BLUD Sarana Mensejahterahkan Rakyar

6
BLUD SEBAGAI SARANA PENINGKATAN PELAYANAN KEPADA MASYARAKAT Oleh Suyuti Syamsul Tugas pemerintah daerah adalah melindungi, memberdayakan dan memberi pelayanan pada masyarakat. Masyarakat menuntut pelayanan publik yang terukur, rasional, relevan dan tepat waktu tanpa mau tahu sstem penganggaran yang tidak memungkinkan mengakomodir tuntutan tersebut. Sebagai perangkat daerah, pengelolaan keuangan/barang RSUD tunduk pada berbagai peraturan yang berlaku. Dalam sistem penganggaran yang berlaku selama ini, agar dapat mempertahankan pelayanan tetap berlangsung maka pengelola RSUD harus melanggar aturan agar barang dan jasa untuk keperluan operasioanal pada awal tahun tetap tersedia. Hal ini terpaksa dilakukan mengingat aturan yang ada mengharuskan persedian barang dan jasa untuk keperluan operasional diadakan untuk menunjang kegiatan satu tahun anggaran yang habis pada tanggal 30 Desember. Agar pada tanggal 1 Januari RSUD tetap dapat beroperasional maka pengelola harus meminjam padahal sesuai peraturan yg ada, SKPD dilarang meminjam. Esensi Penerapan Pola Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD) untuk menjawab kecepatan pelayanan tanpa harus melanggar aturan yang ada. Agar tidak melanggar aturan PPK- BLUD diberikan fleksibilitas penggunaan anggaran dan pengadaan barang/jasa utk meningkatkan pelayanan dan efisiensi anggaran. Lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2012 Angka Romawi V Hal-Hal Khusus Lainnya Angka 20, Dalam pasal 69 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 ditegaskan bahwa SKPD atau unit kerja pada SKPD yang memiliki spesifikasi tekhnis dibidang layanan umum, diberikan fleksibilitas dalam Pola Pengelolaan Keuangannya dalam bentuk Badan Layanan Umum Daerah (PPK- BLUD). Dalam PPK-BLUD, pemerintah daerah memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. Dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan umum kepada masyarakat, pemerintah daerah agar segera melakukan evaluasi kepada SKPD atau unit kerja pada SKPD yang tugas dan fungsinya secara operasional memberi pelayanan kepada masyarakat untuk menerapkan PPK- BLUD. Khusus bagi Rumah Sakit Daerah yang belum menerapkan PPK-BLUD, agar memperhatikan pasal 7 ayat (3) dan pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi dan mengakomodasi dalam penyiapan dokumen administratif sebagaimana dipersyaratkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 tahun 2007 tentang Pedoman Tekhnis PPK-BLUD. b. Bagi SKPD atau unit kerja SKPD yang telah menerapkan PPK-BLUD, agar: a) Penyusunan kerja dan anggaran dalam APBD menggunakan format Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA); b) Konsolidasi RBA dengan peraturan daerah tentang APBD dan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD sampai pada jenis belanja; dan c) Sistem keuangan untuk BLUD, agar dibuat format tersendiri. c. Bagi SKPD atau unit kerja SKPD yang menerapkan PPK-BLUD setelah peraturan daerah tentang APBD ditetapkan, pelaksanaan anggaran tetap mempergunakan RKA/DPA-SKPD sampai tahun anggaran berkenaan berakhir, untuk selanjutnya mempergunakan RBA/DPA-BLUD.

description

Opini pada salah satu koran lokal

Transcript of BLUD Sarana Mensejahterahkan Rakyar

Page 1: BLUD Sarana Mensejahterahkan Rakyar

BLUD SEBAGAI SARANA PENINGKATAN PELAYANAN KEPADA MASYARAKAT

Oleh Suyuti Syamsul

Tugas pemerintah daerah adalah melindungi, memberdayakan dan memberi pelayanan pada

masyarakat. Masyarakat menuntut pelayanan publik yang terukur, rasional, relevan dan tepat waktu

tanpa mau tahu sstem penganggaran yang tidak memungkinkan mengakomodir tuntutan tersebut.

Sebagai perangkat daerah, pengelolaan keuangan/barang RSUD tunduk pada berbagai peraturan

yang berlaku. Dalam sistem penganggaran yang berlaku selama ini, agar dapat mempertahankan

pelayanan tetap berlangsung maka pengelola RSUD harus melanggar aturan agar barang dan jasa

untuk keperluan operasioanal pada awal tahun tetap tersedia. Hal ini terpaksa dilakukan mengingat

aturan yang ada mengharuskan persedian barang dan jasa untuk keperluan operasional diadakan

untuk menunjang kegiatan satu tahun anggaran yang habis pada tanggal 30 Desember. Agar pada

tanggal 1 Januari RSUD tetap dapat beroperasional maka pengelola harus meminjam padahal sesuai

peraturan yg ada, SKPD dilarang meminjam.

Esensi Penerapan Pola Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD) untuk menjawab

kecepatan pelayanan tanpa harus melanggar aturan yang ada. Agar tidak melanggar aturan PPK-

BLUD diberikan fleksibilitas penggunaan anggaran dan pengadaan barang/jasa utk meningkatkan

pelayanan dan efisiensi anggaran.

Lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyusunan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2012 Angka Romawi V Hal-Hal Khusus

Lainnya Angka 20, Dalam pasal 69 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 ditegaskan bahwa SKPD

atau unit kerja pada SKPD yang memiliki spesifikasi tekhnis dibidang layanan umum, diberikan

fleksibilitas dalam Pola Pengelolaan Keuangannya dalam bentuk Badan Layanan Umum Daerah (PPK-

BLUD). Dalam PPK-BLUD, pemerintah daerah memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan umum kepada masyarakat, pemerintah daerah

agar segera melakukan evaluasi kepada SKPD atau unit kerja pada SKPD yang tugas dan

fungsinya secara operasional memberi pelayanan kepada masyarakat untuk menerapkan PPK-

BLUD. Khusus bagi Rumah Sakit Daerah yang belum menerapkan PPK-BLUD, agar

memperhatikan pasal 7 ayat (3) dan pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009

tentang Rumah Sakit, dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi dan mengakomodasi dalam

penyiapan dokumen administratif sebagaimana dipersyaratkan dalam Peraturan Menteri Dalam

Negeri Nomor 61 tahun 2007 tentang Pedoman Tekhnis PPK-BLUD.

b. Bagi SKPD atau unit kerja SKPD yang telah menerapkan PPK-BLUD, agar:

a) Penyusunan kerja dan anggaran dalam APBD menggunakan format Rencana Bisnis dan

Anggaran (RBA);

b) Konsolidasi RBA dengan peraturan daerah tentang APBD dan peraturan kepala daerah

tentang penjabaran APBD sampai pada jenis belanja; dan

c) Sistem keuangan untuk BLUD, agar dibuat format tersendiri.

c. Bagi SKPD atau unit kerja SKPD yang menerapkan PPK-BLUD setelah peraturan daerah tentang

APBD ditetapkan, pelaksanaan anggaran tetap mempergunakan RKA/DPA-SKPD sampai tahun

anggaran berkenaan berakhir, untuk selanjutnya mempergunakan RBA/DPA-BLUD.

Page 2: BLUD Sarana Mensejahterahkan Rakyar

Penerapan PPK-BLUD akan menabrak beberapa peraturan dan perundangan-undangan yang

berlaku. Sering timbul pertanyaan, apakah surat keputusan kepala daerah tentang penetapan SKPD

dengan PPK-BLUD dapat dijadikan landasan hukum untuk melakukan pengecualian-pengecualian

terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Apalagi dasar surat keputusan kepala

daerah tersebut hanya didasarkan pada peraturan menteri dalam negeri yang dalam hirarki undang-

undang tidak dikenal. Kalau melihat prinsip hukum yang berlaku bahwa lex generalis (aturan umum)

tunduk pada lex spesialis (aturan khusus) maka tidak perlu menjadi masalah. Lagi pula peraturan

menteri dalam negeri dan surat keputusan kepala daerah adalah omnibus regulation atau muara

dari berbagai undang-undang.

Mengapa Undang-Undang Mewajibkan RSUD Dikelola dengan Pola PPK-BLUD

Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri berupaya mendorong agar pemerintah daerah

memfasilitas penerapan pola PPK-BLUD pada RSUD. Hasil dari upaya tersebut dapat dilihat dari data

yg telah menerapkan pola PPK-BLUD yaitu 313 dari 440 RSUD yang ada diseluruh Indonesia atau

tinggal 127 (28,9 %) yang belum menerapkannya. Sebagian dari RSUD yang telah menerapkan pola

PPK-BLUD adalah RSUD baru yang berada pada daerah pemekaran. (sumber: Ir. Bejo Mulyono, MML

Sub Direktorat BLUD Kemeterian Dalam Negeri). Upaya pemerintah mendorong SKPD yang tugas

pokok dan fungsinya memberikan layanan publik khususnya RSUD untuk secepatnya menerapkan

PPK-BLUD dapat dipahami mengingat korban utama sistem penganggaran klasik seperti saat ini

adalah RSUD.

Jika mengikuti aturan secara ketat, maka pada tanggal 1 Januari RSUD harus ditutup karena tidak

memiliki persediaan barang dan jasa untuk menunjang kelangsungan operasionalnya. Belum lagi

proses penyediaan barang dan jasa yang memakan waktu lama maka seyogyanya sesuai ketentuan,

RSUD baru dapat memulai operasionalnya paling cepat bulan Maret. Minimnya alokasi anggaran

yang ada pada APBD hanya mampu mempertahankan peyediaan obat/bahan habis pakai (BHP)

paling lama sampai bulan oktober, sehingga untuk memenuhi kebutuhan perlu dilakukan

peminjaman yang akan dibayar melalui APBD Perubahan dengan catatan terdapat tambahan alokasi

anggaran.

Siapa yang Diuntungkan

Setiap perubahan tentu akan menimbulkan pertanyaan siapa yang akan diuntungkan. Bagi direksi

dan manajemen RSUD, keuntungan terbesarnya adalah kewajiban untuk menyediakan obat dan BHP

setiap awal tahun dapat dipenuhi tanpa melanggarr aturan. Selain itu, tenaga yang tidak mungkin

dipenuhi melalui formasi CPNS seperti tukang cuci, tukang masak, pendorong pasien serta beberapa

pos kerja lainnya akan ditutup melalui pengangkatan non PNS yang digaji sendiri oleh RSUD. Untuk

menutupi kebutuhan tenaga pada pos-pos tersebut, selama ini diatasi dengan mengangkat Tenaga

Kerja Sukarela (TKS) yang digaji sendiri oleh direktur RSUD. Kemampuan direktur menggaji TKS

sangat terbatas sehingga terjadi ketidakseimbangan antara volume pekerjaan dengan jumlah tenaga

yang tersedia yang berakibat terjadi penurunan kuantitas dan kualitas layanan. Selain itu, RSUD

dapat melakukan kerjasama operasional (KSO) dengan distributor alat kesehatan untuk penyediaan

fasilitas yang tidak mungkin dibeli melaui APBD karena keterbatasan anggaran. Melalui KSO, RSUD

dapat memiliki berbagai fasilitas mutakhir dengan biaya pemeliharaan yang ditanggung oleh

Page 3: BLUD Sarana Mensejahterahkan Rakyar

distributor. Kewajiban RSUD hanya menjamin akan membeli BHP dari distributor alat kesehatan

tersebut selama memakai alatnya.

Bagi karyawan RSUD, perubahan ini akan berdampak pada tercapainya rasio ideal pasien-petugas.

Salah satu masalah laten ketidak seimbangan rasio pasien-petugas dapat dilihat diruangan bersalin.

Seyogyanya satuan jaga bidan yang melayani perawatan ibu dan yang menolong persalinan harus

dipisah untuk mengurangi keluhan pasien. Karena satuan tugasnya digabung sementara setiap

jadwal jaga maksimal hanya tiga orang bidan yang dapat ditugaskan maka rasio bidan-pasien sering

mencapai 1 bidan melayani 11 pasien. Ketika ada satu pasien yang bersalin dibutuhkan minimal dua

bidan untuk menolongnya sehingga tersisa hanya satu bidan efektif untuk melayani 32 pasien

lainnya. Untuk membentuk satu satuan baru jaga bidan maka diperlukan minimal 12 orang

tambahan tenaga, ditengah keterbatasan formasi CPNS tentu sangat sulit untuk memenuhi

kebutuhan tenaga. Demikian halnya imbalan jasa yang diterima karyawan dapat dibayar tepat waktu

setiap bulan tanpa perlu menunggu berbulan-bulan seperti saat ini karena anggaran tersedia setiap

saat pada kas RSUD. Pembayaran hak karyawan yang tepat waktu tentu akan berdampak positif

pada peningkatan pelayanan.

Lalu apa untungnya bagi pasien! Bagi yang pernah berobat/dirawat di RSUD tentu pernah merasakan

betapa repotnya urusan obat. Ketika masuk UGD, bagi yang tidak membawa uang tunai maka apotik

akan meminta jaminan terlebih dahulu. Bayangkan bagaimana pasien kecelakaan lalulintas atau

pasien mendadak sakit tanpa persiapan uang tunai yang mencukupi. Pasien rawat inap harus bolak-

balik menebus tunai setiap resep di apotik. Pasien Askes harus keluar RSUD untuk mendapatkan

obat yang juga belum tentu tersedia secara memadai.

Sebagian besar masyarakat tidak dapat memahami mengapa hal ini terjadi di RSUD dan sedikit

banyaknya sangat merusak reputasi RSUD sebagai pemberi layanan publik. Hanya segilintir

masyarakat yang paham bahwa hal tersebut terjadi karena persoalan sistem penganggaran dan

ketersediaan anggaran. Sistem yang ada saat ini mengharuskan setiap rupiah pendapatan RSUD yang

diterima harus disetorkan secara bruto ke Kas Umum Daerah dan terbatasnya anggaran yang ada

membuat RSUD tidak dapat berbuat banyak. Kalau RSUD nekat mengatasi sendiri persoalan obat

untuk pasien maka dalam waktu dua bulan apotik RSUD akan tutup sebab tidak ada uang tersedia

untuk belanja obat bulan berikutnya. Agar masyarakat terlayani maka RSUD terpaksa bekerjasama

dengan apotik pelengkap yang dimiliki pihak lain karena pihak lain tersebut tidak terikat dengan

sistem penganggaran yang berlaku.

Dengan tidak dikuasainya pengelolaan obat sepenuhnya oleh RSUD maka dambaan hampir setiap

orang agar pasien dapat diberikan obat di UGD tanpa jaminan terlebih dahulu, tidak perlu menebus

tunai setiap resep yang ada dan pasien askes dapat menikmati haknya mendapatkan obat dalam

DPHO masih jauh panggang dari api. Untuk meminimalkan dampak merugikan ini, RSUD melalui

instalasi farmasinya berusaha menyediakan obat generik dan obat standar namun karena anggaran

yang terbatas maka ketersediaanya tidak dapat dijamin. Langkah lain yang diambil direksi adalah

memberikan jaminan personal agar apotik pelengkap meminjami obat terlebih dahulu pada pasien.

Tentu saja jaminan personal ini memiliki resiko finansial jika terjadi gagal bayar karena yang akan

membayar adalah penjamin. Karena jaminan personal, tentu tidak dapat dibuatkan prosedur

Standar Operasional tetapi diselesaikan kasus per kasus.

Page 4: BLUD Sarana Mensejahterahkan Rakyar

Hampir semua masyarakat berharap tidak dimintai jaminan untuk mendapatkan obat di UGD, tidak

harus menebus tunai setiap resep ketika dirawat, dan berbagai harapan lainnya menyangkut layanan

obat yang manusiawi dan terjangkau. Untuk mewujudkan harapan ini, maka satu-satunya jalan

adalah mengabungkan tagihan pelayanan rumah sakit dengan tagihan obat sebagai satu kesatuan.

Hal ini dapat dicapai ketika sistem memungkinkan dengan penerapan pola PPK-BLUD. Karena sistem

PPK-BLUD memungkinkan penguasaan sepenuhnya obat di RSUD oleh direksi, ketika ada masyarakat

tidak dapat membayar tagihannya maka tinggal membuat surat pernyataan berutang ke RSUD untuk

menjamin prinsip akuntabilitas. Agar tidak menjadi beban masyarakat selamanya maka sebaiknya

direktur diberikan kewenangan untuk menghapus utang masyarakat setelah mencapai jangka waktu

tertentu.

Melalui pola PPK-BLUD program pemerintah seperti Jamkesmas dan Jampersal dapat dikelola

dengan lebih baik sebab klaim biaya pelayanan yang dibayar pemerintah dapat dipergunakan

langsung tanpa harus disetorkan ke APBD terlebih dahulu untuk belanja obat dan BHP. Sesuai

ketentuan yang ada, seluruh biaya pelayanan kesehatan termasuk obat dan BHP untuk pasien

jamkesmas dan jampersal termasuk pasien rujukan dari daerah lain menjadi tanggungan RSUD.

Kebutuhan obat pasien jamkesmas selama ini sebagian besar diambilkan dari program jamkesda

termasuk biaya penganggtian pengolahan darah ke PMI. Seandainya klaim jamkesmas dapat

dipergunakan langsung maka dengan jumlah anggaran jamkesda yang ada saat ini akan mampu

menanggung lebih banyak masyarakat tidak mampu yang tidak masuk kuota jamkesmas. Lebih

serius lagi adalah pasien jampersal yang terpaksa harus menebus sendiri sebagian besar obatnya

karena obat standar yang tersedia di RSUD sangat terbatas menyesuaikan ketersediaan anggaran.

Pasien askes harus menebus obatnya pada apotik luar karena sistem yang ada saat ini tidak

memungkinkan RSUD membeli langsung pada rekanan askes.

Keterbatasan anggaran juga membuat hampir semua BHP untuk pasien harus diresepkan. Padahal

sesuai ketentuan Perda Kabupaten Kotawaringin Barat Nomor 8 tahun 2009 tentang Tarif Layanan

Kesehatan di RSUD Sultan Imanuddin Pangakalan Bun mengamanahkan BHP tertentu sudah

termasuk dalam komponen tarif, tidak perlu ditebus secara tersendiri oleh pasien. BHP yang tidak

pernah cukup menyababkan pada saat tertentu BHP seperti betadin, sarung tangan, dan beberapa

jenis lainnya terpaksa diresepkan. Keterbatasan anggaran memaksa direksi RSUD membuat prioritas

untuk mencukupi BHP yang tidak mungkin diresepkan baik karena tidak tersedia dipasaran bebas

maupun pada aspek keadilannya sebab yang dibutuhkan sedikit seperti reagen utk pemeriksaan

laboratorium dan film rontgen. Akibatnya pasien merasa biaya kesehatan sangat mahal karena

setiap BHP harus ditebus.

Pengawasan PPK-BLUD

Masalah kunci lainnya pada PPK-BLUD adalah siapa yang akan mengawasi. Bagaimana fungsi dan

peran DPRD terhadap PPK-BLUD. Sampai saat ini, masih banyak pihak yang belum mehami secara

utuh apa itu PPK-BLUD. Penerapan PPK-BLUD dipandang sebagai privatisasi, pemisahan diri dari

pemerintah daerah yang akan berdampak kekuasaan direksi yang sangat besar. Kesimpan siuran

inilah apalagi informasi melalui media massa yang sering dipenggal dan tidak utuh yang

menyebabkan resistensi cukup tinggi.

Perlu digaris bawahi bahwa penerapan PPK-BLUD tidak merubah satus, tugas pokok dan fungsi serta

kelembagaan RSUD. Aset PPK-BLUD tidak dipisahkan dari aset daerah dengan demikian RSUD

Page 5: BLUD Sarana Mensejahterahkan Rakyar

bukanlah BUMD yang pendapatan dan belanjanya tidak ditetapkan oleh DPRD. Itu sebabnya

mengapa dalam peraturan perundang-undangan, penerapan pola PPK-BLUD cukup membutuhkan

surat keputusan kepala daerah setelah dilakukan penilaian oleh Tim Penilai yang dibentuk oleh

Kepala Daerah. Bagaimana hubungan antara RSUD setelah menerapkan pola PPK-BLUD adalah persis

sama dan sebangun dengan hubungan RSUD dengan pemerintah daerah saat ini. Karena hubungan

pemerintah daerah dengan RSUD tidak berubah, maka hubungan RSUD dengan DPRD terkait dengan

penetapan anggaran (pendapatan dan belanja) dan pegawasan juga tidak berubah. RBA-SKPD

sebagai pengganti RKA-SKPD sebelum dapat dipergunakan harus dibahas, disetujui dan ditetapkan

oleh DPRD. Karena pola PPK-BLUD memberikan fleksibilitas pengelolaan keuangan, maka RSUD

dapat berbelanja untuk keperluan operasional dengan catatan tidak melampaui anggaran tahun

sebelumnya sebesar nilai ambang batas yang dinyatakan dalam persentese sebelum RBA-SKPD

ditetapkan oleh DPRD baik APBD murni maupun APBD perubahan. Dengan demikian anggapan yang

mengatakan bahwa RSUD dapat menggunakan anggaran tanpa persetujuan DPRD tidak memiliki

dasar sama sekali.

Pada RBA-SKPD hanya ada satu program RSUD yaitu program peningkatan pelayanan kesehatan

pada masyarakat yang kemudian dirinci dalam bentuk kegiatan-kegiatan. Karena model

penganggarannya lebih sederhana hanya sampai tiga tingkat, maka dalam satu kegiatan yang sama

direktur dapat melakukan pergesaran anggaran mendahului penetapan APBD-P untuk menjamin

kelangsungan pelayanan. Setiap pergeseran anggaran yang mendahului penetapan APBD-P akan

dikonsolidasikan dengan DPKD untuk ditetapkan pada APBD-P. Laporan pelaksanaan anggaran oleh

RSUD akan dikonsolidasikan dengan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD oleh kepala

daerah. Jika terdapat uang sisa operasioanal yang tersimpang di kas RSUD, maka dalam laporan

keuangan daerah khusunya SILPA akan diberikan keterangan tambahan misalnya Rp. 100 juta

berada pada kas RSUD.

Selain pengawasan oleh DPRD, sebagaimana SKPD lainnya, laporan keuangan RSUD akan diperiksa

oleh BPK dan diawasi oleh Inspektorat. Namun berbeda dengan SKPD lainnya, RSUD juga harus

bersedia di audit oleh Akuntan Publik dan kepala daerah akan mengawasi RSUD secara langsung

dengan mengangkat dewan pengawas yang dibentuk oleh kepala daerah. Tambahan pengawasan yg

diberikan kepada SKPD dengan pola PPK-BLUD dapat dimaklumi sebagai konsekwensi fleksibilitas

penggunaan anggaran. Perlu digaris bawahi bahwa pemberian fleksibilitas penggunaan anggaran

hanya diperbolehkan untuk anggaran yang berasal dari pendapatan operasional RSUD yang

merupakan pembayaran masyarakat. Belanja yang tidak berasal dari pendapatan operasional

(DAU/DAK/Tugas Perbantuan/Bagi Hasil dan sebagainya) tetap tunduk pada ketentuan yang berlaku

selama ini termasuk Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa.

Pendapatan operasional sendiri akan dicatatkan pada pos pendapatan asli daerah lainnya oleh BLUD

pada APBD.

Muncul kemudian pertanyaan, jika kewenangan direktur RSUD dengan pola PPK-BLUD sedemikian

besarnya, apakah tidak mungkin terjadi penyalahgunaan kewenangan. Bahwa penyalahgunaan

kewenangan tentu saja dapat terjadi sebagaimana halnya pada SKPD lainnya. Untuk menimilkan

resiko tersebut maka selain adanya tambahan pengawasan oleh dewan pengawas serta kesediaan

untuk diaudit oleh akuntan publik , direktur RSUD diikat oleh peraturan kepala daerah dalam bentuk

petunjuk tekhnis tata kelola. Melalui petunjuk tekhnis inilah, kepala daerah dapat (tidak harus)

mendelegasikan kewenangannya pada direktur RSUD, sekaligus memberikan batasan apa yang boleh

Page 6: BLUD Sarana Mensejahterahkan Rakyar

dan tidak boleh dilakukan dalam mengelola PPK-BLUD RSUD. Sekalipun kepala daerah telah

mendelegasikan kewenangannya, namun untuk kebijakan yang bersifat strategis seperti investasi,

pemanfaatan sisa anggaran di Kas RSUD dan kebijakan strategis lainnya harus mendapar persetujuan

dari kepala daerah atau minimal oleh dewan pengawas.