Budaya Organisasi Studi Tematik Dalam Al
-
Upload
arif-hidayat -
Category
Documents
-
view
15 -
download
0
description
Transcript of Budaya Organisasi Studi Tematik Dalam Al
1
1
BUDAYA ORGANISASI
(Studi Tematik Qur’an dan Hadits)
Oleh: Djamaluddin Perawironegoro
A. PENDAHULUAN
Wahyu adalah pembeda antara budaya organisasi dalam perspektif umum
dengan budaya organisasi dalam perspektif agama Islam. Sehingga dalam
kolaborasinya terjadi tindakan saling melengkapi antara wahyu dan akal. Perlu
diketahui bahwa dalam kinerja akal manusia dapat membedakan benar dan salah
dengan logika, baik dan buruk dengan etika, dan indah dan jelek dengan estetika.
Artinya bahwa dengan kemampuan akalnya, manusia dapat merumuskan
budayanya. Namun asumsi tersebut tidak serta merta dapat dibenarkan seutuhnya,
karena pada dasarnya benar atau salah bagi suatu kelompok belum tentu menjadi
benar atau salah bagi kelompok yang lain. Baik atau buruk bagi suatu kelompok
belum tentu menjadi baik atau bahkan buruk bagi kelompok yang lain. Demikian
juga mengenai keindahan dan kejelekan. Disini peranan wahyu memberikan
penerangan, dimana baik menurut Tuhan dapat diterima kebaikannya bagi seluruh
umat manusia, dan buruk bagi Tuhan dapat difahami bahwa yang demikian itu
adalah buruk bagi umat manusia.
Mujamil Qomar menjelaskan terkait wahyu dan akal dengan mengutip
pendapat Harun Nasution yang menyimpulkan bahwa wahyu memiliki fungsi
konfirmasi dan informasi, memperkuat apa saja yang telah diketahui akal dan
menerangkan apa saja yang belum diketahui akal, sehingga menyempurnakan
yang telah diperoleh akal. Ketika wahyu (baik Al-Qur‟an maupun Hadis)
memberikan ketentuan-ketentuan atau pesan-pesan moral yang dapa dicapai atau
dicerna oleh akal maupun sebelumnya akal telah mengetahuinya, maka pada saat
itu wahyu sebagai „konfirmasi‟. Namun ketika wahyu memberikan ketentuan-
ketentuan atau pesan-pesan moral yang tidak terjangkau oleh kekuatan akal berarti
wahyu sedang menjalankan fungsi „informasi‟.1
1 Mujamil Qomar, Strategi Pendidikan Islam, (Jakarta: Erlangga, 2013), hlm. 45
2
2
Artinya bahwa wahyu tidak hanya menjangkau hal-hal yang empiris dan
rasional, tetapi juga menjangkau hal-hal yang suprarasional yang belum dijangkau
oleh akal.
Adapun fungsi wahyu adalah diantaranya:
a. Sebagai petunjuk bagi umat manusia.
b. Sebagai acuan dalam mengelola umat manusia.
c. Sebagai konsultan atau tempat konsultasi.
d. Sebagai pendorong atau pengendali.
e. Sebagai alat pengukur bagi yang taat dan yang maksiat.
f. Sebagai bentuk tanggungjawab Tuhan atas kebebasan yang diberikan
kepada manusia.
Dalam kaitannya antara wahyu dan budaya organisasi, penulis mencoba
atau berikhtiar memberikan model „konfirmasi‟ antara budaya organisasi dengan
ayat-ayat Al-Qur‟an dan Hadits-hadits Nabi Muhammad SAW.
Budaya organisasi adalah sebuah sistem makna bersama yang dianut oleh
organisasi, yang membedakan antara satu organisasi dengan organisasi yang lain.
Sebuah sistem makna bersama mengandung nilai-nilai, norma, adat,
perilaku, sikap yang difahami bersama dan menjadi komitmen bersama untuk
bekerja dan berbuat dalam menghadapi tantangan organisasi baik itu secara
internal ataupun eksternal. Dengan sistem makna bersama yang disepakati
diharapkan organisasi dapat survive. Selain daripada sebagai sistem imun, sistem
makna bersama itulah yang membedakan antara satu organisasi dengan organisasi
yang lain.
Budaya organisasi menjadi perekat antar warga organisasi. Pada dasarnya
manusia cenderung berkelompok dengan mereka yang memiliki kesamaan nilai,
norma, adat, kepercayaan, dan asumsi-asumsi yang lainnya. Kesamaan tersebut
membawa individu-individu yang berbeda untuk menjalin kerjasama dalam
mencapai tujuan organisasi. Jika hilang kebersamaan, dampaknya adalah
terpecahnya atau bahkan musnahnya organisasi. Yang demikian itu bukanlah hal
yang tidak mungkin, karena Allah SWT mengingatkan dalam surah Yunus ayat
47-49:
3
3
47. tiap-tiap umat mempunyai rasul; Maka apabila telah datang Rasul mereka,
diberikanlah keputusan antara mereka dengan adil dan mereka (sedikitpun) tidak
dianiaya.48. mereka mengatakan: "Bilakah (datangnya) ancaman itu, jika memang
kamu orang-orang yang benar?"48. mereka mengatakan: "Bilakah (datangnya)
ancaman itu, jika memang kamu orang-orang yang benar?"49. Katakanlah: "Aku
tidak berkuasa mendatangkan kemudharatan dan tidak (pula) kemanfaatan kepada
diriku, melainkan apa yang dikehendaki Allah". tiap-tiap umat mempunyai ajal.
Apabila telah datang ajal mereka, Maka mereka tidak dapat mengundurkannya
barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukan(nya).
Selain daripada ayat tersebut dalam surah al-Mukminuun ayat 43 disebutkan:
43. tidak (dapat) sesuatu umatpun mendahului ajalnya, dan tidak (dapat
pula) mereka terlambat (dari ajalnya itu).
Dari dua ayat tersebut penulis memahami bahwa bagi setiap umat atau
organisasi akan datang padanya suatu saat tentang ajalnya. Yaitu manakala
organisasi tersebut tidak mengikuti pemimpinnya yang tulus ikhlas
mengembangkan organisasi.
Dalam perjalanannya organisasi tumbuh dinamis sebagaimana tubuh
manusia yang selalu berkembang dari waktu ke waktu. Demikian itu agaknya
sesuai dengan hadits Nabi Muhammad SAW:
Artinya: Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam cinta, kasih sayang, dan
hubungan diantara mereka adalah seperti tubuh manusia, yang apabila sakit satu
anggotanya maka seluruh anggota yang lainnya akan merasakannya dengan tidak
tidur dan badan yang panas. (H.R.Ahmad)
2 Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad Asy-Syaybany, Musnad
Ahmad, dalam Maktabah Syameela, (t.k: Kementrian Waqaf Mesir, t.t), Juz. 40, hlm. 32
4
4
Hadits tersebut mengumpamakan orang-orang beriman dengan tubuh.
Kata-kata orang yang beriman disini adalah kelompok orang-orang beriman yang
bersatu dalam organisasi, sehingga implikasinya adalah apabila satu di antara
mereka tidak mengikuti aturan atau budaya organiasi maka akan berdampak pada
lainnya. Demikian prinsip kebersamaan dalam organisasi.
Tidak dapat dipungkiri bahwa organisasi dalam bentuk apapun selalu
menentukan visi, misi, tujuan dan nilai-nilai dalam mencapainya. Dengan
kejelasan mengenai hal-hal tersebut warga organisasi akan menentukan strategi
dan cara yang terbaik untuk mencapai tujuan. Sehingga pencapaian organisasi
lebih terncana, terkoordinasi, dan terukur secara lebih efektif dan efisien.
Cara-cara, nilai, norma, adat kebiasaan, peraturan, dan kepercayaan bagi
setiap individu dalam menjalankan dinamika kerja terhadap tantangan internal
maupun eksternal yang disepakati bersama adalah kita kenal dengan budaya
organisasi.
Budaya organisasi memiliki peranan yang penting bagi organisasi, karena
fungsinya sebagai perekat warga organisasi. Selain daripada struktur organisasi
dan sumber daya manusia. Bisa dibayangkan apabila suatu organisasi tidak
memiliki budayanya sendiri, maka yang terjadi adalah cara bekerja yang tidak
efektif.
B. ONTOLOGI BUDAYA ORGANISASI
1. Hakikat Budaya Organisasi
Dikutip oleh Winardi yaitu pendapat Trice dan Beyer yang mendefinisikan
budaya organisasi sebagai sebuah pola kompleks berupa keyakinan, ekspektasi-
ekspektasi, ide-ide, nilai-nilai, sikap dan perilaku, yang dirasakan dan diyakini,
secara bersama oleh para anggota suatu organisasi.3
Wibowo mengungkapkan bahwa budaya organisasi adalah nilai-nilai dan
kebiasaan yang diterima sebagai acuan bersama yang diikuti dan dihormati, dalam
organisasi, kebiasaan ini menjadi budaya kerja sumber daya manusia.4
3 J. Winardi, Manajemen Perubahan, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 125
4 Widodo, Manajemen Perubahan, (Jakarta; Rajawali Pers, 2008), hlm. 371
5
5
Scein merumuskan, “… sebuah pola asumsi-asumsi dasar- yang
diciptakan, ditemukan, atau dikembangkan oleh kelompok tertentu, sewaktu
kelompok tersebut belajar menghadapi masalah-masalahnya berupa adaptasi
eksternal dan integrasi internal – yang telah tebukti berhasil dengan baik, untuk
dianggap valid, dan oleh karena demikian, perlu ditularkan kepada anggota-
anggota baru sebagai cara tepat guna mempersepsi, berpikir, dan merasa
sehubungan dengan masalah-masalah tersebut.”5
Daft mendefinisikan budaya dan budaya organasisasi sebagai berikut
“Culture is the set of values, norms, guiding beliefs, and understandings that is
shared by members of an organization and is taught to new members. 6
Suatu
setting nilai, norma, pedoman, dan keyakinan disampaikan oleh anggota
organisasi untuk disampaikan kepada anggota baru.
Sedangakan Robbins dan Judge mengungkapkan “Organizational Culture
is a system of shared meaning held by members that distinguishes the
organization from other organizations”.7 Bahwa budaya organisi adalah suatu
sistem pemaknaan bersama yang disampaikan oleh anggota organisasi untuk
membedakannya dengan organisasi yang lain.
Dari definisi-definisi tersebut di atas dapat difahami bahwa komponen dari
budaya organisasi adalah nilai, norma, peraturan-peraturan, keyakinan bersama,
falsafah yang dianut organisasi. Dan tindakan dari hal-hal tersebut adalah
diyakini, diikuti, dihormati, dan disampaikan kepada yang lain sehingga menjadi
pembeda antara satu organisasi dengan organisasi yang lainnya.
2. Struktur Budaya Organisasi
Kebudayaan: adalah suatau sistem nilai, keyakinan, dan norma-norma
yang unik yang dimiliki secara bersama oleh anggota suatu organisasi.8
5 J. Winardi, hlm. 129
6 Richard L. Daft. Understanding the Theory and Design of Organizations, (Vanderbilt University:
Thomson South Western, 2007). Hlm. 239 7 Stephen P. Robbins & Timothy A. Judge, Organizational Behavior, Twelfth Edition. (New
Jersey: Pearson Education, Inc. 2007). Hlm 510 - 513 8 Gibson, Ivancevich, Donelly, Organisasi Perilaku Struktur Proses Jilid 1,Edisi ke-5 (Tanpa
Kota: Erlangga, 1985), Hlm. 41
6
6
Gambar: 1
Tingkatan Budaya Organisasi.
Tingkatan yang paling kurang terlihat, atau yang paling mendalam adalah
tingkatan yang dinamakan asumsi-asumsi bersama dasar, aygn mewakili
keyakinan tentang realita dan sifat manusia, yang dianggap benar.
Tingkatan kultur berikutnya adalah tingkatan nilai-nilai cultural, yang
mewakili keyakinan-keyakinan kolektif, asumsi-asumsi, dan perasaan tentang apa
saja yang dianggap baik, normal, rasional, bernilai dan seterusnya. Contoh: pada
suatu perusahaan karyawannya sangat mengutamakan uang, sedangkan
perusahaan lain mereka lebih mementingkan inovasi teknologikal atau
kesejahteraan karyawan.
Tigkat berikutnya adalah prilaku bersama. Di dalamnya termasuk norma-
norma, yang lebih bersifat visible, dan agar lebih mudah dibandingkan dengan
nilai-nilai. Adapun alsannya (untuk sebagian) adalah bahwa orang-orang kurang
menyadari nilai-nilai, yang mempersatukan mereka. Tingkatan yang paling
superficial tentang kultur keorganisasian terdiri dari aneka macam symbol.
Symbol-simbol cultural berpa kata-kata (jargon atau slang), sikap, dan gambar-
Simbol-simbol kultur
Perilaku bersama
Nilai-nilai kultural
Asumsi-asumsi bersama
7
7
gambar atau objek-objek fisikal lainnya yang mengandung arti tertentu, di dalam
sebuah kultur.
Simbol-simbol kultur tertentu yang dianggap penting, kadang-kadang
mencapai wujud pahlawan cultural (cultural heroes) atau orang-orang (baik yang
masih hidup, maupun yang sudah meninggal dunia) yang memiliki sejumlah ciri,
yang dinilai sangat tinggi oleh kultur, hingga dengan demikian mereka berlaku
sebagai model-model peranan (role models).9
Menurut Peters dan Waterman, organisasi yang efektif mempunyai
kebudayaan intern yang memperkuat perlunya mutu yang sangat baik.
Kebudayaan mempunyai arti yang bermacam-macam. Untuk itu, dapat
didefinisikan bahwa suatu sistem nilai dan keyakinan bersama yang menghasilkan
norma prilaku. Nilai-nilai (apa yang penting) dan keyakinan (bagaimana cara
kerja hal-hal) menimbulkan norma (bagaimana kita harus melakukan sesuatu).
Dan kebudayaan itu dapat menjadi kekuatan positif dan negatif dalam mencapai
prestasi yang efektif.10
Karakteristik budaya organisasi yang dirumuskan Robbins adalah: (1)
Inovasi dan berani mengambil risiko, sejauh mana karyawan didorong untuk
inovatif dan berani mengambil risiko. (2) Perhatian kepada hal yang rinci, yaitu
sejauh mana para karyawan diharapkan mau memeperlihatkan kecermatan,
analisis dan perhatian kepada kerincian. (3) Orientasi hasil, yaitu sejauh mana
manajemen fokus pada hasil, bukan pada teknik dan proses yang digunakan untuk
mendapatkan hasil itu. (4) Orientasi orang, sejauh mana keputusan manajemen
memperhitungkan efek hasil pada orang-orang di dalam organisasi itu. (5)
Orientasi tim, Sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan dalam tim-tim kerja,
bukannya individu-individu. (6) Keagresifan, yaitu sejauh mana orang-orang itu
agresif dan kompetitif, bukan bersantai. (7) Kemantapan, yaitu sejauh mana
kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo sebagai lawan dari
pertumbuhan dan inovasi.11
9 J. Winardi, hlm. 126-127
10 Gibson, Ivancevich, Donelly, hal 41
11 Stephen P. Robbins & Timothy A. Judge, Organizational Behavior, Hlm 510 - 513
8
8
Karakteristik budaya organisasi yang diungkapkan oleh Victor Tan
adalah:12
1. Individual initiative, yaitu tingkat tanggung jawab, kebebasan dan
kemerdekaan yang dimiliki individu.
2. Risk Tolerance, yaitu suatu tungkatan di mana pekerja di dorong
mengambil risiko, menjadi agresif dan inovatif.
3. Direction, yaitu kemampuan organisasi menciptakan tujuan yang jelas dan
menetapkan harapan kerja.
4. Integration, yaitu tingkatan di maan unit dalam organisasi di dorong untuk
beroperasi dengan cara terkoordinasi.
5. Management support, yaitu tingkatan di mana manajer mengusahakan
komunikasi yang jelas, banduan dan dukungan pada bawahannya.
6. Control, yaitu jumlah aturan dan pengawasan langsung yang
diperguanakan untuk melihat dan mengawasi prilaku pekerja.
7. Identity, yaitu tingkatan di mana anggota mengidentifkisasi bersama
organisasi secara keseluruhan daripada dengan kelompok kerja atu bidang
keahlian professional tertentu.
8. Reward system, yaitu suatu tingkatan di mana alokasi reward, kenaikan
gajih atu promosi, didasarkan pada criteria kinerja pekerja, dan bukan pada
senioritas atau favoritism.
9. Conflict tolerance, yaitu tingkatan di mana pekerja di dorong
menyampaikan konflik dan kritik secara terbuka.
10. Communication patterns, yaitu suatu tingkatan di mana komunikasi
organisasional dibatasi pada kewenangan hierarki formal.
Karakter-karakter tersebut adalah terdapat dalam organisasi. Sebagaimana
manusia, organisasi sebagai satu kesatuan memiliki karakter. Dan karakter
tersebut adalah yang membedakan antara satu organisasi dengan organisasi
lainnya.
12
Wibowo, hlm. 380
9
9
3. Isyarat-Isyarat Al-Qur’an dan Hadits tentang Ontologi Budaya
Organisasi
Allah Swt berfirman dalam surah al-Hujurat ayat 13, sebagaimana berikut:
13
Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
sorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.13
Ayat ini turun menanggapi hinaan yang diterima Bilal, ketika dia naik
dinding Ka‟bah untuk melakukan azan pada hari pembebasan kota Mekah. Maka
Nabi SAW. Memanggil orang-orang yang menghina Bilal dan menegur sikap
mereka yang membangga-banggakan nasab.14
Disebutkan dari Abu Daud bahwa ayat ini turun pada Abu Hindin yang
mana dia adalah tukang bekam Nabi SAW berkata: Sesungguhnya Rasulullah
SAW menyuruh Bani Bayadhah untuk menikahkan Abu Hindin dengan anak
perempuan diantara mereka, maka mereka berkata pada Rasulullah SAW:
(Apakah) Kami nikahkan anak-anak perempuan kami dengan budak-budak kami?
Maka turunlah ayat ini.15
Setelah Allah Swt menyatakan larangan untuk perbuatan menghina,
mencela, memberikan panggilan yang tidak baik, berprasangka buruk, mencari-
cari aib orang lain, dan berghibah. Maka di ayat ini menekankan tentang sebab
dilarangnya perbuatan tercela tersebut.
13
Q.S. Al-Hujurat: 13 14
Wahbah Zuhaili, Muhammad Adnan Salim, Muhammad Rusydi Zain,
Muhammad Wahbi Sulaiman, Al-Mawsuuah Al-Quraniyah Al-Muyassarah, terj.
Ensiklopedia Al-Quran, (Jakarta: Gema Insani Press, 1428 H), hlm. 518 15
Ahmad Musthofa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi Mujallad At-Taasi’, (Beirut:
Daru-l-Fikri, , 1421 H), hlm.195
10
10
Dijelaskan bahwa Allah Swt menciptakan manusia dari satu ayah dan satu
ibu yaitu Adam dan Hawa. Dengan demikian bagaimana bisa satu orang
menyakiti yang lainnya sedang mereka pada dasarnya dari satu nenek moyang
yang sama. Allah Swt menjadikan manusia dalam berbagai Syu’ub, Qaba’il16
dengan tujuan untuk saling mengenal bukan untuk saling membanggakan nasab
karena pada dasarnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang
bertakwa.
Dalam tafsir Thobari, disebutkan bahwa sesungguhnya Allah Swt,
menjadikan umat manusia dari air mani laki-laki, dan dari air ovum perempuan.
Maka kemudian Allah Swt menjadikannya bernasab-nasab, sebagian bernasab
dekat, dan sebagian lain bernasab jauh (luas). Qabilah adalah kelompok-kelompok
kecil, dan Sya‟bun adalah kelompok-kelompok yang lebih besar. Untuk
mengetahui sebagian atas sebagian yang lain dalam hal keturunannya. Atau
dekatnya kekerabatan dan jauhnya. Tidak untuk menunjukkan kemuliaan yang
satu atas yang lain. Dan untuk kedekatanmu kepada Allah Swt, karena pada
dasarnya yang paling mulia diantara kalian semua, adalah yang paling bertaqwa
diantara kalian.17
Disebutkan dalam Tafsir Qurthubi, dari Abu Malik al-Asy‟ari berkata,
Rasulullah Saw bersabda:
Hadits tersebut menjelaskan bahwa Allah Swt tidak melihat pada
kecukupan, keturunan, fisik (badan), dan harta yang dimiliki oleh manusia, akan
tetapi Allah Swt melihat pada hati-hati manusia. Maka barangsiapa yang di dalam
16
Syu‟ub adalah Kumpulan suku-suku yang besar, seperti Rabi‟ah, Mudhar, dan Khuzaimah.
Qabail adalah satuan lebih kecil dari syu‟ub seperti Bani Bakar dari Bani Rabiah, Bani Tamim dari
Mudhar. 17
Abu Ja‟far Ath-Thabari, Jaami’ul bayaan fi takwilil Qur’an,Juz. 22, dalam Maktabah Syaamilah
(T.k: Muassasah Ar-Risaalah, 2000), hlm. 309-312 18
Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Juz.16, dalam Maktabah Syameela, (t.k: Mawqi‟u Ya‟sub, t.t),
hlm. 342
11
11
hatinya terdapat hati yang shalih, Allah akan menyayanginya. Dan Allah Swt
mencitai orang-orang yang bertaqwa. Dan ini untuk seluruh umat manusia tanpa
perbedaan apaapun.
Pengakuan Allah Swt terhadap suku-suku dan qabilah-qabilah tersebut,
pada prinsipnya adalah bahwa semua umat manusia bermula dari satu keturunan
yaitu Adam dan Hawa. Dari dua orang tersebut, muncul berbagai banyak
keturunan umat manusia yang beraneka ragam. Allah Swt sebagai Tuhan Yang
Maha Adil, tentu tidak layak bagi-Nya untuk membeda-bedakan, berdasarkan hal-
hal yang fisik dan materi. Allah Swt, hanya memberikan batasan bagi yang ingin
dekat dengannya adalah yang beramal shalih, keshalihan itu membawa pada
ketaqwaan, dan Allah bersama mereka yang bertaqwa.
Dapat difahami ayat tersebut sebagai isyarat pengakuan Allah Swt
terhadap kehadiran berbagai suku-suku, dan bangsa. Kehadiran tersebut,
menghadirkan perbedaan-perbedaan yaitu warna kulit, kekayaan, kecukupan,
keturunan, dan kedermawanan. Hal-hal ini adalah hal yang nampak pada umat
manusia. Yang nampak tersebut, merupakan pengakuan Allah atas apa yang
melekat pada mereka dalam keragaman. Maka Allah Swt menyampaikan atas
keragaman tersebut untuk saling mengenal.
Ta’aarufadalah kata yang memiliki makan untuk saling mengetahui.
Artinya adalah ada perbuatan timbal balik antara person yang ingin mengetahui
dan person yang memberi pengetahuan. Pengetahuan ini adalah pengetahuan
tentang komunitasnya “sya’b” dan “qabilah”. Pengetahuan terhadap komunitas-
komunitas ini pada perkembangannya menghadirkan Ilmu-ilmu Sosial, seperti
Sosiologi, Sejarah, Antropologi, dan Psikologi.
Rasa untuk saling berbagi pengetahuan yang dimiliki sebagai suatu budaya
yang diwariskan secara turun menurun kepada keturunannya. Menjadikan suatu
aturan, norma, keyakinan, dan falsafah yang dianutnya, sebagai way of life dari
kelompok tersebut.
Dengan kesamaan aturan, norma, keyakinan, dan falsafah yang menjadi
way of life suatu kelompok memiliki kerekatan dan kedekatan satu sama lain.
Atau dalam istilah organisasi memiliki integrasi internal. Demikian itu penting,
12
12
untuk menjaga kekuatan kebersamaan dalam menghadapi tantangan dari luar,
sehingga sanggup beradaptasi dengan kondisi eksternal.
Allah Swt berfirman dalam surah Ali Imron ayat 112 yang berbunyi:
Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka
berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia (Q.S.
Ali Imron: 112)
Dalam Shafwatu-t-tafaasir karya Ali Ash-Shabuni, ayat tersebut
menunjukkan perintah Allah Swt kepada Ahli Kitab agar berpegang dengan
agama Allah, dan pada syari‟at yang lurus. Sedangkan kepada orang-orang yang
beriman Allah Swt mengajak untuk melakukan kewajiban berda‟wah,
memerintahkan kepada kebaikan, dan mencegah kemunkaran, dan diperintahkan
juga untuk bersatu dan menghindari perbedaan. Sehingga Allah Swt
mengingatkan apa yang menimpa orang-orang Yahudi dari kehinaan dan
kekerdilan disebabkan kedengkian dan permusuhan.19
Dalam tafsir Jalalain, disebutkan bahwa dimanapun mereka berada maka
tidaklah mereka mendapatkan kemuliaan dan tidak pula pegangan, kecuali jika
mereka berpegang pada agama Allah dan janji atas orang-orang beriman. Yang
demikian itu janji mereka untuk keamanan yaitu dengan membayar jizyah atau
tidak ada bagi mereka perlindungan selain dengan hal tersebut.20
Sedangkan Ibnu Katsir, mentafsirkan ayat tersebut dengan mewajibkan
bagi mereka (Orang-orang Yahudi) kehinaan dan kekerdilan dimanapun mereka
berada dan tidak mendapatkan keamanan, kecuali jika mereka berada pada janji
dari Allah, yaitu ikatan janji bagi mereka dengan membayar jizyah atas diri
mereka, juga kewajiban mereka untuk menjalankan hukum-hukum agama. Dan
keamanan dari mereka untuk mereka, sebagaimana dalam perjanjian-perjanjian
dan tawanan jika mengamankannya salah seorang dari orang-orang Islam,
meskipun perempuan. Disebutkan bahwa Ibnu Abbas, Ikrimah, „Athaa, Adh-
19
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Shafwatu-t-Tafaasir: Tafsiiru-l-Qur’an Al-Karim, Juz.1 (Cairo:
Daaru Shabuni li-th-Thiba‟ah Wa-n-Nasyr Wa-t-Tawzi‟, 1997), hlm. 201 20
Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Mahily dan Jalaluddin Abdu Rahman bin Abu Bakar
as-Suyuthi, Tafsir Jalalayn, (Beirut: Daru Shaadir, 2003), hlm. 64
13
13
Dhahaak, Al-Hasan, Qatadah, As-Suda, dan Rabi‟ bin Anas, mengartikan “hablun
min Allahi wa hablun min an-Naas” dengan janji dari Allah dan janji dari
manusia.21
Demikian juga Ali Ash-Shabuni yang mentafsirkan ayat tersebut bahwa
bagi mereka kehinaan dan dan kenistaan dimanapun mereka berada , dan meliputi
mereka sebagaimana rumah yang diliputi kehancuran oleh penghuninya, kecuali
jika mereka berpegang pada janji Allah dan Janji orang-orang muslim. Ash-
Shabuni juga mengutip pendapat Ibun Abbas.22
Zamakhsyari dalam tafsir Al-Kasysyaaf, mengatakan bahwa “hablun mina
Allahi” adalah suatu kondisi. Dengan kata lain kecuali mereka berpegang teguh
atau berpedoman atau berpegang dengan cinta dari Allah, demikian itu
pengecualian atas kondisi yang lebih umum. Maknanya adalah bahwa mereka
ditimpakan kehinaan secara umum kecuali dalam pegangan mereka atas janji
Allah dan janji manusia, dengan kata lain, tidaklah mereka mendapatkan
kemuliaan kecuali dalam satu hal ini yaitu kembalinya mereka pada janji, dan
penerimaan mereka atas jizyah.23
Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah mengartikan ayat tersebut yaitu
setelah menjelaskan keadaan kebanyakan orang-orang Yahudi saat menghadapi
orang-orang Islam, di sini dijelaskan keadaan mereka setiap waktu dan saat yang
telah mendarah daging, membudaya, dan melekat pada diri mereka. Yaitu bahwa:
Mereka diliputi, sebagaimana satu bangunan meliputi penghuninya, diliputi oleh
kenistaan, yakni ketundukan akibat kekalahan di mana saja mereka berada,
kecuali jika mereka berpegang kepadaAllah, yakni ajaran agama-Nya, atau tunduk
membayar jizyah (pajak) sebagai warga negara yang berhak memeroleh keamanan
21
Imadu-d-Diin Abi al-Fida Ismail ibnu Katsir ad-Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-‘Adziim. Juz 1.
(Cairo: Al-Maktabah at-Tawfiiqiyah, t.t), hlm. 74 22
Ali Ash-Shabuni, hlm. 202 23
Abu Qasim Jaarullah Mahmud bin Umar Az-Zamakhsyari al-Khowarizmi, Al-Kasysyaf ‘an
Haqaiq at-Tanzil wa ‘Uyuuni-l-Aqaawiil fi wujuuhi-t-Takwil, Juz. 1, (al-Fajaalah: Maktabah
Misra, t.t), hlm. 353
14
14
setelah tunduk pada pemerintahan Islam dan tali dengan manusia, yakni
pembelaan dari kelompok manusia.24
Dari beberapa tafsir tersebut dapat difahami bahwa apa yang menimpa
orang-orang Yahudi dari kehinaan dan kenistaan adalah bersumber pada
pengingkarannya terhadap janji dari Allah - dalam hal ini adalah agama yang
dibawakan oleh Nabinya – dan janji terhadap sesama manusia yaitu untuk
membayara jizyah sebagai jaminan atas keamanan mereka berada di antara orang-
orang Islam.
Dengan menggunakan kata yang sama yaitu “tsaqafa”, Allah Swt
berfirman:
191. Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka
dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah). (Q.S. Al-Baqarah: 191)
91. Maka tawanlah mereka dan bunuhlah mereka dan merekalah orang-orang
yang Kami berikan kepadamu alasan yang nyata (untuk menawan dan
membunuh) mereka. (Q.S. An-Nisa: 91)
57. jika kamu menemui mereka dalam peperangan, Maka cerai beraikanlah orang-
orang yang di belakang mereka dengan (menumpas) mereka, supaya mereka
mengambil pelajaran. (Q.S. Al-Anfal: 57)
61. di mana saja mereka dijumpai, mereka ditangkap dan dibunuh dengan sehebat-
hebatnya. (Q.S. Al-Ahzab: 61)
2. jika mereka menangkap kamu, niscaya mereka bertindak sebagai musuh
bagimu dan melepaskan tangan dan lidah mereka kepadamu dengan
24
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera
Hati, 2002), hlm. 227
15
15
menyakiti(mu); dan mereka ingin supaya kamu (kembali) kafir. (Q.S. Al-
Mumtahanah: 2)
Lima ayat tersebut di atas, tiga diantaranya mengartikan “tsaqafa” dengan
bertemu atau berjumpa. Yaitu pada Al-Baqarah: 91, Al-Anfaal: 57, dan Al-Ahzab
61. Sedangkan An- Nisa‟: 91, mengartikannya dengan alasan yang nyata. Dan Al-
Mumtahanah: 2, mengartikannya dengan menangkap.
Dalam kitab “Shahih Bukhori” terdapat satu hadits yang menyebut kata
“tsaqifun” yaitu hadits 3692, 3905, 5807, 5470, yang isinya menceritakan tentang
Nabi Muhammad Saw dalam suksesi hijrah dari Makkah ke Madinah bersama
sahabatnya Abu Bakar, dan ditemani juga dengan Abdullah bin Abu Bakar, yang
ikut bersamanya tinggal di dalam gua Tsur, Pada hadits tersebut disebutkan:
…
Selain dalam Kitab Shahih Bukhori, hadits tersebut juga terdapat pada Al-
Mustadrak ‘ala Shahihayni, yang ditulis oleh Muhammad ibnu Abdullah Abu
Abdillah Al-Haakim An-Naysabur, dalam bab hijrah, dengan nomor hadits 4272.
Dalam kitab Mushannaf ‘Abdu Razaq yaitu pada hadits. Dalam kitab Dalaail an-
Nubuwwah disebutkan dengan nomor hadits 729. Dalam kitab Musykaalu al-Atsar
Li-th-Thahawi menyebutkan hadits tersebut dengan nomor hadits 3446. Dalam
kitab Jaami’ al-Ushul min Ahaadiitsi Ar-Rasul dengan nomor hadits 9203. Dalam
Musnaad ash-Shahabah fi al-Kutub at-Tis’ah juz 8 halaman 230.
Bukhari menjelaskan kata “tsaqifun” tersebut diartikan dengan “haadziqun
fathanun” yang berarti pandai dan cerdas. Dan “laqinun” diartikan dengan daya
faham yang cepat, penyampaian yang baik atas apa yang didengarkannya dan
diketahuinya. Demikian juga dalam Dalaail an-Nubuwwah, Musykaalu al-Atsar
Li-th-Thahawi , dimaknai sama dengan pendapat Bukhari.
Menarik untuk melihat makna dari kata “tsuqifuu” pada surah Ali Imron
112, yang diartikan dalam tafsir jalalayn sebagai “wajaduu” yang berarti berada,
atau “wujiduu wa laquu” dalam tafsir Qurthubi yang berarti didapatkan dan
25
Muhammad bin Isma‟il Abu Abdullah Al-Bukhari Al-Ja‟fi, Al-Jami’ Ash-Shahih Al-
Mukhtashar, Juz 3, Bab Hijratu-n-Nabiy Shallaallahu ‘alayhi wa sallam, (Beirut: Daaru Ibnu
Katsir, 1987), hlm. 1417.
16
16
bertemu,26
Thobari mengartikan “laquu” yang berarti bertemu.27
Dan tsaqifun
dalam Shahih Bukhari diartikan dengan kepandaian dan kecerdasan.
Sedangkan menurut bahasa kata “tsuqifuu” bermula dari kata “tsaqafa”
yang berarti cerdas,28
memahami dengan cepat,29
didapatkan dan diketahui.30
Dengan demikian dapat diartikan kata “tsuqifuu” sebagai dibudayakan. Karena
dalam budaya terdapat kecerdasan dan pengetahuan yang dalam tentang
kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, serta kemampuan-kemampuan dan
kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat yang tidak
hanya kepada sesama manusia, namun juga Tuhan.
Kepada Tuhan menjadi penekanan disini, demikian karena pada saat ini
terdapat pergeseran pemahaman akan budaya yang cenderung diartikan hanya
sebagai hubungan terbatas antara manusia, sehingga melupakan Tuhan. Maka
jikalau demikian tidak jauh berbeda dengan apa yang ditimpakan kepada orang-
orang Yahudi tersebut dari kerendahan dan kenistaan. Jikalau kita menginginkan
keselamatan tidak berhenti pada hubungan dari manusia yang dijalin, tetapi juga
hubungan dengan Allah Swt.
Dari dua ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa isyarat-isyarat Al-Qur‟an
tentang budaya telah ada di dalam Al-Qur‟an, meskipun secara eksplisit bahwa
budaya tersebut adalah kaitannya dengan Sya‟b dan Qabilah yang berarti
kelompok suku dan bangsa. Namun secara substansi kiranya dapat disetujui,
bahwa antara Sya‟ab, Qabilah, dan Organisasi adalah kumpulan kelompok
manusia yang berkerjasama untuk mencapai tujuan bersama.
Dengan kesamaan tersebut, maka setiap kelompok memiliki watak dan
karakter masing-masing, yang membedakan antara satu kelompok dengan
kelompok yang lainnya. Karakter-karakter dasar atau asumsi-asumsi dasar itulah
inti dari budaya organisasi (budaya kelompok).
26
Abu Ahmad bin Muhammad al-Anshari, Tafsir al-Qurthubi, Juz. 3, (Cairo: Maktabah al-Iman,
t.t), hlm. 82 27
Abu Ja‟far bin Jarir ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari: Jaami’ al-Bayaan ‘an Takwiili Ayi al-
Qur’an, Juz. 2, (Beirut: Ad-Daar Asy-Syamiyah, 1997), hlm. 359 28
Abu al-Fadhl Jamaluddin Muhammad bin Mukrim bin Mandzur al-Afriqi al-Mishri, Lisaanu-l-
Arab, Al-Mujallad 1. (Beirut: Daaru Shaadir, 1997), hlm. 340 29
Loise Maluf, Al-Munjid fi Lughah wa al-‘Alaam, (Beirut: Daaru-l-Masyriq, 1986), hlm. 71 30
www.almaany.com/quran/3/112/6/ diakses 27 November 2014 jam 21.32
17
17
Asumsi-asumsi dasar sebagaimana diungkapkan oleh Schein memiliki
tujuh pokok pikiran penting yaitu asumsi mengenai kebenaran, realitas, waktu,
tempat, aktivitas manusia, hakikat manusia, dan hubungan antara manusia. Tujuh
hal tersebut dalam perspektif al-Qur‟an, harusnya berdimensi hablun mina Allah
dan hablun mina Annaas.
B. EPISTIMOLOGI BUDAYA ORGANISASI
1. Objek Budaya Organisasi
Menurt Daft, budaya organisasi berjalan pada dua level “First, On the
surface are visible artifacts and observable behaviors (the ways people dress and
act and the symbols, stories, and ceremonies organization members share).
Second, The visible elements of culture, however, reflect deeper values in the
minds of organization members. These underlying values, assumptions, beliefs,
and thought processes are the true culture.”31
Menurut Schein, sebagaimana dikutip oleh Hanggraeni, bahwa terdapat
tiga level kultur dalam organisasi, yaitu artifacts, espoused value, dan basic
assumption. Artifacts adalah kultur yang mudah diobservasi, bisa terlihat,
terdengar, dirasakan, dan berada di permukaan, contoh: produk, bahasa, teknologi,
cara berpakaian, dan legenda. Espoused value adalah filosofi yang dianut oleh
organisasi, tidak dapat dilihat namun dapat dirasakan. Sedangkan basic
assumption adalah lapisan paling mendasar dan paling diperhatikan dari
organisasi, namun tidak terlihat.32
Sopiah menjelaskan mengenai asumsi dasar,
yaitu asumsi merupakan reaksi yang bermula dari nilai-nilai yang didukung. Bila
asumsi telah diterima maka kesadaran akan menjadi tersisih. Dengan kata lain
perbedaan antara asumsi dengan nilai terletak pada apakah nilai-nilai tersebut
masih diperdebatkan dan diterima apa adanya atau tidak.33
Asumsi dasar yang membentuk budaya organisasi sebagaimana
diungkapkan Schein, yaitu:
31
Richard L. Daft, Hlm. 239 32
Dewi Hanggraeni, Perilaku Organisasi: Teori, Kasus, dan Analisis, (Jakarta: LPFEUI, 2011),
hlm. 152 33
Sopiah, hlm. 131
18
18
a. Hubungan dengan lingkungan.
b. Hakikat kegiatan manusia.
c. Hakikat realitas
d. Hakikat kebenaran.
e. Hakikat waktu.
f. Hakikat sifat manusia.
g. Hakikat hubungan antar manusia.34
7 dimensi tersebut di atas, akan mengarah kepada beberapa aspek dalam
organisasi yang tebagai menjadi 2 kategori yaitu adaptasi eksternal dan adaptasi
internal.
2. Cara Memperoleh Budaya Organisasi
Schein merumuskan, “… sebuah pola asumsi-asumsi dasar- yang
diciptakan, ditemukan, atau dikembangkan oleh kelompok tertentu, sewaktu
kelompok tersebut belajar menghadapi masalah-masalahnya berupa adaptasi
eksternal dan integrasi internal – yang telah tebukti berhasil dengan baik, untuk
dianggap valid, dan oleh karena demikian, perlu ditularkan kepada anggota-
anggota baru sebagai cara tepat guna mempersepsi, berpikir, dan merasa
sehubungan dengan masalah-masalah tersebut.”35
Kata ditularkan mengandung arti proses penyampaian kepada yang lain,
disini bisa dimaksudkan dengan pendidikan dan pelatihan. Maka budaya
organisasi yang dibuat akan cenderung untuk disampaikan dalam berbagai forum,
terutama forum-forum formal.
Dalam Mengembangkan Kultur keorganisasian Edgar Schein berpendapat
bahwa kultur keorganisasian terbentuk sebagai reaksi terhadap dua macam
tantangan pokok yang dihadapi oleh setiap organisasi:36
1. Adaptasi eksternal dan ketahanan.
2. Integrasi internal.
34
Sopiah, hlm. 132-135 35
J. Winardi, hlm. 129 36
J. Winardi, hlm. 127-128
19
19
Adaptasi ekternal, dan ketahanan berhubungan dengan bagaimana
organisasi yang bersangkutan akan mencapai suatu “relung” dan mengahadapi
lingkungan eksternal yang terus-menerus mengalami perubahan.
Adaptasi eksternal dan ketahanan mencakup kegiatan menghadapi
persoalan-persoalan berikut:
1. Misi dan strategi: mengidentifikasi misi primer organisasi yang
bersangkutan; memilih strategi-strategi guna mencapai misi tersebut.
2. Tujuan-tujuan; menetapkan tujuan-tujuan spesifik.
3. Alat-alat; menetapkan bagaimana cara mencapai tujuan-tujuan tersebut; di
dalam alat-alat termasuk kegiatan menyeleksi sebuah struktur
keorganisasian dan sistem imbalan.
4. Pengukuran; menetapkan kriteria guna mengukur seberapa jauh para
individu serta tim-tim mencapai tujuan mereka.
Integrasi internal berkaitan dengan penetapan dan pemeliharaan hubungan-
hubungan kerja efektif antara para anggota suatu organisasi. Integrasi internal
mencakup tindakan menghadapi persoalan-persoalan berikut:
1. Bahasa dan konsep-konsep; mengidentifikasi metode-metode komunikasi;
mengembangkan arti berama bagi konsep-konsep penting.
2. Batas-batas kelompok dan tim: Menetapkan criteria untuk keanggoataan di
dalam kelompok-kelompok dan tim-tim
3. Kekuasaan dan status; mendeterminasi peraturan-peraturan untuk
mencapai, mempertahankan dan kehilangan kekuasaan, dan status.
4. Imbalan dan hukuman; mengembangkan sistem-sistem guan mendorong
prilaku yang diinginkan danmencegah timbulnya prilaku yang tidak
diinginkan.
Hanggraeni mengutip pendapat Schein, untuk menciptakan kultur
organisasi ada beberapa tahap yaitu:
1. Pendiri organisasi memiliki keyakinan-keyakinan sendiri.
2. Pendiri organisasi membawa keyakinan-keyakinannya tersebut kepada
satu orang atau lebih dan membentuk grup inti. Grup inti ini saling berbagi
visi dan percaya terhadap risiko.
20
20
3. Grup inti memulai kegiatannya dalam organisasi.
4. Perekrutan anggota-anggota lain ke dalam organisasi.37
Robbins dan Judge mengungkapkan dalam menciptakan kultur terdapat
tiga cara:
1. Pendiri organisasi memiliki keyakinan sendiri dan hanya merekrut dan
mempertahankan anggota yang sepikiran dan seperasaan dengan mereka.
2. Mereka melakukan indoktrinasi dan menyosialisasikan cara berpikir dan
berperilaku mereka kepada anggota lainnya.
3. Pendiri organisasi bertindak sebagai model peran yang mendorong
anggotanya untuk mengidentifikasikan diri, menginternalisasikan
keyakinan, nilai, dan asumsi pendiri tersebut.
Atau bahkan para manajer bisa menunjukkan bagaimana nilai-nilai yang
ada pada dirinya atau falsafah hidupnya yang menjadikannya survive dalam hidup.
Sehingga dapat diterima dan disepakati oleh seluruh karyawan untuk diidolakan.
Maka hal yang demikian itu menjadi budaya dari organisasi.
Adapun untuk mempertahankan kultur, maka Schein menyebutkan:
a. Apa yang menyebabkan para manajer dan tim memusatkan perhatian
kepada sesuatu hal.
b. Reaksi-reaksi terhadap krisis-krisis keorganisasian.
c. Pemodalan peranan manajerial.
d. Criteria untuk imbalan-imbalan
e. Criteria untuk seleksi dan promosi.
f. Ritus-ritus keorganisasian, seremoni-seremoni, kisah-kisah.38
Sedangkan menurut Hanggraeni, dalam mempertahankan kultur adalah
hendaknya memperhatikan tiga hal, yaitu: Seleksi, Manajemen Puncak, dan
Sosialisasi.39
Budaya organisasi dapat diubah, adapun untuk mengubah kultur
keorganisasian adalah dengan jalan40
:
37
Dewi Hanggraeni, hlm. 153. 38
J. Winardi, hlm. 128 39
Dewi Hanggraeni, hlm. 155 40
J. Winardi, Hlm. 129
21
21
1. Mengubah hal-hal yang diperhatikan oleh para manajer dan tim-tim.
2. Mengubah cara-cara dengan apa krisis-krisis ditangani
3. Mengubah criteria untuk merekrut anggota-anggota organisasi baru
4. Mengubah criteria untuk melaksanakan promosi di dalam organisasi yang
bersangkutan
Budaya dapat diubah atau dikelola meskipun harus diakui bahwa untuk
merubahnya membutuhkan biaya yang banyak, dan tak jarang proses
perubahannya membutuhkan waktu yang panjang.
Pengubahan itu dapat dilakukan dengan pendekatan melalui proses seleksi
warga yang akan bergabung dalam organisasi, melalui prilaku manajemen puncak,
dan melalui proses sosialisasi.
3. Isyarat-Isyarat Al-Qur’an dan Hadits tentang Epistimologi Budaya
Organisasi
Hal terpenting bagi proses bagaimana budaya organisasi didapatkan,
dimengerti, dan disampaikan adalah melalui pimpinan-pimpinan atau top
manajemen. Karena pada prosesi yang lain yaitu seleksi dan sosialisasi, adalah
tahap pengembangan dari budaya yang dimiliki oleh pendiri atau pimpinan
organisasi. Sebagaimana Schein sampaikan dalam “Culture Organization and
Leadership”, yaitu bahwa antara budaya organisasi dan kepemimpinan adalah
bagai satu uang logam, yang memiliki dua wajah yang berbeda tetapi merupakan
satu kesatuan.
Oleh karena itu, merupakan hal yang penting bagaimana pemimpin
menjadi teladan bagi bawahannya, sehingga nilai-nilai atau underlying values dari
para pemimpin dishare oleh warga organisasi untuk dijadikan panutan dan
pedoman. Dengan pedoman tersebut warga organisasi dapat menentukan untuk
mana yang baik dan yang tidak baik dalam organisasi.
Allah Swt berfirman dalam Al-Qur‟an mengenai teladan atau contoh yang
baik dalam berbagai surah daam Al-Qur‟an yaitu surah Al-Ahzab ayat 21:
22
22
21. Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan Dia banyak menyebut Allah. (Q.S. Al-Ahzab: 21).
Surah Al-Mumtahanah ayat 4:
4. Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan
orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum
mereka: "Sesungguhnya Kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang
kamu sembah selain Allah, Kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara
Kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu
beriman kepada Allah saja. kecuali Perkataan Ibrahim kepada bapaknya:
"Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat
menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah". (Ibrahim berkata): "Ya Tuhan
Kami hanya kepada Engkaulah Kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah
Kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah Kami kembali." (Q.S. Al-
Mumtahanah: 4)
Dalam surat yang sama, pada ayat ke-6 disebutkan:
6. Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada teladan yang baik
bagimu; (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (pahala) Allah dan
(keselamatan pada) hari kemudian. dan Barangsiapa yang berpaling, Maka
Sesungguhnya Allah Dia-lah yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (Q.S. Al-
Mumtahanah: 6)
Pada surah al-Ahzab ayat 21, kata uswah memiliki makna “teladan”. Az-
Zamakhsyari dalam Quraish Shihab mengemukakan dua kemungkinan tentang
maksud keteladanan yang dimiliki Rasulullah. Pertama, dalam arti kepribadian
23
23
beliau secara totalitasnya adalah teladan. Dan kedua, dalam arti terdapat dalam
kepribadian beliau hal-hal yang patut diteladani.41
Ayat ini berbicara dalam konteks perang Khandaq, yaitu mencakup
kewajiban dan anjuran meneladani beliau. Antara lain keterlibatan beliau secara
langsung dalam membuat parit, dalam berperang, membakar semangat para
pejuang, dan puji-pujian kepada Allah Swt. Demikian juga diungkapkan Ibnu
Katsir, yang menjadikan ayat ini sebagai landasan pokok untuk meneladani Rasul
Saw ketika perang Khandaq atau Ahzab.42
Karena memang sering kita dengar
suatu riwayat sabda Rasulullah Saw tentang dirinya “ ”.
Pada kesimpulannya Quraish Shihab menyebutkan bahwa apa yang
dilakukan oleh Nabi, selama bukan merupakan kekhususan yang berkaitan dengan
kerasulan, dan bukan pula penjelasan ajaran agama, hal itu harus diteliti apakah ia
diperagakan dalam kaitan upaya mendekatkan diri kepada Allah atau tidak. Jika
dinilai berkaitan dengan upaya mendekatkan diri kepada Allah, seperti misalnya
membuka alas kaki ketika shalat, ia termasuk bagian yang diteladani, tetapi jika
tidak tampak adanya indicator bahwa hal tersebut dilakukan dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allah Swt, seperti misalnya menggunakan pakaian
tertentu (misalnya memakai jubah, sandal berwarna kuning, rambut gondron, dan
lain-lain), hal ini hanya menunjukkan bahwa yang demikian itu dapat diikuti, ia
berstatus mubah. Namun, bila ada yang mengikutinya dengan niat meneladani
Nabi saw, maka niat keteladanan tersebut mendapat ganjaran dari Allah Swt.43
Thobari memberikan tafsiran, hendaklah kamu meneladani Rasulullah dan
menjadi sepertinya dalam kondisi apapun dan janganlah kamu berbeda dari beliau,
maka barang siapa yang mengharap pahala dari Allah dan rahmat-Nya hendaknya
tidak mencintai dirinya sendiri –melihat diri sebagai sempurna sehingga enggan
melihat kebaikan dari Rasul- menjadikan Rasul sebagai teladan.44
Pada ayat
41
Shihab, Tafsir Al-Misbah, Jilid 10, hlm. 440 42
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Juz 6, 391 43
Shihab, Tafsir Al-Misbah, Jilid. 10, hlm. 443 44
Thobari, Tafsir Thobari, Juz. 20, hlm. 235
24
24
mengenai Ibrahim As, yang Allah Swt sebutkan sebagai teladan, Thobari
memaknainya sebagai qudwah hasanah.45
Quraish Shihab mentafsirkan surah al-Mumtahanah ayat 4 sebagai berikut:
Ayat di atas menyatakan: Sungguh telah terdapat buat kamu, wahai orang-orang
beriman, suri teladan yang baik pada sikap, tingkah laku, dan kepribadian Nabi
Ibrahim dan orang-orang beriman yang bersama dengannya atau para nabi
sebelum Nabi Ibrahim As. Teladan itu antara lain ketika mereka berkata dengan
tegas kepada kaum mereka yang kafir: "Sesungguhnya kami tanpa sedikit
keraguan pun berlepas diri dari kamu walaupun kamu adalah keluarga kami dan
tentu saja kami pun berlepas diri dari apa yang kamu sembah selain Allah karena
itulah yang menjadi sebab keberpisahan kami dengan kamu. Kami mengingkari,
menolak, lagi tidak merestui kekafiran kamu. Kalau dahulu perselisihan dan
perbedaan kita masih terpendam di dalam lubuk hati, kini hal itu telah demikian
kuat dan kini telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian akibat
penolakan kamu menyembah Tuhan Yang Maha Esa dan kehendak kamu
mengembalikan kami kepada kekufuran. Kebencian dan permusuhan buat selama-
Iamanya sampai kamu beriman kepada Allah Yang Maha Esa semata-mata;
Tetapi ucapan Ibrahim kepada orangtuanya: yaitu: "Sesungguhnya aku pasti akan
memohonkan ampunan bagimu karena hanya itu yang dapat kulakukan dan aku
tidak memiliki sesuatu apa pun untukmu atas hal-hal yang bersumber dari kuasa
Allah yang dapat dijatuhkan-Nya kepada-Mu. Ucapan Nabi Ibrahim ini janganlah
kamu teladani karena Nabi Ibrahim mengatakannya sebelum dia mengetahui
bahwa orangtuanya tetap bersikeras memusuhi Allah. Setelah Nabi mulia itu
mengetahui, ia pun berlepas diri.46
Ayat tersebut menjelaskan tentang apa yang bisa atau dapat dijadikan
teladan pada Nabi Ibrahim dan para pengikutnya, yaitu mengenai sikap, tingkah
laku, dan kepribadiannya. Begitu juga orang-orang yang beriman yang
bersamanya. Teladan yang bisa diambil yaitu bahwa Ibrahim As dengan tegas
untuk tidak berkompromi kepada orang-orang kafir, selama mereka menolak
untuk menyembah Allah Swt. Namun, hal yang tidak boleh diteladani adalah
sikap Ibrahim As, yang memohonkan ampun untuk ayahnya yang kafir. Demikian
itu karena Allah Swt melarangnya.47
Demikian itu dijelaskan oleh Ibnu Katsir.48
45
Thobari, Tafsir Thobari, Juz. 23, hlm. 317 46
Shihab, Tafsir Al-Misbah, Jilid. 13, hlm. 590-591 47
Lihat dalam surah at-Taubah ayat 113, dan 114. 113. Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-
orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun
orang-orang musyrik itu adalah kaum Kerabat (Nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya
25
25
Pada surah al-Mumtahanah ayat 6, terjadi pengulangan untuk menjadikan
Ibrahim As sebagai teladan. Menurut Quraish Shihab, Pengulangan ini juga
bertujuan menguraikan bahwa peneladanan itu merupakan hal yang sangat penting
bagi mereka yang pandangannya jauh melampaui hidup masa kini serta bagi
mereka yang mendambakan kebahagiaan ukhrawi. Ini berarti yang tidak
meneladani beliau terancarn untuk tidak memeroleh kebahagiaan itu.49
Ayat tersebut ditafsirkan oleh Quraish Shihab sebagai berikut:
Ayat di atas menyatakan: Sungguh Kami bersumpah bahwa telah terdapat buat
kamu, wahai umat manusia, pada mereka, yakni Nabi IbrahIm bersama
pengikutnya, teladan yang baik dalam segala aspek kehidupan; yaitu bagi karnu,
wahai orang-orang beriman -orang yang telah mantap hatinya mengharap ganjaran
dan pertemuan mesra dengan Allah T uhan Yang Maha Esa dan mengharapkan
juga keselarnatan pada hari Kemudian. Barang siapa yang tampil meneladani Nabi
IbrahIm makaAllah akan membimbingnya karena Dia Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang dan barang siapa yang berpaling enggan meneladaninya maka Allah
tidak akan memedulikannya sesungguhnya Allah, Dia-lah saja lang Mahakaya,
tidak membutuhkan suatu apa pun, lagi Maha Terpuji.50
Sebagaimana ayat sebelumnya, ayat ke-6 ini merupakan pengulangan atau
penegasan, bahwa dengan meneladani apa yang dilakukan oleh Ibrahim As dan
para pengikutnya, maka balasan dari Allah Swt adalah pertemuan dengan-Nya dan
keselamatan pada hari akhir.
Pada prinsipnya, dari penjelasan tersebut dapat difahami bahwa landasan
epistimologi dari budaya organisasi dapat disarikan dari fungsi keteladanan
pemimpin, dalam hal ini Rasulullah Saw dan Nabiyullah Ibrahim As. Maksudnya
adalah, figur pemimpin memiliki peranan penting untuk membentuk atau bahkan
menentukan budaya yang terbaik untuk warga organisasinya.
orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam. 114. dan permintaan ampun dari
Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah
diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah
musuh Allah, Maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang
yang sangat lembut hatinya lagi Penyantun. 48
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Juz 5, hlm. 236 49
Shihab, Tafsir Al-Misbah, Jilid 13, hlm 594. 50
Shihab, Tafsir Al-Misbah, Jiid, 13, hlm.594
26
26
Rasulullah Saw dan Ibrahim dalam membangun budaya organisasi dengan
teladan. Teladan tersebut tidak sesuatu yang nisbi, namun sesuatu yang kekal.
Kekal tersebut memberikan kebahagiaan di dunia juga di akhirat.
Dalam perspektif Islam kiranya dapat difahami bahwa pemimpin dalam
membangun budayanya tidak berhenti pada kesejahteraan organisasi secara
internal dalam menghadapi tantangan eksternal, namun juga harus mampu untuk
memberikan kesejahteraan di akhirat.
Adapun mengenai metode sosialisasi dan seleksi, terdapat juga dalam al-
Qur‟an seperti dalam surah An-Nahl ayat 125:
125. serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845] dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu
Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan
Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (An-Nahl:
125)
Dalam surah Al-Baqarah Ayat 151 juga dapat dijadikan landasan
epistimoogi dalam bangunan budaya organisasi:
151. sebagaimana (kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami
telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami
kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al kitab dan Al-
Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. (Al-
Baqarah: 151)
Ayat tersebut mengungkapkan tindakan Rasul dalam men-share asumsi-
asumsi dasar, nilai, keyakinan, falsafah, dan bahkan hikmah. Untuk diketahui
umat manusia, dalam hal ini orang-orang yang beriman, agar dapat mendapatkan
kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Adapun hadits Nabi tentang epistimologi budaya organisasi adalah
27
27
Artinya: Sebaik-baik kalian semua adalah barang siapa yang mempelajari al-
Qur‟an maka kemudian ia mengajarkannya. (H.R. Bukhori).51
Artinya: Barangsiapa yang menunjukkan pada kebaikan, maka baginya adalah
pahala sebagaimana orang yang mengerjakannya. (H.R.Muslim).52
Artinya: Barang siapa yang mentradisikan dalam Islam, tradisi yang baik,
kemudian dikerjakannya pada waktu berikutnya, maka baginya pahala
sebagaimana orang yang melakukannya, dan tidak dikurangi pahala-pahalanya
sedikitpun. Dan barangsiapa yang mentradisikan dalam Islam, tradisi yang buruk,
maka kemudian dikerjakannya pada waktu berikutnya, baginya adalah dosa
sebagaiman berat dosa orang yang mengerjakannya, dan tidak dikuranginya beban
tersebut sedikitpun. (H.R. Muslim)53
Artinya: Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang
penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin
akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi
darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya.
Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan
kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.. (H.R.
Bukhori).54
Hadits-hadits tersebut adalah sedikit gambaran mengenai teladan, seleksi,
dan sosialisasi. Dimana tiga hal tersebut memiliki peranan yang signifikan dalam
membentuk budaya ataupun mengembangkannya.
51
Muhammad ibnu Ismail Abu Abdullah al-Bukhori al-Ja‟fi, Shohih Bukhori, (Beirut: Daaru Ibnu
Katsir, 1987) Juz. 4, hlm. 1919 52
Muslim bin Hujjaj Abu al-Husain al-Qusyairy an-Naysabury, Shohih Muslim, (Beirut: Daru
Ihyai Turats al-Arabi, t.t), Juz. 3, hlm. 133 53
Muslim, Shohih Muslim, Juz 8, hlm. 61 54
Bukhori, Shohih Bukhori Juz.2, hlm. 741
28
28
C. AKSIOLOGI BUDAYA ORGANISASI
1. Aksiologi Budaya Organisasi
Tujuan atau fungsi yang didapatkan dari budaya organisasi adalah:
a. Budaya menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dan
yang lain.
b. Budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi.
c. Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada suatu yang lebih luas
daripada kepentingan diri individual seseorang.
d. Budaya merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan
organisasi itu dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk
dilakukan oleh karyawan.
e. Budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu
dan membentuk sikap serta perilaku karyawan.55
Dikutip oleh Sopiah yaitu pendapat WT Heelen & Hunger tentang peranan
yang dimainkan oleh budaya perusahaan adalah:
a. Membantu menciptakan rasa memiliki jati diri bagi pekerja.
b. Dapat dipakai untuk mengembangkan ikatan pribadi dengan perusahaan.
c. Membantu stabilisasi perusahaan sebagai suatu sistem sosial.
d. Menyajikan pedoman perilaku sebagai hasil dari norma-norma perilaku
yang sudah dibentuk.56
Danang Sunyoto dan Bambang mengutip pendapat Safaria,
mengungkapkan fungsi dari budaya organisasi adalah:
a. Sebagai proses integrasi internal, di mana para anggota organisasi dapat
bersatu, sehingga mereka akan mengerti bagaimana berinteraksi satu
dengan yang lain.
b. Sebagai proses adaptasi eksternal, di mana budaya organisasi akan
menentukan bagaimana organisasai memenuhi berbagai tujuannya dan
berhubungan dengan fihak luar.57
55
Hanggraeni, hlm. 153 56
Sopiah, Perilaku Organisasi, (Yogyakarta; Andi, 2008), hlm. 136
29
29
Setiap organisasi cenderung memiliki budaya yang berbeda antara satu
dengan yang lainnya. Budaya yang berbeda disini dapat dimaksudkan dengan
aturan dan tata cara yang berbeda. Dengan perbedaan budaya tersebut, terdapat
identitas yang membedakan satu organisasi dengan organisasi yang lain. Dengan
hal itu juga, terdapat komitmen terhadap budaya yang menjadi identitasnya.
Sehingga antara satu organisasi dengan organisasi yang lain dapat bersaing dan
berlomba dalam menghasilkan produk yang berkualitas.
Secara sederhana, sebagaimana diungkapkan Daft dan Schein, mengenai
fungsi atau tujuan dari budaya organisasi yaitu menjaga kekompakkan dalam
organisasi sehingga kinerja organisasi berjalan efektif atau disebut integrasi
internal. Sedangkan fungsi lainnya adalah adaptasi eksternal, demikian itu
menjadi penting mengingat bahwa perubahan yang begitu cepat akibat
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, memberikan dampak yang
signifikan terhadap produk hasil dari organisasi atau lembaga.
2. Isyarat-Isyarat Al-Qur’an dan Hadits tentang Aksiologi Budaya
Organisasi
Dari pandangan teori budaya organisasi yang telah dipaparkan bahwa
budaya organisasi secara sederhan memiliki tujuan integrasi internal dan adaptasi
eksternal.
Sebagaimana diungkapkan dalam pembahasan ontology budaya
organisasi. Yaitu budaya hendaknya di dasari dengan asumsi-asumsi dasar
mengenai hablun mina Allahi dan hablun mina-n-Naas. Dua hal ini adalah faktor
substantive dalam membangun budaya organisasi. Jika dua hal tersebut diabaikan
maka yang terjadi adalah perpecahan dalam organisasi. Dan jauh dari ketercapaian
tujuan.
57
Dangan Sunyoto dan Bambang, Perilaku Organisasional, (Yogyakarta: CAPS, 2011), hlm. 152
30
30
112. mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka
berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, (Q.S.
Ali Imron: 112)
Bahwa kenistaan dan kehinaan yang ditimpakan kepada orang-orang
Yahudi bila ada pada diri mereka habl mina Allah dan habl mina-n-Naas. Quraish
Shihab menjelaskan kata habl di sini sebagai “tali”. Tali tersebut berasal pertama
dari Allah Swt dan kedua dari antara manusia. Tali dari Allah adalah agama, yang
apabila mereka mau berpegang padanya maka mereka akan selamat dari kehinaan
atau kenistaan tersebut. Dan tali dari manusia adalah perjanjian-perjanjian di
antara manusia.58
Ash-Shabuni, memaknai “habl” dari Allah sebagai Agama.59
Dalam ayat menggunakan kata “min” yang berarti “dari”, ini berarti bahwa
agama itu dari Allah, atau aturan-aturan agama dari Allah.
Dengan demikian, asumsi-asumsi yang tujuh, asumsi tentang kebenaran,
realitas, waktu, tempat, aktivitas manusia, hakikat manusia, hubungan manusia
dengan alam. Harus dimaknai bagaimana Al-Qur‟an memaknai hal-hal tersebut.
Senada dengan kata “habl” yaitu terdapat dalam al-Qur‟an, Allah Swt
berfirman:
103. dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah
kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu
dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu,
lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan
kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari
padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu
mendapat petunjuk. (Q.S. Ali Imron: 103)
Quraish Shihab, mengartikan “habl” pada ayat ini sebagai tali, yaitu apa
yang digunakan untuk mengikat sesuatu guna mengangkatnya ke atas atau
menurunkannya ke bawah agar sesuatu itu tidak terjatuh atau terlepas. Fakhruddin
58
Shihab, Tafsir Al-Misbah, Jilid 2. hlm. 226 59
Ash-Shabuni, Shafwatu-t-Tafaasir, Juz.1, hlm. 201
31
31
Ar-Raazi menyebutkan, setiap orang yang berjalan pada jalan yang sulit pasti
khawati tergelincir jatuh, tetapi jika ia berpegang pada tali yang terulur pada
kedua ujung jalan yang dilaluinya, dia akan merasa aman dan tidak terjatuh,
apalagi apabila tali tersebut kuat dan cara memegangnya pun kuat.60
Abu Ja‟far dalam Thobari mengartikan “melekatlah dengan sebab-sebab
Allah dalam segala hal”, kemudian Thobari memberikan penjelasan, dan
berpeganglah dengan agama Allah yang memerintahkan kalian dengannya, dan
janjin-Nya yang dijanjikan kepadamu dalam Al-Qur‟an kepadamu, dari persatuan,
perkumpulan pada agama yang benar, dan berpasrah untuk urusan Allah.61
Qurthubi, menjelaskan “hablillah” yaitu dengan Al-Qur‟an. Al-Qur‟an
dijadikan sebagai pegangan yang kuat dan menguatkan.62
Zamakhsyari menjelaskan “dan berkumpullah atas apa yang kamu minta
dengan Allah dan kekuatanmu dengan-Nya, dan janganlah berpisah dari-Nya.
Atau berkumpullah dengan pegangan janji-Nya kepada hamba-hamba-Nya yaitu
keimanan dan ketaatan.” Berikut Zamakhsyari mengutip hadits Rasul Saw:
Dari pemaparan dua ayat tersebut, yaitu surah Ali Imron ayat 112 dan ayat
103. Dapat difahami bahwa agama Allah bagi umat Islam yaitu dalam Al-Qur‟an
dan agama dari Allah bagi orang Yahudi adalah hal mutlak untuk dijadikan
pegangan. Selain dengan perjanjian-perjanjian di antara manusia yang telah
disepakati bersama.
Manfaat yang didapatkan apabila berpegang terhadap dua hal tersebut,
adalah persatuan dalam kelompok. Demikian itu selaras dengan fungsi budaya
organisasi yaitu mengintegrasikan kondisi internal. Maksudnya adalah dengan
berpegang pada agama Allah yang diturunkan dala indicator-indikator budaya
organisasi akan merekatkan hubungan di dalam organisasi.
60
Shihab, Tafsir Al-Misbah, Jilid 2, hlm. 103 61
Thobari, Tafsir Thobari, Juz. 7, hlm. 70 62
Qurthubi, Tafsir Qurthubi, Juz. 4, hlm. 156 63
Zamakhsyari, Al-Kasysyaaf, Juz.1, 197
32
32
Dengan integrasi yang kuat, akan membantu organisasi dalam menghadapi
tantangan eksternal. Semua itu dengan bantuan Allah Swt. Dan Allah akan
membantu umat-Nya selama ia berpegang pada agama Allah.
Dalam suatu riwayat disebutkan, Rasulullah Saw bersabda:
Dari berbagai hadits tersebut, mengarahkan kita untuk bersatu dan saling
tolong menolong, utamanya adalah tolong menolong dalam kebaikan.
Isyarat-isyarat yang ditunjukkan dalam pemaparan dari Al-Qur‟an dan
Hadits, dapat dipahami bahwa untuk menguatkan organisasi dibutuhkan
persamaan tujuan, persamaan strategi, persamaan asumsi dasar, demikian itu
semua disebut budaya organisasi. Sehingga, dengan itu semua menjaga life cycle
organisasi atau kelompok
D. BUDAYA ORGANISASI DALAM SEJARAH ISLAM
Quraish Shihab menyebutkan bahwa kata umat berakar dari kata berarti
“tumpuan”, “sesuatu yang dituju”, dan “tekad”. Dari kata yang sama dibentuk
kata umm yang berarti “ibu”, yang merupakan tumpuan seorang anak. Al-Qur‟an
menggunakan kata ini untuk arti yang menggambarkan adanya ikatan-ikatan
tertentu untuk menghimpun sesuatu. Manusia adalah umat pada saat terjalinnya
ikatan yang menghimpun mereka. 67
Beliau juga mengutip definisi yang diberikan oleh Ali Syari‟ati dalam
bukunya Al-Ummah wa Al-Imamah, bahwa makna akar kata ini memiliki tiga
pesan pokok, yakni pergerakan, tujuan, serta ketetapan atas dasar kesadaran
64
Muslim, Shohih Muslim, Juz.8, hlm. 71 65
Muslim, Shohih Muslim, Juz. 4, hlm. 1999 66
Ahmad, Musnad Ahmad, Juz. 40, hlm. 32 67
Quraish Shihab, Lentera Al-Qur’an: Kisah dan Hikmah Kehidupan, (Bandung: Mizan, 2013),
hlm. 306
33
33
penuh.68
Secara istilah yaitu “himpunan manusiawi yang seluruh anggotanya
bersama-sama menuju satu arah, bahu-membahu, dan bergerak secara dinamis di
bawah kepemimpinan bersama”.69
Manusia sebagai makhluk sosial harus terhimpun dalam satu wadah
menujuh arah tertentu yang diupayakan melalui kerja bersama untuk mencapai
tujuan bersama. Himpunan tersebut dapat dalam bentuk kegiatan sosial
masyarakat, perdagangan, kemanusiaan, kebangsaan, etnis, dan agama.
Pada saat berkumpulnya manusia dengan kerja secara bersama untuk
tujuan bersama maka umat dapat disebut sebagai organisasi. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa organisasi juga dapat dihimpun dari varian kegiatan
manusia. Maka ayat-ayat yang terkait dengan umat dapat dijadikan sandaran
untuk mengelola organisasi, termasuk juga budaya organisasi.
Boleh dikatakan bahwa hampir semua organisasi beridiologi Islam,
mendasari budaya organisasinya pada Al-Qur‟an dan Hadits. Hal ini bersifat
mutlak, karena fungsi Al-Qur‟an dan Hadits dalam strata umat Islam adalah
sebagai pedoman dan petunjuk yang harus dipercayai dan diamalkan. Bahkan
jikalau tidak mengambilnya secara nyata, dapat dikatakan bahwa yang
menginspirasi budaya organisasi tersebut adalah Al-Qur‟an dan Hadits. Faktanya
adalah, benar bahwa mereka tidak menuliskan ayat-ayat Al-Qur‟an atau Hadits
dalam norma, aturan, adat istiadat, hukum, dan ritual-ritual keorganisasian.
Namun apa yang mereka tuliskan adalah turunan dari ayat-ayat Al-Qur‟an dan
Hadits Nabi.
Contoh yang paling kongkrit adalah apa yang disampaikan oleh Allah Swt,
mengenai harapan bagi umat Islam yaitu sebagai umat pertengahan, atau umat
yang moderat, yang tidak ekstrim pada satu sisi materialis, dan pada aspek yang
lain sisi ruhani saja. Demikian itu adalah dalam rangka mengajak umat Islam
untuk selalu berperan aktif, berinteraksi, berdialog, dan terbuka terhadap berbagai
kelompok atau wadah yang berbeda. Yang demikian itu, menjadikan umat Islam
68
Shihab, Lentera Al-Qur’an, hlm. 306 69
Shihab, Wawasan Al-Qur’an, hlm. 433
34
34
sebagai saksi untuk selalu berbuat adil. Dan Muhammad sebagai saksi atas
keadilan umatnya.
Dalam buku Muqaddimah yang ditulis oleh Ibnu Khaldun terdapat satu
pasal khusus menunjukkan tentang symbol-simbol khusus bagi raja dan sultan.
Diantaranya adalah atribut, penerbitan mata uang, Al-Khatam (Stempel), Ath-
Thiraz (Lukisan pada busana), tenda besar dan pagar dinding, dan anjungan
khusus untuk shalat dan do‟a dalam khutbah.70
Semua symbol tersebut memiliki muatan-muatan nilai. Sebagai contoh
adalah mengenai mata uang. Sebagaimana diungkapkan oleh Said bin Al-
Musayyab dan Abu Az-Zinad, bahwa Khalifah Abdul Malik memerintahkan Al-
Hajjaj untuk mencetak dirham dan membedakan mana yang murni dan mana yang
campuran. Hal itu terjadi pada tahun 75 H. Al-Madani menyebutkan pada tahun
75 H. Dan pada tahun 76 H, di atasnya ditulis “Allahu Ahad Allahu Ash-
Shamad”.71
Artinya adalah bahwa dalam meletakkan kalimat “Allahu Ahad Allahu
Ash-Shamad” dalam mata uang, memberikan makna bahwa untuk menjamin
kejujuran dari proses perdagangan yang menggunakan Dirham dan Dinar yang
berbahan dasar emas dan perak tidak dapat dikendalikan kecuali dengan kejujuran
dari masyarakat. Dan Allah Swt adalah satu-satunya tempat bergantung akan
harapan atas kejujuran rakyatnya.
Yang terjadi selanjutnya adalah bahwa dengan inovasi yang demikian itu,
mengurangi kecurangan-kecurangan yang muncul sebelumnya akibat dari
penipuan-penipuan dan pemalsuan yang terjadi saat itu.
Dan perlu diketahui bahwa tulisan tersebut berkembang pada masa-masa
berikutnya, diantaranya adalah “Barakatullah”, “Laa ilaahaillaallah”,
“Alhamdulillah”, Shalawat pada nabi, dan nama khalifah beserta tanggalnya.
Mata uang adalah satu symbol yang dapat digunakan oleh suatu lembaga
dalam hal ini Negara untuk mengungkapkan identitasnya, normanya,
keyakinannya, dan asumsi-asumsi yang terkait dengan symbol mata uang tersebut.
70
Muhammad Ibnu Khaldun, Muqaddiman Ibnu Khaldun, terj. Masturi Ilham, Malik Supar,
Abidun Zuhri, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2011), hlm. 459-478 71
Muhammad Ibnu Khaldun, hlm. 464
35
35
Dengan demikian menjadikannya sebagai media penyebaran atau sosialisasi dari
budaya suatu Daulah atau Negara pada saat itu.
Symbol adalah salah satu model artifak dalam budaya organisasi. Artinya
bahwa symbol uang yang dilekatkan dalamnya kalimah thayyibah adalah sebagai
jalan mensakralkan transaksi jual beli. Dimana jual beli tidak dimaknai sebagai
dimensi wujud duniawi antara kebutuhan dan permintaan. Akan tetapi lebih dari
itu yaitu nilai kemanfaatan dari jual beli tersebut untuk kebahagiaan dunia dan
ahirat.
E. KESIMPULAN
Budaya organisasi merupakan bagian dari proses organisasi. Dengan
adanya budaya organisasi atau organization culture dapat menunjukkan identitas
bagi organisasi yang membedakan antara satu organisasi dengan yang lainnya.
Juga menjadikan organisasi memiliki sistem imun untuk menjaga diri terhadap
perkembangan dan tantangan dari luar organisasi.
Budaya organisasi adalah nilai, norma, peraturan-peraturan, keyakinan
bersama, falsafah yang dianut organisasi. Dan tindakan dari hal-hal tersebut
adalah diyakini, diikuti, dihormati, dan disampaikan kepada yang lain sehingga
menjadi pembeda antara satu organisasi dengan organisasi yang lainnya.
Objek dari budaya organisasi adalah hal-hal yang nampak dan hal-hal
yang tidak tampak. Hal-hal yang tampak tersebut adalah seperti ritual-ritual,
symbol-symbol, cerita, pola berpakaian, dan bahasa. Sedangkan hal yang tidak
tampak adalah seperti nilai-nilai, keyakinan, falsafah, dan asumsi dasar.
Untuk eksistensi dari suatu organisasi maka budaya organisasi harus
disampaikan secara turun temurun dari mulai pegawai yang baru masuk sampai
dengan pegawai yang lama. Dengan tujuan agar dapat dijadikan suatu makna
bersama, dalam bertindak dan berinteraksi baik secara internal ataupun eksternal.
Proses penyampaian inilah yang disebut dengan sosialisasi.
Manfaat yang didapatkan dari terbentuknya budaya organisasi adalah
terbentuknya identitas organisasi yang mana dengan identitas tersebut dapat
memudahkan pengelolaan sistem dalam organisasi. Secara pegawai akan dapat
36
36
mengambil sikap atau keputusan dalam menghadapi tantangan-tantangan secara
internal ataupun eksternal.
Dalam perspektif Islam dalam hal ini dalam Al-Qur‟an dan Hadits,
terdapat isyarat-isyarat yang mengarah untuk membangun budaya organisasi yang
baik. Yaitu tidak terbatas pada keuntungan duniawi, namun juga untuk
kebahagiaan di akhirat. Demikian itu dapat diambil hikmah dari surat Al-Hujurat
ayat 13, dan surah Ali Imron ayat 112, sebagai ontologi budaya organisasi. Dan
surah Al-Ahzab ayat 21, Al-Mumtahanah ayat 4 dan 6 sebagai epistimologi
budaya organisasi. Sedangkan aksiologi budaya organisasi dapat diambil
hikmahnya dari surah Ali Imron ayat 112 dan ayat 103.
Adapun mengenai sejarah umat Islam yang menggunakan budaya
organisasi adalah sejalan seiringan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam
Al-Qur‟an dan Hadits. Yaitu bahwa nilai-nilai tersebut selalu dijadikan pegangan
dan pedoman dalam berserikat dan berkumpul dalam organisasi.
Dalam menggunakan artifak, Islam menekankan untuk berpegang kepada
agama Allah. Yaitu agar artifak itu tidak lepas dari Islam, tentu asumsi-asumsi
dasar yang tujuh, tidak dimaknai untuk hal-hal yang bersifat duniawi dan
sementara. Sehingga dimaknai dengan dimensi ukhrawi lebih kuat. wa’tashimuu
bihablillah.
Waallahu a’lam bi-sh-Shawab.
37
37
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur‟an al-Karim
Ash-Shabuni, Muhammad Ali, Shafwatu-t-Tafaasir: Tafsiiru-l-Qur’an Al-Karim,
Juz.1 Cairo: Daaru Shabuni li-th-Thiba‟ah Wa-n-Nasyr Wa-t-Tawzi‟, 1997
Ath-Thabari, Abu Ja‟far bin Jarir, Tafsir ath-Thabari: Jaami’ al-Bayaan ‘an
Takwiili Ayi al-Qur’an, Juz. 2, Beirut: Ad-Daar Asy-Syamiyah, 1997
Az-Zamakhsyari, Abu Qasim Jaarullah Mahmud bin Umar, Al-Kasysyaf ‘an
Haqaiq at-Tanzil wa ‘Uyuuni-l-Aqaawiil fi wujuuhi-t-Takwil, Juz. 1, al-
Fajaalah: Maktabah Misra, t.t
Bukhori, Muhammad ibnu Ismail Abu Abdullah, Shahih Bukhori, Beirut: Daaru
Ibnu Katsir, 1987
Daft. Richard L, Understanding the Theory and Design of Organizations,
Vanderbilt University: Thomson South Western, 2007
Gibson, Ivancevich, Donelly, Organisasi Perilaku Struktur Proses Jilid 1,Edisi
ke-5 Tanpa Kota: Erlangga, 1985
Hanggraeni. Dewi, Perilaku Organisasi: Teori, Kasus, dan Analisis, Jakarta:
LPFEUI, 2011
Ibnu Katsir, Imadu-d-Diin Abi al-Fida Ismail, Tafsir al-Qur’an al-‘Adziim. Juz 1.
Cairo: Al-Maktabah at-Tawfiiqiyah, t.t
Ibnu Khaldun, Muhammad. Muqaddiman Ibnu Khaldun, terj. Masturi Ilham,
Malik Supar, Abidun Zuhri, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2011
Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Mahily dan Jalaluddin Abdu Rahman
bin Abu Bakar as-Suyuthi, Tafsir Jalalayn, Beirut: Daru Shaadir, 2003
Kusdi, Budaya Organisasi: Teori, Penelitian dan Praktek, Cet. Pertama, Jakarta,
Salemba Empat, 2011.
Maluf, Loise, Al-Munjid fi Lughah wa al-‘Alaam, Beirut: Daaru-l-Masyriq, 1986
Mandzur, Abu al-Fadhl Jamaluddin Muhammad bin Mukrim, Lisaanu-l-Arab, Al-
Mujallad 1. Beirut: Daaru Shaadir, 1997
Maktabah Syamilah, Ver. 2.11
38
38
Muslim bin Hujjaj Abu al-Husain al-Qusyairy an-Naysabury, Shohih Muslim,
Beirut: Daru Ihyai Turats al-Arabi, t.t
Qomar. Mujamil, Strategi Pendidikan Islam, Jakarta: Erlangga, 2013
Qurthubi, Abu Ahmad bin Muhammad Al-Anshari, Tafsir al-Qurthubi, Juz. 3,
Cairo: Maktabah al-Iman, t.t
Raharjo. M. Dawam, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-
Konsep Kunci, Jakarta: Paramadina, 1996
Robbins. Stephen P. & Judge. Timothy A, Organizational Behavior, Twelfth
Edition. New Jersey: Pearson Education, Inc. 2007
Shihab, Quraish, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an,
Jakarta: Lentera Hati, 2002
____, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat.
Bandung: Mizan, 2013
____, Lentera Al-Qur’an: Kisah dan Hikmah Kehidupan, Bandung: Mizan, 2013
Sopiah. Perilaku Organisasi, Yogyakarta; Andi, 2008
Sunyoto, Dangan dan Bambang. Perilaku Organisasional, Yogyakarta: CAPS,
2011
Tilaar, H.A.R, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia:
Strategri Reformasi Pendidikan Nasional, Bandung: P.T Remaja
Rosdakarya, 2002
Widodo, Manajemen Perubahan, Jakarta; Rajawali Pers, 2008
Winardi. J, Manajemen Perubahan, Jakarta: Kencana, 2006
Yusuf, Muhammad, Qur’an In Word, ver. 1.3
www.almaany.com/quran/3/112/6/ diakses 27 November 2014 jam 21.32