Bu Yudani Full
-
Upload
widanjaya-made -
Category
Documents
-
view
36 -
download
4
description
Transcript of Bu Yudani Full
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rumah sakit sebagai institusi pemberi pelayanan harus mampu merespon
tuntutan yang berkembang agar mampu bersaing dengan institusi pemberi pelayanan
yang lain. Untuk memenangkan persaingan, rumah sakit harus mampu memberikan
kepuasan kepada pasien misalnya dengan memberikan pelayanan yang bermutu dan
harganya lebih murah daripada para pesaingnya (Supranto, 2001). Tingkat kepuasan
pasien tergantung pada mutu pelayanan yang diberikan rumah saklt kepada pasien.
(Supranto,2001). Ada tiga tingkat kepuasan, bila penampilan kurang dari harapan
pasien tidak dipuaskan. Bila penampilan sebanding dengan harapan, pasien puas.
Apabila penampilan melebihi harapan, pasien amat puas atau senang (Wijono, 2002).
Perawat sebagai petugas yang selalu berhubungan dengan pasien harus
memiliki banyak ketrampilan, salah satunya adalah ketrampilan interpersonal yaitu
ketrampilan dalam berkomunikasi dengan pasien. Komunikasi merupakan proses
kompleks yang melibatkan perilaku dan memungkinkan individu untuk berhubungan
dengan orang lain dan dunia sekitarnya (Potter dan Perry, 2005). Perawat yang
memiliki ketrampilan berkomunikasi secara terapeutik (menyembuhkan) tidak saja
akan mudah menjalin hubungan rasa percaya dengan klien, mencegah terjadinya
masalah illegal, memberikan kepuasan profesional dalam pelayanan keperawatan dan
meningkatkan citra profesi keperawatan serta citra rumah sakit,
Selain komunikasi yang efektif, perilaku yang baik yang dicerminkan melalui
perilaku caring seorang perawat juga sangat diperlukan pasien dalam pelayanan
keperawatan. Caring merupakan proses interpersonal yaitu hubungan yang terjadi
antara perawat dengan klien yang merupakan bagian dari intervensi yang membantu
dalam pemenuhan kebutuhan manusia dalam meningkatkan kesehatan,
mengembalikan klien pada kondisi sehat dan mencegah kesakitan Watson (1979,
dikutip dari Potter & Perry, 2005).
Caring merupakan bagian inti yang penting terutama dalam praktik
keperawatan. Leinenger (1984) menyatakan care berasal dari dalam hati danutama
dalam keperawatan yang dimanifestasikan melalui caring yang merupakan ciri yang
dominan, khusus, serta tidak terpisahkan dalam keperawatan. Leinenger mengatakan,
tidak ada cure tanpa caring, tapi dapat ada caring tanpa curing. Ia menekankan bahwa
human caring merupakan fenomena yang universal, memiliki ekspresi, proses dan
pola yang berbeda antar budaya (Synder, 2011).
Watson (1979) juga menekankan dalam sikap caring ini harus tercermin
sepuluh faktor caratif yang berasal dari perpaduan nilai-nilai humanistik dengan ilmu
pengetahuan dasar. caring juga menekankan harga diri individu, artinya dalam
melakukan praktik keperawatan, perawat senantiasa selalu menghargai klien dengan
menerima kelebihan maupun kekurangan klien. Watson juga mengemukakan bahwa
respon setiap individu terhadap suatu masalah kesehatan unik, artinya perawat harus
mampu memahami setiap respon yang berbeda dari klien terhadap penderitaan yang
dialaminya dan memberikan pelayanan kesehatan yang tepat dalam setiap respon
yang berbeda Watson (1979, dikutip dari Sartika, 2011).
Caring menolong klien meningkatkan perubahan positif dalam aspek fisik,
psikologis, spiritual, dan sosial (Tomey &Alligood, 2006). Dalam memberikan
asuhan, perawat menggunakan kata-kata yang lemah lembut, sentuhan, memberikan
harapan, selalu berada disamping klien, semangat caring harus tumbuh dalam diri
setiap perawat dan berasal dari hati perawat yang terdalam. Cooper (1999 dikutip dari
Dwiyanti, 2010).
Perilaku caring sangat penting karena akan memberikan kepuasan pada klien
sehingga diharapkan setiap perawat memahami konsep caring dan mengaplikasikan
dalam asuhan keperawatan. Selain itu perilaku caring dapat mempengaruhi kualitas
layanan kesehatan dan kepuasan klien di rumah sakit, dimana kualitas pelayanan
menjadi penentu citra institusi pelayanan yang dapat meningkatkan kepuasan pasien
dan mutu pelayanan (Saputri, 2010).
Hasil penelitian yang dilakukan Ariani (2006) yang bertujuan
mengidentifikasi perilaku caring perawat dalam melakukan askep pada klien di ruang
rawat inap Rindu B2 RSUP H. Adam Malik Medan menunjukkan bahwa (88,6%)
perawat sudah berperilaku caring dan (11,4%) perawat tidak berperilaku caring
berdasarkan sepuluh faktor-faktor caratif yang diungkapkan oleh Watson faktor
caratif yang banyak dilakukan perawat adalah menggunakan problem solving dalam
pengambilan keputusan (80%) dan faktor yang paling sedikit dilakukan perawat
adalah peningkatan belajar mengajar interpersonal (69,52%), berarti perawat telah
menunjukkan perilaku caring dalam memberian askep pada klien.
Namun penelitian oleh suwardi (2008) terhadap komunikasi terapeutik
perawat di RSU Pandan Arang Boyolali yang dijumpai masih ada perawat yang
cenderung emosi saat menerima keluhan dari klien, perawat yang hanya dudukduduk
di ruang perawat, perawat yang cenderung tidak tahu mengenai kondisi klien, dan
perawat kurang memahami keluhan yang dirasakan klien ini menunjukkan bahwa
masih ada perawat yang belum caring.
Kepuasan pasien merupakan faktor yang sangat penting untuk mengevaluasi
mutu pelayanan keperawatan yang dilakukan oleh perawat di rumah sakit dan
perilaku caringperawat adalah salah satu aspek yang berhubungan dengan pelayanan
keperawatan, karena caring mencakup hubungan antar manusia dan berpengaruh
terhadap mutu pelayanan dan kepuasan pasien. Kepuasan pasien dapat dinilai dari
beberpa dimensi yang meliputi: tangibles, reliability, responsiveness, assurance dan
emphaty (Kotler, 2003). Hal ini didukung oleh penelitian Shirley dkk., (2012) tentang
tingkat kepuasan pasien dibangsal orthopedi dengan kepedulian perawat di Rumah
Sakit Universitas Sains Malaysia, didapatkan bahwa 82,7% merasa puas dengan
pelayanan perawat seperti menghargai pasien, tenang, lemah lembut, perhatian, kasih
sayang dan empati.
Penelitian dibeberapa rumah sakit Indonesia terkait kepuasan pasien antara
lain yang dilakukan oleh Mustofa., (2008) tentang hubungan antara persepsi pasien
terhadap dimensi mutu pelayanan keperawatan dengan kepuasan pasien rawat inap di
RSU Muhammadiyah Temanggung, menunjukkan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara persepsi pasien terhadap dimensi mutu pelayanan keperawatan
dengan kepuasan pasien.
RSUP Sanglah Denpasar merupakan Rumah Sakit Pusat Rujukan di wilayah
Bali dan Indonesia Timur, berdasarkan studi pendahuluan terhadap 10 orang pasien di
Ruang Irna C RSUP Sanglah Denpasar yang merupakan ruangan dengan sebagian
besar pasien kelas III menunjukkan bahwa 5 orang pasien mengatakan masih kurang
puas dengan pelayanan yang diberikan oleh perawat, dan 3 orang mengatakan masih
ada perawat yang judes atau tidak memberikan jawaban yang memuaskan ketika
pasien bertanya tentang penyakit atau terapi yang diberikan. Selain itu, pada tahun
2014, berdasarkan hasil survey kepuasan di RSUP Sanglah Denpasar pada periode
Januari – Desember 2014 diperoleh bahwa sejak bulan Januari – Desember 2014
pencapaian cenderung belum tercapai (Indikator pencapaian ≥90%) Bulan Januari
tampak hanya 80,5%, kemudian Februari 80,6%, Maret 78,6%, April 80,6%, Mei
78,9%, Juni 79,1%, Juli 79,5%, Agustus 79,6%, September 80,9%. Triwulan IV
Oktober 80.2%, November 78.3% dan Desember 82.3%. Beberapa keluhan pelayanan
yang spesifik seperti penilaian kamar mandi, keramahan petugas dan lain lain.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan
antara komunikasi terapeutik dan perilaku caring perawat dengan tingkat kepuasan
pasien di Ruang Irna C RSUP Sanglah Denpasar.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah adalah sebagai berikut : “Adakah hubungan antara
komunikasi terapeutik dan perilaku caring yang dilakukan perawat dengan tingkat
kepuasan pasien di ruang Irna C RSUP Sanglah Denpasar?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara komunikasi terapeutik dan perilaku caring dengan
tingkat kepuasan pasien di Ruang Irna C RSUP Sanglah Denpasar.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi komunikasi terapeutik yang dilakukan oleh perawat di ruangan
Irna C RSUP Sanglah Denpasar
b. Mengidentifikasi perilaku caring yang dilakukan oleh perawat di ruangan Irnca C
RSUP Sanglah Denpasar
c. Mengidentifikasi tingkat kepuasan pasien di Ruang Irna C RSUP Sanglah
Denpasar
d. Menganalisis hubungan antara komunikasi terapeutik dengan kepuasan pasien di
Ruang Irna C RSUP Sanglah Denpasar
e. Menganalisis hubungan antara perilaku caring dengan kepuasan pasien di Ruang
Irna C RSUP Sanglah Denpasar
1.4 Manfaat Penelitian
2. Teoritis
Dapat digunakan sebagai bahan oleh peneliti selanjutnya dalam mengembangkan
perilaku caring, komunikasi terapeutik perawat untuk meningkatkan mutu pelayanan
di rumah sakit.
3. Praktis
Dapat digunakan oleh manajemen untuk meningkatkan pelayanan kesehatan di
rumah sakit melalui peningkatan perilaku caring dan komunikasi terapeutik pasien
selama di rumah sakit.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA KONSEP
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Konsep Caring
2.1.1.1 Pengertian Caring
Caring adalah esensi dari keperawatan yang berarti juga pertanggungjawaban
hubungan antara perawat-klien, dimana perawat membantu berpartisipasi, membantu
memperoleh pengetahuan dan meningkatkan kesehatan. Caring adalah esensi dari
keperawatan yang merupakan fokus dan sentral dari praktik keperawatan (Barnum,
1998). Caring dalam keperawatan adalah hal yang sangat mendasar. Caring
merupakan “heart” profesi, artinya sebagai komponen yang fundamental dari fokus
sentral serta unik dari keperawatan (Barnum, 1994). Meskipun perkataan caring telah
digunakan secara umum, tetapi tidak terdapat definisi dan konseptualisasi yang
universal mengenai caring itu sendiri (Swanson, 1991, dalam Leddy, 1998).
Setidaknya terdapat lima perspektif atau kategori mengenai caring, yaitu caring
sabagai sifat manusia (Benner & Wrubel, Leininger), caring sebagai intervensi
terapeutik (Orem), dan caring sebagai bentuk kasih sayang (Morse et al., 1990, dalam
Leddy, 1998).
Caring sulit untuk didefinisikan karena memilki makna banyak : sebagai kata benda
atau kata kerja, sebagai sesuatu yang dapat dirasakan, sebagai sikap atau perilaku
(Berger & Williams, 1992). Meskipun demikian, pakar-pakar keperawatan banyak
yang telah melakukan pendekatan-pendekatan untuk mendefinisikan dan menjabarkan
perilaku caring. Sedangkan perilaku caring perawat adalah suatu perilaku yang
meliputi seperti : mendengarkan penuh perhatian, hiburan, kejujuran, kesabaran,
tanggung jawab, menyediakan informasi sehingga pasien dapat membuat keputusan
(Watson, 2007).
Pada tahun 1970 Wiedenbach menyatakan bahwa tujuan dari seseorang pereawat
adalah bagian dari efektifitasnya, dimana pekerjaan yang sama akan memiliki hasil
yang berbeda apabila dilakukan dengan atau tanpa caring. Seni dari keperawatan
terletak pada pemikiran dan perasaan yang digunakan perawat dalam mengobservasi
pasiennya, mengidentifikasi dan melayani kebutuhannya, dan memvalidasi bahwa
pertolongan yang diberikannya bermanfaat bagi pasien (Wiedenbach, 1963, dalam
Barnum, 1994).
Leininger pada tahun 1981 berpendapat bahwa caring adalah komponen umum dalam
keseluruhan pelayanan keperawatan, dan tanpa perilaku ekspresi, dan aktifitas
terapeutik caring, pelayanan keperawatan menjadi tidak lengkap, tidak adekuat dan
dapat dipertanyakan (Leininger, 1981, dalam Berger & Williams, 1992). Pada tahun
1984 Leininger kembali mendefinisikan caring yaitu merujuk kepada pemberian
asuhan yang langsung (maupun tidak langsung) dan aktifitas yang memerlukan
keterampilan penuh, proses, dan keputusan dalam mendampingi seseorang dengan
cara yang merefleksikan atribut-atribut perilaku seperti empati, suportif, perasaan
haru, melindungi, memberi pertolongan, edukasi dan lainnya tergantung pada
kebutuhan, masalah, nilai dan tujuan dari orang atau kelompok yang didampingi
tersebut (Leininger, 1984, dalam Kozier & Erb, 1985)
Pakar keperawatan yang dianggap telah membawa paradigma baru mengenai caring
adalah Jean Watson yang pada tahun 1988 mengemukakan asumsi-asumsi mendasar
mengenai caring di dalam bukunya yang pertama, Nursing : The Philosophy and
Science of Caring, yaitu :
1. Human care hanya dapat diterapkan secara efektif melalui hubungan interpersonal.
2. Caring terdiri dari faktor-faktor carative yang menghasilkan kepuasan di dalam
pemenuhan kebutuhan manusia.
3. Caring yang efektif akan meningkatkan kesehatan dan pertumbuhan individu
maupun keluarga.
4. Respon-respon caring tidak hanya menerima keadaan seseorang saat itu, tetapi juga
keadaan selanjutnya.
5. Lingkungan perawatan adalah lingkungan yang memacu pengembangan potensi
dan kemungkinan seseorang untuk memilih kegiatan yang terbaik bagi dirinya.
6. Caring bersifat lebih “healthogenic” daripada “curing”. Artinya bahwa caring lebih
menekankan pada peningkatan kesehatan daripada pengobatan. Di dalam praktiknya
caring mengintegrasikan pengetahuan biofisik dan pengetahuan perilaku manusia
untuk meningkatkan derajat kesehatan dan untuk menyediakan pelayanan bagi
mereka yang sakit.
7. Caring merupakan sentral bagi keperawatan (Watson, 1988, dalam Dwidiyanti,
1998; Barnhart, et al., 1994, dalam Mariner-Tomey, 1994).
Pada tahun 1988 di dalam bukunya yang kedua, Nursing Human Science and Human
care: A Theory of Nursing. Watson mengemukakan 11 asumsi yang berhubungan
dengan caring :
1. Perhatian dan kasih sayang merupakan kekuatan batin yang utama dan universal.
2. Kasih sayang yang bermutu dan caring adalah penting bagi kemanusiaan, tetapi
sering diabaikan dalam hubungan antar sesama.
3. Kemampuan untuk menyokong ideologi dan ideal caring di dalam praktik
keperawatan akan mempengaruhi perkembangan dari peradaban dan menentukan
kontribusi keperawatan pada masyarakat.
4. Caring terhadap diri sendiri adalah prasyarat bagi caring terhadap orang lain.
5. Keperawatan selalu memegang konsep caring di dalam berhubungan dengan orang
lain dalam rentang sehat-sakit.
6. Caring adalah esensi dari keperawatan dan merupakan fokus utama dalam praktik
keperawatan.
7. Praktik keperawatan secara signifikan telah menekankan pada Human care.
8. Fondasi caring keperawatan dipengaruhi oleh teknologi medis dan birokrasi
institusi.
9. Penyediaan dan perkembangan dari Human care menjadi isu yang hangat bagi
keperawatan untuk saat ini maupun masa yang akan datang.
10. Human care hanya dapat diterapkan secara efektif melalui hubungan
interpersonal.
11. Kontribusi keperawatan kepada masyarakat terletak pada komitmen pada Human
care. (dikutip dari Barnhart, et al., 1994, dalam Mariner-Tomey, 1994; Boyd & Mast,
1989 dalam Fitzpatrick & Whall, 1989).
Berbagai penelitian telah menyatakan tentang caring sebagai fokus sentral
keperawatan (Wolf, et al., 2003). Stanizewska & Ahmed (1998) menyatakan di dalam
penelitiannya bahwa harapan pasien akan asuhan keperawatan adalah asuhan
keperawatan yang mencakup perilaku caring perawat di dalamnya (Stanizewska &
Ahmed, 1998, dalam Wolf, et al., 2003; Redman & Lynn, 2005).
Valentine (1997) menyatakan bahwa perilaku caring perawat adalah bagian dari
praktik keperawatan profesional yang holistik / menyeluruh. Di dalam penelitiannya
ia mengemukakan bahwa pilihan pasien dalam mencari pusat pelayanan kesehatan
dipengaruhi oleh pengalaman positif terhadap perilaku caring perawat (Valentine,
1997, dalam Wolf, Miller, & Devine, 2003). Felgen (2003) juga menyatakan bahwa
pasien / konsumen dari pusat pelayanan kesehatan mengharapkan perawat memiliki
perilaku caring dalam memberikan pelayanan kesehatan.
2.1.1.2 Faktor-faktor Pembentuk Caring
Menurut Watson (2007), fokus utama dari keperawatan adalah faktor-faktor carative
yang bersumber dari perspektif humanistik yang dikombinasikan dengan dasar
pengetahuan ilmiah. Watson kemudian mengembangkan sepuluh faktor carative
tersebut untuk membantu kebutuhan tertentu dari pasien dengan tujuan terwujudnya
integritas fungsional secara utuh dengan terpenuhinya kebutuhan biofisik, psikososial
dan kebutuhan interpersonal (dikutip dari Dwidiyanti, 1998).
Kesepuluh faktor carative tersebut adalah :
1. Pendekatan humanistik dan altruistik.
Pembentukan sistem nilai humanistik dan altruistik mulai berkembang di usia dini
dengan nilai-nilai yang berasal dari orang tuanya. Sistem nilai ini menjembatani
pengalaman hidup seseorang dan mengantarkan ke arah kemanusiaan. Perawatan
yang berdasarkan nilai-nilai humanistik dan altruistik dapat dikembangkan melalui
penilaian terhadap pandangan diri seseorang, kepercayaan, interaksi dengan berbagai
kebudayaan dari pengalaman pribadi. Hal ini dianggap penting untuk pendewasaan
diri perawat yang kemudian akan meningkatkan sikap altruistik (Dwidiyanti, 1998).
Melalui sistem nilai humanistik dan altruistik ini perawat menumbuhkan rasa puas
karena mampu memberikan sesuatu kepada klien (Nurachmah, 2001; Barnhart, et al.,
1994 dalam Mariner-Tomey, 1994, Kozier & Erb, 1985).
2. Menanamkan sikap penuh harapan.
Perawat memberikan kepercayaan dengan cara memfasilitasi dan meningkatkan
asuhan keperawatan yang holistik. Dalam hubungan perawat-klien yang efektif,
perawat memfasilitasi perasaan optimis, harapan, dan kepercayaan. Di samping itu,
perawat meningkatkan perilaku klien dalam mencari pertolongan kesehatan
(Nurachmah, 2001; Barnhart, et al., 1994, dalam Marimer-Tomey. 1994; Kozier &
Erb, 1985).
Kepercayaan dan pengharapan sangat penting bagi proses karatif maupun kuratif.
Perawat perlu memberikan alternatif-alternatif bagi pasien jika pengobatan modern
tidak berhasil; berupa meditasi, penyembuhan sendiri, dan spiritual. Dengan
menggunakan faktor karatif iniakan tercipta perasaan lebih baik melalui kepercayaan
dan atau keyakinan yang sangat berarti bagi seseorang secara individu (Dwidiyanti,
1998).
3. Kepekaan terhadap diri sendiri dan orang lain.
Pengembangan perasaan iniakan membawa pada aktualisasi diri melaluio penerimaan
diri antara perawat dan klien (Barnhart, et al., 1994, dalam Mariner-Tomey, 1994;
Kozier & Erb, 1985). Perawat belajar menghargai kesensitifan dan perasaan klien,
sehingga ia sendiri dapat menjadi lebih sensitif dan , murni dan bersikap wajar pada
orang lain (Nurachmah, 2001). Perawat yang mampu untuk mengenali dan
mengekspresikan perasaannya akan lebih mampu untuk membuat orang lain
mengekspresikan perasaan mereka (Kozier & Erb, 1985). Pengembangan kepekaan
terhadap diri dan orang lain, mengeksplorasi kebutuhan perawat untuk mulai
merasakan suatu emosi yang muncul dengan sendirinya. Hal itu hanya dapat
berkembang melalui perasaan diri seseorang yang peka dalam berinteraksi dengan
orang lain. Jika perawat berusaha meningkatkan kepekaan dirinya, maka ia akan lebih
autentik (tampil apa adanya). Autentik akan menambah pertumbuhan diri dan
aktualisasi diri baik bagi perawat sendiri maupun bagi orang-orang yang berinteraksi
dengan perawat itu (Dwidiyanti, 1998).
4. Hubungan saling percaya dan saling membantu.
Pengembangan hubungan saling percaya antara perawat dan klien adalah sangat
krusial bagi transportal caring. Hubungan saling percaya akan meningkatkan dan
menerima ekspresi perasaan positif dan negatif. Pengembangan hubungan saling
percaya menerapkan bentuk komunikasi untuk menjalin hubungan dalam
keperawatan. Karakteristik faktor ini adalah kongruen, empati, dan ramah. Kongruen
berarti menyatakan apa adanya dalam berrinteraksi dan tidak menyembunyikan
kesalahan. Perawat bertindak dengan cara yang terbuka dan jujur. Empati berarti
perawat memahami apa yang dirasakan klien. Ramah berarti penerimaan positif
terhadap orang lain yang sering diekspresikan melalui bahasa tubuh, ucapan tekanan
suara, sikap terbuka, ekspresi wajah dan lain-lain (Nurachmah, 2001; Dwidiyanti,
1998; Barnhart, et al., 1994, dalam Mariner-Tomey, 1994;Kozier & Erb, 1985).
5. Meningkatkan dan menerima ekspresi perasaan positif dan negatif.
Perawat menyediakan dan mendengarkan semua keluhan dan perasaan klien
(Nurachmah, 2001). Berbagi perasaan merupakan pengalaman yang cukup beresiko
baik bagi perawat maupun klien. Perawat harus siap untuk ekspresi perasaan positif
maupun negatif bagi klien. Perawat harus menggunakan pemahaman intelektual
maupun emosional pada keadaan yang berbeda (Barnhart, et al., 1994, dalam
Mariner-Tomey, 1994; kozier & Erb, 1985).
6. Menggunakan problem solving dalam mengambil keputusan.
Perawat menggunakan metode proses keperawatan sebagai pola pikir dan pendekatan
asuhan kepada klien, sehingga akan mengubah gambaran tradisional perawat sebagai
“pembantu” dokter. Proses keperawatan adalah proses yang sistematis dan terstruktur,
seperti halnya proses penelitian (Nurachmah, 2001; Barnhart, et al., 1994, dalam
Mariner-Tomey, 1994; Kozier & Erb, 1985).
7. Peningkatan belajar mengajar interpersonal.
Faktor ini adalah konsep yang penting dalam keperawatan, yang membedakan antara
caring dan curing. Perawat memberikan informasi kepada klien. Perawat
bertanggungjawab akan kesejahteraan dan kesehatan klien. Perawat memfasilitasi
proses belajar mengajar yang didesain untuk memampukan klien memenuhi
kebutuhan pribadinya, memberikan asuhan mandiri, menetapkan kebutuhan personal
klien (Nurachmah, 2001; Barnhart, et al., 1994, dalam Mariner-Tomey, 1994; Kozier
& Erb, 1985).
8. Menciptakan lingkungan fisik, mental, sosiokultural, spiritual yang
mendukung.
Perawat perlu mengenali pengaruh lingkungan internal dan eksternal klien terhadap
kesehatan dan kondisi penyakit klien. Konsep yang relevan terhadap lingkungan
internal yang mencakup kesejahteraan mental dan spiritual, dan kepercayaan
sosiokultural bagi seorang individu. Sedangkan lingkungan eksternal mencakup
variabel epidemiologi, kenyamanan, privasi, keselamatan, kebersihan dan lingkungan
yang astetik. Karena klien bisa saja mengalami perubahan baik dari lingkungan
internal maupun eksternal, maka perawat harus mengkaji dan memfasilitasi
kemampuan klien untuk beradaptasi dengan perubahan fisik, mental, dan emosional
(Nurachmah, 2001; Barnhart, et al., 1994, dalam Mariner-Tomey, 1994;Kozier & Erb,
1985).
9. Memberi bantuan dalam pemenuhan kebutuhan manusia.
Perawat perlu mengenali kebutuhan komprehensif yaitu kebutuhan biofisik,
psikososial, psikofisikal dan interpersonal klien. Pemenuhan kebutuhan yangh paling
mendasar perlu dicapai sebelum beralih ke tingkat yang selanjutnya. Nutrisi,
eliminasi, dan ventilasi adalah contoh dari kebutuhan biofisik yang paling rendah.
Pencapaian dan hubungan merupakan kebutuhan psikososial yang tinggi, dan
aktualisasi diri merupakan kebutuhan interpersonal yang paling tinggi (Nurachmah,
2001; Barnhart, et al., 1994, dalam Mariner-Tomey, 1994;Kozier & Erb, 1985).
10. Terbuka pada eksistensial fenomenologikal dan dimensi spiritual
penyembuhan.
Faktor ini bertujuan agar penyembuhan diri dan kematangaan diri dan jiwa klien dapat
dicapai. Terkadang klien perlu dihadapkan pada pengalaman / pemikiran yang bersifat
proaktif. Tujuannya adalah agar dapat meningkatkan pemahaman lebih mendalam
tentang diri sendiri (Nurachmah, 2001; Barnhart, et al., 1994, dalam Mariner-Tomey,
1994; Kozier & Erb, 1985). Diakuinya faktor karatif ini dalam ilmu keperawatan
membantu perawat untuk memahami jalan hidup seseorang dalam menemukan arti
kesulitan hidup. Karena adanya dasar yang irrasional tentang kehidupan, penyakit dan
kematian, perawat menggunakan faktor karatif ini untuk membantu memperoleh
kekuatan atau daya untuk menghadapi kehidupan atau kematian ( Dwidiyanti, 1998).
Watson menyadari bahwa faktor ini sedikit sulit untuk dipahami, tetapi hal ini akan
membawa perawat kepada pemahaman yang lebih baik mengenai diri sendiri dan
orang lain (Barnhart, et al., 1994, dalam Mariner-Tomey, 1994; Kozier & Erb, 1985).
2.1.1.3 Pengukuran Perilaku Caring
Pengukuran perilaku caring dengan mengacu pada pengembangan dari carative factor
Watson (1979 dalam Poter & Perry, 2009) yang mencakup membentuk sistem nilai
humanistic-altruistic, menanamkan keyakinan dan harapan, mengembangkan
sensitifitas untuk diri sendiri dan orang lain, membina hubungan saling percaya dan
saling bantu, meningkatkan dan menerima ekspresi perasaan positif dan negatif,
menggunakan metode pemecahan masalah yang sistematis dalam pengambilan
keputusan, meningkatkan proses belajar mengajar interpersonal, menyediakan
lingkungan yang mendukung, melindungi, memperbaiki mental dan sosiokultural,
membantu dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia serta mengembangkan faktor
eksistensial-fenomenologis.
2.1.2 Konsep Komunikasi Terapeutik
2.1.2.1 Pengertian
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang dilakukan atau dirancang untuk
tujuan terapi. Seorang penolong atau perawat dapat membantu klien mengatasi
masalah yang dihadapinya melalui komunikasi, (Suryani 2005). Menurut Purwanto
yang dikutip oleh (Mundakir 2006), komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang
direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan
pasien. Pada dasarnya komunikasi terapeutik merupakan komunikasi professional
yang mengarah pada tujuan yaitu penyembuhan pasien, (Siti Fatmawati 2010).
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan
dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien, Indrawati, dalam Siti
Fatmawati, (2010).
Menurut (Stuart 1998) komunikasi terapeutik adalah merupakan hubungan
interpersonal antara perawat dan klien, dalam hal ini perawat dan klien memperoleh
pengalaman belajar bersama dalam rangka memperbaiki pengalaman emosional klien.
Menurut (Potter-Perry 2000), proses dimana perawat menggunakan pendekatan
terencana dalam mempelajari klien.
Dari beberapa pengertian di atas dapat dipahami bahwa komunikasi terapeutik adalah
komunikasi yang dilakukan seorang perawat dengan teknik-teknik tertentu yang
mempunyai efek penyembuhan. Komunikasi terapeutik merupakan salah satu cara
untuk membina hubungan saling percaya terhadap pasien dan pemberian informasi
yang akurat kepada pasien, sehingga diharapkan dapat berdampak pada perubahan
yang lebih baik pada pasien dalam menjalanakan terapi dan membantu pasien dalam
rangka mengatasi persoalan yang dihadapi pada tahap perawatan.
2.1.2.2 Tujuan Komunikasi Terapeutik
Komunikasi terapeutik bertujuan untuk mengembangkan pribadi klien kearah yang
lebih positif atau adaptif dan diarahkan pada pertumbuhan klien yang meliputi:
1. Pertama, realisasi diri, penerimaan diri, dan peningkatan penghormatan diri.
Melalui komunikasi terapeutik diharapkan terjadi perubahan dalam diri klien.
Klien yang tadinya tidak biasa menerima apa adanya atau merasa rendah diri,
setelah berkomunikasi terapeutik dengan perawat akan mampu menerima dirinya.
2. Kedua, kemampuan membina hubungan interpersonal dan saling bergantung
dengan orang lain. Melalui komunikasi terapeutik, klien belajar bagaimana
menerima dan diterima orang lain. Dengan komunikasi yang terbuka, jujur dan
menerima klien apa adanya, perawat akan dapat meningkatkan kemampuan klien
dalam membina hubungan saling percaya .
3. Ketiga, peningkatan fungsi dan kemampuan untuk memuaskan kebutuhan serta
mencapai tujuan yang realistis. Terkadang klien menetapkan ideal diri atau tujuan
yang terlalu tinggi tanpa mengukur kemampuannya.
4. Keempat, rasa identitas personal yang jelas dan peningkatan integritas diri.
Identitas personal disini termasuk status, peran, dan jenis kelamin. Klien yang
mengalami gangguan identitas personal biasanya tidak mempunyai rasa percaya
diri dan mengalami harga diri rendah. Melalui komunikasi terapeutik diharapkan
perawat dapat membantu klien meningkatkan integritas dirinya dan identitas diri
yang jelas. Dalam hal ini perawat berusaha menggali semua aspek kehidupan
klien di masa sekarang dan masa lalu. Kemudian perawat membantu
meningkatkan integritas diri klien melalui komunikasinya dengan klien, (Suryani
2005).
2.1.2.3 Prinsip Dasar Komunikasi Terapeutik
Menurut (Suryani 2000), ada beberapa prinsip dasar yang harus dipahami dalam
membangun dan mempertahankan hubungan yang terapeutik:
1. Pertama, hubungan perawat dengan klien adalah hubungan terapeutik yang saling
menguntungkan. Hubungan ini didasarkan pada prinsip” humanity of nurse and
clients”. Kualitas hubungan perawat-klien ditentukan oleh bagaimana perawat
mendefinisikan dirinya sebagai manusia. Hubungan perawat dengan klien tidak
hanya sekedar hubungan seorang penolong dengan kliennya tetapi lebih dari itu,
hubungan antar manusia yang bermartabat.
2. Kedua, perawat harus menghargai keunikan klien. Tiap individu mempunyai
karakter yang berbeda-beda, karena itu perawat perlu memahami perasaan dan
perilaku klien dengan melihat perbedaan latar belakang keluarga, budaya, dan
keunikan tiap individu.
3. Ketiga, semua komuikasi yang dilakukan harus dapat menjaga harga diri pemberi
maupun penerima pesan, dalam hal ini perawat harus mampu menjaga harga
dirinya dan harga diri klien.
4. Keempat, komunikasi yang menciptakan tumbuhnya hubungan saling percaya
harus dicapai terlebih dahulu sebelum menggali permasalahan dan memberikan
alternative pemecahan masalah. Hubungan saling percaya antara perawat dan
klien adalah kunci dari komunikasi terapeutik.
2.1.2.4 Komunikasi Terapeutik sebagai Tanggung Jawab Moral Perawat
Perawat disebutkan sebagai tenaga terpenting karena sebagian terbesar
pelayanan Rumah Sakit adalah pelayanan keperawatan. Perawat bekerja dan selalu
bertemu dengan pasien selama 24 jam penuh dalam satu siklus shift, karena itu
perawat menjadi ujung tombak bagi suatu Rumah Sakit dalam memberikan pelayanan
kesehatan kepada pasien. Dalam memberikan intervensi keperawatan diperlukan
suatu komunikasi terapeutik, dengan demikian diharapkan seorang perawat memiliki
kemampuan khusus mencakup ketrampilan intelektual, teknikal dan interpersonal dan
penuh kasih sayang dalam melakukan komunikasi dengan pasien. Perawat harus
memiliki tanggung jawab moral tinggi yang didasari atas sikap peduli dan penuh
kasih sayang, serta perasaan ingin membantu orang lain untuk kesembuhan pasien.
Menurut Addalati, dalam Abdul Nasir (2009) menambahkan bahwa seorang
beragama, perawat tidak dapat bersikap tidak peduli terhadap orang lain dan adalah
seorang pendosa apabila perawat mementingkan dirinya sendiri.
2.1.2.5 Teknik Komunikasi Terapeutik
Teknik komunikasi terapeutik dengan menggunakan referensi dari Stuart dan
Sundeen, dalam Ernawati (2009) yaitu:
1. Mendengarkan (listening)
Mendengar ( listening) merupakan dasar utama dalam komunikasi terapeutik ( Keliat
1992). Mendengarkan adalah proses aktif dan penerimaan informasi serta penelaahan
reaksi seseorang terhadap pesan yang diterima , Hubson, S dalam Suryani, (2005).
Untuk member kesempatan lebih banyak pada klien untuk berbicara, maka perawat
harus menjadi pendengar yang aktif. Selama mendengarkan, perawat harus mengikuti
apa yang dibicarakan klien dengan penuh perhatian. Perawat memberikan tanggapan
dengan tepat dan tidak memotong pembicaraan klien. Tunjukkan perhatian bahwa
perawat mempunyai waktu untuk mendengarkan.
Ketrampilan mendengarkan penuh perhatian adalah dengan:
a. Pandang klien ketika sedang bicara
b. Pertahankan kontak mata yang memancarkan keinginan untuk mendengarkan
c. Sikap tubuh yang menunjukan perhatian dengan tidak menyilangkan kaki atau
tangan
d. Hindarkan gerakan yang tidak perlu
e. Angkat kepala jika klien membicarakan hal penting atau memerlukan umpan
balik
f. Condongkan tubuh kearah lawan bicara (pasien).
2. Bertanya
Bertanya (question) merupakan teknik yang dapat mendorong klien untuk
mengungkapkan perasaan dan pikirannya.
Teknik berikut sering digunakan pada tahap orientasi:
a. Pertanyaan fasilitatif (fasilitatif question)
Pertanyaan fasilitatif (facilitative question) terjadi jika pada saat bertanya perawat
sensitive terhadap pikiran dan perasaan serta secara langsung berhubungan dengan
masalah klien, sedangkan pertanyaan non fasilitatif (non facilitative question) adalah
pertanyaan yang tidak efektif karena memberikan pertanyaan yang tidak fokus pada
masalah atau pembicaraan, bersifat mengancam, dan tampak kurang pengertian
terhadap klien Gerald, D dalam Suryani,(2005).
b. Pertanyaan terbuka atau tertutup
Pertanyaan terbuka (open question) digunakan apabila perawat membutuhkan
jawaban yang banyak dari klien. Dengan pertanyaan terbuka, perawat mampu
mendorong klien mengekspresikan dirinya Antai-Otong dalam Suryani, (2005).
Pertanyaan tertutup (closed question) digunakan ketika perawat membutuhkan
jawaban yang singkat.
3. Penerimaan
Yaitu mendukung dan menerima informasi dengan tingkah laku yang menunjukkan
ketertarikan dan tidak menilai. Penerimaan bukan berarti persetujuan. Penerimaan
berarti bersedia untuk mendengarkan orang lain tanpa menunjukan keraguan atau
tidak setuju. Perawat sebaiknya menghindarkan ekspresi wajah dan gerakan tubuh
yang menunjukkan tidak setuju, seperti mengerutkan kening atau menggelengkan
kepala seakan tidak percaya.
4. Mengulangi (restating)
Mengulangi (restating) yaitu mengulang pokok pikiran yang diungkapkan klien
maksudnya adalah mengulangi pokok pikiran yang diungkapkan klien dengan
menggunakan kata-kata sendiri. Gunanya untuk menguatkan ungkapan klien dan
member indikasi perawat mengikuti pembicaraan atau memperhatikan klien dan
mengharapkan komunikasi berlanjut klien (Keliat, Budi Anna, 1992 ).
5. Klarifikasi (clarification)
Klasifikasi (clarification) adalah penjelasan kembali ke ide atau pikiran klien yang
tidak jelas atau meminta klien untuk menjelaskan arti dari ungkapannya Gerald,d dan
Suryani, (2005). Dilakukan bila perawat ragu, tidak jelas, tidak mendengar atau klien
malu mengemukakan informasi, informasi yang diperoleh tidak lengkap atau
mengemukakannya berpindah-pindah. Pada saat klarifikasi perawat tidak boleh
menginterpretasikan apa yang dikatakan klien, juga tidak boleh menambahkan
informasi Gerald, D dalam Suryani, (2005). Fokus utama klarifikasi adalah pada
perasaan, karena pengertian terhadap perasaan klien sangat penting dalam memahami
klien.
6. Refleksi ( reflection )
Refleksi (reflection) adalah mengarahkan kembali ide, perasaan, pertanyaan, dan isi
pembicaraan kepada klien. Hal ini digunakan untuk memvalidasi pengertian perawat
tentang apa yang diucapkan klien dan menekankan empati, minat, dan penghargaan
terhadap klien Antai-Otong dalam Suryani, (2005).
Refleksi menganjurkan klien untuk mengungkapkan dan menerima ide dan
perasaannya sebagai bagian dari dirinya sendiri. Apabila klien bertanya apa yang
harus ia pikirkan dan kerjakan atau rasakan maka perawat dapat menjawab;
bagaimana menurutmu? Dengan demikian perawat mengindikasikan bahwa pendapat
klien adalah berharga dank lien mempunyai hak untuk mampu melakukan hal
tersebut, maka iapun akan berpikir bahwa dirinya adalah manusia yang mempunyai
kapasitas dan kemampuan sebagai individu yang terintegrasi dan bukan sebagai
bagian dari orang lain.
7. Memfokuskan (focusing)
Memfokuskan (focusing) adalah bertujuan memberikan kesempatan kepada klien
untuk membahas masalah inti dan mengarahkan komunikasi klien pada pencapaian
tujuan Stuart, G.W dalam Suryani, (2005). Metode ini dilakukan dengan tujuan
membatasi bahan pembicaraan sehingga pembahasan masalah lebih spesifik dan
dimengerti dan mengarahkan komunikasi klien pada pencapaian tujuan.
8. Diam ( silence )
Teknik diam digunakan untuk memberikan kesempatan pada klien sebelum menjawab
pertanyaan perawat. Diam akan memberikan kesempatan kepada perawat dan klien
untuk Mengorganisasi pikiran masing-masing Stuart dan Sundeen, dalam Suryani,
(2005).
9. Memberikan Informasi ( informing )
Memberikan informasi tambahan merupakan tindakan penyuluhan kesehatan untuk
klien. Teknik ini sangat membantu dalam mengajarkan kesehatan atau pendidikan
pada klien tentang aspek-aspek yang relevan dengan perawatan diri dan penyembuhan
klien. Informasi tambahan yang diberikan pada klien harus dapat memberikan
pengertian dan pemahaman yang lebih baik tentang masalah yang dihadapi klien serta
membantu dalam memberikan alternative pemecahan masalah, (Suryani 2005).
10. Menyimpulkan (summerizing)
Menyimpulkan adalah teknik komunikasi yang membantu klien mengeksporasi point
penting dari interaksi perawat-klien. Teknik ini membantu perawat dank lien untuk
memiliki pikiran dan ide yang sama saat mengakhiri pertemuan.
11. Mengubah Cara Pandang (reframing)
Teknik ini digunakan untuk memberikan cara pandang lain sehingga klien tidak
melihat sesuatu atau masalah dari aspek negatifnya saja Gerald,D dalam Suryani,
(2005 ) sehingga memungkinkan klien untuk membuat perencanaan yang lebih baik
dalam mengatasi masalah yang dihadapinya.
12. Eksplorasi
Teknik ini bertujuan untuk mencari atau menggali lebih dalam masalah yang dialami
klien, Antai-Otong dalam suryani, (2005) supaya masalah tersebut bias diatasi.
Teknik ini bermanfaat pada tahap kerja untuk mendapatkan gambaran yang detail
tentang masalah yang dialami klien.
13. Membagi Persepsi (Sharing perception)
Stuart G.W. dalam Suryani, (2005), menyatakan membagi persepsi (sharing
perception) adalah meminta pendapat klien tentang hal yang perawat rasakan atau
pikirkan. Teknik ini digunakan ketika perawat merasakan atau melihat ada perbedaan
antara respons verbal atau respons nonverbal dari klien.
14. Identifikasi tema
Perawat harus tanggap terhadap cerita yang disampaikan klien dan harus mampu
menangkap tema dari seluruh pembicaraan tersebut. Gunanya untuk meningkatkan
pengertian dan menggali masalah penting. (Stuart dan Sundeen, dalam Suryani,
2005).teknik ini sangat bermanfaat pada tahap awal kerja untuk memfokuskan
pembicaraan pada awal masalah yang benar-benar dirasakan klien.
15. Menganjurkan untuk Melanjutkan Pembicaraan
Teknik ini menganjurkan klien untuk mengarahkan hampir seluruh pembicaraan yang
mengidentifikasikan bahwa klien sedang mengikuti apa yang dibicarakan dan tertarik
dengan apa yang dibicarakan selanjutnya. Perawat lebih berusaha untuk menaksirkan
dari pada mengarahkan diskusi/pembicaraan.
16. Humor
Sullivan dan Deane dalam Suryani,( 2005), melaporkan bahwa humor merangsang
produksi catecholamine dan hormone yang menimbulkan perasaan sehat,
meningkatkan toleransi terhadap rasa sakit, mengurangi ansietas, memfasilitasi
relaksasi pernafasan dan menggunakan humor untuk menutupi rasa takut dan tidak
enak atau menutupi ketidak mampuannya untuk berkomunikasi dengan klien.
17. Memberikan Pujian
Memberikan pujian (reinforcement) merupakan keuntungan psikologis yang
didapatkan klien ketika berinteraksi dengan perawat. Reinforcement berguna untuk
meningkatkan harga diri dan menguatkan perilaku klien Gerald, D dalam Suryani,
(2005). Reinforcement bias diungkapkan dengan kata-kata ataupun melalui inyarat
nonverbal.
18. Menawarkan Diri
Bukan tidak mungkin bahwa klien belum siap untuk berkomunikasi secara verbal
dengan orang lain atau klien tidak mampu untuk membuat dirinya dimengerti.
Perawat menyediakan diri tanpa renpons bersyarat atau respons yang diharapkan.
19. Memberikan Penghargaan
Memberi salam pada klien dan keluarga dengan menyebut namanya, menunjukan
kesadaran tentang perubahan yang terjadi, untuk menghargai klien dan keluarga
sebagai manusia seutuhnya yang mempunyai hak dan tanggung jawab atas dirinya
sendiri sebagai individu.
20. Asertif
Asertif adalah kemampuan dengan cara meyakinkan dan nyaman untuk
mengekspresikan pikiran dan perasaan diri dengan tetap menghargai orang lain.
2.1.2.6 Sikap Perawat dalam Komunikasi Terapeutik
Elsa Roselina, 2009 mengidentifikasikan lima sikap atau cara untuk dapat
menghadirkan diri secara fisik yang dapat memfasilitasi komunikasi terapeutik:
1. Berhadapan
Posisi ini memiliki arti bahwa saya siap untuk anda
2. Mempertahankan kontak mata
Kontak mata pada level yang sama berarti menghargai klien dan menyatakan
keinginan untuk tetap berkomunikasi
3. Membungkuk kearah klien
Pada posisi ini menunjukkan keinginan untuk menyatakan atau mendengarkan
sesuatu
4. Memperlihatkan sikap terbuka
Dalam posisi ini diharapkan tidak melipat kaki atau tangan untuk menyatakan atau
mendengarkan sesuatu
5. Tetap rileks
Tetap dapat mengendalikan keseimbangan, antara ketegangan dan relaksasi dalam
memberikan respons kepada pasien, meskipun dalam situasi yang kurang
menyenangkan.
2.1.2.7 Memberikan Umpan Balik
Ada beberapa tahapan yang perlu diperhatikan oleh seorang perawat dalam
melakukan umpan balik sebagai berikut:
1. Pelajari hasil kerjanya dengan teliti. Beri tanda pada hal-hal yang perlu diperbaiki
2. Ketika menyampaikan umpan balik perhatikan contoh-contoh dari kesalahan
yang telah dibuat
3. Kembangkan argument mengenai dampak negative yang biasa muncul dari
kesalahan yang dibuat
4. Pastikan penerima umpan balik menyadari kekeliruan, kekurangan, atau
kesalahan
5. Gali lebih dalam lagi mengenai hambatan yang ditemui
6. Dorong penerima umpan balik untuk menemukan jalan keluar dan langkah-
langkah untuk memperbaiki tugasnya atau cara kerjanya
7. Buat kesepakatan mengenai perbaikan yang akan dilakukan.
2.1.2.8 Sikap Perawat dalam Memberikan Umpan Balik
1. Jangan bersikap seperti hakim yang mengadili
2. Mulai dengan hal-hal yang positif
3. Jangan mengungkapkan kebaikan dan kelemahan secara bersamaan
4. Sampaikan fakta, tunjukkan dimana letak kesalahan, kekeliruan, atau kekurangan
5. Berikan pujian dengan tulus
6. Jangan memanipulasi fakta
7. Jangan memberikan komentar, tetapi langsung berikan saran.
2.1.2.9 Isi Pesan
Pesan adalah segala sesuatu yang akan disampaikan. Pesan dapat berupa ide,
pendapat, pikiran dan saran. Pesan adalah keseluruhan dari apa yang disampaikan
oleh komunikator. Pesan ini mempunyai inti pesan yang sebenarnya menjadi
pengarah di dalam suatu usaha mencoba mengubah sikap dan tingkah laku
komunikan, (Ernawati Dalami, 2009). Menurut Arita Murwani, isi pesan harus dirasa
penting dan berguna bagi sasaran. Bila seorang pasien diberi nasihat atau informasi
berupa pesan-pesan yang kurang bermanfaat dan tidak jelas, maka pasien akan enggan
melakukannya. Pesan dapat disampaikan dengan cara langsung atau lisan, tatap muka,
dan dapat pula melalui media atau saluran. Pesan yang disampaikan memenuhi
beberapa syarat sebagai berikut:
a. Pesan harus direncanakan dengan baik sesuai kebutuhan
b. Penyampaian pesan dengan menggunakan bahasa yang baik dan mudah dimengerti
oleh kedua belah pihak
c. Pesan harus menarik minat dan kebutuhan pribadi penerima serta menimbulkan
kepuasan, ( Mundakir 2006).
2.1.3 Konsep Kepuasan
2.1.3.1 Pengertian Kepuasan
Menurut Kotler (dalam Purwanto, 2008) kepuasan adalah tingkat keadaan
yang dirasakan seseorang yang merupakan hasil dari membandingkan penampilan
atau outcome produk yang dirasakan dalam hubungannya dengan harapan seseorang.
Menurut Oliver (dalam Supranto, 2008) kepuasan adalah perasaan seseorang setelah
membandingkan kinerja/hasil yang dirasakannya dengan harapannya.
Definisi kepuasan/ketidakpuasan pelanggan menurut Day (dalam Tse dan
Wilton,1988) adalah “respon pelanggan terhadap evaluasi ketidaksesuaian
(disconfirmation) yang dirasakan antara harapan sebelumnya (atau norma kinerja
lainnya) dan kinerja actual produk yang dirasakan setelah pemakaiannya”. Engel
(1990) dalam Fandy Tjiptono (1996) mengungkapkan bahwa Kepuasan pelanggan
merupakan evaluasi purnabeli dimana alternatif yang dipilih sekurang-kurangnya
memberikan hasil (outcome) sama atau melampaui harapan pelanggan, sedangkan
ketidakpuasan timbul apabila hasil yang diperoleh tidak memenuhi harapan
pelanggan. Sedangkan Wilkie (1990) dalam Fandy Tjiptono (1995)
mendefinisikannya sebagai “suatu tanggapan emosional pada evaluasi terhadap
pengalaman konsumsi suatu produk atau jasa”. Kotler (1997) memberikan arti dari
kepuasan konsumen yaitu tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan
performansi (atau hasil) yang ia rasakan dengan harapannya. Jadi tingkat kepuasan
merupakan fungsi dari perbedaan antara kinerja yang dirasakan dengan harapannya.
Apabila kinerja dibawah harapan, maka konsumen akan kecewa. Bila kinerja sesuai
dengan harapan, konsumen akan puas. Sedangkan bila kinerja melebihi harapan,
konsumen akan sangat puas. Harapan konsumen dapat dibentuk oleh pengalaman
masa lampau, komentar dari kerabatnya serta janji dan informasi pemasar dan
saingannya. Konsumen yang puas akan setia lebih lama, kurang sensitif terhadap
harga dan memberi komentar yang baik tentang perusahaan.
2.1.3.2 Tingkat Kepuasan
Terdapat tiga tingkat kepuasan yaitu bila penampilan kurang dari harapan
maka pelanggan tidak puas, bila penampilan sebanding dengan harapan maka
pelanggan puas, dan apabila penampilan melebihi harapan maka pelanggan merasa
sangat puas atau senang. Puas atau tidak puas tergantung pada sikap terhadap ketidak
sesuaian (rasa senang atau tidak senang) dan tingkatan dari pada evaluasi (baik atau
tidak) untuk dirinya, melebihi, atau di bawah standar (Wijono,1999).
2.1.3.3 Komponen Tingkat Kepuasan
Lima komponen atau dimensi yang menentukan kualitas mutu pelayanan
(dimensi kepuasan) dikenal sebagai SERVQUAL (Wahyu dan Mansor, 2008). Adapun
konsep tersebut adalah sebagai berikut:
a. Berwujud (Tangible)
Adalah semua hal yang terlihat nyata, yaitu perlengkapan fasilitas dan alat
kerja, kondisi fasilitas dan alat kerja, serta penampilan staf.
b. Keandalan (Reliability)
Adalah kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera,
akurat dan memuaskan.
c. Kesigapan (Responsiveness)
Adalah respon atau kesigapan petugas dalam menangani kasus dan
memberikan pelayanan yang cepat dan tanggap, meliputi kesigapan petugas
menangani kasus, kecepatan petugas dalam menangani transaksi dan penanganan
keluhan pengguna.
d. Keyakinan (Assurance)
Adalah kemampuan petugas terhadap hasil kerja secara tepat, ramah,
perhatian, dan sopan dalam memberikan pelayanan serta menanamkan kepercayaan
kepada pengguna.
e. Empati (Emphaty)
Adalah perhatian secara individu yang diberikan oleh petugas kepada
pengguna jasa, kemampuan komunikasi untuk menyampaikan informasi pada
pengguna sehingga pengguna merasa yakin terhadap pelayanan yang telah diberikan.
2.1.3.4 Pengukuran Kepuasan.
Dalam penelitian ini, kepuasan responden diukur dengan menggunakan
kuesioner pengalaman (kualitas pelayanan) dan kuesioner harapan. Kuesioner
pengalaman atau kualitas pelayanan telah dijelaskan pada bahasan sebelumnya.
Selanjutnya untuk kuesioner harapan, juga menggunakan skala likert namun setiap
jawaban dihubungan dengan bentuk pernyataan atau dukungan sikap dengan kata-kata
sebagai berikut :
Sangat Penting : 5
Penting : 4
Cukup Penting : 3
Kurang Penting : 2
Tidak Penting : 1
Setelah hasil kuesioner pengalaman dan harapan selesai dikumpulkan
selanjutnya dilakukan tabulasi data dan dilakukan analisis dengan menggunakan
metode gap dan analisis kuadran yang akan dijelaskan pada bahasan selanjutnya.
2.1.4 Teknik Analisa Tingkat Kepuasan
2.1.4.1 Metode Servqual
Servqual memiliki aplikasi skala pengukuran yang disebut multi-item scale
yang merupakan hasil penelitian Parasuraman,Zeithamal dan Berry (Wahyu dan
Mansor, 2008). Caranya dengan merata-ratakan perbedaan nilai yang dihasilkan dari
masing-masing bagian yang membentuk kelima dimensi seperti yang telah dikemukan
diatas.
Lima jenis kesenjangan/gap yang dikemukakan Parasuraman et.al (dalam
Wahyu dan Mansor, 2008) adalah:
(1) Gap 1 (Gap Persepsi Manajemen)
Gap 1 yaitu kesenjangan antara harapan konsumen dan pandangan
manajemen, dimana pihak manajemen tidak selalu merasakan dengan tepat apa
yang diinginkan konsumen atau bagaimana penilaian konsumen terhadap
komponen pelayanan.
(2) Gap 2 (Gap Spesifikasi Kualitas)
Gap 2 yaitu kesenjangan antara persepsi manajemen mengenai harapan
pengguna jasa dan spesifikasi kualitas jasa.
(3) Gap 3 (Gap Penyampaian Pelayanan)
Gap 3 yaitu kesenjangan antara mutu pelayanan dan penyampaian pelayanan
(service delivery).
(4) Gap 4 (Gap Komunikasi Pemasaran) yaitu kesenjangan antara penyajian
pelayanan dan komunikasi eksternal.
(5) Gap 5 (Gap dalam Pelayanan yang Dirasakan)
Gap 5 yaitu kesenjangan antara pelayanan yang diterima dan yang diharapkan
oleh konsumen.
Penelitian ini dipusatkan pada pendekatan gap/kesenjangan kualitas
jasa/pelayanan yang ke-5 yaitu kesenjangan antara pelayanan yang diterima dan yang
diharapkan oleh konsumen. Metode Servqual ini mendefinisikan bahwa
kesenjangan/gap (G) untuk faktor kualitas jasa/pelayanan tertentu adalah:
G = P (Perceptions) – E(Expectations) …………. (2. 1)
Kesenjangan yang bernilai negatif menunjukkan bahwa harapan konsumen
tidak terpenuhi, semakin besar kesenjangan terjadi, maka semakin lebar jurang
pemisah antara keinginan pengguna dengan sesuatu yang mereka peroleh sebenarnya
(Duffy, dalam Wahyu dan Mansor, 2008).
Setelah penghitungan gap dilakukan, untuk mengetahui besaran nilai kesesuaian
antara harapan dan pengalaman dapat dilakukan dengan menghitung nilai kesesuaian.
Tingkat kesesuaian adalah hasil perbandingan skor kinerja pelaksanaan dengan skor
harapan/kepentingan. Tingkat kesesuaian menentukan urutan prioritas peningkatan
factor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pelanggan.
Dalam penelitian ini terdapat 2 (dua) buah variabel yang diwakilkan oleh huruf X dan
Y, dimana X merupakan tingkat kinerja perusahaan yang dapat memberikan kepuasan
pelanggan, sedangkan Y merupakan tingkat kepentingan pelanggan. Adapun rumus
yang digunakan adalah :
…………………………. (2.2)
Dimana :
Tki = Tingkat kesesuaian responden
Xi = Skor penilaian kinerja perusahaan
Yi = Skor penilaian harapan pelanggan
2.1.4.2 Analisa Kuadran (Importance Performance Analysis)
Diagram kartesius merupakan suatu bangun yang dibagi atas empat bagian
yang dibatasi oleh dua buah garis yang berpotongan tegak lurus pada titik (X,Y),
dimana X adalah rata-rata dari rata-rata skor tingkat kinerja dan Y merupakan rata-
rata dari rata-rata skor tingkat kepentingan seluruh factor yang mempengaruhi
kepuasan pelanggan (Wahyu dan Mansor, 2008). Dalam hal ini digunakan skala lima
tingkat likert untuk tingkat kepentingan/harapan pengguna terdiri dari sangat penting,
penting, cukup penting, kurang penting, dan tidak penting, sedangkan untuk
kinerja/pengalaman diberikan lima penilaian yaitu sangat baik, baik, cukup baik,
kurang baik, dan tidak baik. Kelima penilaian tersebut diberikan bobot sebagai
berikut:
1. Jawaban sangat penting/sangat baik diberi bobot 5
2. Jawaban penting/ baik diberi bobot 4
3. Jawaban cukup penting/cukup baik diberi bobot 3
4. Jawaban kurang penting/kurang baik diberi bobot 2
5. Jawaban tidak penting/tidak baik diberi bobot 1
Berdasarkan hasil penilaian tingkat pengalaman/kinerja dan hasil penilaian
tingkat harapan maka akan dihasilkan suatu perhitungan mengenai tingkat kepuasan
antara tingkat kepentingan dan tingkat pelaksanaannya.
Menurut Kotler (dalam Purwanto, 2008), kepuasan adalah tingkat kepuasan
seseorang setelah membandingkan kinerja atau hasil yang dirasakan dibandingkan
dengan harapannya. Tingkat kesesuaian inilah yang akan menentukan urutan prioritas
peningkatan faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pelanggan.
Selanjutnya sumbu mendatar (X) akan diisi oleh rerata skor tingkat
pengalaman/kinerja, sedangkan sumbu tegak (Y) akan diisi oleh rerata skor tingkat
harapan/kepentingan. Selanjutnya hasil perhitungan rata-rata skor tersebut diplot
nilainya pada Diagram Kartesius seperti di bawah ini.
Gambar 2.2. Diagram Kartesius
Keterangan:
A. Menunjukkan faktor atau atribut yang dianggap mempengaruhi keputusan
pengguna, termasuk unsur-unsur jasa yang dianggap sangat penting, namun
manajemen belum melaksanakannya sesuai keinginan pengguna sehingga
mengecewakan/tidak puas.
B. Menunjukkan unsur jasa pokok yang telah berhasil dilaksanakan perusahaan,
untuk itu wajib dipertahankan. Dianggap sangat penting dan sangat memuaskan.
C. Menunjukkan beberapa faktor yang kurang penting pengaruhnya bagi pelanggan,
pelaksanaannya oleh perusahaan biasa-biasa saja. Dianggap kurang penting dan
kurang memuaskan.
D. Menunjukkan faktor yang mempengaruhi pelanggan kurang penting, akan tetapi
pelaksanaannya berlebihan. Dianggap kurang penting tetapi sangat memuaskan.
2.2 Kerangka Konsep
Keterangan :
adalah variabel yang diteliti
adalah variabel yang tidak diteliti
Perilaku Caring PerawatKomunikasi Terapeutik
Kepuasan Pasien
Kualitas Pelayanan
Dimensi Kualitas Pelayanan
2.3 Hipotesa Penelitian
Menurut Riwidikdo (2009), hipotetis adalah asumsi atau dugaan mengenai suatu hal
yang dibuat untuk menjelaskan hal tersebut yang sering dituntut untuk melakukan
pengecekannya. Hal ini tidak jauh berbeda dengan pendapat Arikunto (2002), yang
menyatakan hipotesis adalah jawaban sementara dari suatu penelitian yang
kebenarannya akan dibuktikan dalam penelitian tersebut.
Hipotesis dalam penelitian ini adalah:
.Ha1 :: Terdapat hubungan antara perilaku caring perawat dengan tingkat kepuasan
pasien
.Ha2 :: Terdapat hubungan antara komunikasi terapeutik dengan tingkat kepuasan
pasien
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif korelatif yaitu
peneliti mencoba mencari hubungan atau korelasi antar variabel. Penelitian ini
melakukan analisis terhadap data yang dikumpulkan, serta seberapa besar hubungan
antar variabel yang ada (Setiadi, 2007).
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional yaitu variabel
sebab dan akibat yang terjadi pada objek penelitian diukur dan dikumpulkan secara
simultan, sesaat dalam satu kali waktu (dalam waktu yang bersamaan), pada studi ini
tidak ada follow up (Setiadi, 2007).
3.2 Kerangka Kerja
Adapun kerangka kerja penelitian ini digambarkan sebagai berikut :
PopulasiPasien di Ruang Irna C RSUP Sanglah Denpasar
Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi
3.3 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Ruang Angsoka I, II dan III pada Bulan April 2015 – Mei
2015.
3.4 Populasi, Sampel dan Teknik Sampling
SampelPasien yang dirawat pada bulan April-Mei 2014
dikumpulkan dengan teknik concecutive sampling
Penyajian hasil penelitian
Analisis Data
Hipotesis I : Uji Rank SpearmanHipotesis II : Uji Rank Spearman
(Tk. Kepercayaan 95%, P ≤0,05)
Pengumpulan Kuesioner
Pengurusan ijin penelitian, ethical clearance, informed consent
Penyebaran kuesioner perilaku caring perawat , komunikasi terapeutik dan kepuasan pasien
Melakukan tabulasi Data kuesioner perilaku caring, komunikasi terapeutik dan kepuasan pasien
3.4.1 Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang
mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2001).
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang dirawat di Ruang
Angsoka I, II dan III RSUP Sanglah Denpasar dari tanggal 1 April sampai 31
Mei 2015.
3.4.2 Sampel Penelitian
Sampel dalam penelitian ini adalah semua pasien yang dirawat di Ruang
Angsoka I, II dan III RSUP Sanglah Denpasar dengan kriteria sebagai berikut:
a. Kriteria inklusi
1) Bersedia menjadi responden
2) Berumur 20-45 tahun
3) Mendapat perawatan >2 hari
b. Kriteria eksklusi
1) .Memiliki penyakit terminal
2) Mengalami gangguan jiwa
3) Pasien kurang kooperatif
4) Pasien asing (dari negara lain)
3.4.3 Besar sampel
Banyaknya sampel yang dipakai dalam peenelitian ini tidak dapat
ditentukan dengan pasti, karena jumlah populasi dalam penelitian ini tidak
dapat ditentukan secara pasti, namun jumlah sampel yang dipakai adalah
jumlah sampel minimal yaitu sebanyak 30 orang. Menurut Sugiyono (2001),
sampel yang representatif tidak kurang dari 30 orang.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik concecutive
sampling. Sampling dilakukan berdasarkan kurun waktu yang ditentukan oleh
peneiti. Besar sampel dalam penelitian ini adalah semua pasien yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang ditemui waktu pengumpulan data.
3.5 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
3.5.1 Variabel penelitian
Penelitian ini menggunakan dua variabel yaitu variabel bebas dan
variabel terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah perilaku caring
perawat dan komunikasi terapeutik, sedangkan variabel terikat yaitu kepuasan
pasien.
3.5.2 Definisi operasional
Tabel 2. Definisi Operasional variabel
No Variabel penelitian
Definisi Operasional
Indikator Skala pengukuran
Hasil Ukur
1 Perilaku caring perawat
Perilaku caring yakni kegiatan atau tindakan memberikan asuhan keperawatan dengan menggunakan faktor carative yang bersumber pada persepektif humanistik dan hubungan sesama manusia dan hubungan sesama manusia yang dikombinasikan dengan dasar pengetahuan ilmiah.
1. Memperlakukan manusia secara wajar
2. Memiliki kepercayaan diri
3. Sensitifitas, simpati empati
4. Hubungan saling mempercayai, tulus, tidak pura-pura
5. Membangkitkan klien mengekpresikan perasaan
6. Memecahkan masalah klien
7. Menciptakan lingkungan terapeutik
8. Kesiapan fisik9. Memenuhi kebutuhan
klien10. Kekuatan spiritual
Ordinal 0-23 : perilaku
caring yang buruk
24-47 : perialku caring yang baik
2 Komunikasi terapeutik
Komunikasi yang dilakukan oeleh
Komponen komunikasi terapeutik
Ordinal Baik : 76-100%
perawat baik verba maupun non verbal selama melakukan kontak dan perawatan terhadap pasien yang dinilai oleh pasien selama perawatan
Cukup : 56-75%
Kurang : <56%
3 Kepuasan Pasien
Kepuasan klien dalam pelayanan keperawatan adalah kesesuaian antara harapan klien tentang pelayanan keperawatan yang bermutu dan berkualitas dengan kenyataan yang diterima.
1. Aspek kinerja teknik2. Aspek perawatan
interpersonal atau sikap professional
3. Aspek – aspek organisasi
Ordinal 0-15 : tidak puas16-30 : puas
3.6 Jenis dan Cara Pengumpulan data
3.6.1 Jenis Data yang Dikumpulkan
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data yang berupa data
primer yaitu melalui pedoman observasi yang meliputi suhu badan pelaksana
KMC, suhu badan kuesioner tentang perilaku caring, komunikasi terapeutik
dan kepuasan pasien.
3.6.2 Cara Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan kegiatan penelitian untuk mengumpulkan
data (Hidayat, 2009). Peneliti dalam penelitian ini melakukan langkah
pengumpulan data sebagai berikut :
a. Mengajukan permohonan ijin penelitian yang telah
dipersiapkan oleh institusi ke kantor Kesbang Pol dan Linmas Pemerintah
Provinsi Bali dan Libang RSUP Sanglah Denpasar.
b. Setelah mendapat surat rekomendasi dari Kesbang Pol dan
Linmas Pemerintah Provinsi Bali dan ethical clearance dari Litbang RSUP
Sanglah Denpasar, dilakukan pemberitahuan kepada Direktur RSUP
Sanglah Denpasar dan selanjutnya melakukan pendekatan formal terhadap
Kepala Ruang Angsoka I, II dan III untuk meminta ijin dan bantuan dalam
pengumpulan data.
c. Penelitian ini menggunakan enumerator penelitian/peneliti
akan dibantu oleh beberapa orang yang telah dilakukan diskusi dan
penyamaan persepsi cara pengambilan data.
d. Melakukan pendekatan terhadap responden dengan
memberikan informed consent untuk dilakukan penelitian untuk
menghindari adanya kemungkinan miskomunikasi antara responden dan
peneliti saat akan dilakukan penelitian
e. Setelah informed consent dilakukan, selanjutnya peneliti
memberikan kuesioner untuk diisi oleh responden
f. Peneliti mengumpulkan data yang telah didapat
g. Melakukan tabulasi dan analisis data
3.6.3 Instrumen Pengumpulan Data
Instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah kuesioner yaitu
kuesioner perilaku caring, komunikasi terapeutik dan kepuasan yang
merupakan kuesioner yang telah digunakan sebelumnya oleh peneliti lain.
Namun dilakukan beberapa modifikasi dan akan dilakukan uji validitas dan
reliabitlitas instrument di Ruang IRNA B RSUP Sanglah Denpasar sebanyak
30 orang pasien..
3.7 Pengolahan dan Teknik Analisa Data
3.7.1 Teknik Pengolahan Data
Pengolahan data merupakan salah satu upaya untuk meprediksi data dan
menyiapkan data sedemikian rupa agar dapat dianalisis lebih lanjut dan
mendapatkan data siap untuk disajikan. Menurut Setiadi (2012), langkah-langkah
pengolahan data yang akan dilakukan yaitu :
a. Editing
Langkah-langkah yang dilakukan dalam editing adalah memeriksa kembali
identitas responden pada lembar observasi yang telah terkumpul.
b. Scoring dan coding
Lembar observasi yang sudah terkumpul diperiksa kelengkapannya, kemudian
memberikan kode pada tiap responden dengan nomor 1, dan seterusnya untuk
memudahkan dalam mengkategorikan sampel.
c. Entry
Kegiatan memasukkan data ke dalam program komputer untuk mencegah risiko
kehilangan data.
d. Cleaning
Data yang sudah dientry dicocokkan kembali kesesuainnya dengan data yang
diperoleh dari lembar observasi.
3.7.2 Teknik Analisis Data
Adapun analisis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dari
analisis univariat dan bivariat yang dijelaskan sebagai berikut :
a. Analisis Univariat
Analisa univariat dilakukan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan
karakteristik masing-masing variabel yang diteliti (Nursalam, 2002). Analisis ini
disajikan dalam bentuk piechart sebagai informasi untuk mendeskripsikan semua
variabel penelitian yaitu perilaku caring perawat, komunikasi terapeutik dan
kepuasan pasien. Analisis univariat dilakukan dengan menghitung presentase dari
masing-masing variabel yang diteliti yaitu menghitung presentase sebaran data
perilaku caring perawat, komunikasi terapeutik dan kepuasan pasien.
b. Analisis Bivariat
Analisis bivariat adalah analisa yang dilakukan terhadap dua variabel yang
diduga berhubungan atau korelasi (Nursalam, 2002). Dalam penelitian ini analisa
bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen yaitu
perilaku caring perawat dan komunikasi terapeutik dengan variabel dependen yaitu
kepuasan pasien..
Penerapan uji statistik dilakukan dengan uji Rank Spearman. Adapun rumus
uji korelasi rank spearman yang digunakan adalah:
Rho = 6Σd²/N (N²-1)
Keterangan:
Rho : nilai korelasi sperman rank
d² : selisih setiap pasangan rank
N : Jumlah pasangan rank untuk spearman
Korelasi rank spearman digunakan untuk menganalisis hubungan antar variabel
dengan skala ordinal yang tidak berdistribusi normal dengan batas kemaknaan p <
0,05. Pengambilan keputusan didasarkan pada nilai p (probability/ probabilitas), jika
nilai p < 0,05 maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya ada hubungan antara perilaku
caring perawat atau komunikasi terapeutik dengan kepuasan pasien dan jika nilai p >
0,05 maka Ho diterima dan Ha di tolak, artinya tidak ada hubungan antara perilaku
caring perawat atau komunikasi terapeutik dengan kepuasan pasien.
Correlation coefficient kedua variabel ini adalah -0,253. Yaitu masih menjauhi 1,
berarti kedua variabel memiliki hubungan yang tidak signifikan. Tanda negatif berarti
hubungan kedua variabel berlawanan arah. Jadi apabila perilaku caring atau
komunikasi terapeutik baik, maka kepuasan pasien akan tinggi. Begitu pula
sebaliknya (perilaku caring atau komunikasi terapeutik buruk, maka kepuasan pasien
rendah).
Setelah diketahui hubungan antara kedua variabel, selanjutnya dicari tingkat
hubungan dengan menggunakan tabel hubungan rho spearman. Menurut Sugiyono
(2010) untuk membuktikan penafsiran terhadap yang ditentukan apakah besar atau
kecil tingkat hubungannya, maka digunakan pedoman sebagai berikut.
Tabel 4. Tingkat Hubungan Dua Variabel berdasarkan nilai rho spearman
Interval koefisien Tingkat hubungan
0,00 – 0,1990,20 – 0,3990,40 – 0,5990,60 – 0,7990,80 – 1,000
Sangat rendahRendahSedangKuat
Sangat kuat
3.8 Etika Penelitian
Untuk memperlancar penambilan data pada sampel penelitian, dilakukan
langkah-langkah sebagai berikut:
1. Pengurusan ijin penelitian
Pengurusan ijin penelitian dilakukan melalui Badan pengurusan ijin ke
Litbang RSUP Sanglah Denpasar. Setelah proposal penelitian dinyatakan
layak untuk diteliti selanjutnya diterbitkan surat ijin penelitian yang ditujukkan
ke Ruang IRNA C RSUP Sanglah Denpasar untuk diinformasikan kepada
masing-masing Kepala Ruangan.
2. Informed Consent
Setelah ijin diberikan, maka selanjutnya adalah melakukan
pengumpulan sampel. Dalam menjaga etika penelitian, maka dalam penelitian
ini menggunakan informed consent melalui pemberian lembar permohonan
dan penandatangan lembar persetujuan jika yang bersangkutan bersedia
menjadi responden. Responden yang telah bersedia digunakan sebagai sampel
dijamin kerahasian data yang diberikan dengan tidak mencantumkan nama
responden, tetapi hanya mencantumkan inisial responden.
Informed consent merupakan lembar persetujuan untuk menjadi
responden yang diedarkan sebelum melakukan penelitian pada subyek. Jika
subyek bersedia diteliti maka seubyek harus mencantumkan tanda tangan pada
lembar persetujuan menjadi responden dengan terlebih dahulu membaca isinya
dan jika subyek menolak untuk diteliti maka peneliti tidak akan memaksa dan
tetap mnghormati hak-hak subyek.
3. Anonimisty
Anonymisty artinya menjaga kerahasiaan identitas subyek. Peneliti
tidak mencantumkan nama subyek pada lembar observasi, tetapi hanya diberi
kode tertentu.
4. Confidentiality
Confidentiality berarti kerahasiaan informasi yang telah dikumpulkan
dari subyek dijaga kerahasiaannya oleh peneliti. Data yang diperoleh dari
responden hanya untuk dilaporkan atau disajikan dalam bentuk kelompok
yang berhubungan dengan penelitian.