blsa - arielheryanto.files.wordpress.com · Masyarakat perantauan Indonesia di Australia (13.-000)...

1
I i •• Q TUUSAN Rizal Mallara- - ngeng (S/3/91) di harlan ini mengenai peran kritik in- telektual membuka seJumlah persoalan lain yang tak kalah pentlngnya. Larangan bag1 seorang tokoh intelek- tual- keluar negeri bukanlah sekedar persoalan antara si tokoh dan pemerintah di Jakarta. Semoga tulisan ini blsa melengkapi penghor- rnatan Rizal bagi kaum yang dlsebutnya sebagal "duta- duta intelektual". Mengurangi eUtisme intelektual - Tanpa dikehendaki atau dltoJak oleh yang bersang- kutan, dialog intelektual antar-bangsa sebenarnya telah berlangsung secara lebih intenslf dan ekstensif darl yang dibayangkan banyak orang. Dan ini masih akan lebih seru lagi di masa- masa mendatang. Dialog itu bukan monopoli segelintir ellt, perwakilan puncak dari kaum terpelajar Indonesia yang setiap bulannya mon- dar-mandir ke mancanegara. Bukan hanya "duta-duta Intelektual", tapi seluruh anggota komunitas terpelajar kota. bahkanjuga dl pedesa- an. Kita berblcara ten tang rlbuan orang Indonesia yang setiap mtnggunya terbang ke mancanegara dan terlibat aneka dialog dengan bangsa yang dlkunjung!. sebagian dari mereka bermigrasl. sebag!an lag! belajar, yang lain mengajar, yang lain lagi berkunjung singkat untuk berllbur, oerseminar atau berdagang. Kita juga berbicara ten- tang rlbuan warganegara Indonesia, dl kota dan desa, yang dengan semangat menyambut dialog ribuan tamu-tamu mancanegara yang sudah membanJlr jauh sebelum adanya kampanye Visit Indonesia Year. Terle- pas bagaimana kita memba- tasl pengertian "intelektual", berbagat dialog antar-bangsa Itu seringkali tidak kalah serlus dan canggih (baik dalam hal toplk, maupun metodanya) kettmbang seminar paling mewah, ga- gah dan berwibawa kaum intelektual yang dibicarakan Rizal. Dalam aneka ragam perte- muan dan dialog antar-bang- sa itu, persoalan kesetiaan- kesombongan kebangsaan, otokritik terhadap bangsa dan pemerintah sendiri, kesalah-pahaman dan pra- sangka terhadap bangsa lain bukannya tak muncul. Jika semua proses dialog itu di- jumlah total, efeknya boleh jadi tidak kalah penting ketimbang kritik yang dlka- takan seorang elit Intelektual Indonesia di hadapan elit intelektual bangsa lain. Singkat kata, persoalan pentlng yang diungkapkan dengan bagus oleh RfzaI, dalam berbagal kadar dan konteks, sebenarnya dialami banyak orang. Bukan perso- alan ekslusif para Tokoh. Larangan keluar negeri ter- hadap seorang atau bahkan seratus elit intelektual me- mang merupakan suatu kebodohan yang maha mu- bazir. Apalagl dengan sema- kin mudah dan murahnya telekomunikasi bagi semua elit darl semua bangsa di Ariel Heryanto seluruh pelosok jagad ini. Sensor spasial hanya jadi banyolan konyol di masa lampau. Orang Indonesia perantauan Walau Indonesia yang paling nyata dan utuh berada di Indonesia, tldak sernua bangsa {intelektuall aslng mengenal Indonesia secara langsung dengan hidup di Indonesia. Realitas Indonesia pun tldak beku dan statis, tapi berubah dari masa ke masa. Kebanyakan intelektual mancanegara datang ke Indonesia tidak dengan pikiran kosong me- lompong. Pemahaman ten- tang Indonesia tidak dimulai sesudah mereka mendarat di _ negeri in!. Berbeda dari yang sudah lama menetap di Indo- nesia atau serlng mengun- junginya, kebanyakan dart tamu aslng itu dipengaruhi pemahaman yang serba sederhana ten tang Indone- sia. Persis sepertl pemaha- man kita ten tang mereka juga. Pemahaman awal Itu blsa didapat dari mendengar cerita ternan atau membaca buku tentang Indonesia. Biasanya pengalaman kon- krit bergaul dengan orang Indonesia di luar negerllebih menentukan pemahaman dan pandangan awal mereka ten tang bangsa kita darlpada semua buku yang pernah dibacanya. Dialog dengan tamu-tamu asing sering kali menjadi semu, seret atau macet bu- kan karena teknis kebahasaan. Hambatan uta- manya bersumber karena dari pihak kita banyak yang tidak tahu dan tidak mampu membayangkan bagaimana persisnya prasangka dan pengetahuan awal mereka tentang kita. Kebodohan nasional kita ini mungkin diakibatkan propaganda GR yang terlalu banyak dicekok- kan ke benak kita bahwa semua bangsa asing tergila- gila pada "keramahan" bang- sa kita. Darl pihak mereka sendlrl ada kekuatiran dan ketakutan untuk bersikap terbuka menjelaskan pra- sangka dan pengetahuan awalnya pada kita. Bagaimana, secara umum dan kasaran saja, pandang- an dan pengetahuan umum ten tang Indonesia di luar Indonesia saat ini? Bagaima- na orang Indonesia (khusus- nya mahasiswa yang lazim disebut intelektuall di man- canegara bergaul dan mem- berikan kesan kepada bang- sa tuan-rumahnya? Jawab- nya pasti beraneka-ragam, bahkan sebagian saling ber- tentangan. Tapi ada baiknya kita perhatikan satu atau dua masalah yang paling menonjol dan layak diperha- tlkan satu atau dua masalah yang paling menonjol dan layak diperhatikan bersama. Catatan Ini dibuat dari amatan langsung dan pribadi yang terbatas dan layak dilengkapi pihak lain. . Orang Indonesia yang merantau ke berbagai benua terriyata membentuk komu- nitas dengan sikap dan watak yang berbeda-beda. Lain yang di Amerika Serikat (AS), Eropa Barat, Jain pula dt Australia. Rupanya. seper- ti halnya kaum perantauan Cina, manusla lebih banyak ditentukan oleh lingkungan hldupnya ketimbang tradisi leluhur dan latar belakang' biologi budayanya. Tiga variau Of AS saat ini terdapat ratusan rlbu orang Indonesia yang menetap. Sejak Indone- sia merdeka, orang yang ke AS untuk belajar saja sudah mencapai jumlah di atas 10.000. Dlbandingkan de- ngan komunitas bangsa Indonesia di perantauan lain. mereka yang di AS tampak- nya paling cocok dengan gambaran stereotip kaum bOrjuiS dl jaman Pembang- unan yang sedikit banyak dijadikan model resml bagi para mahasiswa Indonesia paska NKK, Watak menonjol mereKa: apolitls dan pragma- tls. Yang mahasiswa belajar terutama sebatas dinding kampus. DI luar kegiatan belajar mereka sibuk menon- ton televisi, belanja di plaza atau memancing. Prom itu tentunya sangat cocok dengan latar belakang mereka. Kebanyakan adalah pegawai negerl, birokrat dan teknokrat di sejumlah depar- temen yang paling strategis untuk Pembangunan serta kepentingan politik AS dan modal para pengusahanya. Selama di AS beberapa dian- tara mereka diasuh oleh orang-orang yang dikemu- dian harl tamptl di Indonesia menjadi konsultan bag! se- jumrah proyek-proyek Pem- bangunan. Intelektual Indonesia itu mudah bergaul dengan bang- sa AS yang sangat lugu. Saking lugunya sampal-sam- pai mereka tak pernah mam- pu menyadari keluguannya.- Bangsa yang suka merasa seakan-akan menjadijagoan dunia dalam segaIa hal. Dan dengan perasaan itu mereka mudah bersikap mengayomi atau mengekspJoitasi bangsa lain yang lemah. Umumnya teIjadi sikap kerjasama sa- ling menguntungkan ala penguasa-pengusaha, Dalam beberapa hal, seca- ra karlkatural watak bangsa Australia dapat dikatakan berbalikan dar! bangsa AS. Banyak kaum intelektual Australia yang berprestasl jauh lebih unggul darlpada rekan sebidangnya di AS. Tap! Australia adalah bangsa yang d1bebani perasaan ren- dah-diri. Merasa dirinya keeil dan kurang berharga (kecua- Ii d1 pantai Kuta) karena mereka mas1h dihantui pera- saan terancam dan mudah bersikap galak terhadap bangsa lain untuk mem- bangkitkan kepercayaan dirl- sendlrl. Masyarakat perantauan Indonesia di Australia (13.- 000) lebih peka terhadap soal politlk ketimbang rekan- rekan mereka di AS. Keba- nyakan mahasiswa Indonesia di Australia Juga terdirl darl pegawai negeri. Tapi di Aus- tralia, tidak dl AS, mereka mcnghadapi banyak krltlk terhadap perlakuan pemerln- tah RI terhadap rakyatnya. Dan, lebih dart di AS,di sini banyakjuga imlgran Indone- sia (4000) yang punya sikap sadar-politis dan bisa bersI- kap kritls terhadap pemerin- tahan di Jakarta. Slaran Indonesia Radio Australia bisa lebih kritis ketlmbang Voice of Amerlca. Akibatnya, para pegawal RI disekolahkan di Australia, sering merasa terpanggU untuk membuktikan kesetia· annya kepada pemerlntah RI minimal di depan mata ke- dutaan besar dan konsulat RI. Berlakulah semboyan "Right or wrong, my govern- menU" Masyarakat rantau Indo- nesia di Eropa lain lagi. Wa- lau di Eropa masih ada sisa- sisa sikap kolonial yang merendahkan bangsa Asia, sampai sekarang radikalisme politik intelektual di dunla masih berpusat dI Eropa. Sedikit banyak inl juga me- nentukan orang Indonesia macam apa, yang tertarik merantau ke Eropa, dan pengaruh tantangan apa yang dihadapi masyara- kat rantau Indonesia yang tlnggal di Eropa. Di Eropa inilah masyarakat asing dan perwakilan pemerlntah RI menyakslkan sikap kritis yang paling radikal dari se- jumlah intelektual Indonesia. Ternyata ada kecocokan antara slkap terhadap Indonesia dengan perllaku bangsa kita yang merantau di negara Itu. Di Amerika, mereka jadi prag- matis, lugu dan apolitls. Di Australia, mereka dipaksa berpolitlk, dan secara fanatik memilih garls politik peme- rlntah RI. Di sana kritik da- tang dari masyarakat Timor Timur. Di Eropa, muncul si- kap krltls yang radlkal terha- dap pemerlntah RI darl seba- gian masyarakat rantau Indonesia sendirl. Perwakilan pemerlntah di luar negerl blasanya cende- rung bersikap jauh lebih konservatif dan represif ke- timbang polltik di Jakarta. Mungkin karena dinas itu dianggap pos pembuangan bag! staf yang tidak banyak diharapkan di dalam negerl. Mungkin karen a mereka terus-menerus berhadapan langsung dengan kritik-kritik paling keras terhadap peme- rintah RI. Merekalah yang gelisah bila seorang Artef atau Rendra keluar negeri. Mereka bisa memberikan kesan serba sur.am dan seram tentang poIttik dan demokrasi Indonesia di luar negeri. Lebih suram dan buruk darlpada kenyataan yang ada di Indonesia sendi- rl . ••• .) Penulis adalah dosen pas- ea sarjana Universitas Kris- ten,Satya Wacana, Salatiga.. _ Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>

Transcript of blsa - arielheryanto.files.wordpress.com · Masyarakat perantauan Indonesia di Australia (13.-000)...

~ I

I~ i •• Q

TUUSAN Rizal Mallara-- ngeng (S/3/91) di harlan ini

mengenai peran kritik in­telektual membuka seJumlah persoalan lain yang tak kalah pentlngnya. Larangan bag1 seorang tokoh intelek­tual- keluar negeri bukanlah sekedar persoalan antara si tokoh dan pemerintah di Jakarta. Semoga tulisan ini blsa melengkapi penghor­rnatan Rizal bagi kaum yang dlsebutnya sebagal "duta­duta intelektual".

Mengurangi eUtisme intelektual

-Tanpa dikehendaki atau dltoJak oleh yang bersang­kutan, dialog intelektual antar-bangsa sebenarnya telah berlangsung secara lebih intenslf dan ekstensif darl yang dibayangkan banyak orang. Dan ini masih akan lebih seru lagi di masa­masa mendatang. Dialog itu bukan monopoli segelintir ellt, perwakilan puncak dari kaum terpelajar Indonesia yang setiap bulannya mon­dar-mandir ke mancanegara. Bukan hanya "duta-duta Intelektual", tapi seluruh anggota komunitas terpelajar kota. bahkanjuga dl pedesa­an.

Kita berblcara ten tang rlbuan orang Indonesia yang setiap mtnggunya terbang ke mancanegara dan terlibat aneka dialog dengan bangsa yang dlkunjung!. sebagian dari mereka bermigrasl. sebag!an lag! belajar, yang lain mengajar, yang lain lagi berkunjung singkat untuk berllbur, oerseminar atau berdagang.

Kita juga berbicara ten­tang rlbuan warganegara Indonesia, dl kota dan desa, yang dengan semangat menyambut dialog ribuan tamu-tamu mancanegara yang sudah membanJlr jauh sebelum adanya kampanye Visit Indonesia Year. Terle­pas bagaimana kita memba­tasl pengertian "intelektual", berbagat dialog antar-bangsa Itu seringkali tidak kalah serlus dan canggih (baik dalam hal toplk, maupun metodanya) kettmbang seminar paling mewah, ga­gah dan berwibawa kaum intelektual yang dibicarakan Rizal.

Dalam aneka ragam perte­muan dan dialog antar-bang­sa itu, persoalan kesetiaan­kesombongan kebangsaan, otokritik terhadap bangsa dan pemerintah sendiri, kesalah-pahaman dan pra­sangka terhadap bangsa lain bukannya tak muncul. Jika semua proses dialog itu di­jumlah total, efeknya boleh jadi tidak kalah penting ketimbang kritik yang dlka­takan seorang elit Intelektual Indonesia di hadapan elit intelektual bangsa lain.

Singkat kata, persoalan pentlng yang diungkapkan dengan bagus oleh RfzaI, dalam berbagal kadar dan konteks, sebenarnya dialami banyak orang. Bukan perso­alan ekslusif para Tokoh. Larangan keluar negeri ter­hadap seorang atau bahkan seratus elit intelektual me­mang merupakan suatu kebodohan yang maha mu­bazir. Apalagl dengan sema­kin mudah dan murahnya telekomunikasi bagi semua elit darl semua bangsa di

Ariel Heryanto seluruh pelosok jagad ini. Sensor spasial hanya jadi banyolan konyol di masa lampau.

Orang Indonesia perantauan

Walau Indonesia yang paling nyata dan utuh h~nya berada di Indonesia, tldak sernua bangsa {intelektuall aslng mengenal Indonesia secara langsung dengan hidup di Indonesia. Realitas Indonesia pun tldak beku dan statis, tapi berubah dari masa ke masa. Kebanyakan intelektual mancanegara datang ke Indonesia tidak dengan pikiran kosong me­lompong. Pemahaman ten­tang Indonesia tidak dimulai sesudah mereka mendarat di

_ negeri in!. Berbeda dari yang sudah lama menetap di Indo­nesia atau serlng mengun­junginya, kebanyakan dart tamu aslng itu dipengaruhi pemahaman yang serba sederhana ten tang Indone­sia. Persis sepertl pemaha­man kita ten tang mereka juga.

Pemahaman awal Itu blsa didapat dari mendengar cerita ternan atau membaca buku tentang Indonesia. Biasanya pengalaman kon­krit bergaul dengan orang Indonesia di luar negerllebih menentukan pemahaman dan pandangan awal mereka ten tang bangsa kita darlpada semua buku yang pernah dibacanya.

Dialog dengan tamu-tamu asing sering kali menjadi semu, seret atau macet bu­kan karena masa~ah teknis kebahasaan. Hambatan uta­manya bersumber karena dari pihak kita banyak yang tidak tahu dan tidak mampu membayangkan bagaimana persisnya prasangka dan pengetahuan awal mereka tentang kita. Kebodohan nasional kita ini mungkin diakibatkan propaganda GR yang terlalu banyak dicekok­kan ke benak kita bahwa semua bangsa asing tergila­gila pada "keramahan" bang­sa kita. Darl pihak mereka sendlrl ada kekuatiran dan ketakutan untuk bersikap terbuka menjelaskan pra­sangka dan pengetahuan awalnya pada kita.

Bagaimana, secara umum dan kasaran saja, pandang­an dan pengetahuan umum ten tang Indonesia di luar Indonesia saat ini? Bagaima­na orang Indonesia (khusus­nya mahasiswa yang lazim disebut intelektuall di man­canegara bergaul dan mem­berikan kesan kepada bang­sa tuan-rumahnya? Jawab­nya pasti beraneka-ragam, bahkan sebagian saling ber­tentangan. Tapi ada baiknya kita perhatikan satu atau dua masalah yang paling menonjol dan layak diperha­tlkan satu atau dua masalah yang paling menonjol dan layak diperhatikan bersama. Catatan Ini dibuat dari pen~t

amatan langsung dan pribadi yang terbatas dan layak dilengkapi pihak lain. . Orang Indonesia yang merantau ke berbagai benua terriyata membentuk komu­nitas dengan sikap dan watak yang berbeda-beda. Lain yang di Amerika Serikat (AS), Eropa Barat, Jain pula dt Australia. Rupanya. seper­ti halnya kaum perantauan Cina, manusla lebih banyak ditentukan oleh lingkungan hldupnya ketimbang tradisi leluhur dan latar belakang' biologi budayanya.

Tiga variau Of AS saat ini terdapat

ratusan rlbu orang Indonesia yang menetap. Sejak Indone­sia merdeka, orang yang ke AS untuk belajar saja sudah mencapai jumlah di atas 10.000. Dlbandingkan de­ngan komunitas bangsa Indonesia di perantauan lain. mereka yang di AS tampak­nya paling cocok dengan gambaran stereotip kaum bOrjuiS dl jaman Pembang­unan yang sedikit banyak dijadikan model resml bagi para mahasiswa Indonesia paska NKK, Watak menonjol mereKa: apolitls dan pragma­tls. Yang mahasiswa belajar terutama sebatas dinding kampus. DI luar kegiatan belajar mereka sibuk menon­ton televisi, belanja di plaza atau memancing.

Prom itu tentunya sangat cocok dengan latar belakang

mereka. Kebanyakan adalah pegawai negerl, birokrat dan teknokrat di sejumlah depar­temen yang paling strategis untuk Pembangunan serta kepentingan politik AS dan modal para pengusahanya. Selama di AS beberapa dian­tara mereka diasuh oleh orang-orang yang dikemu­dian harl tamptl di Indonesia menjadi konsultan bag! se­jumrah proyek-proyek Pem­bangunan.

Intelektual Indonesia itu mudah bergaul dengan bang­sa AS yang sangat lugu. Saking lugunya sampal-sam­pai mereka tak pernah mam­pu menyadari keluguannya.­Bangsa yang suka merasa seakan-akan menjadijagoan dunia dalam segaIa hal. Dan dengan perasaan itu mereka mudah bersikap mengayomi atau mengekspJoitasi bangsa lain yang lemah. Umumnya teIjadi sikap kerjasama sa­ling menguntungkan ala penguasa-pengusaha,

Dalam beberapa hal, seca­ra karlkatural watak bangsa Australia dapat dikatakan berbalikan dar! bangsa AS. Banyak kaum intelektual Australia yang berprestasl jauh lebih unggul darlpada rekan sebidangnya di AS. Tap! Australia adalah bangsa yang d1bebani perasaan ren­dah-diri. Merasa dirinya keeil dan kurang berharga (kecua­Ii d1 pantai Kuta) karena mereka mas1h dihantui pera-

saan terancam dan mudah bersikap galak terhadap bangsa lain untuk mem­bangkitkan kepercayaan dirl­sendlrl.

Masyarakat perantauan Indonesia di Australia (13.-000) lebih peka terhadap soal politlk ketimbang rekan­rekan mereka di AS. Keba­nyakan mahasiswa Indonesia di Australia Juga terdirl darl pegawai negeri. Tapi di Aus­tralia, tidak dl AS, mereka mcnghadapi banyak krltlk terhadap perlakuan pemerln­tah RI terhadap rakyatnya. Dan, lebih dart di AS,di sini banyakjuga imlgran Indone­sia (4000) yang punya sikap sadar-politis dan bisa bersI­kap kritls terhadap pemerin­tahan di Jakarta. Slaran Indonesia Radio Australia bisa lebih kritis ketlmbang Voice of Amerlca. Akibatnya, para pegawal ne~erl RI yan~ disekolahkan di Australia, sering merasa terpanggU untuk membuktikan kesetia· annya kepada pemerlntah RI minimal di depan mata ke­dutaan besar dan konsulat RI. Berlakulah semboyan "Right or wrong, my govern­menU"

Masyarakat rantau Indo­nesia di Eropa lain lagi. Wa­lau di Eropa masih ada sisa­sisa sikap kolonial yang merendahkan bangsa Asia, sampai sekarang radikalisme politik intelektual di dunla masih berpusat dI Eropa. Sedikit banyak inl juga me­nentukan orang Indonesia macam apa, yang tertarik merantau ke Eropa, dan pengaruh a~u tantangan apa yang dihadapi masyara­kat rantau Indonesia yang tlnggal di Eropa. Di Eropa inilah masyarakat asing dan perwakilan pemerlntah RI menyakslkan sikap kritis yang paling radikal dari se­jumlah intelektual Indonesia.

Ternyata ada kecocokan antara slkap ban~sa asln~ terhadap Indonesia dengan perllaku bangsa kita yang merantau di negara Itu. Di Amerika, mereka jadi prag­matis, lugu dan apolitls. Di Australia, mereka dipaksa berpolitlk, dan secara fanatik memilih garls politik peme­rlntah RI. Di sana kritik da­tang dari masyarakat Timor Timur. Di Eropa, muncul si­kap krltls yang radlkal terha­dap pemerlntah RI darl seba­gian masyarakat rantau Indonesia sendirl.

Perwakilan pemerlntah di luar negerl blasanya cende­rung bersikap jauh lebih konservatif dan represif ke­timbang polltik di Jakarta. Mungkin karena dinas itu dianggap pos pembuangan bag! staf yang tidak banyak diharapkan di dalam negerl. Mungkin karen a mereka terus-menerus berhadapan langsung dengan kritik-kritik paling keras terhadap peme­rintah RI. Merekalah yang gelisah bila seorang Artef atau Rendra keluar negeri. Mereka bisa memberikan kesan serba sur.am dan seram tentang poIttik dan demokrasi Indonesia di luar negeri. Lebih suram dan buruk darlpada kenyataan yang ada di Indonesia sendi­rl .•••

.) Penulis adalah dosen pas­ea sarjana Universitas Kris­ten,Satya Wacana, Salatiga.. _

Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>