Buku Malpraktek

25
TUGAS KEPANITERAAN KLINIK ILMUKEDOKTERAN KEHAKIMANFORENSIK Nama : Rizqi Rifani 30 oktober 2010 NIM : I1A004052 Dosen pembimbing: Dr. Iwan Aflanie Sp.F, M.Kes BEDAH BUKU Dokter Mal-praktek Pengakuan Jujur Seorang Dokter atas Tuduhan Mal-praktek Oleh Adik Kurniawan, S.Ked Pandangan secara umum Saat membaca keseluruhan isi buku, tulisan yang menggambarkan tentang malpraktek sedikit sekali ditemukan. Buku ini lebih banyak berbicara tentang pengalaman pribadi dokter Aldy yang menurut saya merupakan seorang dokter yang “sangat sempurna” dengan segala kebaikan dan kecerdasannya. Sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa judul yang dipilih oleh pengarang tidak sinkron dengan pemaparan isi buku. Kekurangan lainnya adalah pengarang tampak sekali terlalu memaksakan jalan cerita yang sebenarnya menurut

description

Buku Malpraktek

Transcript of Buku Malpraktek

Page 1: Buku Malpraktek

TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

ILMUKEDOKTERAN KEHAKIMANFORENSIK

Nama : Rizqi Rifani 30 oktober 2010

NIM : I1A004052 Dosen pembimbing:

Dr. Iwan Aflanie Sp.F, M.Kes

BEDAH BUKU

Dokter Mal-praktek

Pengakuan Jujur Seorang Dokter atas Tuduhan Mal-praktek

Oleh Adik Kurniawan, S.Ked

Pandangan secara umum

Saat membaca keseluruhan isi buku, tulisan yang menggambarkan tentang

malpraktek sedikit sekali ditemukan. Buku ini lebih banyak berbicara tentang

pengalaman pribadi dokter Aldy yang menurut saya merupakan seorang dokter yang

“sangat sempurna” dengan segala kebaikan dan kecerdasannya. Sehingga dapat

ditarik suatu kesimpulan bahwa judul yang dipilih oleh pengarang tidak sinkron

dengan pemaparan isi buku.

Kekurangan lainnya adalah pengarang tampak sekali terlalu memaksakan

jalan cerita yang sebenarnya menurut saya sangat tidak mungkin terjadi, selain itu

pengarang juga tidak konsisten dalam mendeskripsikan setting cerita. Apakah jarak

sejauh 100 Km dari pelabuhan udara itu bisa dikatakan daerah terpencil? Dapatkah

ditoleransi adanya sinyal handphone di daerah pedalaman Kalimantan? Adakah

puskesmas berlantai dua lengkap dengan ruang rawat inap dan laboratorium

hematologi canggih dan bank darah di daerah pedalaman Kalimantan? Benarkah

jarak rumah dinas dr. Aldy yang ada di daerah pedalaman dengan rumah dinas milik

Bupati setempat dapat ditempuh hanya dengan perjalanan 90 menit? Nampak sekali

secara logika daerah yang ditempati dr. Aldy bukanlah daerah terpencil.

Pada halaman 4, disebutkan bahwa cerita ini merupakan suatu fiksi (tidak

nyata), sedangkan di sampul depan buku tertulis bahwa buku ini adalah pengakuan

Page 2: Buku Malpraktek

jujur seorang dokter atas tuduhan malpraktek. Merasa penasaran dengan kontradiksi

ini dan berhubung pengarang mencantumkan nomor teleponnya, saya berinisiatif

mengirim sms pada pengarang tentang hal tersebut. Sms balasan dari pengarang

mengatakan bahwa cerita yang ditulis merupakan cerita nyata. Sangat mengejutkan

memang, terlebih jika melihat keganjilan-keganjilan cerita diatas. Namun jika pun

cerita yang ditulis benar-benar terjadi, hal ini tentu sangat disayangkan dan tentu

perlu menjadi perhatian dan pelajaran bagi kita semua. Wallahu a’lam.

BAB I. Perjalanan Jauh

Bagian ini menceritakan kisah seorang dokter umum yang baru lulus,

bernama Aldy yang ditugaskan di daerah pedalaman Kalimantan. Dokter ini

merupakan satu-satunya dokter yang bertugas di wilayah kerja puskesmas tersebut.

Hal-hal yang terasa agak janggal dan dari bagian ini adalah :

Ilustrasi fisik antara bangunan puskesmas dengan setting

pedalaman/hutan Kalimantan agak “kontras”, terlalu membingungkan bahwa di

desa pedalaman hutan ada bangunan puskesmas modern bertingkat 2 dengan

fasilitas rawat inap dan pemeriksaan penunjang yang cukup lengkap.

Sebuah rumah dinas dokter di pedalaman memiliki peralatan rumah

tangga yang bisa dikatakan sangat mewah untuk ukuran pedalaman seperti

kompor gas. Mengisi tabung gasnya dimana ya?

BAB II. Hari Pertama yang Mendebarkan

Bagian ini menceritakan pengalaman pertama dokter Aldy mengatasi pasien

status asmatikus. Hal yang mengganjal dari bagian ini adalah :

Pasien sesak tidak diberikan oksigen. Saat pasien sesak datang, dokter aldy tidak

langsung memberikan oksigen namun sibuk dengan pemeriksaan fisiknya untuk

mencari penyebab sesak. Penanganan awal yang seharusnya dilakukan pada

pasien saat pertama datang adalah pemberian oksigen 4-6 liter/menit untuk

sedikit memudahkan pasien bernafas. Apabila alasan yang timbul karena di

rumah tidak ada oksigen, mengapa pasien tidak segera di bawa ke puskesmas

yang lebih lengkap peralatannya dari rumah dinas? Seberapa jauhkah rumah

Page 3: Buku Malpraktek

dinas dengan puskemas? Apakah dokter Aldy tidak takut pasiennya akan kejang-

kejang karena anoksia jaringan otak?

Instruksi Dokter Aldy agar pasien dalam posisi tiduran ketika dilakukan

pemeriksaan adalah kurang tepat mengingat posisi tersebut akan menambah

sesak nafas yang dialami oleh pasien.

Pasien sesak dengan riwayat alergi tanpa riwayat serangan asma

berulang, saat datang langsung didiagnosa status asmatikus dan bukannya

serangan asma akut serta diagnosa tersebut datang tanpa pemeriksaan holistik.

Bila pasien status asmatikus, penanganan pertama kali yang diberikan

adalah oksigen dengan nebulizer 1x menggunakan beta agonis dan antikolinergik

atau bila alat nebulisasi tidak ada dapat diganti dengan pemberian adrenalin

subkutan, sehingga pemberian aminopilin sebagai langkah awal penanganan

status asmatikus tidak tepat indikasi. Namun jika pasien tersebut mengalami

serangan asma akut, pemberian aminopilin akan menjadi tepat.

BAB III. Budi Baik Dokter Aldy

Bab ini menceritakan ketika dokter Aldy berhadapan dengan seorang pasien

yang tidak mempunyai uang. Dokter Aldy terlihat sebagai dokter yang baik hati dan

tidak hanya sekedar mengejar materiil. Beberapa hal yang ganjil, seperti:

Dokter Aldy mendiagnosis tifoid hanya melakukan anamnesis dan pemeriksaan

fisik. Padahal diagnosis untuk demam tifoid adalah kultur empedu.

Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan widal dimana pemeriksaan widal

adalah salah satu pemeriksaan penunjang standar yang dapat dilakukan di

Puskesmas. Padahal pada kelanjutan cerita ini pemeriksaan yang lain dapat

dilakukan di Puskesmas seperti pemeriksaan eosinofil.

Pasien rawat inap di Puskesmas selama 1 minggu. Siapa yang jaga malam

misalnya untuk mengganti cairan infus? Bahkan dalam cerita ini, pasien

mendapatkan makan dari Puskesmas. Maka dengan tenaga medis yang hanya 4

orang termasuk dokter Aldy, dapatkah hal ini terjadi?

Page 4: Buku Malpraktek

BAB IV. Medis atau Non Medis?

Bagian ini menceritakan pengalaman dokter Aldy mengatasi pasien

kesurupan setelah sebelumnya didiagnosa kejang. Bagian yang janggal adalah :

Sempat-sempatnya dokter Aldy mengatakan akan mandi dan berganti

baju dulu saat dimintai tolong oleh keluarga pasien. Berapa lama waktu yang

diperlukan dokter Aldy untuk mandi padahal saat itu sedang ada pasien yang

menurut keluarganya kondisinya gawat.

Diagnosa Kejang. Dari anamnesa dengan keluarga pasien, dikatakan

oleh orang tua pasien bahwa badan anaknya kaku. Setelah dilihat oleh dokter

Aldy, ternyata sang anak terbaring tidak bergerak, siku menekuk ke atas dengan

tangan mengepal, tidak mau berbicara, dan mengeluarkan air mata serta tidak

demam. Dokter Aldy kemudian membuat kesimpulan bahwa anak tersebut

menderita kejang. Kejang disini seharusnya di diagnosis banding dengan

penyakit lain seperti episode depresif karena terdapat tanda depresi pada pasien

seperti menangis tersedu-sedu dan mutisme.

BAB V. Dikirimi Pasien Koma

Bagian ini menceritakan kesuksesan dokter Aldy mengatasi koma

hipoglikemia. Kesuksesan dokter Aldy ini semakin membuat dokter Aldy dikenal

sebagai dokter yang luar biasa. Hal yang perlu diperhatikan oleh dokter Aldy adalah

ia tetap harus melakukan anamnesa dengan keluarga pasien tersebut walaupun dalam

waktu singkat. Informed consent tetap harus dilakukan dan memberi penjelasan

kepada keluarga atas apa yang terjadi agar hal tersebut tidak terjadi kembali

BAB VI. Tangisan Dokter Aldy

Pada bagian ini, diceritakan tangisan pertama kali dokter Aldy karena tidak

berhasil menyelamatkan pasien yang datang dengan syok karena menderita demam

berdarah Grade IV. Yang terasa agak aneh adalah dokter Aldy tidak memberikan

oksigen pada pasien shock padahal saat itu otak sedang kekurangan oksigen karena

suplai darah ke otak yang berkurang.

Page 5: Buku Malpraktek

BAB VII. Dituduh Asusila

Bagian ini menceritakan dokter Aldy yang dituduh melakukan tindakan

asusila pada seorang wanita. Pencemaran nama baik itu dilakukan oleh seorang bidan

yang iri dengan keberhasilan dokter Aldy. Hal-hal yang dapat dibahas dari bagian ini

adalah :

Tidak adanya informed concent terhadap penderita saat akan

dilakukannya rectal toucher.

Seharusnya dalam melakukan pemeriksaan tersebut, Dokter Aldy melibatkan

seorang orang ketiga misalkan perawat wanita agar tidak ada kesalahpahaman

yang merugikan seperti yang digambarkan pada bab ini, terlebih lagi mengingat

pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaaan di bagian yang sensitif dan

pada seorang gadis.

Tidak menjelaskan tindak lanjut setelah dilakukannya pemeriksaan

tersebut.

Dari beberapa hal tersebut di atas, maka tidaklah mengherankan bila

kemudian timbul anggapan bahwa dokter Aldy melakukan tindakan asusila terhadap

gadis tersebut.

BAB VIII. Menolong Pasien Berdarah

Pada bagian ini, diceritakan pengalaman dokter Aldy menolong orang yang

mengalami pendarahan akibat banyaknya luka tusuk ditubuhnya. Hal-hal yang terasa

janggal pada bagian ini adalah :

Adanya kata-kata ”mobilnya dokter Aldy”, Hal ini terasa janggal,

karena pada bagian pertama, diceritakan bahwa dokter Aldy hanyalah anak

seorang pensiunan TNI serta tidak diceritakan pula adanya mobil pribadi yang

disediakan oleh pemerintah daerah. Lalu mobil tersebut datang dari mana?

Apakah dokter Aldy telah sedemikian kayanya hingga mampu membeli mobil?

Adanya kata ”NGEBUT”. Saat pergi ke hutan, diceritakan bahwa

jarak hutan tersebut 10 km dari desa, namun saat akan kembali ke desa, dikatakan

diperlukan waktu 45 menit padahal sudah ngebut!! Hal ini berarti kecepatan

mobil tersebut hanya 12 km/jam.

Page 6: Buku Malpraktek

Adanya kantong darah di puskesmas. Hal ini cukup mengherankan

dan menimbulkan tanda tanya bila melihat kondisi nyata puskesmas di lapangan.

Apakah puskesmas tersebut memiliki lemari pendingin khusus untuk menyimpan

kantong darah sedangkan Puskesmas tersebut berada di daerah terpencil?

Transfusi Langsung. Ini bagian yang paling membingungkan,

bagaimana caranya seorang dokter Aldy bisa langsung mentransfusikan darahnya

ke tubuh korban padahal diperlukan heparin untuk mencegah pembekuan darah.

Arogansi dokter Aldy yaitu saat salah seorang perawatnya

menyarankan untuk merujuk pasien dengan perdarahan. Dokter Aldy berkata

”Jangan dulu, masih ada harapan untuk ditolong. Jangan panggil aku Dokter

Aldy kalau pasien ini tidak bisa ditolong”. Seharusnya hal ini tidak boleh terucap

dari mulut seorang dokter, karena seorang dokter seharusnya lebih berorientasi

kepada memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya dan bukan menjanjikan

suatu hasil yang belum bisa diprediksikan.

BAB IX. Berurusan dengan Polisi

Bagian ini menceritakan dokter Aldy yang dituduh melakukan mal-praktek.

Pasiennya meninggal saat dia menyuntikkan antibiotik Penisilin pada pasien ini.

Pasien ini sebelumnya didiagnosa menderita penyakit Sifilis dan sudah dilakukan

Skin Test. Dokter Aldy diperiksa saksi ahli, yakni seorang Profesor. Dokter Aldy

juga sempat menjalani persidangan. Namun akhirnya dokter Aldy diputuskan bebas

bersyarat, yakni tidak boleh lagi menyuntik pasien sampai meninggal lagi. Ada

beberapa hal yang mengganjal pada kasus ini.

Dalam melakukan skin test. Diceritakan bahwa dokter Aldy

memerintahkan perawatnya melakukan skin test. Dokter Aldy menyuruh

perawatnya mengambil Penisilin bubuk yang ada di dalam ampul. Tidak

diceritakan lebih lanjut bagaimana perawat itu melakukan skin test. Apakah

disuntikkan secara intrakutan dengan pengenceran aquadest sesuai prosedur skin

test ataukah dengan cara lain.

Selanjutnya setelah sang perawat mengatakan bahwa hasil Skin

Testnya negatif, dokter Aldy mengambil aqua injeksi dalam vial dengan spuit

Page 7: Buku Malpraktek

dan memasukkannya ke dalam vial yang berisi bubuk Penisilin, lalu dikocok

merata. Yang jadi pertanyaan, mengapa dokter Aldy tidak melihat secara

langsung hasil skin test tersebut padahal dia berada di tempat itu juga. Kemudian,

kenapa dokter Aldy baru melarutkan Penisilin dengan aqua injeksi setelah skin

test dilakukan? Apakah perawat melakukan skin test secara prosedural? Apakah

di puskesmas itu ada sediaan Penisilin khusus untuk skin test, tanpa harus

menggunakan botol obat yang sama ountuk penyuntikan setelah skin test? Bila

tidak, maka hal tersebut dapat dikategorikan sebagai mal praktek karena sudah

menyalahi prosedural. Lazimnya bubuk penicillin dilarutkan dengan aquadest

lalu diambil 1 ml dengan spuit 1 cc baru di skin test dan bukannya terbalik seperti

cerita di atas.

Tidak diceritakan apakah ketika dokter Aldy menyuntikkan penisilin

pada pantat pasien, telah dilakukan aspirasi atau tidak. Hal ini penting karena

aspirasi pada penyuntikan secara intramuskular harus dilakukan untuk

mengetahui apakah posisi ujung jarum suntik benar-benar berada di dalam otot,

dan tidak masuk dalam pembuluh darah yang ada di antara otot tersebut. Jika

ternyata posisi ujung jarum di dalam pembuluh darah lalu obat dimasukkan,

berarti ini bukan penyuntikan intramuskular, melainkan intravena atau intraarteri.

Dan ini tidak sesuai dengan tata cara penyuntikan penisilin yang harus dilakukan

secara intramuskular.

Secara farmakokinetik penyuntikan obat secara intramuskular

memerlukan waktu absorbsi terlebih dahulu sebelum terjadinya efek obat.

Sedangkan pada buku ini diceritakan bahwa pasien meninggal saat dokter Aldy

menyuntikkan obat itu, bahkan obat masih tersisa setengah bagian suntikan.

Tidak mungkin seorang pasien meninggal mendadak karena syok anafilaktik saat

obat belum benar-benar diberikan apalagi pada pemberian secara intramuskuler.

Jika Dokter Aldy menduga telah terjadi syok anafilaktik, yang

menjadi pertanyaan adalah mengapa ia tidak memberikan penatalaksanaan segera

syok anafilaktik tersebut. Apakah tersedia adrenalin/epinefrin sebagai obat gawat

darurat anti syok anafilatik di puskesmas? Bila tidak, hal ini bisa dikategorikan

sebagai mal praktek karena tidak sesuai dengan standar profesi medis.

Page 8: Buku Malpraktek

Dalam hal penyelidikan kasus dugaan mal praktek ini tidak

dikisahkan apakah melalui MKmEK/MKDK dahulu atau langsung melalui

dokter ahli. Selanjutnya saat diperiksa dokter ahli (tidak dijelaskan lebih lanjut,

dokter ini adalah dokter ahli apa), Kewenangan untuk memeriksa seorang dokter

melakukan pelanggaran atau tidak ialah Majelis Etik Kedokteran, bukan

dipegang oleh pihak Kepolisian. Dokter ahli yang didatangkan ialah seorang

profesor. Di daerah Kalimantan pada saat itu masih belum didapatkan seorang

dokter dengan gelar profesor (tokoh ini dipertanyakan keberadaannya).

Kehadiran dokter ahli disini pun aneh, karena seharusnya saksi ahli hadirnya di

persidangan dan bukan di kantor polisi

Saat diperiksa oleh seorang saksi ahli, dokter Aldy mengaku pasien

tersebut datang dengan keluhan kencing sakit dan terasa panas. Pasien diperiksa

klinis dan dokter Aldy menyimpulnya sebagai penyakit kelamin Sifilis. Dari

literatur yang ada, tidak dikatakan bahwa seorang penderita penyakit sifilis

pernah datang dengan keluhan kencing sakit dan terasa panas. Pasien sifilis,

khususnya sifilis stadium I sering datang berobat dengan keluhan luka pada alat

kelaminnya. Dalam istilah kedokteran adalah ”ulkus durum”. Pasien sifilis

stadium II datang berobat dengan keluhan kelainan kulit, sedangkan pasien sifilis

stadium III dan IV datang dengan kelainan pada organ tubuh lainnya. Pasien

yang datang dengan keluhan kencing sakit dan terasa panas dapat didiagnosa

banding dengan penyakit kelamin Gonore dan infeksi saluran kencing.

Pada kasus ini seharusnya dilakukan otopsi, yaitu pemeriksaan luar

dan dalam terhadap jenazah pasien. Dari otopsi ini, kita dapat mengetahui

benarkan diagnosa dokter Aldy terhadap pasien ini benar adanya, Tepatkah cara

penyuntikan Penisilin yang dilakukan dokter Aldy, yang menurutnya secara IM?

Apakah sebab, mekanisme kematian dan kelainan lainnya yang berhubungan

dengan kematian pasien ini. Tidak diceritakan dengan jelas pada bagian ini.

Dokter Aldy mengaku kepada dokter ahli bahwa dia sudah

melakukan skin test pada pasien ini. Dokter Aldy lalu mempraktekkannya dan

dianggap benar oleh dokter ahli . Padahal kenyataannya dokter Aldy tidak

melakukan skin test pada pasien ini, tetapi menyuruh perawatnya yang

Page 9: Buku Malpraktek

melakukan skin test. Menurut saya seharusnya bukan dokter Aldy yang

mempraktekkan cara skin test di hadapan dokter ahli, melainkan perawat

tersebut.

Dokter Aldy dinyatakan tidak bersalah oleh dokter ahli. Hal ini

dinyatakan dokter ahli sebelum persidangan berlangsung. Pengadilan lalu

memutuskan bebas bersyarat, yakni tidak boleh lagi menyuntik pasien sampai

meninggal lagi. Apakah ada vonis bebas bersyarat terhadap seseorang yang

dinyatakan tidak bersalah? Pertanyaan saya lagi, siapa yang bisa menjamin hal

itu lagi?. Dan yang lebih ironinya, seorang dokter ahli sama sekali tidak berhak

menentukan seseorang bersalah atau tidak, karena yang memutuskan bersalah

atau tidak hanyalah kalangan hakim pada persidangan.

BAB X. Terpaksa Kuretase

Pada bagian ini diceritakan dokter Aldy melakukan tindakan berupa

embriotomi dan kuretase pada seorang ibu hamil tua yang mengalami perdarahan.

Tindakan ini dilakukan di rumah sekaligus tempat praktek seorang bidan di desanya

saat dia sedang bersilaturahmi ke sana. Walaupun bayinya sudah meninggal, tetapi

nyawa ibu tersebut dapat diselamatkan. Dokter Aldy tidak menjelaskan apa diagnosa

dari keadaan ibu hamil ini, namun bidan mengatakan bahwa ibu tersebut mengalami

keguguran. Hal yang terasa aneh pada bagian ini adalah :

Kata Keguguran. Keguguran atau abortus yang ilmu obstetri,

keguguran atau abortus adalah suatu keadaan pengeluaran hasil konsepsi yang

belum mampu hidup diluar kandungan. Sebagai batasan umur yaitu sebelum usia

kehamilan 20 minggu dan berat janin kurang dari 500 gram. Dalam bab ini

disebutkan bahwa kandungan ibu berusia 7 bulan. Tentu ini bukanlah suatu

keguguran, melainkan partus prematurus (atau immaturus) dengan IUFD (Intra

Uterine Fetal Death). Sangat disayangkan seorang dokter dan bidan tidak mampu

membedakan antara abortus dan partus prematurus.

Orang hamil 7 bulan dengan riwayat trauma kemudian terjadi

perdarahan pervaginam disertai nyeri perut dan meninggalnya janin dalam

kandungan, kemungkinan pertama yang harus dipikirkan adalah kemungkinan

Page 10: Buku Malpraktek

terjadinya solusio plasenta. Berdasarkan teori, solusio plasenta adalah suatu

keadaan dimana plasenta yang letaknya normal lepas sebelum janin lahir pada

kehamilan trimester ketiga (>28 minggu). Hal ini lebih sesuai dengan paparan

cerita di atas dibandingkan dengan diagnosa keguguran atau abortus.

Kemungkinan kedua adalah plasenta previa

Penanganan pertama dari pasien perdarahan adalah bebaskan jalan

napas, berikan oksigen, dan terapi cairan, misalnya cairan garam fisiologis atau

ringer laktat, bukan langsung transfusi darah. Selanjutnya sambil melakukan

penanganan pertama, lebih baik pasien ini segera dirujuk ke rumah sakit terdekat

yang memiliki dokter spesialis kebidanan karena Untuk melakukan terminasi

kehamilan patologis sebenarnya bukan kompetensi dari seorang dokter umum.

Indikasi embriotomi dan kuretase yang tidak jelas karena diagnosa

yang ditegakkan oleh dokter Aldy pun tidak jelas dan bukan kompetensi dokter

umum serta bidan untuk melakukan hal itu semua.

Adanya peralatan kuretase di rumah Bidan Sri dipertanyakan. Seorang

bidan tidak memiliki kompetensi untuk melakukan kuretase, meskipun bidan Sri

mengaku alat tersebut tidak pernah digunakan.

Bius total yang dilakukan pada pasien yang akan dilakukan kuretase.

kuretasenya juga hanya dilakukan dengan oksigen dan adanya obat-obat tersebut

di rumah bidan pula.

Tersedianya transfusi darah yang begitu mudah.

BAB XI. Dipanggil Pejabat Penting

Bagian ini menceritakan pengalaman dokter Aldy menyembuhkan anak

pejabat yang mengalami depresi karena akan dikawinkan dengan orang tidak

dicintainya. Bagian ini yang mencengangkan adalah dokter Aldy ternyata bisa

melakukan hipnoterapi. Kasus ini mirip dengan kasus yang terjadi pada bab IV

(Medis atau non medis) namun mengapa terapinya tidak sama saja ya?

BAB XII. Kasus Unik

Page 11: Buku Malpraktek

Pada bagian ini diceritakan pengalaman dokter Aldy yang berhasil mengobati

pasien neuropati diabetik. Sedikit aneh, mengapa pasien yang sering terjatuh tiba-

tiba tidak didiagnosa terlebih dahulu dengan ataksia? Diagnosa diabetes pun tegak

tanpa anamnesa yang mengarah ke diabetes seperti poliuri, polifagi dan polidipsi,

melainkan langsung melalui pemeriksaan laboratorium.

BAB XIII. Membongkar Kasus Pembunuhan

Bab ini mengisahkan dokter Aldy yang membongkar kasus pembunuhan pada

mayat gantung diri di kota besar. Dokter Aldy bahkan berhasil menemukan

pembunuhnya. Walaupun dokter Aldy telah membantu polisi, namun ada beberapa

hal yang tidak sesuai dilakukan dokter Aldy sebagai dokter forensik, yaitu :

Dokter Aldy menerima permintaan otopsi mayat di luar wilayah

kerjanya.

Permintaan otopsi mayat dari kepolisian tersebut tidak dibuat secara

tertulis dalam bentuk surat permintaan Visum et Repertum, melainkan secara

lisan saja.

Hasil pemeriksaan otopsi disampaikan langsung secara lisan oleh

dokter Aldy. Padahal seorang dokter harus membuat surat keterangan yang

disebut Visum et Repertum sebagai hasil pemeriksaannya. Hal ini tentu tidak

sesuai dengan Pengertian visum et repertum secara hukum.

Visum et Repertum ini merupakan rahasia medis yang harus

disampaikan saat persidangan, bukan di tempat kejadian perkara seperti yang

dilakukan oleh dokter Aldy.

Istilah otopsi yang disampaikan oleh polisi kurang tepat. Mungkin

yang dimaksud hanyalah pemeriksaan luar.

Dokter Aldy tidak diperkenankan memutuskan bahwa korban

meninggal bukan karena gantung diri melainkan karena dibunuh. Karena dalam

memutuskan suatu perkara/kejadian adalah penyidik.

Tindakan Dokter Aldy memeriksa para saksi sudah berada di luar

kewenangan seorang dokter. Kewenangan memeriksa para saksi adalah

kewenangan para penyidik (investigator).

Page 12: Buku Malpraktek

Ada atau tidaknya sperma yang keluar dari kemaluan dan kotoran

yang keluar dari anus tidak bisa menentukan apakah ini gantung diri atau

dibunuh.

BAB XIV. Euthanasia atau Tidak?

Bab ini menceritakan tentang prinsip seorang dokter yang tidak mau

melakukan tindakan yang bertentangan dengan hati nuraninya dimana dokter Aldy

dipaksa untuk mengakhiri nyawa bapak Rohmat yang menderita penyakit hepatoma

yang telah mengalami koma hepatikum dengan maksud mengakhiri penderitaanya

(euthanasia). Meskipun sudah diminta berkali-kali namun dokter Aldy tetap

bersikukuh walau merasa kasihan ia tetap tidak mau melakukan hal tersebut dengan

alasan yang berhak mengambil nyawa orang lain hanyalah yang Maha Kuasa.

Menurut saya sikap dokter Aldy tersebut sudah benar, ia tidak mau melakukan

euthanasia karena bukan haknya dan yang pasti melanggar Undang-undang seperti

terdapat dalam KUHP pasal 48, 49, 50 dan 51 yaitu : Demi apapun, dengan alasan

apapun, siapapun yang telah menghilangkan nyawa orang lain tanpa hak, kecuali oleh

pihak-pihak lain yang dibenarkan oleh undang-undang harus dianggap sebagai

kejahatan. Juga terdapat dalam KUHP bab XIX. Kejahatan terhadap nyawa. Pasal 338

berbunyi “barang siapa merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan

dengan pidana penjara paling lama 15 tahun pasal ini merupakan penghalang bagi

dokter untuk melakukan euthanasia aktif”. Pasal 334 KUHP berbunyi “Barang siapa

merampas nyawa orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati

diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun”. pasal ini menghalangi dokter

untuk melakukan“ voluntary euthanasia”.

Berikut ini penulisan kutipan beberapa alternatif pasal dalam kitab undang-

undang hukum acara pidana yang dapat dijadikan pijakan dalam hal menentukan

pertanggungjawaban pidana dalam kaitannya dengan peristiwa euthanasia :

1. Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan orang dalam

kesengsaraan, sedang dia wajib memberikan kehidupan perawatan kepada orang

itu, karena hukum yang berlaku baginya atau karena perjanjian, dipidana dengan

Page 13: Buku Malpraktek

pidana penjara selama-lamanya 2 tahun 8 bulan atau denda sebanyak-banyaknya

Rp. 4500-; ( Pasal 304 KUHP ).

2. Kalau salah satu perbuatan itu berakibat matinya seseorang, maka yang bersalah

dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 9 tahun ( Pasal 306 ayat 2

KUHP)

3. Barang siapa menghilangkan nyawa orang atas permintaan sungguh-sungguh

orang itu sendiri dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 12 tahun.

4. Barang siapa dengan sengaja membujuk orang supaya membunuh diri atau

menolong orang dalam perbuatan itu dipidana dengan pidana penjara selama-

lamanya 4 tahun ( Pasal 345 KUHP).

Penggunaan pasal-pasal tersebut yang dapat dikategorikan sebagai“ yang turut

serta melakukan atau membantu melakukan” demi terwujudnya “ euthanasia” dan

“mercy killing. ”

BAB XV. Dipaksa Kuret

Digambarkan bagaimana keteguhan dokter Aldy untuk tidak melanggar

sumpah jabatan yang telah diikrarkannya ketika menjadi dokter. Dapat digambarkan

kalau dokter Aldy sangat memegang prinsip tersebut. Walaupun permintaan keluarga

yang tidak henti-henti maupun ancaman dari pejabat tinggi yang mungkin saja

membahayakan posisinya sebagai dokter. Dia tidak takut selama dia berada di pihak

yang benar. Hal ini patutlah dicontoh oleh kita baik sebagai dokter maupun calon

dokter kelak.

BAB XVI. Ajaran Sunat

Bagian ini menceritakan pengalaman dokter Aldy menangani pasien phimosis

yang takut dengan sunat. Seharusnya, dokter Aldy tidak boleh tertawa di hadapan

pasiennya, karena itu bertentangan dengan etika profesi dimana saat pasien yang

sudah terikat kontrak terapeutik kita mengalami penderitaan, kita justru

mentertawakan penderitaannya tersebut.

BAB XVII. Pasien Gila

Page 14: Buku Malpraktek

Bagian ini menceritakan keberhasilan dokter Aldy mendiagnosa penyakit

schizofrenia pada tetangganya dan berhasil memberikan terapi sehingga gejalanya

berkurang. Digambarkan bagaimana dokter Aldy mencari informasi untuk menulis

status psikiatri seorang pasien laki-laki dan akhirnya mendiagnosa penderita tersebut

mengalami Skizofrenia Paranoid Berkelanjutan.

Sebagai penanganan awal, tidak menjadi masalah. Namun, karena kasus ini

bukan suatu yang darurat, adalah lebih arif jika dr. Aldy merujuk pasien untuk

mendapatkan perawatan yang lebih spesialistik yaitu bagian kejiwaan yang lebih

berkompeten dalam menangani masalah ini.

BAB XVIII. Sakit Taeniasis

Pada bab ini diceritakan bagaimana dokter Aldy dapat memecahkan kasus

penyakit yang jarang terjadi yaitu penyakit taeniasis. Dengan kemampuan

mendiagnosa penyakit tersebut, dokter Aldy telah membantu dokter spesialis

penyakit dalam. Sungguh sangat membanggakan prestasi dokter Aldy ini. Walaupun

dia hanya sebagai dokter umum, tidak membatasi kemampuan dan kecakapannya.

Dia dapat membantu dokter spesialis yang menurut pandangan kita tentunya

memiliki ilmu yang lebih luas dibandingkan dokter umum.

BAB XIX. Menentang Adat

Bagian ini menceritakan keberhasilan dokter Aldy dalam menurunkan angka

kematian bayi akibat Tetanus Neonatorum di sebuah desa suku Dayak. Yang janggal

pada bagian ini adalah saat bertemu dengan ibu yang berusaha menyusui anaknya

yang sedang sakit tetanus, mengapa dokter Aldy tidak melakukan perawatan dan

pengobatan pada bayi tersebut namun hanya mencari penyebab dari timbulnya

tetanus pada bayi tersebut tanpa mencoba memberitahu ibu tersebut bahwa anaknya

sedang dalam keadaan gawat dan perlu dirawat.

BAB XX. Konsultasi Dokter Ahli

Inti cerita pada bagian ini sebenarnya sama dengan bagian XVIII (Sakit

Taeniasis) yaitu menceritakan kemampuan dokter Aldy dalam melakukan anamnesa,

Page 15: Buku Malpraktek

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang akhirnya mampu mendiagnosa

penyakit lofler sindrom, sehingga digambarkan kecerdasannya ini melebihi dokter

spesialis penyakit paru.

BAB XXI. Dijambret

Bagian ini menceritakan kebesaran hati dokter Aldy yang mengikhlaskan

handphone dan dompetnya untuk dijambret karena berpikir jauh lebih berharga

nyawa manusia dari harta benda. Sungguh mulia hati dokter Aldy ini.

BAB XXII. Narkoba Jangan Coba-coba

Bagian ini menceritakan keberhasilan dokter Aldy yang berhasil mengatasi

pasien sakaw yang kemudian menyebabkan terbongkarnya sindikat jaringan narkoba.

Wah, dokter Aldy memang superhero. Yang kurang disini adalah tidak diukurnya

tekanan darah sebelum diberikan CPZ karena obat ini menyebabkan hipotensi.

BAB XXIII. Saatnya Untuk Pulang

Akhirnya, bagian ini menceritakan dokter Aldy yang pulang setelah berhasil

menjadi dokter yang sukses, sangat berguna dan dicintai oleh masyarakat desa kaca

piring.

KESIMPULAN

Tersirat bahwa tokoh utama cerita adalah “dokter super” yang memiliki

kewenangan dan kemampuan berlebihan, baik dalam hal bersaing ilmu dengan

dokter spesialis (paru, penyakit dalam dan psikitri), ahli metafisika, maupun

pihak penyidik. Jika Dokter Aldi dianggap bukan dokter super, akan timbul kesan

bahwa dokter spesialis yang ada kurang kompeten/kurang dalam ilmunya.

Buku ini kurang layak dibaca masyarakat awam, karena dapat memberikan

paham menyesatkan tentang sejauh apa wewenang dokter umum (jika pembaca

awam telah benar-benar selesai membacanya).

Page 16: Buku Malpraktek

Buku ini bahkan juga tidak layak dipajang sembarangan (toko buku di tempat

umum) sebab masyarakat awam yang sekilas membaca sampul depannya saja

(tidak membaca isinya sampai selesai) akan mungkin menarik bahwa kasus

malpraktek cukup banyak terjadi (ini sudah jelas merugikan citra umum tentang

mulianya profesi seorang dokter, di kalangan masyarakat awam).