Bocor Lambung Karena Jamu
-
Upload
triono-assamsul -
Category
Documents
-
view
2 -
download
0
description
Transcript of Bocor Lambung Karena Jamu
Bocor Lambung karena Jamu
Roys A. Pangayoman, dr., Sp.B. Dosen Fakultas Kedokteran, Universitas Kristen Maranatha,
Bagian Bedah Rumah Sakit Immanuel, Bandung, Jawa Barat, Indonesia, Agustus 2007.
Jamu merupakan ramuan tradisional yang sangat umum ditemukan di Indonesia, yang
digunakan baik sebagai tambahan/ suplemen sehari-hari maupun sebagai “obat” untuk
berbagai macam penyakit. Khususnya bagi golongan masyarakat menengah ke bawah, jamu
masih menjadi pilihan pertama untuk gangguan kesehatan sehari-hari seperti sakit kepala, flu,
demam, batuk, dan sebagainya, karena harganya yang relatif lebih murah dibandingkan obat-
obatan di apotik, dan efeknya yang langsung terasa oleh kebanyakan pengguna jamu.
Tidak semua jamu-jamuan di Indonesia masuk ke dalam daftar BPOM (Badan Pengawas
Obat dan Makanan). Jamu gendong, misalnya, yang pembuatannya dilakukan langsung oleh si
penjual jamu dengan ilmu yang turun temurun atau mencari dari rekan penjual jamu gendong
lainnya. Banyak pula jamu-jamuan yang masuk ke dalam daftar BPOM dan Depkes dan memiliki
nomor registrasi resmi. Sayangnya, ada juga jamu-jamuan yang pada bungkus luarnya tertera
nomor registrasi BPOM maupun Depkes, namun ternyata setelah ditelusuri lebih lanjut, nomor
tersebut palsu karena BPOM menyangkal bahwa jamu-jamuan tersebut masuk ke dalam daftar
obat yang telah lulus tes saring alias aman dikonsumsi. Padahal masyarakat luas sulit untuk
mengecek apakah nomor BPOM tersebut asli atau karangan belaka. Inilah yang
membahayakan, sebab kita tidak pernah tahu apa saja bahan-bahan yang terkandung dalam
jamu-jamuan tersebut.
Kompas edisi Kamis 14 Desember 2006 - “Cara Bijak Pilih Obat Tradisional” membahas
mengenai adanya 93 jenis jamu-jamuan yang mengandung obat keras di dalamnya. Bahan-
bahan obat keras tersebut diantaranya fenilbutason, metampiron, CTM, piroksikam,
deksametason, allupurinol, sildenafil sitrat, sibutramin hidroklorida, dan parasetamol. Hampir
kesemua bahan tersebut dapat menyebabkan efek samping langsung terhadap lapisan sel
pelindung pada lambung (mukosa lambung), yaitu peptic ulcer (borok pada dinding mukosa
lambung). Peptic ulcer merupakan penyebab utama bocor lambung (±70%) selain
keganasan/kanker pada lambung (± 30%). Masyarakat pada umumnya mengetahui penyakit
peptic ulcer sebagai penyakit maag. Pengobatan yang tidak adekuat akan mengakibatkan
komplikasi lebih lanjut berupa perdarahan lambung, keganasan, dan akhirnya bocor lambung.
Penyebab tersering dari peptic ulcer adalah produksi asam lambung yang berlebih,
obat-obatan, serta infeksi Helicobacter pylori, sejenis bakteri tahan asam yang memiliki sifat
khusus dapat memproduksi enzim urease yang dapat merubah derajat keasaman di dalam
lambung menjadi suasana basa, sehingga bakteri tersebut dapat hidup dan berkembang biak di
dalam mukosa lambung. Produksi asam lambung berlebih dapat disebabkan oleh faktor stress
dan rokok, sedangkan infeksi H.pylori dapat dieradikasi dengan obat-obatan tertentu, sehingga
pemeo saat ini berubah dari no acid, no ulcer (1910) menjadi no H.pylori, no ulcer (1989). Obat-
obatan yang paling sering menyebabkan peptic ulcer adalah golongan anti-inflamasi non-
steroid (mis. paracetamol, fenilbutason, metampiron, dsb.), serta golongan obat-obat steroid
(mis. prednison, deksametason, dll.). Kesemua hal di atas menjadi penyebab utama terjadinya
kebocoran lambung yang belakangan ini meningkat tajam insidensinya di rumah-rumah sakit di
Indonesia.
Gambar 1: Perforasi gaster. Sumber: A.D.A.M.©,2006
Jamu-jamuan sebenarnya dimasukkan ke dalam golongan suplemen makanan, bukan
obat-obatan, yang dibuat dari bahan-bahan alami, berupa bagian dari tumbuhan seperti akar-
akaran, daun-daunan dan kulit batang. Ada juga yang menggunakan bahan dari tubuh hewan,
seperti empedu kambing atau tangkur buaya. Efeknya juga tidak akan langsung dirasakan oleh
peminumnya, karena sifatnya berupa suplemen, sehingga jika ada jamu yang efeknya
“cespleng” justru harus dicurigai mengandung bahan obat-obatan kimia tertentu.
Dalam tahun 2007 ini insidensi kejadian pasien dengan bocor lambung (perforasi
gaster) meningkat dengan drastis. Di RS Hasan Sadikin Bandung, kasus pasien dengan bocor
lambung pada tahun 2005 sejumlah 26 orang, tahun 2006 sejumlah 38 orang, dan dalam tahun
2007 dari Januari hingga Juli (6 bulan) saja terdapat peningkatan menjadi 53 pasien (±40%), dan
tampaknya meningkat terus insidensinya. Hal ini serupa dengan penelitian di RS Immanuel
Bandung, di mana kasusnya pada tahun 2006 tidak lebih dari 10 orang saja, namun dalam 6
bulan terakhir (Januari s/d Juli 2007) kasusnya mencapai 40 orang dan cenderung bertambah
pula. Mayoritas kasusnya adalah pria (77%), yang sesuai dengan insidensi populasi di seluruh
dunia. Usia terbanyak berada di kisaran 50-70 tahun, dengan usia penderita termuda 22 tahun,
dan tertua 80 tahun (rata-rata 60 tahun).
Hal yang menarik mengenai kasus-kasus bocor lambung di kedua rumah sakit
pendidikan di Bandung tersebut yaitu seluruh penderita (100%) adalah pengkonsumsi jamu-
jamuan kronis (menahun) akibat penyakit rematik, nyeri kepala, flu dan sebagainya.
Kebanyakan penderita membeli jamu-jamu tersebut dari warung-warung jamu, dan bukan dari
produsen yang terpercaya. Jamu Cap Unta, jamu ‘setelan’/’runtuyan’, dan beberapa jamu yang
dibungkus dalam kemasan sachet dengan harga yang amat murah yang paling sering
dikonsumsi oleh penderita-penderita tersebut. Hubungan langsung antara konsumsi jamu-
jamuan “gelap” ini dengan peningkatan kasus bocor lambung yang sangat drastis memang
belum jelas terbukti, namun dari hasil pemeriksaan patologi anatomi (pemeriksaan jaringan di
sekitar dinding lambung yang bocor) menunjukkan tidak adanya kuman H.pylori yang
merupakan penyebab paling banyak borok dinding mukosa lambung, maupun adanya
keganasan/tumor pada mukosa lambung penderita. Hal ini yang menimbulkan suatu hipotesis
penyebab lainnya yaitu konsumsi obat-obat yang dapat mengiritasi mukosa lambung, salah
satunya adalah jamu-jamuan yang menurut BPOM dicampur dengan obat-obat kimia keras
yang dapat merusak lapisan pelindung dinding lambung.
Penderita dengan perforasi gaster umumnya datang dengan keluhan nyeri perut
mendadak dan sangat hebat dirasakan di perut bagian atas (ulu hati, mirip gejala penyakit
maag), wajah pucat, keringat dingin, nafas pendek-pendek, demam dan muntah-muntah,
khususnya pada jam-jam pertama setelah kebocoran terjadi. Setelah beberapa jam, penderita
biasanya justru tampak lebih baik, nyeri berkurang, muntah-muntah berhenti, suhu dan nadi
normal, nyeri berkurang, bahkan penderita bisa tidur, namun justru pada periode
“intermediate” inilah waktu yang paling baik untuk dilakukan tindakan segera berupa
operasi/pembedahan sehingga diagnosis penderita harus dilakukan dengan cepat dan benar.
Pada periode lanjut (>12 jam setelah kebocoran lambung terjadi), pasien akan memburuk
kembali dengan cepat, dan mulai masuk ke dalam keadaan peritonitis (peradangan hebat pada
rongga perut) dan sepsis (infeksi hebat dengan racun/toksin bakteri yang sudah menyebar ke
seluruh tubuh) akibat kontaminasi rongga perut oleh asam lambung dan isi lambung lainnya
berupa sisa makanan dan enzim-enzim pencernaan. Jika penderita baru ditangani pada periode
lanjut ini atau bahkan lebih lama, maka prognosis (kemungkinan yang terjadi pada penderita)
pada pasien tersebut akan menjadi lebih buruk, apalagi diperberat lagi dengan faktor usia
penderita yang umumnya sudah lanjut, serta penyakit-penyakit usia lanjut lainnya yang
mungkin diderita oleh pasien itu sebelumnya.
Penanganan penderita yang sudah didiagnosis sebagai perforasi gaster adalah
penanganan secara pembedahan, karena kebocoran tersebut harus dicari dan ditutup oleh ahli
bedah yang bersangkutan. Umumnya, jika penderita datang pada periode-periode awal
penyakitnya, pasien dapat sembuh sempurna dalam waktu 7-10 hari. Namun penelitian di RS
Immanuel pada 6 bulan terakhir ini menunjukkan 57% saja penderita dengan perbaikan atau
sembuh sempurna, 22% meninggal dunia, sisanya dibawa pulang paksa oleh keluarga penderita
atau hal lainnya. Pada kasus penderita yang meninggal dunia, 89% akibat menolak dioperasi
atau keadaannya yang sudah sangat berat sehingga tidak mungkin lagi untuk dilakukan
pembiusan. Hal ini menunjukkan bahwa level of patient awareness (tingkat kesadaran)
masyarakat kita masih sangat rendah untuk kasus ini, apalagi jika dokter yang pertama
menanganinya juga kurang aware terhadap penyakit ini.
Manajemen paling baik untuk penderita perforasi gaster adalah pencegahan, karena
jika kebocoran lambung sudah terjadi, maka penanganannya akan menghabiskan banyak biaya
kesehatan yang harus ditanggung oleh pasien, keluarga, rumah sakit, dan ujungnya adalah
negara kita. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan langsung
konsumsi jamu-jamuan gelap dengan penyakit bocor lambung pada penderita, dan menjadi
‘pekerjaan rumah’ untuk Badan POM Indonesia untuk lebih selektif dan ketat lagi dalam
mensurvey jamu-jamuan dan obat-obatan yang dijual di warung maupun di toko-toko obat di
masyarakat kita, ditambah penyuluhan dan informasi kepada masyarakat oleh petugas
kesehatan, agar kejadian kasus kebocoran lambung di Indonesia tidak semakin meningkat lagi.
PENULIS:
Roys A. Pangayoman, dr., Sp.B
Dokter Spesialis Bedah
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranatha Bandung
Bagian Bedah RS Immanuel Bandung
Jawa Barat – Indonesia
Alamat: Jl. Sukamekar II no.7 Bandung 40164
Telp: 022-2012398, 0812-231-5785