CAROK

23
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketika mendengar kata Madura, hal yang mungkin langsung terbayang di benak kepala setiap orang Indonesia adalah “Carok dan Clurit”. Carok dan Clurit (dalam bahasa Madura are’) adalah dua hal yang selalu melekat pada orang Madura. Pada umumnya, orang luar Madura mengartikan setiap bentuk kekerasan yang dilakukan oleh orang Madura sebagai Carok. Berkaitan dengan hal itu, muncul pernyataan-pernyataan stereotip mengenai orang Madura yang terkesan negatif. Stereotip ini, meskipun tidak selalu mencerminkan realitas yang sebenarnya, antara lain menyebutkan orang Madura keras perilakunya, kaku, ekspresif, temperamental, pendendam, dan suka melakukan tindak kekerasaa. Stereotip semacam ini sering kali mendapatkan pembenaran, ketika terjadi kasus-kasus kekerasan dimana pelakunya adalah orang Madura. Sebenarnya, orang Madura memiliki karakter yang terbuka terhadap perubahan. Maka tidak heran jika majalah Tempo berdasarkan riset pada tahun 1980-an pernah menempatkan suku Madura dalam lima besar suku 1

Transcript of CAROK

Page 1: CAROK

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ketika mendengar kata Madura, hal yang mungkin langsung terbayang di

benak kepala setiap orang Indonesia adalah “Carok dan Clurit”. Carok dan Clurit

(dalam bahasa Madura are’) adalah dua hal yang selalu melekat pada orang

Madura. Pada umumnya, orang luar Madura mengartikan setiap bentuk kekerasan

yang dilakukan oleh orang Madura sebagai Carok. Berkaitan dengan hal itu,

muncul pernyataan-pernyataan stereotip mengenai orang Madura yang terkesan

negatif.

Stereotip ini, meskipun tidak selalu mencerminkan realitas yang

sebenarnya, antara lain menyebutkan orang Madura keras perilakunya, kaku,

ekspresif, temperamental, pendendam, dan suka melakukan tindak kekerasaa.

Stereotip semacam ini sering kali mendapatkan pembenaran, ketika terjadi kasus-

kasus kekerasan dimana pelakunya adalah orang Madura.

Sebenarnya, orang Madura memiliki karakter yang terbuka terhadap

perubahan. Maka tidak heran jika majalah Tempo berdasarkan riset pada tahun

1980-an pernah menempatkan suku Madura dalam lima besar suku yang paling

sukses di negara ini. Hampir di tiap daerah, bisa ditemukan “Sate Madura” yang

seolah menjadi trade-mark orang Madura (Tempo Interaktif, 16-8-2006).

Hal itu membuktikan bahwa semangat orang Madura sangat kuat untuk

melakukan perantauan kemana pun. Di tanah rantau pun, orang Madura masih

tetap dikenal sebagai sosok yang rajin, ulet dan berkinerja tinggi.

Karakter lain yang juga melekat dengan orang Madura adalah perilaku

yang selalu apa adanya dalam bertindak. Suara yang tegas dan ucapan jujur

kiranya merupakan salah satu bentuk keseharian yang bisa dirasakan ketika

berkumpul dengan orang Madura. Pribadi yang keras dan tegas adalah bentuk lain

dari kepribadian umum yang dimiliki oleh orang Madura.

1

Page 2: CAROK

B. Rumusan Masalah

Oleh karena hal-hal yang telah telah disebutkan di atas, maka kami

mencoba untuk memaparkan masalah tentang Carok itu sebagai berikut.

1. Apa itu Carok?

2. Mengapa terjadi Carok?

3. Bagaimana Carok itu terjadi?

4. Bagaimana pandangan orang Madura sendiri mengenai Carok?

Pernyataan-pernyataan di atas akan coba kami jawab dalam Makalah ini.

C. Tujuan

Maksud dan tujuan pembuatan makalah ini selain untuk memenuhi tugas

mata kuliah Ilmu Sosial Dasar, adalah juga untuk memberikan pengertian yang

sebenarnya tentang apa itu Carok dengan segala latar belakangnya agar tidak

timbul kesan-kesan negatif terhadap orang Madura. Sehingga perspektif orang-

orang luar Madura bisa menjadi lebih baik. Selain itu untuk sekedar memberikan

saran-saran agar Carok tersebut paling tidak bisa diminimalisir, jika memang

tidak dapat dihilangkan.

2

Page 3: CAROK

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Carok

Ada banyak teori tentang konflik kekerasan orang Madura yang disebut

dengan Carok ini. Secara umum, pendapat-pendapat tersebut sama-sama

menyatakan bahwa Carok adalah konflik kekerasan orang Madura yang timbul

dan disebabkan karena persoalan harga diri. Teori-teori tersebut banyak

dikemukakan oleh orang-orang luar Madura berdasarkan hasil pengamatan-

pengamatan, seperti yang dilakukan oleh Touwen – Bouwsma (1985), De Jonge

(1993), dan Smith (1997). Sementara, sebagian kecil di antaranya dinyatakan oleh

orang Madura sendiri dengan metode yang lebih akurat. yaitu dengan melakukan

serangkaian penelitian-penelitian langsung seperti yang dilakukan oleh A. Latief

Wiyata (1996).

Dalam menggambarkan konflik kekerasan orang Madura ini, Touwen –

Bouwsma menggunakan teori ekologi kultural (cultural ecology theory), dimana

faktor lingkungan ditemukan sebagai penyebab konflik. Touwen – Bouwsma

berasumsi bahwa Carok berkaitan erat dengan dua peristiwa. yaitu pemilihan

kepala desa dan remo1.

De Jonge mengemukakan bahwa Carok tidak dapat dilepaskan dari sejarah

politik Madura ketika pemerintahan kolonial Belanda berkuasa, De Jonge

mengemukakan pendapat ini berlandaskan pada teori Politik atau Ekonomi Politik

(political or political economi theory).

Sedangkan Smith memahami Carok dengan teori Diskriptif historis atau

Particularis (historical descriptive or particularist theory). Dimana Carok

diartikan sebagai tindakan main hakim sendiri yang dipengaruhi oleh pola dan

struktur pemukiman orang Madura yang terpisah satu sama lain (struktur Taneyan

1 Tradisi pertemuan semacam arisan antar para jago dan blater (bajhingan)

3

Page 4: CAROK

Lanjhang2 dan Kampong Mejhi3 ). Pendapat ini didasarkan pada arsip-arsip zaman

kolonial Belanda yang dikutip dari De Jonge dan Touwen – Bouwsma. (Wiyata ;

2004 : 18-21).

Sementara itu, Berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan oleh A.

Latief Wiyata mengemukakan pendapat yang merupakan gabungan dari teori-teori

yang sudah ada. A. Latief Wiyata memformulasikan Carok sebagai

institusionalisasi kekerasan orang Madura, yang berupa upaya pembunuhan

menggunakan senjata tajam, pada umumnya adalah clurit. Yang dilakukan oleh

laki-laki terhadap laki-laki lain yang telah dianggap telah melakukan pelecehan

terhadap harga diri (Wiyata ; 2004 : 184).

Oleh orang Madura, Carok dianggap semata-mata sebagai urusan laki-laki,

dan bukan urusan perempuan. Hal ini sejalan dengan ungkapan yang berbunyi

“oreng lake’ mate acarok, oreng bine’ mate arembi’” (laki-laki mati karena

carok, sedangkan perempuan mati karena melahirkan).

Sedangkan orang-orang Madura tradisional sendiri mengartikan Carok

dengan kalimat “mon e anca alorok” (kalau diganggu menyerang), yang artinya

kalau harga dirinya diganggu atau dilecehkan oleh orang lain maka dia akan

menyerang orang tersebut.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dan ditambah dengan kesimpulan

hasil wawancara yang kami lakukan dengan orang-orang Madura tradisional,

dapat disimpulkan bahwa Carok adalah duel yang dilakukan seseorang dengan

seseorang yang lain atau suatu kelompok dengan kelompok yang lain, yang timbul

karena salah seorang dan atau salah satu kelompok ada yang merasa harga dirinya

telah dilecehkan oleh yang lain.

B. Faktor-faktor Penyebab Carok

Sesuai dengan pengertian Carok di atas, faktor utama penyebab terjadinya

Carok adalah terjadinya pelecehan terhadap harga diri seseorang atau suatu

2 Pola pemukiman memanjang dari arah Barat ke Timur sesuai dengan urutan kelahiran anak-anak perempuan.3 Kumpulan atau kelompok pemukiman penduduk desa yang satu sama lain saling terisolasi.

4

Page 5: CAROK

kelompok. yang termasuk dalam kategori pelecehan harga diri menurut orang

Madura adalah:

1. Mengganggu istri atau anak perempuan orang lain

2. Perlakuan semena-mena dan tidak adil dalam pembagian harta warisan

3. Hal-hal lain yang walaupun kadang hanya sepele tapi telah membuat

seseorang atau suatu kelompok tersinggung dan merasa harga dirinya

dilecehkan.

4. Faktor penyebab yang lain adalah balas dendam akibat peristiwa Carok

lain yang terjadi sebelumnya, dan hal ini biasanya dilakukan oleh pihak

keluarga yang kalah.

Seperti telah dikemukakan di atas, faktor utama penyebab Carok adalah

mengganggu istri atau anak perempuan orang lain. Berkaitan dengan hal itu,

seorang Penyair dan Budayawan Madura D. Zawawi Imron mengemukakan

ungkapan dalam tulisannya yang berbunyi “Saya kawin dan dinikahkan oleh

penghulu, disaksikan oleh orang banyak, serta dengan memenuhi peraturan

agama. Maka, siapa saja yang berani mengganggu istri saya, berarti telah

menghina agama saya sekaligus menginjak-injak kepala saya” (Imron ; 1986 :

11)

Oleh karena itu, martabat dan kehormatan istri merupakan manifestasi dari

martabat dan kehormatan suami, karena bagi orang Madura istri adalah “bhantalla

pate” (landasan kematian). Dengan kata lain, tindakan mengganggu istri orang

disebut juga dengan istilah “aghaja’ nyabah”. Yang pengertiannya sama dengan

tindakan mempertaruhkan atau mempermainkan nyawa.

Dalam sistem perkawinan orang Madura, seorang laki-laki Madura ketika

akan kawin tidak perlu memikirkan rumah untuk tempat tinggal keluarganya

nanti, karena biasanya rumah tersebut sudah disiapkan oleh mertuanya. Hal ini

menyebabkan pertukaran yang tidak seimbang, sehingga sebagai konsekuensinya

seorang suami harus betul-betul dapat menjaga istrinya dengan baik, terutama

yang menyangkut masalah kehormatannya.

Tindakan mengganggu istri merupakan pelecehan harga diri yang paling

menyakitkan bagi laki-laki Madura. Tindakan tersebut selain dianggap telah

5

Page 6: CAROK

melecehkan harga diri suaminya, juga dianggap telah merusak tatanan sosial

(arosak atoran). Oleh karena itu, menurut pandangan orang Madura, pelakunya

tidak dapat diampuni dan harus dibunuh, atau dengan kata lain carok.

C. Faktor Pemicu Carok

Konflik kekerasan orang Madura dipicu oleh letak dan kondisi geografis,

sejarah dan sosial budaya Madura. Kondisi alam Madura yang pada umumnya

panas dan tandus membuat orang-orang Madura mayoritas bertempramen tinggi

dan mudah tersinggung.

Pola pemukiman Kampong Mejhi dan struktur pemukiman Taneyan

Lanjhang yang dipakai orang-orang Madura membuat kontrol sosial menjadi

longgar. Sebaliknya, solidaritas antar kelompok semakin kuat sehingga Carok

menjadi sangat mungkin bagitu mudah terjadi.

Yang dimaksud dengan pemukiman Kampong Mejhi adalah kumpulan-

kumpulan atau kelompok-kelompok pemukiman penduduk desa dimana

pemukiman yang satu dengan yang lain saling terisolasi. Jarak antara satu

pemukiman dengan pemukiman yang lain sekitar 1 sampai 2 km. Keterisolasian

kelompok pemukiman ini menjadi semakin nyata oleh adanya pagar yang terbuat

dari beberapa rumpun bambu yang sengaja ditanam sekelilingnya. Antara satu

kelompok pemukiman yang satu dengan yang lain hanya dihubungkan oleh jalan

desa atau jalan setapak.

Setiap pemukiman Kampong Mejhi biasanya terdiri dari 4 sampai 8 rumah

yang dibangun dalam bentuk memanjang, membujur dari barat ke timur dan selalu

menghadap ke selatan. Jika jumlah rumah lebih dari 8, karena sempitnya lahan

maka deretan rumah biasanya dibangun dalam bentuk melingkar.

Sementara rumah-rumah yang terdapat dalam pemukiman Taneyan

Lanjhang bisanya selalu dibangun berderet dari barat ke timur dan selalu

menghadap selatan sebagaimana posisi semua rumah tradisional yang lain, hal ini

menurut urutan kelahiran anak perempuan dari keluarga yang bersangkutan. Anak

perempuan pertama menempati urutan pertama, demikian seterusnya dengan

6

Page 7: CAROK

anak-anak perempuan yang lahir kemudian. Dan satu rumah biasanya ditempati

oleh satu keluarga.

Konsekuensi sosial dari pola pemukiman semacam ini adalah solidaritas

internal antar masing-masing anggota atau penghuninya menjadi sangat kuat.

Apabila terjadi pelecehan harga diri terhadap salah seorang anggota keluarga,

maka akan selalu dimaknai sebagai pelecehan harga diri terhadap semua keluarga

yang ada dalam kelompok pemukiman tersebut. Dan jika hal ini terjadi, maka

semua anggota keluarga yang ada dalam pemukiman tersebut akan bereaksi,

dimana reaksi yang muncul selalu dalam bentuk tindakan kekerasan atau Carok.

Ditemukannya banyak pola pemukiman semacam ini, mengindikasikan

bahwa kondisi sosial di pedesaan Madura sejak dahulu tidak memberikan rasa

aman bagi penduduknya. Indikasi ini dapat terlihat pada semua bentuk arsitektur

rumah tradisional orang Madura yang hanya memiliki satu pintu di bagian depan,

sehingga tidak ada jalan lain bagi setiap orang untuk keluar-masuk rumah

(Wiryoprawiro; 1986 : 15).

Selain itu, karena posisi rumah selalu menghadap ke selatan, maka secara

otomatis semua pintu pasti ditempatkan di bagian selatan. Dan karena posisi tidur

orang Madura yang membujur dari utara ke selatan dengan menempatkan kepala

di arah utara seperti layaknya posisi orang mati saat dikuburkan.

Hal ini bermakna bahwa dalam keadaan tidur sekalipun, orang Madura

selalu dapat mengawasi pintu rumah. Dengan kata lain, Realitas sosial ini dapat

dimaknai bahwa setiap orang Madura tetap selalu waspada terhadap keamanan

lingkungannya.

Selain dua hal di atas, Carok juga dipicu oleh tradisi nyekep4 dan rem.

Tradisi nyekep tersebut membuat Carok sangat mungkin untuk terjadi di setiap

saat, nyekep sudah merupakan kebiasaan yang sulit untuk ditinggalkan oleh

kebanyakan laki-laki Madura, khususnya di daerah pedesaan. Hal ini terbukti

setiap kali mereka keluar rumah hampir tidak pernah lupa membawa senjata

tajam. Lebih-lebih jika sedang mempunyai musuh atau sedang menghadiri remo.

4 Membawa senjata tajam dengan cara menyembunyikannya di balik baju.

7

Page 8: CAROK

Bahkan di sebuah pedalaman atau daerah rawan Carok, nyekep merupakan

sebuah keharusan. Jika seseorang tidak nyekep, maka dia akan dianggap sombong

dan merasa sudah hebat karena tidak perlu untuk nyekep. Jadi, jika kebetulan lupa

untuk nyekep, maka biasanya mereka akan mengambil ranting pohon untuk

diselipkan di balik bajunya. Hal ini dilakukan agar tidak menimbulkan kemarahan

sosial di sekitarnya yang akhirnya berpotensi melahirkan Carok.

Sedangkan tradisi remo seakan membuat pembenaran terhadap terjadinya

Carok, hal ini berdasarkan atas besarnya dukungan dari yang hadir saat

diadakannya remo carok5. Pada prinsipnya, remo adalah suatu pesta tempat

berkumpulnya para oreng jago6 dan Blater7. Dan secara ekonomi, remo

merupakan suatu sarana untuk mengumpulkan uang dalam jumlah yang relatif

besar hanya dalam waktu satu malam. Penyelenggara remo dapat mengumpulkan

uang antara 10 sampai 25 juta, bahkan juga lebih. Semua itu sangat tergantung

pada besarnya jumlah uang bhubuwan8 dari para tamu yang datang.

Sementara remo carok biasanya dilakukan sebelum atau sesudah Carok,

hal ini diselenggarakan karena yang bersangkutan sedang membutuhkan biaya.

Untuk remo yang diadakan sebelum Carok, penyelenggaraanya biasanya diadakan

kira-kira seminggu atau dua minggu sebelum Carok dilaksanakan.

Dan jika remo diadakan sesudah Carok, biasanya berlangsung seminggu

setelah kejadian, sebab pada saat itu proses penyidikan sudah mulai dilakukan dan

kebutuhan akan dana sudah mendesak. Undangan biasanya disampaikan berantai

secara lisan melalui koordinator-koordinator, dan dalam undangan tersebut secara

tegas disebutkan bahwa akan diselenggarakan remo carok.

Setiap tamu yang datang wajib abhubu (menyumbang), sedangkan

besarnya bhubuwan (sumbangan) tidak ditentukan. Artinya besarnya sumbangan

bersifat sukarela berdasarkan keikhlasan masing-masing tamu.

Penyelenggaraannya biasanya dilakukan oleh keluarga dan kerabat yang terdekat,

karena yang bersangkutan sedang menjalani hukuman.

5 Remo yang diselenggarakan untuk keperluan carok.6 Seorang blater yang sudah pernah menang dalam carok.7 Seseorang yang menjadi anggota remo, di daerah Madura bagian Timur disebut bajhingan.8 Jumlah uang yang harus diserahkan/disumbangkan oleh seorang anggota remo kepada anggota yang lain.

8

Page 9: CAROK

Jadi, remo carok merupakan suatu media kultural, dimana fungsinya tidak

hanya sekedar mengumpulkan uang dan menggalang solidaritas diantara para

anggotanya (kanca remo9), tetapi justru berfungsi sebagai pendukung dan pelestari

Carok dalam masyarakat Madura.

Rendahnya tingkat pendidikan, pengetahuan dan keimanan para pelaku

Carok dalam beragama juga menjadi faktor pemicu lain dari terjadinya Carok.

Pada umumnya, pelaku Carok adalah orang-orang yang berpendidikan rendah dan

awam dalam beragama. Hal ini sangat ironi dan patut disesalkan, mengingat

mayoritas masyarakat Madura beragama Islam.

Selain itu, lemahnya institusi Hukum di Madura khususnya, juga menjadi

faktor pemicu mengapa Carok begitu mudah terjadi. Ancaman hukuman penjara

tidak lagi menjadi sesuatu yang menakutkan bagi para pelaku Carok, karena

mereka masih bisa melakukan upaya nabang10 untuk memperingan hukuman yang

dijatuhkan kepadanya.

Padahal menurut KUHP, pelaku Carok (penganiayaan berat/pembunuhan)

seharusnya dikenai sanksi pidana berupa hukuman maksimal hukuman mati,

penjara seumur hidup, atau hukuman penjara selama-lamanya 20 tahun. Akan

tetapi, ancaman sanksi ini terkadang dalam prakteknya cenderung tidak diterapkan

secara konsisten, hal ini ditandai dengan upaya nabang yang dilakukan pelaku

Carok, sehingga hukuman yang dikenakan terkesan sangat ringan, yaitu tidak

lebih dari 5 tahun.

Institusi kepolisian tidak lagi menjadi pengayom bagi masyarakat, karena

justru ikut membantu dan mendorong terjadinya Carok dengan mempermudah

upaya pelaku Carok untuk nabang. Hal ini membuat masyarakat enggan untuk

mempercayai hukum, dan lebih memilih untuk main hakim sendiri dalam

menyelesaikan masalahnya, biasanya selalu dalam bentuk tindakan kekerasan atau

Carok.

Selain faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, dorongan atau dukungan

dari masyarakat ternyata juga menjadi faktor pemicu yang sangat potensial

9 Teman dari lingkungan remo10 Merekayasa proses peradilan dengan menyerahkan sejumlah uang kepada oknum aparat peradilan agar hukuman menjadi ringan, atau mengganti terdakwa carok dengan orang lain.

9

Page 10: CAROK

terhadap terjadinya Carok. Hal ini didasarkan dengan di lontarkannya sindiran-

sindiran sinis oleh masyarakat bila seseorang enggan untuk melakukan Carok. Hal

ini bisa dilihat dari ungkapan-ungkapan berikut :

1. Lokana daghing bisa e jhai’, lokana ate tadha’ tambhana kajhabana

ngero’ dhere. ( Daging yang terluka masih bisa dijahit, tapi jika hati

yang terluka tidak ada obatnya kecuali minum darah).

2. Ango’an poteya tolang e tembang poteya mata. (Lebih baik putih

tulang daripada putih mata, lebih baik mati dari pada malu)

3. Jha’ ngako oreng Madura mon tako’ acarok. (Jangan mengaku orang

Madura bila takut untuk ber- Carok)

4. Aotang pesse majar pesse, aotang nyabah majar nyabah. (Hutang uang

dibayar uang, hutang nyawa ditebus nyawa)

Jika ada laki-laki Madura tidak berani melakukan Carok, maka dia akan

disebut sebagai penakut (tako’an), dia juga akan disebut sebagai bukan laki-laki

(lo’ lake’ atau ta’ lalake’). Bahkan orang perempuan pun akan sangat

mencemoohnya yang diungkapkan dalam sebuah kalimat “sayang saya

perempuan, seandainya saya memiliki buah zakar sebesar cabai rawit, maka saya

yang akan melakukan Carok” (Imron, 1986 : 12).

Selain itu, masyarakat akan menyebutnya sebagai bukan orang Madura

(jha’ ngako oreng Madura mon tako’ acarok) Jadi, orang Madura melakukan

Carok bukan karena semata-mata tidak mau dianggap sebagai penakut, meskipun

sebenarnya juga takut mati, melainkan juga agar dia tetap dianggap sebagai orang

Madura.

D. Persiapan, Pelaksanaan dan Pasca Carok

Ada Carok yang dilakukan secara spontan, yaitu ketika tiba-tiba terjadi

perselisihan menyangkut harga diri, maka seketika itu salah satu pihak yang

merasa tersinggung langsung menyerang pihak yang lain. Jika terjadi kasus Carok

seperti ini dan kebetulan pihak-pihak yang berselisih tidak nyekep, biasanya alat

yang digunakan adalah senjata tajam seadanya seperti linggis dan cangkul.

10

Page 11: CAROK

Untuk Carok yang direncanakan, maka para pelaku Carok mempersiapkan

dengan nyekep, apaghar11 dan konsolidasi terlebih dahulu dengan masing-masing

keluarga atau kelompoknya. Rencana Carok tersebut biasanya sudah dimatangkan

terlebih dahulu dalam sidang keluarga, agar rencana tersebut tidak bocor, para

kerabat yang ikut dalam sidang tersebut sepakat untuk merahasiakan semua hasil

sidang.

Selain itu, pelaku Carok harus mempunyai bhandha (dana). Dalam

konteks ini Carok mempunyai dimensi ekonomi, artinya biaya atau dana harus

tersedia. Hal ini sejalan dengan ungkapan dalam masyarakat yang mengatakan

“mon lo’ andi’ bhandha, ajjha’ acarok” (jangan melakukan Carok jika tidak

mempunyai dana yang cukup). Ungkapan ini bermakna sebagai suatu peringatan

bahwa Carok akan menghabiskan banyak biaya, baik bagi yang menang dan

(terutama) untuk yang kalah.

Bagi pihak keluarga yang kalah, biaya tersebut sangat diperlukan untuk

menyelenggarakan kegiatan-kegiatan ritual keagamaan bagi pelaku Carok yang

terbunuh. Kegiatan-kegiatan itu dimulai dari penyelenggaraan selamatan selama

tujah hari sejak kematiannya, serta selamatan lainnya seperti 40 hari, 100 hari, dan

1000 harinya. Selain itu, biaya tersebut sangat penting untuk biaya hidup sanak

keluarga (istri dan anak) yang ditinggalkan.

Sementara itu, kebutuhan dana untuk pemenang Carok biasanya jauh lebih

besar daripada pihak yang kalah (terbunuh). Selain untuk menghidupi keluarga

yang ada di rumah selama yang bersangkutan sedang menjalani hukuman, biaya

tersebut biasanya dibutuhkan dan digunakan untuk upaya nabang sebagai usaha

untuk memperingan hukuman yang akan dikenakan kepadanya nanti.

Pelaksanaan Carok dilakukan dengan dua cara yaitu ngongghai12 atau

dengan cara melakukan melakukan kesepakatan mengenai kapan dan dimana

Carok tersebut akan dilakukan.

Setelah Carok itu terjadi, dan salah satu pihak ada yang kalah atau

terbunuh. Pihak pemenang biasanya akan menyerahkan diri ke kantor polisi, hal

ini dilakukan untuk mencari perlindungan dari kemungkinan terjadinya aksi balas 11 Upaya membentengi diri dengan bantuan dukun.12 Mendatangi rumah musuh untuk menantang carok.

11

Page 12: CAROK

dendam dari pihak keluarga yang kalah. Selain itu, penyerahan diri ini juga

dijadikan sebagai alat publikasi bagi sang pemenang, agar kemenangannya bisa

diketahui oleh orang lain. Sehingga sang pemenang dapat membanggakan diri

karena telah memenangkan Carok dan menjadi oreng jago.

Dalam konteks ini, Carok menjadi semacam media kultural bagi

pelakunya (yang menang) untuk memperoleh predikat sebagai oreng jago,

sehingga nantinya bisa (makin) disegani oleh masyarakat yang lain.

Upaya lain pasca carok yang dilakukan oleh pemenang adalah nabang,

Nabang adalah upaya untuk merekayasa proses hukum suatu peristiwa carok,

dengan memberikan sejumlah uang kepada oknum peradilan (polisi, jaksa dan

hakim). Hal ini dilakukan agar vonis hukuman yang dijatuhkan menjadi lebih

ringan.

Sementara bagi pihak yang kalah, korban Carok biasanya langsung

dikuburkan seperti biasa ditempat pemakaman umum. Namun terkadang, banyak

juga korban Carok yang dikuburkan di dekat atau di sekitar rumahnya, sementara

bekas pakaian Carok yang masih berlumuran darah disimpan. Kedua hal ini

dilakukan agar peristiwa tersebut bisa terus diingat, dengan harapan suatu saat ada

sanak keturunannya yang akan membalaskan dendam.

E. Tanggapan Masyarakat

Ada banyak dan beragam tanggapan dari masyarakat terhadap terjadinya

Carok, pada umumnya mereka tidak menyalahkan para pelaku Carok yang telah

menang dan berhasil membunuh lawannya, karena telah melecehkan harga

dirinya. Bahkan, masyarakat seolah merestui dan seakan memberikan dukungan

terhadap terjadinya Carok.

Sementara itu, tanggapan negatif terhadap Carok sebenarnya juga ada pada

sebagian orang Madura, khususnya bagi mereka yang kebetulan bertugas sebagai

paramedis, baik di tingkat kecamatan (puskesmas) maupun di rumah sakit tingkat

kabupaten (RSUD).

Menurut pengakuan beberapa tenaga paramedis tersebut, jika kebetulan

sedang menangani korban-korban Carok, mereka tidak pernah melakukan

12

Page 13: CAROK

pembiusan pada diri pelaku Carok ketika luka-luka parah yang di deritanya harus

dijahit dan dioperasi. Selain itu, cara menjahit luka-luka tersebut dilakukan

dengan sembarangan sehingga para pelaku carok selalu berterik-teriak kesakitan

selama pengobatan berlangsung. Semua ini dilakukan dengan maksud agar pelaku

Carok menjadi jera, dengan harapan tidak akan melakukan Carok lagi.

Akan tetapi, tanggapan negatif dalam bentuk penyiksaaan seperti ini

tampaknya tetap tidak begitu efektif untuk membuat para pelaku Carok jera, yang

akhirnya diharapkan dapat meredam terjadinya Carok. Bahkan Bekas-bekas luka

karena bacokan Clurit yang dijahit secara sembarangan, ketika telah sembuh

kelihatan sangat mencolok mata. Semua itu justru oleh para pelaku Carok

dijadikan sebagai simbolisasi sekaligus sebagai bukti kemenangan yang sangat

membanggakan.

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

13

Page 14: CAROK

Carok adalah institusionalisasi kekerasan dalam masyarakat Madura yang

memiliki keterkaitan erat dengan faktor-faktor lingkungan, struktur budaya dan

sosial ekonomi, agama dan pendidikan.

Berdasarkan kesimpulan di atas, kiranya dapat dikemukakan beberapa

saran sebagai suatu wacana untuk meredam terjadinya Carok dikemudian hari.

Saran-saran tersebut adalah sebagai berikut:

1. Perlu upaya menegakkan kembali otoritas dan kewibawaan negara,

terutama dalam mengontrol sumber-sumber kekerasan.

2. Carok bisa saja hilang dari tradisi orang Madura, bila negara menerapkan

hukum yang adil dengan memberikan hukuman yang seberat-beratnya,

sehingga dapat menimbulkan efek jera bagi para pelaku Carok. Hal ini

dilakukan agar masyarakat bisa mempercayai hukum dan akhirnya

meninggalkan kebiasaan menyelesaikan masalah dengan cara main

hakim sendiri.

3. Perlu upaya penyadaran masyarakat akan hukum dengan jalan

peningkatan kualitas pendidikan dan keagamaan.

4. Perlu adanya peran serta dari para tokoh masyarakat yang ada terutama

tokoh agama atau ulama serta aparatur desa yang bisa dihormati dan

disegani, supaya dapat ikut berperan aktif sehingga nantinya bisa

memberikan pemahaman yang lebih baik tentang suatu permasalahan

kepada segenap masyarakat yang ada di sekitarnya.

5. Para keluarga korban Carok perlu mulai disadarkan agar meninggalkan

kebiasaan buruk menyimpan segala benda yang digunakan untuk Carok

dan mengubur korban Carok di dekat atau di sekitar rumah, agar tidak

selalu melahirkan dendam yang tiada pernah berkesudahan.

Daftar Pustaka

Imron, D. Z, 1986. Menggusur Carok , Surabaya: Harian Memorandum.

14

Page 15: CAROK

Wiryoprawiro, Z. M, 1986. Arsitektur Tradisional Madura Sumenep dengan

Pendekatan Historis dan Deskriptif, Surabaya: Laboratorium Arsitektur

Tradisional, FTSP-ITS.

Wiyata, A. L, 2006. Carok, Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura,

Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara Yogyakarta.

Tempo Interaktif, 16-8-2006.

15