Cerpen Menelan Ludah
-
Upload
fitra-ananta -
Category
Documents
-
view
214 -
download
0
description
Transcript of Cerpen Menelan Ludah
-
Menelan Ludah
Oleh Fitra Ananta Takwa
Lapangan sekolah, pukul 07.15, mentari belum menunjukkan keperkasaannya, namun
tetap saja panas menyertai diriku. Setiap paginya, SMAN 3 Unggulan Tenggarong,
sekolah tempatku menuntut ilmu ini selalu diadakan yang namanya apel pagi sebelum
masuk ke kelas. Kalau di sekolah biasa mungkin apel seperti ini tidak ada. Karena
sekolah ini berbasis asrama dan semi militer, makanya hal seperti itu sudah menjadi
rutinitas.
Apel pagi dimulai kurang lebih 15 menit yang lalu, diambil oleh Pembina
kedisiplinan kami, Pak Dhafir. Amanatnya yang begitu lama menjadi salah satu
alasanku membenci apel seperti ini. Biasanya aku berdiri di barisan belakang, dan di
tengah amanat beliau, tak jarang aku dan teman-temanku bersenda gurau untuk
menghilangkan rasa bosan. Tentunya hal tersebut kami lakukan secara hati-hati agar
perhatian Pak Dhafir tidak tertuju kepada kami.
Namun kali ini berbeda. Aku sama sekali tak punya hasrat untuk tertawa. Anto, teman
yang berdiri di sampingku sedari tadi mengucapkan celetukan kecil, tapi hal tersebut
tak menarik perhatianku. Satu hal yang kuinginkan adalah, apel ini cepat selesai!
Hanya itu. Kakiku tak bisa diam sebagai perwujudan ketidaksabaranku. Aku yang
biasanya ketawa-ketiwi saat apel kali ini malah mengumpulkan gerutu di dalam hati.
Setiap kata yang diucapkan Pembina kedisiplinan itu pun hanya berlalu dari telinga.
Beberapa saat kemudian, keluarlah ucapan Pak Dhafir yang paling kunanti, apel pagi
selesai, setelah ini dapat dibawa ke kelas masing-masing, kerjakan!. Barisan pun
dibubarkan, dan aku mengambil langkah panjang menuju kelas.
Sesampainya di kelas, kusambar tasku yang berada di atas meja. Kubuka risletingnya
dengan kasar, lalu kuperiksa buku-buku di dalamnya.
-
Bahasa Indonesia.. Bahasa Indonesia, gumamku sambil masih mengobrak-abrik isi
tas.
Setelah kudapat apa yang kucari, buku tulis bersampul dan buku paket Bahasa
Indonesia kelas XII, segera kuturunkan kursi dari atas meja. Masih dengan rasa panik,
aku pun merogoh kantung kecil dari tas untuk mencari pulpen. Tanpa sadar keningku
sedikit terbasahi oleh keringat. Sial, padahal hanya sedikit lari saja.
Buku dan perlengkapan tulis sudah berada di atas meja, lalu.. aku tak tahu apa yang
harus kulakukan. Aku bingung, buku sudah ada di depan mataku namun tangan tak
tahu harus harus membuka halaman berapa.
Kenapa, Fit? Tanya Mulyadi, ketua kelasku sembari masuk ke dalam ruangan.
Ada tugas kok nggak bilang-bilang sih? Tanyaku balik dengan nada sedikit ketus.
Lho? Tugas apa?
Bahasa Indonesia, Mul, sedikit kuturunkan penekanan dalam kalimatku mengingat
Mulyadi yang entah memang tidak tahu apa yang kupertanyakan atau hanya berpura-
pura saja.
Oh.. yang 10 nomor esai itu? Kukira kamu sudah tahu, ucapnya penuh kepolosan.
Aku pun menyahut, mana kutahu, minggu lalu aku tidur waktu pelajarannya Bu
Menar.
Beberapa malam yang lalu lho kami ngerjakan rame-rame di kamarku. Habis tu kan
kamu masuk trus bilang gampang aja ngerjakan itu, semalam pun jadi, jawab
Mulyadi.
Kapan aku ngomong kayak gitu? ucapku melakukan pembelaan. Mulyadi hanya
menggeleng-geleng mendengarkan ucapanku.
-
Aku menghela nafas, betapa cerobohnya aku bisa melupakan suatu tugas. Parahnya
lagi aku malah meremehkan tugas tersebut. Lebihnya lagi Bahasa Indonesia adalah
jam pertama pada hari ini. Akibat apel yang penuh basa-basi tak penting tadi,
sekarang hanya tersisa 30 menit sebelum lonceng tanda masuk kelas berbunyi. Tentu
itu bukan waktu yang cukup untuk mengerjakan sebuah tugas.
Sekarang kelas telah dipenuhi oleh penghuninya. Bermacam-macam kegiatan yang
mereka lakukan, mulai membaca buku sampai sekedar bergosip ria. Di antara teman-
teman yang lain, sepertinya hanya aku yang masih dipenuhi rasa bingung.
Kulap keringat dari keningku untuk sedikit menenangkan diri. Aku memikirkan
bagaimana caranya mengerjakan tugas ini dalam waktu yang singkat. Tiba-tiba
terlintas pikiran licik di kepalaku.
Dewi, salah satu temanku yang nyentrik di kelas lewat di hadapanku.
Dewi! panggilku. Lalu Dewi menoleh ke arahku, Kenapa, Fit?
Ehem.. Anu ee.. Kamu sudah tugas Bahasa Indonesia, kah? tanyaku.
Sudah dong. Kamu sudah atau be~ Dewi menghentikan kalimatnya, lalu ia
menampakkan senyum ejekan kepadaku. Aku pun mengerti apa maksud ejekan
tersebut.
Iya, aku memang belum. Memang kenapa? Manusiawi saja kan, ujarku. Masih
belum hilang senyuman yang mengejek itu dari wajahnya. Malah sekarang Dewi
tertawa seolah puas.
Haha.. kamu belum ngerjain ya? Huu.. Kasihan deh. Semakin jelas maksud
mengejeknya tersebut. Aku sedikit jengkel, karena pertanyaanku yang serius malah
ditertawakan.
-
Ayolah, aku pinjam tugasmu na, pintaku dengan sedikit bujuk rayu. Aku tak begitu
jago melakukannya, berada di posisi yang membutuhkan itu serasa bukan menjadi
kepribadianku.
Bukannya merespon permintaanku, Dewi malah membalikkan badan. Ia lalu
berteriak, Hei, teman-teman, Fitro lho belum ngerjakan tugas Bahasa Indonesia!
Seraya perhatian satu kelas tertuju kepadanya, dan riuh sorak pun bergemuruh.
Hampir setiap satu orang menyerukan kalimat yang mengolok-ngolokku.
Wadakleh, awak belum ngerjakan kah, Fit? Beri supan maha! seru Kula, temanku
yang kental sekali logat Kutainya.
Huu.. Tidur terus sih kerjaan, Timpal temanku yang lain, Abdul.
Aku hanya bersabar mendengar ocehan-ocehan tersebut. Tapi belum sampai disitu,
Dewi berteriak lagi,
Tau nggak? Dia juga ngemis-ngemis mau minjam tugasku!
Aku nggak ngemis! ujarku sedikit membentak. Aku rasa hiperbola yang ia ucapkan
sudah melebihi batas. Namun bentakanku kepada Dewi tak berhasil membuat suasana
kelas menjadi hening. Kebalikannya, seisi kelas tertawa lebih keras dari sebelumnya.
Fit, kamu mau nyalin jawaban? Tanya Anto, katamu setiap tugas itu harus
dikerjakan sendiri bagaimana pun susahnya.
Aku terdiam, teman-teman kelas yang lain pun menatapku. Barulah tercipta
keheningan di kelas. Keheningan yang tercipta akibat tersudutnya diriku oleh ucapan
Anto.
Ya, aku memang pernah mengucapkan apa yang dikutip oleh Anto. Sebenarnya aku
mengucapkan hal tersebut hanya sebagai lelucon saja. Tapi memang pada
-
kenyataannya aku selalu mengerjakan tugas-tugasku sendiri. Tak pernah sekalipun
aku meminjam tugas teman yang lain terlebih menyalinnya.
Biasanya pada saat pagi hari di kelas, sebelum guru masuk aku selalu duduk santai di
kursi, karena tak ada beban dari tugas-tugas yang belum tuntas. Jika di saat aku santai
tersebut ada teman-teman yang sibuk menulis, maka aku pun bertanya, belum
selesai, kah?.Kadang aku berucap bahwa tugas itu harus dikerjakan sendiri.
Tentu saja hal-hal tersebut kulakukan hanya sebatas candaan. Tapi mungkin ada
beberapa orang yang menganggap bahwa apa yang kuucapkan tersebut serius.
Sekarang posisinya terbalik. Dimana biasanya aku yang paling tenang di kelas ini
karena sudah menuntaskan kewajiban, sekarang malah kebingungan untuk mencari
bantuan.
Aku lupa kalau ada tugas, wajar kan? aku masih melakukan pembelaan. Satu lawan
banyak memang tak berarti , tetap saja ada balasan untuk kata-kataku tadi. Ada saja
yang menyahut alasan, nggak konsisten, dan celetukan lain yang tak bisa kubalas.
Aku hanya diam dan menahan kesal. Menunggu suasana kelas tenang dengan
sendirinya layaknya gelombang laut yang tak lagi dihembus oleh angin. Mereka pun
merasa sudah cukup mengejekku. Kembali kutatap Dewi, kali ini dengan tatapan
yang berbeda. Tatapan yang lebih tajam. Namun kutahan rasa kesalku, karena aku
masih berada di posisi yang membutuhkan.
Jadi bagaimana? Beneran mau minjam nih? Tanya Dewi memastikan.
Tentu saja, ujarku.
Haha.. Sok-sokan sih, akhirnya kan~
-
Sudah, niat mau minjamkan nggak? bentakku sekali lagi. Ia pun bergegas menuju
mejanya dan mengambil sebuah buku tulis berwarna kuning. Kuambil atau mungkin
lebih tepat kusambar buku itu dari tangannya.
Huu.. sudah minjam, kasar lagi. Tak kuhiraukan apa yang dikatakan Dewi,
langsung kududuk di kursi dan bersiap mengerjakan. Kubuka lembar halaman buku
milik Dewi. Lumayan panjang juga ternyata jawaban soalnya. Kalau aku fokus,
mungkin bisa selesai sebelum Bu Menar tiba di kelas.
Kusalin jawaban dari Dewi dengan khusuk. Tak kupedulikan keributan di kelas,
meskipun hal tersebut sedikit mengganggu. Sesekali aku menatap jam dinding untuk
memastikan bahwa estimasi waktuku masih cukup.
Terakhir kali kulihat, jam menunjukkan pukul 07.50. Artinya sepuluh menit tersisa
sebelum memasuki jam pelajaran. Sedangkan aku baru menyalin 6 dari 10 soal. Aku
menjadi panik kembali, keringat juga mulai membasahi kening. Kupercepat tempo
menulisku, yang membuat tingkat keindahan tulisanku menurun drastis.
Tiba-tiba kelas mendadak sunyi. Aku kaget, apa Bu Menar sudah datang? Padahal
lonceng masuk belum berbunyi. Ternyata bukan. Suasana kelas sunyi karena ada
seseorang yang mengambil perhatian. Orang tersebut adalah Rusman, anak kelas
sebelah. Lega rasanya Bu Menar belum datang, kulanjutkan pekerjaanku.
Eh.. Bu Menar hari ini tidak masuk. Beliau ada pelatihan di Jonggon, ujar Rusman.
Langsung saja aku tersentak mendengar hal tersebut. Pertama, kabar mengenai
ketidakdatangan Bu Menar begitu tiba-tiba. Kedua, Rusman adalah salah satu
pembohong ulung yang pernah kukenal.
Pernah saat dia berteriak mengumumkan apel di asrama, serentak seisi asrama
berburu-buru menuju ke lapangan sambil menenteng sandal. Namun yang didapati
ketika sampai di teras adalah tidak adanya Pembina Disiplin yang seharusnya
mengambil apel. Tentu saja ulahnya tersebut langsung mendapat reaksi kesal dari
-
anak asrama, bahkan ada yang sampai lari mengejarnya. Kesimpulannya, dari sekian
tipuan yang diucapkan Rusman, mana mungkin aku percaya begitu saja dengan
pernyataannya barusan.
Setelah Rusman menyampaikan pengumuman yang kurang meyakinkan tersebut,
teman sekelasku mengeluarkan respon yang bermacam-macam. Ada yang hanya
diam, ada yang bersorak senang, ada pula yang mencaci Rusman karena tidak
percaya.
Sedangkan aku langsung menghentikan kegiatan menulisku, lalu berteriak kepada
Rusman, Nggak lucu, Man!
Wajah Rusman menggambarkan raut keseriusan, seolah meyakinkan apa yang
dikatannya itu benar. Namun bukanlah hal yang asing lagi karena membuat wajah
yang serius adalah keahlian seorang pembohong seperti Rusman. Bagi yang goyah
imannya mungkin langsung percaya saja dengan trik seperti itu. Ada beberapa orang
yang bertanya, Beneran kah?.
Rusman pun meyakinkan kembali, Benehan ni, Bu Menar sms Tokek tadi. Tokek
adalah ketua kelas dari Rusman, yang entah mengapa dia tak menyampaikan
langsung ke kelas ini jika memang informasi tersebut benar adanya. Pernyataan
Rusman tersebut terasa kontradiksi dan malah meyakinkan kami bahwa dia
berbohong.
Aku yang belum menyelesaikan tugasku sekarang menjadi tak bersemangat
melanjutkannya. Gara-gara Rusman, aku jadi lebih tertarik untuk menertawakan
kebohongan konyolnya.
Man, mending kamu kembali ke kelas deh. Sebentar lagi masukan, lagipula trik
bohongmu itu sudah basi, ejekku. Beberapa teman di kelas pun ada yang membantu
menyoraki Rusman. Namun Rusman terus meyakinkan bahwa Bu Menar benar-benar
tidak masuk, yang bagiku itu adalah tindakan sia-sia.
-
Tiba-tiba, seorang berbaju batik hijau mengetuk pintu kelas. Ia adalah Pak Nawi, guru
matematika. Padahal hari ini tidak ada jam beliau. Kelas pun menjadi sepi kembali,
kami menunggu apa yang akan disampaikan Pak Nawi.
Hari ini Bu Menar tidak ada, beliau pelatihan di Jonggon, ujar Pak Nawi. Kata-kata
yang hampir persis diucapkan Rusman sebelumnya. Aku tersentak, lebih kaget dari
ketika Rusman menyampaikan hal yang sama. Di sisi lain, teman-temanku justru
bersorak gembira. Hal yang wajar bagi seorang pelajar sebenarnya, ketika guru tidak
ada maka mereka akan senang.
Tapi hal refreks tersebut tak terjadi padaku. Aku malah tercengang dengan apa yang
diucapkan Pak Nawi. Setelah itu, Pak Nawi meninggalkan kelas. Aku yang tadinya
mengejek Rusman kini berbalik keadaan.
Oh.. jadi sekarang Pak Nawi juga bisa melakukan trik bohong. Ckckck.. Rusman
menyumbingkan senyuman mengejek kepadaku. Geram rasanya. Jika saja memukul
itu dihalalkan oleh agama, entah seberapa remuk wajah jeleknya itu sekarang.
Melihat aku yang mulai kesal, Rusman melarikan diri sambil bergoyang-goyang tak
jelas. Aku kembali terdiam. Padahal Pak Nawi tadi menyampaikan kabar bahagia,
namun seolah ada yang kurang dari apa yang disampaikannya. Tugas.. Ia sama sekali
tak menyinggung tugas dari Bu Menar yang secara kebut kukerjakan.
Oh.. aku baru ingat, aku tidak mengerjakannya. Aku menyalinnya. Ingin rasanya tadi
aku mengangkat tangan dan menanyakan Pak Nawi bagaimana dengan tugas tersebut,
dikumpul atau tidak. Jika tidak dikumpul seharusnya aku lega. Di samping lega, aku
juga merasa kesal karena sudah membuat pegal tanganku.
Seandainya tugas ini dikumpul, aku akan gelabakan karena belum selesai
sepenuhnya. Lalu aku berpikir, ah sudahlah, yang penting tugasnya tidak jadi
dikumpul.
-
Bagaimana, Fit? Sudah selesai belum tugasnya? Tanya Dewi dari belakangku. Aku
berbalik, tersenyum seadanya, lalu menggeleng. Ada rasa bersalah juga setelah aku
meminjam secara kasar bukunya Dewi. Kukembalikan buku tersebut kepadanya.
Ini, terima kasih atas pinjamannya, Dew, aku tak ingat kapan terakhir kali bisa
berbicara selembut itu.
Lho, katanya belum selesai?
Gapapa deh, aku bisa~
~ngerjakan sendiri? potong Dewi. Aku tak menjawab. Aku mengingat bagaimana
prinsipku yang berbunyi tugas itu harus dikerjakan sendiri, sesusah apa pun itu.
Selama ini aku memang mengerjakan tugas-tugas sendirian.
Seharusnya aku sadar bahwa sebuah tugas bukanlah ulangan. Tugas memang sengaja
dikerjakan di luar kelas untuk memudahkan mencari referensi. Apalagi sekolah ini
berasrama, seharusnya sesama anak asrama bisa saling membantu untuk mengerjakan
yang namanya tugas. Bukannya apatis seperti yang kulakukan selama ini, malahan
aku mengolok teman yang belum mengerjakan.
Prinsip yang kuanggap sebagai lelucon itu mungkin bagi orang lain tidaklah lucu, dan
hal itu tersebut menjadi simbol kesombonganku. Mengingat aku ditertawakan
beberapa menit yang lalu, memalukan sekali rasanya. Bahkan menjijikkan, layaknya
menelan kembali ludah yang telah kubuang.
Woy! Dewi melambaikan tangannya di depan wajahku, membuatku tersadar dari
lamunan. Jadi bagaimana? Mau kerjakan sendiri?
Hmm.. Bisa jadi, jawabku, sejenak terdiam. Kemudian kuucap dengan yakin, Atau
mungkin, aku bisa minta bantuan sama kamu, atau yang lain, aku tersenyum. Lalu
-
kuambil handphone dan headset untuk mendengarkan musik. Kujadikan lenganku
sebagai bantal di atas meja. Mumpung satu jam kosong, aku mau istirahat.