Buku Filsafat Ilmu BAB I DOUBLE RELATIONSHIP (Aceng Rahmat)_1

21
10 Buku ” Filsafat Ilmu Lanjutan” Filsafat Ilmu Lanjutan Penerbit Kencana Prenada Media Group, ISBN : 978-602- 873094-5, 254 halaman Cetakan ke 1, November 2011

Transcript of Buku Filsafat Ilmu BAB I DOUBLE RELATIONSHIP (Aceng Rahmat)_1

Page 1: Buku Filsafat Ilmu BAB I DOUBLE RELATIONSHIP (Aceng Rahmat)_1

10 Buku ” Filsafat Ilmu

Lanjutan”

Filsafat Ilmu Lanjutan Penerbit Kencana

Prenada Media Group,

ISBN : 978-602-

873094-5, 254 halaman

Cetakan ke 1,

November 2011

Page 2: Buku Filsafat Ilmu BAB I DOUBLE RELATIONSHIP (Aceng Rahmat)_1
Page 3: Buku Filsafat Ilmu BAB I DOUBLE RELATIONSHIP (Aceng Rahmat)_1
Page 4: Buku Filsafat Ilmu BAB I DOUBLE RELATIONSHIP (Aceng Rahmat)_1

DAFTAR ISI

Sambutan:

Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Jakarta.................................. V

Kata Pengantar........................................................................................................ VII

Daftar Gambar........................................................................................................ XII

BAB 1 DOUBLE RELATIONSHIP: ANALISIS VS SINTESIS……………….. 1

a. Pendahuluan………………………………………………………… 2

b. Hakikat Metode Analisis dan Sintesis……………………………… 3

c. Double Relationship (Relasi Ganda) Metode Analisis><Sintesis…. 9

d. Metode Analisis dan Sintesis dalam Pendekatan Ilmiah…………… 15

e. Implikasi bagi Teori Ilmiah………………………………………… 21

f. Penutup……………………………………………………………. 22

BAB 2 MASA BELAJAR YANG PANJANG:

DAMPAK PERKEMBANGAN ILMU DALAM HIDUP MANUSIA

(SUATU TINJAUAN FILSAFAT ILMU DIPANDANG DARI

PERSPEKTIF NEUROPSIKOLOGI...................................................... 25

a. Manusia sebagai Mahluk Individu yang Belajar............................... 26

b. Dampak Penelitian Neuroscience terhadap Belajar.......................... 29

c. Penundaan Kepuasan Sesaat

(Postponement of Gratification)....................................................... 32

d. Demokrasi kehidupan intelek dan kepemimpinan intelektual

(Democracy of Intellect dan intellectual Leadership)……………... 33

e. Imaginasi moral dan Pendidikan…………………………………… 35

f. Mengubah “takdir” yang terprogram dalam gen…………………… 38

g. Perkembangan Otak………………………………………………… 41

BAB 3 PENDEKATAN TRANSDISPLIN:

MENSTIMULASI SINERGI DAN

INTEGRASI PENGETAHUAN............................................................. 47

a. Pendahuluan..................................................................................... 48

b. Pendekatan Transdisiplin................................................................. 50

c. Kesimpulan...................................................................................... 53

BAB 4 PHYTAGORAS, PENDEKATAN ISLAM DAN BARAT

DALAM ILMU........................................................................................ 55

a. Phytagoras ......................................................................................... 56

b. Pendekatan Islam dalam Ilmu............................................................ 61

c. Pendekatan Barat dalam Ilmu............................................................. 79

Page 5: Buku Filsafat Ilmu BAB I DOUBLE RELATIONSHIP (Aceng Rahmat)_1

BAB 5 POSTMODERNISME............................................................................ 91

a. Pengertian Postmodernisme............................................................ 92

b. Kelahiran Postmodernisme..............................................................93

c. Perkembangan Postmodernisme...................................................... 93

d. Asas-Asas Pemikiran Postmodernisme........................................... 95

e. Postmodernisme, Postmodernitas, dan Modernisme...................... 96

f. Peluang Postmodernisme................................................................ 97

g. Tantangan Postmodernisme............................................................ 98

BAB 6 ILMU, FILSAFAT, DAN FILSAFAT ILMU.......................................... 101

a. Ilmu dan Filsafat................................................................................. 102

b. Filsafat Ilmu........................................................................................ 109

c. Ilmu Pengetahuan dan Perkembangannya.......................................... 113

BAB 7 ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, DAN AKSIOLOGI

DALAM KEILMUAN............................................................................... 133

a. Pengantar…………………………………………………………….. 134

b. Ontologi, Epstemologi dan Aksiologi.................................................. 139

BAB 8 ILMU DAN NILAI: ALIRAN DAN

TOKOH-TOKOH FILSAFAT ILMU, APAKAH FILSAFAT.................. 165

a. Aliran-aliran dan tokoh-tokoh Filsafat Ilmu............................................ 166

Apakah Filsafat

b. Ilmu dan Nilai.......................................................................................... 177

c. Kajian Filsafat.......................................................................................... 188

d. Ilmu dan Agama....................................................................................... 194

BAB 9 LOGIKA DAN PENALARAN ILMIAH................................................... 207

a. Pendahuluan.......................................................................................... 208

b. Preposisi................................................................................................ 211

c. Logika Deduktif..................................................................................... 230

d. Logika Induktif...................................................................................... 231

e. Penalaran................................................................................................ 232

f. Kesesatan dalam Penalaran.................................................................... 246

g. Penalaran Ilmiah..................................................................................... 248

DOUBLE RELATIONSHIP: ANALISIS Vs SINTESIS

I. PENDAHULUAN

Page 6: Buku Filsafat Ilmu BAB I DOUBLE RELATIONSHIP (Aceng Rahmat)_1

Topik ini pada hakikatnya memiliki keterkaitan sangat erat dengan topik-topik

lain dalam bahan ajar ini. Muhajir (2007) mengatakan bahwa tradisi keilmuan dan

teknologi yang berkembang sekarang adalah tradisi yang tumbuh dari sistem logika yang

berkembang dari Yunani (dengan tokoh-tokoh besarnya Socrates, Plato, dan Aristoteles),

dilanjutkan dengan logika renaissans Arab (yang berkembang dari Al Farabi, Ibnu Sina,

dan Ibnu Rushd), diteruskan dengan logika renaissans Eropa (yang berkembang dari

empirisme John Locke), menjadi ilmu dan teknologi mutakhir (yang berkembang dari

Wittgenstein ke pragmatisme Peirce, ke Fenomenologi Hubserl, sampai dekonstruksi

Loytard)

Dalam tradisi sistem logika tersebut di atas unsur utama adalah rasionalitas dan

empiri. Rasionalitas menjadi unsur pertama untuk berilmu pengetahuan, dan empiri

menjadi unsur keduanya. Menurut Muhadjir (2007) rasionalitas atau berperannya rasio

atau akal manusia yang mampu membuat abstraksi dan konsep atas banyak empiri

menjadi penting; dan selanjutnya mampu membuat analisis dengan prosedur kerja yang

raional dan konsisten, dan akhirnya mampu membuat pemaknaan atas tumpah-ruahnya

empiri yang dihadapi, menjadi produk ilmu. Di sisi lain, empiri merupakan pengalaman

keseharian manusia; dalam bahasa paling elementer disebut fakta atau kenyataan (lihat

Suriasumantri, 2006).

Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa rasio dan empiri

merupakan dua perangkat atau unsur dasar untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.

Untuk mendayagunakan dua perangkat atau unsur itu seorang ilmuwan menggunakan

analisis dan sintesis (lihat Kallsoff (2004). Bab ini mencoba memberikan pembahasan

umum tentang analisis dan sintesis dalam kaitannya dengan usaha mengembangkan ilmu

pengetahuan. Untuk itu, subtopik yang disajikan meliputi (1) hakikat metode analisis dan

sintesis, (2) double relationship (relasi ganda) dalam metode analisis dan sintesis, (3)

metode analisis dan sintesis dalam pendekatan ilmiah, dan (4) implikasinya bagi teori

ilmiah.

II. HAKIKAT METODE ANALISIS DAN SINTESIS

1. Hakikat Metode Analisis

Page 7: Buku Filsafat Ilmu BAB I DOUBLE RELATIONSHIP (Aceng Rahmat)_1

Secara etimologis, kata „analisis‟ yang dalam bahasa Inggris „analysis‟ berasal

dari leksem bahasa Yunani analyein (gabungan morfem ana- dan lyein) berarti

„melonggarkan‟ atau „memisahkan‟ (memisahkan keseluruhan menjadi bagian-bagian).

Dalam kamus Meriam-Webster (2009: CD-ROM version), kata „analisis‟ memiliki

beberapa dimensi makna. Dua di antaranya yang berkaitan dengan filsafat dimaknai

dengan “a method in philosophy of resolving complex expressions into simpler or more

basic ones” (metode dalam filsafat yang menguraikan ungkapan yang rumit ke dalam

bentuk yang lebih sederhana atau yang lebih mudah) dan “clarification of an expression

by an elucidation of its use in discourse” (klarifikasi ungkapan dengan cara menjelaskan

penggunaannya dalam wacana). Selain itu, dalam konteks kebahasaan, „analisis‟

dimaknai sebagai penyederhanaan bentuk kata dengan memisahkan akar kata dari

imbuhannya sebagai salah satu metode bedah bahasa.

Istilah “analisis” menurut Kallsaff (2004) adalah “perincian”. Selanjutnya

ditegaskan oleh Kallsaff, bahwa di dalam filsafat analisis berarti perincian istilah-istilah

atau pernyataan-pernyataan ke dalam bagian-bagiannya sedemikian rupa sehingga kita

dapat melakukan pemeriksaan atas makna yang dikandungnya. Dalam perspektif lain

“analisis” merupakan kemampuan mengidentifikasi, memisahkan, dan membedakan

komponen-komponen atau elemen suatu fakta, konsep, pendapat, asumsi, hipotesis, atau

kesimpulan, dan memeriksa setiap komponen tersebut untuk melihat ada atau tidaknya

kontradiksi. Dalam tingkat ini seseorang diharapkan menunjukkan hubungan di antara

berbagai gagasan dengan cara membandingkan gagasan tersebut dengan standar, prinsip,

atau prosedur yang telah ditentukan.. Kata kerja operasional yang biasa digunakan

adalah: membedakan dan mendiskriminasikan, mendiagramkan, memilih, memisahkan,

membagi-bagikan, mengilustrasikan, mengklasifikasikan.

Analisis merupakan bentuk kegiatan logika yang menyarikan kebenaran konkret

suatu proposisi, dan memusatkan perhatian mula-mula dan terutama pada forma

lugasnya (yang pada dasarnya matematis), yaitu nilai kebenarannya (Palmquist, 2000).

Jika analisis dikategorikan sebagai metode berpikir dalam mengungkapkan pengetahuan

dan kebijaksanaan, maka tentu di dalamnya terdapat serangkaian fakta, konsep, prinsip,

dan prosedur yang digunakan untuk menguraikan ataupun menyederhanakan ungkapan

Page 8: Buku Filsafat Ilmu BAB I DOUBLE RELATIONSHIP (Aceng Rahmat)_1

atau hasil pemikiran. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya menjelaskan setiap entitas yang

dikandung dalam ungkapan pemikiran dan perasaan manusia.

Dalam filsafat analitik (positivisme), “analisis” menurut Muhadjir (2007) berarti

menguraikan segala sesuatu sampai unit sekecil mungkin. Di sisi lain, dirumuskan oleh

Russel (1997) dengan pernyataan:

Dalam percobaan yang dilakukan secara serius, tidaklah selayaknya kita tempuh dengan

menggunakan bahasa biasa, sebab susunan bahasa biasa itu selain buruk, juga bermakna

ganda. Oleh karena itu saya bermaksud meyakinkan bahwa sikap bersikeras atau kepala

batu untuk tetap menggunakan bahasa biasa dalam mengungkapkan pemikiran kita

adalah penghalang besar bagi kemajuan filsafat.

Oleh sebab itu, tidak heran jika Russel menentukan titik tolak pemikirannya berdasarkan

bahasa logika. Hal ini terjadi karena ia berkeyakinan bahwa teknik analisis yang

didasarkan pada bahasa logika itu dapat menjelaskan struktur bahasa dan struktur realitas.

Hal ini relevan dengan anggapan Descartes (dalam Honer dan Hunt, 2006) bahwa

pengetahuan memang dihadirkan oleh indra, tetapi karena dia mengakui bahwa indra itu

bisa menyesatkan (seperti dalam mimpi dan khayalan), maka dia terpaksa mengambil

kesimpulan bahwa data keindraan tidak dapat diandalkan.

Analisis logis mengandung pengertian, suatu upaya untuk mengajukan alasan a-

priori yang tepat bagi pernyataan. Dengan cara yang demikian, Russel (1997)

menerapkan teknik analisis bahasa untuk memecahkan masalah filsafat. Akan tetapi,

Russel lebih mendahulukan analisis logis daripada sintesis logis, karena teori yang terlalu

empirik (didasarkan atas fakta) tidak dapat menjangkau hal-hal yang bersifat universal. Ia

memperkenalkan istilah data indrawi untuk hal-hal seperti warna, bau, kekerasan,

kekasaran, dan seterusnya dan mengundang kesadaran kita dengan sense datum a (of?)

sensation (sensasi akan data indra). Russel membedakan antara apa yang disebutnya

dengan pengetahuan dan pengenalan, serta pengetahuan dan deskripsi. Ia berargumen

bahwa kita tidak secara langsung berkenalan dengan objek-objek fisik tetapi

menyimpulkan objek-objek seperti meja, pohon, anjing, rumah, dan orang-orang dari data

indrawi. Kesulitannya di sini ialah bagaimana inferensi dibuat dari data indrawi untuk

sebuah entitas yang memenuhi penjelasan common sense tentang objek fisik. Bagi Russel

kebenaran bersifat logis dan matematik yang diungkapkan dalam analisis logis

“meyakinkan kita untuk mengakui keperiadaan sifat-sifat „universal‟ yang tak

Page 9: Buku Filsafat Ilmu BAB I DOUBLE RELATIONSHIP (Aceng Rahmat)_1

terubahkan, padahal banyak teori yang bersifat empirik murni tidak dapat

mempertanggungjawabkan hal seperti itu.

Sejalan dengan pandangan Russel, kritikus kaum empirik menunjukkan bahwa

fakta tidak mempunyai apa pun yang bersifat pasti. Fakta itu sendiri tidak menujukkan

hubungan di antara mereka dan pengamat yang netral. Jika dianalisis secara kritis maka

”pengalaman” merupakan pengertian yang terlalu samar untuk dijadikan dasar bagi

sebuah teori pengetahuan yang sistematis (Honer dan Hunt, 2006).

Merujuk pada penjelasan di atas, analisis pada akhirnya dimaknai sebagai

kegiatan berpikir yang melakukan perincian terhadap istilah-istilah atau pernyataan-

pernyataan ke dalam bagian-bagiannya agar dapat menangkap makna yang dikandungnya

atau memahami komponen terlebih dahulu kemudian menguraikan komponen. Berkaitan

dengan itu, penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir yang menyandarkan diri kepada

suatu analisis dan kerangka berpikir yang dipergunakan untuk analisis tersebut adalah

logika penalaran yang bersangkutan. Jadi tidak salah kalau ada yang menyatakan bahwa

analisis adalah gerbang logika.

2. Hakikat Metode Sintesis

Pada bagian terdahulu kita telah membahas “metode analisis” yang menurut

Kattsoff (1986) bertentangan dengan ”metode sintesis.” Istilah sintesis secara etimologis,

berasal dari bahasa Yunani syntithenai (syn- + tithenai) yang berarti „meletakkan‟ atau

„menempatkan‟ (Meriam-Webster Dictionary, 2009). Lebih lanjut, dalam sumber yang

sama, entri sintesis diartikan sebagai komposisi atau kombinasi bagian-bagian atau

elemen-elemen yang membentuk satu kesatuan. Selain itu, sintesis juga diartikan sebagai

kombinasi konsep yang berlainan menjadi satu secara koheren, dan penalaran induktif

atau kombinasi dialektika dari tesis dan antitesis untuk memperoleh kebenaran yang lebih

tinggi.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003) sintesis diartikan sebagai “paduan

berbagai pengertian atau hal sehingga merupakan kesatuan yang selaras atau penentuan

hukum yang umum berdasarkan hukum yang khusus.” Pengertian ini sejalan dengan

pendapat Kattsoff (1986) yang menyatakan bahwa logika sintesis adalah kegiatan

berpikir logis yang melakukan penggabungan semua pengetahuan yang diperoleh untuk

Page 10: Buku Filsafat Ilmu BAB I DOUBLE RELATIONSHIP (Aceng Rahmat)_1

menyusun suatu pandangan atau konsep. Lebih lanjut dikatakan oleh Kallsaff, maksud

sintesis yang utama adalah mengumpulkan semua pengetahuan yang dapat diperoleh

untuk menyusun suatu pandangan dunia. Dalam perspektif lain “sintesis” merupakan

kemampuan seseorang dalam mengaitkan dan menyatukan berbagai elemen dan unsur

pengetahuan yang ada sehingga terbentuk pola baru yang lebih menyeluruh. Kata kerja

operasional yang dapat digunakan adalah mengategorikan, mengombinasikan, menyusun,

mengarang, menciptakan, mendesain, menjelaskan, mengubah, mengorganisasi,

merencanakan, menyusun kembali, menghubungkan, merevisi, menyimpulkan,

menceritakan, menuliskan, mengatur.

Sintesis merupakan bentuk lain dari kegiatan atau metode berpikir. Secara

sederhana, Russel menyatakan bahwa sintesis logis berarti menentukan makna

pernyataan atas dasar empirik. Meskipun demikian, kebenaran proposisi Russel perlu

dianalisis dengan membedah pengertian yang dikemukakan.

Dari hasil penelusuran melalui Wikipedia (2009) diperoleh informasi bahwa

analisis mempunyai arti luas dan dapat dipergunakan dalam bidang fisika, ideologi, dan

fenomenologi. Di sisi lain, menurut Kattsoff (1986) agaknya jauh lebih rumit untuk

menggambarkan sintesis dalam filsafat, karena tiadanya contoh-contoh singkat yang

dapat dikutip. Pada zaman modern, sistem yang paling ringkas serta paling besar adalah

sistem yang disusun oleh Hegel, seorang filsuf Jerman. Karya Hegel merupakan usaha

untuk mencakup segenap kenyataan dalam suatu sistem yang meliputi segala-galanya,

juga meliputi susunan pengetahuan manusia. Bertolak dari pengertian tentang ”yang ada-

yang murni” (pure being), Hegel berusaha menyimpulkan gagasan tentang metafisika,

alam fisik, manusia, masyarakat, dan bahkan gagasan agama, serta filsafat. Hegel

menyempurnakan konsep dialektika dan menyederhanakannya dengan memaknai

dialektika ke dalam trilogi ”tesis, antitesis, dan sintesis”. Menurut Hegel tidak ada satu

kebenaran yang absolut karena hukum dialektika. Yang absolut hanyalah semangat

revosionernya (perubahan / pertentangan atas tesis oleh antitesis menjadi sintesis).

III. DOUBLE RELATIONSHIP (RELASI GANDA) METODE ANALISIS vs

SINTESIS

Page 11: Buku Filsafat Ilmu BAB I DOUBLE RELATIONSHIP (Aceng Rahmat)_1

Istilah “analisis” dan “sintesis”, sebagai label pembedaan metode argumentasi

antara yang deduktif dan induktif setidak-tidaknya seusia dengan Euklides. Dalam

Elements-nya, Euklides menerangkan sejelas-jelasnya bahwa dua metode ini sebaiknya

tidak dipahami sebagai saling terpisah, tetapi saling melengkapi. Metodenya

memperlihatkan ketepatan teorema-teorema geometrisnya dengan mula-mula

menggunakan metode argumentasi analitik (deduktif), dan kemudian mendukung

simpulannya dengan penalaran sintetik (induktif). Proses praktis penyusunan deduksi

(berlawanan dengan bentuk tertulisnya) berawal dengan perumusan suatu simpulan, lalu

pembuktiannya dengan pencarian dua atau lebih asumsi yang benar yang bisa berfungsi

sebagai landasannya. Proses induksi berawal dengan pengumpulan potongan-potongan

bukti empiris, lalu ini digunakan sebagai landasan untuk menarik kesimpulan.

Jika logika analitik menawarkan kejelasan pengindraan (yakni keluasan

pengetahuan), logika sintetik menawarkan kejelasan wawasan (yakni kedalaman

pemahaman). Bila dimanfaatkan dengan tepat, kedua jenis logika itu tidak perlu dianggap

bersaingan, tetapi seharusnya dipandang saling melengkapi, sebagaimana deduksi dan

induksi yang bisa digunakan secara efektif sebagai metode-metode argumentasi yang

saling melengkapi (atau bersifat komplementer). Salah satu cara terbaik untuk

menggambarkan pertalian komplementer ini adalah mengaitkannya dengan pembedaan

yang kita pelajari dari Kant, antara kawasan pengetahuan-nirmustahil dan kebodohan-

pasti.

Logika analitik dapat digunakan untuk menghasilkan pengetahuan kapan saja

bilamana yang terpikir dipaparkan di dalam tapal batas transendental (umpamanya,

sesuatu yang dapat kita lihat). Akan tetapi, begitu kata-kata untuk memberikan hal-hal

yang terletak di luar tapal batas ini digunakan, logika analitik bukan hanya kehilangan

daya penjelasnya, melainkan sesungguhnya juga dapat menjerumuskan kita ke dalam

penyimpulan yang menyesatkan. Contoh kasus sebagaimana yang diperlihatkan oleh

Chuang Tzu kepada kita dalam memaparkan Tao, bila berhadapan dengan persoalan yang

tidak begitu kita ketahui dengan pasti, kita bisa menemukan hal-hal yang kita yakini

dengan memanfaatkan logika sintetik untuk memperoleh wawasan yang dibutuhkan

untuk mendukung keyakinan-keyakinan itu.

Page 12: Buku Filsafat Ilmu BAB I DOUBLE RELATIONSHIP (Aceng Rahmat)_1

Istilah “analitik” dan “sintetik” telah dipakai oleh filsuf-filsuf dengan berbagai cara

yang berbeda. Dalam waktu yang relatif lama, cara yang pada umumnya diterima

pemakaiannya untuk menunjukkan dua metode argumentasi adalah cara penggunaan

istilah-istilah ala Euklides. Akan tetapi, Kant mengembangkan cara baru penggunaan

istilah-istilah tersebut, yang dengan demikian menunjukkan dua tipe proposisi yang

berlainan. Menurut Kant, proposisi adalah analitik jika subyeknya “terkandung di

dalam” predikatnya, sedangkan yang sintetik adalah yang subyeknya berada “di luar”

predikatnya. Jadi, proposisi dalam ungkapan “Merah adalah warna” termasuk analitik,

kategoris karena konsep “merah” masuk sebagai salah satu unsur konsep “warna”.

Berdasarkan hal itu, proposisi “Kapur tulis ini putih” adalah sintetik, karena seseorang

tidak akan mengetahui bahwa benda tersebut adalah “kapur tulis” jika hanya diberitahu

bahwa kapur tulis itu putih (Palmquist, 2000).

Menurut Palmquist (2000), Kant juga memberi beberapa pedoman lain yang lebih

ketat untuk menentukan apakah suatu proposisi adalah analitik ataukah sintetik.

Kebenaran proposisi analitik selalu bisa diketahui melalui logika saja. Jadi, jika makna

kata-kata sudah diketahui, proposisi ini tidak informatif. Proposisi analitik mampu

menjelaskan dirinya sendiri. Yang harus dilakukan hanyalah mengatakan “merah” dan

bagi mereka yang memahami makna kata „merah‟ akan segera tahu bahwa pembicara

sedang membicarakan warna. Seperti halnya penyimpulan deduktif yang baik, kebenaran

proposisi analitik bersifat konseptual murni dan, karenanya, bersifat niscaya. Sebaliknya,

kebenaran proposisi sintetik mensyaratkan pemanfaatan sesuatu yang lebih dari sekadar

konsep. Seperti argumen induktif, pada proposisi sintetik terdapat pemanfaatan intuisi,

yaitu keadaan faktual obyek. Akibatnya, proposisi sintetik selalu informatif dan

kebenaran simpulannya tergantung pada keadaan obyek yang terus-menerus eksis. Jika

misalnya seseorang memberitahu bahwa sepotong kapur tulis yang tersembunyi dalam

genggaman tangannya itu putih, maka kebenaran pernyataannya tergantung pada apakah

orang itu mengelabui pendengar atau berkata benar.

Dewasa ini sebagian filsuf menduga bahwa terdapat begitu banyak proposisi yang

sulit untuk dinyatakan sebagai analitik atau sebagai sintetik sehingga keseluruhan

pembedaannya dianggap tidak berguna. Hal itu memang dapat terjadi jika konteks

proposisi tidak berhasil diterapkan berdasarkan pedoman Kant dengan hati-hati. Kant

Page 13: Buku Filsafat Ilmu BAB I DOUBLE RELATIONSHIP (Aceng Rahmat)_1

mengombinasikan pembedaan antara proposisi atau “penimbangan” analitik dan sintetik

dengan suatu pembedaan lain, antara jenis pengetahuan “a-priori” dan “a-posteriori”.

Pengetahuan “a-priori” ialah pengetahuan yang tidak tergantung pada adanya

pengalaman atau, yang ada sebelum pengalaman. Sebaliknya, sesuatu dianggap “a-

posteriori” jika terjadi sebagai akibat pengalaman. Hal itu menghasilkan empat

kemungkinan jenis pengetahuan, dua di antaranya non-kontroversial yaitu pengetahuan

analitik a-priori yang secara sederhana adalah pengetahuan logis, dan pengetahuan

sintetik analitik logis a-priori a-posteriori yang secara sederhana adalah pengetahuan

empiris. Kant yakin, tidak ada pengetahuan analitik a-posteriori, namun istilah ini pada

aktualnya memerikan suatu sintetik a-posteriori empiris kategori epistemologis yang

amat penting. Mengklasifikasikan keyakinan hipotetis mengenai alam dengan cara

tersebut secara signifikan mampu menyelamatkan penampakan, baik supaya tidak

dipahami dengan bangga sebagai realitas hakiki atau pun supaya tidak dibuang lantaran

diakui sebagai penampakan belaka.

Kelompok pengetahuan sintetik a-priori banyak menarik perhatian Kant. Ia

menyatakan bahwa semua pengetahuan transendental memiliki tipe seperti ini. Oleh

karena itu, ia mengatakan bahwa pertanyaan “Bagaimana penimbangan sintetik itu a-

priori?” merupakan pertanyaan sentral semua filsafat kritis.

Pemakaian istilah-istilah itu sangat bermanfaat untuk memperbedakan antara dua

jenis logika. “Logika analitik” adalah seluruh tubuh logika yang didasarkan pada prinsip-

prinsip penalaran yang disusun oleh Aristoteles. Prinsipnya yang paling mendasar adalah

hukum yang disebut “hukum kontradiksi”. Aristoteles menyatakan hukum ini di

Categories dengan mengatakan bahwa suatu benda tidak mungkin “sesuatu” dan

sekaligus “bukan sesuatu itu” dalam hal yang sama pada waktu yang sama. Dengan kata

lain, mustahil bagi suatu benda untuk menjadi hitam dan sekaligus tidak hitam “A” dan

sekaligus “-A”, dan sebagainya. Ungkapan simbolik tersederhana hukum ini adalah:

“A bukan –A” atau “A ? -A”

Pengaruh besar hukum ini terhadap filsafat selama 2300 tahun ini sangat menonjol.

Padanya didasarkan hampir semua argumen yang telah diajukan oleh filsuf-filsuf Barat.

Lagi pula, kita tidak akan mampu berkomunikasi satu sama lain tanpa mengasumsikan

bahwa bila kita menggunakan suatu kata, kita ingin penyimak kita memikirkan benda

Page 14: Buku Filsafat Ilmu BAB I DOUBLE RELATIONSHIP (Aceng Rahmat)_1

yang diacu oleh kata itu, dan bukan lawannya. Dengan demikian, deduksi dan proposisi

analitik adalah dua aspek dari logika analitik. Di kedua kasus itu, keduanya dipasangkan

dengan fungsi sintetik komplementernya: induksi dan proposisi sintetik.

Selain itu, kebanyakan versi analisis linguistik menekankan pentingnya analisis,

dan kebanyakan versi eksistensialisme, sintesis, hampir mengabaikan atau bahkan secara

terang-terangan menolak makna penting kecenderungan lawanannya. Meskipun

demikian, dengan adanya pertalian komplementer antara analisis dan sintesis, setiap

kecenderungan tersebut saling bergantung untuk melanjutkan keberadaan masing-masing,

karena merupakan kutub-kutub yang komplementer pada sebuah gerakan.

Oleh sebab itu, menjelang akhir abad XX, kedua kecenderungan tersebut mulai

gugur dan diganti secara bertahap oleh cara pikir lain, yakni hermeneutik (Sumaryono,

1993). Menariknya, tiga pendekatan utama terhadap filsafat itu semuanya menekankan

tema umum: sentralitas bahasa pada pencarian filosofis. Unsur utama gerakan filosofis

yang mendominasi filsafat yang berbahasa-tutur Inggris sepanjang abad XIX, dikenal

sebagai “analisis linguistik”. Jalan filosofis ini juga disebut dengan nama-nama seperti

“filsafat analitik”, “filsafat linguistik”, atau “filsafat bahasa”, bergantung pada preferensi

filsuf yang bersangkutan. Akan tetapi, pada umumnya pendekatan ini menganggap

analisis bahasa sebagai tugas mendasar filsuf.

Cara yang cermat tentang bagaimana bahasa mestinya dianalisis, definisi yang

tepat tentang apakah analisis itu, dan juga pembatasan yang tepat tentang apa yang

terhitung sebagai bahasa, semuanya merupakan persoalan yang diperdebatkan secara

terbuka di kalangan anggota-anggota aliran ini. Akan tetapi, di tengah semua perbedaan

mereka, para analis linguistik disatukan oleh keyakinan bersama mereka bahwa persoalan

filosofis harus didekati mula-mula dan terutama (jika bukan hanya) dari sudut pandang

yang akar-akarnya pada bahasa manusia (Hidayat, 2006). Sebagiannya percaya bahwa

dalam memegang keyakinan ini mereka merupakan pewaris sejati atas gagasan

keterbatasan pengetahuan (yang dicanangkan oleh Kant) sampai pada pengertian bahwa

gagasan “peralihan transendental” dalam berfilsafat disangka oleh banyak filosof saat ini

sebagai sesuatu yang identik dengan “peralihan linguistik.”

Page 15: Buku Filsafat Ilmu BAB I DOUBLE RELATIONSHIP (Aceng Rahmat)_1

IV. METODE ANALISIS DAN SINTESIS DALAM PENDEKATAN ILMIAH

Pada bagian awal penjelasan subtopik ini, ada baiknya dijelaskan dulu apa yang

dimaksud dengan pendekatan ilmiah. Pendekatan ilmiah merupakan gabungan antara

penalaran induktif dan deduktif. Kerlinger (1969) memberi definisi pendekatan ilmiah

sebagai “penyelidikan yang sistematik, terkontrol dan bersifat empiris atas suatu relasi

fenomena alam.” Sedangkan menurut Susilo (2009) pendekatan ilmiah adalah proses

berpikir di mana kita bergerak secara induktif dari pengamatan menuju pembentukan

hiptesis dan kemudian berbalik secara deduktif membuat verifikasi atas hipotesis kita tadi

kepada penerapan logisnya.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa proses kerja dalam

pendekatan ilmiah menimbulkan tiga sifat yang membedakannya dengan sumber

pengetahuan dari pengalaman. Pertama, pendekatan ilmiah bersifat sistematis dan

terkontrol karena menggunakan dua penalaran, yaitu induksi dan deduksi. Kedua, ia

bersifat empiris yang menghendaki validasi atas semua keyakinan subjektif seseorang.

Sedangkan yang ketiga, bersifat self-correcting yang berarti bahwa prosedur yang

sistematis dan terkontrol tersebut memungkinkan seseorang terhindar dari kesalahan yang

signifikan tatkala menggunakan proses pendekatan ilmiah ini untuk memecahkan

masalah dalam kehidupan.

Mengacu pada penjelasan di atas, muncul pertanyaan “Apakah temuan yang

diperoleh melalui pendekatan ilmiah betul-betul sahih?” Jawaban pertanyaan ini tentu

tidak mudah. Satu hal dari sekian hal yang ada yang dapat menjadi petunjuk bagi kita

adalah pernyataan Bronowsky (1987) yang menyatakan bahwa pada kala Kepler,

Copernicus, Galileo, dan Newton mengadakan berbagai temuan dalam kaitan dengan

deskripsi kedudukan matahari dan planet kita di alam semesta, maka dalam

mempertanggungjawabkan berbagai temuannya, yang mereka pikirkan terutama adalah

kebenaran ilmunya. Untuk membangun kebenaran secara ilmiah, dilakukan kegiatan

penelitian.

Penelitian adalah suatu kegiatan yang menggunakan pendekatan ilmiah sebagai

prinsip kerjanya. Penelitian merupakan suatu proses pencarian kebenaran melalui

prosedur ilmiah dan biasa dikatakan sebagai kebenaran ilmiah yang objektif karena

kesimpulan itu ditarik berdasarkan data empirik dengan prosedur yang sistematis serta

Page 16: Buku Filsafat Ilmu BAB I DOUBLE RELATIONSHIP (Aceng Rahmat)_1

menggunakan pendekatan ilmiah. Dalam mencapai kebenaran ilmiah tersebut, kita harus

melalui proses kegiatan penelitian yang secara umum bisa meliputi langkah berikut: (1)

perumusan masalah, (2) pengumpulan data, (3) analisis data, dan (4) penarikan

kesimpulan.

Seorang peneliti dalam melakukan penelitian biasanya menggunakan paradigma,

yaitu pendekatan positivisme empiris dan pendekatan konstruktivis/fenomenologis yang

sering dikonotasikan masing-masing dengan orientasi kuantitatif dan kualitatif

(Semiawan, 2007). Kedua paradigma tersebut sesuai dengan pengertiannya menunjuk

pada suatu pola pikir yang merupakan suatu kerangka pikir konseptual (conceptual

framework) berkenaan dengan teori tertentu dalam bidang riset yang dikonstruksikannya

(Colman, 2001).

Penjelasan berikut akan mengambil uraian yang disampaikan oleh Semiawan

dalam bukunya Catatan Kecil tentang Penelitian dan Pengembangan Ilmu

Pengetahuan (Semiawan,2007). Pada bahasan ini, penjelasan dalam buku tersebut

diperlukan untuk implementasi metodologisnya agar kita tidak mencampuradukkan

berbagai landasan filsafat ilmu yang berbeda. Dalam buku tersebut dikatakan bahwa

positivisme bersumber dari orientasi ilmu alam yang kajiannya diarahkan pada

pengembangan teori. Riset seperti ini mendasarkan pengetahuan pada fakta yang dapat

diamati secara langsung dan percaya bahwa secara ontologis hanya ada satu realitas

tunggal. Para positivis percaya bahwa setiap riset bebas nilai dalam mempersoalkan

aksiologi penelitian. Dalam kajian epistemologi hubungan antara yang hendak

mengetahui (the knower) dan materi pengetahuan (the known) bersifat independen.

Adanya hubungan sebab-akibat yang mendahului atau muncul bersamaan dengan

efeknya adalah ciri lain dari paradigma positivistis. Pada umumnya para positivis lebih

menekankan logika induktif atau mendasarkan kajiannya pada hipotesis a priori atau

teori tertentu. Paradigma positivis yang paling terkenal adalah metode eksperimental.

Dalam metode ini hipotesis dijabarkan secara logis dari teori mencakup suatu test dalam

kondisi terawasi. Paradigma ini disebut scientific inquiry yang bersifat konvergen,

tunggal, fragmentaris, indepeden, dan terfokus pada persamaan untuk dapat

digeneralisasikan.

Page 17: Buku Filsafat Ilmu BAB I DOUBLE RELATIONSHIP (Aceng Rahmat)_1

Kondisi yang terawasi ini melihat dunia sebagai kesatuan yang nyata yang

merupakan proses yang berkelanjutan dan terbagi dalam seri subsistem yang berdiri

sendiri dan fragmentaris serta disebut variabel. Penelitian ini menuntut homogenitas

respons dalam kategori terbatas, dan sejumlah sampel besar. Karena pendekatan ini

mencari hukum-hukum tertentu melalui perhitungan statistik berkenaan dengan

kebermaknaan penelitian bagi responden, posisi pelaku riset dalam kaitan hubungan

subjek-objek tidak diperkarakan. Sering hasil penelitian positivistis ini dalam praktiknya

kurang bermanfaat bagi subjek penelitian.

Sebaliknya, phenomenology adalah suatu metode penelitian ilmiah filosofis yang

diperkenalkan oleh filsuf Jerman Edmund Husserl yang berkonsentrasi terhadap deskripsi

pengalaman sadar dan secara umum mencakup metodologi penelitian kualitatif yang

lebih menganalisis pengalaman mental dari pada perilaku nyata (Colman, 2001).

Konstruktivisme adalah mazhab psikologi yang diperkenalkan oleh Jean Piaget kurang

lebih 60 tahun yang lalu. Teorinya berkenaan dengan aktivitas mental untuk memperoleh

gambaran yang eksak tentang kenyataan dunia serta merupakan modifikasi dari struktur

atau proses psikologi dalam menghadapi tuntutan lingkungan. Prinsip konstruktivisme

menuntut transformasi kualitatif dalam berbagai aspek yang diamatinya, yang merupakan

konstruksi pengetahuan yang comes from within. Metode penelitiannya dilatarbelakangi

oleh tradisi hermeneutis.

Orientasi hermeneutis ini dilandasi oleh pengertian Verstehen, yaitu pemahaman

kebermaknaan yang merupakan keterkaitan pengertian fenomena atau bagian tertentu

dari keseluruhan yang bermakna. Vestehen adalah kondisi ontologis dari

intersubjektivitas, bukan semata empati terhadap pengalaman orang lain, melainkan juga

pengertian, yang termasuk kemampuan bahasa sebagai media organisasi kehidupan sosial

manusia.

Penelitian naturalistik berfokus pada sesuatu dengan cara berbeda, divergen dan

jamak, dan mendeteksi interelasinya. Jadi, fokus inquiry naturalistik umumnya bersandar

pada realitas jamak, sebagaimana lapis kulit sebuah bawang putih, saling melengkapi,

meskipun dilihat dari perspektif yang berbeda dalam kenyataan (Guba dan Lincoln,

1985).

Page 18: Buku Filsafat Ilmu BAB I DOUBLE RELATIONSHIP (Aceng Rahmat)_1

Penelitian ini menampilkan diri dalam berbagai bentuk kebenaran. Lapisan-

lapisan tersebut secara intrinsik berinteraksi sehingga membentuk pola kebenaran. Pola-

pola ini harus dijelajahi lebih jauh, bukan saja untuk dikendalikan, tetapi lebih-lebih lagi

untuk dipahami, apalagi dalam situasi kelas di mana anak manusia sedang belajar.

Paradigma inquiry naturalistik bertolak dari asumsi bahwa terjadi interaktivitas antara

peneliti dan data, karena kolektor data adalah anak manusia yang terkena efek persepsi

informasi yang dikembangkannya.

Peneliti yang merupakan naturalistic inquirer bertolak dari pendapat bahwa

kebenaran realitas yang bersifat jamak dan multidimensional bisa berubah dari konteks

yang satu ke konteks yang lain. Ia juga memperhatikan berbagai interaksi yang kompleks

antar individu yang berbeda-beda. Dalam kaitan pengertian belajar perubahan tersebut

bersifat relatif permanen dikarenakan pengalaman yang diperolehnya dari lingkungannya

yang selanjutnya diolah secara intrenal. Meskipun demikian, manusia memiliki realitas

yang berbeda-beda dan adalah konstruktor dari pengetahuannya sendiri, sehingga hasil

perubahan itu “comes from within.”

Dari penjelasan di atas, sesuai dengan filsafat ilmunya, postitivisme tunduk

kepada bukti kebenaran empirik. Positivisme berpikir analitik: mengurai segala sesuatu

sampai unit sekecil mungkin. Dengan demikian, berpikir analitik menjadi sifat dominan

dalam berpikir positivistik, dipilahkan atau dipisahkan secara jelas dengan sintesisnya.

Pemilahan tersebut perlu ditata pada laporan hasil penelitian. Menurut Muhadjir (2007)

biasanya bab IV karya skripsi, tesis, atau disertasi berisi laporan hasil analisis

pengumpulan data dan hasil analisis data untuk membuktikan hipotesis atau pertanyaan

penelitiannya. Barulah pada bab V dibuat sintesis atau kesimpulan serta saran hasil

penelitian.

Pada dasarnya memilahkan analisis dan sintesis pada yang kualitatif lebih sulit

dari pada yang kuantitatif. Menurut Semiawan (2007), secara ontologis mazhab

konstruktivisme dalam psikologi menyebut bahwa dunia sosial berubah terus-menerus,

sehingga memerlukan aktor-aktor sosial untuk menangkap makna dari berbagai kejadian

dalam dunia sosial. Ilmuwan yang mengadakan riset karenanya perlu terlibat secara aktif

dalam konstruksi sosial. Untuk itu, diperlukan pendekatan riset yang berbeda, demikian

juga pengumpulan datanya juga berbeda.

Page 19: Buku Filsafat Ilmu BAB I DOUBLE RELATIONSHIP (Aceng Rahmat)_1

Dalam penelitian kualitatif, data yang muncul berwujud kata-kata dan bukan

rangkaian angka. Data itu mungkin telah dikumpulkan dalam aneka macam cara

(observasi, wawancara, intisari dokumen, pita rekaman), dan yang biasanya “diproses”

kira-kira sebelum siap digunakan (melalui pencatatan, pengetikan, penyuntingan, atau

alih tulis), tetapi analisis kualitatif tetap menggunakan kata-kata, yang biasanya disusun

dalam teks yang diperluas. Proses analisis tersebut terdiri dari tiga jalur kegiatan yang

terjadi secara bersamaan, yaitu: reduksi data, penyajian data, dan penarikan

kesimpulan/verifikasi. Ini berarti dalam penelitian kualitatif analisis dan sintetis berjalan

serentak.

Sebaliknya, dalam penelitian kuantitatif peneliti mampu memilahkan analisis dan

sintesis menjadi karakteristik penting penelitian positivistik. Tuntutan analisis yang

rasional, objektif berdasar empiri penting dalam positivisme. Hasil analisis lalu diolah

menjadi sintesis dan akhirnya menjadi kesimpulan hasil penelitian.

V. IMPLIKASINYA BAGI TEORI ILMIAH

Berhubung ilmu pengetahuan diperoleh secara sahih dan andal dengan suatu

penyelidikan ilmiah, yaitu penelitian, maka ia merupakan sebuah proposisi yang timbul

sebagai hasil dari kesimpulan suatu proses pencarian pengetahuan yang sistematis dan

terkontrol. Proposisi inilah yang apabila terakumulasi akan menjadi teori ilmiah. Teori

ilmiah didefinisikan sebagai “seperangkat konsep (konstruk), definisi, atau proposisi

yang menggambarkan sebuah pandangan yang sistematis atas fenomena dengan cara

memberi spesifikasi hubungan antar variabel yang tujuan akhirnya adalah memprediksi

atau menerangkan sebuah fenomena tersebut.” Ada dua fungsi utama dari teori ilmiah,

yaitu: mengorganisasikan temuan dari berbagai pengamatan dan penyelidikan yang

tercecer sehingga sebuah kerangka teori yang bisa menjelaskan suatu fenomena, dan

menjelaskan keterkaitan antar variabel, serta menjelaskan bagaimana sifat keterkaitannya.

Melalui sebuah kerangka teori yang bisa dijelaskan, seorang ilmuwan bisa memberi

prediksi dan kontrol terhadap suatu fenomena.

Misalnya, dalam sebuah teori pengajaran bahasa, dikatakan bahwa terdapat

hubungan signifikan antara minat baca anak dengan prestasi pemahaman bacaan dalam

pembelajaran bahasa Indonesia. Dengan informasi dari teori ini seorang ahli pengajaran

Page 20: Buku Filsafat Ilmu BAB I DOUBLE RELATIONSHIP (Aceng Rahmat)_1

bahasa bisa memprediksi prestasi membaca pemahaman anak didik dalam pelajaran

bahasa Indonesia dengan cara mengetahui minat baca mereka. Setelah mengetahui

informasi tersebut, selanjutnya ia bisa mengontrol prestasi anak didik tersebut dengan

cara meningkatkan minat baca mereka agar prestasi membaca mereka dalam mata

pelajaran bahasa Indonesia lebih baik.

VI. PENUTUP

Sebagai penutup ada beberapa hal yang dapat disimpulkan:

1. Secara umum, analisis didefinisikan sebagai suatu metode yang prosedurnya

memecah suatu substansi menjadi bagian-bagian atau komponen-komponen. Sedangkan

sintesis diartikan sebaliknya, yaitu menggabungkan elemen-elemen atau komponen-

komponen yang terpisah menjadi suatu kesatuan yang koheren.

2. Metode analisis dan metode sintesis sangat berguna dalam membangun pengetahuan

keilmuan. Pengetahuan keilmuan meliputi semua apa yang dapat diteliti dengan jelas atau

dengan eksperimen sehingga bisa terjangkau oleh rasio atau otak dan panca indra

manusia.

3. Ilmu pengetahuan diperoleh secara sahih dan andal dengan suatu penyelidikan

ilmiah, yaitu penelitian, maka ia merupakan sebuah proposisi yang timbul sebagai hasil

dari kesimpulan suatu proses pencarian pengetahuan yang sistematis dan terkontrol.

Proposisi inilah yang apabila terakumulasi akan menjadi teori ilmiah

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, Chaedar.. 2008. Filsafat dan Pendidikan. Bandung: Rosda Karya.

Bronowsky, J. 1987. The Ascent of Man. Boston : Little Brown & Co.

Page 21: Buku Filsafat Ilmu BAB I DOUBLE RELATIONSHIP (Aceng Rahmat)_1

Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia , Edisi Ketiga.

Jakarta : Balai Pustaka.

Hidayat, A.A. 2006. Filsafat Bahasa, Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna dan Tanda.

Bandung : Rosda Karya.

Kattsoff, O. L. 2004. Pengantar Filsafat. (Alih Bahasa Soejono Soemargono).

Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Merriam-Webster Dictionary (2009) CD-ROM Version.

Muhadjir, Noeng. 2007. Metodologi Keilmuan Paradigma Kualitatif, Kuantitatif, dan

Mixed. Jogyakarta: Rake Sarasin.

Palmquist, S. 2000. The Tree of Philosophy: A course of introductory lectures for

beginning students of philosophy (Enlarged fourth edition, with Glossary and eight new

lectures). Hong Kong: Philosophy Press, Hong Kong .

Ritchey, T. 1996. Analysis and Synthesis. On Scientific Method – Based on a Study by

Bernhard Rieman. (Downloaded from the Swedish Morphological Society:

www.swedmorph.com)

Russel, B. 1997. The Problems of Philosophy. New York: Oxford University Press.

Semiawan, C. 2007. Catatan Kecil tentang Penelitian dan Pengembangan Ilmu

Pengetahuan. Jakarta : Kencana Prenada Media Group

Sumaryono, E. (1993). Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta : Kanisius.

Suriasumantri, S, Jujun. 2007. Filsafat Ilmu. Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka

Sinar Harapan.

Suriasumantri, S , Jujun. 2009. Ilmu Dalam Perspektif. (Sebuah kumpulan karangan

tentang hakekat ilmu). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Susilo. 2009. Prinsip dan Teori Dasar Penelitian Pendidikan. Jakarta: Poliya Widya

Pustaka

The Liang Gie. 2007. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty

Sudah disunting Juli 2011, SABARTI