Bissu Gaul
-
Upload
andi-yaurie -
Category
Documents
-
view
1.046 -
download
5
description
Transcript of Bissu Gaul
BAB I PENDAHULUAN
a. Latar belakang
Bissu adalah sebutan bagi kelompok masyarakat Bugis yang berperan sebagai
pemimpin dalam prosesi adat dan spiritual. Peran tersebut menempatkan bissu sebagai
tokoh sentral di setiap prosesi adat yang melibatkan dirinya. Keberadaannya sudah ada
sejak masa Bugis klasik yang dapat dilacak dalam epos terpanjang La Galigo1. Pada
masa pemerintahan kerajaan sebelum masuknya Islam di Sulawesi Selatan, peran bissu
sangat penting. Saat Islam masuk pun peran bissu masih dibutuhkan oleh kerajaan dan
masyarakat pendukungnya. Namun, sejalan dengan semakin kuatnya pengaruh ajaran
Islam peran bissu menurun. Bissu zaman dulu berperan sebagai pemimpin ritual yang
berhubungan dengan daur hidup life-cycles seperti upacara menaiki rumah baru,
kelahiran bayi, kematian, dan perkawinan. Bahkan seorang raja tidak bisa dilantik tanpa
kehadiran sang bissu. Disamping itu, bissu bertugas sebagai penjaga sekaligus perawat
regalia istana. Berbagai lapisan masyarakat juga memerlukan uluran tangan bissu
misalnya menjadikan bissu sebagai dukun jika ada masyarakat yang sakit.
Sosok bissu sangat unik karena secara fisik ia adalah laki-laki, namun tingkah laku
dan tutur katanya menyerupai wanita. Kebanyakan bissu berjenis kelamin laki-laki
namun tidak berarti hanya laki-laki saja yang berhak menjadi bissu. Malah kemunculan
awal bissu pada catatan yang ada di La Galigo menyebutkan bissu berjenis kelamin
perempuan. Sepertinya menjadi keharusan bahwa yang menjadi bissu haruslah orang
yang tertentu yakni secara fisik laki-laki namun tingkah laku dan tutur kata seperti
wanita. Disamping itu, dalam kepercayaan bugis kuno sosok seseorang yang tidak jelas
1 Karya sastra Bugis klasik dengan gaya bahasa sastra tinggi. La Galigo merupakan salah satu epos terbesar di dunia yang lebih panjang dari Mahabrata. Dari 113 naskah yang ada, jumlah halamannya terdiri atas 31.500 halaman. Antara tahun 1931 hingga 1954, seorang Belanda, R.A. Kern menyaring dan membuat ringkasan setebal 1.356 halaman (Pelras, 2006:37). Pada mulanya La Galigo merupakan karya lisan dan memiliki pengarang lebih dari seorang yang namanya tidak diketahui dengan pasti. Begitu pula dengan tahun munculnya epos ini, tidak diketahui secara tepat. Namun, beberapa orang Eropa memperkirakan munculnya sekitar abad ke-14. Naskah karya ini tidak sambung menyambung, melainkan berisi episode yang terpisah-pisah. Pada tahun 1860 upaya penulisan kembali dalam aksara Bugis dilakukan oleh seorang perempuan bangsawan Bugis dari Tanete bernama Arung Pancana Tua Colliqpujie (Ambo Enre, 1999:7). Kern menyebut La Galigo sebagai roman keluarga yang sedemikian luasnya yang isinya berupa upacara penyambutan, kelahiran, perkawinan, pelantikan bissu, perjamuan, pertempuran darat, pertempuran laut, bahkan acara sabung ayam (Kern, 1993:7).
1
jenis kelaminnya ditempatkan sebagai tokoh yang sakti dan dikeramatkan. Meskipun
bissu secara fisik kebanyakan dari laki-laki namun tidak jelas jenis kelaminnya. Pelras
bahkan mengklaim bahwa calabai merupakan manusia berjenis kelamin ketiga dan
calalai bejenis kelamin keempat (Pelras, 2006: 190). Bissu tidak termasuk jenis kelamin
laki-laki maupun perempuan, tidak pula calabai atau calalai. Meskipun secara fisik ia
adalah laki-laki. Bissu memiliki gender tersendiri yang mempunyai fungsi dan peran
yang berbeda dengan empat gender sebelumnya. Jika demikian, dapat dikatakan bahwa
bissu adalah manusia gender kelima.
Saat sekarang bissu masih dapat dijumpai dalam keadaan dan jumlah yang semakin
memprihatinkan bahkan mungkin dapat dikatakan berangsur-angsur hampir punah.
Ruang untuk peran bissu di tengah-tengah masyarakat juga semakin sempit. Peran
sentral bissu dalam abad ini pernah terjadi pada Juli 2004 saat pelantikan raja Pammana
ke-40 di Kabupaten Wajo. Hampir semua prosesi upacara pelantikan tersebut dilakukan
oleh bissu. Segala atraksi bissu yang sakral dipentaskan seperti sere bissu tari bissu,
mallejja bara menginjak bara api, nyanyian yang mengundang penguasa ‘dunia atas’ dan
‘dunia atas’ untuk menyaksikan prosesi pelantikan, maggiri menusukkan alameng sejenis
parang ke tubuh bissu, dan ritual yang menyebabkan bissu berada pada alam bawah
sadar. Ritual yang dilakukan oleh bissu ini sangat jarang dimunculkan sepanjang tahun
bahkan dekade. Bissu melakukan ritual ini hanya pada saat pelantikan raja. Pelantikan ini
sempat mengalami kesenjangan waktu yang sangat lama. Ritual pelantikan raja
sebelumnya pernah dilakukan pada masa sebelum kemerdekaan.
Secara keseluruhan, peran yang memunculkan bissu saat sekarang tidak lagi seperti
masa lampau. Kemunculannya lebih banyak berupa atraksi yang tidak lagi memiliki nilai
ritual. Misalnya atraksi penyambutan tamu atas permintaan pemerintah daerah. Nilai
sakral atraksi ini sudah tidak ada lagi. Pemunculan bissu tidak lebih sebagai pelengkap
acara saja. Bissu dibutuhkan hanya pada atraksinya, selain itu mereka tidak dibutuhkan
lagi. Bissu telah mengalami pergeseran peran karena makna upacara tradisional yang
membawa posisi bissu menjadi penting, telah tereduksi oleh pengaruh kapitalisme dan
logika individual yang cenderung tidak menempatkan bissu pada fungsi sesungguhnya.
Hubungan antargenerasi bissu yang merupakan bagian budaya genetik mengalami
kesenjangan sehingga harmoni atau integrasi yang diharapkan kurang berfungsi dengan
2
baik. Berbagai upacara tradisional yang menjadi simbol dimaknai pada tataran yang
berbeda dari tujuan yang sesungguhnya (Abdullah, 2006). Sebagai contoh, tarian
penyambutan tamu istimewa sere leluso yang sarat makna dan hanya dilakukan oleh
bissu, pada saat sekarang sudah dilakonkan dengan leluasa oleh sanggar seni.
Betapa memprihantinkan kondisi kehidupan bissu saat ini. Rumah khusus untuk
kelompok bissu yang dibangun pihak kerajaan sudah tidak ada lagi. Rumah bissu ini
menjadi tempat berkumpul, bermusyawarah, dan tempat tinggal sehari-hari para bissu.
Dalam penelitian Lathief menunjukkan bahwa hilangnya tempat ini mengakibatkan
tempat tinggal kelompok bissu tercerai berai. Para bissu sangat mendambakan
dibangunnya kembali tempat tersebut. Namun sampai sekarang yang didambakan tak
kunjung tiba. Banyak bissu memilih jalan hidup menyendiri di tempat tersendiri. Jika
salah seorang bissu sakit, maka ia sakit seorang diri. Beberapa bissu meninggal dalam
kesendiriannya (Lathief, 2004: 55-56). Tidak adanya perhatian khusus dari pemerintah
terhadap kehidupan bissu sehari-hari bukan bermaksud untuk menyalahkan pemerintah.
Hal ini berkaitan erat dengan sistem pemerintahan saat ini yang bukan lagi sistem
kerajaan dimana bissu mempunyai peran strategis. Saat sekarang tidak ada lagi peran
penting bissu kepada pemerintah kecuali bissu dibutuhkan hanya sekedar pelengkap acara
saja utamanya pada upacara penyambutan tamu.
Jumlah kelompok bissu di lokasi penelitian menunjukkan jumlah yang
mengkhawatirkan. Jumlah kelompok bissu Pammana di Kabupaten Wajo mencapai 18
orang dipimpin oleh seorang angkuru bissu. Jumlah bissu yang sangat memprihatinkan
berada di Kabupaten Bone. Pemunculan bissu pada setiap ritual di tempat ini
mengharuskan 40 orang, namun bissu resmi hanya satu orang. Pimpinan kelompok bissu
disebut puang matowa yang telah meninggal awal tahun 2007 sehingga yang
menggantikan sekarang adalah lolo wakilnya. Adapun yang lain hanya merupakan
calabai yang berperan seperti bissu. Dalam jumlah seperti ini dikhawatirkan akan tidak
ada lagi bissu dijumpai pada masa-masa yang akan datang. Dengan kata lain warisan
budaya bugis kuno ini telah punah ditelan zaman. Dari keprihatinan ini memberikan
pelajaran kepada kita bahwa pelestarian budaya ini bukan hanya tanggung jawab satu
pihak misalnya pihak bissu sendiri, namun tanggung jawab ini merupakan tanggung
jawab bersama. Apresiasi dan dorongan moril kita terhadap keberlangsungan bissu
3
merupakan hal mutlak yang kita lakukan jika masih ingin melihat sisa-sisa budaya bugis
kuno ini.
Respon sebagian masyarakat yang mencibir kehadiran bissu juga menjadi masalah
tersendiri bagi keberlangsungan upacara tradisional dan keberadaan bissu sebagai bagian
dari warga masyarakat. Masih banyak masyarakat yang belum bisa membedakan antara
calabai atau waria (wanita pria) dengan bissu. Kesan buruk banyak dicitrakan pada
calabai karena tingkah laku mereka banyak yang bertentangan dengan tata krama sopan
santun masyarakat misalnya dalam tata krama berpakaian. Disamping itu, calabai
diidentikkan dengan tindakan asusila, walaupun sebenarnya tidak semua calabai
melakukan tindakan tersebut. Kenyataan ini menunjukkan ruang gerak dan peran bissu di
tengah masyarakat yang memang sempit menjadi semakin sempit. Bahkan dapat
dikatakan nyaris tidak ada sama sekali. Rentetan ini baik secara langsung maupun tidak
langsung berpengaruh pada kelangsungan hidup secara ekonomi seorang bissu karena
sumber penghasilan utama bissu berasal dari prosesi adat.
Hal ironis yang masih tetap terjadi sekarang adalah impian untuk menjadi bissu tidak
pernah surut meskipun berbagai risiko dan konsekuensi seperti yang telah disebutkan di
atas berada di depan mata. Seorang calabai di Bone bernama Ita menuturkan
keinginannya untuk menjadi bissu (wawancara dengan peneliti, 3 April 2007). Baginya,
bissu merupakan sosok yang telah lama diimpikan karena kedudukannya lebih tinggi
dibanding dengan calabai. Lain halnya dengan calabai Bakri Daeng Talebbi 50 tahun di
Wajo yang sejak kecil bercita-cita ingin menjadi bissu. Tantangan terberatnya ialah
niatnya untuk menjadi bissu ditentang keras oleh orangtuanya. Meskipun pada akhirnya
setelah melewati berbagai tantangan ia telah berhasil menjadi bissu dan bergabung di
dalam kelompok bissu Pammana. Tugasnya di kelompok ini yaitu sebagai mallawa
botting atau dalam makna harafiahnya adalah menghalau pengantin. Maksudnya adalah
pada saat upacara pernikahan dilaksanakan sebelum mempelai laki-laki bertemu dengan
mempelai wanita terlebih dahulu dihadang oleh Bakri Daeng Talebbi. Selain itu ia juga
termmasuk dalam kelompok penari sere bissu tarian bissu. Ini menunjukkan sosok bissu
memiliki kharisma tersendiri baik dikalangan bissu maupun masyarakat sehingga tidak
heran menjadi dambaan utamanya bagi calabai atau kaum wanita pria (waria).
4
Bissu dituntut harus malebbi menjaga kesopanan dan tidak melakukan hal asusila
yang tercela. Untuk menjadi bissu harus melalui prosesi atau persyaratan yang berat.
Tidak semua calon bissu dapat serta-merta menyandang gelar bissu. Faktor ini turut
memicu penurunan jumlah bissu di Sulawesi Selatan khususnya di Pammana Kabupaten
Wajo. Peminat bissu antusias biasanya dijumpai dikalangan calabai. Namun, jika calabai
tersebut belum menunjukkan tingkah laku sopan dan masih berbuat asusila maka ia
belum berhak mengikuti prosesi pelantikan bissu. Akibatnya, hasrat menjadi bissu besar
namun terbentur pada persyaratan yang berat maka jadilah peran seolah-olah bissu. Bissu
yang seharusnya dilingkupi aturan ketat, kini pemeran bissu melonggarkan aturan.
Misalnya dalam berpakaian lebih mengikuti kecenderungan pakaian sekarang, bagaikan
seorang remaja dengan istilah anak gaul. Jadi tuntutan untuk malebbi menjaga kesopanan
tinggal tuntutan dan tetap saja ditemukan oknum bissu melanggar aturan ini. Pelanggaran
aturan ini tidak tergolong berat karena oknum bissu tersebut hanya mengikuti
perkembagan kecenderungan berpakaian model anak muda yang ukuran pakaiannya
serba 'minim'.2
Isyarat di atas menunjukkan bahwa tidak ada lagi bissu dalam budaya Bugis tetapi
pada kenyataannya bissu masih tetap ada. Bissu dalam budaya bugis mempunyai
dinamika perkembangan dari masa ke masa yang memiliki keunikan tersendiri. Berbagai
aktor bissu tampil silih berganti mewakili zamannya dari masa silam hingga kini. Mereka
tampil mewarnai berbagai kegiatan yang melibatkan bissu. Aturan-aturan dalam dunia
bissu diterjemahkan berdasarkan keadaan jamannya masing-masing sehingga
menimbulkan berbagai penafsiran. Penafsiran yang muncul turut mempengaruhi
bertahannya bissu dalam suatu wilayah. Disamping itu, upacara yang melibatkan bissu
sebagai tokoh sentral mendapat tentangan berat karena dianggap bertentangan dengan
kepercayaan mayoritas bugis sebagai pemeluk taat ajaran Islam. Namun demikian,
tidaklah berarti bahwa budaya bissu harus dihapus karena budaya ini merupakan warisan
leluhur budaya bugis yang usianya sudah sangat lama. Upaya pelestarian tradisi bissu
2 Observasi yang dilakukan peneliti sejak tahun 2004 sampai 2007 terhadap kelompok bissu Pammana Kabupaten Wajo. Masn seorang oknum bissu dengan jabatan sebagai angkuru lolo bissu Pammana atau wakil pemimpin bissu yang peneliti istilahkan sebaga bissu gaul karena dalam berpakaian ia sudah mengikuti kecenderungan pakaian yang modelnya bertentangan dengan aturan bissu yang mengharuskan bissu menjadi orang yang malebbi. Namun diawal tahun 2007 Masn sudah tidak muncul lagi pada setiap upacara yang melibatkan bissu dalam kelompok bissu Pammana karena sudah tidak tercatat lagi sebagai anggota kelompok ini.
5
perlu dilakukan dengan jalan mencari bentuk reinvensi kultural yang cocok seiring
dengan perkembangan zaman. Hal ini menjadikan masalah yang menarik untuk dikaji.
b. Permasalahan
Berbagai upacara tradisional yang dilakukan oleh bissu di kabupaten Wajo
khususnya kelompok bissu Pammana masih berhubungan dengan sinkretisme. Hal ini
mempengaruhi peran bissu dalam masyarakat menjadi semakin memudar. Pada masa
silam upacara yang dilakonkan oleh bissu mengangkat kelompok ini pada posisi yang
tidak tergantikan. Akan tetapi saat sekarang, upacara justru mengakibatkan kelompok
bissu Pammana menjadi semakin terpuruk. Jika demikian, upacara yang dilakukan oleh
bissu mempunyai nilai yang berarti peluang sekaligus ancaman. Dikatakan peluang
karena upacara yang dilakonkan oleh bissu dapat dihidupkan kembali dengan segala
konsekuensinya termasuk akan mengalami pergeseran makna ritual. Peluang ini juga
berarti dapat mendukung kehidupan sosial ekonomi kelompok bissu Pammana.
Dilibatkannya kelompok ini dalam satu kemasan atraksi yang berkaitan dengan wisata.
Upacara juga mempunyai dampak ancaman apabila tidak dilakukan penyesuaian-
penyesuaian terhadap masyarakat yang selalu mengalami perubahan. Perubahan yang
terjadi dalam masyarakat disebabkan oleh the difference between the current and
antecedent condition of any selected aspect of social organization or structure (Jary dan
Julia, 1991: 577). Terdapat selisih antara kondisi saat sekarang dengan masa lampau.
Kondisi tersebut bisa jadi merupakan unsur-unsur dalam ajaran agama. Sehingga hal
yang patut dicurigai yang membutuhkan kajian yang lebih lanjut adalah apakah benar
ajaran agama dapat mengancam upacara yang dilakonkan oleh bissu atau sebaliknya.
Secuil harapan yang memungkinkan upacara berkelanjutan yakni mencari unsur-unsur
yang sudah menggunakan berbagai istilah yang terdapat dalam ajaran Islam. Hal ini
sebaiknya dicarikan titik temu agar ada lagi upacara tradisional bissu yang dapat diterima
luas oleh masyarakat. Secara implisit berimplikasi pula kepada perlunya inventarisasi
upacara yang menampilkan kelompok bissu Pammana.
Berbagai komponen masyarakat yang terlibat dalam upacara yang menampilkan
bissu mengukuhkan bissu pada posisi penting atau sebaliknya tidak bermakna sama
sekali. Komponen masyarakat merupakan salah satu subsistem yang membentuk
ekuilibrium yang turut menentukan kestabilan dalam konteks bissu ditengah-tengah
6
masyarakat. Apabila salah satu dalam komponen masyarakat tidak mendukung ritual
bissu karena alasan keyakinan atau pemaknaan masyarakat terhadap ritual bissu tidak
mendapatkan apresisasi yang memadai maka dapat berakibat bissu menjadi
terpinggirkan. Sebaliknya, apabila komponen masyarakat memberikan apresiasi kepada
bissu dan ritualnya serta memberikan ruang-ruang maka bissu kembali akan berada pada
posisi yang penting.
Disamping komponen masyarakat, upacara yang didalamnya terdapat ritual, dan
regenerasi bissu menjadi subsistem dalam sebuah sistem ekuilibrium. Dibutuhkan
hubungan yang harmonis diantara unsur-unsur yang telah disebutkan agar tidak ada
kepincangan dalam sistem ekuilibrium. Saya menduga bahwa dengan terjaganya
keharmonisan tiap-tiap subsistem maka dengan sendirinya akan berimplikasi pada
reinvensi bissu. Reinvensi mengarah pada pembaharuan kembali tradisi lama dengan
jalan melakukan beberapa penyesuaian sehingga dapat diterima oleh masyarakat luas
dalam konteks kekinian. Berbagai hal yang telah disebutkan di atas membawa kepada
sebuah pertanyaan mendasar (grand tour question) mengapa bissu masih bisa bertahan
dalam masyarakat yang telah mengalami perubahan? Pertanyaan turunan dari masalah
mendasar di atas dapat dirunut sebagai berikut:
1. Bagaimana bissu ditampilkan dalam kehidupan sosial?
2. Mengapa masyarakat memerlukan kehadiran bissu?
3. Mengapa kelompok bissu dapat bertahan dalam masyarakat yang berubah?
c. Kerangka teori dan konsep
Isu sentral kajian ini mengenai reinvensi yang berkaitan dengan upaya
menghidupkan kembali tradisi bissu. Upaya ini khususnya pada nilai-nilai dalam upacara
tradisional dan eksistensi bissu itu sendiri. Objek kajian adalah kelompok bissu Pammana
di Kabupaten Wajo. Kajian ini menggunakan istilah kelompok bukan komunitas. Saya
mengacu pada pernyataan Koentjaraningrat (Koentjaraningrat dkk., 1984: 84,98) bahwa
kelompok adalah kolektif manusia yang merupakan kesatuan beridentitas dengan adat
istiadat dan sistem norma yang mengatur pola-pola interaksi antar manusia itu.
Sedangkan komunitas merupakan kesatuan sosial yang terikat oleh rasa kesadaran
wilayah. Pernyataan ini tidak secara tegas memberikan kriteria mengenai jumlah manusia
di dalamnya sehingga dapat dikategorikan sebagai kelompok atau komunitas. Namun,
7
secara tersirat saya memahami bahwa istilah kelompok lebih tepat saya gunakan dalam
kajian ini. Alasannya jumlah bissu di Pammana hanya 18 orang yang terikat dengan
identitas, adat, dan pola intekasi yang sama. Keterikatan identitas ini didukung oleh
formalitas keanggotaan any collectivity or plurality of individuals bounded by informal or
formal criteria of membership (Jary dan Julia Jary, 1991: 264). Secara formal, kelompok
bissu Pammana berada dalam struktur organisasi dewan adat Pammana.
Kondisi yang mengharuskan reinvensi kultural diantaranya karena berbagai upacara
tradisional yang dilakukan oleh bissu dianggap oleh sebagian masyarakat mendekati
syirik. Namun, tidak demikian oleh bissu sendiri. Bissu menganggap tidak semua upacara
tradisional yang dilakukannya bertentangan dengan ajaran agama Islam sebagai agama
utama orang Bugis. Dalam beberapa upacara yang menggunakan bahasa Bugis kuno
sudah diselipkan kata atau ujaran berbahasa Arab yang berkaitan erat dengan agama
Islam misalnya kata bismillah atau kalimat syahadat. Hal ini menandakan bahwa terdapat
‘benang merah’ yang menghubungkan antara ritual bissu dan keyakinan sekarang yang
dianut oleh mayoritas orang Bugis. Jika benar ada upacara tradisional bissu yang tidak
bertentangan dengan ajaran agama artinya upacara tersebut dapat dipertahankan atau
dihidupkan lagi. Hal ini senada dengan gagasan Darma (Darma, 1995:72 dalam Tuloli,
2003:6) tentang keterbukaan budaya. Dalam keterbukan terjadi perubahan sebagai
berikut: (1) ada unsur-unsur yang aus kemudian mati, (2) ada unsur-unsur baru yang
kemudian hidup, (3) ada pula unsur-unsur yang telah mati menjadi hidup kembali karena
ternyata bisa menyesuaikan dengan dinamika baru.
Pertama, unsur-unsur yang aus kemudian tidak bertahan lagi yang tentunya tidak
seiring dengan ajaran Islam. Kemungkinan lain yaitu terputusnya regenerasi lisan dari
generasi pendahulu ke pelanjut bissu. Hal ini berkaitan dengan budaya lisan yang dianut
oleh kalangan bissu masih sangat kental. Bahasa Bugis kuno yang digunakan oleh bissu
dalam setiap upacara tradisional dipelajari secara lisan dan turun temurun hanya
dikalangan bissu. Upaya pendokumentasian dan pengkajian bahasa Bugis kuno ini
dilakukan secara parsial seperti yang dilakukan oleh Syahrir. Ia mendokumentasikan
nyanyian dan doa-doa bissu dalam jumlah yang sangat terbatas (Syahrir, 2003: 31-82).
Upaya pengkajian dan pendokumentasian bahasa Bugis kuno secara lengkap dan
menyeluruh belum terlalu mendapatkan perhatian serius oleh pemerintah dan ahli bahasa.
8
Oleh karena tidak adanya referensi bahasa Bugis kuno maka bagi bissu jalan satu-satunya
untuk mempelajari bahasa ini adalah hanya secara lisan dan sifatnya tertutup.
Kedua, unsur-unsur baru kemudian hidup diakibatkan oleh pengaruh kuat ajaran
Islam, misalnya dalam upacara tradisional bissu menyelipkan kalimat syahadat tentang
kesaksian tiada tuhan selain Allah dan nabi Muhammad sebagai utusan-Nya. Hal ini
sebagai bentuk penyesuaian upacara dengan jalan to give any desired change
(Hobsbawm, 2003:6). Perubahan tersebut yakni memasukkan unsur lain yang dominan
sehingga terjadi perubahan dalam ritual. Perubahan tersebut tentu saja tidak
mempengaruhi secara signifikan makna dalam upacara tersebut.
Ketiga, unsur-unsur yang dulunya ada namun tidak digunakan lagi saat ini,
dimunculkan kembali karena ternyata masih sesuai dengan kondisi saat ini. Kategori ini
sulit dilacak karena memerlukan kajian lebih mendalam dan melibatkan paradigma lain
misalnya sejarah. Disamping itu, generasi ‘sepuh’ bissu ini sudah banyak yang tidak ada
lagi sehingga informasi budaya generik berupa upacara tradisional yang diturunkan dari
generasi ke generasi mengalami berbagai distorsi. Distorsi ini memerlukan waktu dan
tenaga untuk melacak unsur-unsur yang sudah tidak digunakan untuk digunakan kembali.
Konsep selanjutnya adalah upacara. Definisi upacara dalam bahasa Inggris memiliki
dua pengertian yaitu ritual dan ceremony (Koentjaraningrat, 1984:189 dan Echols,
1997:605). Ritual mengandung pengertian kegiatan yang memiliki makna sakral dan
religi any formal action which is set apart from profane action and which expresses
sacred and religious meaning ( Jary dan Julia Jary, 1991: 536). Makna sakral biasanya
dikaitkan dengan kepercayaan terhadap supranatural yang diwujudkan berupa pemberian
sesaji, berdoa, dan menyanyikan lagu-lagu keramat (Abdullah, 2002:10).
Makna ceremony memiliki pengertian yang lebih luas dari pada ritual, dalam
Dictionary of Antrhropology (Charles Winick 1977:105 dalam Abdullah 2002: 10)
menerangkan a fixed or sanctioned pattern of behavior which surrounds various phases
of life, often serving religious or aesthetic ends and confirming the group’s celebration of
a particular situation. Ceremony meliputi berbagai fase kehidupan manusia yang saling
terkait termasuk didalamnya ritual. Ceremony juga sering dikaitkan dengan peristiwa
penting yang terjadi di tengah masyarakat. Berdasarkan definisi ini, konsep upacara yang
sesuai dalam kajian ini yaitu sesuai dengan pengertian ceremony karena yang akan
9
dibahas bukan hanya ritual tetapi tingkah laku kelompok bissu Pammana pada situasi
tertentu misalnya atraksi sere leluso untuk penjemputan tamu bagi penguasa daerah dan
masyarakat umum. Upacara ini tidak melibatkan unsur-unsur supranatural.
Bentuk upacara kelompok bissu Pammana hanya satu yaitu mabbissu atau upacara
tradisional yang melibatkan bissu sebagai tokoh sentral. Dalam upacara ini terdiri lagi
beberapa bagian yang memiliki makna yang mendalam. Apabila upacara ini diadakan
oleh kerabat istana maka perlengkapan ritual dalam upacara ini ditata secara lengkap.
Begitu pula ritual yang harus dilakonkan oleh bissu jaga ditampilkan secara lengkap.
Namun, upacara yang diselenggarakan oleh masyarakat umum pendukung kelompok
bissu Pammana dan atas undangan penguasa daerah, bentuk upacara, perlengkapan ritual,
dan atraksi bissu dilaksanakan tidak selengkap dengan upacara bagi kerabat istana.
Konsekuensi upacara tradisional ini tentu saja mempunyai implikasi pada aktor
utamanya, dalam hal ini yaitu bissu. Mereka dari segi ekonomi akan mendapatkan
keuntungan dari hasil upacara tradisional yang dilakoninya. Hal ini tentu saja akan dapat
mendukung pemenuhan kebutuhan material sehari-hari. Namun, jika tidak ada upacara,
mereka terpaksa ‘banting haluan’ untuk menyokong pemenuhan kebutuhan sehari-hari
umumnya sebagai pelaksana kegiatan pada pesta perkawinan yang dilakukan oleh
masyarakat umum. Aktor kedua, adalah kerabat istana. Kerabat ini menggunakan
kelompok bissu Pammana dalam upacara tradisional yang bersifat resmi. Upacara
tersebut erat kaitannya dengan life-cycles dan urusan istana. Dalam aturan istana,
kelompok bissu Pammana ibarat protokoler kegiatan-kegiatan istana (wawancara Andi
Syahrazad Pallawaruka Datu Pammana ke-40 tanggal 27 Maret 2007 di Sengkang). Aktor
yang paling banyak menuai keuntungan adalah kerabat istana kerena kehadiran kelompok
bissu Pammana dalam upacara semakin mengukuhkan atau ‘show of force’ kerabat
istana baik dimata pendukungnya maupun masyarakat umum.
Konsep lain yang perlu dijelaskan yaitu konsep tentang aktor atau pelaku dalam
upacara yang melibatkan kelompok bissu Pammana. Definisi aktor dalam Tesaurus
Bahasa Indonesia yaitu pelaku, penonton, tokoh (Endarmoko, 2006). Saya lebih
cenderung menggunakan kata pelaku untuk memberikan pengertian tentang kata aktor.
Pelaku yang dimaksud adalah orang yang melakukan kegiatan upacara baik sifatnya
pribadi maupun kelompok. Pelaku yang terlibat dalam upacara yang menampilkan
10
kelompok bissu Pammana dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu masyarakat,
dewan adat, dan pemerintah daerah. Masyarakat dibagi menjadi dua bagian yaitu kerabat
istana dan masyarakat umum. Seperti pembahasan sebelumnya bahwa apabila kerabat
istana melaksanakan upacara maka benda-benda ritual dan atraksi bissu harus tersaji
lengkap. Upacara yang dilaksankan oleh kerabat istana seputar life-cycles dan pelantikan
raja. Sebaliknya, apabila kalangan masyarakat umum pendukung bissu misalnya sanro
atau dukun yang harus ditampilkan oleh bissu tidak harus lengkap.
Dewan adat Pammana menampilkan bissu dalam upacara mallawa botting atau pesta
pengantin sebagai atraksi wisata andalan Pammana. Dewan adat yang memayungi
kelompok bissu Pammana. Dewan ini mengupayakan pelestarian kelompok bissu dengan
jalan memasukkan kelompok bissu dalam struktur lembaga ini. Upaya ini dengan harapan
mengangkat citra kelompok bissu Pammana di masyarakat luas dan lebih memudahkan
koordinasi apabila ada permintaan dari berbagai kalangan untuk menampilkan bissu.
Lembaga ini juga melindungi kelompok bissu Pammana dari segala upaya dari oknum
yang hanya memanfaatkan bissu untuk kepentingan pribadi. Aktor terakhir yaitu
penguasa daerah, dalam hal ini dinas Pariwisata Kabupaten Wajo. Dinas ini sering
mengundang kelompok bissu Pammana untuk melakukan atraksi penjemputan tamu
misalnya Gubernur Sulawesi Selatan dan Pejabat petinggi pemerintahan lainnya.
Konsekuensi yang harus diterima kelompok bissu Pammana apabila tidak ada aktor,
tentu saja kelompok ini tidak akan mempunyai arti apa-apa. Bahkan dapat dikatakan
kelompok bissu Pammana sudah punah. Betapa besar pengaruh aktor atas kelangsungan
hidup kelompok bissu ini. Namun demikian, ada pula aktor secara tersirat yakni berupa
oknum. Oknum dalam konteks ini dapat berupa pribadi atau kelompok. Oknum dapat
berada di dalam kelompok bissu Pammana sendiri maupun di luar kelompok ini. Oknum
sering mendapatkan ‘benturan’ dengan dewan adat karena oknum sering
mengatasnamakan atau menggunakan kelompok bissu Pammana dalam upacara tanpa
sepengetahuan dewan adat yang berfungsi sebagai ‘event orgaizer’nya kelompok bissu
Pamana.
Konsep terakhir yang perlu dijelaskan yaitu bertahan berdasarkan definisi Tesaurus
Bahasa Indonesia (Endarmoko, 2006) bahwa bertahan berdasarkan beberapa pengertian
yaitu: berdiam, bergeming, berdengung, berkeras hati, berkuat, bersikukuh, bersitegang,
11
bersiteguh, bersitegun, mengotot, dan tarik ulur. Berdasarkan beberapa pengertian di atas,
yang akan digunakan dalam kajian ini adalah bersiteguh karena menyangkut sesuatu yang
dilakukan tidak surut atau dengan kata lain dapat bertahan.
Penyebab kelompok bissu Pammana dapat bertahan karena tiga faktor. Tiga faktor
tersebut yaitu: faktor upacara, faktor regenerasi, dan faktor masyarakat pendukung atau
aktor. Bissu bersiteguh menjalankan proses upacara karena tanpa ada upacara bissu tidak
dapat menjalankan fungsinya. Faktor regenerasi memungkinkan kelompok bissu
Pammana masih tetap ada hingga sekarang. Jumlah personil kelompok bissu Pammana
hanya 18 orang, apabila tidak ada regenerasi kelompok ini maka dapat dipastikan
kelompok bissu Pammana akan punah. Faktor terakhir yaitu masyarakat pendukung.
Masih didapatkan jumlah yang sangat kecil masyarakat pendukung kelompok bissu
Pammana. Biasanya mereka bersal dari kalangan dukun dan masyarakat yang tingkat
pendidikannya rendah.
Faktor bertahan tersebut memungkinkan membuka jalan bagi upaya pelestarian
kelompok ini yaitu dengan cara mempertahankan bentuk upacara yang telah ada dan
melakukan penyesuaian bentuk upacara. Hobsbawm dalam bukunya The Invention of
Tradition menggagas untuk memunculkan kembali tradisi lama dalam masa kini dengan
jalan melakukan beberapa perubahan. Sebagaimana ia mendefinisikan the term of
invented tradition …it include ‘traditions’ actually invented, constructed, and formally
instituted and these emerging in a less easily traceable manner within a brief and
dateable period (Hobsbawm, 2003:1). Upacara tradisional kelompok bissu Pammana
yang dilakukan sekarang merupakan ritual yang dilakukan oleh pendahulunya pada masa
lalu. Namun, tidak semua ritual tersebut dapat dipertahankan pada saat ini. Memerlukan
adaptasi untuk menciptakan sebuah kondisi baru dalam hal ini yang berhubungan dengan
nilai ajaran Islam. Hal ini senada dengan gagasan Hobsbawn adaptation took place for
old uses in new conditions and by using old models for new purposes (Hobsbawn, 1983).
Berdasarkan sintesa beberapa konsep di atas maka teori yang akan digunakan dalam
kajian ini berdasarkan pada pendekatan fungsional-struktural yang menitikberatkan agar
peneliti berupaya untuk menunjukkan relasi fungsional antara suatu unsur budaya atau
gejala sosial budaya tertentu dengan struktur sosial yang ada dalam masyarakat. (Ahimsa-
Putra, 2007:29). Dalam hal ini yaitu relasi fungsional antara upacara tradisional
12
kelompok bissu Pammana dan relasi sosial yang menyebabkan kelompok ini bertahan
hinga kini. Pendekatan fungsional-struktural yang akan digunakan berdasarkan yang telah
dikembangkan oleh Tallcot Parsons (Nasikun, 1984: 14). Perubahan yang terjadi melalui
penyesuaian terhadap unsur-unsur yang datang dari luar (extra systemic change). Hal ini
berkaitan erat dengan pertanyaan utama mengenai masih bertahannya bissu hingga kini.
Salah satu penyebab bissu bertahan karena ritual yang dilakonkan dapat diterima oleh
masyarakat. Ritual tersebut telah mengalami penyesuaian sejalan dengan perkembangan
logika dan keyakinan masyarakat yang selalu berubah.
d. Metodologi
Penelitian ini berlokasi di dua kecamatan yang saling berbatasan langsung yaitu
Kecamatan Tempe dan Pammana Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan. Meskipun
kelompok bissu ini berasal dari kecamatan Pammana, namun upacara tradisional yang
dilakukan bissu lebih banyak dilakukan di Kecamatan Tempe seperti upacara yang
menampilkan ritual yang berhubungan dengan daur hidup life-cycles dan atraksi
penyambutan tamu. Kehadiran bissu pada upacara tradisional yang berhubungan dengan
siklus kehidupan dilakukan oleh masyarakat pendukungnya dan kalangan kerabat istana.
Selanjutnya, pada penyambutan tamu umumnya permintaan dari pemerintah daerah
dalam hal ini dinas Pariwisata Kabupaten Wajo. Tidak semua tamu disambut dengan
tarian bissu, hanya tamu tertentu saja yang disambut dengan melibatkan bissu misalnya
gubernur, menteri, atau presiden.
Kecamatan Pammana dipilih karena tempat inilah menjadi asal bissu Pammana dan
menjadi basis utama kegiatan mereka. Di kecamatan ini pula terdapat dewan adat yang
secara stuktur organisasi menjadikan kelompok bissu Pammana bagian dari lembaga ini.
Pada saat upacara pelantikan datu atau raja Pammana yang terakhir pada tahun 2004
dilakukan di tempat ini. Dewan adat mempunyai wewenang atas segala kegiatan yang
mengatasnamakan kelompok bissu Pammana sehingga setiap kegiatan baik sifatnya ritual
atau upacara lainnya harus sepengetahuan dewan adat. Campur tangan dewan adat ini
turut memberi warna tersendiri dalam hubungannya dengan bentuk ritual yang harus
diperankan oleh kelompok bissu Pammana. Kecamatan Tempe letaknya berbatasan
langsung dengan Kecamatan Pammana. Sengkang ibukota Kabupaten Wajo berada di
Kecamatan Tempe. Secara tidak langsung Kecamatan Tempe juga menjadi basis kegiatan
13
kelompok bissu Pammana. Berbagai upacara yang melibatkan bissu digelar di tempat ini
misalnya upacara yang berhubungan dengan life-cycles dan penjemputan tamu penting
oleh pemerintah daerah.
Disamping dua lokasi penelitian yang telah disebutkan, dipilih pula lokasi di
Watampone sebagai data pembanding antara dua kelompok bissu. Kelompok bissu
Pammana mempunyai upacara tradisional khas yang tidak didapatkan pada bissu
Watampone dan begitu pula sebaliknya. Data dari informan yang diperoleh di
Watampone khusunya mengenai proses menjadi bissu, motivasi menjadi bissu, dan
perbandingan jumlah bissu. Proses menjadi bissu pada kedua tempat tersebut memiliki
perbedaan yang signifikan. Motivasi menjadi bissu juga beragam, namun pada dasarnya
memiliki kesamaan. Hal ini tidak lepas dari pencitraan bahwa derajat bissu lebih tinggi
dibanding dengan calabai. Perbandingan jumlah bissu pada daerah yang berbeda juga
tidak seragam. Tidak ada kesepakatan bersama untuk menentukan jumlah bissu pada
daerah yang memiliki bissu misalnya yang terdapat di Sengkang Kabupaten Wajo dan
Watampone Kabupaten Bone.
Bissu yang dipilih sebagai informan adalah pimpinan kelompok bissu Pammana dan
seorang bissu generasi terakhir3. Saya anggap sebagai bissu generasi terakhir karena ia
menjadi bissu pada masa arung matowa Wajo atau raja tertinggi Wajo bertahta. Pada
masa tersebut sistem kepemimpinan pada hampir semua wilayah di Indonesia masih
didominasi oleh sistem pemerintahan kerajaan. Bissu pada masa tersebut merupakan
tokoh sentral dan upacara yang dilakukannya hanya di seputar saoraja atau istana raja.
Bissu lain yang seangkatan dengan bissu generasi terakhir semuanya sudah meninggal.
Kedua informan tersebut dipilih karena sangat menguasai berbagai atraksi dalam upacara
tradisional baik berupa ceremonial maupun ritual. Disamping itu, menguasai bahasa
bissu, tingkah laku yang seharusnya dilakonkan oleh bissu, sejarah kelompok bissu
Pammana, pernah mengadakan ‘transfer pengetahuan bissu’ dari generasi bissu
3 Haji Lacce usia sekitar 80 tahun berdomisili di Sengkang. Ia adalah satu-satunya bissu istana arung matowa Wajo (raja tertinggi Wajo) yang masih hidup di Wajo. Ia melakoni masa mudanya sebagai seorang bissu istana yang bertugas sebagai penari bissu. Pada masa mudanya sebagai bissu ia hanya mengingat kepada Allah SWT 25% sisanya ia mempercayai dewata yang selalu dipuja oleh masyarakat Bugis kuno. Saat tidak menggeluti sebagai bissu lagi, ia berpendapat bahwa dewata yang selalu dipuja oleh bissu tidak lain adalah sejenis jin kafir. Ia rajin memberi wejangan kepada bissu muda agar selalu mengingat dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Menunaikan ibadah haji tahun 1967. Kini kondisi tubuhnya semakin renta dan sakit-sakitan, kegiatan sehari-harinya diisi dengan kegiatan tadarus Al'quran.
14
sebelumnya, dan sudah lama melakoni hidup sebagai bissu. Alasan tersebut meyakinkan
saya untuk mendapatkan data yang akurat.
Informan selanjutnya, tokoh sekaligus pimpinan dewan adat Pammana yang
berfungsi sebagai ‘event organizer’ kelompok bissu ini. Informan ini banyak berperan
dalam rangka mengangkat kembali harkat dan martabat kelompok bissu Pammana
ditengah-tengah masyarakat. Dibutuhkan pula informan dari tokoh masyarakat dan aparat
pemerintah daerah kabupaten Wajo dalam hal ini Dinas Pariwisata yang terlibat dalam
kegiatan yang menghadirkan kolompok bissu Pammana. Data yang diperoleh dari
informan tokoh masyarakat merupakan persepsi masyarakat terhadap peran dan
keberadaan bissu dalam masyarakat. Informan kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Wajo
didapatkan data mengenai pelibatan bissu dalam kegiatan yang digelar oleh pemerintah
daerah.
Cara pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi dan interview. Observasi
pada ritual-ritual yang dilakonkan oleh kelompok bissu Pammana. Teknik ini
dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran sistematis proses atraksi dan bagaimana
atraksi tersebut dimaknai oleh masyarakat. Untuk maksud ini, peneliti melakukan
dokumentasi gambar bergerak yang disimpan dalam format Video Compact Disk dan
gambar tidak bergerak (still image). Sebenarnya pendokumentasian sudah lama
diupayakan oleh peneliti sejak bulan Juli 2004 dan terakhir pada pengambilan data awal
Maret 2007. Data Video Compact Disk ditayangkan dan diamati dengan menggunakan
televisi atau di layar monitor komputer. Data tersebut merupakan dokumentasi tata
upacara pelantikan datu atau raja Pammana yang dilaksanakan pada masa kemerdekaan
RI. Upacara tersebut melibatkan bissu sebagai tokoh sentral. Data ini sangat membantu
utamanya dalam deskripsi tahapan ritual. Still image atau gambar diam menayangkan
benda-benda ritual yang digunakan oleh bissu yang diambil secara dekat sehingga
memudahkan benda tersebut dideskripsikan.
Dilakukan pula indepth interview untuk menggali data kualitatif dari informan bissu
tokoh masyarakat, aparat pemerintahan, dan tokoh dewan adat. Wawancara kepada bissu
ditujukan untuk mengetahui lebih dalam konsep dan makna yang berhubungan dengan
upacara tradisional yang diperankan oleh kelompok bissu Pammana. Selain itu,
dimaksudkan untuk mendapatkan informasi mengenai berbagai atraksi yang
15
menampilkan kelompoknya. Terakhir, informasi mengenai upaya-upaya yang dilakukan
sehingga kelompok ini masih bisa bertahan hingga sekarang. Interview yang dilakukan
kepada tokoh masyarakat untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang persepsi
umum masyarakat kepada kelompok bissu Pammana termasuk tanggapan tentang peran
dan posisi bissu di tengah-tengah masyarakat yang semakin memudar. Selanjutnya,
interview juga dilakukan kepada aparat pemerintahan untuk mendapatkan tangapannya
dalam hal pelibatan kelompok bissu Pammana dalam beberapa kegiatan pemerintah
daerah. Terakhir, interview juga dilakukan kepada tokoh dewan adat untuk mendapatkan
tanggapannya mengenai kelangsungan sosial ekonomi kelompok bissu Pammana.
Diharapkan informasi yang didapatkan dari informan di atas dapat lebih rinci dan
dipertangungjawabkan.
Analisis data yang akan digunakan adalah analisis data model interaktif yang
dikemukakan oleh Matthew B. Miles (Miles dan Huberman, 1992:19). Terdapat tiga hal
utama dalam model ini yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
Data yang diperoleh dari hasil observasi berupa dokumentasi gambar bergerak akan
dideskripsikan apa adanya, begitu pula dengan hasil wawacara informan akan dicatat
untuk selanjutnya direduksi. Reduksi data ini menjurus ke arah gagasan-gagasan baru
guna dimasukkan ke dalam suatu matriks atau penyajian data. Pencatatan data
mensyaratkan reduksi data selanjutnya. Setelah penyajian data atau matriks telah terisi
maka sudah dapat ditarik kesimpulan.
Sketsa Sulawesi bagian Selatan. Sengkang ibu kota
Kabupaten Wajo terletak di tengah-tengah
16
BAB II KEHIDUPAN SOSIAL KEAGAMAAN DI KABUPATEN WAJO
a. Letak Geografis Wajo
Wajo adalah salah satu kabupaten yang ada di Sulawesi Selatan. Memiliki luas
sekitar 250.619 hektar yang terdiri atas 14 kecamatan, 48 kelurahan, dan 128 desa4.
Ibukota kabupaten Wajo adalah Sengkang yang berjarak sekitar 200 kilometer dari
Makassar ibukota provinsi Sulawesi Selatan. Secara georafis kabupaten Wajo terletak
pada koordinat antara 30 ° 39' sampai 4 ° 16' Lintang Selatan dan 119 ° 53' sampai 120 °
27' Bujur Timur. Sebelah barat kota Sengkang terletak Danau Tempe, sebelah timurnya
terbentang gugusan gunung yang salah satu gunung terkenal yaitu Pattirosompe. Gunung
didekatnya yaitu Pessangrahan yang sangat mudah dijangkau dengan berjalan kaki
maupun dengan kendaraan. Kabupaten Wajo bertetangga dengan kabupaten lain seperti
Bone disebelah timur, Soppeng di sebelah selatan, Sidrap di sebelah barat, dan Luwu di
sebelah utara. Letak kabupaten Wajo berada di tengah-tengah Sulawesi Selatan sehingga
menjadikan tempat ini sebagai daerah strategis dalam bidang perdagangan dan wisata.
Sebelah timur merupakan daerah pesisir pantai di Teluk Bone membentang sekitar 110
km yang memiliki potensi ikan laut yang besar.
Hamparan persawahan membentang di kabupaten Wajo yang luasnya sekitar
86.000 hektar. Potensi lahan perkebunan sekitar 38.000 hektar yang cocok ditanami
tanaman perkebunan komoditi ekspor seperti cengkeh, kakao, sawit, dan kelapa hibrida.
Tanah yang berbukit-bukit yang merupakan hutan tanaman industri dan cocok digunakan
sebagai kebun coklat, cengkeh, jambu mete, serta pengembangan ternak. Terdapat pula
padang rumput seluas 34.000 hektar yang sangat cocok menjadi lahan peternakan baik
skala kecil maupun besar5. Potensi alam ini turut mempengaruhi kegiatan ekonomi di
daerah ini. Mata pencaharian utama daerah ini masih didominasi oleh petani. Penduduk
Sengkang banyak yang berprofesi sebagai pegawai negeri, karyawan, pengusaha, dan
pedagang. Penduduk di pesisir danau Tempe dan di sekitar aliran sungai Walanae banyak
bekerja sebagai nelayan. Di pinggiran kota Sengkang penduduknya banyak yang bertani
4 Data dari situs resmi Pemerintah Kabupaten Dati II Wajo pada http://www.wajo.go.id. 5 ibid
17
dan berladang. Pendapatan perkapita masyarakat Wajo sekitar awal tahun 2000-an adalah
3,5 juta per tahun.
Danau Tempe merupakan sumber penghidupan nelayan sekitar danau begitu pula
dengan satwa dan tumbuhan danau seperti ikan mas, nila, sepat, udang, burung belibis,
kangkung, dan enceng gondok. Sekitar tahun 1970-an, Danau Tempe pernah menjadi
penghasil ikan air tawar terbesar di Indonesia. Hasil ikan tersebut mencapai 40.000 ton
ikan air tawar yang mampu menyuplai kebutuhan Pulau Jawa. Pemasaran ikan tersebut
mencapai daerah Jakarta, Surabaya, dan Kalimantan. Bagian tengah danau Tempe
diperkirakan seluas 13.000 hektar yang banyak ditumbuhi oleh tumbuhan air baik di
dalam air maupun yang mengapung di air. Tidak seperti danau lainnya yang ada di
Indonesia, danau ini banyak ditumbuhi enceng gondok dan kangkung. Sehingga di atas
air danau ini kelihatan menghijau. Tumbuhan yang hidup di atas permukaan air menjadi
tempat bersarang burung belibis, bangau, dan beberapa burung air. Bagian bawahnya
sebagai tempat beberlindung ikan danau dan udang khas danau ini. Ukuran udangnya
kira-kira satu sentimeter lebih kecil daripada udang biasa. Masyarakat Wajo dan daerah
sekitar danau menyebutnya sebagai alame. Makanan khas yang bahannya dari udang ini
disebut ronto' yang disajikan dengan bahan utamanya adalah alame yang dicuci bersih
tanpa dimasak ditambah dengan bumbu lain seperti garam, cabe, bawang putih, kemiri
goreng, asam, dan jahe. Masyarakat Wajo menikmati makanan ini bersama dengan nasi
dan ada pula menikmati dengan rebus pisang muda.
Danau Tempe berada di antara tiga kabupaten yang bertetangga yaitu Soppeng,
Wajo, dan Sidrap. Sungai-sungai yang berasal dari kabupaten Soppeng, Bone, Sidrap,
bahkan sungai yang berasal dari beberapa daerah yang berdekatan dengan Wajo
bermuara di danau Tempe. Sungai tersebut membawa lumpur dan pasir dari daerah
gunung dan menimbun lumpur tersebut di danau. Satu-satunya sungai tempat
pembuangan air dari danau Tempe ke laut adalah sungai Walanae yang bermuara di
Teluk Bone. Akibatnya lumpur yang berkumpul di danau lama kelamaan menimbulkan
pendangkalan. Apabila musim hujan tiba di daerah tetangga yang memiliki sungai yang
bermuara di danau Tempe maka daerah pesisir danau Tempe menjadi tenggelam oleh
banjir. Daerah yang paling banyak mengalami kerugian yaitu di kecamatan Tempe.
Hampir setiap tahun banjir menjadi langganan tetap di kecamatan Tempe Sengkang.
18
Masyarakat sudah terbiasa dengan banjir tersebut sehingga hampir semua rumah yang
berada di pesisir danau Tempe adalah rumah panggung.
Setiap tangal 23 Agustus tiap tahun menjadi agenda tetap pemerintah kabupaten
Wajo mengadakan Festival Danau Tempe. Kegiatan ini dilakukan di pesisir danau Tempe
dan bentaran sungai Walanae. Beragam atraksi budaya lokal ditampilkan dalam kegiatan
ini termasuk yang berbentuk perlombaan dan pagelaran seni tradisional bugis Wajo.
Perlombaan yang dilaksanakan seperti lomba balap perahu atau perahu dayung, perahu
hias, dan perahu tradisional. Peserta perlombaan ini diikuti oleh hampir semua daerah
kecamatan yang ada di Wajo. Terdapat pula lomba permainan rakyat seperti lomba
mappadendang atau menabuh lesung dan lomba layang-layang tradisional. Untuk
kegiatan yang melibatkan pemuda digelar acara pemilihan Ana'dara Kallolono Wajo atau
pemilihan gadis dan jejaka Wajo6. Digelar pula pagelaran musik tradisional seperti
makkacapi memainkan musik kecapi dan massure nyanyian yang banyak mengandung
petuah bijak orang , dan atraksi tari bissu. Acara intinya adalah maccera tappareng
mengarung sesajian ke dalam danau sebagai pertanda rasa syukur atas limpahan
tangkapan ikan danau ini.
b. Penduduk Wajo yang Religi
Agama utama di Wajo adalah Islam yang dipeluk oleh sebagaian besar
penduduknya. Pemeluk utamanya adalah orang Bugis yang telah lama mendiami Wajo.
Sebelum ajaran Islam masuk di tempat ini, masyarakat Wajo menganut kepercayaan
bugis kuno yang berhubungan dengan animisme dan dinamisme. Masyarakat Wajo
percaya akan adanya zat pencipta yang mereka kenal dengan nama dewata seuweE. Saat
ini berbagai agama lain dijumpai di Wajo khususnya di Sengkang seperti kristen
protestan dan kristen katolik. Agama kristen protestan dari orang Toraja atau suku
lainnya yang masuk mencari penghidupan atau ditugaskan bekerja di Sengkang. Begitu
pula dengan kristen katolik yang kebanyakan dianut oleh orang Tionghoa yang mencari
penghidupan di tempat ini. Kepercayaan Tolotang merupakan sisa-sisa kepercayaan bugis
kuno juga dijumpai di Wajo. Agama lain dan kepercayaan Tolotang yang ada di daerah
ini secara keseluruhan merupakan masyarakat minoritas non-muslim Wajo.
6 Op cit
19
Penduduk Wajo dikenal sebagai muslim yang taat menjalankan ajaran agama
Islam. Islam di Wajo sudah ada sekitar empat ratus tahun yang lalu. Awal mulanya
penduduk Wajo memeluk Islam pada saat raja atau yang bergelar Arung Matowa Wajo
XII La Sangkuru Patau Sultan Abdur Rahman bertahta. Wajo menerima Islam atas
pengaruh kerajaan Gowa yang lebih dulu memeluk Islam. Tepat hari Selasa tanggal 15
Shafar 1020H atau 6 Mei 1610M La Sangkuru bersama rakyatnya mengucapkan dua
kalimat syahadat. Raja atau Karaeng Gowa Mangerangi Daeng Manrabila Sultan Alaudin
mengikut prosesi ini di Wajo. Untuk lebih mempermantap ajaran Islam di daerah ini raja
Wajo memohon ke raja Gowa agar diutus orang yang mengajarkan agama. Dikirimlah
Datuk Sulaiman untuk mengajarkan Islam kepada raja Wajo bersama kerabat istana
lainnya. Ia mengajarkan Islam dengan memperkenalkan tauhid yang mengesakan Allah
swt., kemudian larangan mengerjakan dosa besar, dan rukun Islam. Ia mengajarkan
dengan jelas sehingga orang yang baru belajar mudah memahaminya.
Ajaran Islam diterima dengan cepat di Wajo atas keikhlasan dan kesabaran
muballig Datuk Sulaiman dalam mengajarkan ajaran ini. Berdasarkan kesepakatan arung
patapuloe semacam badan legislatif kerajaan Wajo yang angotanya berasal dari
perwakilan tiap-tiap kerajaan bawahan dalam lingkup kerajaan Wajo, mempercayakan
kepada Datuk Sulaiman untuk menangani urusan agama dan diamanahkan juga menjadi
kadhi Wajo. Tugasnya yaitu mengangkat guru syara' dan sekaligus mengaturnya mulai
dari kerajaan-kerajaan kecil bawahan Wajo hingga ke pusat kerajaan Wajo. Tidak
beberapa lama kemudian, Datuk Sulaiman meninggalkan Sengkang karena mendapat
tugas baru dikirim ke Luwu. Ia juga mengajarkan Islam di kerajaan Luwu. Ia digantikan
oleh Datuk Ribandang Abdul Makmur. Datuk Ribandang menjadi kadhi Wajo dan
melanjutkan usaha yang dirintis oleh Datuk Sulaiman.
Setelah ratusan tahun perjalanan Islam di Wajo yang telah mengalami pasang
surut, cahaya Islam kembali bersinar setelah didirikan Pondok Pesantren As'adiyah yang
diawali dengan lembaga pendidikan Madrasah As'adiyah antara tahun 1929 – 1930 di
Sengkang (Pasanreseng, 1992: 94). Pendiri lembaga ini seorang keturunan bugis
Sengkang yang lahir di Mekah pada hari Senin 12 Rabiul Tsany 1328 Hijriyah atau
bertepatan pada tahun 1907 Miladiyah. Ia bernama Gurutta Asysyeh Haji Muhammad
As'ad. As'ad yang menghabiskan banyak waktunya memperdalam ilmu agamanya di
20
tanah suci Mekah dan sudah menghafal isi Al qur'an 30 juz. Ia pulang mengabdikan
ilmunya di tanah leluhurnya dengan mendirikan pesantren. Awal kegiatan pesantren
hanya sebagi pengajian biasa dan dihadiri oleh masyarakat kota Sengkang. Namun
lambat laun masyarakat luas berdatangan untuk belajar sebagai santri di lembaga ini. Hal
ini berlanjut terus menerus hingga perkembangannya sangat pesat. Masyarakat yang
berdatangan untuk menunut ilmu bukan hanya berasal dari Wajo atau daerah
tetangganya. Namun, lebih dari itu banyak santri yang berdatangan dari luar pulau seperti
Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan Malaysia.
Keberadaan pesantren ini turut mewarnai kehidupan beragama di Wajo karena
mubalighnya turun langsung melakukan dakwah ke hampir semua masjid yang ada di
daerah ini. Disamping itu, pesantren ini memiliki tokoh agama yang kharismatik dan
disayangi oleh masyarakat Wajo. Para kiyai yang sudah lama mengajar dan selalu
memberikan siraman rohani kepada masyarakat luas bergelar gurutta atau anre gurutta.
Masyarakat Wajo sangat memegang teguh dalam menjalankan nilai-nilai ajaran Islam.
Untuk itu, mereka membutuhkan gurutta untuk membimbing urusan rohani mereka.
Siraman rohani Islam yang disampaikan oleh gurutta biasanya disampaikan setelah shalat
magrib sambil menunggu shalat isya yang dilakukan di masjid-masjid. Pada
perkembangan selanjutnya sejak tahun 1968 siraman rohani dalam bentuk pengajian
yang dilaksankan setiap hari selesai shalat magrib di masjid Raya Wajo telah
disebarluaskan melalui radio suara As'adiyah. Sehingga masyarakat luas tanpa keluar
rumah sekalipun dapat mendengarkan siraman rohani tersebut.
c. Kehidupan Sosial Ekonomi
Disamping gambaran perkembangan kehidupan keagamaan masyarakat Wajo
seperti yang dipaparkan di atas, Sengkang dikenal pula dengan industri kain sutera.
Industri ini turut membantu mengembangkan perputaran roda ekonomi di Sengkang
kabupaten Wajo. Masyarakat memproduksi sendiri kain sutera dalam bentuk sarung dan
kain untuk bahan pakaian. Rumah masyarakat Wajo kebanyakan rumah kayu panggung
yang fungsinya sekaligus sebagai tempat memproduksi kain sutera. Alat tenun
ditempatkan pada bagian bawah rumah. Sementara pada bagian atas ditempati sebagai
tempat tinggal. Alat tenun yang digunakan terdiri atas dua jenis. Jenis yang pertama
masih tradisional dan yang kedua alat tenun bukan mesin. Sarung yang ditenun dengan
21
menggunakan alat tenun tradisional harganya lebih mahal dibanding dengan yang
diproduksi dengan menggunakan alat tenun bukan mesin. Produksi sarung sutera
biasanya dijual langsung oleh pedagang dari Sempangge ke daerah-daerah tetangga Wajo
hingga luar pulau Sulawesi. Biasanya mereka menjual dengan menggunakan sepeda
motor dan menjajakannya ke rumah-rumah penduduk.
Orang Wajo mempunyai jiwa kewirausahawanan yang tinggi. Banyak orang Wajo
pergi merantau meninggalkan kampung halamannya dengan harapan dapat mengubah
kehidupannya menuju masa depan cerah. Mereka kebanyakan bekerja sebagai pedagang
dan sebagiannya lagi bekerja pada sektor perkebunan. Daerah yang ramai dikunjungi
seperti di Sumatra, Kalimantan, Jawa, dan Papua. Sementara di Wajo sendiri mata
pencaharian utama penduduknya sebagian besar masih petani, sebagiannya lagi sebagai
pegawai dan pedagang. Disamping jiwa kewirausahawanan, orang Wajo juga masih
memelihara dengan teguh tradisi gotong-royong. Apabila sebuah anggota keluarga
hendak menyelenggarakan hajatan maka keluarga lainnnya atau para tetangga dengan
suka rela berdatangan membantunya. Biasanya hajatan yang mereka gelar berhubungan
dengan daur kehidupan seseorang misalnya acara pengantin dan acara kelahiran.
Demikian sekelumit gambaran kehidupan religi dan kondisi sosial ekonomi masyarakt
Wajo dari masa lalu hingga sekarang.
Orang Wajo mempunyai motto maradeka towajoe ade'nami napopuang orang
Wajo sejak dulu merupakan individu yang merdeka dan hanya adatlah yang dipertuan.
Motto ini dicetuskan oleh seorang negarawan Wajo sekaligus arung simettengpola atau
raja Simettengpola La Tiringeng To Taba pada masa raja Wajo yang begelar Batara Wajo
I La Tenri Bali bertahta sekitar tahun 1399 pada abad XV. Tahun ini sekaligus
merupakan penetapan hari lahir Wajo. Pada masa tersebut di Wajo sudah dikenal dengan
istilah ata atau hamba yaitu orang-orang yang kehilangan kemerdekaannya. Seluruh
hidupnya hanya untuk mengabdi kepada raja atau bangsawan lainnya tanpa mendapatkan
gaji. Orang Wajo sejak dilahirkan dari rahim ibunya sudah menjadi individu yang
merdeka dan tidak dikenal sistem penindasan nilai-nilai kemanusiaan. Orang Wajo bebas
mengeluarkan pendapat tanpa ada sanksi yang sifatnya melecehkan nilai-nilai
kemanusiaan. Orang Wajo menjunjung tinggi kesepakatan dalam adat. Mereka
mempertuankan adat bukan manusia. Mereka tunduk dan mematuhi adat sebagai
22
pedoman untuk mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan. Sehingga Wajo pada masa
kerajaan termasuk daerah yang telah mengenal dan menjalankan sistem pemerintahan
yang demokratis.
d. Bissu Selayang Pandang
Ada beberapa pendapat mengenai istilah bissu. Istilah pertama menganggap berasal
dari kata bessi dalam bahasa Bugis berarti bersih (Lathief, 2004:2). Dianggap bersih
karena mereka tidak mengalami haid, suci (tidak kotor), tidak memiliki payudara.
Pendapat lain menyebutkan bahwa bissu berasal dari kata bismillah yang dianggap
sebagai pembuka atau awal dalam melakukan sesuatu (wawancara dengan Andi
Syahrazad Datu Pammana ke-40 tanggal 27 Maret 2007 di Sengkang). Pendapat ini
lemah karena budaya bissu sudah ada jauh sebelum pengaruh Islam masuk di Sulawesi
Selatan. Pendapat selanjutnya, kata bissu mendapatkan pengaruh dari agama Hindu
dimana pemimpin ritual atau pendeta Hindu disebut biksu (Sumange, 2003:11). Sumange
menduga istilah biksu merupakan upaya B.F Matthes untuk mengaburkan adat bugis.
Pendapat ini juga tidak memiliki dasar yang kuat karena belum ada bukti-bukti yang kuat
mengenai pengaruh Hindu di Sulawesi Selatan. Jadi asal kata istilah bissu belum
diketahui secara pasti yang ada hanya semacam spekulasi istilah saja.
Sejarah asal mula bissu dapat ditelusuri dengan menggunakan data yang ada dalam
naskah La Galigo. Keberadaan bissu sudah ratusan tahun ada di Sulawesi Selatan. Bissu
mulai dikenal dimasa Bugis klasik Sawerigading. Catatan pengamat Barat pertama
tentang bissu dibuat pada tahun 1545 oleh Paiva seorang Portugis (Pelras, 2006:191). Ia
melukiskan bissu secara tidak mendalam sehingga informasi yang disuguhkan sepihak
dan tidak komprehensif. Pada zaman La Galigo, bissu memiliki posisi diluar sistem
kemasyarakatan. Peran bissu sebagai pendeta, dukun, dan ahli ritual. Bissu berperan
sebagai penghubung antara manusia dengan dewata karena untuk berkomunikasi dengan
dewata harus menggunakan bahasa torilangi atau bahasa langit. Bahasa ini juga dikenal
sebagai bahasa bissu yang sebenarnya merupakan bahasa bugis kuno. Disamping bahasa
ini digunakan untuk berkomunikasi kepada dewata juga digunakan berkomunikasi antar
sesama bissu. Bahasa ini dianggap sebagai bahasa suci karena diturunkan dari surga
melalui dewata.
23
Secara fisik, bissu berjenis kelamin laki-laki namun dalam bertingkah laku dan
bertutur kata menyerupai wanita. Ada pula bissu wanita namun dalam jumlah yang
sangat terbatas. Pada mulanya terdapat bissu dari kalangan putri bangsawan, namun
lambat laun banyak diisi oleh laki-laki yang bertingkah seperti wanita. Dalam I La Galigo
disebutkan bahwa putri bangsawan yang menjadi bissu diantaranya saudara kembar
Sawerigading, We Tenriabeng, dan salah seorang anak perempuannya, We Tenridio.
Bissu memiliki pasangan mistis dari mahluk kahyangan. Mereka memiliki dua pasangan
gaib yaitu laki-laki dan perempuan. Jadi baik bissu laki-laki maupun perempuan memiliki
pasangan hidup keduanya. Meskipun bissu memiliki pasangan hidup di dunia, tetap saja
kelak akan memiliki pasangan dua pasangan gaib. Olehnya itu demi menjaga kesucian
bissu maka bissu tidak boleh memiliki pasangan hidup di dunia sebagai mana layaknya
pasangan suami istri.
Gambar 1 Bissu di Wajo
Pemipin bissu disebut Angkuru Tua wakilnya Angkuru Lolo
Gambar 2 Seorang bissu dalam satu upacara
24
Bissu mempunyai beberapa tugas dalam istana seperti penasehat spiritual raja,
menjaga dan merawat benda-benda pusaka kerajaan. Kadang-kadang diperlukan ritual
khusus untuk menghormati dan memelihara pusaka tersebut. Hamonic menyebut tugas
bissu sebagai sisi lain dari kepribadian bissu (Hamonic, 2001:4). Sisi lain tersebut seperti
sebagai orang yang bisa mengobati atau sanro, kajangeng, samaritu, meramal hari depan
atau toboto, menyanyi untuk dewa atau pasabo, dan yang lebih penting adalah pembaca
naskah La Galigo. Tugas lain yang melibatkan bissu seperti yang digambarkan dalam La
Galigo adalah upacara yang berkaitan dengan perkawinan, kelahiran, pelantikan raja, dan
penyambutan tamu terhormat. Sebagai bagian dari lembaga kerajaan, keberadaan bissu
sangat penting dan dibutuhkan karena sebuah kerajaan dianggap tidak lengkap tanpa
kehadiran bissu. Seorang raja yang akan dilantik harus dihadiri oleh kelompok bissu.
Pada prosesi pelantikan raja, bissu berperan sebagai penghubung segala yang ada dari
dunia atas dan bawah untuk menghadiri prosesi pelantikan tersebut.
Bissu di Sulawesi Selatan umumnya terdapat di daerah yang memiliki konsep
tomanurung. Tomanurung merupakan mitos yang berperan sebagai “juru penyelamat”.
Seorang tokoh yang muncul secara misterius untuk menyelamatkan masyarakat yang
kondisinya kacau balau. Dalam bahasa Bugis sianrebalei taue atau ikan yang saling
memakan, yang besar memakan yang kecil dan yang kecil tidak lagi menghiraukan yang
besar. Tidak ada lagi yang dipercaya untuk memimpin negeri sehingga keadaan
kepemimpinan menjadi lowong. Rakyat pun kehilangan panutan dan pelindung. Tidak
ada arah yang jelas. Ditengah-tengah kebimbangan masyarakat, sosok sakti tomanurung
tampil bagai pahlawan yang mampu memecahkan masalah masyarakat setempat. Wibawa
tomanurung berkaitan dengan kesaktian yang dimiliki sehingga masyarakat mempercayai
tomanurung sebagai tokoh yang dikirim dari langit untuk menyelamatkan manusia. Pada
perkembangan selanjutnya terjadi perjanjian dan kesepakatan antara tomanurung dengan
rakyat yang berakhir dengan diangkatnya tomanurung sebagai pemimpin atau raja
mereka.
Pada saat ini, kelompok bissu yang jumlahnya kian merosot bahkan dapat
dikatakan nyaris punah, tersebar pada beberapa daerah di Sulawesi Selatan seperti yang
ada di kabupaten Wajo, Bone, Soppeng, Luwu, dan Pangkep. Di kabupaten Gowa
kelompok bissu sudah tidak dijumpai lagi. Masih adanya unsur sinkretisme dalam
25
berbagai ritual bissu mengundang kontraversi dari berbagai kalangan. Kelompok
pendukung bissu menghendaki dihidupkan kembali berbagai ritual yang harus dilakukan
dalam upacara. Namun pada sisi lain, justru dari masyarakat pendukung bissu sendiri
secara perlahan-lahan mulai meninggalkan bentuk ritual yang ditampilkan oleh bissu
karena berbagai alasan seperti pergeseran pemahaman tentang keagamaan dan sistem
pemerintahan. Ritual yang dilakukan bissu juga mendapat kecaman yang serius oleh para
pemuka agama Islam.
Salah satu daerah di Kabupaten Wajo yang masih memiliki kelompok bissu adalah
Kecamatan Pammana Kabupaten Wajo. Letak Kecamatan Pammana berbatasan langsung
dengan Sengkang ibu kota Kabupaten Wajo. Jarak ke Makassar sekitar 180 kilometer
kearah selatan. Secara historis, Pammana yang sebelumnya bernama Cina7 merupakan
satu kerajaan tertua dan berdiri sendiri sebelum bergabung dengan kerajaan Wajo. Dalam
struktur pemerintahan kerajaan Pammana, penguasa tertinggi disebut datu atau raja. Pada
prosesi pelantikan seorang datu, bissu merupakan tokoh yang amat penting. Tugas bissu
melakukan ritual yang menghadirkan reprentasi ‘dunia atas, tengah, dan bawah’ dalam
pelantikan datu. Dalam prosesi pelantikan datu dihadiri oleh yang mewakili ketiga dunia
tadi atas ritual yang dilakukan oleh bissu. Benda-benda ritual merupakan simbol-simbol
yang menghubungkan antara 'dunia bawah' dan 'dunia atas'. Bissu Pammana dilantik oleh
datu atas hasil musyawarah.
e. Kehidupan Bissu Sehari Hari
Kehidupan sehari-hari Bissu Pammana Kabupaten Wajo tidak berbeda dengan
masyarakat umumnya. Bissu adalah masyarakat biasa dan bukan dari kelompok
bangsawan. Adapun jika ada dari golongan bangsawan maka bissu tersebut hanya
kebetulan saja karena tidak ada aturan yang mengharuskan bahwa bissu harus dari
golongan bangsawan. Bissu Pammana tidak menikah dengan perempuan lawan jenisnya
maupun sesama laki-laki sehingga mereka tidak mempunyai keturunan. Bissu sebagai
bagian dari masyarakat berbaur dan diterima oleh masyarakat disekitarnya. Meskipun
demikian, tidak sedikit masyarakat yang memandang sebelah mata kehidupan bissu.
7 Cina selalu disebut dalam epos La Galigo. Berbagai penafsiran muncul untuk menentukan lokasi Cina secara pasti. Ada anggapan yang mengatakan bahwa Cina yang dimaksud adalah Negara Cina, ada pula yang berpendapat terdapat di salah satu daerah di Bone. Namun bukti yang paling kuat dan meyakinkan yaitu di Kecamatan Pammana Kabupaten Wajo karena memilii bukti situs yang sama di sebutkan dalam La Galigo.
26
Masyarakat yang demikian mengangap bahwa bissu tidak ada bedanya dengan calabai
yang kurang memiliki tata krama sopan santun. Padahal bissu mempunyai tata krama
tersendiri dan memiliki perbedaan fungsi dan peran dengan calabai. Masyarakat seperti
ini memiliki pengetahuan yang kurang terhadap bissu sehingga mereka menilai bissu
secara tidak seimbang.
Untuk menopang kebutuhan hidup sehari-hari, bissu bekerja menyewakan
kebutuhan pesta pengantin seperti hiasan atau dekorasi yang dibutuhkan pada pesta
pengantin, jasa memasak lauk-pauk atau kue pada pesta pengantin, dan merias pengantin.
Ada anggapan masyarakat bugis yang mengatakan bahwa jika seorang calon mempelai
wanita dirias oleh bissu maka akan terpancar kecantikan mukanya pada saat duduk di
pelaminan (wawancara dengan H. Palippui pada tanggal 24 Mei 2007 di Sengkang).
Kelebihan bissu zaman dulu adalah cenning rara atau mantra-mantra untuk pengasih
yang digunakan pada pengantin yang diriasnya. Jika cenning rara digunakan oleh bissu,
maka orang yang melihat pengantin akan melihatnya sangat menawan. Hal ini membuat
masyarakat lebih mempercayakan kepada bissu untuk menangani pesta pernikahan.
Namun seiring dengan perkembangan jaman, posisi bissu telah diambil alih oleh juru rias
yang terlatih sehingga berangsur-angsur bissu tidak digunakan lagi merias pengantin.
H. Palippui, 76 tahun, seorang tokoh masyarakat di Sengkang merasa terkesan
atas jasa bissu yang mampu mengobati penyakitnya. Ia menuturkan pada masa mudanya
sekitar tahun 1954 ia merasa badannya bengkak-bengkak. Temannya yang mengalami
penyakit serupa berangkat ke Makassar untuk menjalani pengobatan. Namun sayang,
temannya tersebut meninggal. H. Palippui kemudian mengobati penyakitnya pada
seorang bissu yang tinggal tetangga kampung dengannya. Ia mendengarkan kesaktian
yang dimiliki oleh bissu Angkuru Condong yakni sudah tiga kali Angkuru Condong
mengalami walung atau sudah dianggap mati sehingga sudah diperlakukan sebagai mana
layaknya orang meninggal seperti sudah dibungkus dengan kain kafan. Angkuru
Condong kemudian mengambil bila atau buah maja yang bentuknya seperti bola dan
isinya berwarna putih dan sangat pahit rasanya. Buah maja tersebut dijadikan wadah air
untuk kemudian dijampi-jampi dengan menggunakan mantra-mantra. Setelah beberapa
kali mengunjungi Angkuru Condong, rupanya bissu ini merasa kasihan kepada pasiennya
sehingga ia rela dan ikhlas memberikan mantra tersebut kepada H.Palippui untuk dipakai
27
mengobati sendiri penyakitnya. Setelah mencoba melakukan penyembuhan sendiri,
rupanya penyakit H.Palippui dapat disembuhkan. Sampai sekarang H.Palippui
menyimpan mantra tersebut untuk digunakan pada jalan untuk melakukan kebaikan.
Secara keseluruhan, kehidupan sehari-hari dan segala upacara yang dilakukan
oleh bissu utamanya kelompok bissu Pammana sudah diterima oleh masyarakat.
Masyarakat tidak mengganggu atau menghalang-halangi upacara yang melibatkan bissu
karena bissu adalah bagian dari masyarakat dan memeluk ajaran Islam. Masyarakat
menerima bissu sebagai saudara sesama umat Islam. Bissu juga mampu menyesuaikan
diri sesuai kondisi masyarakat sekitarnya. Bahkan banyak bissu yang telah menunaikan
ibadah haji contohnya angkuru tua pemimpin dan angkuru lolo wakil pemimpin
kelompok bissu Pammana. Namun, meskipun demikian apabila bissu tersebut masih
melakukan berbagai ritual maka tetap saja dianggap berada pada jalur yang tidak lurus.
Ritual yang dilakukan oleh bissu masih meyakini kekuatan dan pencipta lain selain dari
Allah SWT. Kritikan ini utamanya dimotori oleh para tokoh agama yang kemudian
diikuti oleh sebagian warga masyarakat. Tidak ada upaya masyarakat untuk membasmi
bissu karena bissu merupakan warisan budaya yang tidak ternilai harganya juga bissu
sendiri mempunyai keluarga yang merupakan bagian dari masyarakat Wajo.
28
BAB III REINVENSI KULTURAL KELOMPOK BISSU
a. Aktor yang Menghadirkan Bissu
Berbagai upacara yang melibatkan bissu masih ditemukan hingga saat ini. Bissu
tidak tampil atas prakarsa bissu sendiri melainkan dilakukan oleh beberapa aktor yang
masih memerlukannya. Aktor yang masih memerlukan kehadiran bissu dalam upacara
atau ritual seperti keluarga istana dan masyarakat yang berprofesi sebagai petani,
nelayan, dan dukun. Selain itu, dewan adat dan pemerintah daerah juga merupakan aktor
yang memunculkan bissu dalam berbagai kegiatan. Para aktor tersebut memperlakukan
bissu sebagai tokoh sentral, sebagai pelengkap, penasehat ritual, dan penghibur. Terdapat
pula stigma pada pemunculan bissu di tengah masyarakat Wajo. Penyimpangan yang
dilakukan oleh bissu bukan hanya dianggap sebagai tindakan yang menyalahi kodrat.
Lebih jauh, malah dianggap sebagai tindakan yang berbenturan dengan syariah Islam
yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Bugis sekarang. Namun para tokoh yang
memunculkan bissu memiliki pemaknaan tersendiri dalam pelibatan bissu pada upacara
atau ritual yang mereka gelar.
Pendukung bissu dari kalangan istana adalah bangsawan yang memerlukan bissu
dalam berbagai upacara yang mereka gelar. H. Lacce seorang informan bissu
mengemukakan "iafa na matase na makarame gaukE narekko engka bissu" artinya
sebuah upacara yang digelar hanya akan bernilai sakral jika ada bissu. Jika bukan bissu
yang terlibat dalam sebuah upacara kaum bangsawan maka upacara tersebut tidak berarti
apa-apa. Upacara tersebut berkitan erat dengan life-cycles. Olehnya itu, keluarga istana
berusaha memunculkan bissu terutama yang berkaitan dengan upacara yang mereka
gelar. Keluarga dari kalangan istana sendiri memiliki kriteria yang bisa menggunakan
jasa bissu yaitu setingkat ana' mattola atau pangeran yang kelak akan menjadi raja. Ana'
mattola memunculkan bissu sebagai fappannessa atau sebagai pertanda bahwa memang
ialah yang berhak akan memegang tampuk pemerintahan. Adapun bangsawan setingkat
andi mereka harus menghadap memohon izin kepada arung ennengge atau enam
bangsawan tinggi agar diperkenankan memunculkan bissu pada upacara yang mereka
gelar.
29
Tidak semua petani yang ada di Wajo memerlukan bissu karena mereka telah
mengolah sawahnya dengan mekanisasi alat pertanian dan pengairan. Pada saat ini masih
ada segelintir petani di Wajo yang masih mempercayai hal mistik menjelang penanaman
padi. Petani ini memerlukan ritual bissu pada saat menjelang turun ke sawah
menyemaikan bibit padi. Ritual yang dilakukan bisanya maddoja bine yang biasanya
dihadiri oleh sebagian penduduk negeri dan membuka lahan pertanian. Apabila petani
kesulitan menghadirkan bissu dalam upacara minimal mereka meminta petunjuk tentang
tata upacara yang akan mereka gelar. Petani yang membutuhkan bissu bermukim di
daerah pedesaan seperti yang ada di daerah Kecamatan Maniangpajo, Liu, dan di sekitar
pesisir danau Tempe (wawancara dengan H. Palippui tanggal 24 Mei 2007 di Sengkang).
Upacara atau ritual di tempat lain yang membutuhkan bissu yang berkenaan
dengan pertanian yaitu mappalili merupakan ritual khas bissu di Kecamatan Segeri
Mandalle Kabupaten Pangkajene Kepulauan. Sebelum petani turun sawah menanam bibit
padi didahului oleh ritual ini. Sebuah bajak sawah keramat diangap sebagai arajang atau
benda pusaka diarak keliling kampung dan dibersihkan dengan menggunakan air sungai
yang ada di Segeri. Setelah prosesi arak-arakan dan pencucian benda ini kemudian
dibungkus dengan menggunakan kain putih untuk di simpan kembali di bola ridie rumah
pusaka. Acara akan digelar kembali untuk musim tanam berikutnya. Upacara mappalili
merupakan puncak acara yang sebelumnya diawali oleh beberapa rangkaian ritual.
Ritual-ritual yang telah disebutkan di atas merupakan bentuk massompa atau
persembahan yang intinya menjadikan ritual ini sebagai sarana permintaan maaf kepada
dewata atau toriolo atau leluhur. Orang bugis yang masih memegang tradisi lama percaya
akan adanya kemungkaran para dewata dan leluhur kepada orang yang melakukan
kemungkaran. Untuk meghindari kemungkaran digelarlah upacara untuk memohon dan
menyembah para dewata tersebut (Lathief, 2004:17). Petani ini memaknai ritual sebagai
upaya untuk mendapatkan keselamatan terhadap bibit yang akan ditanam agar nantinya
dapat tumbuh subur dan akhirnya menghasilkan panen pada musim panen berikutnya
sesuai dengan yang diharapkan.
Nelayan pendukung bissu umumnya mendiami pesisir danau Tempe yang
sekaligus menjadi tempat diadakan ritual. Nelayan memerlukan bissu pada saat mereka
mengadakan selamatan yang dimaknai sebagai syukuran atas berkah limpahan ikan hasil
30
tangkapan. Sama halnya dengan petani, apabila bissu tidak dapat dihadirkan dalam
upacara atau ritual biasanya nelayan butuh nasehat atau pertunjuk pelaksanaan upacara
dari bissu. Upacara maccera tappareng atau memberi sesajian di danau juga merupakan
sisa-sisa kepecayaan lama yang masih dijumpai saat ini. Para nelayan di pesisir danau
Tempe menjadi aktor utamanya. Upacara ini semakin meriah setelah pemerintah daerah
memfasilitasi kegiatan ini menjadi kegiatan promosi wisata. Turut campurnya pemda
pada pelaksanaan upacara ini tentunya mempunyai implikasi terhadap ritual ini dan
pelakunya. Pada sisi ritual, upacara ini menjadi kegiatan yang sifatnya seremonial. Lebih
bersifat tontonan yang menghibur dan nilai-nilai kesakralannya sudah terkikis. Dari sisi
pelakunya dalam hal ini adalah nelayan tentunya turut memberi peluang terbukanya
ruang-ruang untuk berhubungan dengan dunia diluar profesinya yang berimplikasi
membantu pemasukan ekonomi keluarga.
Dukun atau sanro merupakan bagian dari masyarakat Wajo biasanya memberikan
pelayanan kepada masyarakat yang mempercayainya berhubungan dengan hal
supranatural. Mereka dibutuhkan untuk membantu menyembuhkan penyakit non-medis
dan sebagai konsultan spiritual Bugis. Selain dibutuhkan masyarakat sanro juga
membutuhkan bissu sebagai penasehat pelaksanaa ritual. Dalam catatan lapangan saya
tanggal 30 Maret 2007, saya menjumpai seorang sanro di kelurahan Cempalagi pingiran
kota Sengkang yang menyelenggarakan hajatan menempati rumah baru yang ia klaim
sendiri sebagai rumah budaya dan rumah bissu. Dukun ini mendapat wangsit dari leluhur
lewat mimpinya agar menyelenggarakan hajatan ini. Diundanglah beberapa tokoh kerabat
istana dan masyarakat luas berdatangan dari berbagai daerah di dalam dan tetangga
Wajo. Sanro menjadikan dan menampilkan bissu sebagai tokoh sentral dalam acara
hajatannya. Bissu melangsungkan serangkaian ritual mulai dari ritual penjemputan tamu
agung atau kerabat istana, sere bissu atau tari bissu, ritual-ritual permohonan izin kepada
dewata dan toriolo leluhur untuk melaksanakan upacara ini, dan acara diluar ritual yang
sifatnya menghibur seperti mappadendang tarian menumbuk lesung.
31
Gambar 3 Bissu sedang mappadendang tarian menumbuk lesung
Dewan adat yang ada sekarang merupakan bentukan dari masyarakat kecamatan
Pammana yang menginginkan dihadirkannnya kembali bentuk dan atraksi budaya
gemilang kerajaan Pammana masa lampau. Hal ini sejalan pula dengan tuntutan otonomi
daerah yang memiliki orientasi penggalian budaya lampau sebagai sumber kearifan lokal.
Dengan terpilihnya Andi Syahrazad Pallawarukka sebagai ketua dewan adat Pammana
pada tahun 2004 lalu yang sekaligus menjadi datu Pammana pada zaman modern ini
berbagai kegiatan pelestarian budaya mulai dilakukan. Bahkan bukan hanya itu, lembaga
ini memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar dengan membentuk
wadah koperasi yang bernama Lapallawagau dan kelompok kecil petani untuk mengurus
hal yang berkenaan dengan penggarapan sawah secara bersama-sama. Dalam stuktur
organisasi dewan adat Pammana, bissu menjadi bagian dalam institusi ini. Fungsi dewan
adat terhadap bissu mirip dengan fungsi istana masa silam. Beberapa pihak masih
menginginkan ditampilkan bissu dalam upacara-upacara yang mereka gelar baik yang
sifatnya pribadi maupun resmi harus sepengetahuan dewan adat. Pihak yang biasanya
menggunakan jasa bissu adalah masyarakat kerabat istana atau masyarakat biasa yang
membutuhkan atraksi bissu utamanya dalam penyelenggaran pesta perkawinan. Pihak
lain yaitu pemerintah daerah dalam hal ini dinas pariwisata.
Dewan adat secara berkala mengagendakan atraksi budaya mallawa botting atau
menunggu pengantin. Atraksi ini menyuguhkan tata cara upacara pengantin bugis yang
lengkap dan atraktif sehingga mampu menarik banyak perhatian penonton. Atraksi ini
sekaligus menjadi andalan atraksi wisata kecamatan Pammana pada khususnya dan
kabupaten Wajo pada umumnya. Atraksi ini melibatkan bissu sebagai unsur yang harus
32
ada dalam atraksi ini. Bissu melakukan ritual mabbissu yang terdiri atas serangkaian
ritual mulai dari penjemputan datu dan tamu penting, hingga atraksi yang sifatnya
hiburan seperti mappadendang menari sambil memukul-mukul lesung, mallejja bara
atau menginjak bara api dengan kaki telanjang dan sere bissu tari bissu. Dewan adat juga
telah menampilkan bissu sebagai tokoh penting dalam prosesi pelantikan datu yang
bertepatan dengan upacara pembentukan dewan adat Pammana. Dalam prosesi ini bissu
tampil sebagai tokoh sentral jalannya upacara yakni sebagai penggerak inti jalannya
upacara. Dalam momen ini, dewan adat telah menempatkan bissu sebagaimana peran
yang sesunguhnya dilakonkan pada masa dulu. Dewan adat telah mengembalikan
kharisma bissu yang telah lama menghilang. Selain itu, upaya lembaga ini berimplikasi
kepada upaya membantu pemerintah dalam menggalakkan kembali budaya lokal untuk
menunjang program pariwisata dan secara langsung dapat menjadi pemasukan finansial
bagi bissu.
Pemerintah daerah dalam hal ini dinas pariwisata kabupaten Wajo mempunyai
tugas mempromosikan potensi wisata lokal kepada wisatawan lokal maupun manca
negara untuk pemasukan kas daerah. Orientasi kerjanya ke arah komersialisasi. Lain
halnya dengan dinas pendidikan kabupaten Wajo yang turut pula memperhatikan budaya
lokal namun diarahkan pada aspek pendidikan utamanya penyusunan petunjuk teknis
tentang pembinaan dan pengembangan aspek-aspek kebudayaan. Dinas pariwisata
menggelar festival Danau Tempe pada tanggal 23 Agustus setiap tahun. Dalam festival
tersebut diselengarakan beberapa atraksi seperti lomba perahu tradisional, lomba perahu
hias, lomba permainan rakyat, lomba menabuh lesung mappadendang, pagelaran musik
tradisional, dan tari bissu. Atraksi lain yang yang diselenggaran oleh pemda yang
melibatan bissu seperti maccera tappareng melarungkan sesajian ke danau dan yang
paling sering melibatkan bissu yaitu atraksi penjemputan tamu. Dalam atraksi ini bissu
menari diiringi oleh tabuhan genderang, le lea, ana' beccing, pui-pui, kancing, dan gong.
Atraksi yang diselenggarakan dinas pariwisata dan melibatkan bissu bersifat
seremonial. Tidak ditampilkan lagi unsur-unsur ritualnya sehinga penampilan bissu tidak
memiliki nilai sakral. Meskipun demikian, bissu masih tetap melakukan ritual yang tidak
ditampilkan didepan masyarakat umum. Pada acara penyambutan tamu agung misalnya,
bissu menari sere luluso sebagai atraksi tari penyambutan. Sebelum bissu menari, mereka
33
melakukan ritual agar pada saat tamu agung datang tidak terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan misalnya ada salah seorang yang hadir dalam acara tersebut mengalami
kesurupan. Dinas pariwisata yang menampilkan atraksi bissu pada masyarakat umum
turut berperan atas keberlangsungan atraksi-atraksi bissu. Lembaga ini turut membantu
memperkenalkan bissu secara lebih luas kepada masyakat. Namun, karena upaya ini lebih
melihat pada sisi komersial tentunya ada unsur-unsur yang terabaikan. Apa yang dulunya
berdasarkan pada kebiasaan ritual sekarang berdarkan pada kepercayaan dogmatis yang
dirasionalisasikan (Geertz, 1992:142). Tugas bissu pada ritual dalam lingkungan istana
tempo dulu yaitu sebagai penghubung antara manusia dengan dewata yang bersemayam
di dunia atas. Penampilan bissu telah dirasionalisasikan sehingga tidak lagi mengarah
pada hakekat keberadaan ritual bissu sesungguhnya. Penampilannya kini telah mengalami
pergeseran nilai ritual dari yang sakral menjadi tidak sakral lagi.
Gambar 4 Tari sere luluso sebagai tari penjemputan. Bissu penarinya memegang luluso yang bentuknya seperti pipa.
Tarian ini biasa juga disebut dengan sere bissu.
Implikasi umum pelibatan bissu dalam berbagai ritual yang digelar oleh berbagai
macam aktor seperti dari kalangan keluarga istana dan masyarakat seperti petani,
nelayan, dan sanro. Selanjutnya, dari dewan adat Pammana dan pemerintah daerah,
dalam hal ini dinas pariwisata secara tidak langsung turut mendukung keberlangsungan
tradisi bissu. Namun pada sisi lain, tidak jarang mendapatkan kritikan utamanya dari para
ulama Islam karena ritual yang dilakukan oleh bissu dianggap hal yang bertentangan
dengan ajaran Islam. Davies mengistilahkan sebagai anti-bissu sentiment sentimen anti
bissu yang dimotori oleh ulama. Ulama menganggap perbuatan bissu merupakan hal yang
terkutuk, aib, dan musyrik (Davies, 2007:98). Hal ini berbias kepada masyarakat luas.
Masyarakat turut mencibir kehadiran bissu dan menyamakan dengan calabai. Padahal
34
meskipun antara bissu dan calabai mamiliki kesamaan fisik namun bissu menganggap
dirinya lebih tinggi dan terhormat dibanding dengan calabai.
b. Upacara yang Menampilkan Bissu
Pada masa dulu atraksi yang dilakonkan oleh bissu secara khusus merupakan
tugas atau pengabdian bissu kepada istana. Segala upacara atau ritual yang menampilkan
bissu adalah merupakan kegiatan resmi dan harus sepengetahuan keluarga istana. Bissu
merupakan bagian dari istana sehingga ritual yang dilakoninya merupakan kegiatan resmi
istana. Namun yang terjadi sekarang adalah beberapa upacara yang menampilkan bissu
tidak lagi didominasi oleh kalangan istana. Sudah terjadi pergeseran pemaknaan upacara
atau ritual akibat berubahnya sistem pemerintahan dari kerajaan menjadi republik dan
keadaan sosial ekonomi masyarakat yang selalu berubah. Pelaksanaan upacara atau ritual
tidak lagi merupakan persembahan untuk istana melainkan untuk menopang ekonomi
bissu, hiburan, dan pelengkap acara yang tidak ada hubunganya dengan upacara bissu.
Beberapa bagian dari upacara dipangkas atau dihilangkan sama sekali. Kondisi ini
memunculkan komersialisasi budaya sehingga kemunculan bissu khususnya bissu
Pammana di tengah-tengah masyarakat dapat dibedakan menjadi dua yaitu dalam upacara
non-komersil orientasi budaya dan komersil orientasi ekonomi.
Masyarakat pendukung bissu dalam melakukan upacara atau ritual non-komersil
terdiri atas keluarga istana dan golongan masyarakat tertentu. Dalam keluarga istana
pemunculan bissu berkaitan dengan upacara atau ritual dalam life-cycles seperti acara
memmana' lolo kelahiran bayi, amatengeng kematian, mappabotting mengadakan pesta
pernikahan, menre bola baru menempati rumah baru, mappano arajang perawatan benda
pusaka kerajaan, dan mallanti arung pelantikan raja. Keberadaan bissu pada acara
tersebut yaitu untuk menambah karame'na acara atau memberi nuansa keramat atau
sakralnya acara. Disamping itu, untuk menunjukkan kharisma keluarga istana dimata
masyarakat luas. Masyarakat pendukung bissu dari golongan masyarakat tertentu seperti
petani, nelayan, dan sanro. Mereka membutuhkan bissu pada upacara yang berhubungan
dengan pekerjaan mereka.
35
Gambar 5 Bissu dalam pelantikan datu Pammana ke-40 pada tahun 2004
Pada umumnya upacara atau ritual dalam life-cycles, bissu selalu menampilkan
sere bissu. Dalam upacara pesta pernikahan dan kelahiran bayi para bissu melakukan
mallabu kesso yaitu melakukan sere bissu tarian bissu yang waktunya menjelang dan
setelah magrib. Para bissu menari hingga selesai kira-kira setelah shalat isya. Keesokan
paginya menjelang subuh para bissu bangun pagi-pagi untuk kembali sere bissu lagi.
Dalam acara pelantikan raja, bissu juga melakukan sere bissu menari mengelilingi arung
matoa gelar raja tertinggi di Wajo. Sere bissu dilakukan pada waktu-waktu tertentu
misalnya pada saat menjelang malam dan menjelang pagi dan dilakukan satu hingga dua
hari. Disamping tarian bissu, ritual yang sering dilakukan oleh bissu seperti dalam
perawatan benda pusaka yang biasanya dilakukan dengan jalan membersihkan benda
tersebut. Bissu melakukan ritual dengan jalan membacakan mantra-mantra yang intinya
meminta izin kepada 'penghuni' benda pusaka tersebut sebelum benda pusaka dibersihkan
agar prosesinya dapat berjalan lancar.
Gambar 6 Alameng sejenis parang panjang merupakan benda pusaka Kerajaan Pammana. Pada zaman kerajan benda ini dirawat oleh bissu
36
Semua penari dalam sere bissu berjumlah delapan belas orang untuk kelompok
bissu Pammana. Tarian diringi oleh tabuhan gendang bersama dengan alat musik lain
seperti lé léa yang bahannya terbuat dari bambu pada bagian ujungnya dibelah-belah
hingga mirip lidi. Bagian yang menimbulkan bunyi pada bagian ujungnya yang berbentuk
sekumpulan lidi. Pemainnya membunyikan dua buah lé léa dengan jalan memukul-mukul
benda ini hingga menghasilkan suara khas. Alat musik selanjutnya yaitu ana beccing
terbuat dari logam yang bentuknya mirip saji besi penggorengan. Ana beccing berjumlah
dua buah yang keduanya diikat dengan sebuah tali. Kancing dua buah terbuat dari logam
yang bentuknya seperti piring yang diikat dengan menggunakan tali pengikat. Cara
membunyikan yaitu dengan saling membenturkan kedua permukaan kancing tersebut
sehingga menghasilkan bunyi yang mirip cymbal ukuran kecil. Peralatan sere bissu atau
sere luluso yang lengkap dan meriah yaitu dengan menambahkan pui-pui sejenis suling
dan gong. Pada bagian kepala pui-pui dibuat membentuk semacam klep yang bahannya
dari daun lontar. Apabila ditiup akan menimbulkan bunyi yang sangat nyaring. Bagian
batang pui-pui dilubangi untuk menghasilkan nada tinggi dan rendah. Bagian ujungnya
dipasang benda yang mirip bagian ujung terompet.
Gambar 7 Bissu pengiring musik memegang kancing dan lé léa
Pendukung bissu dari kalangan masyarakat tertentu terdiri atas sanro atau
dukun, petani, nelayan, dan sebagian kecil masyarakat. Dalam menjalankan perannya
melayani masyarakat membantu menyembuhkan penyakit, sanro membutuhkan bissu
sebagai konsultan spiritual sebelum melakukan ritual. Para sanro melakukan berbagai
ritual sebelum prosesi penyembuhan berlangsung. Disamping itu, sanro biasanya
meminjam kepada bissu perlengkapan yang digunakan oleh bissu dalam melakukan 37
berbagai ritual. Petani membutuhkan bissu pada saat akan menebarkan benih padi di
sawah. Bissu melakukan ritual agar bibit padi yang disebarkan dapat tumbuh dengan baik
yang pada akhirnya dapat berhasil dipanen. Nelayan membutuhkan bissu pada saat acara
maccera tappareng atau ritual pemberian sesaji yang diadakan di danau. Acara ini digelar
sebagai tanda syukur atas sumber daya danau berupa berupa hasil tangkapan ikan yang
melimpah. Pada sebagian kecil masyarakat yang masih menyimpan benda-benda pusaka
di rumahnya juga membutuhkan bissu terutama dalam ritual pembersihan benda pusaka.
Setelah terbentuknya dewan adat Pammana pada tahun 2003 lalu, kegiatan yang
dilakukan oleh bissu sudah terorganisir dengan baik di bawah wewenang lembaga ini.
Kegiatan yang dilakukan oleh bissu sebelum lembaga ini dibentuk dilakukan secara
sporadis dan tidak tertata dengan baik. Pada saat diresmikan dewan adat ini dilakukan
pula acara pelantikan datu atau raja yang sekaligus manjadi ketua dewan adat Pammana.
Namun, datu yang dilantik hanya sebagai simbol dan tidak memiliki wewenang
kekuasaan dalam sistem pemerintahan sekarang. Salah satu peran datu yaitu berusaha
melestarikan sisa-sisa warisan budaya yang jarang bahkan tidak ditampilkan lagi
sehingga generasi sekarang dan mendatang dapat mengetahui dan memiliki apresiasi
akan budayanya sendiri. Pemunculan bissu dalam acara pelantikan datu ini sebagai tokoh
sentral. Acara diawali dengan atraksi dan ritual oleh bissu. Mulai penjemputan datu yang
diiringi oleh tarian bissu, menuntun datu memasuki tempat pelantikan, hingga pada
proses pelantikan datu.
Seiring dengan bergulirnya jaman yang selalu berubah dan tuntutan ekonomi
yang semakin mendesak tentunya turut mempengaruhi bentuk upacara yang dilakukan
oleh bissu. Upacara yang menghadirkan bissu turut mengalami imbasnya dengan
terdapatnya beberapa perubahan bentuk penyajian upacara misalnya dengan mengurangi
jumlah benda-benda ritual atau persyaratan ritual. Hal ini berlangsung bukan tidak
disengaja, melainkan dengan sengaja dibuat sedemikian rupa oleh para aktor yang
melibatkan bissu pada beberapa upacara yang mereka gelar. Dilain pihak, perubahan-
perubahan ini tentunya telah melalui kesepakatan antara bissu dengan aktor atau antara
sesama bissu sendiri. Para aktor tersebut yaitu oknum tertentu dari kalangan yang
berhubungan dengan bissu, pemerintah daerah dalam hal ini dinas pariwisata, dan dewan
adat. Betapa besar peranan aktor ini dalam komersialisasi upacara bissu.
38
Calabai Sulaiman 87 tahun merupakan oknum tertentu yang menginginkan
dianggap sebagai sesepuh dan bagian dari bissu. Kegiatan sehari-harinya melayani
perlengkapan pesta pengantin dan urusan masakan pesta. Sebagai seorang sesepuh
calabai, tentunya dia sudah lama dikenal luas oleh masyarakat. Sudah tidak terhitung lagi
pesanan untuk persiapan pesta perkawinan yang ia tangani dari berbagai lapisan sosial
ekonomi masyarakat. Ia juga sangat dekat dan dikenal oleh kelompok bissu. Bahkan jika
ada pesanan dari masyarakat luas untuk menampilkan bissu atau benda-benda ritual bissu
maka melalui dialah keinginan masyarakat itu dapat diwujudkan. Tentunya keuntungan
yang ia peroleh adalah Sulaiman mendapatkan bayaran atas jasa yang ia sediakan.
Terjadilah komersialisasi budaya bissu yang memberikan nuansa baru bagi bissu sendiri.
Komersialisasi upacara memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan seni
pertunjukan. Hal ini senada dengan pendapat Soedarsono tentang fungsi pertunjukan
yang ia bedakan menjadi dua jenis yaitu primer dan sekunder (Soedarsono, 2002). Fungsi
primer menekankan pada hiburan yang bersifat pribadi dan fungsi sekunder dibuat untuk
kepentingan budaya estetik yang termasuk di dalamnya yaitu komersial. Pemunculan
bissu dalam upacara atau ritual jika dikaitkan dengan pemahaman Soedarsono rupanya
muncul sebagai sebuah bentuk pertunjukan yang memiliki salah satu dari kedua fungsi
tadi. Pada masa dulu saat bissu tampil dalam lingkungan istana fungsi pertunjukan yang
mendominasi yaitu fungsi pertunjukan primer. Fungsi ini sebagai penghibur dalam
lingkungan istana yang termasuk didalamnya terdapat unsur-unsur ritual. Namun pada
saat ini, fungsi yang mendominasi upacara bissu yaitu fungsi sekunder, bagaimana
melakukan upacara yang efisien. Melakukan penyesuian-penyesuaian dalam melakukan
ritual misalnya dengan mengurangi urutan prosesi upacara sehingga pelaksanaan upacara
atau ritual lebih singkat.
Komersialisasi upacara saat sekarang sudah tidak dapat dihindari lagi. Para
pendukung bissu dan diantara bissu sendiri juga tidak mampu untuk berbuat apa-apa
untuk mencegah praktek komersialisasi. Upaya untuk menempatkan kembali peruntukan
upacara yang dilakukan oleh bissu hanya kepada istana merupakan tindakan yang sia-sia.
Komersialisasi ini tidak hanya terjadi pada masalah bissu namun terjadi pula dalam
budaya lain dalam spektrum yang lebih luas, bahkan bisa dikatakan peristiwa ini terjadi
sudah mengglobal. Olehnya itu, masyarakat pendukung bissu dan kerabat istana harus
39
menyadari kenyataan ini dan berbesar hati. Untuk itu, apabila upacara bissu diupayakan
untuk kepentingan seni pertunjukan pariwisata maka terdapat lima hal yang harus
diperhatikan dalam pementasan wisata yaitu tiruan dari aslinya, singkat atau bentuk mini
dari aslinya, penuh variai, aspek ritualnya ditinggalkan, dan murah harganya
(Soedarsono, 1999:3). Jika hal ini dilakukan konsekuensinya adalah bentuk upacara yang
menampilkan bissu akan mengalami perubahan untuk kepentingan komersial.
Perampingan benda-benda yang digunakan dalam upacara, durasi waktu pelaksanaan
upacara yang relatif singkat, dan tentu saja sudah tidak ada lagi unsur ritualnya.
Setelah melihat berbagai bentuk upacara atau ritual bissu yang mengalami
beberapa perubahan, peran aktor yang melibatkan bissu, dan kenyataan sebagian
masyarakat yang menolak ritual yang dilakukan oleh bissu seperti yang telah
digambarkan. Pada sisi lain muncul pula kekhawatiran akan punahnya warisan budaya
yang tidak ternilai ini, maka untuk melakukan pelestarian budaya bissu salah satu cara
yang ditempuh yaitu dengan melakukan reinvensi kultural. Peneliti menggunakan istilah
reinvensi karena terinspirasi oleh Hobsbawm dalam bukunya The Invention of Tradition.
Penemuan tradisi untuk dimunculkan kembali dengan cara yang berbeda. The Invention
of Tradition diartikan sebagai seperangkat praktek dalam upacara yang sifatnya
keagamaan yang dilakukan baik secara terbuka maupun tertutup yang dilakukan secara
berulang-ulang dengan tujuan untuk mencari atau menanamkan norma-norma atau nilai-
nilai perilaku tertentu.
Praktek yang dilakukan secara berulang-ulang ini merupakan kesinambungan
dari masa lalu (Hobsbawm, 2003:1). Upacara yang dilakukan oleh bissu pada saat
sekarang merupakan merupakan bentuk yang digunakan pada masa lalu. Begitu pula
upacara yang dilakukan oleh bissu masa lalu merupakan bentuk praktek yang digunakan
oleh generasi bissu sebelumnya. Upacara itulah yang terpelihara hingga sekarang. Namun
yang menjadi pertanyaan adalah apakah bentuk upacara yang dilakukan oleh bissu dari
generasi ke generasi bentuknya sama? Bukankah dalam perkembangan budaya bissu
mengalami beberapa fase zaman yang berbeda? Hamonic mengkategorikan empat zaman
keberadaan bissu yakni zaman pra-La Galigo diperkirakan sebelum abad X, proto sejarah
atau zaman La Galigo sekitar abad X – XIII, zaman kelahiran kerajan sekitar abad XIII –
XIV, dan masuknya agama Islam sekitar abad XVII – sekarang (Hamonic, 2002: 2-3).
40
Melihat panjangnya sejarah bissu tersebut yang diperkirakan bissu sudah ada sebelum
abad X maka sangatlah memungkinkan berbagai praktek dalam upacara yang dilakukan
oleh bissu mengalami pengaruh dari unsur-unsur luar. Pengaruh tersebut misalnya
dengan memasukkan kosa kata bahasa Arab sebagai ide baru dalam upacara yang
dilakukan oleh bissu. Ide seperti ini dikenal dengan istilah invensi.
Secara khusus, invention dipahami sebagai penemuan tradisi yang berkaitan
dengan masa lampau namun tradisi tersebut tidak dapat digunakan atau diadaptasi.
Koentjaraningrat memberikan definisi invention sebagai adat atau ide baru yang sudah
diakui dan diterima oleh sebagian besar warga dalam masyarakat (Koentjaraningrat,
1990: 109). Saya menggunakan istilah reinvensi dalam penelitian ini untuk memberikan
penekanan pada invention. Reinvensi atau reinvention berarti penemuan kembali, apa
yang ada dalam invention diperbaharui kembali yakni dengan jalan tradisi yang ada
sekarang dalam hal ini merupakan kesinambungan dari tradisi masa lampau kembali lagi
dihidupkan. Cara menghidupkannya yaitu dengan jalan melakukan penyesuaian yang
dapat diterima dalam kondisi kini. Penyesuaian yang dimaksud yaitu dengan
menambahkan atau mengurangi unsur-unsur dalam satu tradisi. Misalnya dalam ritual
mabbissu seorang bissu memasukkan istilah dalam bahasa Arab bismillah atau
astagfirullah dimana istilah tersebut sama sekali tidak dikenal dalam bahasa torilangi
atau bahasa bissu atau Bugis kuno, bahasa yang digunakan oleh bissu dalam melakukan
ritual. Penyesuaian dapat pula dilakukan pada upacara lainnya yang melibatkan bissu.
c. Faktor Bissu Bertahan
Diperkirakan bissu sudah ada ratusan tahun yang lalu sebelum masuknya Islam di
Sulawesi Selatan. Bahkan seorang antropolog Amerika memperkirakan bahwa bissu
sudah ada lebih dari enam ratus tahun yang lalu (Kennedy, 1993). Dalam epos I La
Galigo sudah banyak membahas mengenai bissu yakni tentang asal-usulnya, aktor yang
menjadi bissu, dan peranan bissu dalam masyarakat. Jika ingin mengetahui awal mula
bissu menenurut sumber tertulis I La Galigo maka dapat dirunut berdasarkan munculnya
epos ini. Pada abad ke-13 di Sulawesi Selatan dianggap sebagai zaman gelap karena tidak
ditemukan data sejarah tertulis. Barulah sekitar abad ke-14 sisi sejarah Sulawesi Selatan
dapat terungkap dengan munculnya epos ini. Jadi apabila sejarah awal mulanya bissu
disesuaikan dengan data yang ada dalam I La Galigo maka untuk sementara saya dapat
41
mengakatakan bahwa bissu sudah ada pada abad ke-14. Berdasarkan perkiraan waktu di
atas dan melihat kenyataan bahwa bissu masih ada hingga sekarang dalam konteks kini
maka pertanyaan mengenai mengapa bissu bertahan hingga kini, ternyata menurut
penelitian saya setidaknya memiliki tiga hal atau komponen. Ketiga komponen tersebut
yaitu regenerasi, kebutuhan upacara, dan aktor yang melakukan komersialisasi upacara
bissu.
Faktor regenerasi bissu adalah salah satu unsur bertahannya bissu hingga kini.
Dalam beberapa tempat terdapatnya bissu ditemukan aturan untuk menjadi bissu yang
sangat rumit sehingga turut mempengaruhi minimnya regenerasi bissu. Bissu di Bone dan
Segeri Pangkep misalnya menerapkan aturan yang berat yaitu harus melewati prosesi
irebba. Posisi ini mensyaratkan bahwa seorang calon bissu yang umumnya berasal dari
kalangan calabai harus memiliki masa lalu yang tidak pernah melakukan tindakan asusila
dan tercela. Sebab dalam prosesi ini calon bissu harus dikafani dan diperlakukan sebagai
seorang mayat. Apabila calon bissu mempunyai masa lalu yang banyak melakukan
tindakan yang tidak terpuji atau tercela maka ia akan langsung meninggal. Namun
apabila masa lalunya banyak diisi dengan tindakan yang terpuji maka ia akan lulus
menjadi seorang bissu.
Prosesi irebba yang baru dilakukan di Bone yakni pada tahun 2003 dimana
seorang calabai yang bernama Enjel yang memiliki nama laki-laki Samsul Bahri
kelahiran tahun 1969 telah lulus menjalani prosesi tersebut dan berhak menyandang gelar
bissu. Sessung Riu menjadi nama baru bissu Enjel yang diambil dari nama tokoh bissu
yang pandai di bidang sastra. Prosesi irebba dilakukan di rumah adat yang sekarang
berfungsi sebagai museum Bola Soba Bone. Sebelum calon bissu irebba maka ia harus
melalui beberapa proses seperti dikafani. Pada masa lampau prosesi irebba dilakukan
selama tujuh hari tujuh malam. Namun atas berbagai pertimbangan maka pada saat
sekarang hanya dilakukan selama tiga hari. Prosesi irebba bissu Enjel dilakukan selama
tiga hari. Selama itu pula makan dan minumnya hanya air jalaju atau air kelapa. Selama
tiga hari prosesi irebba digelar sere bissu tarian bissu, disemarakkan dengan bunyi-
bunyian atau tetabuhan. Berbagai nyanyian pujian dengan menggunakan bahasa bissu
turut pula digelar seperti memmang nyanyian-nyanyian bissu yang sarat dengan makna,
42
ranging-ranging puji-pujian, icabo nyanyian lemah lembut yang temanya melampiaskan
perasaan yang mengadu atau memohon.
Namun pada sisi lain, minat para calabai untuk menjadi bissu tak pernah ada
habisnya. Hal ini karena bissu lebih terhormat dari pada calabai. Bissu mempunyai
wawasan tentang adat istiadat yang lebih luas dibanding dengan calabai. Bissu
mempunyai peran yang penting dalam institusi adat khususnya dalam lingkungan istana.
Bissu memiliki kelebihan supranatural dibanding dengan calabai. Bissu selalu menjaga
diri agar selalu malebbi atau menjaga sopan santun, sedangkan calabai masih banyak
yang belum mengindahkan untuk menjadi seorang yang malebbi. Seorang calabai di
Bone bernama Ita lahir 1973 mempunyai cita-cita untuk menjadi seorang bissu.
Kegiatannya sehari-hari sebagai perias pengantin dan pelaminan pesta pernikahan.
Keinginannya begitu kuat sehingga langkah pertama yang ia tempuh yaitu turut
melibatkan diri dalam kegiatan bissu. Ia diikutkan dalam kelompok penari bissu dan
bertugas sebagai paggiri atau atraksi bissu yang menusukkan keris atau parang ke bagian
tubuh seperti pada bagian kepala, lengan, dan mata. Faktor utama yang mendorongnya
menjadi bissu yaitu bissu lebih terhormat dari pada calabai.
Lain halnya bissu di Wajo khususnya kelompok bissu Pammana. Aturan untuk
menjadi bissu berbeda dengan yang ada di Bone. Aturan di Wajo lebih longar karena
tidak melalui proses irebba. Pada masa dulu pelantikan bissu dilakukan setelah
pelantikan Arung Matoa gelar raja tertinggi di Wajo. Namun hanya satu bissu yang
dilantik yaitu angkuru gelar pemimpin bissu. Setelah angkuru dilantik maka ia berhak
untuk mencari dan memilih sendiri para bissu yang akan mendampinginya. Bissu yang
terpilih oleh angkuru merupakan bissu resmi istana dan berhak menggunakan gelar bissu
dengan memperhatikan berbagai syarat yang satunya yaitu seorang bissu tidak boleh
berbuat tindakan asusila macolla. Adapun yang melantik angkuru bissu dan Arung Matoa
yaitu arung enneng Wajo atau enam bangsawan tinggi yang mewakili enam wilayah di
kerajaan Wajo. Fungsi arung ennennge mirip dengan dewan perwakilan rakyat sekarang.
Sebagai konsekuensi aturan untuk menjadi bissu seperti yang telah dipaparkan
yaitu memiliki dua hal yang berbeda. Pertama, mengancam regenerasi bissu ke arah
diambang kepunahan seperti yang terjadi pada bissu Bone. Bissu di tempat ini kini
jumlahnya tinggal satu orang saja yang seharusnya berjumlah empat puluh orang. Jumlah
43
ini bisa saja bertambah apabila ada yang telah melalui prosesi irebba yang berat. Namun
hingga saat ini jumlah bissu belum bertambah karena belum ada calon bissu yang berani
melewati prosesi irebba. Kedua, peluangnya memudahkan untuk menjadi bissu seperti
bissu yang terdapat di Wajo khususnya bissu Pammana. Regenerasi bissu di tempat ini
sempat terputus dengan bergantinya sistem pemerintahan dari bentuk kerajaan menjadi
kabupaten sekitar tahun 1940-an. Namun, setelah pelantikan datu atau raja yang digelar
pada tahun 2004 lalu yang turut pula melantik angkuru bissu Pammana, proses regenerasi
bissu kembali berlanjut di abad ini. Dengan demikian, kelompok bissu Pammana
berdasarkan sudut pandang regenerasi bissu belum diangap terancam punah. Dengan kata
lain, faktor regenerasi merupakan salah satu penyebab bissu masih bisa bertahan hingga
kini.
Sampai saat ini para pendukung bissu masih setia menggunakan jasa bissu untuk
membantu melakukan upacara meskipun dalam jumlah yang dapat dihitung. Upacara
yang paling banyak melibatkan bissu yaitu yang berhubungan dengan life-cycles
utamanya upacara pernikahan dengan pendukung utamanya yaitu keluarga istana.
Upacara lainnya dibutuhkan oleh sebagian kecil kelompok masyarakat misalnya nelayan,
petani, dan dukun. Kelompok masyarakat ini membutuhkan upacara dalam bentuk ritual.
Upacara juga telah mengalami pergeseran yang lebih mengarah kepada seni pertunjukan
untuk tujuan komersil yang diupayakan oleh dinas Pariwisata dan dewan adat Pammana.
Upacara diarahkan dalam bentuk atraksi yang dikemas menjadi paket wisata dan
diselenggarakan secara tetap dan berkala. Pelibatan bissu dalam atraksi wisata ini dapat
memberi daya tarik tersendiri karena merupakan bentuk atraksi yang sangat unik
sehingga pada akhirnya dapat membantu menaikkan angka kunjungan wisatawan.
Fungsi upacara yang melibatkan bissu bermakna strategis bagi datu dan keluarga
istana. Untuk itu, bissu sering tampil menjadi tokoh sentral dalam apacara atau ritual
yang digelar oleh datu atau keluarga istana. Datu atau raja merupakan pemimpin
tradisional yang memiliki kekuasaan atas wilayah dan masyarakat di daerah
kekuasaannya. Dalam konsep pemimpin tradisional yang digagas oleh Koentjaraningrat
diperkenalkan istilah kekuasaan dalam arti luas yang terdiri atas empat komponen
kekuasaan. Komponen tersebut yaitu kharisma, keabsahan, kewibawaan, dan kekuasaan
dalam arti khusus (Koentjaraningrat, 1999: 225). Kekuasaan dalam arti khusus
44
maksudnya yaitu kemampuan untuk mengerahkan kekuatan fisik dan mengorganisasi
orang banyak atas dasar suatu sistem sanksi. Keempat komponen tersebut menjadi syarat
bagi pemimpin tradisional untuk melanggengkan kekuasaannya.
Bissu menjadi sarana bagi datu atau keluarga istana untuk menjustifikasi
kekuasaan mereka. Upacara atau ritual yang dipimpin oleh bissu salah satu fungsinya
yaitu mengumumkan kharisma dan keabsahan atas kekuasaan yang dimiliki oleh seorang
datu atau keluarga istana. Kharisma bermakna memiliki wahyu Tuhan atau dewa-dewa
dan melalui perantaraan bissu wahyu tersebut disampaikan kepada datu atau keluarga
istana. Keabsahan bermakna seorang datu memiliki kekuatan sakti dan memiliki pusaka-
pusaka keramat yang melambangkan kebesaran kerajaan. Pusaka-pusaka keramat yang
disebut arajang disimpan dalam istana. Bissu bertugas sebagai penjaga dan pengurus
pusaka tersebut. Bissu melakukan ritual pencucian benda pusaka tersebut. Namun saat
sekarang, tidak ditemukan ritual ini di Pammana karena ada masalah internal keluarga
istana. Tempat penyimpanan arajang selalu berada di saoraja atau istana raja.
Upacara yang ditampilkan oleh bissu umumnya memiliki bentuk yang sama.
Begitu pula dengan benda-benda ritual penggunaanya juga sama. Maksudnya pada
upacara atau ritual yang berhubungan dengan life-cycles dan pelantikan datu, upacara dan
benda ritual yang digunakan selalu sama. Namun, dalam hal-hal tertentu bentuk upacara
dan benda ritual yang digunakan biasanya disesuaikan dengan yang memiliki hajatan
upacara. Lengkapnya prosesi pelaksanaan upacara dan benda ritual yang digunakan
menunjukkan status dari pelaksana upacara. Misalnya seorang datu yang melaksanakan
upacara perkawinan keluarganya, prosesi dan benda ritual yang ditampilkan oleh bissu
harus lengkap. Berbeda dengan keluarga istana yang bukan dari golongan bangsawan
tingkat tinggi. Bentuk upacara dan benda ritual jumlahnya tidak selengkap dengan
upacara datu. Ada bagian upacara dan jumlah benda ritual yang dikurangi
Bentuk upacara yang dilakukan oleh bissu terdiri atas beberapa rangkaian dan
memiliki nama masing-masing. Data yang saya peroleh pada tanggal 30 Maret 2007 di
Sengkang dalam acara hajatan sanro yang melibatkan bissu sebagai tokoh sentral.
Upacara ini menampilkan bentuk upacara dan kelengkapan benda ritual mirip yang
dilaksanakan oleh keluarga istana. Upacara dilaksanakan di dalam rumah sanro yang
diklaim sendiri oleh sanro sebagai rumah adat. Sanro menerima wangsit dari leluhur
45
melalui mimpi agar meresmikan rumah baru ini dengan melaksanakan ritual yang
melibatkan bissu sebagai tokoh sentral. Pada bagian depan rumah ditempatkan benda-
benda ritual yang memiliki beragam fungsi dan simbol. Pada umumnya berfungsi sebagai
benda-benda penyambutan untuk menghormati datu atau tamu. Selanjutnya, benda-benda
tersebut memiliki simbol kosmologi antara dewata dan manusia.
Benda-benda ritual yang digunakan banyak terbuat dari gerabah dan logam.
Sebagian menggunakan bambu dan kain. Pada bagian depan rumah digelar sebuah kaci
kain kafan atau kain putih yang berfungsi sebagai permadani yang dilalui oleh datu atau
tamu agung. Kain ini dibentangkan yang panjangnya kira-kira lima belas meter menuju
tangga rumah. Sepanjang bentangan kain tadi dijejer benda ritual yang harus dilalui dan
sebagian diinjak oleh datu atau tamu agung yang berfungsi sebagai penghormatan dan
harapan semoga ritual ini diberkahi oleh dewata. Benda ritual tersebut seperti
mattarawue, benno pulaweng, felleng mabborongeng, dafo sabangeng, ompa sikati,
lawolo, tanggareng, tana menroja, falakaje, fappacella, dan kepala kerbau. Pada bagian
depan tempat upacara ditancapkan bambu kuning yang masih lengkap dengan dan dan
rantingnya. Di rantingnya ditempatkan benda-benda ritual seperti kain warna-warni, ula
menreli sawa sinempang atau boneka ular, dan sepasang gelang disebut lola dan fattappo
lola.
Kira-kira satu setengah meter ujung bagian depan kain ini didirikan rangkaian
bambu yang disebut awo menrawe yang bentuknya mirip dengan rangka atap. Jumlah
bambu sebelah kiri sembilan sama dengan jumlah kanan yang berwarna kining pada sisi
sebelah kanan dan merah sebelah kiri. Awo menrawe terletak pada bagian atas kain putih
sehingga apabila datu atau tamu agung yang dijemput harus lewat dibawah awo menrawe
dan berjalan di atas kain putih dengan melewati benda-benda ritual yang digelar. Di
dalam rumah tempat upacara terdapat lesung kayu yang akan digunakan oleh kelompok
bissu untuk melakukan atraksi mappadendang atau tari lesung. Tidak ketinggalan
perlengkapan bunyi-bunyian yang digunakan untuk mengiringi tari bissu yang terdiri atas
ana beccing, le lea, kancing, pui pui, dan gendang yang bahannya terbuat kayu dan kulit
kambing. Di dalam rumah dihiasi dengan sampe hiasan kain perlengkapan pesta
pengantin yang ditempel di dinding. Berbagai macam makanan dan kue disajikan dalam
`bosara wadah tempat kue yang bentunya mirip dengan piring yang memiliki pengalas
46
dan ditutup dengan menggunaka fassampo bosara atau penutup bosara. Pada bagian
sudut rumah didirikan tempat pelaminan yang didalamnya terdapat tempat duduk sanro
dan suaminya. Sanro mengenakan pakaian pengantin sehingga suasana di rumah tersebut
sangat meriah dan mirip pesta pengantin.
Upacara atau ritual yang diperankan oleh bissu seperti yang telah digambarkan
tadi secara umum merupakan sarana untuk berkomunikasi dengan dewata yang
bersemayan di dunia atas. Manusia tidak dapat melakukan komunikasi secara langsung
kepada dewata. Melalui bissu permintaan manusia kepada dewata disampaikan melalui
ritual. Bissu menjadi perantara permintaan manusia tersebut kepada dewata. Dalam teori
Liminal Zone Leach yang telah dimodifkasi oleh Abdullah menunjukan dua buah
lingkaran yang saling berhubungan. Daerah persinggungan kedua lingkaran tersebut
disebut sebagai liminal zone (Abdullah, 2002: 84). Dengan melakukan modifikasi,
lingkaran pertama mewakili 'dunia bawah' tempat manusia. Lingkaran kedua mewakili
'dunia atas' tempat bersemayan para dewata. Daerah persinggungan yaitu liminal zone
adalah ritual yang dilakukan oleh bissu untuk memohon kesejahteraan dan keselamatan
kepada dewata. Bissu dalam melakukan ritual harus memahami dan menggunakan
bahasa torilangi yang dikenal oleh dewata. Bahasa torilangi hanya dikenal oleh bissu dan
sejumlah kecil masyarakat. Melihat ketergantungan aktor kepada bissu dalam hal
pelaksana upacara atau ritual yang memerlukan bissu sangat kuat maka sebagai
implikasinya yaitu bissu masih tetap dibutuhkan dan menyebabkan bertahannya institusi
bissu.
Liminal
zone The world of temporal experience A
the other world of experience reversed not-A
Gambar 8 Liminal Zone, lingkaran kiri mewakili 'dunia bawah, lingkaran kanan mewakili 'dunia atas', dan daerah persinggungan adalah ritual
Faktor terakhir dalam penelitian ini yang menyebabkan bissu masih dapat
bertahan hingga kini adalah komersialisasi upacara. Dengan melakukan reinvensi kultural
maka upacara yang melibatkan bissu dapat lebih dikenal dan diterima oleh masyarakat.
Tentunya reinvensi dilakukan dengan memperhatikan berbagai aspek seperti upacara
47
yang ditampilkan merupakan tiruan dari aslinya, dimasukkan beberapa variasi misalnya
dengan mengucapkan kata bismillahirrahmanirrahim pada permulaan pementasan,
disajikan secara singkat atau dipadatkan dari bentuk aslinya, murah harganya, dan nilai
sakralnya dihilangkan. Konsekuensinya ada dua, pertama pemuka agama akan dapat
bersikap lunak akan upacara yang menampilkan bissu. Meskipun tidak berarti dapat
menerima secara keseluruhan karena seorang bissu masih dianggap orang yang
menyalahi kodrat. Kedua, pendukung utama bissu dari keluarga istana akan melontarkan
kecaman karena upacara yang menampilkan bissu sifatnya primer atau hanya dapat
dipentaskan di depan raja atau keluarga istana. Namun bagaimanapun bentuk
konsekuensi yang akan terjadi kiranya perlu dipahami dan dimengerti keberlangsungan
bertahannya bissu bahwa bissu merupakan warisan budaya yang tidak ternilai harganya.
Kearifan kita dibutuhkan untuk turut memberikan ruang-ruang kepada bissu agar dapat
hidup dengan layak dan dapat diterima oleh masyarakat serta bissu masih dapat bertahan
hingga ke generasi mendatang.
48
BAB IV KESIMPULAN
Salah satu tempat bissu di Sulawesi Selatan yaitu di Kecamatan Pammana
Kabupaten Wajo. Pammana merupakan wilayah bekas kerajaan tertua yang sudah lama
berdiri sendiri sebelum bergabung dengan Wajo. Wilayah ini menjadi istimewa diantara
banyak nama tempat di Sulawesi karena nama Pammana selalu disebut-sebut dalam salah
epos terbesar dunia berbahasa bugis kuno I La Galigo. Dalam epos ini Pammana dikenal
dengan nama Cina. Pammana memiliki budaya yang khas di Wajo karena Pammana de'
nattamai ade maksudnya Pammana tidak dimasuki oleh budaya luar, justru Pammanalah
yang memberi pengaruh kepada budaya diluar Pammana. Penguasa tertinggi disebut datu
atau raja yang dalam prosesi pelantikannya bissu tampil sebagai tokoh yang amat
penting. Tugasnya melakukan ritual yang menghadirkan reprentasi ‘dunia atas, tengah,
dan bawah’ dalam pelantikan datu. Prosesi pelantikan datu tidak dapat dilakukan tanpa
kehadiran bissu. Begitu pula ritual lain yang berhubungan dengan life-cycles
menampilkan bissu sebagai tokoh sentral. Bukan itu saja, banyak peran yang dilakonkan
oleh bissu baik yang berhubungan dengan institusi kerajaan maupun masyarakat.
Bissu merupakan bentuk warisan budaya bugis kuno yang masih bertahan dan
dapat dijumpai sekarang. Tentunya tidak lagi seperti masa silam karena berbagai kondisi
yang terjadi seperti perubahan bentuk sistem pemerintahan, sistem kepercayaan, dan
sistem sosial budaya. Bissu hanya dapat dijumpai di tempat-tempat tertentu dalam jumlah
yang memprihatinkan. Tempat tertentu tersebut berada pada daerah yang masih
mempunyai kepedulian terhadap budaya lokal. Bentuk kepedulian tersebut seperti masih
adanya pendukung bissu yang menginginkan upacara yang digelar melibatkan bissu.
Daerah yang tidak mempunyai lagi pendukung bissu yang memerlukan bissu pada
upacara hajatan, bissu di tempat tersebut berangsur-angsur mulai tidak terdengar lagi.
Bahkan di Gowa bissu sudah tidak dijumpai lagi. Di Bone jumlah bissu pada masa silam
adalah 40 orang dan dalam upacara yang melibatkan bissu semua anggotanya
ditampilkan secara utuh. Namun saat sekarang jumlah bissu Bone hanya satu orang.
Kondisi yang dipaparkan di atas hanya sebagian kecil memudarnya peran bissu
dari segi kuantitas. Namun, ironisnya tidak sedikit orang yang berniat menjadi bissu.
Sebagian besar peminat bissu berasal dari kalangan calabai. Bissu memiliki daya tarik
49
tersendiri bagi peminatnya. Berbeda dengan bissu Gowa dan Bone, bissu Pammana justru
tidak mengalami krisis kuantitas bissu. Saat ini jumlah kelompok bissu Pammana yaitu
18 orang. Jumlah ini sebenarnya masih bisa bertambah lagi. Hal ini karena syarat untuk
menjadi bissu tidak seketat atau serumit dengan yang ada di Bone atau di Segeri
Pangkep. Dengan dibentuknya dewan adat Pammana menjadikan kelompok bissu di
tempat ini terlindungi. Maksudnya dewan adat memberikan ruang bagi bissu untuk tetap
melakukan upacara yang melibatkan kelompok bissu. Dewan adat memfungsikan dirinya
sebagai event organizer bagi bissu. Setiap upacara yang melibatkan bissu olah pihak luar
selain dewan adat harus sepengetahuan dewan adat. Hal ini dimaksudkan agar upacara
yang dilakukan oleh bissu dilakukan secara proporsional.
Melihat beberapa kenyataan di atas dan bahwa bissu sudah ada di Sulawesi
Selatan sekitar enam ratus tahun yang lalu dan masih bertahan hingga kini. Selanjutnya
yang menjadi pertanyaan utama dalam penelitian ini bahwa mengapa budaya bissu masih
bisa bertahan sampai sekarang? Bukankah waktu selama enam ratus tahun merupakan
waktu yang sangat lama? Jika sebuah produk budaya yang dibuat seratus tahun yang lalu
misalnya, belum tentu masih dapat dijumpai sekarang. Sedangkan bissu yang telah
melewati rentang waktu yang sedemikian panjang itu masih eksis sampai sekarang.
Ternyata ada beberapa faktor yang ditemukan dalam penelitian ini sehingga bissu
khususnya yang ada di Kabupaten Wajo masih tetap bertahan hingga kini. Faktor tersebut
terdiri atas tiga komponen. Ketiga komponen tersebut sekaligus merupakan jawaban dari
pertanyan penelitian ini. Ketiga komponen tersebut yaitu aktor, upacara, dan regenerasi.
Ketiga komponen ini saling berkaitan sehingga membentuk sebuah mata rantai yang
saling berhubungan.
Pendekatan fungsional-struktural berdasarkan yang telah dikembangkan oleh
Tallcot Parsons (Nasikun, 1984: 14). Dengan melakukan modifikasi digunakan dalam
penelitian ini untuk menjawab pertanyaan penelitian. Sub sistem dalam pendekatan ini
adalah faktor-faktor yang menyebabkan bertahannya bissu Pammana. Sub sistem tersebut
yaitu aktor, upacara, dan regenerasi beserta seluruh unsur yang ada dalam tiap subsistem
tersebut. Apabila subsistem ini saling berhubungan tanpa adanya konflik maka
kelanggengan akan terjadi. Kelompok bissu Pammana telah memenuhi unsur atau dengan
kata lain subbsistemnya saling berhubungan secara harmonis. Sehingga pertanyaan
50
bahwa mengapa kelompok bissu Pammana masih bisa bertahan dapat dijawab.
Selanjutnya, salah satu hal menarik yang ditemukan dalam penelitian ini yaitu terjadinya
tarik menarik dalam subsistem antara upacara dan aktor pendukung bissu. Pendukung
dari kalangan istana menginginkan upacara yang dilakukan oleh bissu hendaknya hanya
diperuntukkan bagi keluarga istana sebagaimana tugas utama bissu tempo dulu. Aktor
pendukung bissu lain lebih berorientasi memodifikasi upacara tersebut agar tradisi bissu
dapat bertahan. Tentunya dibarengi dengan konsekuensi perubahan bentuk upacara bissu.
Konsekuensi ini sebenarnya merupakan hal yang lumrah bagi pengembangan
budaya lokal. Sebab yang mengalami hal ini bukan saja masalah bissu namun budaya
lokal lain yang ada di Nusantara misalnya yang terjadi di Bali. Untuk melihat budaya
bissu masih tetap ada sampai sekarang salah satu jalan yang ditempuh yaitu dengan jalan
melakukan reinvensi budaya. Penelitian ini mengusulkan untuk melakukan reinvensi
budaya kolompok bissu Pammana. Dengan melakukan modifikasi teori the invention of
tradition oleh Hobsbawm, peneliti mengunakan istilah reinvensi untuk menghidupkan
kembali budaya bissu dengan jalan melakukan modifikasi atraksi yang ditampilkan oleh
bissu. Modifikasi yang dimaksudkan berdasarkan teori Soedarsono tentang atraksi seni
pertunjukan yaitu murah, miniatur dari aslinya, dimasukkan variasi, dipersingkat durasi
waktunya, dan nilai ritualnya ditanggalkan. Reinvensi ini lebih banyak mambantu upaya
komersialisai upacara. Dalam hal ini aktor yang melakukan komersialisasi khususnya
dewan adat untuk atraksi wisata malawa botting dan dinas Pariwisata untuk atraksi dalam
Fastival Danau Tempe dan upacara penjemputan tamu penting. Selanjutnya untuk
menjawab pertanyaan penelitian mengenai aktor, upacara, dan regenerasi dapat diurai
seperti berikut.
Bissu di kabupaten Wajo ditampilkan melalui agen aktor. Ada beberapa aktor yang
berperan memunculkan bissu yaitu keluarga istana, masyarakat, dewan adat, dan
pemerintah daerah. Masyarakat dibagi lagi menjadi tiga unsur yaitu petani, nelayan, dan
sanro. Para aktor tersebut memerlukan bissu terutama dalam pelaksanaan upacara. Dalam
berbagai upacara atau ritual yang diadakan oleh aktor tersebut, bissu diposisikan sebagai
penentu upacara. Dengan kata lain bissu dianggap sebagai tokoh sentral atau tokoh
penting atas keberlangsungan upacara. Upacara atau ritual tidak akan mempunyai arti
atau makna apa-apa tanpa dilaksanakan oleh bissu. Sebaliknya, bissu juga diposisikan
51
sebagai pelengkap upacara saja. Upacara akan tetap berlangsung dengan atau tanpa
kehadiran bissu. Tidak ada lagi makna filosofis upacara, upacara diadakan hanya sekedar
memenuhi unsur-unsur yang harus ada dalam upacara termasuk pelibatan bissu. Aktor
yang menempatkan bissu sebagai tokoh penting yaitu keluarga istana, masyarakat, dan
dewan adat. Sedangkan aktor yang memposisikan bissu sebagai pelengkap upacara yaitu
pemerintah daerah dalam hal ini yaitu dinas pariwisata. Telah terjadi pergeseran peran
bissu sebagai tokoh penting menjadi tokoh pelengkap yang dilakukan oleh aktor yang
menampilkan bissu. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa penting tidaknya tokoh bissu
dalam suatu upacara atau ritual bergantuanng pada aktor yang menapilkan bissu.
Masyarakat memerlukan bissu karena memiliki peran dalam upacara atau ritual.
Masyarakat dalam hal ini adalah masyarakat pendukung bissu dalam arti luas. Dengan
kata lain masyarakat atau aktor yang menampilkan bissu. Upacara yang dibutuhkan oleh
masyarakat tersebut telah mengalami pergeseran makna. Pada awalnya masyarakat
pendukung bissu utamanya keluarga istana dalam berbagai upacara atau ritual, bissu
dilibatkan hanya untuk kepentingan istana dan raja. Namun, setelah munculnya
masyarakat pendukung bissu selain keluarga istana maka orientasi upacara mengarah
kepada kegiatan komersial. Pemerintah daerah, dewan adat, dan oknum tertentu yang
berperan memunculkan bissu justru berorientasi kepada komersialisasi upacara. Hal ini
mengakibatkan protes dikalangan keluarga istana agar segala kegiatan bissu
dikembalikan di lingkungan istana. Pertentangan tersebut merupakan dinamika dalam
masyarakat pendukung bissu. Pertentangan pendapat ini mengisyaratkan bahwa bissu di
Wajo khususnya kelompok bissu Pammana masih tetap dibutuhkan oleh masyarakat
pendukungnya maupun masyarakat luas.
Kelompok bissu Pammana masih dapat bertahan karena disamping faktor aktor dan
peran bissu dalam upacara seperti yang telah disebutkan tadi, faktor regenerasi juga turut
berperan. Di daerah luar Wajo banyak calabai memiliki minat untuk menjadi bissu.
Namun banyak diantara mereka tidak dikabulkan keinginannya karena terbentur oleh
syarat prosesi yang sangat berat. Lain halnya dengan kelompok bissu Pammana yang
memiliki regenerasi bissu yang memadai. Bahkan secara kuantitas jumlahnya dianggap
tidak mengkhawatirkan. Hal ini karena di Pammana, aturan untuk menjadi bissu
dilonggarkan. Di tempat ini tidak dikenal prosesi irebba yang diperlakukan sebagai mana
52
layaknya orang meninggal dan sulit dilaksanakan. Jadi kelompok bissu ini diresmikan
atau disahkan secara adat pada saat upacara atau ritual pelantikan datu atau raja
Pammana. Keberadaan kelompok bissu ini dikukuhkan secara adat bertepatan pada
prosesi pelantikan datu Pammana ke-40 tahun 2004 lalu. Sehingga jumlah bissu 'resmi'
Pammana menjadi bertambah. Berkenaan dengan uraian sebelumnya mengenai aktor
yang menampilkan bissu, upacara yang dibituhkan oleh masyarakat, dan yang sementara
dibahas yaitu regenerasi bissu secara tersirat dapat dikatakan bahwa kelompok bissu
Pammana masih dapat bertahan dalam kondisi masyarakat yang selalu berubah.
53
DAFTAR PUSTAKA
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2007. Paradigma, Epistemologi danMetode Ilmu Sosial Budaya: Sebuah Pemetaan. Yogyakarta: Makalah CRCS-UGM tidak dipublikasikan.
Abdullah, Irwan. 2002. Simbol Makna dan Pandangan Hidup Jawa: Analisis Gunungan pada Upacara Gerebeg. Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.
------------. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ambo Enre, Fachruddin. 1999. Ritumpanna Wélenrénngé: Sebuah Episoda Sastra Bugis Klasik Galigo. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Badaruddin, M. 1980. Bissu dan Peralatannya. Ujung Pandang: Proyek Pengembangan Permuseuman Sulawesi Selatan.
Darma, Budi. 1995. Harmonium.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Davies, Sharyn Graham. 2007. Challenging Gender Norms: Five Genders Among the Bugis in Indonesia. Australia: Thomson Wadsworth.
Endarmoko, Eko. 2006. Tesaurus Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan.(diterjemahkan oleh Fransisco Budi Hardiman). Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Hamonic, Gilbert. 2002. Kepercayaan dan Upacara daei Budaya Bugis Kuno: Pujaan Pendeta Bissu dalam Mitos La Galigo.(Maklah disampaikan pada Festival dan Seminar Internasional La Galigo Barru, Sulawesi Selatan, 15-20 Maret 2002. Pancana Barru Sulawesi Selatan.
Hobsbawm, Eric (ed.). 2003. The Invention of Tradition.Cambridge: Cambridge University Press.
Jary, David dan Julia Jary. 1991. Collins Dictionary of Sociology. Great Britain: Harper Collins Publishers.
Lathief, Halilintar. 2004. Bissu: Pergulatan dan Peranannya di Masyarakat Bugis. Depok: Desantara.
54
Matthes, B.F. 1874. Boegineesch-Hollandsch Woordenboek, met Hollandsch-Boeginesche Woordenlijst. En Verklaring van Een Tot Opheldering Bijgevoegden Ethnographischen Atlas. Amsterdam: Bij C.A. Spin & Zoon.
Nasikun. 1984. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Kennedy, M. 1993. Clothing, Gender, and Ritual Transvetism: The Bissu of Sulawesi. The Journal of Men's Studies, 2 (1), 1-3.
Kern, R.A. 1993. I La Galigo. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Koentjaraningrat (dkk.). 1984. Kamus Istilah Antropologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Koentjaraningrat. 1999. Sejarah dan Teori Antropologi II. Jakarta: UI Press. Pasanreseng, Muh. Yunus. 1992. Sejarah Lahir dan Pertumbuhan Pondok Pesantren
"As'adiyah" Sengkang. Sengkang: Pengurus Besar "As'Adiyah" 1989 – 1992. Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis. Jakarta: Nalar bekerja sama dengan Forum
Jakarta-Paris. Soedarsono, R.M. 1999. Seni Pertunjukan Pariwisata. Bandung: Masyarakat Seni
Pertunjukan Indonesia. ---------------. 2002. Seni Pertunjukan di Era Globalisasi. Bandung: Masyarakat Seni
Pertunjukan Indonesia.
Sumange, H.Hary dan M.E.Fachry. 2003. Menelusuri Keberadaan Bissu (Calabai) di Kabupaten Soppeng (Telaah Bacaan, Cerita Rakyat dan Proses Perjalanan Calabai). Makalah dibawakan pada Festival Galigo dan Seminar International Sawerigading Mamasa 10-14 Desember 2003. Mamasa: Yayasan Budaya Soppeng.
Syahrir, Nurlina. 2003. Bissu dalam Masyarakat Pangkep Kedudukan, Upacara, dan
Sejarahnya. Makassar: Badan Pengembangan Bahasa dan Seni FBS UNM. Tuloli, Nani (dkk.). 2003. Dialog Budaya, Wahana Pelestarian dan Pengmbangan
Kebudayaan Bangsa. Jakarta: Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Pelestarian dan Pengembangan Budaya Direktorat Tradisi dan Kepercayaan Proyek Pelestarian dan Pengembangan Tradisi dan Kebudayaan.
55
BIODATA PENELITI
Nama : Andi Muhammad Yauri, S.S., M.Hum. Tempat, Tanggal Lahir : Sengkang, 16 November 1971 Pekerjaan : Dosen STAIN Watampone Pangkat/Gol./NIP : Penata/IIIc/150 295 330 Jabatan Fungsional : Lektor Alamat Lengkap :
Kantor: STAIN Watampone Jl. HOS Cokroaminoto Watampone Tlp. (0481) 21395
Rumah: Rumdin PKM Watampone Jl. Besse Kajuara No. 18A Watampone Tlp. (0481) 23589
Mobile Phone : 0815 603 8230 Email : [email protected] Riwayat Pendidikan :
1. Sekolah Dasar Negeri (SDN) No. 5 Sengkang 1984 2. Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 1 Sengkang 1987 3. Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) I Sengkang 1990 4. S1 Sastra Inggris Universitas Hasanuddin Makassar 1997 5. S2 Magister Linguistik Universitas Padjadjaran Bandung 2004
Pengalaman Penelitian: 1. Kohesi pada Tajuk Rencana The Jakarta Post : Suatu Analisis Wacana
(Skripsi) 1997 2. Tingkat Penguasaan Structure pada Mahasiswa Semester II STAIN
Watampone (Studi Kuantitatif Program Matrikulasi Unit Bahasa STAIN Watampone) 2001
3. Kemampuan Memahami Teks Bahasa Inggris oleh Mahasiswa S2 dan S3 PPs Unpad Bandung (Penelitian Mini) 2003
4. Koherensi dalam Wacana Komik The Born Loser (Tesis) 2004 5. Kesulitan-Kesulitan dalam Membuat Kalimat Sederhana Bahasa Inggris
pada Murid Kelas 5 SD/MI di Watampone: Satu Analisis Kesilapan (Penelitian Mandiri) 2005
Karya Ilmiah yang Dipublikasikan: 1. Penulis Buku Integrated English Structure: Elementary Exercises. Tahun
2007, Yogyakarta: Eja Publisher. 2. Editor Buku Belajar Ilmu Sosial Dasar. Penulis Andi Adijah. Tahun 2007
Tahun 2007, Yogyakarta: Eja Publisher.
56