bronkiektasis

34
BAB I PENDAHULUAN Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi (ektasis) dan distorsi bronkus lokal yang bersifat patologis dan berjalan kronik, persisten atau irrevesibel. Kelainan bronkus tersebut disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam dinding bronkus berupa destruksi elemen elastis, otot polos brokus, tulang rawan dan pembuluh-pembuluh darah. Brokus yang terkena umumnya adalah bronkus ukuran sedang (medium size), sedangkan bronkus besar umumnya jarang. 1 Insidensinya bervariasi, populasinya sekitar 3,7/100.000 untuk anak-anak di New Zealand sampai 52/100.000 untuk dewasa di USA. Di Inggris tidak ada penelitian terbaru, walaupun gambaran radiologi bronkiektasis sejak tahun 1950 menunjukkan prevalensi 100/100.000. prevalensi meningkat sesuai usia. 2 Ada laporan tentang prevalensi tinggi didapatkan pada populasi yang relatif terisolasi dengan akses yang sulit ke perawatan kesehatan dan tingginya tingkat infeksi pernapasan pada anak, seperti Alaska Pribumi di Delta Yukon-Kuskokwim. 3 1

description

referat

Transcript of bronkiektasis

BAB I

PENDAHULUAN

Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi

(ektasis) dan distorsi bronkus lokal yang bersifat patologis dan berjalan kronik,

persisten atau irrevesibel. Kelainan bronkus tersebut disebabkan oleh perubahan-

perubahan dalam dinding bronkus berupa destruksi elemen elastis, otot polos

brokus, tulang rawan dan pembuluh-pembuluh darah. Brokus yang terkena

umumnya adalah bronkus ukuran sedang (medium size), sedangkan bronkus besar

umumnya jarang.1

Insidensinya bervariasi, populasinya sekitar 3,7/100.000 untuk anak-anak

di New Zealand sampai 52/100.000 untuk dewasa di USA. Di Inggris tidak ada

penelitian terbaru, walaupun gambaran radiologi bronkiektasis sejak tahun 1950

menunjukkan prevalensi 100/100.000. prevalensi meningkat sesuai usia.2 Ada

laporan tentang prevalensi tinggi didapatkan pada populasi yang relatif terisolasi

dengan akses yang sulit ke perawatan kesehatan dan tingginya tingkat infeksi

pernapasan pada anak, seperti Alaska Pribumi di Delta Yukon-Kuskokwim.3

Penelitian baru- baru ini didapatkan sekitar 110.000 pasien dengan

bronkiektasis di Amerika serikat. Yang dimana penyakit ini sering terjadi pada

usia tua dengan duapertiga adalah wanita. Weycker et al melaporkan prevalensi

bronkiektasis di Amerika Serikat 4,2 per 100.000 orang dengan usia 18-34 tahun

dan 272 per 100.000 orang dengan usia 75 tahun. Tsang dan Tipoe, melaporkan

prevelensi bronkiektasis 1 per 6.000 orang di Auckland, New Zealand.

Didapatkan peningkatan frekuensi bronkiektasis dikarenakan penggunaan CT-

Scan resolusi tinggi.4

BAB II

1

BRONKIEKTASIS

2.1. Definisi

Bronkiektasis didefinisikan sebagai dilatasi permanen dari jalan nafas

dengan diameter lebih dari 2 mm yang mengakibatkan pengeluaran mukus dan

sekresi mukopurulen dan mengurangi aliran ekspirasi udara dari paru-paru.

Bronkiektasis pertama kali ditemukan oleh Rene Theophile Hyacinthe Laennec

pada awal abad 19, ia menemukan gambaran perubahan destruktif pada jalan

nafas. 3,5

2.2. Etiologi

Bronkiektasis sampai sekarang masih belum jelas. Namun diduga

bronkiektasis dapat timbul secara kongenital maupun didapat.1

a. Kelainan kongenital

Bronkiektasis terjadi sejak individu masih dalam kandungan. Faktor

genetik atau faktor pertumbuhan dan perkembangan memegang peranan penting.

Bronkiektasis yang timbul kongenital biasanya mengenai hampir seluruh cabang

bronkus pada satu atau kedua bronkus. Selain itu, bronkiektasis kongenital

biasanya menyertai penyakit-penyakit kongenital seperti Fibrosis kistik,

Kertagener Syndrome, William Campbell syndrome, Mounier-Kuhn Syndrome,

dan lain-lain.1

Diskinesia silia primer merupakan suatu kondisi di mana fungsi silia

berkurang berhubungan dalam mempertahankan sekresi dan infeksi berulang yang

akhirnya menyebabkan bronkiektasis. Sindrom ini diturunkan sebagai autosomal

resesif dengan penetrasi variabel. Frekuensi 1 dalam 15.000 : 1 dalam 40.000

kelahiran. Penyebab defek silia pada sindrom ini adalah tidak adanya atau

memendeknya lengan dynein lengan yang bertanggung jawab akan kelenturan

akson. Sekitar setengah dari pasien dengan diskinesia silia primer memiliki

Sindrom Kartagener's (bronkiektasis, sinusitis, dan situs inversus atau partial

lateralizing abnormality).3

b. Kelainan didapat

2

Bronkietasis yang didapat sering berkaitan dengan obstruksi bronkus.

Dilatasi bronkus mungkin disebabkan karena kelainan didapat dan kebanyakan

merupakan akibat dari proses berikut :

1. Infeksi

Bronkiektasis sering terjadi sesudah seorang anak menderita pneumonia

yang sering kambuh dan berlangsung lama. Pneumonia merupakan komplikasi

pertusis maupun influenza yang diderita semasa anak, tuberkulosis paru, dan

sebagainya.1

Imunisasi pada masa kanak-kanak yang efektif ditandai dengan

penurunan insidensi bronkiektasis yang disebabkan oleh pertusis atau batuk rejan.

Infeksi saluran pernapasan pada anak-anak lainnya dapat menyebabkan kerusakan

permanen pada saluran pernapasan. Kehadiran Staphylococcus aureus dikaitkan

dengan fibrosis kistik atau aspergillosis bronkopulmonalis alergi. Aspergillus

fumigatus merupakan organisme komensal. Aspergillosis bronkopulmonalis alergi

adalah suatu keadaan yang mempengaruhi pasien asma dan melibatkan kerusakan

saluran napas yang disebabkan oleh beberapa faktor. Bronkiektasis pada pasien

dengan aspergillosis bronkopulmonalis alergi ini disebabkan oleh reaksi imun

pada aspergillus, kerja dari mikotoksin, elastase dan interleukin-4 dan interleukin-

5 dan pada tahap kemudian terjadi invasi jamur secara langsung pada saluran

napas. Sebuah laporan baru-baru ini menunjukkan peningkatan dan penurunan

fungsi paru dengan penggunaan kortikosteroid setelah terapi itrakonazol

menunjukkan organisme Aspergillus juga mungkin menginfeksi. Tidak

mengherankan bahwa bronkiektasis dapat digambarkan pada pasien dengan

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS), menyebabkan terjadinya infeksi

saluran pernapasan berulang dan merusak respons host. Kebanyakan pasien

memiliki jumlah CD4 yang rendah, sebelumnya ada infeksi piogenik,

pneumocystic, dan infeksi mikobakteri, dan pneumonia interstisial limfositik

(pada anak).3

2. Obstruksi bronkus

Obstruksi bronkus dapat disebabkan oleh berbagai macam sebab seperti

korpus alienum, karsinoma bronkus atau tekanan dari luar lainnya terhadap

3

bronkus. Menurut penelitian para ahli diketahui bahwa infeksi ataupun obstruksi

bronkus tidak selalu nyata (automatis) menimbulkan bronkiektasis. Diduga

mungkin masih ada faktor instrinsik (yang sampai sekarang belum diketahui) ikut

berperan dalam timbulnya bronkiektasis.1

Berdasarkan lokasinya, bronkiektasis dibagi menjadi6 :

Setempat (localized), yaitu di lobus bawah, lobus tengah kanan atau lingula,

biasanya sebagai komplikasi dari pneumonia berat, dapat juga karena

penyumbatan oleh benda asing, tumor atau penekanan dari luar (kompresi

oleh tuberkulosis kelenjar limfa). Bronkiektasis di lobus tas biasanya

disebabkan oleh tuberkulosis atau aspergilosis bronkopulmonar.

Menyeluruh (generalized), biasanya karena infeksi sistem pernapasan yang

berulang disertai kelainan imunitas ataupun kelainan mucocilliary clearance.

Penyebab lainnya adalah vaskulitis, defisiensi α-1-antitripsin, AIDS, sindrom

merfan, SLE, sindrom syorgen dan sarkoidosis.

Tabel di bawah ini menunjukkan penyebab dari bronkiektasis8 :

Etiologi Bronkiektasis Postinfective_ Severe pneumonia_ Tuberculosis_ Pertussis_ Measles_ Impaired mucociliary clearance

4

_ CF_ Primary ciliary dyskinesia_ Young’s syndrome_ Immune deficiency_ Common variable immune deficiency_ Specific polysaccharide antibody deficiency_ Secondary immunodeficiency, eg, malignancy (chronic lymphocytic leukemia) or human immunodeficiency virus infection_ Exaggerated immune response_ Allergic bronchopulmonary aspergillosis_ Graft versus host disease_ Inflammatory bowel disease (ulcerative colitis and Crohn’s disease)_ Congenital abnormalities of the bronchial wall_ Mounier-Kuhn syndrome_ Williams-Campbell syndrome_ Marfan syndrome_ Inflammatory pneumonitis_ Aspiration of gastric contents_ Smoke inhalation_ Fibrosis (traction bronchiectasis)_ Sarcoidosis_ Idiopathic pulmonary fibrosis_ Mechanical obstruction_ Foreign body_ Tumor_ Extrinsic compression (eg, lymph node)_ Miscellaneous conditions_ Primary Mycobacterium avium complex infection (“Lady Windermere syndrome”)_ Connective tissue diseases, eg, rheumatoid arthritis, systemic lupus erythematosus, Sjo gren syndrome_ Pulmonary sequestration_ Yellow nail syndrome_ Infertility (primary ciliary dyskinesia, cystic fibrosis, Young syndrome)_ Diffuse panbronchiolitis_ a1-Antitrypsin deficiency

2.3. Anatomi dan Fisiologi

2.3.1. Anatomi

Dari gambar 2.1. dapat kita lihat bahwa cabang utama bronkus kanan dan

kiri akan bercabang menjadi bronkus lobaris dan bronkus segmentalis.

Percabangan ini berjalan terus-menerus menjadi bronkus yang ukurannya semakin

kecil sampai akhirnya menjadi bronkiolus terminalis, yaitu bronkiolus yang tidak

5

mengandung alveoli. Bronkiolus terminalis mempunyai diameter kurang lebih 1

mm. Bronkiolus tidak diperkuat oleh kartilago tetapi dikelilingi oleh otot polos

sehingga ukurannya dapat berubah. Seluruh saluran udara sampai pada tingkat ini

disebut saluran penghantar udara karena fungsinya menghantarkan udara ke

tempat pertukaran gas terjadi. Setelah bronkiolus terdapat asinus yang merupakan

unit fungsional dari paru. Asinus terdiri atas bronkiolus respiratorius, duktus

alveolaris dan sakkus alveolaris terminalis. Asinus atau kadang disebut lobulus

primer memiliki diameter 0,5 sampai 1 cm. Terdapat sekitar 23 percabangan

mulai dari trakea sampai sakkus alveolaris terminalis. Alveolus dipisahkan dari

alveolus di dekatnya oleh septum. Lubang pada dinding ini dinamakan pori-pori

Kohn yang memungkinkan komunikasi antara sakkus. Alveolus hanya selapis sel

saja, namun jika seluruh alveolus yang berjumlah sekitar 300 juta itu

dibentangkan akan seluas satu lapangan tenis.

Gambar 2.1. Anatomi saluran napas

Alveolus pada hakikatnya merupakan gelembung yang dikelilingi oleh

kapiler-kapiler darah. Batas antara cairan dengan gas akan membentuk suatu

tegangan permukaan yang cenderung mencegah ekspansi pada saat inspirasi dan

cenderung kolaps saat ekspirasi. Di sinilah letak peranan surfaktan sebagai

lipoprotein yang mengurangi tegangan permukaan dan mengurangi resistensi saat

inspirasi sekaligus mencegah kolaps saat ekspirasi. Pembentukan surfaktan oleh

6

sel pembatas alveolus dipengaruhi oleh kematangan sel-sel alveolus, enzim

biosintetik utamanya alfa anti tripsin, kecepatan regenerasi, ventilasi yang adekuat

serta perfusi ke dinding alveolus. Defisiensi surfaktan, enzim biosintesis serta

mekanisme inflamasi yang berjung pada pelepasan produk yang mempengaruhi

elastisitas paru menjadi dasar patogenesis emphysema, dan penyakit lainnya.6

Bronkus merupakan percabangan dari trachea. Terdiri dari bronkus dextra

dan bronchus sinistra. Bronkus dextra mempunyai bentuk yang lebih besar, lebih

pendek dan letaknya lebih vertikal daripada bronkus sinistra. Hal ini disebabkan

oleh desakan dari arcus aortae pada ujung caudal trachea ke arah kanan, sehingga

benda-benda asing mudah masuk ke dalam bronkus dextra. Panjangnya kira-kira

2,5 cm dan masuk kedalam hilus pulmonis setinggi vertebra thoracalis VI. Vena

Azygos melengkung di sebelah cranialnya. Ateria pulmonalis pada mulanya

berada di sebelah inferior, kemudian berada di sebelah ventralnya. Membentuk

tiga cabang (bronkus sekunder), masing-masing menuju ke lobus superior, lobus

medius, dan lobus inferior. Bronkus sekunder yang menuju ke ke lobus superior

letaknya di sebelah cranial a.pulmonalis dan disebut bronkusepar ter ialis. Cabang

bronkus yang menuju ke lobus medius dan lobus inferior berada di sebelah caudal

a.pulmonalis disebut bronkushyparterialis. Selanjutnya bronkus sekunder tersebut

mempercabangkan bronkus tertier yang menuju ke segmen pulmo.

Bronkus sinistra mempunyai diameter yang lebih kecil, tetapi bentuknya

lebih panjang daripada bronkus dextra. Berada di sebelah caudal arcus aortae,

menyilang di sebelah ventral oesophagus, ductus thoracicus, dan aorta thoracalis.

Pada mulanya berada di sebelah superior arteri pulmonalis, lalu di sebelah

dorsalnya dan akhirnya berada di sebelah inferiornya sebelum bronkus bercabang

menuju ke lobus superior dan lobus inferior, disebut letak bronkus hyparterialis.

Pada tepi lateral batas trachea dan bronkus terdapat lymphonodus

tracheobronchialis superior dan pada bifurcatio trachea (di sebelah caudal)

terdapat lymphonodus tracheobronchialis inferior. Bronkus memperoleh

vascularisasi dari a.thyroidea inferior. Innervasinya berasal dari N.vagus, n.

Recurrens, dan truncus sympathicus.6

2.3.2. Fisiologi

7

a. Struktur dan fungsi saluran napas normal5,7 :

Sel epitel permukaan

Sel epitel permukaan pada saluran intrapulmoner pada dasarnya dibentuk

oleh dua tipe sel, yaitu sel silia dan sel sekretori. Sel sekretori dibagi menjadi

subtipe berdasarkan penampakan mikroskopik (misalnya Sel clara, goblet dan

serous ). Selain musin, sel sekretori juga melepaskan beberapa molekul

antikmikroba (sebagai contaoh defensin, lisosim, dan IgA), molekul

immunomodulator (sekretoglobin dan sitokin) dan molekul pelindung (protein

trefoil dan heregulin), semuanya ini tergabung dalam mukus.

Kelenjar submukosa

Pada saluran napas besar (diameter lumen >2mm), kelenjar submukosa

berkontribusi pada sekresi musin (gambar 2.2). Kelenjar dihubungan dengan

lumen saluran napas oleh duktus silia superfisial yang mendorong sekresi keluar

dan duktus kolektus nonsilia profundus. Kelenjar sumukosa berlokasi diantara

otot polos dan kartilago. Sel mukous membentuk 60% volume kelenjar. Sel serous

yang berlokasi didistal, membentuk 40% volume kelenjar, mensekresi

proyeoglikan dan protein antimikroba. Pada keadaan patologi, volume kenjar

submukosa dapat meningkat melebihi volume normal.

Lapisan mukosa (lapisan lendir)

Lendir melapisi seluruh saluran napas, dimana kandungan terbanyaknya

adalah cairan, dengan kerakteristik fisik solid. Kandungan normal mukus adalah

97% air dan 3 % solid (musin, protein nonmusin, garam, lemak dan sel debris).

8

Gambar 2.2. Mukus klirens pada saluran napas yang normal

Mekanisme klirens saluran napas

Pertama, mukus didorong ke proksimal saluran napas oleh gerakan silia,

yang akan membersihkan partikel-partikel inhalasi, patogen dan menghilangkan

bahan-bahan kimia yang mungkin dapat merusak paru. Musin polimerik secara

terus-menerus disintesis dan disekresikan untuk melapisi lapisan mukosa.

Kecepatan normal silia 12 sampai 15x/detik, menghasilkan kecepatan 1mm/menit

untuk membersihkan lapisan mukosa. Kecepatan mucociliary clearance

meningkat dalam keadaan hidrasi tinggi. Dan kecepatan gerakan silia meningkat

oleh aktivitas purinergik, adrenergik, kolinergik dan reseptor agonis adenosin,

serta bahan iritan kimia. Mekanisme kedua, adalah dengan mengeluarkan mukus

dengan refleks batuk. Ini mungkin dapat membantu menjelaskan mengapa

penyakit paru yang disebabkan oleh kerusakan fungsi silia tidak terlalu berat

dibandingkan dengan yang disebabkan dehidrasi, yang menghalangi kedua

mekanisme klirens saluran napas. Meskipun batuk berkontribusi dalam

membersikan mukus pada penyakit dengan peningkatan produksi mukus atau

gangguan fungsi silia, ini dapat menyulitkan gejala.

2.4. Patogenesis

Belum diketahui secara sempurna, namun diperkirakan yang menjadi

penyebab utama adalah peradangan dengan destruksi otot, jaringan elastik dan

tulang rawan dinding bronkus, oleh mukopus yang terinfeksi yang kontak lama

dan erat dengan dinding bronkus (gambar 2.3).5

9

Gambar 2.3. Gambaran bronkus pada bronkiektasis

Mekanisme mukus klirens yang efektif adalah sesuatu yang esensial untuk

paru yang sehat, dan kelainan saluran napas disebabkan oleh buruknya mekanisme

klirens mukus. Mukus yang sehat dalah sutau lendir dengan viskositas rendah dan

elastis sehingga dapat dengan mudah diangkut oleh silia. Sedangkan mukus yang

tidak sehat ditandai dengan viskositas yang tinggi dan keelastisan sehingga sulit

untuk dibersihkan. Akumulasi dari mukus yang dihasilkan dari beberapa

kombinasi seperti peningkatan produksinya dan penurunan klirens, dan akumulasi

persisten dapat memicu infeksi dan peradangan dengan tersedianya lingkungan

untuk pertumbuhan mikrobakteri.1,5,7,8

Mukopus mengandung produk-produk neutrofil yang bisa merusak

jaringan paru (protease serin, elastase, kolagenase), oksida nitrit, sitokininflamasi

(IL8) dan substansi yang menghambat gerakan silia dan mucociliary clearance.

Terjadi mukokel yang terinfeksi setelah dilatasi mekanik bronkus yang telah lunak

oleh pengaruh proteolitik. Inflammatory insult yang pertama akan diikuti oleh

kolonisasi bakteri yang akan menyebabkan kerusakan bronkus lebih lanjut dan

predisposisi untuk kolonisasi lagi dan ini merupakan lingkaran yang tidak

terputus. Pada akhirnya terjadi fibrosis dinding bronkus dan jaringan paru

sekitarnya menyebabkan penarikan dinding bronkus yang sudah lemah sehingga

terjadi distorsi. Distensi juga bisa diperberat oleh atelektasis paru sekitar bronkus

yang menyebabkan bronkus mendapatkan tekanan intratorakal yang lebih besar.8,9

2.5. Diagnosis

2.5.1. Gambaran klinis

10

Manifestasi klasik dari bronkiektasis adalah batuk dan produksi sputum

harian yang mukopurulen sering berlangsung bulanan sampai tahunan. Batuk

kronik yang produktif merupakan gejala yang menonjol. Terjadi hampir 90%

pasien.3,5,8,9

Sputum yang bercampur darah atau hemoptisis dapat menjadi akibat dari

kerusakan jalan napas dengan infeksi akut. Sputum yang dihasilkan dapat

berbagai macam, tergantung berat ringannya penyakit dan ada tidaknya infeksi

sekunder. Sputum dapat berupa mukoid, mukopurulen, kental dan purulen. Jika

terjadi infeksi berulang, sputum menjadi purulen dengan bau yang tidak sedap.

Dahulu, jumlah total sputum harian digunakan untuk membagi karakteristik berat

ringannya bronkiektasis. Sputum yang kurang dari 10 ml digolongkan sebagai

bronkiektasis ringan, sputum dengan jumlah 10-150 ml perhari digolongkan

sebagai bronkiektasis moderat dan sputum lebih dari 150 ml digolongkan sebagai

bronkiektasis berat. Namun sekarang, berat ringannya bronkiektasis

dikalsifikasikan berdasarkan temuan radiologis. Pada pasien fibrosis kistik,

volume sputum pada umumnya lebih banyak dibanding penyakit penyebab

bronkiektasis lainnya. Dispnea dan mengi terjadi pada 75 % pasien. Nyeri dada

pleuritis terjadi pada 50 % pasien dan mencerminkan adanya distensi saluran

napas perifer atau pneumonitis distal yang berdekatan dengan permukaan pleura

viseral.3,5,8,9

2.5.2. Pemeriksaan fisik

Ditemukannya suara napas tambahan pada pemeriksaan fisik dada,

termasuk crackles (70 %), wheezing (34 %), dan ronki (44 %) adalah petunjuk

untuk diagnosis. Dahulu, clubbing finger atau jari tabuh adalah gambaran yang

sering ditemukan, tapi saat ini prevalensi gambaran tersebut hanya 3 %. Penyakit

utama yang mengaburkan bronkiektasis adalah penyakit paru obstruktif kronik

(PPOK). Perbandingan gambaran dari dua kondisi disajikan pada Tabel 2.3

Tabel 2. Perbedaan antara PPOK dan bronkiektasis

Variabel PPOK BronkiektasisPenyebab Merokok Infeksi/genetik/imun

11

defekInfeksi Sekunder PrimerPredominan organisme dalam sputum

S. pneumoniae, H. influenzae

Heamophilus influenzae, Pseudomonas aeroginosa

Obstruksi saluran napas dan hiperresponsif

+ +

Rontgen thoraks Hiperlusens, hiperinflasi, dilatasi saluran napas

Dilatasi dan penebalan saluran napas, mukous plug

Sputum Mukoid, jernih Purulen, 3 lapis

2.5.3. Pemeriksaan penunjang

Spirometri

Pada spirometri sering menunjukkan keterbatasan aliran udara, dengan

rasio penurunan volume ekspirasi paksa dalam satu detik (FEV1) untuk memaksa

volume kapasitas paksa (FVC), FVC normal atau sedikit berkurang dan FEV1

menurun. Penurunan FVC menunjukkan bahwa saluran udara tertutup oleh lendir,

dimana saluran napas kolaps saat ekspirasi paksa atau adanya pneumonitis pada

paru. Merokok dapat memperburuk fungsi paru dan mempercepat kerusakan.

Hyperresponsiveness saluran napas dapat ditunjukkan, dimana 40 % pasien

memiliki 15 % atau peningkatan yang lebih besar pada FEV1 setelah pemberian

agonis beta-adrenergik, dan 30 sampai 69 % pasien yang tidak memiliki terlihat

penurunan FEV1 memiliki 20 % penurunan FEV1 setelah pemberian histamin atau

methacholine.3

Gambaran radiologis

Rontgen thoraks

Dengan pemeriksaan foto thoraks, maka pada bronkiektasis dapat

ditemukan gambaran seperti dibawah ini:

a. Ring shadow

Terdapat bayangan seperti cincin dengan berbagai ukuran (dapat mencapai

diameter 1 cm). Dengan jumlah satu atau lebih bayangan cincin sehingga

membentuk gambaran ‘honeycomb appearance’ atau ‘bounches of grapes’

(gambar 5). Bayangan cincin tersebut menunjukkan kelainan yang terjadi pada

bronkus.11

12

(A) (B)

b. Tramline shadow

Gambaran ini dapat terlihat pada bagian perifer paru. Bayangan ini terlihat

terdiri atas dua garis paralel yang putih dan tebal yang dipisahkan oleh daerah

berwarna hitam. Gambaran seperti ini sebenarnya normal ditemukan pada daerah

parahilus.Tramline shadow yang sebenarnya terlihat lebih tebal dan bukan pada

daerah parahilus.6,11

Gambar 2.4. Gambaran honeycomb appearance.

c. Tubular shadow Ini merupakan bayangan yang putih dan tebal. Lebarnya

dapat mencapai 8 mm. Gambaran ini sebenarnya menunjukkan bronkus yang

penuh dengan sekret. Gambaran ini jarang ditemukan, namun gambaran ini

khas untuk bronkiektasis (gambar 2.5).11

13

Gambar 2.5. (A). Tanda panah menunjukan gambaran Ring shadow, (B).

Gambaran tubular shadow

Bronkografi

Merupakan pemeriksaan foto dengan pengisian media kontras ke dalam

sistem saluran bronkus pada berbagai posisi (AP, Lateral, Oblik). Pemeriksaan ini

selain dapat menentukan adanya bronkiektasis, juga dapat menentukan bentuk-

bentuk bronkiektasis yang dibedakan dalam bentuk silindris (tubulus, fusiformis),

sakuler (kistik) dan varikosis. Pada gambar 2.6, didapatkan gambaran glove finger

shadow yang menunjukkan bayangan sekelompok tubulus yang terlihat seperti

jari-jari pada sarung tangan.11

Gambar 2.6. Bronkografi; kini teknik yang kuno namun elegan dapat

menunjukkan bronkiektasis silindris yang disertai dilatasi bronkus lobus bawah

CT-Scan thorax

CT-Scan dengan resolusi tinggi menjadi pemeriksaan penunjang terbaik

untuk mendiagnosis bronkiektasis, mengklarifikasi temuan dari foto thorax dan

14

melihat letak kelainan jalan napas yang tidak dapat terlihat pada foto polos thorax.

CT-Scan resolusi tinggi mempunyai sensitivitas sebesar 97% dan spesifisitas

sebesar 93%. CT-Scan resolusi tinggi akan memperlihatkan dilatasi bronkus dan

penebalan dinding bronkus. Modalitas ini juga mampu mengetahui lobus mana

yang terkena, terutama penting untuk menentukan apakah diperlukan

pembedahan.6

CT-Scan, terutama resolusi tinggi dapat menghasilkan gambar yang

menunjukan dilatasi saluran napas dengan ketebalan dengan ketebalan 1,0-1,55

mm (Gambar 9 dan 10). Sebagai konsekuensinya, saat ini pemeriksaan ini adalah

teknik standar atau untuk mengkonfirmasi diagnosis bronkiektasis.4

2.6. Diagnosis Banding

Beberapa penyakit yang perlu diingat atau dipertimbangkan kalau

berhadapan dengan bronkiektasis1 :

Bronkitis kronik

Tuberkulosis paru (penyakit ini dapat disertai kelainan anatomis paru

berupa bronkiektasis)

15

Gambar 2.7. Pada CT resolusi tinggi menunjukan dilatasi saluran napas pada kedua lobus dan lingula. Pada potongan melintang, dilatasi saluran napas menunjukan ringlike appearance.

Abses paru (terutama bila telah ada hubungan dengan bronkus besar)

Penyakit paru penyebab hemoptisis, misalnya: karsinoma paru

2.7. Penatalaksanaan1,3,5,8

2.7.1. Konservatif

Pengelolaan ini ditujukan terhadap semua pasien bronkiektasis, meliputi:

Menciptakan lingkungan yang baik dan tepat bagi pasien

Contohnya membuat ruangan hangat, udara ruangan kering, mencegah

atau menghentikan merokok, mencegah atau menghindari debu, asap dan

sebagainya.

Memperbaiki drainase sekret bronkus

Melakukan drainase portural tindakan ini merupakan cara yang paling

efektif untuk mengurangi gejala, tetapi harus terjadi secara terus-menerus. Pasien

diletakkan dengan posisi tubuh sedemikaian rupa sehingga dapat dicapai drainase

sputum secara maksimal. Tiap kali melakukan drainase postural dikerjakan

selama 10-20 menit samapi sputum tidak keluar lagi dan tiap hari dikerjakan 2

sampai 4 kali. Prinsip drainase postural ini adalah usaha mengeluarkan sputum

dengan bantuan gravitasi. Untuk keperluan tersebut, posisi tubuh saat dilakukan

drainase postural harus disesuaikan dengan letak bronkiektasisnya. Tujuannya

adalah untuk menggerakkan sputum dengan pertolongan gaya gravitasi agar

menuju ke hilus paru bahkan mengalir sampai tenggorokan sehingga mudah

dibatukkan keluar. Apabila dengan mengatur posisi tubuh pasien seperti tersebut

diatas belum diperoleh drainase sputum secara maksimal dapat dibantu dengan

tindakan memberikan ketukan dengan jari pada punggung pasien (tabotage).

2.7.2. Pengelolaan khusus

Kemoterapi

Kemoterapi pada bronkiektasis dapat digunakan:1). Secara kontinyu untuk

mengontrol infeksi bronkus (ISPA), 2). Untuk pengobatan eksaserbasi infeksi

16

akut pada bronkus/paru, atau 3). Keduanya. Kemoterapi disini mengunakan obat

antibiotik tertentu. Pemilihan antibiotik mana yang harus dipakai sebaiknya

berdasarkan hasil uji sensitivitas kuman terhadap antibiotik. Antibiotik hanya

diberikan kalau diperlukan saja, yaitu apabila terdapat eksaserbasi infeksi akut.

Antibiotik diberikan selama 7-10 hari, terapi tunggal atau kombinasi beberapa

antibiotik, samapai kuman penyebab infeksi terbasmi atau sampai terjadi konversi

warna sputum yang semula berwarna kuning/hijau menjadi mukoid (putih jernih).

Selanjutnya ada dosis pemeliharaan. Ada yang berpendapat bahwa kemoterapi

dengan antibiotik ini apabila berhasil akan dapat mengurangi gejala batuk, jumlah

sputum dan gejala lainnya terutama pada saat ada eksaserbasi akut, tetapi keadaan

ini hanya bersifat sementara.

Drainase sekret dengan bronkoskopi

Cara ini penting dikerjakan terutama pada permulaan perawatan pasien.

Keperluannya antara lain adalah untuk 1). Menentukan darimana asal sekret, 2).

Mengidentifikasi lokali stenosis atau obstruksi bronkus, dan 3). Menghilangkan

obstruksi bronkus dengan sustion drainage daerah obstruksi tadi (misalnya pada

pengobatan atelektasis paru).

2.7.3. Pengobatan simtomatik

Pengobatan ini hanya diberikan jika timbul gejala yang mungkin

menganggu atau membahayakan pasien.

Pengobatan obstruksi bronkus

Apabila ditemukan tanda obstruksi bronkus yang diketahui dari hasil uji

faal paru (% VEP1 < 70%) dapat diberikan obat bronkodilator. Sebaiknya sewaktu

dilakukan uji faal paru dan diketahui adanya tanda obstruksi saluran napas

sekaligus dilakukan tes terhadap obat bronkodilator. Apabila hasil tes

bronkodilator positif, pasien perlu diberikan obat bronkodilator tersebut.

Pengobatan hipoksia

17

Pada pasien yang mengalami hipoksia (terutama pada waktu terjadinya

eksaserbasi akut) perlu diberikan oksigen. Apabila pada pasien telah terdapat

komplikasi bronkitis kronik, pemberian oksigen harus hati-hati, harus dengan

aliran rendah (cukup 1 liter/menit).

Pengobatan hemoptisis

Apabila perdarahan cukup banyak (masif), mungkin merupakan

perdarahan arterial yang memerlukan tidakan operatif segera untuk menghentikan

perdarahannya, dan sementara harus diberikan transfusi darah untuk

menggantikan darah yang hilang.

Hemoptisis yang mengancam kehidupan (lebih dari 600 ml darah per hari)

dapat terjadi pada pasien dengan bronkiektasis. Setelah jalan napas telah

dilindungi dengan pasien berbaring di sisi tempat perdarahan yang dicurigai atau

dengan intubasi endotrakeal, bronkoskopi atau CT dari thoraks diyakinkan

membantu menentukan lobus atau sisi yang mengalami perdarahan. Jika

intervensi radiologi tersedia, aortography dan kanulasi dari arteri bronkial untuk

memgambarkan lokasi ekstravasasi darah atau neovaskularisasi sehingga

embolisasi yang dapat ditunjukan. Pembedahan mungkin masih diperlukan untuk

direseksi daerah yang dicurigai mengalami perdarahan.

Pengobatan demam

Pada pasien dengan eksaserbasi akut sering terdapat demam, terlebih jika

terjadi septikemia. Pada keadaan ini selain perlu diberikan antibiotik yang sesuai,

dosis cukup, perlu ditambahkan abat antipiretik lainnya.

2.7.4. Pembedahan

Peran pembedahan untuk bronkiektasis telah menurun tetapi tidak

menghilang. Tujuan dari operasi pengangkatan tumor termasuk menghilangkan

tumor obstruktif atau residu dari benda asing, pengangkatan segmen atau lobus

yang paling rusak dan diduga berkontribusi terhadap eksaserbasi akut, sekret yang

sangat kental, impaksi lendir. Pengambilan daerah yang memiliki perdarahan

18

abnormal yang tidak terkontrol, dan pengambilan dari paru rusak yang dicurigai

menyembunyikan organisme seperti M. MDR-TB atau avium M. complex. Tiga

pusat bedah telah menggambarkan pengalaman mereka dengan operasi tersebut

selama dekade terakhir, dengan rata-rata tindak lanjut empat sampai enam tahun.

Mereka telah mencatat perbaikan dalam gejala di lebih dari 90 % pasien, dengan

mortalitas perioperatif kurang dari 3 %.3,5,8

Reseksi komplit dilaporkan pada 118 dari 143 pasien bronkiektasis (rata-

rata usia 23,4 tahun) dengan angka morbiditas 23% dan angka mortilitas 1,3%.

Bronkiektasis stadium berhasil diterapi dengan transplantasi paru. Beime et al

melaporkan 86% pasien yang menerima satu atau dua transplantasi paru memiliki

angka kelangsungan hidup 1 tahun.5,8

Indikasi pembedahan berupa pasien bronkiektasis yang terbatas dan

resektabel yang tidak berespon terhadap tindakan konservatif yang adekuat, dan

pasien bronkiektasis yang terbatas tetapi sering mengalami infeksi berulang atau

hemoptisis masif. Kontraindikasi pembedahan berupa pasien bronkiektasis dengan

PPOK, pasien bronkiektasis berat dan pasien dengan komplikasi korpulmonum

kronik dekompensata.1

2.7 Komplikasi

Ada beberapa komplikasi yang dapat dijumpai pada pasien bronkiektasis

antara lain:

Pneumonia dengan atau tanpa atelektasis. Bronkiektasis sering

mengalami infeksi berulang, biasanya sekunder terhadap infeksi saluran

napas bagian atas. Hal ini sering terjadi pada pasien dengan drainase

sputum kurang baik.

Pleuritis, komplikasi ini dapat timbul bersama dengan timbulnya

pneumonia. Umumnya merupakan pleuritis sicca pada daerah yang

terkena.

Hemoptisis, terjadi karena pecahnya pembuluh darah cabang vena

(arteri pulmonalis), cabang arteri (arteri bronkial) atau anastomosis

pembuluh darah. Hemoptisis hebat dan tidak terkendali merupakan

tindakan bedah gawat darurat.

19

Korpulmonale, sering terjadi pada pasien dengan bronkiektasis yang

berat dan lanjut.

Kegagalan pernapasan, merupakan komplikasi paling akhir yang timbul

pada bronkiektasis lanjut dan luas.

2.8. Prognosis

Prognosis pasien bronkiektasis tergantung pada berat-ringannya serta

luasnya penyakit waktu pasien berobat pertama kali. Pemilihan pengobatan secara

tepat (konservatif atau pembedahan) dapat memperbaiki prognosis penyakit. Pada

kasus yang berat dan tidak diobati, prognosisnya buruk, survivalnya tidak akan

lebih dari 5-15 tahun. Kematian pasien tersebut biasanya karena pneumonia,

empiema, payah jantung kanan, hemoptisis dan lain-lain. Pada kasus-kasus tanpa

komplikasi bronkitis kronik berat dan difus biasanya disabilitasnya ringan.1

20

BAB III

KESIMPULAN

Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi

(ektasis) dan distorsi bronkus lokal yang bersifat patologis dan berjalan kronik,

persisten atau irrevesibel. Brokus yang terkena umumnya adalah bronkus ukuran

sedang (medium size), sedangkan bronkus besar umumnya jarang.

Bronkiektasis bukan merupakan penyakit tunggal, dapat terjadi melalui

berbagai cara dan merupakan akibat dari beberapa keadaan yang mengenai

dinding bronkial, baik secara langsung maupun tidak, yang menggangau sistem

pertahannya. Pengobatan pada bronkiektasis bertujuan untuk

mengendalikan infeksi, mengendalikan pembentukan dahak, membebaskan

penyumbatan saluran pernapasan serta mencegah komplikasi.

Pemilihan pengobatan secara tepat (konservatif atau pembedahan) dapat

memperbaiki prognosis penyakit. Bronkiektas is dapat d icegah dengan

melakukan imunisas i campak dan per tus is pada masa kanak- kanak.

Pada kasus-kasus yang berat dan tidak diobati, prognosisnya jelek, survivalnya

tidak akan lebih dari 5-15 tahun.

21

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo AW et al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI Pusat.

2. Pasteur MC, Bilton D, Hill AT. 2010. BTS Guideline for non-CF Bronchiectasis : A Quick Reference Guide. Volume 2 No.2. https://www.brit-thoracic .org.uk

3. Barker AH. 2002. Broncheictasis. The New English Journal of Medicine, 346 : 1383-1393.

4. Fauci AS et al. 2008. Harrison’s Principlesof Internal Medicine. Edisi 17. The McGraw-Hill Companies.

5. O’Regan AW, Berman JS. 2004. Baum’s Textbook of Pulmonary Disease 7 th

edition. Editor James D. Crapo MD. Philadelphia : Lippincott William and Walkins.

6. Patel PR. 2005. Lecture Notes Radiology. Edisi Kedua. Jakarta : Erlangga, hal 40-41.

7. Wilson LM. 2006. Patofisiologi : Proses-proses Penyakit. Edisi Keenam. Editor Hartanto Huriawati dkk. Jakarta : EGC Hal 737-740.

8. Feldman C. 2011. Bronchiectasis : New Approaches to Diagnosis and Management. J Clin Chest Med 32, 535-546.

9. Benditt JO. 2008. Lung and Airway Disorders : Bronchiectasis. https://www.merck.com

22

10. Sutton D. 2003. Textbook of Radiology and Imaging Volume I. Tottenham : Churchill Livingstone hal 45, 163, 164, dan 168.

23