Cerpen Bella

4
OH! Luna pulang terlambat dari sekolah hari itu, gara-gara jarangnyanya bis yang lewat. Bis-bis yang biasanya lewat di jalan itu sedang sibuk berdemo menuntut pemerintah untuk menurunkan harga BBM. Sore itu sudah pukul 5.00. Luna berdiri di dalam bis yang kelewat penuh. Di dalam bis Luna merasa was-was. Dia teringat berita kriminal yang sering muncul di televisi, tentang maraknya pencopet di bis yang penuh sesak oleh penumpang. Melengkapi kekhawatirannya, dia melihat beberapa orang yang cukup mencurigakan. Di belakang sopir, berdiri seorang laki-laki bertato dan bertindik. Di dekat pintu bis, berdiri seorang laki- laki berjaket kulit, bertopi, dan berkacamata hitam. “Ih, kayak teroris aja,” gerutu Luna di dalam hati, “tapi mau gimana lagi, dari tadi nunggu bis nggak ada yang lewat. Cuma ada ini. Huh!” Tiba-tiba, bis itu mendadak direm dan membuat para penumpang yang berdiri sejenak kehilangan keseimbangan. Luna menabrak seorang gadis kecil di depannya. Gadis kecil itu menangis. Seorang ibu, yang kelihatannya ibu anak itu, mengomel, “Hati-hati dong, Mbak! Anak saya kan masih kecil! Nanti kalau dia tergencet, terus kehabisan napas, gimana? Apa Mbak mau tanggung jawab?!” “Eh, saya….saya minta maaf, Bu,” ucap Luna, setengah jengkel, setengah bingung. “Maaf Bu, bukan salah mbaknya, tapi bisnya kan yang ngerem mendadak, Bu. Saya saja hampir jatuh tadi,” kata salah seorang penumpang yang berdiri di dekat Luna. Si gadis kecil masih menangis.

description

cerita pendek nabela nurma maharani

Transcript of Cerpen Bella

Page 1: Cerpen Bella

OH!

Luna pulang terlambat dari sekolah hari itu, gara-gara jarangnyanya bis yang lewat. Bis-bis yang biasanya lewat di jalan itu sedang sibuk berdemo menuntut pemerintah untuk menurunkan harga BBM. Sore itu sudah pukul 5.00. Luna berdiri di dalam bis yang kelewat penuh.

Di dalam bis Luna merasa was-was. Dia teringat berita kriminal yang sering muncul di televisi, tentang maraknya pencopet di bis yang penuh sesak oleh penumpang. Melengkapi kekhawatirannya, dia melihat beberapa orang yang cukup mencurigakan. Di belakang sopir, berdiri seorang laki-laki bertato dan bertindik. Di dekat pintu bis, berdiri seorang laki-laki berjaket kulit, bertopi, dan berkacamata hitam. “Ih, kayak teroris aja,” gerutu Luna di dalam hati, “tapi mau gimana lagi, dari tadi nunggu bis nggak ada yang lewat. Cuma ada ini. Huh!”

Tiba-tiba, bis itu mendadak direm dan membuat para penumpang yang berdiri sejenak kehilangan keseimbangan. Luna menabrak seorang gadis kecil di depannya. Gadis kecil itu menangis. Seorang ibu, yang kelihatannya ibu anak itu, mengomel, “Hati-hati dong, Mbak! Anak saya kan masih kecil! Nanti kalau dia tergencet, terus kehabisan napas, gimana? Apa Mbak mau tanggung jawab?!”

“Eh, saya….saya minta maaf, Bu,” ucap Luna, setengah jengkel, setengah bingung.

“Maaf Bu, bukan salah mbaknya, tapi bisnya kan yang ngerem mendadak, Bu. Saya saja hampir jatuh tadi,” kata salah seorang penumpang yang berdiri di dekat Luna.

Si gadis kecil masih menangis.

“Terus saya harus nyalahin bisnya, gitu?! Ya nggak ada pengaruhnya dong!” kata ibu itu lagi.

“Sama halnya dengan mbaknya ini. Mbaknya juga nggak bisa disalahkan dong, Bu. Kan nggak sengaja. Toh anak ibu juga masih menangis,” jawab penumpang itu lagi.

Ibu itu tidak menjawab, hanya balas memelototi penumpang itu tadi, sambil membelai rambut anaknya yang masih menangis.

Luna menjadi salah tingkah.

“Ehm…terima kasih ya, Mbak…,” katanya kepada penumpang di sebelahnya itu.

Page 2: Cerpen Bella

“Sama-sama Dik,” jawab si penumpang itu sambil tersenyum ramah.

Sementara itu, dalam keributan sesaat tadi, Luna tidak menyadari kalau laki-laki berjaket hitam di dekat pintu yang dicurigainya tadi sudah berdiri persis di belakangnya. Luna baru menyadari saat hampir turun. Dia menjadi semakin khawatir. Dia ingin memindahkan ranselnya ke depan, tetapi itu tidak mungkin karena terlalu banyak orang di dalam situ yang berdesak-desakan. Jangankan memindahkan tas, mau bergerak saja susah.

“Pasar Pagi, Pasar Pagi….!” Seru kondektur bis nyaring. Luna segera menyahut, “Kiri Pak!” sambil berjalan dengan susah payah di sela-sela penumpang yang berdesak-desakan. Akhirnya dia pun turun, dan menghela napas lega.

Sesampainya di rumah, Luna segera berganti pakaian dan makan. Kemudian dia membuka tasnya dan kepanikan menyerangnya. Uang pembayaran study tour milik teman-temannya hilang. Luna mengecek lagi dan menggeledah tasnya berulang kali. Dia memeriksa saku rok seragamnya, jaketnya, dan tasnya yang lain, tetapi hasilnya nihil. Luna semakin panik. “Aduh…gimana nih…? Uangnya… masa’ aku harus ganti sih..,” ucapnya putus asa, dan dia pun menangis.

Ibunya melihatnya menangis. Kemudian ibunya bertanya, ”Na, kenapa kamu menangis?”

Luna menjawab, “Uang study tour teman-teman hilang, Bu… Semuanya delapan juta… besok setoran terakhir...”

“Apa?! Delapan juta? Kok bisa hilang itu bagaimana?! Kamu teledor sekali!” seru ibunya, terkejut dan marah.

“Lalu bagaimana Bu? Luna bingung bagaimana menggantinya… luna tidak punya uang sebanyak itu...,” lanjut Luna tersedu.

“Kamu letakkan uang itu di mana? Coba ingat lagi!” pinta ibunya. “Di dalam tas, Bu… uang itu …sepertinya diambil pencopet…soalnya…sepertinya tadi ada orang yang mencurigakan, Bu. Orang itu di belakangku…,” Luna bercerita sambil terus menangis.

“Kamu ingat ciri-ciri pencopetnya?”

“Orangnya berjaket kulit, bertopi, dan berkacamata hitam….”

“Selain itu?” desak ibunya.

“ Tidak ingat,” sahut Luna.

Page 3: Cerpen Bella

Ibunya menghela napas , lalu diam sejenak. Kemudian berkata, “Ya sudah, Ibu pinjami kamu uang tabungan Ibu dulu. Kamu tidak perlu mengganti. Tetapi kamu tidak akan Ibu beri uang jajan. Cukup adil kan?”

“Iya Bu,” jawab Luna, pasrah.

“Baik, sekarang Ibu mau ambil uang dulu. Besok segera setorkan uangnya,” ujar Ibu. Luna hanya mengangguk, sambil menghapus air matanya.

Keesokan harinya di sekolah, Luna mendatangi Lauren, bendahara OSIS yang mengumpulka uang study tour seluruh siswa kelas XI.

“Ren, aku mau setor uang pelunasan study tour. Masih kurang delapan juta kan dari kelasku?” tanya Luna.

“Lho, bukannya kelasmu udah lunas?” sahut Lauren.

“Hah? Yang bener?” Luna terkejut.

“Iya…, ini buktinya. Udah lunas kok. Ini tanda tanganmu kan? Kemarin siang kamu setor, terus langsung tanda tangan. Kamu bilang kamu ada les, jadinya buru-buru deh tanda tangannya,” jelas Lauren, “ini bukti pembayarannya, di buku kasku.”

Luna melihat tanda tangannya sendiri di buku kas itu, beserta tanggal penyetoran uangnya. Seketika itu juga dia ingat.

“Oh!” serunya. Rasa malu, geli dan lega bercampur jadi satu.

“Kenapa sih?” tanya Lauren, penasaran dengan perubahan ekspresi Luna. Luna menc eritakan semua yang dia alami sehubungan dengan uang study tour itu.

Selesai Luna bercerita, Lauren tertawa terbahak-bahak. “Dasar pikun!” serunya. “Nah, berarti uang jajanmu nggak berkurang kan. Makan-makan ah!”

Karya : Nabela Nurma Maharani

Kelas/Nomor : XII IPA 6/28