CERPEN 2011

16
CERPEN 2011 KARYA PUTU WIJAYA “AKHIR tahun membawa banyak hal yang sama. Misalnya harapan bahwa tahun mendatang akan lebih baik. Tapi biasanya, setelah datang, ternyata juga sama. Tak ada perubahan. Kemajuan hanya harapan. Hanya perasaan-perasaan kita yang berubah. Barangkali memang di situ peluangnya.” Aku terkejut. Aku menoleh kanan daan kiri. Siapa yang sudah mengatakan itu. Ternyata tidak ada orang. Itu pikiran- pikiranku sendiri setelah merenungi berbagai kejadian yang sudah lewat. Setelah puluhan tahun bergulir, tapi nasibku tidak bergerak. Aku merasa seperti dipaku ke atas dinding beton. Dengan muka kuyu kutatap isi rumah. Dinding yang itu-itu saja. Meja yang kemarin. Foto-foto semuanya sama. Tak ada yang berubah. Barangkali hanya cicak dan tokek yang silih berganti karena mati. Lainnya seperti abadi. Sehingga timbul pertanyaan. Apakah tahun benar-benar berganti atau hanya berulang kembali. Wajahku melusuh di meja makan. Istriku jadi khawatir. “Pusing, Pak?” Aku mengangguk.

description

cvcvcvcvcv

Transcript of CERPEN 2011

Page 1: CERPEN 2011

CERPEN 2011

KARYA PUTU WIJAYA

“AKHIR tahun membawa banyak hal yang sama. Misalnya harapan bahwa tahun mendatang

akan lebih baik. Tapi biasanya, setelah datang, ternyata juga sama. Tak ada perubahan.

Kemajuan hanya harapan. Hanya perasaan-perasaan kita yang berubah. Barangkali memang

di situ peluangnya.”

Aku terkejut. Aku menoleh kanan daan kiri. Siapa yang sudah mengatakan itu. Ternyata tidak

ada orang. Itu pikiran-pikiranku sendiri setelah merenungi berbagai kejadian yang sudah

lewat. Setelah puluhan tahun bergulir, tapi nasibku tidak bergerak. Aku merasa seperti dipaku

ke atas dinding beton.

Dengan muka kuyu kutatap isi rumah. Dinding yang itu-itu saja. Meja yang kemarin. Foto-

foto semuanya sama. Tak ada yang berubah. Barangkali hanya cicak dan tokek yang silih

berganti karena mati. Lainnya seperti abadi. Sehingga timbul pertanyaan. Apakah tahun

benar-benar berganti atau hanya berulang kembali.

Wajahku melusuh di meja makan. Istriku jadi khawatir.

“Pusing, Pak?”

Aku mengangguk.

“Mau dipijit?”

“Ini bukan masuk angin tapi pikiran kacau.”

Istriku manggut-manggut.

“Kalau begitu jalan-jalanlah keluar rumah, tenangkan pikiran.”

Aku setuju. Setelah ganti pakaian, aku keluar rumah. Tapi setelah sampai di jalan, aku

bingung, tak tahu mau ke mana. Waktu itu muncul Pak Manuel yang hendak pergi ke gereja.

“Mau ke gereja, Pak Manuel?”

Page 2: CERPEN 2011

“Betul, Pak. Bapak sendiri  mau ke mana?”

Aku menjawab malu.

“Tidak ke mana-mana, mau makan angin saja, menghilangkan perasaan sumpek.”

“Kalau sumpek jangan makan angin, nanti tambah pusing.”

Aku ketawa.

“Saya cuma tak habis pikir, Pak Manuel, kok tidak ada yang berubah. Tiap tahun kita ingin

ada perbaikan, tapi akhirnya selalu kecewa. Ternyata tidak ada masa depan. Kita seperti naik

mobil yang bannya kejeblos. Tambah digas, roda muter makin kencang tapi tetap di situ-situ

juga. Sama sekali tak bergerak. Hidup ini seperti macet. Ya kan, Pak Manuel?”

Manuel manggut-manggut.

“Begini, Pak, kalau Bapak sedang naik mobil yang kejeblos, sebenarnya Bapak tidak berjalan

di tempat, tapi Bapak sedang masuk ke dalam tanah lebih dalam, sampai dapat pijakan yang

cukup kuat untuk mendorong mobil keluar dari lumpur. Bapak mungkin terlambat, tapi bukan

tidak ada gunanya. Sebab kalau tidak kejeblos lumpur, siapa tahu, mungkin, mobil Bapak

yang ditabrak truk yang nyelonong hambruk karena keberatan muatannya itu. Bersyukurlah!

Bapak sebenarnya sedang diselamatkan!”

Aku tersenyum, tapi jadi berpikir.

“Pak Manuel!”

Tapi Manuel tidak  menunggu. Lelaki yang aktif di gerejanya itu sudah sampai ke tikungan

dan berbelok tanpa menoleh. Aku jadi merinding.

“Apa itu benar-benar Pak Manuel atau hanya pikiranku yang kacau?”

Cepat aku berbalik pulang, batal cari angin. Aku langsung menghampiri istriku yang sedang

menata makan malam.

“Sudah makan angin, Pak?”

“Nggak jadi….”

“Kenapa?”

Page 3: CERPEN 2011

Lantas kuceritakan pertemuanku dengan Pak Manuel.

“Pak Manuel?”

“Ya.”

“Bukannya Pak Manuel sudah kembali ke Flores tahun lalu?”

Aku terperanjat.

“Masak?”

“Ya, sudah kembali ke Flores. Kecuali kalau dia sudah datang lagi!”

Aku jadi penasaran. Cepat aku keluar rumah lagi, ngecek ke rumah Pak Manuel. Di depan

rumahnya aku disapa.

“Bapak ke gereja, Pak.”

Aku menoleh. Itu Yozef anak bungsu Manuel.

“He, kamu sudah kembali? Katanya sudah pindah ke Flores.”

“Sudah kembali lagi, Pak.”

“Kapan?”

“Baru tadi.”

Aku bengong. Kutatap anak itu.

“Kamu sudah besar sekarang.”

“Ya, Pak. Saya mau cepat-cepat mau masuk tentara.”

“Ya? Kenapa?”

“Mau memperbaiki dunia!”

Aku bengong. Kembali kuplototi anak itu tajam. Sekarang aku yakin bahwa semua itu tidak

nyata. Itu bagian dari pikiranku yang kacau.

“Setuju kan, Pak?!”

Page 4: CERPEN 2011

Aku menggeleng.

“Tidak!”

“Kenapa?”

“Karena bukan senjata yang bisa mengubah dunia ini.”

“Terus apa?”

“Perasaan. Perasaan kita. Semua boleh tidak berubah. Semua boleh sama. Tapi kalau

perasaan kita berubah, semua yang sama itu dengan sendirinya akan ikut berubah. Hanya

perasaan kita yang mampu mengubah semuanya ini. Perasaan kita. Dan hanya kita sendiri.

Bukan senjata!”

Yozef tak menjawab, aku cepat berbalik pulang. Sampai di rumah, baru aku merasa

perasaanku menjadi terang. Tak perlu ada lampu. Kalau perasaan terang, segalanya akan

terang.

Aku masuk ke dalam rumah dengan pikiran yang sama sekali berubah.

Sampai di dalam rumah, aku menoleh ke sekeliling. Dinding, meja, potret-potret di atas

tembok tidak ada yang sama. Semuanya terasa baru. Lalu aku cium bau gorengan tempe yang

masih mengebulkan asap di atas meja. Itu bukan tempe yang bertahun-tahun lalu aku kunyah,

itu tempe baru. Dan ketika kemudian aku mengunyahnya satu, kurasakan kenikmatan yang

belum pernah kukecap sebelumnya.

“Tak ada yang benar-benar sama. Semuanya berubah, kalau pikiran kita sehat. Tempe ini

bukan tempe yang kemaren, tapi tempe baru yang belum pernah aku rasakan. Karena

perasaanku mengubahnya. Nikmat sekali!” kataku sambil mencomot lagi dua potong tempe

sekaligus.

Istriku memandang takjub.

“Dari tadi pagi Bapak diam-diam saja kalau diajak ngomong. Tiba-tiba saja sekarang ngoceh

ngomong yang aneh-aneh. Salah! Itu bukan tempe. Itu kan krupuk udang, tahu!”

Aku terkejut. Kutatap baik-baik apa yang sedang aku makan. Memang itu bukan tempe, tapi

kerupuk udang. Tapi itu tidak mengurangi kenikmatannya. Ya. Ternyata apa yang kupikirkan

seharian di akhir tahun ini, terjawab. Yang terpenting dari segalanya adalah perasaan.

Page 5: CERPEN 2011

Lalu aku mengangguk.

“Betul! Tapi selama kita masih punya perasaan, hidup ini akan berubah!”

Istriku tak menjawab. Ia  menganggap tidak mendengar apa-apa.

Malam hari setelah semua orang tidur, kulihat seakan tahun 2010 sedang menanggalkan

pakaian kerjanya untuk diserahkan pada 2011. Aku cepat bersimpuh dalam pikiranku lalu

berdoa.

“Ya, Tuhan, apa yang sedang terjadi dengan negeri ini? Apa yang harus kami lakukan untuk

membuat negeri, bangsa dan rakyat yang usianya jalan 66 tahun ini dewasa. Percaya pada

diri, mampu mempergunakan seluruh kekayaannya untuk kebahagiaan seluruh warga, serta

dihormati oleh bangsa dan negara-negara lain, bukan karena takut, tapi karena cinta?”

“Aku tidak minta apa-apa kepada-Mu ya Tuhan, aku hanya mencari titik pandang, tempat aku

mendengar kembali suaraku ini. Karena perhatian-Mu sudah lebih dari cukup. Adalah kami

yang menjadi pangkal, sebab dan seluruh nasib kami ini. Adalah kami yang harus tidak hanya

berpikir, merasa dan berharap tok, tetapi harus segera berbuat untuk memilkul dan mengubah

segala yang kurang pantas ini, sampai terjadi apa yang kami mimpikan.”

“Tetapi apa sebenarnya yang kami mimpikan? Apakah mimpiku, harapanku sama dengan

yang ditumbuhkan 220 juta batok kepala orang lain di sekitarku?”

Esoknya aku merencanakan akan bertanya pada siapa saja yang kutemui. Apa sebenarnya

yang menjadi impian mereka. Jangan-jangan mimpi itu tidak sama, tapi berbeda, bahkan

bertentangan. Dan itulah yang menjadi pangkal semua keruwetan  ini.

“Kalau Bapak tanya Ibu,” jawab istriku yang pertama kali kujadikan sasaran, “aku hanya

ingin supaya kita semua selamat. Kurang lebih itu biasa, namanya juga hidup. Asal kita

jangan hanya saling menyalahkan dan merasa lebih tahu padahal yang paling tahu itu adalah

orang lain yang selalu kita tentang karena partainya lain.”

Aku tertawa. Aku heran sejak kapan istriku itu jadi suka politik. Kemudian kucecer anakku.

Sebagaimana biasa anak muda, dia menjawab acuh, gagah, dan pongah.

“Sebenarnya semua ini adalah proses panjang dalam menyadarkan kita bahwa kita tidak lagi

dijajah. Kita sudah merdeka. Tetapi di dalam kemerdekaan, kita belum siap untuk tidak

mendapatkan apa yang kita inginkan. Bahkan kita kaget, karena apa yang kita miliki sebelum

Page 6: CERPEN 2011

merdeka, ternyata kini sudah tidak ada. Misalnya tidak ada yang benar-benar mengurus kita.

Semua orang berlomba mengurus dirinya sendiri. Kita sedang dalam belajar merdeka. Seperti

kata professor Ben Anderson, bayak orang menganggap merdeka itu adalah saat untuk

membagi kue warisan. Akibatnya yang terjadi sekarang setelah lepas dari penjajahan adalah

bentrokan antara kita dengan kita, karena semua ingin  mendapat kue warisan yang lebih

banyak. Harusnya bukan nafsu membagi warisan, tapi nafsu memberi yang dihidupkan.

Seperti kata Kennedy, pertanyaannya bukan apa yang bisa diberikan negara kepadamu, tetapi

apa yang bisa kamu berikan kepada negara!”

Jawaban itu mempesonaku. Aku lebih bersemangat lagi untuk mendengar pendapat orang

lain. Tapi ketika mau melangkah ke tetangga, anakku mencegah.

“Jangan cuma mendengar pendapat orang. Pendapat Bapak sendiri bagaimana?”

Aku senyum.

“Pendapatku tidak penting.”

“Penting! Jangan nanti baru berendapat setelah mendengar pendapat orang lain. Itu namanya

nyontek. Atau Bapak tidak punya pendapat? Mau seperti bunglon?”

“Lho jangan sembarangan. Bapak punya pendapat.”

“Ya apa?!”

Aku jadi  mikir.

“Tapi pendapat pribadi Bapak yang sejujur-jujurnya!”

“Lho memang itu tujuannya bapak bertanya-tanya.”

“Jangan cuma bilang ingin ada persatuan, kesadaran kebangsaan, keadilan, kebenaran,

keselarasan, kepemimpinan yang transparan, hukum yang hidup dan berjalan, peradilan yang

berwibawa, demokrasi dan sebagainya dan sebagainya. Itu sudah klise. Sudah banyak

dikatakan orang. Bahkan juga sudah diulang-ulang oleh para ahli-ahli. Saya mau tahu apa

keinginan Bapak sejujurnya sebagai warga negara. Jangan takut. Tidak ada yang mendengar

dan tidak akan dihukum kalau hanya mengatakan kejujuran. Tapi katakan atas nama

sumpah!”

Aku terkejut.

Page 7: CERPEN 2011

“Kenapa pakai sumpah?”

“Harus! Sebab ini soal kejujuran. Sumpah! Bapak mau apa?”

Aku bengong.

“Jangan berpikir. Sebab kalau Bapak berpikir, artinya Bapak mau cari selamat saja. Katakan

saja sejujurnya. Nggak ada orang lain di sini!”

Kemudian istriku muncul.

“Hanya ada Ibu. Tapi Ibu kan bukan orang lain. Katakan saja terus terang. Bapak inginnya

apa? Bagaimana?”

Aku menoleh pada istriku.

“Anakmu ini sudah gila. Masak aku disuruh bersumpah untuk mengatakan aku ingin apa?”

Ternyata istriku mendukung anaknya.

“Lho, Bapak kan sudah nanyain kami, kenapa mengelak kalau ditanyain? Ibu juga mau

dengar apa jawaban Bapak.”

Aku terpaksa ketawa.

“Boleh ketawa. Tapi ini sumpah! Harus sejujurnya!”

“Apa, Pak?”

Aku menarik napas panjang.

“Aku ingin kita….”

“Ingat sumpah, Pak!”

Aku tertegun. Lalu bicara dengan hati-hati.

“Aku berharap negeri kita ini….”

“Awas, ini sumpah!”

Page 8: CERPEN 2011

Aku hampir saja marah, merasa dipermainkan. Aku ini kepala keluarga, kok didikte oleh

anggota keluarga? Tapi tak ada senyum sinis yang biasa ngintip di sudut bibir anakku. Ia

serius. Istriku juga sama. Aku jadi terdakwa.

Waktu itu muncul perasaan aneh. Seakan untuk pertama kalinya setelah setengah abad aku

memandangi wajah anak dan istriku. Kulihat apa yang tak pernah kulihat. Entah bagaimana

kudapatkan kacamata yang sama sekali lain. Lalu kutemukan apa yang tak pernah dan tak

ingin kulihat. Apa yang selalu kulewati dan lupakan. Apa yang selalu kuhindari dan aku

tunda.

Tiba-tiba saja aku menemukan uban terserak di kepala istriku. Kerutan di leher dan di sudut

matanya. Wajahnya yang polos tapi tertikam. Di balik kepolosan itu tertekan berbagai

keinginan yang tak terkabul. Alangkah rentan kulit pipi yang dulu merah itu. Kini ia kusut

dan tak mampu lagi menutupi apa yang menjadi kekecewaan dan hasratnya yang tak

terpenuhi.

Sementara anakku yang belum mandi, karena sedang membersihkan kamar-kamar, terasa

kampungan. Jauh sekali dari wajah-wajah cantik di layar sinetron Indonesia. Berbeda dengan

gadis-gadis generasi baru Indonesia yang sempurna gizi. Walau tubuhnya berisi dan

semampai, tetapi tidak ada kebebasan dan keceriaan di matanya. Belum menikah, ia seperti

sudah mendapat beban memikul dunia. Itu bukan generasi baru yang bebas, tetapi anak muda

cacat yang digondeli berbagai kesulitan yang sebenarnya bukan tanggungannya.

Mendadak aku menjadi sedih dan kejeblos. Aku ingin menghapus semua itu. Membebaskan

keluargaku dari ketaklukan pada nasib buruk. Menyulap rumahku yang berdebu, kumuh,

yang bagaikan gudang kotor yang tak selayaknya bagi seorang warga negara di negara yang

sudah merdeka dan kaya lagi.

Mendadak aku ingin memiliki rumah yang tak hanya tempat pulang, tapi sebuah istana bagi

orang yang menang. Kenapa aku tidak ikut mengenyam keuntungan jalan raya dengan

memacu mobil mewah di atasnya? Aku ingin tak hanya memandang hotel dan gemerlapan

gaya hidup di real estate mewah, tapi juga ikut mengecap dan memilikinya. Aku tak mau

hanya mengibarkan bendera tanda merdeka, tetapi ikut berkibar.

Sambil mengeruk isi dada, lalu aku merasa perutku mual. Karena tak berhasil menahannya

lagi, lalu begitu saja aku muntah.

Page 9: CERPEN 2011

“Aku ingin menjadi konglomerat. Orang yang berkuasa dan ditakuti. Aku ingin menjadi

wakil rakyat, semua dapat semua prioritasnya. Jangan hanya bintang film, artis, dan pelawak-

pelawak itu saja yang menikmati gaji 40 jutaan sebulan. Aku ingin menjadi pejabat, bupati,

walikota, gubernur, menteri, duta besar dan juga presiden. Aku ingin punya bukit, tambang,

dan mega proyek. Aku ingin membahagiakan anak cucuku sampai tujuh turunan. Aku ingin

sukses, unggul, berkuasa, dan lebih dalam segala hal dari orang lain yang kalah. Aku ingin

lebih merdeka, lebih bebas, lebih nyaman, dan lebih berkuasa dari orang lain. Aku ingin

bebas dari segala kesulitan dan beban batin karena aku sudah merdeka. Aku ingin, ingin apa

saja yang belum kumiliki. Aku ingin segala yang tak ada….”

Tiba-tiba istriku menghapus air matanya. Tapi tetes yang berjatuhan di pipinya tidak

terbendung. Ia pun mengisak. Anakku memalingkan mukanya seperti tak tega melihat itu.

Lalu ia menjauh.

Sementara aku tak berhasil berhenti. Mulutku terus bicara.

“Aku ingin anak dan istriku tidak pernah lagi menangis dan selalu bangga kepadaku. Karena

aku kepala rumah tangga yang sejati. Aku ingin menjadi pahlawan dalam hidup meraka yang

tidak tergantikan. Dan karena aku tak mampu mendapatkan semua itu, maka aku ingin,

memimpikan semua itu siang malam. Padahal apa yang kurang? Aku sudah berusaha sekuat

tenagaku. Aku sudah berjuang, tidak pernah berhenti sedetik pun. Tapi ternyata yang kudapat

tidak satu persen pun dari harapanku. Aku hanya lelaki manula yang penuh dengan harapan,

keinginan, impian, yang lebat setiap detik, sehingga pohon kehidupanku semakin ringkih dan

hampir hambruk, tak sanggup memikul. Aku tak mampu berbuat apa-apa. Aku hanya seekor

cacing….”

“Sudah, Pak!”

“Maafkan aku, Bu.”

Kudekati istriku.

“Harusnya kamu kawin dengan laki-laki lain yang pasti akan memberikan semua itu, bukan

dengan aku. Tapi kalau kamu tidak menikah dengan aku, aku akan brengsek. Nasibku akan

konyol. Kalau tidak ada kamu yang menemaniku selama ini, mengingatkan akau agar tetap di

jalan yang benar ini saja, barangkali sudah lama aku ada di penjara.”

“Sudahlah, Pak!”

Page 10: CERPEN 2011

Diam-diam aku ikut menghapus air mata sebelum sempat keluar. Waktu itu anakku

menghampiri lagi.

“Bukan hanya Bapak, itu keinginan semua orang sekarang. Saya kira keinginan semua orang

Indonesia. Entah kenapa kita bersama-sama menjadi orang yang tidak tahu diri. Semua kita.

Tidak terkecuali siapa pun. Hanya ada yang mampu menutupi, ada yang tidak. Ada yang

kelihatan gagah dan bijak, tapi sebenarnya dalam hatinya sama saja. Jadi Bapak tidak perlu

lagi menanyakan kepada siapa pun apa harapan mereka. Kalau mau berdoa, berdoa saja,

mudah-mudahan kita bisa melewati masa yang sulit ini.”

Aku menggeleng.

“Bapak tidak akan berdoa lagi. Sudah cukup. Yang perlu sekarang berbuat.”

Istriku menoleh dan berhenti menghapus air matanya.

“Ya, betul itu. Berbuat. Tapi tidak usah yang neko-neko seperti yang Bapak bilang tadi. Kalau

mau, kalau masih kuat, ambil saja sapu bersihkan halaman di belakang. Cukup! Tidak perlu

jadi pejabat atau konglomerat, memangnya gampang. Kalau toh ketiban rezeki nomplok,

sebesar itu, belum tentu Bapak kuat, kalau mentalnya tidak siap.”

Sembari membuang seluruh kesedihannya istriku kembali ke dapur. Waktu itu anakku

tersenyum lantas mengangguk ke arahku.

“Terima kasih, Pak.”

“Terima kasih?”

“Ya. Terima kasih telah mengembalikan Bapak saya sebagai suami Ibu saya dan Bapak

saya.”

“Memangnya selama ini bukan?”

Ami mengangguk.

“Bukan! Sebagaimana umumnya semua orang lain. Kemaren-kemaren Bapak bukan diri

Bapak yang sebenarnya.”

“O ya? Lalu kamu sendiri?”

“Saya juga begitu. Semua kita sama!”

Page 11: CERPEN 2011

Aku berpikir.

“Kalau itu betul, tapi berapa lama kita bisa teatap jadi diri kita?”

Anakku mengangkat pundaknya.

“Ya beberapa detik saja cukup. Karena sebagian besar sejarah kita adalah sejarah orang yang

lupa.”

Aku tertegun. Mungkin hanya beberapa detik dalam hidup kita yang panjang ini, kita benar-

benar mampu jadi diri kita. Tapi lumayan. Yang penting kebenaran itu masih mau datang.

Walaupun barangkali tak pernah bisa kita miliki selamanya, karena hidup bergerak. Karena

kita ditakdirkan harus terus mengejarnya. Terus saja mengejarnya. Dan tidak perlu

mendapatkannya. Karena mengejar saja sudah cukup. Mengejar jauh lebih indah daripada

mendapatkannya.

“Kok senyum-senyum sendiri?” tanya istriku tiba-tiba.

Aku menoleh. (*)