Cerita Rakyat dari Sulawesi Tengah Tau Tudu.pdf · 2021. 1. 28. · cita-cita hidup, biasanya karya...

61

Transcript of Cerita Rakyat dari Sulawesi Tengah Tau Tudu.pdf · 2021. 1. 28. · cita-cita hidup, biasanya karya...

  • Cerita Rakyat dari Sulawesi Tengah

    Tau Tudu

    Ditulis oleh

    Dian R. Pranawengtyas

  • TAU TUDU

    Penulis : Dian R. PranawengtyasPenyunting : Hidayat WidiyantoIlustrator : Dewi MindasariPenata Letak : Papa Yon

    Diterbitkan pada tahun 2016 oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan BahasaJalan Daksinapati Barat IVRawamangunJakarta Timur

    Hak Cipta Dilindungi Undang-UndangIsi buku ini, baik sebagian maupun seluruhnya, dilarang diperbanyak dalam bentuk apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit, kecuali dalam hal pengutipan untuk keperluan penulisan artikel atau karangan ilmiah.

  • iii

    KATA PENGANTAR

    Karya sastra tidak hanya rangkaian kata demi kata, tetapi berbicara tentang kehidupan, baik secara realitas ada maupun hanya dalam gagasan atau cita-cita manusia. Apabila berdasarkan realitas yang ada, biasanya karya sastra berisi pengalaman hidup, teladan, dan hikmah yang telah mendapatkan berbagai bumbu, ramuan, gaya, dan imajinasi. Sementara itu, apabila berdasarkan pada gagasan atau cita-cita hidup, biasanya karya sastra berisi ajaran moral, budi pekerti, nasihat, simbol-simbol filsafat (pandangan hidup), budaya, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Kehidupan itu sendiri keberadaannya sangat beragam, bervariasi, dan penuh berbagai persoalan serta konflik yang dihadapi oleh manusia. Keberagaman dalam kehidupan itu berimbas pula pada keberagaman dalam karya sastra karena isinya tidak terpisahkan dari kehidupan manusia yang beradab dan bermartabat.

    Karya sastra yang berbicara tentang kehidupan tersebut menggunakan bahasa sebagai media penyampaiannya dan seni imajinatif sebagai lahan budayanya. Atas dasar media bahasa dan seni imajinatif itu, sastra bersifat multidimensi dan multiinterpretasi. Dengan menggunakan media bahasa, seni imajinatif, dan matra budaya, sastra menyampaikan pesan untuk (dapat) ditinjau, ditelaah, dan dikaji ataupun dianalisis dari berbagai sudut pandang. Hasil pandangan itu sangat bergantung pada siapa yang meninjau, siapa yang menelaah, menganalisis, dan siapa yang mengkajinya dengan latar belakang sosial-budaya serta pengetahuan yang beraneka ragam. Adakala seorang penelaah sastra berangkat dari sudut pandang metafora, mitos, simbol,

  • iv

    kekuasaan, ideologi, ekonomi, politik, dan budaya, dapat dibantah penelaah lain dari sudut bunyi, referen, maupun ironi. Meskipun demikian, kata Heraclitus, “Betapa pun berlawanan mereka bekerja sama, dan dari arah yang berbeda, muncul harmoni paling indah”.

    Banyak pelajaran yang dapat kita peroleh dari membaca karya sastra, salah satunya membaca cerita rakyat yang disadur atau diolah kembali menjadi cerita anak. Hasil membaca karya sastra selalu menginspirasi dan memotivasi pembaca untuk berkreasi menemukan sesuatu yang baru. Membaca karya sastra dapat memicu imajinasi lebih lanjut, membuka pencerahan, dan menambah wawasan. Untuk itu, kepada pengolah kembali cerita ini kami ucapkan terima kasih. Kami juga menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada Kepala Pusat Pembinaan, Kepala Bidang Pembelajaran, serta Kepala Subbidang Modul dan Bahan Ajar dan staf atas segala upaya dan kerja keras yang dilakukan sampai dengan terwujudnya buku ini.

    Semoga buku cerita ini tidak hanya bermanfaat sebagai bahan bacaan bagi siswa dan masyarakat untuk menumbuhkan budaya literasi melalui program Gerakan Literasi Nasional, tetapi juga bermanfaat sebagai bahan pengayaan pengetahuan kita tentang kehidupan masa lalu yang dapat dimanfaatkan dalam menyikapi perkembangan kehidupan masa kini dan masa depan.

    Jakarta, Juni 2016Salam kami,

    Prof. Dr. Dadang Sunendar, M.Hum.

  • v

    SEKAPUR SIRIH

    Penulisan cerita rakyat Tau Tudu ini melalui proses yang cukup melelahkan. Tenaga dan pikiran tercurah untuk menghasilkan tulisan sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan. Oleh karena itu, segala puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah Swt. yang telah memberikan kekuatan dan kesempatan sehingga cerita rakyat Tau Tudu ini dapat selesai ditulis.

    Cerita rakyat Tau Tudu ini disadur dari cerita rakyat suku Taa yang berasal dari Kabupaten Tojo Una-Una, Provinsi Sulawesi Tengah. Cerita ini memberikan beberapa pelajaran kehidupan seperi kesopanan, keteguhan tekad, kemandirian, dan kekeluargaan. Selain itu, terdapat pula pelajaran kehidupan yaitu kecerobahan akan membawa penyesalan. Pelajaran yang kehidupan yang harus dipelajari bukan hanya hal yang positif. Hal yang negatif pun bisa dijadikan pelajaran supaya di kehidupan nyata, hal negatif tersebut tidak dilakukan.

    Tak lupa saya ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan cerita rakyat Tau Tudu ini. Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada kolega dan pimpinan di Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Balai Bahasa Sulawesi Tengah yang telah memberikan arahan dalam penulisan cerita. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada masyarakat suku Taa di Kabupaten Tojo Una-Una, Provinsi Sulawesi Tengah yang telah membagi cerita rakyat Tau Tudu. Segala ucapan terima kasih, Alhamdulillah saya panjatkan kepada Allah Swt. yang telah memberikan waktu

  • vi

    dan kekuatan untuk menyelesaikan rangkaian penulisan cerita rakyat ini.

    Cerita Rakyat akan sirna jika tak dilestarikan dan didokumentasikan. Penulisan cerita rakyat adalah salah satu cara untuk mendokumentasikan cerita rakyat yang disampaikan secara lisan dari generasi ke generasi. Semoga cerita rakyat Tau Tudu ini bisa membawa kebaikan bagi generasi muda di Indonesia. Saya menyadari bahwa cerita rakyat Tau Tudu ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saya menerima dan mengucapkan terima kasih apabila ada kritik dan saran yang membangun dalam penyempurnaan cerita rakyat Tau Tudu ini.

    Palu, April 2016Dian R. Pranawengtyas

  • vii

    DAFTAR ISI

    Kata Pengantar ...................................................... iiiSekapur Sirih ......................................................... vDaftar isi ............................................................... viiTau Tudu ................................................................ 1Biodata Penulis ...................................................... 49Biodata Penyunting ................................................ 51Biodata Ilustrator .................................................. 52

  • 1

    TAU TUDU(ORANG KAYANGAN)

    Di sebuah desa yang indah, hiduplah sebuah keluarga yang memiliki beberapa anak perempuan. Mereka hidup berbahagia, hingga tiba masanya, anak-anak perempuan mereka beranjak dewasa. Setelah dewasa, mereka pun menikah dengan pemuda yang melamarnya. Hingga, tinggallah satu orang anak perempuan yang belum menikah di keluarga tersebut.

    Si anak gadis itu hidup dengan penuh kegembiraan. Kasih sayang dari orang tua dan kakak-kakaknya membuat dia tumbuh menjadi gadis yang periang, suka menolong, dan suka bekerja. Setiap hari dia membantu orang tuanya melakukan pekerjaan rumah. Pekerjaan rumah itu salah satunya adalah membersihkan halaman. Halaman rumahnya penuh dengan bermacam-macam tanaman. Ada tanaman buah yang tinggi, ada juga tanaman obat yang merambat. Tanaman buah yang ditanam di halaman adalah buah rambutan, mangga, dan langsat. Tanaman buah itu memiliki daun yang rimbun. Daun yang berasal dari tanaman buah

  • 2

    inilah yang membuat halaman rumah menjadi kotor karena setiap hari daun-daun itu rontok. Apabila tidak dibersihkan, daun-daun yang rontok akan memenuhi halaman rumah dan membuat halaman rumah menjadi kotor. Untuk menjaga kebersihan, halaman harus dibersihkan dari daun-daun yang rontok itu.

    Pekerjaan membersihkan halaman tersebut dilakukannya dengan senang hati. Segala pekerjaan yang dilakukan dengan senang hati akan membuat pekerjaan seberat apapun menjadi ringan. Ketika fajar mulai menampakkan dirinya, sang gadis sudah memegang sapu dan mulai membersihkan halaman rumah. Dia berdendang dengan riang sehingga tak dirasa halaman rumah yang luas tadi selesai dibersihkan.

    Setelah selesai membersihkan halaman rumah, si anak gadis kemudian membantu ibunya di dapur. Mereka berdua menyiapkan makanan untuk hari itu. Setelah menghabiskan sarapan bersama, sang ayah pun pergi ke sawah untuk melihat tanaman padinya.

    Padi yang ditanam oleh sang ayah mengandalkan pada turunnya air hujan. Saat itu adalah musim penghujan. Sebelum waktu panen, sang ayah sering menyiangi rumput yang tumbuh di sela-sela padi. Tak

  • 3

  • 4

    jarang si anak gadis juga turut membantu sang ayah untuk menyiangi rumput di sawah. Sang ayah melihat kondisi padi yang mulai menguning. Bulir-bulir padi tampak bulat dan siap untuk dipanen.

    Ketika sore menjelang, sang ayah pun kembali ke rumah. Hari itu tidak seperti biasanya. Setelah pulang ke rumah, biasanya sang ayah memilih untuk beristirahat. Hari itu, dia memanggil istrinya dan si anak gadis yang sedang menenun baju.

    Setelah mereka bertiga berkumpul di ruang tengah, sang ayah pun berbicara.

    “Nak, hari ini Ayah bertemu dengan Pak Dani dari desa sebelah. Dia mengutarakan niatnya untuk melamarmu untuk dijadikan menantunya. Dia mempunyai anak laki-laki yang seumur denganmu. Apakah kamu mau menerima lamarannya?”

    Sang gadis terdiam mendengar ucapan sang ayah. Wajah ayunya tampak tegang. Melihat kegelisahan sang anak gadis, si ibu pun menengahi.

    “Ayolah, Nak. Ibu berharap kamu menerima pinangan dari Pak Dani. Kakak-kakakmu sudah menikah. Tinggal giliran kamu sekarang.”

  • 5

    “Apakah Ibu tidak menyayangiku lagi? Kalau aku menikah, siapa lagi yang akan membantu Ayah Ibu di rumah?” kata sang gadis. Air mata terlihat menggenang di sudut matanya.

    Melihat kesedihan si anak gadis, sang ibu pun tidak tega. Dia mendekati si anak gadis. Dipegangnya tangan lembut anak tercintanya.

    “Nak, bukan berarti kami tidak sayang kepadamu. Setiap anak yang sudah cukup umur sepertimu harus segera menikah. Menikah adalah sebuah tanggung jawab. Kau akan bekerja sama dengan suamimu dan membesarkan anak-anak yang lahir sebagaimana ibu dan ayah membesarkanmu.”

    Si anak gadis terdiam. Matanya berkaca-kaca. Setelah beberapa waktu, sang ayah pun berkata.

    “Benar apa yang dikatakan ibumu itu, Nak. Generasi harus berganti. Kamu juga harus menikah. Baiklah, Ayah akan memberikan waktu dua hari untuk mendengarkan jawabanmu.” Pertemuan keluarga pun diakhiri.

    Hari berganti dan dua hari yang dijanjikan sang ayah pun datang. Sang ayah menanyakan kepada sang anak gadis dan ternyata anak gadis itu menjawab,

  • 6

    “Maafkan saya, Ayah, saya belum bisa menerima pinangan itu.”

    Sang ayah pun menghela napas. Ia menganggap bahwa hal itu masih wajar. Mungkin, sang anak gadis tidak menyukai sang pemuda yang melamarnya. Sang ayah masih berpikir bahwa siapa tahu suatu saat akan datang pemuda yang diinginkannya.

    Hari berganti minggu dan minggu pun berganti bulan. Pinangan demi pinangan datang kepada ayah si anak gadis. Ketika ditanyakan kepada si anak gadis, jawabannya mengecewakan sang ayah. Si anak gadis selalu menolak pinangan yang datang. Melihat hal itu, sang ayah merasa prihatin dengan masa depan anak gadisnya.

    Sekali lagi, sang ayah kemudian memanggil sang gadis untuk diajak berbicara mengenai masa depannya.Mereka duduk bersama di rumah.

    “Anakku, sudah berkali-kali pinangan datang kepadamu. Ayah heran, apakah tidak ada satu pun pemuda yang melamarmu itu cocok di hatimu? Kapan kamu akan menikah? Apakah kamu tidak ingat pesan Ibumu dulu?“

  • 7

    Mendengar pertanyaan sang ayah, sang gadis pun menjawab dengan sopan.

    “Maaf, Ayah. Bukannya saya tidak mengingat pesan Ibu. Bukan juga saya mengabaikan perasaan Ayah. Saya sadar bahwa setiap orang dewasa harus menikah.”

  • 8

    Dia menghentikan perkataannya dan menghela napas sesaat. Suasana sore itu menjadi hening. Hanya suara burung pipit bersahut-sahutan di atas pohon rambutan. Mereka seakan-akan tidak mengerti kegundahan yang dirasakan oleh ayah dan anak gadisnya.

    “Lalu, apa yang sebenarnya kauinginkan?” Sang ayah bertanya. Si anak gadis pun menjawab dengan sopan.

    “Ayah, saya pasti menikah, tetapi dengan satu syarat.”

    “Syarat apakah yang kauajukan? Jumlah mahar? Seharusnya kaubilang memang dari kemarin-kemarin supaya mereka yang datang melamar bisa menyiapkan mahar yang kauinginkan.”

    Sang anak gadis menggeleng mendengar hal itu. “Bukan, Ayah. Mahar itu hal duniawi semata.

    Semua bisa hilang dan tak berbekas.”“Lalu, apa yang sebenarnya kauinginkan?”“Saya tidak mengapa menikah dengan seorang

    pemuda sederhana, Ayah; tidak perlu tampan; yang penting dia bisa bekerja dan mencintai saya.” Si gadis memberikan penjelasannya.

  • 9

    “Kalau hanya syarat seperti itu, bukankah banyak yang datang melamar kemarin adalah pemuda sederhana? Pemuda pekerja keras? Kenapa kamu tidak memilih salah satu di antara mereka?”

    “Ayah, banyak pemuda sederhana yang datang melamar saya. Bahkan, ada juga pemuda tampan dan rajin bekerja serta mencintai saya. Namun, mereka tidak memenuhi persyaratan saya yang utama.”

    “Apakah persyaratan utamamu itu?”“Saya akan menikah dengan pemuda yang turun

    dari langit, Ayah.” Mendengar jawaban anak gadisnya, sang ayah

    pun terhenyak. Tidak ada yang dapat dilakukan selain mengelus dada. Bagaimana nasib anak gadisnya nanti? Jangan-jangan si anak gadis ini tidak akan menikah seumur hidup? Kekhawatiran sang ayah hanya disimpan di dalam hatinya saja. Setiap ucapan orang tua kepada sang anak adalah doa. Segala yang baik akan menjadi nyata, sementara hal yang buruk yang diucapkan orang tua juga akan menjadi kenyataan. Sang ayah tidak mau anaknya menderita karena ucapannya, maka ia pun hanya menyimpan kekhawatirannya di dalam hati saja.

  • 10

    Melihat sang anak hanya menunduk setelah mengutarakan keinginannya, sang ayah kembali menghela napas. Ia menepuk pundak sang anak dan berkata, “Baiklah, Anakku. Kalau memang itu telah menjadi kemauanmu. Semoga apa yang kauinginkan menjadi nyata!”

    Meskipun khawatir, sang ayah pun hanya bisa mendoakan anak gadisnya akan menemukan pemuda yang diidam-idamkan.

    Hari berganti dan sang ayah pun sudah melupakan ucapan anaknya. Si anak gadis pun kembali melakukan aktivitasnya sehari-hari. Dia memulai harinya seperti biasa. Dia bangun pada saat fajar terbit, membersihkan halaman rumah, memasak, dan membantu pekerjaan ayah ibunya. Tak lupa pula, dia membersihkan diri untuk mandi sekaligus mencuci baju yang telah dipakai.

    Pada zaman dulu, kegiatan mandi dan mencuci dilakukan di sungai karena air sungai masih bersih. Setiap desa pasti memiliki setidaknya satu sungai yang mengalir. Air yang mengalir di sungai berasal dari pegunungan. Karena jumlah penduduk di sekitar sungai pada zaman dahulu masih sedikit, air sungai tentu masih bersih dan bisa digunakan untuk keperluan sehari-hari.

  • 11

  • 12

    Penduduk desa menggunakan sungai untuk keperluan sehari-hari, termasuk mandi dan mencuci.Penduduk desa yang pergi ke sungai untuk melakukan kegiatan mandi dan mencuci memilih waktu yang hampir bersamaan. Mereka akan pergi sebelum tengah hari atau sore hari sebelum matahari tenggelam. Apabila mereka pergi pada pagi hari, air di sungai masih terlalu dingin. Jika mereka pergi ke sungai pada saat matahari tepat di atas kepala sama saja dengan membuat kulit terbakar. Apabila ada warga yang pergi pada waktu malam hari, itu sama saja dengan menguji nyali mereka. Dengan tidak ada penerangan yang memadai, pergi ke sungai pada malam hari sangat berbahaya dilakukan. Warga bisa terpeleset dan jatuh ke sungai atau bahaya lainnya seperti adanya binatang buas yang datang untuk mencari makan. Hanya warga yang memiliki kemampuan khusus untuk membela diri yang berani berhadapan dengan binatang buas tersebut.

    Suatu hari seperti biasa, si gadis pergi ke sungai. Dia pergi dengan berbalut kain. Dia datang dengan membawa keranjang pakaian.

  • 13

    Setibanya di sungai, si gadis bertemu dengan teman-temannya. Mereka bercanda-canda di tepi sungai.

    “Hei, gadis, bagaimana kabarmu?” tanya si Rin, teman si gadis.

    “Baik. Kamu sendiri bagaimana? Katanya kamu sudah dilamar?”

    “Hahaha, ah, kamu bisa saja. Tapi masih sebatas ucapan saja. Acara lamaran mungkin akan dilakukan minggu depan.”

    “Terus, gadis, kamu sendiri bagaimana? Kok, kudengar kamu menolak lamaran lagi?”

    “Ah, iya. Belum cocok,” jawab si gadis singkat.“Jangan begitulah! Kudengar sudah ada dua belas

    pemuda yang melamarmu. Masa di antara keduabelas itu tidak ada yang cocok di hatimu?”

    “Memang begitu, Rin. Hati ini belum bisa menerima. Aku tidak bisa memungkiri isi hatiku.”

    “Yah. Baiklah. Aku cuma kasihan melihatmu. Jangan sampai kamu menyesal telah menolak pemuda yang mungkin bisa jadi suami yang baik untukmu.”

    “Iya, Rin. Terima kasih! Semoga pemuda yang ketigabelas akan melamarku dan menjadi jodohku!”

  • 14

    Mereka kemudian melanjutkan perbincangan sehingga tak terasa waktu berlalu. Matahari sudah mulai memancarkan cahaya yang panas. Para perempuan pun berkemas meninggalkan sungai untuk kembali ke rumah mereka masing-masing. Dengan berbalut kain, mereka berjalan beriringan menuju ke rumah, hingga tinggallah si gadis berjalan sendiri menuju rumahnya yang sudah tidak terlalu jauh. Dia berjalan dengan bersenandung sehingga dia tidak memperhatikan ada seseorang yang memperhatikan dari jauh.

    “Permisi, Nona!”Suara itu begitu lembut, tetapi bernada tegas.

    Suara itu datang dari arah belakang sang gadis. Hal itu membuatnya terlonjak kaget karena dia tidak menyangka ada orang yang datang menyapanya.

    Sang gadis pun menengok ke belakang dan melihat si pemilik suara. Suara itu berasal dari seorang pemuda yang berkulit bersih. Tidak terlalu hitam, tidak juga terlalu putih. Hidungnya mancung dan senyumnya sangat manis. Rambutnya hitam dan matanya begitu lembut.

    Sang gadis sempat terpana. Dia sempat tidak bisa menguasai dirinya karena mengagumi pemuda yang

  • 15

  • 16

    menyapanya. Namun, ketika melihat pakaian yang dikenakan sang pemuda, dia pun tersadar. Pakaian yang dikenakan oleh sang pemuda bukanlah pakaian yang dikenakan oleh penduduk desa tempat tinggalnya. Bahkan, si gadis yakin bahwa di desa sekitar juga tidak ada yang memiliki baju seperti yang dikenakan pemuda tersebut.

    “Permisi, Nona. Boleh saya bertanya?”Mendengar suara sang pemuda, si gadis tersadar

    dari lamunannya. Karena terkejut, dia pun menjawab sang pemuda dengan terbata-bata.

    “Eh. Apa? Eh, maaf, maafkan saya.” “Sepertinya, Nona terkejut. Maafkan saya karena

    tiba-tiba memanggilmu. Saya hanya ingin menanyakan sesuatu hal kepada nona.”

    Mendengar suara permintaan maaf membuat si gadis semakin tersipu malu. Ia merasa malu karena terpesona akan ketampanan sang pemuda sehingga lupa diri. Seketika, ia teringat akan keadaan dirinya yang hanya berbalut kain selendang. Akan sangat memalukan apabila dia terus berbincang sementara dia mengenakan pakaian yang tidak pantas.

  • 17

    Di sisi lain, belum mengetahui niatan si pemuda ini. Si gadis pun menjawab dengan sopan.

    “Tidak mengapa, Tuan. Akan tetapi, jika boleh, marilah kita singgah berbincang di rumahku saja. Sangat tidak sopan bagi perempuan yang baru pulang dari sungai untuk berbincang di jalanan seperti ini.”

    “Ah, maafkan atas kelancangan saya. Baiklah, di mana rumah Nona? Marilah kita ke sana untuk berbincang di sana saja!”

    “Baik. Rumah saya tidak jauh dari sini. Silakan Tuan berjalan terlebih dulu! Jika sudah sampai di depan rumah, saya akan berikan tanda supaya Tuan langsung masuk ke halaman rumah.”

    “Baiklah.”Pemuda dan sang gadis pun berjalan beriringan.

    Sang pemuda berjalan di depan sang gadis. Setibanya di depan halaman rumah sang gadis, dia memanggil sang pemuda dan berkata bahwa mereka sudah sampai.

    Ketika pemuda mengucapkan salam, sang gadis memilih untuk masuk dari pintu belakang. Dia segera menaruh cucian dan memakai baju yang pantas untuk dikenakan. Sementara sang gadis memilih baju, pemuda itu sudah dipersilakan masuk ke rumah.

  • 18

    Ayah sang gadis kemudian menemuinya. Entah mengapa pada hari itu sang ayah memilih untuk pulang lebih cepat dari sawah. Tidak lama setelah sang ayah tiba di rumah terdengar suara sang pemuda memberi salam.

    Dengan heran, sang ayah menjawab salam dan membukakan pintu rumah. Sempat terbersit rasa terkejut, ketika sang ayah melihat sang pemuda. Tidak pernah dia melihat pemuda setampan tamunya tersebut. Selain tampan, terdapat pula aura yang terasa mistis yang terpancar dari sang pemuda. Sang ayah merasa ada sesuatu yang lain dengan sang pemuda. Meskipun demikian, sesuatu yang lain itu bukan sesuatu yang jahat. Sang ayah merasa ada sesuatu yang baik di dalam pemuda itu.

    Akhirnya, ketika sudah dipersilakan untuk masuk, sang pemuda pun masuk dan duduk bersama sang ayah di ruang tamu. Sang ayah pun membuka perbincangan.

    “Maaf, Anak Muda. Saya belum pernah melihat Ananda. Apakah engkau ini datang dari jauh?” tanya sang ayah. keheningan sejenak menyergap mereka sebelum si pemuda berkata.

  • 19

    “Iya, Bapak. Saya memang tidak berasal dari sekitar desa ini. Saya datang dari desa yang berada di balik gunung,” begitu jawab sang pemuda dengan sopan. Sang ayah melihat ada itikad baik di balik kesopanan tersebut. Sangat jarang dia temui pemuda yang berbicara dengan nada yang halus.

    “Lalu, apa yang membuat Ananda singgah ke gubuk saya ini?” Sang ayah menanyakan niat sang pemuda. Dia bertanya dengan menatap mata sang pemuda baik-baik. Mata adalah jendela hati. Segala kebaikan dan kebohongan bisa terlihat dari sorotan mata seseorang. Lidah bisa berbohong. Kata manis bisa diluncurkan dengan membohongi hati. Namun, kebohongan itu akan tampak pada sinar mata.

    Sang ayah kembali menatap mata sang pemuda. Sang pemuda pun membalas sekilas tatapan mata tuan rumah yang duduk di hadapannya. Tidaklah sopan bagi seseorang yang lebih muda usianya untuk menatap mata orang yang lebih tua. Pada masa itu, menatap mata orang yang lebih tua bisa diartikan hal yang tidak baik. Sang pemuda bisa diartikan ingin menantang atau menjajal kemampuan yang dimiliki oleh tuan rumah.

  • 20

    “Ah, Bapak. Ini bukan gubuk. Rumah Bapak ini asri. Menurut saya rumah ini serupa istana yang dihiasi dengan pepohonan yang rindang. Saya sangat senang dengan suasana ini.”

    Segera setelah menjawab pertanyaan sang ayah, pemuda itu menundukkan pandangannya. Setelah mendengar jawaban sang pemuda yang tulus dan melihat tatapan matanya yang jujur, sang ayah melihat bahwa si pemuda itu tidak berbohong. Meskipun ada sesuatu yang lain dalam diri sang pemuda, si ayah yakin bahwa si pemuda ini tidak akan berniat jahat. Si pemuda juga tidak memiliki niatan untuk mengambil keuntungan semata. Menilai dari tatapan mata dan sikap sang pemuda, sang ayah tidak khawatir akan terjadi hal yang buruk pada anak gadisnya.

    Sang gadis pun sudah selesai berpakaian dan dia pun ikut bergabung bersama ayah dan sang pemuda di ruang tamu. Si pemuda melirik ke arah sang gadis yang duduk di sebelah sang ayah, sebelum dia kemudian melanjutkan pembicaraannya dengan sang ayah.

    “Begini, Bapak. Tadi saya berjalan di sekitar desa ini. Dalam perjalanan, saya bertemu dengan nona ini.” si pemuda menghela nafas.

  • 21

    “Saya yang salah karena telah menegurnya dengan tiba-tiba, sementara dia masih dalam perjalanan dari sungai. Untuk menjaga kesopanan, dia mengajak saya untuk singgah di rumah. Saya pun memilih untuk singgah dan mengutarakan niat saya.”

    Sang ayah yang masih kebingungan melirik ke arah sang gadis. Sang ayah mencoba mencari jawaban darinya. Namun, sang gadis hanya tertunduk diam membisu. Sang ayah pun kembali bertanya kepada tamunya.

    “Ehm. Niat yang mana ini?” Sang ayah masih mencoba mencari jawaban yang pasti. Sebenarnya, selaku orang tua dan orang yang sudah makan asam garam kehidupan, sang ayah sudah bisa menerka niatan sang pemuda. Meskipun demikian, sang ayah ingin mengetahuinya langsung dari mulut sang pemuda.

    “Maaf, Pak, saya ingin bertanya lagi. Benarkah Nona ini anak Bapak?” Sang pemuda kembali bertanya dengan nada yang sopan. Seakan-akan ada keraguan dalam hatinya.

    “Ah, iya. Dia anak saya yang bungsu. Dia masih tinggal serumah dengan kami karena hanya dialah yang belum menikah. “

  • 22

    Sang ayah menjelaskan kondisi anak bungsunya pada sang pemuda. Anak bungsunya yang selama ini turut selalu pada perintah sang ayah dan sang ibu, kecuali satu hal. Satu hal yang menyangkut masa depannya dan membuat sang ayah sebenarnya ingin marah kepada putrinya itu. Namun, sang ayah menghormati pilihan putrinya. Sang ayah hanya bisa terdiam dan berdoa supaya putrinya dapat segera menikah denga pemuda baik-baik yang datang melamar. Sang ayah berharap, pemuda inilah yang akan menjawab segala doa yang ada.

    “Kalau begitu, tidak salah lagi saya utarakan niat saya kepada Bapak.” Suaranya sang pemuda terdengar tegas, tetapi disampaikan dengan nada lembut. Hati sang ayah pun berdebar.

    “Semoga pemuda ini yang akan menjawab doa-doaku, ya, Tuhan.” Begitu kata sang ayah dalam hati. Lalu dengan mengatur nada suaranya, sang ayah sekali lagi bertanya pada sang pemuda.

    “Niat yang bagaimana?” tanya sang ayah sekali lagi.

    “Saya ingin melamar anak Bapak ini sebagai istri saya.”

  • 23

    Seketika suasana sekitar berubah hening setelah si pemuda mengutarakan niatnya. Meskipun di dalam hatinya merasa senang, sang ayah terkejut melihat keberanian seorang pemuda asing yang ingin meminang putrinya. Meskipun muncul ada keragu-raguan akan asal-usul sang pemuda, sang ayah mengucap syukur bahwa doa-doanya akhirnya dikabulkan.

    “Terima kasih, ya, Tuhan. Semoga kali ini, anakku tidak menolak pinangan sang pemuda ini.” Begitu ucap syukur sang ayah dalam hatinya.

    Di sisi lain, sang gadis tidak menyangka bahwa pemuda yang baru ditemuinya hari ini, tiba-tiba datang untuk melamarnya. Ada rasa senang, tetapi terbersit juga rasa waswas karena sang gadis belum mengenal sang pemuda ini dengan baik.

    Sejenak, suasana ruang tamu menjadi hening. Tiap-tiap orang larut dalam pikirannya. Sang pemuda menanti jawaban dari sang ayah. Sang gadis masih berpikir mengenai jawaban apa yang akan diberikan apabila sang ayah menanyakan mengenai pinangan pemuda yang barusan itu kepada sang gadis. Sementara itu, sang ayah juga masih cemas menantikan jawaban yang diberikan putrinya.

  • 24

    Suasana yang hening ini tidak boleh berlangsung terlalu lama. Akan tidak sopan kalau kami hanya berdiam-diam seperti ini, begitu pikir sang ayah dalam hati.

    “Ehm.” Suara sang ayah berdehem memecahkan keheningan di antara mereka. Dia mencoba menenangkan diri sebelum menjawab niat sang pemuda. Sebelum dia menanyakan jawaban dari putrinya, sang ayah juga harus meyakinkan niat sang pemuda. Jangan sampai sang pemuda hanya berkelakar saja. Maka, sang ayah pun kembali bertanya kepada sang pemuda.

    “Jadi, Ananda ini ingin meminang anak saya?”Pertanyaan sang ayah yang tegas itu tidak

    membuat nyali sang pemuda menjadi ciut. Meskipun dengan suara yang lembut, dia kembali menegaskan niat yang dia tanyakan di awal tadi.

    “Iya, Bapak,” jawab si pemuda itu tegas.Sang ayah menghela napas yang panjang seakan-

    akan ada beban berat yang terlepas dari bahunya. Dia sudah yakin akan niat baik sang pemuda.

    “Sekali lagi terima kasih, Tuhan. Semoga dia tidak menolak pinangan kali ini.”

  • 25

    Begitu kata sang ayah dalam hati. Dia kembali menata dirinya dan berkata kepada sang pemuda.

    “Sebelum saya menjawab pertanyaan Ananda, biarkan saya bertanya pada anak saya supaya Ananda dengar sendiri apa yang diinginkan anak saya ini.”

    Sang ayah pun menoleh kepada sang gadis yang duduk di sebelah sang ayah. Dia pun bertanya, “Nah, Anakku, kamu sudah mendengar niatan tamu kita hari ini. Apakah kamu bersedia dilamar oleh pemuda ini? Jawablah segera.”

    Si gadis hanya bisa terdiam. Ada rasa yang bergelora di dalam hatinya. Sedari tadi sang gadis mencuri pandang setiap sang pemuda berbicara. Sang gadis terkesima dengan tutur katanya yang lembut. Kadang tegas, tetapi tetap dengan suara yang lembut. Sang gadis terkesima dengan gaya bicara sang pemuda. Bukan hanya gaya bicara, wajah sang pemuda yang bercahaya juga sudah membuat hati sang gadis tertawan. Sorot matanya yang teduh membuat sang gadis ingin sekali mengenalnya lebih dekat.

    “Jawablah sesuai dengan isi hatimu! Apa pun jawabanmu itu, pastilah tamu kita ini bisa menerimanya.

  • 26

    Suara sang ayah membuyarkan lamunan hati sang gadis. Dia pun mendengarkan apa yang dikatakan sang ayah. Sang ayah yang melihat sang putri yang terkejut mendengar suaranya, memutuskan untuk diam sejenak. Ketika dia melihat putrinya sudah dalam keadaan tenang, sang ayah pun meneruskan pembicaraannya.

    “Orang tua hanya mengikuti keinginan sang anak dalam menerima pinangan karena sang anaklah yang akan menjalani kehidupan bersama orang yang meminangnya. Apabila kamu bahagia, ayah juga ikut bahagia. Apabila kamu sedih, ayah akan lebih sedih lagi.”

    Sang ayah mengambil napas sejenak, sebelum melanjutkan perkataannya.

    “Seharusnya ayah memberimu waktu untuk menjawab. Akan tetapi, sepertinya tamu kita ini tidak punya cukup waktu untuk menanti jawabanmu. Jadi, jawablah saja sejujurnya!”

    Suasana kembali menjadi hening. Sang gadis kembali ke dalam lamunannya. Sekarang, ada pertentangan batin di dalam dirinya. Dia merasa bahwa sang pemuda merupakan calon pendamping hidupnya yang tepat.

  • 27

    Tingkah laku dan tutur kata yang santun telah menawan hatinya. Kebanyakan pemuda yang telah datang melamarnya bersifat sombong. Merasa memiliki kelebihan, pemuda-pemuda itu tidak menunjukkan sikap yang sesuai. Jika pun ada pemuda yang sopan, sang gadis tahu itu semua hanya kepura-puraan. Kata-kata memang sopan, tetapi tingkah laku tidak. Ada pula sang pemuda yang hanya suka bersendau gurau, tidak memiliki adab berbicara kepada orang yang lebih tua, apalagi kepada teman sebayanya. Sang gadis tidak mau menjalani hidup dengan pemuda yang tidak memiliki sopan santun dalam kehidupan. Sang gadis tidak mau menjalani kehidupan dengan bersendau gurau secara berlebihan. Sang gadis juga tidak mau hidup tanpa ada aturan dalam berkeluarga. Yang diinginkannya adalah pemuda yang sopan, mengerti aturan, dan juga mengerti keinginan istrinya kelak. Segala perselisihan yang mungkin terjadi bisa diselesaikan dengan baik. Semua kesulitan juga bisa dicarikan jalan keluarnya.

    “Saya akan menerima apa pun keputusan Nona. Saya memang ingin jawaban Nona segera.” Si pemuda ikut urun bicara, tetapi si gadis masih tetap terdiam.

  • 28

    Mengetahui kegalauan yang dialami oleh anaknya, sang ayah kemudian mengambil inisiatif.

    “Maaf, Ananda. Sepertinya anak saya masih kebingungan. Mungkin lebih baik Ananda langsung datang bersama orang tua untuk datang melamar secara baik-baik. Siapa tahu saat Ananda datang bersama orang tua, anak saya sudah memiliki jawaban yang kita inginkan bersama.”

    “Baiklah kalau begitu, Bapak. Izinkan saya pamit untuk mengajak orang tua saya datang melamar secara resmi.” Si pemuda pun berdiri dan berpamitan kepada sang ayah dan juga sang gadis yang hanya bisa membisu melihat si pemuda pergi dari rumahnya.

    Sang ayah sebenarnya meragukan kebenaran niat pemuda yang datang ke rumahnya. Jangan sampai sang pemuda hanya bercanda dan tidak serius sehingga akan membawa kekecewaan anak gadisnya. Oleh karena itu, sang ayah meminta sang pemuda untuk membawa orang tuanya datang dengan tujuan melihat keseriusan sang pemuda. Apabila pemuda itu datang lagi, dia memang serius akan melamar anak gadisnya. Sang ayah yakin, bahwa kali ini anak gadisnya tidak menolak apabila memang si pemuda datang lagi.

  • 29

    Hari berganti dan sang pemuda pun kembali ke rumah sang gadis. Tak berapa lama setelah kepulangan si pemuda, tibalah kembali dia di rumah orang tua si gadis beserta orang tuanya. Meskipun tidak diungkapkan, sang gadis tidak menolak lamaran kali ini. Dia memilih diam dan menyerahkan urusan lamaran kepada orang tuanya.

    Kedua belah pihak duduk saling berhadapan. Adalah seorang laki-laki paruh baya yang mewakili pihak keluarga calon mempelai laki-laki. Laki-laki berwibawa ini bersila di depan dan membawa wadah besar. Wadah ini serupa dulang dengan kaki dan berwarna emas. Di dalam wadah tersebut terdapat beberapa benda. Lelaki ini bersila di depan rombongan calon pengantin laki-laki. Dia duduk bersila menghadap tuan rumah. Setelah selesai mengambil tempat, laki-laki ini pun memulai perbincangannya.

    “Bapak dan Ibu sekalian, kami yang datang di sini ingin meminang anak Ibu.”

    “Kami membawa pongo, syarat peminangan.” “Seperti yang telah diketahui bersama, ada unsur-

    unsur dalam kehidupan yang ada di dalam peminangan.”

  • 30

    “Sekarang kami membawa perangkat peminangan tersebut. Di dalamnya terdapat gambir, pinang, buah sirih, dan tembakau.”

    Laki-laki itu kemudian mengangkat sesuatu dari wadah yang berwarna merah. Dia pun berkata, “Ini adalah gambir. Warnanya merah. Gambir yang berwarna merah ini melambangkan darah yang ada di tubuh manusia.“

    Setelah menerangkan gambir, lelaki itu kemudian mengangkat buah pinang dan berkata, “Yang ini adalah pinang. Pinang ini dagingnya berwarna putih. Di dalam tubuh manusia, ada dua macam unsur tubuh yang berwarna putih. Dua unsur tubuh itu adalah tulang dan darah putih.” Setelah pinang diletakkan di wadahnya, lelaki itu pun kembali mengangkat benda kehijauan.

    “Ini adalah buah sirih. Buah ini melambangkan napas atau nyawa. Manusia tanpa napas ibarat batu. Dia hanya diam, tidak bisa bergerak ataupun berkegiatan yang lain. Padahal, kita semua tahu bahwa hakikat kehidupan manusia di bumi ini adalah untuk berkegiatan. Berkegiatan juga bukan sembarang berkegiatan. Manusia harus dapat memberikan manfaat kepada alam dan juga manusia lain dengan kegiatannya tersebut.”

  • 31

    “Sebisa mungkin, manusia harus menghindari kegiatan yang hanya akan membawa kecelakaan bagi alam sekitarnya.”

    Laki-laki itu menarik napas panjang. Diletakkannya buah sirih di tempatnya. Sembari mengambil napas, digerakkannya badannya sejenak untuk melepaskan rasa kaku yang mulai menjalar tubuhnya akibat duduk bersila terlalu lama.

    Tak lama kemudian, diambilnya bungkusan keempat. Bungkusan ini serupa rambut. Warnanya hitam, tetapi ada sedikit bau harum yang menguar dari gumpalan tersebut.

    “Ini adalah tembakau.” Sambil tetap memegang gumpalan tembakau, dia meneruskan berbicara. “Tembakau ini melambangkan rambut. Setiap ciptaan Allah adalah indah. Tidak ada sesuatu yang diciptakan-Nya itu sia-sia.”

    Hadirin pun mengangguk-anggukan kepala tanda setuju. Semua di dunia ini tercipta karena ada tujuannya. Tuhan tidak menciptakan sesuatu tanpa ada tujuannya untuk berada di dunia. Seakan ingin melengkapi pemikiran hadirin, laki-laki berwibawa itu meneruskan perkataannya.

  • 32

    “Karena semua ciptaan Allah itu indah, dalam penciptaan manusia dilengkapi dengan rambut. Rambut yang ada di atas kepala diciptakan hitam mengurai indah. Kaum laki-laki atau perempuan sama-sama menikmati keindahan rambut.”

    “Tiap-tiap kita memiliki rambut hitam yang membuat kita memiliki persamaan. Meskipun demikian, belum tentu persamaan fisik tersebut mencerminkan persamaan pemikiran. Rambut sama hitam hati masing-masing.”

    Hadirin sedikit tersenyum mendengar ucapan laki-laki yang ada di depan itu. Sedikit candaan akan menghidupkan suasana.

    “Baiklah, Bapak dan Ibu, hadirin yang ada dalam pelamaran ini, cukuplah saya menunjukkan empat benda yang menjadi simbol kehidupan manusia tadi. Bolehlah saya sekali lagi menyimpulkan keempat simbol yang melambangkan keutuhan manusia itu.”

    “Gambir melambangkan darah. Pinang melambangkan tulang dan darah putih. Buah sirih melambangkan napas. Tembakau melambangkan rambut.”

  • 33

    “Darah merupakan awal terbentuknya manusia. Manusia berawal dari segumpal darah di rahim ibunya. Setelah beberapa saat, darah itu kemudian terselimuti oleh tulang-belulang. Tulang pun diselimuti daging dan mulai dialiri oleh aliran darah merah dan darah putih. Gumpalan darah pun akhirnya terbentuk dan menjelma menjadi janin.”

    “Janin terbentuk menyerupai manusia. Namun, dia belum lengkap menjadi manusia. Tuhan pun meniupkan napas kepada sang janin.”

    “Janin itu kemudian bernapas. Dia siap melanjutkan pertumbuhannya menjadi bayi. Tuhan juga memberikan keindahan kepada sang bayi. Rambut pun dianugerahkan kepada sang bayi.”

    “Bayi ini kemudian akan tumbuh dan lahir sebagai manusia yang akan menjalani tugas di dunia.”

    “Nah, Bapak dan Ibu hadirin, apakah semuanya sudah lengkap.”

    “Lengkap!” Begitu jawab para hadirin kompak. Namun, lelaki paruh baya itu masih tersenyum. Senyum itu menandakan ada sesuatu yang belum lengkap.

    “Yakin?”“Ya,” jawab para hadirin.

  • 34

    “Coba Bapak dan Ibu perhatikan. Di wadah ini baru empat. Sebenarnya sudah utuh, tetapi ada satu penggenap.”

    Hadirin pun kebingungan. Mereka menganggap bahwa uraian laki-laki itu itu sudah cukup. Ada empat simbol manusia, sekaligus empat awal kejadian manusia. Mengapa dia mengatakan bahwa ada yang kurang? Salah satu hadirin kemudian menyeletuk, “Kurang banyak, Pak.”

    Celetukan itu ditanggapi dengan tawa seluruh hadirin. Laki-laki berwibawa itu pun tersenyum. Setelah suasana mereda, dia pun berkata, “Kami sudah membawa empat unsur yang melambangkan keutuhan manusia. Manusia yang utuh itu sudah ada dalam calon mempelai laki-laki yang sekarang saya bawa. Nah, sekarang saya bertanya selaku wakil keluarga mempelai laki-laki. Apakah Bapak dan Ibu bersedia menerima mempelai laki-laki ini ke dalam keluarga Bapak?”

    Tak berapa lama, pihak calon mempelai perempuan menjawab dengan serentak, “Tentu saja.”

    Senyuman kembali mengembang di bibir laki-laki berwibawa itu. Dia menata kembali keempat barang yang dia tunjukkan tadi ke dalam dulang. Setelah

  • 35

    semua benda ditata, benda berwarna kuning keemasan tersebut kemudian diletakkan di tengah, di antara rombongan calon mempelai perempuan dan mempelai laki-laki.

    “Bapak dan Ibu, keempat benda yang ada di dulang melambangkan keutuhan manusia. Benda ini kami bawa dalam rangka pinangan. Apabila pinangan ini diterima, mohon letakkan kapur sebagai simbolnya.”

    Pihak calon mempelai perempuan pun kebingungan. Mereka tidak mempunyai kapur sebagai simbol penerimaan tersebut. Mereka mulai berbisik satu dengan lain membuat suasana menjadi agak riuh.

    Seakan tahu kebingungan tuan rumah, si laki-laki berwibawa pun berkata, “Jangan khawatir, Bapak dan Ibu. Coba sekarang pergi ke dapur dan lihat di arah tungku perapian.”

    Setengah bertanya, para hadirin pun kembali berbisik. Demi menghormati pihak tamu, ibu si gadis pun berinisiatif untuk beranjak ke dapur.

    “Aneh. Ada-ada saja tamu itu. Seingatku, tidak ada kapur di tungku itu,” pikir ibu si gadis.Sang ibu berjalan ke dapur. Sesampainya di dapur, ia berjalan menuju tumpukan batu.

  • 36

    Sang ibu sempat tertegun. Tumpukan batu itu terlihat bersih, kecuali bagian tengahnya terdapat sisa pembakaran kayu. Sang ibu pun melihat-lihat di seputar tungku.

    “Hhmmm, memang tidak ada apa-apa di sini. Ah, aku harus ....” Belum selesai sang ibu memikirkan, tiba-tiba pandangan matanya menangkap bungkusan daun pisang di sudut tungku batunya. Alangkah terkejutnya sang ibu. Diambilnya bungkusan pisang itu. Dengan tangan bergetar karena terkejut, dibukanya bungkusan daun. Seperti dugaannya, terdapat sebongkah kapur di dalamnya. Kapur itu berwarna putih dan dengan bentuk seperti telah dirapikan oleh seseorang.

    “Bagaimana bisa ada kapur di sini? Aku tidak pernah menyimpan kapur di dapur. Jangan-jangan ....” Setengah takjub sang ibu memandangi bungkusan kapur tersebut. Tiba-tiba dia teringat pesan sang tamu. Dibungkusnya kembali kapur itu. Kemudian, dibawanyalah kembali ke ruang tempat tamunya menunggu. Sebelum sang ibu meninggalkan dapur, kembali dia melihat wadah dulang keemasan yang mirip dengan yang dibawa sang tamu, tergeletak persis di tengah pintu dapur.

  • 37

    Sesampainya di ruang pertemuan, sang ibu disambut dengan tatapan mata seluruh hadirin. Mereka seperti menunggu hal penting. Sang ibu kembali ke tempatnya dan sang laki-laki berwibawa pun menanyainya.

    “Ibu, adakah kapur di dapur?”Setelah duduk bersimpuh dengan baik, sang ibu

    pun menjawab, “Ya, Pak. Saya sudah membawa kapur itu.”

    “Baiklah, karena Ibu duduk jauh di belakang, mungkin para hadirin bisa membantu Ibu untuk menyerahkan benda itu supaya bisa sampai ke depan.”

    Sang ibu menyerahkan bungkusan kapur dan wadah berupa dulang keemasan kepada perempuan yang duduk di depannya. Perempuan itu kemudian menyerahkan bungkusan kapur ke tamu yang duduk di depannya. Demikian seterusnya sehingga akhirnya kedua benda itu tiba di barisan depan.

    Mengetahui kapur yang dibutuhkan sudah ada di barisan depan, sang laki-laki berwibawa berkata,

  • 38

    “Baiklah. Saya mohon perwakilan dari pihak calon mempelai perempuan untuk membawa kapur itu dan meletakkannya di depan.” Ia menunjuk ke arah wadah keemasan yang berisi empat benda tadi.

    Ayah sang gadis kemudian menjawab permohonan sang laki-laki berwibawa. Diletakkannya kapur di wadah yang ada keempat benda tadi.

    Sang laki-laki berwibawa tersenyum. Semua berjalan seperti yang sudah digariskan. Dia pun berkata, “Terima kasih, Bapak. Tanda bahwa pinangan diterima adalah kapur yang diletakkan dalam wadah yang sama. Peletakan atau pencampuran kapur dianggap sebagai kuasa Allah yang menggerakkan hati manusia untuk bersatu.”

    “Sebelumnya, kami meminta maaf karena merepotkan tuan rumah mencari kapur sebagai tanda penerimaan. Semua itu ada simbolnya.”

    “Saya yakin calon mempelai perempuan dan calon mempelai laki-laki ini menjalin pertemanan dengan baik. Mereka bertemu dengan baik-baik, berteman dengan baik-baik, dan bergaul dengan baik-baik. Semua pertemuan dilakukan sesuai dengan adat yang ada.”

  • 39

    “Bapak dan Ibu, terkadang anak muda mudah dibuai ajakan yang sesat, ajakan yang membawa kehancuran. Ajakan seperti itu sudah ada semenjak manusia pertama diciptakan. Semua itu dilakukan supaya manusia terjerumus ke dalam siksaan dunia dan alam sesudahnya.”

    “Anak muda senang bergaul. Apabila mereka saling jatuh cinta, semua menjadi indah. Namun, tak jarang mereka melupakan adab-adab pergaulan. Mereka melewati batas dan menimbulkan aib. Siapa yang paling dirugikan?”

    Tidak ada hadirin yang berani menjawab pertanyaan laki-laki berwibawa itu. Hanya suara bisikan yang terdengar. Laki-laki itu kemudian meneruskan perkataannya.

    “Ya, seperti Bapak dan Ibu ketahui, yang paling dirugikan adalah pihak perempuan. Dia akan dianggap perempuan yang cacat di mata masyarakat. Memang tidak adil, sama-sama berbuat, tetapi pihak perempuan selalu disalahkan. “Hal itu dikarenakan pihak perempuan memiliki peran penting dalam keluarga. Perempuan sebagai ibu yang pertama kali menddik anak. Setelah itu baru sang ayah yang mendidik anak.”

  • 40

    Hadirin kembali tersenyum mendengar perkataan si laki-laki berwibawa. Segala ucapannya selalu menyimpan makna yang hanya bisa dimengerti oleh orang-orang tertentu.

    “Laki-laki akan menjadi ayah dalam keluarga yang dijalaninya. Laki-laki bertanggung jawab dalam kehidupan keluarganya. Bentuk tanggung jawab laki-laki adalah dengan menafkahi, mendidik, dan menyayangi istri dan anaknya. Sebelum membentuk keluarga, seorang laki-laki bertanggung jawab melakukan peminangan. Nah, dia akan membawa perlengkapan meminang.”

    “Apabila dibawa sekalian dengan kapur dalam satu wadah, keempat unsur itu menandakan bahwa pernikahan harus segera dilakukan. Telah terjadi sesuatu yang membuat pernikahan harus segera dilakukan untuk menjaga kehormatan pihak perempuan.”

    “Pihak perempuan tidak lagi bisa menolak pinangan ini. Padahal, dalam ikatan suci pernikahan, rasa suka atau cinta itu tidak cukup. Ada beberapa hal yang akan dipertimbangkan pihak keluarga perempuan dalam menerima pihak laki-laki untuk menjadi keluarganya. Apabila semua dilakukan dengan terburu-buru dan hanya

  • 41

    demi menutupi aib, bisa jadi akan terjadi sesuatu yang buruk terhadap kehidupan berkeluarga dua insan ini.”

    “Rasa suka akan berganti seiring kesulitan hidup mendera. Penyesalan kemudian datang dan perkelahian demi perkelahian antara suami dan istri tak terelakkan lagi. Anak-anak yang terlahir pun akan menderita.”

    “Bapak dan Ibu, apabila keluarga menderita, masyarakat pun menderita. Keluarga merupakan masyarakat kecil. Keluarga menderita, masyarakat menderita pula. Apabila keluarga rukun, masyarakat akan rukun pula.”

    Hadirin yang datang pun mengangguk membenarkan ungkapan sang laki-laki berwibawa.

    “Baiklah. Tugas saya selesai sampai di sini. Percakapan selanjutnya saya serahkan kepada keluarga masing-masing.”

    Laki-laki berwibawa pun undur diri. Percakapan selanjutnya antara kedua belah pihak sudah membahas serba-serbi pesta pernikahan. Mereka membahasnya secara kekeluargaan. Perjanjian pun dilakukan dan menikahlah pemuda misterius ini dengan sang gadis. Keluarga kedua belah pihak pengantin pun turut berbahagia

  • 42

  • 43

    Pesta dilakukan secara meriah. Sang gadis duduk malu-malu di samping suami barunya. Sang orang tua pun berbahagia karena akhirnya sang anak bertemu jodohnya, meskipun orang tua sang gadis masih bertanya-tanya mengenai identitas sang pemuda. Sang ayah tidak lagi mengingat keinginan sang gadis untuk menikah dengan pemuda yang turun dari langit. Baginya, tanggung jawabnya sebagai seorang ayah sudah selesai. Sang gadis telah menemukan jodohnya.

    Hari berganti dan hiduplah pasangan suami istri baru itu dengan rukun dan bahagia. Mereka tinggal di rumah yang tidak jauh dari rumah orang tua sang istri. Mereka membangun rumah itu bersama-sama dengan warga desa lain. Sikap sang suami yang sopan dan gampang bergaul membuat warga desa tidak bertanya-tanya lebih jauh lagi mengenai identitasnya. Pekerjaan sang suami memang tidak seperti warga desa lainnya yang kebanyakan berkebun dan beternak. Dia hanya tinggal di rumah membantu pekerjaan istrinya. Sepertinya, harta benda yang dibawa ketika melamar sang gadis lebih dari cukup sehingga membuat sang suami tidak perlu bertani dan beternak seperti warga desa lainnya.

  • 44

    Beberapa bulan kemudian terdengar kabar bahwa sang istri sudah mengandung. Berita bahagia itu melengkapi keutuhan rumah tangga yang mereka bangun.

    Hari pun berganti hingga suatu ketika, sang suami memiliki keperluan untuk pergi ke luar rumah. Ia berpesan kepada sang istri.

    “Wahai Adinda, Kanda hendak pergi mengurus sesuatu. Pesanku kepada Dinda, tolong jaga baik-baik kain yang Kanda letakkan di kamar itu! Jangan sekali-kali kain itu dibalik karena Kanda tidak akan bisa kembali menemui Dinda jika kain itu dibalik.”

    Sang istri pada saat itu menjawab pesan sang suami dengan patuh. Dia pun meminta sang suami untuk berhati-hati dalam melakukan perjalanan.

    “Baiklah, Kanda. Dinda akan mengingat pesan Kanda. Berhati-hatilah di jalan!”

    Kepergian sang suami pun diantar dengan senyuman sang istri. Sepeninggal sang suami, sang istri pun kembali melakukan pekerjaannya sehari-hari. Ia membersihkan rumah dan memasak. Tidak lupa pula sang istri mengunjungi tetangga untuk saling berbagi informasi. Selayaknya kehidupan bertetangga, saling mengunjungi adalah hal yang wajib dilakukan.

  • 45

  • 46

    Hari berganti dan sang istri masih setia menunggu sang suami pulang. Ia tetap melakukan pekerjaan rumahnya dan bertanya-tanya dalam hati kapankah sang suami akan pulang. Karena tidak berkonsentrasi dalam melakukan pekerjaan, tanpa sadar dia mengambil kain di atas pembaringan. Dikibas-kibaskannya kain itu dan diletakkan kembali di atas pembaringan. Sayangnya, sang istri meletakkan kain itu secara terbalik. Dia melupakan pesan sang suami untuk tidak meletakkan kain secara terbalik.

    Setelah menyelesaikan pekerjaannya, tiba-tiba dia mendengar suara tangisan. Dia mengira anak-anak tetangganyalah yang menangis. Dia pun keluar rumah, mencari anak yang menangis. Sesampainya di luar rumah, dia tidak mendapati anak-anak yang sedang menangis. Dia pun mencari sumber tangisan itu di seluruh penjuru rumahnya, tetapi tidak juga didapatinya. Suara tangisan itu seakan-akan mengikuti langkahnya. Sang istri pun terdiam dan memperhatikan baik-baik suara tangisan tersebut. Semakin lama semakin terdengar seperti suara tangisan sang suami. Sang istri semakin penasaran saat mencari arah suara tangisan itu.

  • 47

    Belum lama hilang rasa penasaran sang istri, tiba-tiba di sela suara tangisan tersebut terdengar suara. Suara itu menyalahkan sang istri yang tidak mendengar pesan suami sebelum berangkat.

    “Huhuhu, Dinda, mengapa kau membalik kain itu? Bukankah aku berpesan untuk tidak membaliknya? Aku tidak bisa datang lagi kepadamu.” Sang suami akhirnya tidak bisa pulang ke rumah akibat kelalaian sang istri dalam melaksanakan pesan sang suami.

    Setelah mendengar suara di antara tangis itu, sang istri pun terkejut. Dia pun mengenali suara tangis tersebut. Suara itu adalah suara sang suami. Suara itu makin lama makin menghilang. Setelah suara tangis itu menghilang, giliran sang istri yang menangis. Dia teringat pesan sang suami untuk tidak membalik kain. Bergegas dia mendatangi kamarnya. Didapatinya kain yang dipesan suaminya memang telah terbalik. Sang istri pun memeluk kain itu dan menangis. Dia menyesali kelalaiannya. Karena hal yang sepele, suaminya tidak bisa kembali lagi ke rumah.

    “Kanda, maafkan Dinda! Dinda benar-benar lupa,” ujarnya di sela-sela tangisnya.

  • 48

    Ternyata keinginannya semasa masih gadis lalu telah terkabul. Sang istri menikah dengan orang kayangan (Tau Tudu). Sayangnya, karena kelalaiannya, sang suami tidak bisa lagi pulang ke dunia manusia.

    Penyesalan tiada gunanya. Orang kayangan itu tidak pernah pulang lagi ke dunia manusia. Hari berganti minggu dan minggu berganti bulan. Usia kandungan sang istri sudah mencapai waktunya. Meskipun di tengah kesedihan ditinggal suami, sang istri pun melahirkan anak lelaki yang sehat.

    Anak lelaki itu akhirnya dikenal sebagai anak orang kayangan. Orang kayangan tersebut menetap di dunianya. Ibu dan anak ini kemudian melanjutkan hidup di dunia manusia tanpa kehadiran sang orang kayangan. Sang anak pun tumbuh dewasa dan menurunkan anak-anak yang konon kabarnya masih hidup di kalangan suku Taa yang berdiam di wilayah Kabupaten Tojo Una-Una, Provinsi Sulawesi Tengah hingga sekarang.

    SELESAI

  • 49

    BIODATA PENULIS

    Nama : Dian Respati Pranawengtyas, S.S.Pos-el : [email protected] Keahlian: Sastra Interdisipliner

    Riwayat pekerjaan/profesi (10 tahun terakhir):2006–2016: Staf Tenaga Teknis Balai Bahasa Sulawesi Tengah

    Riwayat Pendidikan Tinggi dan Tahun Belajar:S-1: Sastra Inggris Universitas Gadjah Mada (1999--2004)

    Judul Penelitian dan Tahun Terbit (10 tahun terakhir):1. Khazanah Sastra Daerah di Sulawesi bagian

    Selatan (2016) (buku,tim)2. Pelindungan Tradisi Lisan Etnik Kaili (2014)

    (buku,tim)3. Sastra Lisan Kulawi (2014) (buku, tim)

  • 50

    Informasi Lain:Lahir di Pekalongan, 26 Januari 1981. Menjadi pemakalah di beberapa seminar, seperti Persidangan Linguistik ASEAN IV di Chiang Mai 2007, pemakalah di Seminar Nasional Bahasa di Sastra di Mataram tahun 2014, dan SISBA di Bandung tahun 2015.

  • 51

    BIODATA PENYUNTING

    Nama : Hidayat WidiyantoPos-el : [email protected] Keahlian: Penyuntingan

    Riwayat Pekerjaan: Peneliti Muda di Pusat Pembinaan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa

    Riwayat Pendidikan: S-1 Sastra, Universitas Padjadjaran, Bandung (selesai tahun 1998)

    Informasi Lain: Lahir di Semarang, 14 Oktober 1974. Aktif dalam berbagai kegiatan dan aktivitas kebahasaan, di antaranya penyuntingan bahasa, penyuluhan bahasa, pengajaran Bahasa Indonesia bagi Orang Asing (BIPA), dan berbagai penelitian, baik yang dilaksanakan oleh lembaga maupun yang bersifat pribadi.

  • 52

    BIODATA ILUSTRATOR

    Nama : Dewi MindasariPos-el : [email protected] : dewidraws.comBidang Keahlian: Ilustrasi

    Riwayat Pendidikan: 1. SDN Merdeka V/I Bandung (1986—1992)2. SMPN 5 Bandung (1992—1995)3. SMUN 2 Bandung (1995—1998)4. S1 Desain Komunikasi Visual (DKV) ITB (1998—

    2002)