Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

90
1 BEBERAPA CATATAN Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia 1800 - 2005

Transcript of Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

Page 1: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

1

BEBERAPA CATATAN

Bunga Rampai Perkembangan Air Minumdi Indonesia

1800 ­ 2005

Bunga Rampai Perkembangan Air Minumdi Indonesia

Page 2: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

2

BEBERAPA CATATANSEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA1800 – 2005

Page 3: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

3

BEBERAPA CATATAN

Bunga Rampai Perkembangan Air Minumdi Indonesia

1800 ­ 2005

Bunga Rampai Perkembangan Air Minumdi Indonesia

1800 ­ 2005

Page 4: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

4

BEBERAPA CATATANSEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA1800 – 2005

Sekapur Sirih dari Penyusun

Mengenal sejarah adalah merupakan keniscayaan, sejarah air minum tidak terkecuali. Buku ini mencoba merangkum sejarah panjang perjalanan pengelolaan air minum di Indonesia, dimulai dari jaman pra-kemerdekaan, sekitar tahun 1980-an, sampai tahun 2005, dimana perkembangan pengelolaan air minum sudah jauh berkembang pesat, meskipun masih jauh dari harapan. Tulisan pengantar ini merupakan rangkuman singkat dari catatan sejarah air minum di Indonesia, sebagai bahan pembelajaran bagi generasi berikutnya.

Perkembangan air minum di Indonesia ternyata sudah dimulai jauh sebelum Indonesia merdeka. Pada jaman itu, sekitar tahun 1800-an, Sir Stamford Raffles, Lieutenant-Governor of British Java (1811–1815), mencatat bahwa penduduk pulau Jawa waktu itu sudah terbiasa merebus air sebelum diminum untuk menjaga kesehatan, kebiasaan yang kemudian ditiru oleh penjajah Belanda. Awalnya, orang-orang yang tinggal di Batavia menjadikan air Kali Ciliwung sebagai sumber air minum yang ditampung di sebuah waduk. Air Sungai Ciliwung dahulu memang sangat jernih. Walaupun demikian, tidak semua orang Belanda mau minum air Ciliwung. Khususnya para ambtenaar kelas atas menggunakan air yang didatangkan dari luar Batavia. Sebagaimana halnya dengan di Batavia, di kota-kota lainnya yang didiami orang Belanda, dibangun pula sarana penyediaan air minum walaupun masih sederhana, dan umumnya memanfatkan sumber mata air.

Pada akhir masa penjajahan, kapasitas produksi air minum di seluruh Indonesia adalah sekitar 3.000 liter per detik. Yang menarik adalah bahwa sebagian investasi sarana air minum yang telah dikeluarkan fihak swasta pada masa pemerintahan Hindia Belanda dimasukkan sebagai utang pemerintahan Hindia Belanda kepada swasta, yang harus dibayar melalui Pemerintah Kerajaan Belanda. Melalui Konferensi Meja Bundar, akhirnya utang tersebut, sebesar 4,5 milyar gulden, dibayar lunas oleh Pemerintah Indonesia.

Setelah Indonesia merdeka, pada beberapa tahun pertama boleh dikatakan hampir tidak ada pembangunan sektor air minum di Indonesia, karena masih disibukkan dengan perang mempertahankan kemerdekaan menghadapi agresi Belanda dan pemberontakan di berbagai kawasan. Pembangunan sarana air minum secara lebih sistematis dilakukan sejak tahun 1952, yang dapat dibagi dalam tiga kurun waktu yang berbeda: (i) era awal kemerdekaan, (ii) era orde baru dan (iii) era awal orde reformasi. Masa awal kemerdekaan dimulai dengan rehabilitasi dan peningkatan kapasitas sistem penyediaan air minum untuk kota Jakarta, yang diikuti oleh kota-kota besar lainnya, dalam kerangka Rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana. Hasilnya, hingga tahun 1968, kapasitas

Page 5: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

5

produksi air minum sudah mencapai 9.000 liter per detik dengan cakupan pelayanan di daerah perkotaan sebesar 19 persen. Era Orde Baru yang dimulai pada tahun 1969 merupakan peletak dasar pembangunan sektor air minum yang lebih sistematis dan terencana, dimana pembangunan dilakukan secara berkala melalui rencana pembangunan lima tahunan atau Repelita. Era ini berakhir pada Repelita VI dengan tumbangnya rezim Orde Baru pada tahun 1998 dan dimulainya era orde reformasi.

Perkembangan air minum pada setiap era ditandai dengan beragam perubahan dalam kebijakan dan pendekatan penanganan yang berdampak pada organisasi dan penyelenggaraan air minum. Semua ini merupakan pembelajaran yang berharga bagi generasi berikut untuk pengembangan air minum yang lebih baik di tanah air tercinta. Jaman telah berubah, tantangan sudah berbeda, tapi pengalaman masa lalu mudah-mudahan dapat dijadikan inspirasi untuk perbaikan di masa datang.

Buku ‘Beberapa Catatan Sejarah Air Minum Indonesia’ ini pada awalnya diprakarsai oleh Ir. Budi Yuwono Dipl. SE sewaktu beliau menjabat Direktur Jenderal Cipta Karya (2007-2012), dan dirangkai kembali oleh sebuah tim yang terdiri dari para pejabat purna tugas di Kementerian Pekerjaan Umum, khususnya Direktorat Teknik Penyehatan, yang namanya kemudian berubah beberapa kali dan sekarang menjadi Direktorat Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum.

Penyusun mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan banyak masukan dan informasi yang sangat berharga. Ucapan terimakasih terutama ditujukan kepada Bapak Hidayat Notosugondo yang pernah menjabat sebagai Kepala Jawatan Teknik Penyehatan tahun 1958 dan Direktur Teknik Penyehatan pada tahun 1970-an, salah seorang pelaku sejarah perjalanan perkembangan air minum di Indonesia yang paling berperan dalam periode awal perkembangannya.

Semoga niat baik ini mendapat ridha Allah SWT. Amin.

Jakarta, Juli 2015

Tim Penyusun

Sekapu Sirihdari Penyusun

Page 6: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

6

BEBERAPA CATATANSEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA1800 – 2005

SambutanDirektur Jenderal Cipta Karya

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Nulla justo. Phasellus quis justo in est hendrerit blandit. Quisque ante lorem, sagittis sagittis, vestibulum vitae, nonummy eget, turpis. Vestibulum eros urna, malesuada sit amet, vehicula dapibus, rutrum id, diam. Aliquam nonummy suscipit tellus. Proin lacinia enim in eros.

Nulla facilisi. Duis commodo, tortor nec aliquam aliquam, lectus ipsum cursus enim, posuere pretium lorem ipsum sed risus. Donec nisl. Mauris metus eros, pharetra sed,

consequat nec, fermentum in, ligula. Aliquam sodales, libero et sodales tempus, magna nisl rhoncus pede, vitae consectetuer

arcu turpis in nunc. Duis nunc est, varius nec, ornare eu, fermentum a, metus. Pellentesque eu nisi.

Maecenas faucibus. Morbi sed lectus. Curabitur aliquet posuere lectus. Class aptent taciti sociosqu ad litora

torquent per conubia nostra, per inceptos hymenaeos. Donec magna. In at elit. Praesent est est, sagittis ac, lobortis a, tempus et, mi.

Page 7: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

7

Nulla facilisi. Pellentesque sit amet mi. Phasellus mi est, rutrum sagittis, blandit et, molestie sit amet, diam. Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Nullam varius dui sit amet mi. Nulla a risus a nunc pulvinar nonummy. Praesent cursus dignissim orci. Nullam eleifend mattis magna. Mauris mollis ipsum et nulla. Nam dignissim auctor enim. Praesent vel ante sit amet nisi eleifend tempor.

Etiam mollis metus vitae tellus. Aliquam erat volutpat. Donec quis nunc. Sed eros eros, ultricies nec, rutrum ut, pharetra a, purus. Vivamus tincidunt aliquam nibh. Etiam faucibus imperdiet est. Phasellus eget massa eu pede lobortis pulvinar. Nunc tempus orci id nulla. Phasellus id justo. Cum sociis natoque penatibus et magnis dis parturient montes, nascetur ridiculus mus.

Nam condimentum augue eget erat. Aenean dignissim augue vitae magna. Fusce dictum. Quisque gravida, arcu vitae luctus feugiat, urna massa sollicitudin ligula, ac vehicula nisl urna et lorem. Sed rhoncus. Duis metus elit, iaculis et, tristique vitae, commodo vitae, mi. Fusce sem. Praesent consequat, erat ut scelerisque lobortis, est purus varius sapien, ut rutrum diam dui id enim. Quisque vel ligula a odio ullamcorper fringilla.

Sambutan Direktur Jenderal Cipta Karya

Page 8: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

8

BEBERAPA CATATANSEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA1800 – 2005

Kata PengantarKepala BPPSPAM

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Nulla justo. Phasellus quis justo in est hendrerit blandit. Quisque ante lorem, sagittis sagittis, vestibulum vitae, nonummy eget, turpis. Vestibulum eros urna, malesuada sit amet, vehicula dapibus, rutrum id, diam. Aliquam nonummy suscipit tellus. Proin lacinia enim in eros.

Nulla facilisi. Duis commodo, tortor nec aliquam aliquam, lectus ipsum cursus enim, posuere pretium lorem ipsum sed risus. Donec nisl. Mauris metus eros, pharetra sed,

consequat nec, fermentum in, ligula. Aliquam sodales, libero et sodales tempus, magna nisl rhoncus pede, vitae consectetuer

arcu turpis in nunc. Duis nunc est, varius nec, ornare eu, fermentum a, metus. Pellentesque eu nisi.

Maecenas faucibus. Morbi sed lectus. Curabitur aliquet posuere lectus. Class aptent taciti sociosqu ad litora torquent

per conubia nostra, per inceptos hymenaeos. Donec magna. In at elit. Praesent est est, sagittis ac, lobortis a, tempus et, mi.

Page 9: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

9

Nulla facilisi. Pellentesque sit amet mi. Phasellus mi est, rutrum sagittis, blandit et, molestie sit amet, diam. Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Nullam varius dui sit amet mi. Nulla a risus a nunc pulvinar nonummy. Praesent cursus dignissim orci. Nullam eleifend mattis magna. Mauris mollis ipsum et nulla. Nam dignissim auctor enim. Praesent vel ante sit amet nisi eleifend tempor.

Etiam mollis metus vitae tellus. Aliquam erat volutpat. Donec quis nunc. Sed eros eros, ultricies nec, rutrum ut, pharetra a, purus. Vivamus tincidunt aliquam nibh. Etiam faucibus imperdiet est. Phasellus eget massa eu pede lobortis pulvinar. Nunc tempus orci id nulla. Phasellus id justo. Cum sociis natoque penatibus et magnis dis parturient montes, nascetur ridiculus mus.

Nam condimentum augue eget erat. Aenean dignissim augue vitae magna. Fusce dictum. Quisque gravida, arcu vitae luctus feugiat, urna massa sollicitudin ligula, ac vehicula nisl urna et lorem. Sed rhoncus. Duis metus elit, iaculis et, tristique vitae, commodo vitae, mi. Fusce sem. Praesent consequat, erat ut scelerisque lobortis, est purus varius sapien, ut rutrum diam dui id enim. Quisque vel ligula a odio ullamcorper fringilla.

Kata PengantarKepala BPPSPAM

Page 10: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

10

BEBERAPA CATATANSEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA1800 – 2005

Daftar Isi

1

2

3

Pendahuluan

Air Minum di EraPra Kemerdekaan

Pengembangan Air Minum di Awal Kemerdekaan

Air Minum dan Sanitasi Lingkungan Sebagai Sarana Dasar Permukiman

Pelayanan Air Minum dan Sanitasi Lingkungan Yang Tidak Layak dan Akibatnya

Lingkungan Strategis Global dan Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Air Minum dan Sanitasi di Tanah Air

Penulisan Tentang Sejarah Perkembangan Air Minum di Indonesia

Prasarana Air Minum Diutamakan untuk Orang Belanda

Sarana Air Minum Hanya Ada di Kota-kota yang Dihuni Belanda

Bentuk Kelembagaan Pada Saat Itu

Teknologi Pengolahan Air Saat Itu Masih Konvensional

Pelayanan Air Minum di Berbagai Kota Penting Lainnya

Rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana

IPA Pejompongan I, Tonggak Sejarah Pembangunan Air Minum di Indonesia

Menimba Ilmu Teknik Penyehatan Lingkungan di Luar Negeri

Kerjasama Luar Negeri dan Tata Laksana Proyek

Model Kelembagaan Banyak Mengadopsi Bentuk Peninggalan Kolonial

Pembangunan Air Minum di Ibukota Provinsi

Undang Undang yang Melandasi Pendirian PDAM Sebagai Badan Usaha

Page 11: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

11

4 Perkembangan Air Minum pada Era Orde Baru (1969-1998)

Dasawarsa 1969-1979:Peletak Dasar Pembangunan Sektor Air Minum

Pembangunan yang Berfokus Pada Rehabilitasi Sekaligus Ekstensifikasi

Mekanisme Pembiayaan Berbasis Pinjaman Luar Negeri

Pelita II (1974-1979) Merupakan Periode Ekstensifikasi

Kelembagaan: Perintisan Penyerahan Pengelolaan Sarana Kepada Pemerintah Daerah

BPAM, Lembaga Pengelola Transisi Sebelum Terbentuknya PDAM

Dasawarsa 1979-1989:Era yang Melahirkan Banyak Perkembangan

Program Akselerasi: Pembangunan Masal SPAM di 200 Kota

Akselerasi Melahirkan Industri Pembuat IPA Paket

Pembuatan Modul IPA Paket 2,5 liter per detik

Sistem IKK Mempercepat Penyebaran Pelayanan Air Minum di Tanah Air

Penanganan Daerah Terpencil/Sulit Air

Direktorat Teknik Penyehatan Dipecah Menjadi Dua

Program Regional Atau Lintas Wilayah/Kabupaten

Pelita IV 1984-1988:Resesi Tidak Menghalangi Pembangunan

Sistem Terpadu Melahirkan Pembagian Antara Pusat dan Daerah

Dasawarsa 1989-1998:Akhir Pembangunan Jangka panjang Tahap Pertama

Daftar Isi

Page 12: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

12

BEBERAPA CATATANSEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA1800 – 2005

Daftar Isi

5 6Pengembangan Air Minum di Awal Era Reformasi Penutup

Era 1998-2005

Program Air Minum di Awal Era Reformasi

Program Air Minum untuk KawasanRawan Air di Perkotaan dan Perdesaan (Program SE-AB)

Tahun 2005; Cakupan di Perkotaan 40 persen, di Perdesaan 8 persen

Otonomi dan Regionalisasi

Pembelajaran dari Perkembangan Air Minum di Indonesia

Pembelajaran dari Perkembangan Air Minum di Indonesia

Page 13: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

13

Daftar Boks

Daftar Boks

Boks 1. Keterlibatan Swasta dalam Pelayanan Air Minum

Boks 2. Sejarah Pelayanan Air Minum di Batavia

Boks 3. Kisah Dibalik Pembangunan Instalasi Pejompongan I, Jakarta

Boks 4. Sejarah Terbentuknya Direktorat Jenderal Cipta Karya

Boks 5. Terminologi dan Interpretasi Air Minum

Boks 6. Umbulan, Potensi Rp 126 milyar per Tahun yang Disia-siakan

Boks 7. Kebijakan Pembangunan Prasarana Kota Terpadu

Boks 8. UU 7/2004, Landasan Kebijakan untuk Air Minum

Boks 9. Kisah Sukses Regionalisasi PDAM

Page 14: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

14

BEBERAPA CATATANSEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA1800 ­ 2005

Page 15: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

15Air minum dan sanitasi lingkungansebagai sarana prasarana dasar permukiman

PENDAHULUAN

1

Page 16: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

16

BEBERAPA CATATANSEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA1800 – 2005

Banyak kota kuno berkembang di tepi-tepi kumpulan air (danau dan sungai) yang dapat menyokong kehidupan. Pada masa 3000 tahun sebelum Masehi, telah muncul peradaban di lembah Mesopotamia (dataran di antara sungai Tigris dan Efrat) di Timur Tengah, di tepi Sungai Nil, Mesir dan di lembah Sungai Indus. (Wikipedia). Permukiman pada awalnya tidak dapat dipisahkan dari kedekatannya dengan sumber air. Dalam perkembangannya, permukiman sebagai bagian dari lingkungan hunian tidak hanya memerlukan air, akan tetapi juga prasarana dan sarana dasarserta utilitas umum lainnya seperti sarana sanitasi. Prasarana dan sarana sanitasi lingkungan tersebut meliputi air limbah, persampahan dan drainase, yang kemudian dikenal sebagai prasarana penyehatan lingkungan permukiman (PLP). Ketersediaan dan kondisi prasarana dan sarana dasar ini sangat menentukan kualitas lingkungan permukiman tersebut dan derajat kesehatan penghuninya.

Penyediaan air minum dapat dilakukan melalui upaya masing-masing orang/keluarga (secara individu) seperti sumur gali/pompa atau penampungan air hujan (PAH). Apabila kebutuhan telah lebih meningkat, sejalan dengan semakin berkembangnya permukiman, maka upaya yang dilakukan secara individu tidak lagi dapat diandalkan, sehingga diupayakansecara terpusat melaluisistem perpipaan, yang dimulai dari permukiman yang sudah mulai berkembang dan padat seperti di kawasan perkotaan. Sama halnya dengan air minum, untuk air limbahpun, pengelolaannya dimulai dari skala rumah tangga (secara individu), misalnya dengan menggunakan tangki septik (disebut sistem on-site), dan sejalan

Pendahuluan

Air merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Air dan permukiman selalu menjadi perhatian manusia sejak jaman dahulu kala.

Page 17: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

17

dengan perkembangan permukiman, khususnya untuk permukiman padat, maka sistem yang lebih sesuai untuk digunakan adalah secara terpusat melalui saluran air limbah, atau juga disebut sistem off-site.

Pelayanan air minum dan sanitasi lingkungan yang tidak layak dan akibatnyaPelayanan air minum dan pengelolaan sanitasi lingkungan yang tidak layak mengakibatkan penurunan derajat kesehatan masyarakat. Menurut data dari Kementerian Kesehatan, terdapat 37 jenis penyakit tradisional yang berhubungan dengan air minum dan sanitasi lingkungan yang kurang layak, yang terbagi atas kelompok penyakit, yaitu waterborne diseases, water washed diseases, water-based diseases, water-related diseases,water-related vectors, dan vector-related diseases. Masing-masing kelompok tersebut dijelaskan dalam uraikan berikut:a) Waterborne disease adalah penyakit yang ditularkan langsung melalui air seperti diare,

tyfus, disentri, hipatitis A dan E, yang merupakan penyebab kematian kedua terbanyak pada balita di Indonesia setelah ISPA.

b) Water washed disease adalah penyakit yang berkaitan dengan kekurangan air untuk keperluan sehari-hari seperti scabies, infeksi kulit dan selaput lendir (dermatitis), trachoma, lepra, frambusia dan lain-lain.

c) Water based disease adalah penyakit yang bibitnya dan sebagian dari siklus kehidupannya berhubungan dengan air, antara lain schistosomiasis.

d) Water related vectors adalah penyakit yang ditularkan oleh vector penyakit yang sebagian atau seluruhnya berada diair seperti malaria, demam berdarah dengue, filariasis dan sebagainya.

e) Vector related disease adalah penyakit yang ditularkan oleh vektor yang sebagian atau seluruh kehidupannya berkaitan dengan sampah seperti diare dan lain lain.

Sementara itu dibeberapa daerah mulai muncul penyakit akibat “modernhazard” seperti akibat air minum yang tercemar limbah industri, limbah pertanian (pestisida, herbisida) serta limbah penambangan emas yang menggunakan merkuri secara tidak terkendali. Dengan demikian masalah kesehatan lingkungan di Indonesia saat ini mengalami beban ganda (double burden). Kondisi pengelolaan air minum secara nasional saat ini juga mengakibatkan kerugian ekonomis yang sangat besar, antara lain berupa biaya perawatan kesehatan, kehilangan produktivitas sumberdaya manusia dan kehilangan produksi dalam negeri serta menurunnya pendapatan dari sektor pariwisata.

lingkungan strategis global dan pengaruhnya terhadap perkembangan air minum dan sanitasi di tanah airPada lingkungan global, peristiwa strategis penting didunia internasional yang membahas masalah air ditandai dengan pertemuan yang diadakan di Mar del Plata, Argentina, pada bulan Maret 1977, dimana PBB menyelenggarakan konferensi air sedunia yang menjadi

Pendahuluan

Page 18: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

18

BEBERAPA CATATANSEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA1800 – 2005

Pendahuluan

Page 19: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

19

Pendahuluan

Page 20: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

20

BEBERAPA CATATANSEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA1800 – 2005

tonggak awal yang lebih kuat dalam mendorong kesadaran dunia akan pentingnya air dalam pembangunan yang berkelanjutan. Rencana Aksi Mardel Plata memproklamirkan tahun 1980-1990 sebagai dekade air minum dan sanitasi international, sebagai upaya bersama untuk meningkatkan pelayanan air minum dan sanitasi. Dalam catatan PBB, hingga saat ini setiap tahun lebih kurang empat juta penduduk dunia meninggal sebagai akibat pelayanan air minum dan sanitasi yang kurang layak.

Komitmen-komitmen internasional mengenai Sumber Daya Air, termasuk masalah air minum dan sanitasi, terus bergulir. Prinsip Dublin, sebagai hasil dari Konferensi di Dublin pada Januari 1992, ditujukan untuk manajemen air secara bijaksana dengan fokus perhatian pada kemiskinan. Puncak peristiwa adalah kesepakatan Rio De Janeiro (Juni 1992), yang dikenal dengan Earth Summit dengan Agenda 21-nya, untuk pembangunan yang berkelanjutan, dimana salah satu dari Agenda 21 mencantumkan penyediaan air dan sanitasi.

Kesepakatan Millennium Development Goals (MDGs) atau Tujuan Pembangunan Milenium dengan sasaran tahun 2015, dan akses universal atas air minum dan sanitasi pada tahun 2025 adalah bentuk-bentuk perhatian PBB yang tanpa henti mendorong negara-negara di dunia, terutama di negara-negara berkembang, untuk memprioritaskan pengembangan air minum dan sanitasi.

Dengan semakin berkembangnya permasalahan dalam air minum dan sanitasi sebagaimana disampaikan diatas, jelaslah betapa pentingnya prasarana dan sarana air minum dan sanitasi bagi kita semua. Dalam hal ini Pemerintah Indonesia telah memberikan perhatian penuh atas pengembangan air minum dan sanitasi, yang pelaksanaannya disesuaikan dengan kondisi dan situasi sesuai jamannnya, sejak awal kemerdekaan sampai sekarang.

Pengembangan air minum dan sanitasi tidak hanya menyangkut aspek fisik, akan tetapi juga hal-hal yang sifatnya non-fisik seperti aspek-aspek pengaturan, kelembagaan, pembiayaan dan pengelolaannya.

Penulisan tentang sejarah perkembangan air minum di IndonesiaUntuk dapat mengetahui dan memahami upaya pengembangan air minum dan sanitasi di Indonesia dari masa ke masa, para pelaku yang pada saat itu turut menangani dan menjadi saksi hidup pengembangan air minum sejak awal tahun 1960-an sampai sekarang berupaya untuk menuliskannya dalam bentuk buku, yang diberi judul: “Beberapa Catatan Sejarah Air Minum Indonesia”. Penulisan buku ini difasilitasi oleh Direktorat Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Direktorat Jenderal Cipta Karya, dan Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (BPPSPAM), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

Pendahuluan

Page 21: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

21

Keterangan foto

Walaupun masalah air dan sanitasi merupakan dua sisi dari mata uang yang tidak dapat dipisahkan karena keduanya saling berkaitan, namun buku ini hanya membatasi pada masalah pengembangan air minum, dengan harapan, suatu saat nanti sejarah perkembangan sanitasi di Indonesia juga dapat dibukukan.

Tentu saja tidak mungkin memasukkan seluruh peristiwa pengembangan air minum itu secara lengkap dalam sebuah buku yang sederhana ini. Yang diharapkan dari penyusunan buku ini adalah bahwa generasi penerus dapat mengetahui dan memahami, serta mengambil hikmah dari pengalaman, pemikiran, kejadian dan langkah-langkah pendahulunya, baik yang dianggap berhasil, atau belum, sebagai bahan pembelajaran bagi generasi penerus. Dengan demikian maka generasi penerus dapat melanjutkan keberhasilan yang telah dicapai dan tidak mengulangi kesalahan yang sama, yang telah diperbuat oleh generasi sebelumnya.

Pendahuluan

Page 22: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

22

BEBERAPA CATATANSEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA1800 ­ 2005

Page 23: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

23Prasarana air minumdiutamakan untukorang Belanda

AIR MINUM DI ERAPRA KEMERDEKAAN

2

Page 24: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

24

BEBERAPA CATATANSEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA1800 – 2005

kehadIran perusahaan yang bersifat oktopus itu dikawal oleh tentara Belanda, yang akhirnya berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan ataupun kesultanan yang ada di Indonesia, lalu menjajahnya hingga tahun 1945.

Tidak jelas kapan persisnya sistem penyediaan air minum mulai ada di Indonesia. Suatu catatan menyebutkan, bahwa sistem penyediaan air minum di masa prakemerdekaan itu sudah hadir pada era 1800-an (Buku Direktori Perpamsi). Sir Stamford Raffles, penguasa Inggris selama penjajahannya di Pulau Jawa (1811-1815), yang juga dikenal sebagai ilmuwan, pada tahun 1817 mencatat bahwa penduduk di Pulau Jawa telah terbiasa merebus air sebelum diminum untuk menjaga kesehatan. Kebiasaan ini kemudian ditiru oleh bangsa Belanda yang tinggal di Batavia (sebelumnya bernama Jayakarta, kemudian diganti Belanda menjadi Batavia, sekarang Jakarta). Di Batavia, pada tahun 1880-an ada tuan tanah yang memiliki sumur yang airnya sangat jernih. Pemilik tanah itu pun

Sejarah Indonesia menyebutkan bahwa masa kolonialisme, masa penjajahan Belanda di Indonesia, dimulai tahun 1602, terhitung sejak pendirian VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie), perusahaan Belanda yang semula bertujuan mengumpulkan hasil-hasil bumi Indonesia untuk diboyong dan diperdagangkan di Eropa.

Air Minum di EraPra Kemerdekaan

Page 25: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

25

memperdagangkan air sumur tersebut dengan harga 1,5 gulden per drum (200 liter). Air sungai pun waktu itu diperdagangkan dengan harga 2-3 sen per kaleng (20 liter).

Pemerintah Kota Batavia terbentuk pada tahun 1905, dan pada tahun 1918 didirikanlah PAM (Perusahaan Air Minum) Batavia dengan mendatangkan air baku dari mata air di Ciomas, Bogor. Pada waktu itu penduduk memang kurang menyukai air sumur bor yang dibangun PAM Batavia, karena kalau dipakai untuk menyeduh teh, airnya berwarna hitam karena kandungan besi (Fe) yang tinggi.

Awalnya, orang-orang yang tinggal di Jakarta menjadikan air Kali Ciliwung sebagai sumber air minum. Air Sungai Ciliwung dahulu memang sangat jernih. Seorang analis Belanda Dr. de Haan tahun 1648 memberi nilai sangat baik (voortreffelijk) atas air Ciliwung. Air sungai ditampung di sebuah waduk yang dalam bahasa Belanda disebut waterplaats.Waduk itu semula dibangun di dekat benteng Jacatra di utara kota, kemudian dipindahkan ke kali di daerah Molenvliet (sekarang lebih dikenal dengan nama Harmoni), tak jauh dari Istana Negara yang sekarang. Waduk itu dilengkapi dengan pancuran-pancuran kayu yang mengucurkan air dari ketinggian tiga meter. Masyarakat menamakan tempat itu pancuran, yang oleh lidah Betawi ketika itu berubah menjadi pancoran. Dari sana air diangkut oleh para pedagang air untuk dijajakan di daerah Kota.

Pola penyediaan air seperti itu tentu saja tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan karena tanpa melalui pengolahan apapun. Maka pada akhir abad ke-18 dan dasawarsa pertama abad ke-19, mulailah muncul wabah penyakit menular, mulai dari disentri, tifus, bahkan kolera. Karena itu, tidak semua orang Belanda mau minum air Ciliwung. Khususnya para ambtenaar1 kelas atas menggunakan air yang terkenal dengan sebutan ayer Belanda yang didatangkan dari luar Batavia. Tetapi harganya sangat mahal, satu ringgit (2,5 gulden) per guci kecil. Kaum ambtenaar kelas lebih rendah membeli air yang khusus didatangkan dari Bogor yang mutunya jauh lebih baik dan lebih aman, walau dengan harga yang jauh lebih mahal dari air Ciliwung.

Sarana air minum hanya ada di kota-kota yang dihuni BelandaSebagaimana dengan di Batavia, di kota-kota besar lainnya dan di kota-kota kecil di Indonesia yang didiami orang Belanda, tumbuh pula sarana penyediaan air minum walau kapasitasnya tidak sepadan dengan jumlah penduduknya. Sarananya pun masih sederhana, umumnya memanfaatkan sumber mata air.2

1. Sebutan untuk pegawai negeri pada zaman Belanda, biasanya berpakaian jas putih-putih, topi helm keras seperti topi baja dan pergi–pulang kerja naik sepeda. (Jakarta.go.id)

2. Di sebuah kota kecil, Tarutung, di Sumatera Utara misalnya, fasilitas air minum perpipaan sudah ada sejak masa penjajahan. Pemerintah kolonial pada masa itu membangun pipa transmisi dari sebuah mata air di suatu kaki gunung, sekitar tujuh kilometer panjangnya untuk mengalirkan air sampai ke kota. Di seputar kota, di mana orang-orang Belanda tinggal, dibangun jaringan pipa distribusi. Maka warga kota Tarutung ketika itu sudah menikmati air ledeng yang cukup baik, yang diusahakan oleh pemerintahan kota setempat.

Air Minum di EraPra Kemerdekaan

Page 26: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

26

BEBERAPA CATATANSEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA1800 – 2005

Sekitar tahun 1880-1890, Dinas Pengairan Belanda membangun saluran air sepanjang 12 km dari sebuah bendungan di Sungai Elo ke pusat kota Magelang, Jawa Tengah, untuk keperluan air minum dan pengairan. Di Surabaya tahun 1890, atas jasa-jasanya merintis penyediaan air minum, dua orang Belanda bernama Mouner dan Bernie diberi konsesi mengelola mata air Umbulan di Pasuruan. Mereka memasang pipa sepanjang lebih dari 60 km dari wilayah Pasuruan hingga ke kota Surabaya, yang pengerjaannya dilakukan dalam dua tahun. Dan pada tahun 1900 berdirilah perusahaan air minum Kota Surabaya.

Waktu itu, rumah-rumah yang dianggap mewah diwajibkan oleh pemerintah Hindia Belanda berlangganan, dan dalam waktu tiga tahun, perusahaan air minum itu memiliki 1.588 pelanggan. Tahun 1906, perusahaan air minum itu dijadikan sebagai Dinas Air Minum Kota Surabaya, yang kemudian menjadi PDAM Kota Surabaya sampai sekarang.Air ledeng seperti itu terdapat juga di berbagai kota lain yang tersebar di Nusantara, dimana terdapat sumber berupa mata air yang cukup besar. Yang jelas, pembangunan sarana air minum di masa itu memang lebih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan bangsa Belanda dan lapisan masyarakat atas yang berkuasa waktu itu. Lapisan masyarakat mayoritas yang berkedudukan sosial rendah dan ekonomi lemah kurang mendapat perhatian. Mereka menggunakan air sumur dangkal, air sungai dan semacamnya, yang tentu saja tidak terjamin kesehatannya, meskipun budaya merebus air terlebih dahulu sebelum diminum telah lama tertanam dalam masyarakat Indonesia, dan itu cukup membantu. Di berbagai tempat yang dikaruniai dengan mata air, sebagian warganya beruntung dapat mengonsumsi air minum yang baik yang berasal dari mata-mata air itu.

Kota-kota besar maupun kecil yang didiami orang Belanda di masa prakemerdekaan adalah kota-kota yang memiliki arti strategis bagi Belanda, baik dari segi politis dan keamanan, dan dari sudut perekonomian seperti pertambangan, perniagaan, perkebunan dan pelabuhan. Sebut saja misalnya Jakarta, Bandung, Bogor, Cirebon, Sukabumi di Jawa Barat, Semarang, Salatiga, Banyumas, Cilacap, Yogyakarta, Solo, Magelang di Jawa Tengah. Kota-kota penting bagi Belanda di Jawa Timur antara lain Surabaya, Malang, Banyuwangi, Madiun, Jember. Sedangkan di Sumatera antara lain Banda Aceh, Sigli, Lhoksumawe, Medan, Brastagi, Pematangsiantar, Prapat, Sibolga, Padangsidempuan, Bukittinggi, Padang, Sawahlunto, Jambi, Palembang, Bengkulu, Pekanbaru, Dumai. Di Kalimantan terdapat kota-kota penting seperti Banjarmasin, Pontianak, Balikpapan, lalu Makassar, Manado dan Bitung di Sulawesi, dan Ambon serta Ternate di Maluku.

Bentuk kelembagaan pada saat ituPengelolaan penyediaan air minum di berbagai kota tersebut di atas diatur pemerintah Hindia Belanda dengan membentuk badan hukum berupa bedrijven (perusahaan) atau diensten (kedinasan). Contoh-contoh badan hukum berbentuk perusahaan antara lain adalah:1. Gemeentelijk Waterleiding Bedrijf (Perusahaan Air Minum Kotapraja) yang terdapat di

kota-kota Batavia, Surabaya, Madiun, Salatiga, Bandung, Bogor, Sukabumi, Semarang,

Air Minum di EraPra Kemerdekaan

Page 27: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

27

dan sebagainya.2. Provinciaal Waterleiding Bedrijf (Perusahaan Air Minum Provinsi) yang antara lain terdapat

di kota Mojokerto dan sekitarnya.

Pada masa itu, perusahaan air minum kotapraja (waterleiding bedrijf) menginduk ke Departemen Kesehatan Masyarakat (Department van Volksgezondheid), karena air minum erat kaitannya dengan kesehatan masyarakat, yang mengawasi kualitas produksi.3 Karena milik pemerintah kotapraja, perusahaan air minum itu dibiayai oleh pemerintah.

Selain itu, ada juga pelayanan air bersih yang dikelola swasta4 seperti di Tanjungpinang, yang kemudian menjadi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Perusahaan-perusahaan asing seperti Caltex di Dumai dan BPM di Balikpapan juga menyediakan air bersih walau terbatas untuk kebutuhan karyawan-karyawan mereka yang biasanya tinggal di kompleks-kompleks perumahan perusahaan-perusahaan tersebut.

Di pelosok Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan juga terdapat pelayanan air minum melalui suatu hidran umum yang disediakan oleh perusahaan tambang minyak asing, yang kemudian diambil alih oleh Pertamina setelah Indonesia merdeka. Bahkan hingga sebelum PDAM Kabupaten Muara Enim memasang pipa transmisi air minum ke pelosok itu sekitar tahun 2004, penduduk di luar kompleks Pertamina tersebut masih menikmati air minum dari instalasi air minum milik Pertamina tersebut pada jam-jam tertentu.

Penyediaan air minum sistem perpipaan, dengan melibatkan perusahaan swasta, antara lain juga dikembangkan Belanda di Sumatera Utara, yaitu di Medan dan Binjai. Dalam Boks berikut diuraikan secara lengkap sejarah perkembangan air minum dengan melibatkan swasta di kedua kota tersebut.

Di pelosok Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan juga terdapat pelayanan air minum melalui suatu hidran umum yang disediakan oleh perusahaan tambang minyak asing, yang kemudian diambil alih oleh Pertamina setelah Indonesia merdeka. Bahkan hingga sebelum PDAM Kabupaten Muara Enim memasang pipa transmisi air minum ke pelosok itu sekitar tahun 2004, penduduk di luar kompleks Pertamina tersebut masih menikmati air minum dari instalasi air minum milik Pertamina tersebut pada jam-jam tertentu.

3. Kementerian PU di jaman kolonial disebut Ministery van Verker en Waterstaat (Kementerian Perhubungan dan Pengairan), yang kemudian berubah menjadi Burgerlijke Openbare Werken atau BOW. BOW ini memiliki dinas-dinas di tingkat provinsi dan kabupaten yang menangani masalah ke PU-an, meliputi hanya jalan dan jembatan, pengairan/irigasi dan gedung-gedung negara. Selain gedung-gedung, masalah-masalah lainnya seperti air minum dan sanitasi tidak menjadi tanggung jawab BOW, karena keterkaitannya cenderung dengan kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, air minum dan sanitasi menjadi tanggung jawab Departemen Kesehatan, yang pada jaman kolonial dulu namanya Departement van Volksgezondheid (DVG) atau Departement Kesehatan Masyarakat.

4. Pada masa kolonial, prasarana umum biasanya dikelola oleh pemerintah kota setempat, tapi ada juga yang dikelola swasta. Di Semarang misalnya, listrik dikelola oleh swasta ANIEM (Algemene Nederlands Indische Electriciteit Maatschapij), di Bandung oleh GEBEO (Gemeentelijke Elektriciteit Bedrijf Bandung en Omstreken). Kereta api jaman kolonial juga dikelola oleh swasta, misalnya NIS (Nederlands Indische Spoorweg Maatschapij) yang melayani trayek Surabaya – Jakarta, SS (Staatspoor) yang melayani Yogya – Semarang dan lain-lain.

Air Minum di EraPra Kemerdekaan

Page 28: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

28

BEBERAPA CATATANSEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA1800 – 2005

Air Minum di EraPra Kemerdekaan

Page 29: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

29

Air Minum di EraPra Kemerdekaan

Page 30: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

30

BEBERAPA CATATANSEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA1800 – 2005

Penyediaan air minum sistem perpipaan, dengan melibatkan perusahaan swasta, antara lain juga dikembangkan Belanda di Sumatera Utara, yaitu di Medan dan Binjai. Dalam Boks berikut diuraikan secara lengkap sejarah perkembangan air minum dengan melibatkan swasta di kedua kota tersebut.

Waterleiding Maatschappij Ajer (baca: ayer) Bersih adalah perusahaan air minum yang merupakan suatu konsorsium yang dipimpin oleh Deli Maatschappij. Perusahaan air minum tersebut didirikan untuk memenuhi kebutuhan kota Medan yang berkembang sangat pesat sejak Sultan Deli memindahkan pusat pemerintahannya dari Bengkalis ke Medan, dimana jumlah penduduknya me­ningkat pesat, sejalan dengan pening katan kegiatan di bidang niaga dan industri. Se­belum perusahaan air minum itu dibentuk, pemerintah kolonial Belanda terlebih dulu membentuk sebuah lembaga bernama Gemeentefonds (dana kotapraja) dalam rangka merespons perkembangan kota Medan. Pengurus lembaga dana kotapraja itu terdiri atas pegawai pemerintah (ambtenaar) dan swasta. Melalui lembaga itulah dibuka kesempatan kepada swasta untuk ambil bagian dalam pembangunan infrastruktur di Medan, termasuk penyediaan air minum.

Pada tahun 1898 ada perusahaan swasta yang mengajukan proposal mendirikan instalasi pengolahan sederhana dengan menyaring air di Binjai yang tak jauh dari Medan. Perusahaan itu bernama G.D. Langereis & Co. Tetapi karena pembangunan instalasinya terlalu mahal, proyek air minum tersebut batal dibangun. Namun melihat adanya peluang bisnis, yakni kebutuhan air minum di kota Medan yang sangat mendesak, pada tahun 1903 sebuah perusahaan swasta bernama Deli Maatschappij, meminta konsesi pengelolaan sarana air minum kepada pemerintah Hindia Belanda.

Dengan bantuan konsultan yang sengaja didatangkan dari Belanda, ditemukanlah lokasi yang dinilai baik untuk mendirikan instalasi pengolahan di sebuah dataran tinggi bernama Bandar Baru di luar kota Medan. Di masa itu masalah hukum dan perundang-undangan telah digunakan sebagai payung hukum suatu kegiatan di bidang pela­yanan publik, termasuk perusahaan air minum. Berdasarkan payung hukum itu dikeluarkanlah izin konsesi yang disahkan tanggal 3 April 1905 dengan uang jaminan sebesar 5.000 gulden. Izin itu diberikan setelah segala persyaratan teknis dipenuhi. Sebagian besar pipa transmisi adalah pipa besi tuang. Pipa-pipa dan aksesori pipa yang digunakan oleh Waterleiding Maatschappij Ajer Bersih Medan didatangkan dari Negeri Belanda. Akuaduk dibuat dari beton.

Sebagai operator dibentuk perusahaan ber­nama Waterleiding Maatschappij Ajer Bersih, yang akta pendiriannya dikeluarkan di Negeri Belanda dengan modal awal sebesar 500.000 gulden. Berdasarkan kontrak konsesi, Waterleiding Maatschappij Ajer Bersih di Medan dahulu itu boleh memungut rekening air kepada pelanggan selama 25 tahun. Setelah itu pemerintah kolonial akan mengambil alih perusahaan tersebut kapan saja. Konsesi itu didasarkan pada Surat Keputusan Pemerintah (gouvernements besluit) yang dikeluarkan tanggal 8 Desember 1905. Waterleiding Maatschappij Ajer Bersih di Medan dapat me nyalurkan air minum sebanyak 3.000 meter kubik per hari. Perusahaan inilah yang menjadi cikal bakal PDAM Tirtanadi Sumatera Utara yang sekarang.

keTerlIBaTan SWaSTa dalaM Pelayanan aIr MInUM

Air Minum di EraPra Kemerdekaan

Boks 1. Keterlibatan Swasta dalam Pelayanan Air Minum

Page 31: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

31

Tidak hanya di Medan, di banyak kota lainnya di mana orang-orang Belanda tinggal, dalam waktu yang hampir bersamaan berdiri perusahaan air minum. Selain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka sehari-hari, air minum itu juga ditujukan untuk keperluan lain seperti keperluan dinas pemadam kebakaran, keperluan lokomotif di berbagai stasiun kereta api, pabrik es, pabrik tekstil, dan sebagainya.Untuk sebagian, seperti yang terjadi di Medan, pihak swasta memang diberi konsesi atau hak mengelola, tetapi pada prinsipnya, pengelolaan penyediaan air minum berada di bawah kendali dan pengaturan pemerintah kotapraja (diensten – dinas) dan sebagian lain berupa perusahaan (bedrijven) atau perusahaan air minum kotapraja (Gemeentelijk Waterleiding Bedrijf). Perusahaan air minum serupa juga muncul di kota-kota lainnya seperti Salatiga, Surabaya, Madiun, Bogor dan Sukabumi.

Teknologi pengolahan air saat itu masih konvensionalTeknologi pengolahan air minum di era prakemerdekaan masih konvensional.5 Proses koagulasi/flokulasi, pengendapan, dan penyaringan dilakukan dengan cara sederhana. Pada sistem yang lebih baru, proses koagulasi/flokulasi dilakukan dengan cara heliocoidal, bahkan pada instalasi pengolahan modern, semua proses itu telah dipadukan. Yang juga berkembang ketika itu adalah sistem saringan pasir lambat, yang berbeda sekali dengan sistem saringan pasir cepat yang umumnya digunakan dewasa ini. Perbedaannya adalah pada kecepatan penyaringan dan prosesnya, dimana pada saringan pasir lambat, yang terjadi adalah proses biologis.

Kebanyakan dari perusahaan air minum itu mendapatkan sumber air dari mata air yang terdapat di dataran tinggi. Kota-kota yang tidak memiliki sumber mata air seperti Banjarmasin, Pontianak, Makassar, Palembang dan yang lainnya biasanya memanfaatkan air permukaan atau sumur bor (deep well). Air baku yang berasal dari dataran tinggi biasanya dialirkan ke kota dengan pipa menggunakan gaya gravitasi. Di beberapa kota dibangun pula menara air untuk pemerataan tekanan air dalam jaringan perpipaan distribusi. Sambungan rumah pun masih terbatas hanya bagi warga Belanda dan golongan menengah ke atas. Bagi masyarakat umum disediakan fasilitas MCK (Mandi, Cuci, Kakus), yang pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat setempat, tetapi dalam pengawasan kotapraja. Pada zaman kolonial itu belum ada data yang akurat mengenai kapasitas produksi, kecuali di Batavia, yang perkembangan sejarahnya dapat dilihat dalam Boks berikut.

5. Teknologi konvensional yang dimaksud adalah bahwa prosesnya dilakukan secara sederhana, misalnya untuk proses pencampuran dan koagulasi dilakukan melalui saluran yang berbelok-belok dan bersekat (baffled channel), bak pengendap terbuat dari bak yang luas tanpa tambahan sekat/pipa pengendap (plate/tube settler).

Air Minum di EraPra Kemerdekaan

Page 32: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

32

BEBERAPA CATATANSEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA1800 – 2005

Air minum di Batavia waktu itu bersumber dari mata air Ciburial di Bogor sebanyak 600 liter per detik, yang mulai dibangun tahun 1910. Untuk mengalirkan air dari Bogor ke Jakarta, dibangun pipa transmisi sepanjang 57 km. Pada tahun 1922 dibangun sebuah reservoir bernama Gudang Air di Kramatjati, dan bersamaan dengan itu berdirilah Perusahaan Air Saluran. Dengan tersedianya air dari Ciburial, sejumlah sumur bor dalam yang dibangun di 14 tempat di Jakarta kemudian ditutup.

Air dari tujuh mata air Ciburial sebelum dialirkan ke Jakarta melalui pipa, dikumpulkan terlebih dulu di bak penampungan yang dinamakan bron-kaptering yang dilengkapi dengan saringan terdiri atas batu-batu koral di samping dan di atasnya, ditutup dengan beton sehingga air hujan tidak bisa masuk. Majalah Kotapraja terbitan Februari 1953 antara lain menulis:

“Air dialirkan melalui pipa-pipa beton terus ke Gedung Mata Air dan di gedung inilah baru

diobat dengan caporit 5 kg/24 djam. Dari Gedung Mata Air ini ia dialirkan ke gedung penjimpanan air (water reservoir) melalui pipa-pipa besi wadja dari ukuran 450 mm, 475 mm, 500 mm, dan sampai 550 mm. Masa berdjalan 9 tahun lamanja, pada tahun 1931 penambahan mata air perlu dilakukan, dan dibendunglah sembilan mata air lagi di dalam suatu sumur beton (putcaptering). Dengan melalui pipa-pipa besi tuang ia dialirkan ke sebuah gedung. Dan, setelah berkumpul di gedung baru ini, baru ia dialirkan pula ke gedung jang kita sebutkan di atas. Dan, untuk penampungan tambahan ini, maka ditambah pula pipa-pipa ukuran 500 mm dan 550 mm. Dan, dengan itu pulalah menjadi saluran-saluran jang terbentang dari Tjiomas ke Tjibinong menjadi dua saluran.”

Di Kramatjati dekat Cijantung dibangun pula reservoir yang disebut Gudang Air untuk menampung air yang mengalir deras dari Ciomas. Gudang Air tersebut berkapasitas 20.000 meter kubik. Dari gudang air itulah kemudian air disalurkan ke pusat kota di Batavia.

Sejarah Pelayanan aIr MInUM dI BaTavIa

Pelayanan air minum di berbagai kota penting lainnyaUntuk kota Cirebon, Belanda membangun terowongan penampung air pada salah satu kawasan sumber mata air Paniis yang terletak di lereng Gunung Ciremai. Terowongan air yang dibangun tahun 1937 itu merupakan penampung air yang berasal dari 15 sumur vertikal. Terowongan sepanjang 77 meter itu terhubung dengan instalasi pengolahan yang terletak sekitar 270 meter dari sumber air. Di instalasi pengolahan itu, dibangun unit aerasi berteknologi sederhana, yakni dengan sistem pancaran. Sistem aerasi tersebut ditujukan untuk menghilangkan mineral besi yang terkandung di dalam air.Di Cirebon Belanda juga menggunakan pipa besi tuang diameter 150 – 300 mm untuk mengalirkan air dari sumbernya di Paniis ke wilayah kota Cirebon. Di era 1930-an itu, debit air yang dialirkan ke Cirebon dengan sistem gravitasi tersebut mencapai 30 liter per detik.

Belanda juga membangun menara-menara air sebagai tangki persediaan, yang juga berfungsi menstabilkan tekanan air di jaringan pipa. Menara air yang dibangun di Medan

Air Minum di EraPra Kemerdekaan

Boks 2. Sejarah Pelayanan Air Minum di Batavia

Page 33: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

33

berkapasitas 1.200 meter kubik, terbuat dari besi. Sebagian dari menara-menara air itu ternyata kini telah menjadi landmark kota. Menara air di Magelang berkapasitas 1.750 meter kubik misalnya, yang dibangun tahun 1919-1920 dengan biaya 550.000 gulden telah menjadi saksi sejarah pengembangan sistem penyediaan air minum di kota itu. Menara tersebut tingginya 121,2 meter, ditopang oleh 32 pilar.Menara air di Cirebon berkapasitas 875 meter kubik dibangun tahun 1937 dan masih berfungsi hingga sekarang.

Di akhir masa pra kemerdekaan, kapasitas produksi air minum di seluruh Indonesia adalah sekitar 3.000 liter per detik. Tidak jelas berapa biaya investasinya. Yang menarik adalah, sebagian dari investasi prasarana air minum yang dikeluarkan oleh fihak swasta pada masa pemerintah Hindia Belanda kemudian dimasukkan sebagai utang pemerintahan Hindia Belanda kepada swasta, yang harus dibayar melalui Pemerintah Kerajaan Belanda, yang jumlahnya ditaksir 6,5 miliar gulden. Jumlah itulah yang dituntut oleh Pemerintah Kerajaan Belanda yang harus dibayar oleh Pemerintah Indonesia yang merdeka sejak 17 Agustus 1945.

Tuntutan itu diungkapkan oleh sejarawan Lambert Giebels lewat tulisannya di de Groene Amsterdammer edisi Januari 2000 berjudul “De Indonesische Injectie” alias Sumbangan Indonesia. Tuntutan itu disampaikan pihak Belanda kepada utusan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) dalam rangka penyerahan kedaulatan Republik Indonesia di penghujung Perang Kemerdekaan RI. Semula Belanda menuntut pembayaran 6,5 miliar gulden, tetapi akhirnya sepakat atas angka 4,5 miliar yang diajukan pihak Indonesia.

Patut pula dicatat, perusahaan-perusahaan air minum itu, baik yang swasta maupun yang diselenggarakan oleh kotapraja, sesungguhnya memungut tagihan air minum yang dipakai pelanggannya. Sebagai contoh, Waterleiding Maatschappij Ajer Bersih di Kota Medan menerapkan tarif air bersih yang disepakati oleh Direktur Pekerjaan Umum pemerintah Hindia Belanda seperti berikut ini:

1. Untuk menyiram jalan, lapangan, pertamanan, pembersihan parit 0,05

2. Untuk badan amal seperti rumah sakit dan lain-lain 0,10

3. Untuk kantor umum dengan pemakaian minimal 10 m3 0,20

4. Untuk pemakaian rumah tangga, kandang hewan dan menyiram halaman dengan pemakaian minimal 5 m3 per bulan 0,20

5. Untuk hotel, restoran, dan gedung pertemuan dengan pemakaian minimal 25 m3 per bulan 0,20

6. Untuk keperluan industri dengan pemakaian minimal 12,5 m3 per bulan 0,40

no. jenis tarif Tarif per m3 (gulden)*

* gulden sekarang sudah berganti menjadi uero

Air Minum di EraPra Kemerdekaan

Page 34: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

34

BEBERAPA CATATANSEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA1800 ­ 2005

Page 35: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

35Rencana PembangunanNasional SemestaBerencana

PENGEMBANGAN AIR MINUM DI AWAL KEMERDEKAAN

3

Page 36: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

36

BEBERAPA CATATANSEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA1800 – 2005

Pada MaSa ITU, bangsa dan negara Indonesia masih disibukkan dengan perang mempertahankan kemerdekaan menghadapi agresi Belanda dan pemberontakan di berbagai kawasan. Di sisi lain, pada masa itu belum terlalu sulit mendapatkan air bersih dari sumber-sumber tradisional seperti sumur-sumur dangkal, mata air, dan sumber-sumber lain yang relatif masih baik.

Usai perang kemerdekaan, barulah pemerintah Indonesia mulai melancarkan pembangunan, termasuk pembangunan sektor air minum yang terbengkalai karena Perang Dunia II (1939-1945) dan perang kemerdekaan Indonesia 1945–1950. Para pelaku sejarah pengembangan sektor air minum Indonesia mencatat bahwa di awal-awal kemerdekaan, kebijakan yang diambil adalah memprioritaskan pembangunan sarana prasarana air minum pada kota-kota besar, kota dengan pelabuhan, kota industri, wisata dan objek-objek vital lainnya.

Sesuai dengan kebijakan itu pula maka tahun 1952 dilakukan rehabilitasi serta peningkatan kapasitas sistem penyediaan air minum untuk kota Jakarta yang telah dijadikan sebagai ibu kota negara. Itulah proyek yang pada zamannya disebut-sebut sebagai proyek raksasa, yakni pembangunan Instalasi Pengolahan Air (IPA) Pejompongan I berkapasitas 2.000 liter per detik, termasuk peningkatan kapasitas pasokan air minum dari mata air Ciburial dari 500 liter per detik menjadi 612 liter per detik.

Dalam lima tahun pertama era kemerdekaan 1945 – 1950, boleh dikatakan hampir tidak ada pembangunan sektor air minum di Indonesia.

Pengembangan Air Minum di Awal Kemerdekaan

Page 37: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

37

Salah satu langkah penting di awal kemerdekaan itu, yakni bahwa Pemerintah telah menyusun Rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana (RPNSB) Tahap I meliputi periode 1961–1969. Pembangunan berencana tersebut tentu juga mencakup rencana pengembangan sistem penyediaan air minum. Dalam kerangka rencana pembangunan berencana itulah dilaksanakan pembangunan instalasi pengolahan air minum di beberapa kota besar seperti Jakarta (Pejompongan II), Manado dan Pontianak. Juga ada pembangunan IPA di beberapa ibu kota provinsi atas kerja sama dengan sebuah perusahaan asal Prancis, yakni Degremont. Pembangunan IPA Pejompongan II dengan kapasitas 3.000 liter per detik, selain untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang semakin banyak, juga ditujukan untuk menyukseskan Ganefo (Games of the New Emerging Forces) dan Conefo (Conference of the New Emerging Forces) usai penyelenggaraan Asian Games di Jakarta tahun 1964.

IPa Pejompongan I, tonggak sejarah pembangunan air minum di IndonesiaPembangunan IPA Pejompongan I didorong oleh kebutuhan yang sangat mendesak penduduk kota Jakarta. Sebagai ibu kota negara, Jakarta pada awal era kemerdekaan memang tampil bagai sebuah magnet yang sangat kuat menarik warga pendatang dari seluruh penjuru Tanah Air untuk mengadu nasib. Terjadilah urbanisasi besar-besaran yang menyebabkan peningkatan jumlah penduduk yang amat pesat. Pada tahun 1950, penduduk Jakarta telah meningkat menjadi tiga kali lipat dari tahun 1922. Pertumbuhan jumlah penduduk Jakarta memang luar biasa seperti terlihat dalam tabel di bawah ini.

1900 1500

1930 500.000 (etnis Eropa 37.000)

1950 725.000

Tahun jumlah Penduduk

Salah satu kebutuhan pokok warga Jakarta yang terus bertambah banyak adalah air minum. Ketika saluran mata air Ciburial, Bogor ke Jakarta dibangun tahun 1922, kapasitasnya hanya 500 liter per detik. Dengan jumlah penduduk yang telah berlipat ganda pada tahun 1950-an, menurut perhitungan diperlukan produksi air minum sebanyak 2.000 liter per detik. Maka disusunlah program percepatan peningkatan produksi air minum oleh Pemerintah Kotapraja Jakarta. Hampir bersamaan dengan pembangunan IPA Pejompongan I, pada tahun 1952 Pemerintah juga menambah saluran transmisi air dari Cibinong ke reservoir air minum di Kampung Rambutan, Jakarta, sehingga menjadi dua saluran. Pekerjaan tersebut menelan biaya Rp 4 juta, yang diselesaikan pada bulan Februari 1953. Penambahan saluran air tersebut meningkatkan kapasitas air minum asal Ciburial dari 500 liter per detik menjadi 612 liter per detik.

Pengembangan Air Minum di Awal Kemerdekaan

Page 38: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

38

BEBERAPA CATATANSEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA1800 – 2005

Mengingat bahwa IPA Pejompongan I merupakan tonggak sejarah modern pengembangan air minum di tanah air, kisah di balik pembangunan instalasi berskala raksasa (pada waktu itu) diuraikan secara lengkap dalam Boks berikut.

Hidayat Notosugondo, salah seorang pelaku sejarah dalam pengembangan air minum di Indonesia, mengutarakan pengalamannya dalam pembangunan IPA Pejompongan I di Jakarta sebagai berikut:

“Pada waktu Kotamadya (sebelum menjadi Daerah Khusus Ibukota - DKI) Jakarta pada tahun 1952 mau memperluas kapasitas pelayanan air minum, konsultasi mengenai perencanaan dan usulan pembiayaannya diajukan ke Departemen Kesehatan. Perlu diketahui, bahwa sejak zaman kolonial hing­ga awal kemerdekaan Indonesia, perusahaan waterleiding menginduk ke Departemen Kesehatan karena departemen itu yang bertanggung jawab mengawasi kualitas produksi. Kapasitas pelayanan yang ada dari mata air Ciburial 500 liter per detik yang dibangun di zaman kolonial dikhawatirkan tidak akan mencukupi lagi. Maka untuk mengantisipasi kekurangan penyediaan itu direncanakan membangun instalasi air bersih dengan kapasitas 1.000 liter per detik.

Untuk membangun proyek besar dan modern itu, tentu diperlukan kontraktor yang memiliki reputasi yang baik. Melalui proses pelelangan atau tender, terpilihlah sebuah perusahaan asing bernama Dorr Oliver Co. Sampai taraf pemberian “letter of intent” kepada kontraktor tersebut, penanganannya masih dilakukan oleh Departemen Kesehatan. Tetapi ketika memasuki pembicaraan mengenai pelaksanaan pembangunannya secara fisik, Departemen Kesehatan berpendapat bahwa pekerjaan itu bukan bidangnya, melainkan bidang Departemen Pekerjaan Umum. Maka dibentuklah Jawatan Teknik Penyehatan

di bawah Direktorat Jenderal Pengairan Departemen Pekerjaan Umum.

Kepala Jawatan yang pertama adalah Ir. Lie Tjong Hian yang pada waktu itu sebenarnya sudah berstatus pensiun. Struktur organisasi Jawatan pada waktu itu sangat sederhana, hanya terdiri atas Bagian Air Minum (Kabag dirangkap oleh Ir. Lie Tjong Hian dengan Pak Suradi sebagai pelaksana harian). Dengan dibentuknya Jawatan Teknik Penyehatan, maka pembangunan proyek-proyek air minum dan sanitasi, mulai dari survei, perencanaan, pelaksanaan, dan penganggarannya menjadi tanggung jawab Deparemen Pekerjaan Umum.

Sebagai Kepala Bagian Jawatan Teknik Pe­nyehatan, tugas pertama Ir. Lie pada waktu itu adalah membatalkan pemberian Letter of Intent yang telah diberikan kepada Dorr Oliver Co. karena ada penawaran yang lebih menarik dari Degremont S.A. (Prancis), yaitu membangun instalasi kapasitas 2.000 liter per detik, jadi kapasitas dua kali lipat dengan har -ga yang sama.”

Kenapa sampai pelaksanaan proyek pindah tangan, kisahnya unik. Agar mendapat gambaran tentang instalasi yang akan dibangun, Dorr Oliver Co. mengundang pejabat Jawatan Teknik Penyehatan (Agus Prawiranegara) ke Negeri Belanda untuk meninjau beberapa instalasi yang pernah dibangun perusahaan itu di sana. Dalam perjalanan pulang, Degremont yang men­dengar rencana pembangunan instalasi besar di Jakarta menemuinya. Dari dialog yang terjadi Degremont mengetahui bahwa IPA yang akan dibangun berkapasitas 1.000 liter

kISah dIBalIk PeMBangUnan InSTalaSI PejoMPongan I dI jakarTa

Pengembangan Air Minum di Awal Kemerdekaan

Page 39: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

39

per detik. Tetapi ketika mendengar bahwa harganya tergolong tinggi, pihak Degremont menawarkan harga yang sama namun kapasitas dua kali lipat, 2.000 liter per detik.

Setelah hal itu dilaporkan kepada Peme­rintah, dalam hal ini Menteri Pekerjaan Umum yang ketika itu dijabat oleh Putuhena, Menteri memutuskan supaya proyek itu dialihkan ke Degremont, dan letter of intent yang ditandatangani ber­sama Dorr Oliver Co. dibatalkan. Yang terjadi kemudian, Departemen Kesehatan yang menandatangani letter of intent, te­tapi Departemen Pekerjaan Umum yang membatalkannya. Dan, … boleh dikata, tugas besar pertama kepala jawatan ketika itu, Ir. Lie, adalah membatalkan letter of intent dengan Dorr Oliver Co.

Pembangunan Instalasi Penjernihan Air Minum Pejompongan I tersebut dimu lai 1 Desember 1954 dengan biaya inves­tasi sebesar Rp 70 juta. Angka itu tentu sudah sangat berbeda nilainya saat ini, mengingat mata uang rupiah sudah ber­kali-kali mengalami devaluasi, bahkan pernah mengalami penurunan nilai hing­ga seperseribunya, uang seribu rupiah di­devaluasi menjadi hanya satu rupiah saja.

Sebuah majalah bernama Madjalah Kota­pradja terbitan Februari 1953 mencatat latar belakang pembangunan Pejompongan I sebagai berikut: Walikota Jakarta ketika itu, Soediro, terdorong untuk membangun instalasi penjernihan air minum di Pejom­pongan setelah melihat kekurangan air mi­num yang diderita penduduk Jakarta. Insta lasi tersebut mengambil air Kali Ciliwung seba gai air baku. Setelah disaring dan dibubuhi “obat”, tulis majalah itu, maka kualitas air minum tersebut dapat dipertanggungjawabkan ter­hadap kesehatan. Proyek dengan biaya Rp 70 juta itu disebut-sebut sebagai usaha raksasa.

Sesungguhnya, pendahulu R. Soediro, yakni Walikota Sjamsurijal dan Presiden Sukarno tak dapat terlepas dari peristiwa pembangunan proyek Pejompongan itu. Di masa pemerintahan Walikota Sjamsurijallah diwacanakan untuk meningkatkan produksi air minum di Jakarta, yang penduduknya berlipat ganda amat pesat. Di sisi lain, Presiden Sukarno berkeinginan agar Jakarta selaku ibu kota negara memiliki sistem pelayanan air minum yang prima. Apalagi, sekitar satu dasawarsa kemudian di Jakarta akan berlangsung Asian Games, pesta olahraga se-Asia.

Pembangunan IPA Pejompongan dimulai secara resmi tanggal 23 Desember 1953 dan mulai mengalirkan produksinya pada tahun 1957. Kehadiran IPA tersebut dipandang se­bagai salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah pengembangan sistem penyediaan air minum di Indonesia, dan itulah proyek raksasa pertama di bidang air minum yang dilakukan di Indonesia. pengerjaannya memakan waktu 2,5 tahun dengan melibatkan 1.000 tenaga kerja. Seluruh bahan instalasi, termasuk pipa-pipa transmisi dan distribusi didatangkan dari Perancis.

Setelah IPA Pejompongan I mulai beroperasi bulan Mei 1957, ada anggapan bahwa per­soalan air minum di Jakarta sudah teratasi. Namun dari tiga juta warga Jakarta di masa itu, hanya satu juta saja yang terlayani IPA Pejompongan I. Karena itu, untuk meng­antisipasi laju pertambahan penduduk Ja­karta yang menurut taksiran akan mencapai 4 juta jiwa tahun 1975, IPA Pejompongan I akan diperkuat dengan membangun IPA Pejompongan II berkapasitas 3.000 liter per­detik. Namun dengan kapasitas 5.000 liter perdetik itu pun setelah IPA Pejompongan II mulai beroperasi, kebutuhan air minum kota Jakarta ternyata belum juga terpenuhi.

Pengembangan Air Minum di Awal Kemerdekaan

Boks 3. Kisah Dibalik Pembangunan Instalasi Pejompongan I, Jakarta

Page 40: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

40

BEBERAPA CATATANSEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA1800 – 2005

Menimba ilmu teknik penyehatan di luar negeriDi awal-awal kemerdekaan berlangsung persiapan nasionalisasi perusahaan- perusahaan air minum peninggalan Belanda, Sayangnya orang Indonesia yang memiliki kemampuan di bidang teknik penyehatan Indonesia masih langka, sehingga pada masa-masa itu Pemerintah mengirim para pelajar di bidang teknik untuk memperdalam ilmu teknik penyehatan (sanitary engineering) ke luar negeri. Tujuannya agar mereka kelak dapat mengelola perusahaan-perusahaan air minum yang diambil alih itu sebagaimana mestinya. Selain itu, agar Indonesia memiliki tenaga-tenaga yang ahli dalam pengembangan serta pengelolaan sistem penyediaan air minum. Salah seorang diantara mereka adalah Mertonegoro, yang kelak kemudian menjadi guru besar Teknik Penyehatan di Institut Teknologi Bandung (ITB).Sebelumnya, yakni sekitar bulan Mei 1949, Ir. Djuanda selaku Menteri Pekerjaan Umum pada waktu itu memang sudah memerintahkan kepada para pemimpin perusahaan air minum bentukan Belanda di seluruh Indonesia untuk mempersiapkan proses nasionalisasi perusahaan-perusahaan air minum tersebut.

Hasil Rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana tahap pertama dalam bidang air minum yang dilancarkan Pemerintah dalam periode 1961-1969 antara lain adalah bahwa hingga tahun 1968 kapasitas produksi air minum di seluruh Indonesia sudah mencapai 9.000 liter per detik. Dengan kapasitas sebesar itu, cakupan pelayanan di daerah perkotaan mencapai 19%. Jika dibandingkan dengan kapasitas produksi air minum perpipaan di perkotaan pada akhir prakemerdekaan atau akhir zaman penjajahan, yakni 3.000 liter per detik dengan cakupan pelayanan sebesar 8%, maka dalam 23 tahun sejak Indonesia merdeka, telah terjadi peningkatan kapasitas dengan 200%, yakni sebesar 6.000 liter per detik.

kerjasama luar negeri dan tata laksana proyekPatut dicatat bahwa keuangan Pemerintah Indonesia di awal kemerdekaan masih sangat terbatas. Maka, untuk membangun proyek besar seperti IPA Pejompongan I itu, Pemerintah harus mengupayakan pinjaman luar negeri. Harus diakui bahwa proses untuk mendapatkan pinjaman itu sendiri pada waktu ini sangat berbeda dan unik. Pejabat-pejabat Indonesia yang berwenang di bidang pembangunan biasanya mengajukan permintaan pinjaman luar negeri melalui kontraktor-kontraktor asing yang memenangkan tender pembangunan proyek. Dalam hal ini, Degrement yang menjadi penghubung berperan besar dalam meyakinkan Pemerintah Perancis untuk memberikan pinjaman kepada Pemerintah Indonesia.

Dengan demikian terjadilah kerjasama segitiga antara Pemerintah Indonesia, Pemerintah Perancis dan Degremont dalam serangkaian pembangunan IPA di sejumlah ibu kota provinsi di Indonesia. Hingga saat ini, “jejak” Degremont masih dapat dilihat di berbagai kota di Indonesia, seperti di Bandung, Semarang, Banjarmasin dan di kota-kota lainnya, meskipun pada awal-awalnya, banyak dari operator kita yang belum siap.

Pengembangan Air Minum di Awal Kemerdekaan

Page 41: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

41

Kesiapan operator kita dalam mengoperasikan teknologi yang diterapkan Degremont ternyata menimbulkan masalah tersendiri. Teknologi yang digunakan di IPA Pejompongan I misalnya, sudah tergolong teknologi modern di zamannya. Air baku diambil dari Kanal Banjir Barat di bilangan Karet, Jakarta Pusat, yang dialirkan melalui pipa dengan dorongan pompa ke instalasi pengolahan. Air yang masih keruh dibubuhi obat-obatan kimia di kolam sedimentasi supaya kandungan lumpur dan aneka jenis kotoran mengendap, lalu dialirkan ke enam buah perangkataccelator yang masing-masing berkapasitas olah 2.000 meter kubik per jam.Berbagai perangkat yang digunakan di IPA Pejompongan I sudah cukup canggih, bahkan ada yang semiotomatis. Akan tetapi sistem yang modern belum tentu menjamin kelancaran produksi apabila tidak disertai disiplin operatornya. Beberapa anekdot6 membuktikan hal ini.

Di era awal kemerdekaan itu, mekanisme pendanaan dan tata laksana proyek masih sangat sederhana dan praktis. Pada prinsipnya, untuk setiap kebutuhan anggaran pembangunan, Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga (sekarang Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) mengajukan anggarannya ke Departemen Keuangan.Pengajuan anggaran itu disertai nota penjelasan. Anggaran yang disetujui kemudian diotorisasi sebelum diturunkan melalui rekening Bank Indonesia atas nama Pejabat atau Bendaharawan proyek yang ditunjuk. Pada dasawarsa 1950-an, jabatan bendaharawan atau pimpinan proyek (Pimpro) biasa dirangkap oleh seorang pejabat struktural setingkat direktur.

Proses pelelangan pun tidak serumit seperti sekarang ini. Tagihan oleh pemborong yang telah dievaluasi dan disetujui oleh konsultan pengawas, misalnya, dapat langsung diajukan kepada Pimpinan Proyek. Dan karena Pimpinan Proyek biasanya direktur jawatan yang membidangi proyek, dalam hal air minum Direktur Jawatan Teknik Penyehatan, bahkan merangkap sebagai Bendaharawan Proyek, maka segera setelah segala persyaratan administrasi dipenuhi, pembayaran dapat langsung dilakukan dengan menerbitkan cek kepada pemborong. Kemudian cek itu dapat langsung dicairkan di Bank Indonesia tanpa melalui KPN (Kantor Perbendaharaan Negara).

Begitu sederhananya prosedur yang harus dijalani, sehingga untuk urusan pemborongan pekerjaan fisik waktu itu diterapkan sebuah sistem yang disebut cost plus fee. Artinya, kontraktor atau pemborong (lokal) yang mengerjakan proyek fisik akan menerima fee sebesar 10% dari nilai biaya (cost) konstruktsi yang dikeluarkan.

Pada proyek-proyek pembangunan yang menggunakan dana bantuan/pinjaman luar negeri, prosedur tata laksana proyeknya agak berbeda. Setelah proses pelelangan tender

6. Pada saat sirene berbunyi waktu pencucian filter, seharusnya operator menekan tombol agar secara otomatis pencucian dilanjutkan karena filter masih kotor, tapi karena tidak dilakukan, maka setelah dua tahun beroperasi, kapasitas produksi IPA Pejompongan I sempat turun sampai 50 persen. Demikian pula dengan pencucian filter yang tidak dilakukan secara berkala dengan alasan akan mengganggu pelayanan, padahal pencucian bisa dilakukan tengah malam, pada saat pemakaian air sedikit, tapi operator tidak melakukannya.

Pengembangan Air Minum di Awal Kemerdekaan

Page 42: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

42

BEBERAPA CATATANSEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA1800 – 2005

Pengembangan Air Minum di Awal Kemerdekaan

Page 43: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

43

Pengembangan Air Minum di Awal Kemerdekaan

Page 44: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

44

BEBERAPA CATATANSEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA1800 – 2005

internasional dilakukan, anggaran biaya luar negeri dalam bentuk dolar Amerika Serikat yang dibutuhkan dibahas terlebih dahulu dengan Bank Indonesia. Pembahasan berkisar pada hal ikhwal syarat-syarat pembayaran, bunga pinjaman, dan sebagainya.Setelah segala hal disepakati, baik oleh Bank Indonesia maupun oleh kontraktor pemenang tender, Bank Indonesia kemudian mengajukan anggaran valuta asing yang dibutuhkan kepada Kantor Perdana Menteri untuk diotorisasi. Pembayaran atas pinjaman tersebut dilakukan dengan penerbitan surat utang yang disebut promissory notes, yang dapat dicairkan sesuai dengan tanggal jatuh temponya. Secara keseluruhan, proses tata laksana proyek Bantuan Luar Negeri itu hanya memakan waktu maksimal empat bulan, mulai dari pemasangan pengumuman undangan pelelangan hingga penandatanganan kontrak.

Model kemitraan yang terjadi antara pemerintah Indonesia dengan Perancis dalam pelaksanaan pembangunan proyek IPA Pejompongan I di Jakarta, juga diterapkan pemerintah Indonesia dalam mendapatkan pinjaman dana untuk membangun sejumlah instalasi pengolahan air minum di sejumlah ibu kota provinsi pada waktu itu. Dana-dana bantuan luar negeri itu ada yang berstatus hibah (grant), tetapi sebagian besar adalah pinjaman (loan). Sebagian besar dari dana pinjaman itu didasarkan pada kesepakatan bilateral, dan biasanya langsung diarahkan untuk membiayai proyek tertentu.

Berdirinya direktorat Teknik PenyehatanDirektorat Teknik Penyehatan, yang dalam perjalanan sejarahnya telah berganti nama beberapa kali, tidak lepas dari peran Jawatan Teknik Penyehatan yang dibentuk sebelumnya. Sebagaimana dikisahkan Hidayat Notosugondo, yang pernah memangku jabatan sebagai kepala di Jawatan tersebut, Jawatan Teknik Penyehatan terbentuk tahun

Keterangan foto

Pengembangan Air Minum di Awal Kemerdekaan

Page 45: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

45

1952, pada waktu itu pejabat-pejabat inti di situ sangat terbatas7 dengan struktur organisasi yang sangat sederhana, dan berada dibawah Direktorat Jenderal Pengairan Departemen Pekerjaan Umum8.

Selama enam tahun sejak berdiri, hanya ada satu sarjana teknik di Jawatan itu, yaitu Ir. Lie Tjiong Hian yang sebenarnya sudah berstatus pensiun. Pada waktu itu memang tidak banyak sarjana teknik yang tertarik pada bidang ini. Banyak lulusan Fakultas Teknik Universitas Indonesia (kemudian menjadi ITB – Institut Teknik Bandung) tidak bersedia ditempatkan di jawatan itu, boleh jadi karena tidak tahu eksistensinya atau apa sesungguhnya Jawatan Teknik Penyehatan itu. Baru pada sekitar 1961-62, pada waktu Jawatan Teknik Penyehatan berganti nama menjadi Direktorat Teknik Penyehatan, banyak sarjana-sarjana baru lulusan Jurusan Teknik Penyehatan ITB mulai bekerja disana9.

Pada tanggal 10 Oktober 1962, jadi sekitar 10 tahun setelah Jawatan Teknik Penyehatan berdiri, terbentuklah Jurusan Teknik Penyehatan di Institut Teknik Bandung (ITB), yang tentu tak terlepas dari sejarah pengembangan air minum dan sanitasi di Indonesia. Jurusan ini adalah yang pertama ada di Indonesia, yang sejak tahun 1984 berubah namanya menjadi Jurusan Teknik Lingkungan. Sebenarnya, sebelum Jurusan Teknik Penyehatan ITB terbentuk, pengetahuan tentang teknik penyehatan sudah diajarkan kepada mahasiswa jurusan Teknik Sipil ITB. Di antara para dosen mata kuliah teknik penyehatan yang terkemuka antara lain Prof. Mertonegoro dan Prof. Soetedjo.

Peran Jurusan Teknik Penyehatan ITB berlanjut pada saat lulusannya banyak yang mengabdikan dirinya pada Direktorat Teknik Penyehatan, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum. Pada waktu itu, rata-rata ada sekitar 30-an insinyur Teknik Penyehatan yang dihasilkan jurusan itu setiap tahun. Mereka inilah yang kemudian menjadi perintis, penggerak dan pelaksana berbagai program pembangunan di bidang air minum dan penyehatan lingkungan di Indonesia. Pada waktu itu, hampir sepertiga lulusan Teknik Penyehatan ITB berkiprah di Direktorat Teknik Penyehatan Departemen Pekerjaan Umum, selebihnya menjadi dosen, pegawai Pemda DKI, menjadi pegawai PDAM, Departemen Kesehatan dan ada pula yang bekerja sebagai konsultan, kontraktor dan wiraswasta.

7. Pejabat inti pada waktu itu terdiri dari Ir. Lie Tjiong Hian (statusnya sudah pensiun), Ir. Winkelman (warganegara Belanda yang diperbantukan dari Departemen Kesehatan), Prodjosoetirto, Djajakusuma, Nona David, Suradi dan Moeljono, BE.

8. Struktur Organisasi Jawatan terdiri dari Bagian Air Minum, Bagian Assainering, Bagian Umum dan Keuangan, dan Bagian Personalia, dengan beberapa tenaga administrasi, Jawatan berkantor di Jl. Hayam Wuruk, Jakarta.

9. Beberapa diantaranya; Ir. Soesanto Mertodiningrat, Ir. Soeratmo Notodipuro (sarjana teknik mesin), Ir. Soepeno Moeksan (sarjana teknik elektro), dan beberapa sarjana muda lulusan Akademi Teknik Pekerjaan Umum (ATPU) seperti Soedarwo, Artoyo, Soenarto, Ilham, Iskandar Tamin, Ruyadi, Irvan JR, Noer Burhanuddin, Chamim, Koesnadi.

10. Diantaranya; Ir. Darmawan Saleh, Ir. Aziz Sasmitadihardja, Ir. A.R. Tambing, Ir. Oemarsidik, Ir. Rahadjo, Ir. Rachmat Rani, Ir. Budiman Arif, Ir. Priyono Salim, Ir. Parulian Sidabutar, Ir. Soewandi Sanoedi, Ir. Benyamin Karyabdi, Ir. Paul Adinatapradja, Ir. Krisno Darusman, Ir. Sorta Hutagalung, Drs. Soedirman, Ir. Boediati Abiyoga, Ir. Eben Koesbini.

Pengembangan Air Minum di Awal Kemerdekaan

Page 46: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

46

BEBERAPA CATATANSEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA1800 – 2005

Sejarah terbentuknya Direktorat Jenderal Cipta Karya tidak juga terlepas dari peran Hidayat Notosugondo, salah seorang pelaku yang juga terlibat didalamnya. Menurut Hidayat, istilah Cipta Karya pertama kali di­gunakan oleh Presiden Soekarno pada waktu pemerintahan Kabinet Ampera (yang juga di­kenal sebagai “Kabinet 100 Menteri”, karena begitu banyaknya jumlah menteri yang ada dalam kabinet), sebelum pecahnya peristiwa G30S. Pada waktu itu Kompertemen PU ter diri dari beberapa Departemen, yaitu: 1. Departemen Jalan dan Jembatan, dengan

Brigadir Jenderal Hartawan sebagai menteri;

2. Departemen Pengairan, dengan Ir. P.C. Haryasudirdja sebagai menteri;

3. Departemen Listrik dan Ketenagaan, dengan Ir. Setiadi Reksoprojo sebagai menteri;

4. Departemen Cipta Karya dan Konstruksi, dengan David Chen sebagai menteri;

5. Departemen Jalan Lintas Sumatera, dengan Ir. Slamat Bratanata sebagai menteri; dan

6. Menteri Muda PU Urusan Konstruksi, dengan Ir. Soetami sebagai menteri.

Departemen Cipta Karya dan Konstruksi mem­bawahkan empat direktorat dan satu lembaga penelitian, yaitu:

1. Direktorat Perumahan Rakyat,2. Direktorat Perencanaan Tata Kota dan

Daerah,3. Direktorat Tata Bangunan,4. Direktorat Teknik Penyehatan, dan5. Lembaga Penelitian Masalah Bangunan

(LPMB).

Departemen-departemen tersebut termasuk beberapa departemen lainnya ada di bawah koordinasi Menteri Koordinator Jenderal Suprayogi.

Setelah G30S meletus dan dilanjutkan dengan pemerintahan Orde Baru, diadakanlah re­strukturisasi kabinet. Kompartemen PU dise­derhanakan menjadi Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (Dept. PUTL) dengan Ir, Soetami sebagai menterinya. De partemen Jalan dan Jembatan menjadi Direktorat Jenderal Bina Marga dengan Jenderal Sarsono sebagai Direktur Jenderal. Sedangan Departemen Pengairan menjadi Direktorat Jenderal Pengairan dengan Ir. Soejono Sosrodarsono sebagai Direktur Jendral. Sebelumnya Soejono adalah Direktur Tata Bangunan.

Sejarah TerBenTUknya dIrekToraT jenderal CIPTa karya

Pengembangan Air Minum di Awal Kemerdekaan

Pembentukan Direktorat Jenderal Cipta Karya, dimana Direktorat Teknik Penyehatan bernaung, juga memiliki kisah tersendiri, lihat Boks 4, seperti yang diceritakan oleh Hidayat Notosugondo, salah seorang pelaku sejarah yang mengalami sendiri pembentukannya.

Model kelembagaan banyak mengadopsi bentuk peninggalan kolonialPada saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, boleh dikatakan negeri ini hanya bermodalkan kapasitas produksi air minum 3.000 liter per detik yang tersebar di kota-kota tertentu yang dulu dihuni orang-orang Belanda. Sarana dan prasarana fisik air minum tersebut adalah peninggalan Belanda. Dalam hal kelembagaan, Belanda meninggalkan

Boks 4. Sejarah Terbentuknya Direktorat Jenderal Cipta Karya

Page 47: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

47

Pengembangan Air Minum di Awal Kemerdekaan

embrio seperti perusahaan air minum kotapraja (gemeente) atau dinas (diensten) air minum, yang kesemuanya berinduk ke Departemen Kesehatan, yang sekaligus juga berfungsi sebagai lembaga yang mengawasi standar mutu air minum. Di awal kemerdekaan, Pemerintah Indonesia mengadopsi hal itu sebagaimana juga banyak sistem dan peraturan peninggalan pemerintah kolonial yang sempat diadopsi negara dan bangsa kita.

Barulah setelah mulai dengan pembangunan sistem penyediaan air minum berskala besar, mulai dari instalasi pengolahannya hingga ke jaringan pipa distribusinya, tanggung jawab atas sektor air minum dialihkan (secara sukarela) oleh Departemen Kesehatan kepada Departemen Pekerjaan Umum, tetapi fungsi pengawasan atas standar mutu air minum tetap menjadi wewenang Departemen Kesehatan11.

Sejalan dengan tegaknya kedaulatan RI, pada tahun 1950 Pemerintah mulai mengupayakan berbagai langkah untuk mengembangkan sistem penyediaan air minum, baik dari segi pembangunan dan rehabilitasi fisik, maupun dari sudut perkembangan kelembagaan, pemanfaatan teknologi, regulasi, dan pembiayaannya. Dalam pengembangan kelem–bagaan,telah lahir berbagai bentuk pengelolaan yang berbeda-beda di berbagai daerah. Misalnya ada perusahaan air minum swasta, khususnya hotel-hotel yang kemudian menjual kelebihan produksinya kepada masyarakat di sekitarnya. Ada usaha air minum yang dikelola Pengelola Pelabuhan, dimana kelebihan produksinya dijual kepada masyarakat di sekitarnya. Pertamina juga mengelola sarana penyediaan air minum yang umumnya merupakan peninggalan perusahaan minyak Belanda dan asing lainnya, yang dinasionalisasi setelah Indonesia merdeka. Selain untuk keperluan sendiri, khususnya pegawai-pegawai Pertamina, kelebihan produksinya juga dijual kepada masyarakat di sekitar wilayah kerja Pertamina tersebut. Misalnya yang ada di pedalaman Muara Enim (Sumatera Selatan), di Dumai (Riau), dan lain sebagainya.

Ada pula sistem air minum yang dikelola TNI-AL seperti di Sabang. Lalu ada Perusahaan Air Minum sebagai cabang dari Perseroan Terbatas milik Pemerintah Daerah Tingkat I. Kemudian ada Perusahaan Daerah Pariwisata Cabang Air Minum yang bernaung di bawah Pemerintah Daerah Tingkat I, serta Dinas Air Minum yang termasuk dalam organisasi Pemerintah Daerah Tingkat II, Dinas Air Minum Provinsi yang bernaung di bawah Dinas Pengairan PU Provinsi, dan Perusahaan Daerah Air Minum Daerah Tingkat II. Dua bentuk badan lainnya bernama Air Minum Negara (antara lain di Singaraja, Bali) dan Badan Pengelola Air Minum (BPAM) yang dikelola oleh Pemerintah Pusat cq Direktorat Teknik Penyehatan Departemen Pekerjaan Umum, yang merupakan cikal bakal PDAM di daerah-daerah, menyusul kota-kota besar yang telah memiliki PDAM sebelumnya.

Di masa-masa awal kemerdekaan itu, dari sekitar 400 kota di Indonesia baru sekitar 40% yang memiliki sarana penyediaan air minum. Sebagian besar (30%) dari sarana air minum

11. Perihal pengalihan peran dan tanggung jawab itu, Ir. Hidayat Notosugondo pada suatu kesempatan melontarkan anekdot: “kalau zaman dulu, lembaga yang merasa suatu proyek bukan bidangnya, dengan sukarela mempersilakan lembaga yang lebih berkompeten untuk melaksanakannya, tetapi zaman sekarang, orang cenderung berebutan proyek.”

Page 48: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

48

BEBERAPA CATATANSEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA1800 – 2005

Pengembangan Air Minum di Awal Kemerdekaan

itu badan hukumnya berbentuk Dinas Air Minum atau Urusan Air Minum, sebagian lainnya (28%) berbenduk Perusahaan Daerah Air Minum dan yang lainnya lagi (17%) berbentuk Badan Pengelola Air Minum (BPAM).

Pembangunan air minum di ibukota provinsiSelain pembangunan IPA Pejompongan I dan penambahan saluran pipa Cibinong-Kampung Rambutan, pada awal-awal kemerdekaan itu, pengembangan bidang air minum masih terbatas pada pembangunan instalasi pengolahan air (IPA) di beberapa ibu kota provinsi seperti Bandung, Surabaya, Semarang, Banjarmasin, Padang, Manado dan Makassar. Termasuk di dalamnya pembangunan proyek peningkatan produksi air minum Medan, yakni instalasi pengolahan air minum Sunggal yang perletakan batu pertamanya dilakukan oleh mendiang Presiden Soeharto.

Pada fase awal itu, aspek peningkatan produksi berupa pembangunan secara fisik menjadi prioritas sesuai dengan penetapan Badan Perancang Nasional (sekarang Bappenas). Setelah proyek-proyek tersebut rampung, sesuai dengan PP No. 18 tahun 1953 tentang Pelaksanaan Penyerahan sebagian urusan Pemerintah Pusat mengenai Pekerjaan Umum kepada Provinsi-provinsi serta Penegasan mengenai Pekerjaan Umum dari Daerah Otonomi Kabupaten, Kota Besar dan Kota Kecil di Pulau Jawa, pengelolaan pun kemudian diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Mayoritas sistem penyediaan air minum itu telah mengambil bentuk sebagai badan usaha milik daerah dengan nama PDAM, Perusahaan Daerah Air Minum.

Proyek pembangunan IPA secara besar-besaran di ibu kota provinsi-provinsi tersebut dilaksanakan setelah Jawatan Teknik Penyehatan terbentuk tahun 1952 akhir. Beberapa IPA yang dibangun di era itu adalah:

Pejompongan I Jakarta 1954 2.000Tamansari Bandung 1956 1.000Ngagel Surabaya 1958 1.000Kaligarang Semarang 1960 500A. Yani Banjarmasin 1962 500Paal II Manado 1962 500Gunung Pangilun Padang 1962 250 Panaikang Makassar 1963 1.000Pejompongan II Jakarta 1967 3.000

IPa kota Tahun kapasitas liter/detik

Page 49: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

49

Pengembangan Air Minum di Awal Kemerdekaan

Undang Undang yang melandasi pendirian PdaM sebagai badan usaha Hal yang tak kalah pentingnya dalam periode awal kemerdekaan itu adalah diterbitkannya UU No. 5 tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah, termasuk didalamnya tentang pembentukan PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) sebagai badan usaha milik daerah. Undang-undang tersebut dikelak kemudian hari menuai kontroversi karena memberikan legitimasi kepada Pemerintah Daerah untuk memungut bagi hasil dari PDAM sebagai pendapatan asli daerah (PAD) kepada PDAM, terlepas dari apakah kondisi keuangan PDAM memungkinkan atau tidak untuk menyetor PAD.

Penerbitan undang-undang ini hampir bersamaan dengan dimulainya pendirian sistem penyediaan air minum di beberapa kota, yakni di Kota Jakarta (Pejompongan II dengan kapasitas 3.000 liter per detik), di Bandung, Manado, Banjarmasin, Padang dan Pontianak dengan kapasitas masing-masing 250 liter per detik. Pembangunan proyek-proyek tersebut didasarkan pada apa yang disebut sebagai turn-key project loan dari Pemerintah Perancis.Termasuk dalam kerangka bantuan kredit dari Prancis adalah pembangunan Bendungan Jatiluhur, yang kemudian menjadi sumber air baku utama air minum bagi Jakarta dan Bekasi setelah kondisi Kali Ciliwung sangat buruk dan tak lagi dapat diandalkan PAM Jaya sebagai sumber air baku. Selain menyediakan pinjaman dana pembangunan, Pemerintah Perancis juga mengirim banyak tenaga ahli dalam pembangunan Bendungan Jatiluhur dengan membendung Sungai Citarum di Purwakarta. Seperti diketahui, bendungan itu bersifat multi guna, dalam arti bahwa selain untuk memenuhi keperluan air untuk irigasi dan sumber air minum, juga dimanfaatkan untuk menggerakkan turbin pembangkit listrik tenaga listrik.

Dengan banyaknya proyek air minum yang dibangun oleh Degremont, hal ini memicu persaingan di kalangan perusahaan asing untuk ikut ambil bagian dalam pelaksanaan berbagai proyek air minum di Indonesia.

Keterangan foto

Page 50: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

50

BEBERAPA CATATANSEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA1800 ­ 2005

Pengembangan Air Minum di Awal Kemerdekaan

Page 51: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

51Dasawarsa 1969-1979peletak dasar pembangunan sektor air minum

PERKEMBANGAN AIR MINUM DI ERA ORDE BARU (1969­1998)

4

Page 52: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

52

BEBERAPA CATATANSEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA1800 – 2005

dengan berakhirnya era Orde Lama dengan Rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana-nya, pada era Orde Baru, dalam situasi sosial politik dan pertahanan keamanan yang relatif stabil, pembangunan di segala bidang secara terencana dimulai dengan persiapan yang cukup matang (1967-1968). Institusi pemerintahan telah lengkap, rencana pembangunan jangka panjang (25 tahun) telah tersusun diikuti dengan rencana pembangunan lima tahunan (repelita)-nya. Masa Orde Baru selama kurang lebih 30 tahun telah melalui satu periode pembangunan jangka panjang 25 tahun (1969-1994) dan satu periode jangka menengah berikutnya yaitu Pelita VI (1993-1998). Patut dicatat bahwa periode ini dianggap sebagai periode perletakan fondasi pembangunan sektor air minum. Pada periode ini mulai dilancarkan rehabilitasi atas sarana prasarana yang sudah ada, sekaligus juga melaksanakan ekstensifikasi atau perluasan cakupan pelayanan.Seluruh biaya pembangunan prasarana dan sarana air minum pada Pelita I dibebankan pada

Dengan berakhirnya era Orde Lama dengan Rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana-nya, pada era Orde Baru, dalam situasi sosial politik dan pertahanan keamanan yang relatif stabil, pembangunan di segala bidang secara terencana dimulai dengan persiapan yang cukup matang (1967-1968).

Perkembangan Air Minum di Era Orde Baru (1969-1998)

Page 53: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

53

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).Periode Orde Baru ini berakhir pada saat terjadi krisis moneter tahun 1997-1998.

Meskipun inisiatif pembangunan sarana air minum banyak dilakukan oleh Pemerintah Pusat, pada hakekatnya air minum dan sanitasi merupakan urusan yang telah telah diserahkan dan menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah sesuai dengan PP 18 tahun 1953. Pemerintah Pusat, dalam rangka “pembinaan” dan karena keterbatasan dana dan sumber daya manusia di daerah, melakukan pembangunan sebagai investasi awal (initial investment) untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar masyarakat yang selanjutnya dikembangkan oleh pemerintah daerah.

Secara umum pengembangan air minum pada masa Orde Baru meliputi kebijakan prioritas pengembangan, pendanaan, teknis-teknologis, kelembagaan, pengaturan, dan peran serta masyarakat. Dalam setiap tahapan baik jangka menengah (pelita) maupun dasarwarsa (dekade) berkembang kebijakan dan strategi yang spesifik atau khusus, sesuai dengan situasi dan kondisi pada saat itu, dengan tetap memperhatikan tujuan dan sasaran yang telah ditentukan. Dalam prioritas pengembangan, kebijakannya antara lain adalah (a) melanjutkan proyek-proyek yang telah dimulai pada periode berikutnya; (b) rehabilitasi dan optimalisasi sistem penyediaan air minum yang telah ada di seluruh provinsi secara bertahap; dan (c) perluasan (ekstensifikasi) secara bertahap di seluruh provinsi dimulai dengan kota-kota metropolitan, kota besar, dan kota kecil. Besaran kapasitas perluasan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic need) yaitu sebesar 60 liter per orang per hari untuk melayani 60 persen penduduk perkotaan melalui sambungan rumah, dan itu sebagai modal awal bagi pemerintah kabupaten/kota.

Dalam aspek pendanaan, kebijakannya pada waktu itu masih mengandalkan pada dana APBN (murni) dan memanfaatkan dana bantuan luar negeri dengan mengutamakan bantuan hibah (grant), perjanjian bilateral (Jepang, Belanda) dan kemudian pinjaman multilateral (Bank Dunia, ADB). Karena kemampuan pemerintah daerah masih terbatas, baik pendanaan maupun kelembagaan dan sumber daya manusianya, maka dalam rangka pembinaan ke daerah, pemerintah pusat melaksanakan bantuan penuh dengan tetap melibatkan pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten/kota. Bantuan pemerintah pusat ini merupakan modal awal (initial investment) yang selanjutnya akan diteruskan perluasannya oleh pemerintah kabupaten/kota.

Kebijakan teknis-teknologis pada saat itu masih memanfaatkan teknologi yang ada dengan modifikasi secara terbatas, khususnya untuk proyek rehabilitasi dan perluasan. Untuk proyek-proyek baru (ekstensifikasi) dimulailah penyiapan rencana induk, studi kelayakan dan perencanaan detail sesuai dengan kriteria teknis yang berlaku. Dalam pemilihan sumber air baku, sejauh mungkin digunakan mata air dan air tanah dalam melalui pertimbangan yang matang, setelah itu baru memanfaatkan air permukaan, terutama untuk kota-kota metropolitan, besar dan sedang.

Perkembangan Air Minum di Era Orde Baru (1969-1998)

Page 54: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

54

BEBERAPA CATATANSEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA1800 – 2005

Dalam aspek kelembagaan, pada tahun 1969 dibentuk proyek-proyek air minum di setiap provinsi (PPSAB – Proyek Penyediaan Sarana Air Bersih), dipimpin oleh seorang Pemimpin Proyek (Pinpro) dari pusat, yang bertanggung jawab kepada Menteri Pekerjaan Umum melalui atasan langsung. PPSAB melaksanakan kegiatan pembangunan air minum pada kota-kota di provinsi yang bersangkutan, yang dalam pelaksanaannya berkoordinasi dengan Dinas Pekerjaan Umum Provinsi selaku pembantu atasan langsung Pinpro. Seluruh pelaksanaan pembangunan dilakukan melalui mekanisme penganggaran yang dikenal sebagai DIP (Daftar Isian Proyek) tahunan sebagai jabaran dari Pelita yang telah disusun. Untuk mengelola proyek yang sudah selesai dibentuklah Badan Pengelola Air Minum (BPAM) bagi kota-kota yang belum memiliki PDAM, yang merupakan cikal bakal terbentuknya PDAM Dengan meningkatnya jumlah PDAM, maka atas beberapa Direktur PDAM waktu itu, terbentuklah PERPAMSI yang merupakan asosiasi PDAM se Indonesia.

Meskipun kebijakan umum Pelita pada awal-awalnya lebih difokuskan pada sektor pertanian, apa yang telah dicapai di bidang pengembangan sistem penyediaan air minum pada periode ini terasa sangat berarti. Jika pada awal era 1969-1979 kapasitas produksi air minum di Indonesia baru mencapai 9.000 liter perdetik, pada akhir Pelita I, yakni tahun 1974, kapasitas produksi air minum telah meningkat menjadi 15.222 liter perdetik, walau belum mencapai sasaran yang ditentukan sebelumnya yakni 17.000 liter perdetik.

Selain itu patut pula dicatat, walau telah terjadi peningkatan kapasitas produksi yang cukup mengesankan, pelayanan air minum masih belum memuaskan, sedangkan di sisi lain, jumlah penduduk kota yang dilayani meningkat pesat. Sebelum Pelita I, jumlah penduduk perkotaan yang terlayani melalui sistem penyediaan air minum baru 22 juta orang, tetapi di akhir Pelita I telah meningkat menjadi 26 juta jiwa, sedangkan pemenuhan kebutuhan per orang perhari baru mencapai 56,5 liter.

Pembangunan yang berfokus pada rehabilitasi sekaligus ekstensifikasiPada periode Pelita I pembangunan sistem penyediaan air minum (SPAM) dilaksanakan serentak di setiap provinsi dengan prioritas pada rehabilitasi SPAM yang ada dan ekstensifikasi secara terbatas untuk mendukung kebutuhan mendesak dan menunjang pertumbuhan ekonomi seperti pelabuhan, kawasan industri, wisata dan lain lain. Kota-kota yang dibangun diprioritaskan pada kota-kota besar dan sedang. Pada Pelita I prioritas kegiatan yang dikerjakan adalah perampungan dari program terdahulu yang belum selesai seperti penyelesaian IPA di Semarang, IPA di Surabaya dan perluasan jaringan distribusi utama dari Instalasi Pejompongan II di Jakarta dengan bantuan Lembaga Pembangunan Pemerintah Jepang (OECF).

Upaya perluasan atau ekstensifikasi meliputi perluasan atas beberapasistem penyediaan air minum yang lama dan pembangunan sistem penyediaan air minum yang baru. Namun proyek-proyek pembangunan yang baru lebih bersifat “cepat menghasilkan” alias quick

Perkembangan Air Minum di Era Orde Baru (1969-1998)

Page 55: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

55

yielding karena memang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan yang sangat mendesak.Besaran dari proyek-proyek tersebut berkisar antara 100 hingga 500liter perdetik. Proyek-proyek yang sangat mendesak itu, setelah selesai dibangun terasa bagaikan oase di padang gurun seperti yang terwujud di Palangkaraya, Provinsi Kalimantan Tengah dan Kupang, ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Mekanisme pembiayaan berbasis pinjaman luar negeriPada periode Pelita I Pemerintah juga merintis mekanisme pembiayaan berbasis pinjaman dari Overseas Economic Cooperation Fund (OECF), suatu lembaga pendanaan dari pemerintah Jepang, khususnya untuk pengelolaan proyek air minum di Jakarta. Selain OECF, Bank Dunia juga memberi pinjaman untuk proyek-proyek pengembangan air minum di lima kota, yaitu Jambi, Purwokerto, Malang, Banyuwangi dan Samarinda (Five Cities Project). Program ini didasarkan pada studi tentang penyediaan air di tujuh kota, yaitu, yang kemudian dilanjutkan dengan proyek di tujuh kota (Seven Cities Project), yakni Jambi, Cirebon, Purwokerto, Yogyakarta, Malang, Banyuwangi, dan Samarinda.Kegiatan survei itu didanai oleh Bank Dunia. Survei itu sendiri ditujukan untuk menemukan suatu konsep dasar perbaikan sistem administrasi dan manajemen pengelolaan air minum di Indonesia. Direktorat Teknik Penyehatan juga melaksanakan penelitian tentang dua model pembuatan alat-alat pengujian berbagai jenis pipa air minum, baik pipa baja, pipa beton semen, maupun pipa plastik.

Di era tersebut mulai diperkenalkan sistem Daftar Isian Proyek dalam tata laksana proyek yang didanai dengan pinjaman luar negeri. Tujuannya ialah agar pengelolaan dana tersebut lebih tertib. Di era sebelumnya, semua bentuk bantuan luar negeri yang bersifat bilateral, langsung ditangani oleh Direktorat Teknik Penyehatan.

Sejak Pelita I, Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) melakukan evaluasi atas semua pengajuan proyek yang akan didanai bantuan luar negeri. Jika dianggap layak, proyek-proyek tersebut dimasukkan ke dalam daftar, yang dikenal sebagai Blue Book. Selanjutnya Bappenas akan mendistribusikan Blue Book tersebut kepada negara-negara pemberi bantuan dan berbagai lembaga keuangan internasional sebagai bahan pertimbangan untuk memberi pinjaman bagi pembangunan sektor air minum.

Oleh karena proyek-proyek air minum itu melibatkan pemangku kebijakan dan banyak pemangku kepentingan, dalam proses negosiasi dengan lembaga-lembaga donor seperti Bank Dunia misalnya, maka delegasi pemerintah Indonesia biasanya terdiri atas unsur-unsur Ditjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Keuangan, De–partemen Dalam Negeri, Pemda, dan PDAM terkait. Bagi Pemerintah, kehadiran unsur Pemda dan PDAM dalam proses negosiasi itu sangat penting dan menentukan, sebab pada prinsipnya PDAM merupakan ujung tombak dari proses kemitraan yang melibatkan dana bantuan luar negeri itu.

Perkembangan Air Minum di Era Orde Baru (1969-1998)

Page 56: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

56

BEBERAPA CATATANSEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA1800 – 2005

Dengan sistem pinjaman dua tingkat (two-step loan), Bank Dunia memberi pinjaman kepada Pemerintah Pusat, dan selanjutnya pinjaman itu diteruskan kepada penerima pinjaman, dalam hal ini PDAM. Segala bentuk kewajiban yang menjadi tanggung jawab PDAM sebagai penerima pinjaman disesuaikan berdasarkan loan-equity ratio serta syarat-syarat pembayaran yang telah disepakati dalam negosiasi. Namun karena kemampuan Pemerintah Daerah dan PDAM pada masa itu masih sangat terbatas, tidak seluruh beban pinjaman ditimpakan kepada mereka. Sebagian dari pinjaman itu ditanggung Pemerintah Pusat dalam bentuk equity. Besaran loan-equity ratio itu berkisar antara 60%-40%, tergan–tung pada kemampuan Pemda/PDAM penerima pinjaman.

Selain tata laksana pendanaan bantuan luar negeri, satu hal positif lain yang patut dicatat dari proses kemitraan luar negeri dengan tata laksana proyek yang lebih tertib itu adalah bahwa para pemangku kebijakan dan kepentingan di bidang pengelolaan air minum di Indonesia mulai mengenal sistem pelelangan internasional, baik untuk pekerjaan jasa konsultan maupun kontraktor, yang ketika itu sudah mulai memperkenalkan prinsip-prinsip transparansi dan kompetisi yang sehat.

Selama pelaksanaan Pelita I, khusus untuk pengembangan air minum, Indonesia juga mengenal prosedur penyusunan kerangka acuan kerja (term ofreference) dalam rencana pembuatan suatu studi kelayakan.Butir penting yang perlu dicatat di era tersebut yakni upaya perbaikan manajemen PDAM, yang diiringi dengan penyusunan peraturan-peraturan pokok teknik penyehatan air minum. Pada era itulah kursus-kursus peningkatan kualitas SDM mulai dilaksanakan dengan melibatkan tenaga ahli dari Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization - WHO).

Pengelolaan sarana prasarana air bersih pada Pelita I, sebagian besar masih dilakukan Jawatan atau Dinas Pekerjaan Umum Tingkat II, yang belum sepenuhnya menerapkan prinsip-prinsip pengusahaan sebagaimana mestinya sebuah perusahaan pelayanan publik.

Pelita II (1974-1979) merupakan periode ekstensifikasiBanyak kemajuan yang dicapai pada periode Pelita I. Tak hanya sebatas pencapaian pembangunan fisik, tetapi terutama yang bersifat nonfisik. Itu semua dijadikan sebagai bahan-bahan penting untuk menyempurnakan fondasi pengembangan sistem penyediaan air minum yang sudah dibuat pada Pelita I.Perbedaan utama di antara kedua periode itu, pada Pelita II, perhatian Pemerintah terhadap bidang kesehatan lebih besar. Hal ini tidak terlepas dari penerbitan Inpres (Instruksi Presiden) tentang Program Bantuan Kesehatan.

Inpres itu sendiri ditujukan untuk mempercepat pelaksanaan program-program kesehatan di lingkungan Departemen Kesehatan. Namun secara tidak langsung, Inpres tentang kesehatan itu berdampak positif pada pengembangan sektor air minum dan penyehatan lingkungan. Demikianlah, berdasarkan Inpres tersebut pada tahun pertama Pelita II, yakni tahun 1974-1975, telah dibangun sebanyak 96 buah penampungan mata air dengan sistem

Perkembangan Air Minum di Era Orde Baru (1969-1998)

Page 57: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

57

perpipaan, 163 unit penampungan air hujan (PAH), 81 perlindungan mata air, 33 sumur artesis, 10.127 sumur berpompa tangan, dan 150.000 jamban keluarga.

Pada tahun kedua Pelita II, pembangunan sarana air minum dan sanitasi keluarga kembali digalakkan. Dalam hal ini dibangun 500 penampungan air dengan perpipaan, 330 unit PAH, 150 perlindungan mata air, 36 sumur artesis, 11.350 sumur pompa tangan, dan 255.000 sarana sanitasi, air minum dan jamban keluarga (Samijaga).Pada periode Pelita II ini disusun pula suatu rencana induk pembangunan sistem penyediaan air minum perpipaan untuk 120 kota dan desain detail sistem penyediaan air minum untuk 110 kota, dan perhitungan konstruksi bagi 60 kota, khususnya kota-kota besar dan sedang. Pada periode itu pula diupayakan ekstensifikasi dalam rangka pemerataan pengadaan sistem penyediaan air minum hingga mencapai kota-kota sedang dan kecil. Klasifikasi kota didasarkan pada jumlah penduduk. Kota berpenduduk 1,5 juta ke atas dikategorikan sebagai kota metropolitan, yang berpenduduk 500.000 hingga 1,5 juta masuk kategori kota besar, yang berpenduduk 50.000 hingga 500.000 dikelompokkan sebagai kota sedang, dan yang berpenduduk kurang dari 50.000 disebut sebagai kota kecil, sebagaimana terlihat dalam tabel di bawah ini.

Hasilnya, hingga akhir Pelita II, kapasitas produksi air minum yang telah terpasang di seluruh Indonesia meningkat menjadi 20.252 liter perdetik dengan tambahan sambungan rumah sebanyak 310.000 unit, dan tambahan jumlah penduduk yang terlayani sekitar 2,5 juta jiwa.Kapasitas produksi sebesar 20.252 liter perdetik itu tercapai berkat adanya tambahan 5.030 liter perdetik yang tersebar di 96 kota.

Masih terkait kebijakan pemerataan, pengembangan dilaksanakan tak hanya menyangkut produksi, tetapi juga pengembangan jaringan perpipaan, termasuk penyediaan hidran-hidran umum.Direktorat Teknik Penyehatan juga melakukan uji coba alat pembatas air (flow restrictor dengan orifice) pada sambungan rumah untuk mengatur agar aliran air konstan. Hal ini dilakukan agar pemakaian merata, dan tidak terjadi pemakaian air berlebihan oleh sebagian pelanggan. Uji coba ini selanjutnya diaplikasikan pada program air minum untuk ibukota kecamatan (IKK), tapi dalam perkembangan selanjutnnya sistem ini tidak memberikan hasil yang memuaskan karena banyak masyarakat yang tidak puas dengan sistem pelayanan yang terbatas (lihat juga uraian tentang sistem ini di paragraf tentang Sistem IKK).

Metropilitan 2 4.000

Kota Besar 3 1.000

Kota Sedang 60 6.000

Kota Kecil 40 1.000

kategori kota jumlah kota kapasitas total liter/detik

Perkembangan Air Minum di Era Orde Baru (1969-1998)

Page 58: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

58

BEBERAPA CATATANSEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA1800 – 2005

kelembagaan: perintisan penyerahan pengelolaan sarana kepada pemerintah daerahPada akhir Pelita II, 1974-1979, mulailah dirintis pengalihan status pengelola sistem penyediaan air minum di daerah-daerah dari Jawatan atau Dinas Pekerjaan Umum Tingkat II ke perusahaan air minum milik daerah (PDAM). Seperti disebutkan dimuka, pada Pelita I, pengelolaan sarana dan prasarana air bersih sebagian besar masih dilaksanakan oleh Jawatan atau Dinas Pekerjaan Umum Tingkat II. Dalam Pelita II Pemerintah menetapkan kebijakan baru menyangkut pembiayaan sistem penyediaan air minum, antara lain ditetapkan bahwa kota-kota yang sudah mampu diarahkan untuk dapat melaksanakan pembangunan sarana air bersih dengan cara melakukan pinjaman penuh, atau sebagian.

Persyaratan yang menunjang kebijakan baru itu adalah pembentukan PDAM yang sehat dan mampu di bidang pengelolaan, sehingga PDAM tersebut dapat mengembalikan biaya investasi yang dipinjamnya. Maka dimulailah pembentukan PDAM di beberapa daerah. Dalam kebijakan itu ditetapkan pula, supaya dalam pembangunan sistem penyediaan air minum itu, jumlah sambungan rumah diusahakan semaksimal mungkin sesuai dengan kapasitas produksi yang tersedia. Dengan demikian, diharapkan bahwa PDAM bersangkutan memperoleh pendapatan yang layak sesuai dengan jumlah pelanggannya. Untuk mendukung pelaksanaan proyek-proyek air minum di daerah, di setiap provinsi dibentuk Proyek Penyediaan Sarana Air Bersih (PPSAB), yang pimpinannya diangkat oleh dan bertanggung jawab kepada Menteri Pekerjaan Umum melalui Kepala Kantor Wilayah Pekerjaan Umum. Ini sejalan dengan terbentuknya Kantor Wilayah Pekerjaan Umum (Kanwil) di setiap provinsi, yang merupakan kepanjangan tangan Departemen Pekerjaan Umumdi daerah. Pada saat itulah muncul penggunaan istilah air bersih sebagai pengganti air minum, dimana istilah air bersih digunakan oleh PPSAB, sedangkan PDAM (dan BPAM) tetap menggunakan istilah air minum. Penggunaan istilah baru ini telah mengundang kontroversi berkepanjangan, karena masing-masing fihak memiliki argumennya masing-masing terhadap istilah yang digunakannya. Lihat Boks 5 tentang kontroversi penggunaan istilah air minum dan air bersih.

Perkembangan Air Minum di Era Orde Baru (1969-1998)

Page 59: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

59

Sekitar tahun 1970-an, penggunaan istilah air minum dan air bersih menimbulkan silang pendapat diantara para pelaku bidang pe­ngembangan air minum. Kelompok yang cenderung menggunakan istilah air minum mengacu kepada definisi air minum yang dikeluarkan Departemen Kesehatan, antara lain dalam rangka pengaturan kualitas air minum, dimana air minum didefinisikan sebagai air yang dapat langsung diminum. Kelompok yang menggunakan istilah air bersih digunakan oleh Departemen Peker­jaan Umum dengan pertimbangan bahwa air yang diproduksi instalasi pengolahan tidak hanya digunakan untuk minum, akan tetatpi juga untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga lainnya, seperti mandi, memasak dan mencuci), karena itu kelompok ini berpen­dapat bahwa istilah air minum kurang tepat karena seolah-olah hanya untuk minum saja. Istilah air bersih kemudian tercermin dalam penggunaan nama proyek-proyek air minum di provinsi, yang dinamai proyek penyediaan sarana air bersih (PPSAB), dan bukan proyek penyediaan sarana air minum, meskipun is­tilah air minum digunakan oleh PDAM dan BPAM (maupun dalam PP No 16/2005 yang terbit di kemudian hari).

Mengacu pada padanannya dalam Bahasa Ingeris, Hidayat Notosugondo berpendapat bahwa “drinking water is the one that is safe to drink” sedangkan “potable water is the one that is safe to drink, pleasant to the taste and usable for domestic purposes.” Definisi air bersih yang diajukan Hidayat Notosugondo sejalan dengan definisi dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan UNICEF, yang menyatakan bahwa “drinking water is water used for domestic purposes, drinking, cooking and personal hygiene.13

Istilah air kemasan (air minum dalam kemasan - AMDK) muncul belakangan. Tahun 1970-an bisnis AMDK mulai masuk ke Indonesia, yang dimulai dengan produk air kemasan yang membangun pabriknya di Bekasi, Jawa Barat tahun 1973. Langkah itu diikuti oleh banyak pebisnis yang melihat bisnis ini sangat menguntungkan. Yang jelas, AMDK bahkan merambah hingga ke desa-desa di pelosok-pelosok tanah air. Pertanyaannya, apakah AMDK termasuk dalam pengembangan sis tem penyediaan air minum di Indonesia?

Air minum jenis ini sesungguhnya dapat dikategorikan sebagai air produk industri minuman, sama halnya dengan produk mi­numan lainnya seperti air soda atau air teh yang dikemas dalam botol, yang merupakan minuman alternatif, dan bukan untuk kebu­tuhan pokok sehari-hari. Kecenderungan penggunaan air kemasan yang meningkat oleh masyarakat menunjukkan bahwa sistem penyediaan air minum yang disediakan pe­me rintah/PDAM masih belum memenuhi ke inginan masyarakat akan empat hal, yaitu : kualitas, kuantitas, kontinuitas dan keterjangkauan.

Perlu disadari bahwa harga air kemasan dapat dianggap tidak masuk akal, karena teramat mahal jika dibandingkan dengan air PDAM. Misalnya untuk satu merek air kemasan dengan volume 600 cc harganya Rp 1.500, ini berarti Rp 2,5 juta per meter kubik. Apabila harga rata-rata air PDAM permeter kubik adalah Rp 7.000 misalnya, maka harga air minum kemasan ratusan kali lebih mahal dari air PDAM, meskipun sudah termasuk ongkos yang dikeluarkan untuk merebusnya. Air minum dalam kemasan tidak termasuk dalam dalam pengembangan sistem penye diaan air minum di Indonesia karena tidak dimaksudkan untuk untuk memenuhi ke butuhan dasar.

TerMInologI dan InTerPreTaSI UnTUk aIr MInUM

13. http://www.who.int/water_sanitation_health/mdg1/en/

Perkembangan Air Minum di Era Orde Baru (1969-1998)

Boks 5. Terminologi dan Interpretasi untuk Air Minum

Page 60: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

60

BEBERAPA CATATANSEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA1800 – 2005

BPaM, lembaga pengelola transisi sebelum terbentuknya PdaMMengingat proses pembentukan PDAM di banyak daerah memakan waktu yang cukup lama, dan juga mengingat kemampuan daerah masih terbatas baik di bidang manajemen, sumber daya manusia, maupun pendanaan, maka sejak akhir Pelita II mulailah dibentuk Badan Pengelola Air Minum (BPAM) sebagai lembaga transisi pengelola air minum. Unit inilah yang menjadi cikal bakal atau embrio PDAM, yang biaya operasionalnya yang masih ditunjang oleh Pemerintah Pusat.Dengan terbentuknya BPAM di daerah-daerah yang, menurut catatan selama Pelita II, berjumlah 66, Direktorat Teknik Penyehatan menugaskan pemimpin proyek (Pinpro) di provinsi yang memberikan pembinaan kepada BPAM, karena unit ini merupakan unit kerja yang berinduk ke Direktorat Teknik Penyehatan, Departemen Pekerjaan Umum. Selain bertugas membina BPAM, para Pinpro itu juga ditugasi untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang akan mengoperasikan unit-unit BPAM tersebut. Setelah dianggap memadai, barulah kemudian diserahkan kepada Pemerintah Daerah bersangkutan dan statusnya diubah menjadi PDAM.

Dalam mempersiapkan sumber daya manusia, Pemerintah Pusat juga menyediakan balai pendidikan dan pelatihan (Diklat) yang berlingkup nasional. Salah satu di antaranya adalah balai training and technical assistance bagi para pelaksana PDAM, khususnya para operator, yang dibangun di Bekasi dengan bantuan hibah pemerintah Jepang. Ratusan orang, baik dari BPAM sebelum dialihkan ke Pemda maupun dari PDAM secara bergantian dikirim ke balai pendidikan dan latihan itu untuk menimba pengetahuan dan pengalaman mengoperasikan berbagai bagian dari PDAM.

Pada tahun 1974 Pemerintah Indonesia mendapat pinjaman dari Bank Pembangunan Asia untuk pembangunan prasarana dan sarana di Kotamadya Bandung yang juga mencakup sarana dan prasarana air minum. Program pembangunan tersebut dikenal sebagai Bandung Urban Development Project (BUDP) yang merupakan awal dari pola penanganan prasarana kota secara terpadu. Menyusul kemudian Medan Urban Development Project (MUDP). Kelak dalam Pelita IV, pola pengembangan tersebut diperluas sebagai pendekatan dalam pembangunan prasarana kota secara terpadu.

dasawarsa 1979-1989: era yang melahirkan banyak perkembanganPada penggalan pertama dasawarsa 1979-1989, yakni pada pelaksanaan Pelita III (1979-1984), Pemerintah menerapkan landasan kebijakan yang mengacu pada pelaksanaan pembangunan secara tekno-ekonomis yang efisien dengan menitikberatkan pada pelayanan bagi penduduk perkotaan dalam jangka pendek, dengan mulai memperkenalkan standar kebutuhan dasar air minum (basic need approach - BNA) sebesar 60 liter perorang perhari. Selain itu juga diperkenalkan sistem pelayanan komunal melalui hidran umum dengan perbandingan SR (sambungan rumah) dan HU (hidran umum) 50:50, serta pelayanan bagi 60 persen penduduk perkotaan.

Perkembangan Air Minum di Era Orde Baru (1969-1998)

Page 61: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

61

Untuk pemenuhan kebutuhan minimum, kebijakan pembiayaan yang ditempuh adalah pemberian dukungan bantuan penuh dari Pemerintah bagi kota-kota kecil, sedangkan untuk kota-kota dengan tingkat pelayanan 125 liter perorang perhari dimungkinkan untuk mendapat bantuan Pemda dan sebagian pinjaman dari perbankan. Namun sebagaimana dalam Pelita sebelumnya, pada periode ini pun diupayakan untuk mendapatkan dana hibah dari negara-negara sahabat seperti dari Belanda, Australia dan Jerman (GTZ), dan pinjaman dari lembaga keuangan internasional seperti Bank Pembangunan Asia, Bank Dunia dan Jerman (KfW).

Laju pertumbuhan perekonomian nasional yang meningkat, serta stabilitas politik yang baik mendorong peningkatan kerja sama dengan pihak luar negeri. Dalam hal ini peluang Indonesia memperoleh pinjaman luar negeri menjadi lebih bagus, baik bersifat bilateral (antardua pihak) maupun multilateral dengan negara-negara sahabat, maupun dari lembaga-lembaga keuangan internasional.

Program akselerasi: pembangunan masal SPaM di 200 kotaKebijakan lainnya yang ditempuh Pemerintah adalah program akselerasi, program pelayanan di ibukota kecamatan (IKK) dan program-progran yangquick yielding.Kebijakan itu sejalan pula dengan penetapan dasawarsa 1981-1990 sebagai Dekade Air Air Minum dan Sanitasi Internasional oleh Perserikatan Bangsa Bangsa.Dalam rangka akselerasi dan ekstensifikasi, pada era 1979-1984, tepatnya pada awal Pelita III, ada program pembangunan sarana air minum secara fisik di 200 kota, yang tidak terlepas dari program di era sebelumnya. Ke-200 kota terdiri atas 10 kota besar, 40 kota sedang dan 150 kota kecil.

Dalam upaya mempercepat pembangunan dalam Pelita III, Pemerintah berpegang pada kebijakan membangun secara masal (mass provision of watersupply systems). Pendekatannya berbeda dari pembangunan IPA satu demi satu. Mulai dari persiapan (survei dan studi kelayakan), perencanaan hingga ke pelaksanaan, semua harus dilakukan serba cepat. Ketelitian dan kesempurnaan agak berkurang, namun segalanya diusahakan tetap dalam batas-batas yang wajar. Fokus utama dalam program ini ialah agar masyarakat dapat terlayani secepat-cepatnya, sekalipun pelayanan itu tidak sempurna.

Pembangunan secara masal tersebut memerlukan logistik yang memadai, mulai dari ketersediaan pipa, pompa, meter air dan aksesori lainnya. Peran industri bidang air minum menjadi penting. Misalnya dalam pembangunan IPA diterapkan sistem paket (package plant). Desain IPA dibuat berdasarkan bentuk, ukuran, dan sistem pengolahannya menurut suatu standar berdasarkan kapasitas yang direncanakan, misalnya ada yang berkapasitas 10 liter perdetik, 20 liter perdetik hingga 40 liter perdetik. Dalam periode ini sejarah mencatat munculnya inovasi desain IPA yang dibuat oleh tenaga ahli di lingkungan Ditjen Cipta Karya sendiri, yang memiliki berbagai keunggulan dalam efisiensi dan biaya, serta dapat diterapkan pada IPA konvesional yang sudah ada untuk meningkatkan kapasitas

Perkembangan Air Minum di Era Orde Baru (1969-1998)

Page 62: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

62

BEBERAPA CATATANSEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA1800 – 2005

Perkembangan Air Minum di Era Orde Baru (1969-1998)

Page 63: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

63

Perkembangan Air Minum di Era Orde Baru (1969-1998)

Page 64: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

64

BEBERAPA CATATANSEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA1800 – 2005

produksinya. Inovasinya terletak pada proses pencampuran (mixing) yang menggunakan aliran heliocoidal, serta pengendapan dengan aplikasi tube/plate settler. IPA Paket yang kemudian diberi nama Kedasih tersebut (singkatan dari Keluaran Direktorat Air Bersih), telah diaplikasikan di banyak tempat di seluruh tanah air.14

Dengan cara seperti itu, komponen-komponen IPA dapat diproduksi secara masal di pabriknya, lalu kemudian dirakit (assemble) di lokasi proyek. Adapun kegiatan di lokasi proyek hanya mempersiapkan fondasi yang diperlukan serta memadukan komponen-komponen IPA menjadi sebuah IPA yang siap berproduksi. Program paket IPA tersebut diarahkan untuk Program Paket I untuk 50 kota, kebanyakan ibu kota kabupaten, Program Paket II untuk 60 kota, juga kebanyakan ibu kota kabupaten, dan Program IKK sebanyak 1.700 kecamatan.

akselerasi melahirkan industri pembuat IPa PaketUntuk mencapai target, Pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Cipta Karya mendorong berdirinya industri-industri paket instalasi pengolahan air. Dengan kehadiran industri tersebut, Pemerintah dapat dengan cepat menyampaikan pesanan, atau bahkan membeli secara tunai persediaan IPA di pabrik.Merespons program Pemerintah dalam pembangunan IPA paket secara masal, beberapa perusahaan mengembangkan usahanya dalam memproduksi IPA paket. Perusahaan-perusahaan itu antara lainPT Boma Stork dengan sistem Pielkenroth, PT Wijaya Kusuma dengan sistem PCI (Patterson Candy International) dan PT Sumber Tjipta Djaja dengan sistem Neptune Microfloc.

Untuk pelaksanaan Program Paket I, yakni 50 kota dan paket II, 60 kota seperti disebutkan di muka, Direktorat Jenderal Cipta Karya telah menandatangani kontrak dengan tiga pemborong/fabrikan diatas dengan menggunakan tiga standar sistem pengolahannya masing-masing.Ketiga macam sistem yang mereka gunakan pada dasarnya sama, yaitu sistem konvensional, yang pengoperasiannya sederhana, tidak seperti sistem accelator atau pulsator. Perbedaannya hanya pada proses pengolahannya. Pada proses pengendapannya, yang satu menggunakan tube settlers, sedang yang lainnyaplate settler.Demikian pula pada proses filtrasi dan disinfeksi, masing-masing perusahaan mempunyai sistem sendiri-sendiri. Yang penting, apa pun sistemnya, harus menghasilkan kualitas air bersih yang memenuhi syarat.

Dengan pembangunan secara masal tersebut, pada akhir Pelita III (1979-1984), kapasitas terpasang sistem penyediaan air minum meningkat dari 21.000 liter perdetik menjadi 26.000 liter perdetik. Berlandaskan pencapaian itulah Pemerintah pada waktu itu berani

14. IPA Kedasih pertama kali dikembangkan oleh Ir. Pudjastanto, CE, DEA dari Direktorat Air Bersih, Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum, yang melakukan kajian terhadap penggunaan bentuk heliocoidal dalam proses koagulasi dan flokulasi yang lebih efisien dalam operasinya. Nama Kedasih kemudian diabadikan dalam IPA Paket yang menggunakan bentuk heliocoidal tersebut, baik pada IPA baru maupun peningkatan IPA yang sudah ada. IPA Kedasih mendapatkan nomor SNI (Standar Nasional Indonesia) pada tahun 2002.

Perkembangan Air Minum di Era Orde Baru (1969-1998)

Page 65: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

65

menetapkan standar kebutuhan air minum di Indonesia 60 liter perorang perhari. Standar kebutuhan minimum tersebut memang masih lebih rendah dari standar yang dikeluarkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni 86 liter perorang perhari. Standar kebutuhan air minum tersebut kelak di kemudian hari menjadi penting sebagai landasan bagi sistem penyediaan air minum di Indonesia.

Pembuatan modul IPa Paket 2,5 liter per detikMasih dalam rangka percepatan pembangunan sarana air minum, Pemerintah melanjutkan pembentukan program BPAM. Selama Pelita III setidaknya terbentuk 28 BPAM sehingga pada akhir Pelita III terdapat 150 BPAM.Mulai pertengahan Pelita III, modul-modul IPA paket dengan standar kapasitas 2,5 liter perdetik dikembangkan di 396 ibu kota kecamatan (IKK) yang belum memiliki fasilitas air minum dan belum terjangkau oleh pelayanan PDAM atau BPAM. IPA paket 2,5 liter perdetik tersebut mampu menjangkau 180 sambungan rumah dan 9 hidran umum. Paket ini juga dapat ditingkatkan kapasitasnya (up-rating) menjadi 5 liter perdetik.Sayangnya, program pembangunan masal itu tidak diimbangi dengan pengembangan SDM yang akan mengoperasikan instalasi-instalasi pengolahan air minum yang demikian banyak. Setelah satu dua tahun, banyak di antara IPA paket itu merosot kondisinya karena pengoperasiannya tidak sebagaimana seharusnya. Bahkan pemeliharaannya kebanyakan diabaikan.Instalasi paket yang menggunakan bahan dari besi ataupun baja sangat memerlukan pemeliharaan secara khusus. Setidaknya pengecatan perlu dilakukan secara rutin untuk mencegah karatan. Menurut laporan, kurang lebih separuh dari IPA paket tersebut sudah dalam keadaan tidak operasional.

Sistem Ikk mempercepat penyebaran pelayanan air minum di tanah airSistem yang dikembangkan pada ibukota kecamatan (yang kemudian dikenal sebagai Sistem IKK) memiliki jaringan pipa yang dirancang dengan aliran rata-rata, sehingga mengurangi ukuran pipa dan menghemat biaya. Di semua sistem IKK, pelayanan air minum ke rumah-rumah dilengkapi dengan alat pembatas aliran (flow restrictor) dengan maksud supaya aliran air ke pelanggan merata. Aliran air memang jadi lemah, tapi jumlah (volume) air per satuan waktu per rumah tetap. Pendekatan ini membuat banyak pelanggan tidak sabar, dan akhirnya membuka alat pembatas aliran tersebut. Ini adalah kelemahan dari sistem ini yang merupakan aplikasi dari ujicoba pembatasan aliran sebelumnya. Di sisi lain, terjadi peningkatan investasi yang signifikan di sektor air minum dan disertai dengan perluasan sistem secara lebih merata di seluruh tanah air. Pada program berikutnya sistem pembatas aliran tidak digunakan lagi dan pengukuran aliran dilakukan dengan pemasangan meter air pelanggan seperti pada sistem reguler.Terlepas dari kelemahannya, sistem IKK diakui mempercepat penyebaran pelayanan air minum di tanah air.

Selain membangun prasarana dan sarana air minum di kota-kota kecil dengan jumlah penduduk kurang dari 500 ribu jiwa, pada Pelita III Pemerintah juga memberi perhatian khusus untuk membangun prasarana dan sarana air minum di kawasan-kawasan terpencil

Perkembangan Air Minum di Era Orde Baru (1969-1998)

Page 66: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

66

BEBERAPA CATATANSEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA1800 – 2005

dan di perdesaan. Teknologi yang digunakan untuk daerah terpencil dan perdesaan adalah teknologi tepat guna yang diharapkan dapat dibangun dengan bahan dan tenaga kerja setempat. Beberapa pendekatan teknologi tepat guna yang diterapkan antara lain Saringan Rumah Tangga (SARUT) dan Sistem Pengolahan Air Sederhana (SIPAS). Dengan pendekatan tersebut diharapkan masyarakat setempat dapat berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan dan pengelolaannya. Hanya saja, pembinaan terhadap masyarakat perdesaan tidak berada di bawah kendali Departemen Pekerjaan Umum, melainkan oleh Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PPM PL) pada Departemen Kesehatan dan Direktorat Jenderal Pembangunan Masyarakat Desa (Ditjen PMD) pada Departemen Dalam Negeri.

Pendekatan teknologi tepat guna dengan pelibatan masyarakat ini menjadi cikal bakal program-program air minum dan sanitasi perdesaan berbasis masyarakat (community-based water and sanitation program), yang antara lain dibiayai dengan dana Inpres (Instruksi Presiden) Bantuan Sarana Kesehatan, yang kemudian melahirkan program-program Sanimas (Sanitasi Berbasis Masyarakat) dan Pamsimas (Program Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat).

Penanganan daerah terpencil/sulit airPemerintah tidak hanya memikirkan pelayanan air minum di perkotaan maupun di perdesaan, banyak masyarakat kita yang masih kesulitan mendapatkan air bersih yang layak karena posisi geografis atau potensi alamnya kurang menguntungkan. Sumber mata air sangat jauh letaknya dan tidak ekonomis untuk dimanfaatkan, sedangkan sumber air permukaan yang ada airnya payau atau asin. Di daerah Gunung Kidul, misalnya, yang dikenal sebagai daerah sulit air, Pemerintah telah mengupayakan untuk mendapatkan

Keterangan foto

Perkembangan Air Minum di Era Orde Baru (1969-1998)

Page 67: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

67

sumber air bawah tanah, salah satunya dari Goa Bribin dengan cara memompa air dari sungai bawah tanah yang ternyata melimpah. Inovasi teknologi dalam SPAM juga terus dikembangkan, misalnya penggunaan kincir angin dan sinar matahari sebagai penggerak pompa untuk menaikkan air dari bawah tanah ke permukaan. Uji coba pemanfaatan kincir angin antara lain dilakukan di Medan, Nusa Penida dan Tambakrejo, sedangkan uji coba pemanfaatan sinar matahari dilakukan di Lombok Barat.

direktorat Teknik Penyehatan dipecah menjadi duaPada era Pelita III (1979-1984), Direktorat Teknik Penyehatan dipecah menjadi dua direktorat, yakni Direktorat Air Bersih dan Direktorat Penyehatan Lingkungan Permukiman (PLP). Pemecahan itu dilakukan karena pada awal Pelita III sektor penyehatan lingkungan sanitasi semakin menuntut perhatian besar dari Pemerintah. Berbagai program penyehatan lingkungan dilancarkan seperti pembangunan instalasi pengolahan air limbah di sejumlah kota besar dan instalasi pengolahan lumpur tinja (IPLT) di banyak kota-kota sedang, perbaikan kampung, proyek percontohan pengelolaan sampah dan air limbah sistem modul dengan harapan dapat diikuti oleh Pemda-Pemda di wilayahnya masing-masing.

Masalah sanitasi memang tak dapat dilepaskan dari masalah air minum. Sanitasi yang buruk tentu berdampak negatif terhadap sumber daya air. Memang pada era ini telah semakin disadari bahwa program-program pembangunan seyogianya diupayakan tidak terlepas dari kebijakan keterpaduan prasarana melalui pendekatan Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu (P3KT).

Program regional atau lintas wilayah/kabupatenBeberapa program air minum yang bersifat regional atau antar wilayah kabupaten juga telah mulai dikembangkan, tapi tidak banyak yang berhasil dilaksanakan, misalnya di kawasan Bali Selatan, Yogyakarta (Kartamantul), Kedung Sepur (Semarang dan sekitarnya), Minasamaupa (Makassar dan sekitarnya), Tegal dan sekitarnya dan lain-lain. Diantara semua upaya tersebut yang paling banyak menarik perhatian adalah Umbulan di Jawa Timur. Umbulan adalah sebuah mata air yang terletak di Kabupaten Pasuruan yang memiliki potensi yang besar untuk melayani beberapa kota di Jawa Timur, termasuk Surabaya. Sebagian kecil mata air airnya bahkan sudah dikembangkan sejak jaman Belanda dulu untuk melayani Pasuruan dan Surabaya (lihat sejarah air minum di masa prakemerdekaan). Meskipun studinya sudah dilakukan secara lengkap sejak tahun 1975 oleh konsultan Camp Dresser and McKee (CDM) dari Amerika Serikat, pelaksanaan proyek raksasa ini selalu mengalami berbagai kendala. Padahal apabila dilaksanakan, sistem Umbulan dapat melayani Kota Surabaya dan kota-kota disekitarnya seperti Gresik, Sidoarjo dan Pasuruan. Perjalanan panjang proyek ini, yang sampai sekarang belum juga dapat terlaksana, diuraikan secara lengkap dalam Boks 6 berikut.

Perkembangan Air Minum di Era Orde Baru (1969-1998)

Page 68: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

68

BEBERAPA CATATANSEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA1800 – 2005

Umbulan adalah sebuah mata air yang sangat besar di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur yang memiliki debit mencapai 5.000 liter perdetik. Airnya sangat jernih sehingga tidak perlu diolah terlebih dahulu kecuali khlorinasi.Dalam upaya memenuhi kebutuhan kota Surabaya, Pemerintah merasa perlu mempertimbangkan pemanfaatan mata air tersebut daripada harus memperluas IPA Karangpilang. Selain untuk kota Surabaya, mata air Umbulan dapat pula sekaligus melayani kota-kota Pasuruan, Sidoarjo, Gresik dan kota-kota lain di sepanjang jalur pipa transmisi Umbulan-Surabaya.Studi kelayakan proyek ini mulai dikerjakan tahun 1975 oleh Konsultan Camp, Dresser & McKee dari Amerika Serikat dan sejumlah studi kelayakan selanjutnya telah dilakukan oleh berbagai fihak.

Hasil studi kelayakan tersebut dari sudut teknis dan ekonomis dinilai sangat menjanjikan, tetapi oleh Pemerintah dinilai tidak layak dari sudut pembiayaan. Proyek tersebut waktu itu diperkirakan menelan biaya hingga US$ 25 juta, belum lagi biaya dalam mata uang rupiah. Karena kemampuan finansial Pemerintah terbatas, maka dicarikan investor

untuk membiayai proyek itu. Ada beberapa investor yang berminat, bahkan sempat terjadi kompetisi yang ketat di antara para investor waktu itu, namun minat mereka kemudian surut. Kendalanyayang paling utama adalah tidak adanya ketidakpastian dalam kemampuan dan kesediaan PDAM/Pemda yang akan dilayani untuk membeli air Umbulan secara curah (bulk). Selain itu, Kabupaten Pasuruan dimana lokasi mata air berada mengajukan peryaratan-persyaratan yang sulit dipenuhi dan kerangka perjanjian kerjasama.

Sudah tentu penundaan pelaksanaan proyek itu sangat merugikan, baik finansial maupun dari sudut pelayanan masyarakat. Dengan asumsi harga air Rp 1.000 permeter kubik, kapasitas 5.000 liter per detik dan kehilangan air 20%, maka kerugian diperkirakan sebagai berikut bisa mencapai Rp 126 milyar setiap tahun tahunnya.Sampai dengan era reformasi, potensi mata air Umbulan yang demikian besar belum juga dimanfaatkan secara maksimal. Hanya sebagian kecil air yang dialirkan dari mata air itu yang sudah tersalur ke Surabaya dan Pasuruan, dan itu sudah berlangsung sejak era prakemerdekaan.

UMBUlan, PoTenSI rP 126 MIlyar Per TahUn yang dISIa-SIakan

Pelita Iv 1984-1988: resesi tidak menghalangi pembangunanPada periode Pelita IV, 1984-1988, pengembangan sistem penyediaan air minum terus dilanjutkan, kendati pada periode itu terjadi resesi ekonomi. Pembangunan infrastruktur tertolong karena tingkat inflasi yang lebih rendah dibandingkan dengan pada era dua Pelita sebelumnya. Hasilnya, hingga akhir Pelita IV terdapat penambahan kapasitas produksi air minum sebesar 14.000 liter perdetik, memenuhi kebutuhan sekitar 8,2 juta jiwa penduduk.

Pada Pelita IV tercatat adanya perbaikan di daerah-daerah perdesaan. Telah disebutkan di bagian lain buku ini, berdasarkan Inpres (Instruksi Presiden) bidang kesehatan masyarakat, pada Pelita III Departemen Kesehatan merintis penyediaan sarana air bersih di daerah perdesaan sebagai bagian dari upaya memerangi penyakit menular dan meningkatkan kesehatan masyarakat. Pada Pelita IV, berdasarkan kesepakatan Departemen Kesehatan, Departemen Pekerjaan Umum ikut melengkapi fasilitas-fasilitas air minum tersebut

Perkembangan Air Minum di Era Orde Baru (1969-1998)

Boks 6. Umbulan, Potensi Rp 126 milyar per Tahun yang Disia-siakan

Page 69: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

69

Pada tahun 1987 Pemerintah meluncurkan pendekatan keterpaduan dalam pembangun­an prasarana perkotaan, dimana didalamnya termasuk pembangunan air minum dan pe nyehatan lingkungan permukiman. Pen-de katan keterpaduan, yang kemudian di­kenal dengan pendekatan Program Pem­bangunan Prasarana Kota Terpadu (P3KT) tersebut ditetapkan melalui Kebijaksanaan Pembangunan Perkotaan di Indonesia yang berisi enam butir kebijaksanaan sebagai berikut15 : 1. Pembangunan prasarana perkotaan serta

pemeliharaannya pada prinsipnya meru­pakan wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Daerah (Tingkat II) yang ber sangkutan (Kotamadya/Kabupaten), de ngan bantuan dan bimbingan dari Pe-me rintah Daerah Tingkat I (Pusat) dan Peme rintah Pusat;

2. Perencanaan dan penyusunan program serta penentuan prioritas investasi untuk pembangunan perkotaan bagi masing-masing tingkat pemerintahan akan terus disempurnakan berdasarkan pendekatan desentralisasi dan/atau dekonsentrasi serta keterpaduan seperti yang antara lain telah dilaksanakan melalui “Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu (PPPKT/IUIDP);

3. Dalam rangka mengembangkan tanggung jawab Pemerintah Daerah dalam penye­diaan prasarana perkotaan maka akan lebih ditingkatkan kemampuan Pemerin­tah Daerah dalam mobilisasi sumber-sumber dana dan optimasi penggunaan pendapatannya;

4. Sesuai dengan prinsip desentralisasi dari wewenang dan tanggung jawab Pemerin­tah Daerah dalam pembangunan prasarana perkotaan maka akan disempurnakan pula sistem pendanaan guna pembangunan prasarana perkotaan, dengan:i. Menyempurnakan/memantapkan

tataca-ra pinjaman dan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dalam menyediakan investasi prasarana perkotaan;

ii. Menyertakan insentif untuk mobilisasi sumber daya local dan dana pinjaman;

5. Kemampuan tenaga dan kelembagaan dari Pemerintah Daerah Tingkat I dan Tingkat II dalam melaksanakan kegiatan pem­bangunan perkotaan secara lebih efektif akan ditingkatkan melalui pengembangan kelembagaan dan penyempurnaan pro­sedur sejauh hal tersebut diperlukan serta latihan/penataran berdasarkan suatu pro­gram pendidikan dan latihan terpadu bagi pengembangan ketenagaan aparatur Pe­merintah Daerah; dan

6. Koordinasi dan konsultasi antara berbagai instansi dan tingkat pemerintahan (Peme­rintah Pusat, Pemerintah Daerah Tingkat I dan Tingkat II) yang terkait dalam pembangunan prasarana perkotaan akan dilanjutkan dan dimantapkan guna me­ningkatkan kelancaran perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pembangunan serta menyediakan tatacara (mekanisme) untuk menelaah lebih lanjut dan merumuskan re­komendasi berbagai kebijaksanaan untuk masa depan.

keBIjakan PeMBangUnan PraSarana koTa TerPadU

dengan jaringan perpipaan. Jadi, sejak itu sistem penyediaan air minum perpipaan sudah mulai masuk desa.

15. Sumber: Kebijaksanaan Pembangunan Perkotaan di Indonesia, Sekretariat Tim Koordinas Pembangunan Perkotaan, Agustus 1987 (dikenal sebagai buku coklat karena sampulnya berwarna coklat).

Perkembangan Air Minum di Era Orde Baru (1969-1998)

Page 70: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

70

BEBERAPA CATATANSEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA1800 – 2005

Keenam kebijakan tersebut menjadi landas­an operasional pembangunan prasarana per­kotaan pada waktu itu, dimana air mi num dan penyehatan lingkungan permu kiman (air limbah, persampahan dan drainase) termasuk didalamnya. Dalam pe laksanaannya, melalui Keputusan Menteri Negara Perencanaan Pem bangunan Nasional/Ketua Badan Peren­ca naan Pembangunan Na sional (Bappenas), dibentuk Tim Koordinasi Pem bangunan Per kotaan (TKPP) yang terdiri dari Panitia Pengarah dan empat Kelompok Kerja Tetap. Ketua dan anggota Panitia Pengarah dan Ke lompok Kerja Tetap terdiri para pejabat Eselon I dan II dari lintas kementerian (waktu itu disebut departemen), yaitu Bappenas, De partemen Dalam Negeri, Departemen Ke­uangan dan Departemen Pekerjaan Umum).

Kebijaksanaan keterpaduan tersebut diatas diambil Pemerintah sebagai bagian dari ke­rangka Pinjaman Sektor Perkotaan (Urban Sector Loan) dari Bank Dunia. Melalui pen­dekatan P3KT, pembangunan prasarana perkotaan pada waktu itu dilaksanakan secara terpadu dan kewilayahan, melalui program-program pembangunan prasarana kota terpadu (Urban Development Program ­ UDP) seperti East Java UDP, West Java ­ Sumatera UDP, Bandar Lampung UDP, Central Java UDP, Medan UDP, yang kesemuanya merupakan kelanjutan dari program sebe­lumnya seperti Urban I sampai V (program perbaikan kampung/KIP), Bandung UDP (BUDP), Cirebon UDP (CUDP), Yogyakarta UDP (YUDP), dan sebagainya.

Pendekatan keterpaduan memberikan dam pak positif yang besar dalam upaya pe ning katan keterpaduan antar program dan antar sektor dalam pembangunan pra sara na perkotaan jangka menengah di da erah, serta dalam upaya peningkatan ke­mam puan Pemerintah Daerah, khususnya Kabupaten/Kota dalam mobilisasi sumber-sumber pendanaan, serta peningkat an ke­lembagaan, antara lain melalui penyiap an PJM (Program Jangka Menengah) RIAP (Re­venue Improvement Action Plan ­ Rencana Kegiatan Peningkatan Pendapatan) dan LIDAP (Local Institutional Development Action Plan ­ Rencana Kegiatan Pengembangan Kelembagaan di Daerah).

Pendekatan keterpaduan ini berlangsung se lama beberapa tahun, dari tahun 1987 sampai sekitar tahun 2000-an. Meskipun pendekatan keterpaduan dianggap berhasil, tetapi hal yang kurang menguntungkan dari pendekatan ini adalah bahwa daerah seolah seperti “anak ayam kehilangan induk” pada saat adanya perubahan struktur organisasi Departemen Pekerjaan Umum dari berbasis sektor menjadi berbasis wilayah. Pada waktu itu, Direktorat Jenderal Cipta Karya (DJCK) sebagai satminkal (satuan administrasi pangkal) berubah nama dan direktoratnya menjadi berbasis kewilayahan. Baru pada tahun 2004, nama Pekerjaan Umum kembali digunakan dan direktorat di lingkungan DJCK kembali berbasis sektor.

Berkat pembinaan para karyawan BPAM sehingga dinilai mampu mengelola PDAM, sebanyak 20 BPAM akhirnya dialihkan statusnya menjadi PDAM dan langsung diserah–kan kepada Pemda di mana BPAM itu berada. Satu di antaranya adalah BPAM Kabupaten Dati II Kutai yang berdiri pada tahun 1981 dan diubah statusnya menjadi PDAM Tirta

Perkembangan Air Minum di Era Orde Baru (1969-1998)

Boks 7. Kebijakan Pembangunan Prasarana Kota Terpadu

Page 71: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

71

Mahakam Kabupaten Kutai pada tahun 1987. Setelah terjadi pemekaran wilayah, kini PDAM Tirta Mahakam merupakan BUMD milik Kabupaten Kutai Kartanegara.

Pada awal Pelita IV, 1987/1988, jumlah PDAM telah mencapai 114 dan BPAM sebanyak 157 buah. Sebagian dari BPAM itu sudah dalam kondisi siap diserahkan kepada Pemda untuk kemudian diubah statusnya menjadi PDAM.Dari 114 PDAM tersebut di atas, 40 PDAM dinilai sudah siap untuk mandiri. Artinya, PDAM itu sudah mampu mengupayakan sendiri sumber-sumber dana bagi pembangunan baru atau memperluas prasarana air minum di wilayah pelayanannya. Dan setelah lima tahun berjalan, pada akhir Pelita IV, perbandingan jumlah BPAM dan PDAM telah berubah, yakni BPAM menjadi 148 (semula 157) dan PDAM menjadi 137 dari semula 114. Perubahan komposisi itu terjadi karena ada sejumlah BPAM yang beralih status menjadi PDAM. Berarti terjadi kecenderungan positif atas BPAM yang mulai dibentuk pada era Pelita II.

Setelah standar pemenuhan kebutuhan air minum 60 liter perorang perhari ditetapkan pada Pelita III, Pemerintah melakukan pembagian tugas pembangunan sistem penyediaan air minum. Untuk wilayah yang kebutuhan dasarnya di bawah 60 liter perorang perhari, dipercayakan kepada BPAM, dan untuk wilayah yang standarnya di atas 60 liter perorang perhari, ditugaskan kepada Pemerintah Daerah dengan PDAM sebagai pelaksana. Kebijakan itu mulai diterapkan pada awal Pelita IV.

Sistem terpadu melahirkan pembagian tugas antara pusat dan daerahPada tahun 1985 dilancarkan Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu (P3KT) atau Integrated Urban Infrastructure Development Program (IUIDP). Sejak pencanangan program tersebut, berbagai program pembangunan prasarana kota dilaksanakan secara terpadu, termasuk program-program pengembangan sistem penyediaan air minum dan penyehatan lingkungan perkotaan, lihat Boks 7.

Kebijakan P3KT diterapkan untuk menghadapi perkembangan zaman. Pada masa itu, resesi ekonomi dunia mempengaruhi Indonesia. Resesi itu sendiri rupanya memicu urbanisasi yang deras, yang memicu kemunculan berbagai permasalahan di perkotaan, terutama menyangkut kebutuhan akan perumahan, kebutuhan parasarana dan sarana sanitasi dan air minum, dan sebagainya. Cara pendekatan keterpaduan tersebut antara lain membawa berbagai konsekuensi. Di bidang kelembagaan misalnya, mulai terjadi penyesuaian unit-unit kerja di lingkungan Departemen Pekerjaan Umum. Unit-unit kerja itu harus berbasiskan kewilayahan.

Selain itu, terjadi pembagian tugas antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Departemen Pekerjaan Umum selaku pemangku kepentingan di tingkat pusat bertanggung jawab membangun sarana fisik produksi air minum seperti bangunan intake (pintu masuk air baku ke IPA), pipa transmisi air baku, dan unit-unit instalasi pengolahan air beserta perlengkapannya. Di sisi lain, Pemerintah Daerah dan PDAM bertugas membangun

Perkembangan Air Minum di Era Orde Baru (1969-1998)

Page 72: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

72

BEBERAPA CATATANSEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA1800 – 2005

jaringan distribusi hingga sambungan rumah pelanggan, termasuk reservoir kota.Sayangnya, karena keterbatasan anggaran yang dimiliki Pemerintah Daerah, kewajiban mereka tidak dapat terlaksana sepenuhnya. Konsekuensinya, terjadi idle capacity alias kapasitas produksi yang tak termanfaatkan. Hal itu memaksa Pemerintah Pusat turun tangan, ikut menangani pembangunan di tingkat hilir seperti sarana distribusi termasuk sambungan rumah pelanggan.

Pada periode Pelita IV skala pembangunan makin luas, tingkat kesulitan di lapangan pun makin tinggi. Maka untuk memperkuat berbagai konsensus yang pernah dibuat pada era sebelumnya, kembali dilakukan kesepakatan dalam hal pembagian tugas di antara lembaga-lembaga Pemerintah yakni Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Dalam Negeri dan Departemen Kesehatan. Masih seperti sebelumnya, Departemen PU tetap melaksanakan pembangunan proyek-proyek sarana air minum di perkotaan, sedangkan Departemen Kesehatan sebagai pelaksana pembangunan di perdesaan.Selain itu, juga dibuat konsensus antara Departemen Keuangan dan Departemen Dalam Negeri tentang pola penyaluran pinjaman kepada PDAM-PDAM. Telah disinggung di bagian lain buku ini, bahwa untuk pembiayaan proyek air minum, Departemen Keuangan berkoordinasi dengan BAPPENAS, dan melalui prosedur DIP (Daftar Isian Proyek) memberikan pinjaman dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah untuk diteruskan kepada PDAM sebagai equity. Sedangkan untuk pengembangan air minum perdesaan diterapkan sistem pembiayaan proyek dengan prosedur Inpres.

P3KT mulai dikembangkan dan diterapkan tahun 1985 secara bertahap sebagai suatu pola pendekatan pembangunan dari bawah (bottom up approach). P3KT adalah konsep pembangunan yang memberi kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk menyusun rencana sampai dengan pelaksanaannya yang merupakan wujud dari asas desentralisasi secara nyata dan bertanggung jawab.Keterpaduan proses pembangunan berdasarkan prinsip P3KT tidak hanya menyangkut segi pembangunan fisiknya saja, melainkan juga perihal sumber-sumber pembiayaannya, baik dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, maupun PDAM.

dasawarsa 1989–1998: akhir pembangunan jangka panjang tahap pertama Periode 1989 – 1998 merupakan masa transisi dari periode pembangunan jangka panjang tahap pertama ke tahap berikutnya. Periode jangka panjang tahap pertama, yang dimulai sejak Pelita I (1969 – 1974) sampai Pelita V (1990 – 1994) merupakan periode yang penuh dengan semangat pembangunan. Pelita VI (1995 – 1999) yang merupakan tahun pertama pembangunan jangka panjang tahap kedua berakhir di tengah jalan dengan jatuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998. Menjelang akhir Pelita VI (1998), kapasitas produksi air minum sudah mencapai ____ liter per detik, dengan jumlah total sambungan rumah sebanyak ___ sambungan dan cakupan pelayanan perpipaan di perkotaan sudah mencapai 39 persen.

Perkembangan Air Minum di Era Orde Baru (1969-1998)

Page 73: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

73

Setelah masa-masa suram kejatuhan rezim Orde Baru, yang ditandai dengan kerusuhan diberbagai kota berlalu, pembangunan sektor air minum pada umumnya melanjutkan program-program keterpaduan yang sudah berlangsung, antara lain Semarang – Surakarta UDP, Bogor – Palembang UDP, Kalimantan UDP, Sulawesi UDP I dan II, East Java – Bali UDP dan Bali Urban Infrastructure Project (BUIP).

Keterangan foto

Perkembangan Air Minum di Era Orde Baru (1969-1998)

Page 74: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

74

BEBERAPA CATATANSEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA1800 – 2005

Page 75: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

75Era 1998-2005

PENGEMBANGAN AIR MINUM DI AWAL ERA REFORMASI (1998­2005)

5

Page 76: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

76

BEBERAPA CATATANSEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA1800 – 2005

TerMaSUk di dalamnya mengupayakan dana dan mencari teknologi dan solusi yang sebaik-baiknya atas masalah air minum di daerah.Otonomi daerah itu pun seperti mendapat dorongan dari semangat gerakan Millennium Development Goals (MDGs), yakni komitmen global yang diluncurkan Perserikatan Bangsa Bangsa untuk memerangi kemiskinan dan keterbelakangan. Pemerintah Indonesia ikut menandatangani dan menyatakan komitmennya untuk menyukseskan gerakan itu. Dalam hal air minum, target MDGs adalah mengurangi hingga separuh dari penduduk yang belum memiliki akses ke sarana dan prasarana air bersih yang aman.

Reformasi politik yang terjadi sejak tahun 1998 melahirkan sistem pemerintahan yang bersifat desentralisasi. Otonomi daerah menetapkan kebijakan, bahwa pembangunan sektor air minum, termasuk pengembangan sistem penyediaan air minum adalah merupakan tugas dan tanggung jawab pemerintah daerah, dan semesestinya dilakukan oleh pemerintah daerah.

Pengembangan Air Minum di Awal Era Reformasi (1998-2005)

Page 77: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

77

Dalam mewujudkan semangat otonomi daerah, diterbitkanlah UU Otonomi Daerah No. 22 tahun 1999 yang mengubah peran pemerintah pusat dari penyedia menjadi fasilitator pembangunan fisik di daerah. Daerah-daerah didorong untuk memainkan peran yang lebih besar untuk membangun dan mengatur daerahnya masing-masing. Bahkan punya tanggung jawab lebih besar atas sebagian biaya pembangunan.Otonomi Daerah juga memberi ruang yang lebih luas pada bentuk-bentuk pembangunan berbasis partisipasi masyarakat. Hal itu didasarkan pada kenyataan, bahwa sumber dana yang dimiliki pemerintah pusat maupun daerah sangat terbatas, sehingga perlu optimalisasi sumber-sumber daya yang ada, termasuk yang ada pada masyarakat.

Di berbagai daerah, muncul sarana sanitasi berbasis masyarakat (Sanimas), demikian juga sarana penyediaan air minum berbasis masyarakat (Pamsimas). Pola pengembangan sanitasi dan sistem penyediaan air minum berbasis masyarakat itu dipicu terjadinya perubahan pola pikir yang diusung oleh suatu gerakan bernama WASPOLA (Water Supply and Sanitation Policy Formulation and Action Planning), yang merupakan kerja sama antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Australia yang difasilitasi oleh WSP-EAP (Water and Sanitation Program East Asia and the Pacific) dari Bank Dunia.

Program tersebut tidak lepas dari reformasi kebijakan di bidang kelembagaan sistem penyediaan air minum. Selama era sentralisasi, sistem penyediaan air minum di Indonesia sangat bertumpu pada pelayanan berbasis lembaga resmi dengan PDAM sebagai salah satu ujung tombaknya. Padahal, sebagian besar PDAM lebih banyak melayani masyarakat perkotaan. Itu pun, belum semua warga perkotaan terlayani. Di sisi lain, penduduk perdesaan cenderung mengupayakan kebutuhan air minum secara mandiri. Karena itu, pada era desentralisasi, kebijakan pelayanan air minum berbasis masyarakat mulai digiatkan.

Menurut data tahun 1998, persentase pelayanan air minum berbasis lembaga (PDAM) baru mencapai 39%. Bahkan setelah krisis ekonomi, hanya mencapai 17%. Kondisi seperti itu disebabkan tersendatnya pelaksanaan berbagai proyek infrastruktur di bidang air minum. Sedangkan porsi yang berbasis masyarakat, justru jauh lebih besar, yakni sekitar 60% hingga 70%.Penyusunan kebijakan itu didasari hasil penelitian yang dilaksanakan oleh beberapa lembaga, yang menemukan kegagalan dalam pembangunan sarana air minum dan penyehatan lingkungan (AMPL). Selain itu, kebijakan itu juga diilhami prinsip-prinsip Deklarasi Dublin-Rio menyangkut masalah air dan sanitasi, sebagai berikut:

• Pendekatan partisipatif menyertakan pengguna, perencana dan pembuat kebijakanpada semua tingkatan

• Air adalah sumber terbatas dan rentan, penting untuk menyokong kehidupan,pembangunan dan lingkungan

• Perempuan memainkan peranan penting dalam penyediaan, pengelolaan, danperlindungan air

Pengembangan Air Minum di Awal Era Reformasi (1998-2005)

Page 78: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

78

BEBERAPA CATATANSEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA1800 – 2005

• Airmemilikinilaiekonomidalamseluruhpenggunaannya,danharusdianggapsebagaibenda ekonomi

Pada tahun 2002-2003 kebijakan itu mulai diujicobakan di Sumba Timur, Solok, Musi Banyuasin, dan Subang. Kemudian pada tahun 2004, kebijakan itu mulai diterapkan di beberapa provinsi seperti Sumatera Barat, Bangka-Belitung, Banten, NTT, Gorontalo, dan Sulawesi Selatan.

Program air minum untuk kawasan-kawasan rawan air di perkotaan dan perdesaan (Program Se-aB)Era reformasi diawali dengan kondisi krisis moneter yang mengakibatkan terbatasnya kemampuan pemerintah (APBN) dalam pengembangan SPAM. Pada awal periode ini Pemerintah lebih banyak menangani sisa-sisa proyek bantuan luar negeri antara lain Sumater UDP, Sulawesi UDP dan lain-lain. Dana APBN yang terbatas dimanfaatkan untuk menangani kawasan-kawasan yang rawan air, baik di perkotaan (kampung-kampung) maupun di perdesaan (desa/dusun). Program ini berjalan selama tahun 2001 sampai 2004 yang dikenal dengan nama SE–AB (Subsidi Energi untuk Air Bersih), karena Pemerintah melakukan pengurangan subsidi bahan bakar energi dan penghematan ini digunakan untuk menangani sektor-sektor yang banyak menyentuh masyarakat yang kurang mampu, antara lain untuk penyediaan air bersih.

Bentuk lain reformasi pengembangan air minum dan sanitasi yang terjadi pada era itu, yaitu perubahan peraturan perundang-undangan berdasarkan UU No. 7 tahun 2004 tentang sumber daya air. Terlepas dari pro dan kontra terhadapnya, UU ini merupakan landasan peraturan perudangan tentang air minum yang paling lengkap dan menyeluruh sejak Indonesia merdeka.Menurut undang-undang ini, pengembangan sistem penyediaan air minum dan sanitasi merupakan bagian dari perlindungan dan pelestarian sumber daya air. Selanjutnya Pemerintah juga mengeluarkan peraturan pelaksanaan UU tersebut, yakni Peraturan Pemerintah (PP) No. 16 tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum. Peraturan Pemerintah ini antara lain mengatur pengembangan sistem penyediaan air minum mulai dari merencanakan, melaksanakan konstruksi, mengelola fisik dan nonfisiknya. Diatur pula tentang kelembagaan yang boleh tampil sebagai penyelenggaranya mulai dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Koperasi, Badan Usaha Swasta, dan atau kelompok masyarakat yang melakukan penyelenggaraan sistem penyediaan air minum. Lihat Boks 7 tentang terbitnya UU 7.2004 tentang Sumber Daya Air dan PP 16/2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan air Minum.

Pengembangan Air Minum di Awal Era Reformasi (1998-2005)

Page 79: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

79

Pada tahun 2004 terbit Undang Undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Undang undang ini merupakan landasan kebijakan untuk penyediaan sistem penyediaan air minum yang paling komprehensif dan me­nyeluruh setelah Indonesia Merdeka, karena sebelumnya hanya ada UU 11/1974 tentang Pengairan yang mengatur kebijakan nasional mengenai air dan sumber air, tapi sangat terbatas.

Terbitnya UU baru ini tidak terlepas dari ada­nya perubahan paradigma sumber daya air meliputi pembangunan yang bekelanjutan, otonomi daerah, hak asasi manusia, demok­ratisasi dan globalisasi serta terjadinya refor­masi di segala bidang pada tahun 1998, antara lain tuntutan demokratisasi, transparansi dan desentralisasi. Untuk ini maka diadakan per­ubahan/penggantian atas materi UU 11/1974 tersebut menjadi UU 7/2004 tentang Sumber Daya Air.

UU 7/2004 juga cerminan perwujudan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yaitu: (i) pemanfaatan sumber daya air harus di­abadikan kepada kepentingan dan kese­jahteraan rakyat di segala bidang; (ii) sumber daya air harus dilindungi dan djaga kelestariannya. Dalam UU 7/2004 pengertian baru mengenai sumber daya air mencakup air, sumber air dan daya air yang terkandung di dalamnya. Pengelolaan sumber daya air mencakup kegiatan konservasi, penda­

yagunaan dan pengendalian daya rusak air.

Pada tahun 2005 terbit Peraturan Pemerintah No 16 tahun 2005 (PP 16/2005) tentang Pe­ngembangan Sistem Penyediaan Air Minum, yang mengacu pada UU 7/2004, dimana dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 40 UU 7/2004 diperlukan sebuah per­aturan pemerintah. Dalam PP 16/2005, pengembangan SPAM diselenggarakan ber­dasarkan asas kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan dan kese­suaian, keberlanjutan, keadilan, kemandirian serta transparansi dan akuntabilitas. Peng­aturan pengembangan SPAM bertujuan untuk (i) terwujudnya pengelolaan dan pe­layanan air minum yang berkualitas dengan harga yang terjangkau; (ii) tercapainya ke­pentingan yang seimbang antara konsumen dan penyedia jasa pelayanan dasar; dan (iii) tercapainya peningkatan efisiensi dan cakupan pelayanan. PP 16/2005 ini meng­amanatkan penyusunan Peraturan-peratur­an Menteri Pekerjaan Umum antara lain tentang kebijakan dan strategi nasional pe­ngembangan SPAM, penyelenggaraan pe­ngembangan SPAM perpipaan dan bukan perpipaan, badan pendukung pengembang­an SPAM, pedoman pembinaan penye­leng ga raan SPAM, pedoman kerjasama pe ng usahaan pengembangan SPAM, dan pe­do man pemberian izin penyelenggaraan pe ­ngembangan SPAM untuk kebutuhan sendiri.

Undang Undang 7/2004, landaSan keBIjakan TenTang aIr MInUM

Pengembangan Air Minum di Awal Era Reformasi (1998-2005)

Boks 8. Undang Undang No. 7/2004, Landasan Kebijakan Tentang Air Minum

Page 80: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

80

BEBERAPA CATATANSEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA1800 – 2005

Tahun 2005: cakupan di perkotaan 40 persen, di perdesaan 8 persenDidasari semangat reformasi yang menuntut serba keterbukaan, diadakanlah rekapitulasi tentang pencapaian pengembangan sistem penyediaan air minum pada tahun 2005. Ternyata, cakupan pelayanan air minum di perkotaan baru mencapai 40 persen meliputi sekitar 33 juta penduduk, sedangkan di perdesaan baru mencapai 8 persen atau sekitar 10 juta jiwa. Total kapasitas produksi 95.540 liter perdetik, yang semestinya dapat memenuhi kebutuhan 95 juta penduduk. Sayang tingkat kehilangan air rata-rata masih sangat tinggi, mencapai 40 persen sehingga yang telayani baru sekitar 43 juta jiwa.

Sekitar 90 persen PDAM dalam kondisi tidak layak operasi karena tingkat kerugian yang besar, utang yang membengkak karena tertunggak bertahun-tahun. Secara akumulatif utang PDAM telah mencapai Rp 5,2 triliun. Mutu SDM juga masih memprihatinkan. Selain itu, dana investasi tidak tersedia, bahkan dana operasional dan pemeliharaan sangat terbatas.Kondisi yang memprihatinkan itu tentu tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Kementerian Pekerjaan Umum bersama-sama dengan Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (PERPAMSI) tak henti-hentinya berusaha membantu PDAM mengatasi masalah yang dihadapi. Masalah-masalah yang dihadapi beragam, mulai dari kesulitan pembiayaan, tingkat kehilangan air yang tinggi, tarif yang lebih rendah dari biaya produksi, utang yang terus membengkak, mutu SDM yang memprihatinkan, kesulitan air baku, intervensi Pemda, dan sebagainya.

Seminar, lokakarya, pelatihan, program twinning, pendampingan, dan kegiatan sejenis sering diadakan. Kegiatan-kegiatan itu dimaksudkan untuk memberdayakan PDAM itu sendiri agar dapat mengatasi masalah yang dihadapinya.Salah satu dari daftar masalah yang dihadapi PDAM, yakni masalah utang yang terus membengkak, hampir tidak

Keterangan foto

Pengembangan Air Minum di Awal Era Reformasi (1998-2005)

Page 81: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

81

mungkin diselesaikan sendiri oleh PDAM. Melalui asosiasi PDAM yakni PERPAMSI, telah sejak lama dimintakan kepada Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan, agar utang PDAM dihapus karena sangat mengganggu kondisi keuangan PDAM.

Akhirnya Pemerintahcq. Departemen Keuangan melakukan program restrukturisasi utang PDAM. Bunga dan denda dihapus, tetapi utang pokok tetap harus dilunasi dengan dicicil setelah dijadwal ulang. Restrukturisasi utang itu ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 120/PMK.05/2008 tentang restrukturisasi utang PDAM.Restrukturisasi utang tersebut membuat banyak PDAM yang selama ini tidak pernah menghasilkan kinerja keuangan yang menggembirakan karena selalu terbebani utang, merasa sangat tertolong. Bahkan tak sedikit di antaranya mengaku bahwa kinerja keuangannya langsung positif karena utangnya telah masuk kategori utang lancar.

Akumulasi bunga dan denda atas utang yang dihapus itu memang tidak sedikit, mencapai Rp 3,3 triliun, melebihi utang pokoknya.Di sisi lain, pihak PDAM tentu harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu agar restrukturisasi utang itu tidak sia-sia, tetapi benar-benar dimanfaatkan untuk menyehatkan PDAM bersangkutan.

otonomi dan regionalisasiPemberlakuan Otonomi Daerah ternyata ada untung ruginya. Eforia kebebasan di era reformasi mendorong lahirnya banyak pemerintahan kabupatan dan pemerintahan kota yang baru, hasil pemekaran suatu wilayah. Sebuah wilayah kabupaten, mekar menjadi dua atau bahkan menjadi tiga kabupaten atau kota yang baru. Pemekaran wilayah itu sangat berdampak terhadap masalah air minum, karena hampir selalu diikuti pemekaran (baca: pemisahan diri) unit-unit PDAM yang ada di wilayah bersangkutan.

Memang ada sebagian PDAM yang dapat melalui masalah pemekaran itu dengan baik, tetapi sebagian besar justru melahirkan masalah tersendiri yang cukup rumit. Misalnya, sering muncul konflik menyangkut penyerahan aset terkait seperti yang pernah dialami oleh PDAM Kabupaten Serang dengan PDAM sempalannya, yakni PDAM Kota Cilegon. Di banyak PDAM yang pecah sebagai akibat pemekaran wilayah, walaupun tidak terjadi konflik atas pembagian aset, muncul masalah dari segi keekonomiannya, terutama PDAM-PDAM yang jumlah pelanggannya sedikit. Sudah tergolong sebagai PDAM kecil, terbelah pula sehingga menjadi lebih kecil.

Memang ada beberapa PDAM yang tidak mengikuti kecenderungan seperti itu, tapi jumlahnya tidak banyak. Misalnya PDAM Intan Banjar yang melayani dua wilayah pemerintahan, yakni Kabupaten Banjar dan Kota Banjarbaru, dan PDAM Giri Menang yang melayani Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Barat. Hal itu terjadi karena adanya kesamaan persepsi antara manajemen PDAM dengan Kepala Daerah terkait. Patut dicatat bahwa kedua PDAM tersebut adalah sebuah model regionalisasi sistem penyediaan air minum yang cukup berhasil.

Pengembangan Air Minum di Awal Era Reformasi (1998-2005)

Page 82: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

82

BEBERAPA CATATANSEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA1800 – 2005

Ketika Kota Banjarbaru lepas dari Kabupaten Banjar tahun 1999, memang sudah muncul keinginan para pejabat teras Pemda Kota Banjarbaru untuk mendirikan PDAM. Langkah pertama, mereka ingin mengambil alih aset PDAM Kabupaten Banjar yang terdapat di wilayah Kota Banjarbaru yang selama ini juga dilayani PDAM Kabupaten Banjar. Hampir bersamaan dengan itu, Pemerintah Kabupaten Banjar sendiri sedang berusaha membenahi PDAM Kabupaten Banjar yang kala itu dalam kondisi terpuruk karena manajemennya yang buruk. Upaya pembenahan diawali dengan mencari direktur utama yang profesional, memahami seluk-beluk PDAM dan memiliki integritas. Melalui proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) oleh suatu tim independen, terpilihlah seorang calon, yang sebelumnya bekerja sebagai konsultan yang membantu pembenahan manajemen berbagai PDAM, menjadi direktur utama.

Melihat perkembangan yang terjadi di lingkungan Pemda Kota Banjarbaru yang cenderung hendak membentuk PDAM, direktur utama yang baru terpilih itu melakukan pendekatan kepada Walikota Banjarbaru seraya memperkenalkan diri. Dalam dialog tersebut diketahui bahwa memang Pemda Kota Banjarbaru berencana membentuk PDAM. Dalam pertemuan itulah Walikota diberi pemahaman bahwa akan lebih menguntungkan, lebih efisien dan efektif, bila kedua Pemda (Kabupaten Banjar dan Kota Banjarbaru) membesarkan PDAM yang sudah ada secara bersama-sama,

daripada mendirikan sendiri PDAM yang baru. Alasan utama yang disampaikan antara lain bahwa membentuk PDAM memerlukan biaya yang sangat besar, sedangkan dana yang dimiliki Pemda Kota Banjarbaru terbatas. Alasan lainnya yang tak kalah pentingnya adalah bahwa kota tidak tidak memiliki sumber air baku. Atas usulan tersebut, Walikota Banjarbaru dan Bupati Kab. Banjar bersepakat untuk memanfaatkan PDAM yang sudah ada, dengan pertimbangan bahwa dari sejak dulu Kota Banjarbaru sudah dilayani oleh PDAM Kabupaten Banjar. Keputusan tersebut didukung sepenuhnya oleh Gubernur Kalimantan Selatan. Sebagai realisasi dari kesepakatan tersebut kemudian dibuat perjanjian kerja sama antara kedua Pemda tersebut yang diketahui oleh Pemerintah Provinsi, yang didalamnya termasuk kese­pakatan untuk mengubah nama PDAM menjadi PDAM Intan Banjar.

Dengan dukungan dana investasi berupa penyertaan modal dari kedua Pemda, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat yang membiayai pengembangan air baku, PDAM Intan Banjar telah berubah dari kondisi terpuruk menjadi PDAM yang sehat dan berkembang, bahkan kemudian menjadi salah satu pusat pembelajaraan bagi PDAM lainnya. Sambungan rumah yang semula hanya sekitar 15.000 telah berlipat ganda menjadi sekitar 47.000 pada saat direktur utama PDAM menyelesaikan masa baktinya pada periode yang kedua.

kISah SUkSeS regIonalISaSI PdaM

Pengembangan Air Minum di Awal Era Reformasi (1998-2005)

Boks 9. Kisah Sukses Regionalisasi PDAM

Page 83: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

83

Pembelajaran dari Perkembangan Air Minum diIndonesia

PENUTUP

6

Page 84: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

84

BEBERAPA CATATANSEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA1800 – 2005

Banyak bahan pembelajaran yang tersirat maupun tersurat dalam peristiwa-peristiwa tersebut, baik yang positif maupun sebaliknya, yang diyakini akan sangat berguna bagi perkembangan air minum di masa-masa yang akan datang. Beberapa pembelajaran tersebut diantaranya adalah:

• Dalamaspekkebijakan,adaperubahanparadigmayangsecaraberangsur-angsurberubah,yaitu dari kebijakan yang sifatnya sentralistis menjadi terdesentralisir. Penyediaan sarana air minum pada dasarnya adalah tanggung jawab pemerintah daerah. Meskipun kebijakan dasar ini sudah ada sejak awal tahun 1950-an, tapi dalam perkembangannya peran pemerintah pusat dalam pembangunan fisik sarana air minum masih sangat dominan sejak awal kemerdekaan, dan terutama pada era orde baru dan awal era orde reformasi. Peran pemerintah pusat yang begitu besar merupakan perwujudan dari rasa tanggungjawab pemerintah, mengingat masih rendahnya kemampuan pemerintah

Sejarah pengembangan air minum di Indonesia mencatat berbagai peristiwa yang berkaitan dengan aspek kebijakan dan pemrograman, perkembangan fisik, pengembangan teknis teknologis, aspek-aspek finansial dan kelembagaan serta manajemen.

Penutup

Page 85: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

85

daerah, baik dari segi kemapuan fiskal maupun sumber daya manusianya. Dengan terbitnya undang-undang tentang desentralisasi dan otonomi daerah, yang diubah dan disempurnakan berkali-kali, peran pemerintah pusat secara berangsung-angsur mulai berkurang, dan terbatas pada peran pembinaan.

• Dalam aspek pemrograman, pengalaman dengan pendekatan keterpaduan (programpembangunan prasarana kota terpadu – P3KT) menunjukkan beberapa keberhasilan, terutama dalam meningkatkan aspek keterpaduan dari tingkat pusat sampai daerah, termasuk keterpaduan dalam mobilisasi pendanaan. Dalam perjalanannya, pendekatan keterpaduan ditinggalkan pemerintah karena dalam beberapa hal mengurangi bahkan menghilangkan peran lembaga/instansi teknis yang bertanggung jawab dalam sektor-sektor, termasuk sektor air minum. Di sisi lain, dengan segala dampaknya, pendekatan keterpaduan memiliki beberapa hal positif dalam meningkatkan kualitas pemrograman, terutama di tingkat daerah.

• Dalamaspekperkembanganfisik,telahbanyakupayayangdilakukanpemerintahdalammenyediakan sarana yang merupakan kebutuhan dasar manusia terssebut. Hal ini secara mudah tercermin dari kapasitas produksi air minum yang meningkat dari dasawarsa ke dasawarsa. Memang dalam perkembangannya, untuk mengejar target-target yang telah ditetapkan sebelumnya, pemerintah telah melakukan pembangunan fisik secara massal dan merata di seluruh tanah air, misalnya dengan pembangunan IPA Paket dan sistem IKK. Disadari bahwa target fisik yang demikian besar akan membawa konsekuensi penurunan kualitas hasil pembangunan, maupun tidak terjaminnya keberlangsungan sistem yang dibangun.

• Dalam pengembangan teknis teknologis, kita patut berbangga dengan keberhasilanpara produsen IPA Paket, yang telah dapat membuat produk-produk IPA yang sebagian besar bahannya dibuat di dalam negeri. Demikian pula inovasi teknologi pengolahan yang ditunjukan oleh IPA Kedasih, yang telah membuktikan kehandalan karya anak bangsa. Yang perlu diperhatikan adalah pengembangan dalam aspek teknis teknologis, sejalan dengan semakin beragamnya jenis dan meningkatnya derajat pencemaran pada sumber-sumber air. Di sisi lain, ada beberapa kebijakan dalam aspek teknis teknologis yang ternyata kurang tepat, misalnya penggunaan menara air penyeimbang (balanced reservoir) yang pada pelaksanaannya banyak yang tidak beroperasi, karena sistem ini hanya bisa diterapkan pada jaringan distribusi yang terbatas dengan pengaturan pemakaian air yang terkontrol. Demikian pula penggunaan alat pembatas aliran (flow restrictor) pada sistem IKK, yang pada akhirnya dirasakan tidak efektif.

• Untukaspekfinansial,khususnyayangberkaitandenganPDAM,masihbanyakPDAMyang terjebak dalam hutangyang harus dibayar beserta bunga, tunggakan dan denda yang jumlahnya berlipat-lipat dibandingkan dengan hutang pokoknya. Upaya pemutihan tunggakan dan denda yang dilakukan Departemen Keuangan dalam program penyehatan PDAM sudah sedikit memperbaiki kondisi keuangan sebagian PDAM, meskipun masih lebih banyak lagi PDAM yang kondisi keuangannya masih “sakit”.

• Dalam upaya mobilisasi sumber dana untuk investasi, sejak awal kemerdekaan danterutama pada era orde baru, pemerintah sudah banyak mendapatkan dana hibah

Penutup

Page 86: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

86

BEBERAPA CATATANSEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA1800 – 2005

maupun pinjaman lunak dari negara-negara maju dan lembaga internasional, tapi karena berbagai sebab, dampak positif dari mobilisasi suumber dana investasi tersebut masih belum terasa. Investasi yang ditanamkan belum memperbaiki kualitas pelayanan kepada masyarakat secara signifikan.Kerjasama dengan sektor swasta, yang mulai berkembang pada akhir era orde baru, juga belum banyak pengaruhnya terhadap peningkatan pelayanan air minum, terutama karena ketidaksiapan pemerintah daerah dan PDAM dalam menjalin kerjasama dengan fihak swasta. Selain itu, ada diantara kerjasama dengan swasta yang persiapannya dilakukan tanpa proses yang kompetitif dan transparan.

• Dalamaspekkelembagaandanmanajemen,peranpemerintahdaerahsangatbesar,tidakhanya dalam rangka peningkatan kemampuan lembaga pengelola air minum (PDAM), tapi juga dalam kemampuannya menilai dan mengkaji kemungkinan untuk bekerja sama dengan pemerintah daerah sekitarnya. Pengalaman kerjasama antara daerah, misalnya di Banjar (KalimantanSelatan) dan Mataram (Lombok Barat), perlu difahami dan diterapkan di sebanyak mungkin daerah lainnya, karena pengelolaan air minum yang sifatnya regional akan jauh lebih ekonomis.

Penutup

Keterangan foto

Page 87: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

87

nulla Facilisi Pellentesque Phasellus mi est, rutrum sagittis, blandit et, molestie sit amet, diam. Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Nullam varius dui sit amet mi. Nulla a risus a nunc pulvinar nonummy. Praesent cursus dignissim orci. Nullam eleifend mattis magna. Mauris mollis ipsum et nulla. Nam dignissim auctor enim. Praesent vel ante sit amet nisi eleifend tempor. Etiam mollis metus vitae tellus. Aliquam erat volutpat donec quis nunc.

Magnis Cursus nullam Sed eros eros, ultricies nec, rutrum ut, pharetra a, purus. Vivamus tincidunt aliquam nibh. Etiam faucibus imperdiet est. Phasellus eget massa eu pede lobortis pulvinar. Nunc tempus orci id nulla. Phasellus id justo. Cum sociis natoque penatibus et magnis dis parturient montes, nascetur ridiculus mus.

ProFIl TIM PenyUSUn

Page 88: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

88

Purus varius SapienNam condimentum augue eget erat. Aenean dignissim augue vitae magna. Fusce dictum. Quisque gravida, arcu vitae luctus feugiat, urna massa sollicitudin ligula, ac vehicula nisl urna et lorem. Sed rhoncus. Duis metus elit, iaculis et, tristique vitae, commodo vitae, mi. Fusce sem. Praesent consequat, erat ut scelerisque lobortis, est purus varius sapien, ut rutrum diam dui id enim. Quisque vel ligula a odio ullamcorper fringilla.

Purus varius SapienNam condimentum augue eget erat. Aenean dignissim augue vitae magna. Fusce dictum. Quisque gravida, arcu vitae luctus feugiat, urna massa sollicitudin ligula, ac vehicula nisl urna et lorem. Sed rhoncus. Duis metus elit, iaculis et, tristique vitae, commodo vitae, mi. Fusce sem. Praesent consequat, erat ut scelerisque lobortis, est purus varius sapien, ut rutrum diam dui id enim. Quisque vel ligula a odio ullamcorper fringilla.

Page 89: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

89

Page 90: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia

90

BEBERAPA CATATANSEJARAH AIR MINUM DI INDONESIA1800 – 2005

Badan Pendukung PengemBangan SiStem Penyediaan air minumBPPSPam

Jl. Wijaya I No. 68, Kebayoran Baru, Jakarta 12170Telp/Fax. 021-72789126

www.bppspam.com