku letakkan kantog plastic itu.“Maaf, ya!” ucapku pelan. Di sekolah saat jam istirahat, aku termenung di dalam kelas. Tiba-tiba Pinkan dan Astri mengejutkanku. “Woooyy..ngapain bengong, Neng?? Kesambet tahu rasa, lho!” ucap Pinkan menggebrak bangkuku sambil memakan makanan kecilnya. Aku tersontak dan tersenyum.Lalu Astri duduk di sebelahku. “Neng, mikir apaan? Cerita, donk!” ujar Astri lembut. “Kalian tahukan sungai belakang rusun tempat tiggalku??” tanyaku.Astri dan Pinkan mengangguk. “Mau sampai kapan kayak gitu terus, ya?? Pengen banget punya sungai yang bersih kayak di desa.” “Alaah, udah biasa kale. Ngapain juga dipikir? Nggak penting banget deh, Neng” sahut Pinkan santai.

description

contoh cerpen buatan saya . kurang lebihnya saya mohon maaf , hanya sebagai referensi saja

Transcript of Cerpen Yang Terkecil

Yang TerkecilTatkala langit mulai tampakkan semburat jingganya.Kubuka jendela kamarku yang tepat menghadap sungai dan desa sebrangnya.Tentu bagai santapan sehari-hari bau menusuk sampah dari sungai.Namun, tak akan kulewatkan indahnya matahari terbit dari balik bukit Desa Subur Makmur. Aku sangat bersyukur menempati kamar yang jendelanya menjurus pada Desa Subur Makmur. Namun aku akan lebih bersyukur bila aku hidup di dalamnya. Oh, indahnya sinar yang menerpa air sungai itu, bagai kilauan emas yang memancar. Betapa aku takjub hingga sampah-sampah yang justru tepat di depanku bagai hamparan padi yang berwarna-warni dan bau menyengatnya bagai bau tanakan nasi para wanita desa. Oh, beruntungnya aku.Neeenngg.!!! Banguuunn.!!! Bantuin Emak! teriak emak yang bagai petir membuatku tersontak.Ya, Mak.Oneng datang!! sahutku dan segera menuju dapur.Ketika aku sampai di dapur, emak menyodorkanku sebuah kantong plastic besar berisi sampahNih, buang! ujarnya singkat. Aku agak berat hati melaksanakannya.Bukannya aku anak yang tidak patuh orang tua.Tapi membuang sampah di sungai sama halnya membuat impianku mempunyai sungai yang bersih semakin sirna.Neng, kok bengong??Ayo buruan buang! ucap emak menepuk bahuku.Di sungai, Mak?? tanyaku.Ya iyalah, Oneng.Kan biasanya kamu juga buang di situ.Gimana, sih??Dengan setengah hati aku membawa kantong plastic itu dan membawanya ke bantaran sungai. Aku berdiri dan diam sejenak.Ku letakkan kantog plastic itu.Maaf, ya! ucapku pelan.Di sekolah saat jam istirahat, aku termenung di dalam kelas. Tiba-tiba Pinkan dan Astri mengejutkanku.Woooyy..ngapain bengong, Neng?? Kesambet tahu rasa, lho! ucap Pinkan menggebrak bangkuku sambil memakan makanan kecilnya. Aku tersontak dan tersenyum.Lalu Astri duduk di sebelahku.Neng, mikir apaan? Cerita, donk! ujar Astri lembut.Kalian tahukan sungai belakang rusun tempat tiggalku?? tanyaku.Astri dan Pinkan mengangguk.Mau sampai kapan kayak gitu terus, ya?? Pengen banget punya sungai yang bersih kayak di desa.Alaah, udah biasa kale. Ngapain juga dipikir? Nggak penting banget deh, Neng sahut Pinkan santai.Iya, Pink. Aku tahu kita emang biasa hidup di kota. Tapi kamu nggak tahu rasanya hidup di dekatnya. Kamu enak tinggal di apartemen, mewah, dan punya segalanya.Tapi ujung-ujungnya sampah kalian itu dibuang di sungai juga. Dan kamu tahu bagaimana menderitanya orang rusun seperti aku? Parah, Pink!! jawabku dengan kesal.Aku segera berlari sebelum aku benar-benar naik darah. Ia tak pernah memikirkan orang lain. Yang ia tahu hanya kemewahan dan keserbaadaan yang ia punya tanpa peduli nasib orang pinggir.Melihat tingkahku, Astri dan Pinkan kebingungan.Salah ngomong, ya? Tanya Pinkan.Tau tuh! Hati-hati makanya! Marah deh tu Oneng jawab Astri lalu ia mengejarku.Aku duduk di bawah pohon beringin. Begitu pula Astri menyusulku dan duduk di sebelahku.Hossh, hosh, hosh..Oneng, aku tahu apa yang kamu pikirkan. Jangan pikirkan omongan Pinkan. Kita semua tahu seperti apa dia tuturnya.Ya, terima kasih, As jawabku singkat.Emmm, ada yang ingin aku tunjukkan kepadamu.Kutunggu kamu di gerbang desa sepulang sekolah ya!Kemudian Astri berlalu dari hadapanku. Aku penasaran atas kata-kata Astri tadi.Kira-kira apa yang akan dia tunjukkan kepadaku?? Aku mengira-ngira apa yang akan terjadi. Mungkin ia punya kucing baru, atau aksesoris baru atau yang lainnya? Aku ingin segera tahu.Tepat sepulang sekolah aku segera berganti baju dan pergi ke gerbang desa.Ya, benar saja .Astri tengah menungguku di sana. Ia tersenyum menyambut kedatanganku.Astri, apa yang akan kau tunjukkan? tanyaku penasaran.Ayo! Kamu belum makankan? Kita ke rumahku!Di rumah Astri, aku dijamu dengan makan siang yang nikmat. Ada sayur, lauk pauk, dan jus segar.Tak seperti emak, mungkin Cuma masak mie instan.Pantas saja Astri selalu kuat dan sehat. Selepas itu aku diajak berjalan-jalan ke peternakan, kebun, balai desa, sungai, dan bukit.Tak sehelai pun sampah kutemui tercecer. Aku takjub pada masyarakat desa.Sebetulnya peraturan apa yang mereka terapkan di sini hingga tak ada sampah yang membuat pandangan tak sedap. Apakah mereka akan menembak mati orang yang membuang sampah sembarangan?? Atau ada petugas kebersihan?Bagaimana perasaanmu? Tanya Astri.Aku kagum, tapi aku bingung, As. Kenapa di Desa Subur Makmur tak ada sampah sehelai pun? Apakah ada peraturan tertentu, atau petugas kebersihan?? tanyaku kebingungan.Hihihi..tidak ada petugas kebersihan di sini. Kami diajarkan untuk selalu menjaga kebersihan sejak kecil. Ada tempat tertentu untuk membuang sampah.Bukan di sungai.Tapi kami mengolah lagi sampah-sampah yang dapat diolah.Sehingga tidak ada limbah yang terbuang dari sini jelasnya.Jadi? Tanyaku lagiJadi, semua dimulai dari hal yang terkecil lalu ada sehelai daun yang terjatuh. Seperti memungut sampah sekecil ini. Dan kamu bias menerapkannya.Tidak ada hal yang tidak mungkin bagi impianmu sambungnya. Lalu aku tersenyum.Ya, sekarang aku paham akan maksud Astri yang mengajakku kemari. Sekarang aku tahu apa yang harus kulakukan demi kebersihan lingkunganku. Yaitu dari yang terkecil, membiasakan diriku sendiri dan keluargaku untuk membuang sampah pada tempatnya. Atau mungkin aku perlu belajar dari Astri untuk mengolah sampah jadi barang berguna.Astri benar,semua hal dimulai dari yang terkecil yaitu diri kita sendiri.

BY: ARINDA F.S