Catatan Gusdur.pdf

55
Catatan Gusdur PersEbook369 1

Transcript of Catatan Gusdur.pdf

Page 1: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

1

Page 2: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

2

Ebook.No.05.10.05

Catatan Gusdur Penyusun : Egi Septiana

Layout : Om369

Diterbitkan oleh

PersEbook369 Bandung

[email protected] http://ebookgratis369.blogspot.com

Hak cipta dilindungi oleh rido

Allah SWT ISBA: 42443

Page 3: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

3

Terima kasih kepada Sang Almarhum

KH Abdurahman Wahid atas semua

jasa, karya, dan perjuangannya.

Dan terima kasih kepada segenap

pengurus situs gusdur.net yang

menjadi sumber isi ebook ini.

Semoga Allah SWT meridoi segala

usaha dan karya kita semua. Amin…

Page 4: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

4

DAFTAR ISI EBOOK Bagian 1 5 Catatan Tinta Kehidupan Gusdur Latar Belakang Keluarga Pengalaman Pendidikan Perjalanan Karir Penghargaan

Bagian 2 18 Catatan Politik Gusdur Memahami Sufisme Politik Gus Dur Bagian 3 25 Catatan Tinta Gusdur Dapatkah NU Berperan Politik Nasional? Inul, Rhoma, dan Saya Jalan Rakyat Menuju Demokrasi Umat Islam, Dimanakah Alamatmu? Penutup 54

Anekdot

Page 5: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

5

Latar Belakang Keluarga

Abdurrahman "Addakhil", demikian nama lengkapnya.

Secara leksikal, "Addakhil" berarti "Sang Penakluk",

sebuah nama yang diambil Wahid Hasyim, orang tuanya,

dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang telah

menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol.

Belakangan kata "Addakhil" tidak cukup dikenal dan

diganti nama "Wahid", Abdurrahman Wahid, dan

kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. "Gus"

adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada

seorang anak kiai yang berati "abang" atau "mas".

Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara

yang dilahirkan di Denanyar Jombang Jawa Timur pada

tanggal 4 Agustus 1940. Secara genetik Gus Dur adalah

keturunan "darah biru". Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim

Page 6: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

6

adalah putra K.H. Hasyim Asy'ari, pendiri jam'iyah

Nahdlatul Ulama (NU)-organisasi massa Islam terbesar di

Indonesia-dan pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang.

Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri

Pesantren Denanyar Jombang, K.H. Bisri Syamsuri. Kakek

dari pihak ibunya ini juga merupakan tokoh NU, yang

menjadi Rais 'Aam PBNU setelah K.H. Abdul Wahab

Hasbullah. Dengan demikian, Gus Dur merupakan cucu

dari dua ulama NU sekaligus, dan dua tokoh bangsa

Indonesia.

Pada tahun 1949, ketika clash dengan pemerintahan

Belanda telah berakhir, ayahnya diangkat sebagai Menteri

Agama pertama, sehingga keluarga Wahid Hasyim pindah

ke Jakarta. Dengan demikian suasana baru telah

dimasukinya. Tamu-tamu, yang terdiri dari para tokoh-

dengan berbagai bidang profesi-yang sebelumnya telah

dijumpai di rumah kakeknya, terus berlanjut ketika

ayahnya menjadi Menteri agama. Hal ini memberikan

pengalaman tersendiri bagi seorang anak bernama

Abdurrahman Wahid. Secara tidak langsung, Gus Dur

juga mulai berkenalan dengan dunia politik yang didengar

dari kolega ayahnya yang sering mangkal di rumahnya.

Sejak masa kanak-kanak, ibunya telah ditandai berbagai

isyarat bahwa Gus Dur akan mengalami garis hidup yang

berbeda dan memiliki kesadaran penuh akan tanggung

jawab terhadap NU. Pada bulan April 1953, Gus Dur pergi

bersama ayahnya mengendarai mobil ke daerah Jawa

Barat untuk meresmikan madrasah baru. Di suatu tempat

di sepanjang pegunungan antara Cimahi dan Bandung,

mobilnya mengalami kecelakaan. Gus Dur bisa

diselamatkan, akan tetapi ayahnya meninggal. Kematian

ayahnya membawa pengaruh tersendiri dalam

kehidupannya.

Page 7: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

7

Dalam kesehariannya, Gus Dur mempunyai kegemaran

membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi

ayahnya. Selain itu ia juga aktif berkunjung

keperpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan

tahun Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah,

surat kabar, novel dan buku-buku yang agak serius.

Karya-karya yang dibaca oleh Gus Dur tidak hanya cerita-

cerita, utamanya cerita silat dan fiksi, akan tetapi wacana

tentang filsafat dan dokumen-dokumen manca negara

tidak luput dari perhatianya. Di samping membaca, tokoh

satu ini senang pula bermain bola, catur dan musik.

Dengan demikian, tidak heran jika Gus Dur pernah

diminta untuk menjadi komentator sepak bola di televisi.

Kegemaran lainnya, yang ikut juga melengkapi hobinya

adalah menonton bioskop. Kegemarannya ini

menimbulkan apresiasi yang mendalam dalam dunia film.

Inilah sebabnya mengapa Gu Dur pada tahun 1986-1987

diangkat sebagai ketua juri Festival Film Indonesia.

Masa remaja Gus Dur sebagian besar dihabiskan di

Yogyakarta dan Tegalrejo. Di dua tempat inilah

pengembangan ilmu pengetahuan mulai meningkat. Masa

berikutnya, Gus Dur tinggal di Jombang, di pesantren

Tambak Beras, sampai kemudian melanjutkan studinya di

Mesir. Sebelum berangkat ke Mesir, pamannya telah

melamarkan seorang gadis untuknya, yaitu Sinta Nuriyah

anak Haji Muh. Sakur. Perkawinannya dilaksanakan

ketika ia berada di Mesir.

Pengalaman Pendidikan

Pertama kali belajar, Gus Dur kecil belajar pada sang

kakek, K.H. Hasyim Asy'ari. Saat serumah dengan

kakeknya, ia diajari mengaji dan membaca al-Qur'an.

Dalam usia lima tahun ia telah lancar membaca al-

Page 8: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

8

Qur'an. Pada saat sang ayah pindah ke Jakarta, di

samping belajar formal di sekolah, Gus Dur masuk juga

mengikuti les privat Bahasa Belanda. Guru lesnya

bernama Willem Buhl, seorang Jerman yang telah masuk

Islam, yang mengganti namanya dengan Iskandar. Untuk

menambah pelajaran Bahasa Belanda tersebut, Buhl

selalu menyajikan musik klasik yang biasa dinikmati oleh

orang dewasa. Inilah pertama kali persentuhan Gu Dur

dengan dunia Barat dan dari sini pula Gus Dur mulai

tertarik dan mencintai musik klasik.

Menjelang kelulusannya di Sekolah Dasar, Gus Dur

memenangkan lomba karya tulis (mengarang) se-wilayah

kota Jakarta dan menerima hadiah dari pemerintah.

Pengalaman ini menjelaskan bahwa Gus Dur telah

mampu menuangkan gagasan/ide-idenya dalam sebuah

tulisan. Karenanya wajar jika pada masa kemudian

tulisan-tulisan Gus Dur menghiasai berbagai media

massa.

Setelah lulus dari Sekolah Dasar, Gus Dur dikirim orang

tuanya untuk belajar di Yogyakarta. Pada tahun 1953 ia

masuk SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama)

Gowongan, sambil mondok di pesantren Krapyak. Sekolah

ini meskipun dikelola oleh Gereja Katolik Roma, akan

tetapi sepenuhnya menggunakan kurikulum sekuler. Di

sekolah ini pula pertama kali Gus Dur belajar Bahasa

Inggris. Karena merasa terkekang hidup dalam dunia

pesantren, akhirnya ia minta pindah ke kota dan tinggal

di rumah Haji Junaidi, seorang pimpinan lokal

Muhammadiyah dan orang yang berpengaruh di SMEP.

Kegiatan rutinnya, setelah shalat subuh mengaji pada

K.H. Ma'sum Krapyak, siang hari sekolah di SMEP, dan

pada malam hari ia ikut berdiskusi bersama dengan Haji

Junaidi dan anggota Muhammadiyah lainnya.

Page 9: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

9

Ketika menjadi siswa sekolah lanjutan pertama tersebut,

hobi membacanya semakin mendapatkan tempat. Gus

Dur, misalnya, didorong oleh gurunya untuk menguasai

Bahasa Inggris, sehingga dalam waktu satu-dua tahun

Gus Dur menghabiskan beberapa buku dalam bahasa

Inggris. Di antara buku-buku yang pernah dibacanya

adalah karya Ernest Hemingway, John Steinbach, dan

William Faulkner. Di samping itu, ia juga membaca

sampai tuntas beberapa karya Johan Huizinga, Andre

Malraux, Ortega Y. Gasset, dan beberapa karya penulis

Rusia, seperti: Pushkin, Tolstoy, Dostoevsky dan Mikhail

Sholokov. Gus Dur juga melahap habis beberapa karya

Wiill Durant yang berjudul 'The Story of Civilazation'.

Selain belajar dengan membaca buku-buku berbahasa

Inggris, untuk meningkatan kemampuan bahasa

Ingrisnya sekaligus untuk menggali informasi, Gus Dur

aktif mendengarkan siaran lewat radio Voice of America

dan BBC London. Ketika mengetahui bahwa Gus Dur

pandai dalam bahasa Inggis, Pak Sumatri-seorang guru

SMEP yang juga anggota Partai Komunis-memberi buku

karya Lenin 'What is To Be Done' . Pada saat yang sama,

anak yang memasuki masuki masa remaja ini telah

mengenal Das Kapital-nya Karl Marx, filsafat Plato,Thales,

dan sebagainya. Dari paparan ini tergambar dengan jelas

kekayaan informasi dan keluasan wawasan Gus Dur.

Setamat dari SMEP Gus Dur melanjutkan belajarnya di

Pesantren Tegarejo Magelang Jawa Tengah. Pesantren ini

diasuh oleh K.H. Chudhari, sosok kyai yang humanis,

saleh dan guru dicintai. Kyai Chudhari inilah yang

memperkenalkan Gus Dur dengan ritus-ritus sufi dan

menanamkan praktek-praktek ritual mistik. Di bawah

bimbingan kyai ini pula, Gus Dur mulai mengadakan

ziarah ke kuburan-kuburan keramat para wali di Jawa.

Page 10: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

10

Pada saat masuk ke pesantren ini, Gus Dur membawa

seluruh koleksi buku-bukunya, yang membuat santri-

santri lain terheran-heran. Pada saat ini pula Gus Dur

telah mampu menunjukkan kemampuannya dalam

berhumor dan berbicara. Dalam kaitan dengan yang

terakhir ini ada sebuah kisah menarik yang patut

diungkap dalam paparan ini adalah pada acara imtihan-

pesta akbar yang diselenggarakan sebelum puasa pada

saat perpisahan santri yang selesai menamatkan belajar-

dengan menyediakan makanan dan minuman dan

mendatangkan semua hiburan rakyat, seperti: Gamelan,

tarian tradisional, kuda lumping, jathilan, dan

sebagainya. Jelas, hiburan-hiburan seperti tersebut di

atas sangat tabu bagi dunia pesantren pada umumnya.

Akan tetapi itu ada dan terjadi di Pesantren Tegalrejo.

Setelah menghabiskan dua tahun di pesantren Tegalrejo,

Gus Dur pindah kembali ke Jombang, dan tinggal di

Pesantren Tambak Beras. Saat itu usianya mendekati 20

tahun, sehingga di pesantren milik pamannya, K.H. Abdul

Fatah, ia menjadi seorang ustadz, dan menjadi ketua

keamanan. Pada usia 22 tahun, Gus Dur berangkat ke

tanah suci, untuk menunaikan ibadah haji, yang

kemudian diteruskan ke Mesir untuk melanjutkan studi

di Universitas al-Azhar. Pertama kali sampai di Mesir, ia

merasa kecewa karena tidak dapat langsung masuk dalam

Universitas al-Azhar, akan tetapi harus masuk Aliyah

(semacam sekolah persiapan). Di sekolah ia merasa bosan,

karena harus mengulang mata pelajaran yang telah

ditempuhnya di Indonesia. Untuk menghilangkan

kebosanan, Gus Dur sering mengunjungi perpustakaan

dan pusat layanan informasi Amerika (USIS) dan toko-

toko buku dimana ia dapat memperoleh buku-buku yang

dikehendaki.

Page 11: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

11

Terdapat kondisi yang menguntungkan saat Gus Dur

berada di Mesir, di bawah pemerintahan Presiden Gamal

Abdul Nasr, seorang nasioonalis yang dinamis, Kairo

menjadi era keemasan kaum intelektual. Kebebasan

untuk mengeluarkkan pendapat mendapat perlindungan

yang cukup. Pada tahun 1966 Gus Dur pindah ke Irak,

sebuah negara modern yang memiliki peradaban Islam

yang cukup maju. Di Irak ia masuk dalam Departement of

Religion di Universitas Bagdad samapi tahun 1970.

Selama di Baghdad Gus Dur mempunyai pengalaman

hidup yang berbeda dengan di Mesir. Di kota seribu satu

malam ini Gus Dur mendapatkan rangsangan intelektual

yang tidak didapatkan di Mesir. Pada waktu yang sama ia

kembali bersentuhan dengan buku-buku besar karya

sarjana orientalis Barat. Ia kembali menekuni hobinya

secara intensif dengan membaca hampir semua buku

yang ada di Universitas.

Di luar dunia kampus, Gus Dur rajin mengunjungi

makam-makam keramat para wali, termasuk makam

Syekh Abdul Qadir al-Jailani, pendiri jamaah tarekat

Qadiriyah. Ia juga menggeluti ajaran Imam Junaid al-

Baghdadi, seorang pendiri aliran tasawuf yang diikuti oleh

jamaah NU. Di sinilah Gus Dur menemukan sumber

spiritualitasnya. Kodisi politik yang terjadi di Irak, ikut

mempengaruhi perkembangan pemikiran politik Gus Dur

pada saat itu. Kekagumannya pada kekuatan

nasionalisme Arab, khususnya kepada Saddam Husain

sebagai salah satu tokohnya, menjadi luntur ketika syekh

yang dikenalnya, Azis Badri tewas terbunuh.

Selepas belajar di Baghdad Gus Dur bermaksud

melanjutkan studinya ke Eropa. Akan tetapi persyaratan

yang ketat, utamanya dalam bahasa-misalnya untuk

masuk dalam kajian klasik di Kohln, harus menguasai

Page 12: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

12

bahasa Hebraw, Yunani atau Latin dengan baik di

samping bahasa Jerman-tidak dapat dipenuhinya,

akhirnya yang dilakukan adalah melakukan kunjungan

dan menjadi pelajar keliling, dari satu universitas ke

universitas lainnya. Pada akhirnya ia menetap di Belanda

selama enam bulan dan mendirikan Perkumpulan Pelajar

Muslim Indonesia dan Malaysia yang tinggal di Eropa.

Untuk biaya hidup dirantau, dua kali sebulan ia pergi ke

pelabuhan untuk bekerja sebagai pembersih kapal tanker.

Gus Dur juga sempat pergi ke McGill University di Kanada

untuk mempelajari kajian-lkajian keislaman secara

mendalam. Namun, akhirnya ia kembali ke Indoneisa

setelah terilhami berita-berita yang menarik sekitar

perkembangan dunia pesantren. Perjalanan keliling studi

Gus Dur berakhir pada tahun 1971, ketika ia kembali ke

Jawa dan mulai memasuki kehidupan barunya, yang

sekaligus sebagai perjalanan awal kariernya.

Meski demikian, semangat belajar Gus Dur tidak surut.

Buktinya pada tahun 1979 Gus Dur ditawari untuk

belajar ke sebuah universitas di Australia guna

mendapatkkan gelar doktor. Akan tetapi maksud yang

baik itu tidak dapat dipenuhi, sebab semua promotor

tidak sanggup, dan menggangap bahwa Gus Dur tidak

membutuhkan gelar tersebut. Memang dalam

kenyataannya beberapa disertasi calon doktor dari

Australia justru dikirimkan kepada Gus Dur untuk

dikoreksi, dibimbing yang kemudian dipertahankan di

hadapan sidang akademik.

Perjalanan Karier

Sepulang dari pegembaraanya mencari ilmu, Gus Dur

kembali ke Jombang dan memilih menjadi guru. Pada

tahun 1971, tokoh muda ini bergabung di Fakultas

Page 13: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

13

Ushuludin Universitas Tebu Ireng Jombang. Tiga tahun

kemudian ia menjadi sekretaris Pesantren Tebu Ireng, dan

pada tahun yang sama Gus Dur mulai menjadi penulis. Ia

kembali menekuni bakatnya sebagaii penulis dan

kolumnis. Lewat tulisan-tulisan tersebut gagasan

pemikiran Gus Dur mulai mendapat perhatian banyak.

Djohan Efendi, seorang intelektual terkemuka pada

masanya, menilai bahwa Gus Dur adalah seorang

pencerna, mencerna semua pemikiran yang dibacanya,

kemudian diserap menjadi pemikirannya tersendiri.

Sehingga tidak heran jika tulisan-tulisannya jarang

menggunakan foot note.

Pada tahun 1974 Gus Dur diminta pamannya, K.H. Yusuf

Hasyim untuk membantu di Pesantren Tebu Ireng

Jombang dengan menjadi sekretaris. Dari sini Gus Dur

mulai sering mendapatkan undangan menjadi nara

sumber pada sejumlah forum diskusi keagamaan dan

kepesantrenan, baik di dalam maupun luar negeri.

Selanjutnya Gus Dur terlibat dalam kegiatan LSM.

Pertama di LP3ES bersama Dawam Rahardjo, Aswab

Mahasin dan Adi Sasono dalam proyek pengembangan

pesantren, kemudian Gus Dur mendirikan P3M yang

dimotori oleh LP3ES.

Pada tahun 1979 Gus Dur pindah ke Jakarta. Mula-mula

ia merintis Pesantren Ciganjur. Sementara pada awal

tahun 1980 Gus Dur dipercaya sebagai wakil katib

syuriah PBNU. Di sini Gus Dur terlibat dalam diskusi dan

perdebatan yang serius mengenai masalah agama, sosial

dan politik dengan berbagai kalangan lintas agama, suku

dan disiplin. Gus Dur semakin serius menulis dan

bergelut dengan dunianya, baik di lapangan kebudayaan,

politik, maupun pemikiran keislaman. Karier yang

dianggap 'menyimpang'-dalam kapasitasnya sebagai

Page 14: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

14

seorang tokoh agama sekaligus pengurus PBNU-dan

mengundang cibiran adalah ketika menjadi ketua Dewan

Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahunn 1983. Ia juga

menjadi ketua juri dalam Festival Film Indonesia (FFI)

tahun 1986, 1987.

Pada tahun 1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh

sebuah tim ahl hall wa al-'aqdi yang diketuai K.H. As'ad

Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan ketua umum

PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo. Jabatan

tersebut kembali dikukuhkan pada muktamar ke-28 di

pesantren Krapyak Yogyakarta (1989), dan muktamar di

Cipasung Jawa Barat (1994). Jabatan ketua umum PBNU

kemudian dilepas ketika Gus Dur menjabat presiden RI

ke-4. Meskipun sudah menjadi presiden, ke-nyleneh-an

Gus Dur tidak hilang, bahkan semakin diketahui oleh

seluruh lapisan masyarakat. Dahulu, mungkin hanya

masyarakat tertentu, khususnya kalangan nahdliyin yang

merasakan kontroversi gagasannya. Sekarang seluruh

bangsa Indonesia ikut memikirkan kontroversi gagasan

yang dilontarkan oleh K.H. Abdurrahman Wahid.

Catatan perjalanan karier Gus Dur yang patut dituangkan

dalam pembahasan ini adalah menjadi ketua Forum

Demokrasi untuk masa bakti 1991-1999, dengan

sejumlah anggota yang terdiri dari berbagai kalangan,

khususnya kalangan nasionalis dan non muslim. Anehnya

lagi, Gus Dur menolak masuk dalam organisasi ICMI

(Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Tidak hanya

menolak bahkan menuduh organisai kaum 'elit Islam'

tersebut dengan organisasi sektarian.

Dari paparan tersebut di atas memberikan gambaran

betapa kompleks dan rumitnya perjalanan Gus Dur dalam

meniti kehidupannya, bertemu dengan berbagai macam

Page 15: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

15

orang yang hidup dengan latar belakang ideologi, budaya,

kepentingan, strata sosial dan pemikiran yang berbeda.

Dari segi pemahaman keagamaan dan ideologi, Gus Dur

melintasi jalan hidup yang lebih kompleks, mulai dari

yang tradisional, ideologis, fundamentalis, sampai

moderrnis dan sekuler. Dari segi kultural, Gus Dur

mengalami hidup di tengah budaya Timur yang santun,

tertutup, penuh basa-basi, sampai denga budaya Barat

yang terbuka, modern dan liberal. Demikian juga

persentuhannya dengan para pemikir, mulai dari yang

konservatif, ortodoks sampai yang liberal dan radikal

semua dialami.

Pemikiran Gus Dur mengenai agama diperoleh dari dunia

pesantren. Lembaga inilah yang membentuk karakter

keagamaan yang penuh etik, formal, dan struktural.

Sementara pengembaraannya ke Timur Tengah telah

mempertemukan Gus Dur dengan berbagai corak

pemikirann Agama, dari yang konservatif, simbolik-

fundamentalis sampai yang liberal-radikal. Dalam bidang

kemanusiaan, pikiran-pikiran Gus Dur banyak

dipengaruhi oleh para pemikir Barat dengan filsafat

humanismenya. Secara rasa maupun praktek prilaku

yang humanis, pengaruh para kyai yang mendidik dan

membimbingnya mempunyai andil besar dalam

membentuk pemikiran Gus Dur. Kisah tentang Kyai Fatah

dari Tambak Beras, Kyai Ma'sum dari Krapyak dan Kyai

Chudhori dari Tegalrejo telah membuat pribadi Gus Dur

menjadi orang yang sangat peka pada sentuhan-sentuhan

kemanusiaan.

Dari segi kultural, Gus Dur melintasi tiga model lapisan

budaya. Pertama, Gus Dur bersentuhan dengan kultur

dunia pesantren yang sangat hierarkis, tertutup, dan

penuh dengan etika yang serba formal; kedua, dunia

Page 16: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

16

Timur yang terbuka dan keras; dan ketiga, budaya Barat

yang liberal, rasioal dan sekuler. Kesemuanya tampak

masuk dalam pribadi dan membetuk sinergi. Hampir tidak

ada yang secara dominan berpengaruh membentuk

pribadi Gus Dur. Sampai sekarang masing-masing

melakukan dialog dalam diri Gus Dur. Inilah sebabnya

mengapa Gus Dur selalu kelihatan dinamis dan suliit

dipahami. Kebebasannya dalam berpikir dan luasnya

cakrawala pemikiran yang dimilikinya melampaui batas-

batas tradisionalisme yang dipegangi komunitasnya

sendiri.

Penghargaan

Tokoh 1990, Majalah Editor, tahun 1990

Ramon Magsaysay Award for Community

Leadership, Ramon Magsaysay Award Foundation,

Philipina, tahun 1991

Islamic Missionary Award from the Government of

Egypt, tahun 1991

Penghargaan Bina Ekatama, PKBI, tahun 1994

Man Of The Year 1998, Majalah berita independent

(REM), tahun 1998

Honorary Degree in Public Administration and

Policy Issues from the University of Twente, tahun

2000

Gelar Doktor Kehormatan dari Universitas

Jawaharlal Nehru, tahun 2000

Doctor Honoris Causa dalam bidang Philosophy In

Law dari Universitas Thammasat Thaprachan

Bangkok, Thailand, Mei 2000

Doctor Honoris Causa dari Universitas Paris I

(Panthéon-Sorbonne) pada bidang ilmu hukum dan

Page 17: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

17

politik, ilmu ekonomi dan manajemen, dan ilmu

humaniora, tahun 2000

Doctor Honoris Causa dari Asian Institute of

Technology, Thailand, tahun 2000

Ambassador for Peace, salah satu badan PBB,

tahun 2001

Doctor Honoris Causa dari Universitas Sokka,

Jepang, tahun 2002

Page 18: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

18

Memahami Sufisme Politik Gus Dur

Oleh: M. Luqman Hakiem

Kaidah-kaidah visioner yang sering dilontarkan oleh

kalangan Nahdhiyyin (NU), adalah Al-Muhafadzatu „alal

Qadimis Shalih wal-Akhdzu bil Jadidil Aslah, yang berarti

melestarikan nilai-nilai tradisi lama yang baik, dan

merespon nilai-nilai baru yang lebih baik.

Kaidah yang dijadikan sebagai legitimasi untuk

perubahan-perubahan wacana dan kebudayaan NU,

ketika menghadapi tantangan zaman. Sesungguhnya

kaidah tersebut lebih menekankan pola hubungan-

hubungan transformatif Syari‟ah (legacy) dalam

membangun kerangka sosiologis. Di satu sisi tetap

memberikan penghargaan terhadap sejarah masa lalu,

makna-makna kultural yang telah dibangun oleh para

Page 19: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

19

pendiri Republik, para Kiai, para Agamawan dan para

budayawan. Sementara dalam dialektika sejarah, tidak

bisa dihindari adanya percepatan rasionalisme Barat dan

akulturalisme Islam dan nilai-nilai lokal. Sehingga

responsi terhadap pembaharuan mendapatkan tempat

terhormat dalam kebudayaan pemikiran NU.

Tulisan ini lebih sedikit melompat ke belakang, tanpa

harus memutar jarum jam sejarah kebudayaan NU, yaitu

perspektif yang lebih fundamental dibanding sekadar

kaidah-kaidah sosial dan hukum (fiqhiyah) yang selama

ini dijadikan basis kebijakan untuk pengambilan

keputusan konstituen NU, melali Bahsul Masail. Yaitu,

perspektif Sufisme yang menjadi jiwa dan batin setiap

gerakan historis masyarakat NU itu sendiri. Dari sinilah

kita akan melihat kepribadian kepemimpinan Gus Dur,

yang merefleksikan cara pandang sekaligus style

kepribadian yang unik. Bahwa apa yang dipresentasikan

Gus Dur adalah kristalisasi dari seluruh nilai-nilai ke-NU-

an dalam proses kebangsaan, khususnya dalam

konstelasi demokratisasi.

Bisa saja nilai-nilai seperti pengembangan pluralisme,

toleransi, desakralisasi negara, hubungan antar agama,

modernitas dan tradisi lokal, serta perdamaian, hanya

akan muncul dalam wacana dan "kepentingan" praktikal,

manakala tidak dijembatani oleh kultur yang berbasis

pada moralitas tertinggi. Karena itu, Sufisme menjadi

nuansa yang paling menarik perhatian Gus Dur untuk

dijadikan "titik kordinat" antara nilai-nilai keagamaan

dalam tradisi NU dan fakta-fakta ke-Indonesiaan yang

plural dalam berdemokrasi.

Sebagai salah satu tokoh Sufi di Indonesia, Gus Dur

memerankan satu pandangan yang sangat liberal,

Page 20: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

20

dibanding – sekadar – berpijak pada tradisi-tradisi formal

NU. Liberalitas Gus Dur sesungguhnya tidak lepas dari

cara pandang Sufisme terhadap dunia, dengan

menerjemahkan lebih substansial apa yang disebut

dengan "rahmatan lil‟alamin".

Karena, transformasi nilai-nilai terdalam dibalik cahaya

rahmat itu sendiri, dalam tradisi NU justru tumbuh dari

cahaya Sufisme yang dijadikan sebagai pegangan moral

para Ulama dan Kiai-kiai terdahulu. Bahkan titik kordinat

bagi perdamaian agama sekali pun, Sufisme berada di

garda depan, sebab perdamaian sesungguhnya tidak

pernah maujud dalam fakta ketika kecintaan kepada

Tuhan dan sesama makhluk tidak tumbuh dari

kedalaman jiwa. Karena perilaku Sufistik itulah, Gus Dur

menjadi ancaman bagi seluruh gerakan apa pun yang

tidak memihak pada moralitas terdalam.

Ketika kebijakan-kebijakan "ke-Sufian" masuk dalam pola

kepemimpinannya, maka terjadi benturan-benturan

psikologis dengan nuansa-nuansa penyimpangan moral

itu sendiri. Karena itu, ketika kita kembali ke masa lalu,

kita akan menemukan fakta-fakta sejarah bahwa

eksistensi Indonesia, baik sebagai negara maupun sebagai

bangsa, akan terlihat bahwa Nation Building mendahului

State Building. Dengan bahasa lain, kultur kebangsaan

kita telah terbentuk sebelum negara ini terbentuk. Dari

sinilah, sehari-hari kita bisa merasakan betapa

hubungan-hubungan antar sesama dalam bentuk "rasa

batin" mendahului segala hubungan, dari sekadar

kepentingan rasional dan teknikal. Bahkan dalam tradisi

sosial keagamaan sekali pun, landasan-landasan

batiniyah ternyata lebih kuat jaringan kebudayaannya

dibanding dengan landasan-landasan ritus-formal. Kelak,

landasan-landasan ini begitu kuat tarik menariknya

Page 21: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

21

dalam pergulatan politik elit yang memperebutkan

hegemoni kebudayaan keagamaan dalam instrumen

kekuasaan.

Maka, jangan heran jika tarik menarik itu secara verbal

tampak dalam konflik politik NU-Muhammadiyah, adalah

konflik memperebutkan "kekuasaan nilai" yang harus

hegemonik dalam kehidupan bangsa dan ummat. Yaitu

perebutan formalitas agama dalam konstelasi bernegara,

sehingga bendera-bendera Islam diformalkan dalam

partai, slogan dan konstitusi vis a vis kultur "moralitas

agama" untuk kebangsaan, dimana kultur agama

mendasari perilaku bernegara.

Tradisi Wali Songo yang sering dijadikan acuan dakwah

NU misalnya, adalah tradisi Sufistik budaya, bahkan

dalam pola akulturasi dengan kekuasaan formal dan

kebudayaan lokal. Kalau tradisi "halal-haram" diterapkan

begitu saja dalam formalitas budaya, agama akan

mengalami keterasingan dan kekeringan. Karena itu, para

Wali memilih Jalan Sufistik menuju Tuhan, bahkan dalam

konstribusinya terhadap pengelolaan kekuasaan di zaman

dinasti Islam awal di Jawa, ketika secara de jure Raden

Fattah menjadi raja, dan secara de facto para Wali-lah

yang memimpin spiritualitas bangsa ketika itu.

Demokrasi dan Sufisme Pada diri GusDur

Disinilah Sufisme menjadi penghubung efektif, ketika

demokrasi diterjemahkan dalam hubungan saling

menghargai di tengah pluralitas yang sedang bergerak.

Sebab, kebebasan, penghargaan terhadap hak-hak

kemakhlukan, kecintaan sesama, kehambaan individu,

dan sejumlah nilai-nilai yang bisa mempertemukan

perspektif bersama hanya pada Sufisme. Sebab hanya

Page 22: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

22

Sufisme-lah yang melihat dua titik pandang: Allah dan

manusia. Pandangan-pandangan Sufistik itulah yang

melampaui "halal-haram", sehingga hubungan

kebangsaan tidak dihorisonkan pada belahan-belahan

yang saling berhadapan, hitam dan putih. Di sini, jika

tidak kita cermati, lompatan-lompatan pemikiran Gus Dur

terasa konstroversial, karena di satu sisi ia harus menjadi

Kiai Bangsa, di lain pihak ketika ia harus menjadi

Presiden. Ketika ia masih menjadi presiden ada posisi

dualistik. Posisinya sebagai Kiai Bangsa adalah posisi

Sufistik dalam membangun kearifan hidup bersama,

sementara tugas-tugas formal kepresidenannya, jelas

berhubungan dengan amanat yang dilimpahkan oleh MPR

kepadanya. Namun, ketika posisi Kiai Bangsa dinilai lebih

menonjol ketimbang kepresidenannya, tiba-tiba gugatan-

gugatan muncul sampai pada titik paling kritis. Suatu

gugatan "halal-haram" dari lawan-lawan politiknya.

Mengapa Gus Dur lebih banyak menonjolkan Kiai Bangsa

ketimbang kepresidenannya? Karena kebutuhan bangsa

saat ini bukanlah kebutuhan formalitas dan "topeng-

topeng" dibalik birokrasi dan penyelenggaraan negara.

Setelah tiga dasawarsa bangsa ini dibelenggu oleh

formalisme dan ritualisme monopolitik, maka, pertama-

tama bangsa ini membutuhkan pencerahan jiwa agar bisa

kembali ke fitrah kebangsaannya.

Tanpa kesadaran psikhologis akan hakikat berbangsa,

demokrasi akan gagal dibangun, apalagi oleh sekadar

mayoritas dan minoritas dalam perolehan suara, menang

dan kalah belaka. Berarti, Gus Dur tetap mengambil

wilayah hati nurani, untuk menjadi jiwa demokrasi.

Disebut hati nurani disini, bukanlah ambisi-ambisi batin

yang diaksentuasikan dalam jeritan protes atau

Page 23: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

23

pemberontakan rasional. Protes-protes apa pun namanya,

selalu merujuk pada ketidakadilan.

Tetapi penegakan keadilan belaka, ternyata tidak cukup

untuk menegakkan rumah kebangsaan. Karena fondasi

rumah kebangsaan kita adalah cinta dan kasih sayang,

bukan keadilan. Kasih sayang atau rahmat, ketika

diimplementasikan dalam proses berdemokrasi, akan

melahirkan penghargaan terhadap pluralitas secara adil

dan egaliter. Sementara penegakan keadilan tanpa

rahmat, hanya melahirkan kemenangan penuh dendam.

Inilah yang ingin dihindari Gus Dur, ketika dulu mengadili

Soeharto, jangan sampai timbul rasa dendam terhadap

tokoh Orba tersebut. Sebab siapa pun merasa tidak

mendapatkan ketidakadilan ketika ia harus dihukum,

namun harus pula menerima dendam kemanusiaan.

Dalam kisah legendaris, yang dipresentasikan secara

dramatis antara Sunan Kalijogo dengan Syeikh Siti Jenar,

terpantul suatu cerminan, bahwa eksekusi terhadap

Syeikh Siti Jenar, sedikit pun tidak mengurangi rasa cinta

Sunan Kalijogo terhadap kawannya itu. Karena,

sesungguhnya jiwa dan hati Sunan Kalijogo dan Syekh

Siti Jenar berada dalam dataran yang sama. Dan

sebaliknya, sikap demokrat sejati Syeikh Siti Jenar yang

secara "berani" menghadapi eksekusi, adalah karena

penghargaannya terhadap konstitusi dan hukum para

Wali.

Maka, di dalam drama eksekusi tersebut, prosedur-

prosedur formal tidak boleh mengintervensi aturan-aturan

jiwa yang menjadi batin dari suatu keputusan. Karena

intervensi rasionalisme terhadap spiritualisme bisa

melahirkan emosi-emosi negatif, sebalikinya intervensi

spiritualisme terhadap rasionalisme bisa melahirkan

Page 24: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

24

kalim-klaim sakralisme dalam bentuk sekularisme yang

maniak.

Oleh sebab itu, dendam terhadap tokoh yang bersalah,

bisa disebut sebagai "dosa demokrasi" ketika penegakan

hukum sebagai salah satu lemen demokrasi, justru

ditaburi oleh "balas dendam". Sementara fakta yang kita

lihat dalam proses demokratisasi kita, justru ada elemen

lain yang ditolerir dalam proses penegakan hukum, yaitu

proses dendam sejarah. Kenyataan ini menunjukkan

adanya pertanyaan besar yang belum dijawab oleh mereka

yang ingin menegakkan demokrasi itu sendiri. Nilai-nilai

dan roh demokrasi model apakah yang hendak ditegakkan

bagi demokrasi Indonesia?

Sebagai suatu wacana, Sufisme bisa disebut sebagai

wacana baru bagi proses penegakan wacana

kedemokrasian kita. Walau pun begitu, -- setidak-

tidaknya, -- kita melihat sebagian praktek Sufisme bagi

demokrasi itu ada dalam perilaku kepemimpinan Gus

Dur. Terlepas suka maupun tidak, sangat tidak

demokratis manakala kita bersikap apriori begitu saja

terhadap gerakan Demokrasi Gusdurian, sebelum kita

memahami secara tulus apa dan siapa Gus Dur dalam

konteks kebudayaan dan hakikat-hakikat keagamaan.

Page 25: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

25

Banyak karya tulis yang telah dibuat oleh gusdur.

Memang selain mahir memaparkan sesuatu lewat tausiah

atau pesan-pesan verbalnya beliau juga mahir

memaparkan opini dan pendafatnya lewat media tulisan.

Dan berikut beberapa karya tulis beliau:

Dapatkah NU Berperan Politik Nasional?

Paris, 12 Desember 2003

Bagi banyak orang timbul kegamangan akan kemampuan

NU, baik melalui Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)

maupun lain-lainnya, untuk memimpin sebuah

pemerintahan nasional? Bukankah ini sama dengan

„punguk merindukan bulan‟? Mereka menilai para Kyai di

pedesaan justru tidak memiliki pengalaman nasional

untuk memerintah dengan baik. Sebaliknya, para Kyai di

perkotaan justru mempertontonkan akhlak/moralitas

yang rendah; mereka tahan menderita, tetapi tidak tahan

Page 26: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

26

kaya. Lalu bagaimana jika para Kyai itu baik yang di desa

maupun yang di kota ternyata salah pilih orang, sehingga

yang memimpin negeri kita hanyalah para pencari muka

dan pengikut paham; “asal bapak senang saja”. Memang

harus diakui, pandangan dan pertanyaan ini adalah

sesuatu yang valid (absah) dalam kehidupan serba rumit

ini. Apalagi di kala kita akan menerapkan demokrasi yang

sesungguhnya setelah pemilu nanti.

Apalagi jika pada pertanyaan itu ditambahkan sebuah hal

lain; rakyat kita, yang umumnya masih berada pada taraf

pendidikan yang belum tinggi, belum dapat memasuki era

industrialisasi yang kita perlukan untuk maju. Kalau

mereka mencapai hal itu dalam waktu lima tahun lagi,

masihkah mereka setia pada para Kyai mereka sekarang?

Kalau tidak, siapakah yang akan mereka ikuti dalam

“jangka panjang”? Hal ini juga ditanyakan oleh para

pemuka agama-agama lain pada waktu akan dimulai

industrialisasi di sebuah negara. Paling tidak, para

“peninjau/pengamat” mengajukan pertanyaan-pertanyaan

tersebut, yang terasa sangat menyudutkan para

agamawan itu. Belajar dari pengalaman sejarahlah kita

harus menjawab dengan baik pertanyaan-pertanyaan di

atas. Kegagalan melakukannya, hanya akan membawa

irrelevansi agama kita, yaitu Islam .

*****

Hal pertama yang dapat kita kemukakan, adalah tentang

fungsi Islam sebagai agama bagi kehidupan kita di masa

ini. Haruskah Islam memasuki semua lorong kehidupan,

dan memberikan “cap”-nya kepada kita semua; benarkah

masyarakat kita masih “Islami”, kalau kita kurangi jumlah

lorong-lorong yang dimasukinya? Artinya, haruskah Islam

memasuki semua bidang kehidupan, tanpa pandang

Page 27: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

27

bulu? Ini adalah sebuah pertanyaan pelik, yang

jawabannya tentu terasa pahit bagi kita. Hadratu al-

Sheikh Mohammad Hasjim Asj‟ari, Ra‟is Akbar NU,

memimpin bahtsul masa‟il (pembahasan masalah), di

mana diputuskan “musik strijk” (orkes/band musik kita

sekarang) hukum agamanya diharamkan. Keputusan itu

tidak pernah diubah, namun dalam praktek diabaikan.

Dalam hal ini, kita semua pernah mengabaikan satu atau

dua keputusan agama yang dirumuskan oleh para ulama

dengan serius, melalui perdebatan terbuka yang hangat.

Walaupun demikian, haruslah diakui dalam hal-hal

utama kita tetap berpegang pada kaidah-kaidah Hukum

Islam (fiqh) dari madzhab kita. Contoh terakhir adalah

kasus penyedap masakan Ajinomoto, yang secara lantang

diharamkan oleh Din Syamsuddin dari MUI. Para Kyai NU

di Jawa Timur memutuskan, pembuatan Ajinomoto itu

tidak bertentangan dengan ajaran agama, walaupun jika

tabung minyak babi pecah dan membuat kristal-kristal

penyedap bumbu masakan itu terkontaminasi minyak

babi. Ini diputuskan setelah para ulama NU itu mendapat

janji pihak pabrik penyedap masakan itu, bahwa bejana

air yang digunakan untuk membuat kristal akan

disamakan hukumnya dengan air yang mengalir (al-ma al-

jari) jika dibuatkan kran pembuang, yang seukuran

dengan air yang masuk ke dalam bejana itu. Jadi air

masuk (in-take) sama besarnya dengan air keluar (out-

take). Dengan demikian, in-take dan out-take pembuatan

penyedap masakan itu masih aplikatif hukumnya. Ini

kenyataan yang menunjukkan bahwa hukum fiqh berlaku

lebih dari “hukum” yang dikeluarkan Din Syamsuddin.

Dengan demikian, menjadi nyatalah bagi kita, bahwa ada

sesuatu yang membuat “hukum agama” lebih dihargai

dan diterima oleh publik, dari pada “hukum politik”, dari

Page 28: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

28

siapapun yang mengeluarkannya. Tentu timbul

pertanyaan, mengapakah keadaan menjadi demikian?

Tidak kurang-kurang para pemimpin politik yang

menggunakan baju Islam, baik melalui MUI maupun NU

dan Muhammadiyah, penerimaan mereka atas “hukum

fiqh” masih lebih kecil dari pada penerimaan masyarakat.

Ini berarti ada sesuatu yang ada dalam hukum fiqh itu,

yang tidak dimiliki oleh pendapat politik yang

menggunakan nama Islam sekalipun. Ini sering penulis

dapati dalam pernyataan demi pernyataan yang

dikemukakan oleh berbagai organisasi/gerakan Islam,

seperti PUI, Persis, FPI, Laskar Jihad dan akhir-akhir ini

gerakan jihad fi sabilillah. Jelaslah dengan demikian, letak

kekuatan NU dan Muhammadiyah.

Nah, kenyataan ini membawa kita kepada sebuah

keadaan lain, yaitu bahwa keputusan politik apapun di

kalangan gerakan-gerakan Islam, masih kalah dengan

keputusan “fiqh” dalam hal-hal yang menyangkut

kepentingan gerakan Islam. Karenanya, setiap keputusan

yang “dibungkus” dalam “hukum fiqh” masih jauh lebih

berharga dari pada yang lain-lain.

Di sinilah terletak kekuatan kita, yang terkadang sangat

menentukan. Ketika para anggota Panitia Persiapan

Kemerdekaan Indonesia (PPKI) memutuskan untuk

menerima gagasan persamaan status hukum bagi semua

warga negara RI, melalui pencoretan Piagam Jakarta, dan

praktis mematikan (minimal untuk sementara) gagasan

Negara Islam, kemudian menggantikannya dengan istilah

“Negara Pancasila”, maka segera pengesahan konsep

“Negara Pancasila itu berdasarkan “hukum fiqh”.

Keputusan itu nyatanya masih dipakai terus hingga

sekarang, dan hingga masa selanjutnya. Dengan

demikian, jelaslah kekuatan “hukum fiqh” ternyata masih

Page 29: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

29

belum tertandingi oleh gagasan / pendapat lain yang

diajukan kepada masyarakat.

Jelaslah, apa yang ditentukan oleh “Hukum fiqh” itu,

dalam “bahasa awam” seringkali disebut sebagai

akhlak/moralitas, ternyata juga memiliki kekuatannya

sendiri. Krisis multi-dimensiyang melanda negeri kita

selama tuju tahun terakhir ini, oleh “masyarakat bawah”

dianggap sebagai “hukuman” Tuhan –minimal cobaan-

Nya, atas langkanya akhlak moralitas yang dipakai

sebagai dasar tindakan-tindakan yang

diambil/dilaksanakan selama beberapa dasa warsa

terakhir ini. Setuju atau tidak atas pendapat seperti itu,

dalam kenyataan akhlaq dan moralitas berperan dalam

“keputusan” pemilihan umum yang akan datang.

Terutama pemilu legislatif, karena ternyata saat ini para

“wakil rakyat” yang mengisi jabatan-jabatan legislatif,

bahkan memberikan contoh tidak baik kepada

masyarakat dalam soal akhlak atau moralitas itu. Banyak

warga masyarakat merasa bahwa kepercayaan atau

amanat yang mereka berikan kepada para legislator itu,

ternyata disia-siakan saja. Bukannya turut mengatasi

krisis yang ada, mereka bahkan bersama pihak ekskutif

bermotif komersial untuk kepentingan sendiri/ golongan

dalam mengambil keputusan.

*****

Di sini kita lihat hubungan antara agama dan politik.

Hubungan itu tidak bersifat agama, karena hal itu sama

saja artinya dengan membuat sebuah “negara agama”.

Negara mengambil keputusan-keputusan berdasarkan

pertimbangan kenegaraan, ada yang bersifat hukum,

tetapi kebanyakan bersifat politis. Nah, peranan agama

dalam hal ini adalah untuk menjaga agar keputusan-

Page 30: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

30

keputusan yang diambil, jangan melanggar kaidah-kaidah

akhlak/moral. Karena itu kita tetap memerlukan para

agamawan dan mereka yang berbudi luhur, termasuk

yang menjadi warga lembaga-lembaga keagamaan dan

para pengamat berbagai gerakan keagamaan. Suara

mereka harus diperhatikan, karena merekalah yang

menjadi “penjaga hati-nurani” sebuah bangsa. Kalau

mereka dibuat tidak berkutik karena materialisme

dimenangkan atas pendapat mereka, dalam jangka

panjang kita juga yang rugi.

Demikian juga organisasi gerakan keagamaan, para

agamawan dan pembawa pesan budi luhur sebuah

bangsa, harus juga diserahi tugas untuk menjaga agar

orientasi kita sebagai bangsa tidak semata-mata bersifat

kebendaan/materialistik. Harus ada spiritualitas

kerohaniahan yang menentukan orientasi dan masa

depan bangsa. Selalu diciptakan keseimbangan antara

capaian materialistik dan kerohaniahan, yang membuat

bangsa itu maju secara empirik dan teknologi, tetapi tidak

meninggalkan kaidah-kaidah moral dari agama apapun.

Dalam hal ini, observasi kita mengenai sikap materialistik

yang dominant, yang disandarkan pada pertimbangan-

pertimbangan geopolitik belaka dalam percaturan

internasional, akhirnya, menimpa seluruh dunia saat ini,

termasuk negara-negara yang dianggap “berindustri

maju”. Kenyataan inilah yang mendorong penulis

mengajak kita semua untuk menjaga keseimbangan

antara agama dan politik dalam pengertian di atas. Mudah

dikatakan, namun sulit dilaksanakan, bukan?

Inul, Rhoma, dan Saya

Jakarta, 14 Mei 2003

Page 31: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

31

Pada permulaannya, kasus Inul lepas dari perhatian

penulis. Namun kemudian Rhoma Irama-yang oleh

penulis biasa dipanggil "Bang Haji"- menurut berita

meminta kepada beberapa stasiun televisi dan beberapa

jenis media lain untuk tidak menyiarkan/menayangkan

Inul melakukan "pengeboran". Penulis tidak tahu

efektifitas tindakan Bang Haji itu, tapi Sastro Ngatawi

pada suatu hari meminta penulis bertemu Inul, dalam

sebuah acara makan siang di Hotel Grand Melia di

kawasan Kuningan, Jakarta. Penulis menyetujui

pertemuan itu , dan dalam acara itu Inul menyampaikan

beberapa hal kepada saya. Salah satunya yang memang

sudah diketahui, adalah kenyataan bahwa memang berat

"pukulan" yang dilontarkan Bang Haji atas kegiatan

pergelaran seni Inul tersebut. Namun, begitu penulis turut

menyikapi masalah ini, banyak pihak (terutama kaum

perempuan) yang semula diam saja, lalu banyak bergerak

menyuarakan pendapat mereka yang umumnya

menyalahkan Bang Haji. Bahkan ada yang mengancam

akan mengajukan somasi kepada Bang Haji ke Pengadilan

Negeri.

Tentu saja, hal ini dirasakan penulis sebagai sesuatu yang

kontra produktif, karena bagaimana pun Bang Haji adalah

seorang aktivis yang berjuang untuk kebesaran Islam dan

kejayaan kaum Muslimin. Sikapnya ditentukan oleh cara

perjuangannya itu. Dalam pandangan penulis, Bang Haji

melakukan perjuangan dengan caranya sendiri untuk

menjaga moralitas sesama muslim, seperti yang

dirumuskan fi'qh/hukum Islam, sebagai amar ma'ruf nahi

munkar. Kitab suci Al Quran menyatakanya: "Kalian

adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan di muka bumi,

karena kalian mewajibkan apa yang diperintah agama dan

mencegah apa yang dilarang agama" (Kuntum khairah

Page 32: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

32

ummatin ukhrijat li al-nas ta-muruna bi al-ma'ruf wa

tanhauna an' al-munkar). Dengan demikian apa yang

diperbuat Bang Haji sepenuhnya benar. Namun caranya

dengan mengeluarkan larangan pada Inul itu, tidak dapat

dibenarkan oleh konstitusi. Menurut Undang-Undang

Dasar (UUD) kita, manusia memiliki kebebasan untuk

melakukan apa saja yang dikehendakinya, selama tidak

bertentangan dengan konstitusi. Dan yang menentukan

hal itu bukanlah perorangan warga masyarakat,

melainkan hanya Mahkamah Agung. Dengan kata lain,

Bang Haji melakukan pelanggaran konstitusi demi

menjaga moral dan akhlak kaum muslimin dari

kerusakan. Karena berusaha menjaga prosedur seperti

yang digariskan dalam UUD 45, maka penulis melakukan

tindakan dengan berpendapat, "Bang Haji secara

konstitusional tidak berhak melakukan pelarangan

terhadap Inul karena "pengeboran"- nya.

*****

Tindakan mempertahankan konstitusi itu dilakukan

penulis, karena UUD kita memang sangat sering

dilanggar, termasuk oleh pemerintah. Kalau pelanggaran

demi pelanggaran oleh siapa pun di negeri ini dibiarkan,

maka tentu kita tidak akan dapat menegakkan demokrasi.

Karena dasar dari demokrasi adalah tegaknya kedaulatan

hukum dan persamaan perlakuan bagi semua warga

negara di hadapan Undang-Undang. Sedangkan tanpa

kedaulatan hukum itu tidak akan ada demokrasi di negeri

ini. Karena concern terhadap penegakkan demokrasi di

negeri ini, maka dengan sendirinya penulis harus

menegakkan kedaulatan hukum. Dan ini hanya akan

dapat tercapai apabila konstitusi juga dihormati dan

dilaksanakan dalam kehidupann kita sehari-hari. Itulah

sebabnya, mengapa penulis "berani" menentang tindakan

Page 33: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

33

Bang Haji itu, walaupun menyetujui maksud Bang Haji

menjaga moralitas bangsa akibat dari pagelaran-pegelaran

seni yang melanggar norma. Jika Bang Haji melihat

bahaya bagi kaum muslimin, penulis bahkan

memperluasnya bagi seluruh anak bangsa. Karena itulah,

penulis sepakat dengan Bang Haji mengenai pentingnya

arti menjaga moralitas masyarakat, tetapi dengan tidak

melarang pagelaran Inul. Sikap yang dikeluarkan Bang

Haji sebenarnya harus melalui imbauan kepada

masyarakat, dengan tidak melarang lembaga-lembaga

umum seperti stasiun televisi atau media massa. Jadi

antara esensi dan prosedur harus diusahakan bersamaan.

Contoh klasik ini memperlihatkan kepada kita betapa

sulitnya menjaga kedaulatan hukum dalam kehidupan

sehari-hari. Itu tidak berarti penulis sepenuhnya

bertentangan dengan Bang Haji, tetapi memiliki

persamaan esensi, yaitu pentingnya menjaga moralitas

bangsa. Tentu saja, banyak orang yang menyetujui

langkah "jalan pintas" yang dilakukan Bang Haji itu.

Tetapi dalam jangka panjang hal itu justru

menghancurkan kedaulatan hukum, dengan demikian

demokrasi tidak akan tegak di negeri kita. Mengapa terjadi

"pertentangan" seperti ini? Karena ada kerancuan soal

pemilik kedaulatan hukum tertinggi dalam kehidupan kita

sebagai bangsa dan negara.

*****

Mengapa penulis melakukan tindakan tegas seperti itu?

Jawabnya sederhana saja, yaitu pengalaman pribadi

penulis atas hilangnya kedaulatan hukum. Sebagaimana

diketahui, pada tanggal 21 Juli 2001, para ketua umum

partai politik yang berkuasa, dengan dibantu beberapa

pihak, di rumah Megawati Soekarnoputri di bilangan

Kebagusan (Pasar Minggu, Jakarta) telah memutuskan

Page 34: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

34

menyelenggarakan Sidang Istimewa MPR. Tindakan itu

diambil guna memungkinkan menilai langkah-langkah

penulis dalam kasus Brunei dan Bulog. Kenyataannya,

dalam kedua kasus itu, tidak terdapat bukti hukum

untuk menyalahkan penulis. Karena itu penyelesaiannya

lalu dilarikan ke dalam "penyelesaian politis". Inilah

kerancuan kalau kita tidak setia kepada konstitusi.

Karena penulis tidak ingin hal itu terjadi kembali, apalagi

jika penyimpangan UUD 45 itu dilakukan oleh orang yang

sangat dihormati seperti Bang Haji. Karena itulah, penulis

rela dimarahi dan ditentang oleh siapa pun termasuk

sejumlah ulama NU (Nahdlatul Ulama) sendiri. Dengan

kesadaran penuh penulis bertemu dengan Bang Haji,

walau tanpa ada kesesuaian dalam langkah-langkah yang

diambil untuk menjaga moralitas bangsa. Karena penulis

tetap berkesimpulan prosedur dan esensi (proses dan

tujuan), selamanya harus ada kesesuaian. Hanya dengan

cara demikianlah kedaulatan hukum dapat dipertahankan

dalam jangka panjang. Selama ada seorang warga negara

dalam kedudukan yang sama seperti penulis, mengambil

tindakan untuk mempertahankan supremasi hukum di

negeri kita, selama itu pula masih ada harapan bagi

demokrasi untuk dapat ditegakkan di negeri kita. Hal itu

hanya dapat dilakukan, apabila kita tidak memisahkan

konstitusi (kedaulatan hukum) dari prosedur penegakkan

hukum itu sendiri. Kerangka itu pula yang mendasari

penulis menentang divestasi Indosat dan kenaikan harga

BBM (Bahan Bakar & Minyak) juga TDL (Tarif Dasar

Listrik) tanpa ada kenaikan pendapatan masyarakat.

Karena dalam UUD 45 disebutkan negara melaksanakan

hajat hidup orang banyak. Sedang dalam satelit milik

Indosat terkandung informasi intelejen mengenai negara

kita. Berarti keselamatan kita sebagai bangsa--dalam hal

ini informasi intelejen dalam satelit Indosat- tidak boleh

Page 35: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

35

diserahkan kepada orang lain, karena ia merupakan hajat

hidup orang banyak. Keputusan tentang hal ini harus

dikeluarkan oleh Mahkamah Agung (MA). Pemerintah

tidak dapat mengambil langkah apa pun sebelum MA

mengeluarkan keputusan membolehkannya. Begitu juga

dengan kenaikan harga BBM dan TDL. Kedengarannya

mudah menegakkan konstitusi, tetapi sulit dalam

pelaksanaan bukan?

Jalan Rakyat Menuju Demokrasi

Dalam sebuah siaran radio swasta niaga, sosiolog

Universitas Indonesia (UI), Thamrin Amal Tomagola

menyatakan kesangsiannya bahwa Indonesia akan dapat

mencapai demokrasi melalui partai politik (Parpol). Ia juga

menolak keinginan kalangan Universitas Gadjah Mada

(UGM) Yogyakarta, agar proses demokratisasi dipelopori

oleh universitas, dengan tenaga-tenaga LSM dan

mahasiswa sebagai perintisnya. Thamrin lebih

menyenangi peranan universitas-universitas di daerah,

sehingga pendapat daerah akan muncul lebih menonjol,

ketimbang pendapat dari pusat-pusat keistimewaan

(center of excellence) yang dibangun oleh sejumlah

universitas-universitas berkaliber nasional, seperti UGM,

UI, dan ITB.

Pandangan Thamin sangat menarik untuk dikaji, karena

terkait dengan sejumlah lembaga di daerah yang lebih

mencerminkan desentralisasi-desentralisasi. Dengan kata

lain, Thamrin mensyaratkan desentralisasi sebagai

tonggak penguji bagi berlangsungnya demokratisasi di

negeri kita. Benarkah? Penulis beranggapan tidak. Karena

mengukur demokratisasi dengan desentralisasi kekuasaan

sangatlah riskan. Menurut penulis, desentralisasi adalah

hasil dari proses demokratisasi, bukan sebaliknya.

Page 36: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

36

Apabila terjadi proses demokratisasi yang benar, dengan

sendirinya akan tercapai kematangan yang

memungkinkan berlangsungnya desentralisasi kekuasaan.

Penulis yakin hal itu akan terjadi manakala ada

sponsornya yang gigih dan konsisten. Dengan

memberikan kepada kita semua untuk memilih pemimpin

itu, penulis yakin bahwa pada waktunya akan muncul

seorang pemimpin bangsa yang dapat melakukan sebuah

proses demokratisasi. Ini berarti, penulis melihat adanya

jalan bagi Parpol untuk mengembangkan demokratisasi

tanpa terganggu oleh kemelut politik yang ada dewasa ini.

Kalau meminjam istilah Von Clausewitz dua abad yang

lalu, bahwa perang terlalu penting untuk hanya

diputuskan oleh para jenderal. Penulis beranggapan pula

bahwa demokratisasi kehidupan kita tidak hanya cukup

dirumuskan oleh para pengamat saja, setinggi apapun

kredibilitasnya saat ini. Soalnya ini menyangkut seluruh

kehidupan bangsa, sehingga ia harus diputuskan oleh

seluruh bangsa pula, melalui kesepakatan antara pihak

eksekutif yang kuat dan pihak legislatif yang sama

kekuatannya, dengan diperiksa oleh sebuah Mahkamah

Agung yang bertanggung jawab.

Mayoritas Bisu Bukannya kita mengabaikan para

pengamat, tetapi kita tidak boleh terlalu mengagungkan

mereka, seolah-olah mereka adalah pemegang kebenaran.

Pendapat mereka, seperti juga pendapat orang-orang lain,

mempunyai nilai sendiri. Apalagi mereka hanya mengenal

dunia akademis saja, yang tidak boleh dijadikan

kebenaran mutlak. Kebenaran yang harus kita ikuti

adalah yang diputuskan oleh rakyat, melalui Pemilu itu

sendiri. Inilah yang oleh Richard Nixon, disebut sebagai

"mayoritas bisu" (silent majority), yang merupakan sebuah

kekuatan "pemberontakan" di Amerika Serikat 30-an

Page 37: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

37

tahun yang lalu. Ia ditertawakan oleh hampir semua

pengamat, yang menguasai dunia pers, elektronika dan

media cetak saat itu. Apalagi ia mengemukakan hal itu

setelah ia terlibat dalam scandal Hess sewaktu ia menjadi

wakil Presiden di bawah Presiden Eisenhower. Saat itu, ia

dianggap sudah "habis" karir politiknya dan tamat

keterlibatannya dengan dunia pemerintahan, paling tidak

demikianlah pendapat pers. Namun Nixon adalah orang

yang tidak mudah putus asa dan dalam waktu 30 tahun

ia berhasil kembali ke dunia politik. Hal itu dilakukannya

melalui dua cara. Pertama, ia mengumpulkan kekuatan

politik dari partai Republik. Kedua, ia memulai sebuah

tradisi baru dalam pemerintahan Amerika Serikat. Ia

berbicara langsung kepada "mayoritas bisu" yang

dikenalnya dengan baik tanpa memperdulikan pendapat

para pengamat, yang dinilai tidak tahu apa yang mereka

lakukan. Hal itu sekarang terjadi pula dalam perpolitikan

Indonesia, dalam bentuk sikap acuh tak acuh para

pengamat atas kepercayaan rakyat yang sebenarnya.

Mereka tidak tahu bahwa kebanyakan rakyat yang akan

memberikan suara dalam Pemilu nanti, membedakan

antara mengerti dan tahu. Rakyat tidak tahu banyak

tentang dunia politik dan pemeritahan, tetapi mengerti

mana yang baik dan buruk, dan mana yang benar atau

salah. Mereka tidak dapat di tipu dengan slogan-slogan

yang kosong dari kebenaran dan jauh dari kenyataan.

Mereka tidak mudah menelan oleh janji-janji kosong,

melainkan mereka menyimak dengan tekun pernyataan

demi pernyataan mengenai bagaimana demokrasi yang

berintikan dan berlandaskan kedaulatan hukum. Dan

persamaan perlakuan bagi semua warga negara di

hadapan undang-undang. Dari sinilah mereka menjadi

mengerti apa yang harus dilakukan, yaitu memberikan

Page 38: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

38

suara kepada pihak yang benar-benar melakukan upaya

demokratisasi.

Mengerti Dan Tahu Dari kenyataan ini, menjadi penting

bagi kita untuk memiliki kemampuan membedakan, sikap

mengerti dari kurangnya pengetahuan. Islam secara

mendalam membedakan mana yang dianggap mengerti

dan mengatahui itu. Dalam pandangan Islam,

keterdidikan memiliki kedua dimensi itu. Karenanya,

orang yang tahu banyak tetapi tidak memiliki

pengetahuan yang mendalam tentang sesuatu masalah,

belum tentu pendapatnya benar. Dalam hal ini, sikap

mengerti dari seorang awam akan lebih punya nilai

daripada pendapat "para ahli". Karenanya anggapan

bahwa rakyat kita bodoh dan dapat dibodohi, harus

diragukan kebenarannya. Menurut pemahaman penulis,

pendapat yang benar harus dapat dimengerti

kegunaannya bagi kehidupan kita di masa depan. Atas

dasar pemikiran seperti itulah, bangsa kita yang masih

rendah pengetahuannya (menurut statistik), yang

terbelakang dari sudut pengembangan SDM, mungkin

saja mendirikan demokrasi. Warga bangsa yang bodoh

dan kurang pengetahuan itu mampu menumbangkan

pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998. Dalam pada

itu, mengapa pula transisi demokrasi tidak terjadi di

negeri-negeri ASEAN yang lain, yang dianggap lebih maju

dan canggih? Tentu saja, tidak semua bangsa mengalami

stadium yang sama pada waktu yang sama pula. Masing-

masing memiliki pengalaman yang berbeda, dan itu

membuat sejarah peradaban umat manusia sangat

menarik. Bangsa India, terlepas dari perbedaan antara

kaya dan miskin yang demikian besar, ternyata memiliki

disiplin hidup yang jelas untuk memprioritaskan teknologi

terapan yang perlu untuk mengangkat derajat hidup

Page 39: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

39

mereka sebagai bangsa. Juga melalui sistim hukum yang

memiliki pengekangan sangat kuat atas kekuasaan. Akan

halnya kita, pengalaman bangsa kita yang serba beragam

merupakan salah satu bahan ramuan yang akan

melanjutkan demokratisasi di negeri kita.

Umat Islam, Dimanakah Alamatmu?

Jakarta, 12 Agustus 2003

Beberapa tahun yang lalu, Sydney Jones menulis sebuah

artikel dalam jurnal ilmiah “Indonesia”, terbitan Univeritas

Cornell, di New York. Dalam tulisan itu ia menyebutkan

beberapa kali istilah “umat Islam”, yang sebenarnya telah

diartikan berbeda-beda oleh para ahli yang berlainan lebih

dari 100 tahun lamanya. Penulis juga senantiasa

menyatakan, paling tidak kata itu memiliki dua buah arti

penting. Di satu pihak maksud dari kata itu adalah semua

orang yang beragama Islam, jadi istilah umat Islam sama

dengan istilah kaum Muslimin. Setiap orang yang

memberikan kesaksian dan berkeyakinan bahwa “Tiada

Tuhan Selain Allah dan Nabi Muhammad adalah pesuruh-

Nya” ini udah termasuk kaum Muslimin. Dalam

pengertian umum itu umat Islam berarti setiap orang

Muslim dalam sebuah negara. Arti kedua, adalah orang

yang mendukung sebuah gerakan keagamaan Islam,

seperti umat Muhammadiyah, NU, Persis, dll.

Berdasar maksud dua pengertian tadi, maka ketika ada

klaim misalnya bahwa umat Islam menolak perjudian.

Maka sejak hal itu akan dijadikan sebuah ketentuan

formal, Rancangan Undang-Undang (RUU)nya dibawa ke

DPR dan kemudian diundangkan atas dukungan semua

anggotanya, termasuk kaum Non-Muslim. Memang

undang-undang tersebut dibuat atas inisiatif kaum

Page 40: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

40

Muslimin -paling tidak para pemimpin mereka. Namun

telah terjadi perpindahan dan UU tersebut menjadi “milik

bersama” dengan mereka yang tidak menjadi warga

berbagai gerakan Islam dan juga Non-Muslim. Banyak

produk-produk hukum formal seperti ini, yang telah

dihasilkan di negeri kita.

Dengan mengerti keadaan sebenarnya yang timbul dari

kenyataan historis seperti itu, kita dapat melihat

bagaimana pentingnya memahami aspirasi sebuah kaum,

dan dapat menghindari kerugian yang mungkin

ditimbulkan dalam kehidupan kaum Muslimin bangsa

kita. Karena itu, menjadi sangat penting bagi kita untuk

membedakan arti kata umat Islam yang dimaksud

berdasarkan penggunannya.

Ketika ada klaim bahwa mayoritas “umat Islam”

menginginkan negara agama, kita serta-merta dapat

menyatakan bahwa yang dimaksud dengan istilah itu

adalah para warga berbagai gerakan Islam yang ada di

negeri ini. Namun hal itupun belum tentu benar demikian

adanya, karena seluruh bukti-bukti historis justru

menunjukkan keadaan sebaliknya yaitu bahwa gagasan

tersebut hanyalah pendapat minoritas.

*****

Klaim partai-partai politik yang menamakan diri “Partai

Islam” yang dalam kenyataan tidak mewakili pendapat

mayoritas bangsa ini, terjadi dalam sidang-sidang Dewan

Konstituante tahun 1956-1959 dan dalam sidang-sidang

MPR beberapa tahun terakhir ini . Usulan agar supaya

konstitusi kita mencantumkan Piagam Jakarta ternyata

ditolak. Penolakan ini menunjukkan bahwa pihak-pihak

yang mengambil inisiatif untuk memasukkan Piagam

Page 41: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

41

Jakarta ke dalam konstitusi kita, hanyalah kelompok

minoritas. Namun masalahnya adalah walaupun mereka

adalah golongan minoritas, namun berjumlah cukup

signifikan yaitu antara 25 hingga 45 % suara dalam

Dewan Konstituante dan MPR. Walaupun kedua lembaga

itu telah dan akan dibubarkan, namun hal ini masih juga

menjadi sesuatu yang dapat berbuntut panjang.

Jalan satu-satunya untuk menyelesaikan masalah ini

secara tuntas, hanyalah melalui pemilihan umum. Jika

partai politik yang mengklaim pembawa aspirasi umat

Islam ini menang, dengan sendirinya masalah lama ini

akan muncul kembali dalam perdebatan politik kita di

masa yang akan datang. Tapi kalau partai-partai politik

yang “bukan” partai politik Islam yang memenangkan

lebih dari 70 % suara, maka dapat diharapkan untuk

selanjutnya masalah ini selesai dengan sendirinya. Lagi-

lagi masalahnya berkisar pada istilah aspirasi “umat

Islam”. Karena itu untuk sementara waktu kita masih

harus bersabar menunggu datangnya sang waktu bagi

penyelenggaraan pemilu tersebut.

Berkaitan dengan itu ada lagi masalahnya, yaitu keragu-

raguan cukup besar dikalangan warga masyarakat kita:

Benarkah pemilu akan terselenggara tepat pada

waktunya? Karena kasus kematian Marimutu Manimaren

yang diliputi kerahasiaan dan peledakan bom yang

berkekuatan sangat besar di Hotel Marriott telah

menimbulkan keragu-raguan, apakah itu tidak disengaja

untuk menggagalkan pemilu?

Karenanya, pemerintah (dan ini berarti juga aparat-

aparatnya yang penting seperti Polri, BIN dan sebagainya)

harus segera berbicara tentang hal ini. Sikap untuk

mengangap hal ini tidak penting justru akan

Page 42: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

42

memperpanjang kekhawatiran masyarakat . Hanya

dengan kejelasan persoalan, bukan dengan langkah

sangat cepat yang hanya untuk “mendinginkan keadaan”,

kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dapat dijaga.

Banyaknya kejadian yang ditimbulkan oleh para teroris,

kasus yang tidak dapat diterangkan asal-usulnya dan

jawaban yang tidak bertanggung jawab dari aparat

pemerintah akhir-akhir ini, bagaimanapun juga akan

membuat kepercayaan masyarakat berkurang. Kalau

kepercayaan ini habis sama sekali, maka tentulah para

penguasa pemerintahan akan dihadapkan kepada sesuatu

yang lebih besar: revolusi sosial atau sering juga

dinamakan konflik horizontal. Tanda-tanda pertamanya

sudah terjadi secara meluas di negeri kita saat ini, dalam

bentuk penjarahan-penjarahan oleh rakyat.

Karena itulah pemerintah saat ini sangat menjaga

kepercayaan masyarakat, namun sangat disayangkan

semakin menjadi-jadinya KKN di segala bidang, -betapa

kecilnya sekalipun- telah mengurangi kepercayaan itu.

Salah satu bentuknya adalah meluasnya anggapan

keadaan di era Soeharto jauh lebih baik dari era sekarang

ini.

Kalau masyarakat sampai kehilangan kepercayaan kepada

pemerintah dengan sendirinya pendekatan politis kepada

umat Islam semakin efektif, hal ini dapat dilihat dari

semakin suburnya “partai politik Islam”; hal yang tentu

tidak diharapkan oleh para pemimpin negara kita saat ini.

Jadi, tidak jalan lain bagi kita selain memfungsikan Islam

secara kultural/budaya, untuk menjamin agar supaya

“Islam politik” tidak tumbuh lagi dan merusak pohon

konstitusi kita.

Page 43: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

43

*****

Dari apa yang digambarkan di atas, dengan sendirinya

memunculkan kebutuhan untuk mengetahui definisi

“umat Islam” yang sebenarnya dan mengetahui juga

secara tepat konfigurasi keadaan di luar anggapan yang

telah ada sering sangat ditentukan oleh perkembangan

politik.

Baru-baru ini, penulis diwawancarai oleh radio Inggris,

BBC World Service penulis ditanya apakah lagu yang

disukai. Ketika penulis menyatakan lagu Me and Bobby

McGee, pewawancara pertelpon itu sangat terkejut.

Tahukah anda siapa penyanyinya? jawab penulis, tahu ia

Janis Joplin mati karena overdosis narkoba pada usia 24

tahun. Lagu Me and Bobby Mc Gee menceritakan seorang

perempuan hippy yang mengikuti seorang masinis

lokomotif disel selama 3 hari sepanjang anak benua A.S

dan tidur dengannya di kota-kota persinggahan tanpa

perkawinan. Ini jelas melanggar ajaran agama, tetapi bagi

saya yang penting nadanya enak.

Dari uraian di atas, menjadi jelas bahwa kita memerlukan

kejelasan mengenai subyektifitas kaum Muslimin dan

gerakan-gerakan Islam di negeri ini. Tanpa kejelasan itu,

kita hanya akan berputar-putar belaka mengenai berbagai

aspek dari kehidupan kita sebagai bangsa. Inilah hal yang

menimbulkan keprihatinan kita, karena kita justru

menghargai ke-bhineka-an. Tentu saja, dengan hanya

bermodalkan kesimpangsiuran mengenai apa yang

dimaksudkan dengan istilah “umat Islam” tersebut, kita

akan tetap berada dalam kegelapan. Pemilu akan

datanglah yang dapat memberikan jawaban yang pasti,

apa sebenarnya aspirasi “umat Islam”? Sebelum itu tidak

bijaksana kiranya kita mengambil langkah strategis dalam

Page 44: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

44

kaitan “membungkam” gerakan Islam dan gerakan Islam

lain di dunia ini. Sangat sulit memahaminya dewasa ini,

apalagi dengan penerapan dalam kenyataannya, bukan?

Keberanian Menjadi Pemimpin Bangsa

Dewasa ini bangsa kita tengah bersiap-siap menyambut

pemilu 2004, dengan segala duka dan suka, kelebihan

dan kekurangannya. Ada yang menyangsikan, dapatkah

bangsa ini melakukan pemilu yang demokratis? Banyak

juga yang mempertanyakan dapatkah dilaksanakan

Pemilu yang jujur dan mungkin dapat

dipertanggungjawabkan kepada generasi-generasi

mendatang? Ada pula yang melihat bahwa kita masih jauh

dari demokrasi, tanpa menjelaskan apa yang

dimaksudkan dengan istilah tersebut. Tetapi rakyat

kebanyakan justru percaya kepada kemampuan bangsa

kita untuk melaksanakan pemilihan umum yang

demokratis. Tentu saja masih akan terdapat kecurangan-

kecurangan dan kesalahan-kesalahan dalam pemilihan

umummendatang, tetapi itu adalah hal yang sudah

diramalkan akan terjadi. Ketika penulis, sebagai salah

seorang pimpinan PKB ditanya oleh seorang wartawan

Australia bukankah demokratisasi memerlukan waktu

sangat panjang, sekitar 80-90 tahun dan mengapakah

penulis berani membentuk PKB untuk sasaran tersebut?

Penulis menjawab menurut pepatah Tiongkok kuno,

perjalanan 10.000 lie (sekitar 5000 km) dimulai dengan

sebuah ayunan langkah pertama.

Penulis berharap, pemilu yang akan datang, merupakan

ayunan langkah pertama seperti digambarkan oleh

pepatah tersebut. kalau partai-partai politik lain dikuasai

preman dan ada pula yang menggunakan uang sebagai

alat memenangkan pihaknya dalam pemilu, penulis

Page 45: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

45

memilih untuk melakukan pembersihan di kalangannya

sendiri. Tentu saja, “pembersihan” yang dilakukan itu

tidak dapat diselesaikan sekaligus. Namun dalam

pandangan penulis, kebersihan politik akan menjadi salah

satu faktor menangnya peserta pemilu, karena rakyat

telah sadar saat ini. Mereka tidak akan memberikan suara

bagi partai politik yang kotor. Terkadang, tindakan penulis

untuk membersihkan PKB dianggap oleh sementara

pengamat sebagai tindakan yang sia-sia belaka. Mereka

menunjuk kepada pengalaman masa lampau, ketika

pemerintahan Orde Baru memegang peranan yang

menentukan, dan selalu memenangkan pemilu.

Tidak mereka sadari, sebenarnya Orde Baru tidak pernah

memenangkan pemilu, yang mereka lakukan adalah

rekayasa pemilu, guna menguntungkan pihak sendiri.

Rekayasa itu dilakukan melalui manipulasi hasil

pemungutan suara. Caranya, dengan menghitung suara

“pihak lawan” dalam pemilu, atau suara yang tidak

dicoblos oleh para pemilih, seolah-olah dua pertiga atau

lebih sisanya mendukung pihak sendiri. Dengan cara itu,

terjadi hal-hal menggelikan, seperti penghitungan suara di

pedalaman Sulawesi Selatan. Namun, para “pengamat”

menganggap rakyat memilih parpol itu, yang penulis rasa

merupakan pendapat yang salah Hal-hal semacam ini

sudah bukan rahasia lagi, dan saat ini tinggal menjadi

kenangan bagi para pemilih..

Penulis yakin, dengan penjagaan aparat negara yang juga

menginginkan kejelasan dari pemilu itu, kita semua harus

berpendirian bahwa persiapannya dapat dilaksanakan

dengan baik, walaupun pelaksanaannya masih banyak

kekuarangannya. Bahkan menurut kabar angin yang

sampai ke telinga penulis, KPU dan Panwaslu turut

bermain uang. Benar atau tidaknya kabar angin itu, akan

Page 46: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

46

dibuktikan oleh pemerintahan yang akan datang. Tetapi,

dalam jangka panjang hal-hal seperti itu akan “hilang”

dengan sendirinya, jika penghasilan para warga negara

meningkat dan cukup untuk kebutuhan sehari-hari

karena itu, pemilu yang ideal dapat dilakukan saat ini di

negeri kita, namun ia cukup “bersih” secara relatif , untuk

menjadi permulaan yang nyata dan kongret bagi proses

demokratisasi kehidupan bangsa kita.

Memang, jalan menuju demokratisasi kehidupan sebuah

bangsa tidak sama. Di Malaysia demokratisasi masih

bertumpu pada hal-hal formal belaka, yang selalu

memenangkan UMNO (United Malaysian National

Organization), seperti adanya ISA (Internal Security Act),

yang memungkinkan penangkapan dan penahanan

seseorang tanpa pemberian alasan oleh pemerintah

kepada DPR maupun publik. Jika nanti ISA telah dirubah,

guna memungkinkan pertanggung jawaban yang jujur

oleh pemerintah, barulah demokratisasi yang penuh akan

tercapai di negeri itu. Selama ISA masih dapat dipakai

oleh pemerintah sekehendak hatinya, selama itu pula

demokratisasi yang sebenarnya belum tegak di negeri jiran

tersebut. Namun, bagaimanapun juga proses

demokratisasi telah mulai berjalan di negeri itu, sehingga

kita dapat melihat atau mengharapkan proses menuju

pelaksanaan demokratisasi dengan segala suka dan

dukanya.

Demikian pula republik rakyat Tiongkok, orang

mengeluhkan, bahwa pemerintahan Jiang Zemin sebagai

tidak demokratis tetapi tidak dapat disangkal bahwa

mereka adalah para pengikut Deng Hsiao-Ping yang oleh

orang para pejabat Tionghoa sendiri diakui menggunakan

cara “pragmatis” dalam menyelesaikan segala macam

masalah. Pragmatis itu sebenarnya adalah paham politik,

Page 47: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

47

yang oleh Deng dijadikan “ideologi ekonomis”. Karena

pragmatisme di bidang ekonomi itu, menuntut keleturan

sikap, maka dengan sendirinya ia merupakan bagian dari

proses demokratisasi. Namun, ketika para mahasiswa

menuntut pemerintahan federal bagi Tiongkok, maka hal

itu menimbulkan ketakutan pada para pemimpin RRT,

seperti Jiang Zemin, akan berantakannya Tiongkok

sebagai sebuah negara hal inilah yang membuat mereka

mengambil sikap yang „otoriter” terhadap para mahasiswa

itu.

Ketika para mahasiswa yang menuntut pemerintahan

federal berdemonstrasi di lapangan Tiananmen, maka bagi

Jiang Zemin dan kawan-kawan tidak ada pilihan lain

selain mengirimkan Tank:. Hasilnya adalah gambar yang

unik sebuah foto seorang mahasisawa yang dengan

tangan terhentang menghadapi sebuah Tank besar

dengan moncong bermeriam yang sangat menakutkan.

Gambar inilah yang dicetak oleh seluruh pers di dunia,

seolah-olah seolah-olah tidak ada demokrasi di Tiongkok.

Di sinilah, kesalah pengertian “pihak barat” mengatakan

tidak ada demokrasi di Tiongkok pada hari ini. Soal

tersebut dibiarkan oleh Jiang Zemin dan kawan-kawan

tanpa ada bantahan sedikitpun. Akibatnya RRT tetap

dikucilkan dari percaturan dunia. Baru beberapa tahun

yang lalu RRT diterima kembali dalam masyarakat

internasional melalui penetapan Beijing sebagai tempat

berlangsungnya Olimpiade beberapa tahun lagi. Barulah

Jiang Zemin mengorgnaisir perayaan terima kasih besar-

besaran melalui sebuah perayaan di lapangan Tiananmen,

dengan mendatangkan para penyanyi kelas dunia

diantaranya, Pavarotti dan Placido Domingo.

Jelaslah dari kedua contoh Malaysia dan Tiongkok itu,

bahwa demokratisasi adalah sebuah proses, yang tidak

Page 48: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

48

sekali jadi. Karena ukuran yang kita bawa berbeda dari

apa yang dianggap “barang lumrah” di dunia kapitalis

atau di negeri-negeri yang memang sudah demokratis. Hal

inilah yang dilakukan oleh “para pejuang HAM” di negeri

kita, sebagian besar hingga hari ini. Ukuran-ukuran

“orang luar” menggunakan untuk menilai “perkembangan

akar rumput” di negeri kita, yang berbeda dari “nilai-nilai

demokratis yang sudah mapan”. Untunglah, akhir-akhir

ini timbul kesadaran, bahwa hal itu tidak mencerminkan

kenyataan yang sebenarnya.

Karenanya, penulis gembira dengan adanya kenyataan

bahwa telah terbentuk Aliansi Anti Politisi Busuk. Ini

menunjukan, para aktivis kita mulai berbicara dengan

“bahasa rakyat” yang menjadi perhatian akar rumput.

Semoga kesadaran seperti ini tumbuh luas dan mencakup

pihak-pihak “kalangan atas” juga. Hanya dengan

kerjasama kalangan atas dan buruh, termasuk juga

partai-partai politik, perjuangan untuk kepentingan

demokrasi di negeri ini dapat berhasil dengan sungguh-

sungguh. Karena itu, menyamaratakan para pejuang hal-

hal ideal dengan para politisi yang doyan uang, sama

sekali tidak produktif, yang dimenangkan haruslah para

pejuang demokrasi itu. Mudah dikatakan namun sulit

dilaksanakan, bukan?

Moralitas Agama dalam Politi

New York, 10 Desember 2003

Seorang kawan menyampaikan kepada penulis di New

York, baru-baru ini. Dalam cerita itu, ia menyatakan

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang dipimpinnya

bertemu dengan 19 Duta Besar dari berbagai negeri

Muslim. Ia mengemukakan kepada mereka, bahwa

Page 49: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

49

perdamaian abadi antara Israel dan Palestina, harus

didasari rasa saling percaya dan dipercayai. Karena hal itu

hanya dapat tumbuh dari keyakinan agama, maka

persoalannya terletak pada penyampaian ajaran dan

pelaksanaan agama oleh para Rabbi Yahudi dan Ulama

Muslim. Semuanya mengangguk-angguk tanda setuju,

tetapi sang teman merasa bahwa anggukan tersebut tidak

keluar dari hati yang murni. Dalam jawabannya, penulis

menyatakan hal itu wajar-wajar saja. Bukankah kalau apa

yang disampaikannya itu benar terwujud, maka para

diplomat itu akan kehilangan peran sebagai “penyelesai

kesulitan dan pertentangan.” Bukankah hal itu sama saja

dengan menyampaikan kepada seorang jenderal bahwa

perang itu tidak perlu.

Di sini penulis melihat adanya miskomunikasi antara

berbagai pihak, tentang peranan masing-masing dalam

percaturan hidup bersama. Bersama antara berbagai

macam bangsa maupun bersama antara berbagai

pandangan dan pengelompokan yang ada dalam sebuah

masyarakat. Apalagi kalau masyarakat itu sangat besar,

seperti bangsa Indonesia. Karenanya, kita harus sanggup

menghargai dua hal sekaligus. Pertama, haruslah dihargai

perbedaan pandangan, cara hidup, kebiasaan dan afinitas

orang banyak. Kedua, harus ada pengambilan keputusan

atas nama semuanya, walaupun pada dasarnya adalah

pandangan segolongan pihak saja, yaitu pihak sang

pemimpin yang mengemudikan negara.

Lalu, bagaimana kita harus memadukan dua hal yang

saling bertentangan itu? Penulis kira, hanya ada satu

jalan untuk menembus kebuntuan yang diakibatkan oleh

kedua hal yang saling bertentangan di atas. Hal itu adalah

kepentingan umum, yang oleh Islam dirumuskan sebagai

kebijakan dasar yang harus diikuti dan dilaksanakan

Page 50: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

50

semua pemimpin; al-maslahah „ammah (kemaslahatan

bersama). Karena itulah penulis menyetujui adagium fiqh

(hukum Islam) yang berbunyi “Kebijakan dan tindakan

seorang pemimpin atas yang dipimpinnya harus terkait

langsung dengan kemaslahatan mereka (Tasharruf al-

imam a‟la al-ra‟iyyah manuutun bi al-maslahah). Kata

“kepentingan” ini sekarang diganti dengan kata lain, yaitu

kesejahteraan.

Kata “kesejahteraan” itupun, karena belum digunakan

secara umum pada tahun 1945, oleh Pembukaan UUD

kita juga diberi nama lain yaitu “masyarakat adil dan

makmur”. Tapi istilah-istilah yang berbeda satu dari yang

lainnya itu, mempunyai persamaan hakiki yaitu bukan

kepentingan sang pemimpin atau golongannya. Karenanya

penulis sendiri sangat heran mendengar ada seorang

anggota DPR-RI, bahwa ia bukanlah wakil rakyat

melainkan wakil partainya di lembaga tersebut. Bukankah

dengan pernyataan itu, ia tidak menyadari bahwa ia

mewakili daerah pemilihan tertentu, dan karenanya

adalah wakil rakyat. Bahwa kemudian ia menjadi anggota

fraksi tertentu, itu hanyalah soal disiplin kerja. Kenyataan

itu tidak mengubah statusnya sebagai wakil rakyat dalam

lembaga terhormat itu. Rupanya hal ini tidak disadari oleh

banyak sekali anggota DPR-RI saat ini, dari berbagai

fraksi. Dalam hal ini, kita hanya dapat turut bersedih

hati, tanpa dapat berbuat apa-apa.

******

Dalam dunia yang hiruk-pikuk ini, banyak persoalan

timbul karena perbenturan kepentingan antara berbagai

pihak. Bahkan negara adi-kuasa seperti AS tidak malu

menyerang sebuah negara “sedang” semacam Irak yang

tidak mampu mempertahankan diri. Akan berakhir di sini

Page 51: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

51

sajakah perlawanan bangsa Irak terhadap “penjarahan”

yang sebenarnya bermotifkan bisnis itu? Ternyata tidak,

karena sejauh ini sudah ada 400 jiwa melayang, di

kalangan tentara pendudukan maupun para petugas

badan-badan internasional yang bertugas di sana. Dalam

hal ini, penulis bukan membela Saddam Husein, karena

memang benar-benar seorang tiran yang patut diganjar

dengan hukuman mati. Beberapa orang pemikir dan

penganjur Islam di kalangan kaum Sunni yang

melaksanakan ajaran Islam di Irak, seperti Sheikh Aziz

Badri, Dr. Abdul Karim Zaidan maupun Rasyid Ubaidi,

telah kehilangan nyawa, dan entah berapa lagi dari

kalangan Syi‟ah.

Namun keputusan unilateral/sepihak oleh AS untuk

menyerbu Irak, adalah pelanggaran atas hukum

internasional, apapun alasannya. Dalam sebuah

konferensi internasional bulan Februari 2003 di ibu kota

AS, Washington DC, penulis menyampaikan bahwa jika

dalam waktu tiga bulan Saddam Husein tidak tertangkap,

maka rakyat AS akan marah karena korban yang

berjatuhan. Jika ini yang terjadi, AS harus menarik

pasukan-pasukannya, dan ini berarti pemerintahan yang

ada akan dianggap sebagai “pemerintahan boneka” oleh

rakyat Irak sendiri. Supaya pemerintahan yang akan

disusun dapat diterima rakyat, maka persetujuan para

pengikut Saddam Husein diperlukan dalam pembentukan

pemerintahan baru itu.

Ini berarti, pertimbangan-pertimbangan geopolitis saja

tidak mencukupi kebutuhan untuk mendirikan

pemerintahan yang diakui/diterima sebagai

“pemerintahan yang sah”. Karena itulah, pertimbangan-

pertimbangan berbagai kepentingan, diletakkan dalam

kerangka acuan. Pertimbangan-pertimbangan geo-politis

Page 52: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

52

belaka, akan lebih menjauhkan lagi diri kita dari

perdamaian. Inilah sebenarnya yang menjadi sendi bagi

sikap anti-hegemoni dalam percaturan internasional,

seperti yang dibawakan oleh pemerintahan Mao Zedong di

RRT dan gagasan to build the world a new (membangun

kembali dunia baru) dari alm. Presiden Soekarno. Ini juga

yang melandasi Konferensi Asia Afrika I Bandung di tahun

1955. Bahwa kedua gagasan itu kemudian dilecehkan

orang, tentu disebabkan oleh merajalelanya “perang

dingin” dan pesatnya perlombaan persenjataan antara

Barat dan Timur. Sekarang, blok Timur secara material

sudah kalah, namun Blok barat tidak lagi dapat

menghentikan pengembangan teknologi mutakhir di

bidang persenjataan. Karena jika industri yang telah

berkembang pesat itu dihentikan, maka mengakibatkan

pengangguran besar-besaran.

*****

Mengingat hal itu, maka timbul pertanyaan: bagaimana

kita akan mampu “menginjak rem” hubungan

internasional yang semakin lama semakin didominasi

kekerasan? Jawabnya adalah; membentuk konfigurasi

internasional baru yang memunculkan faktor lain, di

samping pertimbangan-pertimbangan geopolitis. Karena

kawasan geopolitis adalah milik para diplomat berbagai

negara yang saling mempengaruhi, dengan para pemimpin

politik di negara masing-masing, maka tidak heranlah jika

sikap mendua lalu ditunjukkan para diplomat itu;

mengangguk-angguk tanda setuju, tetapi tidak mau

mewujudkan ketika mendengarkan sebuah pertimbangan

lain di luar geopolitis. Sinisme itu tampak seperti yang

diceritakan penulis dalam gambaran di atas. Dan

celakanya sikap seperti ini yang justru dianggap sebagai

“perwujudan diplomasi” yang dibanggakan orang di mana-

Page 53: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

53

mana. Nah, kewajiban kitalah untuk memperbaiki hal ini

secara menyeluruh.

Tetapi apakah cara yang ditempuh untuk tujuan di atas,

yaitu mewujudkan percaturan internasional yang tidak

hanya bersandar pada pertentangan kepentingan belaka?

Jawab satu-satunya tentu adalah menambahkan sebuah

unsur lain dalam percaturan internasional. Karena hanya

dengan faktor tambahan itulah peperangan dahsyat harus

dapat dihindarkan. Unsur atau faktor tersebut adalah

moralitas yang bersumber pada agama. Namun, hal ini

sulit diwujudkan oleh adanya dua sebab. Pertama, karena

pihak agama selalu menganggap pihak orang yang tidak

beragama (kaum atheis) sebagai lawan, padahal

sebenarnya mereka adalah lawan bicara yang baik. Kata

Prof. Hasan Hanafi, seorang Atheis adalah pencari Tuhan

yang tidak dapat menemukan-Nya. Sebab kedua, antara

kaum beragama sendiri juga terjadi perebutan tempat

untuk menentukan mana yang lebih dekat dengan

kebenaran Tuhan. Karean itu mudah mengatakannya,

namun sulit melaksanakannya, bukan?

Page 54: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

54

Gus Dur Beli Pesawat

Dalam kunjungannya ke Amerika Serikat dulu,

Pertengahan tahun 2000, Gus Dur bertemu dengan

eksekutif puncak Boeing, industri pusat raksasa pesawat

terbang. Orang pun bertanya-tanya, apa pula urusannya

Gus Dur dengan pembuat pesawat itu? Memangnya dia

ahli pesawat terbang seperti Habibie?

Akhirnya kepala protokol Istana Presiden Wahyu Muryadi

mengungkapkan maksud pertemuan itu; Gus Dur mau

beli pesawat kepresidenan, yang selama ini memang tidak

pernah dimiliki oleh pemerintah indonesia. Kebiasaan Gus

Dur tetap ampuh; bikin pernyataan kontroversial di luar

negeri, dan menimbulkan reaksi di dalam negeri.

Pers Indonesia pun sibuk mengusut rencana pembelian

pesawat yang waktunya dirasa tidak tepat itu. Krisis

Page 55: Catatan Gusdur.pdf

Catatan Gusdur PersEbook369

55

ekonomi saja sama sekali terlihat belum diatasi, lha kok

Presiden RI mau punya pesawat pribadi. "Perlu dong,"

kata Wahyu Muryadi sambil membandingkan dengan

Presiden Amerika serikat, yang sudah lama memiliki air

force one yang mewah itu.

Dari mana uang puluhan juta dollar untuk membeli

pesawat itu? Menko Rizal Ramli, yang bekas aktivis dan

pengamat ekonomi yang kritis kok malah bilang siap

melaksanakan dan uang untuk pembelian pesawat sudah

ada, apa ini bukan pemborosan uang negara? Apa

memang ada "uang nganggur" di laci pemerintah? Apa

Rizal Ramli ingin cari muka kepada bosnya?

Mendengar sikap siap melaksanakan Rizal Ramli,kritik

publik kian gencar. Sampai Gus Dur sendiri kembali ke

Jakarta.

Wartawan bertanya,"Gus, mengapa anda merasa perlu

membeli pesawat boeing itu?"

Jawab Gus Dur; "Lho, siapa yang mau beli pesawat?"

Wahyu Muryadi dan Rizal Ramli kali ini yang pusing.

Sudah sibuk membela rencana Gus Dur, eh yang dibela

malah membantahnya