CERPEN

10
CERPEN 1.“selamat pagi sayang, ayo bangun!” Kata mama sambil membelai rambutku, aku hanya tersenyum sambil berusaha untuk bangun. Mama mengangkatku dan mendudukanya di kursi roda, memang selama ini aku lumpuh. Oh iya aku belum memperkenalkan diri namaku Fon Verrani Kristanty nama panggilanku Verra aku sekolah di S " #akarta aku punya seor kakak bernama Kirana Febrianti Maharani panggil a#a kak Febri. Kebetulan hari ini s libur #adi kakak ada di $umah deh. Ok balik ke %erita. Setelah Mandi dan berpakaian aku dan mama menu#u me#a makan, di sudah ada papa dan kak Febri “&ah anak papa udah %antik nih” goda papa aku hanya te mendengar u%apan papa barusan, “ayo %epat sarapanya dek habis itu kita #alan #alan” Febri, ah kakakku yang satu ini memang gak pernah sabar kalau sudah dia#ak #alan #a kakak” sahutku sambil memasang &a#ah %emberut, mama dan papa tersenyum melihat ulah “sudah sayang #angan %emberut terus dong” kata mama, aku hanya tersenyum ke arah Ma Setelah makan aku menu#u ke ruang keluarga untuk menonton 'V, saat akan menghidupka kepalaku terasa pusing dan aku hendak mengambil obat di sebelah 'V tetapi aku ter#a kursi roda dan tak sadarkan diri. Saat terbangun aku lihat ada mama, papa dan kak Febri aku tersenyum kepada mereka “ pusing dek(” 'anya kak Febri “enggak terlalu kok mama, papa sama kakak gak usah kh #a&abku “sayang kamu )stirahat a#a ya mama akan temenin kamu” kata mama “iya dek a akan temenin kamu kok” sahut kak Febri aku mengangguk lemah. an hari ini aku gak # #alan karena sakit. Setelah beristirahat beberapa hari aku sembuh dan ini semua berkat keluargaku yang sayangi. 2. Aku dan Esha punya kegiatan yang menyenangkan, yaitu memelihara kura-kura. Hmm….kura-kura kami masih kecil, dia lucu sekali loh. Apalagi Esha, adik semata wayangku itu lebih menyayangi kura-kuranya daripada aku, tapi kerjanya hanya bis memberi makan kura-kura karena umurnya baru dua tahun. Maka menjadi tugaskulah yang membersihkan akuarium dan mengganti airnya walaupun begitu aku sen karena bisa melihat adikku selalu ceria. “akak, kakak ula-ulanya diberi nama apa! tanya Esha yang masih cadel saat kami sedang bermain dengan kura-kura. “Mmm...kasih nama apa yah...." aku berpikir sejenak. “Aha...kita beri nama ula-ula aja, kelihatannya lucu juga"

description

Cerita Pendek

Transcript of CERPEN

CERPEN 1.selamat pagi sayang, ayo bangun! Kata mama sambil membelai rambutku, aku hanya tersenyum sambil berusaha untuk bangun. Mama mengangkatku dan mendudukanya di kursi roda, memang selama ini aku lumpuh. Oh iya aku belum memperkenalkan diri namaku Fonisia Verrani Kristanty nama panggilanku Verra aku sekolah di SDLB jakarta aku punya seorang kakak bernama Kirana Febrianti Maharani panggil aja kak Febri. Kebetulan hari ini sekolah pada libur jadi kakak ada di Rumah deh.Ok balik ke cerita. Setelah Mandi dan berpakaian aku dan mama menuju meja makan, disitu sudah ada papa dan kak Febri wah anak papa udah cantik nih goda papa aku hanya tersenyum mendengar ucapan papa barusan, ayo cepat sarapanya dek habis itu kita jalan jalan kata kak Febri, ah kakakku yang satu ini memang gak pernah sabar kalau sudah diajak jalan jalan. dasar kakak sahutku sambil memasang wajah cemberut, mama dan papa tersenyum melihat ulahku sudah sayang jangan cemberut terus dong kata mama, aku hanya tersenyum ke arah Mama.Setelah makan aku menuju ke ruang keluarga untuk menonton TV, saat akan menghidupkan TV kepalaku terasa pusing dan aku hendak mengambil obat di sebelah TV tetapi aku terjatuh dari kursi roda dan tak sadarkan diri.Saat terbangun aku lihat ada mama, papa dan kak Febri aku tersenyum kepada mereka masih pusing dek? Tanya kak Febri enggak terlalu kok mama, papa sama kakak gak usah khawatir jawabku sayang kamu Istirahat aja ya mama akan temenin kamu kata mama iya dek aku juga akan temenin kamu kok sahut kak Febri aku mengangguk lemah. Dan hari ini aku gak jadi jalan jalan karena sakit.Setelah beristirahat beberapa hari aku sembuh dan ini semua berkat keluargaku yang sangat aku sayangi.2. Aku dan Esha punya kegiatan yang menyenangkan, yaitu memelihara kura-kura. Hmm.kura-kura kami masih kecil, dia lucu sekali loh. Apalagi Esha, adik semata wayangku itu lebih menyayangi kura-kuranya daripada aku, tapi kerjanya hanya bisa memberi makan kura-kura karena umurnya baru dua tahun. Maka menjadi tugaskulah yang membersihkan akuarium dan mengganti airnya walaupun begitu aku senang karena bisa melihat adikku selalu ceria.Kakak, kakak ula-ulanya diberi nama apa? tanya Esha yang masih cadel saat kami sedang bermain dengan kura-kura.Mmm...kasih nama apa yah.... aku berpikir sejenak.Aha...kita beri nama ula-ula aja, kelihatannya lucu jugaUla-ula, yeeee!!! adikku bersorak-sorak girang.Wulan!!!! tiba-tiba ibu memanggilku dari dapurIya, Bu jawabkuAdek ajak kesini, waktunya maemSha, maem dulu yuk, nanti maen sama ula-ula lagi. Ula-ulanya juga biar maem dulu rayuku pada Esha.Heem jawabnya sambil mengikutiku.

Semenjak ada Ula-ula Esha jarang menangis. Ia betah sekali bermain dengan Ula-ula walau cuma mengobok-obok airnya saja tapi setidaknya dengan adanya Ula-ula, pekerjaanku menjaganya juga lebih ringan. Tinggal didudukkan dekat Ula-ula, ia sudah diam dan tidak rewel, terkadang aku malah iseng dan pergi main sendiri, yang penting saat ibu pulang dari pasar, aku tetap berada di samping Esha, he....he curang ya aku. Ah...biarkan saja, lama-lama aku sendiri yang bosan dengan Ula-ula, bagaimanapun juga Ula-ula tetap kurawat demi adikku.***Ula-ula kami semakin besar saja. Adikku semakin betah bernain dengannya. Hingga kadang ia susah diajak makan dan mandi, bahkan terkadang ibu jengkel dan sempat menyuruhku memindahkan Ula-ula di kolam belakang rumah. Tapi aku kasihan dengan Esha jika ia harus berpisah dengan Ula-ulanya. Pada akhirnya ibu mengerti juga. Selanjutnya kami berpikir dan mencari cara yang tepat agar Esha tidak kecanduan bermain dengan Ula-ula. Namun belum sempat kami menemukan cara yang tepat, adikku itu sudah berhenti bermain dengan ula-ula. Ada apakah gerangan??? Maka seperti inilah kejadiannya.Di suatu pagi di hari minggu, ibu menyuruhku menjaga Esha sebentar. Padahal pagi itu aku sudah janjian untuk bermain bersama teman-teman di kompleks. Demi teman-temanku, seperti biasa aku meninggalkan Esha bermain dengan Ula-ula karena aku tahu kalau sudah bersama Ula-ula dia tidak akan pergi kemana-mana. Maka kutinggalkanlah Esha dengan Ula-ulanya. Namun betapa kagetnya aku ketika pulang kerumah, kudapati ibu sedang berdiri di depan pintu sambil menggendong Esha. Padahal aku sudah berniat pulang sebelum ibu tiba di rumah. Ternyata ibu lebih cepat dari yang kuperkirakan.Habis darimana saja Wulan? tanya ibu dengan nada agak jengkel.Habis main BuBukankah ibu tadi menyuruhmu menjaga adik? Iya, maaf Bu kataku sambil tertunduk.Sekarang lihatlah apa yang terjadi dengan adikmu, bibirnya habis digigit Ula-ula kesayangannya itu Kulihat adikku, bibirnya agak bengkak, sebenarnya aku ingin tertawa, tapi aku tahan karena kasihan juga melihat adikku. Hmm...mengapa kejadiannya bisa seperti ini. Aku jadi menyesal meninggalkannya tadi.Ula-ula nakal kata adikku sambil menunjuk ke arah akuarium. Ia masih sesenggukan.Ya sudah, nanti ula-ulanya masukin kolam aja yah, nanti mbak ganti sama ikan mas koki, yang nggak nakal hiburku. Adikku sedikit tertawa. Akhirnya semenjak kejadian itu adikku tidak bermain dengan ula-ula lagi dan sekarang ia menurut jika diajak makan dan mandi. Akuarium itu kini kuisi dengan ikan mas koki berwarna-warni. Aih.... lucunya, Esha pun kembali ceria.3. Sudah lama Chaca dan Dinda berteman akrab, kemana-mana selalu bersama, di kelas juga duduk sebangku. Mereka mulai dekat ketika naik ke kelas dua sekolah dasar. Kala itu teman yang dekat dengan Dinda pindah sekolah karena suatu alasan. Hingga akhirnya, Bu Guru menempatkan dua bocah itu sebangku, tepatnya duduk di bagian depan karena Chaca memakai kacamata dan sebelah Dinda juga masih kosong, karena terbiasa berdua keakraban pun terjalin tapi entah mengapa tiba-tiba mereka terlihat seperti sedang bermusuhan, kini Dinda sering bersama dengan Uni, teman sekelasnya yang sekaligus tetangga depan rumah. Peristiwa ini tentu menimbulkan pertanyaan dari teman-teman mereka.Cha, kamu kok nggak pernah jalan sama Dinda lagi sih, sekarang malah seringan sama Uni? tanya Fanny penuh selidik. Kalian lagi ada masalah yah? sambungnya lagiEnggak kok, kebetulan Uni kan sekelompok sama aku untuk tugas prakarya, jadi kita memang harus sering sama-sama buat ngebahas, iya kan Ni? jawab Chaca seperti terlihat sedang berbohongOh, iya, iya Uni mengiyakanAh, masa sih, tapi kalau aku lihat sekarang, kalian juga jarang ngobrol dan bercanda bareng, padahal kan sebangku, emangnya enak diem-dieman terus? Fanny belum puas dengan jawaban Chaca dan masih memberondonginya dengan pertanyaan yang membuat kuping Chaca panas. Ih, kamu tuh tanya apa ngotot sih Fan, terserah kamu deh mau bilang apa! Chaca akhirnya merasa kesal dengan pertanyaan Fanny yang tiada hentinya. Ditinggalkannya Fanny yang masih menungu jawaban Chaca. Idihmarah nih ye sindir Fanny tak ada habisnya.Ah, Tanya Dinda aja, Chaca gak asik nih sambung Fanny.Dinda sedang asik membaca buku cerita tatkala suara cempreng Fanny memecah konsentrasinya.Hai Din Sapa Fanny centilHai jawab Dinda malas.Rajin amat sihIya nih daripada nggak ada kerjaan jawab Dinda.Boleh duduk di sini nggak?Boleh aja, jawab Dinda tanpa menoleh. Sebenarnya Dinda tidak terlalu suka dengan kedatangan Fanny karena ia tahu pasti kerjanya hanya memanas-manasi Dinda. Tapi apa boleh buat anak yang centil, cerewet dan suka mengadu itu sudah duduk di sampingnya ia tak tega menyuruhnya pergi. Diem aja sih Din, Chaca kemana? biasanya kalian kemana-mana selalu berdua, ke kantin, perpus, bahkan ke kamar mandi aja bareng hi. Tanya si biang kerok gak ada habis-habisnya.Chaca ke kantin kaliKok kamu nggak ikutNggak laperEh iya, sekarang Chaca sering jalan bareng sama Uni loh, mereka kayaknya akrab banget. Apalagi rumah mereka deketan. Uh makin akrab aja tuh, jahat banget yah Chaca masak dengan mudahnya ngelupain kamu sihMuka Dinda mulai memerah ia tidak konsentrasi dengan buku yang dibacanya. Emosinya hampir meledak namun berhasil ditahannya.Ya nggak apa-apa dong, orang kan pengen juga berteman sama yang lain, emang nggak boleh?Tapi memangnya kamu nggak iri dengan keakraban mereka?Ya enggaklah ngapain iriEmangnya kamu.. Teeeeeeeeeeeeeeeeeeeet. Tiba-tiba bel berbunyi sebelum Fanny sempat menyelesaikan pertanyaannya. Dinda merasa lega karena anak bawel itu kembali ke bangkunya dengan bersungut-sungut. Ia tidak berhasil mengulik berita dari Dinda. Cacha kembali ke tempat duduknya. Mereka tidak saling menyapa. Entah masalah apa yang membuat mereka tidak berkomunikasi seperti biasanya. Sebenarnya keadaan seperti ini sangat menyiksa mereka berdua. Mereka rindu saat-saat seperti dulu ketika berbagi suka dan duka bersama-sama.***Hingga akhirnya sebuah surat ditulis Dinda untuk Chaca. Untuk :Chaca sahabatkuSudah lama kita selalu bersama dalam keadaan sedih ataupun senang. Tapi kini kita seperti tidak saling mengenal lagi.. aku sangat sedih Cha. Tapi harus kuakui bahwa akulah penyebab semua ini. Aku tahu kamu sangat tersinggung atas perkataanku kemarin, tidak seharusnya aku meremehkan kemampuanmu. Kamu berhak mendapatkan nilai 10 itu. Maafkan aku yang menuduhmu mencontek tugas itu. Aku hanya iri saja kepadamu. Harusnya aku bisa berlapang dada dan mendukungmu. Sekali lagi aku minta maaf Cha. Aku ingin kita seperti dulu lagi.

Dinda SahabatmuChaca menitikkan air mata membaca surat dari Dinda. Ia pun ingin bersahabat lagi seperti dulu. Ia tidak ingin bermusuhan hanya karena hal sepele. Sudah waktunya aku memaafkan kesalahan Dinda batinnya. Keesokan harinya Chaca membawakan Dinda sebatang coklat sebagai tanda persahabatannya kembali.4. Seruling Ajaib

Matahari bersinar dengan teriknya. Dimas, Bagas, Satria, dan Ludvi berjalan pulang sekolah menuju rumah Ludvi. Mereka akan mengerjakan tugas kelompok. Saking panasnya, Bagas mengeluh,Mataharinya panas banget. Dimas, jajanin es dong.Iya nih. Traktirin, ya Please Satria memasang muka memelas.Ah, teman-teman, bentar lagi juga nyampe rumahku. Ntar begitu nyampe aku bikinin es teh, apa es jeruk, es buah, es sandal, terserah deh! kata Ludvi sambil mengelap keringatnya.Nampak sebuah mobil, ternyata mobil Doni.Hai kawan-kawan! sapa Doni membuka jendela mobil. Cepetin jalannya, ya. Dadahh seru Doni.Dimas hanya sebal. Huh, makanya ajak kami juga dong!Sahabat-sahabatnya hanya ikut bersungut-sungut.

Tibalah mereka di rumah Ludvi. Benar, Dimas, Bagas, dan Satria disuguhi minuman es.Eh, mana es sandalnya? canda DimasIh Dimas, kamu mau? Sana ambil sandalnya Ludvi. Sana sahut Satria bercanda. Mereka tergelak.

Satu jam kemudian, tugas mereka telah selesai.Horee Selesai. Main yuk! ajak Ludvi senang.Ayo ayo, balas Bagas mewakili sahabat-sahabatnya.Mereka bermain petak umpet di lapangan. Tiba-tiba, datanglah pembuat onar. Ada Rifki, Abel, Rizal, dan Izzul.Heh, kalian. Ngapain main di lapangan kami?! seru Rifki.Ini kan bukan lapangan kalian sendiri! balas Bagas tak terima.Kalo gitu, masing masing beri Rp 5.000,00 ke kami! kata Izzul.Ya nggak bisa, sahut Dimas tidak terima juga.Rifki mendorong Dimas hingga terjatuh dan terluka, lalu meninggalkannya. Teman-teman Dimas mengerubungi Dimas.Dimas, kamu nggak kenapa napa, kan? Ayo kuobati, Bagas khawatir.Nggak apa kok. Cuma sikuku berdarah. Dimas menatap lukanya. Namun ia merasa menduduki sebuah benda silinder.Ooh seruling!Sahabat-sahabatnya mengerubungi. Dimas memainkan seruling, seketika lukanya sembuh. Semua kaget dan heran,Hah?! Lu lukanya? Bagas tergagap.Mainkan lagi, pinta Satria.Dimas melakukannya. Tumbuhan yang tadinya layu menjadi subur.Kita harus merahasiakan ini, kata Ludvi pelan.Namun Rifki dkk. telah mendengarnya. Mereka sembunyi di balik pohon besar.Kita harus mencurinya, bisik Rizal.HARUS BRO!! seru Abel.Diam Bel! Kedengeran nanti bisik Izzul agak kesal. Tapi, Satria sudah mendengarnya.Ada yang mau mencuri seruling ini. Ayo sembunyikan!Mereka berlari ke rumah Ludvi. Rifki mengerjar. Namun malah di culik oleh seorang penculik. Kawan-kawannya berteriak.

RIFKI!!!Ludvi yang masih di teras rumah mendengar. Segera ia mengajak teman-temannya menolong.Teman-teman, sepertinya Rifki sedang dalam bahaya. Ayo kita tolong!Buat apa sih, Lud? Dia kan udah jahat sama kita! bantah Bagas kesal pada Rifki dkk. Namun, akhirnya Bagas masih berbelas kasihan. Mereka tiba di lapangan.

Ada apa dengan Rifki? tanya Satria bingung.Rifki di culik, sahut Abel sedih. Tak jauh dari situ, Nampak seorang menaiki mobil, ternyata itu penculik Rifki. I.. itu penculiknya! seru Rizal marah.KEJAAR!!! teriak ketujuh anak itu berlari.Dimas, seruling! sahut Izzul sambil berlari.Oh iya! balas Dimas mengeluarkan seruling ajaib dari sakunya.Dimas memainkannya. Dan seketika itu, sang penculik terangkat ke atas.Huwaa apa ini? Tolong aku! Cepat! penculik ketakutanSerahkan teman kami! Lalu kami lepaskan. kata Ludvi geram.Ya! Baik baik! Aku janji tak akan menculik anak anak lagi. Sekarang turunkan aku.Janji ya! tegas Izzul menatap tajam penculik.Dimas berhenti memainkan serulingnya. Sang penculik kabur. Sebelumnya, ia menyerahkan Rifki. Rifki terlihat sangat lega.Te teman teman, makasih ya, sudah nyelamatin aku. Ng Dimas, dan kawan-kawan, makasih banyak udah nolong aku. Padahal kami sudah jahat sama kalian. Dan maafin kami, ujar Rifki tulus. Mau ga jadi sahabat kita?Tentu saja mau, kawan! Dimas mewakili teman-temannya sambil merangkul Rifki.

Tiba tiba ada anak berlari menghampiri Dimas dkk.Hei, kalian yang di sana! panggil anak itu.Lalu ia berkata pada Dimas, Itu seruling milikku. Tolong kembalikan. serunya sopan dan ramah.Dimas dan yang lainnya terkejut. Ternyata itu milik anak itu. Dimas memberikan seruling itu ke anak itu yang tadinya seruling itu Dimas genggam.Anak itu menatap serulingnya.Ini peninggalan dari kakekku. Tadi aku membawanya ke sini, ternyata terjatuh. Makasih, kalian sudah menemukannya.Sambil memberi senyum, anak itu memperkenalkan dirinya.Hai, namaku Novan! katanya sambil mengulurkan tangan.Bergantian mereka berkenalan. Aku Dimas. Aku Rifki. Bagas. Satria. Abel. Rizal. Izzul. Aku Ludvi.Abel sambil menyengir, ia berkataMau kan Novan jadi sahabat kita?Novan tak menyangka, ia senang sekali. Tak ragu ia mengiyakan.Mau dong! Aku kan suka punya teman banyak!

Siang itu adalah siang yang berkesan. Di rumah Ludvi, mereka merayakan permulaan persahabatan mereka.Nih, es jeruk seger nya! Ayo ayo di minum. Kita rayain persahabatan kita! seru Ludvi.Es sandalnya? canda Bagas menirukan Dimas.Mereka tergelak bebarengan. Sungguh, tak terlupakan selamanya!5. JAM TANGAN FIARALangit agak mendung, saat Fiara berjalan menaiki tangga sekolah. Ia melangkahkan kakinya perlahan, mungkin karena efek penilaian lari kemarin. Kelasnya berada di lantai atas, dan masih jauh dari tangga. Gadis berusia 12 tahun itu tampak keberatan dengan beban tas ransel yang berada di punggungnya.Sesampai di depan kelas, Fiara mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Assalamualaikum.. ucapnya.Waalaikumsalam.. balas teman-teman Fiara serentak.Untungnya, saat itu guru bahasa daerah belum datang. Padahal, Fiara merasa terlambat, dan takut karena bahasa daerah menjadi jam pelajaran pertama.Pagi Fiara! Tugas bahasa daerah sudah kamu selesaikan? sapa Safira, sahabat Fiara yang duduk sebangku dengannya.Gadis itu hanya mengangguk, ia tampak sibuk meletakkan tas di kursi.Boleh aku pinjam bukumu? Hanya untuk mencocokkan jawaban saja. tanya Fiara.Silahkan.Tak sengaja, Fiara melihat jam tangan yang melingkar di tangan Safira. Warnanya merah muda, jarum penunjuk angkanya berwarna ungu, menarik sekali! Ia ingin memiliki jam tangan seperti milik Safira.Jam tangan baru, Saf? Kamu beli dimana?Ini pemberian pamanku. Kemarin baru pulang dari Jakarta.Bagus. Aku suka melihatnya!Terima kasih.Percakapan singkat itu terhenti tepat ketika Bu Nina, guru bahasa daerah memasuki kelas. Pelajaran pun dimulai.Tak terasa, jam pelajaran bahasa daerah habis. Bel istirahat pun berbunyi. Fiara dan Safira berjalan menuju kantin. Safira tampak heran, sejak tadi Fiara terus memandangi jam tangan miliknya.Ra, kamu ingin punya jam tangan ya? tanya Safira membuka pembicaraan.Fiara hanya diam. Ia tak tahu harus menjawab apa. Di dalam hati, ia memang benar-benar menginginkannya. Safira tak melanjutkan pertanyaannya. Dia tidak ingin sahabatnya mengira dirinya memamerkan jam tangannya.Raut muka Fiara tampak lesu sepulang sekolah. Langkah kakinya pelan sekali, bahkan hentakan sepatunya hampir tak bersuara. Selain kakinya sakit, ia juga malas untuk pulang ke rumah terlalu cepat. Ia membayangkan betapa beruntungnya Safira, bisa memiliki jam tangan sebagus itu. Sebenarnya sudah lama, Fiara ingin memiliki jam tangan. Namun, selalu saja, ia berpikir keinginannya itu tak akan terwujud.Tak lama, ia sudah sampai di rumahnya, meskipun dengan kecepatan langkah kaki yang sangat rendah. Mungkin itu karena rumah Fiara yang tak jauh dari sekolah.Assalamualaikum! serunya sambil mengetuk pintu.Waalaikumsalam. jawab seorang wanita setengah baya dari dalam rumah. Ya, itu ibu Fiara.Ibu lihat, sepertinya anak ibu satu-satunya ini tampak lesu. Ada masalah di sekolah ya nak? tanya ibu seraya memperhatikan raut muka anaknya.Fiara diam, tak menjawab pertanyaan ibunya.Ceritalah kepada ibu, barangkali ibu bisa membantu. Atau, kamu menginginkan suatu barang? ucap ibu.Mengapa ibu bisa tahu kalau Fiara menginginkan sesuatu? tanya Fiara balik.Bagaimana ibu tidak tahu, kan Fiara anak ibu. jawab ibu.Fiara ingin punya jam tangan, bu. ucap Fiara memelas kepada ibu.Ibu terdiam sejenak, dan menjawab, Fiara, bukannya ibu tak mau menuruti, tapi kamu tahu sendiri, ibu ini hanya seorang penjual sayur dan buah. Ibu tak mampu membelikanmu jam tangan.Ibu mengusap rambut Fiara. Fiara mengangguk sedih. Padahal, ia sangat ingin memiliki jam tangan seperti teman-teman di sekolahnya, apalagi seperti milik Safira.Lho, anak ibu kok sedih? Begini saja, ibu berjanji kalau ibu punya rezeki lebih, ibu pasti akan belikan kamu jam tangan. kata ibu menenangkan Fiara.Fiara mengusap air matanya. Ia tahu, meskipun ada rezeki lebih, tapi uang itu digunakan untuk keperluan lain yang lebih penting. Tiba-tiba ia terpikir untuk menyisihkan uang sakunya per hari.Bu, mulai sekarang Fiara akan menabung, agar bisa membeli jam tangan! seru Fiara.Boleh. Sisihkan sebagian uang saku dan uang jajanmu, mungkin kira-kira satu bulan, kamu bisa membelinya. ucap ibu.Setiap hari, Fiara menyisihkan sebagian uang sakunya. Uang saku Rp 3.000,- disisihkan Rp 2.000,-. Biasanya, seluruh uang sakunya dibelikan bakso semangkok. Mulai sekarang, ia hanya bisa membeli pentol di depan sekolahnya. Rasa lapar ditahannya hingga pulang sekolah.Tak terasa, satu bulan berlalu. Setelah dihitung, rupanya jumlah tabungan Fiara sudah mencukupi untuk membeli barang yang diidamkannya selama ini. Ia dan ibunya berniat untuk pergi ke toko jam tangan siang itu.Fiara mengunci pintu rumahnya. Lalu, kunci itu dimasukkan ke dalam tas kecil miliknya. Namun pada saat keluar pagar, tiba-tiba Bu Mimi, tetangga Fiara datang menghampiri mereka. Sepertinya ada sesuatu yang penting untuk dibicarakan.Bu, saya minta tolong, anak saya sakit tipus, kami tidak memiliki uang untuk membelikan Aira obat. Boleh saya pinjam uang dulu bu, jika ada uang untuk mengembalikan pasti akan saya ganti.Maaf bu, bukannya saya tidak mau membantu, tapi belum sempat ibu selesai bicara, Fiara berkata, Ini bu, ada sedikit uang untuk membeli obat. Semoga Aira cepat sembuh ya bu.Fiara menyerahkan seluruh uang tabungannya kepada Bu Mimi. Bu Mimi menerimanya.Terima kasih ya nak Fiara. Semoga Tuhan membalas kebaikanmu. ucap Bu Mimi.Fiara mengangguk. Ibu heran melihat Fiara. Bukannya uang itu jerih payahnya selama ini demi membeli barang yang diinginkannya sejak lama?Setelah Bu Mimi berlalu, Fiara dan ibu kembali masuk ke rumah. Mereka membuka kembali pintu rumah yang telah terkunci itu.Nak, kenapa kau berikan uang tabunganmu itu? Bukankah kamu sangat menginginkan jam tangan? tanya ibu.Tak apa bu. Kalau ada tetangga kesusahan, mengapa tidak kita bantu? Kan kebutuhan Bu Mimi lebih penting daripada kebutuhan Fiara. Untuk masalah jam tangan, Fiara bisa kok menabung lagi. jawab Fiara.Ibu bangga kepadamu nak. Semoga bulan depan kita bisa membelinya ya! ucap ibu sambil memeluk Fiara.Fiara masuk ke kamar. Ia melihat celengan ayamnya yang kini telah kosong. Dia tahu, Bu Mimi tak akan mengembalikan uangnya dalam waktu dekat. Karena keadaan ekonomi keluarga Bu Mimi tak beda jauh dengan keluarganya. Salah satu cara untuk bisa membeli jam tangan hanyalah dengan menabung lagi. Padahal, ia sudah tak sabar untuk mencicipi bakso langganannya setelah satu bulan tidak membelinya.Keeseokannya, Fiara berangkat sekolah. Seperti biasa, ia berjalan kaki. Sesampai di sekolah, Safira menepuk bahunya.Fiara, aku ingin menunjukkan sesuatu. ucap Safira.Awalnya, Fiara menolak, karena dia ingin melihat mading di lantai bawah. Namun, tanpa banyak bicara, Safira menggandeng tangan Fiara untuk duduk di sebelah bangkunya. Kebetulan, kelas tak begitu ramai saat itu.Ada apa, Saf? tanya Fiara lugu.Ini untukmu. ucapnya sambil menunjukkan sebuah kotak yang berisi jam tangan merah muda di dalamnya.Untukku? Ini kan sama persis seperti jam tangan yang kau pakai sekarang? tanya Fiara tak percaya.Iya. Kemarin pamanku ke rumahku. Beliau memberi jam tangan ini, maksudnya jika jam tanganku rusak, nanti ada gantinya. Namun, sepertinya jam tanganku tak apa-apa. Aku rasa masih bagus. Ya sudah, daripada tidak aku pakai, lebih baik aku berikan ke kamu saja. Kamu suka kan? ucap SafiraUmm, suka! Suka sekali Terima kasih ya, Saf! Tapi, jam tangan ini terlalu bagus untuk dipakai anak berkulit sawo matang sepertiku.Tidak. Kau pantas mengenakannya.. bantah Safira.Sekali lagi, terima kasih ya, Saf! Kamu memang sahabat yang baik. kata Fiara.Safira mengangguk.Hari itu menjadi hari yang paling menyenangkan bagi Fiara. Bahkan, ia mencatat tanggalnya di buku harian, Sabtu, 20 Februari 2016Cerpen Karangan: Rr. Dantya Farah FBlog: www.radifafarah.blogspot.comPerkenalkan, nama saya Rr. Dantya Farah Fortuna. Saya bersekolah di SMPN 1 Sidoarjo. Saya masih membutuhkan banyak pengalaman untuk menulis, untuk para pembaca cerpen saya, mohon kritik dan sarannya ya