CC Ske
-
Upload
afkur-mahesa -
Category
Documents
-
view
219 -
download
0
description
Transcript of CC Ske
Nama : Satria Putra Wicaksana
NIM : 04011381320077
HAL : LI AM Skenario Sindroma Nefrotik pada SLE blok 23 2015
1. Apakah penyebab dan mekanisme dari sembab seluruh tubuh dan urin berwarna keruh?
Jawab: tejadi karena adanya kerusakan pada membrane glomerulus akibat deposit
autoimun. Keadaan tersebut menyebakan adanya peradangan akhirnya akan
meningkatkan permeabilitas membrane basalis. Proteinuria yang terjadi akan
menyebabkan urin tampak lebih keruh yang didukung dengan teori overfilled akibat
retensi cairan dan natrium. Proteinuria yang terjadi secara terus-menerus akan
menyebabkan kadar protein dalam tubuh menurun dan terjadi gangguan pada tekanan
oncotic plasma darah. Kekurangan protein tersebut akan menyebakan turunnya kadar
albumin dalam darah yang juga berperan penting dalam mengatur tekanan osmotic
plasma. Hipoalbuminemia yang terjadi dalam waktu lama akan menyebabkan edema
yang dijelaskan melalui teori overfilled dan underfilled. Overfilled terjadi akibat
penurunan tekanan oncotic plasma yang akan menyebabkan transudasi cairan melalui
dinding kapiler ke dalam interstitum, sedangkan teori overfilled mengarah kepada adanya
hipovolemi akibat transudasi cairan tersebut sehingga terjadi aktifitas renin-angiotensin
dan meningkatkan aldosterone dan ADH yang menyebabkan adanya penurunan jumlah
urin dan tejadi retensi natrium dan cairan didalam tubuh. Hal ini juga terjadi akibat aliran
plasma ginjal (RPF) dan GFR yang menurun.
2. Apakah penyebab dan mekanisme demam tidak terlalu tinggi yang hilang timbul?
Jawab: Terjadi karena penyakit autoimun yang menyebabkan sitokin proinflamasi
sehingga Tn. Rs sering mengalami demam dan bersifat hilang timbul tergantung dari
adanya eksaserbasi terhadap penyakit SLE tersebut.
3. Bagaimana hubungan antar gejala pada kasus? (Gejala klinins SLE)
Jawab: tidak ada hubungan secara langsung yang terjadi antara keluhan yang mengarah
kepada SLE. Setiap keluhan didasari atas adanya kelainan terhadap system imun
sehingga mengaktifkan mediator inflamasi dan menyebabkan keluhan yang ada.
4. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal pemeriksaan darah lengkap?
Jawab: pada pemerikasaan diperoleh :
no hasil Keterangan
1 Hb 8,3 gr% Abnormal (normal 13-16 pada laki-laki), terjadi
karena anemia yang disebabkan disebabkan oleh
hemolitik
2 leukosit 5000/mm3 Normal (5000-10000). Namun cenderung rendah
3 trombosit 98.000 Rendah (normal 150-400 ribu) terjadi karena
pengaruh antikoagulan lupus
4 Hitung jenis
0/0/2/51/36/11
Abnormal ditemukan pada eosinophil yang
berkurang dan monosit yang meningkat. (B: 0-1,
E: 1-3, NB: 2-6, NS: 50-70, L: 20-40, M: 2-8).
Terjadi karena
5 hematokrit 22 vol% Menurun (Normal 40-52% pada laki-laki), terjadi
karena anemia
6 retikulosit 2% normal
7 LED 105 mm/jam Abnormal (normal <10) terjadi akibat adanya
penyakit kronik
5. Bagaimana cara mendiagnosis kasus ini?
Jawab: Sindroma nefrotik yang terjadi dapat diagnosis melalui anamsesis dimana tampak
adanya urin yang lebih keruh dan sembab diseluruh tubuh yang diawali pada bagian
muka terlebih dahulu serta melalui hasil pemeriksaan lab dimana ditemukan proteinuria
massif (>3,5 gr/hari), hypoalbuminemia, dan hyperlipidemia. Namun dalam menetukan
bahwa etiologinya adalah SLE merupakan kasus yang sulit didiagnosis karena bersifat
sistemik dan merupakan autoimun yang kronik sehingga perlu pemeriksaan lab tambahan
seperti urin, darah lengkap, profil lipid, dan lain-lain. Untuk mendiagnosisnya diperlukan
keterampilan dalam melakukan anamnesis untuk menemukan etiologi dari gejala klinis
yang ada. Khasnya yang ada pada Sindroma nefrotik akibat SLE ditemukan adanya
gejala sistemik SLE sebelum adanya gejala sindroma nefrotik tersebut.
Setelah melakukan anamnesis dan didapati adanya gejala sistemik SLE yang khas berupa
artritis, hiperfotosensitifitas, malar rash, dan gejala pendukung lainnya, maka perlu
dilakukan pemeriksaan fisik yang lebih spesifik dan lab yang lebih lengkap. Diagnosis
terhadap SLE sebagai etiologi didukung oleh pemeriksaan terhadap Antigen nuclear
antibody, C3, C4, dan anti dsDNA.
6. Bagaimana epidemiologi pada kasus?
Jawab: Belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup seluruh wilayah
Indonesia. SLE adalah suatu penyakit autoimun kronik yang menyerang berbagai system
dalam tubuh sehingga bisa bermacam-macam manifestasinya yang menyulitkan dalam
memperoleh angka yang pasti terhadap penderita. SLE menyerang perempuan kira-kira 8
kali lebih banyak daripada laki-laki. Penyakit ini seringkali dimulai pada masa pada akhir
masa remaja atau awal masa dewasa, dan bila terjadi diatas usia 60 tahun biasanya akan
lebih mudah untuk diatasi.
pada laki-laki cenderung terjadi fotosensitivitas yang lebih ringan dan serositis yang lebih
berat. SLE lebih ringan terjadi pada usia yang lebih dini dengan gejala klinis yang
cenderung memiliki insiden lebih sedikit terhadap malar rash, fotosensitivitas, purpura,
purpura, fenomena Raynaud, keterlibatan system renal dan ssp, namun lebih meningkat
pada serositis, keterlibatan pulmonary, gejala sicca, dan musculoskeletal.
7. Bagaimana cara pencegahan pada kasus?
Jawab: pencegahan yang terjadi lebih kepada etiologi yang mendasarinya. Mencegah
eksaserbasi pada SLE penting untuk mengurangi timbulnya manifestasi. Penderita perlu
ditekankan untuk menghindari paparan langsung terhadap sinar UV. Hal ini bisa
dilakukan dengan anjuran untuk memakai topi, payung, dan baju lengan panjang apabila
keluar rumah. Perlu juga pemakaian tabir surya dengan factor proteksi 15 setelah
berenang atau berolahraga berat. Kemudian perlu diberi daftar obat-obatan yang bisa
menimbulkan serangan penyakit seperti prokainamid, hidralazin, INH, klorpromazin, D-
Penisillin, praktolol, metildopa, kuinidin, interferon alfa, dan mungin hidantoin,
etosuksimid, serta kontrasepsi oral dimana semuanya dapat menyebabkan sindrom mirip
SLE (tersering adalah prokainamid dan hidralazin).
Learning Issue
REAKSI HIPERSENSITIVITAS
PENDAHULUAN
Definisi: Hipersensitivitas adalah reaksi yang tidak diinginkan (adanya kerusakan,
ketidaknyamanan, kadang-kadang fatal) yang dihasilkan oleh adanya sistem imun pada
kondisi tertentu. Reaksi hipersensitivitas memerlukan status imun awal dari hospes.
Dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu tipe I, II, III dan IV, berdasar pada
mekanisme yang terlibat dan waktu yang diperlukan untuk timbulnya reaksi tersebut.
Seringkali, suatu kondisi klinik khusus (penyakit) dapat melibatkan lebih dari satu tipe reaksi
hipersensitivitas.
REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE I
Juga dikenal sebagai hipersensitivitas tipe cepat atau anafilaksis, yang dapat terjadi
pada kulit (urtikaria dan eksim), mata (konjungtivitas), nasofaring (rinorea, rinitis),
jaringan bronkhopulmonari (asma) dan traktus gastro-intestinal (gastroenteritis).
Reaksinya dapat menyebabkan simtom ketidaknyamanan minor sampai kematian.
Waktu yang diperlukan 15-30 menit dari saat terjadinya paparan antigen (alergen),
meskipun kadang-kadang mempunyai onset yang lebih panjang (10-12 jam ). Reaksi
hipersensitivitas tipe I, diperantarai antibodi IgE. Komponen sel utama yang terlibat:
sel mast atau basofil. Reaksi dapat diperbesar dan/atau dimodifikasi oleh platelet,
neutrofil dan eosinofil.
Biopsi dari tempat terjadinya reaksi, mengandung terutama sel mast dan basofil. Mekanisme
reaksi didahului dengan produksi IgE dalam respon terhadap antigen tertentu (alergen).
IgE mempunyai afinitas yang tinggi untuk reseptornya pada sel mast dan basofil.
Paparan berikutnya dengan alergen yang sama, membentuk ikatan silang dengan IgE
yang terikat pada sel dan membebaskan berbagai senyawa aktif secara farmakologis.
(Gambar 1).
Ikatan silang diatas penting dalam memacu sel mast. Degranulasi sel mast dan didahului
dengan kenaikan Ca++ influk, merupakan proses yang menentukan. ionofor yang
meningkatkan Ca++ sitoplasmik juga mendukung degranulasi, sedangkan antigen yang
mengosongkan Ca++ sitoplasmik menekan terjadinya degranulasi.
Senyawa yang dilepas oleh sel mast dan efeknya terdapat dalam Tabel 1. Sel mast
dapat juga dipacu oleh perangsang yang lain, misal olahraga, stres, senyawa kimia (media
pengembang fotografi, kalsium ionofor, kodein dll.), Anafilatoksin (C4a, C3a, C5a, dll.).
Reaksi yang terjadi tanpa adanya interaksi dengan IgE-alergen, bukan merupakan reaksi
hipersensitivitas meskipun simtom yang timbul sama.
Tabel 1. Mediator Farmakologik Hipersensitivitas tipe I
Mediator
Bentuk Pre-mediator dalam granul
Histamin bronkhokonstriksi, sekresi mukus, vasodilatasi,
permeantibodiilitas vaskuler
Triptase Proteolisis
Kininogenase kinin dan vasodilatasi, permeantibodiilitas
vaskuler edema
ECF-A menarik eosinofil and neutrofil (tetrapeptida)
Bentuk baru mediator
Leukotriene B4 menarik basofil
Leukotrien C4, D4 sama seperti histamine tetapi 1000 x lebih poten
Prostaglandin D2 edema dan nyeri
PAF agregasi platelet dan pelepasan heparin:
Reaksi tersebut diperbesar oleh PAF (platelet activating factor) yang menyebabkan
agregasi platelet dan membebaskan histamin, heparin, dan amin vasoaktif. ECF-A dan
NCF-A, yang menarik eosinofil dan neutrofil, melepas enzim hidrolitik dan menyebabkan
nekrosis. Eosinofil juga mengontrol reaksi setempat dengan membebaskan arilsulfatase,
histaminase, fosfolipase-D dan prostaglandin-E, meskipun perannya masih menjadi
pertanyaan.
Nukleotida siklik juga mempunyai peran dalam memodulasi reaksi hipersensitivitas tipe I,
meskipun fungsi yang tepat belum jelas. Senyawa yang mengubah level cAMP dan cGMP
secara signifikan mengubah simtom alerginya. Jadi senyawa yang meningkatkan cAMP
intraseluler melepas simtom alergik, khususnya pada bronkhopulmonari, dan digunakan
untuk pengobatan (Tabel 2). Sebaliknya, senyawa yang menurunkan cAMP atau
menstimulasi cGMP menambah berat kondisi alergik.
Tabel 2. Hubungan antara Simtom Alergi dan Siklik Nukleotida
Menurunkan cyclic-AMP Meningkatkan cyclic-AMP
Stimulasi reseptor a-adrenergik
(nor-epinephrin, phenyl-
epinephrine)
atau
Memblok reseptor 13-adrenergik
Stimulasi reseptor B-adrenergik
(epinephrine, isoproterenol)
Memblok reseptor a-adrenergic
(phenoxybenzamine)
Menghambat phosphodiesterase
Meningkatkan cyclic-GMP
Stimulasi reseptor ?-cholinergic
MEMPERBURUK SIMTOM MEMPERBAIKI SIMTOM
Tes diagnostik hipersensitivitas tipe I, termasuk test kulit, pengukuran IgE total dan
Antibodi IgE spesifik terhadap alergen yang dicurigai, dengan ELISA yang
dimodifikasi.
Kenaikan jumlah IgE menunjukkan adanya kondisi atopik, meskipun IgE dapat juga
meningkat jumlahnya dalam beberapa penyakit non atopik (misal miloma, infeksi cacing,
dll).
Pengobatan simtomatik dapat dicapai dengan anti-histamin yang memblok reseptor
histamin. Natrium kromolin menghambat degranulasi sel mast, kemungkinan dengan jalan
menghambat Ca ++ influk.
Simtom onset alergi yang tertunda, khususnya bronkhokonstriksi yang diperantarai
leukotrien diberi pengobatan pemblok reseptor leukotrien (Singulair, Accolate) atau inhibitor
jalur siklooksigenase (Zileutoin). Simtomatik, meskipun singkat waktunya, pertolongan
untuk bronkhokonstriksi dapat diperoleh dengan bronchodilator (inhalan) seperti
derivat isoproterenol (Terbutalin, Albuterol). Teofilin juga dapat digunakan untuk
membebaskan simtom bronkhopulmonari.
Hiposensitisasi (imunoterapi atau desensitisasi) adalah pengobatan lain yang juga berhasil
dalam beberapa alergi, khususnya gigitan serangga dan polen. Mekanismenya belum jelas,
tetapi ada korelasi antara munculnya antibodi IgG dan pembebasan dari simtom. Sel T
supresor yang menghambat IgE adalah yang berperan.
REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE II
Juga dikenal sebagai hipersensitivitas sitotoksik dan mempengaruhi bermacam-
macam organ dan jaringan. Antigen secara normal adalah endogenus, meskipun
senyawa kimia eksogenus yang dapat mengikat membran sel, juga dapat menyebabkan
hipersensitivitas tipe II. Sebagai contoh adalah obat yang menginduksi terjadinya
anemia hemolitik, granulositopenia dan trombositopenia. Waktu timbulnya reaksi,
beberapa menit sampai beberapa jam. Hipersensitivitas tipe II terutama diperantarai oleh
antibodi IgM atau IgG dan komplemen (Gambar 2). Sel fagosit dan sel K juga berperan.
Gambar 2 : Mekanisme hipersensitivitas tipe H (sitotoksisitas)
Lesinya mengandung antibodi, komplemen dan neutrofil. Test diagnostik meliputi
pendeteksian antibodi terhadap jaringan yang terlibat, yang terdapat dalam sirkulasi,
terdapatnya antibodi serta komplemen dalam biopsi dengan imunofluoresen Pengobatan
melibatkan agen anti-inflamasi dan imuno-supresif
REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE III
Juga dikenal sebagai hipersensitivitas kompleks imun. Reaksinya umum (mis. Serum
Sickness) atau melibatkan organ, misal kulit (mis. S L K, Arthus Reaction), ginjal (mis.
Lupus Nephritis), paru-paru (mis. Aspergillosis), pembuluh darah (mis. Polyarthritis), sendi
(mis. Rheumatoid Arthritis) atau organ yang lain. Reaksi ini merupakan gambaran mekanisme
patogenik suatu penyakit yang disebabkan oleh beberapa bakteri. Waktu reaksi terjadi 3-10
jam setelah paparan antigen. (Arthus Reaction), diperantarai kompleks imun larut, terutama
IgG, meskipun IgM juga terlibat.
Antigennya, eksogenus (Chronic bacterial, infeksi atau parasit) atau endogenus (non-
organ autoimunitas spesifik, misal SLE). Antigennya, antigen larut dan tidak melekat
pada organ yang terlibat. Komponen utama adalah kompleks imun dan produk komplemen
larut (C3a, 4a dan 5a).
Kerusakan yang terjadi disebabkan oleh platelet dan neutrofil (Gambar 3). Lesinya
mengandung, terutama neutrofil dan timbunan kompleks imun serta komplemen. Masuknya
makrofag pada tahap akhir, terlibat dalam proses penyembuhan. Afinitas antibodi dan
besarnya kompleks imun, adalah hal yang penting untuk timbulnya penyakit dan
determinasi jaringan yang terlibat. Diagnosa melibatkan pemeriksaan biopsi jaringan untuk
mengetahui adanya timbunan imunoglobulin dan komplemen, dengan imunofluoresen.
Hasil pengecatan imunofluoresen hipersensitivitas tipe III adalah granular (untuk
hipersensitivitas tipe II adalah linier). Adanya kompleks imun dan berkurangnya jumlah
komplemen dalam serum, juga dapat digunakan sebagai diagnosa.
Turbiditas yang diperantarai polietilenglikol (Nephelometri) dan tes dengan sel
Raji, dapat digunakan untuk mendeteksi adanya kompleks imun. Pengobatan dengan
menambahkan agen anti-inflamasi.
Gambar 3 : Mekanisme Terjadinya Kerusakan dalam Hipersensitivitas
Tipe III
REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE IV
Dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai sel atau hipersensitivitas tipe
lambat (tertunda). Contoh hipersensitivitas tipe IV adalah Tes Tuberkulin (Mantoux) yang
dapat diketahui puncaknya pada jam ke 48 setelah suntikan antigen. Lesi karakteristik,
terjadinya indurasi dan eritema.
Hipersensitivitas tipe IV terlibat dalam patogenesis dari beberapa penyakit autoimun
dan infeksi (tuberkulosis, leprosi, blastomikosis, histoplasmosis, leishmaniasis, dll.)
dan granuloma yang terjadi karena infeksi dan antigen asing. Bentuk lain dari
hipersensitivitas tipe IV adalah dermatitis kontak (racun Ivy, senyawa kimia, logam
berat, dll.), dimana lesinya lebih papular. Hipersensitivitas tipe IV dapat diklasifikasi
menjadi 3 katagori tergantung pada waktu onset, presentasi klinik dan histologikal (Tabel
3).
Tabel 3. Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV
Tipe Waktu Penampakan Histologi Antigen dan
tempat reaksi
kontak 48-72 jam Eksim Limfosit disertai
makrofag; edema
dari epidermis
Epidermal (senyawa
organik, racun ivy,
logam berat, dll.)
tuberkulin 48-72 jam indurasi lokal limfosit, monosit,
makrofag
intradermal (tuber-
kulin, lepromin,
dll).granuloma 21-28 hari Pengerasan Makrofag,
epitheloid dan
giant cells,
fibrosis
antigen menetap
atau antigen asing
(tuberkulosis,
leprosi, dll.)
Mekanisme terjadinya kerusakan dalam hipersensitivitas tipe IV , meliputi sel T dan
monosit, dan / atau makrofag. Sel T sitotoksik menyebabkan kerusakan langsung, sedangkan
sel Th 1 mensekresi sitokin yang mengaktifkan sel T sitotoksik dan merekrut dan
mengaktifkan monosit dan makrofag, yang menyebabkan besarnya kerusakan. Lesinya
mengandung monosit dan sejumlah sel T.
Limfokin yang terutama terlibat dalam reaksi hipersensitivitas tipe IV, yaitu:
MCF (Monocyte Chemotactic Factor), EL-2, INF-γ, TNF-α/β, dll. Tes diagnostik in
vivo, misal reaksi Mantoux dan Tes Goresan (untuk dermatitis kontak). In vitro: respon
mitogenik, produksi limfositotoksisitas dan EL-2. Pengobatan: kortikosteroid dan imuno-
supresif yang lain.
Tabel 4. Perbandingan Tipe-tipe Hipersensitivitas
Karakteristik
Tipe-I
(anafilakik)
Tipe- II
(sitotoksik)
Tipe-III
(kompleks
imun)
Tipe-IV
(tipe
tertunda)
Antibodi IgE IgG, IgM IgG, IgM -
Antigen eksogenus Permukaan larut jaringan & sel
organ
Waktu 15-30 menit menit- jam 3-8 jam
48-72 jam
Penampakan weal & flare
lisis dan
nekrosis
eritema dan
edema,
nekrosis
eritema dan
indurasi
Histologi
basofil dan
eosinofil
antibodi dan
komplemen
komplemen
dan neutrofil
monosit dan
limfosi
Transfer
dengan
Antibodi
antibodi
antibodi sell
Contoh
alergi asma,
hay-fever
Eritroblastosis
fetalis,
goodpasture's
nefritis
SLE, penyakit
paru-paru pada
petani
tes tuberkulin,
racun ivy,
granuloma
DAFTAR PUSTAKA
1. Guyton, A.C., dan Hall, J.E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC.
2. Isselbacher dkk. 2012. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam VOLUME 4, Alih
bahasa. Asdie Ahmad H., Edisi 13, Jakarta: EGC.
3. Price, Sylvia A.; Wilson, Lorraine M.. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis dan Proses-proses
Penyakit Edisi 6. Volume 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
4. Jurnal Systemic Lupus Erythematosus : Phatogenesis dan Clinical Features oleh George
Bertisas dkk tahun 2012