BULETIN MAGANG EDISI 1 2013

15
Taki - Takining Sewaka Guna Widya MENILIK SEWINDU KEPEMIMPINAN PROF. BAKTA LAPSUS Meneropong Kemelut Pendidikan Dan Bahasa Daerah Bahasa Daerah, Ibarat Jatuh Tertimpa Tangga Pula OPINI ISSN : 09854-1678 Alang–Alang, Surga Tersembunyi bagi Peselancar ESSAY FOTO

description

Buletin Magang

Transcript of BULETIN MAGANG EDISI 1 2013

Page 1: BULETIN MAGANG EDISI 1 2013

1Buletin Akademika Edisi I Tahun 2013| @persakademika| www.persakademika.comBuletin Akademika Edisi I Tahun 2013| @persakademika| www.persakademika.com

Taki - Takining Sewaka Guna Widya

MENILIK SEWINDU KEPEMIMPINAN PROF. BAKTA

LAPSUSMeneropong Kemelut

Pendidikan Dan Bahasa Daerah

Bahasa Daerah, Ibarat Jatuh Tertimpa Tangga Pula

OPINI

ISSN : 09854-1678

Alang–Alang, Surga Tersembunyi bagi

Peselancar

ESSAY FOTO

Page 2: BULETIN MAGANG EDISI 1 2013

2 3Buletin Akademika Edisi I Tahun 2013| @persakademika| www.persakademika.comBuletin Akademika Edisi I Tahun 2013| @persakademika| www.persakademika.com

SALAM REDAKSI

Dark Shadow dan Abraham Lin-coln: Vampire

Hunter. Itulah dua film yang melibatkan Tim Burton di tahun 2012. Dan bukan cuma itu saja, ada satu film ani-masi stop motion ber-temakan gothic yaitu Frankenweenie yang juga melibatkan Tim Burton selaku sutrada-ra.

Film ini bercerita tentang Victor Franken-stein yang jarang berso-sialisasi dan lebih suka bermain dengan an-jingnya, Sparky. Suatu ketika Sparky mening-gal karena tertabrak mobil. Karena Sparky merupakan teman yang paling berharga untuk

Victor, dia pun men-coba menghidupkan Sparky kembali setelah mendapatkan teori ten-tang halilintar yang di-dapatkannya di kelas sains oleh Mr. Rzyk-ruski. Mampukah Victor menghidupkan kembali Sparky?

Film ini menjadi suatu yang berbeda di tahun ini yaitu full black and white. Dengan kon-sep hitam putih, film ini terlihat old school dan gothic. Menjadi suatu nilai lebih untuk film ini mengingat jarang sekali ada film animasi hitam putih saat ini.

Alur ceritanya ber-jalan sangat pas dan sanggup membawa kita ke dalam film. Kesan

gothic-nya pun tidak berlebihan. Terasa san-gat pas karena ditambah dengan formula mon-ster klasik yang sanggup menyajikan suatu film animasi stop motion yang sangat baik. Pe-ngisi suara film ini juga mampu menghidupkan para karakter dengan baik. Dan nilai lebih film adalah stop motion yang rapi dan sangat khas Burton.

Sedikit kelema-han adalah kurangnya pengembangan karak-ter para tokoh. Namun hal tersebut dapat ditu-tupi dengan apik oleh suasana dan alur film yang mampu memban-gun emosi penonton. (Widhi)

Back from the “DEATH”Judul : FrankenweenieSutradara : Tim BurtonStudio : DisneyGenre : AnimationRating : PGTanggal Rilis : 5 Oktober 2012Durasi : 1 jam 27 menitBudget : $ 39 jutaPengisi suara : Catherine O’Hara, Martin Short, Charlie Tahan, Winona Ryder, Martin Landau

Salam Persma!Selamat datang tahun 2013 dan buletin edisi I tahun 2013 ini menjadi terbitan berjangka per-

dana di kepengurusan ini. Dengan tampilan yang sederhana, buletin edisi kali ini akan menyuguhkan perso-alan yang tidak terlepas dari isu yang terjadi di Kampus Udayana. Hadir sebagai fokus utama adalah menilik sewindu kepemimpinan Prof. Bakta yang telah menjadi pucuk pimpinan ter-

tinggi di Udayana selama 2 periode. Tak jauh dari dunia pendidikan, fokus khusus pun siap menyajikan isu terkait kemelut dalam kurikulum 2013 yang membuat bahasa daerah dalam posisi yang “dilematis”. Selain itu, kami hadirkan pula rubrik lainnya seperti jejak, essay foto yang menampilkan keindahan Pantai Alang-alang bagi peselancar dan masih banyak rubrik lainnya yang sayang

untuk dilewatkan. Buletin edisi I tahun 2013 ini akan menjadi sebuah awal suguhan kami bagi civi-tas Akademika Unud. Semoga “dapur redaksi” kami masih bisa “ mengepul” dan tetap bisa hadir di genggaman para pembaca. Akhir kata,

Selamat Membaca!

Pemimpin Redaksi

Resensi Film..........................................

Halaman : 3

Wawancara Transparan..........................................

Halaman : 4

Profil.........................................

Halaman : 6

Editorial.............................................

Halaman : 8

Laput..............................................

Halaman : 10

Essay Foto...............................................

Halaman : 14

Opini...............................................

Halaman : 16

Lapsus...............................................

Halaman : 18

Resensi Buku.............................................

Halaman : 21

Jejak.............................................

Halaman : 22

Features.............................................

Halaman : 24

Event Kampus...............................................

Halaman : 26

Content :

RESENSI FILM

Page 3: BULETIN MAGANG EDISI 1 2013

4 5Buletin Akademika Edisi I Tahun 2013| @persakademika| www.persakademika.comBuletin Akademika Edisi I Tahun 2013| @persakademika| www.persakademika.com

ketika masuk kamar mandi di Fakultas Per-tanian. Memang fasili-tas bagi tiap fakultas masih ada yang kurang. Sebenarnya hal ini su-dah disiasati oleh Prof. Bakta dengan subsidi si-lang. Anggaran SPP dari tiap fakultas yang bisa dibilang sudah mema-dai, menyumbangkan 10% anggaran SPPnya kepada fakultas yang kurang memadai. Beri-kutnya yang mengatur adalah dekanat di tiap fakultas. Bagaimana anggaran 10% terse-but akan difokuskan pada pembangunan apa yang dirasa kurang di fakultasnya.”

Apa harapan Anda pada rektor baru yang terpilih nantinya menuju pemilihan rek-tor Unud April 2013 ini?

“Rektor yang terpilih nantinya agar mampu melanjutkan landasan serta manajemen yang sudah baik yang telah

diciptakan oleh rektor sebelumnya. Dengan peningkatan infrastruk-tur akademik, pemba-haruan bangunan fisik, dan peningkatan mutu dosen dengan memi-liki karya ilmiah yang dimuat pada jurnal in-ternasional. Selain itu saat saya berdiskusi dengan alumni Unud, banyak yang memberi

saran bahwa Unud ha-rus terus meningkatkan pembangunan laborato-rium, pelayanan kese-hatan, dan juga birokra-si yang berbelit-belit harus sedapat mungkin dapat dirubah oleh rek-tor yang terpilih nanti-nya demi kenyamanan mahasiswa di kampus.” (cah)

Refleksi Sewindu Kepemimpinan Rektor Unud

Kepemimpinan Prof. Bakta sebagai Rektor Umud kini telah berakhir. Sudahkah ia bisa dikatakan mampu membawa Udayana bergerak maju? Berikut adalah wawa-

ncara transparan refleksi sewindu kepemimpinan Prof. Bakta bersama Prof. Dr. Wayan Windia MS.,selaku Ketua Badan Penjaminan Mutu Universitas Udayana.

Bagaimana menurut Anda upaya peningka-tan mutu Unud selama sewindu kepemimpi-nan Prof. Dr. dr I Made Bakta, Sp. PD (KHOM)

“Dalam meningkat-kan mutu Unud, Prof. Bakta terbilang sudah baik. Hal ini terbukti dari masuknya Unud dalam 6 besar sistem penjaminan mutu yang terdiri dari 24 PTN dengan gelar SPM-PT (Sistem Penjami-nan Mutu Perguruan Tinggi), kategori baik oleh DIKTI dari 1.400 PTN di Indonesia pada tahun 2009. Selain itu, Unud juga masuk dalam 10 besar universitas dengan julukan ‘macan asia’ karena banyak menampung mahasiswa asing. Tahun ini saja sekitar 200 mahasiswa asing belajar di Unud. Dan yang baru berlang-sung yaitu, penetapan Unud oleh Kemen-

dikbud sebagai in-stansi pemerintah yang menerapkan pengelo-laan keuangan Badan Layanan Umum (BLU) tanggal 27 Desember 2011 yang berlaku sejak 1 Januari 2012. Untuk memperoleh status BLU merupakan sebuah prestasi karena sedikit PTN yang memperoleh status tersebut. Semua hal ini tidak lepas dari koridor pemimpin Unud yang selalu beru-paya untuk meningkat-kan mutu universitas.”

Sewindu kepemimpi-nan Prof. Dr. dr I Made Bakta, Sp. PD (KHOM) menurut pan-dangan Anda apakah seluruh program kerja sudah terealisasi?

“Berbicara mengenai program kerja, saya me-lihat Prof. Bakta sudah cukup baik menjalankan program yang beliau rencanakan untuk me-

majukan Unud. Bisa dilihat dari pembangu-nan laboratorium ber-sama di dekat Rektorat. Itu merupakan program yang bagus, karena semua fakultas yang memerlukan laboratori-um dapat menggunakan laboratorium tersebut. Ada satu janji beliau di tahun ini yaitu akan ber-benah pada bangunan fisik Unud dan rencana membuat taman di se-tiap fakultas. Hal ini tentunya bisa berjalan dengan baik jika ang-garan untuk berbenah tersebut sudah difokus-kan pada hal itu.”

Bagaimana tangga-pan Anda mengenai banyaknya keluhan mahasiswa mengenai fasilitas yang kurang memadai di tiap fakultas?

“Tidak hanya maha-siswa, saya sendiri ter-biasa menutup hidung

Prof. Dr. Wayan Windia, MS.-Ketua Badan Penjaminan

Mutu Universitas Udayana (BPMU) Unud

Prof. Dr. Wayan Windia, MS. WAWANCARA TRANSPARAN

Page 4: BULETIN MAGANG EDISI 1 2013

6 7Buletin Akademika Edisi I Tahun 2013| @persakademika| www.persakademika.comBuletin Akademika Edisi I Tahun 2013| @persakademika| www.persakademika.com

PROFIL

Berawal dari Kisah Ramayana dan Mahabaratha

Putu Eka Guna Yasa, mahasiswa yang akrab di-

sapa Guna ini mengaku memilih Jurusan Sas-tra Bali karena merasa terpanggil untuk me-nelusuri lebih jauh me-ngenai kebuday-aan Bali yang tercer-min di dalam jurusan ini. “Ketika kecil dulu, ayah saya yang berwi-rausaha sebagai tukang ukir suka menceritakan kisah Ramayana dan Mahabaratha. Nilai-nilai itu ditanamkan kepada saya sejak dulu. Melalui Sastra Bali, ide-ologi dari kebudayaan Bali bisa diketahui dan dapat diungkap,” tutur pria kelahiran 6 Januari 1990 ini.

Minat Guna terha-dap bahasa Bali mun-cul sejak kecil. Lelaki Alumni SMA N 1 Ubud ini semakin menekuni minatnya itu ketika menempuh pendidikan SMP dan SMA. Terbuk-ti ia pernah mewakili SMAnya untuk mengi-

kuti Porsenijar di Ka-bupaten Gianyar. “Pada saat lomba tersebut, saya bertemu dengan pembina yang memi-liki wawasan luar biasa di bidang kebudayaan terutama mengenai lon-

tar,” ujar Juara 1 Lomba Dharmawacana tahun 2006 dan 2007.

Sejak menjadi Ma-hasiswa Jurusan Sas-tra Bali Fakultas Sastra Universitas Udayana, banyak pengalaman

PROFIL

Di era modernisasi ini, tidak banyak mahasiswa yang tertarik dengan sastra daerah, khususnya Sastra Bali. Namun, Putu Eka Guna Yasa, Ketua Senat Fakultas Sastra periode 2011-2012 justru sangat tertarik untuk mendalami-nya.

Putu Eka Guna Yasa,

Putu Eka Guna Yasa saat menulis lontar

yang didapatkan oleh putra I Ketut Tum-buh dan Ni Wayan Tingkes ini. Dirinya mengaku semakin ter-tarik dengan budaya Bali. Selain itu, ada ke-sempatan dalam beror-ganisasi yang dapat mem-buka cakrawa-la karya sas-tra, aksara, usada Bali maupun ilmu k e p e m i m p i -nan.

Namun di balik setiap k e s u k s e s a n yang pernah diraihnya, pemenang lomba karikatur Dies Natalis 2010 ini, selalu saja mendapat rintan-gan. Salah satu masalah yang pernah dihadapi-nya adalah ketika orang tuanya sakit, sehingga dia tidak bisa mengiku-ti ujian. “Dulu semester satu sampai empat, IPK yang saya raih termasuk tinggi. Bahkan sempat beberapa kali mendapat IP semester empat,” un-gkapnya. Hal tersebut berbanding terbalik ke-tika dirinya menginjak semester lima. Masalah keluarga mulai meng-hampiri saat orang tuanya harus dirawat

di rumah sakit. “Pada saat itu saya tidak bisa mengikuti ujian. Saat itulah mengatur waktu antara organisasi, orang tua dan prestasi men-jadi sangat penting,” ucap laki-laki kelahiran

Bangli ini.Kendala yang di-

hadapinya tidak me-nyurutkan langkahnya untuk berprestasi. Ber-bagai prestasi telah di-raih laki-laki yang hobi melukis dan membaca ini, diantaranya juara 1 lomba poster narkoti-ka Provinsi Bali 2005, juara 1 melukis perin-gatan HUT RI di Ubud, Bali 2007 dan men-jadi mahasiswa terbaik Fakultas Sastra 2012.

Ketika ditanyai me-ngenai rencana penggabungan bahasa daerah dengan seni bu-daya oleh Kementerian Pendidikan Nasional,

Guna menyatakan ti-dak setuju atas rencana tersebut. “Kalau kita bicara dalam konteks keilmuan, tidak ada ba-hasa daerah, bahasa na-sional dan bahasa asing sebenarnya. Semuanya

itu ditempat-kan di dalam bahasa. Ada bahasa dari segi keilmuan bahasa yang sifatnya in-ternasional, k e m u d i a n ada bahasa nasional ba-hasa Indone-sia dan adap-

ula bahasa daerah,” jelasnya.

Guna pun menam-bahkan bahwa semua bahasa tidak ada bedan-ya dan semua memiliki keunggulan masing-masing. “Tidak ada kej-elasan mengenai pro-porsi bahasa Bali dan seni budaya. Selain itu bahasa Bali masih di-anggap sebagai tantan-gan. Bahasa Bali identik dengan Bahasa Ibu dan akar kebudayaan Bali karena itu masih harus diutamakan. Jika perlu, bahasa Bali masuk UAN agar siswa terpacu un-tuk mempelajari bahasa Bali,” harapnya. (Mita)

Bagi Guna, hidup adalah untuk belajar dan belajar untuk hidup. “Jangan pernah berhenti untuk belajar karena ilmu pengetahuan itu datangnya dari segala arah. Jangan terjebak kepada hal-hal yang bersifat formal menganggap bahwa ilmu pengetahuan itu akan kita dapatkan dari kampus saja,” tuturnya.

Page 5: BULETIN MAGANG EDISI 1 2013

8 9Buletin Akademika Edisi I Tahun 2013| @persakademika| www.persakademika.comBuletin Akademika Edisi I Tahun 2013| @persakademika| www.persakademika.com

Editorial

Sewindu sudah Prof. I Made Bakta meme-gang tampuk

kekuasaan tertinggi di Universitas Udayana. Banyak pencapaian yang telah diraih, na-mun banyak juga per-masalahan yang belum diselesaikan. Pemer-ataan pembangunan, sarana penunjang pem-belajaran, subsidi silang antarfakultas, hingga angan-angan World Class University masih menjadi sorotan utama pada sisa masa jabatan Prof. Bakta. Permasala-han-permasalahan yang belum selesai itu akan menjadi PR bagi peng-gantinya kelak.

Masalah yang paling disoroti adalah pemer-ataan pembangunan. Di beberapa fakultas ma-sih terjadi ketimpangan fasilitas antara fakultas satu dengan yang lain. Kondisi bangunan juga tampak dipandang se-belah mata. Pembangu-nan masih terfokus pada fakultas-fakultas besar. Rektorat pun terkesan hanya membangun citra

pada fakultas yang ter-dapat mahasiswa asing seperti Fakultas Sastra di Bukit Jimbaran yang dulunya kering keron-tang, kini telah disulap menjadi hijau asri indah berseri.

Kuantitas mahasiswa juga tidak diimbangi dengan sarana-prasara-na yang memadai. Hal ini paling tidak terjadi di Fakultas Pariwisata dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) yang peminatnya cu-kup membeludak, tetapi fasilitas yang ditawar-kan tidak mendukung. Di Fakultas Pariwisata misalnya, mahasiswa harus kuliah hingga di atas jam 3 sore karena keterbatasan gedung. Jangan-jangan nanti orang tidak bisa mem-bedakan mana yang pro-gram ekstensi dan mana yang regular. Di FISIP pun demikian. Dalam satu kelas, mahasiswa bisa mencapai 50 orang dengan ruangan yang amat sempit. Tak heran bila kemudian banyak mahasiswa yang menge-luh kepanasan.

Masalah parkir be-lum lagi, pembangunan parkir di depan Fakultas Kedokteran Hewan ma-sih mangkrak, tidak kunjung selesai dan juga volume kendaraan di Kampus Sudirman misalnya sudah amat penuh. Udayana seak-an kekurangan lahan, padahal lahan-lahan strategis untuk pendidi-kan masih banyak yang belum dibangun, atau sudah dibangun tetapi justru dikontrakkan untuk kepentingan bis-nis. Contoh saja lahan Fakultas Peternakan di Sesetan yang menjadi pusat perbelanjaan.

Miris! Prof. Bakta yang gencar meng-kampanyekan World Class University tam-paknya harus berpikir ulang terhadap impian besar itu. Bermimpi boleh saja, tetapi usa-ha jauh lebih penting ketimbang sekadar terus bermimpi. Jangan sam-pai World Class Uni-versity hanya menjadi senjata politik yang ter-dengar ‘wah’ tetapi kita masih asyik bermimpi.

SEWINDU KEPEMIMPINAN PROF. BAKTA, PEMBANGUNAN MASIH MENJADI SOROTAN

MENILIK SEWINDU KEPEMIMPINAN PROF. BAKTA

Tahun 2013 merupakan tahun terakhir Prof. Bakta memimpin Udayana. Sewindu sudah Rektor Udayana ini bekerja untuk mencapai perubahan ke arah lebih baik bagi Udayana. Namun, sudahkah Udayana benar-benar ber-

benah?

LAPORAN UTAMA :

Wall

of

Fame

Page 6: BULETIN MAGANG EDISI 1 2013

10 11Buletin Akademika Edisi I Tahun 2013| @persakademika| www.persakademika.comBuletin Akademika Edisi I Tahun 2013| @persakademika| www.persakademika.com

LAPUT

Prof. Dr. dr. I Made Bakta, Sp.P.D (KHOM) kembali

dilantik menjadi Rektor Udayana untuk kedua kalinya pada 1 Oktober 2009. Semenjak itu, dimulailah kepemimpi-nan Prof. Bakta jilid II yang diharapkan mam-pu membawa angin pe-rubahan bagi Udayana. Diberikan kesempatan untuk memimpin Uda-yana selama dua peri-ode (2005-2009) dan (2009-2013) tentunya bukan waktu yang sing-kat. Sudah seharusnya banyak pencapaian yang didapatkan guna mem-bawa Udayana menuju universitas yang unggul, mandiri, dan berbudaya. “Selama dua putaran pemerintahan, Prof. Bakta sudah meletakkan dasar - dasar yang kuat bagi perkembangan dan kemajuan Unud. Berb-agai pencapaian telah diperoleh, bahkan sejak tahun 2012 Udayana telah menyandang sta-tus BLU (Badan Lay-anan Umum),” ungkap Prof. Dr. Wayan Windia, MS selaku Ketua Badan Penjaminan Mutu Universitas Udayana (BPMU). Hal ini senada de-

ngan pernyataan dr. I Nyoman Arcana, Sp. Biok selaku PR II Unud, Arcana menyatakan Udayana kini semakin gencar menata pemban-gunan kampus. “Selama empat tahun terakhir, pembangunan fisik se-makin merata dilakukan di berbagai titik. Se-but saja pembangunan Rumah Sakit Udayana, Gedung Student Centre, Gedung Agrokompleks dan pemugaran gedung –gedung di seputar kampus,” paparnya den-gan antusias. Udayana terus ber-benah. Pembangunan fisik terus dilakukan, hingga di penghujung kepemimpinan Prof.Bakta, denyut pemban-gunan di beberapa titik masih terlihat. Adapun pembangunan yang telah dirampungkan selama kepemimpinan Prof. Bakta, beberapa diantaranya adalah Ge-dung Fakultas Kedok-teran Hewan (FKH), Gedung PS. IKM dan PS. Ilmu Keperawatan, perpustakaan dan Stu-dent Centre. Meskipun beberapa pembangunan sukses dirampungkan, namun masih banyak pem-

bangunan yang masih menanti untuk digarap. Sehingga beberapa ge-dung terkesan masih mangkrak. Sebut saja pembangunan Gedung Agrokompleks dan Ge-dung Parkir Lantai 4 yang masih menanti un-tuk digarap. Anggapan ini di-perjelas oleh Arcana, “Pembangunan itu bu-kan mangkrak, tapi ber-tahap. Pembangunan gedung harus diajukan terlebih dahulu ke DIK-TI (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi) dan

dibahas oleh DPR pusat. Dari sini akan ditentu-kan anggaran yang akan dikeluarkan dan ten-tunya terus bertahap, sehingga tidak mung-kin pembangunan di-lakukan secara instan,” terangnya. Arcana juga menjelaskan bahwa ada dua sumber dana yang digunakan untuk pem-bangunan gedung yaitu dana APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) yang bersum-ber dari pemerintah ser-

ta dana PNBP (Peneri-maan Negara Bukan Pajak) yang merupakan dana dari pungutan SPP mahasiswa. Na-mun dana PNBP itu tidak selalu dapat di-gunakan. “Jika dana PNBP terus disalurkan untuk pembangunan gedung, maka hal ini akan memberatkan ma-hasiswa. Oleh karena itu kami selalu mengajukan ijin pembangunan se-tiap tahunnya sehingga pembangunan terkesan mangkrak.”

Belum lepas dari isu mangkrak, sistem pem-bangunan di Unud pun terus diperdebatkan. Seperti yang diung-kapkan oleh Ir. I Nyo-man Gelebet pensiunan dosen teknik arsitektur (1978-2009). Menurut-nya rektor Unud belum dapat membuat pem-bangunan Unud sesuai dengan master plan 78. “Bukit Jimbaran itu merupakan daerah pari-wisata. Tidak benar jika perlahan semua fakultas dipindah ke Bukit. Rek-

Data Pembangunan Fisik Universitas Udayana Tahun 2008 - 2011.

Page 7: BULETIN MAGANG EDISI 1 2013

12 13Buletin Akademika Edisi I Tahun 2013| @persakademika| www.persakademika.comBuletin Akademika Edisi I Tahun 2013| @persakademika| www.persakademika.com

tor harus memikirkan bagaimana keadaan yang kondusif bagi ma-hasiswa menuntut ilmu. Seperti rencana mem-bangun kawasan Kota Kampus di Bukit ketika rencana pemindahan kampus ke bukit di ta-hun 1980an,” jelasnya. Terlepas dari master plan 78, permasalahan lain pun terus bergulir seiring melejitnya pem-bangunan. Sebut saja permasalahan parkir Kampus Sudirman yang hingga kini belum me-nemui titik terang. “Lahan parkir di Sudirman sangat min-im, tidak sebanding dengan jumlah kenda-

raan. Perlahan beberapa program studi dan kan-tor pindah ke sini, jadi kampus semakin penuh kendaraan,” tutur Nyo-man Januadi selaku Ko-mandan Satpam Kam-pus Sudirman. Hal serupa juga di-rasakan oleh Amanda, mahasiswi program studi Hubungan Inter-nasional. “Kalau datang agak siangan jadi jarang kebagian tempat parkir. Parkir kampus terlalu sempit,” protesnya. Amanda juga menge-luhkan infrastruktur fakultasnya yang kurang memadai. “Lampu ka-mar mandi dan air sering mati. Ruangan

kecil, mahasiswa ban-yak tapi AC-nya sering mati,” imbuhnya.

World Class University harga mati Ketika maju men-jadi calon incumbent dalam pemilihan rektor 2009 lalu, Prof. Bakta menawarkan 17 kebi-jakan dan program guna meningkatkan mutu dan standar universitas. Bu-kan hanya menata pem-bangunan, Prof. Bakta juga terus berupaya me-ningkatkan standar dan kualitas universitas. Pada usia 50 tahun, Unud telah mampu memperbaiki citranya

dengan berada pada rangking 1.667 dunia versi Webometric. Po-sisi tersebut meningkat drastis mengingat pada tahun 2009 Unud hanya berada di posisi 3.950. Bukan hanya itu, Unud juga telah masuk dalam urutan 291 sebagai ke-lompok 300 Top Asian Universities menurut penilaian QS Star. Perbaikan citra uni-versitas ini tentunya ti-dak terlepas dari upaya Udayana dalam menuju World Class University (WCU). WCU layaknya harga mati yang ditar-getkan tercapai di ta-hun 2021. “Jika dilihat dari standar akademik,

mutu Unud dapat di-katakan sudah mampu mencapai target World Class University. Hal ini dapat dilihat dari kelulusan alumni yang sudah mencapai IPK standar 3-3,5. Para lu-lusan Unud pun 75% diantaranya sudah bisa langsung bekerja setelah tamat,” tutur Prof. Win-dia yang merupakan Guru Besar Fakultas Pertanian Udayana. Dalam menuju World Class University, terdapat beberapa krite-ria yang harus dipenuhi suatu universitas. Krite-ria tersebut diantaranya adalah 40 % tenaga pendidik bergelar Ph.D,

publikasi internasional 2 papers/staff/tahun, jumlah mahasiswa pas-ca 40% dari total popu-lasi mahasiswa (student body), anggaran riset minimal US$ 1300/staff/tahun, jumlah ma-hasiswa asing lebih dari 20%, dan Information Communication Tech-nology (ICT) 10 KB/mahasiswa. Pemenuhan terha-dap beberapa kriteria tersebut tentunya tidak dapat dilakukan secara instan. Dalam kebijakan dan program kerjanya, Prof. Bakta mencoba untuk melakukan pen-

(Bersambung ke Hal. 27)

(gus/aka)

LAPUT

Page 8: BULETIN MAGANG EDISI 1 2013

14 15Buletin Akademika Edisi I Tahun 2013| @persakademika| www.persakademika.comBuletin Akademika Edisi I Tahun 2013| @persakademika| www.persakademika.com

ESSAY FOTO

Terletak di Pulau Lombok, Pantai Alang-Alang men-

jadi tempat favorit untuk penyuka selancar air atau surfing. Nama pantai ini diambil dari banyaknya tumbuhan alang-alang yang saat musim hu-jan memenuhi pantai berdinding ini. Tidak banyak yang mengetahui pantai berbatu ini karena berada di balik bukit batu sehingga jarang dikun-jungi orang.

Pantai ini menyuguh-kan spot yang sangat baik bagi para fotografer. Yodi dan Ilman, peselancar, sudah beberapa tahun menjadikan Alang-alang sebagai hotspot favorit mereka karena deretan ombak. Manis-pahitnya berselancar sudah mer-eka rasakan. Menabrak dinding pantai, terkena batu karang, dan ter-hempas ombak hingga puluhan meter ke ping-gir pantai. Namun mer-eka tetap menjadikannya sebagai rumah kedua.(Arim)

Alang–Alang, Surga Tersembunyi bagi Peselancar

Aksi Yodi Saat Melakukan Teknik Spraying

Alang-Alang yang Tumbuh di Sekitar Pantai Inilah yang Dijadikan Nama Pantai Ini

Ilman Menjajal Ombak Besar Pantai Alang-Alang Tanpa Memedulikan Resiko Menabrak Dinding Pantai

Terletak di Balik Bukit Berbatu Membuat Pantai ini Tidak Terlalu Terkenal

ESSAY FOTO

Page 9: BULETIN MAGANG EDISI 1 2013

16 17Buletin Akademika Edisi I Tahun 2013| @persakademika| www.persakademika.comBuletin Akademika Edisi I Tahun 2013| @persakademika| www.persakademika.com

OPINI

Bahasa meru-pakan peran-tara yang di-gunakan orang

untuk menyampaikan pesan kepada lawan bi-cara. Dengan menggu-nakan bahasa orang akan mudah berkomunikasi. Setiap daerah memiliki bahasa tersendiri yang membedakannya den-gan daerah lain. Bahasa dapat dikatakan membu-daya dengan diturunkan dari generasi ke genera-si. Pasca kemerdekaan, Indonesia menggunakan bahasa Indonesia seb-agai bahasa resmi. Se-dangkan bahasa daerah tetap diakui dan diper-gunakan sebagai bahasa percakapan sehari-hari di daerah.

Tanpa disadari glo-balisasi telah men-gantarkan masyarakat Indonesia melupakan penggunaannya. Seperti halnya Bahasa Bali. Ini adalah imbas Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris yang semakin meningkat popularitas-nya. Penggunaan baha-sa-bahasa tersebut yang luas di berbagai bidang

membuat lambat laun generasi muda jarang berkomunikasi dengan menggunakan bahasa daerahnya.

Bahasa Bali dipredik-si digunakan sekitar 3,9 juta orang pada tahun 2001. Namun di tahun 2011 diperkirakan mero-sot hingga 1 juta orang. Hal ini disebabkan oleh orang Bali sekarang cen-derung menyukai peng-gunaan bahasa Indone-sia ataupun bahasa asing dalam percakapan se-hari-hari. Hal ini juga di-pengaruhi oleh perkem-bangan pesat pariwisata di pulau dewata. Orang Bali berlomba-lomba untuk menguasai baha-sa asing seperti Inggris, Mandarin, Jepang dan Korea. Namun melupak-an bahkan gengsi mem-pelajari bahasa Ibu-nya.

Dulu Bahasa Bali digunakan baik di kota maupun desa. Bahasa Bali dan aksaranya be-gitu fasih dan lafal di-gunakan. Kini warga perkotaan cenderung menggunakan Bahasa Indonesia dan asing dalam berkomunikasi.

Hingga tidak jarang ter-bawa saat pulang ke desa. Alhasil, desa-desa di Bali mulai terkena demam ber-bahasa Indonesia ataupun asing dengan menganggap bahasa tersebut jauh lebih keren dari bahasa Bali.

Kini eksistensi Bahasa Bali pun mulai menu-run. Tidak hanya menu-lis aksara Bali, berucap bahasanya saja generasi muda mulai tidak mampu. Menggunakan bahasa Bali terasa terpaksa. Mempela-jarinya di sekolah pun ter-asa sama sulitnya dengan pelajaran ilmu pasti seper-ti matematika. Bahkan tak jarang nilai rapor pelaja-ran Bahasa Bali cenderung paling kecil diantara mata pelajaran yang lain.

Bahasa Bali pun ter-kesan dianaktirikan dan hanya digunakan saat pelajaran bahasa Bali. Begitulah nasibnya yang kini tersingkir dari rumah sendiri. Bahkan, orang desa yang merantau ke kota ketika pulang ke desa lebih senang memakai bahasa Indonesia dalam bercakap. Misalnya saja seorang cucu yang pulang ke desa akan memang-

gil nenek dan kakek. Bu-kan memanggil yang se-mestinya niang dan kaki atau dadong dan pekak. Begitu pula dalam pang-gilan kepada orang tua. Jarang kita mendengar di kota utamanya anak-anak mengucapkan meme-bape. Bahkan di desa ada tren orang tua mengajar-kan anaknya memanggil dengan panggilan ma-mak. Terkadang orang tua merasa malu saat anaknya tidak bisa berbahasa In-donesia. Aneh! Di rumah sendiri saja Bahasa Bali malu untuk digunakan.

Nasib Bahasa Bali kini kian dipersulit dengan rencana ditiadakannya di Kurikulum 2013. Peme-rintah berkelit bahwa ba-hasa daerah yang terma-suk muatan lokal ini tidak dihapuskan. Melainkan diintegrasikan ke dalam pelajaran seni budaya. Hal ini sama saja dengan membatasi keberadaan-nya. Pemerintah seperti ingin membuat generasi muda hanya mengenal bahasa Indonesia dan In-ggris. Walaupun bahasa Inggris juga dihapuskan di tingkat SD, toh tetap bertahan melalui kursus-kursus. Sedangkan ba-hasa Bali bagaimana? Apakah ada yang akan mendaftar jika ada tem-

pat kursus Bahasa Bali? Tentu saja jawabannya ti-dak mungkin.

Di sekolah saja po-sisinya mulai tergeser, apalagi di luar. Pemerin-tah tidak berpikir bahwa Bahasa Bali khususnya layak dilestarikan dengan menempatkannya sebagai mata pelajaran sejajar Bahasa Indonesia. Bukan sebaliknya membantu menyingkirkannya. Tidak bisa dibayangkan Bahasa Bali masuk kategori ba-hasa yang akan punah di tahun 2100.

Beberapa waktu lalu, pihak mahasiswa seperti KMHDI, Universitas Dwi-jendra, IKIP PGRI Bali dan IHDN melakukan aksi demonstrasi menen-tang kebijakan ini. Mereka beralasan jika Bahasa Bali dihapuskan maka akan berimbas negatif kepada mahasiswa yang meneku-ni bidang sastra, khu-susnya Sastra Bali. Aksi ini tidak bisa disalahkan, karena secara tidak lang-sung kebijakan pemerin-tah tersebut mengancam eksistensi Bahasa Bali di rumahnya sendiri, Bali. Jika generasi muda Bali tidak bisa berbahasa Bali, bagaimana dengan buda-ya Bali yang kental dengan bahasa Bali. Lontar-lontar tentu tidak akan berfungsi

jika generasi tidak bisa membaca atau menger-ti tulisan Bali.

Pemerintah semes-tinya mengkaji dengan baik setiap kebijakan yang ingin dikeluarkan. Tindakan yang ingin mengintegrasi Bahasa Bali dengan pelajaran lain seolah-olah in-gin mematikan ke-beradaannya. Bagaima-na Bahasa Bali akan ajeg jika media pem-belajaran Bahasa Bali justru dibatasi. Semes-tinya tugas pemerintah saat ini bukanlah men-gurangi, melainkan me-nambah kapasitas pem-belajarannya di dunia pendidikan. Minimal dengan menjadikannya sebagai pelajaran wajib baik di sekolah maupun universitas. Pemerintah Bali juga seharusnya mulai mempopulerkan Bahasa Bali misalnya melalui pariwisata Basa Bali. Jika turis tertarik dengan pariwisata Basa Bali, tentu hal ini me-micu orang Bali kem-bali mencintai bahasa Bali. Kita bisa mencon-toh Korea Selatan yang mencintai bahasa sen diri.

Bahasa Daerah, Ibarat Jatuh Tertimpa Tangga Pula

Oleh: Agus Sueca Merta

Page 10: BULETIN MAGANG EDISI 1 2013

18 19Buletin Akademika Edisi I Tahun 2013| @persakademika| www.persakademika.comBuletin Akademika Edisi I Tahun 2013| @persakademika| www.persakademika.com

LAPSUS

Pelaksanaan pe-nyusunan kuriku-lum 2013 adalah

bagian dari melanjutkan pengembangan Kuriku-lum Berbasis Kompe-tensi (KBK) yang telah dirintis pada tahun 2004 dengan mencakup kompetensi sikap, pen-getahuan, dan keter-ampilan secara terpadu. Sesuai amanat UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Na-sional pada penjelasan pasal 35, kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai

dengan standar nasional yang telah disepakati. Paparan ini merupakan bagian dari uji publik Kurikulum 2013, yang diharapkan dapat men-jaring pendapat dan ma-sukan dari masyarakat.

”Untuk pendidikan dasar, murid-murid merasa terbebani oleh jumlah buku pelajaran dengan materi yang banyak sehingga mem-pengaruhi psikologis-nya. Oleh karena itu, dibuatkan kurikulum yang simple mengingat untuk tingkat Sekolah Dasar yang diutamakan adalah Calistung yakni membaca, menulis dan

menghitung,” ujar Ke-pala Bidang Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi Bali, Komang Gede Merta Dana, S.H., M.H.

Wacana Integrasi Pelajaran Bahasa Daerah

Bagi Komang Gede Merta Dana, S.H., M.H., masalah pengintegra-sian bahasa daerah ini masih krusial. Bali pun menolak pengintegra-sian bahasa daerah, dalam hal ini bahasa Bali ke dalam mata pela-jaran lain.

“Dalam uji publik dan sosialisasi pelaksa-naan Kurikulum 2013 akhir November lalu hanya dipaparkan se-cara umum bahwa baha-sa daerah diintegrasikan ke dalam Seni Budaya dan Prakarya serta Pen-jasorkes. Sedangkan bagaimana mekanisme p e n g i n t e g r a s i a n n y a nanti dalam kegiatan belajar mengajar, masih belum jelas,” ungkap-nya.

Uji publik akhir No-vember 2012 lalu diada-kan di kantor Disdikpo-ra Provinsi Bali, untuk mensosialisasikan ke-pada guru, dosen, pakar maupun pemerhati pen-didikan sekaligus mem-perjelas mekanisme pengintegrasian bahasa daerah dalam kuriku-lum 2013. “Bukan jawa-ban yang diberi, tim dari pusat yang datang saat itu hanya menampung aspirasi,” ujarnya.

Hal ini tentunya me-nyisakan beragam per-tanyaan dari berbagai pihak. Akhirnya guru bahasa daerah melaku-kan aksi demonstrasi di kantor DPRD Bali be-berapa waktu lalu. Se-lasa (15/1) lalu anggota Komisi IV DPRD Bali bersama perwakilan

Disdikpora kembali me-nyuarakan aspirasi ke Jakarta dengan mem-bawa rekomendasi ses-uai hasil seminar Semi-nar Evaluasi Rencana Perubahan Kurikulum 2013 mengenai Peng-gabungan Bahasa Dae-rah Ke Dalam Seni Bu-daya dalam Kurikulum 2013 yang diadakan oleh Himpunan Maha-siswa Jurusan Sastra Bali Fakultas Sastra Universitas Udayana, di Denpasar, Rabu (9/1) lalu.

”Kami dari dinas bersama rekan-rekan Guru Bahasa Bali dan Komisi IV DPRD Bali sudah berjuang. Tentu-nya dinas berharap Ba-hasa Bali tetap menjadi mata pelajaran tersend-iri, mengingat Bahasa Bali memiliki karakter tersendiri sehingga ti-dak mudah untuk di-integrasikan ke dalam mata pelajaran lain,” ujar Merta Dana.

Penolakan juga dis-ampaikan Ketua Juru-san Sastra Bali, Fakultas Sastra Universitas Udayana, I Gede Nala Antara. Pihaknya meno-lak Bahasa Daerah diin-tegrasikan ke mata pela-jaran Seni Budaya dan Prakarya. “Jika Bahasa

Daerah diintegrasikan dalam seni budaya dan prakarya akan mengu-rangi daya hidup bahasa daerah itu,” ujarnya.

Alasan penolakan Nala Antara itu juga dilandasi oleh adanya kontradiksi antara tu-juan dan realita kuriku-lum 2013 karena mua-tan lokal merupakan salah satu mata pela-jaran yang memben-tuk karakter generasi. “Bagaimana bisa men-junjung nilai-nilai luhur bangsa apabila bahasa daerah diintegrasikan ke dalam mata pelajaran seni budaya dan pra-karya?,” ungkapnya.

Berbeda dengan Nala Antara, Wirawan yang merupakan seni-man Gases Bali sekal-igus Dosen Seni di IKIP PGRI Denpasar me-nyatakan bahwa secara pribadi dirinya setuju dengan wacana pengin-tegrasian Bahasa Daerah dalam kurikulum 2013. “Menurut saya, itu sami mawon (sama saja). Bahasa Bali merupakan pelestarian budaya yang berbasis dengan tradisi. Kalau bahasa Bali diali-hkan ke dalam Seni Bu-daya dan Prakarya, seni budaya juga berbasis lokal genius ada Bahasa

MENEROPONG KEMELUT PENDIDIKAN DAN BAHASA DAERAH

(gus/aka)

Page 11: BULETIN MAGANG EDISI 1 2013

20 21Buletin Akademika Edisi I Tahun 2013| @persakademika| www.persakademika.comBuletin Akademika Edisi I Tahun 2013| @persakademika| www.persakademika.com

RESENSI BUKU

Bali dan keseniannya juga di dalamnya. Toh juga diajarkan tatanan dan susunan bagaimana tradisi budaya kita yang ada di Bali. Jadinya kan sama saja, hanya bahasa pengungkapannya yang berbeda,” komentarnya ketika ditemui di Sang-gar Gases Bali, Sesetan, Denpasar.

Nasib Guru Bahasa Daerah

Di dalam Kurikulum 2013, terdapat satu poin yang meniadakan mata pelajaran muatan lokal (mulok). Hal ini tentu-nya akan berpengaruh kepada seluruh guru pengajar bahasa daerah di Indonesia. Nala An-

tara pun menyebutkan mengapa dirinya me-nolak integrasi pelaja-ran itu. “Bukan Guru Bahasa Bali saja yang terancam, Guru Bahasa Padang, Sunda, Jawa, dan pengajar bahasa daerah lainnya di Indo-nesia juga terancam ke-hilangan pekerjaannya,” katanya.

Masalah ini juga dis-ayangkan oleh sejumlah mahasiswa. Ni Putu Ayu Yuni Swari, mahasiswi jurusan Sastra Bali, Fakultas Sastra Unud misalnya. Dirinya me-nilai bahasa merupakan salah satu unsur kebu-dayaan dan menurutnya wacana kurikulum 2013 justru akan mengham-bat berkembangnya ba-

hasa dan sastra daerah, khususnya Sastra Bali.

Tidak hanya maha-siswa Udayana, peno-lakan juga disuarakan oleh mahasiswi Pen-didikan Bahasa Bali Universitas Pendidi-kan Ganesha Singaraja. “Kurikulum 2013 tidak efektif karena dengan adanya penggabungan dengan seni budaya dan sangat tidak masuk akal. Apalagi di Bali, tentunya harus menjaga kelestarian bahasa bali itu sendiri. Di sisi lain, jam pengajaran guru yang bersangkutan akan berkurang sehingga berdampak pada sertifi-kasi guru,” ungkap Anak Agung Raka Adi Sur-yawati.

Nala Antara men-gungkapkan posisi ba-hasa daerah pun dini-lainya akan bersaing dan berebut porsi jam dengan mata pelajaran lain. “Bahasa daerah tetap perlu berdiri sen-diri. Kita harus berpihak untuk mengembangkan bahasa daerah supaya eksistensinya tetap ada, sejalan juga dengan penguasaan pada baha-sa Indonesia dan bahasa internasional,” tegasnya sembari tersenyum. (Sasmita & Dea)

Bokis bagi seorang Maman Suher-man adalah un-

tuk mengekspresikan sikapnya terhadap sisi gelap media yang se-lama ini dia geluti. Dia merangkum semua pengalamannya sebagai jurnalis selama delapan tahun dalam 7 bab dan 33 kisah.

Mencari kebena-ran dan menyajikannya sesuai kebutuhan pub-lik merupakan esensi dari prinsip pencerahan dan penggunaan. Na-mun, Maman merasa media Indonesia justru memanjakan beberapa tokoh guna pencitraan diri dan popularitas. Ulasannya dapat dibaca dalam beberapa judul kisah di buku ini, seperti “Video Aborsi”, “Peso-hor dan Bencana” dan “Berita Ustadz”.

Sebagai seorang pencari kebenaran, ter-

masuk wartawan go-sip pun harus selalu menyampaikan fakta, bukanlah opini. Namun, ketika dihadapkan oleh seorang selebriti yang sangat membutuhkan pencitraan, menuliskan berita yang tidak nyata sangatlah sulit. Pada kisah “Akal-Akalan vs Bokis-Bokisan” kita bisa menyimak bagaimana seorang pesohor memu-tarbalikkan fakta dan trik licik sang jurna-lis mengakalinya. Trik licik yang sekaligus juga mempermalukan wajah jurnalisme Indonesia.

Seiring gelapnya wajah jurnalisme In-donesia kini, Kode Etik Jurnalistik diharapkan mampu mengatasi de-gradasi terhadap integ-ritas para jurnalis dan menegakkan kembali profesi jurnalis. Beber-apa kisah seperti “Duit Sekoper”, “Dirayu Nar-

sum”, “Tantangan Satu Milyar”, dan “Berita Buatan” adalah kritik Maman terhadap hal tersebut.

Sayangnya, judul ke-cil, “Kisah Gelap Dunia Seleb” kurang mewakili isi buku. Dalam buku ini porsi terhadap dunia se-lebritas hanyalah seke-dar prolog. Mayoritas pembahasan ditujukan kepada dunia jurnalistik dan penyelewengannya.

Meski dianggap telah mempermalukan profesinya sendiri oleh beberapa kawan jur-nalisnya, Maman men-ganggap Bokis sebagai sebuah otokritik. Buku ini cocok untuk gen-erasi muda yang perlu menyadari seberapa pentingnya kecerdasan untuk menyaring infor-masi dari media.(Utt)

BOKISPerselingkuhan Wartawan dengan

Narasumber

Judul : Bokis (Kisah Gelap Dunia Seleb)Penulis : Maman SuhermanPenerbit : Kepustakaan Populer GramediaTebal : 124 halaman

(gus/aka)

Page 12: BULETIN MAGANG EDISI 1 2013

22 23Buletin Akademika Edisi I Tahun 2013| @persakademika| www.persakademika.comBuletin Akademika Edisi I Tahun 2013| @persakademika| www.persakademika.com

JEJAK

Desa yang berada di Kecamatan Bangli, Kabu-

paten Bangli Provinsi Bali ini, berjarak sekitar 45 kilometer dari Kota Denpasar. Lokasinya berdekatan dengan des-tinasi wisata yang ada di Bangli lainnya seperti, Istana Negara di Tam-pak Siring atau Desa Trunyan yang terkenal akan kelestarian tradis-inya. Hal inilah yang mendorong saya untuk menelusuri Desa Pengli-puran bersama teman-teman.

Cuaca pagi di Den-pasar terasa sejuk. Di-barengi dengan sedikit gerimis hujan, tak me-nyurutkan niat menuju Desa Penglipuran. Pe-mandangan indah pun menyapa selama per-jalanan yang cukup me-lelahkan ini. Melewati desa-desa yang masih asri untuk menuju desa di Kabupaten Bangli ini.

Dengan meng-habiskan waktu selama 2 jam di perjalanan, akhirnya kami sampai

di Desa Penglipuran. Di pintu masuk, kami har-us membayar tiket sebe-sar Rp.5.000/orang. Memasuki wilayah Desa Penglipuran kami lang-sung disuguhkan den-gan pemandangan khas pedesaan yang asri. Bangunan terlihat sera-gam dengan tata letak yang sangat rapi mem-beri kesan menawan. Suasana pedesaannya juga sangat tenang dan nyaman.

Keseragaman antara rumah warga satu den-gan yang lainya terlihat paling menonjol pada bagian pintu masuknya atau sering disebut ang-kul-angkul. Angkul- an-gkul tersebut rata-rata mencapai ketinggian sekitar 2,5 meter. Ham-pir semua bangunan rumah warga memakai bahan dasar dari bam-bu untuk pembuatan rumah. Konsep bangu-nannya pun memakai konsep bangunan Bali Aga. Ciri khas bangunan di Desa Penglipuran ini serasa membawa kita

kembali ke masa lalu, masa di zaman Bali kuno.

Keseragaman ini bu-kanlah sebuah kebetulan. Melainkan sudah men-jadi kesepakatan warga. Bahkan sudah tertera sebagai peraturan atau awig – awig desa. Tradisi keseragaman ini men-jadi simbol kebersamaan yang sudah ditekankan sejak lama oleh leluhur mereka. Hal ini terlihat dari peraturan yang me-nyatakan bahwa jika ada yang melanggar maka warga tersebut akan mendapatkan sanksi, yai-tu berupa dikucilkan oleh warga lainnya.

Di Desa ini juga diter-apkan peraturan yang tidak bisa diganggu gu-gat. Di desa ini, pria di-larang melakukan perni-kahan poligami. Dimana seorang pria beristri lebih dari satu. Jika peraturan itu berani dilanggar maka dia harus meninggalkan istri pertamanya dan siap disepekang (dikucilkan) oleh warga setempat.

Bagi pria yang melaku-kan pernikahan poligami

akan dibuatkan rumah khusus sebagai tempat pengasingan. Tempat khusus tersebut dikenal dengan istilah Karang Memadu. Karang Mema-du ini berwujud sebuah area yang dibangun den-gan sejumlah gubuk. Di gubuk-gubuk itulah mereka tinggal sebagai tanda pengasingan. Ka-rang Memadu pun di-tempatkan di sebelah selatan desa. Warga setempat menganggap area ini sebagai kawasan kotor, atau biasa disebut leteh dalam istilah Ba-hasa Bali.

Sejauh ini belum ada warga yang berani me-langgar ketentuan ini. Gubuk-gubuk yang ada di Karang Memadu pun sepi tak berpenghuni.

Hal ini menunjukan bahwa warga sangat menghargai leluhurnya dengan tidak melanggar awig- awig yang sudah dibuat.

Warga Desa Pengli-puran juga menganut suatu sistem organisasi kemasyarakatan yang disebut ulu apat yaitu adanya jenjang tingka-tan sosial dimulai dari angka 1 sampai 76. Jero Kubayan adalah sebu-tan untuk orang pada urutan 1. Jabatannya di masyarakat dianggap paling tinggi dan san-gat berpengaruh pada warga desa. Bendesa sendiri saat ini berada pada urutan ke 27.

Keunikan lain yang ada di desa ini juga ada pada upacara kematian,

yaitu saat penguburan jenazah salah seorang warga. Pada saat akan diselenggarakan upa-cara penguburan, warga desa akan menyembelih satu ekor sapi. Selain itu keunikan lainnya adalah mayat pria akan diku-burkan dengan posisi tengkurap sedangkan wanita ditengadahkan.

Perjalanan kami pun ditutup dengan pe-rasaan kagum dan bang-ga akan kearifan lokal yang masih tetap dijaga di Desa Penglipuran. Sebuah desa yang me-nyajikan warisan dari masa lalu yang tetap ada hingga kini. Menan-dingi pergeseran zaman yang terbawa arus mod-ernisasi. (Surya Dharma)

Penglipuran, sebuah desa yang terkenal dengan keunikan tatanan bangunan yang seragam dalam suasana pedesaan Bali yang masih kental. Namun tidak hanya itu,

Penglipuran ternyata juga menyimpan beberapa warisan tradisi yang unik.

Penglipuran, Desa yang Menjaga Pesan Leluhur

Jalan Utama sebagai penghubung antar rumah-rumah yang seragam sepanjang Desa Penglipuran, Bangli

Page 13: BULETIN MAGANG EDISI 1 2013

24 25Buletin Akademika Edisi I Tahun 2013| @persakademika| www.persakademika.comBuletin Akademika Edisi I Tahun 2013| @persakademika| www.persakademika.com

FEATURES

Tongkat gerak bagi Purnawan (18) adalah kaki-kaki

yang membantunya berjalan dan melaku-kan segala macam ak-tivitas. Purnawan tak bisa berjalan dengan normal sejak lahir kare-na adanya gangguan pada otot gerak yang

mengakibatkan struk-tur dan ukuran kakinya berbeda dari ukuran normal. “Saya sering dibuat merasa sendirian di desa. Orang-orang sekitar mencemooh ke-adaan diri saya,” ujar Purnawan.

Purnawan meru-pakan salah satu murid

yang dulu bersekolah di (YPAC) Yayasan Peduli Anak Cacat yang mem-bantu anak-anak de-ngan kebutuhan khusus di Bali. Namun, hingga saat ini Purnawan ma-sih tinggal dan menetap di YPAC bersama anak-anak yang mederita ke-terbatasan secara fisik.

Sempat merasa putus asa, Purnawan menolak untuk keluar dari rumah apalagi untuk bersekolah. Cemoohan orang-orang disekitarnya membuat-nya menutup diri dari du-nia luar. Keluarga tidak hanya tinggal diam, me-reka selalu menawarkan pilihan untuk bersekolah, namun Purnawan meno-lak karena baginya tidak ada yang mampu dirubah dari dirinya.

Sampai akhirnya Purnawan berpikir jika berdiam diri maka tidak akan memberi peruba-han pada dirinya bahkan hanya akan memperbu-ruk keadaan. Purnawan pun memutuskan untuk bersekolah sesuai dengan saran keluarganya. Saat itu, semangat Purnawan mulai bangkit. “Ibu saya meninggal waktu mela-hirkan saya, jika saya menyesali hidup saya sendiri, betapa berdosa-nya saya sebagai anak, dan ibu saya disana pasti akan sedih,” papar Pur-nawan.

Dengan keterbatasan-nya, Purnawan pun di-sekolahkan di sekolah untuk anak berkebutu-han khusus atau yang kerap disebut Sekolah Luar Biasa (SLB).

Mulai bersekolah dari

jenjang sekolah dasar di YPAC, Purnawan ber-temu dengan banyak anak-anak lain yang juga memiliki kebu-tuhan khusus seperti dirinya.

Purnawan mu-lai membuka diri lagi. Lambat laun, Purnawan mampu menerima ke-adaan dirinya. Ia belajar menumbuhkan percaya dirinya yang lama pu-dar. Ia mulai tak acuh pada cemoohan orang terhadap dirinya. Pur-nawan merasa sangat beruntung sebagai anak dengan keterbatasan pada tubuhnya, ia masih mampu menimba ilmu seperti anak normal lainnya.

“Bersekolah di YPAC dan bertemu dengan teman-teman dengan nasib yang sama den-gan saya membuat saya merasa tidak sendirian dan menjadi motivasi bagi saya untuk menjadi lebih baik, apalagi saya sadar diluar sana masih banyak orang cacat sep-erti saya yang tidak bisa bersekolah” papar Pur-nawan dengan senyum puas.

Purnawan dengan ketekunannya melanjut-kan ke sekolah menen-gah atas (SMA), terjun

dan bergabung dengan anak normal. Meski banyak yang menge-jeknya di awal berseko-lah, ia tetap percaya dengan dirinya. Itu di-buktikan dengan ber-hasilnya ia mengikuti olimpiade matematika untuk anak berkebutu-han khusus tingkat na-sional meskipun belum sempat meraih juara.

“Tapi saya tetap bangga, karena anak normal lain belum tentu bisa mencapai prestasi sejauh ini. Itu juga arti-nya saya harus belajar lebih giat lagi,” jelas Purnawan.

Purnawan, satu dari sekian banyak anak den-gan kebutuhan khusus yang beruntung mampu bersekolah ketika di luar sana masih terdapat banyak anak cacat yang terlantar. Ia merasa san-gat berterima kasih den-gan perhatian pemer-intah melalui YPAC, ia dapat hidup dengan keterbatasan tanpa rasa sedih atau putus asa, justru bangga dengan dirinya. Di YPAC ia bisa menemukan arti persa-habatan, rasa kekelu-argaan yang tak bisa ia dapatkan di tempat lain. (rst)

“Saya hanya ingin mereka menerima keadaan saya seperti layaknya orang lain. Saya tidak suka ketika mereka hanya menilai dari keadaan fisik karena tak ada manusia

yang sempurna,” kata Purnawan (18)

Tak Ada Sandungan yang Tak Dapat Ku Lewati

Purnawan (berdiri menggunakan tongkat gerak) saat bersama anak-anak Yayasan Peduli Anak Cacat (YPAC) Jimbaran, Bali

Page 14: BULETIN MAGANG EDISI 1 2013

26 27Buletin Akademika Edisi I Tahun 2013| @persakademika| www.persakademika.comBuletin Akademika Edisi I Tahun 2013| @persakademika| www.persakademika.com

Event

Himpunan Ma-hasiswa Elektro (HME) Univer-

sitas Udayana menggelar “Elektro Festival” (ElF-est) 8 dan 9 Februari 2013 lalu. Elfest digelar sebagai rangkaian acara perayaan hari ulang ta-hun jurusan teknik elek-tro yang ke-28.

Dengan mengusung tema “ The Technical Color of Electro”, aca-ra ini ditujukan untuk memperkenalkan juru-san teknik elektro kepada masyarakat.

Menurut ketua Elf-est Bayu Andika Virgun-zena, unsur utama yang ditampilkan dalam Elfest adalah teknologi. “ Ter-dapat 4 aspek teknologi yang ditampilkan melalui ElFest. Yaitu sportivitas, edukasi, entertainment dan charity. Keempat aspek itu diwujudkan melalui adanya kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan bidang teknolo-

gi,” ujarnya.Serangkaian kegiatan

pun diadakan sebagai bentuk realisasi 4 aspek teknologi tersebut. Di hari pertama (8/2/2013) diadakan seminar nasi-onal android dan bakti sosial ke Panti Asuhan Dana Punia di Singaraja. Sedangkan di hari kedua (9/2/2013) dimeriah-kan dengan final lomba DOTA, PES, pengumu-man pemenang lomba artikel ilmiah dan desain poster tingkat pelajar SMA. Dan sebagai acara puncak di hari yang sama digelar perayaan puncak hari ulang tahun jurusan elektro berupa penampi-lan band-band, pemo-tongan tumpeng, lomba keakraban dan temu alumni.

“Elfest merupakan acara perdana yang kami lakukan. Dimana target pesertanya adalah ma-syarakat umum. Antusis peserta yang turut me-

meriahkan acara ini bisa dikatakan lumayan. Wa-laupun belum sepenuh-nya sesuai target,” ung-kap Bayu Andika

Bagi seorang peserta lomba Dota, Edo men-gungkapkan dirinya mengikuti lomba ini karena hobi. “Saya emang hobi main Dota dari SMP. Terus kebetu-lan ada kegiatan ini. Jadi saya ikut lombanya dan hadiahnya pun menarik,” komentar mahasiswa Teknik Elektro ini.

Bayu pun berharap, Elfest bisa menjadi acara tahunan. Tentunya den-gan konsep yang ber-beda dan semakin lebih baik. “Selain itu semoga ke depannya kegiatan serupa Elfest bisa dii-kuti seluruh civitas Ele-ktro Unud sebagai ben-tuk perayaan hari ulang tahun jurusan elektro dengan suasana penuh kekeluargaan,”harapnya. (Ry)

Elfest, Tampilkan 4 Aspek Teknologi

Salah satu penampilan band pengisi acara puncak dalam kegiatan Elektro Festival 2013 ingkatan dalam berbagai

bidang untuk mencapai kriteria WCU. “Peren-canaan yang dilakukan masih belum bisa di-katakan telah teralisasi sepenuhnya, namun sebagian yang menjadi target utama sudah tere-alisasi, di mana jumlah sumber daya manusia yang ada sudah cukup bagus. Pengajar yang bertitel doktor sudah mencapai 20%, meski-pun semestinya 30%,” akunya ketika ditemui di ruang rektor. Prof. Bakta juga me-nyatakan peningkatan kualitas akademik juga belum tercapai 100%. Hal ini tercermin dari akreditasi fakultas yang baru 25% diantaranya menyandang nilai A. Si-sanya adalah akreditasi B dan C, dimana masih ada 2 fakultas yang ter-

akreditasi C. Impian Udayana menuju WCU tentunya bukan hal yang mudah dilakukan. Terlebih me-lihat keadaan sarana dan prasarana kampus yang terus dikeluhkan maha-siswa. “Fasilitas kampus yang ada kurang mema-dai. Mahasiswa kelautan dan perikanan jumlahn-ya 56 orang tapi ukuran kelasnya kecil. Ruangan laboratorium dan alat –alat laboratoriumnya juga masih kurang,” aku Desi Kusuma Dewi, ma-hasiswi Fakultas Peri-kanan dan Kelautan. Dekan Fakultas Hu-kum Unud, Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairo-cana, S.H.,M.H., juga mengungkapkan hal yang serupa. “Jika Unud ingin go internasional, sarana prasarana ha-rus dibenahi. Aula, Ge-

dung Widya Sabha milik Unud masih sangat kecil dibandingkan dengan aula universitas lain. Namun dalam bidang IT sudah lumayan. Arti-nya tampilan kita harus meyakinkan, dalam ar-tian kampus harus ba-gus, sarana prasarana lengkap,”harapnya. Pencapaian yang hingga kini diperoleh Udayana mengundang sebuah ironi. Hingga dipenghujung pemer-intahannya, Prof. Bakta masih saja panen kritik. Sewindu ternyata meru-pakan sebuah waktu yang memiliki batas untuk membuat peruba-han. Lantas, sudah bera-pa persenkah Prof. Bak-ta membawa perubahan menuju Udayana yang lebih baik ? (Desi, Tami)

(Sambungan Hal. 13)

Untuk Info Lebih lanjut Seputar Kampus UDAYANA

Ayo Kunjungi :

www.persakademika.com

Page 15: BULETIN MAGANG EDISI 1 2013

28 Buletin Akademika Edisi I Tahun 2013| @persakademika| www.persakademika.com

Diterbitkan oleh : Pers Mahasiswa “Akademika” Universitas Udayana. Izin terbit SK Rektor Unud 499/SK/PT/07/OM/LA/83. Alamat Sekretariat : Gedung Student Centre Lantai 2, Jalan Dr. R. Goris, Den-

pasar-Bali. Email : [email protected] Pelindung : Rektor Universitas Udayana

Penasihat : Pembantu Rektor III Universitas UdayanaKetua Unit/Pemimpin Umum : Asykur Anam

Sekretaris Umum : I. A Suryantini PutriAsisten Sekretaris Umum : Luh Yuni Surya Antari

Bendahara Umum : Eka AriwijayanthiAsisten Bendahara Umum : Ayu Anggraeni

Koordinator PSDM : I Gst. Ngurah Aditya DharmaKoordinator Usaha : Erwanti Siti RabiahPemimpin Redaksi : Ni Putu Ary Pratiwi

Editor : Vera Eryantini, Veroze Waworuntu SaadRedaktur Pelaksana : Widyartha Suryawan, Ari Puspita Dewi, Luh De Dwi Jayanthi, Alit Purwaningsih

Tim Redaksi Edisi I Tahun 2013 : Agus Sueca Merta, Widhi Dirgantara, Desi Bintari, Cahyani Pratiwi, Surya Setya Dharma, Sasmita Dwi U., Resita Yuana, Ahmad Rifai, Yuni Utari, Mita Cestalia,

Tim Artistik : Aditya Saputra, Rendra Saputra, I Made Arimbawa, Yoga Sumantara, Gamaliel Sangga Buana, Rizky Anugerah