Buletin TATA RUANG. Edisi September-Oktober 2009. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air

48
Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air buletin September-Oktober2009 Menakar Nilai Ekonomi Kawasan Pesisir Permukiman Bantaran Sungai: Pendekatan Penataan Kawasan Tepi Air Pengelolaan Pesisir Berbasis Masyarakat Dalam Kerangka Penataan Ruang Visi Pembangunan WATERFRONT CITY Suatu Tinjauan Budaya Penanganan Kawasan Bencana Gunung Merapi Lintas Sektor dan Lintas Wilayah Faktor Kebencanaan dalam Penataan Ruang Marine Spatial Planning dan Peran Sekolah Perencanaan BKPRN BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG NASIONAL Dr. Ir. SON DIAMAR, M.Sc “Jadi Indonesia itu bisa menjadi Negara Maritim Terkemuka Di Dunia, disamping Negara Agraris Tropical Terkemuka Di Dunia. Negara Kepulauan Maritim itu lautnya memang bisa jadi terkemuka karena memang agak spesifik “.

description

diterbitkan oleh Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) melalui Ditjen Penataan Ruang Kemen PU

Transcript of Buletin TATA RUANG. Edisi September-Oktober 2009. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air

Page 1: Buletin TATA RUANG. Edisi September-Oktober 2009. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air

* buletin tata ruang 1

Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air

buletin

Septem

ber-Ok

tobe

r200

9

Menakar Nilai Ekonomi Kawasan Pesisir

Permukiman Bantaran Sungai:Pendekatan Penataan Kawasan Tepi Air

Pengelolaan Pesisir Berbasis MasyarakatDalam Kerangka Penataan Ruang

Visi Pembangunan WATERFRONT CITY Suatu Tinjauan Budaya

Penanganan Kawasan Bencana Gunung Merapi Lintas Sektor dan Lintas Wilayah

Faktor Kebencanaan dalam Penataan Ruang

Marine Spatial Planning dan Peran Sekolah Perencanaan

BKPRNBADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG NASIONAL

Dr. Ir. SON DIAMAR, M.Sc“Jadi Indonesia itu bisa menjadi Negara Maritim Terkemuka Di Dunia, disamping Negara Agraris Tropical Terkemuka Di Dunia. Negara Kepulauan Maritim itu lautnya memang bisa jadi terkemuka karena memang agak spesifik “.

Page 2: Buletin TATA RUANG. Edisi September-Oktober 2009. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air

2 buletin tata ruang *

dari redaksi. sekapur sirih.

Puji syukur kami panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan karunia dan ridho-Nya, kita masih diberi kesempatan menjumpai Bapak/Ibu para pembaca yang budiman. Juga ungkapan rasa terima kasih kepada para pembaca yang senantiasa dengan sabar dan setia menanti penerbitan buletin dua-bulanan ini.

Pada edisi kelima tahun 2009 ini, Buletin Tata Ruang memilih tema : ‘Pengembangan Kawasan Pesisir dan Tepi Air’. Kita ketahui bersama bah-wa kawasan pesisir adalah kawasan yang menjadi batas antara wilayah laut dengan daratan. Kawasan ini dipengaruhi oleh sifat-sifat kawasan laut dan kawasan daratan. Kawasan ini memiliki ciri unik, yaitu menjadi lokasi kegiatan berbagai sektor kegiatan, baik yang bersifat budidaya maupun non budidaya (lindung). Oleh karena itu dapat dipahami apabila kompleksitas permasalahan yang muncul di kawasan pesisir (juga tepian air) ini menjadi sangat tinggi, sehingga diperlukan adanya pengendalian pengelolaan dan pemanfaatan secara sungguh-sungguh. Sebagai salah satu contoh, tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa di kawasan pesisir ini menjadi lokasi berakumulasinya berbagai jenis polutan. Kata kuncinya sebenarnya adalah pada upaya keterpaduan (bukan sektoral) dalam pengelolaan dan adanya payung hukum yang dapat dipedomani bersama ketika kita membangun kawasan pesisir dan kawasan tepi air.

Sebenarnyalah dengan pengelolaan kawasan pesisir dan tepi air secara terpadu, harapan akan terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir akan lebih baik. Demikian pula kelestarian kawasan dari berbagai ancaman kerusakan dapat secara maksimal diwujudkan, misalnya me-lalui pengelolaan yang baik terhadap polusi, pengendalian abrasi pan-tai, dan lain sebagainya. Mengembalikan kondisi kawasan pesisir yang lebih baik melalui pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu, adalah mengembalikan potensi alami yang mampu membangkitkan nilai-nilai keenomian yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir dan atau tepi air.

Dalam konteks pemikiran tersebut, tidak berlebihan apabila tata ruang dapat pula mengambil peran strategis di dalam pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu.Arahan pemanfaatan ruang pesisir atau tepian air yang baik, hanya dapat diperoleh dari rencana tata ruang yang baik pula. Identifikasi zona-zona lindung atau zona yang harus dilindungi untuk kepentingan kelestarian biota/plasma nutfah dan kelestarian keutuhan kawasan pantai dari ancaman abrasi, juga zona-zona yang boleh dibudi-dayakan, adalah satu satu produk Penataan Ruang yang dapat menjadi pedoman bersama di dalam mewujudkan pengembangan kawasan pe-sisir yang berciri keterpaduan, bukan sektoral.

Semoga bermanfaat.

Direktur Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum

Selaku Sekretaris Tim Pelaksana BKPRN

Imam S. Ernawi

Memasuki edisi kelima penerbitan Buletin Tata Ruang, semakin tebal keyakinan dan semangat Dewan Redaksi untuk kian memasyarakatkan penataan ruang melalui media penerbitan ini kepada sebagian anggota masyarakat. Berbagai aspek dalam penataan ruang telah kami sajikan dalam edisi-edisi penerbitan yang lalu, berbagai tema telah pula kami coba ulas tuntas. Kali ini yang ingin kami kedepankan adalah tema berkaitan dengan pengelolaan kawasan pesisir dan tepi air, tema selengkapnya adalah : “Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air”.

Latar belakang pemilihan tema adalah kesadaran yang telah mulai berkembang sejak hampir dua dasa warsa terakhir, bahwa wilayah pesisir di Indonesia memiliki potensi pengembangan yang sangat menjanjikan karena potensi sumberdaya alam dan keunikan wilayah yang dimiliki. Garis pantai sepanjang kurang lebih 81.000 kilometer yang dimiliki Indonesia (terpanjang kedua di dunia), tentunya menjadi potensi pembangunan ekonomi yang selayaknya dimanfaatkan dengan ekosistem wilayah pesisir mencakup : pantai, muara sungai (estuari), padang lamun, terumbu karang, hutan mangrove, hutan rawa pantai, dan perairan dekat pantai (inshore).

Berbagai kepentingan yang muncul di wilayah pesisir, menyebabkan beban lingkungan yang diemban wilayah pesisir juga cukup berat, akibat pemanfaatan wilayah pesisir yang tidak disertai kesadaran akan daya tampung dan daya dukung wilayah yang bersangkutan.

Pembaca yang budiman,

Berkaitan dengan tema dan konteks pemikiran tersebut, rapat Dewan Redaksi yang kami selenggarakan menjelang penyiapan bahan-bahan untuk edisi kelima ini, kami berusaha sekuat daya yang ada, untuk dapat menyepakati dan menyajikan tulisan-tulisan sebagai buah pemikiran yang masih segar yang kami formulasikan sedemikian rupa guna mendukung tema yang diusung.

Untuk profil tokoh, kami menampilkan figur tokoh yang memiliki komitmen upaya pengembangan kemaritiman, Bapak Dr. Ir. Son Diamar, Msc. Demikian pula dengan profil wilayah, kami sengaja mengedepankan wajah Kota Palembang yang kami nilai memiliki ciri unik memadukan pemanfaatan ruang kota dengan upaya pengembangan kawasan tepian sungai.

Untuk itulah, pada kesempatan yang baik ini, Dewan Redaksi Buletin Tata Ruang mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Dr. Ir. Son Diamar, Msc. Juga ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Pemerintah Kota Palembang.

Pada akhirnya, kami berharap tulisan-tulisan yang kami sajikan dapat memperluas horison pemikiran kita semua.

Terimakasih dan selamat membaca.

Redaksi

Page 3: Buletin TATA RUANG. Edisi September-Oktober 2009. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air

* buletin tata ruang 1

topik utama.

Menakar Nilai Ekonomi Kawasan PesisirOleh : Prof.Dr.Ir.Akhmad Fauzi. M.Sc

Guru Besar Ekonomi Sumber Daya Alam & LingkunnganFakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB

Permukiman Bantaran Sungai:

Pendekatan Penataan Kawasan Tepi AirOleh : Deva Kurniawan Rahmadi

Staf Perencanaan Teknis dan Pengaturan Direktorat Pengembangan PermukimanDitjen. Cipta Karyas

Pengelolaan Pesisir Berbasis MasyarakatDalam Kerangka Penataan Ruang

Oleh : Hendra Yusran Siryahli kelautan pada Badan Riset Kelautan dan Perikanan

Departemen Kelautan dan Perikananik

Visi Pembangunan WATERFRONT CITY Suatu Tinjauan Budaya

Oleh : Ir. Martono YuwonoKetua Yayasan Pusaka Palapa Nusantara Raya dan

Vice President Yayasan Pelestari Budaya Bangsa (Indonesian Heritage Trust)

topik lain.

Penanganan Kawasan Bencana Gunung MerapiLintas Sektor dan Lintas Wilayah

Oleh : Eddy SiswantoKepala Bappeda Provinsi DI Yogyakartali)

wacana.

Sinkronosasi Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang dengan

Undang-Undang No.27 Tahun 2007 TentangPengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau -Pulau Kecil

Oleh: Sigit PD.RahardjoKasubdit Pemanfaatan dan Pengendalian Tata Ruang Pulau-pulau Kecil

pada Ditjen KP3K – Dep.Kelautan dan Perikanan

pengembangan profesi.

Faktor Kebencanaan dalam Penataan Ruangoleh: Hendricus Andy Simarmata

Bidang Pengembangan Profesi, PN-IAP

Marine Spatial Planning dan Peran Sekolah Perencanaanoleh: Haryo Winarso

Ketua Kelompok Keahlian Perencanaan dan Perancangan Kota,Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan,

Institut Teknologi Bandung dan Ketua Asosisiasi Sekolah Perencanaan Indonesia (ASPI).

mozaik.

agenda kerja BKPRN.September - Oktober 2009

Pelindung: Ir. Imam S. Ernawi, MCM, M.Sc., DR. Ir. Bambang Susantono, MCP, MSCE., Ir. Max Pohan., Ir. Hermian Roosita., Drs. Syamsul Arif Rivai, M.Si, MM. l Penanggung Jawab: Ir. Iman Soedradjat, MPM., Ir. Deddy Koespramoedyo, M.Sc., Ir. Heru Waluyo, M.Com., Drs. Sofjan Bakar, M.Sc., DR. Ir. Abdul Kamarzuki, MPM. l Penasehat Redaksi: DR. Ir. Ruchyat Deni Dj, M.Eng., Ir. Iwan Taruna Isa, MURP., Ir. M. Eko Rudianto, M.Bus (IT), Ir. Harry Djauhari, CES. l Pemimpin Redaksi: Ir. Maman Djumantri, M. Si., l Wakil Pemimpin Redaksi: Ir. Soerono, MT l Redaktur Pelaksana: Agus Sutanto, ST, M.Sc l Sekretaris Redaksi: Rahma Julianti, ST, M.Sc l Staf Redaksi: Ir. Nana Apriatna, MT., Ir. Gunawan, MA., Ir. Laksmi Wijayanti, MCP., Hetty Debbie R., ST., Tessie Krisnaningtyas, SP., Dian Zuchraeni, ST, Ayu A. Asih, S.Si.l Koordinasi Produksi: Aron Nugraha, SH l Staf Produksi: Endang Artati, S.Sos l Koordi-nasi Sirkulasi: Supriyono, S.Sos l Staf Sirku-lasi: Dhyan Purwati, S.Kom., Alwirdan, BE l Penerbit: Sekretariat Tim Pelaksana BKPRN l Alamat Redaksi: Gedung G II, Jalan Patti-mura No. 20 Kebayoran Baru, Jakarta 12110 l Telp. (021) 7226577 l Fax: (021) 7226577 l website BKPRN: http://www.bktrn.org lEmail: [email protected] dan [email protected]

daftar isi.02profil tokoh.Dr. Ir. SON DIAMAR, M.ScPerjalanan Panjang Mewujudkan Negara Maritim Sejati

profil wilayah.Menata Kawasan Tepian Musi Sebagai Wajah Kota Palembang

09 15

19

22

27

31

36

38

41

4643

Marina Ancol Saat Senja, Jakarta.(Koleksi: Endang I.W)

Page 4: Buletin TATA RUANG. Edisi September-Oktober 2009. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air

2 buletin tata ruang *

prof il tokoh.

Dr. Ir. SON DIAMAR, M.Sc

Son Diamar, lahir di Jakarta 1953. Saat ini menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Negara PPN/Bappenas Bidang Tata Ruang dan Kemaritiman. Di sela-sela tugas formalnya Beliau masih meluangkan waktu untuk mengajar di beberapa Perguruan Tinggi dan Diklat pada instansinya. Aktivitas mengajarnya merupakan perwujudan dari dedikasinya untuk pembentukkan SDM anak negeri yang tangguh terutama dalam rangka memenuhi kebutuhan SDM demi tegaknya Negara Maritim Sejati.

Pendidikan S1 diselesaikannya di ITB pada tahun 1979, kemudian gelar master diraihnya pada tahun 1986 dari Carnegie–Melon University, USA, pada jurusan Public Policy and Management. Gelar Ph.D dari Public Policy, Graduate School of Public and International Affairs, University of Pittsburgh, USA, 1991.

Mengawali karir di Dep. PU, kemudian pindah ke Departemen dalam Negeri. Pokok perhatiannya yang pertama adalah masalah Perencanaan Kota. Setelah di Depdagri perhatiannya mulai serius untuk urusan Otonomi Daerah. Pengabdiannya kemudian di lanjutkan dengan melibatkan diri secara total pada Departemen Kelautan dan Perikanan, yang pada akhirnya memberinya kepercayaan untuk menjadi Sekretaris Umum Dewan Maritim Indonesia sejak tahun 1999-2002. Pada tahap inilah gagasan-gagasannya untuk membangun Negara Kelautan Yang Jaya mendapatkan kesempatan untuk diaktualisasikan atau diwujudkan.

Dalam rangka memperkaya topik Butaru pada edisi 5, yaitu pengembangan wilayah pesisir dan tepi air yang merupakan representasi dari wajah Indonesia sebagai Negara Maritim, maka Redaksi Butaru telah berbincang-bincang dengan Bapak Son Di (begitulah panggilan akrab dari kerabatnya) pada pagi hari bersama awal terbitnya Mentari. Menuliskan kembali dan kemudian meng edit hasil perbincangan dengan Bapak Son Di bukanlah persoalan mudah karena seluruh gagasan yang Beliau sampaikan adalah sebuah pemikiran komprehensif untuk membangun Negara Maritim sejati yang layak untuk disimak oleh kita semua. Pembaca Butaru yang budiman, semoga gagasan seorang Tokoh besar bidang kemaritiman seperti bapak Son Di yang kami sarikan pada halaman yang terbatas ini dapat dipahami secara utuh.

Butaru : Sekarang ini yang kami ketahui Bapak adalah seorang Tokoh yang berkecimpung di bidang Maritim dan Kelautan, padahal background pendidikan bapak adalah planologi. Bisa diceritakan kepada kami bagaimana awalnya hingga sekarang ini Bapak bisa eksis di bidang Kelautan dan Maritim ?.

Son Di : Memang, pertama saya sekolah di Planologi ITB tapi karir kerja pertama saya justru di Departemen Pekerjaan Umum di Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah dari Zaman Bapak Salmon Khadiat dulu. Di Departemen Pekerjaan Umum saya memulai dengan kerja praktek tapi kelamaan kerja prakteknya hingga memakan waktu 2,5 tahun. Waktu di Dep. PU senanglah karena adanya Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah pertama kita bisa ke daerah-daerah. Pada saat itu saya melamar menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di 2 Instansi yaitu Departemen Pekerjaan Umum dan Departemen Dalam Negeri dan kedua-duanya diterima dan NIP nya pun dapat dua. Tetapi senior-senior saya waktu itu berkata: Sondi lebih baik anda di Departemen Dalam Negeri saja, kalau disini Insinyur sudah biasa dan kalau disana, di perkotaan yang memang sudah ada Direktoratnya, bisa nyambung bahasanya atau kerjasama antara Depdagri dan Dep. PU. Kemudian saya ambil tawaran di Departemen Dalam Negeri.

Pekerjaan pertama yang saya lakukan adalah membuat Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 4 Tahun 1980 tentang Penataan Kota. Kenapa saya concern, kota harus diatur dengan Permendagri ? Karena tata ruang itu milik Stakeholders setempat. Jadi harus dipikirkan bagaimana melibatkan masyarakat dan stakeholders setempat, keinginannya dan aspirasinya mereka juga harus tahu dan terlibat sampai pada akhirnya dapat terekspose urusan teknisnya. Nah kalau begitu saya berpikir yang mengatur Pemda siapa nih? Mendagri kan? Nah agar Pemda dapat membuat rencana kota dengan benar, maka itulah yang kita buat yaitu Prosedur Penyusunan Rencana Kota. Disini difokuskan pada bagaimana prosesnya bukan teknisnya. Karena teknisnya harus tetap dipegang oleh Departemen Pekerjaan Umum.

Nah Departemen Keuangan saja sudah memikirkan bagaimana membangun dan mengembangkan kota padahal waktu itu di Indonesia baru 30 % yang tinggal di perkotaan tetapi kota-kota metropolis-metropolis sudah terbentuk seperti Jabotabek, Gerbangkertosusila, Bandung Raya. Saya menangani pekerjaan itu, maka saya disuruh oleh Departemen Keuangan untuk melanjutkan sekolah (S-2) ke Carnegie Mellon University di Pittsburg jurusan Public

Perjalanan Panjang Mewujudkan Negara Maritim Sejati

Page 5: Buletin TATA RUANG. Edisi September-Oktober 2009. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air

* buletin tata ruang 3

Policy. Nah pada waktu itu saya melihat kurikulum saya kok jadi ke arah bisnis padahal saya berasal dari Departemen Dalam Negeri bukan Departemen Perdagangan, Keuangan, maupun Industri. Kemudian Dekan berkata: kamu dengar ya, pemerintah yang baik adalah pemerintah yang mendorong rakyatnya makmur dan berbisnis dan itu bisa, jika pegawainya mengerti bisnis.

Pulang dari Luar Negeri saya berpikir Otonomi Daerah. Konsep pemikiran pertama yang saya tuliskan adalah Rencana Strategis Otonomi Daerah di Tahun 1991. Setelah itu datang reformasi, maka digagaslah Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999. UU ini dapurnya di Litbang, tapi memang diperjalanan banyak yang tidak seperti kami inginkan. Contohnya antara lain Wilayah Laut. Kami berpikir tidak pernah wilayah laut diberikan kepada daerah. Ini akan ada akibatnya ke tata ruang laut dan pesisir. Kami tidak pernah terpikirkan bahwa laut harus diberikan kepada daerah, karena rasanya negara manapun tidak ada laut yang diberikan kepada daerah dan kami sudah mempelajari hal itu. Contoh lain adalah Otonomi Daerah tidak bertingkat , dimana-mana pemerintahan di dunia berjenjang/bertingkat atau hirarkis. Jadi ada yang tidak cocok di Undang Undang 22 Tahun 1999 tapi diketok palu terus di DPR.

Nah setelah itu Pak Sarwono jadi Menteri Kelautan, kemudian saya diajak ikut pindah ke DKP. Disini saya ditawari, Anda pilih mau bikin apa. Akhirnya saya buat Dewan Maritim. Concern saya adalah membangun Departemen Kelautan ini mau apa sih. Presiden maunya apa. Intinya kan ingin membangun Negara Kelautan Yang Jaya. Kalau begitu pertama harus membangun sosial budaya, membangun kembali sumber daya. Yang kedua adalah Ekonomi Kelautan yang masih terpuruk, yaitu pelayaran perikanan, pariwisata bahari, sumber daya mineral, konsesi laut. Yang ketiga adalah tata ruang laut, tidak mungkin dari hulu, aliran sungai hulunya sampai ke pantai dan kelaut. Karena satu Kesatuan Ekosistem. Nah belum lagi bagaimana geopolitik regional. Peran laut di dalam menata ulang Sistem Permukiman Nasional ini yang saya coba masukkan. Ini berbeda. Yang keempat, Pertahanan dan Keamanan Laut. Yang kelima, Sistem Hukum kita orientasinya adalah Darat termasuk KUHP, mana ada hukum laut untuk menata kembali semua ini. Jelas ini perlu Menteri sekaliber Menteri Koordinator sebenarnya, tapi kan yang terjadi Menteri (DKP). Oleh karenanya saya usulkan membuat Dewan Maritim Ketuanya Presiden, Pak Sarwono Wakilnya, Son Diamar jadi Sekjennya yah. Nah sejak itu saya menjabat sebagai Sekretaris Umum Dewan Maritim.

Butaru : Jadi bersamaan ya Pak, lahirnya Departemen Kelautan Dan Perikanan dengan Dewan Maritim ?

Son Di : Bersamaan, dan saya bisa dikatakan pegawai pertama di DKP, kenapa saya bilang begitu. Waktu itu saya dengar Pak Sarwono jadi Menteri lalu saya ucapkan selamat. Kata beliau, Anda jangan cuma ucapin selamat aja dong, tapi bantu. Besoknya saya kerja dengan Pak Sarwono cuma berdua, besoknya baru 1 atau 2 orang datang. Pak Rokhmin 2 minggu kemudian, Pak Sapta 1 Minggu kemudian dan pada hari ke 3 dan 4 Duta Besar China mau ketemu dengan Menteri DKP untuk mengekspos laut. Nah karena tidak punya apa-apa maka kami berdua angkat kursi bareng-bareng.

Setelah dari situ saya ke Bappenas. Kenapa? Karena saya selalu diikutkan menjadi bagian untuk penegakkan ke 5 Pilar Strategi Membangun Negara Kepulauan Sejati yaitu: 1) Membangun kembali sosial budaya, 2) Membangun/mengembangkan kembali ekonomi yang belum berkembang dan terpuruk, 3) Penataan ruang dan lingkungan hidup laut, 4) Pertahanan dan keamanan laut, 5) Sistem hukum laut nasional yang lebih berorientasi pada negara kepulauan.

Butaru : sebenarnya Dewan Maritim itu lembaga pemerintah non struktural atau lembaga terstruktur ?

Son Di : Memang sejak awal ketika pendirian DKP, saya bertanya kepada Pak Sarwono apa pekerjaan Departemen Kelautan Dan Perikanan, Tupoksi asli ya Ikan (Perikanan) dan lautnya yang mengatur persisnya kalau urusan Ke-PU-an ya Dep.PU dan Hutan bakau ya Departemen Kehutanan. Lalu sebenarnya Fungsi Dewan Maritim apa?. Jadi begini, oleh karena Tupoksi sudah terbagi habis oleh departemen lain sedangkan kita ingin membangun ke 5 Pilar tadi, bagaimana mengkoordinirnya kan seharusnya selevel Menko. Nah untuk membangun sosial budaya perlu dilibatkan Depdagri, Pemda dan Diknas, diklat-diklat, BAKN. Membangunnya ini kan belum, makanya diperlukan koordinator. Kalau kita bicara pelayaran, pelayaran itu adalah ada kapal dan ada industri pembangunan kapal, ada keuangan pajak kapal dan perbankan kapal. Perdagangan angkutan, ada pelabuhan dan BUMN, Nah ini semua harus dirajut. Bagaimana merajut kebijakan antar sektor menjadi satu strategi yang 5 Pilar ini. Nah inilah pekerjaan Dewan Maritim. Bagaimana cara kerjanya, setiap 3 minggu sekali rapat antar Pejabat Eselon I sampai III bahkan dengan swasta. Kami dengar semua termasuk swasta dan LSM. Setiap 2 minggu sekali pejabat eselon II, umumnya antar departemen, setiap 3 minggu sekali Pejabat Eselon I dan setiap bulan sekali antar menteri dipimpin oleh Menteri DKP sebagai Ketua Harian dan setiap 3 Bulan sekali, Presiden tinggal putuskan, karena Presiden Ketuanya. Nah jadi Dewan Maritim itu adalah Lembaga Non Struktural yang merajut atau mengkonsultasikan bahasanya merancang rekomendasi kebijakan atau merancang kebijakan lintas sektor untuk dijadikan kebijakan mulai dari Undang-Undang sampai dengan tingkatan Kepmen masing-masing. Itu sifatnya analisis kebijakan dan rekomendasi kebijakan dan merumuskan kebijakan. Nah itulah bidang saya. Public Policy. Nah yang kedua , Departemen Kelautan Dan Perikanan panggungnya adalah Fokus Ikan, Laut dan yang tidak ditangani oleh departemen lain. Jadi tugas Menteri DKP itu Ikan dan Laut dan lain-lain, tapi Ketua Harian Dewan Maritim mengkoordinir semua departemen dan mengajak bersama untuk merajut ini semua.

Butaru : Jadi sebenarnya yang terlibat di Dewan Maritim itu sebenarnya adalah pejabat di strukturalnya masing-masing ?

prof il tokoh. Dr. Ir. SON DIAMAR, M.Sc . Perjalanan Panjang Mewujudkan Negara Maritim Sejati

Page 6: Buletin TATA RUANG. Edisi September-Oktober 2009. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air

4 buletin tata ruang *

Son Di : Betul, disini ada 11 Menteri

Butaru : Seperti kalau di tata ruang itu BKPRN ya pak?

Son Di : Ya, betul BKPRN, dimana posisinya tetap di struktural masing-masing, bertemu setiap berkala untuk isu-isu tertentu langsung laporan ke Presiden dan Presiden yang memutuskan.

Butaru : Kalau dengan Dewan Kelautan Nasional itu bagaimana pak Son Di?

Son Di : Itu perubahan nama tadinya Dewan Maritim , waktu saya mendraft Keppres itu, 3 jam saja, terus terang kami buat lalu Keppres jadi, lalu Pak Sarwono bawa ke Presiden Gus Dur. Setelah saya selesai dari sana sebagai Sekjen, lalu pindah ke Bappenas. Kemudian keppres itu kami bahas bersama orang-orang yang berkompeten. Apa sih arti dari Maritim dan Kelautan. Ternyata Kelautan lebih luas dari Maritim pengertiannya. Karena itu kemudian dirubah namanya menjadi Dewan Kelautan Nasional. Sebenarnya fungsi utamanya sama. Perubahan itu baru 3 tahun yang lalu.

Butaru : Kalau ada istilah pembangunan berwawasan Maritim dan pembangunan berwawasan kelautan, itu apa bedanya Pak Son Di?

Son Di : Kalau maritim itu adalah kegiatan ataupun apapun yang berkaitan dengan laut dipermukaan saja, apakah itu kapal atau industri kapal pelayaran. Nah sedangkan laut itu termasuk endapan laut, kolong laut bahkan udara diatasnya yang merupakan satu kesatuan ekosistem laut. Jadi pendekataan ekosistem laut itu lebih luas. Kalau kita bicara lebih komprehensive itu lautan. Kalau maritim itu lebih spesifik kepada obyek-obyek atau kegiatan yang berada pada permukaan laut.

Butaru : Penentuan titik-titik perbatasan telah dilakukan Indonesia secara sepihak melalui Deklarasi Djuanda yang dicetuskan tanggal 13 Desember 1957. Kemudian Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nation Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) 1982 yang mengakomodasi konsep negara kepulauan, apa implikasinya terhadap sosial ekonomi maupun sosial politik bagi kepentingan domestic dan internasional?

Son Di : kita adalah negara kepulauan terbesar di dunia dan itu bukan mudah diperolehnya. Rupanya Ir. Djuanda yang pendiri Bappenas juga, beliau melihat kok rawan sekali Indonesia ini. Nah kalau mau disusun ada 3 pilar pembentukkan NKRI.

1. Tahun 1928 diikrarkan Sumpah Pemuda, itupun baru sumpah, bahwa Indonesia bertanah air satu

2. Proklamasi tahun 1945 diambil kedaulatan, baru tanah belum punya air, ternyata laut kita baru 3 Mil di setiap pulau. Dan Jawa, Sumatera dan Kalimantan sampai Sulawesi lewat laut orang lain. Laut Internasional. Semua bisa lalu lalang bebas lewat, pasukan khusus pun lewat, bahkan sewaktu konfrontasi dengan Belanda. Armada pasukan Belanda iring-iringan di depan Pulau Seribu.

3. Nah disitulah Ir. Djuanda bilang eh kita ini negara kesatuan, nah betapa penting itu negara kesatuan, beda dengan negara federal, maka diumumkanlah pada tahun 1957, bahwa Kami Negara Kepulauan, Negara Kesatuan diumumkan ke PBB, laut kami bukan 3 Mil di setiap pulau tapi semua laut diantara laut kami adalah laut kami. Klaim sepihak dan batas negara-negara terluar adalah titik-titik negara terluar dari pulau-pulau terluar. Dan itu ternyata menjadi cikal bakal reformasi Hukum Laut Internasional. Intinya batas laut Indonesia adalah titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar. Dan kita punya kedaulatan di laut. Ini berkaitan dengan penataan ruang.

Yang kita perlu garis bawahi adalah, kita bukan hanya meratifikasi hukum laut tapi kita pula yang menggagasnya. Sebelumnya sudah ada Konvensi Hukum Laut di Jenewa itu masuknya 3 mil di setiap titik luar pulau. Jadi itu belum mengakomodasi kepentingan kita. Sebelum UNCLOS 1982 laut itu bagi negara pantai diberikan 3 mil. UNCLOS itu adalah gagasan Indonesia bahwa diantara pulau itu adalah laut kita , jadi tidak bisa dikatakan 3 mil. Bersamaan dengan itu ada usul negara lain yang menjadi 12 mil, ya ZEE itu adalah usul dari negara lain. Nah bagi kita adalah gagasan bahwa tidak lagi laut itu disekitar setiap pulau. Kalau digambarkan, misalnya tadinya batas laut Pulau Jawa itu setiap 3 mil. Nah dari Pulau Jawa dan Pulau Kalimantan adalah kosong, dengan kata lain itu adalah Laut Internasional. Gagasan Internasional tidak bisa begitu, Indonesia adalah negara kepulauan. Di dunia itu banyak negara kepulauan. Jadi semua laut diantara pulau adalah laut negara itu. Dan ini adalah gagasan Indonesia yang diterima PBB melalui UNCLOUS. Nah siapa yang meratifikasi hukum laut ini, lebih dari 90 negara, baik negara kepulauan maupun tidak, kenapa begini, ada keuntungan politis waktu itu. Tahun 1957 Deklarasi Djuanda disampaikan dan pada tahun 1955 Indonesia baru saja menggelar Konferensi Asia Afrika “Memerdekakan Bangsa Asia Afrika”, meskipun bangsa Afrika tidak punya laut, dia dukung sebagai rasa hormat kepada Indonesia. Lalu siapa menentang pada awalnya, Australia dan Amerika Serikat, tapi Inggris negara kepulauan, Norwegia juga begitu, Jepang juga negara kepulauan, akhirnya mereka bicara kemudian setuju kepada Indonesia. Dan sampai sekarang Amerika tidak meratifikasi hukum laut UNCLOUS 1982 itu. Waktu itu ketika ada insiden Bawean, Amerika menyatakan kami tidak melanggar karena kami tidak meratifikasi hukum laut. Kami bergerak lebih dari 3 mil diantara Pulau Bawean dan menyatakan bahwa Kapal Amerika tidak melanggar.

Butaru : Jadi ketika adanya hukum laut ini Indonesia populer di mata dunia internasional dan memiliki peran strategis dan nama Indonesia menjadi terangkat?

prof il tokoh. Dr. Ir. SON DIAMAR, M.Sc . Perjalanan Panjang Mewujudkan Negara Maritim Sejati

Page 7: Buletin TATA RUANG. Edisi September-Oktober 2009. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air

* buletin tata ruang 5

Son Di : Ya karena Indonesia adalah Penggagas, ada rezim hukum laut di dalam UNCLOUS itu : 1) Laut teritorial menjadi 12 mil, jadi perlu dimengerti bahwa batas laut itu bukan melingkar mengikuti garis-garis lurus kalau disini ada titik terluar disini ada pulau titik terluar meskipun ada laut, ini pantai, ini konturnya. 7 Rezim ini meliputi: 1) Teritorial, 2) Laut pedalaman/zona tambahan, 3) ZEE, 4) Landas kontinen, 5) Inners, 6) Kepulauan 7). High Seas.

Butaru : Bagaimana membedakan wilayah kedaulatan dan hak daulat?

Son Di : Wilayah kedaulatan itu sampai dengan teritorial, diluar itu kita mempunyai hak kedaulatan. Laut pedalaman/Zona tambahan itu untuk menangkal bea cukai, penyakit, dan pertahanan. Kalau ZEE itu kita berdaulat atas muka laut, kolong laut (ikan dan airnya) dan dasar laut. Sedangkan landas kontinen itu merupakan tanah dibawah laut.

Butaru : Jadi kalau ada pelanggaran misalnya kapal penangkap ikan melanggar, bagaimana penanganannya?

Son Di : Di ZEE, kita berdaulat atas ikan, jadi kalau ada kapal asing menangkap ikan di ZEE tidak minta izin maka dia melanggar kedaulatan tapi kalau hanya melintas maka dia tidak melanggar. Sebenarnya melintas damai di batas teritorial itu boleh, kalau dia lewat saja karena ada urusan pelayaran secara rutin itu bisa tapi di batas inner misalnya diantara Pulau Mentawai dan Padang, tidak boleh ada kapal melintas dan kita berhak menolak.

Butaru : Tadi bapak sudah berbicara tentang Indonesia sebagai Negara Maritim terbesar di dunia. Dari makalah bapak dikatakan kita mempunyai 17.000 sekian pulau, luas laut kita juga lebih dari 4 juta km² dan panjang pantai mencapai 81.000 km². Tapi bapak pernah mengatakan juga bahwa Negara kita ini belum merupakan negara maritim sejati. Mengapa demikian Pak Son Di?

Son Di : Baik, mari kita lihat sosial budaya kita. Ternyata kurikulum pendidikan dasar dan menengah itu kalau mengajarkan tentang laut, itu cuma 1 halaman dari 1000 halaman buku pelajaran. Dapat dibayangkan ini. Sedangkan kalau menggambar adalah gunung dan sawah. SDM kelautan kita itu belum siap, lebih banyak ke pertanian dan konstruksi sedangkan SDM perikanan kurang sekali. SDM yang mengerti pariwisata laut, diving dan segala macam sangat langka, konstruksi laut juga begitu. Coba cari tukang las bawah laut, pasti sangat langka. SDM yang spesifik juga kurang. Nilai-nilai budaya dan perilaku ternyata masih sangat kecil dalam soal kemaritiman. Mengapa ini bisa terjadi? Keadaan ini dimulai sejak perjanjian Gianti, setelah perjanjian itu ditanda tangani yang isinya tentang Kerajaan tidak boleh berdagang antar pulau dan Kerajaan tidak boleh membangun kapal seberat kira-kira 17 Ton. Nah kenapa begitu? Karena yang menjajah kita, VOC spanyol itu mengerti betul bahwa siapa yang menguasai lautan maka dia yang akan menguasai dunia, menguasai pertahanan dan menguasai perdagangan. Karena kapal itu adalah alat angkut perdagangan dan pertahanan. Itulah yang paling penting dalam bisnis dan pertahanan. Kita dilarang ke laut, disuruh ke darat. Lihat tanahmu subur kok, bertani saja. Bahkan jangan ke laut selatan disitu ada Nyi Roro Kidul. Kondisi ini direncanakan secara sistemik, sedemikian rupa sehingga kita dibuat menjadi kerajaan-kerajaan terpisah dan kecil-kecil yang sangat terbatas lingkup geraknya. Sedangkan pada zaman kerajaan kelautan seperti Majapahit , kerajaan kita berbasis kelautan, ada nilai-nilai yang positif pada zaman kerajaan kelautan ini: 1) Kelautan itu egaliter, demokratis, tidak feodal; 2). Kosmopolitan. Kosmopolitan itu terbuka terhadap nilai-nilai baru atas pergaulan komunikasi antar suku bangsa, kemanapun saya berlayar, kemanapun saya bekerja maka disanalah tempatku hidup. Nah ini yang harus dibangun kembali. Sekarang ini kita terpuruk. Padahal Indonesia yang paling Final Destiny nya, Indonesia bisa menjadi negara IPTEK riset Kelautan Tropikal terkemuka di Dunia. Dan kalau kita berbicara pendidikan kelautan, mulai dari pendidikan profesional sampai keilmuan, harusnya kita banyak memilikinya tetapi sekarang sangat kecil prosentasenya. Nah ini yang akan kita bangun. Jadi belum sejati Negara maritime kita ini.

Yang kedua adalah belum sejati karena ekonomi kelautan kita terpuruk 95 %. Ta h u n 2 0 0 5 e k s p o r i m p o r d i 1 4 0 pelabuhan keluar negeri ini dilakukan oleh kapal asing. Apa tidak rugi Negara ini, setiap tahun waktu itu bayar 100

prof il tokoh. Dr. Ir. SON DIAMAR, M.Sc . Perjalanan Panjang Mewujudkan Negara Maritim Sejati

Page 8: Buletin TATA RUANG. Edisi September-Oktober 2009. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air

6 buletin tata ruang *

trillyun. Oleh karenanya di tahun itu saya membuat INPRES untuk memberantas atau mencari solusinya. Di dalam negeri sampai 45 % bahkan 50 % kapal yang wara-wiri termasuk Pertamina yang mengangkut BBM dari pulau ke pulau adalah kapal asing dan kita bayar 3-4 Trilliun ke kapal asing. Coba kita bandingkan dengan USA. USA punya UU tentang pelayaran dalam negeri yang namanya Azas Terbuka. Disana hak melayani pelayaran dalam negeri menggunakan kapal sendiri. USA menimbangnya demi pertahanan dan demi ekonomi. Pertama semua kapal dalam negeri harus menggunakan kapal berbendera USA, milik perusahaan USA, yang mayoritas sahamnya dimiliki warga negara USA, berdomisili di USA, kapalnya bikinan USA dan awaknya juga dari USA. Begitu kerasnya yaa. Bayangkan kita bandingkan dengan 95 % kapal asing di Indonesia, kita ini rugi, pajak pun kita tidak dapat dari 100 trilliun itu, orang pajak dan kita tidak dapat apa-apa karena itu jatuhnya ke negara lain. Lalu kita bandingkan dengan Singapura yang ingin membangun armadanya. Di negeri ini kalau beli kapal bisa pinjam ke bank, tidak usah pakai agunan (Kapal itu harganya 100 – 500 Miliar, bagaimana pakai agunan). Nah disini kalau beli kapal seharga 500 M, maka agunannya pun seharga 350 M. Menurut aturan Bank Indonesia, angka itu setara dengan 30 Ha kebun sawit atau 10 Tower berlantai 20. Apakah dengan kondisi ini memungkinkan orang Indonesia punya kapal?. Di Singapura kalau ada bank yang meminta agunan, Pemerintah Singapura akan memberikan jaminan.

Nah disini akan saya singgung sedikit kesalahan mendasar ekonomi negeri ini tapi yang makro sekali, yang akibatnya pada kemiskinan yang tidak pernah tuntas. Nah keterpurukan lain adalah Perikanan, 4000-7000 kapal asing mencuri di Indonesia sedangkan kita cuma punya 1000 kapal.

Keterpurukan lain adalah pariwisata yang belum berkembang. Bila kita ke Karibian, wow… pariwisata baharinya luar biasa. Begitu juga ke mediteranian Perancis Selatan, di Metz. Orang bekerja di Pariwisata itu cuma 6 Bulan tapi bisa untuk hidup 1 tahun. Betapa tidak, kalau setiap pagi 6 kapal pesiar sekelas Cruise merapat. Sekali turun bisa 2000 penumpang/wisatawan. Turunnya dengan cepat. Paspor dimasukkan plastik, petugas imigrasi kasih visa on arrival, lalu turun dari beberapa tangga dan hanya 10 – 15 menit selesai. Cepat sekali. Nah bagaimana di Indonesia, akan ada antrian di loket 3000 wisatawan/orang, lalu petugas imigrasi bertanya, anda dari mana asalnya, misalnya, Cina, Cina mana, daratan? Lalu dapat visa on arrival selama 2 minggu, kalau Cina Taiwan wah cuma dapat 2-3 hari. Sedangkan orang Yahudi, wah gak bisa harus balik lagi ke kapal. Begitulah cara kita menangani. Nah keterpurukan kita ini bukan karena siapa-siapa tapi karena masing-masing sektor tadi kan yang belum berpikir potensi.

Penataan ruang , dimana terpuruknya?. Paling utama adalah kita tidak punya sitem permukiman perkotaan seperti di Singapura. Indonesia harusnya strategis membangun bandar-bandar dunia sekelas Singapura. Baiknya Indonesia sebagai negara maritim bisa memfasilitasi industri dan perdagangan antar bangsa. Kalau Singapura hanya 1 , Hongkong hanya 1, Indonesia bisa bilang, kita punya 4 Singapura Besar dan 14 Singapura Kecil karena kita luasnya se Eropa Barat. Mungkin penataan ruang harus diubah strateginya. Untuk pertahanan dan keamanan sudah saya singgung tadi bahwa pertahanan laut kita kasihan. Keamanan laut kita masih terlalu sektoral, sistem hukum kita belum berkembang, kita belum menjadi negara Kelautan Sejati.

Butaru : Terkait dengan wilayah perbatasan kita, sebetulnya yang masih tergolong rawan itu zona yang mana Pak Son, apakah itu berada di luar wilayah kedaulatan?

Son Dia : Ada dua kapal yang menegakkan hukum di laut, Kapal TNI AL bergerak didalam dan diluar teritorial dan Kapal Polri (Polisi) dalam peraturan hukum internasional hanya berwenang di teritorialnya, jadi tidak bisa menegakkan karena konstabular. Konstabular itu adalah ibarat Tramtib/Keamanan dan Ketertiban/Satpol PP bila di daratan, di luar teritorial harus TNI AL. TNI AL kita baru punya 16-17 kapal yang betul-betul dapat bekerja dengan benar untuk Negara seluas Indonesia. Dimana-mana pertahanan laut kita lemah, Merauke hanya didatangi Armada Patroli 2 Minggu sekali.

Butaru : Menurut Bapak, Indonesia membutuhkan Grand Design pengelolaan wilayah perbatasan secara terpadu dengan membentuk badan pengelola wilayah perbatasan yang memperjelas urusan masing-masing pemangku kepentingan atau agar tidak dikuasai satu sektor. Bapak menyarankan ada lembaga badan pengelola wilayah perbatasan yang bertingkat dari pusat, provinsi, hingga kabupaten/kota. Bagaimana perkembangannya hingga saat ini?

Son Di : Kalau tidak salah Undang-Undangnya sudah disetujui baru beberapa bulan lalu. Undang-Undang Pengelola Wilayah Perbatasan dan nanti akan ada Badan di pusat dan di lapangan. Ada komisi di pusat apakah itu Dewan/Badan di pusat dan dilapangan. Di pusat itu antar Departemen dan di lapangan antar Gubernur.

Butaru : Jadi pada Undang-Undang itu diamanatkan ada Badan Pengelola. Kemudian untuk membangun ekonomi riil berbasis sumber daya alam perlu didukung oleh Industri Maritim dan industri-industri lainnya. Nah dalam kaitan itu sebenarnya strategi apa yang telah Pemerintah tetapkan untuk mendukung industri maritim?

Son Di : Jadi begini, sebenarnya di dalam RPJP yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 ada misi yang ke 7 atau ke 8 yang berisi Membangun Negara Kepulauan Yang Maju dan Mandiri Berbasis Kepentingan Nasional, tadinya misi tersebut tidak ada. Misi itu ditambahkan sewaktu Dewan Maritim melobi ke DPR. Itulah menurut saya keterpurukan kita yang paling parah dalam sosial budaya Negara Kepulauan, Pengambil Keputusan baik birokrat maupun politisi belum mengerti negara konsep Negara Maritime. Dan akhirnya masuklah amanat ini dalam misi yang ke 7 atau ke 8 itu dalam RPJP. Membangun Negara Kepulauan dengan dasar 5 Pilar penting itu sudah ada di

prof il tokoh. Dr. Ir. SON DIAMAR, M.Sc . Perjalanan Panjang Mewujudkan Negara Maritim Sejati

Page 9: Buletin TATA RUANG. Edisi September-Oktober 2009. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air

* buletin tata ruang 7

RPJP dan di dalam RPJM mendatang. Mudah-mudahan ke depannya lebih baik. Nah kebijakan-kebijakan yang Pemerintah sudah lakukan pertama dengan berdirinya DKP sudah lumayan sudah ada upaya yang terorganisir juga ada Dewan Kelautan. Nah yang konkrit barangkali anggaran-anggaran Departemen Kelautan Dan Perikanan itu yang minim sekarang 3-5 Trilliun setiap tahun, tapi apakah ukuran perikanannya bisa maju. 1) Tambah armada, 2). Tambah tambak baru, 3). Tambah kawasan industri/pengolahan hasil, 4). Tambah sarana dan prasarana, 5). SDM dan sekolah-sekolah kejuruan dan perguruan tinggi, 6). pemasaran antar domestik dan membuka kantor pemasaran luar negeri, program ini belum bergerak banyak. Pendek kata belum terjadi, kecuali sarana dan prasarana.

Untuk 10 tahun ke depan rasanya industry maritime bisa diwujudkan kalau semua pihak mau bekerjasama dan berkomitmen sungguh-sungguh. Kemudian keamanan laut sudah terbentuk dan tidak terpecah secara sektoral. Sesuai pos-nya masing-masing. Jadi kalau sekarang ada 3 angkatan dan kepolisian, maka harus ada yang ke 5 yaitu Penjaga Laut dan Pantai. Negara lain sudah memiliki, seperti Amerika, Jepang, Malaysia, Philipina. Intinya dari Kepolisian bisa, dari bea cukai bisa masuk, lingkungan hidup, perikanan dan segala macamnya. Ada 10 Tupoksi yang harus ditangani, karena itu bukan hanya Polri yang harus menangani. Lalu kita bicara Penataan Ruang. Saya sebenarnya ingin mengubah RTRWN mengapa kita tidak membangun 4 Singapura Besar dan 14 Singapura Kecil. 4 Singapura besar itu misalnya, Batam, Teluk Semangka Lampung, Lombok dan satu Tanjung di Pulau Kalimantan. Menurut United Nation Conference On Trade and Development (UNCTAD) mereka menganalisis dalam perdagangan dan industri dunia di masa depan terjadi perubahan paradigma, intinya industri tidak akan lagi membuat barang jadi. Bawalah barang yang belum jadi dan 60 % saja, biarkan negara yang ditengah dan sekitarnya membuat yang 40 %. Dengan demikian ongkosnya lebih murah. Ternyata Indonesia itu adalah negara di tengah dan diuntungkan seperti lapangan bola yang dikelilingi kampung. Barang datang ke Indonesia itu impor, lalu masuk pasar industri, berangkatnya sebagai ekspor. Percaya tidak hukum Internasional bilang Negara pengimpor dan pengekspor berhak atas 40 % pengkapalan, artinya semua barang-barang industri yang mau ke Indonesia kita berhak atas menggunakan kapal Indonesia 40 %. Nah kalau begitu Indonesia bisa menjadi negara Maritim terkemuka di dunia dan ditambah posisi Indonesia yang strategis, jadi ya terpaksa lewat sini. Nah kenapa Teluk Semangka masuk nominasi 4 Singapura Besar, menurut IMO (International Maritime Organization) ternyata perdagangan dunia pada tahun 2025 akan naik 2,5 kali lipat dari $ 12 Trilliun. Semua pelabuhan dunia tidak cukup, kelebihan. Karena itu dibangun kapal-kapal mencapai 600.000 ton, bahkan ada yang sampai 1.200.000 ton. Diatas 300.000 tidak bisa lewat Selat Malaka. Jadi kapal Eropa akan lewat sebelah barat, lewat ALKI I ke Selat Sunda, naik ke atas sebelah barat Kalimantan Barat. Jadi akan ada 2 kondisi yaitu yang pertama negara yang ditengah akan dicari , yang kedua kapal-kapal dunia di masa depan 20 % sekurang-kurangnya tidak bisa lagi lewat Selat Malaka. Adanya pergeseran geo strategis. Nah itulah strategisnya Selat Sunda. Menurut UNCTAD idealnya terletak di Teluk Semangka, Selat Sunda. Jadi hati-hati membangun jembatan antara Jawa dan Sumatera jangan sampai kapal tidak bisa lewat dan kapal yang lewat itu perlu laut yang paling dalam. Nah satu lagi dimana? Diantara Pulau Kalimantan & Pulau Sulawesi besar. Diujung Kalimantan, Tanjung, kenapa Tanjung karena Tanjung merupakan geografis dan morfologis yang kuat dan tidak terkikis serta lautnya dalam. Lokasi ini digambar juga oleh UNCTAD. Jadilah digambar oleh IMO yaitu Selat Sunda, Selat Malaka, Selat Lombok dan Tanjung Kalimantan, itulah 4 Singapura Besar. Sedangkan 14 Singapura kecil, mungkin saja berada di Sabang, Teluk Bayur, Pontianak, Makassar, Balikpapan, Kendari, Morotai, Biak, dan lain lain. Nah intinya adalah sepanjang Pantai Timur Pulau Sumatera. Jadi 4 Singapura Besar dan 14 Singapura Kecil, intinya adalah kota-kota bandar dunia yang memfasilitasi industri dan perdagangan Dunia. Disitulah kekuatan Indonesia sebagai fasilitator industri maritim. Kita itu tidak pernah sadar kalau Tuhan begitu kayanya memberikan kepada kita.

Nah yang 4 Singapura Besar dirajut dengan sistem kota-kota pesisir, bagaimana sistem kota-kota pesisir, ada feeder-feeder, kalau di darat kita mengenal sistem kota Agropolitan. Agropolis itu konsepnya adalah Pusat Pelayanan Awal Kota terkecil untuk melayani hinterland agro. Ada Minapolitan atau marinepolitan, pusat pelayanan awal untuk melayani kegiatan hinterland laut, ada ikan ditangkap, ada pariwisata, ada budidaya ikan. Nah pengelolaan awal, kemasan pelayanan kapal, pelayanan kegiatan di laut, ada badan-badan kecil di sepanjang pesisir itu. Sepanjang pantai Timur Sumatera harusnya satu rangkaian minapolitan dan kota-kota bandar, mungkin Singapura yang lebih kecil lagi yang memfasilitasi industri perdagangan antar bangsa. Jadi memang harus berubah cara berpikirnya. Makanya RTRWN harus berubah.

Butaru : Mengapa kawasan perbatasan negara sekarang menjadi “beranda belakang”, padahal dengan konsep Bapak tersebut seharusnya kan menjadi “beranda depan”. Apakah memang itu yang Bapak cita-citakan di masa depan bahwa “wajah” dari negara kelautan kita itu seperti itulah idealnya?

Son Di : Jadi Indonesia itu bisa menjadi Negara Maritim Terkemuka Di Dunia, disamping Negara Agraris Tropical Terkemuka Di Dunia. Negara Kepulauan Maritim itu lautnya memang bisa jadi terkemuka karena memang agak spesifik.

5 Pilar tadi saja kuncinya, dalam bidang IPTEK Indonesia bisa menjadi pusat research kelautan tropical di dunia, kemudian kita juga memiliki armada kapal nasional dan fasilitas-fasilitas bandar dunia, dan industri-industri maritim. Industri maritime itu unik, kapal tidak mungkin dibangun masal, di dunia pun begitu. Jadi ini peluang buat kita mau bangun kapal dan mengoperasikan kapal. Korea telah menjadi Negara Maritim terkemuka dunia, karena paling banyak punya kapal sejak 40 tahun yang lalu. Dari zaman anak didik TK, diajarkan membangun kapal, buat puisi pun

prof il tokoh. Dr. Ir. SON DIAMAR, M.Sc . Perjalanan Panjang Mewujudkan Negara Maritim Sejati

Page 10: Buletin TATA RUANG. Edisi September-Oktober 2009. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air

8 buletin tata ruang *

kapal, kenapa kapal hulu hilirnya pun panjan. Disana industri strategis membuat komponen kapal, membuat mesin lalu membangun kapalpun dalam jumlah yang banyak. Jadi kapal mendorong perdagangan antar bangsa, luar biasa, Idealnya tata ruang negara kepulauan yang seperti itu. Kota-kota pesisir memfasilitasi industri dan perdagangan antar bangsa tergantung juga dengan kedalaman lautnya juga.

Butaru : Kalau tata ruang laut itu sebenarnya kita sudah punya belum Pak Son Di?

Son Di : Belum punya, kalau diluar negeri seperti di negara maju sampai dengan 12 mil itu sebetulnya ditata, mana sebagai Alur Pelayaran seperti jalannya, disini kabel laut kemudian kalau ada budidaya laut itu sebelah mana. Semua itu ditata dengan baik. Sebenarnya penataan ruang di bawah laut dinegara majupun tidak kompleks seperti di darat tapi harus ada, sudah diplot dan ada kadastral laut ada kavling laut. Jadi hak atas pengelolaan permukaan kolong laut dan di dasar bawah tanah seperti di banyak negara lain. Di laut itu memang tidak bisa hak milik ya. Hak pengelolaan saja digunakan. Nah disini 30 th diberikannya sertifikat. Permukaannya saja atau dalamnya laut itu juga buat ikan atau dasarnya. Nah biasanya memang terintegrasi, harus ditata mengrovenya, hijaunya, tidak ada pabrik, biar dia tetap hidup kesimbangannya karrena kalau ada pabrik maka mati ikan/biota laut kena limbah pabrik industri.

Butaru : Kalau sistem pengelolaan seperti itu kita juga bisa memungkinkan ya pak. Misalnya kalau sektor pariwisata mungkin akan mencari tempat yang sepi, yang masih bagus tapi biasanya kita kekurangan investor untuk tempat-tempat baru seperti itu? Ada wacana yang bisa disampaikan terkait masalah itu pak?

Son Di : Karena membicarakan investor saya akan menyinggung sedikit, karena tata ruang itu sebenarnya, tujuannya adalah bisnis, karena itu kita harus mengerti betul bisnisnya. Kekacauan kita selama ini adalah belum memanfaatkan pilar bisnis itu. Saya ingin menggaris bawahi ilmu bisnis itu ternyata strategis. Ternyata dari semua tujuan tata ruang beserta segala aspek kehidupannya, lokomotifnya dari semua itu ujung-ujungnya adalah bisnis.

Nah bagaimana dengan penataan ruang itu kacau di Indonesia. Menurut saya jangan salahkan Departemen Pekerjaan Umum, jangan salahkan Pemda, jangan salahkan siapa-siapa. Intinya Mesin Ekonomi tidak berjalan, bentang alam penataan ruang menjadi tidak sesuai. Kalau Indonesia kaya, kalau sektor riil itu bekembang lebih banyak dari yang dibutuhkan maka upah akan naik. Nah bagaimana caranya mengatur bentang alam, sederhana dengan 9 butir ekonomi.

Hutan tanaman industri, semua mengandung banyak ruang, kita bangun lah 2 juta hektar hutan tanaman industri, menghutankan kembali yang kritis, membangun kembali kebun, 2 juta ekor ternak, maka ruang juga kan diperlukan, 10 kawasan wisata kelas dunia, ruang juga dan semua bisa tidak pakai modal. Kita mempunyai energi alternatif yang tidak usah bayar, apa saja, panas bumi, surya dan ada lagi yang paling berpotensi yaitu arus laut. Perpindahan arus laut terbesar di dunia, kalau baling-baling di putar di Eropa itu pakai angin dan kalau di Indonesia maka tenggelamkan saja 1 baling-baling dan dapat 10.000 watt. Tinggal pakai, bikinan Tuhan. Saya yakin dengan menghasilkan tenaga kerja, lapangan kerja 73 juta dapat menghidupi 190 juta. Nah bagaimana bagi hasilnya kalau kita pakai Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945? Akan saya beri contoh, yaitu calon kebun di 70 lokasi, kita lelang, misalnya dari Sinar Mas yang dapat, anda kelola kebun ini. Anda tidak usah punya modal tidak usah bawa uang, keahlian anda kami bayar dengan saham 20 %. Pertanyaannya apakah orang mau dapat 20 % dari 2 juta Ha maka itu berarti dapat 6000 Ha tanpa modal. 20 % diberi ke karyawan, petani dan sebagainya sehingga tidak miskin. 20 % lagi diberikan pada rakyat setempat dan ulayat sehingga orang sekitarpun bisa kaya. 20 % diberikan kepada kabupaten/kota, 20 % lagi untuk pemerintah provinsi karena membangun infrastruktur dan pelayanan. Semua dapat dan tidak miskin. Gak boleh orang Indonesia miskin.

Butaru : Aktivitas apa yang akan Bapak lakukan setelah pensiun nanti?

Son Di : Perjalanan saya nanti kalau panjang umur dan sehat, saya akan kearah sana untuk memperjuangkan satu cara baru bagaimana membangun negeri ini. Selama ini cara lama yang paling salah hanya pengelolaan APBN saja. Mungkin kearah sana perjalanan saya, bisa saja ke politik , research-research jadi konsultan biasa saja.

prof il tokoh. Dr. Ir. SON DIAMAR, M.Sc . Perjalanan Panjang Mewujudkan Negara Maritim Sejati

Page 11: Buletin TATA RUANG. Edisi September-Oktober 2009. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air

* buletin tata ruang 9

Menata Kawasan Tepian Musi Sebagai Wajah Kota Palembang

Palembang Kota Sungai

Kota Palembang sebagai ibu kota Provinsi Sumatera Selatan, telah lama dikenal sebagai kota yang berada di tepian sebuah sungai besar, yaitu Sungai Musi. Sungai ini melintasi kota Palembang yang luasnya 400,61 km2 sepanjang lebih kurang 20 km. Sungai ini membelah Kota Palembang menjadi dua bagian yaitu bagian Seberang Ulu (24,28%) dan bagian Seberang Ilir (75,72%). Rata-rata ketinggian daratan di Kota Palembang adalah 5 meter di atas permukaan laut dengan topografi dataran rendah dan daerah rawa.

Masyarakat kota Palembang akrab menyebut Sungai Musi sebagai “Batang Hari Sembilan”. Batang Hari Sembilan ini terdiri dari sembilan sungai yaitu Sungai Musi sebagai induk dan delapan anak sungai yang besar yaitu sungai Komering, Lematang, Ogan, Leko, Kelingi, Rawas, dan Lakitan. Di Kota Palembang sendiri mengalir 76 anak sungai kecil yang semuanya bermuara ke Sungai Musi. Tidak heran bila sejak lama sungai sudah menjadi sarana transportasi utama bagi penduduknya. Namun saat ini sungai-sungai kecil tersebut semakin berkurang. Padahal orang mengenal Kota Palembang sebagai kota dengan banyak sungai. Namun saat ini orang hanya tahu Sungai Musi saja. Menurut Pak Gunawan dari Bappeda Kota Palembang, salah satu sebab “menghilangnya” sungai-sungai kecil yang bermuara ke sungai Musi adalah karena banyaknya pembangunan jembatan yang rata dengan tepi sungai, sehingga tidak memungkinkan perahu kecil untuk melewatinya. Seharusnya sungai-sungai ini bisa saling bersambungan.

Ini pun dapat dimanfaatkan sebagai river tourism. Untuk itu, saat ini sedang dibuat studi-studi kelayakan sungai yang ada, mana yang bisa di perbaiki sehingga memungkinkan untuk kembali bisa dilalui perahu kecil. Dulu, pemikiran penataan sungai belum sampai pada hal ini. Tapi sekarang sudah dipikirkan penataan sungai dengan radius 100-200 m dari Sungai Musi, sungai kecil mana saja yang masih dapat dimanfaatkan untuk transportasi dan wisata. Ini juga akan menghubungkan antara sistem transportasi darat dan air, karena sebagian komoditi pertanian dari daerah pinggiran kota yang masuk ke Palembang masih banyak yang menggunakan transportasi air.

prof il wilayah.

oleh: Redaksi Butaru

Page 12: Buletin TATA RUANG. Edisi September-Oktober 2009. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air

10 buletin tata ruang *

2. Menciptakan fungsi pusat kota yang majemuk (Mixed use Central Businness District).

3. Memadukan secara harmonis aktifitas pada Waterfront city, Central Business District, Wisata dan Budaya.

4. Menciptakan lapangan kerja dan pertumbuhan usaha.5. Revitalisasi dan preservasi kawasan dan bangunan

bersejarah.6. Menciptakan ruang publik, fasilitas publik dan

lingkungan pejalan kaki.7. Menciptakan kolase kota, detail arsitektur dan ruang

publik yang artistik.8. Menciptakan kawasan sebagai indentitas dan jiwa

masyarakat Kota Palembang.

Untuk itu, program pengembangan kawasan yang akan dilaksanakan adalah:

• Penyediaanpublic space (plaza, pedestrian environment).• PertumbuhanUsahaBisnisdanPenertibanPasar.• PenataanTraffic System Management.• KonservasidanPreservasiBangunanKolonialdanRumah

Bari.• PengembanganWisataairdanRiver Front.

Menurut Pak Gunawan dari Bappeda Kota Palembang, bila mau ditelusuri lebih lanjut maka penataan kawasan BKB sebenarnya telah lama direncanakan oleh Dinas Pariwisata Provinsi Sumatera Selatan pada sekitar tahun 1987. Dinas pariwisata ini akan menggunakan BKB sebagai salah satu ikon pariwisata daerah. Seiring dengan berjalannya waktu, maka semakin banyak kajian terkait yang dilakukan di kawasan ini. Tidak hanya kajian fisik, namun juga diperlukan kajian sosial ekonomi agar kawasan ini dapat ditata sesuai dengan rencana yang telah disusun. Penyusunan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) untuk kawasan ini dilakukan dengan bantuan pendanaan dari Departemen PU sekitar tahun 1994 dengan melibatkan pula Bappeda Kota Palembang untuk menata BKB dan CBD 16 Ilir di kawasan pusat kota. Hasil perencanaan ini mengarahkan revitalisasi kawasan pusat kota dan beberapa kawasan lainnya yang berada di tepi Sungai Musi, (seperti Kampung Arab, Kampung Kapitan, dan Kampung Melayu) untuk menjadi waterfront city. Dengan adanya hasil rencana ini, maka Walikota Palembang saat ini mengarahkan pula realisasi pengembangan kawasan tersebut sebagai river tourism. Ikon yang pertama dikembangkan adalah kawasan BKB dan CBD 16 Ilir, dimana lebih banyak lahan publik tersedia.

Penataan Waterfront City

Penataan Kota Palembang tidak terlepas dari konsep penataan tepian sungai, karena panjangnya wilayah yang berbatasan dengan badan air ini. Begitu pun kawasan pusat kota yang berada di tepian Sungai Musi, meliputi kawasan Benteng Kuto Besak (BKB), Masjid Agung, Jembatan Ampera, Museum Sultan Mahmud Badaruddin, Monumen Perjuangan Rakyat (Monpera), serta bangunan kuno bergaya Kolonial, Melayu dan Cina. Kawasan ini menjadi wajah kota yang pertama kali menyambut kita bila datang ke Kota Palembang. Selain itu, kawasan ini dapat menjadi ikon Kota Palembang dengan adanya landmark Jembatan Ampera serta jargon “Visit Musi 2008”.

Jargon “Visit Musi 2008” yang telah sejak lama dicanangkan

menjadi tonggak awal pelaksanaan pembangunan dan penataan kembali Kota Palembang sebagai kota tepi air. Penataan kawasan pusat kota ini yang menjadi langkah awal dalam penataan kawasan tepi air di Kota Palembang. Pada awalnya, kawasan ini merupakan pusat perdagangan dan permukiman yang cenderung kumuh, kotor dan tidak teratur. Kekumuhan bangunan dan lingkungan di sekitar kawasan waterfront dan Jembatan Ampera menjadikan kawasan ini terkenal dengan tingkat kriminalitas yang tinggi.

Walaupun begitu, pemerintah Kota Palembang dapat melihat pula potensi yang harus bisa diangkat dalam penataan dan pengembangan kawasan. Potensi tersebut antara lain:

• Nilai historis bangunan-bangunan bersejarah (kolonial) yang ada.

• Kekayaanurbanarsitekturdanurbandesign yang unik.• Persebaran bangunan kuno, rumah bari, bangunan

melayu, bangunan arab dan pecinan.• Merupakan Central Business District yang merupakan

urat nadi kehidupan perekonomian kota Palembang.• SungaiMusi sebagaiWaterfront untuk pengembangan

wisata dan transportasi air.

Potensi-potensi yang ada tersebut akan dikembangkan dengan tujuan:

1. Menciptakan Kota “BARI” (Marina / River Front City) di Central Businness District (CBD) pusat kota yang manusiawi, berbudaya, rekreatif dan hidup (liveable) secara ekonomi.

prof il wilayah. Menata Kawasan Tepian Musi Sebagai Wajah Kota Palembang

Page 13: Buletin TATA RUANG. Edisi September-Oktober 2009. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air

* buletin tata ruang 11

Master Plan Waterfront City: Historic Kuto Besak Fort & Multi Ethnic CBD 16 Ilir – Palembang

Kawasan Benteng Kuto Besak Pada Siang dan Malam Hari

Pengembangan river tourism ini, menurut Pak Djaelani dari Dinas PU Cipta Karya dan Perumahan Kota Palembang, sejalan dengan misi dalam RPJM Kota Palembang yang akan menjadikan Kota Palembang sebagai kota tujuan MICE (Meeting, Incentives, Conference, and Exhibition). Konsep ini dapat diartikan sebagai upaya pengembangan sarana pertemuan yang memadai dan bertaraf internasional,sehingga dapat digunakan untuk menyelenggarakan event-event besar seperti konvensi dan pameran yang bertaraf internasional. Bila Palembang menjadi kota tujuan MICE, maka multiplier effect dapat muncul dan peluang-peluang ekonomi akan tumbuh. Multiplier effect ini diharapkan dapat menyentuh semua pihak, sehingga seluruh stakeholder pembangunan bisa bergerak dan mendapatkan manfaatnya. Dalam penataan kawasan ini, menggiatkan ekonomi masyarakat menjadi suatu hal yang penting selain pembangunan fisik.

Benteng Kuto Besak

Beberapa tahun lalu, kawasan sekitar Benteng Kuto Besak (BKB) masih merupakan kawasan yang kumuh, kotor, tidak aman dan tidak mencerminkan keindahan kota. Namun beberapa tahun belakangan ini pemerintah Kota Palembang melakukan berbagai penataan dan pengembangan kawasan BKB agar menjadi kawasan yang bersih, indah dan bernilai. Konsep penataan kawasan BKB adalah sebanyak mungkin menyediakan lahan publik yang dapat diakses masyarakat luas. Untuk mendukung rencana tersebut, pemerintah Kota Palembang melakukan pembangunan dengan menggunakan dana APBD dan APBN serta bekerjasama dengan pihak swasta dalam membangun kawasan BKB. Diharapkan, dengan begitu kawasan ini dapat menjadi salah satu ikon Kota Palembang dan menjadi pusat

prof il wilayah. Menata Kawasan Tepian Musi Sebagai Wajah Kota Palembang

Page 14: Buletin TATA RUANG. Edisi September-Oktober 2009. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air

12 buletin tata ruang *

Pemanfaatan Plasa Benteng Kuto Besak untuk Berbagai Aktivitas Pemanfaatan Plasa Benteng Kuto Besak untuk Berbagai Aktivitas

Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Tepi Sungai Musi

Area Terbuka di Tepi Sungai Musi yang Dimanfaatkan Sebagai Lahan Parkir

tersebut. Penerapan peraturan dan kebijakan penataan secara bertahap, sedikit demi sedikit dapat merubah fungsi lahan di kawasan pusat kota tersebut.

Gedung pasar 16 Ilir pun direnovasi sebagai bangunan sejarah, sehingga wajah pasar tradisional pun menjadi lebih ramah dan teratur. Image lama kawasan 16 Ilir yang kumuh, tidak aman dengan kendaraan yang macet di sana-sini, kini telah berubah dengan adanya penataan kawasan yang merubah wajah dan penampilannya, termasuk penataan pedagang kaki lima di kawasan ini. Berkat kerjasama dengan dinas perindustrian setempat, pedagang jajanan tradisional ditata menjadi kawasan wisata kuliner. Selain penataan pedagang di darat, akan dikembangkan pula pasar kuliner terapung di kawasan ini. Pengunjung dapat menikmati jajanan khas setempat sambil menikmati suasana Sungai Musi dan kemegahan struktur Jembatan Ampera.

kegiatan ekonomi, sosial budaya, dan rekreasi masyarakat kota. Pedagang kaki lima yang tadinya banyak berjualan di kawasan ini dipindahkan ke kawasan lain yang lebih luas dan memadai. Hingga saat ini, telah terbangun Plasa BKB yang didukung oleh restoran terapung, restoran permanen, serta dermaga wisata yang memberikan pilihan alternatif kegiatan bagi masyarakat kota. Plasa BKB yang luas dan terbuka sering menjadi arena kegiatan pameran industri dan jasa, pameran seni dan budaya serta pentas seni budaya tradisional maupun modern dengan latar belakang Jembatan Ampera sebagai landmark kota Palembang.

Selain dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, plasa ini juga berfungsi untuk menjaga sempadan sungai agar tepi sungai tidak ditutupi oleh bangunan permanen. Plasa BKB juga dibuat lebih tinggi dari rata-rata ketinggian lahan di Kota Palembang sehingga dapat menjadi semacam “dam” bagi kota.

Sejajar dengan kawasan BKB, terdapat pula museum Sultan Mahmud Badaruddin, serta areal open space di bawah Jembatan Ampera yang akan dibuat sebagai panggung terbuka namun tidak permanen. Saat ini, desain dan konstruksi panggung terbuka tersebut sedang disusun. Areal terbuka ini dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam kegiatan sosial dan budaya. Pada saat liputan wilayah ini dilaksanakan, di kawasan ini sedang berlangsung perayaan hari Habitat Dunia dalam bentuk pameran dan panggung terbuka. Acara yang berlangsung siang hingga malam hari ini memberikan suasana yang berbeda yang dapat dinikmati oleh pengunjungnya.

Central Bussines District 16 Ilir

Bersambungan dengan kawasan open space tersebut, kawasan perdagangan 16 Ilir pun tidak lepas dari penataan dan pengembangan. Kawasan perdagangan yang awalnya merupakan pusat perekonomian dan pasar tradisional yang becek, kotor, dan semrawut di tepi Sungai Musi, kini berubah menjadi kawasan yang rapi dan tertata apik. Perubahan ini bisa dicapai secara bertahap. Salah satu contohnya adalah dulu di kawasan ini banyak terdapat toko bahan bangunan.Tapi seiring dengan perubahan fungsi lahan sekitarnya, maka toko bahan bangunan tidak akan kondusif di sini, karena truk-truk besar pengangkut material sudah dilarang masuk ke kawasan pusat kota ini. Kondisi yang tidak mendukung ini dengan sendirinya mendorong pengusaha untuk mmencari tempat yang lebih sesuai.Pemerintah Kota telah menyediakan kawasan di bagian utara kota dengan fasilitas yang lebih baik untuk perkembangan usaha

prof il wilayah. Menata Kawasan Tepian Musi Sebagai Wajah Kota Palembang

Page 15: Buletin TATA RUANG. Edisi September-Oktober 2009. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air

* buletin tata ruang 13

Pasar 16 Ilir dan Penataan Pedagang Makanan di Tepi Sungai Musi

Pasar 16 Ilir dilihat dari Sungai Musi

Permukiman di Tepi Sungai Musi

Penataan tepian sungai, tidak terlepas pula dari adanya permukiman penduduk di sepanjang sungai. Begitu pun permukiman di kawasan Sungai Musi. Pada awalnya rumah-rumah penduduk berada di tepi sungai, namun lama kelamaan semakin masuk kebadan sungai. Dari sisi pandang penduduk, membangun rumah di atas sungai lebih mudah dan murah karena belum ada aturan terkait status lahan seperti di darat, dan mereka bisa mendapatkan air kebutuhan sehari-hari untuk mandi dan mencuci secara gratis. Namun, rumah-rumah ini juga memanfaatkan sungai

sebagai tempat pembuangan limbah domestik sehingga mengotori sungai.

Berdasarkan wawancara dengan Bapak Djaelani dari Dinas PU Cipta Karya dan Perumahan Kota Palembang, Permukiman yang ada di tepi sungai akan ditata kembali dengan menggunakan 2 sistem utama, yaitu relokasi dan konsolidasi. Relokasi dilakukan pada rumah-rumah yang berada di atas badan sungai sehingga menutupi sempadan sungai. Sedangkan konsolidasi dilakukan untuk rumah-rumah yang berada di darat, namun lokasinya tidak menggangu sempadan sungai. Penataan permukiman yang sedang dilaksanakan adalah di Kampung Kapiten, sebuah kampung nelayan dengan dan terdapat bangunan bersejarah milik seorang kapiten cina pada masanya. Bangunan ini dilindungi dan dijadikan salah satu obyek wisata kota. Kampung nelayan di sekitarnya pun merupakan permukiman penduduk asli dengan budaya sungainya. Selanjutnya, penataan permukiman ini secara bertahap akan dilanjutkan pada permukiman Kampung Arab dan Kampung Melayu yang semuanya berada di tepi Sungai Musi.

Penataan rumah-rumah di tepi sungai Musi juga tidak akan menghapuskan ciri khas rumah rakit yang sudah ada dan dikenal sejak lama. Namun keberadaannya akan lebih ditata, dan diterapkan sebagai salah satu ciri arsitektur bangunan di atas sungai. Penerapan konsep rumah rakit yang akan diberlakukan oleh pemerintah Kota Palembang adalah dengan memanfaatkannya sebagai bangunan publik, misalnya restoran terapung atau penginapan terapung. Dengan pemanfaatan sebagai bangunan publik, maka

prof il wilayah. Menata Kawasan Tepian Musi Sebagai Wajah Kota Palembang

Page 16: Buletin TATA RUANG. Edisi September-Oktober 2009. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air

14 buletin tata ruang *

pengaturan yang terkait dengan kebersihan dan kelestarian sungai akan lebih mudah diterapkan.

Wisata Sungai Musi

Dalam penataan kawasan pusat kota ini, dikembangkan pula fungsi wisata terutama wisata sungai. Tepian Sungai Musi tidak hanya dapat dinikmati dari darat saja, tapi juga dapat dinikmati dari sungai dengan menyusurinya menggunakan perahu wisata atau pun yang dikenal oleh masyarakat sebagai perahu “ketek”. Untuk menyewa perahu tersebut, dapat dilakukan melalui dermaga wisata dan juga dermaga penyeberangan yang ada saat ini. Kegiatan penyewaan perahu untuk wisata ini berkembang pesat sejak pencanangan “Visit Musi 2008”, terutama bagi masyarakat yang tinggal di tepian Musi. Salah satunya adalah Pak Asgaf, penduduk kampung 7 Ulu yang berproesi sebagai tukang perahu. Dengan adanya program “Visit Musi 2008”, beliau memodifikasi perahu penyeberangan yang dimilikinya menjadi perahu wisata dengan kapasitas 10-15 orang. Menurutnya, dengan adanya program tersebut serta penataan kawasan BKB menjadi kawasan wisata, memberikan peluang pekerjaan yang lebih baik bagi orang-orang seperti dirinya. Menurunnya penumpang yang menyeberang dengan perahunya karena semakin mudahnya angkutan kota melalui jembatan yang melintasi sungai Musi, dapat diatasi dengan adanya peluang baru ini, bahkan memberikan hasil yang lebih baik.

Menurut pemerintah Kota Palembang, “Visit Musi 2008” bukanlah suatu tujuan, namun menjadi tonggak awal dalam penataan dan pembangunan Kota Palembang sebagai kota yang memiliki budaya sungai (riverine culture). Penataan pusat kota merupakan langkah pertama untuk mewujudkannya. Penataan kawasan lainnya pun sekarang sudah mulai dilaksanakan seperti penataan Kampung Kapiten yang bersejarah dan berada tepat di seberang kawasan BKB, penataan Kampung Melayu dan pasar Sekanak yang berada di bagian barat kawasan BKB, dan kawasan permukiman lainnya di sepanjang tepian Musi.

Penutup

Indonesia banyak memiliki kota tepi air, baik itu tepi sungai maupun tepi laut. Penataan kawasan tepian air perlu untuk dilakukan dan dipertimbangkan baik secara ekologis maupun urban design. Penataan Tepian Sungai Musi di Kota Palembang telah memberikan dampak yang signifikan bagi perubahan wajah kota. Citra sebagai kota yang kotor dan tidak aman, semakin berubah menjadi kota yang lebih nyaman dan hidup, baik disiang maupun malam hari sehingga mengundang siapapun untuk menikmatinya.

prof il wilayah. Menata Kawasan Tepian Musi Sebagai Wajah Kota Palembang

Page 17: Buletin TATA RUANG. Edisi September-Oktober 2009. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air

* buletin tata ruang 15

topik utama.Oleh : Prof.Dr.Ir.Akhmad Fauzi. M.Sc

Guru Besar Ekonomi Sumber Daya Alam & Lingkunngan Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB

Menakar Nilai Ekonomi Kawasan Pesisir

Pendahuluan

Wilayah pesisir memainkan peran yang cukup penting bagi kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat pesisir. Bagian dari wilayah pesisir yang menghubungkan ekosistem terestial dan laut merupakan wilayah yang sangat penting bagi penyediaan barang dan jasa untuk kebutuhan masyarakat dan merupakan komponen yang esensial dalam “human survival” .

Ekosistim pesisir selain berfungsi secara hidrobiologis, juga menyediakan manfaat ekonomi bagi masyarakat meski kita sendiri tidak menyadarinya. Millenium Ecosystem Assessment (MEA) misalnya mengidentifikasi empat fungsi penyediaan utama dari ekosistim pesisir yakni:

• Fungsi penyediaan barang dan jasa (misalnya sumbermakanan, air, udara )

• Fungsipengaturan(pengaturaniklimdanerosi)• Fungsibudaya(nilai-nilaispiritualdanrekreasi)• Fungsi pendukung (sebagai produksi primer dan

pembentukan tanah)Fungsi-fungsi tersebut dapat dinikmati dalam berbagai bentuk. Misalnya saja masyarakat memperoleh manfaat dari penyediaan jasa lingkungan seperti ikan, sementara fungsi pengaturan dapat kita rasakan karena wilayah pesisir merupakan garda terdepan untuk meredam badai di wilayah pesisir serta mengatur perubahan udara, suhu air dan suhu permukaan. Keterkaitan antara fungsi-fungsi tersebut dengan kesejahteraan manusia dapat dilihat pada Gambar 1

Wilayah pesisir juga memiliki peran ekonomis penting ditinjau dari perspektif makro. Dengan 71% wilayah bumi berupa laut, maka wilayah pesisir menjadikan wilayah yang sangat strategis secara ekonomi, politik dan pertahanan. Saat ini lebih dari 44% penduduk dunia hidup sepanjang (dalam radius) 150 km dari wilayah pesisir. Di Indonesia Gambar 1. Keterkaitan antara jasa ekosistem dengan kesejahteraan

sendiri, lebih dari 60% masyarakat Indonesia berada dan hidup di wilayah pesisir. Sebagian besar menggantungkan hidupnya dari sumber daya yang tersedia di wilayah laut dan pesisir. Catatan sejarah peradaban manusia juga membuktikan bahwa sebagian besar proses pembentukan peradaban dan pemukiman serta pusat-pusat kota di mulai dari wilayah pesisir karena kemudahan atas tranportasi laut dan niaga.

Dengan pesatnya perkembangan pertumbuhan ekonomi dan kebutuhan manusia akan pangan dan papan, serta infrastruktur, maka mau tidak mau wilayah pesisir akan menerima tekanan yang cukup intense untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Ketidak fahaman akan nilai ekonomi yang seutuhnya dari ekosistim pesisir bisa mengarah kepada degradasi dan kerusakan sumber daya dan lingkungan wilayah pesisir yang pada akhirnya akan memberikan umpan balik yang negatif bagi masyarakat dan tujuan mulia dari pembangunan ekonomi itu sendiri.

Memahami arti dan nilai ekonomi kawasan pesisir merupakan hal yang sangat penting dalam membantu proses pengambilan keputusan di wilayah pesisir. Dalam konteks kebijakan, keputusan untuk mengembangkan, mengatur melalui tata ruang misalnya, serta memanfaatkan wilayah pesisir memerlukan pertimbangan yang komprehensif mengenai dampak dari keputusan tersebut terhadap nilai ekonomi ekosistim pesisir, baik yang dimanfaatkan langsung maupun tidak langsung. Pertimbangan biaya dan manfaat dalam pengambilan keputusan menyangkut ekosistim pesisir tidak bisa terbatas pada aspek finansial semata, namun harus mempertimbangkan aspek ekonomi yang tangible dan non-tangible. Di sinilah pentingnya memahami nilai ekonomi yang sesungguhnya dari ekosistim pesisir.

Page 18: Buletin TATA RUANG. Edisi September-Oktober 2009. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air

16 buletin tata ruang *

Nilai Ekonomi Kawasan Pesisir

Dalam perspektif ekonomi sumber daya alam, menakar nilai ekonomi suatu kawasan memerlukan informasi mengenai manfaat dan biaya dari berbagai aspek, baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat. Pertimbangan menyeluruh ini dikenal sebagai Total Economic Value (TEV) yang meliputi nilai pasar, nilai non-pasar, nilai kegunaan dan nilai non-kegunaan (non use) (Fauzi, 2006).

Ekonom biasanya mendefinisikan nilai dalam bentuk utility yakni pengukuran metrik dari kepuasan seseorang dari mengkonsumi barang atau jasa atau bahkan hanya ikut berperan dalam kegiatan yang diperoleh dari jasa lingkungan. Utillity ini merupakan indikator yang kadang sulit diukur meski sebagian besar bisa diturunkan dari keinginan membayar seseorang atas barang dan jasa yang diinginkan. Oleh karenanya untuk menjembatani hal tersebut, nilai ini kemudian diukur dalam unit yang bisa diterima semua pihak yakni nilai moneter (Rp atau $) dari barang dan jasa tersebut.

Dalam konteks ini, nilai ekonomi suatu ekosistim biasanya dikategorikan dalam nilai pasar dan nilai non-pasar. Nilai pasar adalah nilai barang dan jasa yang diperoleh dengan cara membayar seperti halnya harga seekor ikan yang diperoleh dari sumber daya pesisir. Nilai non-pasar, di sisi lain adalah nilai yang tidak secara umum diperjual belikan dan tidak bisa diturunkan

dari harga pasar. Layanan jasa ekosistim seperti pesisir dan tepian air termasuk dalam kategori ini. Untuk menentukan besaran nilai ini harus diperoleh melalui penelitian empiris.

Nilai pasar dan non-pasar tadi lebih jauh dikelompokkan lagi ke dalam nilai pemanfaatan (use value) dan nilai non-pemanfaatan (non-use value). Nilai kegunaan ini ada yang berupa nilai langsung (direct use value) dari ekstraktif seperti nilai ikan yang ditangkap, dan ada juga nilai kegunaan langsung yang non-esktraktif seperti wisata bahari. Nilai kegunaan tidak langsung (indirect use value) dapat berupa nilai yang diturunkan dari non-konsumtif seperti melihat program keindahan pantai di televisi.

Nilai non-pemanfaatan (non-use value) dapat berupa berbagai macam aktifitas yang diturunkan dari keberadaan ekosistim pesisir dan tepian air. Misalnya saja kita merasa nyaman bahwa wilayah ini masih tetap utuh sehingga bisa dinikmati anak cucu kita dikemudian hari, atau kita gembira masih ada flora dan fauna yang masih dipertahankan di wilayah tersebut.

Kategori Layanan

Tipe Ekosistem Pesisir

Estuari Nilai

US$ /ha

Pantai Nilai

US$/ha

Penyediaan ( Provisioning )

Perikanan 55 - 1.831

Produk Hewani dan Nabati 26 - 868

Fungsi Pengaturan

Pengaturan Erosi 31.131

Penjernihan Air, perlakuan limbah 2.500

Pengaturan hama 133

Pengaturan bencana 332 - 16.341

Fungsi Budaya

Nilai warisan budaya 42 27

Nilai rekreasi dan ekowisata 46 - 6.254 16.946

Fungsi Pendukung ( supported)

Fungsi habitat dan refogia 192

Produksi Primer 1.351 - 69.671

Karakteristik lain-lain 50.00 - 80.000 36.000 - 83.000

Tabel 1. Nila ekonomi ekosistim kawasan pesisir

Mengapa kemudian kita penting untuk mengetahui nilai-nilai ekonomi kawasan ini?. Selain nilai pasar yang mudah dideteksi, nilai non-pasar sebenarnya sangat penting bagi pertimbangan kebijakan. Pertama, jika nilai non-pasar ini diketahui, nilai ini menjadi pertimbangan dalam perhitungan biaya dan manfaat yang berkaitan dengan willayah pesisir maupun tepian air. Jadi tidak sekedar menghitung biaya dan manfaat dari sisi finansial semata. Outcome mempertimbangkan nilai non-pasar dalam perhitungan biaya dan manfaat ini akan sangat berbeda dibanding dengan hanya menggunakan perhitungan finansial semata. Kedua, dengan memonetisasi nilai yang tidak terpasarkan tersebut, pengambil kebijakan dapat mengakomodasi preferensi masyarakat dengan pengukuran yang konsisten dibanding dengan pendekatan kualitatif. Ketiga, dengan memonetisasi nilai ekosistim yang tidak terpasarkan tersebut, masyarakat maupun pihak pengusaha dapat berperan aktif dalam membantu memperbaiki kondisi ekosistim atau bahkan menambah degradasi wilayah jika masyarakat menilai sangat rendah layanan barang dan jasa dari wilayah pesisir tersebut.

Berapakah nilai ekosistim pesisir sebenarnya?. Jawabannya memang sangat bervariasi. Berbagai metode dapat digunakan untuk menakar nilai ekonomi kawasan pesisir tersebut, baik melalui pendekatan deduksi (imputed) melalui inferensi perilaku masyarakat maupun bukti-bukti biaya yang dikeluarkan akibat degradasi lingkungan. Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung (revealed) dengan cara memberikan pertanyaan kepada masyarakat mengenai keinginan masyarakat untuk membayar atas barang dan jasa yang diberikan oleh ekosistim pesisir. Semua metode tersebut tidak terlepas dari bias dan kelemahan dalam pengukuran karena tidak mungkin kita menilai secara menyeluruh layanan atas barang dan jasa yang disediakan oleh sumber daya alam. Namun demikian sebagai gambaran, Constanza et al (2007) menyajikan nilai dasar beberapa kawasan pesisir seperti willayah estuary (muara sungai) dan pantai sebagaimana tertera pada Tabel di bawah ini.

topik utama. Menakar Nilai Ekonomi Kawasan Pesisir

Page 19: Buletin TATA RUANG. Edisi September-Oktober 2009. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air

* buletin tata ruang 17

Sustainable use

FungsiPenyediaan

FungsiPengaturan

Fungsi Budaya

FungsiPendukung

Non MarketValue

MarketValue

Sumber Daya/Ekosistim Pesisir

Restorasi/Rehabilitasi/Kompensasi

EconomicsCost benefits

FinansialCost benefits

PolicyInputs

Nilai Ekonomi dan Input Kebijakan bagi wilayah pesisir

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, memahami arti dan nilai ekonomi ekosistim pesisir bukan saja penting untuk mengapresiasi keberadaan sumber daya alam dan jasa lingkungan yang disediakannya, namun juga memberikan informasi yang berharga bagi penentu kebijakan yang berkaitan dengan penataan wilayah di pesisir karena akan memberikan umpan balik bagi pemanfaatan sumber daya pesisir (Gambar 2). Pengambil keputusan baik di tingkat pusat dan daerah seyogyanya memasukan pertimbangan nilai pasar dan non pasar dari ekosistim pesisir dalam kerangka peraturan kebijakan sehingga dapat dijadikan arahan (guidelines) dalam pelaksanaan proyek-proyek pembangunan seperti investasi infrastruktur (jembatan, jalan, pipanisasi, fasilitas pelabuhan dan sebagainya). Beberapa negara bahkan sudah memandatkan memasukan nilai ekonomi non pasar ini ke dalam peraturan perundang-undangan. Misalnya saja Peraturan Pemerintah mengenai Investasi di Amerika Serikat menyebutkan bahwa “semua jenis biaya dan manfaat baik langsung maupun tidak langsung harus dipertimbangkan”. Manakala manfaat dan biaya lingkungan serta manfaat dan biaya non-pasar dapat dikuantifikasi, ia harus diberikan bobot yang sama seperti halnya aspek manfaat dan biaya yang terpasarkan..” (Raheem et al 2005). Selain itu Amerika juga telah memberikan pedoman yang jelas bagi Army Corps of Engineers dimana penngembangan proyek-proyek yang berkaitan dengan air seperti tepian air harus mempertimbangkan seluruh nilai ekonomi sumber daya yang ada di dalamnya baik market maupun non-market.

Bagaimana hal ini jika dikaitkan dengan konteks Indonesia?. Dengan panjang pantai yang mencapai 8000 km, sejatinya

Indonesia lebih mempertimbangkan lagi aspek nilai ekonomi ini ketika berurusan dengan wilayah pesisir. Selain memiliki nilai ekonomi strategis sebagai kawasan ekonomi, kawasan pesisir Indonesia juga merupakan daerah frontline dalam menghadapi bencana alam yang sering terjadi di wilayah Indonesia. Selain itu kerusakan yang masif di beberapa wilayah pesisir di Jawa, menunjukkan bukti bahwa apresiasi kita terhadap nilai kawasan ini masih sangat rendah sehingga menjadikan wilayah ini rentan terhadap bencana yang pada akhirnya menimbulkan biaya sosial yang sangat mahal bagi pemerintah dan masyarakat.

Beberapa langkah harus dilakukan jika Indonesia ingin menjadikan wilayah pesisirnya bernilai serta secara kontinyu memberikan layanan barang dan jasa melalui pertimbangan memasukan nilai non-market ke dalam perhitungan analisis biaya dan manfaat. Pertama kita harus memetakan dulu seluruh ekosistim pesisir dan tepian air serta layanan barang dan jasa yang diberikannya melalui penelitian nilai ekonomi kawasan ini. Prioritas mungkin bisa diberikan terlebih dahulu pada ekosistim dan layanan ekosistim yang saat ini paling relevan dalam konteks kebijakan dan pengelolaan wilayah pesisir. Misalnya dalam kaitannya dengan penerapan Undang-undang Tata Ruang (UU No 26/2007) dan Undang-Undang Wilayah Pesisir dan pulau-pulau kecil (UU 27/2007) yang memberikan hak atas pengelolaan wilayah pesisir.

Kedua mengembangkan basis data wilayah pesisir berbasis Sistim Informasi Geografis yang memasukan nilai ekonomi total layanan jasa ekosistim wilayah pesisir di dalamnya. Dengan memberikan informasi deliniasi wilayah dalam “patches” atau polygon, misalnya informasi mengenai status layanan yang diberikan oleh wilayah dalam polygon tersebut dapat dibuat. Misalnya saja kita bisa menduga

topik utama. Menakar Nilai Ekonomi Kawasan Pesisir

Page 20: Buletin TATA RUANG. Edisi September-Oktober 2009. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air

18 buletin tata ruang *

kondisi perikanan tertentu di satu wilayah (jasa penyediaan) berdasarkan data lokasi dan kepadatan padang lamun yang merupakan habitat bagi spesies-spesies ikan komersial. Demikian juga dengan dengan nilai ekonomi fungsi penjernih air (water purification) dapat diduga dengan dasar luasan rawa maupun persentase permukaan catchment area yang berdekatan dengan wilayah estuary. Teknik-teknik seperti ini sudah digunakan di beberapa negara maju dimana nilai ekosistim tersebut sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam proyek-proyek pengelolaan wilayah pesisir dan tepian air.

Ketiga mengembangkan protokol bagi penilaian valuasi ekonomi yang dapat mengakomodasi karakteristik wilayah pesisir Indonesia yang tropis. Protokol ini sangat diperlukan karena beragamnya pendekatan dalam menilai ekosistim wilayah pesisir. Selain itu protokol tersebut perlu diberikan payung hukum sehingga memiliki kekuatan mengikat bagi institusi yang melakukan penilaian ekonomi. Protokol ini juga harus menyangkut mekanisme kompensasi dan ganti rugi yang harus dilakukan ketika terjadi kerusakan di wilayah pesisir maupun tepian air.

Kesimpulan

Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memiliki arti strategis baik secara ekonomi, sosial dan ekologi. Ketidak mampuan mengapresiasi kawasan ini diindikasikan oleh persepsi akan rendahnya nilai ekonomi kawasan karena hanya melihat nilai pasar dan nilai kegunaan langsung semata. Akibatnya overeksploitasi dan kerusakan lingkungan serta pemanfaatan sumber daya yang tidak berkelanjutan

sering menjadi masalah dalam pengelolaan wilayah pesisir di Indonesia. Penilaian sumber daya pesisir baik pasar maupun non-pasar patut difahami oleh pengambil kebijakan karena pemahaman akan nilai yang utuh akan layanan barang dan jasa akan memberikan umpan balik yang positif bagi pembangunan wilayah pesisir. Langkah-langkah strategis seperti pemetaan nilai ekonomi wilayah pesisir berbasis GIS, serta mengembangkan protokol valuasi ekonomi summber daya pesisir akan menjadi langkah positif dalam menangani dan mengelola summber daya di wilayah pesisir

Referensi

1. Constanza, R., R.d’Arge., R. de Groot, S. Farber., M. Grasso, B. Hannon, K.Limburg, S. Naeem, R.V. O’Neill, J.Paruelo, R.G. Raskin, P. Sutton, and M.v. den Belt. 1997. The Value of the world Ecosytem services abd natural capital. Nature 387: 253-260

2. Fauzi, Akhmad. 2008. Valuing Socio-economic benefit of protected area for human well-being. Report, Submitted to The Nature Conservancy (TNC)

3. Fauzi, Akhmad. 2006. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi. Gramedia Pustaka Utama.

4. R. Naheem, J.Talberth, S.Colt,E. Fleishman, P.Sweeden, K.J. Boyle, M.Rudd, R.D. Lopez, T.O’Higgins, C. Willer, and R.M. Boumans. 2008. The Economic Value of Coastal Ecosystem in California.

topik utama. Menakar Nilai Ekonomi Kawasan Pesisir

Page 21: Buletin TATA RUANG. Edisi September-Oktober 2009. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air

* buletin tata ruang 19

Pendahuluan

Kondisi geografis negara Indonesia yang memiliki banyak sungai sebagai orientasi kehidupan menjadikan tepian air/sungai sebagai tempat bermukim dan mencari mata pencaharian. Hal ini terjadi pada kawasan perkotaan maupun perdesaan yang mulai terbentuk sejak manusia mulai dapat memanfaatkan sungai sebagai sarana transportasi dan sumber daya alam yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.

Daerah tepi sungai merupakan salah satu bentuk pilihan lokasi permukiman yang pada umumnya merupakan permukiman “tradisional”. Perkembangan kemudian dengan bertambahnya penduduk dan berubahnya tingkat kedudukan kampung dalam struktur pemerintahan, berpengaruh besar pada perubahan permukiman “tradisional” (kampung) tersebut menjadi sebuah kota, terutama pada ibukota pemerintahan dimana terdapat tempat tinggal raja atau sultan .

Pada awalnya permukiman-permukiman tumbuh di daerah tepi sungai karena para pemukim mendekati sumber air bagi kegiatan mereka sehari-hari. Permukiman-permukiman ini kemudian berkembang menjadi kota pada sepanjang tepian sungai. Pada kiri kanan sungai yang sejajar dengan jalan didirikan atau dibangun rumah dan berbagai bangunan gedung yang diperlukan bagi kelengkapan permukiman

penduduk seperti pabrik, pelabuhan dan kegiatan ekonomi lainnya.

Permasalahan Infrastruktur Permukiman Bantaran Sungai

Pada masa awal pembangunan, berbagai kawasan di perkotaan mengalami pertumbuhan fisik yang cepat. Pertumbuhan yang cepat tersebut dalam beberapa kasus kurang terkendali, tidak sesuai dengan rencana tata ruang, tidak serasi dengan lingkungan dan tidak selaras dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Permasalahan mulai muncul ketika lahan yang semakin terbatas menjadikan tepian sungai sebagai alternatif bagi kegiatan bermukim, khususnya bagi kaum urban berpenghasilan rendah. Keterbatasan akses untuk mendapatkan hunian yang layak telah memberikan ruang gerak untuk menyusup kepinggiran kota yang masih murah termasuk dalam ruang-ruang publik seperti kolong jalan tol, pinggiran rel dan tepian sungai. Mereka mendirikan hunian-hunian permanen maupun non permanen sebagai bentuk okupasi atas lahan-lahan di tepian sungai atau yang sering disebut stren kali atau bantaran sungai.

Selama kurun waktu yang cukup lama, hunian fisik yang mendiami bantaran sungai umumnya terbangun secara sporadis. Karakteristik kondisi bangunan dan lingkungan yang terbangun di bantaran sungai-sungai tersebut pada umumnya merupakan kawasan terbangun sangat padat dengan rata-rata KDB mencapai 80-90% dengan fungsi bangunan sangat beragam (mix use). Sungai-sungai tersebut telah membelah wilayah kota dan melewati kawasan-kawasan strategis di pusat kota yang sebenarnya juga rawan terhadap bencana banjir terutama di bagian muara sungai.

Indonesia merupakan salah satu negeri air dengan kebijakan tentang pengelolaan air termasuk yang terburuk di dunia. Dari total 472 kota dan kabupaten, hampir 300 kota dan kabupaten dibangun dekat sumber air, baik berupa danau, daerah aliran sungai (DAS), maupun tepi pantai. Namun, sudah lama pula sebenarnya kebijakan perencanaan kota kita dan pola budaya hidup warga tidak memperhatikan kualitas habitat sungai dan justru menambah kerusakan lingkungan.

Berkembangnya bantaran sungai sebagai kawasan permukiman membawa dampak menurunnya fungsi bantaran sungai sebagai retarding pond, ancaman bencana banjir dan tanah longsor, menurunnya kualitas lingkungan dan fungsi-fungsi lestari kawasan. Dengan semakin bertambahnya masyarakat yang bermukim di tepian sungai, lambat laun dapat mengakibatkan sungai alamiah yang seharusnya mempunyai stabilitas morphologi dan komponen retensi hidraulis (retensi tebing, dasar sungai, alur sungai serta erosi, sedimentasi, dan banjir) yang paling tinggi itu tidak dapat diminimalisir atau dikendalikan oleh sungai sendiri.

topik utama.Oleh : Deva Kurniawan Rahmadi

Staf Perencanaan Teknis dan Pengaturan Direktorat Pengem-bangan Permukiman Ditjen. Cipta Karya

Permukiman Bantaran Sungai:Pendekatan Penataan Kawasan Tepi Air

Permukiman Di Tepi Kali Code - Yogyakarta

Page 22: Buletin TATA RUANG. Edisi September-Oktober 2009. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air

20 buletin tata ruang *

Secara umum kondisi sungai-sungai di kota-kota besar di Indonesia memiliki beberapa permasalahan diantaranya yaitu:

• Rumah-rumah atau bangunan yang dibangun di sepanjang sungai umumnya mengambil bagian bantaran sungai sehingga alur sungai menyempit dan tidak dapat lagi menampung deras aliran air sehingga setiap kali hujan deras di pegunungan air meluap menggenangi permukiman.

• Kondisi permukiman pada umumnya padat dan kumuh, prasarana dan sarana tidak tertata dan tidak memadai.

• Setiap kali hujan turun dan air meluncur dari perbukitan, tidak langsung mengalir ke laut karena tertahan di kawasan reklamasi. Kondisi seperti ini senantiasa membentuk genangan-genangan air.

• Pembuangan limbah padat maupun cair ke badan air dan bantaran sungai di berbagai ruas sungai mencemari air dan menghambat aliran air sungai.

• Orientasi terhadap sungai masih menjadikan “river back”, sehingga sungai masih dianggap sebagai daerah belakang yang tidak diperhatikan

Bila dikaji dalam UU Nomor 23 tahun 1997 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 7 tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Permendagri Nomor 1 tahun 2007 tentang Penataan RTH Kawasan Perkotaan, dan Permen PU Nomor 5/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan RTH Kawasan Perkotaan, maka kawasan tepian sungai pada dasarnya merupakan kawasan yang diprioritaskan untuk ditata agar dapat mendukung keberlanjutan pembangunan perkotaan. Namun permasalahan di permukiman tepian sungai selain pengaturan adanya penetapan lebar garis sempadannya, permasalahan penyediaan infrastruktur pemukimannya pun lebih kompleks. Karena ketersediaan lahan lebih terbatas, tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, tingkat hunian yang tinggi, mengakibatkan menurunnya kualitas struktur hunian, proses erosi yang semakin melebar, serta kondisi atau pelayanan infrastruktur dasar yang buruk, seperti halnya jaringan jalan, jaringan air bersih, jaringan saluran pembuangan air limbah dan tempat pembuangan sampah untuk kesehatan lingkungan, jaringan saluran air hujan untuk pematusan (drainase) serta pencegahan pasang/banjir setempat dan pendangkalan sungai (erosi).

Pertumbuhan dan kepadatan penduduk yang tidak terkendali telah menimbulkan tekanan terhadap ruang dan lingkungan untuk kebutuhan kawasan terbangun. Perkembangan perumahan dan permukiman yang sangat pesat sering kurang terkendali dan tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan konsep pembangunan yang berkelanjutan, mengakibatkan banyak kawasan-kawasan rendah yang semula berfungsi sebagai tempat parkir air (retarding pond) dan bantaran sungai telah berubah menjadi daerah permukiman yang dihuni penduduk.

Kondisi ini akhirnya meningkatkan volume air permukaan yang masuk ke saluran drainase dan sungai karena semakin menyempitnya luasan lahan yang memiliki daya serap atas air hujan yang turun. Namun dilain pihak jaringan drainasenya memiliki kemampuan rendah untuk mengeringkan kawasan terbangun dan begitu pula rendahnya kapasitas

seluruh prasarana pengendali banjir (sungai, polder-polder, pompa-pompa, pintu-pintu pengatur) untuk mengalirkan air ke sungai dan laut.

Perencanaan Prasarana Dan Sarana Permukiman

Dalam mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat kegiatan permukiman yang tidak terkendali di bantaran sungai seperti tersebut diatas, diperlukan perencanaan sistem infrastruktur permukiman yang komprehensif. Salah satu tantangan utama dalam perencanaan sistem infrastruktur permukiman bantaran sungai adalah mempertimbangkan bagaimana semua faktor memberikan pengaruh pada lainnya, keterkaitan satu sama lain dan dampak-dampaknya. Perencanaan infrastruktur permukiman bantaran sungai merupakan proses dengan kompleksitas tinggi, interdisiplin serta multisektoral.

Prasarana dan sarana perumahan dan permukiman hakekatnya ber fungsi untuk melayani pusat-pusat permukiman dan jasa untuk kebutuhan dasar seperti air dan untuk menjaga kelestarian lingkungan serta untuk mendukung arus barang dan orang antar kawasan/pusat-pusat dalam kota maupun dengan wilayah kota sekitarnya. Pembangunan prasarana dan sarana perumahan dan pemukiman kota perlu dilakukan secara sinergis satu dengan yang lain sehingga dapat secara optimal mendukung kegiatan sosial ekonomi dan kelestarian lingkungan. Jaringan jalan dan jaringan drainase harus sinergis secara fisik agar aliran air dari permukiman dapat cepat mengalir ke sungai. Disamping itu, pengelolaan sampah dan air limbah harus baik,agar tidak menyumbat saluran dan merusak kualitas air permukaan dan air tanah.

Model Penataan Kawasan Permukiman Bantaran Sungai

Dalam rangka mewujudkan penataan kawasan permukiman bantaran sungai dapat diupayakan suatu Pendekatan dengan menggunakan model penataan seperti

• Penghidupan kawasan (vitalisasi) yaitu: pendekatan penanganan dengan meningkatkan kinerja dan dinamika fungsi kawasan, baik melalui optimasi pemanfaatan potensi dan sumberdaya lokal, menambahkan (infill) sarana/prasarana kawasan maupun membuka akses dan mengintegrasikan kawasan terhadap pusat-pusat pelayanan/kegiatan kota yang telah berkembang.

topik utama. Permukiman Bantaran Sungai: Pendekatan Penataan Kawasan Tepi Air

Page 23: Buletin TATA RUANG. Edisi September-Oktober 2009. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air

* buletin tata ruang 21

Permukiman Tepi Sungai Musi - Palembang

• Penghidupan kembali kawasan yang surut (revitalisasi) yaitu: ditujukan pada kawasan yang menurun fungsi sosial ekonominya melalui usaha menghidupkan kembali aktivitas perkotaan dan vitalitas kawasan untuk mewujudkan kawasan yang layak huni (livable), mempunyai daya saing pertumbuhan dan stabilitas ekonomi lokal serta terintegrasi dalam kesatuan sistem kota.

• Pembangunan kembali (redevelopment) yaitu: pendekatan penanganan melalui cara membangun kembali (rekonstruksi) kawasan dengan fungsi baru yang dinilai memiliki potensi dan prospek yang lebih baik dari fungsi sebelumnya.

• Peningkatan Kualitas Lingkungan melalui Peremajaan (renewal) yaitu: pendekatan menata kembali kawasan dengan mengganti sebagian atau seluruh unsur-unsur lama dengan unsur-unsur baru untuk tujuan mendapatkan nilai tambah yang lebih memadai sesuai dengan potensi dan nilai ekonomi kawasan tersebut.

• Intensifikasi Pembangunan yaitu: pendekatan pena-nganan dengan memanfaatkan ruang-ruang yang tersedia seoptimal mungkin.

• Rehabilitasi Kawasan yaitu: pendekatan penanganan dengan cara memperbaiki lingkungan kawasan yang telah terjadi degradasi sehingga dapat berfungsi kembali sebagai sedia kala.

• Peningkatan kualitas lingkungan melalui peningkatan sarana dan prasarana.

Kota-kota besar seperti Jakarta, Banjarmasin, Surabaya, Yogyakarta, dan kota lainnya yang memiliki sungai-sungai besar harus dapat mengembalikan fungsi sungai serta bebas dari sampah, menghidupkan penghijauan tepian sungai serta menjadikannya sebagai halaman muka bangunan dan wajah kota. Meski memakan waktu lama dan membutuhkan daya tahan kesabaran, upaya revitalisasi bantaran kali harus diikuti sosialisasi yang mendorong warga untuk berpartisipasi pindah secara sukarela bergeser (bukan tergusur) ke kawasan terpadu yang komprehensif.

Secara khusus dalam penanganan squatters (permukiman di atas lahan ilegal) di bantaran sungai baik di perkotaan maupun di luar perkotaan, maka bangunan apapun yang berdiri direkomendasikan untuk dipindahkan/direlokasikan kelokasi yang lebih aman sesuai dengan rencana tata ruang yang ada, kecuali bangunan atau fasilitas kegiatan terkait dengan pengairan atau infrastruktur untuk kepentingan umum. Bagi masyarakat squatters yang di relokasi atau

dipindahkan perlu disiapkan dulu lokasi atau kawasan yang sesuai dengan kebutuhan dan aksesibilitas yang cukup.

Penanganan squatters yang berada di luar kawasan garis sempadan sungai antara lain lain dilakukan dengan:

• Direkomendasikan stratus hak atas tanahnya menjadi legal (pemutihan) dalam bentuk hak sewa atau hak guna bagunan dengan batas waktu tertentu sepanjang kawasan tersebut sesuai dengan peruntukan tata ruang.

• Direkomendasikan dalam revisi rencana tata ruang lima tahunan untuk dilakukan optimalisasi peruntukan pemanfatan ruang perkotaan dengan fungsi campuran.

• Perbaikan kualitas lingkungan berupa rehabilitasi, peningkatan dan perbaikan pemugaran rumah dengan dana bergulir

• Membentuk wadah sebagai perwakilan squatters dari masyarakat squatters, LSM, dan badan independen lainnya serta pemerintah

• Mencegah munculnya squatter baru dengan mengurangi migrasi penduduk

• Sosialisasi secara intensif kepada wadah perwakilan squatters dengan membuat aturan–aturan yang lengkap dengan sanksi–sanksi serta tata cara hidup berdomisili di kawasan pemutihan squatters sebagai alat mengantisipasi dan mencegah urbanisasi fisik dari hinterland, upaya penyadaran keamanan komunitas sebagai tanggung jawab bersama dapat mengurus dirinya sendiri

• Mengadakan lomba tingkat kebersihan, kerapian pada masing-masing kawasan masyarakat squatters pada hari besar Nasional atau hari besar lainya guna menciptakan kegotong-royongan menciptakan suasana bersih sehat dan asri.

• Melakukan penataan permukiman bantaran sungai juga perlu melalui pemahaman konteks sosial dan budaya masyarakat setempat. Kultur budaya masyarakat seperti di Banjarmasin atau Palembang yang terintegrasi dengan tepian sungai patut diperhitungkan. Berkaca pada penataan Kali code Yogyakarta, proses pelibatan masyarakat sendiri yang menjadi concern utamanya. Keinginan warga untuk menata permukiman mereka sendiri (pendekatan secara bottom-up) perlu dipertim-bangkan dibandingkan dengan penataan permukiman secara kaku atau formal, walaupun regulasi tetap perlu dijalankan

topik utama. Permukiman Bantaran Sungai: Pendekatan Penataan Kawasan Tepi Air

Page 24: Buletin TATA RUANG. Edisi September-Oktober 2009. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air

22 buletin tata ruang *

topik utama.Oleh : Hendra Yusran Siry

ahli kelautan pada Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan

Pengelolaan Pesisir Berbasis Masyarakat Dalam Kerangka

Penataan Ruang

Pendahuluan

Pengelolaan berbasis masyarakat (PBM) telah menjadi arus utama (mainstreaming) dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. Kegagalan kebijakan pengelolaan yang sentralistik dalam menjamin keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir berikut aksesibilitas masyarakat di sekitar sumberdaya tersebut, telah memicu dan memacu pentingnya untuk memposisikan masyarakat sebagai entitas utama dan penentu dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. Desakan untuk lebih memberikan ruang bagi masyarakat untuk menentukan pola pengelolaan sumberdaya pesisir yang berada dalam lingkup kawasannya serta beragamnya adat serta budaya di kawasan pesisir Indonesia, menjadikan PBM sebagai keharusan dalam penerapan pengelolaan sumberdaya pesisir. Desakan ini semakin kuat gaungnya seiring dengan momentum reformasi yang membawa perubahan mendasar dalam tata hubungan pemerintahan dan tata kelola wilayah pesisir.

Tata kelola wilayah pesisir sebagaimana diamanatkan UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah memberikan kewenangan bagi Pemda serta masyarakat untuk mengelola wilayah pesisir dan sumberdaya yang terkandung di dalamnya sesuai dengan karakteristik setempat. Lebih lanjut dalam UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menempatkan masyarakat berikut peran sertanya sebagai asas pengelolaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil . Bahkan asas kemitraan, desentralisasi dan keadilan dalam implementasinya juga mengisyaratkan pentingnya masyarakat sebagai entitas utama pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Amanat dari dua dasar hukum utama pengelolaan wilayah pesisir tersebut di atas menuntut kesiapan masyarakat dalam menjalankan mandat serta kejelian untuk mengelola wilayah pesisir yang merangkum ruang dan penataan ruang terutama pada skala lokal. Tulisan ini menelaah pengelolaan

berbasis masyarakat dalam kerangka penataan ruang di wilayah pesisir.

Pengelolaan Berbasis Masyarakat Dan Perkembangannya

Pengelolaan berbasis masyarakat (PBM) merupakan suatu pendekatan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya pesisir yang berfokus dan merujuk pada konsep pendekatan berorientasi masyarakat serta terpadu dalam upaya mendapatkan hasil dan manfaat yang lebih baik dibanding pendekatan yang bersifat sentralistik (Israel, 2001). PBM telah menjadi bagian utama dalam strategi konservasi dan solusi alternatif untuk pengelolaan sumberdaya pesisir (Berkes, 1989, 1994, 2003; Kuperan et.al, 1998, Nielsen et.al, 2004; dan Pomeroy, 1994, 1998).

PBM menekankan pentingnya proses pengelolaan yang berbasis kekhasan lokal, berorientasi pada peningkatan kesejahteraan serta diterapkan secara holistik dan berkelanjutan (Israel, 2001). Asumsi yang mendasari hal ini adalah pengelolaan wilayah pesisir akan lebih efektif dilakukan dan dirasakan manfaatnya jika dilakukan oleh komunitas atau entitas yang sehari-hari dekat dengan sumberdaya serta menjadikan sumberdaya tersebut sebagai bagian hidupnya.

Untuk menjadik an asumsi tersebut efekti f dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa faktor penentu keberhasilan PBM. Berkes et.al (2004) mengidentifikasi faktor-faktor tersebut yang meliputi pra kondisi (pre-existing condition) seperti adanya organisasi lokal dan kemampuan organisasi tersebut untuk menggerakan dan dipercaya oleh masyarakat serta pengaturan kelembagaan. Kepemimpinan dalam organisasi lokal tersebut juga merupakan faktor yang penting dalam PBM dan revitalisasi pola PBM yang telah ada di masyarakat jika diperlukan. Mekanisme pendelegasian hak, otoritas serta kewenangan pengelolaan sumberdaya merupakan faktor penentu selanjutnya. Dalam skala nasional, mekanisme ini merujuk pada sistem dan

pengelolaan kawasan pesisir tidak terbatas pada pengelolaan aset atau kekayaan alamnya saja tetapi juga perlu mempertimbangkan penataan kawasan permukiman penduduknya, seperti di pantai kenjeran surabaya ini. foto koleksi hanny surya tambuwun

Page 25: Buletin TATA RUANG. Edisi September-Oktober 2009. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air

* buletin tata ruang 23

prosedur hukum, kebijakan serta adminsitrasi yang memiliki kompleksitas tinggi yang sangat memungkinkan terjadinya tumpang tindih atau tarik ulur kepentingan (Butarbutar et.al, 1997; Siry, 2006).

Untuk melakukan perubahan atau penyesuaian sistem dan prosedur ini dengan PBM tidak dapat dilakukan secara langsung. Dalam banyak hal, perubahan atau penyesuaian tersebut membutuhkan restrukturisasi yang signifikan bahkan besar-besaran agar bisa mengakomodir PBM (Berkes et.al 2004). PBM memerlukan landasan hukum dan dukungan peraturan perundangan yang dalam banyak hal sering terabaikan. Kurang atau tidak adanya insentif bagi masyarakat dalam mengelola wilayah pesisir dan bersinergi dengan konsep keberlanjutan, merupakan hal utama yang sering di ketengahkan dalam pembuatan dukungan kerangka hukum serta menjadi hal yang pelik dalam pelaksanaan PBM. Hal inilah yang membuat PBM kurang efektif di berbagai tempat (Kuperan et.al, 1998) dan perlunya memadukan PBM dengan konsep kemitraan yang lebih berorientasi pada sinergi positif antar pemangku kepentingan.

Kemitraan sangat diperlukan dalam pengelolaan wilayah pesisir yang memiliki kompleksitas tinggi terkait dimensi ruang, pengaturan serta hubungan antar pemangku kepentingan. Konsep ko-manajemen (pengelolaan bersama) yang mengedepankan azas kemitraan menjadi alternatif terobosan pengarustamaan masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir. Ko-manajemen diharapkan mampu menjawab kekosongan atau tidak penuhnya dukungan peraturan perundangan dan kelembagaan yang memerlukan peran pemerintah. Ko-manajamen merupakan proses pengelolaan yang membuka ruang untuk berbagai tingkatan peran pemerintah, masyarakat serta pemangku kepentingan lainnya untuk ikut menjadi bagian penentu dalam pengelolaan wilayah pesisir. Peran dan partisipasi yang dimungkinkan mulai dari proses informasi, konsultasi, kerjasama, komunikasi, pertukaran informasi, aksi bersama, kemitraan, kontrol masyarakat dan koordinasi inter daerah. Spektrum peran dan partisipasi tersebut diilustrasikan oleh Berkes et.al (2004) dengan mendapatkan posisi ko-manajemen pada pola PBM dan pengelolaan sentralistik yang dikontrol oleh pemerintah seperti pada Gambar 1.

Dalam konteks kekinian Indonesia, penerapan PBM akan banyak memerlukan langkah terobosan yang lebih besar. Tiga dasawarsa dalam pola pengelolaan yang bersifat sentralistik tidak serta merta bisa dirubah atau digantikan secara radikal, seperti langsung meletakkan hak dan tanggung jawab pengelolaan wilayah pesisir pada masyarakat tanpa pendampingan dari pemerintah (pusat ataupun daerah). Inisiasi lokal bisa saja dimunculkan, namun untuk tetap tumbuh kembang perlu disemai dengan pola kemitraan pemerintah, masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya. Saat ini, tata kelola pemerintah telah mengalami perubahan atau setidaknya mengarah pada perubahan yang berorientasi pelayanan. Perubahan ini perlu ditangkap dan dipadukan dalam upaya prakasa masyarakat dalam berinisiasi mengelola wilayah pesisir. Proses yang bertahap dan butuh waktu serta pembelajaran dari tahap pelaksanaan merupakan kata kunci dari upaya penerapan pola pengelolaan wilayah pesisir di Indonesia. Ko-manajemen memungkinkan hal tersebut dalam pelaksanaannya.

Abdullah, Visvanathan and Pomeroy (1998) menjelaskan PBM akan mengalami kesulitan dalam implementasinya serta melembagakannya jika (i) unsur birokrasi baik di tingkat pusat atau lokal masih belajar untuk mengadaptasi strategi desentralisasi, (ii) kapasitas kelembagaan pemerintah di daerah masih diragukan atau (iii) masyarakat belum terbiasa dalam merefleksikan dan menerapkan kewenangan dan kekuatan politis yang dimiliki. Koordinasi, saling menghargai dan mempercayai sangat diperlukan dalam penerapan pengelolaan wilayah pesisir yang efektif dan efisien. Ko-manajemen yang memungkinkan ruang pembelajaran hal tersebut dicapai secara bertahap merupakan pola pengelolaan yang sesuai dengan kondisi Indonesia saat ini.

Kebijakan Penataan Ruang Di Wilayah Pesisir

UU 26/2007 tentang Penataan Ruang menggarisbawahi bahwa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merupakan negara kepulauan berciri Nusantara yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara. UU 26/2007 juga mengamanatk an pentingnya upaya pengelolaannya secara bijaksana, berdaya guna, dan berhasil guna yang berpedoman pada kaidah penataan ruang sehingga kualitas ruang dapat meningkatkan

kesejahteraan umum dan keadilan sosial. Dalam konteks ini , penataan ruang merupakan sebuah pendekatan dalam pengembangan wilayah yang bertujuan u n t u k m e n i n g k a t k a n k u a l i t a s kesejahteraan masyarakat dan lingkungan h i d u p m e l a l u i u p aya p e n g e l o l a a n kawasan.

Menkimpraswil (2003) menjelaskan pendekatan penataan ruang dalam k a i tannya dengan pengembangan wilayah terdiri atas tiga proses yang saling berkaitan, yakni:

Proses perencanaan tata ruang wilayah, yang menghasilkan rencana tata ruang wilayah yang merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi manusia/makhluk hidup dengan lingkungannya

topik utama. Pengelolaan Pesisir Berbasis Masyarakat Dalam Kerangka Penataan Ruang

Page 26: Buletin TATA RUANG. Edisi September-Oktober 2009. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air

24 buletin tata ruang *

dapat berjalan serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia/makhluk hidup serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan (development sustainability);

Proses pemanfaatan ruang, yang merupakan wujud operasionaliasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan itu sendiri; dan

Proses pengendalian pemanfaatan ruang yang terdiri atas mekanisme pengawasan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan tujuan penataan ruang wilayahnya.

Sebagai daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia memiliki potensi ekonomi yang sangat besar serta menyediakan berbagai jasa lingkungan. Penataan ruang di wilayah pesisir menjadi faktor penting dalam pengelolaan wilayah pesisir yang efektif dan efisien.

Kebijakan penataan ruang di wilayah pesisir di samping merujuk UU 26/2007, juga diatur dalam UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil melalui empat tahapan proses perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang terdiri atas:

• Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RSWP-3-K);

• Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K);

• Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RPWP-3-K); dan

• Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RAPWP-3-K).

Norma, standar, dan pedoman penyusunan dokumen perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diatur dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan.

Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RSWP-3-K) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rencana pembangunan jangka panjang setiap Pemerintah Daerah dengan jangka waktu selama 20 (dua puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sekali. RSWP-3-K berisikan arahan strategis pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kedil yang mempertimbangkan kepentingan pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat serta pemangku kepentingan lainnya.

Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) yang merupakan dokumen perencanaan yang wajid disusun oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangan masing-masing dan berjangka waktu selama 20 (dua puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun. Proses penyusunannya melibatkan masyarakat berdasarkan norma, standar, dan pedoman yang ditetapkan. RZWP-3-K merupakan arahan pemanfaatan sumber daya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang diserasikan, diselaraskan, dan diseimbangkan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota. Penyusunan RZWP-3-K dilakukan dengan mempertimbangkan:

Keserasian, keselarasan, dan keseimbangan dengan daya dukung ekosistem, fungsi pemanfaatan dan fungsi perlindungan, dimensi ruang dan waktu, dimensi teknologi dan sosial budaya, serta fungsi pertahanan dan keamanan;

Keterpaduan pemanfaatan berbagai jenis sumber daya, fungsi, estetika lingkungan, dan kualitas lahan pesisir; dan

Kewajiban untuk mengalokasikan ruang dan akses masyarakat (masyarakat adat dan masyarakat Lokal yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil) dalam pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang mempunyai fungsi sosial dan ekonomi.

UU 27/2007 membedakan RZWP-3-K provinsi dan kabupaten/kota, ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Untuk provinsi, RZWP-3-K mengatur (i) pengalokasian ruang dalam Kawasan Pemanfaatan Umum, Kawasan Konservasi, Kawasan Strategis Nasional Tertentu, dan

alur laut; (ii) keterkaitan antara ekosistem darat dan ekosistem laut dalam suatu bioekoregion; ( i i i ) penetapan pemanfaatan ruang laut; dan (iv) penetapan prioritas kawasan laut untuk tujuan konservasi, sosial budaya, ekonomi, transportasi laut, industri strategis, serta pertahanan dan keamanan. R Z W P - 3 - K k a b u p a t e n / k o t a berisi arahan tentang (i) alokasi ruang dalam Rencana Kawasan Pemanfaatan Umum, rencana Kawasan Konser vasi , rencana K a w a s a n S t r a t e g i s N a s i o n a l Tertentu, dan rencana alur; serta (ii) keterkaitan antarekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil dalam suatu bioekoregion.

Rencana Pengelolaan Wilayah Pesis i r dan Pulau-Pulau Keci l (RPWP-3-K) merupakan dokumen

topik utama. Pengelolaan Pesisir Berbasis Masyarakat Dalam Kerangka Penataan Ruang

Page 27: Buletin TATA RUANG. Edisi September-Oktober 2009. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air

* buletin tata ruang 25

pengelolaan yang yang berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat ditinjau kembali sekurang- kurangnya 1 (satu) kali. RPWP-3-K berisikan :

Kebijakan tentang pengaturan serta prosedur administrasi penggunaan sumber daya yang diizinkan dan yang dilarang;

Skala prioritas pemanfaatan sumber daya sesuai dengan karakteristik Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;

Jaminan terakomodasikannya pertimbangan pertimbangan hasil konsultasi publik dalam penetapan tujuan pengelolaan Kawasan serta revisi terhadap penetapan tujuan dan perizinan;

Mekanisme pelaporan yang teratur dan sistematis untuk menjamin tersedianya data dan informasi yang akurat dan dapat diakses; serta

Ketersediaan sumber daya manusia yang terlatih untuk mengimplementasikan kebijakan dan prosedurnya.

Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RAPWP-3-K) adalah dokumen perencanaan yang lebih bersifat teknis detail yang berisikan daftar kegiatan yang akan dilakukan dengan merujuk kepada Rencana Pengelolaan dan Rencana Zonasi sebagai upaya mewujudkan rencana strategis. Dokumen perencanan ini berlaku 1 (satu) sampai dengan 3 (tiga) tahun.

PBM Dalam Penataan Ruang Wilayah Pesisir

Masyarakat memiliki peran penting dalam mekanisme penyusunan empat dokumen perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RSWP-3-K, RZWP-3-K, RPWP-3-K, dan RAPWP-3-K). Keterlibatan masyarakat diamanatkan UU 27/2007 dalam proses penyusunan keempat dokumen perencanaan serta penyebarluasan konsep untuk masukan, tanggapan, dan saran perbaikan. Hal ini juga sejalan dengan tujuan dari pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan, dan keberkelanjutan (Pasal 4 huruf c UU 27/2007).

Peran masyarakat dalam penataan ruang dan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terus didorong oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sebagai amanat pelaksanaan UU 27/2007. P r a k a r s a p e m b e n t u k a n daerah perlindungan laut (DPL) di berbagai kawasan ekosistem pesisir penting m i s a l n y a , m e r u p a k a n ce r m i n a n p e r a n p e n t i n g masyarakat dalam melakukan penetapan peruntukan ruang pesisir serta alokasi kegiatan p e m a n f a at a n nya . H a l i n i disadari dan didasari karena masyarakat setempat lebih mengetahui karakteristik dan keunikan ekosistem pesisir di lingkup mereka, serta mereka yang akan menerima dampak langsung berbagai kegiatan

pengelolaan wilayah pesisir baik positif maupun negatif. Pola sinergi positif yang digulirkan melalui penguatan aspek legalitas DPL oleh pemerintah juga berdampak positif pada keberlanjutan pengelolaan. Proses pembentukan DPL juga telah menjadi media pembelajaran bagi pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya untuk ikut mengelola sumberdaya pesisir secara berkelanjutan dan berbasis pada kondisi setempat.

Melalui program rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang (Coral Reef Rehabilitation and Management Program/COREMAP) fase II, keterlibatan masyarakat adat dalam penataan ruang wilayah pesisir telah dirangkul. Untuk Kabupaten Raja Ampat misalnya telah ada 23 DPL yang tersebar di 21 kampung hasil pelaksanaan program COREMAP II (Buletin COREMAP II, 2009). Masing-masing DPL memiliki luasan yang bervariasi dan proses penetapannya juga melibatkan kompromi dan sinergi positif antar marga yang mengelola kawasan tersebut.

Proses penetapan DPL di Kabupaten Raja Ampat yang memiliki faktor adat dan kepemilikan marga yang kuat memerlukan dukungan dan kemitraan dengan pemerintah serta pemangku kepentingan lainnya. Setiap lokasi DPL yang sudah ditetapkan diresmikan secara adat dan keagamaan. Pola sasi (buka tutup sumberdaya) dan penerapan sanksi sosial berupa hukuman adat menjadi pilihan penerapan pengelolaan DPL. Hasil pembelajaran dari pembentukan DPL di Kabupaten Raja Ampat mengindikasikan pentingnya peranan dan keberadaan fasilitator masyarakat dan motivator desa yang dalam program COREMAP fase II menjadi tanggung jawab pemerintah. Hasil pembelajaran ini menunjukkan bahwa pola ko-manajemen melalui sinergi positif masyarakat, pemerintah dan pemangku kepentingan cocok diterapkan dalam pengelolaan wilayah pesisir.

Peran masyarakat pesisir juga penting dalam perencanaan penataan ruang pesisir yang memiliki potensi bencana, baik bencana yang diakibatkan oleh alam, manusia, maupun kombinasi keduanya. Konsep zonasi (tata ruang) yang memperhatikan aspek kebencanaan, diharapkan dapat meminimalkan segala kerugian yang dapat ditimbulkan oleh bencana tersebut. Informasi rinci tentang kondisi wilayah pesisir setempat, serta proses adaptasi masyarakat pesisir terhadap lingkungannya merupakan sumbangan besar dalam penyusunan konsep dasar tata ruang kawasan

topik utama. Pengelolaan Pesisir Berbasis Masyarakat Dalam Kerangka Penataan Ruang

Page 28: Buletin TATA RUANG. Edisi September-Oktober 2009. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air

26 buletin tata ruang *

Sumber : picasaweb.google.com (20 Januari 2009 pukul 12.30 WIB)

Perumahan Di Atas Air, Masyarakat Desa Atubul – Maluku Tenggara Barat Yang Memiliki Kearifan Lokal Berupa Sasi (Adat Pengelolaan Kawasan Pesisir)Sudahkah Kelompok ini Menjadi Bagian Dari PBM ?

pesisir rawan bencana yang sesuai dengan karakteristik masyarakat lokal. Tanpa adanya informasi tersebut, tidak dapat diprediksi besarnya potensi bencana dan tingkat kesiap-siagaan masyarakat pesisir dalam mengantisipasi potensi bencana tersebut. Hal ini akan bermuara pada besarnya jumlah korban jiwa dan besarnya kerusakan yang terjadi di wilayah pesisir jika terjadi bencana.

Pasal 27 UU 27/2007 juga mengamanatkan peran penting masyarakat dalam pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah serta sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil. Dalam mekanisme pengawasan juga diperkenalkan proses akreditasi yaitu prosedur pengakuan suatu kegiatan yang secara konsisten telah memenuhi standar baku sistem pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang meliputi penilaian, penghargaan, dan insentif terhadap program-program pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat secara sukarela.

Tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan PBM

Masih belum terbiasanya masyarakat pesisir dan pulau-pulau dalam mengekspresikan keinginan dan rencana yang mereka miliki ke pemerintah serta pemangku kepentingan lainnya. Di sisi lain, keinginan dan rencana mereka tersebut sering terabaikan atau tidak ditanggapi, dan dalam beberapa kasus sering dikorbankan atas nama pembangunan. Hal ini menyebabkan tidak optimalnya penyampaian prakarsa dan inovasi dari masyarakat untuk pengelolaan sumberdaya pesisir dan alokasi pemanfaatan ruang pesisir. Mengentaskan kekurangan tersebut memerlukan berbagai intervensi seperti sosialisasi, peningkatan kepedulian, dan penguatan kelembagaan masyarakat oleh lembaga di luar masyarakat seperti dari LSM, pemerintah atau donor;

Adanya kelompok mayoritas yang lebih banyak diam (silent majority) dalam penerapan PBM dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Gejala ini berpotensi menyebabkan keterwakilan keinginan dari masyarakat pesisir tidak optimal dan cenderung bisa didominasi oleh satu pihak saja dalam masyarakat. Sehingga alokasi peruntukan ruang pesisir tidak mencerminkan rasa keadilan bagi masyarakat setempat dan hal ini bisa menjadi potensi konflik; dan

Kultur birokrasi baik pada tataran nasional maupun lokal yang belum memposisikan birokrasi sebagai mitra dan pelayan dalam pelaksanaan program pengelolaan wilayah

pesisir dan pulau-pulau kecil untuk mensejahterakan masyarakat pesisir. Pola sentralistik yang masih tetap membekas dalam birokrasi masih memerlukan upaya terus menerus dan terencana untuk menciptakan birokrasi yang cepat tanggap dan peduli pada prakarsa dan inovasi dari masyarakat sebagai bagian penting dalam pengelolaan wilayah pesisir.

Untuk mengatasi tantangan tersebut di atas, pemberdayaan masyarakat merupakan kunci utama dalam peningkatan kapabilitas dan kapasitas masyarakat pesisir dalam menentukan arah pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pemberdayaan masyarakat ini meliputi upaya pemberian fasilitas, dorongan atau bantuan kepada masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil agar mampu menentukan pilihan yang terbaik dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil secara lestari.

PENUTUP

Tulisan ini menelaah PBM dalam kaitannya dengan penataan ruang wilayah pesisir. Dari hasil diskusi pada bagian sebelumnya terlihat bahwa PBM akan efektif dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil jika ada sinergi positif dengan pemerintah serta pemangku kepentingan lainnya. Pola kemitraan yang bersinergi positif ini lazim dikenal sebagai ko-manajemen yang memberi ruang untuk saling berbagi tanggung jawab dan kewenangan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Merujuk pada kondisi kekinian Indonesia, ko-manajemen dipandang sebagai pendekatan yang sesuai dengan keberagaman masyarakat, budaya, eksosistem dan kapasitas pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya untuk pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil

DAFTAR PUSTAKAAbdullah, N.M.R, K.K Viswanathan, and R.S Pomeroy. 1998. ‘Transaction costs and fisheries co-management’. Marine Resource Economic 13 (2):103 - 114.Berkes, F. 1989. Common property resources : ecology and community-based sustainable development. London ; New York: Belhaven Press. ———. 1994. ‘Property rights and coastal fisheries’. In Community Management and Common Property of Coastal Fisheries in Asia and The Pacific: concepts, methods and experiences. . ICLARM Conference Proceeding 45, edited by R. S. Pomeroy. Mania: ICLARM.———. 2003. Rethinking Community-Based Conservation. Draft Paper for Conservation Biology. Manitoba: Natural Resources Institute, University of Manitoba

topik utama. Pengelolaan Pesisir Berbasis Masyarakat Dalam Kerangka Penataan Ruang

Page 29: Buletin TATA RUANG. Edisi September-Oktober 2009. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air

* buletin tata ruang 27

topik utama.Oleh : Ir. Martono Yuwono

Ketua Yayasan Pusaka Palapa Nusantara Raya dan Vice President Yayasan Pelestari Budaya Bangsa (Indonesian Heritage Trust)

Visi Pembangunan

WATERFRONT CITY

Suatu Tinjauan Budaya

Pendahuluan

Sudah merupakan fenomena era global yang ditunjukan kota-kota dunia di negara maju pada akhir akhir ini, dimana visi pembangunan masa depan kotanya dirancang sebagai refleksi strategi kota tersebut untuk merebut posisi ’world status’, sebagai strategi memasuki ajang perlombaan persaingan yang keras yang penuh tantangan dan ketidakpastian. Hal ini dapat dilihat sebagai esensi semangat globalisasi. Survival merupakan esensi perjuangan, strategi masa depan menjadi fenomena dinamika pembangunan kota-kota besar di dunia.

Berbicara tentang kota pantai atau waterfront city, maka kita berbicara tentang sejarah penjelajahan bangsa-bangsa maritim dunia pada era pencerahan abad ke-17-18 di Eropa, untuk mengeksplorasi kawasan ’new frontier’ sebagai kawasan-kawasan yang penuh misteri dibalik ’ujung lautan’ dibalik ’bola dunia’ yang dilayari. Jiwa petualangan bangsa untuk mengarungi dunia menjadi ajang perlombaan persaingan antar bangsa-bangsa dalam penjelajahan lautan yang penuh risiko. Berbagai mitos, semangat dan etos kepahlawanan sebagai bangsa bahari yang gagah perkasa dalam mengarungi lautan merupakan kebanggaan berbagai bangsa–bangsa pelaut dunia yang tercatat dalam sejarah dunia, seperti Spanyol, Portugis, Inggris, Belanda, Perancis, Cina, dan lain-lain. Jejak perjalanan mereka ditandai dengan bandar-bandar pelabuhan lama yang mencerminkan monumen sejarah pelayaran mengarungi lautan yang tersebar di seantero dunia.

Berbagai kota-kota pelabuhan lama dunia telah menggali sejarah masa lalu sebagai inspirasi masa depan

pembangunan kota melalui rancangan masterpiece. Karya masterpiece itu dianggap sebagai landmark kebanggaan yang membangkitkan kenangan kejayaan masa lalu, yang dibutuhkan bagi membangun rasa percaya diri untuk menatap masa depan kota tersebut. Kota pelabuhan masa lalu menjadi ikon kota yang mengangkat kembali wibawa, gengsi dan pamor kota, bahkan mengimbas pada kebangkitan pamor bangsa dan negara dimana kota tersebut berada. Kawasan inilah awal mula dikenal dalam nama bergengsi, sebagai ’waterfront city’. Pembangunan waterfront city berkembang sebagai trend pembangunan kawasan perkotaan yang paling bergengsi yang populer. Pendekatan pembangunan kota pantai memiliki jangkauan yang luas, mulai dari konservasi, revitalisasi, atau penataan ulang hingga reklamasi kawasan laut.

Pembangunan kawasan waterfront city pada awalnya dikenal orang sebagai inovasi Amerika, yang melahirkan suatu pendekatan pembangunan kota pantai atau bandar lama sebagai bagian dari pembangunan kota. Sebagai contoh yang signifikan adalah pembangunan penataan kota bandar Baltimore bagi mengatasi kebangkrutan yang dialami kota-kota besar akibat resesi ekonomi pada tahun 1970an. Pada masa itu kota-kota bandar di Amerika mengalami proses pengkumuhan yang mengkhawatirkan. Baltimore tak luput sebagai salah satunya. Dari kota inilah konsep pembangunan kota pantai dilahirkan, yang diakui sebagai strategi solusi dari keterpurukan kota-kota besar di Amerika.

Pada masa itu Baltimore menghadapi persoalan yang berat, seperti pertumbuhan ekonomi negatif, memburuknya infrastruktur kota, terutama kota tua/bandar lama, tertariknya

masyarakat pada promosi kehidupan yang ’lebih baik’ pada kawasan ’new town’ sebagai suatu pilihan, pindahnya besar-besaran atau eksodus penduduk kota tua/bandar lama ke kota baru/new town, masuknya ’the blacks’ mengisi kekosongan di sudut-sudut kawasan kota tua/bandar lama, naiknya tingkat k r iminal i tas , penurunan k ual i tas kehidupan dan kondisi kota tua/bandar lama akibat proses pengkumuhan yang terus berlanjut.

D i p i h a k l a i n p e m e r i n t a h k o t a m e n u n j u k a n k e t i d a k b e r d a y a a n mengatasi situasi yang terus memburuk. Beruntunglah kota ini memiliki seorang ’urban visioner’ bernama James Rouse yang berjiwa nasionalis, yang tak rela melihat keterpurukan bandar lama yang sarat dengan lapisan sejarah patriotisme

Page 30: Buletin TATA RUANG. Edisi September-Oktober 2009. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air

28 buletin tata ruang *

perjuangan Amerika mencapai kemerdekaan. Dia tampil dengan sebuah gagasan pembangunan sebagai solusi. Penerapan visi Rouse yang didukung pemerintah kota pada akhirnya berhasil memulihkan situasi, yang dianggap sebagai keajaiban Amerika dalam memulihkan kota dari belitan resesi ekonomi. Resep James Rouse selanjutnya banyak mempengaruhi perencanaan kota, dan penerapannya dianggap sebagai revolusi dalam pembangunan kota.

Keberhasilan Baltimore kemudian diangkat sebagai model untuk diterapkan sebagai strategi pembangunan kota-kota bandar, yang merupakan ’model Amerika’ sebagai “the great show cases of urban revitalization”. Rouse dianugerah Penghargaan dari Presiden Clinton sebagai Pahlawan Revitalisasi Amerika yang telah mengenalkan keajaiban kebangkitan kota dari kebangkrutannya, yang ditiru berbagai kota pantai di seantero Amerika, bahkan pada kota-kota bandar di dunia. Peristiwa ini merupakan awal mula kelahiran penataan ulang kawasan bandar lama yang disebar luaskan dalam mass media sebagai pembangunan waterfront city. Dalam sejarah perkotaan, pembangunan kawasan pantai/waterfront city berkaitan dengan siklus jatuh bangunnya sebuah kota yang berawal mula dari pertumbuhannya dari sebuah cikal bakal kota tersebut yang dianggap sebagai kota induk, yang berkembang menuju posisinya yang sekarang sebagai kota besar pada masa kini.

Transformasi The Golden Time Menjadi The Hard Time Kota Pantai

Bermula pada sebuah kota di tepian laut atau sungai, yang dianggap sebagai kota pantai (baca: kota tepi laut, sungai/danau), kota pada era ini dikenal sebagai ’The Golden Time’ kota pantai.

Kota-kota ini tumbuh berkembang, sejalan dengan sejarah kemajuan peradaban manusia, serta lompatan-lompatan inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai proses budaya yang menyertainya. Peradaban manusia era industri telah mempengaruhi struktur kota. Transformasi struktur kota era pra revolusi industri yang penuh romantika dengan ciri sebagai waterfront city yang indah. harus berhadapan dengan kota yang melayani fungsi yang berlainan akibat revolusi industri.

Revolusi industri telah memacu perubahan karakter kota yang pada mulanya terintegrasi dengan laut/sungai/danau, berdampingan dengan kota yang berkarakter berbeda. Kota

awal sebagai kota induk yang dikenal sebagai waterfront city harus terintegrasi pada fungsi baru sebagai kota industri. Benturan kepentingan tak terhindarkan. Dualistik karakter kota pantai, di satu pihak sebagai kota berbudaya kota pantai harus berhadapan dengan karakter baru kota industri, yang ditandai dengan pembangunan kepentingan baru yang membutuhkan efisiensi dalam pemanfaatan lahan bagi pembangunan industri, bahkan bagi pengembangan pelabuhan, dan pergudangan dengan pembangunan sarana transportasi yang memilih sasarannya pada kawasan yang ’rawan’ yaitu kawasan kota pantai.

Tak pelak kawasan pantai menjadi ajang pembangunan industrialisasi, yang memacu kota pantai sebagai ajang pembangunan industrialisasi. Sarana penghubung antar kawasan-kawasan pelabuhan, industri, pergudangan dilayani oleh sebuah infrastruktur jalan raya yang membelah kota-kota pantai (sebagai kota induk) dengan pertumbuhan kota tersebut kearah daratan, sebagai konsekuensi terblokirnya pertumbuhan pada kawasan pantai. Sebaliknya kota pantai berkembang sebagai kawasan kumuh akibat kekerasan karakter yang diciptakan oleh visi kota industri (ingat film ’On the waterfront’ yang dibintangi oleh Marlon Brando).

Perusakan Bandar Lama diakibatkan cara pikir dan sikap hidup manusia pada era revolusi Industri dan revolusi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang dengan mengatas namakan pembangunan “modernisasi”. Implementasi moder nisas i ya i tu melaksanak an pembangunan “peremajaan kota” dengan sasaran kota masa lalu yang dianggapnya tidak efisien untuk mengakomodasi tuntutan pertumbuhan ekonomi sebuah kota (seperti, Sunda Kelapa ). Dipihak lain pengkumuhan bandar lama era resesi ekonomi dunia tahun 70an telah memojokan keberadaannya pada posisi sebagai beban kota semata. Hal tersebut menginspirasi kelahiran gerakan restorasi bandar lama dalam motivasi penyelamatan sebuah pusat peradaban manusia. Era ini dikenal sebagai ’Hard Time’ kota pantai

Kebangkitan the Golden Time Kota Pantai

Sebuah siklus yang mewarnai pengembangan kota untuk kembali pada era ’Golden Time’ ditandai dengan kebijakan pemindahan sektor pelabuhan, industri dan pergudangan keluar kawasan kota pantai, akibat tuntutan efisiensi untuk melayani kemajuan teknologi maritim yang membutuhkan

topik utama. Visi Pembangunan WATERFRONT CITY Suatu Tinjauan Budaya

Page 31: Buletin TATA RUANG. Edisi September-Oktober 2009. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air

* buletin tata ruang 29

London DocklandSumber : Http://Www.Holiday-Beds-Direct.Com/United_kingdom/London/Docklands

CLARKE QUAY, SINGAPURAsumber : http://www.singapore-vacation-attractions.com/images/dinning-boat-clarke-quay

lahan yang luas bagi pembangunan pelabuhan berskala luas. Kawasan kota industri menjadi kosong dan ’idle’ atau mubasir yang membutuhkan suatu visi yang inovatif bagi membangkitkan kembali pada pamor lama, yaitu sebagai kota pantai. Kebijakan membangkitkan kembali kawasan ex industri sebagai kota pantai/ waterfront city inilah yang mengawali visi kembali ke laut dari pembangunan sebuah kota.

Percontohan yang dapat diungkap sebagai kasus disini adalah proyek ’Urban Regeneration’ kota-kota pelabuhan lama di Inggris, seperti London Dockland (London) , Albert Dock (Liverpool), dan lima proyek urban regeneration pelabuhan lama lainnya di seantero Inggris. Proyek ini merupakan gagasan Perdana Menteri Thatcher, yang mencanangkannya sebagai ’the decade of achievement’, sebuah gagasan yang membangkitkan kembali ingatan ’British rules seven waves’ yang mengangkat wibawa dan gengsi Inggris sebagai bangsa yang jaya di lautan. Era ini dikenal kembali sebagai ’Golden Time’ kebangkitan kota pantai.

Perhatian manusia kini terfokus pada pembangunan kota pantai yang sarat mewadahi mitos kebesaran masa lalu,

yaitu tak lain adalah kawasan bandar lama yang penuh kenangan akan kejayaan para founding fathers yang telah meletakkan pondasi bagi pembangunan masa depan, sebagai penggugah generasi penerus untuk melanjutkan perjuangan sebagai panggilan sejarah. Demikianlah awal mula kelahiran fenomena pembangunan kota pantai didunia.

Pemanfaatan Pengembangan Kota Pantai

Pembangunan kawasan kota pantai tak terlepas dari pembangunan pencitraan kawasan ini sebagai kebanggaan sebuah kota, yang merupakan kekuatan daya tarik kota tersebut sebagai kota dunia yang berkarakter dan berwibawa. Dipihak lain pembangunan karakter kawasan ini tak terlepas dari tujuan mengantisipasi persaingan kota bagi tujuan merebut pasar, melalui pembangunan dengan mengangkat kekuatan keunggulan citra sedemikian rupa sehingga membangkitkan daya tarik yang kompetitif bagi tujuan kepariwisataan, bisnis dan investasi. Untuk itu pula kota-kota dunia berlomba membangun citra yang kompetitif, dengan mengangkat semangat kota, yang pada umumnya dikaitkan dengan semangat masa lalu kota tersebut.

Bandar lama merupakan elemen kota pantai yang berposisi sebagai landmark kebanggaan sebuah kota. Beberapa contoh bandar lama yang dibangun sebagai kota pantai yang mengangkat pamor sebuah kota yang terkenal adalah, bandar lama Inner Harbor di Baltimore, bandar lama Faneuil Hall di Boston, London Dockland di London, Inggris, bandar lama Darling Harbour di Sydney Australia, Alloha Tower di Hawaii USA, Boat & Clarke Quay di Singapore , Port Vell di Barcelona, Spanyol, Minato Mirai 21, Yokohama, kota pantai Cape Town, Dubai serta Sunda Kelapa Jakarta dan Kawasan Pantura Jakarta. Semuanya ditujukan sebagai sarana bagi mengangkat gengsi dan menumbuhkan ekonomi kota sekaligus devisa negara, disamping mengangkat PAD kota.

Bagaimanakah Dengan Indonesia?

Contoh di atas merujuk pada konsep dua kasus Amerika dan kasus Inggris dalam pembangunan waterfront city, keduanya berlandaskan suatu motivasi yang kuat untuk kebangkitan

topik utama. Visi Pembangunan WATERFRONT CITY Suatu Tinjauan Budaya

Page 32: Buletin TATA RUANG. Edisi September-Oktober 2009. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air

30 buletin tata ruang *

Koleksi Foto : Hanny Suryo

’national pride’ yang pada gilirannya mengimbas pada kebangkitan ekonomi. Berbicara tentang pembangunan kota pantai atau bandar lama di wilayah Nusantara, maka kita berbicara tentang sejarah kebesaran kejayaan Nusantara yang melatarbelakangi karakter kota bandar tersebut. Adalah merupakan suatu kenyataan sejarah bahwa tiga setengah abad kolonialisme telah meninggalkan sebuah misteri tentang pemudaran semangat bahari, hal mana mempengaruhi kekuatan citra dan karakter bandar lama di Indonesia.

Kita menyadari bahwa Indonesia sebagaimana Inggris adalah merupakan sebuah bangsa bahari besar dari sebuah negara kepulauan terbesar didunia. Merupakan suatu kenyataan bahwa perjalanan sejarah bahari Nusantara terpenggal tiga setengah abad pada era kolonialisme, merupakan proses penyusutan budaya bahari yang mengikutinya. Fenomena ini mempengaruhi pembentukan karakter kota-kota bandar di Indonesia yang berlangsung selama berabad-abad sepanjang era kolonialisme. Transformasi budaya bahari yang berkesinambungan merupakan fenomena (meminjam istilah Alvin Toffler) ’gegar budaya’ yang dapat kita lihat dengan kasat mata sekalipun pada karakter kota bandar Nusantara yang seolah kehilangan roh kejayaan masa lalu. Citra bandar lama warisan era kolonial terasa sebagai cerminan grand scenario semangat kolonialisme.

Pembangunan kawasan kota pantai dalam konteks revitalisasi bandar lama warisan kebesaran kejayaan sejarah Nusantara, menggugah kita untuk membangkitkan kembali karakter kejayaan bandar lama tersebut, yang membutuhkan sentuhan kesejarahan bagi merumuskan strategi masa depan kota bandar tersebut. Karena itu pengenalan kesejarahan amat dibutuhkan, tanpa pengenalan akan jejak sejarah, sulit kita merumuskan konsep pembangunan kota pantai untuk disandingkan sejajar dengan konsep pembangunan kota-kota pantai dunia sebagaimana di atas.

Kita t idak ingin membangun kota pantai sekedar melanjutkan konsep ’budaya kolonial’ yang mendominasi cara pandang dan cara pikir kita dalam merumuskan pembangunan masa depan. Kita tidak ingin terjebak pada semangat inferioritas yang masih mendominasi mind set kita (baca: mind set ’inferioritas’). Hal ini hanya akan melanggengkan dominasi pembangunan karakter

’a-historis’ kota bandar yang diwariskan pada era kolonial kepada kita. Benchmarking pada contoh kasus Amerika dan Inggris yang menginspirasi gerakan pembangunan kota-kota pantai di dunia, mengirim pesan sinyal kepada kita pada pilihan-pilihan sebagai berikut: pertama, belajar dari para pionir pendahulu pembangunan kota pantai/bandar lama sebagai bagian dari kebangkitan ‘national pride’ dan kebangkitan ekonomi kota sebagaimana contoh diatas; kedua, membangun kawasan kota pantai secara praktis, berdasar warisan masa lalu sebagai suatu kenyataan yang ’given’ untuk diolah dan dikembangkan sebagai daya tarik wisata kota semata; ketiga, membangun kota pantai sebagai konsep bebas tergantung kekuatan ekonomi serta imajinasi investor developer semata.

Penutup

Pembangunan kawasan kota pantai dalam konteks pembangunan revitalisasi bandar lama merupakan fenomena yang universal bagi membangkitkan kembali jiwa dan roh kejayaan masa lalu, yang berguna sebagai sumber inspirasi bagi pembangunan masa depan sebuah kota. Posisi strategis yang dimiliki sebuah bandar lama sebagai landmark nasional, merupakan peluang bagi membangkitkan jatidiri dan karakter kota, bahkan sebuah bangsa dan negara, yang memberi arti dan makna serta rasa percaya diri untuk diwariskan pada anak cucu sebagai generasi penerus.

Jakarta sebagai ibukota negara bahari terbesar di dunia, potensial merupakan ikon yang menginspirasi gagasan kebangkitan semangat bahari pada kawasan kota bandar yang tersebar diseantero Nusantara. Pembangunan kota pantai dalam konteks revitalisasi bandar lama yang merefleksi kebangkitan citra terpendam kebesaran kejayaan masa lalu Nusantara merupakan keunggulan kompetitif untuk diangkat bagi pembangunan ’national pride’ dan kebangkitan ekonomi nasional. Pembangunan kota pantai di Indonesia merupakan peluang bagi kebangkitan kekuatan citra sebuah bangsa bahari menghadapi kompetisi meraih world status bergengsi sebagaimana tuntutan persaingan kota-kota dunia pada era global. Visi pembangunan kota pantai diharapkan merupakan bagian dari strategi budaya bangsa dalam menyongsong era global

topik utama. Visi Pembangunan WATERFRONT CITY Suatu Tinjauan Budaya

Page 33: Buletin TATA RUANG. Edisi September-Oktober 2009. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air

* buletin tata ruang 31

topik lain.Oleh : Eddy Siswanto

Kepala Bappeda Provinsi DI Yogyakarta

Penanganan Kawasan Bencana Gunung Merapi

Lintas Sektor dan Lintas Wilayah

Sekilas Tentang Gunung Merapi

Gunung Merapi diperkirakan berdiri kokoh sejak 400.000 tahun yang lalu di sisi utara Provinsi DIY dan berjarak sekitar 30 Km dari kota Yogyakarta. Secara administratif termasuk dalam beberapa wilayah Kabupaten yaitu Sleman di Provinsi DIY, dan Kabupaten Magelang, Klaten dan Boyolali di Provinsi Jawa Tengah . Sesuai asal katanya meru dan api yang berarti gunung dan api, dengan letusan-letusannya secara aktif telah mengeluarkan lahar panasnya sejak 100.000 tahun yang lalu. Gunung ini sekaligus menjadi batas antara Provinsi DIY dan Provinsi Jawa Tengah. Merapi sering menjadi pusat perhatian karena sangat aktif dan mempunyai frekuensi erupsi yang tinggi. Secara geologis, Gunung Merapi tumbuh di atas dua jalur sesar kuarter yang saling tegak lurus di Jawa bagian tengah, yaitu kelurusan vulkanik Ungaran-Telomoyo-Merbabu–Merapi yang berarah utara–selatan dan kelurusan vulkanik Lawu-Merapi-Sumbing-Sindoro–Slamet yang berarah timur-barat. Jenis sesar yang terjadi adalah patahan mendatar, dan di sepanjang dua bidang sesar tersebut kemudian muncul deretan gunungapi dimulai dari Ungaran tua yang berumur Pleistosen Awal hingga Merapi yang masih aktif hingga sekarang.

Gunungapi Merapi merupakan salah satu gunungapi teraktif di dunia. Sejak tahun 1006 sampai Februari 2001, gunung ini diketahui telah meletus sebanyak 82 kali (Data Dasar Gunungapi Indonesia, 1979 dan Data Website Departemen ESDM, 2008). Siklus letusan Merapi dibagi dalam siklus pendek (2-5 tahun), siklus menengah (5-7 tahun) dan siklus panjang (lebih dari 30 tahun).

Menurut catatan kami, hampir setiap 5 tahun Gunung Merapi selalu meletus. Dengan ketinggian 2.968 meter diatas permukaan laut, puncak merapi berbentuk kerucut dan runcing dengan pertumbuhan yang relatif cepat, sehingga secara umum produk aktivitas Merapi tersebar pada radius yang tidak terlalu jauh dari puncak Merapi dengan jangkauan luncuran awan panas dapat mencapai sampai dengan 13 km dari titik semburan. Siklus letusan Merapi mempunyai karakterisitik yang khas, yang dimulai dari pertumbuhan kubah lava, kemudian gugur dan menghasilkan awan panas. Kubah lava yang tumbuh di puncak dalam suatu waktu karena posisinya tidak stabil atau terdesak oleh magma dari dalam mengalami runtuh yang kemudian diikuti oleh guguran lava pijar. Runtuhan kubah lava dan guguran lava ini dalam volume besar akan berubah menjadi awanpanas guguran (rock avalance), atau lebih dikenal dengan sebutan wedhus gembel, berupa campuran material berukuran debu hingga blok bersuhu tinggi (>700oC) yang meluncur dengan kecepatan tinggi (100 km/jam) ke dalam lembah. Puncak dari setiap siklus letusan umumnya berupa penghancuran kubah yang didahului dengan letusan eksplosif disertai awan panas guguran akibat hancurnya kubah. Pada akhir siklus, secara bertahap akan terbentuk kubah lava yang baru.

Aktivitas Merapi yang sangat intensif tentunya membawa ancaman bagi penduduk di sekitar lereng Merapi, terutama penduduk di Kecamatan Cangkringan, Turi, Pakem dan Tempel yang termasuk dalam wilayah administrasi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kategori bahaya letusan gunung api terdiri atas bahaya primer dan bahaya sekunder.

Bahaya Primer adalah bahaya yang langsung menimpa penduduk ketika letusan berlangsung. Misalnya, awan panas, udara panas (surger) sebagai akibat samping awanpanas, dan lontaran material berukuran blok (bom) hingga kerikil. Sedangkan bahaya sekunder terjadi secara tidak langsung dan umumnya berlangsung pada purna letusan, misalnya lahar, kerusakan lahan pertanian/perkebunan atau rumah. Dengan kata lain, bahaya sekunder merupakan efek samping dari produk Merapi yang merupakan bahaya primer.

Berdasarkan data yang telah dikumpulkan sejak abad ke 15, setiap kali Merapi meletus bisa dipastikan selalu meminta korban jiwa, walaupun kecenderungan jumlahnya semakin berkurang.

Page 34: Buletin TATA RUANG. Edisi September-Oktober 2009. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air

32 buletin tata ruang *

Kawasan rawan bencana adalah kawasan yang rentan terhadap bencana alam dan merupakan bagian dari kawasan lindung, adapun untuk bencana alam yang terjadinya karena letusan gunung api, gempa bumi, aliran lahar, banjir atau yang merupakan fenomena alam lainnya. Akibat yang ditimbulkan oleh bencana alam ini sangat merugikan serta menyebabkan penderitaan bagi manusia karena dapat mengurangi kesempatan masyarakat untuk terus menjalankan estafet pembangunan, menanamkan investasi yang lebih besar, menciptakan kegiatan baru maupun melaksanakan upaya pengembangan gagasan bagi perbaikan kehidupan masyarakat itu sendiri.

Potensi Gunung Merapi

Adapun sebab-sebab penduduk menempati kawasan merapi yang merupakan kawasan rawan bencana jelas dikarenakan akibat pertambahan jumlah penduduk yang telah meningkat berlipat ganda sehingga membutuhkan ruang sebagai tempat tinggal dan tempat berusaha, sedangkan ruang yang terdistribusikan bersifat tetap, kalaupun terdapat penambahan luas daratan dapat dikatakan tidak berarti dibandingkan peningkatan jumlah penduduk. Akibatnya penduduk terpaksa menempati lokasi yang rawan bencana. Hal ini tidak berhenti sampai disini, selain menempati lokasi rawan bencana penduduk juga melakukan kegiatan yang merusak lingkungan, seperti: penggundulan hutan sehingga menyebabkan longsor dan banjir, pembuangan sampah pada sungai yang akan menyebabkan banjir dan wabah penyakit. Alasan lain yang cukup mendasar adalah bahwa kawasan sekitar Merapi memiliki potensi wisata yang unik dengan segala aspek vulkanik yang dimilikinya. Potensi wisata ini semakin menarik dengan telah difungsikannya Museum Gunung Merapi (MGM) dengan segala kelengkapannya yang berlokasi di Kaliurang sehingga sangat mendukung wisata berbasis ilmu pengetahuan. Selain pariwisata, potensi pertanian yang didukung kesuburan tanah dilereng Merapi sangat baik untuk pengembangan sektor pertanian. Potensi penambangan batu, pasir dan abu yang sangat besar kuantitasnya untuk kebutuhan pembangunan infrastruktur

fisik yang mudah dieksplorasi penduduk. Disamping potensi-potensi tersebut adanya pengaruh ikatan budaya bagi penduduk berkaitan erat dengan pengaruh kraton Yogyakarta yakni hidup berdampingan secara harmonis dengan alam. Alasan alasan diatas apabila dikembangkan dengan optimal dengan mengedepankan aspek lingkungan dan memperhatikan kemungkinan yang terjadi dari aspek bahaya erupsi, tentu akan sangat mendukung untuk meningkatkan kesejahteraan penduduknya.

M e n a r i k u n t u k d i s i m a k p a n d a n g a n S r i S u l t a n Hamangkubuwono X sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta pada saat peresmian MGM yang menyatakan bahwa saat ini Provinsi DIY telah memiliki MGM, Museum Gumuk Pasir di Parangtritis dan lebih baik lagi jika dilengkapi dengan Museum Karst dengan bermacam type dan jenisnya. Disamping tersedianya Sabo Centre yang dimaksudkan selain penelitian dalam penanganan konstruksi sabo dam juga untuk meningkatkan taraf hidup dalam menjawab kebutuhan masyarakat. Ini bermakna bahwa untuk dapat hidup berdampingan secara harmonis dengan alam diperlukan pengetahuan yang mendalam tentang karakter dan sifat alam.

Untuk itulah maka DIY siap untuk menjadi pusat riset/ penelitian dan tempat pembelajaran yang utama (Centre of Excellence) bagi semua orang dalam memahami alam dengan segala tindak tanduknya. Arahan pengembangan yang dilakukan pada kawasan rawan bencana adalah dengan menciptakan kesempatan yang sama bagi penduduk untuk dapat merasa aman didaerah tempat tinggalnya. Pengembangan ini berarti memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan dalam menangani masalah bencana di daerahnya.

Pentingnya Pengelolaan Bersama Kawasan Gunung Merapi

Setiap sisi Gunung Merapi adalah bagian dari suatu kesatuan ekosistem unik dan menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat sekelilingnya. Karenanya untuk menjaga kelestarian ekosistem Gunung Merapi dibutuhkan model

pengelolaan secara utuh dan menyeluruh m e l i b a t k a n s e t i a p a s p e k e k o l o g i , mempertimbangkan setiap pemangku kepentingan, di setiap wilayah, dalam setiap tahapan kegiatan pengelolaan.

Cara hidup masyarakat Gunung Merapi sangat khas dan memiliki hubungan saling keterkaitan yang telah menjadi identitas sosial-budaya. Tak dapat disangkal bahwa identitas sosial-budaya adalah kekuatan masyarak at dalam memper tahank an keberadaannya.

Sebaran ancaman letusan Gunung Merapi tidak mengenal batas wilayah administratif. Perubahan t ingk at akti f i tas Gunung Merapi dapat dikaji gejalanya namun sulit diprediksikan waktu terjadinya letusan, intensitas dan sebaran material letusannya. Gejala yang teramati di satu kabupaten akan menjadi informasi penting bagi proses pengambilan keputusan bertindak di kabupaten lainnya.

topik lain. Penanganan Kawasan Bencana Gunung Merapi Lintas Sektor dan Lintas Wilayah

Page 35: Buletin TATA RUANG. Edisi September-Oktober 2009. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air

* buletin tata ruang 33

Urusan kemanusiaan melampaui batas-batas administratif. Di kawasan perbatasan Kabupaten Klaten-Boyolali-Magelang-Sleman, masyarakat dari satu kabupaten secara nyata hanya dapat menghindari bahaya letusan Merapi dengan evakuasi ke wilayah kabupaten lainnya. Menyadari kenyataan ini, diperlukan kerjasama lebih baik antarpemerintah kabupaten dalam penanganan kedaruratan lintas batas. Di tingkat masyarakat, kerjasama antar kabupaten telah terjalin dan menjadi kebutuhan serta kesadaran bersama.

Peran Pemerintah baik pusat dan daerah dalam penanganan kawasan merapi baik dalam pra bencana, tanggap darurat maupun paska bencana sangat signifikan. Dari aspek fisik antara lain Pembangunan infrastruktur bangunan pengendali banjir lahar (sabo dam) dibanyak tempat disepanjang kali yang berada di kaki Merapi (kali Gendol, Boyong, Bebeng, dan Opak) yang semula cukup berfungsi sebagai bangunan penahan kini juga dapat memberikan nilai tambah untuk mendukung pertanian dan perikanan rakyat disamping sebagai jalan penghubung antar desa pada saat aman. Penyediaan Barak Pengungsian yang layak huni sehingga pengungsi dan keluarganya dapat untuk sementara hidup dengan wajar sebagai keluarga dan masyarakat. Jalur evakuasi menuju barak pengungsian yang dibangun dengan lebar dan permukaan jalan aspal yang cukup dan baik serta menjamin untuk pergerakan orang dan barang dengan cepat dengan menggunakan kendaraan roda dua atau beroda empat. Begitu juga dalam penjaminan kesehatan, sosial dan budaya yang kesemuanya bermuara pada jaminan kehidupan masyarakat. Namun yang dipastikan dan diharapkan lebih berperan adalah masyarakat yang siap dalam melihat kawasan Merapi yang rawan bencana sebagai suatu tantangan dan kesempatan untuk mengembangkan diri.

Forum Merapi Sebagai Wujud Kerjasama Lintas Sektor - Lintas Wilayah

Untuk penanganan bencana kawasan Gunung Merapi membutuhkan koordinasi lintas wilayah. Salah satu upaya yang sudah dilaksanakan adalah dengan membentuk sebuah Forum yang kita kenal dengan nama Forum Merapi. Wadah kebersamaan ini menjadi penting mengingat setiap sisi Gunung Merapi adalah bagian dari suatu kesatuan ekosistem unik dan menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat sekelilingnya. Karenanya untuk menjaga kelestarian ekosistem Gunung Merapi dibutuhkan model pengelolaan secara utuh dan menyeluruh. Pengelolaan terpadu dapat melibatkan setiap aspek ekologi, kebencanaan termasuk menyangkut kepatuhan untuk mengikuti ketetapan kawasan rawan bencana untuk boleh atau tidak dibolehkannya kawasan untuk

ditempati atau sebatas menjadi lahan usaha, dengan mempertimbangkan setiap pemangku kepentingan di setiap wilayah.

Forum Merapi mulai digagas pada awal krisis letusan Gunung Merapi Posko Aju Pemerintah Propinsi Jawa Tengah di Kota Magelang, 26 Mei 2006 oleh perwakilan Pemerintah Kabupaten Klaten, Boyolali, Magelang, Sleman, Pemerintah Propinsi Jawa Tengah dan D. I. Yogyakarta.

Dalam perjalanannya Forum Merapi telah menghasilkan kesepakatan-kesepakatan tentang keorganisasian, mekanisme kerja, dan program kegiatan. Nota Kesepakatan Bersama antar Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Provinsi serta Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi dan Badan Geologi, dalam rangka penanggulangan dan pengurangan risiko bencana Gunung Merapi telah ditanda tangani pada tanggal 17 Desember 2007.

Selanjutnya, pada tanggal 19 Desember 2008 di Pos Pengamatan Gunung Merapi Babadan, Desa Krinjing,

topik lain. Penanganan Kawasan Bencana Gunung Merapi Lintas Sektor dan Lintas Wilayah

Page 36: Buletin TATA RUANG. Edisi September-Oktober 2009. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air

34 buletin tata ruang *

Gempa mengakibatkan terjadinya longsor di Bukit TinggiSumber : kissmeguntur.wordpress.com

Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang telah dilakukan penandatanganan Perjanjian Kerjasama Forum Merapi sebagai pernyataan sepakat untuk kerjasama membentuk dan mengikatkan diri dalam kegiatan Forum Merapi dengan obyek perjanjian kerjasama penanggulangan dan pengurangan risiko bencana Gunung Merapi. Forum Merapi diharapkan dapat menjadi wadah kebersamaan untuk menyatukan kekuatan-kekuatan dan menjembatani komunikasi antarpelaku dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan bersama pengurangan risiko bencana letusan Gunung Merapi. Forum Merapi mencakup upaya-upaya pengurangan risiko bencana letusan Gunung Merapi secara bersama-sama antar kabupaten dan pemangku kepentingan lain tanpa menambah atau mengurangi kewenangan dan tanggungjawab dari masing-masing pemerintah daerah.

Visi dari Forum Merapi adalah Terciptanya masyarakat yang memiliki ketangguhan dalam rangka menghadapi dan mengurangi risiko bencana Merapi melalui kerjasama antara Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat dan masyarakat serta pemangku kepentingan lainnya. Sedangkan misinya adalah:

• Melakukan koordinasi antar Pemerintah Daerah,Pemerintah Pusat, masyarakat dan pemangku kepentingan lain dalam Penanggulangan Bencana Gunung Merapi

• Mengelola aktivitas Penanggulangan Bencana antardaerah baik dalam situasi/pada saat tidak terjadi bencana, kesiapsiagaan, maupun pada saat tanggap darurat

• Menyebarluaskan informasi tentang aktivitas GunungMerapi kepada masyarakat

• Meningkatkankuantitasdankualitasprasaranadansaranauntuk penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.

• MeningkatkankapasitasPemerintahDaerah,PemerintahPusat, masyarakat dan pemangku kepentingan lain dalam Penanggulangan Bencana Gunung Merapi

Tujuan dalam forum ini adalah untuk menjembatani komunikasi dan pelaksanaan kegiatan bersama guna mewujudkan pengelolaan Gunung Merapi secara menyeluruh pada aspek ancaman, daya dukung lingkungan dan sosial-budaya masyarakatnya.

Untuk pertama kali pelaku yang terlibat adalah Pemerintah Kabupaten Klaten, Boyolali, Magelang, dan Sleman sebagai pengemban tanggungjawab utama pengurangan risiko bencana letusan Gunung Merapi, serta Masyarakat di kawasan rawan bencana letusan Gunung Merapi. Selain itu dalam pembentukannya forum ini didukung sepenuhnya oleh berbagai lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat, perguruan tinggi, dan para pelaku kemanusiaan lainnya.

Manfaat yang diharapkan dari terbentuknya forum adalah terwujudnya penguatan kapasitas dan kinerja pemerintah kabupaten sebagai penanggungjawab utama pengurangan risiko bencana dan terjalinnya kerjasama secara sinergi di lintas kabupaten dan pelaku dalam pengelolaan ancaman, daya dukung lingkungan dan sosial-budaya masyarakat lereng Gunung Merapi.

Sumberdaya dalam menggerakkan forum yang meliputi sarana, pendanaan, sumberdaya manusia untuk pelaksanaan kegiatan-kegiatan Forum Merapi dipenuhi bersama oleh masing-masing kabupaten dan dukungan tidak mengikat dari lembaga-lembaga yang terlibat. Dari identifkasi para pelaku kita temu kenali lembaga yang melibatkan diri adalah:

1. Pemerintah kabupaten Klaten, 2. Pemerintah kabupaten Boyolali, 3. Pemerintah kabupaten Magelang, 4. Pemerintah kabupaten Sleman,5. Pasag Merapi 6. PMI (Klaten, Boyolali, Magelang, Sleman)7. Balai Penelitian dan Pengembangan Teknik

Kegunungapian (BPPTK)8. GLG-GTZ 9. Oxfam Great Britain 10. PSMB–LPPM UPN ”Veteran” Yogyakarta11. UNDP dan UNICEF13. Lembaga lain yang berkomitmen

Museum Gunung MerapiMuseum Gunung Merapi yang menunjang Wisata pendidikan kegunungapian terletak di Dusun Banteng, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem Kabupaten Sleman. Museum ini diresmikan penggunaannya pada 1 Oktober 2009. MGM berlokasi pada jarak 600 meter arah selatan dari pintu gerbang obyek wisata Kaliurang.

Museum ini terbangun karena hasil kerjasama lintas wilayah dan lintas sektor yang memiliki keterikatan dengan Gunung Merapi.

Setelah diresmikan, operasional MGM akan dilakukan dibawah koordinasi Dinas Pengairan, Pertambangan dan Penanggulangan Bencana Alam Kabupaten Sleman hingga tahun 2009 ini. Selanjutnya pada tahun 2010 mendatang MGM akan berpindah pengelolaan ke Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sleman Di dalam MGM ini, banyak tersedia fasilitas serta koleksi museum sebagai tempat mendapatkan pengetahuan kegunungapian. Fasilitas untuk wisatawan antara lain film show tentang terjadinya letusan

topik lain. Penanganan Kawasan Bencana Gunung Merapi Lintas Sektor dan Lintas Wilayah

Page 37: Buletin TATA RUANG. Edisi September-Oktober 2009. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air

* buletin tata ruang 35

Desain Rumah Anti Gempa Sumber : mulyantoblogspot.files.wordpress.com

gunung Merapi, peralatan survey, diorama, On The Merapi Volcano Trail, serta area lobby. Sementara koleksi-koleksi yang disimpan antara lain, Volcano World berisi bahan-bahan pengetahuan tentang gunung merapi di dunia, koleksi manusia dan gunung merapi berisi perlengkapan upacara ritual penghormatan gunung Merapi, koleksi bencana gempa bumi dan Tsunami, bencana gerakan tanah, extra- terestrial volcano.

Adanya fasilitas dan koleksi yang berada di MGM ini disesuaikan dengan fungsi-fungsi museum tersebut yaitu sebagai preservasi dan konservasi (memelihara dan melindungi suaka alam dan budaya), informasi (memberikan dan mengembangkan pengetahuan mengenai obyek pengetahuan yang ditampilkan), koleksi (mengumpulkan dan mengarsipkan benda bernilai sebagai pusat dokumentasi masyarakat), edukasi (memberikan ilmu pengetahuan untuk masyarakat umum dan pusat apresiasi budaya) serta wahana rekreasi (obyek wisata pendidikan). Semua fasilitas dan koleksi tersebut masih berada di lantai satu museum. Sementara untuk lantai dua museum ini, akan diisi dengan fasillitas dan koleksi ilmu pengetahuan kegunungapian dan kebencanaan geologi direncanakan akan dikerjakan tahun 2010.

Rekomendasi

Untuk menunjang tujuan yang ada tersebut maka upaya yang dilakukan antara lain :

a. Memperkuat koordinasi dan sinkronisasi kerjasama antar wilayah dan antar sektor terkait dengan penanganan kawasan rawan bencana Gunung Merapi.

b. Menciptakan infrastruktur yang khusus didaerah rawan bencana sehingga nilai investasi yang ditanamkan tidak terlalu sia-sia dan daerah tersebut dapat berkembang sesuai dengan sumber daya yang dimiliki.

c. Menciptakan peraturan bangunan yang membatasi keleluasaan membangun pada daerah-daerah yang dianggap rawan bencana secara optimal sebagaimana dilakukan pada daerah-daerah lainnya.

d. Mempertimbangkan kestabilan lereng dalam perencanaan, perancangan, dan pengembangan lokasi bangunan.

e. Pengendalian atas garapan lahan pada daerah perbukitan dan pegunungan

f. Tidak mencetak sawah lahan basah pada kawasan terjal.g. Pemberian dan penerapan sanksi yang jelas dan tegas

pada pelanggaran atas ketentuan yang telah ditetapkan yang apabila dibiarkan akan berakibat fatal pada masyarakat termasuk pembatasan ijin menetap pada kawasan rawan bencana.

topik lain. Penanganan Kawasan Bencana Gunung Merapi Lintas Sektor dan Lintas Wilayah

Page 38: Buletin TATA RUANG. Edisi September-Oktober 2009. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air

36 buletin tata ruang *

wacana.

Oleh: Sigit PD.RahardjoKasubdit Pemanfaatan dan Pengendalian Tata Ruang Pulau-pulau Kecil

pada Ditjen KP3K – Dep.Kelautan dan Perikanan

Sinkronosasi Undang-UndangNo. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang dengan Undang-Undang No.27 Tahun 2007

Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisirdan Pulau - Pulau Kecil

Penataan dan Pengelolaan Ruang

Pada tahun 2007 telah ditetapkan dua undang-undang secara berurutan, yaitu UU No.26/2007 tentang Penataan Ruang dan UU No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PWP3K). Kedua undang-undang tersebut mengandung segi hukum publik, karena substansinya mengatur ruang yang di dalamnya berisikan kepentingan publik dan lintas sektor.

Dalam Pasal 1 angka 5 UU No.26/2007, bahwa penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Penataan ruang tidak membuat dikotomi antara ruang darat dan perairan laut. Nomenklatur yang diberikan terhadap produk perencanaan tata ruang dalam UU No.26/2007 adalah RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) yang sudah mencakup ruang darat dan laut. Bidang Penataan ruang tidak bermaksud masuk ke dalam pengaturan sektornya. Hal-hal detail dan atau teknis, silahkan diatur atau dikelola oleh sektor sendiri. Dalam Pasal 6 ayat (5) UU No.26/2007 disebutkan, bahwa ruang laut dan ruang udara ’pengelolaan’nya diatur dengan Undang-undang tersendiri. Dalam konteks tersebut, maka kegiatan pengelolaan ruang laut dapat dimengerti sebagai bagian dari penyelenggaraan proses pemanfaatan ruang. Sesuai dengan prioritas permasalahan dan kebutuhannya, kemudian dikeluarkan UU No.27/2007 tentang PWP3K. Apabila demikian, maka UU No.27/2007 mempunyai keterkaitan dan sekaligus lex spesialis dari Pasal 6 ayat (5) UU No.26/2007, yaitu melaksanakan amanat khusus yang berkaitan dengan pengelolaan ruang laut di wilayah pesisir

Penyelarasan Kedua Undang-undang

Ruang lingkup pengaturan UU No.27/2007 adalah wilayah pesisir, yang meliputi daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut, ke arah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai. Apabila memperhatikan Pasal 6 ayat (3) UU No.26/2007, wilayah pesisir merupakan bagian yang berada di dalam wilayah penataan ruang nasional yang cakupannya meliputi wilayah kedaulatan dan yurisdiksi. Dengan demikian ada bagian dari ruang wilayah nasional yang dicakup oleh pengaturan kedua Undang-undang tersebut, yaitu pada wilayah pesisir sebagaimana dimaksud oleh UU No.27/2007. Oleh karena itu di dalam melaksanakan kedua Undang-undang tersebut diperlukan penyelarasan / pemaduserasian / sinkronisasi. Bagi Pemerintah Daerah yang dalam hal ini langsung terkait dengan penyelenggaraan pengelolaan ruang wilayah daerahnya, penyelarasan tersebut sangatlah penting guna menghindari terjadinya ‘multi tafsir’ di dalam pelaksanaannya.

Alasan untuk menyelaraskan kedua undang-undang karena menyangkut beberapa pertanyaan yang masih perlu diberikan elaborasi, seperti bagaimana hubungan antara RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) dengan RZWP3K (Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil); bagaimana hal legislasi RTRW dan RZWP3K, apakah masing-masing ditetapkan terpisah dalam Perda RTRW dan Perda RZWP3K, atau ditetapkan dalam satu Perda RTRW. Pertanyaan lainnya, bagaimana penyelenggaraan fungsi dan mekanisme koordinasi kelembagaan yang terdapat di daerah dalam penataan ruang wilayah dan pengelolaan ruang laut, khususnya antara Bappeda dan Dinas/Instansi yang membidangi kelautan perikanan; serta bagaimana sistem dan mekanisme pengendalian perijinan dan/atau pembangunan di wilayah pesisir. Selain itu beberapa masalah teknis menyangkut istilah yang digunakan oleh kedua Undang-undang juga perlu diberikan pengertian dan kesepadanannya, seperti mengenai Rencana Rinci / Rencana Detail Tata Ruang – Rencana Zonasi Rinci; Kawasan Lindung – Kawasan Konservasi; Kawasan Budidaya – Kawasan Pemanfaatan Umum; Alur Pelayaran – Zona Alur.

K e b u t u h a n u n t u k m e l a k u k a n p e m a d u s e r a s i a n / penyelarasan antara kedua undang-undang kiranya sangat mendesak guna memberikan penjelasan kepada Pemerintah Daerah dan berbagai pihak serta stake holedrs di dalam menginterpretasikan beberapa muatan kedua Undang-undang, serta terlebih masih ada kesempatan untuk saling melengkapi, sementara peraturan-peraturan turunan kedua undang-undang masih dalam penyusunan.

Untuk jangka pendek ke depan, dalam rangka pelaksanaan kedua Undang-undang adalah perlunya melakukan sosialisasi kepada Pemerintah Daerah dan masyarakat secara komprehensif dan terintegrasi, khususnya oleh Tim bersama dari lembaga-lembaga yang terkait dengan tugas pokok dan fungsinya dengan kedua Undang-undang. Untuk materi sosialisasi tersebut memerlukan pemaduserasian kedua Undang-undang karena beberapa substansi pengaturannya saling bersinggungan. Apalagi mengingat saat-saat sekarang dimana semua Pemerintah Daerah dalam rangka melaksanakan perintah kedua Undang-undang sedang melakukan revisi/penyesuaian/penyusunan dokumen RTR W dan RZWP3K untuk ditetapkan ke dalam Peraturan Daerahnya. Diharapkan pemaduserasian tersebut dapat menjadi salah satu agenda program kerja BKPRN. Kesepahaman yang dicapai dalam pemaduserasian tersebut perlu dituangkan ke dalam suatu blue print atau panduan bersama, yang akan menjadi petunjuk pelaksanaan dan prosedur tetap baik dalam proses perencanaan dan penetapan Peraturan Daerah maupun dalam rangka melakukan kegiatan sosialisasi

Page 39: Buletin TATA RUANG. Edisi September-Oktober 2009. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air

* buletin tata ruang 37

wacana. Sinkronosasi Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang dengan Undang-Undang No.27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau -Pulau Kecil

kedua Undang-undang. Panduan itu dapat dikuatkan melalui penetapannya dalam bentuk MoU antar Menteri terkait, ataupun Keputusan Menteri / Ketua BKPRN.

Rencana Tata Ruang dan Rencana Zonasi

Berdasarkan UU No.27/2007 dikenal adanya produk perencanaan berupa RZWP3K (Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil). RZWP3K merupakan salah satu dokumen dalam sistem perencanaan ’pengelolaan’ wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Meskipun RZWP3K mempunyai dimensi spatial, namun dari segi nomenklatur hukumnya bukan termasuk ‘golongan’ tata ruang UU No.26/2007, melainkan ia adalah golongan ‘pengelolaan’ UU No.27/2007. Mengenai hubungannya dapat diperhatikan dari Pasal 9 ayat (2) UU No.27/2007, bahwa RZWP3K diserasikan, diselaraskan, dan diseimbangkan dengan RTRW PemProv atau Pem Kab/Kota. Lebih lanjut di dalam Penjelasan pasal juga disebutkan, bahwa RZWP3K Prov dan Kab/Kota merupakan bagian dari Tata Ruang Wilayah Provinsi atau Kab/Kota.

Menyisakan Pemikiran Berikutnya

Pada bagian akhir pembicaraan kedua Undang-undang disini kiranya masih menyisakan satu dua pertanyaan untuk pemikiran berikutnya. Pertama, Undang-undang yang mana akan mengatur ‘pengelolaan’ ruang laut yang ruang lingkupnya mencakup laut wilayah kedaulatan dan yuridiksi sebagaimana dimaksud oleh Pasal 6 ayat (3) UU No.26/2007, yaitu ruang laut nasional dalam satu kesatuan pengelolaan

secara utuh dan komprehensif. Apakah undang-undang tersebut masih perlu disusun ? Apakah RUU Kelautan yang selama ini diinisiasi oleh Dewan Kelautan Indonesia (dulu DMI – Dewan Maritim Indonesia) cukup mengakomodasi hal tersebut ?

Kedua, meskipun nomenklatur yang diatur oleh UU No.26/2007 tidak mengenal istilah ‘Rencana Tata Ruang Laut Nasional’ (Karena yang ada adalah RTRWN yang sudah mencakup ruang darat dan ruang laut), namun aspek-aspek kelautan pada skala nasional sebagaimana dicakup dalam RTRWN tetap masih perlu dijabarkan guna memberikan platform kebijakan pembangunan dan pengelolaan ruang laut nasional, tidak hanya tekstual tetapi juga secara kontekstual mempunyai dimensi spatialnya yang dihasilkan melalui proses perencanaan. Terlebih, apabila mengingat UU No.27/2007 juga tidak mengatur mengenai RZWP3K skala nasional, sehingga pada tingkatan tersebut tidak ada ‘materi spatial’ kelautan untuk digunakan sebagai arahan dalam penyusunan RZWP3K di daerah. Paradigma tersebut sekaligus memberitahukan bahwa pembangunan kelautan semestinya tidak ditempatkan dalam konteks perencanaan yang tersebar pada berbagai sektor.

Apabila logika pemikiran mengenai perencanaan pengelolaan ruang laut nasional di atas dapat diterima, lalu bagaimana kedudukan materi dan mekanisme hubungannya dengan RTRWN, RPJMN, dan RPJPN ? Perlu kiranya para pemangku kepentingan bertemu untuk mendiskusikan hal tersebut dalam suatu kesempatan

Page 40: Buletin TATA RUANG. Edisi September-Oktober 2009. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air

38 buletin tata ruang *

pengembangan profesi.

Faktor Kebencanaan dalam Penataan Ruang

oleh: Hendricus Andy SimarmataBidang Pengembangan Profesi, PN-IAP

Pendahuluan

Banyaknya korban jiwa yang timbul akibat bencana alam yang terjadi setidaknya telah memberikan pelajaran berharga kepada kita semua terhadap pentingnya keberadaan ruang yang aman. Ketahanan ruang terhadap ancaman bencana alam memang tidak akan secara mutlak menghindarkan manusia dari bahaya maut, tetapi setidaknya akan mengurangi jumlah korban yang menderita akibat dampak bencana tersebut. Oleh karena itu, semua pihak diharapkan mau dan mampu mempertimbangkan aspek kebencanaan tersebut dalam melaksanakan segala rutinitasnya.

Pemerintah sendiri telah mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penanggulangan bencana tersebut. Salah satu instrument yang dinilai cukup strategis perannya dalam upaya meminimalisasi korban bencana tersebut adalah penataan ruang. Dalam Arah Kebijakan Mitigasi Bencana Perkotaan yang dikeluarkan oleh Sekretariat Nasional Bakornas PBP, salah satu dari 10 kebijakan mitigasi bencananya adalah mengevaluasi dan merevisi Rencana Tata Ruang (terutama Rencana Tata Ruang Kota), dengan mempertimbangkan aspek mitigasi bencana.

Setidaknya ada 2 (dua) jenis program yang dicanangkan, yaitu:

keberadaan sumber-sumber potensi bahaya teknologi yang terlalu dekat dengan kawasan perumahan.

2. Untuk daerah yang belum terbangun : mengevaluasi rencana tata ruang yang ada berdasarkan potensi bahaya yang ada untuk keperluan :

• Pengetatan pengaturan dan integrasi sistem infrastruktur seperti jalan dan drainase dalam pengembangan lahan dan persyaratan bangunan yang tahan terhadap jenis bahaya yang ada disekitarnya.

• Pengetatan pengaturan ketentuan l ingkungan bangunan seperti Keofisien Dasar Bangunan (KDB), dan Koefisien Lantai Bangunan (KLB) untuk kawasan-kawasan yang berpotensi bahaya alam, seperti gempa & longsor, maupun buatan seperti kebakaran.

• Optimasi penyediaan prasarana, sarana dan fasilitas-fasilitas ketahanan terhadap potensi bahaya yang ada.

• Pengalokasian dan pencadangan calon tempat-tempat evakuasi (bila terjadi bencana).

Karakteristik Rawan Bencana di IndonesiaMenurut analisis resiko global oleh Bank Dunia (2009), Indonesia merupakan salah satu dari 35 negara yang memiliki risiko kematian yang tinggi dari berbagai bahaya dengan sekitar 40 persen dari populasi yang beresiko . Dengan jumlah penduduk lebih dari 220 juta jiwa, maka jumlah nominal korban yang beresiko adalah sekitar 90 juta jiwa. Hal ini disebabkan karena Indonesia terletak di salah satu area hot spot bencana yang paling aktif. Pada area hot spot beberapa jenis bencana seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor, kekeringan dan kebakaran hutan sering terjadi.Berdasarkan hasil analisis resiko global yang dilakukan oleh Bank Dunia tersebut, setidaknya ada 3 (tiga) kelompok ancaman bencana alam yang dapat menyerang wilayah Indonesia, antara lain:1. bencana geologis

Indonesia terletak di sabuk gempa bumi (ring of fire) yang sangat rentan terhadap gempa bumi dan letusan gunung berapi. Daerah yang paling rentan terhadap gempa bumi 1. Untuk daerah yang sudah ter bangun :

mengevaluasi dan merevisi pola dan struktur tata ruang untuk menurunkan tingkat resiko sehingga akrab dengan bencana, yaitu misalnya dengan :

• Peningkatan akses ke kawasan-kawasan kota yang sangat rentan terhadap bencana.

• Pelaksanaan peremajaan kota dan/atau pembangunan kembali kawasan-kawasan kumuh sekaligus melengkapi prasarana, sarana dan fasilitas-fasilitas ketahanan terhadap bencana yang memadai.

• Penambahan Ruang Terbuka (Open Space) yang ada dalam rangka memfasilitasi terbentuknya fungsi-fungsi integrasi sosial antar semua golongan masyarakat sekaligus menyiapkan (mencadangkan) sebagai tempat evakuasi, bila terjadi bencana.

• Pe n g k a j i a n k e m b a l i d a n / a t a u re l o k a s i Gempa mengakibatkan terjadinya longsor di Bukit TinggiSumber : kissmeguntur.wordpress.com

pengembangan profesi.

Page 41: Buletin TATA RUANG. Edisi September-Oktober 2009. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air

* buletin tata ruang 39

pengembangan profesi. yaitu: Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, Sulawesi dan Papua. Sumatera sendiri telah menderita dari lebih dari 15 gempa bumi besar di masa lalu 100 tahun. Indonesia juga memiliki 129 gunung berapi aktif, 70 diantaranya diklasifikasikan sebagai berbahaya. Pulau Jawa dan Sumatra juga rawan tanah longsor karena topografi dan kondisi tanahnya tidak stabil.

2. bencana hidro-meteorologi Rezim curah hujan yang tinggi di wilayah Indonesia sebelah barat dan zona kering di beberapa provinsi timur tunduk pada berulangnya bencana banjir dan kekeringan. Dalam abad yang lalu, banjir telah menjadi bencana yang paling sering untuk Indonesia.

Bencana ini sering menghantam pusat-pusat populasi besar seperti Jakarta (dengan jumlah penduduk lebih dari 13 juta), Medan (lebih dari 2 juta), dan Bandung (lebih dari 4 juta).

3. bencana deforestasi dan kebakaran hutan M u s i m k e m a r a u y a n g b e r k e p a n j a n g a n t e l a h

meningkatkan terjadinya kebakaran hutan. Tanah hot spot dan asap kebakaran merupakan episode yang terjadi selama tahun 1980-an dan 1990-an. Di Kalimantan Timur, hampir 3,5 juta hektar hutan dipengaruhi oleh kekeringan dan kebakaran. Hampir 0,8 juta ha hutan hujan primer dibakar, dengan dampak yang lebih luas di bekas tebangan dan hutan sekunder (terutama di sekitar

daerah pemukiman). Selain itu, anomali iklim yang dibawa oleh El Nino juga memicu turunnya curah hujan rata-rata 3,06 persen dan berdampak pada penurunan produksi pangan.

Penataan Ruang berbasiskan Mitigasi BencanaSecara umum, praktek mitigasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu mitigasi struktural dan mitigasi non struktural. Mitigasi struktural berhubungan dengan usaha-usaha pembangunan konstruksi fisik, sementara mitigasi non struktural antara lain meliputi perencanaan tata ruang yang disesuaikan dengan kerentanan wilayahnya dan memberlakukan peraturan (law enforcement) pembangunan. Rencana Tata Ruang seharusnya memuat visi komunitas lingkungan yang aman.Menurut Agenda World Habitat 2008, secara umum, langkah-langkah untuk mengembangkan “lingkungan perkotaan yang aman” (Saver City Process) adalah :a. Memperkirakan kebutuhan yang harus dikembangkan

untuk “keselamatan perkotaan”b. Membentuk kerjasama antara berbagai pihak, baik dari

pemerintah, swasta maupun masyarakatc. Memformulasikan dan mengimplementasikan rencana

tindak (action plan) kolaborasi antara berbagai pihak. Rencana ini harus disusun berdasarkan prioritas, tujuan, indikator, kerangka waktu dan sistem pemantauan.

Menurut Koetter (2003), Rencana Tata Ruang akan memenuhi kebutuhan terhadap pentingnya instrumen pencegahan resiko dan mitigasi bencana alam, terutama dalam mendukung elemen-elemen dalam manajemen bencana seperti antara lain Early Warning System (EWS), Pemetaan dan Penilaian Resiko, Prevensi dan Reduksi, Manajemen Resiko, dan Rekonstruksi.Oleh karena itu, dalam upaya mengintegrasikan faktor kebencanaan dalam penataan ruang tidak hanya terletak pada memasukkan data/informasi rawan bencana saja ke dalam tahapan perencanaannya, tetapi juga meliputi aspek pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang harus memperhitungkan manajemen bencana tersebut.Kesimpulan: Perlu Optimasi Proses Perencanaan Tata Ruang

Dengan demikian, maka pemetaan rawan bencana menjadi mutlak untuk diperlukan dalam merumuskan rencana struktur dan pola ruang. Namun kiranya perlu dipertimbangkan kajian-kajian kebencanaan, seperti misalnya:

Pesisir Pangandaran Paska TsunamiKebakaran Hutan ; Sumber : www.uoregon.edu

pengembangan profesi.

Kegiatan warga kota Jakarta lumpuh total akibat hidrometeorologi

Page 42: Buletin TATA RUANG. Edisi September-Oktober 2009. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air

40 buletin tata ruang *

a. kajian kerentanan bencana, yang menilai perbedaan suatu wilayah dengan kriteria indeks kerentanan tertentu sehingga intensitas kegiatan di dalam kawasan tersebut akan diatur sedemikian rupa untuk meminimalisasi biaya resiko yang muncul dari bencana yang datang

b. kajian mitigasi bencana, yang memberikan perlakuan khusus pada bangunan ataupun lahan yang dinilai layak untuk dijadikan sebagai tempat evakuasi sementara yang aman, aksesible, dan kapasitas yang cukup

c. Kajian transportasi darurat, yang memberikan arahan jalur distribusi logistik lain yang tidak menggunakan jalur transportasi yang biasa digunakan.

Kajian-kajian tersebut tentunya dilaksanakan berdasarkan pada pemahaman antara lain:

• Bahaya (hazards) memiliki dimensi ruang yang dapat dipahami sebagai peristiwa alam yang penyebabnya berada di luar kendali manusia.

• Penilaian risiko dan pengelolaan risiko dapat dipahami sebagai instrumen yang sesuai untuk mencapai ketahanan bencana, yang harus dilihat sebagai tujuan penting dalam menentukan kebijakan perencanaan tata ruang.

Oleh karena itu, untuk mengoptimalkan kualitas produk rencana tata ruang, maka kebutuhan terhadap kerangka metodologis yang homogen untuk penilaian risiko bencana sangat diperlukan. Kehadiran standar penilaian (assesment) akan memudahkan Pemerintah dalam menghadirkan produk rencana tata ruang yang memadai dalam rangka penanggulangan bencana Referensi:1. Greiving, Stefan; Spatial planning and risk – a theoretical

approach and its consequences for planning policy in Europe, SEAREG – Final Meeting 2 - 5 March 2005 Tallinn, Estonia

2. McGranahan, Gordon, Balk, Deborah And Anderson, Bridget; The rising tide: assessing the risks of climate change and human settlements in low elevation coastal zones, Environment and Urbanization Journal 2007, 19, 17

3. Simarmata, Hendricus Andy; Bab 5: Kajian Lingkungan Hidup Strategis dalam Penataan Ruang Kawasan Pantura Jakarta; BPLHD Provinsi Jakarta, Draft Laporan Akhir, 2009

4. UU 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana5. UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang6. www.gfdrr.org/ctrydrmnotes/Summary_Indonesia.pdf7. www.bakornaspb.go.id/website/documents/pedoman/

AKMB.pdf

Penilaian dan Manajemen Resiko sebagai bagian dari proses Perencanaan

pengembangan profesi.

Rambu jalur evakuasi di kawasan wisata Pangandaran

Page 43: Buletin TATA RUANG. Edisi September-Oktober 2009. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air

* buletin tata ruang 41

pengembangan profesi.

Marine Spatial Planning dan Peran Sekolah Perencanaan

oleh: Haryo WinarsoKetua Kelompok Keahlian Perencanaan dan Perancangan Kota, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung dan Ketua Asosisiasi Sekolah Perencanaan Indonesia (ASPI).

Pengantar

Telah banyak diketahui oleh pemerhati perencanaan kawasan pesisir, bahwa Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau lebih dari 17.000. Dengan demikian sebagai salah satu konsekwensi yang dipunyai oleh Negara kepulauan adalah mempunyai kawasan pesisir yang panjang. Indonesia merupakan salah satu Negara yang memiliki kawasan garis pantai panjang, tercatat sekitar 81,000 km. merupakan garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada. Di dunia ini lebih dari 50% penduduk tinggal 1 km dari pesisir dan terus tumbuh dengan kecepatan 1.5% pertahun ( Goldberg, 1944).

Pesisir merupakan kawasan yang rentan terhadap perubahan, baik perubahan alami (iklim, sedimentasi, ataupun erosi) maupun perubahan yang disebabkan oleh aktifitas manusia. Perubahan iklim misalnya yang saat ini menjadi perhatian di dunia akan dapat menaikkan permukaan air laut. Hingga tahun 2000 tercatat telah ada kenaikan sebesar 20 cm jika dihitung dari tahun 1900 dan itu berati untuk Indonesia akan ada sekian ribu km garis pesisir yang hilang. Oleh sebab itu penataan ruang kawasan pesisir merupakan hal yang sangat mendesak dan harus segera dilakukan dengan lebih baik lagi. Sementara itu secara tradisional pendidikan perencanaan di Indonesia belum mengadopsi pengetahuan mengenai pesisir ini secara komprehensif, namun yang ada masih terpecah-pecah dan parsial.

Tulisan ini bermaksud secara ringkas menyoroti 2 hal: 1) penggunaan Penataan ruang sebagai alat untuk

mengoptimalkan dan mengatur penggunaan ruang di kawasan pesisir dan

2) peran pendidikan perencanaan dalam ikut memberikan keahlian dalam bidang ini.

Perancanaan Tata Ruang

Dengan diundangkannya UU no 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, Indonesia telah lebih maju lagi dalam mendefinisikan dan memberikan arti pada penataan ruang untuk dapat digunakan sebagai alat pengatur penggunaan ruang. Ruang yang ditata tidak lagi terfokus pada ruang daratan tetapi secara nyata sudah pula dinyatakan mengenai pengaturan ruang lautan dan ruang udara. Penataan Ruang adalah satu rezim perencanaan yang comprehensive.

Albrechts (2001, pp1) misalnya, melihat penataan ruang sebagai:”..not a single concept, procedure or tool. It is a set of concepts, procedures and tools that must be tailored to whatever situation is at hand if desirable outcomes are to be achieved. Strategic plan making is as much about the process, institutional design and mobilization as about development of substantial theories. This broad area is reflected in the place and the role of planners in strategic spatial planning.’ Oleh karenanya penataan ruang juga :..” goes beyond traditional land use planning to bring together and integrate policies for the development and use of land with other policies and programmes which influence the nature of places and how they function. This will include policies which can impact on land use, for example, by influencing the demands on or needs for development, but which are not capable of being delivered solely or mainly through the granting of planning permission and may be delivered through other means,’ (ODPM, 2004, pp3).

Perencanaan Ruang sebagaimana dalam UU no. 26/2007 tersebut telah jauh berpindah dari sekedar penatagunaan tanah berdasarkan peraturan dan kontrol penggunaan lahan, kearah pengaturan yang lebih luas dengan memperhatikan pemintaan-permintaan penggunaan ruang yang sering kali bertentangan, untuk mendapatkan penggunaan ruang yang paling tepat. Untuk ini diperhatikan persoalan-persoalan ekonomi, social dan lingkungan yang akan sangat berpengaruh pada penggunaan ruang.

Kawasan Pesisir dan Marine Spatial Planning

S ecara seder hana k awasan pes is i r d idef in is ik an sebagaikawasantempat daratan bertemu dengan lautan.

Page 44: Buletin TATA RUANG. Edisi September-Oktober 2009. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air

42 buletin tata ruang *

Dikawasan ini banyak terdapat berbagai macam aktifitas manusia yang bertemu dengan aktifitas alami. Dari sudut manusia saja, kawasan pesisir ini memberikan ruang yangluas, sumber makanan, air, berbagai macam energi, dan tempat rekreasi. Namun ditinjau dari segi lingkungan aktifitas manusia di kawasan pesisir, jika tidak diatur akan dapat menyebabkan kerugian yang sangat besar,hilangnya plasma nuftah, hilangnya tempat berkembang biaknya ikan, polusi, kerusakan bibir pantai dan sebagainya. Kondisi seperti ini pada jangka panjang akan merusakkan dan mempengaruhi kehidupan manusia juga. Dilain sisi naiknya muka laut akibat perubahan iklim akan sangat mempengaruhi kehidupan alam dan manusia di kawasan pesisir itu. Sering terjadi konflik kepentingan di kawasan pesisir, bukan saja antara manusia dengan manusia, tetapi juga manusia dengan alam. Kawasan ini juga menjadi penyebab konflik antara sektor pembangunan, antara daerah adminitratif dan bahkan antar Negara yang bertetangga.

Secara umum dapat dilihat ada 5 zona pesisir, yaitu: 1) Inland Areas, zona daratan yang masih mempunyai pengaruh langsung pada laut; 2) zona pesisir darat (coastal lands) tempat manusia terkonsentrai dan mempunyai aktifitas yang langsung berpengaruh di laut; 3) zona Pesisir laut

(coastal water), tempat biota laut berada yang mempunyai dampak pada daratan; 4) laut dekat sampai batas juridksi nasional (200 mil laut) dan 5) laut lepas, lautan bebas setelah batas Negara. Selama ini manusia lebih banyak mengambil sumber alam dari kawasan pesisir ini daripada menjaganya, baru akhir tahun 1990an kesadaran akan pentingnya kawasan pesisir menjadi lebih besar. Di Indonesia UU No 27/2007 juga menyatakan pentingnya menjaga kawasan ini. Alat untuk menjaga kawasan pesisir ini baru berkembang pada akhir tahun 1990an dan dikenal dengan nama Marine Spatial Planning (MSP). Dalam Pengertian Perencanaan tata Ruang di Indonesia, MSP harus menjadi bagian dari Rencana Tata Ruang Wilayah dan oleh karenanya juga bertujuan untuk menghindari terjadinya konflik kepentingan dalam menggunakan ruang, secara khusus di kawasan pesisir. Dengan demikian diharapkan tercapainya penggunaan ruang yang optimal dan berkelanjutan.

Peran Pendidikan Perencanaan

Sangat disayangkan sebenarnya bahwa sampai saat ini sekolah perencanaan di Indonesia masih belum secara komprehensif memberikan pengetahuan mengenai MSP ini. Ini disebabkan karena memang MSP harus dikerjakan secara inter-disiplin dan masih relatif baru di Indonesia bahkan di Dunia. Indonesia adalah salah satu Negara pertama di dunia yang mempunyai UU mengenai MSP ini. Sekolah perencanaan di Indonesia mempunyai tanggung jawab yang besar untuk bersama-sama mengembangkan pengetahuan mengenai MSP ini melalui penelitian dan pendidikan yang lebih terstruktur. Beberapa sekolah Perencanaan memang sudah melakukannya namun masih parsial dan belum didasarkan pada penelitian yang mendalam. Kurikulum pendidikan perencanaan yang saat ini dipakai tidak ada yang secara eksplisit memberikan pengetahuan mengenai kawasan pesisir. Keadaan ini merupakan tantangan yang sangat besar bagi sekolah perencanan di Indonesia. Mengingat besarnya kawasan pesisir di Indonesia, Critical mass tenaga ahli yang mengetahui dan memahami mengenai kawasan pesisir ini serta mampu menyiapkan MSP dengan baik sangat diperlukan. Dalam beberapa seminar kedepan mengenai kurikulum yang telah direncanakan oleh Asosiasi Sekolah Perencanaan Indonesia. MSP sebagai bagian dari RTRW harus menjadi agenda utama. Sebagai ilustrasi dapat dilihat mapping dari MSP di Dunia beserta rencana tindaknya

ICZM function Specific actions and field of interestArea Planningto plan for present and future use of coastal and marine areas and provide a long-term vision

Studies of coastal envirotment and their zoning of uses Anticipation of and planning for new uses. regulation of coastal development project and their proximity to the shoreline. public education on the value of coastal and marine areas. regulation of public access to coastal and marine areas.

Promotion of Economic Developmentto promote the appropriate use of coastal and marine areas

Industrial fisheries . Artisanal fisheries. marine aquaculture. Mass tourism. Eco-tourism . marine recreation

. marine transportation. post development. offshore menerals. ocean research access to generic resourch

Stewardship of resourceto protect the ecological base of coastal and marine areas, preserve biological diversity and ensure sustainable use

Environmental assessment. relative risk assessment. establishment and enforcement of envirotment standards. Protection and improvement of coastal water quality. Establisment and management of protected coastal and marine areas. consevation and restoration of coastal and marine environment

Conflict resolutionto harmonise and balance existing and potensial uses and address conflict between coastal and marine uses

Studies of multiple uses and their interaction. Application of conflict-resolution methods. mitigation of unavoidable adverse effect of certain uses

Protection of public safetyto protec public safety in coastal and marine areas that area typically prome to significant natural and manmade, hazard

reduce vulnerability to natural disasters and global change regulate development in high-risk areas though methods such as setback lines. construction of coastal defence measures (e.g.sea walls) creation of evacuation plans or other measures in case of coastal emergency

Proprientorship of public Submerged Lands and watersince goverments are often the outright owner of specific coastal and marine areas, to manage goverment-held areas and resources wisely and with good economic return for the public

Establisment of leases and fees for uses of publicly held coastal and marine resources and spaces. Establishnebt of joint ventures to exploit non-renewable resourch

Beberapa Negara di Dunia yang telah mempunyai MSP

Action Plan

pengembangan profesi.

Page 45: Buletin TATA RUANG. Edisi September-Oktober 2009. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air

* buletin tata ruang 43

mozaik.

SINOPSIS UNDANG UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

Undang Undang Nomor 27 Tahun 2007 yang merupakan produk hukum pertama dan satu-satunya saat ini yang khusus mengatur tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Dalam UU ini didefinisikan bahwa Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antar sektor, antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Undang Undang Nomor 27 Tahun 2007 digunakan dengan tujuan memberikan arahan bagi Pemerintah Daerah bagi pengalokasian dan penggunaan sumberdaya, sehingga perlu adanya suatu kerangka kerja dan kebijakan resmi serta prosedurnya. Dibawah otonomi daerah, diasumsikan bahwa pemerintah kabupaten akan memperoleh keuntungan dari Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pulau-pulau kecil yang tersebar dari Sabang sampai Merauke tersebut merupakan aset negara yang penting dengan manfaat ekonomi dan ekologis yang besar jika dikelola secara bijak, berkesinambungan dan berkelanjutan.

Ruang lingkup Pengaturan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil meliputi daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, ke arah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai (Pasal 2 dan 3). Substansi dari isi kebijakan terletak pada kemampuan untuk menghindari konflik kepentingan pemanfaatan ruang Pesisir dan Pulau-Pulau kecil diantara pemangku kepentingan (stakeholder) dan masyarakat. Dengan kata lain bahwa Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah daerah yang memiliki akses terbuka (open access) setiap elemen masyarakat dan intitusi yang memiliki kepentingan.

Dengan telah disahkannya Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil implementasi pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan dapat terwujud. Naskah lengkap UU ini dapat di unduh pada alamat web-http://www.setneg.go.id/index

PETA-PETA PRODUKSI DISHIDROS (DINAS HIDRO-OSEANOGRAFI TNI AL)

Dinas Hidro-Oseanografi TNI AL merupakan lembaga hidrografi nasional didirikan berdasarkan Keppres no.164 tahun 1960. Jawatan ini membina dan melaksanakan fungsi survei dan pemetaan laut Indonesia yang meliputi survei, penelitian, pemetaan laut, publikasi, penerapan lingkungan laut dan keselamatan navigasi pelayaran untuk kepentingan nasional dan internasional serta kepentingan militer. Dengan Mottonya yaitu Mewujudkan Postur Dishidros Yang Berkelas Dunia Dengan Manajemen Modern, Dishidros juga sebagai lembaga hidrografi nasional yang mewakili

Indonesia duduk dalam organisasi hidrografi internasional (IHO). Dengan spektrum penugasan yang menghendaki mobilitas dan kecepatan gerak tinggi di laut, TNI AL sangat membutuhkan peta dan informasi kelautan yang selalu up to date.

Banyak lembaga atau instansi yang menjadi stakeholder Dishidros sesuai dengan kepentingannya. Untuk memenuhi kebutuhan militer dan pertahanan, stakeholder Dishidros adalah Dephan, Mabes TNI, TNI AL, TNI AD. Produk dalam bidang militer antara lain, adalah: peta-peta peperangan laut seperti peta peperangan ranjau, peta layer untuk mendukung peperangan kapal selam, peta-peta operasi gabungan, Peta Pendaratan Amphibi (PPA), pemetaan daerah latihan di laut termasuk tata ruang pertahanan di laut. Terkait dengan Sea Lines Of Communications (SLOCs), Dishidros berhubungan erat dengan Departemen Perhubungan. Departemen tersebut memerlukan produk peta laut dan publikasi nautis yang mewajibkan kapal yang berlayar di Indonesia untuk memilikinya. Peta-peta laut tersebut harus senantiasa dimutahirkan data-datanya melalui Berita Pelaut Indonesia yang juga di keluarkan oleh Dishidros. Disamping itu, Dishidros juga sedang menyelesaikan peta navigasi elektronik yang meliputi seluruh pelabuhan, 3 ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) dan seluruh perairan Indonesia. Hal ini merupakan wujud komitmen Dishidros dan Indonesia dalam mencapai 100% cakupan peta elektronik seluruh perairan Indonesia. IMO (International Maritime Organization) merencanakan akan memberlakukan penggunaan ENC (Electronic Navigational Chart atau Peta Navigasi Elektronik) terhitung mulai tanggal 1 Juli 2010.

Stake holder berikutnya adalah Departemen Luar negeri terutama dalam menjalankan tugasnya dalam bidang Borders Diplomacy and maritime delimitation. Dishidros sesuai dengan kapasitas duduk dalam Delegasi RI untuk memberikan bantuan tehnis dan pemikiran. Peta-peta laut Indonesia adalah peta dasar yang diakui keabsahannya oleh PBB untuk menarik garis-garis wilayah laut dan garis batas laut Indonesia terhadap wilayah laut negara tetangga. Indonesia mempunyai perbatasan laut dengan 10 negara tetangga, yaitu dengan India, Malaysia, Singapura, Thailand,

Page 46: Buletin TATA RUANG. Edisi September-Oktober 2009. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air

44 buletin tata ruang *

pengembangan profesi .

Vietnam, Philippines, Palau, PNG, Timor Leste dan Australia. Sedangkan perbatasan darat. dengan 3 negara yaitu: Malaysia, PNG dan Timor Leste.

Departemen Dalam Negeri (Depdagri) sebagai leading sector dalam urusan penetapan wilayah negara dan wilayah administratif provinsi sering melibatkan Janhidros untuk memberikan bantuan tehnis dan pemikiran dalam pemetaan wilayah kewenangan pengelolaan wilayah laut Kabupaten dan Propinsi. Departemen Kelautan dan Perikanan juga merupakan salah satu stake holder Dishidros dalam bidang survey dan pemetaan. Kedepan, masalah Maritime safety tidak berdiri sendiri melainkan menjadi satu paket dengan Maritime Security dan Marine Environmental Protection. Dengan demikian Kementrian Lingkungan Hidup juga merupakan salah satu stakeholder. Seperti dalam Proyek demo MEH (Marine Electronic Highway) di Selat Malaka. Kementerian Lingkungan hidup juga menjadi

mitra Dishidros dalam hal Maritime Environment Protection, karena ke depan kita tidak hanya bicara soal Maritime Safety (Keselamatan Maritim), tetapi merupakan satu paket Maritime Safety, Maritime Security, Maritime Environment Protection. Jadi sekarang semua satu paket masalah keselamatan, keamanan dan perlindungan lingkungan hidup. Berikutnya adalah Badan Pengembangan Teknologi BPPT, yang berkaitan dengan kerjasama masalah riset dan survei Hidro-Oseanografi. Disamping itu para akademisi juga menjadi mitra Dishidros dalam dalam konteks riset dan pengembangan teknologi pemetaan laut. Sektor swasta/private sector, juga menjadi stake holder Dishidros karena produk – produk Dishidros dipakai sebagai masukan untuk membangun infrastruktur kelautan seperti pembangunan pelabuhan, pemasangan pipa-pipa dilaut dan konstruksi pengeboran minyak lepas pantai. Dengan demikian sebagai Lembaga Hidro-Oseanografi, Dishidros memiliki peran penting didalam mendukung kepentingan nasional (pembangunan ekonomi nasional dilaut).

Dishidros memiliki recognition (pengakuan secara hukum) dari organisasi hidro oseanografi Internasional. Meskipun ada banyak lembaga survei dan pemetaan laut di Indonesia, hanya produk – produk Dishidros saja yang sah dipergunakan secara internasional. Bakorsurtanal pernah membuat peta laut tetapi tidak bisa dijual karena lembaga tersebut tidak mempunyai landasan hukum. Walaupun instansi-instansi lain punya kemampuan yang canggih dalam melaksanakan

survai kelautan namun produknya tetap tidak bisa dipakai sebagai referensi. Jadi Dishidros itu tidak bisa bekerja sendiri, Janhidros merupakan sub sistem nasional dalam konteks survei dan pemetaan. Jadi yang menentukan batas wilayah dan memiliki kapasitas adalah Depdagri tetapi Depdagri tidak memiliki kemampuan untuk menunjukan mana batasnya, nah Hidros yang punya. Produk – produk Dishidros berupa peta – peta laut dan berita – berita nautis. Selama ini Dishidros selalu mementingkan Quality insurance (jaminan kualitas) terhadap produk – produknya.

Dishidros telah melakukan survei pulau-pulau terluar dan menentukan titik-titik terluar guna penarikan batas teritorial laut kita. Lebih dari 75 % itu telah ditemukan/disurvei oleh Dishidros. Dishidros telah menyediakan produk hidros yang pasti akurasinya dapat dipercaya, untuk kepentingan berbagai stake holder kontribusi Hidros. Selain itu kegiatan apapun di laut yang menyangkut

Page 47: Buletin TATA RUANG. Edisi September-Oktober 2009. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air

* buletin tata ruang 45

pengembangan profesi . pengembangan profesi .

pengembangan dan pembangunan suatu daerah misalnya, pelabuhan, pemasangan pipa, selalu meminta refensi dari Dishidros

PUSAT KAJIAN PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERADABAN MARITIM (PK2PM)

Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim (PK2PM) atau Center for Ocean Development and Maritime Civilization (COMMITs) adalah organisasi masyarakat sipil yang didirikan dengan pengukuhan Akta Notaris Nomor 47 Tanggal 9 Februari 2008. Maksud dan tujuan pendiriannya adalah untuk mengoptimalkan pendayagunaan sumberdaya kelautan demi kesejahteraan rakyat yang “berperadaban maritim” dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, keberanian, keterbukaan, pluralisme, dan egalitarian. Untuk membantu tugas-tugas keorganisasiannya, PK2PM juga melibatkan media massa, baik cetak maupun elektronik.

VISI: “LAUT UNTUK KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN MASA DEPAN PERADABAN BANGSA”

MISI:a. Menempatkan sumberdaya kelautan sebagai arus

utama (mainstream) pembangunan nasional untuk mengentaskan kemiskinan dan pengangguran

b. Meningkatkan kualitas dan kompetensi SDM kelautanc. Meningkatkan kualitas dan distribusi informasi

pembangunan kelautan

agenda kerja BKPRN. SEPTEMBER - OKTOBER 2009

d. Menciptakan sinergitas, soliditas dan keberlanjutan pembangunan kelautan

e. Meningkatkan kualitas hidup dan keberdayaan masyarakat pesisir

f. Mewujudkan peradaban maritim dengan merevitalisasi nilai-nilai budaya kemaritiman dalam pembangunan nasional

AKTIVITASa. Penelitian dan kajian tentang pembangunan kelautan

dan peradaban maritimb. P e n g e m b a n g a n Tr a i n i n g - t r a i n i n g a d v o k a s i ,

pengembangan masyarakat, dan metode penelitian ilmiah

c. Penerbitan dan Publikasi Ilmiah (Jurnal dan Buku), Dialog/Diskusi, Seminar dan Lokakarya serta kerjasama dengan mediamassa koran dan elektronik

d. Pengembangan informasi dan dokumentasi tentang pembangunan kelautan dan kebudayaan maritim

e. Melakukan Advokasi kebijakan pembangunan kelautanf. Kerjasama nasional dan internasional dalam kajian

pembangunan kelautan dan peradaban maritim

Alamat Kontak : Perumahan Griya Melati Blok B IV No. 7 Bogor

Pengurus: Muhammad Karim (HP. 08121888291) dan Suhana (HP. 081310858708)

Agenda Kegiatan Bulan September 2009:

- Rapat Koordinasi Pembahasan Rancangan Perda kota banda Aceh ttg RTRW Kota Banda Aceh dlm Rangka pemberian Persetujuan Substansi.

- Pembahasan Persetujuan Substansi Materi Teknis Raperda Kab. Jombang tentang RTRW Kab. Jombang

- R a p at K o o rd i n a s i T i n d a k l a n j u t Pe nye l e s a i a n Permasalahan Persetujuan Substansi Kehutanan RTRWP Kalimantan Tengah

- Ekspose Substansi Kehutanan Terkait RTRWP Kepulauan Bangka Belitung

Agenda Kegiatan Bulan Oktober 2009:

- Rapat Evaluasi Raperda tentang RTRW Prop.Bali dan Raperda tentang RTRW Prop. Sulawesi Selatan

- Silaturahmi didahului dengan makan siang bersama

- Tindak lanjut persiapan pelaksanaan Rakernas BKPRN 2009

- Tindak lanjut Road Map Pulau Sumatera

- Pembahasan Rancangan Perda RTRW Prop. Sumatera Utara

- Ekspose Hasil Penelitian Terpadu thdp Usulan Perubahan Kawasan Hutan dalam Revisi RTRW Prop. Kalimantan Timur

- Uji Konsistensi Jasil Penelitian Terpadu thdp Usulan Perubahan Kawasan Hutan dlm Revisi RTRW Prop. Gorontalo

- Rapat Koordinasi Pembahasan Rancangan Perda Kabupaten Sumba Timur ttg RTRW Kab.Sumba Timur dalam Rangka Persetujuan Substansi

- Pembahasan Substansi Teknis Raperda RTRWP Lampung

- Pembahasan Raperda RTRW Kab. Maluku Tengah dan Raperda RTRW Kota Ambon

- Dinner meeting Eselon I BKPRN

Page 48: Buletin TATA RUANG. Edisi September-Oktober 2009. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Tepi Air

46 buletin tata ruang *

“The Goal of life is living in agreement with nature..”

- Zeno, 335 BC - 264 BC -