Buku Asas-Asas Hukum Pidana Prof.moeliatno
-
Upload
ato-santos -
Category
Documents
-
view
279 -
download
9
Embed Size (px)
description
Transcript of Buku Asas-Asas Hukum Pidana Prof.moeliatno

1
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
………………………………………………………………….
…………V
Pendahuluan
………………………………………………………………….
…………1
BAB I RUANG LINGKUP BERLAKUNYA HUKUM PIDANA……
…………4
BAB II TINDAK PIDANA ………..14
BAB III HUBUNGAN SEBAB AKIBAT (CAUSALITEIT, CAUSALITAT)………………………………………………...
………..25
BAB IV SIFAT MELAWAN HUKUM (RECHTSWDRIG, UNRECHT, WEDERRECHTELIJK, ONRECHMATIG)…..
………..33
BAB V KESALAHAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA………………………………………………………...
………..41
BAB VI KESENGAJAAN (DOLUS, INTENT, OPZET, VORATZ)…
………..49
BAB VII KEALPAAN (CULPA)…………………………………………
………..61
BAB VIII
KESALAHAN DALAM DELIK PELANGGARAN…………..
………..67
BAB IX PIDANA DAN PEMIDANAAN (HUKUM PENITENSIER)…
………..69
BAB X PERCOBAAN (POGING, ATTEMPT)………………………
………..79
BAB XI PENYERTAAN……………………… ……

2
………………………... …..94BAB XII GABUNGAN TINDAK PIDANA
(SAMENLOOP/ CONCURSUS)………………………………………………..
………111
BAB XIII
ALASAN/DASAR PENGHAPUS PIDANA (STRAFUITSLUITINGSGROND, GROUNDS OF IMPUNITY)…………………………………………………….
………118
BAB XIV
GUGURNYA KEWENANGAN MENUNTUT DAN MENJALANKAN PIDANA………………………………………..
………128
BAB XV
R E S I D I V E ( PENGULANGAN TINDAK PIDANA)……….
………140
SOAL UJIAN
………………………………………………………………………
………142

3
BAB I
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
Apakah hukum pidana itu ? pertanyaan ini sesungguhnya sangat sulit untuk dijawab, mengingat hukum pidana itu mempunyai banyak segi, yang masing-masing mempunyai arti sendiri-sendiri. Penerapan hukum pidana berkaitan dengan ruang lingkup hukum pidana itu sendiri dapat bersifat luas dan dapat pula bersifat sempit. Dalam tindak pidana dapat melihat seberapa jauh seseorang telah merugikan masyarakat dan pidana apa yang perlu dijatuhkan kepada orang tersebut karena telah melanggar hukum. Selain itu, tujuan hukum pidana tidak hanya tercapai dengan pengenaan pidana, tetapi merupakan upaya represif yang kuat berupa tindakan-tindakan pengamanan.
Perlunya pemahaman terhadap teori-teori serta Asas-Asas Hukum Pidana tersebut bagi peserta diklat, maka Pusat Pendidikan Dan Pelatihan Kejaksaan R.I menyusun modul mengenai asas-asas hukum pidana dengan tujuan agar peserta Pendidikan dan Pelatihan

4
pendahuluan mengerti dan memahami teori-teori maupun asas-asas hukum pidana yang perlu diperhaitkan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai jaksa nantinya.
II. DESKRIPSI SINGKAT
Modul asas-asas hukum pidana memberikan pemahaman bagi peserta pendidikan dan pelatihan tentang ruang lingkup berlakunya, tindak pidana, adanya hubungan sebab akibat (causaliteit, causalitat), sifat melawan hukum, kesalahan dan pertanggungjawaban pidana, kesengajaan, kealpaan, delik pelanggaran, pemidanaan, percobaan, penyertaan, penggabungan tindak pidana, dasar penghapus pidana, gugurnya wewenang menuntut dan menjalankan pidana.
III. TUJUAN PEMBELAJARANA. Tujuan Intruksional Umum
Setelah mempelajari modul ini peserta diharapkan mengetahui tentang teori, asas, delik tindak pidana dan dapat menerapkannya dalam melaksanakan tugas sebagai penyidik dan penuntut umum dalam penanganan perkara pidana.

5
B. Tujuan Instruksional KhususSetelah mempelajari modul ini peserta diklat
diharapkan mengetahui tentang ruang lingkup berlakunya, tindak pidana, adanya hubungan sebab akibat (causaliteit, causalitat), sifat melawan hukum, kesalahan dan pertanggungjawaban pidana, kesengajaan, kealpaan, delik pelanggaran, pemidanaan, percobaan, penyertaan, penggabungan tindak pidana, dasar penghapus pidana, gugurnya wewenang menuntut dan menjalankan pidana.
IV. POKOK BAHASAN
a. Ruang lingkup berlakunya Hukum Pidana.
b. Tindak Pidana.
c. Hubungan sebab akibat (causaliteit, causalitat).
d. Sifat melawan hukum (rechtswdrig, unrecht, wederrechtelijk, onrechmatig).
e. Kesalahan dan pertanggungjawaban pidana.
f. Kesengajaan (dolus, intent, opzet, vorsatz).
g. Kealpaan (culpa).
h. Kesalahan dalam delik pelanggaran.
i. Pidana dan pemidanaan (hukum penitensier).
j. Percobaan (poging, attempt).
k. Penyertaan.
l. Penggabungan tindak pidana (samenloop / concursus).

6
m. Alasan / dasar penghapus pidana (straffuitsluitingsgrond, grounds of impiunity.)
n. Gugurnya kewenangan menuntut dan menjalankan pidana.
V. FASILITAS / MEDIA
Fasilitas dan media yang digunakan dalam proses pembelajaran Pengantar asas-asas hukum pidana antara lain :
a) Modul asas-asas hukum pidana;b) Internet;c) Peraturan perundang-undangan;d) Literatur yang terkait.

7
BAB II
RUANG LINGKUP BERLAKUNYA
HUKUM PIDANA
A. RUANG BERLAKUNYA HUKUM PIDANA
MENURUT WAKTU
Penerapan hukum pidana atau suatu perundang-
undangan pidana berkaitan dengan waktu dan
tempat perbuatan dilakukan. Serta berlakunya
hukum pidana menurut waktu menyangkut
penerapan hukum pidana dari segi lain. Dalam hal
seseorang melakukan perbuatan (feit) pidana
sedangkan perbuatan tersebut belum diatur atau
belum diberlakukan ketentuan yang bersangkutan,
maka hal itu tidak dapat dituntut dan sama sekali
tidak dapat dipidana.
von Feuerbach dalam teori : “vom psychologishen
zwang (paksaan psikologis)” dimana adagium :

8
nullum delictum nulla poena sine praevia lege
poenali yang mengandung tiga prinsip dasar :
Nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa undang-
undang) Asas Legalitas (nullum delictum nula
poena sine praevia lege poenali) Terdapat dalam
Pasal 1 ayat (1) KUHP. Tidak dapat dipidana
seseorang kecuali atas perbuatan yang
dirumuskan dalam suatu aturan perundang-
undangan yang telah ada terlebih dahulu.
Dalam perkembangannya amandemen ke-2 UUD
1945 dalam Pasal 28 ayat (1) berbunyi dan berhak
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku
surut tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun
dan Pasal 28 J ayat (2) Undang-undang Dasar
1945 yang berbunyi : “Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-
undang dengan maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas
hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan

9
dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis”. Karenanya asas ini dapat pula
dinyatakan sebagai asas konstitusional.
- Dalam catatan sejarah asas ini dirumuskan
oleh Anselm
- Nulla Poena sine crimine (tiada pidana tanpa
perbuatan pidana)
- Nullum crimen sine poena legali (tiada
perbuatan pidana tanpa undang-undang
pidana yang terlebih dulu ada)
Adagium ini menganjurkan supaya :
1) Dalam menentukan perbuatan-
perbuatan yang dilarang di dalam
peraturan bukan saja tentang
macamnya perbuatan yang
harusdirumuskan dengan jelas, tetapi
juga macamnya pidana yang
diancamkan;
2) Dengan cara demikian maka orang
yang akan melakukan perbuatanyang

10
dilarang itu telah mengetahui terlebih
dahulu pidana apa yangakan dijatuhkan
kepadanya jika nanti betul-betul
melakukan perbuatan;
3) Dengan demikian dalam batin orang itu
akan mendapat tekanan untuk tidak
berbuat. Andaikata dia ternyata
melakukan juga perbuatan yang
dilarang, maka dinpandang dia
menyetujui pidana yang akan
dijatuhkan kepadanya.
Prof. Moeljatno menjelaskan inti pengertian yang
dimaksud dalam asas legalitas yaitu :
1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana kalau hal itu
terlebih dahulu belum dinyatakan dalam
suatu aturan undang-undang. Hal ini
dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1)
KUHP.
2) Untuk menentukan adanya perbuatan
pidana tidak boleh digunakan analogi,

11
akan tetapi diperbolehkan penggunaan
penafsiran ekstensif.
3) Aturan-aturan hukum pidana tidak
berlaku surut.
Schaffmeister dan Heijder merinci asas ini dalam
pokok-pokok pikiran sebagai berikut :
a) Tidak dapat dipidana kecuali ada
ketentuan pidana berdasar peraturan
perundang-undangan (formil).
b) Tidak diperkenankan Analogi
(pengenaan suatu undang-undang
terhadap perbuatan yang tidak diatur
oleh undang-undang tersebut).
c) Tidak dapat dipidana hanya
berdasarkan kebiasaan (Hukum tidak
tertulis).
d) Tidak boleh ada perumusan delik yang
kurang jelas (lex Certa).
e) Tidak boleh Retroaktif (berlaku surut)
f) Tidak boleh ada ketentuan pidana
diluar Undang-undang.

12
g) Penuntutan hanya dilakukan
berdasarkan atau dengan cara yang
ditentukan undang-undang.
B. RUANG BERLAKUNYA HUKUM PIDANA
MENURUT TEMPAT (LEX LOCI)
Teori tetang ruang lingkup berlakunya hukum
pidana nasional menurut tempat terjadinya.
Perbuatan (yurisdiksi hukum pidana nasional),
apabila ditinjau dari sudut Negara ada 2 (dua)
pendapat yaitu :
a. Perundang-undangan hukum pidana
berlaku bagi semua perbuatan pidana yang
terjadi diwilayah Negara, baik dilakuakan
oleh warga negaranya sendiri maupun oleh
orang lain (asas territorial).
b. Perundang-undangan hukum pidana
berlaku bagi semua perbuatan pidana yang
dilakukan oleh warga Negara, dimana saja,
juga apabila perbuatan pidana itu dilakukan

13
diluar wilayah Negara. Pandangan ini
disebut menganut asas personal atau
prinsip nasional aktif.
Pada bagian ini, akan melihat kepada berlakunya
hukum pidana menurut ruang tempat dan
berkaitan pula dengan orang atau subyek. Dalam
hal ini asas-asas hukum pidana menurut tempat :
I. Asas Teritorial.
II. Asas Personal (nasional aktif).
III. Asas Perlindungan (nasional pasif)
IV. Asas Universal.
Ad. I. Asas Teritorial
Asas ini diatur juga dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu dalam
pasal 2 KUHP yang menyatakan :
“Ketentuan pidana dalam perundang-
undangan Indonesia diterapkan bagi setiap

14
orang yang melakukan suatu tindak pidana
di Indonesia”.
Pasal ini dengan tegas menyatakan asas
territorial, dan ketentuan ini sudah
sewajarnya berlaku bagi Negara yang
berdaulat. Asas territorial lebih menitik
beratkan pada terjadinya perbuatan
pidana di dalam wilayah Negara tidak
mempermasalahkan siapa pelakunya,
warga Negara atau orang asing. Sedang
dalam asas kedua (asas personal atau
asas nasional yang aktif) menitik
beratkan pada orang yang melakukan
perbuatan pidana, tidak
mempermasalahkan tempat terjadinya
perbuatan pidana. Asas territorial yang
pada saat ini banyak diikuti oleh Negara-
negara di dunia termasuk Indonesia. Hal
ini adalah wajar karena tiap-tiap orang
yang berada dalam wilayah suatu Negara
harus tunduk dan patuh kepada

15
peraturan-peraturan hukum Negara
dimana yang bersangkutan berada.
Perluasan dari Asas Teritorialitas diatur
dalam pasal 3 KUHP yang menyatakan :
“Ketentuan pidana perundang-undangan
Indonesia berlaku bagi setiap orang yang
di luar wilayah Indonesia melakukan
tindak pidana didalan kendaraan air atau
pesawat udara Indonesia”.
Ketentuan ini memperluas berlakunya
pasal 2 KUHP, tetapi tidak berarti bahwa
perahu (kendaraan air) dan pesawat
terbang lalu dianggap bagian wilayah
Indonesia. Tujuan dari pasal ini adalah
supaya perbuatan pidana yang terjadi di
dalam kapal atau pesawat terbang yang
berada di perairan bebas atau berada di
wilayah udara bebas, tidak termasuk
wilayah territorial suatu Negara, sehingga
ada yang mengadili apabila terjadi suatu
perbuatan pidana.

16
Setiap orang yang melakukan perbuatan
pidana diatas alat pelayaran Indonesia
diluar wilayah Indonesia. Alat pelayaran
pengertian lebih luas dari kapal. Kapal
merupakan bentuk khusus dari alat
pelayaran. Di luar Indonesia atau di laut
bebas dan laut wilayah Negara lain.
Asas-asas Extra Teritorial / kekebalan
dan hak-hak Istimewa (Immunity and
Previlege).
Kepala Negara asing dan anggota
keluarganya.
Pejabat-pejabat perwakilan asing
dan keluarganya.
Pejabat-pejabat pemerintahan
Negara asing yang berstatus
diplomatik yang dalam perjalanan
melalui Negara-negara lain atau
menuju Negara lain.
Suatu angkatan bersenjata yang
terpimpin.

17
Pejabat-pejabat badan
Internasional.
Kapal-kapal perang dan pesawat
udara militer / ABK diatas kapal
maupun di luar kapal.
Ad. II. Asas Personal
Asas Personal atau Asas Nasional yang
aktif tidak mungkin digunakan sepenuhnya
terhadap warga Negara yang sedang
berada dalam wilayah Negara lain yang
kedudukannya sama-sama berdaulat.
Apabila ada warga Negara asing yang
berada dalam suatu wilayah Negara telah
melakukan tindak pidana dan tindak
pidana dan tidak diadili menurut hukum
Negara tersebut maka berarti
bertentangan dengan kedaulatan Negara
tersebut. Pasal 5 KUHP hukum Pidana
Indonesia berlaku bagi warga Negara
Indonesa di luar Indonesia yang
melakukan perbuatan pidana tertentu

18
Kejahatan terhadap keamanan Negara,
martabat kepala Negara, penghasutan, dll.
Pasal 5 KUHP menyatakan :
“(1). Ketetentuan pidana dalam
perundang-undangan Indonesia
diterapkan bagi warga Negara
yang di luar Indonesia melakukan :
salah satu kejahatan yang
tersebut dalam Bab I dan Bab II
Buku Kedua dan Pasal-Pasal 160,
161, 240, 279, 450 dan 451. Salah
satu perbuatan yang oleh suatu
ketentuan pidana dalam
perundang-undangan Indonesia
dipandang sebagai kejahatan,
sedangkan menurut perundang-
undangan Negara dimana
perbuatan itu dilakukan diancam
dengan pidana.
(2). Penuntutan perkara sebagaimana
dimaksud dalam butir 2 dapat

19
dilakukan juga jika terdakwa
menjadi warga Negara sesudah
melakukan perbuatan”.
Sekalipun rumusan pasal 5 ini memuat
perkataan “diterapkan bagi warga Negara
Indonesia yang diluar wilayah Indonesia”’,
sehingga seolah-olah mengandung asas
personal, akan tetapi sesungguhnya pasal
5 KUHP memuat asas melindungi
kepentingan nasional (asas nasional pasif)
karena :
Ketentuan pidana yang diberlakukan bagi
warga Negara diluar wilayah territorial
wilyah Indonesia tersebut hanya pasal-
pasal tertentu saja, yang dianggap penting
sebagai perlindungan terhadap
kepentingan nasional. Sedangkan untuk
asas personal, harus diberlakukan seluruh
perundang-undangan hukum pidana bagi
warga Negara yang melakukan kejahatan
di luar territorial wilayah Negara.

20
Ketentuan pasal 5 ayat (2) adalah untuk
mencegah agar supaya warga Negara
asing yang berbuat kejahatan di Negara
asing tersebut, dengan jalan menjadi
warga Negara Indonesia (naturalisasi).
Bagi Jaksa maupun hakim Tindak
Pidana yang dilakukan di negara asing
tersebut, apakah menurut undang-undang
disana merupakan kejahatan atau
pelanggaran, tidak menjadi permasalahan,
karena mungkin pembagian tindak
pidananya berbeda dengan di Indonesia,
yang penting adalah bahwa tindak pidana
tersebut di Negara asing tempat perbuatan
dilakukan diancam dengan pidana,
sedangkan menurut KUHP Indonesia
merupakan kejahatan, bukan pelanggaran.
Ketentuan pasal 6 KUHP :
“ Berlakunya pasal 5 ayat (1) butir 2
dibatasi sedemikian rupa sehingga tidak
dijatuhkan pidana mati, jika menurut

21
perundang-undangan Negara dimana
perbuatan dilakukan terhadapnya tidak
diancamkan pidana mati”.
Latar belakang ketentuan pasal 6 ayat
(1) butir 2 KUHP adalah untuk
melindungi kepentingan nasional timbal
balik (mutual legal assistance). Oleh
karena itu menurut Moeljatno, sudah
sewajarnya pula diadakan imbangan
pulu terhadap maksimum pidana yang
mungkin dijatuhkan menurut KUHP
Negara asing tadi.
Ad. III. Asas Perlindungan
Sekalipun asas personal tidak lagi
digunakan sepenuhnya tetapi ada asas
lain yang memungkinkan diberlakukannya
hukum pidana nasional terhadap
perbuatan pidana yang terjadi di luar
wilayah Negara

22
Pasal 4 KUHP (seteleh diubah dan
ditambah berdasarkan Undang-undang
No. 4 Tahun 1976)
“Ketentuan pidana dalam perundang-
undangan Indonesia diterapkan bagi
setiap orang yang melakukan di luar
Indonesia :
1. Salah satu kejahatan berdasarkan
pasal-pasal 104, 106, 107,
108 dan 131;
2. Suatu kejahatan mengenai mata
uang atau uang kertas yang
dikeluarkan oleh Negara atau bank,
ataupun mengenai materai yang
dikeluarkan dan merek yang
digunakan oleh Pemerintah
Indonesia;
3. Pemalsuan surat hutang atau
sertifikat hutang atas tanggungan
suatu daerah atau bagian daerah
Indonesia, termasuk pula pemalsuan

23
talon, tanda deviden atau tanda
bunga yang mengikuti surat atau
sertifikat itu, dan tanda yang
dikeluarkan sebagai pengganti surat
tersebut atau menggunakan surat-
surat tersebut di atas, yang palsu
atau dipalsukan, seolah-olah asli dan
tidak palsu;
4. Salah satu kejahatan yang disebut
dalam Pasal-pasal 438, 444 sampai
dengan 446 tentang pembajakan laut
dan pasal 447 tentang penyerahan
kendaraan air kepada kekuasaan
bajak laut dan pasal 479 huruf j
tentang penguasaan pesawat udara
secara melawan hukum, pasal 479 l,
m, n dan o tentang kejahatan yang
mengancam keselamatan
penerbangan sipil.
Dalam pasal 4 KUHP ini terkandung asas
melindungi kepentingan yaitu melindungi
kepentingan nasional dan melindungi

24
kepentingan internasional (universal).
Pasal ini menentukan berlakunya hukum
pidana nasional bagi setiap orang (baik
warga Negara Indonesia maupun warga
negara asing) yang di luar Indonesia
melakukan kejahatan yang disebutkan
dalam pasal tersebut.
Dikatakan melindungi kepentingan
nasional karena pasal 4 KUHP ini
memberlakukan perundang-undangan
pidana Indonesia bagi setiap orang yang di
luar wilayah Negara Indonesia melakukan
perbuatan-perbuatan yang merugikan
kepentingan nasional, yaitu :
1) Kejahatan terhadap keamanan
Negara dan kejahatan terhadap
martabat / kehormatan Presiden
Republik Indonesia dan Wakil
Presiden Republik Indonesia (pasal 4
ke-1)
2) Kejahatan mengenai pemalsuan
mata uang atau uang kertas

25
Indonesia atau segel / materai dan
merek yang digunakan oleh
pemerintah Indonesia (pasal 4 ke-2)
3) Kejahatan mengenai pemalsuan
surat-surat hutang atau sertifkat-
sertifikat hutang yang dikeluarkan
oleh Negara Indonesia atau bagian-
bagiannya (pasal 4 ke-3)
4) Kejahatan mengenai pembajakan
kapal laut Indonesia dan pembajakan
pesawat udara Indonesia (pasal 4 ke-
4)
Ad. IV. Asas Universal
Berlakunya pasal 2-5 dan 8 KUHP dibatasi
oleh pengecualian-pengecualian dalam
hukum internasional. Bahwa asas
melindungi kepentingan internasional (asas
universal) adalah dilandasi pemikiran bahwa
setiap Negara di dunia wajib turut
melaksanakan tata hukum sedunia (hukum
internasional).

26
Dikatakan melindungi kepentingan
internasional (kepentingan universal) karena
rumusan pasal 4 ke-2 KUHP (mengenai
kejahatan pemalsuan mata uang atau uang
kertas) dan pasal 4 ke-4 KUHP (mengenai
pembajakan kapal laut dan pembajakan
pesawat udara) tidak menyebutkan mata
uang atau uang kertas Negara mana yang
dipalsukan atau kapal laut dan pesawat
terbang negara mana yan dibajak.
Pemalsuan mata uang atau uang kertas
yang dimaksud dalam pasal 4 ke-2 KUHP
menyangkut mata uang atau uang kertas
Negara Indonesia, akan tetapi juga mungkin
menyangkut mata uang atau uang kertas
Negara asing. Pembajakan kapal laut atau
pesawat terbang yang dimaksud dalam
pasal 4 ke-4 KUHP dapat menyangkut kapal
laut Indonesia atau pesawat terbang
Indonesia, dan mungkin juga menyangkut
kapal laut atau pesawat terbang Negara
asing.

27
Jika pemalsuan mata uang atau uang
kertas, pembajakan kapal, laut atau
pesawat terbang adalah mengenai
kepemilikan Indonesia, maka asas yang
berlaku diterapkan adalah asas melindungi
kepentingan nasional (asas nasional pasif).
Jika pemalsuan mata uang atau uang
kertas, pembajakan kapal laut atau pesawat
terbang adalah mengenai kepemilikan
Negara asing, maka asas yang berlaku
adalah asas melindungi kepentingan
internasional (asas universal).
Pasal 7 KUHP
“Ketentuan pidana dalam perundang-
undangan Indonesia berlaku bagi setiap
pejabat yang di luar Indonsia melakukan
salah satu tindak pidana sebagaimana
dimaksudkan dalam Bab XXVIII Buku
Kedua”.

28
Pasal ini mengenai kejahatan jabatan yang
sebagian besar sudah diserap menjadi tindak
pidana korupsi. Akan tetapi pasal-pasal
tersebut (pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416,
417, 418, 419, 420, 423, 425, 435) telah
dirubah oleh Undang-undang No. 20 Tahun
2001 tentang perubahan atas UU No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dengan rumusan tersendiri
sekalipun masih menyebut unsur-unsur yang
terdapat dalam masing-masing pasal KUHP
yang diacu. Dalam hal demikian apakah pasal
7 KUHP masih dapat diterapkan ? untuk
masalah tersebut harap diperhatikan pasal 16
UU No. 31 Tahun 1999 tentang
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
berbunyi : “setiap orang di luar wilayah Negara
republik Indonesia yang memberikan bantuan,
kesempatan, sarana atau keterangan untuk
terjadinya tindak pidana korupsi dipidana
dengan pidana yang sama sebagai pelaku
tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud

29
dalam pasal 2, pasal 3, pasal 5 sampai
dengan pasal 14”
Pasal 8 KUHP
“Ketentuan pidana dalam perundang-
undangan Indonesia berlaku nahkoda dan
penumpang perahu Indonesia, yang di luar
Indonesia, sekalipun di luar perahu,
melakukan salah satu tindak pidana
sebagaimana dimaksudkan dalam Bab
XXIX Buku Kedua dan Bab IX buku
ketiga, begitu pula yang tersebut dalam
peraturan mengenai surat laut dan pas
kapal di Indonesia, maupun dalam
ordonansi perkapalan”.
Dengan telah diundangkannya tindak
pidana tentang kejahatan penerbangan
dan kejahatan terhadap sarana /
prasarana penerbangan berdasarkan UU
No. 4 Tahun 1976 yang dimasukkan dalam
KUHP pada Buku Kedua Bab XXIX A.
pertimbangan lain untuk memasukkan Bab

30
XXIX A Buku Kedua ke dalam pasal 8
KUHP adalah juga menjadi kenyataan
bahwa kejahatan penerbangan sudah
digunakan sebagai bagian dari kegiatan
terorisme yang dilakukan oleh kelompok
terorganisir pasal 9 KUHP.
Diterapkannya pasal-pasal 2-5-7 dan 8
dibatasi oleh pengecualian-pengecualian
yang diakui dalam hukum-hukum
internasional.
Menurut Moeljatno, pada umumnya
pengecualian yang diakui meliputi :
1) Kepala Negara beserta keluarga dari
Negara sahabat, dimana mereka
mempunyai hak eksteritorial. Hukum
nasional suatu Negara tidak berlaku
bagi mereka
2) Duta besar Negara asing beserta
keluarganya meeka juga mempunyai
hak eksteritorial.

31
3) Anak buah kapal perang asing yang
berkunjung di suatu Negara,
sekalipun ada di luar kapal. Menurut
hukum internasional kapal peran
adalah teritoir Negara yang
mempunyainya
4) Tentara Negara asing yang ada di
dalam wilayah Negara dengan
persetujuan Negara itu.

32
BAB III
TINDAK PIDANA
a. PENGERTIAN TINDAK PIDANA
Hingga saat ini belum ada kesepakatan para
sarjana tentang pengertian Tindak pidana
(strafbaar feit). Menurut Prof. Moeljatno S.H.,
Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang
oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu,
bagi barang siapa yang melanggar aturan
tersebut.
Terdapat 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan :
Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh
suatu aturan hukum dilarang dan diancam
pidana.
Larangan ditujukan kepada perbuatan
(yaitu suatu keadaan atau kejadian yang
ditimbulkan oleh kelakuan orang),
sedangkan ancaman pidana ditujukan

33
kepada orang yang menimbulkan kejadian
itu.
Antara larangan dan ancaman pidana ada
hubungan yang erat, oleh karena antara
kejadian dan orang yang menimbulkan
kejadian itu ada hubungan erat pula. “
Kejadian tidak dapat dilarang jika yang
menimbulkan bukan orang, dan orang tidak
dapat diancam pidana jika tidak karena
kejadian yang ditimbulkan olehnya”.
Selanjutnya Moeljatno membedakan dengan tegas
dapat dipidananya perbuatan (die strafbaarheid
van het feit) dan dapat dipidananya orang
(strafbaarheid van den person). Sejalan dengan itu
memisahkan pengertian perbuatan pidana
(criminal act) dan pertanggungjawaban pidana
(criminal responsibility). Pandangan ini disebut
pandangan dualistis yang sering dihadapkan
dengan pandangan monistis yang tidak
membedakan keduanya.
b. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA

34
Dalam suatu peraturan perundang-undangan
pidana selalu mengatur tentang tindak pidana.
Sedangkan menurut Moeljatno “Tindak pidana
adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi)
yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa
yang melanggar larangan tersebut”. Untuk
mengetahui adanya tindak pidana, maka pada
umumnya dirumuskan dalam peraturan
perundang-undangan pidana tentang perbuatan-
perbuatan yang dilarang dan disertai dengan
sanksi. Dalam rumusan tersebut ditentukan
beberapa unsur atau syarat yang menjadi ciri atau
sifat khas dari larangan tadi sehingga dengan jelas
dapat dibedakan dari perbuatan lain yang tidak
dilarang. Perbuatan pidana menunjuk kepada sifat
perbuatannya saja, yaitu dapat dilarang dengan
ancaman pidana kalau dilanggar.
Menurut Simons, unsur-unsur tindak pidana
(strafbaar feit) adalah :
Perbuatan manusia (positif atau negative,
berbuat atau tidak berbuat atau
membiarkan).

35
Diancam dengan pidana (statbaar gesteld)
Melawan hukum (onrechtmatig)
Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in
verband staand)
Oleh orang yang mampu bertanggung
jawab (toerekeningsvatoaar person).
Simons juga menyebutkan adanya unsur obyektif
dan unsur subyektif dari tindak pidana (strafbaar
feit).
Unsur Obyektif :
Perbuatan orang
Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu.
Mungkin ada keadaan tertentu yang
menyertai perbuatan itu seperti dalam pasal
281 KUHP sifat “openbaar” atau “dimuka
umum”.
Unsur Subyektif :
Orang yang mampu bertanggung jawab

36
Adanya kesalahan (dollus atau culpa).
Perbuatan harus dilakukan dengan
kesalahan.
Kesalahan ini dapat berhubungan dengan
akibat dari perbuatan atau dengan keadaan
mana perbuatan itu dilakukan.
Sementara menurut Moeljatno unsur-unsur
perbuatan pidana :
Perbuatan (manusia)
Yang memenuhi rumusan dalam undang-
undang (syarat formil)
Bersifat melawan hukum (syarat materiil)
Unsur-unsur tindak pidana menurut Moeljatno
terdiri dari :
1) Kelakuan dan akibat
2) Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang
menyertai perbuatan, yang dibagi menjadi :
a. Unsur subyektif atau pribadi
Yaitu mengenai diri orang yang
melakukan perbuatan, misalnya unsur
pegawai negeri yang diperlukan dalam

37
delik jabatan seperti dalam perkara
tindak pidana korupsi. Pasal 418 KUHP
jo. Pasal 1 ayat (1) sub c UU No. 3
Tahun 1971 atau pasal 11 UU No. 31
Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001
tentang pegawai negeri yang menerima
hadiah. Kalau yang menerima hadiah
bukan pegawai negeri maka tidak
mungkin diterapka pasal tersebut
b. Unsur obyektif atau non pribadi
Yaitu mengenai keadaan di luar si
pembuat, misalnya pasal 160 KUHP
tentang penghasutan di muka umum
(supaya melakukan perbuatan pidana
atau melakukan kekerasan terhadap
penguasa umum). Apabila penghasutan
tidak dilakukan di muka umum maka
tidak mungkin diterapkan pasal ini
Unsur keadaan ini dapat berupa keadaan yang
menentukan, memperingan atau memperberat
pidana yang dijatuhkan.

38
(1) Unsur keadaan yang menentukan
misalnya dalam pasal 164, 165, 531 KUHP
Pasal 164 KUHP : barang siapa
mengetahui permufakatan jahat untuk
melakukan kejahatan tersebut pasal 104,
106, 107, 108, 113, 115, 124, 187 dan 187
bis, dan pada saat kejahatan masih bisa
dicegah dengan sengaja tidak
memberitahukannya kepada pejabat
kehakiman atau kepolisian atau kepada
yang terancam, diancam, apabila
kejahatan jadi dilakukan, dengan pidana
penjara paling lama satu tahun empat
bulan atau denda paling banyak tiga ratus
rupiah.
Kewajiban untuk melapor kepada yang
berwenang, apabila mengetahui akan
terjadinya suatu kejahatan. Orang yang
tidak melapor baru dapat dikatakan
melakukan perbuatan pidana, jika
kejahatan tadi kemudian betul-betul terjadi.
Tentang hal kemudian terjadi kejahatan itu
adalah merupakan unsur tambahan.

39
Pasal 531 KUHP : barang siapa ketika
menyaksikan bahwa ada orang yang
sedang menghadapi maut, tidak memberi
pertolongan yang dapat diberikan
kepadanya tanpa selayaknya
menimbulkan bahaya bagi dirinya atau
orang lain, diancam, jika kemudian orang
itu meninggal, dengan pidana kurungan
paling lama tiga bulan atau denda paling
banyak tiga ratus rupiah.
Keharusan memberi pertolongan pada
orang yang sedang menghadapi bahaya
maut jika tidak memberi pertolongan,
orang tadi baru melakukan perbuatan
pidana, kalau orang yang dalam keadaan
bahaya tadi kemudian lalu meninggal
dunia. Syarat tambahan tersebut tidak
dipandang sebagai unsur delik (perbuatan
pidana) tetapi sebagai syarat penuntutan.
(2) Keadaan tambahan yang memberatkan
pidana
Misalnya penganiayaan biasa pasal 351
ayat (1) KUHP diancam dengan pidana

40
penjara paling lama 2 tahun 8 bulan.
Apabila penganiayaan tersebut
menimbulkan luka berat; ancaman pidana
diperberat menjadi 5 tahun (pasal 351 ayat
2 KUHP), dan jika mengakibatkan mati
ancaman pidana menjad 7 tahun (pasal
351 ayat 3 KUHP). Luka berat dan mati
adalah merupakan keadaan tambahan
yang memberatkan pidana
(3) Unsur melawan hukum
Dalam perumusan delik unsur ini tidak
selalu dinyatakan sebagai unsur tertulis.
Adakalanya unsur ini tidak dirumuskan
secara tertulis rumusan pasal, sebab sifat
melawan hukum atau sifat pantang
dilakukan perbuatan sudah jelas dari istilah
atau rumusan kata yang disebut. Misalnya
pasal 285 KUHP : “dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa seorang
wanita bersetubuh di luar perkawinan”.
Tanpa ditambahkan kata melawan hukum
setiap orang mengerti bahwa memaksa
dengan kekerasan atau ancaman

41
kekerasan adalah pantang dilakukan atau
sudah mengandung sifat melawan hukum.
Apabila dicantumkan maka jaksa harus
mencantumkan dalam dakwaannya dan
oleh karenanya harus dibuktikan. Apabila
tidak dicantumkan maka apabila perbuatan
yang didakwakan dapat dibuktikan maka
secara diam-diam unsure itu dianggap
ada.
Unsur melawan hukum yang dinyatakan
sebagai unsur tertulis misalnya pasal 362
KUHP dirumuskan sebagai pencurian yaitu
pengambilan barang orang lain dengan
maksud untuk memilikinya secara
melawan hukum.
Pentingnya pemahaman terhadap
pengertian unsur-unsur tindak pidana.
Sekalipun permasalahan tentang
“pengertian” unsur-unsur tindak pidana
bersifat teoritis, tetapi dalam praktek hal ini
sangat penting dan menentukan bagi
keberhasilan pembuktian perkara pidana.

42
Pengertian unsur-unsur tindak pidana
dapat diketahui dari doktrin (pendapat ahli)
ataupun dari yurisprudensi yan
memberikan penafsiran terhadap rumusan
undang-undang yang semula tidak jelas
atau terjadi perubahan makna karena
perkembangan jaman, akan diberikan
pengertian dan penjelasan sehingga
memudahkan aparat penegak hukum
menerapkan peraturan hukum.
Bagi Jaksa pentingnya memahami pengertian
unsur-unsur tindak pidana adalah :
1) Untuk menyusun surat dakwaan, agar
dengan jelas;
2) Dapat menguraikan perbuatan terdakwa
yang menggambarkan uraian unsur tindak
pidana yang didakwakan sesuai dengan
pengertian / penafsiran yang dianut oleh
doktrin maupun yurisprudensi;
3) Mengarahkan pertanyaan-pertanyaan
kepada saksi atau ahli atau terdakwa

43
untuk menjawab sesuai fakta-fakta yang
memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang
didakwakan;
4) Menentukan nilai suatu alat bukti untuk
membuktikan unsur tindak pidana. Biasa
terjadi bahwa suatu alat bukti hanya
berguna untuk menentukan pembuktian
satu unsur tindak pidana, tidak seluruh
unsur tindak pidana;
5) Mengarahkan jalannya penyidikan atau
pemeriksaan di sidang pengadilan berjalan
secara obyektif. Dalil-dalil yang digunakan
dalam pembuktian akan dapat
dipertanggungjawabkan secara obyektif
karena berlandaskan teori dan bersifat
ilmiah;
6) Menyusun requisitoir yaitu pada saat uraian
penerapan fakta perbuatan kepada unsur-
unsur tindak pidana yang didakwakan, atau
biasa diulas dalam analisa hukum, maka
pengertian-pengertian unsur tindak pidana
yang dianut dalam doktrin atau
yurisprudensi atau dengan cara penafsiran

44
hukum, harus diuraikan sejelas-jelasnya
karena ini menjadi dasar atau dalil untuk
berargumentasi.
c. JENIS-JENIS TINDAK PIDANA
Di bawah ini akan disebut berbagai pembagian
jenis delik.
1. Kejahatan dan Pelanggaran
Pembagian delik atas kejahatan dan
pelanggaran ini disebut oleh undang-undang.
KUHP buku ke II memuat delik-delik yang
disebut : pelanggaran criterium apakah yang
dipergunakan untuk membedakan kedua jenis
delik itu ? KUHP tidak memberi jawaban
tentang hal ini. Ia hanya membrisir atau
memasukkan dalam kelompok pertama
kejahatan dan dalam kelompok kedua
pelanggaran.
Tetapi ilmu pengetahuan mencari secara
intensif ukuran (kriterium) untuk membedakan
kedua jenis delik itu.
Ada dua pendapat :

45
a. Ada yang mengatakan bahwa antara kedua
jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat
kwalitatif. Dengan ukuran ini lalu didapati 2
jenis delik, ialah :
1. Rechtdelicten
Ialah yang perbuatan yang bertentangan
dengan keadilan, terlepas apakah
perbuatan itu diancam pidana dalam
suatu undang-undang atau tidak, jadi
yang benar-benar dirasakan oleh
masyarakat sebagai bertentangan
dengan keadilan misal : pembunuhan,
pencurian. Delik-delik semacam ini
disebut “kejahatan” (mala perse).
2. Wetsdelicten
Ialah perbuatan yang oleh umum baru
disadari sebagai tindak pidana karena
undang-undang menyebutnya sebagai
delik, jadi karena ada undang-undang
mengancamnya dengan pidana. Misal :
memarkir mobil di sebelah kanan jalan
(mala quia prohibita). Delik-delik
semacam ini disebut “pelanggaran”.

46
Perbedaan secara kwalitatif ini tidak
dapat diterima, sebab ada kejahatan
yang baru disadari sebagai delik karena
tercantum dalam undang-undang
pidana, jadi sebenarnya tidak segera
dirasakan sebagai bertentangan dengan
rasa keadilan. Dan sebaliknya ada
“pelanggaran”, yang benar-benar
dirasakan bertentangan dengan rasa
keadilan. Oleh karena perbedaan secara
demikian itu tidak memuaskan maka
dicari ukuran lain.
b. Ada yang mengatakan bahwa antara kedua
jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat
kwantitatif. Pendirian ini hanya meletakkan
kriterium pada perbedaan yang dilihat dari
segi kriminologi, ialah “pelanggaran” itu
lebih ringan dari pada “kejahatan”.
Mengenai pembagian delik dalam kejahatan
dan pelanggaran itu terdapat suara-suara
yang menentang. Seminar Hukum Nasional
1963 tersebut di atas juga berpendapat,

47
bahwa penggolongan-penggolongan dalam
dua macam delik itu harus ditiadakan.
Kejahatan ringan :
Dalam KUHP juga terdapat delik yang
digolongkan sebagai kejahatan-kejahatan
misalnya pasal 364, 373, 375, 379, 382, 384,
352, 302 (1), 315, 407.
2. Delik formil dan delik materiil (delik dengan
perumusan secara formil dan delik dengan
perumusan secara materiil)
a. Delik formil itu adalah delik yang
perumusannya dititikberatkan kepada
perbuatan yang dilarang. Delik tersebut
telah selesai dengan dilakukannya
perbuatan seperti tercantum dalam
rumusan delik. Misal : penghasutan (pasal
160 KUHP), di muka umum menyatakan
perasaan kebencian, permusuhan atau
penghinaan kepada salah satu atau lebih
golongan rakyat di Indonesia (pasal 156
KUHP); penyuapan (pasal 209, 210 KUHP);
sumpah palsu (pasal 242 KUHP);

48
pemalsuan surat (pasal 263 KUHP);
pencurian (pasal 362 KUHP).
b. Delik materiil adalah delik yang
perumusannya dititikberatkan kepada akibat
yang tidak dikehendaki (dilarang). Delik ini
baru selesai apabila akibat yang tidak
dikehendaki itu telah terjadi. Kalau belum
maka paling banyak hanya ada percobaan.
Misal : pembakaran (pasal 187 KUHP),
penipuan (pasal 378 KUHP), pembunuhan
(pasal 338 KUHP). Batas antara delik formil
dan materiil tidak tajam misalnya pasal 362.
3. Delik commisionis, delik ommisionis dan
delik commisionis per ommisionen
commissa
a. Delik commisionis : delik yang berupa
pelanggaran terhadap larangan, ialah
berbuat sesuatu yang dilarang, pencurian,
penggelapan, penipuan.
b. Delik ommisionis : delik yang berupa
pelanggaran terhadap perintah, ialah tidak
melakukan sesuatu yang diperintahkan /

49
yang diharuskan, misal : tidak menghadap
sebagai saksi di muka pengadilan (pasal
522 KUHP), tidak menolong orang yang
memerlukan pertolongan (pasal 531
KUHP).
c. Delik commisionis per ommisionen
commissa : delik yang berupa pelanggaan
larangan (dus delik commissionis), akan
tetapi dapa dilakukan dengan cara tidak
berbuat. Misal : seorang ibu yang
membunuh anaknya dengan tidak memberi
air susu (pasal 338, 340 KUHP), seorang
penjaga wissel yang menyebabkan
kecelakaan kereta api dengan sengaja tidak
memindahkan wissel (pasal 194 KUHP).
4. Delik dolus dan delik culpa (doleuse en
culpose delicten)
a. Delik dolus : delik yang memuat unsur
kesengajaan, misal : pasal-pasal 187, 197,
245, 263, 310, 338 KUHP
b. Delik culpa : delik yang memuat kealpaan
sebagai salah satu unsur misal : pasal 195,

50
197, 201, 203, 231 ayat 4 dan pasal 359,
360 KUHP.
5. Delik tunggal dan delik berangkai
(enkelvoudige en samenge-stelde delicten)
a. Delik tunggal : delik yang cukup dilakukan
dengan perbuatan satu kali.
b. Delik berangkai : delik yang baru
merupakan delik, apabila dilakukan
beberapa kali perbuatan, misal : pasal 481
(penadahan sebagai kebiasaan)
6. Delik yang berlangsung terus dan delik
selesai (voordurende en aflopende delicten)
Delik yang berlangsung terus : delik yang
mempunyai ciri bahwa keadaan terlarang itu
berlangsung terus, misal : merampas
kemerdekaan seseorang (pasal 333 KUHP).
7. Delik aduan dan delik laporan
(klachtdelicten en niet klacht delicten)
Delik aduan : delik yang penuntutannya hanya
dilakukan apabila ada pengaduan dari pihak
yang terkena (gelaedeerde partij) misal :
penghinaan (pasal 310 dst. jo 319 KUHP)
perzinahan (pasal 284 KUHP), chantage

51
(pemerasan dengan ancaman pencemaran, ps.
335 ayat 1 sub 2 KUHP jo. ayat 2). Delik aduan
dibedakan menurut sifatnya, sebagai :
a. Delik aduan yang absolut, ialah mis. : pasal
284, 310, 332. Delik-delik ini menurut
sifatnya hanya dapat dituntut berdasarkan
pengaduan.
b. Delik aduan yang relative ialah mis. : pasal
367, disebut relatif karena dalam delik-delik
ini ada hubungan istimewa antara si
pembuat dan orang yang terkena.
Catatan : perlu dibedakan antara aduan den
gugatan dan laporan. Gugatan dipakai dalam
acara perdata, misal : A menggugat B di muka
pengadilan, karena B tidak membayar
hutangnya kepada A. Laporan hanya
pemberitahuan belaka tentang adanya sesuatu
tindak pidana kepada Polisi atau Jaksa.
8. Delik sederhana dan delik yang ada
pemberatannya / peringannya (eenvoudige
dan gequalificeerde / geprevisilierde
delicten)

52
Delik yang ada pemberatannya, misal :
penganiayaan yang menyebabkan luka berat
atau matinya orang (pasal 351 ayat 2, 3
KUHP), pencurian pada waktu malam hari dsb.
(pasal 363). Ada delik yang ancaman
pidananya diperingan karena dilakukan dalam
keadaan tertentu, misal : pembunuhan kanak-
kanak (pasal 341 KUHP). Delik ini disebut
“geprivelegeerd delict”. Delik sederhana; misal :
penganiayaan (pasal 351 KUHP), pencurian
(pasal 362 KUHP).
9. Delik ekonomi (biasanya disebut tindak
pidana ekonomi) dan bukan delik ekonomi
Apa yang disebut tindak pidana ekonomi itu
terdapat dalam pasal 1 UU Darurat No. 7 tahun
1955, UU darurat tentang tindak pidana
ekonomi.
d. SUBYEK TINDAK PIDANA
Sebagaimana diuraika terdahulu, bahwa unsur
pertama tindak pidana itu adalah perbuatan orang,
pada dasarnya yang dapat melakukan tindak

53
pidana itu manusia (naturlijke personen). Ini dapat
disimpulkan berdasarkan hal-hal sebagai berikut :
a. Rumusan delik dalam undang-undang lazim
dimulai dengan kata-kata : “barang siapa yang
…….”. Kata “barang siapa” ini tidak dapat
diartikan lain dari pada “orang”.
b. Dalam pasal 10 KUHP disebutkan jenis-jenis
pidana yang dapat dikenakan kepada tindak
pidana, yaitu :
1. pidana pokok :
a. pidana mati
b. pidana penjara
c. pidana kurungan
d. pidana denda, yang dapat diganti
dengan pidana kurungan
2. pidana tambahan :
a. pencabutan hak-hak tertentu
b. perampasan barang-barang tertentu
c. dimumkannya keputusan hakim
Sifat dari pidana tersebut adalah
sedemikian rupa, sehingga pada dasarnya
hanya dapat dikenakan pada manusia.

54
c. Dalam pemeriksaan perkara dan juga sifat dari
hukum pidana yang dilihat ada / tidaknya
kesalahan pada terdakwa, memberi petunjuk
bahwa yang dapat dipertanggungjawabkan itu
adalah manusia.
d. Pengertian kesalahan yang dapat berupa
kesengajaan dan kealpaan itu merupakan
sikap dalam batin manusia.
Dalam perkembangannya apakah kecuali manusia
tidak ada sesuatu yang dapat melakukan tindak
pidana misalnya badan hukum ? dalam KUHP
terdapat pasal yang seakan-akan menyinggung
soal ini, ialah pasal 59. Pasal ini tidak menunjuk ke
arah dapat dipidana suatu badan hukum, suatu
perkumpulan atau badan (korporasi) lain. Menurut
pasal ini yang dapat dipidana adalah orang yang
melakukan sesuatu fungsi dalam sesuatu
korporasi. Seorang anggota pengurus dapat
membebaskan diri, apabila dapat membuktikan
bahwa pelanggaran itu dilakukan tanpa ikut
campurnya.

55
Keterangan : di dalam hukum acara, ini disebut
“pembalikan beban pembuktian” (omkering van
bewijslast).
Dalam KUHP juga ada pasal lain yang
kelihatannya juga menyangkut korporasi sebagai
subyek hukum, akan tetapi disinipun yang diancam
pidana adalah orang, buka korporasinya. Vide
pasal 169 : “ikut serta dalam perkumpulan yang
terlarang”, dan juga pasal 398 dan 399, mengenai
pengurus atau komisaris perseroan terbatas dan
sebagainya yang dalam keadaan pailit merugikan
perseroannya.
Bahwasanya yang menjadi subyek tindak pidana
itu adalah manusia, sesuai dengan penjelasan
(M.v.T) terhadap pasal 59 KUHP, yang berbunyi :
“suatu tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh
manusia”. Akan tetapi ajaran ini sudah
ditinggalkan. Dalam hukum positip Indonesia,
misalnya dalam “ordonansi barang-barang yang
diawasi” (S.1948-144) dan “Ordonansi
pengendalian harga” (S.1948-295) terdapat
ketentuan yang mengatur apabila suatu badan
(hukum) melakuka tindak pidana yang disebut

56
dalam ordonansi-ordonansi itu. Ordonansi obat
bius S. 27-278 jo. 33-368 pasal 25 ayat 7. Atau
dalam UU Darurat tentang pengusutan,
penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi
(UU Darurat No. 7 tahun 1955 pasal 15 dimana
dalam ayat 1 dan 2 dengan tegas menyebutkan
bahwa badan hukum dapat menjadi subyek hukum
pidana.
Pompe (hal. 83) menyatakan mengenai persoalan
ini (terjemahan) “Untuk sebagian peradilan dengan
dibantu oleh ilmu pengetahuan hukum harus
menemukan sendiri penyelesaian untuk problem
dalam materi baru ini”.
Van Hattum (hal. 147) : “agaknya perlu untuk
menggambarkan pertumbuhan ajaran ini agak
lebih luas dari pada biasanya dalam buku
pelajaran, sebab peradilan terhadap badan hukum
kiranya akan menduduki tempat yang penting
dalam hukum pidana kita. Persoalan mengenai
penyertaan dan kesalahan dalam pada itu akan
kerap kali menjadi sumber perbedaan pendapat”.

57
Dalam pada itu sekarang suda pasti, bahwa
menurut Hoge Raad, korporasi dapat melakukan
tindak pidana, ya bahkan kadang-kadang
korporasi sajalah yang dapat menjadi pembuat,
bahwa korporasi dapat mempunyai kesalahan dan
bahkan mereka itu dapat mengemukakan alasan
tidak adanya kesalahan sama sekali”. Dan dalam
hal. 477 van Hattum menulis a.l. : (terjemahan)
…………. sebaiknya pembentuk undang-undang
membuat ketentuan-ketentuan umum dalam hal
suatu tindak pidana dilakukan oleh suatu
korporasi.

58
BAB IV
HUBUNGAN SEBAB AKIBAT
(CAUSALITEIT, CAUSALITAT)
A. Kausalitas
Didalam delik-delik yang dirumuskan secara
materiil (selanjutnya disebut delik materiil),
terdapat unsur akibat sebagai suatu keadaan yang
dilarang dan merupakan unsur yang menentukan
(essentialia dari delik tersebut). Berbeda dengan
dengan delik formil terjadinya akibat itu hanya
merupakan accidentalia, bukan suatu essentialia,
sebab jika disini tidak terjadi akibat yang dilarang
dalam delik itu, maka delik (materiil) itu tidak ada,
paling banyak ada percobaan.

59
Misalnya :
Pasal 338 KUHP : Barang siapa dengan sengaja
merampas nyawa orang lain dihukum karena
pembunuhan.
Keadaan yang menentukan di sini adalah
terampasnya nyawa seseorang. Contoh : matinya
si A.
Oleh karenanya untuk dapat menuntut
seseorang (misalnya X) yang dilakukan melakukan
suatu perbuatan yang menyebabkan matinya
seseorang, maka harus dapat dibuktikan bahwa
karena perbuatan X itu maka timbul akibat matinya
A. “akibat” ini artinya “perubahan atas suatu
keadaan” dimana dapat berupa suatu
pembahayaan atau perkosaan terhadap
kepentingan hukum.
Hubungan sebab akibat
(causaliteitsvraagstuk) ini penting dalam delik
materiil. Selain itu juga merupakan persoalan pada
delik-delik yang dikualifikasi oleh akibatnya (door
het gevolg gequafili ceerde delicten) misal pasal-
pasal : 187, 188, 194 ayat 2, 195 ayat 2, pasal 333

60
ayat 2 dan 3, 334 ayat 2 dan 3, 351 ayat 2 dan 3,
355 ayat 2 dan 3 KUHP.
Persoalan kausalias ini terjadi karena
kesulitan untuk menetapkan apa yang menjadi
sebab dari suatu akibat. Perlu diketahui bahwa
persoalan ini tidak hanya terdapat dalam
lingkungan hukum pidana saja, akan tetapi juga
dalam lapangan hukum lainnya. Misalnya hukum
perdata dalam penentuan ganti rugi dan dalam
hukum dagang misalnya dalam persoalan
asuransi.
Persoalan ini pun terdapat dalam lapangan
ilmu pengetahuan lainnya, misalnya dalam filsafat.
Dalam menetapkan apakah yang dapat dianggap
sebagai sebab dari suatu kejadian, maka terjadilah
beberapa teori kausalita. Teori-teori hendak
menetapkan hubungan obyektif antara perbuatan
(manusia) dan akibat, yang tidak dikehendaki oleh
undang-undang. Akibat kongkrit harus bisa
ditelusuri sampai ke sebab.
Akan tetapi sebenarnya tidak boleh
dipandang terlampau sederhana. Dalam filsafat
terdapat “peringatan”, bahwa kejadian “B” yang

61
terjadi sesudah kejadian “A”, belum tentu
disebabkan karena kejadian “A” (post hoc non
propter hoc).
B. Teori-teori Kausalitas (ajaran-ajaran kausalitas)
B.1. Teori Ekivalensi (aquivalenz-theorie) atau
Bedingungstheorie atau teori condition sine qua
non dari von Buri
Teori ini mengatakan : tiap syarat adalah
sebab, dan semua syarat itu nilainya sama, sebab
kalau satu syarat tidak ada maka akibatnya akan
lain pula. Tiap syarat, baik positif maupun negatif
untuk timbulnya suatu akibat itu adalah sebab, dan
mempunyai nilai yang sama. Kalau satu syarat
dihilangkan, maka tidak akan terjadi akibat
kongkrit, seperti yang senyata-nyatanya, menurut
waktu, tempat dan keadaannya. Tidak ada syarat
yang dapat dihilangkan (lazim dirumuskan “nicht
hiin weggedacht warden kann dan seterusnya)
tanpa menyebabkan berubahnya akibat.
Contoh : A dilukai ringan, kemudian dibawa
ke dokter. Di tengah jalan ia kejatuhan genting,

62
lalu mati. Penganiayaan ringan terhadap A itu juga
merupakan sebab dari matinya A.
Teori ekivalensi ini memakai pengertian
“sebab” sejalan dengan pengertian yang dipakai
dalam logika. Dalam hubungan ini baik
dikemukakan, bahwa terlepas satu sama lain,
John Stuart Mill (di Inggris) dalam bukunya :
Sistem of Logic berpendapat, “bahwa “sebab itu
adalah “the whole of antecedents” (1843).
Van Hamel, seorang penganut teori
ekivalensi berpendapat bahwa “untuk hukum
pidana teori ini boleh digunakan, apabila diperbaiki
dan diatur oleh teori kesalahan yang harus
diterapkan dengan sebaik-baiknya”. Di sini
dijelaskan, bahwa harus dibedakan antara
hubungan kausal dan pertanggung jawaban
pidana.
Kritik / keberatan terhadap teori ini :
hubungan kausal membentang ke belakang tanpa
akhir, sebab tiap-tiap “sebab” sebenarnya
merupakan “akibat” dari “sebab” yang terjadi
sebelumnya.

63
Jadi misal : B ditikam oleh A sampai mati.
Yang merupakan sebab bukan hanya ditikam A,
tetapi juga penjualan pisau itu kepada A dan
penjualan pisau itu tidak ada, apabila tidak ada
pembuatan pisau.
Jadi pembuatan pisau itu juga “sebab” dan
begitu seterusnya. Berhubungan dengan
keberatan itu, maka ada teori-teori lain yang
hendak membatasi teori tersebut teori-teori yang
akan disebutkan di bawah ini, mengambil dari
sekian faktor yang menimbulkan akibat itu
beberapa faktor yang kuat (dominant), sedang
faktor-faktor lainnya dipisahkan sebagai faktor-
faktor yang irrelevant (yang tidak perlu / penting).
Kebaikan teori ini : mudah diterapkan,
sehingga tidak banyak menimbulkan persoalan,
dan juga karena tori ini menarik secara luas sekali
dalam membatasi lingkungan berlakunya
pertanggungjawaban pidana. Teori ekivalensi ini
dapat dipandang sebagai pangkal dari teori-teori
lain.
B.2. Teori-teori Individualisasi

64
Teori-teori ini memilih secara post actum
(inconcreto), artinya setelah peristiwa kongkrit
terjadi, dari serentetan faktor yang aktif dan pasif
dipilih sebab yang paling menentukan dari
peristiwa tersebut; sedang faktor-faktor lainnya
hanya merupakan syarat belaka. Penganut-
penganutnya tidak banyak antara lain :
1. Birkmayer (1885) mengemukakan : sebab
adalah syarat yang paling kuat (Ursache ist
die wirksamste Bedingung)
2. Binding. Teorinya disebut
“Ubergewichtstheorie)”
Dikatakan : sebab dari sesuatu perubahan
adalah identik dengan perubahan dalam
keseimbangan antara faktor yang menahan
(negatif) dan faktor yang positif, dimana faktor
yang positif itu lebih unggul. Yang disebut
“sebab” adalah syarat-syarat positif dalam
keunggulannya (in ihrem Ubergerwicht-bobot
yang melebihi) terhadap syarat-syarat yang
negatif. Satu-satunya sebab ialah faktor atau
syarat terakhir yang menghilangkan

65
keseimbangan dan memenangkan faktor
positif itu.
B.3. Teori-teori generalisasi
Teori-teori ini melihat secara ante factum
(sebelum kejadian/in abstracto) apakah diantara
serentetan syarat itu ada perbuatan manusia yang
pada umumnya dapat menimbulkan akibat
semacam itu, artinya menurut pengalaman hidup
biasa, atau menurut perhitungan yang layak,
mempunyai kadar (kans) untuk itu. Dalam teori ini
dicari sebab yang adequate untuk timbulnya akibat
yang bersangkutan (ad-aequare artinya dibuat
sama). Oleh karena itu teori ini disebut teori
adequat (teori adequate, Ada-quanzttheorie).
Contoh-contoh tentang ada atau tidaknya
hubungan sebab akibat yang adequat :
a. Suatu jotosan ang mengenai hidung, biasanya
dapat mengakibatkan hidung keluar darah.
Akan tetapi apabila orang yang pukul itu

66
menjadi buta itu bukan akibat yang adequate.
Ini suatu akibat yang abnormal, yang tidak
biasa.
b. Seorang yang menyetir mobil terpaksa
mengerem sekonyong-konyong, oleh karena
ada pengendara sepeda hendak menyebrang
jalan yang membelok, sedang ini tidak
disangka-sangka oleh pengendara mobil.
Pengendara mobil ini mendapat penyakit
trauma karena menekan urat. Dianipun dapat
dikatakan bahwa perbuatan pengendara
sepeda itu tidak merupakan penyebab yang
adequate untuk timbulnya penyakit trauma
tersebut.
c. Seorang petani membakar tumpukan rumput
kering (hooi), dimana secara kebetulan
bersembunyi / tidur seorang penjahat hingga
ikut mati terbakar. Adakah pen-sebab-an yang
adequate ? Jawabannya tergantung dari
keadaan. Jika biasanya menurut pengalaman
sehari-hari, tidak timbul akibat semacam itu
maka perbuatan petani itu bukanlah sebab.
Akan tetapi apabila di daerah itu merupakan

67
kebiasaan orang untuk bersembunyi atau
menginap dalam tumpukan rumput, maka
perbuatan petani itu benar-benar mempunyai
kadar untuk matinya seseorang.
Hal yang merupakan persoalan dalam teori ini
ialah : bagaimanakah penentuannya, bahwa suatu
sebab itu pada umumnya cocok untuk
menimbulkan akibat tertentu itu ? Mengenai hal ini
ada beberapa pendirian. Disini disebut antara lain :
1. Penentuan subyektif (subjective ursprungliche
Prognose). Disini yang dianggap sebab ialah
apa yang oleh sipembuat dapat diketahui /
diperkirakan bahwa apa yang dilakukan itu
pada umumnya dapat menimbulkan akibat
semacam itu (Von Kries jadi pandangan atau
pengetahuan si pembuatlah yang
menentukan).
2. Penentuan obyektif.
Dasar penentuan apakah suatu perbuatan itu
dapat menimbulkan akibat ialah keadaan atau
hal-hal yang secara obyektif kemudian
diketahui atau pada umumnya diketahui. Jadi

68
bukan yang diketahui atau yang dapat
diketahui oleh sipembuat, melainkan
pengetahuan dari hakim.
Dasar penentuan (Beurteilungs standpunkte) ini
disebut “objektive nachtragliche Prognose”
(Rumelin).
Sebenarnya dalam teori kausal adequat
subyektif (Von Kries) itu tersimpul unsur
penentuan tentang kesalahan); oleh karena itu
dapat dikatakan bahwa teori adequate subyektif
dari von Kries ini bukan teori kausalitas yang
murni. Sebab suatu perbuatan baru dianggap
sebagai sebab yang adequate apabila sipembuat
dapat mengira-ngirakan atau membayangkan
(voor zien) akan terjadinya akibat atau kalau orang
umumnya membayangkan terjadinya akibat itu;
jadi sipembuat dapat membayangkan dan
seharusnya dapat membayangkan. Oleh karena
dalam ajaran tersebut tersimpul unsur kesalahan,
maka ia juga menentukan pertanggunganjawab
(pidana), jadi bukan teori kausalitas dalam arti
yang sesungguhnya.

69
Contoh : seorang majikan, yang sangat membenci
pekerjanya, tetapi tidak berani
melepasnya, ingin sekali agar pekerja itu
mati. Pada waktu hujan yang disertai
petir ia menyuruh pekerjanya itu pergi ke
suatu tempat dengan harapan agar
orang itu disambar petir. Harapan itu
terkabul dan pekerjanya itu mati
disambar petir.
Menurut teori ekivalensi : ya, sebab seandainya
pekerja itu tidak disuruh keluar oleh majikan, maka
ia tidak mati. Konsekwensi ini umumnya
dipandang terlalu jauh. Oleh karena itu lebih
memuaskan apabila dipakai teori adequate.
Menurut teori ini : perbuatan menyuruh orang ke
tempat lain pada umumnya tidak mempunyai
kadar untuk kematian seseorang karena disambar
petir. Penyambaran petir adalah hal yang
kebetulan. Dengan ini maka tidak ada hubungan
kausal, sehingga juga tidak ada pemidanaan.
Beberapa penganut teori adequat yang lain :
1. Simons :

70
Dikatakan olehnya : “suatu perbuatan dapat
disebut sebagai sebab dari suatu akibat,
apabila menuntut pengalaman manusia pada
umumnya harus diperhitungkan kemungkinan,
bahwa dari perbuatan sendiri akan terjadi
akibat itu”.
2. Kami (Ringkasan Hukum Pidana hal. 47)
berpendirian senada dengan Simons. Beliau
katakan : “Kehidupan hukum dan perhubungan
hukum itu terdiri atas persangkaan,
(presumptie), bahwa alur peristiwa di dunia ini
ada biasa dan normal. Ini kesimpulan
pengalaman kita sebagai manusia. Syarat yang
pada umumnya, biasanya, dengan mengikuti
hal ikhwal yang berada dan menurut
pengalaman kita, dengan kadarnya memadai
sesuatu akibat, itulah yang dianggap sebagai
suatu sebab”.
3. Pompe : yang disebut sebab ialah perbuatan-
perbuatan yang dalam keadaan tertentu itu
mempunyai strekking untuk menimbulkan
akibat yang bersangkutan.

71
Tinjauan terhadap teori-teori kausalitas
tersebut di atas : teori ekuivalentie dapat dikatakan
teori kausalitas yang benar, akan tetapi selalu diberi
suatu penambahan. Teori ini ditambah dengan
penentuan ada dan tidaknya unsur kesalahan pada
sipembuat, dan memberi keterangan yang cukup
memuaskan apakah sesuatu perbuatan itu
merupakan sebab dari sesuatu akibat yang
dimaksudkan dalam rumusan delik yang
bersangkutan.
Mengenai teori adequat dari von Kries, itu
dapat juga dikatakan, bahwa teori tersebut sesuai
dengan jiwa hukum pidana. Hukum Pidana itu
mempunyai tugas untuk melindungi kepentingan
hukum terhadap perkosaan dan perbuatan yang
membahayakan. Berhubung dengan tugas tersebut
maka hukum pidana harus membuat “pagar” terhadap
perbuatan-perbuatan yang agaknya mendatangkan
kerugian. Dalam hal ini teori adequat dapat
menunjukkan perbuatan-perbuatan tersebut. Akan
tetapi kelemahan teori ini tidak mudah dalam
kenyataan, ia menggunakan istilah-istilah yang tidak

72
terang misalnya biasanya, kadar, pengalaman
manusia pada umumnya dan sebagainya.
Dalam yurisprudensi Hindia Belanda, yang
sesuai dengan asas konkordantie pada waktu itu,
mengikuti yurisprudensi Negeri Belanda, tidak terlihat
dengan nyata teori mana yang dipakai.
Hooggerechtshof condong ke teori adequate. Akan
tetapi dalam pada itu di dalam berbagai putusan
pengadilan dapat ditunjukkan adanya persyaratan,
bahwa antara perbuatan dan akibat harus ada
hubungan yang langsung dan seketika (onmiddellijk
en rechtsreeks)
a. Putusan Raad van Justitie Batavia 23 Juli 1937 (.
147 hal 115) sebuah mobil menabrak sepeda
motor. Pengendara sepeda motor terpental ke atas
rel dan seketika itu dilindas oleh kereta api.
Terlindasnya pengendara sepeda motor oleh
kereta api itu dipandang oleh pengadilan sebagai
akibat langsung dan segera dari penabrakan
sepeda motor oleh mobil. Maka matinya si korban
dapat dipertanggungjawabkan atas kesalahan si
terdakwa (pengendara mobil).
b. Putusan Politierechter Bandung 5 April 1933

73
Seorang ayah yang membiarkan anaknya yang
berumur 14 tahun mengendarai sepeda motornya.
Anak tersebut menabrak orang. Disini memang
perbuatan si ayah dapat disebut syarat
(voorwaarde) dari tabrakan itu, akan tetapi tidak
boleh disebut sebab dari tabrakan itu, oleh karena
antara perbuatan ayah dan tabrakan itu tidak ada
hubungan kausal yang langsung.
c. Putusan Politierechter Palembang 8 Nopember
1936 diperkuat oleh Hooggerechtshof 2 Pebruari
1937.
Perbuatan terdakwa yang tidak menarik seorang
pengemudi mobil yang sembrono dari tempat
kemudi (stuur) dan membiarkan pengemudi
tersebut terus menyopir tidak dianggap sebagai
sebab dari kecelakaan yang terjadi, oleh karena
antara perbuatan terdakwa dan terjadinya
kecelakaan itu tidak terdapat hubungan yang
langsung. Perbuatan terdakwa, yang membiarkan
pengemudi itu tetap menyopir, hanya dipandang
sebagai suatu syarat dan bukan sebab.
d. Putusan Penagadilan Negeri Pontianak 7 Mei
1951, dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta

74
Terdakwa sebagai kerani bertanggung jawab atas
tenggelamnya satu kapal yang disebabkan oleh
terlalu berat muatannya dan yang mengakibatkan
7 orang meninggal dunia, oleh karena terdakwa
sebagai orang yang mengatur pemasukan barang-
barang angkutan dalam kapal in casu tidak
mempedulikan peringatan-peringatan dari
berbagai pihak tentang terlalu beratnya muatan
pada waktu kapal akan berangkat.
Di dalam pertimbangan juga disebut bahwa
perbuatan terdakwa mempunyai “hubungan erat”
dengan “kecelakaan itu”.
C. Kausalitas dalam hal tidak berbuat
Persoalan ini timbul dalam delik-delik omissi
dan dalam delik comisionis per ommisionem
commissa (delik omissi yang tak sesungguhnya).
Jenis kedua ini sebenarnya delik commissi yang
dilakukan dengan “tidak berbuat”. Pada delik
omissi persoalannya mudah, karena delik omissi
itu adalah delik formil, sehingga tidak ada
persoalan tentang kausalitas.

75
Yang ada persoalan ialah pada delik
commisionis per omission commissa. Pada delik
ini ada pelanggaran larangan dengan “tidak
berbuat”. Dalam persoalan ini ada beberapa
pendirian :
a. Tidak mungkin orang tidak berbuat bisa
menimbulkan akibat. Pendirian ini didasarkan
kepada dalil ilmu pengetahuan alam yang
berbunyi bahwa dari keadaan negatif tidak
mungkin timbul kedaan positif. Pendirian ini
tidak bisa diterima, karena dalil pengetahuan
alam tidak tepat untuk dipakai dalam ilmu
pengetahuan rokhani (seperti hukum pidana
ini).
b. Yang disebut sebab ialah perbuatan yang
positif yang dilakukan oleh sipembuat pada
saat akibat itu timbul. Misal : dalam hal seorang
ibu membunuh anaknya dengan tidak memberi
susu, yang disebut sebagai sebab ialah
“sesuatu yang dilakukan ibu itu pada saat ia
tidak memberi susu itu, misal pergi ke toko.
Teori ini dinamakan “teori berbuat lain. Teori
inipun tidak dapat diterima, karena kepergian

76
ibu itu tidak bisa dianggap ada perhubungan
dengan akibat itu.
c. Yang disebut sebagai sebab ialah perbuatan
yang mendahului akibat yang timbul. Teori ini
disebut “teori berbuat yang sebelumnya”, misal
seorang penjaga wesel yang menyebabkan
kecelakaan kereta api karena tidak
memindahkan wesel; menurut ajaran ini yang
menjadi sebab ialah apa yang dilakukan
penjaga wesel. Teori inipun tidak memuaskan,
sebab sulit dilihat hubungannya antara
penerimaan jabatan dengan akibat yang timbul.
d. Seseorang yang tidak berbuat dapat dikatakan
sebab dari sesuatu akibat, apabila ia
mempunyai kewajiban hukum untuk berbuat.
Kewajiban itu timbul dari hukum, tidak hanya
yang nyata-nyata tertulis dalam suatu
peraturan tetapi juga dari peraturan-peraturan
yang tidak tertulis, ialah norma-norma lainyang
berlaku dalam masyarakat yang teratur. Di
bawah ini diberi contoh-contoh apakah ada
kewajiban berbuat atau tidak :

77
1) Ada anak yang dibunuh; orang tuanya
mengetahui hal ini, tetapi tidak berbuat
apa-apa. Apakah orang tua bertanggung
jawab sebagai ikut berbuat dalam
pembunuhan ?
Jawab (Hof Amsterdam 23 Oktober
1883): tidak, tetapi memang sikap
semacam itu sangat tercela (laakbaar)
dan tidak patut.
2) Seorang penjaga gudang membiarkan
pencuri melakukan aksinya, ia dapat
dipertanggungjawabkan, sebab sebagai
penjaga ia berkewajiban untuk menjaga
dan berbuat sesuatu.
Kesimpulan mengenai kausalitas dalam hal
tidak berbuat : sekarang tidak ada persoalan lagi,
bahwa tidak berbuat itu dapat menjadi sebab dari
suatu akibat. “Tidak berbuat” sebenarnya juga
merupakan “perbuatan”. Dalam delik commisionis
per omissionem commissa (delik omissi yang tidak
sesungguhnya) “tidak berbuat” itu bukannya “tidak
berbuat sama sekali” akan tetapi “tidak berbuat
sesuatu”, yang diharapkan untuk

78
diperbuat/dilakukan. Maka dengan pengertian ini
hal “tidak berbuat” pada hakekatnya sama dengan
“berbuat sesuatu”, dalam arti dapat menjadi syarat
untuk terjadinya suatu akibat. Sedang menurut
teori adequate, mengingat keadaan yang kongkrit,
dapat juga mempunyai kadar untuk terjadinya
akibat, jadi juga dapat menjadi “sebab”.
Akhirnya perlu diperhatiakn bahwa soal
hubungan kausal ini terletak dalam segi obyektif
(yang menyangkut perbuatan) dari keseluruhan
syarat pemidanaan, jadi harus dibedakan dari
persoalan kesalahan atau pertanggungan jawab
pidana yang merupakan segi subyektifnya, ialah
yang menyangkut orangnya.

79
BAB IV
SIFAT MELAWAN HUKUM
(Rechtswdrig, Unrecht, Wederrechtelijk,
Onrechmatig)
A. Istilah dan Pengertian
KUHP memakai istilah bermacam-macam :
a. tegas dipakai istilah “melawan hukum”,
(wederrechtelijk) dalam pasal 167, 168, 335 (1),
522;
b. dengan istilah lain misalnya : “tanpa
mempunyai hak untuk itu” (pasal 303, 548, 549);
“tanpa izin” (zonder verlof) (pasal 496, 510);

80
“dengan melampaui kewenangannya” (pasal 430);
“tanpa mengindahkan cara-cara yang ditentukan
oleh peraturan umum” (pasal 429).
Alasan pembentuk undang-undang itu mencantumkan
unsur sifat melawan hukum itu tegas-tegas dalam
sesuatu rumusan delik karena pembentuk undang-
undang khawatir apalagi unsur melawan hukum itu tak
dicantumkan dengan tegas, yang berhak atau
berwenang untuk melakukan perbuatan-perbuatan
sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang itu,
mungkin dipidana pula.
Arti istilah bersifat melawan hukum itu terdapat tiga
pendirian:
1. bertentangan dengan hukum (Simons)
2. bertentangan dengan hak (subyektief recht) orang
lain (Noyon)
3. tanpa kewenangan atau tanpa hak, hal ini tidak
perlu bertentangan dengan hukum (H.R).
Salah satu unsur dari tindak pidana adalah
unsur sifat melawan hukum. Unsur ini merupakan

81
suatu penilaian obyektif terhadap perbuatan, dan
bukan terhadap si Pembuat. Bilamana sesuatu
perbuatan itu dikatakan melawan hukum ? Orang
akan menjawab : “apabila perbuatan itu masuk dalam
rumusan delik sebagaimana dirumuskan dalam
undang-undang”. Dalam bahasa Jerman ini disebut
“tatbestandsmaszig”. Tasbestand disini dalam arti
sempit, ialah unsur seluruhnya dari delik sebagaimana
dirumuskan dalam peraturan pidana. Tasbestand
dalam arti sempit ini terdiri atas tasbestand mer male,
ialah masing-masing unsur dari rumusan delik.
Pengecualian atas tasbestand mer male,
dapat dikecualikan atas perbuatan yang memenuhi
rumusan delik (tatbestandsmaszig) itu tidak
senantiasa bersifat melawan hukum, sebab mungkin
ada hal yang menghilangkan sifat melawan hukumnya
perbuatan tersebut. Misalnya dalam melaksanakan
perintah undang-undang (ps. 50 KUHP) :
1) regu penembak, yang menembak
mati seorang terhukum yang telah dijatuhi
hukuman pidana mati, memenuhi unsur-unsur

82
delik tersebut pasal 338 KUHP. Perbuatan mereka
tidak melawan hukum.
2) Jaksa menahan orang yang sangat
dicurigai telah melakukan kejahatan. Ia tidak dapat
dikatakan melakukan kejahatan tersebut pasal 333
KUHP, karena ia melaksanakan undang-undang
(terdapat dalam peraturan hukum acara pidana)
sehingga tidak ada unsur melawan hukum.
Di dalam kedua contoh tersebut hal yang
menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan
terdapat di dalam undang-undang. Namun dalam
kasus :
- seorang ayah memukul seorang pemuda yang
memperkosa anak-anaknya
- seorang menembak mati temannya atas
permintaan sendiri, karena ia luka-luka berat dan
tidak mungkin hidup terus, apalagi jauh dari dokter,
karena dalam ekspedisi di Kutub Selatan
- seorang bioloog membedah binatang-binatang
(vivisectie) untuk penyelidikan ilmiah.

83
Maka timbul persoalan ada tidaknya sifat melawan
hukumnya perbuatan. Contoh lain yang
mempermasalahkan unsur melawan hukum adalah :
- Putusan PN Sawahlunto 10 Setember 1936
Seorang perempuan Minangkabau hidup bersama
dengan seorang laki-laki dengan siapa ia menurut
hukum adat dilarang kawin. Berhubung dengan
pelanggaran adat ini, maka Mamak dari
perempuan ini bersama-sama dengan orang lain
mendatangi orang tersebut untuk dimintai
pertanggungjawaban dan untuk membawa laki-laki
itu ke Wali Negeri. Oleh karena perempuan itu
tidak mau membuka pintu rumahnya pintu
didobrak.
Pengadilan Negeri berpendapat perbuatan Mamak
cs melanggar pasal KUHP (merusak ketentraman
rumah), dan memidana Mamak 3 bulan penjara
dan lain-lainnya masing-masing 2 bulan. Alasan
- Arrest Hoge Raad 20 Pebruari 1933

84
Seorang dokter hewan di kota Huizen dengan
sengaja memasukkan sapi-sapi yang sehat ke
dalam kandang yang berisi sapi-sapi yang sudah
sakit mulut dan kuku, sehingga membahayakan
sapi-sapi yang sehat itu. Perbuatan dokter hewan
itu tegas-tegas masuk dalam rumusan delik
tesebut dalam pasal 82 undang-undang ternak,
ialah dengan sengaja menempatkan ternak dalam
keadaan yang membahayakan / mengkhawatirkan.
Ketika dituntut, dokter hewan mengemukakan
pada pokoknya, bahwa perbuatan itu dilakukan
untuk kepentingan peternakan. Putusan
Mahkamah Agung Belanda : Pasal 82 Undang-
undang ternak tidak dapat diterapkan kepada
dokter hewan itu. Pertimbangannya antara lain :
“tidak dapat dikatakan, bahwa seseorang yang
melakukan perbuatan yang diancam pidana itu
mesti dipidana, apabila undang-undang sendiri
tidak dengan tegas-tegas menyebut adanya
alasan-alasan penghapus pidana, mungkin sekali
dapat terjadi, bahwa unsur sifat melawan hukum
tidak dicantumkan di dalam rumusan delik dan
meskipun demikian tidak ada pemidanaan, karena

85
dalam hal ini sifat melawan hukumnya perbuatan
ternyata tidak ada, sehingga oleh karenanya pasal
yang bersangkutan tidak berlaku terhadap
perbuatan yang secara letterlijk memenuhi
rumusan delik”.
Pembagian Ajaran Sifat Melawan Hukum
Menjawab persoalan tersebut maka hukum pidana
membagi ajaran sifat melawan hukum dalam dua
sudut pandang yaitu :
1. menurut ajaran sifat melawan
hukum yang formil
suatu perbuatan itu bersifat melawan hukum,
apabila perbuatan diancam pidana dan
dirumuskan sebagai suatu delik dalam undang-
undang; sedang sifat melawan hukumnya
perbuatan itu dapat hapus, hanya berdasarkan
suatu ketentuan undang-undang. Jadi menurut
ajaran ini melawan hukum sama dengan melawan
atau bertentangan dengan undang-undang
(hukum tertulis).

86
Menurut Simons, “Memang boleh diakui, bahwa
suatu perbuatan, yang masuk larangan dalam
sesuatu undang-undang itu tidaklah mutlak bersifat
melawan hukum, akan tetapi tidak adanya sifat
melawan hukum itu hanyalah bisa diterima, jika di
dalam hukum positif terdapat alasan untuk suatu
pengecualian berlakunya ketentuan / larangan itu.
Alasan untuk menghapuskan sifat melawan hukum
tidak boleh diambil di luar hukum positif dan juga
alasan yang disebut dalam undang-undang tidak
boleh diartikan lain daripada secara limitatief.
2. menurut ajaran sifat melawan
hukum yang materiil
Suatu perbuatan itu melawan hukum atau tidak,
tidak hanya yang terdapat dalam undang-undang
(yang tertulis) saja, akan tetapis harus dilihat
berlakunya azas-azas hukum yang tidak tertulis.
Sifat melawan hukumnya perbuatan yang nyata-
nyata masuk dalam rumusan delik itu dapat hapus
berdasarkan ketentuan undang-undang dan juga

87
berdasarkan aturan-aturan yang tidak tertulis (uber
gezetzlich).
Jadi menurut ajaran ini melawan hukum sama
dengan bertentangan dengan undang-undang
(hukum tertulis) dan juga bertentangan dengan
hukum yang tidak tertulis termasuk tata susila dan
sebagainya sebagaimana para sarjana yang
menganut ajaran sifat melawan hukum yang
meteriil ialah :
a) Von Liszt : perkosaan atau pembahayaan
terhadap kepentingan hukum hanyalah
bersifat melawan hukum materiil (materiel
rechts widrig), jika perbuatan itu bertentangan
dengan tujuan ketertiban hukum (den
Zwecken der das Zusammenleben regelnden
Recht sordnung widerspricht); kalau tidak
bertentangan dengan tujuan itu, maka tidak
bersifat melawan hukum.
b) Zu Dohna mengatakan :
Suatu perbuatan itu tidak melawan hukum jika
perbuatan itu merupakan upaya yang haq

88
untuk tujuan yang haq (richtiges Mittel zum
techten zwecke). Contohnya ialah seorang
yang memukulpemuda yang memperkosa
anak perempuannya. Di sini menurut Zu
Dohna perbuatan ayahnya tidak bersifat
melawan hukum.
c) M.E. Mayer mengatakan :
Perbuatan itu melawan hukum materiil atau
tidak, ditentukan oleh norma kebudayaan
(kulturnorm). Sifat melawan hukum itu, berarti
bertentangan dengan kulturnorm yang diakui
oleh negara. Kalau perbuatan itu sesuai
dengan kulturnorm itu maka sifat melawan
hukumnya hapus.
d) Zevenbergen
Onrechtmatigheid adalah syarat yang umum,
obyektif yang berdiri sendiri, yang biasanya
ada jika suatu perbuatan memenuhi rumusan
delik dalam undang-undang, tetapi mengenai
hal itu harus diselidiki untuk tiap-tiap kejadian

89
yang kongkrit, apakah yang diharapkan oleh
ketertiban hukum. Dalam hal ada keraguan
mengenai sifat melawan hukum maka tidak
boleh ada penjatuhan pidana.
e) Van Hattum
Dengan adanya keputusan Hoge Raad
tentang dokter hewan Huizen itu, ia katakan :
dengan itu menurut hemat saya (mer van
Hattum) telah diterima ajaran sifat melawan
hukum yang materiil oleh Hoge Raad dan
telah dipecahkan persoalan mer azas-azas
yang boleh dikatakan benar dalam ajaran
“penentuan hukum” dewasa ini (in de
hedendaagse leer Her rechtsvir onbetwist).
Persaksian terhadap sifat melawan hukum
yang materiil itu harus dilakukan secara hati-
hati, dan istimewa hakim harus membuka diri
pada peristiwa-peristiwa yang kongkrit. Misal
abortus protus (ps. 348 KUHP) bisa tidak
melanggar hukum berdasarkan petunjuk
eugenetisch atau sosial. (Eugenetiek adalah

90
ajaran yang mempelajari perbaikan ras /
keturunan).
Kesimpulan mengenai persoalan melawan hukumnya
perbuatan, bila suatu perbuatan itu memenuhi
rumusan delik, maka itu menjadikan tanda / indikasi
bahwa perbuatan itu bersifat melawan hukum. Akan
tetapi sifat itu hapus apabila diterobos dengan adanya
alat pembenar (rechtvaardigingsgrond). Bagi mereka
yang menganut ajaran sifat melawan hukum yang
formil alasan pembenar itu hanya boleh diambil dan
hukum yang tertulis, sedang penganut ajaran sifat
melawan hukum yang materiil alasan itu boleh diambil
dan luar hukum yang tertulis.
Berkaitan dengan hukum tertulis maka hakim dalam
perkara kongkrit yang sedang dihadapi harus
mempertimbangkan :
a). Apabila ada persoalan mengenai hukum yang
tidak tertulis yang bertentangan dengan hukum
yang tertulis, maka perlu dipertimbangkan betul-
betul sampai dimanakah hukum tak tertulis itu
dapat menyisihkan peraturan yang tertulis, yang

91
dibuat dengan sah. Benarkah yang dipandang
adil oleh suatu golongan dalam masyarakat biasa,
juga dipandang adil / benar oleh seluruh
masyarakat pada umumnya.
b). Apabila ada persoalan mengenai hukum yang
tidak tertulis yang bertentangan dengan hukum
yang tertulis, maka perlu dipertimbangkan betul-
betul sampai dimanakah hukum tak tertulis itu
dapat menghapuskan kekuatan berlakunya
peraturan yang tertulis dsb.
c). Sampai dimanakah rasa keadilan dan keyakinan
masyarakat dapat menyisihkan peraturan yang
tertulis, yang dibuat dengan sah.
Ini adalah beban yang berat bagi hakim, sebab tiap-
tiap keputusan harus memuat alasan yang mendasari
keputusan itu. Maka hakim harus benar-benar
mengetahui bagaimanakah keadaan masyarakat
lebih-lebih keadaan masyarakat Indonesia yang
dinamis yang bergerak menuju suatu masyarakat
yang dicita-citakan, ialah masyarakat Pancasila mata,
pikiran dan perasaan hakim harus tajam untuk dapat
menangkap apa yang sedang terjadi dalam

92
masyarakat, agar supaya putusannya tidak
kedengaran sumbang. Hakim dengan seluruh
kepribadiannya harus bertanggung jawab atas
kebenaran keputusannya, baik secara formil maupun
secara materiil.
Mengenai pengertian melawan hukum yang materiil
itu perlu dibedakan :
- dalam fungsinya yang negatif
Ajaran sifat melawan hukum yang materiil dalam
fungsinya yang negatif mengakui kemungkinan
adanya hal-hal yang ada di luar undang-undang
melawan hukumnya perbuatan yang memenuhi
rumusan undang-undang, jadi hal tersebut sebagai
alasan penghapus sifat melawan hukum.
- dalam fungsinya yang positif
Pengertian sifat melawan hukum yang materiil
dalam fungsinya yang positif menganggap sesuatu
perbuatan tetap sebagai sesuatu delik, meskipun
tidak nyata diancam dengan pidana dalam

93
undang-undang, apabila bertentangan dengan
hukum atau ukuran-ukuran lain yang ada di luar
undang-undang. Jadi disini diakui hukum yang tak
tertulis sebagai sumber hukum yang positif.
Kalau Seminar Hukum Nasional tersebut di atas
menganut ajaran sifat melawan hukum yang
materiil tentunya hal tersebut dalam fungsinya
yang negatif. Ini adalah konsekwensi dari
diterimanya azas legalitas untuk KUHP. Nasional
nanti dan masih berlakunya KUHP yang sekarang
ini dimana juga masih tercantum azas seperti
tersebut dalam pasal 1. Suatu negara yang
mengakui azas nullum delictum dalam arti yang
sebenarnya tidak mungkin menganut ajaran sifat
melawan hukum yang materiil dalam fungsinya
yang positif. Misal A membunuh B dengan alasan
bahwa B telah membunuh C kakak dari A.
Memang di daerah yang bersangkutan ada
anggapan bahwa hutang nyawa harus disaur
dengan nyawa.
B. Pembuktian Unsur Sifat Melawan Hukum

94
Unsur sifat melawan hukum itu ada dalam rumusan
delik :
1. ada yang tercantum dengan
tegas, maka dalam hal ini adanya unsur tersebut
harus dibuktikan
2. ada pula yang tidak
tercantum. Terhadap delik-delik semacam itu ada
perbedaan paham :
a. Jika unsur sifat melawan hukum dianggap
mempunyai fungsi yang positif untuk
sesuatu delik (artinya ada delik kalau
perbuatan itu bersifat melawan hukum),
maka harus dibuktikan. Sifat melawan
hukum disini sebagai unsur konstitutif.
b. Jika unsur sifat melawan hukum dianggap
mempunyai fungsi yang negatif (artinya :
tidak ada unsur sifat melawan hukum pada
perbuatan merupakan pengecualian untuk
adanya suatu delik), maka tidak perlu
dibuktikan.

95
Yang menganggap sifat melawan hukum itu
mempunyai fungsi yang positif (merupakan unsur
konstitutif) a.l. van Hamel dan Zevenbergen. Yang
menganggap sifat melawan hukum mempunyai fungsi
yang negatif adalah Simons. Pendapat Simons,
“ajaran sifat melawan hukum untuk hukum pidana
pada umumnya hanyalah mempunyai hubungan
dengan pertanyaan apakah ada pengecualian yang
menyebabkan hapusnya sifat melawan hukum”.
Prof. Muljatno yang meskipun menganggap unsur
sifat melawan hukum adalah syarat mutlak yang tak
dapat ditinggalkan”, namun berpendirian, bahwa itu
tidak berarti bahwa dalam lapangan procesueel
(acara pemeriksaan perkara) sifat itu harus
dibebankan pembuktiannya kepada penuntut umum.
Beliau setuju, jika tak disebut dalam rumusan delik,
unsur dianggap dengan diam-diam ada, kecuali jika
dibuktikan sebaliknya oleh terdakwa, karena pada
umumnya dengan mencocoki rumusan undang-
undang sifat melawan hukumnya perbuatan sudah
ternyata pula. Hazewinkel-Suringa memandang sifat

96
melawan hukum hanya sebagai tanda ciri dari tindak
pidana.
C. Putatif Delik
Dalam pembicaraan unsur sifat melawan hukum ini
ada delik disebut wahn delict atau putativ delict. Ini
terjadi jika seorang mengira telah melakukan delict,
padahal perbuatannya itu sama sekali bukan suatu
delik, sebab perbuatannya itu tidak bersifat melawan
hukum.

97
BAB V
KESALAHAN DAN
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
1. Pengertian Kemampuan Bertanggungjawab
(Zurechnungsfahigkeit –
Toerekeningsvatbaarheid)
Telah disebutkan, bahwa untuk adanya pertanggung-
jawab pidana diperlukan syarat bahwa pelaku mampu
bertanggung jawab. Tidaklah mungkin seseorang dapat

98
dipertanggungjawabkan apabila ia tidak mampu
bertanggung jawab.
Bilamana seseorang itu dikatakan mampu bertanggung-
jawab ? Apakah ukurannya untuk menyatakan adanya
kemampuan bertanggung jawab itu ? KUHP tidak
memberikan rumusannya. Dalam literatur hukum pidana
Belanda dijumpai beberapa definisi untuk “kemampuan
bertanggung jawab”.
Simons : “kemampuan bertanggung jawab dapat
diartikan sebagai suatu keadaan psychis sedemikian,
yang membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya
pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun dari
orangnya”.
Dikatakan selanjutnya, bahwa seseorang mampu
bertanggung jawab, jika jiwanya sehat, yakni apabila :
a. Ia mampu untuk mengetahui atau menyadari
bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum
b. Ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan
kesadaran tersebut.

99
Van Hamel : kemampuan bertanggung jawab adalah
suatu keadaan normalitas psychis dan kematangan
(kecerdasan) yang membawa 3 kemampuan :
a. Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat
perbuatannya sendiri
b. Mampu untuk menyadari, bahwa perbuatannya itu
menurut pandangan masyarakat tidak dibolehkan
c. Mampu untuk menentukan kehendaknya atas
perbuatannya-perbuatannya itu
Van Bemmelen : seseorang yang dapat dipertanggung-
jawabkan ialah orang yang dapat mempertahankan
hidupnya dengan cara yang patut.
Definisi van Bemmelen ini singkat, akan tetapi juga
kurang jelas, sebab masih dapat ditanyakan kapankah
seseorang itu dikatakan “dapat mempertahankan
hidupnya dengan cara yang patut” ?
Adapun Memorie van Toelichting (memori penjelasan)
secara negative menyebutkan mengenai kemampuan
bertanggung jawab itu, antara lain demikian :

100
Tidak ada kemampuan bertanggung jawab pada sipelaku
:
a. Dalam hal ia tidak ada kebebasan untuk memilih
antara berbuat dan tidak berbuat mengenai apa
yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-
undang.
b. Dalam hal ia ada dalam suatu keadaan yang
sedemikian rupa, sehingga tidak dapat
menginsyafi bahwa perbuatannya itu bertentangan
dengan hukum dan tidak dapat menentukan akibat
perbuatannya.
Definisi-definisi tersebut memang ada manfaatnya, tetapi
untuk setiap kali dalam kejadian yang kongkrit dalam
praktek peradilan menilai jiwa seorang terdakwa dengan
ukuran-ukuran tadi tidaklah mudah. Sebagai dasar untuk
mengukur hal tersebut, apabila orang yang normal
jiwanya itu mampu bertanggung jawab, ia mampu untuk
menilai dengan pikiran atau perasaannya bahwa
perbuatannya itu dilarang oleh undang-undang dan
berbuat sesuai dengan pikiran atau perasaannya itu.

101
Dalam persoalan kemampuan bertanggung jawab itu
ditanyakan apakah seseorang itu merupakan “norm-
adressat” (sasaran norma), yang mampu. Seorang
terdakwa pada dasarnya dianggap (supposed) mampu
bertanggung jawab, kecuali dinyatakan sebaliknya (lihat
pembahasan tentang dasar-dasar penghapus pidana).
2. Kesalahan
2.1. Pengertian Kesalahan
Dipidananya seseorang tidaklah cukup dengan
membuktikan bahwa orang itu telah melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau
bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatannya
memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan
tidak dibenarkan (an objective breach of a penal
provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat
untuk penjatuhan pidana. Untuk dapat
dipertanggungjawabkannya orang tersebut masih perlu
adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan

102
itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt).
Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika
dilihat dari sudut perbuatnnya, perbuatannya harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut. Dalam
hal ini berlaku asas “TIADA PIDANA TANPA
KESALAHAN” atau Keine Strafe ohne Schuld atau Geen
straf zonder Schuld atau Nulla Poena Sine Culpa (“culpa”
disini dalam arti luas, meliputi juga kesengajaan).
Asas ini tidak tercantum dalam KUHP Indonesia
atau dlam peraturan lain, namun berlakunya asas
tersebut sekarang tidak diragukan. Akan bertentangan
dengan rasa keadilan, apabila ada orang yang dijatuhi
pidana padahal ia sama sekali tidak bersalah, Pasal 6
ayat 2 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman (UU No. 4
/ 2004) berbunyi : Tiada seorang juapun dapat dijatuhi
pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat
pembuktian yang sah menurut undang-undang,
mendapat keyakinan, bahwa seorang yang dianggap
dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan
yang dituduhkan atas dirinya. Bahwa unsur kesalahan itu,
sangat menentukan akibat dari perbuatan seseorang,

103
dapat juga dikenal dari pepatah (Jawa) “sing salah,
seleh” (yang bersalah pasti salah). Untuk adany
pemidanaan harus ada kesalahan pada sipelaku. Asas
“tiada pidana tanpa kesalahan” yang telah disebutkan di
atas mempunyai sejarahnya sendiri.
Dalam ilmu hukum pidana dapat dilihat
pertumbuhan dari hukum pidana yang menitikberatkan
kepada perbuatan orang beserta akibatnya (Tatstrafrecht
atau Erfolgstrafrecht) ke arah hukum pidana yang
berpijak pada orang yang melakukan tindak pidana
(taterstrafrecht), tanpa meninggalkan sama sekali sifat
dari Tatstrafrecht. Dengan demikian hukum pidana yang
ada dewasa ini dapat disebut sebagai Sculdstrafrecht,
artinya bahwa, penjatuhan pidana disyaratkan adanya
kesalahan pada si pelaku.
Tidak berbeda dengan konsep yang berlaku dalam
sistem hukum di Negara Eropa Kontinental, unsur
kesalahan sebagai syarat untuk penjatuhan pidana di
Negara Anglo Saxon tampak dengan adanya maxim
(asas) “Actus non facit reum nisi mens sit rea” atau
disingkat dengan asas “mens rea”. Arti aslinya ialah “evil

104
will” “guilty mind”. Mens rea merupakan subjective guilt
melekat pada sipelaku subjective gilt ini berupa intent
(kesengajaan setidak-tidaknya negligence (kealpaan).
2.2. Dasar Pemikiran
Filosofi dasar yang mempersoalkan kesalahan
sebagai unsur yang menjadi persyaratan untuk dapat
dipertanggungjawabkannya pelaku berpangkal pada
pemikiran tentang hubungan antara perbuatan
dengan kebebasan kehendak. Mengenai hubungan
antara kebebasan kehendak dengan ada atau tidak
adanya kesalahan ada 3 pendapat dari :
a. Aliran klasik yang melahirkan pandangan
indeterminisme, yang pada dasarnya
berpendapat, bahwa manusia mempunyai
kehendak bebas (free will) dan ini merupakan
sebab dan segala keputusan kehendak. Tanpa
ada kebebasan kehendak maka tidak ada
kesalahan dan apabila tidak ada kesalahan,
maka tidak ada pencelaan, sehingga tidak ada
pemidanaan.

105
b. Aliran positivist yang melahirkan pandangan
determinisme mengatakan, bahwa manusia
tidak mempunyai kehendak bebas. Keputusan
kehendak ditentukan sepenuhnya oleh watak
(dalam arti naPasalu-naPasalu manusia dalam
hubungan kekuatan satu sama lain) dan motif-
motif ialah perangsang-perangsang yang datang
dari dalam atau dari luar yang mengakibatkan
watak tersebut. Ini berarti bahwa seseorang,
tidak dapat dicela atas perbuatannya atau
dinyatakan mempunyai kesalahan, sebab ia
tidak punya kehendak bebas. Namun meskipun
diakui bahwa tidak punya kehendak bebas, itu
tak berarti bahwa orang yang melakukan tindak
pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatannya.
Justru karena tidak adanya kebebasan
kehendak itu maka ada pertanggungan-jawab
dari seseorang atas perbuatannya. Tetapi reaksi
terhadap perbuatan yang dilakukan itu berupa
tindakan (maatregel) untuk ketertiban
masyarakat, dan bukannya pidana dalam arti

106
penderitaan sebagai buah hasil kesalahan oleh
si pelaku.
c. Dalam pandangan ketiga melihat
bahwa ada dan tidak adanya kebebasan kehendak
itu untuk hukum pidana tidak menjadi soal
(irrelevant). Kesalahan seseorang tidak
dihubungkan dengan ada dan tidak adanya
kehendak bebas
1.3. Kesalahan Menurut Beberapa Sarjana
Guna memberi pengertian lebih lanjut tentang
kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya, di bawah
ini disebutkan pendapat-pendapat dari berbagai
penulis.
a. MEZGER mengatakan : kesalahan adalah
keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk
adanya pencelaan pribadi terhadap si pelaku
tindak pidana (Schuldist der Erbegriiffder
Vcrraussetzungen, die aus der Strafcat einen
personlichen Verwurf gegen den Tater
begrunden).

107
b. SIMONS mengartikan kesalahan itu sebagai
pengertian yang “sociaal ethisch” dan
mengatakan antara lain :
“Sebagai dasar untuk pertanggungan jawab
dalam hukum pidana ia berupa keadaan
psychisch dari si pelaku dan hubungannya
terhadap perbuatannya,” dan dalam arti bahwa
berdasarkan keadaan psychisch (jiwa) itu
perbuatannya dapat dicelakakan kepada si
pelaku”.
c. VAN HAMEL mengatakan, bahwa “kesalahan
dalam suatu delik merupakan pengertian
psychologis, perhubungan antara keadaan jiwa si
pelaku dan terwujudnya unsur-unsur delik karena
perbuatannya. Kesalahan adalah pertanggungan
jawab dalam hukum (Schuld is de verant
woordelijkheid rechtens)”.
d. VAN HATTUM berpendapat : “Pengertian
kesalahan yang paling luas memuat semua unsur
dalam mana seseorang dipertanggungjawabkan
menurut hukum pidana terhadap perbuatan yang

108
melawan hukum, meliputi semua hal, yang
bersifat psychisch yang terdapat dapat
keseluruhan yang berupa strafbaarfeit termasuk
si pelakunya (al het geen psychisch is aan dat
complex, dat bestaat uit een strafbaar feit en
deswege een strafbare dader).
e. KARNI yang mempergunakan istilah “salah dosa”
mengatakan : “Pengertian salah dosa
mengandung celaan. Celaan ini menjadi
dasarnya tanggungan jawab terhadap hukum
pidana”. Selanjutnya ia katakan : “Salah dosa
berada, jika perbuatan dapat dan patut
dipertanggungkan atas si perbuat; harus boleh
dicela karena perbuatan itu; perbuatan itu
mengandung perlawanan hak; perbuatan itu
harus dilakukan, baik dengan sengaja, maupun
dengan salah”.
f. POMPE mengatakan antara lain : “Pada
pelanggaran norma yang dilakukan karena
kesalahannya, biasanya sifat melawan hukum itu
merupakan segi luarnya. Yang bersifat melawan
hukum itu adalah perbuatannya. Segi dalamnya,

109
yang bertalian dengan kehendak si pelaku adalah
kesalahan. Pengertian kesalahan psychologisch.
Dalam arti ini kesalahan hanya dipandang
sebagai hubungan psychologis (batin) antara
pelaku dan perbuatannya. Hubungan batin
tersebut bisa berupa kesengajaan atau kealpaan,
pada kesengajaan hubungan batin itu berupa
menghendaki perbuatan (beserta akibatnya) dan
pada kealpaan tidak ada kehendak demikian.
Jadi di sini hanya digambarkan (deskriptif)
keadaan batin berupa kehendak terhadap
perbuatan atau akibat perbuatan.
Dari pengertian-pengertian kesalahan dari
beberapa sarjana di atas maka pengertian kesalahan
dapat dibagi dalam pengertian sebagai berikut :
- Pengertian kesalahan yang normatif
Pandangan yang normatif tentang kesalahan
ini menentukan kesalahan seseorang tidak hanya
berdasar sikap batin atau hubungan batin antara
pelaku dengan perbuatannya, tetapi di samping itu
harus ada unsur penilaian atau unsur normatif

110
terhadap perbuatannya. Penilaian normatif artinya
penilaian (dari luar) mengenai hubungan antara
sipelaku dengan perbuatannya.
“Penilaian dari luar” ini merupakan pencelaan
dengan memakai ukuran-ukuran yang terdapat
dalam masyarakat, ialah apa yang seharusnya
diperbuat oleh sipelaku secara extreem dikatakan
bahwa “kesalahan seseorang tidaklah terdapat
dalam kepala sipelaku, melainkan di dalam kepala
orang-orang lain”, ialah di dalamkepala dari mereka
yang memberi penilaian terhadap sipelaku itu. Yang
memberi penilaian pada instansi terakhir adalah
hakim.
Di dalam pengertian ini sikap batin si pelaku
ialah, yang berupa kesengajaan dan kealpaan tetap
diperhatikan, akan tetapi hanya merupakan unsur
dari kesalahan atau unsur dari pertanggung-jawaban
pidana. Di samping itu ada unsur lain ialah penilaian
mengenai keadaan jiwa sipelaku, ialah kemampuan
bertanggungjawab dan tidak adanya alasan
penghapus kesalahan.

111
1.4. Kesalahan dalam Hukum Pidana
Kesalahan ini dapat dilihat dari 2 sudut :
a. menurut akibatnya ia ada hal yang dapat
dicelakakan (verwijtbaarheid)
b. menurut hakekatnya ia adalah hal dapat
dihindarkannya (vermijdbaar-heid) perbuatan yang
melawan hukum
Dari pendapat-pendapat tersebut di atas maka dapatlah
dimengerti bahwa kesalahan itu mengandung unsur
pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan
tindak pidana. Jadi orang yang bersalah melakukan
sesuatu perbuatan, itu berarti bahwa perbuatan itu dapat
dicelakakan kepadanya, pencelaan disini bukannya
pencelaan berdasarkan kesusilaan, melainkan pencelaan
berdasarkan hukum yang berlaku. Bukan “ethische
schuld”, melainkan “veranwoordelijkheid rechtens, seperti
dikatakan oleh van Hamel. Namun demikian, untuk
adanya kesalahan hemat kami harus ada pencelaan
ethis, betapapun kecilnya. Ini sejalan dengan pendapat,
bahwa “das Recht ist das ethische Minimum”. Setidak-
tidaknya pelaku dapat dicela karena tidak menghormati

112
tata dalam masyarakat, yang terdiri dari sesama
hidupnya, dan yang memuat segala syarat untuk hidup
bersama.
1. Arti “kesalahan” dalam hukum Pidana
Dalam hukum pidana kesalahan memiliki 3 pengertian
yaitu :
a. kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya,
yang dapat disamakan dengan pengertian
“pertanggungjawaban dalam hukum pidana”; di
dalamnya terkandung makna dapat dicelanya
(verwijtbaarheid) sipelaku atas perbuatannya. Jadi
apabila dikatakan, bahwa orang bersalah
melakukan sesuatu tindak pidana, maka itu berarti
bahwa ia dapat dicela atas perbuatannya.
b. kesalahan dalam arti bentuk kesalahan
(sculdvorm) yang berupa :
1. kesengajaan (dolus, opzet, vorzatz atau
intention) atau
2. kealpaan (culpa, onachtzaamheid,
fahrlassigkeit atau negligence).

113
c. kesalahan dalam arti sempit, ialah kealpaan
(culpa) seperti yang disebutkan dalam b.2 di atas.
Pemakaian istilah “kesalahan” dalam arti ini
sebaiknya dihindarkan dan digunakan saja istilah
“kealpaan”.
Dengan diterimanya pengertian kesalahan (dalam arti
luas) sebagai dapat dicelanya si pelaku atas
perbuatannya, maka berubahlah pengertian
kesalahan yang psychologis menjadi pengertian
kesalahan yang normatif (normativer schuldbegriff).
2. Unsur-unsur dari kesalahan (dalam arti yang
seluas-luasnya)
Kesalahan dalam arti seluas-luasnya amat berkaitan
dengan pertanggungjawaban pidana dimana meliputi :
a. adanya kemampuan bertanggungjawab
pada sipelaku (schuldfahigkeit atau
zurechnungsfahigkeit); artinya keadaan jiwa
sipelaku harus normal. Disini dipersoalkan apakah
orang tertentu menjadi “normadressat” yang
mampu.

114
b. hubungan batin antara sipelaku dengan
perbuatannya, yang berupa kesengajaan (dolus)
atau kealpaan (culpa), ini disebut bentuk-bentuk
kesalahan. Dalam hal ini dipersoalkan sikap batin
seseorang pelaku terhadap perbuatannya.
c. tidak adanya alasan yang menghapus
kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf meskipun
apa yang disebut dalam a dan b ada, ada
kemungkinan bahwa ada keadaan yang
mempengaruhi sipelaku sehingga kesalahannya
hapus, misalnya dengan adanya kelampauan
batas pembelaan terpaksa (ps. 49 KUHP)
Kalau ketiga-tiga unsur ada maka orang yang
bersangkutan bisa dinyatakan bersalah atau
mempunyai pertanggungan jawab pidana, sehingga
bisa dipidana.
Dalam pada itu harus diingat bahwa untuk adanya
kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya
(pertanggungan jawab pidana) orang yang
bersangkutan harus pula dibuktikan terlebih dahulu
bahwa perbuatannya bersifat melawan hukum.

115
Kalau ini tidak ada, artinya, kalau perbuatannya tidak
melawan hukum maka tidak ada perlunya untuk
menerapkan kesalahan sipelaku.
Sebaliknya seseorang yang melakukan perbuatan
yang melawan hukum tidak dengan sendirinya
mempunyai kesalahan, artinya tidak dengan
sendirinya dapat dicela atas perbuatan itu.
Itulah sebabnya, maka kita harus senantiasa
menyadari akan dua pasangan dalam syarat-syarat
pemidaan ialah adanya :
1. dapat dipidananya perbuatan
(strafbaarheid van het feit)
2. dapat dipidananya orangnya
atau pelakunya (strafbaarheid van de persoon).

116
BAB VI
KESENGAJAAN
(DOLUS, INTENT, OPZET, VORSATZ)
Unsur kedua dari kesalahan dalam arti yang seluas-
luasnya (pertanggungjawaban pidana) adalah hubungan
batin antara si pelaku terhadap perbuatan, yang
dicelakakan kepada sipelaku itu. Hubungan batin ini bisa
berupa kesengajaan atau kealpaan.

117
Apakah yang diartikan dengan sengaja ? KUHP kita
tidak memberi definisi. Petunjuk untuk dapat mengetahui
arti kesengajaan, dapat diambil dari M.v.T. (Memorie van
Toelichting), yang mengartikan “kesengajaan” (opzet)
sebagai : “menghendaki dan mengetahui” (willens en
wetens). (Pompe : 166). Jadi dapatlah dikatakan, bahwa
sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang
dilakukan. Orang yang melakukan perbuatan dengan
sengaja menghendaki perbuatan itu dan disamping itu
mengetahui atau menyadari tentang apa yang dilakukan
itu. Misal : seorang Ibu, yang sengaja tidak memberi susu
kepada anaknya, menghendaki dan sadar akan
perbuatannya.
1. Teori-teori Kesengajaan
Berhubung dengan keadaan batin orang yang berbuat
dengan sengaja, yang berisi menghendaki dan
mengetahui itu, maka dalam ilmu pengetahuan hukum
pidana dapat disebut dua teori sebagai berikut:
a. Teori kehendak (wilstheorie)

118
Inti kesengajaan adalah kehendak untuk
mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan
undang-undang (Simons, Zevenbergen)
b. Teori pengetahuan / membayangkan (voorstelling-
theorie)
Sengaja berarti membayangkan akan akibat
timbulnya akibat perbuatannya; orang tak bisa
menghendaki akibat, melainkan hanya dapat
membayangkannya. Teori ini menitikberatkan
pada apa yang diketahui atau dibayangkan oleh
sipelaku ialah apa yang akan terjadi pada waktu ia
akan berbuat. (Frank).
Terhadap perbuatan yang dilakukan sipelaku kedua
teori itu tak ada perbedaan, kedua-duanya mengakui
bahwa dalam kesengajaan harus ada kehendak untuk
berbuat. Dalam praktek penggunaannya, kedua teori
adalah sama. Perbedaannya adalah dalam istilahnya
saja.
2. Bentuk Kesengajaan

119
Dalam hal seseorang melakukan sesuatu
dengan sengaja dapat dibedakan 3 bentuk sikap
batin, yang menunjukkan tingkatan atau bentuk dari
kesengajaan sebagai berikut :
a. kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk)
untuk mencapai suatu tujuan (yang dekat); dolus
directus
b. kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met
zekerheidsbewustzijn atau
noodzakkelijkheidbewustzijn
c. kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus
eventualis atau voorwaardelijk-opzet)
Bentuk kesengajaan ini merupakan bentuk
kesengajaan yang biasa dan sederhana. Perbuatan
sipelaku bertujuan untuk menimbulkan akibat yang
dilarang. Kalau akibat ini tidak akan ada, maka ia tidak
akan berbuat demikian. Ia menghendaki perbuatan
beserta akibatnya.
Misal : A menempeleng B. Amenghendaki sakitnya B
agar B tidak membohong.

120
Perhatikan : haruslah ditoh:bedakan antara tujuan dan
motif. Motif suatu perbuatan adalah alasan yang
mendorong untuk berbuat misalnya cemburu, jengkel
dsb.
Dalam hal delik materiil harus dihubungkan faktor
kausa yang menghubungkan perbuatan dengan
akibat (kausalitas) dimana :
1. akibat yang memang dituju sipelaku. Ini dapat
merupakan delik tersendiri atau tidak.
2. akibat yang tidak didinginkan tetapi merupakan
suatu keharusan untuk mencapai tujuan dalam no.
1 tadi, akibat ini pasti timbul atau terjadi.
Contoh 1 :
A hendak membunuh B dengan tembakan pistol. B
duduk di balik kaca jendela restoran. Penembakan
terhadap B pasti akan memecahkan kaca pemilik
restoran itu.
Terhadap terbunuhnya B kesengajaan merupakan
tujuan sedangkan terhadap rusaknya kaca (ps. 406

121
KUHP) ada kesengajaan dengan keinsyafan
kepastian atau keharusan sebagai syarat tercapainya
tujuan.
Dalam hal ini ada keadaan tertentu yang semula
merupakan diperkirakan sipelaku sebagai
kemungkinan terjadi kemudian ternyata benar-benar
terjadi merupakan resiko yang harus diemban
sipelaku.
Contoh 2 :
A hendak membalas dendam B yang bertempat
tinggal di Hoorn. A mengirim kue taart yang beracun
dengan maksud untuk membunuhnya. A tahu bahwa
ada kemungkinan istri B, yang tidak berdosa itu juga
akan makan kue tersebut dan meninggal karenanya,
meskipun A tahu akan hal terakhir ini namun ia tetap
mengirim kue tersebut, oleh karena itu kesengajaan
dianggap tertuju pula pada matinya istri B. Dalam
batin si A, kematian tersebut tidak menjadi persoalan
baginya.

122
Jadi dalam kasus ini :
Ada kesengajaan sebagai tujuan terhadap matinya B
dan kesengajaan dengan keinsyafan kemungkinan
terhadap kematian istri B (Arrest H.R. 9 Maret 1911)
Contoh 3 :
Seorang yang melakukan penggelapan, merasa
bahwa akhirnya ia akan ketahuan. Ia ingin
menghindarkan diri dari peradilan dunia dan hendak
membunuh dirinya dengan merencanakan sustu
kecelakaan lalu – lintas, Ia menabrakkan mobil yang
dikendarainya kepada otobis yang berisi penumpang.
Tujuannya agar uang asuransinya yang sangat tinggi
(1 ton) itu dapat dibayarkan kepada soprnya.
Tetapi ini gagal, ia tidak mati, hanya luka-luka.
Beberapa penumpang bis mengalami luka dan
seorang diantaranya luka yang membahayakan jiwa.
R.v.J (Raad van Justitie) Semarang yang diperkuat
oleh Hoogerechtshof dalam tingkat banding
menyatakan terdakwa bersalah telah melakukan

123
penganiayaan berat. Pertimbangannya antara lain
sebagai berikut:
Meskipun terdakwa tidak mengharapkan penumpang-
penumpang bis mendapat luka-luka, namun akibat ini
ada dalam kesengajaanya, sebab iatetap melakukan
perbuatan itu, meskipun ia sadr akan akibat yang
mungkin terjadi. Kasus ini adalah pengalaman Jokers,
ketika menjadi Jaksa Tinggi (Officier van Justitie)
pada R.v.J di Semarang.
3. Dolus Eventualis
Dolus eventualis lahir karena suatu keadaan dimana
sikap batin pelaku dimana pelaku tidak menghendaki
suatu tujuan untuk mewujudkan suatu tindak pidana,
akan tetapi keadaan menyebabkan ia tidak dapat
mengelak dari suatu keadaan tertentu.
Contoh:
Seorang mengendarai mobil angkutan umum dengan
lajunya di jalan dalam kota. Dimuka ia lihat

124
sekelompok anak yang sedang bermain-main. Apabila
ia tetap dalam kecepatan yang sama tanpa
menghiraukan nasib anak-anak dan tanpa mengambil
tindakan pencegahan, dan apabila akibat perbuatanya
itu beberapa anak luka atau mati, maka disini ada
kesengajaan unuk menganiaya atau membunuh,
meskipun tidak dapat dikatakan bahwa ia
mengiginkan akibat tadi, namun jelas ia menghendaki
hal itu, dalam arti, meskipun ia sadar akan
kemungkinan tentang luka dan matinya anak ia
mendesak kesadaran itu kebelakang dan menerima
apa boleh buat kemungkinan itu, dengan
melampiaskan naPasalunya untuk menegar kudanya.
Di atas telah disebutkan 2 teori yang menerangkan
bagaimana sikap batin seseorang yang melakukan
perbuatan dengan sengaja. Bagaimanakah
menerangkan adanya kesengajaan dengan sadar
kemungkinan (dolus eventualis) ?
Berdasarkan teori kehendak, jika sipelaku
menetapkan dalam batinnya, bahwa ia lebih
menghendaki perbuatan yang dilakukan itu, meskipun

125
nanti akan ada akibat yang ia tidak harapkan, dari
pada tidak berbuat, maka kesengajaan orang tersebut
juga ditujukan kepada akibat yang tidak diharapkan
itu.
Berdasarkan teori pengetahuan, pelaku mengetahui /
membayangkan akan kemungkinan terjadinyan akibat
yang tak dikehendaki, tetapi bayangkan itu tidak
mencegah dia untuk tidak berbuat; maka dapat
dikatakan, bahwa kesengajaan diarahkan kepada
akibat yang mungkin terjadi itu.
Dalam kedua teori itu digambarkan, bahwa dalam
batin si – pelaku terjadi suatu proses, bahwa ia lebih
baik berbuat dari pada tidak berbuat. Disini ada suatu
yang tidak jelas, oleh karena itu disamping kedua teori
itu ada teori yang disebut teori apa boleh buat (“In
Kauf nehmen theorie”atau” op de koop toe nemen
theorie”).
Menurut teori apa boleh buat (“In Kauf nehmen
theorie “atau”op de koop toe nemen theorie”) keadaan
batin si pelaku terhadap perbuatannya adalah sebagai
berikut:

126
a. akibat itu sebenarnya tidak dikehendaki, bahkan ia
benci atau takut akan kemungkinan timbulnya
akibat itu
b. akan tetapi meskipun ia tidak menghendakinya,
namun apabila toh keadaan/akibat itu timbul, apa
boleh buat hak itu diterima juga, ini berarti ia
berani memikul resiko.”
Dalam perdebatan di Eerste Kamsr mengenai W.v.S.
Menteri Modderman mengatakan, bahwa
“voorwaardelijkk opzet” (dolus eventualis) itu ada,
apabila kehendak kita langsung ditujukan pada
kejahatan tersebut, tetapi meskipun telah mengetahui
bahwa keadaan tertentu masih akan terjadi, namun
kita berbuat dengan tiada tercegah oleh kemungkinan
terjadinya hal yang telah kita ketahui itu.
Dengan teori apa boleh buat ini maka sebenarnya
tidak perlu lagi untuk membedakan kesengajaan
dengan sadar kepastian dan kesengajaan dengan
sadar kemungkinan.

127
Dalam uraian-uraian diatas penentuan tentang
kesengajaan si-pelaku adalah dengan melihat
bagaimana sikap batinnya perbuatan ataupun akibat
perbuatannya. Demikian itu karena kesengajaan
dipandang sebagai sikap batin pelaku terhadap
perbuatannya.
Dengan teori-teori itu diusahakan untuk menetapkan
kesengajaan sipelaku Dalam kejadian konkret tidaklah
mudah bagi Hakim untuk menentukan bahwa sikap
batin yang berupa kesengajaan (atau kealpaan) itu
benar-benar ada pada pelaku. Orang tidak dapat
secara pasti mengetahui mengetahui batin orang lain,
lebih-lebih bagaimana keadaan batinnya pada waktu
orang ini berbuat.
Apabila orang ini dengan jujur menerangkan keadaan
batinnya yang sebenarnya maka tidak ada kesukaran.
Kalau tidak, maka sikap batinnya harus disimpulkan
dari keadaan lahir, yang tampak dari luar. Jadi dalam
banyak hal hakim baru mengobyektifkan adanya
kesengajaan itu.
Contoh Van Bemmelen:

128
A melepaskan tembakan kepada B dalam jarak 2
meter.
Meskipun A mungkin, bahwa ia mempunyai
kesengajaan untuk membunuh B, namun Hakim tetap
akan menentukan adanya kesengajaan tersebut,
kecuali apabila dapat diterima alasan-alasan yang
sangat masuk akal bahwa A tidak tahu pistol itu berisi
atau bahwa matinya B itu disebabkan karena
kekhilafan dari A.
Dalam hal ini diragukan adanya kesenjajaan,
sehingga ada pembebasan. Hakim harus sangat
berhati-hati. Kesengajaan berwarna (gekleurd) dan
tidak berwarna (kleurloos). Persoalan ini berhubungan
dengan masalah: apakah untuk adanya kesengajaan
itu sipelaku harus menyadari bahwa perbuatannya itu
dilarang (bersifat melawan hukum) ?
Mengenai hal ini ada 2 pendapat, ialah yang
mengatakan bahwa:
a. sifat kesengajaan itu berwarna dan kesengajaan
melakukan sesuatu perbuatan mencakup

129
pengetahuan sipelaku bahwa perbuatanya
melawan hukum (dilarang); harus ada hubungan
antara keadaan batin si-pelaku dengan melawan
hukumnya perbuatan. Dikatakan, bahwa sengaja
disini berarti dolus malus, artinya sengaja untuk
berbuat jahat (boos opzet). Jadi menurut pendirian
yang pertama, untuk adanya kesengajaan perlu
bahwa sipelaku menyadari bahwa perbuatannya
dilarang. Penganutnya antara lain Zevenbergen,
yang mengatakan (dalam bukunya leerboek van
het Nederlandsch Strafrecht, tahun 1924, halaman
169), bahwa: Kesengajaan senantiasa ada
hubungannya dengan dolus molus, dengan
perkataan lain dalam kesengajaan tersimpul
adanya kesadaran mengenai sifat melawan
hukumnya perbuatan.” Untuk adanya
kesengajaan, di perlukan syarat, bahwa pada
sipelaku ada kesadaran, bahwa perbuatannya
dilarang dan/atau dapat dipidana
b. Kesengajaan tidak berwarna
Kalau dikatakan bahwa kesengajaan itu tak
berwarna, maka itu berarti, bahwa untuk adanya

130
kesengajaan cukuplah bahwa sipelaku itu
menghendaki perbuatan yang dilarang itu. Ia tak
perlu tahu bahwa perbuatannya terlarang / sifat
melawan hukum.
Dapat saja sipelaku dikatakan berbuat dengan
sengaja, sedang ia tidak mengetahui bahwa
perbuatannya itu dilarang atau bertentangan
dengan hukum.
Penganut-penganutnya antara lain : Simons,
Pompe, Jonkers. Menurut M.v.T. tidak perlu ada
“boos opzet”. M.v.T. mengatakan demikian :
“Akan tetapi untuk berbuat dengan sengaja itu
apakah sipelaku tidak harus menyadari, bahwa ia
melakukan suatu perbuatan yang menurut tata
susila tidak dibenarkan (zadelijk ongeoorlooid) ?
Cukupkah dengan adanya kesengajaan saja atau
perlukah adanya “kesengajaanj jahat” (boos opzet)
?
Jawabnya tidak akan lain dari pada itu.

131
Keberatan terhadap pendirian bahwa kesengajaan
itu berwarna ialah akan merupakan beban yan
berat bagi jaksa apabila untuk membuktikan
adanya kesengajaan, tiap kali ia harus
membuktikan bahwa pada terdakwa ada
kesadaran atau pengetahuan tentang dilarangnya
perbuatan itu. Sebaliknya, alasan bahwa
kesengajaan itu berwarna ialah kesalahan itu, jadi
termasuk kesengajaan, berisi bahwa sipelaku
harus sadar bahwa perbuatan itu keliru.
Apabila ia sama sekali tidak sadar akan itu,
meskipun pada kenyataannya ia melakukan
perbuatan yang dilarang, yang melawan hukum, ia
tidak dapat dipidana.
4. Perumusan Unsur Sengaja dalam KUHP
M.v.T. memuat suatu asas yang mengatakan antara
lain, bahwa “unsur-unsur delik yang terletak
dibelakang perkataan opzettelijk (dengan sengaja)
dikuasai atau diliputi olehnya”.

132
Oleh karena itu pembentuk undang-undang
menetapkan dengan seksama dimana letak perkataan
“opzettelijk” itu. (bacalah ps. 151 dan 152 dan
bandingkan letak perkataan sengaja dalam kedua
pasal tersebut). Unsur yang terletak di muka
perkataan “opzettelijk” disebut “diobjektip-kan”
(geobjektiveerd), artinya dilepaskan dari kekuasaan
kesengajaan. Jadi tidak perlu dibuktikan bahwa
kesengajaan sipelaku ditujukan kepada hal tersebut,
seperti halnya ps. 152. Lihat ps. 303 KUHP.
Kesengajaan disini harus ditujukan kepada hal-hal
apa saja ? Pecahkanlah sendiri !
Dalam hal itu asas yang dianut M.v.T. itu tidak
berlaku untuk semua delik. Ada pengecualiannya.
Lihat ps. 187 KUHP. Di sini ada keadaan-keadaan,
yang disebut di belakang perkataan sengaja,
diobjektipkan, sehingga tak perlu dibuktian bahwa
kesengajaan pelaku ditujukan kepada hal tersebut
yang diobjektipkan, artinya yang tidak perlu
ditanyakan apakah sipelaku mengetahui atau
menghendakinya, ialah “dapat terjadinya bahaya
umum atau bahaya maut tersebut”.

133
Demikianlah teknik perundang-undangan yang
diikuti oleh KUHP dalam teks Belanda. Yang menjadi
masalah ialah apabila kita menghadapi KUHP dalam
teks Bahasa Indonesia, yang sebenarnya bukan teks
resmi. Tata bahasa kedua bahasa itu tidak sama, oleh
karena itu teknik perundang-undangan dalam
menyusun kalimat tentunya tidak dapat atau tidak
perlu mengikuti KUHP sepenuhnya. Menghadapi teks
terjemahan yang diusahakan oleh beberapa penulis
sekarang ini tidak ada jalan lain bagi pelaksana
hukum misalnya hakim, untu melihat teks aslinya ialah
teks Bahasa Belanda dan mendasarkan penafsiran
pada teks tersebut.
Pada delik-delik yang memuat unsur-unsur “met
het oogmerk om ........ (dengan tujuan untuk),
misalnya pada delik pencurian (ps. 362), pemalsuan
surat (ps. 263), ialah yang disebut “Tendenz-delikte”
atau Absicht-delikte”, ada pendapat bahwa unsur
tersebut bukannya unsur kesengajaan, melainkan
unsur melawan hukum subjektif. Unsur ini
memberi.sifat atau arah dari perbuatan yang
dimaksud dalam rumusan delik yang bersangkutan.

134
Pada delik-delik yang memuat unsur-unsur ”met
het oogmerk om..............(dengan tujuan untuk.........),
misalnya dalam delik pencurian (pasal 362),
pemalsuan surat (pasal 263), ialah apa yang disebut
“Tendenz-delikte” atau “Absicht-delikte”, ada pendapat
bahwa unsur tersebut bukannya unsur kesengajaan,
melainkan unsur melawan hukum yang subjektif.
Unsur ini memberi sifat atau arah dari perbuatan yang
dimaksud dalam rumusan delik yang bersangkutan.
4.1. Kata “dan”
Dalam KUHP (teks Belanda), dalam merumuskan
sesuatu delik, terdapat bentuk rumusan:
- Sengaja tanpa ada rumusan unsur melawan
hukum (wederrechtelijk)
- Sengaja melawan hukum (wederrechtelijk) tanpa
kata dan
- Meyisipkan kata “dan” diantara perkataan
“sengaja” dan perkataan “melawan hukum”, jadi
merumuskan sebagai “sengaja dan melawan
hukum” (opzettelijk en wederrechtelijk).

135
Contoh:
Pasal 333: Hij die opzettelijk iemand wederrechtelijk
van devrijhiid berooft of berooft houdt..............
Dalam pasal ini jelas bahwa kesengajaan meliputi
melawan hukumnya perbuatan dengan perkatan lain
pelaku harus tahu, bahwa perbuatan yang dilakukan
itu bertentangan dengan hukum, disamping ia berbuat
dengan sengaja. Apabila ia dengan iktikad baik (te
goeder trouw) mengira, bahwa ia dalam keadaan
tertentu boleh merampas kemerdekaan seseorang,
maka ia tak dapat dipidana. Disini ada kesesatan
yang bisa membebaskan.
Pasal 406: Hij die opzettelijk en wederrechitelijk enig
goed dat geheel of ten deele aan een onder toebe
hoort, vernielt, beschadigt, onbruik baar maakt of
wegmaakt, wordt.....................
Dalam rumusan (dalam bahasa Belanda) yang
demikian ini menjadi persoalan apakah sifat melawan
hukumnya perbuatan juga harus diliputi oleh

136
kesengajaan. Mengenai hal ini terdapat tiga
pandangan:
a. Perkataan “en” (dan) menunjukkan kedudukan
yang sejajar. Kesengajaan pelaku tidak perlu
ditujukan kepada sifat melawan hukumnya
perbuatan, dengan perkataan lain sifat melawan
hukum ini diobjektipkan. Sipelaku tidak perlu tahu
bahwa perbuatannya melawan hukum.
Contoh pasal 406 : Seorang pekerja yang
mendapat perintah dari pemilik rumah untuk
membongkar rumahnya, tetapi sebelum
melaksanakan perintah tersebut, tanpa diketahui
olehnya rumah itu ganti pemilik. Ia terus saja
membongkar. Ia merusak dengan sengaja dan
dengan melawan hukum. Ia dapat dipidana.
b. Perkataan “en” (dan) tidak ada artinya.
Semua delik yang menurut unsur “sengaja
melawan hukum” dapat dibaca “sengaja dan
melawan hukum”, yang berarti dua hal yang
terpisah dan tidak berpengaruh satu sama lain,

137
meskipun tidak ada perkataan “en” (dan) tersebut :
Dalam hukum, pendapat ini diragukan.
c. Perkataan “en” (dan) tidak ada artinya
Berbeda dengan pendapat ke 2 tersebut,
pendapat ini justru mengartikan sengaja dan
melawan hukum “sebagai” sengaja melawan
hukum. Jadi meskipun ada perkataan dan,
kesengajaan sipelaku harus ditujukan kepada
melawan hukumnya perbuatan, sesuai dengan
asas, bahwa semua unsur yang terletak di
belakang perkataan sengaja dikuasai olehnya.
Jadi menurut pendapat ini dalam contoh tersebut
di atas, si-pekerja tidak dapat dipidana karena ia
sama sekali tidak mengetahui sifat melawan
hukumya perbuatan yang ia lakukan.
Van Hamel, Simons, Pompe menganut pendapat
yang pertama, sedang Vos, Zevenbergen,
Langemeyer mengikuti pendapat yang ketiga. Hoge
Raad mengikuti pendapat pertama. Dalam arrest tgl.
21 Desember 1914 dimuat antara lain : karena antara
unsur kesengajaan dan unsur melawan hukum ada

138
perkataan “en”, maka unsur melawan hukum tidak
diliputi oleh kesengajaan.
Bagi Prof. Muljatno perkataan “dan” diantara
perkataan “sengaja” dan perkataan “melawan hukum”
tidak mempunyai arti. Unsur sifat melawan hukum itu
harus dikuasai oleh unsur kesengajaan. Pelaku harus
tahu bahwa yang dilakukan itu bersifat melawan
hukum.
5. Kesengajaan Menurut Doktrin
Dalam ilmu pengetahuan dikenal beberapa macam
kesengajaan :
a. dolus premeditatus
Bentuk ini mengacu pada rumusan delik yang
mensyaratkan unsur “dengan rencana lebih
dahulu” (met voorbedachte rade) sebagai unsur
yang menentukan dalam pasal. Ini terdapat dalam
delik-delik yang dirumuskan dalam pasal 363, 340,
342 KUHP.

139
Istilah tersebut meliputi bagaimana terbentuknya
“kesengajaan” dan bukan merupakan bentuk atau
tingkat kesengajaan. Menurut M.v.T. untuk
“voorbedachte rade” diperlukan “saat memikirkan
dengan tenang” (een tijdstip van kalm overleg, van
bedaard nedenken). Untuk dapat dikatakan “ada
rencana lebih dulu”, si pelaku sebelum atau ketika
melakukan tindak pidana tersebut, memikirkan
secara wajar apa yang ia lakukan atau yang akan
ia lakukan.
b. dolus determinatus dan indeterminatus
Unsurnya ialah pendirian bahwa kesengajaan
dapat lebih pasti atau tidak. Pada dolus
determinatus, pelaku misalnya menghendaki
matinya orang tertentu, sedang pada dolus
indeterminatus pelaku misalnya menembak ke
arah gerombolan orang atau menembak
penumpang-penumpang dalam mobil yang tidak
mau disuruh berhenti, atau meracun reservoir air
minum, dan sebagainya.
c. dolus alternativus

140
Dalam hal ini, sipelaku menghendaki atau A atau
B, akibat yang satu atau yang lain
d. dolus indirectus, Versari in re illicita
Ajaran tentang “dolus indirectus” mengatakan,
bahwa semua akibat dari perbuatan yang
disengaja, dituju atau tidak dituju, diduga atau
tidak diduga, itu dianggap sebagai hal yang
ditimbulkan dengan sengaja. Ajaran ini dengan
tegas ditolak oleh pembentuk undang-undang.
Macam dolus ini masih dikenal oleh Code Penal
Perancis. Dolus ini ada, apabila dari suatu
perbuatan yang dilarang dan dilakukan dengan
sengaja timbul akibat yang tidak diinginkan.
Misalnya A dan B berkelahi, A memukul B, B jatuh
dan dilindas mobil. Ini oleh Code Penal dipandang
sebagai “meutre”. Hazewinkel-Suringa
menganggap hal ini sebagai suatu pengertian
yang tidak baik.

141
Ajaran dolus indirectus ini mengingatkan orang
kepada ajaran kuno (hukum kanonik) tentang
pertanggung-jawab, ialah versari in re
illicita.menurut ajaran ini seseorang yang
melakukan perbuatan terlarang juga
dipertanggung-jawabkan atas semua akibatnya.
Dipertanggung-jawabkan dalam hukum pidana,
meskipun akibat itu tidak dapat dibayangkan sama
sekali olehnya dan timbul secara kebetulan. Di
Inggris dan Spanyol pengertian dolus indirectus
adalah sama dengan apa yang kita sebut “dolus
eventualis”.
e. dolus directus
Ini berarti, bahwa kesengajaan sipelaku tidak
hanya ditukaun kepada perbuatannya, melainkan
juga kepada akibat perbuatannya.
f. dolus generalis
Pada delik materiil harus ada hubungan kausal
antara perbuatan terdakwa dan akibat yang tidak
dikehendaki undang-undang.

142
Misalkan seseorang yang bermaksud untuk
membunuh orang lain, telah melakukan
serangkaian perbuatan misalnya mencekik dan
kemudian melemparnya ke dalam sungai. Menurut
otopsi (pemeriksaan mayat) matinya orang ini
disebabkan karena tenggelam, jadi pada waktu
dilempar ke air ia belum mati.
Menurut ajaran kuno disini ada dolus generalis,
ialah harapan dari terdakwa secara umum agar
orang yang dituju itu mati, bagaimanapun telah
tercapai. Simons menyetujui jenis dolus ini.
Hazewinkel-Suringa menganggap hal tersebut
secara dogmatis tidak tepat. Perbuatan pertama
(mencekik) dikualifikasikan sebagai “percobaan
pembunuhan”, sedang perbuatan kedua
(melempar ke kali) merupakan perbuatan yang
terletak / di luar lapangan hukum pidana atau
“menyebabkan matinya orang karena
kealpaannya”.
Contoh :

143
Seorang Ibu yang ingin melepaskan diri dari
bayinya, menaruh bayi itu di pantai dengan
harapan agar dibawa oleh arus pasang. Akan
tetapi air pasangnya tidak setinggi yang
diharapkan; namun bayinya mati karena kelaparan
dan kedinginan. Meskipun jalannya peristiwa tidak
tepat seperti yang dibayangkan oleh sipelaku,
namun karena akibat yang dikenhendaki telah
terjadi, maka disini menurut von Hippel ada
pembunuhan yang direncanakan. Pendirian von
Hippel ada pembunuhan yang direncanakan.
Pendirian Von Hippel ini sama dengan pendapat
H.R. dalam arrestnya tanggal 26 Juni 1962.

144
BAB VII
KEALPAAN (CULPA)
(CULPA dalam arti sempit), SCHULD, NALATIGHEID,
RECKLESSNESS,NEGLIGENCE, FAHRLASSIGKEIT,
SEMBRONO, TELEDOR).
Disamping sikap batin berupa kesengajaan ada pula
sikap batin yang berupa kealpaan. Hal ini terdapat dalam
beberapa delik. Akibat ini timbul karena ia alpa, ia
sembrono, teledor, ia berbuat kurang hati-hati atau
kurang penduga-duga.
Dalam buku II KUHP terdapat beberapa pasal yang
memuat unsur kealpaan. Ini adalah delik-delik culpa

145
(culpose delicten). Delik-delik itu dimuat antara lain dalam
:
Pasal 188 : Karena kealpaannya menimbulkan
peletusan, kebakaran dst
Pasal 231 (4) : Karena kealpaannya sipenyimpan
menyebabkan hilangnya dan
sebagainnya barang yang disita
Pasal 359 : Karena kealpaannya menyebabkan
matinya orang
Pasal 360 : Karena kealpaannya menyebabkan
orang luka berat dsb.
Pasal 409 : Karena kealpaannya menyebabkan
alat-alat perlengkapan (jalan api dsb)
hancur dsb.
Perkataan culpa dalam arti luas berarti kesalahan pada
umumnya, sedang dalam arti sempit adalah bentuk
kesalahan yang berupa kealpaan. Suatu keadaan, yang
sedemikian membahayakan keamanan orang atau
barang, atau mendatangkan kerugian terhadap
seseorang yang sedemikian besarnya dan tidak dapat
diperbaiki lagi, sehingga umdang-undang juga bertindak

146
terhadap larangan penghati-hati, sikap sembrono
(teledor), pendek kata “ schuld” (kealpaan yang
menyebabkan keadaan tadi)”.(er zijn feiten, die de
algemene vefligheid van onen of goederen zozeer in
gevaar brengen of zo groot en onherstelbaar nadeel
bijzondere personen berokkenen, dat de wet ook de
onvoorzichtigheid, de tigheid, het gebrek aan voorzorg, in
een woord, schuld, waar het feit prong heeft, moet tekeer
gaan”)
1. Pengertian kealpaan atau culpa (dalam arti sempit)
Menurut M.v.T kealpaan disatu pihak berlawanan
benar-benar dengan kesengajaan dan dipihal lain dengan
hal yang kebetulan (toevel atau caous).kealpaan
merupakan bentuk kesalahan yang lebih ringan dari pada
kesengajaan, akan tetapi bukannya kesengajaan yang
ringan.
Beberapa penulis menyebut beberapa syarat untuk
adanya kealpaan:
a. Hazenwinkel – Suringa

147
Ilmu pengetahuan hukum dan jurispruden
mengartikan “schuld” (kealpaan) sebagai:
1. kekurangan penduga – duga atau
2. kekurangan penghati-hati.
b. Van hamel
Kealpaan mengandung dua syarat:
1. tidak mengadakan penduga-duga
sebagaimana diharuskan oleh hukum.
2. tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana
diharuskan oleh hukum.
c. Simons:
Pada umumnya “schuld” (kealpaan) mempunyai dua
unsur :
1. Tidak adanya penghati-hati, di samping
2. dapat diduganya akibat

148
d. Pompe.
Ada 3 macam yang masuk kealpaan
(anachtzaamheid):
1. Dapat mengirakan (kunnen venvachten) timbulnya
akibat
2. Mengetahui adanya kemungkinan (kennen der
mogelijkheid)
3. Dapat mengetahui adanya kemungkinan (kunnen
kennen van de mogelijkheid)
Tetapi nomor 2 dan 3 hanya apabila mengetahui
atau dapat mengetahuinyaitu menyangkut juga
kewajiban untuk menghindarkan perbuatannya
(=untuk tidak melakukan perbuatan).
Kealpaan orang tersebut harus ditentukan secara
normatif, dan tidak secara fisik atau psychis.
Tidaklah mungkin diketahui bagaimana sikap batin
seseorang yang sesungguh-sungguhnya maka
haruslah ditetapkan dari luar bagaimana

149
seharusnya ia berbuat dengan mengambil ukuran
sikap batin orang pada umunya apabila ada dalam
situasi yang sama dengan si-pelaku itu.
a. “Orang pada umunya” ini berarti bahwa
tidak boleh orang yang paling cermat, paling
hati-hati, paling ahli dan sebagainya.
b. Untuk menentukan adanya kealpaan ini
harus dilihat peristiwa demi peristiwa. Yang
harus memegang ukuran normatif dari
kealpaan itu adalah Hakim. Undang-undang
mewajibkan seseorang untuk melakukan
sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu.
Misalnya, dalam peraturan lalu-lintas ada
ketentuan bahwa” di simpangan jalan, apabila
datangnya bersamaan waktu maka kendaraan
dari kiri harus didahulukan”.
Apabila seorang pengendara dalam hal ini
berbuat lain ini berbuat lain daripada apa yang
diatur itu, maka apabila perbuatannya itu
mengakibatkan tabrakan. Sehingga orang lain
luka berat, maka ia dapat dikatakan karena

150
kealpaannya mengakibatkan orang lain
(Pasal. 360 (1) K.U.H.P)
Dalam hubungan ini VOS mengemukakan,
bahwa dalam delik-delik culpa sifat melawan
hukum telah tersimpul di dalam culpa itu
sendiri.
Ia menyatakan antara lain “Memang culpa
tidak mesti meliputi dapat dicelanya si-pelaku,
namun culpa menunjukkan kepada tidak
patutnya perbuatan itu dan jika perbuatan itu
tidak bersifat melawan hukum, maka tidaklah
mungkin perbuatan itu perbuatan yang
abnormal, jadi tidak mungkin ada culpa.
Dalam delik culpoos tidak mungkin
diajukan alasan pembenar (rechtvaar
digingsgrond).
c. Untuk adanya pemidanaan perlu adanya
kekurangan hati-hati yang cukup besar, jadi
harus culpa lata dan bukanya culpa levis
(kealpaan yang sangat ringan).

151
2. Bentuk kealpaan
Pada dasarnya orang berfikirdan berbuat secara
sadar. Pada delik culpoos kesadaran si- pelaku tidak
berjalan secara tepat. Karena Bentuk kealpaan dapat
dibagi dalam 2 (dua bentuk) yaitu
a. Kealpaan yang disadari (bewuste schuld)
Disini sipelaku dapat menyadari tentang apa yang
dilakukan beserta akibatnya, akan tetapi ia
percaya dan mengharap-harap bahwa akibatnya
tidak akan terjadi
b. Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld).
Dalam hali ini si pelaku melakukan sesuatu yang
tidak menyadari kemungkinan akan timbulnya
sesuatu akibat, padahal seharusnya ia dapat
menduga sebelumnya.
Perbedaan itu bukanlah berarti bahwa kealpaan yang
disadari itu sifatnya lebih berat dari pada kealpaan yang

152
tidak disadari. Kerapkali justru karena tanpa berfikir akan
kemungkinan timbulnya akibat malah terjadi akibat yang
sangat berat. VAN HATTUM mengatakan, bahwa
“kealpaan yang disadari itu adalah suatu sebutan yang
mudah untuk bagian kesadaran kemungkinan (yang ada
pada pelaku), yang tidak merupakan dolus eventualis”.
Hemat kami perbedaan tersebut tidak banyak artinya.
Kealpaan merupakan pengertian yang normatif bukan
suatu pengertian yang menyatakan keadan (bukan
feitelijk begrip). Penentuan kealpaan seseorang harus
dilakukan dari luar, harus disimpulkan dari situasi
tertentu, bagaimana saharusnya si-pelaku itu berbuat.
3. Delik “pro parte dolus pro parte culpa”
Delik-delik yang di-rumuskan dalam pasal 359, 360, 188,
409 dapat disebut delik-delik culpoos dalam arti yang
sesungguhnya. Disamping itu ada delik-delik yang di
dalam perumusanya memuat unsur kesengajaan dan
kealpaan sekaligus, sedang ancaman pidananya sama.
Muljatno menamakan delik-delik tersebut sebagai delik
yang salah satu unsurnya diculpakan.
Misalnya:

153
Pasal 480 (penadahan)
Pasal 483, 484 (delik yang menyangkut pencetak dan
penerbit).
Pasal 287, 288, 292 (delik-delik kesusilaan).
Rumusan yang dipakai dalam delik-delik tersebut ialah
“diketahui” atau “mengerti” bentuk kesengajaan dan
“sepatutnya harus di-duga” atau “seharusnya menduga
bentuk kealpaan. Pada delik-delik ini kesengajaan atau
kealpaan hanya tertuju kepada salah tertuju kepada
salah satu unsur dari delik itu.
- Pada delik penadahan ditujukan kepada hal
“bahwa barang yang bersangkutan diperoleh dari
kejahatan”.
- Pada delik-delik kesusilaan (pasal 287 dan pasal
288) ditujukan kepada “umur-wanita belum lima
belas tahun, atau kalau umurnya tak ternyata,
bahwa belum mampu dikawin”.
- Pada delik Pasal 292 ditujukan kepada unsur “
belum cukup umur dari orang yang sama kelamin
itu”.

154
- Pada delik-delik Pasal 483 dan Pasal 484
ditujukan kepada unsur “pelaku/orang yang
menyuruh cetak pada saat penerbitan, tidak dapat
dituntut, atau menetap diluar Indonesia.
Dalam surat dakwaan:
a. Cukup dicantumkan uraian kata-kata
presis seperti apa yang dirumuskan dalam
undang-undang, jadi misalnya untuk delik dalam
pasal 480 : benda), yang diketahui atau
sepatutnya harus diduga, bahwa diperoleh dari
kejahatan”.
b. Ada dan tidak adanya kealpaan itu harus
dibuktikan dalam pemeriksaan pengadilan
ditetapkan oleh Hakim.
c. Pembuktiannya cukup secara normatif,
jadi tidak dilihat apakah terdakwa mengetahui.
Arrest Hooggerchtshof (dalam tingkat kasasi) yang
membatalkan keputusan Raad van Justitie Medan, yang
membebaskan terdakwa yang dituduh melakukan
“schuldheling” (pasal 480), Hooggerechtshof (H.G.H)

155
menyatakan bahwa wet tidak mengharuskan adanya
dugaan pada terdakwa sepatutnya harus menduga
bahwa barang itu berasal dari kejahatan, dengan sama
sekali tidak menagnggap penting apakah terdakwa betul-
betul mempunyai dugaan atau tidak.
Kelapaan orang lain tidak dapat meniadakan kealpaan
dari terdakwa. Contoh :
a. terdakwa sebagai pengendara mobil tetap dipidana
karena ia pada malam hari menabrak gerobag yang
tidak memakai lampu. Pengendara gerobag alpa,
tetapi ini tidak meniadakan kealpaan terdakwa.
b. Seorang pengemudi mobil pada pagi hari jam 03.00
melanggar sekaligus 4 orang yang sedang tidur di
tengah jalan raya. Dalam kasus inipun tidak boleh
dilihat “kealpaan orang lain”, akan tetapi tetap harus
ditinjau ada dan tidak adanya kealpaan pada
pengemudi mobil, apakah ia kurang hati-hati dan
kurang-menduga-duga ? bagaimana keadaan
mobilnya ? kalau lampunya kurang terang, maka ini
merupakan indikasi dari kealpaannya. Apabila
lampunya normal, maka seharusnya ia dapat

156
mengetahui orang yang tidur di jalan itu. Kalau tidak,
maka ini merupakan kealpaan.

157
BAB VIII
KESALAHAN DALAM DELIK
PELANGGARAN
Persoalan kesalalahan pada tindak pidana berupa
pelanggaran. Pada tidak pidana berupa kejahatan
diperlukan adanya kesengajaan atau kealpaan. Dalam
undang-undang unsur-unsur dinyatakan dengan tegas
atau dapat diambil dari kata kerja dalam rumusan tindak
pidana itu. Dalam rumusan tindak pidana berupa
pelanggaran pada dasarnya tidak ada penyebutan
tentang kesengajaan atau kealpaan, artinya tidak disebut
apakah perbuatan dilakukan dengan sengaja atau alpa.
Hal ini penting untuk hukum acara pidana, sebab kalau
tidak tercantum dalam rumusan Undang-undang, maka
tidak perlu dicantumkan dalam surat tuduhan dan juga
tidak perlu dibuktikan.

158
Dalam hal ini berlakulah ajaran “fait materiel” (de leer an
het matericle feit ajaran perbuatan materiil) dimana
menurut M.v.T. :
Pada pelanggaran hakim tidak perlu mengadakan
pemeriksaan secara khusus tentang adanya
kesengajaan, bahkan adanya kealpaan juga tidak, lagi
pula tidak perlu memberi keputusan tentang hal tersebut.
Soalnya apakah terdakwa berbuat/tidak berbuat sesuatu
yang bertentangan dengan Undang-undang atau tidak.
Contoh : arrest H.R tanggal 14 Pebruari 1916 (arrest air
dan susu).
Duduk perkara;
A.B., pengusaha (veehouder) menyuruh melever susu
kepada para langganan. Yang mengedarkan susu itu D,
pelayan. Pada suatu ketika susu yang dilever oleh D itu
ternyata tidak murni (dicampur air). D tidak tahu menahu
tentang hal itu. Pasal 303a dan 344 Peraturan Polisi
Umum mengancam dengan pidana Barang siapa
melever susu dengan nama susu murni, padahal

159
dicampur dengan sesuatu (tidak murni). Ini merupakan
tindak pidana berupa pelanggaran.
A.B. dituntut dan dalam tingkat banding dijatuhi pidana.
A.B. mengajukan kasasi, dengan alasan yang lebih
kurang demikian:
a. Rechtbank Amsterdam salah menerapkan Pasal 47
W.v.S Belanda (Pasal 55 K.U.H.P), sebab telah
memutuskan secara tidak benar bahwa A.B. telah
menyuruh lakukan perbuatan yang dituduhkan, tanpa
menyelidiki terlebih dahulu apakah pelaku materiil
(ialah D) tidak bertanggung-jawab atas perbuatan itu.
b. tidak terjadi persoalan apakah pelaku materiil (D)
dianggap tidak berhak untuk menyelidiki murni dan
tidaknya susu yang disuruh melevernya.
c. lebih-lebih pasal 303a dan 344 tersebut mengancam
dengan pidana barang siapa melever susu yang tidak
murni tanpa memandang ada kesalahan atau tidak.

160
Permohonan kasasi ini ditolak oleh Hooge Raad, dan
terhadap alasan yang dikemukakan oleh A.B. H.R.
memberi pertimbangan antara lain sebagai berikut:
a. Telah dinyatakan terbukti bahwa penuntut kasasi (A
B) telah menyuruh pelayannya (D) untuk melever
susu dengan sebutan “susu murni” padahal dicampur
dengan air. Hal mana tidak diketahui oleh D.
b. memang dalam pasal 303 tidak disebut dengan tegas
bahwa orang yang melakukan perbuatan itu harus
mempunyai kesalahan (“enige schuld”), akan tetapi ini
tidak dapat disimpulkan bahwa orang yang tidak
mempunyai kesalahan sama sekali (geheel gemis van
schuld) peraturan ini dapat diterapkan kepada.
c. tidak ada suatu alasanpun, terutama dalam riwayat
W.v.S. yang memaksa untuk menganggap dalam hal
unsur kesalahan tidak dicantumkan dalam rumusan
delik, khususnya dalam pelanggaran, pembentuk
Undang-undang menyetujui sistem, orang yang
berbuat harus dipidana yang terdapat dalam Undang-
undang, sekalipun ternyata tidak ada kesalahan sama
sekali (asas : afwezigheid van alle schuld).

161
d. Untuk menerima sistim tersebut (dalam c), yang
bertentangan dengan rasa keadilan dan asas ”tiada
pidana tanpa kesalahan” yang juga dianut dalam
hukum pidana kita, hal ini harus tegas-tegas ternyata
dalam rumusan delik.
Arrest air dan susu penting untuk perkembangan hukum
pidana. Dengan arrest itu, maka:
a. ajaran “fait materiel” pada pelanggaran ditinggalkan.
b. Diakui untuk pertama kalinya oleh badan pengadilan
yang tertinggi (Belanda) berlaku asas ”tiada pidana
tanpa kesalahan” (geen straf zonder schuld).

162
BAB IX
PIDANA DAN PEMIDANAAN (HUKUM
PENITENSIER)
Sebelum membahas materi ini terlebih dahulu kita
memahami apa yang dimaksud dengan pidana dan
pemidanaan. Pidana merupakan nestapa/derita yang
dijatuhkan dengan sengaja oleh negara (melalui
pengadilan) dimana nestapa itu dikenakan pada
seseorang yang secara sah telah melanggar hukum
pidana dan nestapa itu dijatuhkan melalui proses
peradilan pidana. Adapun Proses Peradilan Pidana (the
criminal) justice process) merupakan struktur, fungsi, dan
proses pengambilan keputusan oleh sejumlah lembaga
(kepolisian, kejaksaan,pengadilan & lembaga
pemasyarakatan) yang berkenaan dengan penanganan &
pengadilan kejahatan dan pelaku kejahatan.
Pemidanaan merupakan penjatuhan pidana/sentencing
sebagai upaya yang sah yang dilandasi oleh hukum

163
untuk mengenakan nestapa penderitaan pada seseorang
yang melalui proses peradilan pidana terbukti secara sah
dn meyakinkan bersalah melakukan suatu tindak pidana.
Jadi pidana berbicara mengenai hukumannya dan
pemidanaan berbicara mengenai proses penjatuhan
hukuman itu sendiri.
Pidana perlu dijatuhkan pada seseorang yang melakukan
pelanggaran pidana karena pidana juga berfungsi
sebagai pranata sosial. Dalam hal ini pidana sebagai
bagian dari reaksi sosial manakala terjadi pelanggaran
terhadap norma-norma yang berlaku, yakni norma yang
mencerminkan nilai dan struktur masyarakat yang
merupakan reafirmasi simbolis atas pelanggaran
terhadap “hati nurani bersama“ sebagai bentuk
ketidaksetujuan terhadap perilaku tertentu. Bentuknya
berupa konsekwensi yang menderitakan, atau setidaknya
tidak menyenangkan.
Ilmu yang mempelajari pidana dan pemidanaan
dinamakan Hukum Penitensier/Hukum Sanksi. Hukum
Penitensier adalah segala peraturan positif mengenai
sistem hukuman (strafstelsel) dan sistem tindakan

164
(matregelstelsel), menurut Utrecht, hukum penitensier ini
merupakan sebagaian dari hukuman pidana positif yaitu
bagian yang menentukan:
1. Jenis sanksi terhadap suatu pelanggaran dalam hal
ini terhadap KUHP dan sumber-sumber hukum pidana
lainnya (UU pidana yang memuat sanksi pidana dan
UU non pidana yang memuat sanksi pidana);
2. Beratnya sanksi itu;
3. Lamanya sanksi itu dijalani;
4. Cara sanksi itu dijalankan;dan
5. Tempat sanksi itu dijalankan.
Sanksi berupa pidana maupun tindakan inilah yang akan
dipelajari oleh hukum penitensier.
I S T I L A H
Ada beberapa istilah yang digunakan untuk materi ini, al:
Hukum Penitensier, Hukum Sanksi, Straf, Hukuman,
Punishment, dan Jinayah.

165
Menurut beberapa ahli hukum pidana lain, hukuman,
menurut pendapat Moeljatno: lebih tepat ”pidana” untuk
menerjemahkan straf. Sudarto juga berpendapat
demikian. Sedangkan R. Soesilo mendefinisikan pidana /
hukum sebagai perasaan tidak enak / sengsara yang
dijatuhkan oleh Hakim dengan vonis kepada orang yang
telah melanggar UU Hukum Pidana.
Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief, unsur-unsur
atau ciri-ciri pidana meliputi:
1. Suatu pengenaan penderitaan/nestapa atau akibat-
akibat lain yang tidak menyenangkan;
2. Diberikan dengan sengaja oleh badan yang memiliki
kekuasaan (berwenang);
3. Dikenakan pada seseorang penanggung jawab
peristiwa pidana menurut UU ( orang memenuhi
rumusan delik/pasal).
SEJARAH PIDANA DAN PEMIDANAAN DI INDONESIA
Pidana dan pemidanaan di Indonesia dimulai sejak
Wetboek van Strafrecht (Wvs) diundangkan yaitu tahun
1915 dan berlaku di indonesia berdasarkan UU No.

166
1/1946 tentang KUHP (berdasarkan atas konkordansi).
Jenis-jenis hukuman yang dapat dijatuhkan oleh
Pengadilan berdasarkan plakat tgl. 22 April 1808, al:
1. Dibakar hidup, terikat pada suatu tiang (hanya
untuk pelaku pembakar/pembunuh)
2. Dimatikan dengan suatu keris
3. Dicap bakar.
4. Dipukul, dipukul dengan rantai (pidana
badan/corporal punishment)
5. Ditahan/dimasukkan dalam penjara
6. Kerja paksa pada pekerjaan-pekerjaan umum.
Menurut Utrecht dan R.Soesilo, hukum pidana
merupakan suatu sanksi yang bersifat istimewa:
terkadang dikatakan melanggar HAM karena melakukan
perampasan terhadap harta kekayaan (pidana denda),
pembatasan kebebasan bergerak/kemerdekaan orang
(pidana kurungan/penjara) dan perampasan terhadap
nyawa (hukuman mati). Di samping itu hukum pidana

167
merupakan ultimum remedium (senjata pamungkas, jalan
terakhir, jalan satu-satunya/tiada jalan lain).
Selanjutnya kita akan membahas siapakah pihak yang
berhak menuntut, menjatuhkan, dan memaksa pelaku
untuk menjalankan pidana. Beysens seperti dikutip oleh
Utrecht menyatakan pada dasarnya negaralah yang
berhak, karena perbuatan tersebut bertentangan dengan
tata tertib negara (dilihat dari sudut obyektif), dalam hal
ini KUHP merupakan peraturan yang dibentuk oleh
negara dan perbuatannya merupakan tindakan yang
dapat dipertanggung jawabkan oleh pelaku (dilihat dari
sudut subyektif);
Utrecht juga menambahkan bahwa negaralah yang
berhak melakukan hal tersebut, mengingat;
1. Negara sebagai organisasi sosial tertinggi oleh
karena itu sangat logis jika negara diberi tugas
mempertahankan tata tertib masyarakat;
2. Negara sebagai satu-satunya alat yang dapat
menjamin kepastian hukum.

168
Teori-Teori yang berkaitan dengan Pemidanaan
Tujuan Pemidanaan Menurut Doktrin
1. Teori Absolut/Retributif/Pembalasan (lex talionis), para
penganutnya antara lain E. Kant, Hegel,Leo Polak,
Mereka berpandapat bahwa hukum adalah sesuatu
yang harus ada sebagai konsekwensi dilakukannya
kejahatan dengan demikian orang yang salah harus
dihukum. Menurut Leo Polak (aliran retributif),
hukuman harus memenuhi 3 syarat:
a. Perbuatan tersebut dapat dicela (melanggar
etika)
b. Tidak bboleh dengan maksud prevensi
(melanggar etika)
c. Beratnya hukuman seimbang dengan beratnya
delik.
2. Teori relatif / tujuan (utilitarian), menyatakan bahwa
penjatuhkan hukuman harus memiliki tujuan tertentu,
bukan hanya sekedar sebagai pembalasan. Hukuman
pada umumnya bersifat menakutkan, sehingga

169
seyogyanya hukuman bersifat
memperbaiki/merehabilitasi karena pelaku kejahatan
adalah orang yang “sakit moral” sehingga harus
diobati. Jadi hukumanya lebih ditekankan pada
treatment dan pembinaan yang disebut juga dengan
model medis.
Tujuan lain yang hendak dicapai dapat berupa upaya
prevensi, jadi hukuman dijatuhkan untuk pencegahan
yakni ditujukan pada masyarakat luas sebagai contoh
pada masyarakat agar tidak meniru perbuatan atau
kejahatan yang telah dilakukan (prevensi umum) dan
ditujukan kepada si pelaku sendiri, supaya jera/kapok,
tidak mengulangi perbuatan/kejahatan serupa; atau
kejahatan lain (prevensi khusus). Tujuan yang lain
adalah memberikan perlindungan agar orang
lain/masyarakat pada umumnya terlindung, tidak
disakiti, tidak merasa takut dan tidak mengalami
kejahatan.
3. Teori Gabungan, merupakan gabungan dari
teori-teori sebelumnya. Sehingga pidana bertujuan
untuk:

170
Pembalasan, membuat pelaku menderita
Upaya prevensi, mencegah terjadinya
tindak pidana
Merehabilitasi Pelaku
Melindungi Masyarakat
Saat ini sedang berkembang apa yang disebut
sebagai Restorative Justice sebagai koreksi atas
Retributive justice. Restorative Justice (keadilan yang
merestorasi) secara umum bertujuan untuk membuat
pelaku mengembalikan keadaan kepada kondisi
semula; Keadilan yang bukan saja menjatuhkan
sanksi yang seimbang bagi pelaku namun juga
memperhatikan keadilan bagi korban. Pemahaman ini
telah diakomodir oleh R-KUHP tahun 2005.
Tujuan Pemidanaan berdasarkan Pasal 54 R-KUHP
tahun 2005:
Pasal 54
(1) Pemidanaan bertujuan:

171
a. mencegah dilakukanya tindak pidana dengan
menegakkan norma hukum demi pengayoman
masyarakat;
b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan
pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan
berguna;
c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh
tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana dan;
e. memaafkan terpidana.
(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan
dan merendahkan martabat manusia .
Dalam pasal 55 R-KUHP juga terdapat pedoman
pemidanaan yang belum diatur dalam UU kita.
Pasal 55;
(1) Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan:
a. Kesalahan pembuat tindak pidana;

172
b. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana;
c. Sikap batin pembuat tindak pidana;
d. Apakah tindak pidana dilakukan dengan
berencana;
e. Cara melakukan tindak pidana;
f. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan
tindak pidana;
g. Riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi
pembuat tindak pidana
h. Pengaruh pidana terhadap massa depan
pembuat tindak pidana;
i. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau
keluarga korban;
j. Pemaafan dari korban dan/atau keluarganya
dan /atau;
k. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana
yang dilakukan.

173
(2) Rintangan perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau
keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang
terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan
untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan
tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan
dan kemanusiaan.
Dari aturan diatas dapat dicermati bahwa dalam R-KUHP
menganut teori prevensi, rehabilitasi dan restotaif dalam
tujuan pemidanaannya. Teori prevensi umum tercermin
dari tujuan pemidanaan mencegah dilakukannya tindak
pidana dengan menegakkan norma hukum demi
pengayoman kepada masyarakat. Teori rehabilitasi dan
resosialisasi tergambar dari tujuan pemidanaan untuk
memasyarakatkan terpidana, dengan melakukan
pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan
berguna. Dan restoratif terdapat dalam tujuan
pemidanaan yang bertujuan untuk menyelesaikan konflik
yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam
damai dalam masyarakat; membebaskan rasa bersalah
pada terpidana; dan memaafkan terpidana.

174
Jenis-jenis Hukuman/Pidana Menurut Pasal 10
KUHP :
a. Hukuman Pokok:
1. Hukuman mati
2. Penjara (sementara waktu atau seumur hidup)
3. Kurungan
4. Denda (UU No. 1/1960, dikonversi: dikali 15)
5. Tutupan (UU No.20/1946)
b. Hukuman Tambahan:
1. Pencabutan beberapa hak tertentu
2. Perampasan barang tertentu
3. pengumuman keputusan hakim
Jenis-jenis Hukuman / Pidana Menurut R-KUHP:
Pasal 65
(1) Pidana pokok terdiri atas:

175
a. pidana penjara;
b. pidana tutupan
c. pidana pengawasan
d. pidana denda; dan
e. pidana kerja sosial.
(2) Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menentukan berat ringannya pidana
Pasal 66
Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat
khusus dan selalu diancamkan secara alternatif.
Pasal 67
(1) Pidana tambahan terdiri atas:
a. pencabutan hak tertentu;
b. perampasan barang tertentu dan/atau tagihan;
c. pengumuman putusan hakim;
d. pembayaran ganti kerugian; dan

176
e. pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau
kewajiban menurut hukum yang hidup dalam
masyarakat.
(2) Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama
dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri
sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama dengan
pidana tambahan lain.
(3) Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama
dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri
sendiri atau dapat dijatuhkan walaupun tidak
tercantum dalam perumusan tindak pidana.
(4) Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan
adalah sama dengan pidana tambahan untuk pidan
pidananya.
Uraian tentang jenis-jenis hukuman menurut KUHP:
Hukuman/pidana Mati (diatur dalam pasal 11 jo Pasal
10 KUHP)
Tindak Pidana yang diancam dengan hukuman mati :
A. Dalam KUHP :

177
Pembunuhan berencana
Kejahatan terhadap keamanan negara
Pencurian dengan pemberatan
Pemerasan dengan pemberatan
Pembajakan di laut dengan pemberatan.
B. Diluar KUHP;
Terorisme
Narkoba
Korupsi
Pelanggaran HAM Berat; Kejahatan
terhadap kemanusiaan dan genosida yang
dilakukan secara meluas dan sistematis.
Hukuman mati dijalankan oleh algojo di tiang gantungan
(ps.11 KUHP), tapi berdasarkan Penpres no. 2/1964 :
ditembak dibagian jantung dan/atau kepala dan tidak
dilakukan di muka umum (rahasia, baik waktu dan tempat
eksekusinya).

178
Hukuman mati tidak dapat dijatuhkan pada anak; pidana
mati tidak dapat dilakukan pada orang yang setelah
dihukum menjadi gila dan wanita hamil.
Eksekusi baru dapat dilakukan jika orang gila itu sembuh
dan wanita tersebut telah melahirkan.
Hukuman/Pidana Penjara (Menurut pasal-pasal dalam
KUHP dan UU No. 12/1995 tentang Pemasyarakatan)
Pasal 12 KUHP:
Hukuman penjara lamanya seumur hidup atau
sementara/pidana penjara dilakukan dalam jangka waktu
tertentu (min 1 hari-selama-lamanya 15 tahun atau dapat
dijatuhkan selama 20 thn, tapi tidak boleh lebih dari 20
thn). Pidana penjara dilakukan di penjara (prison/jail), di
indonesia disebut sabagai Lembaga Pemasyarakatan
(LP/lapas). Untuk pemulihan kembali hubungan antara
narapidana dan masyarakat, Penghuninya disebut
narapaidana/napi (inmates): Warga Binaan
Pemasyarakatan (berdasarkan UU No.12/1995).

179
Pembagian Sistem Penjara – gevangenisstelsel,
menurut Utrecht :
Sistem Pennsylvania, AS : para hukuman
terus menerus ditutup sendiri-sendiri dalam satu
kamar sel. Terhukum hanya melakukan kontak
dengan penjaga sel/sipir penjara. Dilakukan
peringatan: terhukum diperkenankan melakukan
pekerjaan tangan dan secara terbatas dapat
menerima tamu, tapi ia tetap dilarang bergaul
dengan terhukum lain
Sistem Auburn, New York, AS, disebut juga
sebagai silent system, di mana para hukuman pada
siang hari disuruh bekerja bersama-sama tapi tidak
boleh saling bicara, malam hari kembali ke sel.
Sistem Irlandia (Irish System) yang berasal
dr mark system, menggunakan penilaian. Para
hukuman mula-mula ditempatkan dalam ruang
tertutup terus menerus, dalam hal ini diterapkan
hukum yang keras. Terhukum diberikan waktu untuk
merenung, menyesali perbuatannya dan diharapkan
ia dapat memperbaiki diri. Kalau dibiarkan bergaul
dengan napi lain dikhawatirkan bisa saja menjadi

180
bertambah jahat. Jika berkelakuan baik, maka
hukumannya diperingan : mulai dimasyarakatkan
dan dapat diberikan the rise of feformatory
(pelepasan bersyarat), publik work prison, dan ticket
to leave. Kemudian diperkenankan kerja sama-sama,
lalu secara bertahap diberi kelonggaran untuk
bergaul satu sama lain. Pelepasan bersyarat dapat
dilakukan jika telah menjalani dari ¾ hukumannya.
Sistem Elmira (NY, AS), diperuntukan bagi
terhukum yang berusia tidak lebih dari 30 thn.
Disebut sebagai penjara reformatory yakni tempat
untuk memperbaiki orang menjadi warga masyarakat
yang berguna. Mirip dengan sistem Irlandia namun
titik berat lebih pada usaha-usaha untuk
memperbaiki si pelaku, jadi terpidana diberikan
pengajaran, pendidikan dan pekerjaan yang nantinya
bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat.
Sistem Borstal (LONDON, UK). Dalam
penerapannya ada ketentuan khusus dari Menteri
Kehakiman (Minister of justice). Khusus untuk pelaku
yang masih muda yaitu mereka yang berusia kurang

181
dari 19 th. Seperti LP Pemuda dan LP Anak laki-laki
di Tangerang, Banten.
Sistem Osborne (NY,US). Memilih ‘BOS’ –
mandor dr kalangan napi sendiri untuk mengatur
napi : Tamping/building tender.
Di Indonesia diterapkan ke 5 nya :
Beberapa hukuman dimasukkan dalam satu
sel atau 1 orang/1 sel. Minimum security/maximum
security/Super Maximum Security (SMS)
Napi pada umumnya boleh keluar dari sel pada pagi
dan/atau siang hari, sore masuk sel sampai besok
pagi. Ada jadwal kegiatannya.
Jika melakukan pelanggaran berat atau berkelakuan
tidak baik ataupun melanggar aturan maka
dimasukkan dalam sel sendirian, disebut juga
dengan tutupan sunyi.
Boleh bekerja di luar sel secara bersama-sama =
kerja di kebon/taman, masak di dapur, bersihkan
kolam, kerja di bengkel LP untuk buat
kerajinan/furniture, menjahit, menyulam, merangkai

182
bunga dsb. Boleh belajar/sekolah dlm LP, boleh
membaca, dengar radio/nonton TV olah raga dsb.
Antara warga binaan boleh saling berinteraksi sesuai
dengan jam yang telah ditentukan.
Dapat diberikan pelepasan bersyarat PB-
reclassering), jika telah menempuh 2/3 dr
hukumannya (pasal 15 KUHP). Selain itu terdapat
juga ketentuan tentang pidana percobaan seperti
yang diatur dalam Pasal 14a KUHP.
Meskipun hukuman penjara dilakukan bersama-
sama tapi tetap ada pemisahan mutlak :
Laki-laki dan perempuan
Orang dewasa dan anak di bawah umur
Orang yang dihukum/ditahan – orang yang
dihukum karena upaya preventif
Orang militer dan orang sipil
Pidana kurungan

183
Dilaksanakan di penjara, tapi lebih bebas, ada hak pistole
yaitu tersedia fasilitas yang lebih dari terpidana penjara.
Pidana Denda (Pasal 30 ayat (1) KUHP dan UU No.
1/1960)
Dengan adanya pidana denda seringkali penerapan
Hukum Pidana menjadi kabur karena pidana denda
dianggap bukan pidana karena pelaku tadi ada di LP.
Pidana Tutupan (UU No.20/1946)
Pidana yang dijatuhkan oleh Hakim dengan
mempertimbangkan bahwa perbuatan yang dilakukan
didasari oleh suatu motivasi yang patut
dihormati/dihargai. Tempatnya di penjara, namun
diberikan fasilitas yang lebih baik karena terpidana boleh
membawa dan menikmati buku bacaan dan radio/tape.
Untuk hukuman ini terdapat 1 yurisprudensi di Jogja.

184
BAB X
PERCOBAAN (POGING, ATTEMPT)
I. PENGERTIAN
Di dalam bab IX buku I KUHP (tentang arti
beberapa istilah yang dipakai dalam kitab
undang-undang), tidak dijumpai rumusan arti
atau definisi mengenai apa yang dimaksud
dengan istilah “percobaan”. KUHP hanya
merumuskan batasan mengenai kapan
dikatakan adanya percobaan untuk melakukan
kejahatan yang dapat dipidana, yaitu pasal 53
(1) yang menyatakan :
“Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika
niat untuk itu telah ternyata dari adanya
permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya

185
pelaksanaan itu, bukan semata-mata
disebabkan karena kehendaknya sendiri”.
Redaksi pasal ini jelas tidak merupakan suatu
definisi, tetapi hanya merumuskan syarat-
syarat atau unsur-unsur yang menjadi batas
antara percobaan yang dapat dipidana dan
yang tidak dapat dipidana.
Percobaan yang dapat dipidana menurut
system KUHP bukanlah percobaan terhadap
semua jenis tindak pidana. Yang dapat
dipidana hanyalah percobaan terhadap tindak
pidana yang berupa “kejahatan” saja,
sedangkan percobaan terhadap pelanggaran
tidak dipidana sebagimana ditentukan dalam
pasal 54 KUHP. Pada pasal 54 KUHP
memperlihatkan adanya pemikiran dari para
perumusnya bahwa delik pelanggaran bersifat
lebih ringan dari pada kejahatan. Oleh karena
itu percobaan pun terlalu rendah dari KUHP.
Disamping itu perlu dicatat bahwa ketentuan
umum dalam pasal 53 (1) diatas tidak berarti
bahwa percobaan terhadap semua kejahatan

186
dapat dipidana. Pengecualian tersebut
misalnya :
Percobaan duel / perkelahian tanding
(pasal 184 ayat 5);
Percobaan penganiayaan ringan
terhadap hewan (pasal 302 ayat 4);
Percobaan penganiayaan biasa (pasal
351 ayat 5);
Percobaan penganiayaan ringan (pasal
352 ayat 2);
II. SIFAT LEMBAGA PERCOBAAN
Apakah percobaan itu merupakan suatu bentuk
delik khusus yang berdiri sendiri ataukah hanya
merupakan suatu delik yang tidak sempurna?
Mengenai sifat dari percobaan ini terdapat dua
pandangan :
(1). Percobaan dipandang sebagai
Strafausdehnungsgrund (dasar/alasan
perluasan pertanggungjawaban pidana).
Menurut pandangan ini, seseorang yang
melakukan percobaan untuk melakukan
suatu tindak pidana meskipin tidak
memenuhi semua unsur delik, tetap dapat

187
dipidana apabila telah memenuhi rumusan
pasal 53 KUHP. Jadi sifat percobaan
adalah untuk memperluas dapat
dipidananya orang, bukan memperluas
rumusan-rumusan delik. Dengan demikian
menurut pandangan ini, percobaan tidak
dipandang sebagai jenis atau bentuk delik
yang tersendiri (delictum sui generis)
tetapi dipandang sebagai bentuk delik
yang tidak sempurna (onvolkomen
dekictsvorm). Termasuk dalam
pandangan pertama ini ialah : Prof. Ny.
Hazewinkel-Suringa dan Porf. Oemar
Seno Adji.
(2). Percobaan dipandang sebagai
Tatbestandausdehnungsgrund (perluasan
delik).
Menurut pandangan ini, percobaan
melakukan sesuatu tindak pidana
merupakan satu kesatuan yang bulat dan
lengkap. Percobaan bukanlah bentuk delik

188
yang tidak sempurna, tetapi merupakan
delik yang sempurna hanya dalam bentuk
yang khusus/istimewa. Jadi merupakan
delik tersendiri (delictum sui generis).
Termasuk dalam pandangan kedua ini
ialah Prof. Pompe dan Prof. Moelyatno.
Alasan Prof. Moelyatno memasukkan
percobaan sebagai delik tersendiri, ialah :
a. Pada dasarnya seseorang itu
dipidana karena melakukan
suatu delik;
b. Dalam konsep “perbuatan
pidana” (pandangan dualistis)
ukuran suatu delik didasarkan
pada pokok pikiran adanya sifat
berbahayanya perbuatan itu
sendiri bagi keselamatan
masyarakat;
c. Dalam hukum adat tidak dikenal
percobaan sebagai bentuk delik
yang tidak sempurna

189
(onvolkomen delictsvorm), yang
ada hanya delik selesai.
d. Dalam KUHP ada beberapa
perbuatan yang dipandang
sebagai delik yang berdiri
sendiri dan merupakan delik
selesai, walaupun pelaksanaan
dari perbuatan itu sebenarnya
belum selesai, jadi baru
merupakan percobaan.
Misalnya delik-delik maker
(aanslagdelicten) dalam pasal
104, 106, dan 107 KUHP.
Mengenai contoh yang dikemukakan Prof
Moelyatno terakhir ini, dapat pula misalnya
dikemukakan contoh adanya pasal 163 bis.
Menurut pasal ini percobaan untuk melakukan
penganjuran (poging tot uitloking) atau yang
biasa juga disebut penganjuran yang gagal
(mislukte uit-lokking) tetap dapat dipidana, jadi
pandangan sebagai delik yang berdiri sendiri .

190
Mengenai adanya dua pandangan tersebut
diatas. Prof. Mulyatno berpendapat bahwa
pandangan pertama sesuai dengan alam atau
masyarakat individual karena yang diutamakan
adalah strafbaarheid van de person (sifat
dipidananya orang); sedangkan pandangan
yang kedua sesuai dengan alam atau
masyarakat kita sekarang karena yang
diutamakan adalah perbuatan yang tak boleh
dilakukan.
III. DASAR PATUT DIPIDANANYA PERCOBAANMengenai dasar pemidanaan terhadap percobaan ini, terdapat beberapa teori sbb:1. Teori Subyektif
Menurut teori ini, dasar patut dipidananya percobaan terletak pada sikap batin atau watak yang berbahaya dari si pembuat. Termasuk penganut teori ini ialah Van Hamel.
2. Teori Obyektif Menurut teori ini, dasar patut dipidananya percobaan terletak pada sifat berbahayanya perbuatan yang dilakukan oleh si pembuat. Teori ini terbagi dua, yaitu :

191
2.a. Teori obyektif-formil. Yang menitik beratkan sifat berbahayanya perbuatan itu terhadap tata hukum.
2.b. Teori obyektif-materiil. Yang menitik beratkan sifat berbahayanya perbuatan itu terhadap kepentingan / benda hukum. Penganut teori ini antara lain Simons.
3. Teori Campuran. Teori ini melihat dasar patut dipidananya
percobaan dari dua segi, yaitu : sikap batin pembuat yang berbahaya (segi subyektif) dan juga sifat berbahayanya perbuatan (segi obyektif). Termasuk dalam teori ini ialah pendapat Langemeyer dan Jonkers.Namun karena dalam kenyataanya, pelaksanaan dari teori ini tidak mudah, mereka nampaknya lebih cendrung pada teori subyektif.Prof. Moelyatno dapat dikategorikan sebagai penganut teori campuran. Menurut beliau rumusan delik percobaan dalam pasal 53 KUHP mengandung dua inti yaitu : yang subyektif (niat untuk melakukan kejahatan tertentu) dan yang obyektif (kejahatan tersebut telah mulai dilaksanakan tetapi tidak selesai). Dengan demikian menurut beliau, dalam percobaan tidak mungkin dipilih salah satu diantara teori obyektif dan teori subyektif karena jika demikian berarti menyalahi dua inti dari delik percobaan itu; ukurannya harus mencakup dua criteria tersebut (subyektif dan obyektif). Di samping itu

192
beliau mengatakan bahwa baik teori subyektif maupun obyektif, apabila dipakai secara murni akan membawa kepada ketidak adilan.
IV. UNSUR-UNSUR PERCOBAANDari rumusan pasal 53 (1) KUHP diatas jelas terlihat bahwa unsur-unsur percobaan ialah :IV.1. Niat.
Kebanyakan para sarjana berpendapat bahwa unsur niat sama dengan sengaja dalam segala tingkatan/coraknya. Catatan Prof. Moelyatno terhadap unsur niat : a. Niat jangan disamakan dengan
kesenjangan, tetapi niat secara potensiil dapat berubah menjadi kesenjangan apabila sudah ditunaikan menjadi perbuatan yang dituju; dalam hal semua perbuatan yang diperlukan untuk kejahatan telah dilakukan, tetapi akibat yang dilarang tidak timbul (percobaan selesai/voltooidc poging), disitu niat 100% menjadi kesengajaan, sama kalau mengahadapi delik selesai.
b. Tetapi kalau belum semua ditunaikan menjadi perbuatan maka niat masih ada dan merupakan sikap batin yang membari arah kepada perbuatan, yaitu subjectieve onrechtselement.
c. Oleh karena itu niat tidak sama dan tidak bisa disamakan dengan

193
kesengajaan, maka isinya niat jangan diambilkan dari isinya kesengajaan apabila kejahatan timbul; untuk ini diperlukan pembuktian tersendiri bahwa isi yang tertentu tadi sudah ada sejak niat belum ditunakan jadi perbuatan.
Dari delik percobaan dapat mempunyai dua arti :1. Dalam hal percobaan selesai (percobaan
lengkap/voltoo-ide poging/completed attempt), niat sama dengan kesengajaan;
2. Dalam hal percobaan tertunda (percobaan terhenti atau tidak lengkap/geschorste poging/incompleted attempt), niat hanya merupakan unsur sifat melawan hukum yang subyektif (subyektif onrechtselement).
Dikatakan ada “percobaan selesai” apabila terdakwa telah melakukan semua perbuatan yang diperlukan untuk terjadinya kejahatan, tetapi akibat yang terlarang tidak terjadi;Misal : A bermaksud membunuh B dengan pistol, Picu (trekker) pistol telah ditarik, tetapi ternyata pistol tersebut tidak meletus atau tembakan tidak mengenai sasaran. Dalam hal ini, menurut Moelyatno, niat sudah berubah menjadi kesengajaan karena telah diwujudkan dalam bentuk perbuatan.

194
Tetapi apabila dalam contoh diatas, perbuatan yang diperlukan untuk terjadinya kejahatan belum dilakukan (misal : picu belum ditarik) sehingga akibat yang terlarang juga belum ada maka dalam hal demikian dikatakan ada “percobaan tidak selesai/tertunda”. Menurut Moelyatno, dalam hal ini maka niat yang belum diwujudkan sebagai perbuatan (belum ditunaikan keluar) masih tetap menjadi niat yaitu baru merupakan sikap batin yang mengarah kepada suatu perbuatan yang melawan hukum.Dalam hal niat telah berubah menjadi kesengajaan, Prof. Moelyatno setuju dengan pendapat yang luas bahwa hal itu meliputi juga kesenjangan sebagai keinsyafan kemungkinan.
IV.2. Ada permulaan pelaksanaan.Unsur kedua ini, merupakan persoalan pokok dalam percobaan yang cukup sulit karena baik secara teori maupun praktek selalu dipersoalkan batas antara perbuatan persiapan (voorbereidingshandeling) dan perbuatan pelaksanaan (uitvoeringshandeling). Dalam memecahkan masalah ini para sarjana menghubungkannya dengan teori atau dasar-dasar patut dipidananya percobaan. Bertolak dari

195
pandangan atau teori percobaan yang subyektif, VAN HAMEL berpendapat bahwa dikatakan ada perbuatan pelaksanaan apabila dilihat dari perbuatan yang telah dilakukan telah ternyata adanya kepastian niat untuk melakukan kejahatan. Jadi yang dipentingkan atau yang dijadikan ukuran oleh VAN HAMEL ialah ternyata adanya sikap batin yang jahat dan berbahaya dari si pembuat. Ukuran demikian menurut VAN HAMEL sesuai dengan ajaran hukum pidana yang lebih baru yang bertujuan memberantas kejahatan sampai ke akar-akarnya.Bertolak dari pandangan atau teori percobaan yang obyektif materiil, SIMIONS berpendapat sbb :
a. Pada delik formil, perbuatan pelaksanaan ada apabila telah dimulai perbuatan yang disebut dalam rumusan delik;
b. Pada delik materiil, perbuatan pelaksanaan ada pabila telah dimulai/dilakukan perbuatan yang menurut sifatnya langsung dapat menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang tanpa mensyaratkan adanya perbuatan lain.
Contoh untuk delik formil :A bermaksud melakukan pencurian dirumah B untuk melaksanakan aksinya, A telah

196
mempersipkan segala sesuatu peralatan untuk mencuri, kemudian pada malam hari ia mendatangi rumah B. Sesampainya di rumah B, ia mematikan lampu teras, melepas kaca jendela dan baru saja A masuk rumah lewat jendela itu ia tertangkap.Apabila digunakan ukuran Van Hamel, maka dalam hal ini dikatakan sudah ada perbuatan pelaksanaan, tetapi menurut ukuran Simons baru merupakan perbuatan persiapan, karena belum mulai melakukan perbuatan seperti yang disebut dalam rumusan delik (pencurian : pasal 362 KUHP) yaitu “ mengambil barang “. Apabila A sudah mengambil barang dan pada saat itu ketahuan dan tertangkap, barulah dikatakan pada saat itu A telah melakukan perbuatan pelaksanaan yang oleh karenanya dapat dituntut telah melakukan percobaan pencurian.Contoh untuk delik materiil :A bermaksud membunuh B dengan meledakkan mobil yang dikendarainya dengan dinamit di suatu tempat yang dilalui B. A telah mempersiapkan dinamit dengan segala peralatan yang diperlukan dengan rapid an menunggu di samping saklar sampai B lewat ditempat itu. Apabila pada saat menunggu itu, gerak gerik A dicurigai

197
dan akhirnya ditangkap, maka menurut ukuran Simons perbuatan A belum merupakan perbuatan pelaksanaan tetapi baru perbuatan persiapan, karena untuk meledakkan dinamit itu masih diperlukan perbuatan lain yaitu mengotakkan/menekan saklarnya.
Dalam menentukan adanya permulaan/perbuatan pelaksanaan dalam delik percobaan Prof Moelyatno berpendapat bahwa ada dua factor yang harus diperhatikan, yaitu :
1. Sifat atau inti dari delik percobaan, dan2. Sifat atau inti dari delik pada umumnya
Mengingat kedua factor tersebut, maka menurut beliau perbuatan pelaksanaan harus memenuhi 3 syarat yaitu :
i. Secara Obyektif, apa yang telah dilakukan terdakwa harus mendekatkan kepada delik/kejahatn yang dituju atau dengan kata lain, harus mengandung potensi untuk mewujudkan delik tersebut;
ii. Secara Subyektif, dipandang dari sudut niat, harus tidak ada keraguan lagi bahwa yang telah dilakukan oleh terdakwa itu ditujukan atau diarahkan pada delik/kejahatan yang tertentu tadi;
iii. Bahwa apa yang telah dilakukan oleh terdakwa itu merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum.

198
V. PERCOBAAN DALAM BEBERAPA YURISPRUDENSI
Yurispridensi yang terkenal ialah Arrest HR tahun 1934 tentang Eindhoven.
Kasus Posisi : H dituduh hendak membakar rumah R (dengan persetujuan R).Pada malam yang telah ditentukan H masuk kerumah R, menaruh pakaian dan barang-barang yang mudah terbakar di tiap kamar, yang semuanya dihubungkan satu sama lain dengan sumbu yang akhirnya dihubungkan pada kompor gas yang mengeluarkan api jika ditembakkan. Trekker (penarik pintol gas) diikatkan dengan tali dan melalui jendela, ujungnya digantungkan di luar rumah yang terletak di pinggir jalan kecil. Pakaian-pakaian itu disiram bensin dan jika orang berjalan di tepi jalan menarik talinya maka pistol gas mengeluarkan api dan menyalakan kompor gas dan selanjutnya akan merata keseluruh rumah. Setelah pemasangan pistol dan tali itu selesai, H menyingkirkan benda-benda ke tempat lain. Sementara itu, karena tertarik bau bensin banyak orang berpendapat di dekat tali itu, sehingga H tak mugkin menyelesaikan maksudnya.

199
Terhadap kasus tersebut peradilan (gerechtshop) di Her-togenbosch menyatakan bahwa perbuatan H adalah perbuatan permulaan pelaksanaan dan dijatuhi pidana 4 tahun penjara karena melanggar pasal 53 jo 187 KUHP.H mengajukan kasasi dengan alasan bahwa Hof telah salah menafsirkan pasal 53 KUHP dan mengatakan bahwa apa yang dilakukannya baru merupakan perbuatan persiapan. Jaksa Agung Muda BEISER menyimpulkan bahwa perbuatan H baru merupakan perbuatan persiapan karena belum nyata-nyata merupakan pelaksanaan untuk melakukan pembakaran.Senada dengan konklusi Beiser, HOGE RAAD berpendapat bahwa perbuatan H baru merupakan perbuatan persiapan, karena belum merupakan perbuatan yang sangat diperlukan untuk pembakaran yang telah diniatkan, ialah yang tidak dapat tidak menuju kearah dan langsung berhubungan dengan kejahatan yang dituju dan juga menurut pengalaman nyata-nyata menuju pembakaran, tanpa sesuatu perbuatan lain dari si pembuat. Atas dasar alasan ini HR membatalkan putusan Hof dan H dilepaskan dari segala tuntutan.
Apabila kasus dan putusan pengadilan di atas dihubungkan pendapat para Sarjana yang telah dikemukakan di atas, maka terlihat bahwa :

200
- Konklusi Beiser dan terutama pendapat HR, lebih cocok dengan teori atau pendapat Simons (Teori Obyektif Materiil);
- Putusan Hof, lebih sesuai dengan teori atau pendapat Duynstee (Teori Obyetif Formil)
Terhadap putusan HR tersebut, DUYNSTEE sendiri menulis bahwa menurut pendapatnya terdakwa H telah mulai dengan perbuatan pelaksanaan pembakaran. Alasan yang dikemukakannya ialah :
a. Semua perbuatan terdakwa (H) saling berhubungan dan memenuhi rumusan delik;
b. Jika HR menganggap perbuatan pelaksanaan yaitu perbuatan yang menimbulkan kejahatan (akibat) tanpa adanya perbuatan lain, berarti jika tiap perbuatan pelaksanaan akan menimbulkan akibat terlarang, maka perbuatan pelaksanaan hanya ada percobaan lengkap saja, ini tidak tepat karena di dalam teori dikenal juga adanya percobaan yang tidak lengkap.
Mengenai kasus diatas, Prof. Moelyatno mengemukakan pendapatnya sbb :“Kalau perkara pembakaran di Eindhoven ditinjau dengan ukuran yang saya sarankan, maka mengenai syarat pertama tidak perlu diragukan adanya. Secara potensiil apa yang telah dilakukan

201
terdakwa mendekatkan kepada kejahatan yang dituju. Juga mengenai syarat yang kedua yaitu bahwa yang dituju itu menimbulkan kebakaran, telah wajar. Tinggal syarat yang ketiga, yaitu apakah yang telah dilakukan itu sudah bersifat melawan hukum ? Kalau diingat bahwa rumah itu di diami orang lain di waktu orangnya tidak ada, hemat saya adalah perbuatan yang melanggar hukum. Jadi karena tiga-tiganya syarat sudah dipenuhi, hemat saya putusan yang yang diberikan oleh Hof’s Hertogenbosch adalah tepat. Terdakwa telah melakukan delik percobaan pembakaran seperti yang ditentukan dalam pasal 53 juncto pasal 187 KUHP”.
IV.3. Pelaksanaan tidak selesai bukan semata-mata karena kehendak pelaku sendiri.
Tidak selesainya pelaksanaan kejahatan yang dituju bukankarena kehendak sendiri, dapat terjadi dalam hal-hal sbb :
a. Adanya penghalang fisik;Misal : tidak matinya orang yang ditembak, karena tangannya disentakkan orang sehingga tembakan menyimpang atau pistol terlepas. Termasuk dalam pengertian penghalang fisik ini ialah apabila adanya kerusakan pada alat yang digunakan (misal : pelurunya macet /

202
tidak meletus, bom waktu yang jamnya rusak).
b. Walaupun tidak ada penghalang fisik, tetapi tidak selesainya itu disebabkan karena akan adanya penghalang fisik.Misal : takut segera ditangkap karena gerak geriknya untuk mencuri telah diketahui oleh orang lain.
c. Adanya penghalang yang disebabkan oleh factor-faktor / keadaan-keadaan khusus pada obyek yang menjadi sasaran.Misal : daya tahan orang yang ditembak cukup kuat sehingga tidak mati atau yang tertembak bagian yang tidak membahayakan, barang yang kan dicuri terlalu berat walaupun si pencuri telah berusaha mengangkatnya sekuat tenaga.
Dalam hal tidak selesainya perbuatan itu karena kehendak sendiri, maka dalam hal ini dikatakan ada pengunduran diri sukarela, sering dirumuskan bahwa ada pengnduran diri sukarela, apabila menurut pandangan terdakwa, ia masih dapat meneruskannya, tetapi ia tidak mau meneruskannya.Tidak selesainya perbuatan karena kehendak sendiri, secara teori dapat dibedakan antara :

203
Pengunduran diri secara sukarela (Rucktritt) yaitu tidak menyelesaikan perbuatan pelaksanaan yang diperlukan untuk delik yang bersangkutan;
Tindakan penyesalan (Tatiger Reue) yaitu meskipun perbuatan pelaksanaan sudah diselesaikan, tetapi dengan sukarela menghalau timbulnya akibat mutlak delik tersebut.Misal : Orang member racun pada minuman si korban, tetapi setelah diminumnya, ia segera memberikan obat penawar racun sehingga si korban tidak jadi meninggal.
Sehubungan dengan masalah pengunduran diri sukarela ini, maka menurut M.v.T maksud dicantumkannya unsur ke-3 ini dalam pasal 53 KUHP ialah :
Untuk menjamin supaya orang yang dengan kehendaknya sendiri secara sukarela mengrungkan kejahatan yang telah dimulai tetapi belum terlaksana, tidak dipidana;
Pertimbangan dari segi kemanfaatan (utilitas), bahwa usaha yang paling tepat (efektif) untuk mencegah timbulnya kejahatan ialah menjamin tidak dipidananya orang yang telah

204
mulai melakukan kejahatan tetapi kemudian dengan sukarela mengurungkan pelaksanaannya.
Dengan adanya penjelasan MvT tersebut, maka ada pendapat bahwa unsur ketiga ini merupakan :
Alasan pengahpus pidana yang diformulir sebagai unsur (Pompe).
Alasan pemaaf (van Hattum, Seno Adji).
Alasan pengahpusan penuntutan (Vos, Moelyatno).
Prof. Moelyatno tidak setuju dengan pendapat yang menyatakan unsur ke-3 ini sebagai alasan pemaaf (fait d’ex-cuse) maupun sebagai alasan pengahpus pidana, sebab perbuatannya tetap tidak baik (yang baik adalah tidak mencoba sama sekali) sehingga tidak ada alasan untuk memaafkan ataupun membenarkan. Menurut beliau dengan tidak dituntutnya terdakwa, diberi stimulans bagi orang-orang lain yang mempunyai niat melakukan kejahatan, untuk ditengah-tengah mengundurkan diri secara sukarela. Jadi ada pertimbangan utilitas. Dalam pengunduran sukarela (dan tindakan penyesalan/Tatiger Reue), tidak ada fait d’excuxe karena sifat tak baik perbuatan maupun kesalahn tetap ada, tetapi tidak

205
dituntutnya itu karena dipandang lebuh berguna bagi masyarakat, seprti halnya dirumuskan pada pasal 367 (1) KUHP (pencurian antara suami-istri). Pertimbangan utilitas lain dikemukakan beliau ialah untuk menghemat tenaga dan biaya. Walaupun Prof. Moelyatno memandang unsur ke-3 ini sebagai alasan penghapusan penuntutan, namun beliau tidak berkeberatan untuk menuntut orang yang secara sukarela telah mengurngkan niatnya itu apabila telah menimbulkan kerugian, dan pidananya dikurangi menurut kebijaksanaan Hakim.
Mengenai konsekwensi adanya unsur ke-3 dalam perumusan pasal 53 KUHP ini, ada dua pendapat :
a. Mempunyai konsekuensi materiil Artinya unsur ketiga ini merupakan unsur yang melekat pada percobaan, jadi bersifat accessoir (tidak berdiri sendiri). Dengan perkataan lain, untuk adanya percobaan unsur ke-3 ini (tidak selesainya pelaksanaan perbuatan bukan karena kehendak sendiri) harus ada. Ini berarti apabila ada pengunduran diri secara sukarela, maka tidak ada percobaan. Pendapat serupa ini terlihat dalam putusan Hoge Raad tanggal 17 Juni 1889 tentang kasus sumpah palsu.Dalam kasus ini ada tanda-tanda bahwa saksi yang dihadapkan ke persidangan diatas

206
sumpah telah meberikan keterangan yang bertentangan dengan kenyataan (kesaksian palsu). Setelah Jaksa dan Hakim memperingatkan bahwa ia akan dituntut sumpah palsu, maka saksi tersebut mencabut kembali keterangan palsunya itu. Apakah saksi dapat dipidana karena percobaan sumpah palsu?HR dalam putusannya berpendapat bahwa saksi itu tidak dapat dipidana melakukan percobaan sumpah palsu karena dalam hal ini ada pengunduran diri secara sukarela. Begitu pula si penganjur tidak dapat dipidana karena adanya pengunduran diri itu perbuatannya (saksi) tidak merupakan perbuatan terlarang.
b. Mempunyai konsekwensi formil (dibidang processuil)Artinya unsur ke-3 itu dicantumkan dalam pasal 153 maka unsur tersebut harus disebutkan didalam surat tuduhan dan dibuktikan. Menurut pendapat ini, unsur ke-3 ini tidak merupakan unsur yang melekat pada percobaan, jadi tidak bersifat accessoir, ia merupakan unsur yang berdiri sendiri. Dengan perkataan lain, walaupun unsur ini tidak ada (yaitu karena adanya pengunduran diri secara sukarela) maka percobaan tetap dipandang ada. Jadi dalam kasus yang

207
dikemukakan diatas, meskipun ada pengunduran diri secara sukarela, perbuatannya tetap dipandang sebagai perbuatan terlarang dan soal dipidana tidaknya si pembuat maupun si penganjur adalah masalah pertanggunganjawab. Dalam kasus diatas si pembuat (saksi) tidak dipidana karena (menurut HR) disitu ada pengunduran diri secara sukarela, sedangkan sipenganjur tetap dapat dipidana karena telah menganjurkan suatu perbuatan yang terlarang. Jadi pendapat kedua ini membedakan antara perbuatan yang dapat dipidana (criminal act) dan pertanggung jawaban pidana (criminal responsibility).
VI. PERCOBAAN MAMPU DAN TIDAK MAMPU
Masalah percobaan mampu dan tidak mampu ini timbul sehubungan dengan telah dilakukannya perbuatan pelaksanaan tetapi delik yang dituju tidak selesai atau akibat yang terlarang menurut undang-undang tidak timbul. Tidak selesainya delik atau tidak timbulnya akibat terlarang itu dapat disebabkan karena tidak mempunyai obyek (misal : mencoba menggugurkan bayi yang ternyata tidak hamil, mencoba membunuh orang yang sudah mati, mencuri uang dari sebuah peti uang yang ternyata kosong, dsb) atau karena tidak

208
mempunyai alat yang digunakan ( misal : mencoba membunuh orang dengan gula yang dikiranya racun).
Pembeda antara percobaan mampu dan tidak mampu ini sebenarnya hanya pada mereka yang menganut teori percobaan yang obyektif, karena hanya menitik beratkan pada sifat bahayanya perbuatan. Para penganut teori yang subyektif tidak mengenal pembedaan tersebut, karena lebih menitik beratkan pada sifat berbahayanya sikap batin atau watak si pembuat.
Mengenai percobaan yang tidak mampu karena obyeknya, M.v.T mengemukakan :“Syarat-syarat umum percobaan menurut pasal 53 KUHP ialah syarat-syarat percobaan untuk melakukan kejahatan yang tertentu didalam buku II KUHP. Jika untuk terwujudnya kejahatan tertentu tersebut diperlukan adanya obyek, maka percobaan melakukan kejahatan itupun harus ada obyeknya. Kalau tidak ada obyeknya, maka juga tidak ada percobaan”.
Jadi menurut M.V.T tidak mungkin ada percobaan pada obyek yang tidak mampu, yang ada hanya percobaan yang tidak mampu pada alatnya saja.
Mengenai percobaan yang tidak mampu karena alatnya, M.v.T membedakan antara :

209
Tidak mampu mutlak, yaitu bila dengan alat itu tidak pernah mungkin timbul delik selesai, dalam hal ini tidak mungkin ada delik percobaan.
Tidak mampu relative, yaitu bila dengan alat itu tidak ditimbulkan delik selesai karena justru hal ikhwal yang tertentu dalam mana si pembuat melakukan perbuatan atau justru karena keadaan tertentu dalam mana orang yang dituju itu berada. Dalam hal ini mungkin ada delik percobaan.
Dari apa yang dikemukakan M.v.T diatas terlihat bahwa ketidakmampuan relative dapat dilihat dari dua segi :- Keadaan tertentu dari alat pada waktu si
pembuat melakukan perbuatan- Keadaan tertentu dari orang yang dituju.Ukuran yang dikemukakan M.v.T itu ternyata tidak mudah :a. Alat itu dapat dilihat sebagai jenis tersendiri
dan dapat dilihat dari keadaan konkritnya :- Apabila dilihat sebagai jenis tersendiri,
maka gula adalah alat yang tidak mampu digunakan untuk membunuh, sedangkan warangan (arsenicum) adalah mampu;
- Apabila dilihat dari keadaan konkritnya, maka alat yang pada umumnya mampu untuk membunuh (misal warangan) dapat menjadi alat yang tidak mampu apabila jumlahnya tidak memenuhi dosis yang

210
cukup mematikan (untuk arsenicum 5 mg).
b. Begitu pula orang yang dituju, dapat dilihat secara abstrak untuk rata-rata orang dan dapat dilihat dari keadaan konkrit tertentu.
- Gula adalah alat yang tidak mampu digunakan untuk membunuh orang pada umunya, tetapi dapat menjadi alat yang mampu mematikan untuk orang yang berpenyakit diabetes;
- Warangan yang memenuhi dosis 5 mg, merupakan alat yang mampu untuk membunuh, tetapi untuk orang yang sudah biasa warangan sejumlah itu tidak merupakan alat yang mematikan.
Berdasarkan hal-hal diatas, maka banyak sarjana yang menyatakan bahwa batas antara absolute dan relative itu tergantung dari kehendak orang yang menggunakan (willekeurig), tergantung dari cara berpikir seseorang mengenai sesuatu hal.
Misal : percobaan pembunuhan dengan pistol yang tidak berpeluru.
Orang dapat mengatakan bahwa pistol yang demikian adalah alat yang absolut tidak mampu, tetapi dapat juga dikatakan bahwa pistol adalah alat yang mampu untuk membunuh, namun dalam

211
hal tertentu bersifat relative karena tidak ada pelurunya. Sehubungan dengan tidak jelas dan tidak mudahnya ukuran yang diberikan oleh M.v.T itu, maka para sarjana berusaha memberikan batas atau ukuran antara percobaan yang mampu dan tidak mampu.
Karena pada hakekatnya masalah percobaan mampu dan tidak mampu ini dalah masalah hubungan kausal yang ada dalam lapangan obyeltif, maka banyak sarjana (misal Simons, Pompe, Van Hattum) yang berusaha menentukan garis pembatas tersebut dengan menggunakan ukuran-ukuran dalam hubungan kausal.Ukuran-ukuran kausalitas yang digunakan adalah teori generalisasi (adekuat) yang melihat secara ante factum (sebelum peristiwa/akibat) karena memang dalam hal percobaan, akibat yang merupakan delik yang dituju justru belum terjadi, jadi tidak menggunakan teori individualisasi yang melihat sesudah terjadinya akibat (post factum).Ukuran atau batas percobaan mampu dan tidak mampu yang dikemukakan oleh para sarjana itu adalah sbb :
1. SIMONSAda percobaan yang mampu, apabila perbuatan yang menggunakan alat yang

212
tertentu itu dapat membahayakan benda hukum.
Tidak perlu bahwa bahaya itu harus nyata-nyata ada dalam keadaan khusus dimana perbuatan itu dilakukan. Jika menurut keadaan normal, dengan alat tersebut tidaklah akan ditimbulkan delik maka dalam hal demikian tidak ada percobaan yang mampu. Sebaliknya jika alat yang pada umumnya tidak berbahaya, tetapi dalam keadaan tertentu dapat membahayakan dan dengan sengaja pula alat itu digunakan, maka persangkaan bahwa alat itu tidak berbahaya akan lenyap dengan diajukan bukti-bukti sebaliknya. Perbuatan demikian lalu dapat dipidana.
2. POMPEAda percobaan mampu, jika perbuatan atau alat yang digunakan mempunyai kecendrungan (strekking) atau menurut sifatnya mampu untuk menimbulkan delik selesai.Misal : - Mencoba membunuh orang dengan
mendoakan terus menerus supaya mati, bukanlah percobaan yang mampu sebaliknya pemberian warangan pada orang yang normal adalah mampu jika jumlahnya

213
memang dapat mematikan orang yang normal.
- Ada orang membeli warangan di apotik untuk melakukan pembunuhan, tetapi karena kekeliruan apotik, bukan warangan yang diberikan tetapi gula sehingga tidak menimbulkan kematian. Dalam hal demikian, tetap dikatakan ada percobaan karena meskipun sifat gula adalah tidak mampu secara absolute, tetapi penting dilihat dari keseluruhan perbuatan yaitu mencampurkan gula (yang diberikan oleh apotik) yang dikiranya warangan, kedalam makanan orang lain.
3. VAN HATTUMDalam menentukan percobaan mampu dan tidakmampu, van Hattum seperti halnya Simons dan Pompe jelas-jelas menggunakan hubungan kausal yang adekuat. Dikatakan ada percobaan yang mampu, apabila perbuatan terdakwa ada hubungan kausal yang adekuat dengan akibat yang dilarang oleh undang-undang.Dalam menggunakan hubungankausal yang adekuat itu, menurut van Hattum yang penting adalah bagaimana merumuskan (memformulir) perbuatan terdakwa yang bersangkutan. Dalam memformulir perbuatan terdakwa secara

214
adekuat kausal itu, van Hattum memberikan ukuran/pedoman sbb :a. Hal-hal yang terjadi secara kebetulan
jangan dimasukan, karena rasa keadilan tidak membenarkan hal demikian member keuntungan kepada si pembuat;
b. Hal-hal yang merintangi selesainya kejahatan yang dituju jangan dimasukkan, apabila pada hakekatnya perbuatan terdakwa membahayakan benda/kepentingan hukum (rechtsgoed).
Misal : Dengan maksud menembak musuhnya, seseorang telah mengisi senapanya dengan peluru dan kemudian meletakkannya di suatu tempat untuk menunggu saat yang baik. Sementara itu dengan tidak diketahuinya ada orang lain mengososngkan senapanya itu, sehingga pada saat ditembakkan tidak menimbulkan akibat amtinya orang lain (musuhnya itu).
Dalam hal yang demikian, menurut van Hattum janganlah perbuatan terdakwa diformulir sebagai percobaan yang tidak mampu karena kenyataannya ia membunuh dengan alat yang relative tidak mampu yaitu senapan yang kosong. Tetapi harus diformulirkan sbb : “mengarahkan senapan yang semula sudah diisi dengan peluru dan kemudian menembakkannya”. Perbuatan demikian

215
merupakan yang pada umumnya dapat menimbulkan akibat matinya orang lain (jadi mempunyai hubungan kausal yang adekuat untuk adanya pembunuhan). Dengan demikian perbuatan terdakwa merupakan percobaan yang mampu. Tidak berbeda dengan menembakkan senapan yang pelurunya macet. Dari pendapat van Hattum diatas jelas terlihat bahwa “kosongnya pistol” merupakan hal yang kebetulan dan mengisi senapandengan peluru dan menembakkannya” merupakan perbuatan yang membahayakan benda hukum orang lain (berupa nyawa). Van Hattum menyatakan bahwa makin banyak hal-hal konkrit yang dimasukkan dalam merumuskan perbuatan terdakwa, maka ketidakmampuan yang relative akan menjadi ketidakmampuan yang absolut.
4. MOELYATNODalam memecahkan masalah percobaan mampu dan tidak mampu ini, Prof. Moelyatno tidak mendasarkan pada teori adekuat kausal karena kenyataanya dalam percobaan tidak sampai menimbulkan kejahatan yang dituju (tidak timbul akibat terlarang). Ukuran yang dugunakan beliau dikembalikan pada ukuran patut dipidananya suatu delik, yaitu adanya perbuatan yang bersifat melawan hukum. Jadi ukurannya tidak ditetapkan secara kausatif, tetapi secara normatif.

216
Dikatakan ada percobaan yang mampu apabila perbuatan terdakwa mendekatkan pada terjadinya delik selesai sedemikian rupa sehingga merupakan perbuatan yang melawan hukum. Perlu dicatat bahwa karena beliau menganut ajaran sifat melawan hukum yang materiil, maka perbuatan itu harus menggelisahkan masyarakat atau tidak pantas dilakukan.
Ukuran yang digunakan Prof. Moelyatno itu didasarkan pada Eindrucks theorie (teori kesan) yang berasal dari Von Bar, yang dikemukakan didalam bukunya Prof. Edmund Mezger (1952).Menurut teori ini, sudah cukup dikatakan ada percobaan, yang mampu apabila dalam keadaan tertentu ada perbuatan yang menimbulkan kesan keluar bahwa ada permulaan perbuatan yang dapat dipidana. Apabila suatu perbuatan dipandang dari sudut masyarakat telah menimbulkan kesan mengganggu atau melukai tata-hukum, dan oleh karena itu telah menggincangkan kesadaran umum mengenai kepastian berlakunya tata hukum tadi, maka perbuatan demikian sudah mengandung bahaya. Dengan demikian ternyata, menurut Mezger, bahwa di dalam teori kesan terdapat azas general preventive. Misal : perbuatan orang yang

217
hendak membunuh dengan senjata yang ternyata kosong atau macet pelurunya, atau pencuri yang merogoh kantong orang lain yang ternyata kosong.Perbuatan-perbuatan demikian dilihat dari teori kesan sudah merupakan percobaan yang mampu dan oleh karenanya dapat dipidana, karena ada kesan dari luar yaitu dari sudut masyarakat bahwa perbuatan-perbuatan itu telah mengganggu/ melukai tata hukum.Menurut Prof. Moelyatno, dengan memakai ukuran melawan hukumnya perbuatan dalam menentukan mampu tidaknya suatu percobaan berdasar teori kesan, tidak berarti bahwa sifat berbahaya tidaknya percobaan itu dilihat dari sudut hubungan kausal tidak perlu diperhatikan. Pertimbangan segi kausalitas ini tetap penting, tetapi bukan untuk menentukan mampu tidaknya suatu percobaan, melainkan untuk menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan. Dalam hubungan ini beliau membandingkan dengan pasal 23 KUHP Swiss yang menentukan. “Jika alat yang dipakai untuk mencoba melakukan kejahatan, atau obyek/terhadap mana dilakukan kejahatan, adalah sedemikian rupa hingga perbuatan memang tidak mungkin dilaksanakan dengan alat atau terhadap obyek yang demikian itu, maka hakim boleh mengurangi pidana menurut kebijaksanaanya

218
sendiri. Jika si pembuat berbuat karena kebodohan (unverstand) hakim boleh tidak menjatuhkan pidana”.
5. MANGEL AM TATBESTANDTelah dilemukakan diatas bahwa secara teoritis percobaan mampu dan tidak mampu dapat dibedakan mengenai obyeknya maupun mengenal alatnya dan dapat pula dibedakan antara tidak mampu yang absolute dan relative.
Karena tidak jelasnya batas penetu antara tidak mampu absolute danrelatif, tergantung dari kehendak/ cara berpikir seseorang (bersifat Willekeurig), maka ada pendapat seperti M.v.T yang tidak memasukkan kedalam lapangan percobaan tidak mampu apabila objek tidak mampu. Menurut pendapat aliran ini, percobaan tidak mampu karena obyeknya bukanlah delik percobaan karena tidak cukupnya atau tidak terpenuhinya unsur-unsur delik. Misal dalam hal membunuh orang yang sudah mati atau menggugurkan kandungan orang yang tidak hamil, disitu tidak terpenuhi unsur delik dalam pasal 333 KUHP yaitu harus adanya nyawa orang (hidup) yang dihilangkan dan unsur delik dalam pasal 346 KUHP (menggugurkan/mematikan kandungan) yaitu harus adanya seorang wanita yang benar-benar mengandung.

219
Dalam ilmu hukum pidana Jerman, tidak adanya atau tidak lengkapnya/ tidak terpenuhinya unsur-unsur delik itu, disebut Mangel am Tatbestand (Mangel =kekurangan; Tatbestand = keadaan yang betul/sempurna atau mencocoki rumusan delik). Istilah ini dikemukakan oleh Graf zu Dohna (1910).
Yang setuju dengan pendapat ini ialah Simons dan Pompe. Menurut Pompe, dalam kedua contoh yang dikemukakan diatas tidak mungkin lagi dikatakan ada percobaan karena maksud/tujuan terdakwa sudah tercapai. Sedangkan van Hamel, tidak setuju dengan mereka yang memandang tidak ada percobaan apabila obyeknya tidak mampu. Menurut beliau memang benar bahwa membunuh bayi yang sudah mati atau menggugurkan kandungan orang yang tidak hamil adalah tidak mungkin, tetapi hal yang demikian sebenarnya tidak berbeda dengan membunuh bayi yang lahir hidup tetapi kemudian diganti dengan boneka atau mencuri uang dari sebuah kantong yang ternyata kosong.
Demikian pula Jonkers tidak setuju bahwa dalam contoh-contoh di atas dikatakan tidak ada percobaan, karena sifat khusu dari percobaan ialah :

220
a. Delik tidak selesai karena hal ikhwal yang tidak tergantung dari kehendak terdakwa;
b. Oleh karena dalam pikiran terdakwa (dalam kasus-kasus diatas) adalah mungkin sekali akan melaksanakan delik yang dituju.
Dari alasan yang kedua (b) ini jelas terlihat pandangan yang subyektif tentang percobaan.Sehubungan dengan masalah ini KARNI membedakan antara Mangel am Tatbestand dengan percobaan tidak mampu (istilah beliau “percobaan tak terkenan”). Dalam hal menggugurkan kandungan orang yang tidak hamil, disini ada percobaan yang tidak mampu karena tujuan si pembuat tidak tercapai (jadi berbeda dengan pendapat Pompe), jadi ini bukan Mangel am Tatbestand. Sedangkan untuk mangel am Tatbestand dicontohkan sbb:
- Orang yang melarikan perempuan yang ternyata sudah cukup umur;
- Orang yang mencuri barang yang ternyata sudah menjadi miliknya.
Dalam kedua contoh ini menurut Karni tujuanya sudah tercapai, hanya saja unsur delik yang bersangkutan (pasal 332 dan pasal 362 KUHP) tidak terpenuhi secara sempurna. Ketidak sempurnaan dipenuhinya unsur delik inilah

221
yang menurut Karni merupakan hakekat atau watak hukum dari Mangel am Tatbestand. Dalam hal demikian, terdakwa tidak dapat dipidana karena memang tidak ada pasal yang dilanggar dan kepastian hukum terancam (jadi berlainan dengan van Hamel). Selanjutnya ditegaskan oleh Karni bahwa Mangel am Tatbestand ini merupakan “kekhilafan tentang anasir delik” yang harus dibedakan dengan salah sangka tentang adanya undang-undang (putatief delict).
Perbedaan ini terlihat pula dalam pendapat Utrecht, delik putatief merupakan “rechtsdwaling” sedangkan Mangel am Tatbestand merupakan “feitelijke dwaling”.
VII. PEMIDANAAN TERHADAP PERCOBAAN
Telah dikemukakan di muka bahwa menurut system KUHP, yang dapat dipidana hanyalah percobaan terhadap kejahatan, sedangkan terhadap pelanggaran tidak dipidana.
Dalam hal percobaan terhadap kejahatan, maka menurut pasal 53 (2) KUHp maksimum pidana yang dapat dijatuhkan ialah maksimum pidana untuk kejahatan (pasal) yang bersangkutan dikurangi sepertiga. Jadi misalnya untuk percobaan pembunuhan (pasal 53 jo pasal 338

222
KUHP), maksimumnya ialah 10 tahun penjara. Bagaimanakah apabila kejahatan yangbersangkutan diancam pidana mati atau penajara seumur hidup, seperti halnya dalam pasal 340 KUHP (pembunuhan berencana)? Menurut pasal 53 (3), maksimum pidana yang dapat dijatuhkan hanya 15 tahun penjara. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menurut KUHP, maksimum pidana pokok untuk percobaan adalah lebih rendah daripada apabila kejahatan itu telah selesai seluruhnya. Sedangkan untuk pidana tambahannya, menurut pasal 53 (4) adalah sama dengan kejahatan selesai.

223
BAB XIPENYERTAAN
A. BEBERAPA ISTILAH
1. Turut campur dalam peristiwa pidana (Tresna).
2. Turut berbuat delik (Karni).3. Turut serta (Utrecht).4. Delneming (Belanda); Complicity (Inggris);
Teilnahme/Tatermehrhaeit (Jerman); Participation (Perancis).
B. BEBERAPA PANDANGAN TENTANG SIFAT PENYERTAAN
Filosofi dasar keberadaan lembaga penyertaan terdapat dua pandangan :1. Sebagai Strafa sdehnungsgrund (dasar
memperluas dapat dipidananya orang) :

224
- Penyertaan dipandang sebagai persoalan pertanggung jawaban pidana- Penyertaan merupakan suatu delik, hanya bentuknya tidak sempurna.- Penganut a.l : Simons, van Hattum, Hazewinkel Suringa.
2. Sebagai Tatbestandausdehnungsgrund (dasar memperluas dapat dipidananya perbuatan) :- Penyertaan dipandang bentuk khusus dari tindak pidana.- Penyertaan merupakan suatu delik, hanya bentuknya istimewa.- Penganut a.l : Pompe, Moelyatno, Roeslsn Saleh.
Menurut Prof. Moelyatno pandangan yang pertama sesuai dengan alam/pandangan individual karena yang diprimairkan adalah “strafbaarheid van de person” (hal dapat dipidananya orang), pandangan yang kedua sesuai dengan alam Indonesia karena yang diutamakan adalah perbuatan yang tidak boleh dilakukan, jadi lebih ditekankan pada strafbaarheid van het feit” (hal dapat dipidananya perbuatan). Menurut Moelyatno, pandangan pertama tidak dikenal dalam hukum adat.
C. PEMBAGIAN PENYERTAAN

225
1. Terbagi dua :a. Von Feuerbach membagi penyertaan
dalam dua bentuk :a.1. Urherber (pembuat)a.2. Gehilfe (pembantu)
b. KUHP Belanda dan Indonesia :b.1. Dader / Pembuat (pasal 47 Belanda / pasal 55 KUHP Indonesia).b.2. Medeplichtige / pembantu (pasal 48
KUHP Belanda / pasal 56 KUHP Indonesia).
c. Code Penal Perancis dan Belgia :c.1. Autores.c.2. Complices.
d. Di Inggris :d.1. Principals (peserta baku).d.2. Accessories (peserta pembantu).
2. Pembagian tiga :2.a. Di Jerman :
2.a.1. Tater (pembuat)2.a.2. Anstifter (penganjur)2.a.3. Gehile (pembantu)
2.b. Di Jepang :2.b.1. Co principals (pembuat)2.b.2. Instigator (penganjur)2.c.3. Accessories (pembantu)
3. Pembagian empat :Di Uni Sovyet :
3.1. Executive of crime3.2. Organizer

226
3.3. Instigator3.4. Accessory
D. PENYERTAAN MENURUT KUHP INDONESIA1. Pembagian penyertaan menurut KUHP
Indonesia adalah :a. Pembuat/dader (pasal 55) yang terdiri
dari :a.1. Pelaku (pleger)a.2. yang menyuruh lakukan (doenpleger)a.3. yang turut serta (medepleger)a.4. penganjur (uitlokker)
b. Pembantu / mendeplichtige (pasal 56) yang terdiri dari :b.1. pembantu pada saat kejahatan dilakukanb.2. pembantu pada saat kejahatan belum dilakukan.
Mengenai pengertian pembuat (dader), ada dua pandangan :
a. Pandangan yang luas (extensief) :- Dengan demikian mereka yang
disebut dalam pasal 55 diatas adalah pembuat.

227
- Penganut : M.v.T, Pompe, Hazewinkel-Suringa, van Hattum, Moelyatno.
b. Pandangan yang sempit (restrictief) :- Pembuat hanyalah orang yang
melakukan sendiri perbuatan yang sesuai dengan rumusan delik, jadi hanya pembuat materiil saja (yaitu pada no.1 pada pasal 55 di atas).
- Menurut pandangan ini, mereka yang tersebut dalam pasal 55 hanya dipandang sebagai pembuat, jadi hanya disamakan saja dengan dader.
- Penganut : HR, Simons, van Hamel, Jonkers.
2. Pleger (pelaku)a. Pelaku (pleger) ialah orang yang
melakukan sendiri perbuatan yang memenuhi rumusan delik.
b. Dalam praktek sukar menentukannya, terutama dalam hal pembuat undang-

228
undang tidak menentukan secara pasti siapa yang menjadi pembuat.Mengenai hal ini ada beberapa
pedoman :1). Peradilan Indonesia
Pembuat (dalam arti sempit yaitu pelaku) ialah orang yang menurut maksud pembuat undang-undang harus dipandang yang bertanggung jawab.
2). Peradilan BelandaDader (dalam arti sempit) ialah orang yang mempunyai kekuasaan/kemampuan untuk mengakhiri keadaan terlarang, tetapi tetap memberikan keadaan terlarang itu berlangsung terus.
3). PompeDader (dalam arti sempit) ialah orang yang mempunyai kewajiban untuk mengakhiri keadaan terlarang itu.
c. Kedudukan “pleger” dalam pasal 55 sering dipermasalahkan. Mengenai hal ini ada dua pendapat :1). Janggal dan tidak pada tempatnya
Alasan : Karena pasal 55 berada dibawah bab V yang berjudul “Penyertaan tersangkut beberapa pidana”, pada penyertaan apabila “mereka yang melakukan” (para

229
pelaku) itu diartikan pembuat tunggal.
2). Dapat dipahamiAlasan : Karena pasal 55 menyebut “mereka yang dipidana” sebagai pembuat”, jadi plegers termasuk didalamnya “Pompe”. Karena pasal 55 menyebut “ siapa-siapa yang dinamakan pembuat”, jadi plegers juga termasuk didalamnya (Hazewinkel-Suringa).
3. Doenpleger (yang menyuruh lakukan)a). Doenpleger ialah orang yang melakukan
perbuatan dengan perantaraan orang lain, sedang perantara ini hanya diumpamakan sebagai alat.Dengan demikian :- Pembuat langsung (onmiddelijke
dader, auctor physicus, manus ministra)
- Pembuat tidaklangsung (middelijke dader, doenpleger, auctor intellectuals, manus domina).
b). Pada Doenpleger terdapat unsur-unsur sbb :
- Alat yang dipakai adalah manusia;- Alat yang dipakai itu “berbuat” (bukan
alat yang mati)

230
- Alat yang dipakai itu “tidak dapat dipertanggungjawabkan” unsur ketiga inilah yang merupakan tanda ciri dari doenpleger .
Hal yang menyebabkan alat (pembuat materiil) tidak dapat dipertanggungjawabkan ialah :
Bila ia tidak sempuna pertumbuhan jiwanya atau rusak jiwanya (pasal 44);
Bila ia berbuat karena daya paksa (pasal 48)
Bila ia melakukannya atas perintah jabatan yang tidak sah seperti dimaksudkan dalam pasal 51 ayat (2);
Bila ia keliru (sesat) mengenai salah satu unsur delik, misalnya A menyuruh B untuk menguangkan pos wesel yang tanda tangannya dipalsu oleh A, sedangkan B tidak mengetahui pemalsuan tersebut;
Bila ia tidak mempunyai maksud seperti yang diisyaratkan untuk kejahatan ybs. (dalam undang-undang) misal A menyuruh B (seorang kuli) untuk mengambil barang dari suatu tempat. B mengambilnya untuk diserahkan

231
kepada A dan ia sama sekali tidak mempunyai maksud untuk memiliki bagi dirinya sendiri.
c). Dalam hal pembuat materiil (alat) seseorang yang belum cukup umur, maka tidak ada menuruh lakukan, karena pada dasarnya KUHP menganggap orang yang belum cukup unur itu tetap mampu bertanggungjawab (lihat pasal 45 jo 47). Namun demikian, apabila yang disuruh itu anak yang masih sangat muda sekali, yang belum begitu sadar akan perbuatannya, maka dalam hal ini dimungkinkan ada menyuruh lakukan.
d). Apakah orang yang menyuruh lakukan (doenpleger) harus mempunyai kualitas sebagai pelaku ? ada dua pendapat :d.1. Pendapat pertama : “harus”.
Alasan, karena tidakmungkin seorang A menyuruh oarng lain B melakukan sesuatu yang A sendiri tidak dapat melakukannya. Misalnya : A bukan pegawai negeri, maka ia tidak dapat melakukan “delik jabatan”, jadi A tidak bisa menjadi pembuat langsung (onmiddelijke dader) oleh karena itu ia juga tidak

232
bisa menjadi pembuat tidak langsung, maka A tidak bisa menjadi doenpleger. Jadi walaupun B (yang disuruh) adalah “ pegawai negeri, tetap dikatakan tidak ada doenpleger.
d.2. Pendapat kedua : “tidak harus”.“Menyuruh-lakukan sesuatu delik jabatan tidak hanya terdapat apabila pembuat materiilnya adalah seorang pejabat, akan tetapi juga sebaliknya, ialah apabila pelaksanaanya bukan, sedang yang menyuruh-lakukan itu adlah pejabat”.
← Hazewinkel-Suringa :← “Seorang peserta itu bukannya dipidana karena ia melakukan perbuatan (pidana), akan tetapi ia justru dipidana walaupun ia tidak melakukan perbuatan”. Misal : A membius B seorang penjaga keamanan kereta api, sehingga lalai menjalankan tugasnya dan timbul kecelakaan.← Walaupun A tidak berkualitas seperti B (yaitu tidak mempunyai kewajiban seperti B), A tetap dikatakan sebagai doenpleger dalam delik omissi yang dilakukan oleh B.

233
← Arrest HR tgl. 21 April 1913 (kasus Walikota Zaan-dam) menyatakan :← “Pasal 55 tidak menyatakan bahwa mereka yang menyuruh lakukan adalah dader, tetapi bahwa mereka dipidana sebagai dader, sehingga untuk menjadi middelijke dader (doenpleger) tidak perlu ada kualitas pribadi seperti pembuat materiil”.←
e). Mungkinkah ada menyuruh lakukan terhadap delik-colpoos? Mungkin, dalam halo rang yang menyuruh-lakukan dapat menduga sebelumnya bahwa ka nada sesuatu akibat yang tidak diharapkan. Misal :A menyuruh seseorang pekerja B untuk melemparkan benda yang berat dari atap rumah ke bawah, tanpa menghiraukan apakah benda itu akan menimpa orang yang kebetulan ada / lewat di bawah atap rumah itu. B mengira bahwa A telah mengadakan pengamanan seperlunya. Jika karena lemparan itu ada yang tertimpa dan mati, maka A dapat dituntu karena menyuruh-lakukan tindak pidana yang tersebut dalam pasal 359 KUHP.
4. Medepleger (orang yang turut serta)

234
a. Pengertian :1). Undang-undang tidak memberikan definisi2). Menurut M.v.T : Orang yang turut
serta melakukan (medepleger) ialah orang yang dengan sengaja turut berbuat atau turut mengerjakan terjadinya sesuatu.
3). Menurut Pompe, “turut mengerjakan terjadinya sesuatu tindak pidana itu ada dua kemungkinan :
- Mereka masing-masing memenuhi semua unsur dalam rumusan delik.Misal : dua orang dengan bekerja sama melakukan pencurian disebuah gudang beras, salah seorang memenuhi semua unsur delik, sedang yang lainnya tidak.Misal : dua orang pencopet (A dan B) saling bekerja sama, A yang menabrak orang yang menjadi sasaran, sedang B yang mengambil dompet orang itu.
- Tidak seorangpun memenuhi unsur-unsur delik seluruhnya tetapi mereka bersama-sama mewujudkan delik itu misalnya : dalam pencurian dengan

235
merusak (pasal 363 ayat (1) ke-5) salah seorang melakukan penggangsiran, sedang kawannya masuk rumah dan mengambil barang-barang yang kemudian diterimakan kepada kawannya yang menggangsir tadi.
b. Syarat adanya medepleger : Ada kerjasama secara sadar
(bewuste samenwerking).Adanya kesadaran bersama tidak berarti ada permufakatan lebih dulu, cukup apabila ada pengertian antara peserta pada saat perbuatan dilakukan dengan tujuan menacpai hasil yang sama. Yang penting aialah harus ada kesenjangan secara sadar.Tidak ada turut serta, bila orang yang satu hanya menghendaki untuk menganiaya, sedang kawannya menghendaki matinya si korban. Penentuan kehendak atau kesenjangan masing-masing peserta itu dilakukan secara normatif.
Ada pelaksanaan bersama secara fisik (gezamenlijke

236
ultvoering/physieke samenwerking).Persoalan kapan dikatakan ada perbuatan pelaksanaan merupakan persoalan yang sulit (ingat/lihat Bab VI tentang “percobaan”), namun secara singkat dapat dikatakan bahwa perbuatan pelaksanaan berarti perbuatan yang langsung menimbulkan selesainya delik ybs. Yang penting disini harus ada kerjasama yang erat dan langsung. Batas antara perbuatan pelaksanaan dan perbuatan pembantuan sangatlah sulit dan hal ini akan dibicarakan dalam masalah pembantuan.
c. Apakah medepleger harus mempunyai kualitas sebagai pelaku ?Mengenai hal ini ada dua penadapat :
1). Pendapat pertama : “harus”. Medepleger adalah suatu bentuk
daderschap (keadaan / sifat pelaku pembuat), orang turut serta melakukan adalah pembuat (dader) apabila ada beberapa orang bersama-sama melakukan delik,

237
maka mereka timbal balik terhadap satu sama lain disebut pembuat peserta (mededader). Pembuat peserta sebagai pembuat harus mempunyai sifat yang oleh rumusan undang-undang diisyaratkan untuk daderschap. Barang siapa tidak dapat menjadi pembuatan tunggal (alleendader) juga tidak dapat dinamakan pembuat peserta (mededader). Sifat-sifat atau keadaan pribadi yang menentukan dapat dipidananya perbuatan, hanya berlaku pada pembuat peserta yang mempunyai sifat-sifat tersebut.
2). Pendapat kedua : “tidak harus”.Yurisprudensi putusan pengadilan Negeri Tulunganggung tanggal 5 Januari 1932 yang kasusnya sbb :A memegang gelang milik orang lain untuk dijualkan. Suami A menggadaikan gelang tersebut untuk kepentingannya sendiri, dengan persetujuan A. Dalam kasus A dinyatakan salah melakukan penggelapan, sedang suaminya “turut serta melakukan penggelapan” meskipun suaminya tidak memenuhi

238
semua unsur yang terdapat dalam pasal 372.Status A terhadap barang ialah “memiliki dengan melawan hukum barang yang ada padanya bukan karena kejahatan “, sedang status suaminya terhadap barang itu ialah menggadaikan barang milik orang lain yang ada dalam kekuasaannya karena kejahatan”. Yaitu ia dapat dari A dan tahu bahwa barang itu bukan milik A.
d. Mungkinkah ada turut serta terhadap delik culpoos ? pada turut serta, kesengajaannya ditujukan kepada :1. Kerjasama dengan orang lain
(ditujukan pada perbuatan).2. Tercapainya hasil yangmerupakan
delik (ditujukan pada akibat).
Dalam delik culpa orang tidak menghendaki terjadinya akibat. Kalau kesenjangan orang turut serta juga harus ditujukan untuk timbulnya delik culpa tersebut, maka jelas tidak mungkin ada turut serta melakukan secara culpa. Akan tetapi jika kesengajaan itu hanya ditujukan kepada adanya kerjasama, ialah kepada perbuatan yang dilakukan

239
bersama, maka mungkin ada turut serta melakukan secara culpa. Misal :
A dan B bersama-sama melemparkan barang berat dari gedung bertingkat dan menimpa orang yang ada di bawah sampai mati. Keduanya tidak menghendaki sampi matinya orang tersebut, akan tetapi mereka bersama-sama secara sadar melakukan pelemparan barang dan merekapun kurang berhati-hati serta patut menduga akibat yang timbul. Oleh karena itu mereka dapat dituntut bersama-sama melakukan perbuatan yang tersebut dalam pasal 55 jo pasal 359 KUHP.
5. Uitlokker (penganjur)
a. Pengertian :Pengajur ialah orang yang menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana denganmenggunakan sarana-sarana yang ditentukan oleh undang-undang untuk melakukan kejahatan.Jadi hamper sama dengan menyuruh-lakukan (doen-pleger), pada penganjuran (uitlokking) ini ada usaha untuk menggerakkan orang lain sebagai

240
pembuat materiil / auctor physicus. Adapun perbedaannya sbb :
Penganjuran Menyuruh-lakukanMenggerakkannya dengan sarana-sarana tertentu (limitatif)
Sarana menggerakkannya tidak ditentukan (tidak limitatif)
Pembuat materiil dapat dipertanggungjawabkan (tidakmerupakan manus ministra)
Pembuat materiil tidak dapat dipertanggungjawabkan (merupakan manus ministra)
b. Syarat penganjuran yang dapat dipidana :Berdasarkan pengertian diatas, maka syarat pengajuran yang dapat dipidana ialah :
Ada kesenjangan untuk menggerakkan orang lain melakukan perbuatan yang terlarang.
Menggerakkannya dengan menggunakan upaya-upaya (sarana-sarana) seperti tersebut

241
dalam undang-undang (bersifat limitatif).
Putusan kehendak dari si pembuat materiil ditimbulkan karena hal-hal tersebut pada a dan b (jadi ada psychise causaliteit).
Si pembuat materiil tersebut melakukan tindak pidana yang dianjurkan atau percobaan melakukan tindak pidana.
Pembuat materiil tersebut harus dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana.
Dari lima syarat yang disebutkan diatas, jelas bahwa syarat 1 dan 2 merupakan syarat yang harus ada pada si penganjur, sedangkan syarat 3, 4 dan 5 merupakan syarat yang melekat pada orang yang dianjurkan (pembuat materiil).
c. Mungkinkah ada penganjuran untuk melakukan delik culpa ?Mengenai hal ini ada beberapa pendapat :1. Tidak mungkin.
d. Mungkinkah ada percobaan pengajuran atau pengajuran yang gagal ?
e. Pertanggungjawaban si penganjur.

242
c. Mungkinkah ada penganjuran untuk melakukan delik culpa ?
Mengenai hal ini ada beberapa pendapat :
(a). Tidak mungkin.
Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh van Hamel dengan mengemukakan alasan bahwa sifat khas dari uitlokking ialah membujuk terjadinya perbuatan dengan sengaja.
(b). Mungkin.
Simons menganggap bukannya mustahil dalam bentuk demikian seseorang dapat membujuk terjadinya sesuatu perbuatan dengan pengetahuan bahwa orang yang akan melakukan perbuatan itu dapat mengira-ngira kemungkinan terjadinya akibat yang tidak dikehendaki atau dapat mengirakan kemungkinan terjadinya akibat tersebut. Menurut Pompe orang nyata-nyata dapat sengaja menyuruh orang lain untuk melakukan delik culpa, dalam arti orang itu sebagai pembujuk mempunyai kesengajaan untuk menggerakkan agar orang lain melakukan perbuatan yang ternyata suatu delik culpa dan

243
inklusif didalam perbuatan sengaja itu termasuk kealpaan, dan pula dalam arti bahwa yang di bujuk dan pembujuk mempunyai kealpaan yang diisyaratkan oleh undang-undang. Misal :
Seorang pemilik mobil sengaja meminjamkan mobilnya untuk dipakai orang lain dengan mengetahui bahwa dengan pemberian pinjaman itu, orang lain tersebut akan mengendarainya. Jadi, pada pembujuk ada kesengajaan yang ditujukanuntuk menggerakkan orang lain untuk menyupir. Kalau orang lain itu tidak dapat menyupir hal mana diketahui oleh pembujuk, maka jika pengendara tersebut melanggar seseorang yang mengakibatkan mati, ia dapat dikatakan melakukan tindak pidana dalam pasal 359, sedang pemilik mobil dapat dikatakan melakukan pembujukan untuk terjadinya pelanggaran pasal 359 itu.
d. Mungkinkah ada percobaan penganjuran atau penganjuran yang gagal ?
Penganjuran yang gagal ini dapat terjadi dalam hal seseorang telah dengan sengaja menggerakkan orang lain untuk melakukan sesuatu tindak pidana dengan menggunakan salah satu sarana dalam pasal 55 (1) ke-2, akan tetapi orang lain itu tidak mau melakukan atau

244
mau melakukan akan tetapi tidak sampai dapat melaksanakan perbuatan yang dapat dipidana.
(catatan : Dengan kata lain, baru terpenuhi syarat 1 dan 2 atau syarat 1 s/d 3) seperti dikemukakan pada no. b diatas.
Timbul masalah apakah terhadap percobaan untuk membujuk atau penganjuran yang gagal dapat dipidana ? mengenai hal ini sebelum adanya pasal 163 bis, ada dua pandangan :
1). Pendapat pertama : Penganjuran dipandang sebagai bentuk penyertaan yang bersifat accessoir (tidak berdiri sendiri = onzelfstandig).
Menurut pandangan ini, pengajuran itu ada apabila ada tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat materiil. D.p.l si penganjur dipidana apabila orang yang dibujuk melakukan perbuatan yang dapat dipidana. Karena dalam “percobaan untuk penganjuran” ini, tindak pidana itu tidak terjadi maka si pengajur juga tidak dapat dipidana.
Penganutnya : Hazewinkel-Suring, Simons, van Heml, vos.
2). Pendapat kedua : Penganjuran dipandang sebagai bentuk penyertaan yang tidak accessoir (berdiri sendiri = zelfstanding, tidak bergantung pada yang

245
lain). Menurut pendapat ini, ada / tidaknya penganjuran tidak tergantung pada ada tidaknya atau terjadi / tidaknya tindak pidana. D.p.l sipenganjur tetap dapat dipidana walaupun tindak pidana yang dianjurkan kepada si pelaku tidak terjadi. Jadi menurut pandangan kedua ini, “percobaan untuk penganjuran” tetap dapat dipidana. Penganutnya : Blok. Jomkers, Pompe, van Hattum.
Catatan :
Dari uraian diatas jelas, bahwa menurut pendapat pertama (accessoir), strafbaarheid (sifat dapat dipidananya si penganjur digantungkan dari apa yang dilakukan oleh orang lain). Jadi sudut pandangnya tidak membedakan antara sifat dapat dipidananya perbuatan (tindak pidana) dan sifat dapat dipidananya orang (pertanggungjawaban pidana). Jadi lebih mendekati pandangan monistis.
Sehubungan dengan pandangan yang pertama diatas, dalam KUHP Jerman (sebelum perubahan tahun 1943), dikenal apa yang dinamakan extreme accessoiriteit yaitu bahwa untuk adanya bentuk-bentuk penyertaan harus ada yang bertanggung jawab sebagai Tater (pelaku).
Menururt KUHP Jerman itu, untuk dapat memidana seseorang peserta sebagai Mittater

246
(si turut-serta melakukan / medepleger, anstifter / pengajur uitlokker, atau gehilfe / pembantu / medeplichtige), maka si pembuat materiil harus melakukan strafbare handlung, yang diartikan bukan saja melakukan perbuatan yang dilarang / diancam pidana, tetapi juga dapat dijatuhi pidana. Dengan demikian apabila si pembuat materiil tidak dapat dijatuhi pidana (karena tidak ada kesalahan), tidak mungkin ada penyertaan.
Pertanggungjawaban peserta tidak lagi digantungkan pada pertanggungjawaban si pelaku atau peserta lainnya, tetapi dipandang berdiri sendiri, asal saja pelaku atau peserta lainnya itu telah melakukan sesuatu perbuatan yang dilarang.
Pandangan accessoiriteit yang terbatas ini sesuai dengan pandangan dualistis (a.l Prof. Ruslan saleh) yang melihatnya dari dua sudut pandang :
1). Dari sudut perbuatan, pada umumnya tiap-tiap peserta tidak berdiri sendiri-sendiri, sifat melawan hukumnya perbuatan dari si pembuat atau si pembantu baru timbul jika perbuatan dari si pembuat atau si pembantu baru timbul jika perbuatannya di hubungkan dengan pelaku atau peserta lainnya.

247
2). Dari sudut pertanggungjawaban, tiap-tiap peserta dipertanggungjawabkan sendiri-sendiri menurut sikap batinya masing-masing berhubung dengan apa yang diperbuatnya.
Persoalan percobaan pengajuran atau penganjuran yang gagal ini sekarang sudah tidak menjadi persolan lagi, setelah pada tahun 1925 (S. 1925 No. 197 / jo 273) ditambahkan pasal 163 bis kedalam KUHP pasal ini berbunyi :
1). Barang siapa dengan menggunakan salah satu sarana tersebut dalam pasal 55 ke-2, mencoba menggerakkan orang lain supaya melakukan kejahatan, diancam pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau denda paling banyak tiga ratus rupiah (sekarang menjadi Rp. 4.500,-), jika tidak mengakibatkan kejahatan atau percobaan kejahatan yang dipidana, tetapi dengan ketentuan, bahwa sekali-kali tidak dapat dijatuhkan pidana yang lebih berat dari pada yang ditentukan terhadap percobaan kejahatan, atau jika percobaan itu tidak dipidana, tidak dapat dijatuhkan pidana yang lebih berat dari yang ditentukan terhadap kejahatan itu sendiri.
2). Aturan tersebut tidak berlaku, jika tidak mengakibatkannya kejahatan atau percobaan kejahatan yang dipidana itu disebabakan karenakehendaknya sendiri.

248
Pasal diatas mengancam pidana terhadap pembujukan yang gagal dan juga yang tidak menimbulkan akibat. Dengan demikian pasal ini menjadikan perbuatan “ pembujukan yang gagal” sebagai delik yang berdiri sendiri (delictum suigeneris). Delik ini merupakan delik formil, artinya perumusannya dititikberatkan pada perbuatan si pembuat, jadi jika seseorang dengan salah satu sarana yang tersebut dalam pasal 55 ke-2 itu berusaha menggerakkan orang lain untuk melakukan kejahatan, maka ia sudah dapat dipidana. Alasan penghapus pidananya tercantum dalam ayat (2). Menurut Prof. Moelyatno, pasal 163 biss (2) merupakan alasan penghapus penuntutan.
Perlu diperhatikan bahwa dalam pasal 163 bis itu digunakan kata-kata “mencoba / berusaha menggerakkan orang lain untuk…”. Jadi dapat juga dikenakan kepada “menyuruh lakukan / doenplegen yang gagal”, asal saja sarana yang dipakai oleh si pembuat termasuk salah satu sarana untuk pembujukan yang tersebut dalam pasal 55 ayat (1) ke-2.
e. Pertanggungjawaban si penganjur.
Dalam pasal 55 ayat (2) dinyatakan bahwa penganjur dipertanggungjawabkan terhadap perbuatan yang sengaja dianjurkannya beserta akibatnya. Misal :

249
A menganjurkan B untuk menganiaya C dan akibat penganiayaan itu C mati, Dalam hal ini pertanggungjawaban A bukan terhadap perbuatan “menganjurkan orang lain melakukan penganiayaan” (pasal 55 jo 351) tetapi “menganjurkan orang lain melakukan penganiayaan yang berakibat mati” (pasal 55 jo 351 ayat (3)).
Bagaimanakah apabila B yang dianjuri langsung membunuh C. dalam hal ini matinya C tidak dapat dipertanggungjawabkan pada A (Jadi tidak dapat dituduh berdasar pasal 55 jo 338), karena pembunuhan itu bukan dimaksud (disengaja) oleh A. Namun demikian, A masih dapat dipertanggungjawabkan berdasrkan pasal 163 bis, yaitu pembujukan yang gagal untuk penganiayaan. Maksimum pidana yang dapat dikenakan adalah maksimum pidana untuk penganiayaan yang terbukti sengaja dianjurkan oleh A, yaitu kalau penganiayaan biasa pasal 351 (1), maksimumnya 2 tahun 7 bulan, kalau penganiayaan ringan pasal 352 maksimumnya 3 bulan, kalau penganiayaan yang direncanakan pasal 351 (1) maksimumnya 4 tahun penjara dst. Jadi maksimumnya bukan 6 tahun (perhatikan redaksi pasal 163 bis).
Ketentuan pasal 163 bis juga dapat dipertanggungjawabkan pada A dalam hal B (yang dianjuri) tidak mau melaksanakan anjuran dari A walaupun mungkin ia sudah menerima sesuatu

250
pemberian / hadiah dari A. jadi gagalnya pengajuran A karena kehendak orang yang ditujuk (B). Apabila tidak terjadi atau gagalnya pengajuran A itu karena kehendak A sendiri, maka pasal 163 bis tidak dapat dikenakan pada A.
Bagaimanakah apabila dalam melaksanakan anjuran A untuk menganiaya C itu, B baru melaksankannya sampai taraf percobaan penganiayaan tidak dipidana dan ini berarti “tidak terjadi percobaan kejahatan yanmg dipidana” seperti disebutkan dalam pasal 163 bis.
Kalau A membujuk B untuk membunuh C dengan menggunakan pistol, tetapi karena “penyimpangan sasaran” (aberretio ictus / afdwalirgsgevallen) tembakan B mengenai D, maka perbuatan A tetap dapat disebut “membujuk untuk percobaan pembunuhan terhadap C” (pasal 55 jo 53 jo 338). Bagaimanakah terhadap matinya D, apakah A dapat dipertanggungjawabkan ?
Ada pendapat bahwa dalam hal ini A tidak dapat dipertanggungjawabkan karena matinya D bukan yang dikenhendaki (disengaja dianjurkan) oleh A, jadi karena tidak ada identitas (kesamaan) antara perbuatan yang dibujukkan dengan perbuatan yang benar–benar dilakukan. Pendapat ini menghendaki adanya hubungan langsung antara kesengajaan si pembujuk dengan terjadinya delik yang dilakukan oleh

251
orang yang dibujuk. Jadi masalah pokoknya berkisar pada sampai seberapa jauh “kesengajaan” menurut pasal 55 (2) itu dapat dipertanggungjawabkan kepada di pembujuk, apakah hanya bertanggung jawab terhadap “kesengajaan dengan maksud (yang langsung dituju)” atau meliputi juga seluruh corak kesengajaan.
Apabila pengertian “sengaja yang dianjurkan” dalam pasal 55 (2) meliputi juga dolus eventualis yang dilakukan oleh pembuat materiil, maka dlam kasus diatas A juga dapat dipertanggungjawabkan terhadap matinya D apabila terbukti bahwa pada saat B (pembuat materiil) menembak C dapat dibayangkan kemungkinan tertembaknya orang lain (b) yang berada di dekat C. Penetuan hal ini dilakukan secara normative oleh Hakim.
6. PEMBANTUAN (medeplichtige)
a. Sifat : Dilihat dari perbuatannya.
Pembantuan ini bersifat accessoir artinya untuk adanya pembantuan harus ada orang yang melakukan kejahatan (harus ada orang yang dibantu). Tetapi dilihat dari pertanggungjawaban tidak accessoir. Artinya dipidananya pembantu tidak

252
tergantung pada dapat tidaknya si pelaku dituntut pidana.
b. Jenis : Menurut pasal 56 KUHP, ada dua jenis pembantu :
Jenis pertama :
Waktunya : Pada saat kejadian dilakukan; Caranya : Tidak ditentukan secara limitatif
dalam undang-undang
Jenis kedua :
Waktunya : sebelum kejahatan dilakukan; Caranya : Ditentukan secara limitatif dalam
undang-undang (yaitu dengan cara : memberi kesempatan, sarana atau keterangan).
Pembantuan jenis pertama ini mirip dengan turut serta (medeplegen) perbedaannya sbb :
Pembantuan Turut SertaMenurut ajaran penyertaan obyektif : perbuatannya hanya membantu / menunjang (ondersteuning shanling)
Menurut ajaran obyektif : perbuatan merupakan perbuatan pelaksanaan (uitvoering shandelling)
Menurut ajaran subyektif :
Kesenjangan merupakan animus
Menurut ajaran subyektif :
Kesenjangan

253
socii (hanya untuk memberi bantuan saja pada orang lain);
Tidak harus ada kerja sama yang disadari (beweste samenwerking)
Tidak mempunyai kepentingan / tujuan sendiri.
merupakan animus coauctores (diarahkan untuk terwujudnya delik);
Harus ada kerja sama yang disadari (bewuste samenworking)
Mempunyai kepentingan / tujuan sendiri.
Terhadap pelanggaran tidak dipidana (pasal 60 KUHP).
Terhadap kejahatan maupun pelanggaran dapat dipidana.
Maksimum pidananya dikurangi sepertiga (pasal 57-1).
Maksimum pidananya sam dengan si pembuat.
Pembantuan jenis kedua ini mirip dengan penganjuran (uitlokking). Perbedaannya adalah sebagai berikut :
Penganjuran PembantuanKehendak untuk melakukan kejahatan pada pembuat materiil ditimbulkan oleh si pengajur (ada kausalitas psikhis)
Kehendak jahat pada pembuat materiil sudah ada sejak semula (tidak ditimbulkan oleh si pembantu).

254
Adanya ajaran / teori penyertaan yang obyektif dan subyektif, ditimbulkan oleh adanya konsepsi yang saling bertentangan menganai batas-batas pertanggungjawaban para peserta, yaitu :
A. Sistem yang berasal dari hukm Romawi,
Menurut system ini tiap-tiap peserta sama nilainya (sama jahatnya) dengan orang yang melakukan, tindak pidana itu sendiri, sehingga mereka masingt-masing juga dipertanggungjawabkan sama dengan pelaku.
Karena tiap-tiap peserta dipertanggungjawabkan sama, maka batas antara bentuk-bentuk penyertaan sama, maka batas antara bentuk-bentuk penyertaan tidaklah prinsip, yang dijadikan titik berat untuk menentukan batas antara pelaku dengan para peserta diletakkan pada perbuatannya dan saat bekerjanya masing-masing (jadi bersifat obyektif). Pendirian inilah yang kemudian dikenal dengan teori atau jaran penyertaan obyektif.
Sistem yang pertama ini terdapat dalam Code Penal Prancis dan dianut juga di Inggris.
B. Sistem yang berasal dari para jurist Italia dalam abad pertengahan.

255
Menurut system ini tiap-tiap peserta tidak dipandang sama nilainya (tidak sama jahatnya), tergantung dari perbuatan yang dilakukan. Oleh karena itu pertanggungjawabannya juga berbeda, ada kalanya sama berat dan ada kalanya lebih ringan dari pelaku. Karena pertanggungjawaban para peserta itu berbeda, maka batas antara masing-masing bentuk penyertaan itu adalah prinsip sekali, artinya harus ditentukan secara tegas. Adapun yang dijadikan batas antara masing-masing bentuk penyertaan dititik beratkan pada sikap batin masing-masing peserta. Pendirian inilah yang dikenal dengan teori atau ajaran penyertaan yang subyektif.
Sistem, kedua ini dianut dalam KUHP Jerman dan Swiss. Seperti telah dikemukakan, di Jerman dibedakan antara Tater (pembuat), anstifter (penganjur) dan Gehilfe (pembantu). Berdasar teori subyektif, maka jarang termasuk tater harus mempunyai tater-willen (niat untuk menganjurkan) dan yang termasuk Gehilfe harus mempunyai Gehilfewiller (niat untuk membantu orang lain).
Menurut Prof Moelyatno, KUHP kita dapat digolongkan kedalam kelompok teori campuran karena :
- Dalam pasal 55 disebutkan “dipidana sebagai pembuat” dan dalam pasal 56 disebutkan “

256
dipidana sebagai pembantu”. Dengan adanya dua bentuk penyertaan ini (yang dapat disamakan dengan pembagian autors dan complices di Prancis atau principals dan accessoir di Inggris, berarti menganut system yang pertama.
- Akan tetapi apabila dilhat perbedaan pertanggungjawabannya yaitu pembantu dipidana lebih ringan (dikurangi sepertiga) dari si pembuat, maka ini berarti dianut yang kedua.
Selanjutnya dikemukakan oleh beliau, bahwa apabila pada dasarnya KUHP kita menganut system Code Penal (system pertama) dengan pengecualian untuk pembantuan dianut system KUHP Jerman (system kedua), maka konsekuensinya ialah :
A). Perbedaan dalam pasal 55 antara pelaku orang yang menyuruh lakukan, yang turut serta dan yang menganjurkan, dalah tidak prinsipil. Ini berarti batas antara mereka yang tergolong dalam “daders” itu tidak perlu ditentukan secara subyetif menurut niatnya masing-masing peserta, tetapi cukup secara obyektif menurut bunyinya peraturan saja.
Dalam hubungan ini yang penting adalah perbedaan antara orang yang menyuruh lakukan dan penganjur. Perbedaan antara

257
keduanya jangan dicari dalam sikap batin masing-masing, tetapi cukup bahwa :
- Untuk menjadi orang yang menyuruh lakuka, apabila orang yang disuruh tidak dapat dipidana sebagai pembuat karena dipandang tidak mempunyai kesalahan, dan
- Untuk menjadi pengajur sudah cukup, apabila cara-cara yang digunakan untuk menganjurkan tersebut dalam pasal 55 (1) ke-2 dan si pembuat materiil dapat dipertanggungjawabkan.
B). Perbedaan antara pembuat (dader) dan pembantu (megeplichtige)) adalah prinsipil, sehingga batas antara keduanya ditentukan menurut sikap batinnya.
c. Pertanggungjawaban pembantu.
1). Pada prinsipnya KUHP menganut system bahwa pidana poko untuk pembantu lebih ringan dari pembuat. Prinsip ini terlihat didalam pasal 57 (1) dan (2) yaitu : - Maksimum pidana poko untuk pembantuan dikurangi sepertiga (ayat 1);
- Apabila kejahatan diancam pidana mati atau penjara seumur hidup, maka maksimum pidana untuk pembantu ialah 15 tahun penjara (ayat 2).
Pengecualian terhadap prinsip ini terlihat dalam :

258
a). Pasal 333 (4) : Pembantu dipidana sama berat dengan pembuat, (lihat juga pasal 415 dan 417).
b). Pasal 231 (3) : Pembantu dipidana lebih berat dari si pembuat, (lihat juga pasal 349).
2). Pidana tambahan untuk pembantu sama dengan ancaman terhadap kejahatannya itu sendiri, jadi sama dengan si pembuat (pasal 57 : 3).
3). Dalam pertanggungjawaban seorang pembantu, KUHP mengamut system bahwa pertanggungjawabannya berdiri sendiri (tidak bersifat accessoir), artinya tidak digantungkan pada pertanggungjawaban si pembuat. Misal pasal 57 (4) dan 58.
4). Ada pendapat dari Prof Moelyatno dan Prof. Oemar sadji, bahwa system pemidanaan untuk pembantuan hendaknya dipakai system “facultative Minderbes Taftung / strafmilderung yaitu terserah pada hakim apakah terhadap pembantu pidananya akan dikurangi atau tidak.
E. PENYERTAAN DENGAN KEALPAAN (CULPOSE DEELNEMING)
Misal :

259
1. A memberi gunting kepada B yang katanya untuk menggunting kain, tetapi ternyata digunakan oleh B untuk mencuri atau untuk membunuh.
2. Pada waktu B akan memasuki rumah C dengan maksud mencuri, ia berkelakuan seolah-olah (pura-pura) kehilangan kunci rumah A yang pada waktu itu lewat dan sama sekali tidak tahu bahwa B berdiri dimuka rumah orang lain dan telah merencanakan untuk mencuri, menolong B membuka kaca jendela sehingga B dapat masuk ke rumah C.
Dalam contoh-contoh diatas, menurut Vos, A tidak dapat dipidana karena adanya untuk “membujuk” atau “membantu” menurut hukum pidana positif harus ada unsur sengaja. Unsur ini harus juga dipenuhi untuk :
- Doenplegen / menyuruh lakukan (dianalogikan dengan “membujuk”)
- Medeplegen / turut serta (dianalogikan dengan “membantu”).
Terhadap kasus serupa itu Karni juga berpendapat A tidak dapat dipidana karena adanya unsur “sengaja” didalam pasal 56 merupakan anasir subyektif dari pembantuan, artinya kesengajaan si pembantu harus diarahkan pada kejahatan yang bersangkutan.
F. PENYERTAAN MUTLAK PERLU (NOODZAKELIJKE DEELNEMING / NECESSARY COMPLICITY).

260
Misal :
1. Pasal 149 : Menyuap (membujuk) seseorang untuk tidak menjalankan haknya untuk memilih;
2. Pasal 238 : membujuk orang untuk masuk dinas militer Negara asing;
3. pasal 297 : bigamy
4. pasal 284 : perzinahan;
5. pasal 287 : melakukan hubungan kelamin dengan anak perempuan di bawah umur 15 tahun;
6. Pasal 345 : menolong orang lain untuk bunuh diri.
Dalam contoh-contoh diatas, delik baru terjadi kalau ada orang lain (kawan berbuat) yang mau harus ada, apabila kawan berbuat itu tidak ada maka delik itu tidak dapat dilakukan. Inilah yang dimaksud dengan penyertaan yang tidak dapat dihindarkan atau penyertaan yang harus dilakukan.
Mr. Karni menyebutnya dengan “istilah” bekerja bersama-sama yang diharuskan oleh penegasan delik . jadi istilah beliau dimasukkan dalam pengertian “noodzakelijke medeplegen” (turut serta yang diharuskan), karena yang dimaksud dengan istilah “bekerja / berbuat bersama-sama” oleh beliau adalah sama dengan istilah “turut serta” (medeplegen).
Dalam pasal-pasal diatas ada yang menetapkan bahwa dipidana hanya si pelaku, tetapi ada juga yang

261
menetapkan bahwa kawan pelakunya dapat dipidana. Mengenai pasal 287, Kami mempersoalkan bagaimana apabila justru yang membujuk terjadinya delik itu adalah anak perempuan yang belum berumur 15 tahun itu ? terhadap hal ini, kami menyatakan tidak keberatan untuk memidana anak gadis tersebut.
G. TINDAKAN-TINDAKAN SESUDAH TERJADINYA TINDAK PIDANA SEBAGAI DELIK YANG BERDIRI SENDIRI.
Misal :
1. pasal 221 : menyembunyikan penjahat;2. pasal 223 : menolong orang melepaskan diri
dari tahanan;
3. Pasal 480, 481, 482 : delik penadahan;
4. pasal 483 : menerbitkan tulisan / gambar yang dapat dipidana karena sifatnya.
Dalam contoh-contoh diatas sebeanrnya juga merupakan bentuk penyertaan, tetapi yang dilakukan setelah terjadinya tindak pidana lain. Dalam il;mu hukum pidana Jerman dikenal dengan istilah “Nachtaterschaft” atau “Begunstigung” (bentuk-bentuk “pemudahan”).
H. PERBUATAN PENYERTAAN DALAM PENYERTAAN (DEELNEMING AAN DEELNEMINGSHANSELINGEN)

262
Misal :
1. Membujuk untuk membujuk (pasal 55 jo 56);
- putusan Landraad Batavia 18-21936
- putusan Rv j Batavia 20-3-1936
- putusan Rv j Senmarang 20-12-1937
2. membujuk untuk membantu (pasal 55 jo 56);
- putusan Rv j Batavia 8-5-1930
3. membantu untuk menganjurkan (pasal 56 jo 55)
– putusan Hoge Raad 25-1-1950
Catatan :
bagi mereka yang memandang “deelneming” sebagai “Tatbescandausdeh-nungsgrund”, contoh-contoh diatas dapat dimaklumi karena penyertaan dipandang sebagai “delichtum sui generic”. Namun bagi mereka yang memandangnya sebagi “strafaus-dehnungsgrund”, contoh-contoh diatas dipandang tidak mungkin atau janggal.

263
BAB XII
GABUNGAN TINDAK PIDANA (SAMENLOOP / CONCURSUS)
Dalam suatu tindak pidana dikatakan telah terjadi suatu perbarengan dalam kondisi, jika satu orang, melakukan lebih dari 1 tindak pidana, yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana pada orang tersebut, di mana untuk tindak pidana itu belumada

264
putusan hakim diantaranya dan terhadap perkara-perkara pidana itu akan diperiksa serta diputus sekaligus.
I. BEBERAPA PANDANGAN.
Ada dua kelompok pandangan mengenai persoalan concursus :
1. Yang memandang sebagai masalah pemberian pidana a.l Hazewinkel- Suringa
2. Yang memandang sebagai bentuk khusus dari tindak pidana a.l : Pompe, Mezger, Moelyatno.
II. PENGATURAN DIDALAM KUHP
Didalam KUHP diatur dalam pasal 63 s/d 71 yang terdiri dari :
1. Perbarengan peraturan (concursus Idealis) pasal 63.
2. Perbuatan berlanjut (Delictum Continuatum /Voortgezettehandeling) pasal 64.
3. Perbarengan perbuatan (Concursus Realis) pasal 65 s/d 71.

265
III. PENGERTIAN
1. Menurut rumusan KUHP :
Sebenarnya didalam KUHP tidak ada definisi mengenai Concursus, namun demikian dari rumusan pasal-pasal diperoleh pengertian sbb :
Concursus Idealis, pasal 63 (suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana.
Ada perbuatan berlanjut, apabila pasal 64
Seseorang melakukan beberapa, perbuatan tersebut masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran antara perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut.
Catatan : Diantara perbuatan-perbuatan yang dilakukan pada (concursus realis dan perbuatan berlanjut) narus belum ada keputusan hakim.
2. Menurut pendapat sarjana :

266
Adanya istilah “perbuatan/feit” dalam pasal-pasal di atas menimbulkan masalah yang cukup sulit, khususnya dalam hal terdakwa hanya melakukan perbuatan. Kesulitan ini timbul karena dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, “perbuatan” (feit) itu ada meninjaunya secara materiil, secara fisik jasmaniah, yaitu dipikikan terlepas dari akibatnya, terlepas dari unsur-unsur tanbahan (dikenal dengan jaran feit materiil), dan ada pula yang melihatnya dari sudut hukum yaitu yang dihubungkan dengan danya akibat / keadaan yang terlarang.
Sehubungan dengan kesulitan itu, maka para sarjana mengemukakan beberapa pendapat :
HAZEWINKEL-SURINGA
Ada concursus Idealis apabila suatu perbuatan yang sudah memenuhi suatu rumusan delik, mau tidak mau (eoipso) masuk pula dalam peraturan pidana lain.
Misal : perkosaan dijalan umum, disamping masuk 281

267
(melanggar kesusilaan di muka umum).
POMPE
Ada concursus Idealis, apabila orang melakukan sesuatu perbuatan konkrit yang diarahkan kepada satu tujuan merupakan benda / obyek aturan hukum. Misalnya bersetubuh dengan anak sendiri yang belum berusia 15 th, perbuatan ini masuk pasal 294 (perbuatan cabul dengan anak sendiri yang belum cukup umur) dan pasal 287 (bersetubuh dengan wanita yang belim berusia 15 tahun diluar perkawinan).
TAVERNE
Ada concursus Idealis , apabila :
- Dipandang dai sudut hukumpidana ada dua perbuatan atau lebih;
- Antara perbuatan-perbuatan itu tidak dapat

268
dipikirkan terlepas satu sama lain.
Contoh : Oranga dalam keadaan mabuk mengendarai mobil diwaktu malam tanpa lampu. Dalam hal ini perbuatan hanya satu yaitu “mengendarai mobil”, tetapi dilihat dari sudut hukumada dua perbuatan yang masing-masing dapat dipikirkan terlepas satu sama lain, yaitu:
Pertama, “mengendarai mobil dalam keadaan mabul” (menggambarkan keadaan orang / pelakunya) dan kedua “mengendarai mobil tanpa lampu diwaktu malam” (menggambarkan keadaan mobilnya). Jadi dalam hal ini ada Concursus Realis.
VAN BEMMELEN
Ada Concursus Idealis, apabila :
- Dengan melanggar satu kepentingan hukum.

269
- Dengan sendirinya melakukan perbuatan (feit) yang lain pula.
Contoh : Perkosaan dijalan umum (melanggar pasal 285 & 281 KUHP). Khusus mengenai penjelasan M.v.T mengenai criteria untuk adanya “perbuatan berlanjut” seperti dikemukakan diatas, Simons tidak sependapat. Mengenai syarat “ ada satu keputusan kehendak”, Simons mengartikannya secara umum dan lebih luas yaitu “tidak berarti harus ada kehendak untuk tiap-tiap kejahatan”. Berdasar pengertian yang luas ini, maka tidak perlu perbuatan-perbuatan itu sejenis, asal perbuatan itu dilakukan dalam rangka pelaksanaan tujuan. Misalnya untuk melampiaskan balas dendamnya kepada B, A melakukan serangkaian perbuatan-perbuatan berupa meludahi, merobek bajunya, memukul dan akhirnya membunuh.

270
IV. SISTEM PEMBERIAN PIDANA / STELSEL PEMIDANAAN1. Concursus Idealis (pasal 63).
a). Menurut ayat 1 digunakan system absorbsi, yaitu hanya dikenakan satu pidana pokok yang terberat.
Misal : perkosaan dijalan umum, melanggar pasal 285 (12 th penjara) dan pasal 281 (2 tahun 8 bulan penjara).
Maksimum pidana penjara yang dapat dikenakan ialah 12 tahun.
b). Apabila Hakim menghadapi pilihan antara dua pidana poko sejenis yang maksimumnya sama, maka menurut VOS ditetapkan pidana pokok dengan tambahan yang paling berat.
c). Apabila menghadapi dua pilihan antara dua pidana pokok yang tidak sejenis, maka penetuan pidana yang terberat didasarkan pada urut-urutan jenis pidana seperti tersebut dalam pasal 10 (lihat pasal 69 ayat (1) jo pasal 10), jadi misalnya memilih antara 1 minggu penjara, 1 tahun kurungan dan denda 5 juta rupiah, maka pidana yang terberat adalah 1 minggu penjara.

271
d). Dalam pasal 63 ayat (2) diatur ketentuan khusus yang menyimpang dari prinsip umum dalam ayat (1), dalam hal ini berlaku adagium “lex specialis derogate legi generali” Contoh : seorang ibu membunuh anaknya sendiri pada saat anaknya dilahirkan. Perbuatan ibu ini dapat masuk dalam pasal 338 (15 tahun penjara dan pasal 341 (7 tahun penjara). Maksimum pidana penjara yang dikenakan ialah yang terdapat dalam pasal 341 (lex specialis) yaitu 7 tahun penjara.
2. Perbuatan berlanjut (pasal 64).
a). Menurut pasal 64 ayat (1), pada prinsipnya berlaku system absorbsi yaitu hanya dikenakan satu aturan pidana, dan jika berbeda-beda dikenakan satu aturan pidana, dan jika berbeda-beda dikenakan ketentuan yang memuat ancaman pidana pokok yang terberat.
b). Pasal 64 ayat (2) merupakan ketentuan khusus dalam hal pemalsuan dan perusakan mata uang. Misal A setelah memalsu mata uang (pasal 244 dengan ancaman pidana penjara 15 tahun)

272
kemudian menggunakan / mengedarkan mata uang yang palsu itu (pasal 245 dengan ancaman pidana penjara 15 tahun). Dalam hal ini perbuatan A tidak dipandang sebagai concursus Realis, tetapi tetap dipandang sebagai perbuatan berlanjut sehingga ancaman maksimum pidananya dapat dikenakan 15 tahun penjara
c). Pasal 64 ayat (3) merupakan ketentuan khusus dalam hal kejahatan-kejahatn ringan yang terdapat dalam pasal 364 (pencurian ringan), 373 (penggelapan ringan), 379 (penipuan ringan) dan 407 (1) (perusakan barang ringan) yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut.
Apabila nilai kerugian yang timbul dari kejahatan-kejahatn ringan yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut itu lebih dari Rp. 250,- maka menurut pasal 64 ayat (3) dikenakan aturan pidana yang berlaku untuk kejahatan biasa. Berarti yang dikenakan adalah pasal 362 (pencurian), 372 (penggelapan), 378 (penipuan) atau 406 (perusakan barang).

273
3. Concursus Realis (pasal 65 s/d 71).a. Untuk concursus realis berupa kejahatan
yang diancam pidana pokok sejenis, berlaku pasal 65 yaitu hanya dikenakan satu pidana dengan ketentuan bahwa jumlah maksimum pidana tidak boleh lebih dari maksimum terberat ditambah sepertiga.
Misal :
A melakukan 3 jenis kejahatan yang masing-masing diancam pidana 4 tahun, 5 tahun dan 9 tahun. Dalam hal ini yang dapat digunakan ialah 9 tahun + (1/3 x 9) tahun = 12 tahun penjara. Jadi disini berlaku system absorbsi yang dipertajam.
A melakukan 2 jenis kejahatan yang masing- masing diancam pidana penjara 1 tahun dan 9 tahun. Dalam hal ini, maksimum pidana yang dapat dijatuhkan ialah jumlah ancaman pidananya yaitu 10 tahun penjara, karena melebihi jumlah maksimum pidana untuk masing-masing kejahatan tersebut.
b. Untuk concursus realis berupa kejahatan yang diancam pidana pokok tidak sejenis berlaku pasal 66 yaitu semua jenis ancaman pidana untuk tiap-tiap kejahatan dijatuhkan, tetapi jumlahnya

274
tidak boleh melebihi maksimum piudana yang terberat ditambah sepertiga, system ini disebut system Kumulasi yang diperlunak.
Misal :
1). A melakukan 2 jenis kejahatan yang masing-masing diancam pidana 9 bulan kurungan dan dua tahun penjara.
Dalam hal ini semua jenis pidana (penjara dan kurungan) harus dijatuhkan. Adapun maksimumnya adalah 2 tahun ditambah (1/3 x 2) tahun = 2 tahun 9 bulan atau 33 bulan. Dengan demikian pidana yang dijatuhkan misalnya terdiri dari 2 tahun penjara dan 8 bulan kurungan.
2). Bagaimanakah dalam hal A melakukan 2 jenis kejahatan yang masing-masing diancam 6 bulan penjara dan denda Rp. 1.000,- ? mengenai hal ini ada dua pendapat :
- Menurut Noyon semuanya harus dijatuhkan yaitu 6 bulan penjara dan denda Rp. 1.000,-;

275
- Menurut blok perhitungannya sbb : pidana denda dijadikan dulu pidana kurungan pengganti yaitu maksimum 6 bulan (lihat pasal 30 KUHP). Dengan demikian maksimumnya ialah 6 + (1/3 x 6) bulan = 8 bulan. Karena semua jenis pidana harus dijatuhkan maka 6 bulan ini dipecah menjadi 6 bulan penjara dan 2 bulan kurungan pengganti atau sama dengan 1/3 x Rp. 1.000,- = Rp. 333,30,- (atau dibulatkan menjadi Rp. 334,-_
- Perhitungan blok mengenai jumlah pidana kurungan pengganti di atas masih didasarkan pada perhitungan lama sebelum adanya perubahan pidana denda 15 kali menurut UU No. 18 tahun 1960.
- Menurut perhitungan lama, tiap denda 50 sen atau kurang dihitung sama dengan satu hari kurungan pengganti, tetapi karena menurut pasal 30 (3) maksimum kurungan pengganti 6 bulan, maka untuk denda Rp. 1.000,- maksimumnya kurungan penggantinya 6 bulan.

276
- Dengan telah adanya perubahan pidana denda, maka 1 hari kurungan pengganti dihitung sama dengan Rp. 7,50,- (yaitu 50 sen dikalikan 15) jadi untuk denda Rp. 1.000,- kurungan penggantinya sama dengan 134 hari (dibulatkan).
- Dengan demikian apabila diikuti perhitungan menurut Blok di atas maka jumlah maksimum 8 bulan dapat dipecah misalnya menjadi 6 bulan penjara dan 2 bulan kurungan pengganti atau sama dengan denda 60/134 x Rp. 1.000,- = Rp.447,76.
3). Bagaimanakah dalam hal A melakukan dua jenis kejahatan yang terdapat dalam pasal 351 (diancam pidana 2 tahun 8 bulan penjara atau denda Rp. 4.500,-) dalam pasal 360 (diancam pidana 5 tahun penjara atau 1 tahun kurungan ?
Dalam hal ini hakim harus mengadakan “pilihan hukum” terlebih dahulu. Kalau dipilih ancaman pidana yang sejenis, maka digunakan system absornsi yang dipertajam / diperberat (pasal 65).

277
c. Untuk Concursus Realis berupa pelanggaran, berlaku pasal 70 yang menggunakan system kumulasi. Misal A melakukan dua pelanggaran yang masing-masing diancam piadan kurungan 6 bulan dan 9 bulan, maka maksimumnya adalah (6+9) bulan = 15 bulan. Namun menurut pasal 70 ayat 2, system kumulasi itu dibatasi sampai maksimum 1 tahun 4 bulan kurungan. Jadi misal A melakukan dua pelanggaran yang masing-masing diancam pidana kurungan 9 bulan, maka maksimum pidana kurungan yang dapat dijatuhkan bukanlah (9+9) bulan = 18 bulan, tetapi maksimumnya adalah 1 tahun 4 bulan atau hanya 16 bulan.
d. Untuk Concursus Realis berupa kejahatan ringan, khusus untuk pasal 302 (1), 352, 364, 373, 379 dan 482 berlaku pasal 70 bis yang menggunakan system kumulasi tetapi dengan pembatan maksimum untuk penjara 8 bulan.
Misal :
A melakukan pencurian ringan (pasal 364) dan penggelapan ringan (pasal 373) yang masing-masing diancam pidana 3 bulan penjara. Maksimum pidana yang dapat dijatuhkan adalah 6 bulan penjara (system kumulasi).

278
Tetapi apabila A misalnya melakukan 3 kejahatan ringan yang masing-masing diancam pidana penjara 3 bulan, maka maksimumnya bukan 9 bulan penjara (kumulasi) tetapi 8 bulan penjara.
e. Untuk Concursus Realis, baik kejahatan maupun pelanggaran untuk diadili pada saat berlainan, berlaku pasal 71 yang berbunyi sbb: “Jika seseorang setelah dijatuhi pidana kemudian dinyatakan salah lagi karena melakukan kejahatan atau pelanggaran lain sebelum ada putusan pidana itu, maka pidana yang dahulu diperhitungkan pada pidana yang akan dijatuhkan dengan menggunakan aturan-aturan dalam bab ini mengenai hal perkara-perkara diadili pada saat yang sama”.
Misal :
A melakukan kejahatan-kejahatan sbb :
Tgl. 1/1 : pencurian (pasal 362, ancaman pidana 5 tahun penjara);
Tgl. 5/1 : penganiayaan biasa (pasal 351 diancam 2 tahun 8 bulan);
Tgl. 10/1 : penadahan (pasal 480, diancam 4 tahun penjara);

279
Tgl. 20/1 : penipuan (pasal 378, diancam 4 tahun penjara).
Kemudian A ditangkap dan diadili dalam satu keputusan. Maksimum pidana yang dapat dijatuhkan ialah 5 tahun + (1/3 x 5 tahun) = 6 tahun 8 bulan. Andaikata untuk keempat tindak pidana itu, hakim menjatuhkan pidana 6 tahun penjara, maka jika kemudian ternyata bahwa A pada tanggal 14/1 (jadi sebelum ada keputusan) melakukan penggelapan (pasal 372 yang diancam pidana penjara 4 tahun), maka keputusan yang kedua kalinya ini untuk penggelapan itu paling banyak hanya dijatuhi pidana penjara selama 6 tahun 8 bulan (putusan sekaligus) dikurangi 6 tahu (putusanI) yaitu 8 bulan penjara.
Dengan contoh diatas, dapatlah bunyi pasal 71 diatas dirumuskan secara singkat sbb :
Putusan ke II = (putusan sekaligus) – (putusan ke-I).

280
BAB XIII
ALASAN / DASAR PENGHAPUS PIDANA
(Strafuitsluitingsgrond, Grounds Of Impunity)

281
Dalam hukum pidana perlu dikemukakan materi tentang alasan-alasan yang mengecualikan dijatuhkannya hukuman, karena menurut Utrecht, UU pidana seperti UU lainnya mengatur hak-hal yang umum dan yang akan terjadi (mungkin akan terjadi). Sehingga, masih menurut Utrecht, UU pidana mengatur hal-hal yang bersifat abstrak dan hipotesis. Berdasarkan sifatnya ini maka UU pidana mengandung kemungkinan akan dijatuhkannya hukuman yang adil bagi orang-orang tertentu yang mungkin saja tidak bersalah, meskipun orang tersebut melakukan suatu tindakan sesuai dengan lukisan perbuatan yang dilarang oleh UU pidana. Dengan demikian materi ini menjadi penting untuk memperoleh kepastian dan keadilan hukum dalam penyelesaian suatu perkara pidana.
Alasan atau Dasar Penghapusan Pidana merupakan hal-hal atau keadaan yang dapat mengakibatkan seseorang yang telah melakukan perbuatan yang dengan tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh UU Pidana (KUHP), tidak dihukum, karena :
1) Orangnya tidak dapat dipersalahkan;2) Perbuatannya tidak lagi merupakan perbuatan
yang melawan hukum.
Bab I dan Bab II KUHP memuat : “ Alasan-alasan yang menghapuskan, mengurangkan dan memberatkan pidana”. Pembicaraan selanjutnya akan mengenai

282
alasan penghapus pidana, aialah alasan-alasan yang memungkinkan orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi rumusan delik, tidak dapat dipidana. M.v.T dari KUHP (Belanda) dalam penjelasannya mengenai alasan mengahpus pidana ini, mengemukakan apa yang disebut “alasan-alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang atau alasan-alasan tidak dapat dipidananya seseorang”.
M.v.T menyebut 2 (dua) alasan :
Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak pada diri orang itu (inwendig), yakni :
a. Pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna atau terganggu karena sakit (pasal 44 KUHP)
b. Umur yang masih muda (mengenai umur yang masih muda ini di Indonesia dan juga di negeri Belanda sejak tahun 1905 tidak lagi merupakan lasan penghapus pidana melainkan menjadi dasar untuk memperingan hukuman).
Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak di luar orang itu (uitwendig), yaitu:
a. Daya paksa atau overmacht (pasal 48);
b. Pembelaan terpaksa atau noodweer (pasal 249);

283
c. Melaksanakan Undang-undang (pasal 50);
d. Melaksanakan perintah jabatan (pasal 51);
Selain perbedaan yang diterangkan dalam M.v.T, ilmu pengetahuan hukm Pidana juga mengadakan pembedaan sendiri, ialah :
1. Alasan penghapus pidana yang umum (starfuitingsgronden yang umum), yaitu yang berlaku umum untuk tiap-tiap delik dan disebut dalam pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHP;
2. Alasan penghapus pidana yang khusus (starfuitingsgronden yang khusus), yaitu yang hanya berlaku unutk delik-delik tertentu saja, misal :
I. Pasal 166 KUHP : “Ketentuan-ketentuan pasal 164 dan 165 KUHP tidak berlaku pada orang yang karena pemberitahuan itu mendapat bahaya untuk dituntut sendiri dst………………………………………” Pasal 164 dan 165 memuat ketentuan : bila seseorang mengetahui ada makar terhadap suatu kejahatan yang membahayakan Negara dan Kepala Negara, maka orang tersebut harus melaporkan.
II. Pasal 221 ayat (2) : menyimpan orang yang melakukan kejahatan dan sebagainya”. Disini ia tidak dituntut jika ia hendak menghindarkan penuntut dari istri, suami dan sebagainya (orang-orang yang masih ada hubungan darah).

284
Ilmu pengetahuan hukum pidana juga mengadakan pembedaan lain, sejalan dengan pembedaan antara dapat dipidananya perbuatan dan dapat dipidananya pembuat. Penghapusan pidana dapat menyangkut perbuatan atau pembuatnya, maka dibedakan dua jenis alasan penghapus pidana :
a) Alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond, fait justificatif, rechtfertigungsgrund). Alasan pembenar menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, meskipun perbuatan ini telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang. Kalau perbuatannya tidak melawan hukum maka tidak mungkin ada pemidanaan. Alasan pembenar yang terdapat dalam KUHP ialah pasal 48 (keadaan darurat), pasal 49 ayat (1) (pembelaan terpaksa), pasal 50 (peraturan perundang-undangan) dan pasal 51 (1) (perintah jabatan).
b) Alasan pemaaf atau alasan penghapus kesalahan (schulduitsluittingsgrond-fait d’excuse, entschuldigungsdrund, schuldausschliesungsgrund). Alasan pemaaf menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti bahwa orang ini tidak dapat dicela (menurut hukum) dengan perkataan lain ia tidak bersalah atau tidak dapat dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum. Jadi disini ada alasan yang menghapuskan kesalahan si pembuat, sehingga tidak mungkin pemidanaan.
Alasan pemaaf yang terdapat dalam KUHP ialah pasal 44 (tidak mampu bertanggungjawab), pasal 49 ayat (2) (noodweer exces), pasal 51 ayat

285
(2) (dengan itikad baik melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah).
Adapun mengenai pasal 48 (daya paksa) ada dua kemungkinan, dapat merupakan alasan pembenar dan dapat pula merupakan alasan pemaaf.
ALASAN PENGHAPUS PIDANA (UMUM) DALAM KUHP.
Uraian berikut membahas tentang dasar penghapus pidana yang terdapat dalam pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHP.
TIDAK MAMPU BERTANGGUNG JAWAB (PASAL 44) :
Pasal 44 KUHP memuat ketentuan bahwa tidak dapat dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya karena kurang sempurna akal/jiwanya atau terganggu karena sakit. Seperti diketahui M.v.T menyebutkan sebagai tak dapat dipertanggung-jawabkan karena sebab yang terletak didalam si pembuat sendiri.
Tidak adanya kemampuan bertanggung jawab mengahpuskan kesalahan mekipun perbuatannya tetap melawan hukum, sehingga dalam hal ini dapat dikatakan

286
suatu alasan penghapus kesalahan. Untuk membuktikan apakah seseorang yang melakukan tindakpidana ternyata tidak dapat dihukum dengan lasan pasal 44 KUHP, maka kita memerlukan ilmu pengetahuan lain yang dapat membantu yaitu psikiatri forensic. Pelaku akan diperiksa oleh seorang ahli (yang akan menyampaikan catatan medis), selanjutnya dari hasil tersebut akan disampaikan di muka persidangan. (Mengenai pasal 44 KUHP ini hendaknya dilihat lagi Bab Kemampuan Bertanggung jawab yang membahas tentang kesalahan dan pertanggung jawaban pidana).
DAYA PAKSA-OVERMACHT (PASAL 48 KUHP).
Pasal 48 KUHP menentukan : “ tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang didorong oleh daya paksa”. Apa yang diartikan dengan daya paksa ini dapat dijumpai dalam KUHP. Penafsiran bisa dilakukan dengan melihat penjelasan yang diberikan oleh pemerintah ketika undang-undang (Belanda) itu dibuat.
Dalam M.v.T dilukiskan sebagai : “setiap kekuatan, setiap paksaan atau tekanan yang dapat ditahan”. Hal yang disebut terakhir ini, yang tak dapat ditahan”, memberi sifat kepada tekanan atau paksaan itu. Yang dimaksud dengan daya paksaan disini bukan paksaan mutlak, yang tidak memberi kesempatan kepada si pembuat menentukan kehendaknya. Kalimat “tidak dapat

287
ditahan” menunjukkan, bahwa menurut akal sehat tak dapat diharapkan dari si pembuat untuk mengadakan perlawanan. Maka dalam overmacht (daya paksa) dapat dibedakan dalam du hal :
1. vis absoluta (paksaan yang absolut).2. vis compulsive (paksaan yang relatif).
Daya paksa yang absolute vis absoluta dapat disebabkan oleh kekuatan manusia atau alam. Dalam hal ini paksaan tersebut sama sekali tak dapat ditahan. Contoh : tangan seseorang dipegang oleh orang lain dan dipukulkan pada kaca, sehingga kaca pecah. Maka orang yang pertama tadi tak dapat dikatakan telah melakukan perusakan benda (pasal 406 KUHP).
Yang dimaksud denganm daya paksa dalam pasal 48 ialah daya paksa relative (vis complusiva). Istilah “gedrongen” (didorong) menunjukkan bahwa paksaan itu tak dapat diharapkan bahwa ia akan dapat mengadakan perlawanan. (Prof. Moelyatno hanya menyebut “karena penagruh daya paksa”).
Contoh :
A mengancam B, kasir bank, dengan meletakkan pistol di dada B, untuk menyerahkan uang yang disimpan oleh B, B dapat menolak, B dapat berpikir dan menentukan kehendaknya, jadi tak ada paksaan absolut. Memang ada paksaan tetapi masih ada kesempatan bagi B untuk

288
mempertimbangkan apakah ia melanggar kewajibannya untuk menyimpan surat-surat berharga itu dan menyerahkannya kepada A atau sebaliknya, ia tidak menyerahkan dan ditembak mati. Perlawanan terhadap paksaan itu tak boleh disertai syarat-syarat yang tinggi sehingga harus menyerahkan nyawa misalnya, melainkan apa yang dapat diharapkan dari seseorang secara wajar, masuk akal dan sesuai dengan keadaan. Antara sifat dari paksaan di satu pihak dan kepentingan hukum yang dilanggar oleh si pembuat di lain pihak harus ada keseiombangan.
Pada overmacht (daya paksa) orang ada dalam keadaan dwangpositie (posisi terjepit). Ia ada ditengah-tengah dua hal yang sulit yang sama-sama buruknya. Keadaan ini harus ditinjau secara obyektif. Sifat dari daya paksa ialah bahwa ia datang dari luar diri si pembuat dan lebih kuat dari padanya. Jadi harus ada kekuatan (daya) yang mendesak dia kepada suatu perbuatan yang dalam kata lain tak akan ia lakukan, dan jalan lain juga tidak ada.
Paksaan Dario dalam :
Kita mengambil contoh dari Arrest H.R tgl 26 Juni 1916 (Arrest “tak mau masuk tentara”). Dalam Arrest ini, orang yang tak mau masuk dinas tentara karena suara hati atau hati nuraninya keberatan tetap dihukum. Mereka tak mau taat pada undang-undang dan ingin mengikuti pandanganya sendiri mengenai keadilan dan kesusilaan yang menyimpang dari ketenatuan undang-undang. Hal

289
ini tidak bisa diterima. Namun di Belanda sejak tahun lima puluhan ada perubahan pandangan.
Hakim tidak boleh begitu saja mengabaikan alasan keberatan hati nurani. Ia harus memeriksa kemungkinannya masuk kedalam alasan penghapusan pidana yang umum.
Keberatan hati nurani (terhadap masuk dinas tentara) bukan keadaan darurat, tanpa melihat sampai di mana si pembuat dapat di cela atas perbuatannya.
KEADAAN DARURAT-NOODTOESTAND (PASAL 48 KUHP).
Dalam vis compulsiva (daya paksa relative) kita dibedakan daya paksa dalam arti sempit (atau paksaan psikis) dan keadaan darurat. Daya paksa dalam arti sempit ditimbulkan oleh orang sedang pada keadaan darurat, paksaan itu datang dari hal di luar perbuatan orang KUHP kita tidak mengadakan pembedaan tersebut. Di Jerman untuk daya paksa ada istilah notigungstand (pasa; 52 SGB) dan keadaan darurat disebut notstand, yang diatur dalam pasal 54 SGB.
Menurut doktrin, terdapat 3 bentuk dari keadaan darurat :
I. Pertentangan antara dua kepentingan hukum :
Contoh klasik : “papan dari carneades”.

290
Ada dua orang yang karena kapalnya karam hendak menyelamatkan diri dengan berpegangan pada sebuah papan, padahal papan itu tak dapat menahan dua orang sekaligus. Kalau kedua-duanya tetap berpegangan pada papan itu, maka kedua-duanya akan tenggelam. Maka untuk menyelamatkan diri, seorang diantaranya mendorong temannya sehingga yang di dorong mati tenggelam dan yang mendorong terhindar dari maut (cerita ini berasal dari CICERO).
Orang yang mendorong tersebut tidak dapat dipidana, karena ada dalam keadaan darurat. Mungkin ada orang yang memandang perbuatan itu bertentangan dengan norma kesusilaan, namun menurut hukum perbuatan ini karena dapat difahami bahwa merupakan naluri setiap orang untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.
II. Pertentangan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum. Misal :
1. Orang yang sedang menghadapi bahaya kebakaran rumahnya, lalu masuk atau melewati rumah orang lain guna menyelamatkan barang-barangnya.
2. Seorang pemilik toko kacamata kepada seorang yang kehilangan kacamatanya. Padahal pada saat itu menurut peraturan penutupan took sudah jam tutup took, sehingga pemilik took dilarang melakukan penjualan. Namun karena si pembeli itu

291
ternyata tanpa kacamata tak dapat melihat, sehingga betul-betul dalam keadaan sangat memerlukan pertolongan, maka penjual kacamata dapat dikatakan bertindak dalam keadaan memaksa dan khususnya dalam keadaan darurat. Permintaan kasasi oleh jaksa terhadap putusan hakim yang menyatakan bahwa, terdakwa (opticien) tak dapat dipidana dan melepas terdakwa dari segala tuntutan, tak dapat diterima oleh H.R (putusan tgl. 15 Oktober 1923). Terdakwa ada dalam keadaan darurat. Ia merasa dalam keadaan seperti itu mempunyai kewajiban untuk menolong sesame (Arrest ini disebut Arrest optician).
III. Pertentangan antara kewajiban hukum dangan kewajiban hukum : a) Seorang perwira kesehatan (dokter angkatan
laut) diperintahkan atasannya untuk melaporkan apakah ada para perwira-perwira laut yang bebas tugas dan berkunjung ke darat (kota pelabuhan) terjangkit penyakit kelamin. Dokter tersebut tak mau melaporkan pada atasan, sebab dengan memberi laporan pada atasannya ia berarti melanggar sumpah jabatan sebagai dokter yang harus merahasiakan semua penyakit dari para pasiennya.
Disini dihadapkan pada dua kewajiban hukum :

292
Melaksanakan perintah dari atasannya (sebagai tentara)
Memegang teguh rahasia jabatan sebagai dokter.
Ia memberatkan salah satu. Di sini ia memilih tetap merahasiakan penyakit pasiennya, jadi ia tetap patuh pada sumpah kedokteran. Oleh pengadilan tentara ia dikenakan hukuman 1 (satu) hari, tetapi dokter tadi naik banding, dan mahkamah tentara tinggi membebaskannya karena ia ada dalam keadaan darurat (putusan tgl. 26 November 1916).
b) Seorang yang dalam satu hari (pada waktu yang bersamaan) dipanggil menjadi saksi di dua tempat, VAN HATTUM dalam hal 351 membandingkan daya memaksa dengan noodtoestand sebagai berikut :
Pada daya memaksa dalam arti sempit si pembuat berbuat atau tidak berbuat dikarenakan satu tekanan psikis oleh orang lain atau keadaan. Bagi si pembuat tak ada penentuan kehendak secara bebas. Ia dororng oleh paksaan psikis dari luar yang sedemikian kuatnya, sehingga ia melakukan perbuatan yang sebenarnya tak ingin ia lakukan. Pada keadaan darurat si pembuat ada dalam suatu keadaan yang berbahaya yang memaksa atau

293
mendorong dia untuk melakukan suatu pelanggaran terhadap undang-undang.
BELA PAKSA-PEMBELAAN DARURAT-NOODWEER (PASAL 49 AYAT (1)).
Pasal 49 ayat (1) berbunyi :”tidak dapat dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang terpaksa dialkukan untuk membela dirinya sendiri atau orng lain, membela peri kesopanan sendiri atau orang lain terhadap serangan yang melwan hukum yang mengancam langsung atau seketika itu juga”. Perbuatan orang yang membela diri itu seolah-olah mempertahankan haknya sendiri. Tidaklah dapat diharapkan dari seorang warga Negara menerima saja suatu perlakuan yang melawan hukum yang ditujukan kepada dirinya. Padahal Negara dengan alat-alat perlengkapannya tidak dapat tepat pada waktunya melindungi kepentingan hukum dari orang yang diserang itu : maka pembelaan diri ini bersifat menghilangkan sifat melawan hukum. Istilah noodmeer atau pembelaan darurat tidak ada dalam KUHP sehingga untuk memahaminya kita memerlukan ajaran dari para ahli hukum pidana .
Dalam pembelaan darurat ada dua hal yang pokok :
1. adanya serangan,

294
Tidak terhadap semua serangan dapat diadakan pembelaan, melainkan pada serangan yang memenuhi syarat sebagai berikut :
a. melawan hukumb. seketika dan langsung
c. ditujukan pada diri sendiri / orang lain
d. terhadap badan / tubuh, nyawa, kehormatan seksual, dan harta benda
2. ada pembelaan yang perlu diadakan terhadap serangan itu. Syarat pembelaan :
a. seketika dan langsung
b. memenuhi asas subsidiaritas & proporsionalitas, subsidiaritas maksudnya tidak ada cara lain selain membela diri dan proporsionalitas artinya seimbang antara serangan dan pembelaan.
Serangan itu dapat merupakan tindak pidana, tapi hal ini tidak perlu asal saja memenuhi syarat-syarat seperti tersebut diatas. Contoh serangan yang tidak merupakan tindak pidana, misalnya dengan tinju menyerbu seseorang, mengambil catatan untuk di fotocopy guna kepentingan majikannya tapi tidak untuk dimiliki sendiri.

295
Persoalan yang timbul pada serangan ialah : kapankah ada serangan dan kapankah serangan itu berakhir ?
Sebagai contoh : A menunggu B di luar rumah, maka perbuatan A tersebut, yakni menunggu belum dapat dikatakan serangan. Kapan serangan itu ada dan kapan serangan itu berlangsung menurut Hazewinkel-Suringa, ialah : jika dapat dicegah atau dihilangkan. Istilah mengancam seketika dan langsung berarti bahwa serangan itu sedang berlangsung dan juga bahaya serangannya. Sebagai contoh : pembunuh dengan pisau terhunus menyerbu korbannya.
Kalau misal A menembak B tidak kena dan A tidak menunjukkan akan menembak lagi, tetapi B lalu membalas, maka perbuatan b itu bukanlah perbuatan pembelaan karena terpaksa, karena disini terjadi serangan balasan. Tentu saja perbuatan B itu harus dilihat dalam keadaan yang menyertai perbuatan itu. Terhadap serangan yang tidak melawan hukum tidak mungkin ada pembelaan darurat.
Apakah perbedaan antara keadaan darurat dan pembelaan darurat ?
1. Dalam keadaan darurat dapat dilihat adanya perbenturan antara kepentingan hukum, kepentingan hukum dan kewajiban hukum serta kewajiban hukum dan kewajiban hukum. Dalam pembelaan daruart situasi darurat ini ditimbulkan

296
oleh adanya perbuatan melawan hukum yang bisa dihadapi secara sah, dengan perkataan lain dalam keadaan darurat hak berhadapan dengan hak, sedang dalam pembelaan darurat, hak berhadapan dengan bukan hak.
2. dalam keadaan darurat tidak perlu adanya serangan, sedang dalam pembelaan darurat harus ada serangan.
3. Dalam keadaan darurat orang dapat bertindak berdasarkan berbagai kepentingan atau alasan sedang dalam pembelaan darurat, pembelaan itu syarat-syarat sudah ditentukan secara limitative (pasal 49 ayat (1)).
4. Sifat keadaan darurat tidak ada keseragaman pendapat dari pada penulis yakni ada yang berpendirian sebagai alasan pemaaf dan ada sebagai alasan pembenar, sedang dalam pembelaan darurat para penulis memandang sebagai alasan pembenar ialah sebagai penghapus sifat melawan hukum.
Dalam hubungan pembelaan darurat ini ada satu perbuatan orang yang disebut putatief noodweer, disini kesengajaan dihilangkan karena orang mengira bahwa dia berada dalam keadaan di mana harus mengadakan pembelaan darurat dalam hal ini harus di lihat peristiwa dari peristiwa oleh karena itu maka harus diterangkan dalam proses verbal.
BELA PAKSA LAMPAU-NOODWEER EXCES (PASAL 49 AYAT 2 KUHP)

297
(pelampauan batas pembelaan darurat atau bela paksa lampau batas)
Istilah exces dalam pembelaan darurat tidak dapat kita jumpai dalam pasal 49 ayat (2). Pasal tersebut bunyinya : “tidak dipidana seseorang yang melampaui batas pembelaan yang diperlukan, jika perbuatan itu merupakan akibat langsung dari suatu kegoncangan jiwa yang hebat yang disebabkan oleh serangan itu”.
Untuk adanya kelampauan batas pembelaan darurat ini harus ada syarat-syarat sebagai berikut :
1. Kelampauan batas pembelaan yang diperlukan, melampaui asas subsidairitas dan proporsionalitas seperti yang diisyaratkan dalam pasala 49 ayat (1) KUHP, pasal 49 ayat (2) dan ayat (1) itu mempunyai hubungan yang erat, maka syarat pembelaan yang tersebut dalam pasal 49 ayat (1) disebut sebagai syarat dalam pasal 49 ayat (2). Disini pembelaan itu perlu dan harus diadakan dan tidak ada jalan lain untuk bertindak. Cara dan alat tersebut harus dibenarkan pula oleh keadaan.
2. Pembelaan dilakukan sebagai akibat yang langsung dari kegoncangan jiwa yang hebat (suatu perasaan hati yang sangat panas). Termasuk disini adalah rasa tajut, bingung, dan mata gelap.
3. kegoncangan jiwa yang hebat itu disebabkan karena adanya serangan, dengan kata lain : antara kegoncangan jiwa tersebut dan serangan harus ada hubungan kausal. Yang menyebabkan kegoncangan jiwa yang hebat itu harus

298
penyerangan itu dan bukan misalnya karena sifat mudah tersinggung. Disini juga yang perlu dilihat apakah serangan itu dapat menimbulkan akibat kegoncangan jiwa yang hebat bagi orang biasa pada umumnya.
Sifat dari noodweer exces adalah menghapuskan kesalahan (pertanggungjawaban pidana), jadi sabagai alasan pemaaf sementara perbuatannya tetap bersifat melawan hukum.
MENJALANKAN PERINTAH UNDANG-UNDANG (PASAL 50 KUHP).
Pasal 50 KUHP menentukan bahwa “tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan”. Mula-mula Hoge Raad (HR) menafsirkan secara sempit, yang dimaksud dengan UU ialah : undang-undang dalam arti formil, hasil perundang-undangan dari DPR dan/atau raja. Tetapi kemudian pendapat HR berubah dan diartikan dalam arti materiil, yaitu tiap peraturan yang dibuat oleh alat pembentuk undang-undang yang umum. Dalam hubungan ini persoalannya adalah apakah perlu bahwa peraturan perundang-undangan itu menentukan kewajiban untuk melakukan suatu perbuatan sebagai pelaksanaan. Dalam hala ini umumnya cukup, apabila peraturan itu memberi wewenang untuk kewajiban tersebut dalam melaksanakan perundang-undangan ini diberikan suatu kewajiban.

299
Dengan perkataan lain kewajiban / tugas itu diperintahkan oleh peraturan undang-undang. Dalam hukum acara pidana dan hukum acara perdata dapat dijumpai adannya kewajiban dan tugas-tugas/wewenang yang diberikan pada pejabat/orang untuk bertindak, untuk dapat membebaskan diri dari tuntutan hukum. Jadi untuk dapat menggunakan pasal 50 ini maka tindakan harus dilakukan secara patut, wajar dan masuk akal. Jadi dalam tindakan ini seperti dalam daya memaksa dan dalam pembelaan darurat harus ada keseimbangan antara tujuan yang hendak dicapai dengan cara pelaksanaannya.
Misalnya : Pejabat polisi, yang menembak mati seorang pengendara sepeda yang melanggar peraturan lalu lintas karena tidak mau berhenti tanda peluitnya, tidak dapat berlindung dibawah pasal 50 KUHP ini. Kejengkelan pejabat tersebut tidak dapat membenarkan tindakannya. Perbuatan orang yang menjalankan peraturan undang-undang tidak bersifat melawan hukum, sehingga pasal 50 tersebut merupakan alasan pembenar. Kadang-kadang dalam melaksanakan peraturan undang-undang dapat bertentangan dengan peraturan lain. Dalam hal ini dipakai pedoman : “lex specialis derogate legi generaki” atau “lex posterior derogate legi priori”. Yang diperbolehkan adalah tindakan eksekutor yang melaksanakan eksekusi terhadap terpidana mati.

300
MELAKSANKAN PERINTAH JABATAN (PASAL 51 AYAT (1) DAN (2)).
Sesuai pasal 51 ayat (1) yang menyebutkan bahwa “tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan untuk melaksankan perintah jabatan yang sah”, maka orang dapat melaksanakan undang-undang sendiri, akan tetapi juga dapat menyuruh orang lain untuk melaksankannya. Maka jika seorang melakukan perintah yangsah ini maka ia tidak melakukan perbuatan yang melawan hukum.
Contoh kasus : seorang Letnan Polisi diperintah oleh Kolonel Polisi untuk menangkap pelaku tindak pidana. Colonel polisi tersebut berwenang untuk memerintahkannya. Jadi dalam hal ini letnan polisi tersebut melaksanakan perintah jabatan yang sah. Bilamanakah perintah itu dikatakan sah ? apabila perintah itu berdasarkan tugas, wewenang atau kewajiban yang didasarkan kepada suatu peraturan. Anatar orang yang diperintah dan orang yang memerintah harus ada hubungan jabatan dan harus ada hubungan sub-ordinasi (hubungan atasan dan bawahan), meskipun sifatnya sementara, misalnya seperti permintaan bantuan oleh pamong praja kepada angkatan bersenjata (sesuai pasal 413 KUHP). Dalam pasal 51 inipun cara melaksanakan perintah harus patut dan wajar, pula harus seimbang dan tidak boleh melampaui batas kepatutan. Perintah jabatan ini adalah alasan pembenar.

301
Syarat pasal 51 ayat (2) KUHP, dikatakan melakukan perintah jabatan yang tidak sah menghapuskan dapat dipidananya seseorang. Dalam keadaan ini perbuatan orang ini tetap bersifat melawan hukum, akan tetapi pembuatnya tidak dipidana, apabila memenuhi syarat :
1. jika ia mengira dengan itikad baik bahwa perintah itu sah.
2. perintah itu berada dalam lingkungan wewenang dari orang yang diperintah.
Sebagai contoh : seorang agen polisi mendapat perintah dari kepala kepolisian untuk menangkap seorang agitator dalam suatu rapat umum atau umumnya seorang yang dituduh telah melakukan kejahatan, tetapi ternyata perintah tidak beralasan atau tidak sah. Disini agen polisi tidak dapat dipidana karena : ia patut menduga bahwa perintah itu sah dan pelaksanaan perintah itu ada dalam batas wewenangnya.
Contoh lainnya :
Seorang kepala kantor memerintahkan kepada bendaharawan untuk mengeluarkan sejumlah uang guna sesuatu pembelian, misal : mobil, yang tidak masuk dalam mata-anggaran. Andaikata bendaharawan tiu melaksanakan perintah tersebut tapa akibatnya ? perintah tersebut tidak sah karena pembelian mobil itu tidak termasuk dalam wewenang bendaharawan tersebut, sebabnya ialah pengeluaran dari pemerintah sudah ditentukan pos-pos tertentu. Disini bendaharawan

302
itu dapat dipidana, karena ia patut menduga bahwa perintah itu tidak sah.
Catatan :
Mengenai ketaatan seorang bawahan kepada atasannya Hazewinkel-Suringa mengatakan, bahwa ketaatan yang membuta tidak mendisculpeert” (tidak patut di pidananya perbuatan).
Contoh lainnya :
Seorang kepala polisi memerintahkan anak buahnya untuk memukuli seorang tahanan yang menjengkelkan. Andaikata bawahan ini mengira bahwa perintah itu sah maka ia tetap dapat dipidana, karena memukul seorang tahanan tidak termasuk wewenang dari seorang anggota polisi. Sifat dari perbuatan seorang yang melakukan perbuatan karena perintah jabatan yang tidak sah ialah : perbuatannya tetap perbuatan yang melawan hukum, tetapi behubung dengan keadaan pribadinya maka ia tidak dapat dipidana. Keadaan tersebut adalah merupakan alasan pemaaf.
ALASAN PENGHAPUS PIDANA DI LUAR UU.

303
Dimuka telah dibicarakan tentang alasan penghapus pidana yang berupa alasan pembenar dan pemaaf (atau alasan penghapus kesalahan) yang terdapat dalam KUHP, diluar undang-undang pun ada alasan penghapus pidana, misalnya :
a. hak dari orang tua, gurur untuk menertibkan anak-anak atau anak didiknya (tuchtrecht);
b. hak yang timbul dari pekerjaan (beroepsrecht) seorang dokter, apoteker, bidan dan penyelidik ilmiah (misalnya untuk vivisectie);
c. ijin atau persetujuan dari orang yang dirugikan kepada orang lain mengnai suatu perbuatan yang dapat dipidana, apabila dilakukan tanpa ijin atau persetujuan (consent of the victim);
d. mewakili urusan orang lain (zaakwaarneming);
e. tidak adanya unsur sifat melawan hukum yang materiil (arrest dikter hewan);
f. tidak adanya kesalahan sama sekali (avas, pada arrest susu dan air).
ALASAN PENGHAPUS PIDANA PUTATIEF DAN AVAS.
Ada kemungkinan bahwa seseorang mengira telah berbuat sesuatu dalam daya paksa atau dalam keadaan pembelaan darurat atau dalam menjalankan undang-undang atau dalam melaksanakan perintah jabatan yang sah, pada kenyataannya ialah bahwa tidak ada alasan

304
penghapus pidana tersebut dalam hal ini ada alasan penghapus pidana yang putatief. Dapatkah orang tersebut dipidana ? sesuai dengan pendapat MJ van Bemmelen orang tersebut tidak dapat dijatuhi pidana, apabila dapat diterima secara wajar bahwa ia boleh berbuat seperti itu. Ia dapat berlindung pada “taksi” (avas). Menurut Jan Remmelink, AVAS merupakan singkatan dari afwezigheid van alle schuld, jika ada kasus-kasus di mana kita dapay membuktikan bahwa tiada kesalahan sama sekali maka kita dapat menggunakan avas untuk : kasus-kasus khusus, terjadi eror fact (kekeliruan yang berkenaan dengan situasi factual) atau eror yuridis (kekeliruan yang berkenaan dengan situasi yuridis). Alasan penghapus pidana putatief merupakan alasan penghapus kesalahan atau alasan pemaaf.

305
BAB XIV
GUGURNYA KEWENANGAN MENUNTUT DAN MENJALANKAN
PIDANA
A. GUGURNYA KEWENAGAN MENUNTUT.
Pada prinsipnya kewenangan melakukan penuntutan hadir seketika ada dugaan terjadinya tindak pidana. Disini dianggap bahwa kepentingan umum dianggap langsung terkena sehingga pihak yang terkena tindak pidana itu harus menerima adanya penuntutan sekalipun ia sendiri tidak menghendakinya. Namun demikian terdapat beberapa hal yang menjadi dasar atas gugurnya kewenangan jaksa untuk melakukan penuntutan menurut KUHP adalah :
a. Tidak adanya pengaduan dalam hal delik aduan (pasal 72-75 KUHP)
b. Ne bis in idem (pasal 76 KUHP)
c. Matinya terdakwa (pasal 77 KUHP)
d. Daluwarsa (pasal 78 KUHP)

306
e. Telah ada pembayaran denda maksimum kepada pejabat tertentu untuk pelanggaran yang hanya diancam dengan denda saja (pasal 82 KUHP).
Sementara ketentuan diluar KUHP adalah :
a. Abolisib. Amnesti
Delik Aduan.
Kewenangan melakukan penuntutan pada prisipnya tidak berhubungan dengan kehendak perorangan kecuali dalam beberapa delik tertentu diantaranya perzinahan (pasal 284), persetubuhan terhadap anak dibawah umur (pasal 287-288), untuk melarikan wanita (pasal 332), pencemaran nama baik (319) dan lain-lain.
I. 1. Bentuk Delik Aduan
Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, delik aduan dibagi dalam dua bentuk :
a. Delik Aduan Absolut
Dalam hal dianggap bahwa kepentingan orang yang terkena tindak pidana itu melebihi kerugian yang diderita oleh umum, maka hukum memberikan pilihan kepadanya untuk

307
mencegah atau memulai suatu proses penuntutan.
Misal :
Seorang perempuan muda yang telah disetubuhi boleh memilih untuk menikahi laki-laki yang menyetubuhinya daripada pelaku dijatuhi pidana.
Delik aduan absolute ini dapat dijumpai antara lain dalam ketentuan pasal 293 (perbuatan cabul terhadap anak dibawah umur) pasal 322 (pelanggaran kewajiban menyimpan rahasia), pasal 335 (1) & (2) (perbuatan tidak menyenangkan) atau pasal 369 (pengancaman).
b. Delik Aduan relative
Karakter delik aduan ini tidak terletak pada sifat kejahatan yang dilakukan melainkan pada hubungan antara pelaku / pembantu dan korban. Baik hubungan karena keturunan / darah atau dalam hal hubungan perkawinan. Dalam hal relasi antara sifat keperdataan yang lahir dari h8ubungan tersebut dapat menjadi alasan dalam mencegah terjadinya penuntutan. Kebanyakan delik-delik ini terkait dengan delik dibidang harta benda (pasal 367 KUHP).

308
II.2. Yang berhak mengadu (subyek).
Ketentuan umum dalam pasal 72 KUHP menentukan :
1) Jika ybs. Belum 18 th / belum cukup umur / dibawah pengampunan (pasal 72) :
Oleh wakil yang sah dalam perkara perdata;
Wali pengawas / pengampu
Istrinya
Keluarga sedaraj garis lurus
Keluarga sedarah garis menyimpang sampai derajat ke-3
2) Jika ybs meninggal pasal 73 oleh :
Orang tuanya
Anaknya, atau
Suami / istri (kecuali ybs tidak menghendaki).
Disamping ketentuan umum tersebut diatas , ada pula ketentuan-ketentuan khusus, misalnya :
Untuk perzinahan (pasal 284).

309
Yang berhak mengadu hanya suami / istri yang tercemar (ketentuan pasal 72 dan 73 diatas tidak berlaku).
Penarikan kembali pengaduan dapat dilakukan, sewaktu-waktu, selama pemeriksaan dalam siding pengadilan belum dimulai (ayat 4). Jadi ketentuan pasal 75 KUHP tidak berlaku.
Untuk melarikan wanita (pasal 332)
Yang berhak mengadu :
Jika belum cukup umur oleh : wanita ybs, atau orang yang harus memberi ijin bila wanita itu kawin
Jika sudah cukup umur, oleh : wanita ybs, atau suaminya.
II.3. Tenggang waktu pengajuan pengaduan (pasal 74)
a. Bertempat tinggal di Indonesia 6 bulan sejak mengetahui
b. Bertempat tinggal di luar Indonesia 9 bulan sejak mengetahui adanya kejahatan.
II.4. Penarikan kembali aduan.

310
Dibuatnya suatu pengaduan tidak dengan serta merta berarti bahwa ijin memberikan kewenangan penuntutan dilakukan secara final. Memang selayakanya pengaduan mencakup pelaporan (aangifte) dengan permohonan dilakukannya penuntutan (verzoek tot vervolging). Bila pengaduan sudah disampaikan, pada dasarnya jaksa penuntut umum tak perlu menunggu lewatnya daluarsa menarik adauan, meskipun undang-undang memberikan jangka waktu 3 bulan (pasal 75). Akan tetapi jika aduan tersebut ditarik kembali, maka kewenangan menuntut menjadi hapus.
B. NE BIS IN IDEM (PASAL 76)
Arti sebeanarnya dari neb is in idem ialah “tidak atau jangan dua kali yang sama”. Sering juga digunakan istilah “nemodebet bis vexari” (tidak seorangpun atas perbuatnya dapat diganggu / dibahayakan untuk kedua kalinya) yang dalam literature Angka Saxon diterjemahkan menjadi “No one could be put twice in jeopardy for tha same offerice”.
Dasar pikiran atau ratio dari azas ini ialah :
a) Untuk menjaga martabat pengadilan (untuk tidak memerosotkan kewibawaan Negara);
b) Untuk rasa kepastian bagi terdakwa yang telah mendapat keputusan.

311
Diakuinya azas Neb is in idem ini terlihat dalam rumusan pasal 76 KUHP yang berbunyi (ayat (1) sub 1) sbb :
“Kecuali dalam hal putusan haikm masih mungkin diulangi (herzeining), orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap”.
Dengan demikian penuntutan terhadap seseorang dapat hapus berdasar neb is in idem, apabila dipenuhi syarat-syarat sbb :
Ada putusan yang berkekuatan hukum tetap;
Orang terhadap siap putusan itu dijatuhkan adalah sama;
Perbuatan (yang dituntut kedua kali) adalah sama dengan yang pernah diputus terdahulu itu.
Dengan adanya syarat ini berarti terhadap putusan tersebut harus sudah tidak ada alat hukum / upaya hukum (rechtsmiddel) yang dapat dipakai untuk merubah keputusan tersebut. Ada pendapat bahwa peninjauan kembali (herzeining) merupakan salah satu upaya hukum, sehingga pengecualian yang

312
tersebut dalam pasal 76 itu (yaitu adanya herzeining merupakan pengecualian terhadap azas ne bis in idem) sebenarnya tidak perlu. Jadi menurut pendapat ini, dengan adanya herzeining berarti putusan itu memang belum berkelanjutan dari tuntutan hukum yang pertama, jadi bukan merupakan tuntutan hukum yang kedua kali.
B.1. Adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap;
Keputusan hakim (yang berkekuatan hukum tetap) yang dimaksud disini adalah keputusan terhadap perbuatan atau perkara ybs, yaitu yang dapat berupa :
I. Pembebasan (vrijspraak) pasal 191 (1) KUHAP (dulu 313 RIB).
II. Pelepasan dari segala tuntutan hukum (ontslag van allerechtvervolging) pasal 191 ayat (2) KUHAP (dulu 314 RIB);
III. Penjatuhan pidana pasal 193 ayat (1) KUHAP (dulu 315 RIB).
Jadi keputusan-keputusan tersebut sudah mengandung penentuan terbukti tidaknya tindak pidana atau kesalahan terdakwa. Azas ne bis in idem tidak berlaku untuk keputusan hakim yang belum

313
berhubungan dengan pokok perkara, yang biasanya disebut “penetapan-penetapan” (beschikking), misalnya :
a. Tentang tidak berwenangnya hakim untuk memeriksa perkara yang bersangkutan;
b. Tentang tidak diterimanya tuntutan Jaksa karena terdakwa tidak melakukan kejahatan;
c. Tetang tidak diterimanya perkara karena penuntutan sudah daluwarsa.
Adanya penetapan-penetapan serupa itu tidak merupakan alasan untuk adanya neb is in idem. Jadi pasal 76 KUHP tidak mengenai penetapan-penetapan. Perlu pula diperhatikan bahwa putusan-putusan hakim seperti dikemukakan diatas adalah putusan yang menyangkut perkara pidana, jadi keputusan mengenai hukum pidana.
Apabila misalnya seorang pengendara motor menabrak penjual soto dan dia dituntut secara perdata untuk memberi ganti rugi, maka putusan hakim mengnai hal ini tidak menghalangi untuk dilakukannya penuntutan dalam perkara pidananya. Jadi dalam hal ini tidak ada neb is in idem.
Begitu pula sebaliknya, apabila yang diputus adsalah perkara pidananya lebih dulu, maka putusan ini tidak

314
merupakan alasan untuk neb is in idem dalam perkara gugatan perdata. Jadi tegasnya pasal 76 KUHP hanya berlaku untuk perkara-perkara pidana.
Adanya keputusan hakim yang menjadi syarat neb is in idem ini tidak hanya keputusan hakim Indonesia, tetapi dapat juga keputusan hakim Negara lain (hakim asing). Hal ini disebut dalam pasal 76 (2) dengan syarat putusan hakim asing tersebut harus berupa :
a) Putusan yang berupa pembebasan;
Dengan syarat-syarat diatas, maka apabila keputusan hakim asing yang berupa pemidanaan baru sebagian dijalani, maka orang tersebut di Indonesia dapat dituntut lagi. Dalam pengertian “telah dijalani seluruhnya” putusan hakim asing itu, menurut Pompe termasuk pidana bersyarat (V.V. = voorwaardelijke veroordelling) dan pelepasan bersyarat (V.I. = voorwaardelijke invrijheidstelling).
b) Putusan yang berupa pelepasan dari tuntutan hukum;
Orang yang dituntut harus sama. Ini merupakan segi subyektif dari persyaratan neb is in idem. Apabila misalnya A dan B melakukan tindak pidana bersama-sama, akan tetapi yang tertangkap dan dituntut pidana baru

315
A, maka dalam hal B kemudian tertangkap ia tetap masih dapat dituntut walaupun misalnya A dibebaskan.
c) Putusan berupa pemidanaan :- Yang sekuruhnya telah dijalani, atau
- Yang telah diberi ampun (grasi), atau;
- Yang wewenang untuk menjalankannya telah hapus karena kadaluwarsa.
B.2. Perbuatan (yang dituntut kedua kali) adalah sama dengan yang pernah diputus terdahulu itu.
Harus ada feit / perbuatan yang sama. Ini segi obyektif dari neb is in idem (objective identiteit). Masalah ini merupakan masalah yang paling sukar, seperi halnya dijumpai dalam concursus/ gabungan tindak pidana.
Misal :
A melakukan pemerkosaan dijalan umum (pasal 285 dan 281). Seandainya Jaksa hanya menuntut berdasar pasal 285 (perkosaan) saja dan ternyata tidak terbukti, sehingga terdakwa lepas dari segala tuntutan, maka apakah Jaksa masih dapat menuntut yang kedua kalinya berdasar pasal 281 (melanggar kesusilaan dimuka umum) ? dan pakah putusan yang

316
pertama merupakan res judicata (putusan yang neb is in idem)?
Jawaban terhadap masalah ini tergantung atau berkisar pada apa yang dimaksud dengan “feit”. Kalau kasus diatas dipandang sebagai concursus realis, sehingga dapat dikatakan terdakwa melakukan beberapa perbuatan, maka dimungkinkan ada penuntutan lagi. Akan tetapi apabila dipandang sebagai concursus idealis, dimana hanya dipandang ada satu perbuatan, maka hanya dimungkinkan adanya satu kali penuntutan saja.
Catatan :
- Apabila dipandang sebagai concursus realis , maka tidak ada neb is in idem;
- Apabila dipandang sebagai concursus idealis , maka ada neb is in idem;
Dalam yurisprudensi, ajaran feit materiil pada neb is in idem telah ditinggalkan pada tahuan 1932, yaitu dengan Arrest HR 27 Juni 1932.
Kasusnya : Orang yang sedang mabuk ditempat umum mengganggu ketentraman umum, telah memukul dada dan menendang kaki seorang anggota polisi yang sedang menjalankan tugasnya.

317
Mula-mula terdakwa diputus dan dipidana karena menganiaya polisi (pasal 356 sub. 2), kemudian oleh jaksa dituntut lagi mengenai menggangu ketentraman umu dalam keadaan mabuk (pasal 492). Tuntutan kedua ini oleh pengadilan diterima dan terdakwa dijatuhi pidana. Terdakwa banding, dan pengadilan tinggi menyatakan ada ne bis in idem. Jaksa mengajukan kasasi ke Hoge Raad dengan mengatakan bahwa perbuatan terdakwa itu merupakan dua perbuatan dipandang dari sudut hukum pidana, jjadi disini tidak ada perbuatan yang sama, seperti dimaksud dalam pasal 76 HR melihat disini juga ada 2 perbuatan yang mempunyai cirri yang berlainan, sehingga tuntutan jaksa dapat diterima.
Persoalan feit / perbuatan pada pasal 76, disamping berlkaitan erat de4ngan masalah concursus, juga berhubungan dengan masalah, alternativitas dalam tuduhan dapat meliputi masalah :
a. Perbuatannya/ketentuan yang dilanggar :
Misal : perbuatan A sebenarnya dapat dikualifisir dalam 3 kemungkinan yaitu :
1) Dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain (pasal 338),
2) Karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain (pasal 359),

318
3) Dengan sengaja menganiaya yang berakibat mati (pasal 351 ayat (3)).
b. Waktu terjadinya tindak pidana
Misal seorang dituntut telah melakukan pencurian pada tgl 1 Juni 1979, tetapi didalam surat tuduhan tercantum tgl 1 Juli 1979. apabila terdakwa dibebaskan unutk tuduhan pencurian tercantum tgl. 1 Juni, Jaksa tidak dapat menuntut lagi berdasar tgl. Yang betul. Disini ada neb is in idem. Dalam hala ini sebenarnya sebelum ada putusan, jaksa dapat mengajukan permintaan unutk “merubah surat tuduhan berdasar pasal 282 HIR, asal Feitnya tetap.
c. Tempat terjadinya tindak pidana.
Misal semula terdakwa dituduh mencuri di taman Diponegoro, kemudian dibebaskan. Jaksa kemudian mengajukan tuduhan lagi. Berdasar tempat pencurian yang sebenarnya dilakukan yaitu di Stadion Diponegoro. Disinipun ada neb is in idem.
Kesukaran dan ketidakpastian yang ditimbulkan oleh perkataan ”feit” dirubah menjadi “strafbaar feit”. Dengan perubahan ini menurut Pompe, penerapan pasal 76 lebih mudah. Namun diakui bahwa itu berarti

319
menyempitkan berlakunya pasal 76, artinya kemungkinana penuntutan kembali menjadi longgar. Tetapi menurut Pompe, halangan dalam penuntutan baru, dapat lebih merugikan kepentingan umum dari pada mengulangi percobaan untuk penerapan undang-undang pidana dengan setepat-tepatnya.
C. MATINYA TERDAKWA (PASAL 77) DAN MATINYA TERPIDANA (PASAL 83).
Hal ini wajar karena KUHP berpendirian bahwa yang dapat menjadi subyek hukum hanyalah orang dan pertanggungan jawab bersifat pribadi. Dalam hal ini tidak ada suatu tanggungjawab pidana diwariskan. Konsekwensi dari pemikiran ini adalah bahwa kematian seorang tersangka atau terdakwa menyebabkan kewenangan seorang Jaksa penuntut menjadi gugur. Sementara kematian seseorang terpidana menyebabkan kewajiban menjalankan pidana menjadi terhapuskan.
D. DALUWARSA (VERJARING).
D.1 Daluwarsa Penuntutan.
Ditetapkannya lemabga daluarsa penuntutan dalam KUHP pada dasarnya dilandasi oleh beberapa pemikiran yaitu :

320
Dalam kenyataannya perputaran waktu tidak hanya secara perlahan menghapuskan akibat tindak pidana yang terjadi akan tetapi juga mengahpuskan keinginan untuk melakukan pembalasan.
Berjalannya waktu sekaligus menghapuskan jejak-jejak tindak pidana yang menyebabkan kesulitan pembuktian.
Bahwa pelaku setelah bertahun-tahun menyembunyikan diri sudah cukup terhukum dengan kehidupan yang tidak tenang dan penuh kecemasan.
Namun demikian yang utama dari ketiga lasan itu adalah kebutuhan untuk memidana dan kesulitan pembuktian menjadi alasan utama. Karena itu adagium punier non (simper) necesse est (menghukum tidak selamanya perlu) menajdi dasar dari keberadaan lembaga ini.
D.1.1. Tenggang Waktu Daluwarsa Penuntutan.
Tenggang waktu daluwarsa ditetapkan dalam pasal 78 (1), yaitu :
Untuk semua pelanggaran dan kejahatan percetakan : sesudah 1 tahun;
Untuk kejahatan yang diancam denda, kurungan atau penjara maksimum 3 tahun : daluwarsanya sesudah 6 tahun;

321
Untuk kejahatan yang diancam pidana penjara lebih dari 3 tahun daluwarsanya 12 tahun;
Untuk kejahatan yang diancam pidana mati atau seumur hidup : daluwarsanya sesudah 18 tahun.
Menurut pasal 79, tenggang daluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan, kecuali dalm hal-hal tertentu yang disebut dalam pasal tersebut yang menyangkut vorduurende delict (delik berlangsung terus lihat penjelasan dalam bab tetang jenis delik). Adapun yang diatur dalam pasal 79 adalah :
- Kejahatan terhadap mata uang (pasal 244) perhitungan daluwarsa didasarkan pada waktu setelah uang dipakai atau diedarkan;
- Kejahatan terhadap kemerdekaan seseorang (pasal 328, 329, 330 dan 333), daluwarsa dihitung keesokan hari setelah orang tersebut dibebaskan atau ditemukan meninggal dunia;
- Kejahatan terhadap register kependudukan (pasal 556-558 a), sehari setelah data tersebut dimasukkan dalam catatan register.
D.1.2. Pencegahan dan penangguhan.
a. Pencegahan (stuiting).

322
Menurut pasal 80 (1) tenggang daluwarsa terhenti / tercegah (gestuit) apabila ada tindakan penuntutan (daad van vervolging). Pada mulanya tindakan penuntutan diartikan secara luas yaitu mencakup juga tindakan-tindakan pengusutan (daad van opsporing). Tetapi yurisprudensi kemudian menerima pendapat yang lebih sempit, yaitu hanya perbuatan-perbuatan penuntut umum yang langsung menyangkutkan hakimdalam acara pidana (misal menyerahkan perkara ke siding, mendakwa / mengajukan tuduhan, memohon revisi), jadi tindakan pengusutan tidak lagi dianggap termasuk tindakan penuntutan. Menurut pasal 80 (2) sesudah terjadinya pencegahan (stuiting) mulai berjalan tenggang daluwarsa yang baru, jadi selama terhentinya selama ada tindakan penuntutan tenggang waktunya tidak dihitung.
b. Penangguhan (scorsing).
Menurut pasal 81 (1) tenggang daluwarsa penuntutan tertunda/tertangguhkan (geschorst) apabila ada perselisihan praejudisiil, yaitu perselisihan menurut hukum perdata yang terlebih dulu harus diselesaikan sebelum acara pidana dapat diteruskan. Dalam hal ada

323
penundaan/pertangguhan (schorsing) maka tenggang waktu yang telah dilalui, sebelum diadakannya penundaan, tetap diperhitungkan terus. Hanya saja selama acara hukum perdata berlangsung dan belum selesai, tenggang daluwarsa tuntutan pidana, dipertangguhkan. Hal ini dimaksudkan agar terdakwa tidak diberi kesempatan untuk menunda-nunda penyelesaian perkara perdatanya dengan perhitungan dapat dipenuhinya tenggang daluwarsa penuntutan pidana.
D.2. Daluwarsa Pemidanaan.
Sama dengan daluarsa penuntutan maka landasan pemikiran atas daluarsa pemidanaan didasarkan kepada dua hal yaitu :
1. dalam kenyataannya perputaran waktu tidak hanya secara perlahan menghapuskan akibat tindak pidana yang terjadi akan tetapi juga menghapuskan keinginan unutk melakukan pembalasan
2. bahwa pelaku setetlah bertahun-tahun menyembunyikan diri sudah cukup terhukum dengan kehidupan yang tidak tenang dan penuh kecemasan.
Perbedaannya disini adalah alasan kesulitan pembuktian tetunya tidak lagi relevan disini.

324
D.2.1. Daluwarsa kewenangan menjalankan pidana.
Tenggang waktu daluwarsanya diatur dalam pasal 84 (2), yaitu :
untuk semua pelanggaran : daluwarsanya 2 tahun.
Untuk kejahatan percetakan : daluwarsanya 5 tahun.
Untuk kejahatan lainnya : daluwarsanya sama dengan daluwarsa penuntutan (lihat pasal 78 ) ditambah sepertiga.
Pada ayat (3) ditetapkan bahwa :
“tidak ada daluwarsa untuk kewenangan mejalankan hukuman mati”.
Menurut pasal 85 (1) tenggang daluwarsa dihitung mulai pada keesokan harinya sesudah putusan hakim dapat dijalankan. Ini tidak sama dengan putusan hakim yang inkracht van gewijsde (putusan ayat berkekuatan tetap). Pada umumnya memang putusan hakim yang berkakuatan hukum tetap. Tetapi ada putusan hakim yang sudah dapat dieksekusi sebelum keputusan itu berkekuatan tetap, yaitu “verstek-vonnis” (keputusan diluar hadirnya terdakwa).
D.2.2. Pencegahan Dan Penagguhan Daluwarsa Pemidanaan.

325
a. pencegahan (stuiting)
pencegahan (stuiting) terhadap daluwarsa hak untuk menjalankan / mengeksekusi pidana dapat terjadi dalam dua hal (pasal 85 ayat (2)) yaitu :
1) Jika terpidana melarikan diri selama menjalani pidana.
Dalam hal ini, tenggang daluwarsa baru dihitung pada keesokan harinya setelah melarikan diri.
2) Jika pelepasan bersyarat dicabut
Dalam hal ini, maka pada esok harinya setelah pencabutan, mulai berlaku tenggang daluwarsa baru.
Dengan demikian selama ada pencegahan, maka jangka lewat waktu yang telah dilalui hilang sama sekali (tidak dihitung).
b. penagguhan (schorsing).
Penundaan (schorsing) terhadap daluwarsa hak untuk mengeksekusi pidana dapat terjadi dalam dua hal (pasal 33 ayat (3) yaitu :

326
selama perjalanan pidana ditunda menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;
selama terpidana dirampas kemerdekaannya (ada calon tahanan), walaupun perampasan kemerdekaan itu berhubung dengan pemidanaan lain.
A. Ketentuan Gugurnya Kewenangan Menuntut Dan Menjalankan Pidana di luar KUHP.
E.1. Grasi.
Grasi tidak menghilangkan putusan hakim ybs. Keputusan hakim tetap ada, tetapi pelaksanaannya dihapuskan atau dikurangi / diringankan. Jadi grasi dari presiden, dapat berupa :
Tidak mengeksekusi seluruhnya, Hanya mengeksekusi sebagian saja
Mengadakan komutasi yaitu jenis pidananya diganti, misal penjara diganti kurungan, kurungan diganti dengan denda, pidana mati diganti penjara seumur hidup.
Dasar pemikiran lembaga grasi menurut Remelink adalah keadaan pada waktu hakim menjatuhkan putusan tidak atau kurang diperhatikan atau mungkin pertimbangan dan yang bila (secara memadai sebelumnya ia keathui, akan mendorongnya menjatuhkan pidana atau tindakan

327
lain atau bahkan untuk tidak menjatuhkan sanksi sekalipun. Grasi dapat dikabulkan manakala hukuman yang dijatuhkan dianggap tidak akan mencapai tujuan atau sasaran pemidanaan itu sendiri.
Perihal prosedur Grasi diatur dalam undang-undang 22 tahun 2002, menurut ketentuan pasal 2 ayat (2) grasi hanya dapat dimohonkan bagi terpidana yang dijatuhi pidana mati, penjara seumur hidup, penjara paling rendah 2 tahun. Dalam pasal 2 ayat (3) permohonan grasi hanya dapat diajukaqn 1 (satu) kali, kecuali dalam hal :
I. Terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut;
II. Terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal keputusan pemberian grasi diterima.
Sementara pasal 3 permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati.
Permohonan grasi oleh terpidana atau kuasa hukumnya atau oleh keluarga terpidana, dengan persetujuan terpidana (pasal 6 (1-2)) kecuali

328
dalam hal terpidana dijatuhi pidan mati, permohonan grasi dapat diajukan oleh keluarga terpidana tanpa persetujuan terpidana (pasal 6 ayat (3)).
Permohonan grasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 dan pasal 7 diajukan secara tertulis oleh terpidana, kuasa hukumnya, atau keluarganya kepada Presiden. Salinan permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung. Permohonan grasi dan slinannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat disampaikan oleh terpidana melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (3), Kepala Lembaga Pemasyarakatan menyampaikan permohonan grasi tersebut kepada Presiden dan salinannya dikirimkan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama paling lambat 7 hari terhitung sejak diterimanya permohonan grasi dan salinannya.
Dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) haru terhitung sejak tanggal penerimaan salinan permohonan grasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 8, penagdilan tingkat pertama mengirimkan salinan permohonan dan berkas perkara terpidana kepada Mahkamah Agung. Dan dalam

329
jangka waktu paling lambat 3 (tigta) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya salinan permohonan dan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 9, Mahkamah Agung mengirimkan pertimbangan tertulis kepada Preisden. Presiden memberikan keputusan atas permohonan grasi setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Jangka waktu pemberian atau penolakan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak diterimanya pertimbangan Mahkamah Agung, keputusan Presiden dapat berupa pemberian atau penolakan grasi.
E.2. Amnesti.
Amnesti dapat didefinisikan sebagai pernyataan umum (yang diterbitkan dalam suatu aturan perundang-undangan) yang memuat pencabutan senua akibat pemidanaan dari suatu delik tertentu atau satu kelompok delik tertentu, demi kepentingan semua terpidana maupun bukan, terdakwa ataupun bukan, mereka yang identitasnya diketahui ataupun tidak namun bersalah melakukan tindakan tersebut. Oleh karena itu amnesti mencakup perkara dalam fase ante sentantiam (sebelum dijatuhkanya putusan) maupun post sentantiam (pasca proses ajudikasi).

330
Dalam praktek amnesti diberikan karena alasan politik.
E.3. Abolisi.
Seperti halnya grasi dan amnesti, abolisi merupakan hak prerogative presiden yang ditetapkan dalam UUD 1945 sebelum perubahan. Abolisi mengandung pengertian penghapusan yang diberikan kepada perseorangan yang mencakup penghapusan seluruh akibat penghukuman seluruh akibat penjatuhan putusan, termasuk putusan itu sendiri. Abolisi dengan demikian berlaku ante sentiam yang berkaitan dengan dilepaskannya kewenangan melakukan penuntutan atau pelanjutan dari penuntutan yang sudah dimulai.

331
BAB XV
R E S I D I V E
( PENGULANGAN TINDAK PIDANA)
1. PENGERTIANResidive atau pengulangan terjadi apabila
seseorang yang melakukan suatu tindak pidana dan telah dijatuhi pidana dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap ( MKHT) atau “in kracht van gewijsde”, kemudian melakukan tindak pidana lagi.

332
Perbedaannya dengan Concursus Realis ialah pada Residive sudah ada putusan Pengadilan berupa pemidanaan yang telah MKHT sedangkan pada Concursus Realis terdakwa melakukan beberapa perbuatan pidana dan antara perbuatan sang satu dengan yang lain belum ada putrusan Pengadilan yang MKHT.
Residive merupakan alasan untuk memperberat pidana yang akan dijatuhkan. Dalam ilmu hukum pidana dikenal ada dua sistem residive ini, yaitu :
1. Sistim Residive UmumMenurut sistem ini, setiap pengulangan terhadap jenis tindak pidana apapun dan dilakukan dalam waktu kapan saja, merupakan alasan untuk memperberat pidana yang akan dijatuhkan. Jadi tidak ditentukan jenis tindak pidana dan tidak ada daluwarsa dalam residivenya.
2. Sistem Residive KhususMenurut sistem ini tidak semua jenis pengulangan merupakan alasan pemberatan pidana. Pemberatan hanya dikenakan terhadap pengulangan yang dilakukan terhadap jenis

333
tindak pidana tertentu dan yang dilakukan dalam tenggang waktu yang tertentu pula.
2. MENURUT KUHPDalam KUHP ketentuan mengenai Residive tidak diatur secara umum tetapi diatur secara khusus untuk kelompok tindak pidana tertentu baik berupa kejahatan maupun pelanggaran.
Disamping itu di dalam KUHP juga memberikan syarat tenggang waktu pengulangan yang tertentu. Jadi dengan demikian KUHP termasuk ke dalam sistem Residive Khusus.
a. Residive Kejahatan.Residive terhadap kejahatan dalam pasal : 137(2), 144(2), 155(2), 161(2), 163(2), 208(2), 216(3), 321(2), 393(2) dan 303 bis (2).
Jadi ada 11 jenis kejahatan yang apabila ada pengulangan menjadi alasan pemberat. Perlu diingat bahwa mengenai tenggang waktu dalam residive tersebut tidak sama, misalnya :
i. Pasal : 137, 144, 208, 216, 303 bis dan 321 tenggang waktunya dua tahun ;

334
ii. Pasal 154, 157, 161, 163 dan 393 tenggang waktunya lima tahun.
iii. Sedangkan untuk residive yang diatur dalam Pasal 486, 477 dan 488 KUHP mensyaratkan bahwa tindak pidana yang diulangi termasuk dalam kelompok jenis tindak pidana tersebut.
b. Residive PelanggaranResidive dalam pelanggaran ada 14 jenis tindak pidana, yaitu :
Pasal : 489, 492, 495, 501, 512, 516, 517, 530, 536, 540, 541, 544, 545, 549 KUHP.
Syarat-syarat Recidive pelanggaran disebutkan dalam masing-masing pasal yang bersangkutan.
3. RECIDIVE DI LUAR KUHP
Recidive diluar KUHP antara lain diatur di dalam Undang-Undang:
i. Tindak Pidana Narkotika (UU 22 / 1997), Pasal 78 s/d 85, dan pasal 87;Tenggang waktu lima tahun. Ancaman pidana ditambah sepertiga

335
ii. Tindak Pidana Psikotropika (UU No.5/1997), Pasal 72, ancaman pidana ditambah sepertiga.
SOAL UJIAN
DAFTAR PERTANYAAN
MATERI DIKLAT
ASAS-ASAS HUKUM PIDANA
1. Ruang berlakunya hukum pidana dapat dibedakan menurut waktu dan menurut tempat. Jelaskan dimana diatur ruang berlakunya

336
hukum pidana di dalam KUHP dan di luar KUHP ?
2. Menurut Prof. Moeljatno apa saja yang menjadi unsur dari suatu perbuatan pidana ?.
3. Apa pentingnya bagai Jaksa memahami pengertian unsur-unsur tindak pidana ?.
4. Siapa yang dimaksud sebagai Pelaku (dader) menurut pasal 55 KUHP ?.
5. Apa yang dimaksud dengan Recidive ?