Bulletin HIFI - Optimalisasi Teknologi Tanggap Bencana - 1/Feb/14

4
Departemen Keilmuan Himpunan Mahasiswa Fisika FMIPA UNPAD 2014 Optimalisasi Teknologi Tanggap Bencana Buletin Ilmiah, Edisi I Februari 2014 Indonesia adalah supermarket bencana, itulah yang diamini oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG). Selain dikepung tiga lempeng tektonik dunia, Indonesia juga merupakan jalur Cincin Api Pasifik (The Pacific Ring of Fire) yang merupakan jalur rangkaian gunung api aktif di dunia. Cincin Api Pasifik membentang di antara subduksi maupun pemisahan lempeng Pasifik dengan lempeng Indo- Australia, lempeng Eurasia, lempeng Amerika Utara, dan lempeng Nazca yang bertabrakan dengan lempeng Amerika Selatan. Indonesia juga memiliki gunung berapi dengan jumlah kurang lebih 240 buah dan hampir 70 di antaranya masih aktif. Memahami hal ini sekiranya menjadi early warning bagi Indonesia untuk tanggap dan siap menghadapi bencana yang tidak diduga kapan datangnya. Meskipun sebenarnya bencana tidak harus menjadi malapetaka (disaster) selama kapasitas teknis maupun manusia di dalamnya cukup untuk mengantisipasinya. Curah hujan yang tinggi tidak akan menjadi malapetaka bila sistem drainase bagus. Longsor dan Gunung Meletus dapat dihindari dengan mengevakuasi atau memindahkan permukiman secara permanen ke daerah aman. Gempa bisa dihadapi dengan bangunan tahan gempa. Tsunami bisa diantisipasi dengan sistem peringatan dini dan pelatihan (tsunami drill) yang teratur. Hanya saja, meski telah memiliki UU no 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, dan telah dibentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), tapi kapasitas bangsa ini dalam menanggulangi bencana nyaris belum banyak berubah. Akibatnya upaya-upaya mengatasi bencana ini dikeluhkan banyak pihak masih jauh dari optimal. Upaya penanggulangan bencana itu dapat dibagi tiga: pencegahan - tanggap darurat pemulihan. Pada umumnya orang fokus kepada tanggap darurat saja, karena inilah yang paling hangat dan selalu diliput pers. Kadang kejadiannya terasa heroik, karena soal menyelamatkan jiwa, atau menolong para pengungsi yang terlantar beberapa hari dengan kekurangan makanan, selimut atau popok bayi. Pemulihan juga kadang masih menarik perhatian, tetapi sering lebih fokus pada upaya pencegahan korupsi selama upaya rekonstruksi dan rehabilitasi itu. Tetapi pencegahan yang bisa meliputi upaya struktural (pembangunan fisik) dan non struktural (pembangunan budaya siap bencana) nyaris selalu luput dari perhatian sehingga jarang diikuti atau ditanggapi serius dari pihak manapun.

description

Buletin Bulanan Departemen Keilmuan Badan Pengurus Himpunan Mahasiswa Fisika FMIPA UNPAD

Transcript of Bulletin HIFI - Optimalisasi Teknologi Tanggap Bencana - 1/Feb/14

Page 1: Bulletin HIFI - Optimalisasi Teknologi Tanggap Bencana - 1/Feb/14

Departemen KeilmuanHimpunan Mahasiswa Fisika

FMIPA UNPAD2014

OptimalisasiTeknologi Tanggap Bencana

Buletin Ilmiah, Edisi I Februari 2014

Indonesia adalah supermarket bencana, itulah yang diamini oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG). Selain dikepung tiga lempeng tektonik dunia, Indonesia juga merupakan jalur Cincin Api Pasifik (The Pacific Ring of Fire) yang merupakan jalur rangkaian gunung api aktif di dunia. Cincin Api Pasifik membentang di antara subduksi maupun pemisahan lempeng Pasifik dengan lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, lempeng Amerika Utara, dan lempeng Nazca yang bertabrakan dengan lempeng Amerika Selatan. Indonesia juga memiliki gunung berapi dengan jumlah kurang lebih 240 buah dan hampir 70 di antaranya masih aktif. Memahami hal ini sekiranya menjadi early warning bagi Indonesia untuk tanggap dan siap menghadapi bencana yang tidak diduga kapan datangnya.

Meskipun sebenarnya bencana tidak harus menjadi malapetaka (disaster) selama kapasitas teknis maupun manusia di dalamnya cukup untuk mengantisipasinya.  Curah hujan yang tinggi tidak akan menjadi malapetaka bila sistem drainase bagus.  Longsor dan Gunung Meletus dapat dihindari dengan mengevakuasi atau memindahkan permukiman secara permanen ke daerah aman.  Gempa bisa dihadapi dengan bangunan tahan gempa.  Tsunami bisa diantisipasi dengan sistem peringatan dini dan pelatihan (tsunami drill) yang teratur. Hanya saja, meski telah memiliki UU no 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, dan telah dibentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), tapi kapasitas bangsa ini dalam menanggulangi bencana nyaris belum banyak berubah.  Akibatnya upaya-upaya mengatasi bencana ini dikeluhkan banyak pihak masih jauh dari optimal.

Upaya penanggulangan bencana itu dapat dibagi tiga: pencegahan - tanggap darurat – pemulihan.  Pada umumnya orang fokus kepada tanggap darurat saja, karena inilah yang paling hangat dan selalu diliput pers.  Kadang kejadiannya terasa heroik, karena soal menyelamatkan jiwa, atau menolong para pengungsi yang terlantar beberapa hari dengan kekurangan makanan, selimut atau popok bayi. Pemulihan juga kadang masih menarik perhatian, tetapi sering lebih

fokus pada upaya pencegahan korupsi selama upaya rekonstruksi dan rehabilitasi itu.  Tetapi pencegahan yang bisa meliputi upaya struktural (pembangunan fisik) dan non struktural (pembangunan budaya siap bencana) nyaris selalu luput dari perhatian sehingga jarang diikuti atau ditanggapi serius dari pihak manapun.

Sebenarnya banyak sekali ide dan teknologi yang dirancang para pakar dalam upaya mengatasi bencana. Misalnya banjir, ada beberapa teknologi untuk mengatasinya, diantaranya: (1) membuat setu (danau penampungan), (2) kanalisasi, termasuk normalisasi sungai (pelurusan aliran sungai, supaya air lebih cepat ke laut) dan sodetan (menghubungkan dua sungai atau lebih dengan kanal buatan, untuk mendistribusikan debit berlebih di satu sungai ke sungai yang lain), (3) pompanisasi, ini termasuk upaya pembuangan modern, perlu energi ekstra.  Negeri Belanda saat ini termasuk negara yang unggul dalam hal “mengeringkan laut” dengan pompanisasi dan tanggul.  Sebagian besar Amsterdam sekarang ini lebih rendah tujuh meter dari permukaan laut, tetapi berkat sistem pompa yang cukup, sudah 40 tahun lebih tidak ada banjir, (4) tanggul, ini untuk membendung agar air sungai tidak meluap ke sekitarnya.

Teknologi ini adalah inti sistem keras (hardware), yakni peningkatan daya resap baik dengan pohon maupun sumur resapan, situ, kanalisasi, pompanisasi maupun tanggul sudah dicoba semua. Bahkan, meski

Page 2: Bulletin HIFI - Optimalisasi Teknologi Tanggap Bencana - 1/Feb/14

Departemen KeilmuanHimpunan Mahasiswa Fisika

FMIPA UNPAD2014

teknologi tadi sudah dioptimasi dengan simulator dan dipasang dengan komposisi ideal, tetap saja banjir bisa menjadi bencana, bila sistem lunaknya tumpul.  Apa itu sistem lunak?  Sebenarnya cukup banyak, misalnya: (1) sistem pengelolaan sampah, (2) sistem tata ruang. Tata ruang yang berbasis bencana akan menyiapkan diri dengan tempat dan rute evakuasi bila banjir atau kebakaran atau bencana lainnya terjadi. (3) sistem distribusi ekonomi.  (4) sistem edukasi bencana, (5) sistem manajemen pemerintahan yang tanggap bencana.

Begitu pun pada tahun 2002, ketika banjir besar melanda Jakarta, banyak yang menawarkan pemetaan banjir, Dewan Geomatika Indonesia pernah mencoba membuat kajian pemetaan banjir.  Hasilnya saat ini masih cukup sulit menghasilkan peta banjir yang akurat.  Penyebabnya tiga macam: (1) Kita tidak punya peta 3-Dimensi yang cukup rinci dengan toleransi kesalahan vertikal maksimum 25 centimeter, dan resolusi spasial 1 meter; ini artinya mencakup selokan, gorong-gorong, tanggul pembatas jalan dan sebagainya. (2) Data seperti di atas, yaitu mencakup sepanjang daerah aliran sungai, akan sangat besar, sehingga modelling secara spatial-system-dynamic memerlukan processor paralel – ditaksir minimal sekitar 100 Pentium-IV @ 1 GHz.  Dengan prosesor seperti ini diharapkan model yang dihasilkan dapat berpacu dengan peristiwa di alam, sehingga bisa untuk early warning.  Pada umumnya sih orang mengambil jalan moderat dengan membuat “pre-run-model”.  Jadi model-model disimulasi lebih dahulu, yang kemudian tinggal dipanggil saat di lapangan menunjukkan indikator tertentu. (3) Untuk bisa melakukan modelling parallel itu, diperlukan beberapa SDM pakar, antara lain: ahli informasi spasial (pemetaan), ahli pemodelan system-dynamic & programmer yang menguasai pemrograman dalam lingkungan paralel, dan yang terakhir ini cukup sulit didapatkan di Indonesia.

Padahal pemodelan banjir dapat kita buat sekedar “main-main”, misalnya: (1) Ambil citra satelit Quickbird atau Radar (ALOS-Palsar) sebelum banjir dan setelah banjir, lalu tinggal digambar/delineasi kawasan yang terendam.  Tapi gambar ini tidak memperlihatkan dinamika air, padahal genangan itu kan bergerak.  Apa yang saat citra diambil tidak tergenang, boleh jadi beberapa jam kemudian tergenang, sedang yang semula tergenang cuma 20 centimeter, bisa jadi berubah menjadi 2 meter. (2)

Tentukan beberapa ratus titik di lapangan (paling gampang pilih tiang listrik), lalu ukur tingginya dengan GPS, pasang sticker berskala di tiang listrik itu yang menunjukkan angka elevasi absolut di atas permukaan laut, kemudian saat banjir bikin survei kecil-kecilan (boleh melibatkan masyarakat setempat) untuk memantau skala tertinggi yang disentuh air banjir.  Mereka tinggal kirim sms dalam format tertentu, sehingga peta dapat diupdate dari menit ke menit.  Ini mudah dan murah.  Namun tentu hanya bisa menggambarkan banjir yang telah terjadi, belum yang masih mungkin terjadi di masa depan.

Memang kuncinya di spatial-system-dynamic, di mana komponen seperti curah hujan maksimum, landcover, pendangkalan sungai, kondisi selokan, gorong-gorong, pintu air, pompa serta situasi pasang surut dapat dimodelkan semua.

Disamping hal teknis yang diperlukan dalam upaya pencegahan dan tanggap darurat bencana –dalam hal ini bencana yang timbul dari aktivitas manusia, seperti banjir-- ada hal lain yang juga perlu diperhatikan, yaitu masalah non teknis. Dalam artikel Lynn  White Jr, “The  Historical Root of Our Ecological Crisis” yang diterbitkan majalah Science pada tahun 1967 membuka mata dunia tentang bahaya krisis ekologi global. Lynn mengungkapkan bahwa krisis ekologi tidak lain berawal dari kebudayaan yang bersifat liberal-individualis. Hal ini bisa kita saksikan dalam penerapan Kapitalisme dalam kehidupan kini yang menjadikan setiap manusia bebas mengeruk dan mengeksploitasi sumber daya alam secara “serakah”, membabat hutan-hutan, tata ruang kota tidak terurus dengan baik, perizinan yang mudah bagi industri skala besar yang menyumbangkan limbah berbahaya bagi lingkungan, dan sebagainya turut andil dalam meningkatkan potensi bencana.

Adakalanya bencana datang kapan saja, tetapi ada ruang bagi manusia untuk memperkecil bahaya dari bencana yang mungkin timbul dengan melakukan upaya pencegahan dan tanggap bencana untuk meminimalisir kerugian harta benda bahkan nyawa.

Sumber:

www.fahmiamhar.com

Page 3: Bulletin HIFI - Optimalisasi Teknologi Tanggap Bencana - 1/Feb/14

Departemen KeilmuanHimpunan Mahasiswa Fisika

FMIPA UNPAD2014

www.ristek.go.id