Bissu Di Tanah Bugis

29
BISSU DI TANAH BUGIS Di Desa Bontomatene, Kecamatan Segeri, hidup sekelompok komunitas Bissu. Di Desa Bontomatene juga terdapat sebuah rumah untuk menyimpan Arajang yang dipercayai sebagai benda pusaka pada masa kejayaan Kerajaan Bugis. Arajang yang disimpan adalah berupa alat tradisional untuk membajak padi. Komunitas Bissu hidup di tengah-tengah masyarakat pada umumnya, meskipun masyarakat tidak sepenuh hati menerima keberadaan komunitas Bissu tersebut. Atas dasar keyakinan dan kepercayaan masyarakat tentang upacara ritual yang harus dilakukan sebelum tanam padi, maka komunitas Bissu menjadi tetap harus ada. Di dalam upacara ritual yang disebut Mappalili yang dipimpin oleh seorang Puang Matowa yang berasal dari komunitas Bissu. Upacara Mappalili ini menjadi daya tarik pariwisata. Keunikan dan daya tariknya adalah adanya tarian Maggiri, yaitu atraksi yang menunjukkan kekebalan para Bissu terhadap senjata tajam, yaitu dengan menggunakan keris. Upacara ritual Mappalili ini dilakukan setahun sekali, biasanya jatuh sekitar bulan September. Tradisi transvestities di tanah Bugis, yaitu lelaki yang berperan sebagai perempuan, sudah diungkap dalam naskah-naskah klasik Bugis sejak ratusan tahun yang lalu. Mereka dikenal sebagai pendeta agama Bugis kuno pra Islam dengan julukan Bissu. Keberadaan mereka sebagai benang merah kesinambungan tradisi lisan Bugis kuno. Kata Bissu berasal dari kata mabessi dalam bahasa Bugis, yang berarti bersih atau suci, karena tidak memiliki payudara dan tidak haid. Sebagai implementasi tafsir suci tersebut, mereka tidak boleh berpacaran, menikah, dan menyingkirkan keinginan seksualitasnya.

description

bissu di tanah bugis

Transcript of Bissu Di Tanah Bugis

Page 1: Bissu Di Tanah Bugis

BISSU DI TANAH BUGISDi Desa Bontomatene, Kecamatan Segeri, hidup sekelompok komunitas Bissu. Di Desa Bontomatene juga

terdapat sebuah rumah untuk menyimpan Arajang yang dipercayai sebagai benda pusaka pada masa kejayaan Kerajaan Bugis. Arajang yang disimpan adalah berupa alat tradisional untuk membajak padi. Komunitas Bissu hidup di tengah-tengah masyarakat pada umumnya, meskipun masyarakat tidak sepenuh hati menerima keberadaan komunitas

Bissu tersebut. Atas dasar keyakinan dan kepercayaan masyarakat tentang upacara ritual yang harus dilakukan sebelum tanam padi, maka komunitas Bissu menjadi tetap harus ada. Di dalam upacara ritual yang disebut Mappalili yang dipimpin oleh seorang Puang Matowa yang berasal dari komunitas Bissu. Upacara Mappalili ini menjadi daya tarik pariwisata. Keunikan dan daya tariknya adalah adanya tarian Maggiri, yaitu atraksi yang menunjukkan kekebalan para Bissu terhadap senjata tajam, yaitu dengan menggunakan keris. Upacara ritual Mappalili ini dilakukan setahun sekali, biasanya jatuh sekitar bulan September.

Tradisi transvestities di tanah Bugis, yaitu lelaki yang berperan sebagai perempuan, sudah diungkap dalam naskah-naskah klasik Bugis sejak ratusan tahun yang lalu. Mereka dikenal sebagai pendeta agama Bugis kuno pra Islam dengan julukan Bissu. Keberadaan mereka sebagai benang merah kesinambungan tradisi lisan Bugis kuno. Kata Bissu berasal dari kata mabessi dalam bahasa Bugis, yang berarti bersih atau suci, karena tidak memiliki payudara dan tidak haid. Sebagai implementasi tafsir suci tersebut, mereka tidak boleh berpacaran, menikah, dan menyingkirkan keinginan seksualitasnya.

Page 2: Bissu Di Tanah Bugis

Secara fisik Bissu adalah laki-laki, tetapi lemah lembut dalam bertutur dan memiliki kemampuan-kemampuan lebih, seperti meramal, mengobati, dan kebal terhadap senjata tajam. Sementara sebagian orang mengatakan bahwa Bissu sama dengan waria/banci. Di dalam bahasa Bugis disebut calabai atau kawe-kawe yang berarti waria (wanita-pria, wadam). Untuk menjadi Bissu para calabai tersebut harus melewati seleksi dan upacara khusus. Tidak semua waria bisa menjadi Bissu, tetapi semua waria punya peluang untuk menjadi Bissu, dengan mempunyai bakat dan anugerah atau panggilan hati dari dewata. Pada dasarnya semua Bissu adalah waria (calabai dalam bahasa Bugis). Seorang Bissu dalam pengertiannya sebagai orang ”suci” karena berkaitan dengan tugas yang diembannya sebagai penjaga dan pemelihara Arajang, yaitu benda-benda pusaka yang diwariskan para raja yang memerintah dalam suatu negeri atau kerajaan di Bugis dahulu. Seorang Bissu bukan calabai biasa, karena ada tirakat serta peraturan yang harus dijalani sebelum menjadi Bissu. Selain itu Bissu juga diharuskan berpakaian sopan dan anggun, tidak berpenampilan yang mengundang birahi orang seperti para banci/waria pada umumnya. Tugas Bissu pada intinya adalah sebagai pemimpin spiritual bagi masyarakat maupun kerajaan pada masa lalu. Di dalam kontekss kekinian mereka menerima konsultasi tentang hajatan, pertolongan, bahkan pengobatan. Di dalam setiap upacara ritual, tugas mereka memimpin dan menjaga Arajang, yaitu benda pusaka keramat peninggalan kerajaan).

Tepatnya di Desa Bontomatene, Kecamatan Segeri, Kabupaten Pangkep, Propinsi Sulawesi Selatan, masyarakatnya masih melakukan upacara sebelum tanam padi, menumbuk padi, dan upacara syukur pada saat panen padi. Unik dan menarik karena tradisi masyarakat agraris di sini sebagai pelaku utama ritual harus dilakukan/ dipimpin oleh seorang Puang Matowa, yang dibantu oleh seorang wakil yang bergelar Puang Lolo, dan keduanya dilantik oleh raja atau penguasa. Puang Matowa adalah pimpinan dari komunitas Bissu, yang sebenarnya adalah:1. Penjaga raja dan penjaga pusaka kerajaan pada zaman kerajaan di Sulawesi Selatan;2. Orang yang mengurus sistem rumah tangga raja;3. Orang yang menyerupai perempuan tetapi kebal dengan senjata tajam;4. Orang yang dipercayai mampu mengobati orang sakit yang disebut sebagai tabib 5. Termasuk komunitas calabai (komunitas yang memiliki kepribadian ganda), tetapi bukan calabai biasa, yaitu sebagai kaum transvestities;6. Berperan penting di dalam kerajaan yaitu sebagai perantara dunia atas dan dunia bawah yang disebut sebagai Bissu Dewata.

Komunitas Bissu di Propinsi Sulawesi Selatan masih ada terdapat di Kabupaten Pangkep, Bonne, Soppeng, dan Wajo. Pada mulanya Bissu berasal dari Kabupaten Luwu, namun kini sudah tidak ada lagi. Tugas Bissu pada intinya sebagai pemimpin spritual bagi masyarakat maupun kerajaan pada waktu itu. Di dalam setiap upacara ritual, tugas Bissu adalah memimpin. Di dalam pelaksanaan upacara Bissu kerap kali melantunkan pujian-pujian, mantera, untuk mencapai tahap fana al fana atau intrance yang ditandai dengan menusuk keris ke tubuh mereka yang telah kebal.

Di dalam naskah La Galigo disebutkan bahwa Bissu telah ada sebelum masuknya Islam. Di naskah tersebut dikatakan bahwa Bissu yang pertama kali diturunkan dari langit. Bahasa dalam naskah La Galigo tidak sama dengan bahasa yang digunakan Bissu. Salah satu syarat untuk menjadi Bissu adalah mengetahui bahasa Bissu. Bahasa Bissu adalah lambang dari bahasa langit, sehingga disebut juga bahasa Torilangi, yang berarti bahasa orang dari langit. Norma-norma, konsep-konsep kehidupan, bahkan silsilah dewa-dewa dan kosmologi orang Bugis dalam kitab La Galigo, mereka peroleh secara lisan atau tertulis dari guru-guru pendahulu mereka yang telah wafat. Pengetahuan-pengetahuan warisan Bugis kuno itu mereka pertahankan dan aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dan atau upacara orang Bugis, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Bissu memiliki bahasa sendiri untuk berkomunikasi dengan para dewata dan untuk berkomunikasi antara sesama Bissu. Bahasa tersebut disebut bahasa suci, bahasa orang langit yang disebut juga bahasA Torilangi atau bahasa Dewata. Para Bissu beranggapan bahwa bahasa tersebut diturunkan dari surga melalui Dewata.

Page 3: Bissu Di Tanah Bugis

Tarian Bissu yang masih dapat disaksikan pada waktu-waktu tertentu, sekarang dapat disaksikan di Desa Bontometene, Kecamatan Segeri, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Pada hakekatnya pada jaman kejayaan Kerajaan Bugis, tari-tarian istana banyak dilakukan oleh penari pria yang menyerupai wanita, atau yang juga disebut kaum Bissu. Hal ini dilakukan sebagai sebuah fenomena dari politik raja yang menjaga putrinya dari gangguan para pria yang tidak diinginkan masuk dalam istana.

Meski pada dasarnya semua Bissu adalah calabai, namun tidak semua calabai adalah Bissu, karena ada tirakat dan peraturan yang harus dijalani. Mereka juga diharuskan meninggalkan pribadi genit dan patut berpakaian sopan dan anggun. Seorang yang telah bergelar Bissu, tidak boleh berpacaran, tidak menikah, dan menyingkirkan keinginan seksual. Namun karena populasi Bissu semakin berkurang, diperoleh data bahwa beberapa di antara mereka kini berkeluarga untuk memperoleh keturunan. Di Bone ada Bissu yang disebut Bissu Mamatra, yaitu Bissu yang belum sempurna.

Pada masa pemerintahan Kerajaan Bugis, seluruh pembiayaan upacara dan keperluan hidup komunitas Bissu diperoleh dari hasil sawah kerajaan. Para Bissu juga memperoleh sumbangan dari dermawan yang berupa pedagang, kaum tani, bangsawan yang datang sendiri atau secara rutin memberikan sedekahnya. Selain itu mendapatkan tanah seluas satu petak atau dua petak tanah persawahan dari kerajaan untuk diolah oleh Puang Matowa bersama komunitasnya. Sawah yang merupakan tempat upacara Mappalili tersebut, hasilnya untuk biaya upacara-upacara dan kebutuhan hidup komunitas Bissu selama setahun. Adat istiadat yang dijalankan oleh pemerintah Kerajaan Bugis dahulu mengandung makna malebbi dan malempu, yaitu kemuliaan dan kejujuran. Moral menjadi sasaran utama aturan, sehingga seluruh tata aturan tersebut harus ditaati dengan ikhlas dan sungguh-sungguh. Oleh karena itu apa yang menjadi tujuan dan sasaran upacara akan tercapai dengan baik.

Di dalam sebuah upacara Bissu ada yang disebut dengan matemmu tang, yaitu persembahan beberapa bahan sesaji untuk para dewa yang dianggap telah memberikan rahmat kepada masyarakat setempat selama satu tahun sebelumnya. Jadi pada dasarnya upacara ini merupakan upacara tahunan yang hingga kini masih diselenggarakan oleh masyarakat pendukungnya. Ada sebuah bagian di dalam rangkaian upacara yang disebut dengan mappasabbi arajang, upacara ini dilakukan di dalam sebuah kamar arajang, di mana terdapat benda-benda pusaka. Selain itu dilakukan pembacaan mantra-mantra terhadap sesaji yang telah diletakkan di depan arajang tersebut oleh Puang Matowa sebagai pemimpin upacara. Di dalam upacara disajikan apa yang disebut makemmo sokko patan rupa (meremas nasi ketan yang diberi warna merah, kuning, putih, dan hitam, yang diletakkan dalam piring-piring kecil. Adapun artinya warna merah adalah api, warna kuning adalah angin, warna putih adalah air, dan warna hitam adalah tanah.

Ketika aturan-aturan lisan bermuatan moral tersebut digantikan dengan aturan-aturan tertulis yang konon lebih modern, maka masyarakat tradisional mulai kehilangan kekuatannya. Bissu adalah seorang laki-laki yang berpenampilan dan berkepribadian seperti wanita. Tidak semua manusia tranvestitisme dapat menjadi Bissu, karena harus menjalankan beberapa syarat yang harus dipenuhi. Adapun untuk menjadi seorang Bissu harus melakukan beberapa syarat yang telah ditentukan dengan aturan-aturan yang ada dalam komunitas Bissu, yang dipimpin oleh Puang Matowa. Awal mula seorang waria yang hendak menjadi Bissu harus mempunyai motivasi yang kuat untuk berhasil menjadi Bissu.

Motivasi tersebut antara lain ingin menjadi Bissu secara sungguh-sungguh, karena jika hanya main-main maka akan menerima resikonya. Pernah terjadi seorang waria yang bertekad menjadi Bissu, namun gagal. Kegagalan ini dikarenakan adanya aturan yang dilanggar, yaitu Bissu tidak boleh melakukan hubungan suami istri, sehingga Bissu dilarang

Page 4: Bissu Di Tanah Bugis

menikah, tidak boleh berdandan terlalu mencolok atau menor, yang dapat mengundang birahi lorang lain, dan sebagainya. Bissu yang melanggar aturan akan mati, demikianlah mitos yang populer terdengar oleh masyarakat di Kecamatan Segeri. Namun untuk perkembangan di masa sekarang banyak Bissu yang menikah, agar supaya terjadi regenerasi

51keturunan Bissu tetap ada. Oleh karena itu syarat-syarat untuk menjadi Bissu atau proses untuk menjadi Bissu

(irreba) adalah:1. Niat;2. Puasa;3. Mattinjak (mempunyai nazar);4. Wuju;5. Taat pada aturan-aturannya.Niat adalah sebuah janji yang dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh seorang waria untuk menjadi bagian dalam

komunitas Bissu. Niat ini harus muncul dari lubuk hati yang paling dalam, karena akan menjadi berat menjalankan dan kegagalan yang terjadi untuk menjadi Bissu. Niat yang tulus dibarengi dengan menjalankan puasa, biasanya para waria yang hendak menjadi Bissu, harus melakukan puasa selama 40 hari 40 malam secara terus-menerus. Kemudian selesai berpuasa calon Bissu melakukan sebuah nazar sebelum benar-benar menjadi Bissu. Biasanya nazar dilakukan selama tiga hari berturut-turut, dengan melakukan apa yang disebut dengan Wuju. Calon Bissu menjalankan wuju, yaitu dengan dibungkus kain kafan putih dan dimandikan layaknya seperti mayat oleh para Bissu senior yang dipimpin oleh Puang Matowa. Setelah dimandikan dan dikafani, calon Bissu ditidurkan di rumah di lantai atas dengan beratapkan langit-langit, sambil bernazar seperti orang bertapa, tidak makan dan minum selama satu hari satu malam. Demikianlah upacara pelantikan Bissu menjadi bertingkat-tingkat, dan bagian terbesar dalam upacara pelantikan Bissu harus ada 40 orang Bissu senior (Bissu Pattappuloe), serta salah satunya adalah Bissu wanita.

Bissu wanita biasanya adalah seorang wanita yang telah menopause dan mendapat manase (wangsit/panggilan hati). Namun sekarang pelantikan dengan cara seperti ini tidak dilakukan lagi karena calon Bissu beresiko jatuh pingsan, gila, atau bahkan meninggal. Oleh karena itu syarat-syarat untuk menjadi Bissu, pada saat ini tidak lagi serumit dan selama pada waktu Bissu senior masih berjumlah 40 orang, karena Bissu yang tersisa saat ini hanya tinggal 6 orang.

Syarat terakhir dan harus selamanya dilakukan oleh calon Bissu adalah harus taat dan patuh terhadap peraturan-peraturan yang diberlakukan dalam komunitas Bissu, layaknya seorang laki-laki berpenampilan perempuan tetapi bukan waria biasa. Seperti dikatakan oleh Halilintar Latief dalam bukunya berjudul Bissu, Pergulatan dan Peranannya di Masyarakat Bugis, bahwa:

“Para Bissu yang telah dilantik menganggap dirinya lebih terhormat dan lebih tinggi kedudukannya dari pada calabai pada umumnya yang belum dilantik. Bissu yang telah irreba-lah yang berhak menyandang predikat sebagai Bissu sesungguhnya, sedangkan calon Bissu yang belum dilantik hanya berhak menyandang sebagai Bissu mentah (Bissu mamata). Namun karena kaum Bissu makin berkurang, perbedaan antara Bissu dan calabai ini makin rancu di beberapa wilayah adat” (Latief Halilintar A:2004:47).

Di dalam kehidupan komunitas Bissu juga mengenal dengan hirarki organisasi atau struktur organisasi yang dibedakan menurut fungsi kerjanya. Adapun struktur organisasi dalam komunitas Bissu tersebut adalah sebagai berikut:

1. Puang Matowa;2. Puang Lolo;3. Bissu Tantre;4. Bissu Poncok.Puang Matowa adalah pimpinan dari komunitas Bissu. Puang Matowa pada jaman kerajaan dipilih oleh rakyat dan

dinobatkan oleh raja. Puang Matowa bertugas menjaga pusaka kerajaan dan melayani keluarga kerajaan, serta hidupnya ditanggung oleh kerajaan. Biasanya Puang Matowa bertempat tinggal di rumah pusaka kerajaan (Bola Arajang). Puang Matowa adalah sebagai pimpinan Bissu, maka apabila tidak bisa hadir dalam sebuah acara, yang akan menggantikan adalah Puang Lolo sebagai wakilnya.

Puang Lolo disebut juga sebagai wakil dari Puang Matowa atau juga bisa sebagai kandidat pengganti pimpinan Bissu tersebut. Oleh karena itu kelebihan yang dimiliki oleh Puang Matowa tidak jauh beda dengan yang dimiliki oleh Puang Lolo. Pelantikan Puang Lolo bersamaan dengan pelantikan Puang Matowa, karena Puang Lolo pun dipilih oleh rakyat dan dilantik oleh raja.

Sedangkan Bissu Tantre adalah Bissu yang dianggap mempunyai pengetahuan yang tinggi atau berderajat tinggi, dalam arti Bissu ini sangat cepat menangkap dan cepat tanggap dengan apa yang diajarkan oleh Puang Matowa. Ada juga yang disebut dengan Bissu Poncok adalah Bissu yang mempunyai derajat yang rendah atau berpengetahuan rendah karena tidak terlalu cepat mengerti dan tanggap dengan apa yang diajarkan oleh Puang Matowa. Bissu Tantre dan Bissu Poncok akan tampil dan menari dalam upacara ritual yang dipimpin oleh Puang Matowa. Saat ini jumlah Bissu tinggal 6 orang saja, di antaranya adalah Puang Matowa, Puang Lolo, Bissu Tantre (Zulaeka), dan Bissu Ponco (ada 4 orang). Menurut Andi Halilintar Latief dalam bukunya berjudul Bissu, Pergulatan dan Peranannya di Masyarakat Bugis disebutkan bahwa Bissu yang terdapat di Segeri mempunyai perbedaan dengan Bissu yang berada di Bone. Perbedaan Bissu dari kedua daerah tersebut adalah sebagai berikut.

Para bissu dahulu mengenal tradisi tulisan pada lontar, namun tradisi ini sudah semakin ditinggalkan, dan berubah menjadi tradisi tutur. Di dalam upacara yang dipimpin oleh Bissu terdapat perpaduan dari berbagai aspek kesenian. Kesenian pada komunitas Bissu sebenarnya merupakan bagian dari aktivitas upacara/ritual sebelum menanam padi yang meliputi pembacaan mantra-mantra, sastra, nyanyian, musik, dan tarian. Semua bentuk seni tersebut sebagai media upacara dalam berkomunikasi dengan Yang Maha Kuasa untuk mohon ijin dan berkahnya. Salah satu media upacara yang menjadi puncaknya adalah tarian Maggiri. Gerakan tarian Bissu bukan sekedar gerakan tari semata-mata, tetapi ada aktifitas kesenian lain, seperti pantun, iringan alat musik, dan adanya atraksi kekebalan senjata yang disebut Maggiri.

Page 5: Bissu Di Tanah Bugis

Maggiri adalah disebut juga upacara magrangeng-rangeng, yaitu Bissu telah berpakaian lengkap dan berdandan sedemikian rupa, berjalan sambil menari mengelilingi walasuji dipimpin oleh Puang Matowa. Kemudian Puang Matowa memperlihatkan kesaktiannya dengan menusukkan keris ke arah tenggorokannya itulah yang disebut maggiri, lalu diikuti oleh ke enam Bissu yang lain. Tarian Maggiri merupakan tarian yang unik dengan mempergunakan sebilah keris pusaka yang mengandung unsur mistis di dalamnya. Tari spiritual kaum Bissu yang sudah berusia ratusan tahun. Maggiri merupakan rangkaian dari prosesi upacara dalam tradisi Bugis kuno yang dilaksanakan para Bissu, dan sampai hari ini masih bertahan meski jumlah Bissu sudah tidak banyak lagi, yaitu hanya ada 6 orang Bissu yang berada di Kecamatan Segeri, Kabupaten Pangkep. Atraksi ini sambil menghentak-hentakan kakinya ke lantai diiringi dengan musik yang ritmis semakin lama semakin cepat, sehingga mampu membuat penonton berdebar melihatnya. Di dalam Maggiri inilah Bissu mempertunjukan kesaktiannya kebal akan benda tajam, yaitu keris(http://www.kompas.com/kompas-cetak/0507/13/humaniora/1892839.htm)

Alat-alat yang digunakan dalam tarian Bissu meliputi dua buah keris (lambang pria dan wanita), lalosu (bambu anyaman berbentuk kepala ayam dan berbadan ular, lambang dunia atas dan dunia bawah), kostum yang menggambarkan perwujudan dewa-dewa, dan sebagainya. Biasanya kaum Bissu pandai menari dan menyanyi dengan membawakan mantra. Namun ada kaum Bissu dari kalangan bangsawan yang tidak bisa menari, yang disebut dengan Pargundang. Ketika mencari pengertian kesenian Bissu, memang sedikit bingung apakah tradisi itu dapat dikategorisasi sebagai suatu bentuk kesenian, atau karena tarian dengan nama ”mabissu” yang sudah dapat disaksikan sekarang adalah salah satu bagian dalam upacara-upacara ritual pada masa dahulu (kerajaan) yang dilakukan sebagai bentuk persembahan dan komunikasi kepada Sang Dewata, agar maksud dari hajatan tersebut diperkenankan dan berjalan lancar. Pada masa jayanya kerajaan-kerajaan Bugis, seperti Kerajaan Luwu dan Kerajaan Bone, seni tari dipelajari hanya di lingkungan istana. Tari dalam bahasa Bugis (Basa Ugi) disebut Sere (mondar-mandir) atau jaga (berjaga tidak tidur semalaman) dan juga diberi nama Joge yang diberi awalan ma menjadi Majoge yang berarti berjoget dan Pajoge berarti penarinya. Dilihat dari fungsinya, tari-tarian suku Bugis mempunyai fungsi sebagai:1. tari untuk upacara;2. tari untuk bergembira;3. tari untuk tontonan atau atraksi.Sere yang berarti tari pada umumnya untuk menyebut tari-tarian yang bersifat sakral, sedangkan Joge pada umumnya dipergunakan untuk menyambut tari-tarian yang bersifat bergembira, tari-tarian bersifat tontonan, atau tari-tarian atraksi. Misalnya tarian Bissu yang mempunyai fungsi untuk upacara kelahiran, upacara perkawinan, dan upacara turun sawah, yaitu adanya tarian Maggiri. Di masa sekarang pertunjukan Maggiri yang telah dipentaskan dan diperkenalkan pada kesempatan atau pergelaran budaya, bahkan telah dipertontonkan secara luas di sejumlah negara Asia hingga Eropa, maka budaya dan tradisi Bugis kuno yang dimiliki komunitas Bissu dapat diartikan sebagai suatu bentuk kesenian tradisional dalam bentuk tarian.

Tarian unik dengan mempergunakan sebilah keris pusaka dengan unsur mistis di dalamnya. Dari keterangan-keterangan yang diperoleh dapat diketahui adanya beberapa tahapan yang dibagi atas enam sesi dalam tarian Bissu tersebut. Apabila disistematiskan maka tari Bissu yang dikenal dengan Maggiri dibagi dalam enam tahapan, yaitu:1. Tette Sompe: Pembukaan (persembahan) dengan dimulai dengan bunyi gendang, suling tiup (pui-pui), dan iringan gong;2. Balisumange (Bangkit): para Bissu mulai keluar beriring lalu keliling dengan formasi melingkar dan pimpinan Puang Matowa duduk di belakang Walasuji: berbentuk persegi empat dari rangkaian bambu yang berisi sejumlah benda-benda pusaka yang melambangkan “dunia”;3. Tette Lenyye: irama musik diredupkan atau pelan, dan penari Bissu berdiri berkeliling di “walasuji”;4. Tette Losa-losa: suara musik semakin dikecilkan, dan penari Bissu terus berkeliling disertai lantunan mantera oleh Puan Matowa;5. Salakanjara (meronta), para Bissu yang menari melakukan atraksi penyiksaan tubuh dengan menancapkan keris di bagian leher atau bagian-bagian tubuh lainnya. Gerakan ini terus meningkat dan panas untuk mempertunjukkan kemampuannya bahwa mereka manusia kebal;6. Kanjara (puncak intrance/ kesurupan): pada sesi ini merupakan puncak atraksi yang menegangkan, seolah para Bissu terutama pimpinan penari (Puang Matowa) meronta dan menunjukkan kehebatannya dengan menancapkan kerisnya sekeras-kerasnya secara bergantian dari tangan, perut dan lehernya. Ada yang berguling, menunduk yang terus berupaya menancapkan benda tajam tersebut ke dalam tubuhnya. Musik pengiring pun makin meningkat iramanya lalu akhirnya berhenti sebagai pertanda pergelaran tari klasik itu telah usai.Musik yang dimainkan dalam kesenian tari Maggiri sebenarnya sederhana dan tidak memerlukan banyak orang untuk memainkannya. Adapun jenis alat musik yang diperlukan dalam kesenian ini meliputi:1. Gong (1 orang);2. Gendang (2 orang);3. Pui-pui seruling (1 orang);4. Lae-Lae/semacam alat musik pukul dari bambu yang disayat-sayat (2 orang), kancing/simbal perunggu (1 orang);5. Kancing/simbal perunggu (1 orang);6. Anak bacing (1 orang); dan7. Mangkok dan piring yang diputar (1 orang).

Irama lagu ditentukan dari suara seruling, sedangkan gendang berfungsi mengatur cepat-lambat atau keras-lembutnya suara musik. Adapun di dalam menari tarian Bissu pada saat upacara ritual Mappalili, dimulai dengan bagian menyanyi yang dipimpin oleh Puang Matowa untuk membangunkan Arajang yang sudah selama satu tahun tersimpan atau tertidur di rumah pusaka, prosesi ini disebut dengan Matteddu Arajang (membangunkan Arajang). Pusaka kerajaan yang berupa bajak sawah, kemudian diarak untuk dimandikan di sungai oleh masyarakat yang dipimpin oleh Puang Matowa, yaitu dengan melakukan upacara pengambilan air dari sungai. Setelah itu Puang Matowa mulai melakukan untuk membajak sawah

Page 6: Bissu Di Tanah Bugis

dengan bajak sawah (pusaka) yang sudah dimandikan. Selesai upacara tersebut pusaka dibungkus kembali dengan kain putih dan dikembalikan pada tempatnya.

Adapun properti-properti atau kelengkapan alat-alat yang dipergunakan, menurut Halilintar seperti yang ditulis dalam bukunya yang berjudul Bissu dan Peralatannya, properti yang dipergunakan dalam menari Bissu mempergunakan:1. Alosu, yaitu seperti tongkat kayu yang pendek, bentuknya seperti kepala burung, yang dianyam dengan indah dengan daun lontar (untuk saat ini dihias dengan kertas warna), dan diberi ekor-ekoran. Ada satu lagi yang dibungkus dengan kain warna merah, dan ekor-ekoran juga disebut dengan Arumpigi;2. Teddung Buburu (payung Buburu), yaitu payung berwarna kuning atau oranye ini biasanya terbuat dari kain sutra dan bergagang dari kayu atau bambu. Pinggiran pada payung dihiasi dengan renda-renda yang indah. Kemudian ada juga yang menggunakan bendera sebagai pelengkap properti yang disebut dengan Bendera Arajang;3. Besi Banrangga adalah seperti sebuah tombak yang diletakkan pada tempatnya berdampingan dengan payung;4. Oiye adalah seperti irisan bambu kecil dan panjang yang dibalut dengan daun lontar (Latief Halilintar A:1981:27-30);5. Lellu adalah seperti tenda berwarna kuning dan hanya bagian atasnya, samping kanan dan kiri tanpa kain, disangga dengan kayu membentuk persegi lima.6. Paccoda adalah perlengkapan untuk menari, yaitu sebuah kotak kayu persegi delapan yang dibungkus kain berwarna kuning (Latief Halilintar A:2004:114).Selain alat-alat yang dipergunakan, sesaji-sesaji juga disiapkan. Metemmu Tang adalah persembahan beberapa bahan sesaji untuk Tuhan yang dianggap telah memberikan kekuatan. Sesaji tersebut di antaranya adalah makanan dari beras ketan (yang diberi warna putih, kuning, merah, dan hitam), telur, kelapa muda, pisang, jagung putih yang disangrai, ayam panggang, opor ayam kering. Semuanya diatur sedemikian rupa untuk disajikan sebagai persembahan dan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu ada juga dupa dengan minyak yang dinyalakan sebagai media untuk berkomunikasi dengan dunia atas dengan dunia bawah yang dilakukan oleh Puang Matowa. Kemudian barulah mereka menari berputar dan akhirnya sampai kepada atraksi Maggiri dengan menggunakan kerisnya, yang dipimpin oleh Puang Matowa. Pergantian gerakan dari satu gerakan kepada gerakan yang lain ditandai oleh suara gendangnya. Atraksi kekebalan terhadap senjata tajam ini dilakukan secara bergantian, kemudian puncak intrance para Bissu secara bersamaan dan sambil menghentakkan kakinya dengan keras ke lantai dengan menusuk-nusuk tubuhnya memakai kerisnya. Pertunjukan ini berlangsung sampai para Bissu berhenti dari intrance masing-masing, kurang lebih setengah jam lamanya. Pada saat upacara ritual pada jaman dahulu para Bissu memakai kostum berwarna kuning dan merah, sedangkan Puang Matowa memakai warna putih. Namun perkembangan jaman sekarang selain sebagai upacara ritual, atraksi Bissu juga sebagai sebuah pertunjukan. Sehingga untuk kostum dan asesoris yang dipergunakan semakin menarik, indah, dan lengkap. Warna kostum yang dipakai pun makin mencolok, walaupun itu untuk pakaian yang dikenakan oleh Puang Matowa, sehingga tidak hanya warna putih saja. Adapun pakaian yang dipergunakan Bissu pada saat menari adalah sebagai berikut:1. Baju Bella Dada atau sosok dan celana;2. Lipa Awik atau sarung;3. Passapu atau destar (ikat kepala) dan kembangnya;4. Pakambang (selendang/selempang);5. Kain Cinde (khas Bone);6. Tali Benang (seperti sabuk pinggang panjang).

Pada jaman dahulu di setiap desa mempunyai komunitas Bissu, namun sekarang tidak lagi karena keberadaannya ditolak dengan alasan agama, khususnya agama Islam. Pada masa pemerintahan Kerajaan Bugis, seluruh pembiayaan upacara dan keperluan hidup komunitas Bissu diperoleh dari hasil sawah miliki kerajaan. Para Bissu juga memperoleh sumbangan dari dermawan yang terdiri dari kaum pedagang, petani, dan bangsawan yang sesekali atau secara rutin memberikan sedekahnya. Selain itu mereka diberi sepetak atau dua petak tanah persawahan dari kerajaan, yang diserahkan pengolahannya kepada Puang Matowa beserta para Bissu lainnya. Sawah pemberian dari raja tersebut digunakan untuk tempat upacara Mappalili. Hasil dari sawah ini digunakan untuk membiayai pelaksanaan upacara-upacara dan kebutuhan hidup komunitas Bissu selama setahun.Adat istiadat yang dijalankan oleh pemerintah Kerajaan Bugis dahulu mengandung makna malebbi dan malemppu, yang berarti kemuliaan dan kejujuran. Oleh karena itu seluruh tata aturannya ditaati dengan ikhlas dan sungguh-sungguh. Moral menjadi sasaran utama aturan, sehingga apa yang menjadi tujuan dan sasaran upacara akan tercapai dengan baik. Ketika aturan-aturan lisan bermuatan moral tersebut digantikan dengan aturan-aturan tertulis yang lebih modern, maka aturan-aturan lisan yang bersifat tradisional dalam masyarakat mulai kehilangan kekuatannya.Keberadaan Bissu di desa Bontomatene, Kecamatan Segeri, Kabupaten Pangkep diperkirakan sudah ada sejak tahun 1825-an. Ketika itu ada seorang putra Kerajaan Bonne yang bernama Pajunglolo Peta Tolawe yang melarikan diri sampai ke Segeri, namun tidak diketahui alasan yang menjadi penyebabnya pelariannya. Secara misterius pusaka Kerajaan Bone, yang disebut Arajang mengikuti pelarian putra raja tersebut. Pusaka arajang ini berupa alat bajak, sehingga sejak saat itu mulai ada upacara Mapalili. Upacara ini untuk mengawali masa tanam padi dengan harapan kelak mendapatkan hasil panen yang memuaskan. Upacara Mapalili merupakan rangkaian upacara yang panjang, yang meliputi:1. Mateddu Arajang (mempersiapkan Arajang);2. Mapalesso Arajang (menurunkan bajak sawah);3. Majori Arajang (mempersiapkan Arajang);4. Maggiri (menampilkan atraksi tarian dengan memperlihatkan kekebalan Bissu terhadap senjata tajam)

Dahulu upacara Mapalili berlangsung selama 9 hari, kemudian dikurangi menjadi 7 hari, dan pada saat ini hanya dilakukan selama 2 hari. Ketika datang ke Segeri, Pajunglolo Peta Tolawe membangun sebuah istana di Baruga. Istana itu kemudian dipindah ke Desa Bontomatene, Kecamatan Segeri. Istana yang dibangun tersebut sering dipergunakan untuk pertemuan para Bissu. Bissu di Kabupaten Pangkep masih aktif dalam melaksanakan kegiatan upacara ritual Mappalili yang diselenggarakan setahun sekali sebagai tanda dimulainya pengerjaan sawah untuk bertanam padi. Bissu juga

Page 7: Bissu Di Tanah Bugis

dikatakan sebagai penasehat raja beserta seluruh keluarganya, sekaligus mengabdi dan menjaga Arajang yang merupakan benda pusaka keramat. Benda pusaka ini dipelihara dalam tempat khusus di ruang istana, yaitu di tempat persembahan.

Fungsi Bissu dalam kehidupan sehari-hari adalah sebagai penghubung antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa atau dewa, melalui upacara ritual. Bissu mengatur semua pelaksanaan upacara tradisional, seperti upacara kehamilan, kelahiran, perkawinan, kematian, pelepasan nazar, persembahan tolak bala, dan lain-lain. Di Bone Bissu mencari nafkah melalui masyarakat yang menggunakan jasa mereka untuk memimpin upacara, misalnya sebagai perias pengantin atau dukun yang disebut Sanro (dukun/tabib). Keberadaan mereka memang sedang terancam punah. Jumlah mereka menurun drastis pada masa pemberontakan DI/TII. Ketika itu gerombolan Kahar Muzakar melalui gerakan DI/TII-nya menganggap mereka kaum penyembah berhala dan menentang ajaran agama Islam. Banyak Sanro (dukun) dan Bissu yang dibunuh atau dipaksa menjadi pria dengan menggunduli rambut mereka dan bekerja layaknya laki-laki. Kemudian tindakan pemusnahan para Bissu dan tradisinya terus berlanjut ketika Orde Baru berkuasa. Bissu dituduh sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka ditangkap dan diharuskan memilih antara mati dibunuh atau memeluk agama Islam serta menjadi lelaki normal. Bahkan beberapa pihak pada masa Orde Baru menyebarkan doktrin menyesatkan. terutama kepada anak-anak, bahwa jika mereka melihat Bissu, maka akan bernasib sial selama 40 hari 40 malam. Doktrin ini membuat mereka kerap dilempari batu, bahkan diusir dari desa. Pada saat ini Bissu yang tersisa adalah generasi terakhir yang mewarisi tradisi Bugis Klasik. Mereka tetap berusaha bertahan meski di tengah kondisi yang tak mendukung. Halilintar Latief, seorang peneliti Bissu, mengatakan bahwa: "Bahkan sekarang saya melihat para waria yang bukan Bissu, dibina oleh Dinas Pariwisata untuk sekadar sebuah pertunjukan wisata".

Harapan baru mulai muncul atas nasib para Bissu Segeri dengan adanya penggalangan dan penyatuan gagasan pelestarian oleh masyarakat dengan membentuk lembaga adat. Sebelumnya keberadaan lembaga adat ini tidak didukung oleh pemerintah kabupaten. Namun setelah terjadi pergantian pucuk pimpinan pemerintahan kabupaten pada tahun 2001, bupati yang baru memberikan dukungan terhadap lembaga adat tersebut. Pendampingan terhadap kehidupan para Bissu yang dilakukan atas kerjasama pemerintah kabupaten dan lembaga adat tersebut, telah membuahkan hasil dengan adanya rumah Arajang, walau masih status pinjaman. Rumah Arajang ini adalah bekas kantor BKKBN Kecamatan Segeri. Bantuan fisik lainnya berupa pembangunan pagar keliling seluas 2 ha, yang saat ini sedang berjalan. Hal ini atas prakarsa Andi Benyamin (Andi Benny) selaku anggota DPRD Kabupaten Pangkep. Rumah adat tempat tinggal Bissu yang berada di desa Bontomatene, Kecamatan Segeri, Kabupaten Pangkep telah lama telah rusak. Oleh karena itu kemudian dibangun rumah adat yang baru dan pusaka-pusaka yang ada dipindahkan ke rumah adat yang baru tersebut, kemudian rumah yang lama dirobohkan. Pembangunan ini rumah adat tersebut dimaksudkan untuk menghimpun para Bissu dan mewadahi kegiatan-kegiatan budaya yang dimilikinya, sehingga pada saatnya kawasan tersebut nantinya dapat berfungsi sebagai lokasi aktualisasi para Bissu dalam berkesenian. Proyek ini tampaknya lebih bernuansa pada pengembangan pariwisata dari pada suatu kesadaran budaya. Keberadaan komunitas Bissu dalam kehidupan bermasyarakat sudah jauh berbeda dengan semasa kaum Bissu hidup di masa kerajaan. Salah satu contohnya: mereka dahulu sebagai orang yang terhormat dan mempunyai jaminan dalam hidup karena diberikan sebidang tanah sawah sebagai sumber kehidupan. Namun kini sumber penghidupan tersebut menjadi hilang karena pemerintah memberlakukan undang-undang agraria. Untuk saat ini tidak ada yang memikirkan kebutuhan hidup sehari-hari para kaum Bissu. Akhirnya mereka terpaksa mencari nafkah di luar tugasnya sebagai Bissu. Kondisi inilah yang menjadikan kaum Bissu tidak sepenting perannya pada jaman dahulu. Saat ini mereka harus menentukan sikap dengan memberi patokan harga untuk biaya penyelenggaraan upacara. Sampai saat inipun belum ada donatur, baik dari masyarakat, pemerintah daerah, maupun pemerintah pusat untuk kaum Bissu tersebut. Akhirnya karena berbagai hal martabat Bissu lambat laun bergeser menurun, baik keberadaannya maupun fungsinya. Penyebabnya, mulai dari dominasi aturan dari agama tertentu yang tidak menghendaki keberadaan Bissu, hilangnya mitos-mitos yang mendukung keberadaan Bissu, dan hilangnya kerajaan-kerajaan tradisional, diganti dengan pemerintahan NKRI. Dahulu pernah ada upaya-upaya untuk menghilangkan keberadaan mereka, antara lain dari DI-TII. Pemberontakan DI/TII pada sekitar tahun 1950-an menggunakan simbol-simbol Islam untuk menghancurkan pusaka dan perlengkapan kerajaan yang dianggap musyrik. Ketika itu banyak Bissu yang dibunuh atau dipaksa untuk menjadi laki-laki sesuai kodratnya. Bissu yang tersisa bersembunyi, tidak berani mempraktikkan aktifitas ritualnya. Bahkan pada peristiwa Pemberontakan PKI pada tahun 1965, kaum Bissu masih dianggap komunis.

Page 8: Bissu Di Tanah Bugis

Ada pula yang disebut organisasi pemuda Anshor yang pernah melakukan gerakan ”tobat”, banyak kaum Bissu yang ditangkap dan dipancung. Sisanya yang selamat takut untuk melakukan upacara lagi. Baru sekarang ini para Bissu yang selamat mengupayakan untuk menghidupkan kembali tradisi yang ada dalam komunitas Bissu. Salah satu upacara yang dilakukan kaum Bissu adalah upacara kering, yaitu upacara komunitas Bissu tanpa musik. Hal ini sebagai akibat dari gencarnya gerakan DI-TII dan pemuda Anshor yang membuat para Bissu takut untuk melakukan upacara secara terbuka. Namun setelah terbentuknya Dinas Kebudayaan di pemerintah propinsi maupun pemerintah kabupaten/kota, kaum Bissu berlindung di balik ”kebudayaan”. Dengan demikian tradisi komunitas Bissu tidak dimasukkan dalam agama, tetapi dimasukkan dalam kebudayaan, sehingga dapat secara terang-terangan untuk melakukan upacara tradisional komunitas Bissu tersebut. Kondisi saat ini cukup memprihatinkan. Komunitas Bissu menjadi semakin sedikit, regenerasi seakan terhenti, sehingga komunitas ini hampir punah. Transformasi pengetahuan kaum Bissu masih belum sepenuhnya dapat diketahui orang awam, karena masih terikat kepercayaan yang sangat kuat. Salah satu tradisi kesenian komunitas Bissu ada pada tarian Maggiri yang merupakan bagian dari rangkaian upacara sebelum tanam padi yang disebut Mappalili. Hal inilah yang menjadi fokus penelitian dan hanya di desa Bontomatene komunitas Bissu yang masih tersisa, yang tegolong sebagai Bissu Dewata dan masih terdapat rumah pusaka tempat menyimpan Arajang. Konon ceritanya Arajang tersebut datang secara gaib di Kecamatan Segeri tersebut, yang akhirnya pusaka tersebut tersimpan dengan aman dan dirawat oleh komunitas Bissu hingga saat ini, pusaka tersbut berupa “bajak sawah”.

Demikian pula dengan aktivitas komunitas Bissu yang masih melakukan ritual sebelum tanam padi dan masyarakat sekitar mendukung saat keramaian tiba. Kepercayaan inipun masih sangat berpengaruh karena masyarakat Segeri masih takut melakukan tanam padi sebelum adanya ritual tanam padi tersebut dilaksanakan karena takut akan gagal panen.Sumber : R.R. Nur Suwarningdyah, Laporan Penelitian Tinggalan Budaya: Bidang Kesenian tahun 2007.Editor : Raniansyah

Apa itu Bissu?

Menurut Farid Makkulau, seorang sejarawan muda asal Pangkep dalam tulisan-tulisannya mengemukakan Bissu merupakan jejak budaya Bugis pra Islam yang masih tersisa hingga kini. Fungsi Bissu pada zaman kerajaan adalah sebagai pendeta agama bugis kuno pra-Islam. Kata “Bissu” itu sendiri berasal dari “bessi”, yang berarti bersih. Waria yang menjadi bissu dianggap suci atau tidak kotor. Disebut demikian karena Bissu tidak berpayudara dan tidak mengalami menstruasi. Selain waria, ada pula “Bissu Perempuan”, yaitu mereka yang menjadi bissu setelah mengalami masa menopause. Panggilan

Page 9: Bissu Di Tanah Bugis

spiritual menjadi bissu yang kemudian mengangkat status sosial dan derajat mereka, paling tidak dalam konteks kekinian mereka “bukan sembarang waria, tetapi waria sakti”.

Sebagai Puang Matoa Bissu kata Farid, Saidi bukan hanya kerap mencuri perhatian ketika melakukan atraksi seni tari maggiri bersama bissu lainnya, tetapi juga bicaranya kadang mengundang decak kagum, termasuk kedua teman wartawan tadi. Teman wartawan ini meskipun tidak mengerti apa yang diucapkan narasumbernya, tetapi setidaknya mereka sadar bahwa apa yang diungkapkan oleh Puang Matoa Bissu tersebut sarat dengan kearifan lokal, pengetahuan budaya yang langka serta filosofi hidup bugis masa lampau yang mengesankan. Dengan merekam ‘petuah sakti’ Saidi tersebut, kedua teman ini saya anggap telah ikut berjasa mendokumentasikan pustaka leluhurnya. Didalamnya banyak kita dengar secara mengesankan petuah bugis dalam bahasa bugis kuno, ‘Basa Ugi Galigo’.

Bissu Saidi dalam tari Maggiri, kini telah wafat (foto-foto Farid Makkulau)

Sebagai seorang Bissu dengan tradisi male transvestite-nya (lelaki yang berperan sebagai perempuan), bagi banyak orang awam biasanya sukar untuk percaya bahwa penampilan laki – laki dengan muka kasar dan berjanggut ini menjadi begitu lebay dan gemulai saat maggiri, mengiringi alunan musik palappasa. Tampak lembut sekaligus mengerikan menyaksikannya menusukkan keris ke lengan, badan, dan lehernya. Yang khas dari Puang Matoa ini adalah ’pamoro-moronya’ (suka marah), dia sama sekali tidak memberi ruang toleransi untuk dibantah oleh bissu lainnya, apalagi jika itu menyangkut kelengkapan upacara adat, seperti mattemmu taung, mappalili, dan lain sebagainya. Di luar itu, Saidi tampaknya seorang laki – laki yang sopan, santun, murah senyum, dan sangat menghargai orang.

Salah satu kelebihan komunitas bissu adalah kenyataan bahwa mereka memiliki bahasa sendiri untuk berkomunikasi dengan para dewata, leluhurnya dan sesamanya. Bahasa itu kadang disebutnya sebagai Basa Ugi Galigo atau Basa torilangi’(Bahasa orang langit). Bahasa inilah yang kadang bercampur dengan bahasa bugis pasaran dalam komunikasi sehari – hari. Memang, keberadaan bissu sebagai benang merah kesinambungan adat dan tradisi bugis kuno yang masih eksis di tanah bugis hingga dewasa ini.

Bissu dalam upacara adat tidaklah berdiri sendiri, melainkan menjadi bagian dari budaya atau tradisi yang berlaku bagi masyarakat pendukungnya. Itulah sebabnya, Bissu kadang juga memosisikan diri sebagai sanro’ atau pinati, perias pengantin, peramal (membaca tanda – tanda kehidupan seseorang yang datang kepadanya), atau sebagai traditional event organizer bagi kegiatan seni budaya pemerintah atau masyarakat yang punya hajatan.

Meski hidup bersahaja dengan kearifan lokal masa lalu, Saidi yang boleh dikatakan ’makhluk langka’ ini telah melanglang buana bersentuhan dengan dunia teater kontemporer arahan Robert Wilson. Sebagai seorang bissu yang bisa membaca La

Page 10: Bissu Di Tanah Bugis

Galigo, Saidi terlibat sebagai pembaca sure’ Galigo dalam pementasan teater Galigo keliling dunia di Belanda, Italia, Amerika, Singapura, Perancis dan negara dunia lainnya. Disetiap pementasan teater tersebut, selalu mendapatkan standing aplaus sebagai bentuk apresiasi luar biasa dari masyarakat seni internasional. Sementara di dalam negeri sendiri, khususnya di kampungnya sendiri, lebih diposisikan sebagai sanro’ jika tidak ada kesibukan atau undangan pertunjukan dari pemerintah setempat.

Perbedaan bissu dengan waria kebanyakan adalah ilmu, bahasa dan kesaktian yang dimilikinya, selain cara berpenampilan dan berpakaian tentunya. Setiap waria yang telah menjadi bissu diyakini memiliki kemampuan untuk melakukan kontak dengan masa lalu dan juga masa ke depan. Menurut Saidi, untuk menjadi bissu harus ada panggilan spiritual dan hal ini tidak bisa direkayasa, apalagi sampai berbohong. Sebagai Puang Matowa, dirinya akan mendapat isyarat akan adanya waria yang akan datang magang ke rumahnya.

Sesama bissu juga mendapat semacam anugerah untuk dapat mengetahui basa torilangi, meski tidak ada yang mengajarkannya kepada mereka. Puang Lolo Bissu, Puang Upe mengaku mendapatkan tuntunan menjadi bissu sejak berusia 13 tahun. Sejak awal dia sudah menyadari kelainan yang dialaminya, dan dia mencoba untuk masuk seutuhnya ke wilayah itu. Makanya Puang Upe datang berguru kepada bissu - bissu senior ketika itu, termasuk diantaranya Puang Matoa Sanro Seke’.

Waria yang akan dilantik menjadi Bissu, kata Saidi, diwajibkan berpuasa (appuasa) selama sepekan hingga empat puluh hari, setelah itu bernazar (mattinja’) untuk menjalani prosesi irebba. Seorang waria baru dikategorikan layak menjadi bissu sepenuhnya berdasarkan penilaian puang matoa atau puang lolo. Namun, sebelum benar-benar diterima sebagai bissu, ia harus menjalani prosesi irebba (dibaringkan) yang dilakukan di loteng bagian depan pada “Bola Arajang” (Rumah Pusaka).

Prosesi irebba ini, kata Saidi, bisa berlangsung biasanya 3 – 7 hari setelah itu dimandikan, dikafani, dan dibaringkan berdasarkan hari yang dinazarkan. Diatasnya digantung sebuah guci berisi air dan selama disemayamkan, calon bissu dianggap dan diperlakukan layaknya orang mati. Pada hari yang dinazarkan, guci dipecahkan hingga airnya menyirami waria yang sedang menjalani prosesi irebba dan setelah melewati upacara sakral itu seorang waria resmi menjadi Bissu. Sejak itu, seorang bissu tampil anggun (malebbi) dan senantiasa berlaku sopan. Seorang bissu diwajibkan untuk menjaga sikap, perilaku dan tutur katanya. (Makkulau, 2008)

Dalam komunitas yang dipimpinnya, ketentuan pengunduran diri seorang Bissu tidak terlalu jelas. Ikatan hanya terjadi pada kesakralan irreba yang merupakan kontrak spiritual mereka dengan para dewa. Kata Saidi, tak sedikit bissu yang melanggar ketentuan dari para dewa kemudian celaka, misalnya, bila mereka melakukan tindakan asusila. Bissu bisa bertahan hingga kini karena punya fungsi sosial yang terekam dalam masyarakat.

Sejak zaman Bugis kuno hingga sekarang ini masih ada sebagian masyarakat Bugis yang percaya Bissu dapat menghubungkannya dengan leluhur dan mengabulkan segala hasrat keinginan atau permohonannya. Akan tetapi tidak ada lagi perhatian dari pemerintah terhadap kelangsungan hidup mereka. Tidak ada lagi galung (sawah) arajang yang menjadi sumber kehidupan sepanjang tahun. Di Segeri, kata Saidi, sawah pusaka itu sudah beralih kepemilikan dan dijadikan tambak oleh mereka yang mengklaimnya sebagai tanah warisan.(***)

BISSU

Bissu atau kamunitas bissu yang ada di Pangkep. Mereka masih memegang teguh tradisi dan peran sebagai pemelihara dan

pelestari nilai-nilai budaya bugis klasik dan digambarkan sebagai manusia setengah dewa yang memiliki kekuatan

Supranatural.Mereka mendayagunakan hubungan dengan dunia roh dan bertindak sebagai media roh yang memasukinya.

Setelah kerasukan barulah mereka dapat melaksanakan upacara ritual, seperti Maggiri sebuah ritual menikam diri sendiri.

Bissu dengan tradisi transvestite-nya( lelaki yang berperan sebagai perempuan) juga dikatakan sebagai pendeta agama Bugis

kuno pra Islam. Mereka memiliki bahasa sendiri untuk berkomunikasi dengan para dewata dan para sesamanya.Keberadaan

Bissu sebagai benang merah kesinambungan adat dan tradisi Bugis kuno yang masih eksis ditanah Bugis hingga dewasa ini.

Selain untuk acara kerajaan, peran bissu juga sangat dominan pada acara mappalili atau turun sawah. Upacara dilakukan

selama tujuh hari tujuh malam dengan membaca mantera yang disebut dengan Mattesu Arajang yakni semacam ritual

memohon restu Dewata dilangit. Menurut para bissu, hanya dengan restu Dewata para petani dan masyarakat dapat

memperoleh hasil tanam yang baik. Oleh karena itu, acara mattedu Arajang dipandang sakral oleh masyarakat tradisional

Bugis. Untuk diketahui bahwa komunitas Bissu pangkep tergolong Bissu Dewatae yang amat dihormati oleh komunitas

bissu lainnya di tanah bugis. Dewasa ini Komunitas Bissu pangkep di pimpin oleh Puang Matoa SAIDI yang berkedudukan

di ‘istana’ ArajangE Segeri Pangkep.

Page 11: Bissu Di Tanah Bugis

Bagi masyarakat Sulawesi Selatan, istilah Bissu merupakan istilah yang tidak asing di telinga mereka. Akan tetapi, apabila istilah Bissu itu di hadapkan pada warga berdarah Jawa, Kalimantan, Sumatra, dan daerah – daerah lain di luar Sulawesi Selatan, pastilah iistilah tersebut merupakan sesuatu yang sangat asing bagi mereka.

Para peneliti antropolog ( persebaran budaya ) di makssar mengambil suatu kesepakatan bahwa di daerh Sulawesi Selatan terdapat lima macam gender. Menurut penelitian anthropolog Australia, Sharyn Graham dalam research reportnya; Sex, Gender and Priests in South Sulawesi, Indonesia, IIASNewsletter#29 November 2002 27 , budaya Bugis mengenal empat jenis gender dan satu para-gender; laki-laki ( oroane ), perempuan ( makunrai ), perempuan yang berpenampilan seperti layaknya laki-laki ( calalai ), laki-laki yang berpenampilan seperti layaknya perempuan ( calabai ) dan para-gender bissu.

Jenis Bissu ini sering disalah artikan oleh sebagian besar masyarakat. Mereka dianggap identik sebagai calabai yaitu seorang laki – laki yang berpenampilan layaknya seorang perempuan walau peran dan kedudukan Bissu ini dalam kebudaan bugis sebenarnya tidak demikian. Ada juga yang mempertautkan keunikan yang dimiliki oleh kaum Bissu ini dengan dengan kepercayaan lokal yang disebut Tolotang, Hal yang mana dibantah secara nyata oleh komunitas Amparita Sidrap yang menjadi representasi penganut Tolotang dalam suku Bugis.

Keunikan lain dari para Bissu itu sendiri bisa dilihat pada setiap musim tanam, kelompok Bissu selalu jadi penentu yang lebih baik, dibanding para pakar pertanian. Ritual ini di namakan mappasili atau ritual mencuci benda bersejerah Bissu. Kemudian dilanjutkan dengan warga untuk turun ke sawah. Seolah menjadi kepercayaan warga, mereka tidak boleh turun ke sawah sebelum para bissu ini menggelar ritual mappasili. Juga pada saat menangani orang yang sakit. Bissu berperan menjadi sandro (pengobat). Kita juga mengenal, mereka itu adalah orang yang kebal dan tak mempan dengan tusukan keris atau benda tajam lainnya.

Ditambahkan peneliti lainnya, Nasruddin, Bissu atau calabai (Bugis : banci) dimaknai masyarakat Bugis-Makassar, sebagai sebuah kesenian. Ada dikenal upacara "Mappalili". Peristiwa itu adalah upacara sebelum memulai menanam padi. Puncak dari upacara disebut disebut "Ma'giri" atau menusuk tubuh dengan keris.

Bagi orang asing yang ingin melihat dan ingin mengabadikan momen upacara adat itu, maka mereka di wajibkan untuk meminta izin terlebih dahulu. Namun meminta izin tersebut bukan ditujukan untuk orang atau atasan di tempat itu. Namun, meminta izin itu harus di pandu oleh ketua / pemimpin Bissu. Orang yang ingin meminta izin itu harus masuk ke dalam suatu ruangan dengan didampingi oleh Puang Matoa atau pimpinan Bissu. Di dalam ruangan berukuran satu kali empat meter itu, hanya terlihat kain berwarna merah yang membalut dinding ruangan tersebut. Di dalam ruangan terlihat asap dari dupa – dupa yang terbakar. Setelah Puang Matoa membaca mantra – mantra maka selesailah prosesi permintaan izin untuk mengabadikan

Bissu sendiri memahami, pembawaan mereka yang terkesan " sakti " itu, adalah keajaiban yang diturunkan dewata. Makanya, mereka harus suci dan tidak kawin. Semua mereka adalah kaum waria, dalam artian mereka itu harus menjaga kesuciannya. Dalam kitab La Galigo, Bissu dianggap sebagai manusia suci atau keturunan para Dewa. Dalam struktur kerajaan di Sulawesi Selatan, Bissu adalah penasihat spiritual dan rohani para raja. Begitu pentingnya figur Bissu bagi masyarakat ini, sehingga dalam upacara ritual yang mereka laksanakan Bissu dijadikan sebagai pemimpinnya. Diantara bentuk upacara yang kini masih tersisa adalah Mapeca Sure dan Masongka Bala, yakni upacara memohon keselamatan bagi seluruh warga masyarakat dan para pemimpin kerajaan. Ritual Massongka Bala adalah ritual yang sudah lama sekali. Sejak adanya manusia, sejak itu pula Massongka Bala diadakan dan yang memimpin acara Massongka Bala itu adalah golongan Bissu. Dalam sejarahnya, Bissu menentukan waktu upacara yang dilihami wahyu dari Tuhan yang disebut istilah eppa sulapa ipasabbi pole yawa pole yase. Disini Bissu menjadi perantara antara manusia dengan Tuhan.

Asal Usul Kehadiran Bissu

Tidak ada yang bisa menjelaskan secara akurat tentang asal usul kehadiran Bissu di Sulawesi Selatan. Kita hanya dapat meramalkannya dari legenda – legenda masyarakat. Menurut seorang Bissu Saidi Puang Matoa Karaeng Sigeri, kedatangan Bissu dapat di ketahui dari kitab Sure’ La Galigo. Di dalam kitab ini dikatakan bahwa keberadaan Bissu dalam sejarah manusia Bugis dianggap sezaman dengan kelahiran suku Bugis itu sendiri.

Ketika Batara Guru sebagai cikal bakal manusia Bugis dalam sure’La Galigo, turun ke bumi dari dunia atas ( botinglangik) dan bertemu dengan permaisurinya We Nyili Timo yang berasal dari dunia bawah (borikliung), bersamaan dengan itu turun pula seorang Bissu pertama bernama Lae-lae sebagai penyempurna kehadiran leluhur orang Bugis tersebut.

Keberadaan Bissu dalam sejarah manusia Bugis dianggap sezaman dengan kelahiran suku Bugis itu sendiri. Ketika Batara Guru sebagai cikal bakal manusia Bugis dalam sure’La Galigo, turun ke bumi dari dunia atas ( botinglangik) dan bertemu dengan permaisurinya We Nyili Timo yang berasal dari dunia bawah (borikliung), bersamaan dengan itu turun pula seorang Bissu pertama bernama Lae-lae sebagai penyempurna kehadiran leluhur orang Bugis tersebut.Melalui perantara bissu inilah, para manusia biasa dapat berkomunikasi dengan para dewata yang bersemayam di khayangan.

Bissu adalah pendeta agama Bugis kuno pra-Islam. Bissu dianggap menampung dua elemen gender manusia, yaitu laki - laki dan perempuan ( hermaphroditic beings who embody female and male elements). Selain itu Bissu juga mampu mengalami dua alam; alam makhluk dan alam roh (Spirit). Alam makhluk yaitu keberadaan Bissu yang ada di dunia nyata. Sedangkan

Page 12: Bissu Di Tanah Bugis

alam roh ( Spirit ) yaitu keberadaan Bissu yang bisa berkomunikasi dengan para dewa. Ini dilakukan oleh para Bissu hanya pada saat ritual – ritual dilakukan.

Ketua para Bissu adalah seorang yang bergelar Puang Matowa atau Puang Towa. Secara biologis, sekarang, bissu kebanyakan diperankan oleh laki-laki yang memiliki sifat-sifat perempuan (wadam) walau ada juga yang asli perempuan, yang biasanya berasal dari kalangan bangsawan tingkat tinggi, walau tidak mudah membedakan mana bissu yang laki-laki dan mana bissu yang perempuan. Dalam kesehariannya, bissu berpenampilan layaknya perempuan dengan pakaian dan tata rias feminim, namun juga tetap membawa atribut maskulin, dengan membawa badik misalnya.

Dalam pengertian bahasa, bissu berasal dari kata bugis; bessi, yang bermakna bersih. Mereka disebut Bissu karena tidak berdarah, suci (tidak kotor), dan tidak haid. Ada juga yang menyatakan bahwa kata Bissu berasal dari kata Bhiksu atau Pendeta Buddha, sebagaimana diungkapkan oleh C Pelras dalam Manusia Bugis, hal 68, sebagai salah satu bentuk pengaruh bahasa Sansekerta dalam bahasa Bugis. “ Tentang agama Buddha sendiri, beberapa sanak-saudara saya yang tinggal di Sengkang mengaku masih menganut agama Buddha ini, yang dikatakan sebagai agama mula-mula orang Bugis. Mereka masih melakukan ritual keagamaan tersendiri, walau saya belum melakukan perbandingan dengan ritual agama Buddha yang dilakukan oleh umumnya masyarakat Buddha di Indonesia“ . Juga ada bukti sejarah yang memperkuat fenomena ini, misalnya penemuan Arca Buddha bercorak Amarawati di Sempaga di pantai Sulawesi Selatan yang berasal dari abad II Masehi. Ditengarai bahwa para pendeta Buddha, Biksu ini ‘menumpang’ kapal-kapal dagang India menuju perairan Nusantara.

Dalam struktur budaya bugis, peran Bissu tergolong istimewa karena dalam kehidupan sehari-hari dianggap sebagai satu-satunya operator komunikasi antara manusia dan dewa melalui upacara ritual tradisionalnya dengan menggunakan bahasa dewa/langit ( basa Torilangi), karenanya Bissu juga berperan sebagai penjaga tradisi tutur lisan sastra Bugis Kuno sure’ La Galigo. Apabila sure’ ini hendak dibacakan, maka sebelum dikeluarkan dari tempat penyimpanannya, orang menabuh gendang dengan irama tertentu dan membakar kemenyan. Setelah tabuhan gendang berhenti, tampillah Bissu mengucapkan pujaan dan meminta ampunan kepada dewa-dewa yang namanya akan disebut dalam pembacaan sure’ itu. Bissu juga berperan mengatur semua pelaksanaan upacara tradisional, seperti upacara kehamilan, kelahiran, perkawinan ( indo’ botting), kematian, pelepasan nazar, persembahan, tolak bala, dan lain-lain.

Prosesi Ajarang.

Di dalam ruangan sempit tempat penyimpanan benda – benda bersejarah, diadakan ritual dengan diawali pembacaan sejumlah mantra dari pimpinan bissu. Lalu bergumpalah asap berwarna putih mengitari ruangan tersebut. Dua buah parang lalu diberikan oleh salah seorang bissu kepada pimpinannnya. Suara yang melengking keluar. Selain suaranya yang sangat melengking itu, Bissu itu juga penggunaan bahasa bugis yang artinya juga kurang bisa di mengerti.kemungkinan bahasa yang diucapkan oleh Bissu itu adalah bahasa bugis kuno. Sambil teerdengar suara iringan musik gendak, kecapi dan seruling dari sejumlah pemangku adat. Sementara bissu lainnya yang terlibat dalam ritual ini bertugas memukul-mukul sejumlah peralatan yang bisa mengeluarkan bunyi. Tapi anehnya, suara tersebut mengikuti irama mantra-mantra yang diucapkan pimpinan bissu.

Usai membuka ritual ini, para bissu kemudian masuk ke dalam ruangan dan seolah-olah bertapa. Di dalam ruangan itu terdapat sebuah benda yang tergantung di langit – langit ruangan itu. Di dalam ruangan itu, pimpinan Bissu mengambil posisi duduk paling depan. Posisinya duduk bertungku satu kaki. Sementara tangan kirinya memegang sebuah parang. Kalimat-kalimat atau bahasa yang yang tidak jelas artinya di ucapkan kembali oleh Bissu itu. Lalu diikuti suara bissu lainnya. Suaranya pun, diawali suara kecil dan lama ke lamaan besar lalu mengeluarkan suara lengkingan. Kegiatan tersebut oleh kalangan Bissu dikatakan sebagai salah satu ritual meminta izin kepada leluhur agar benda yang dianggap bersejarah itu dapat diturunkan. Katanya, pamali jika tidak dilakukan ritual seperti ini. Dan akhirnya, benda yang terbungkus kain putih dan tergantung di langit – langit ruangan itu pun lalu diturunkan.

Tujuh pemangku adat bersama sejumlah bissu terlihat sangat sibuk membopong benda yang dibungkus kain putih tersebut. Panjangnya sekitar tiga meter. Tak lama kemudian kain putih pun disibakan. Lalu terlihatlah oleh sebuah kayu tua yang cukup besar. Ternyata benda yang dibopong keluar itu adalah bajak sawah. Bajak yang dipakai oleh orang – orang saat akan turun ke sawah. Orang bugis mengistilahkan Tekko". Benda ini katanya sudah berumur ratusan tahun atau sekitar tahun 1770an silam. Dan setiap tahun selalu diadakan ritual pencucian benda bersejarah ini. Setelah kain dilepas, satu persatu para bissu memandikan alat pembajak sawah ini atau orang bissu mengatakan Arajang. Puncak acara ini adalah mengarak keliling arajang ke kampung-kampung. Itulah mengapa disebut ritual mappasili atau sebagai tanda petani sudah harus mulai turun ke sawahnya untuk membajak sawah. Pantas saja, saat setelah alat bajak yang terbuat dari kayu ini dimandikan-lalu dibungku daun pisang dan dikelilingi tumpukan padi yang dalam berbagai ikatan. Orang Bugis menyebutnya balesse.

Sakti?Dari surek La Galigo sendiri sebagai referensi utama sejarah purba suku Bugis, membuktikan bahwa justru kehadiran Bissu dianggap sebagai pengiring lestarinya tradisi keilahian/religiusitas nenek moyang. Di masa lalu berdasarkan sastra klasik Bugis epos La Galigo, sejak zaman Sawerigading, peran Bissu sangat sentral, bahkan dikatakan sebagai mahluk suci yang memberi stimulus ‘perahu cinta’ bagi Sawerigading dalam upayanya mencari pasangan jiwanya; We Cudai. Di tengah kegundahan Sawerigading yang walau sakti mandraguna tapi tak mampu menebang satu pohon pun untuk membuat kapal raksasa Wellerrengge, Bissu We Sawwammegga tampil dengan kekuatan sucinya yang diperoleh karena ambivalensinya; lelaki sekaligus perempuan, manusia sekaligus Dewa (Sharyn Graham, 2002).

Page 13: Bissu Di Tanah Bugis

Kisah kesaktian Bissu ini dapat juga kita temukan dalam kisah Arung Palakka ketika pada tahun 1667 melakukan penyerbuan bersama tentara Soppeng terhadap Lamatti, sebuah distrik di Bone Selatan, sebanyak seratus Bissu Lamatti tampil dengan senjata walida (pemukul tenun) sambil mendendangkan memmang (nyanyian). Anehnya, tak satupun senjata prajurit Bone dan Soppeng yang mampu melukai para bissu sakti tersebut (LY Andaya, 2006, hal 106).Dalam ritual yang masih bisa ditemui sampai sekarang, tradisi maggiri’ merupakan salah satu pameran kesaktian Bissu. Tradisi menusuk diri dengan badik ini dimaksudkan untuk menguji apakah roh leluhur/dewata yang sakti sudah merasuk ke dalam diri bissu dalam sebuah upacara, sehingga apabila sang Bissu kebal dari tusukan badik itu, ia dan roh yang merasukinya dipercaya dapat memberikan berkat kepada yang meminta nya. Namun, apabila badik tersebut menembus dan melukai sang Bissu, maka yang merasukinya adalah roh lemah atau bahkan tidak ada roh leluhur sama sekali yang menghinggapi (Sharyn Graham).

Menjadi Bissu

Menjadi Bissu dipercaya merupakan anugerah dari dewata. Tidak semua orang, bahkan jenis calabai, bisa menjadi bissu atas kehendak sendiri. Walaupun sebahagian besar Bissu pada mulanya memiliki kecenderungan sebagai calabai. Seperti halnya yang dialami oleh Muharrom menjadi bagian dari Komunitas Bissu Dewata sejak Maret 2003, setelah ia bermimpi bertemu dengan seorang kakek yang memintanya menjadi bissu. Ia yakin, itu bukan mimpi biasa. Tapi, merupakan petunjuk dari Dewata, yang akan merubah perjalanan hidupnya. Metamorfosis menjadi seorang Bissu biasanya dimulai sejak kanak-kanak, ketika seorang anak mengidap ambiguitas orientasi seksual dan di saat yang sama menampakkan ‘keterkaitan’ dengan dunia gaib. Anak-anak dengan keunikan ganda ini kemudian akan dipersiapkan menjadi bissu. Untuk menjadi bissu diperlukan banyak persyaratan untuk membuktikan bahwa dia menerima ‘berkat ‘itu diantaranya berbaring dalam sebuah rakit bambu di tengah danau selama tiga hari tiga malam tanpa makan, minum dan bergerak. Jika berhasil, maka dia kemudian akan ditahbiskan menjadi Bissu sejati (Sharyn Graham).

Puang matowa atau pemimpin Komunitas Bissu Dewata di kawasan Segeri, begitu bersemangat untuk mendidik calon – calon Bissu baru. Dalam berbagai kesempatan, mereka diajarkan mengenal bahasa Dewa (basa bissu atau basa to ri langiq) dan juga bahasa La Galigo, yang biasa dipakai dalam setiap upacara adat. Bahasa Bissu (basa to ri langiq) adalah bahasa yang digunakan para Bissu untuk berdialog dengan dewa. Mereka sangat merahasiakan bahasa ini. Puang Matoa hanya bisa menggambarkan bahwa bahasa Bissu berisi puji - pujian terhadap Dewa dan permohonan untuk mendapatkan berkah.

Selain mempelajari berbagai masalah kependetaan dan adat, Hasna juga mendapat ilmu lain dari Puang Matowa, yakni menjadi indo botting ( ibu dari mempelai dalam sebuah pesta pernikahan ). Ia bertugas menangani tata rias pengantin, dekorasi pelaminan, hingga makanan para tamu. Bahkan, ia pun kerap memimpin ritual adat.

Selain itu, menangani pesta pernikahan memang merupakan satu-satu lahan nafkah bagi para Bissu. Mereka memang dikenal trampil merias pengantin, menata kostum kedua mempelai, juga menata tempat pelaminannya. Kemampuan supranuturalnya pun diyakini bisa membuat kedua mempelai bersinar, saat mereka berada di kursi pelaminannnya. Hasna mengaku, ia pun memiliki kemampuan seperti itu.

Ancaman Kepada Bissu

Dalam sejarah panjang perjalanan bangsa Indonesia agama lokal atau kepercayaan asli masyarakat setempat, budaya dan masyarakat adat yang telah berakar sejak ribuan tahun yang lalu berkali-kali mengalami ancaman terkait dengan eksistensi kebendaannya baik dalam pelaksanaan ritual budayanya maupun dalam hal perampasan hak-hak ulayatnyaSecara garis besar ancaman-ancaman yang menimpa komuniatas adat dimulai pada saat masuknya agama-agama luar seperti agama islam yang dibawa para pedagang-pedagang Gujarat, Persia dan lain-lain maupun agama Kristen yang dibawa oleh Misionaris-misionaris.Ancaman lain adalah adanya kecenderungan negara untuk tidak mengakui bahwa menghilangkan budaya-budaya atau aliran-aliran kepercayaan lokal yang dapat dilihat dengan diakuinya 6 agama-agama yang notabene bukan berasal dari masyarakat Indonesia.Hal lain yang menjadi anacaman serius bagi keberadaan masyarakat adat adalah kepentingan global yang didorong oleh korporasi-korporasi raksasa melalui sebuah skenario liberalisasi untuk menguasai sumberdaya alam Indonesia yang mana sangat meminggirkan hak ulayat masyarakat adat yang notabene adalah adalah pemilik sah sumber daya alam tersebut jauh sebelum Indonesia dicetuskan pada tanggal 17-08-1945.

Demikian halnya yang dialami oleh komunitas Bissu yang berada di Kabupaten Bone, Kabupaten Wajo, Kabupaten Sopeng dan Kabupaten Pangkep. Ditengah terpaan ancaman-ancaman yang ada di komunitas ini berusaha kuat untuk tetap eksis di bawah kepemimpianan Puang Matoa Bissu untuk tetap mempertahankan dan menjalankan kemurnian ajaran Ilagaligo sebuah kepercayaan yang diwariskan secara turun temururn yang tertuang dalam sebuah kitab “Sure” ILLAGALIGO yang sejarahnya ILAGALIGO merupakan anak dari Sawe Rigading yang merupakan Raja Luwu dengan istri bernama I We Cudai, sementara Raja Sawerigading sendiri merupakan putra dari hasil perkawinan Batara Guru yang merupakan putra dari Patoto ‘E Ri Boting Langi (pemimpin dunia atas atau kahyangan) dengan WENYILOTIMO yang merupakan putri dari Guru Salle (pemimpin dunia bawah/ bumi pertiwi).

Komunitas bissu yang sejak keberadaannya semapai sekarang berjumlah 40 orang yang dipimpin Puang Matoa Bissu SAidi melaksanakan fungsinya selain fungsi yang disebutkan diatas juga berfungsi/ bertugas untuk menyiapkan alat-alat upacara

Page 14: Bissu Di Tanah Bugis

seperti upacara “Bau Ade Si Wewang Lino” , upacara Laowawang Lino”. Menentukan hati baik dan buruk dan menyemangati Sao Den Ra Kati disamping berbgaimacam tugas-tugas lain seperti tertuang dalam kitab ILLAGALIGO.

Mencermati kondisi masyarakat adat di tengah ancaman yang tersebut diatas yang mana telah berdampak pada penghilangan jati diri bangsa bahakan pembunuhan komunitas adat. Langkah konsolidasi dan penguatan masyarakat adat termasuk Komunitas Bissu menjadi agenda utama yng harus secepatnya dan terus menerus/ berkesinambungan untuk dilakukan menuju masyarakat adat yang berdaulat. Yang lainadalah untuk mengakui sepenuhnya keberdaan masyarakat.

Konflik dengan Islam?

Namun di saat yang bersamaan, karena proses konstruksi politik dan agama, Bissu dianggap sebagai satu celah yang tercela dalam masyarakat Bugis modern yang Islami karena dianggap menentang sunnatullah yang hanya mengenal jenis gender laki-laki dan perempuan, selain peran sinkretisme yang dibawanya. Bahkan salah satu doktrin yang memojokkan status mereka adalah adanya pemeo bahwa bila menyentuh Bissu atau calabai maka konon akan membawa sial selama 40 hari – 40 malam. Ironis! Menjadi bissu tidak lagi dianggap dapat menaikkan derajat sosial sebagaimana yang berlaku di masa lampau, malah mendatangkan petaka keterasingan dalam masyarakat (agamis) Bugis modern.

Dalam beberapa diskursus, eksistensi Bissu cenderung fenomenal mengingat keberadaannya yang kontroversial dalam masyarakat Bugis modern yang Islami. Karena keberadaannya yang ambivalen, bissu dianggap tidak menerima sunnatullah, karena secara fisik mereka adalah laki-laki tapi berpenampilan seperti perempuan ( tranvestities). Bissu juga dianggap menyimpang dari agama karena kecenderungannya menganggap arajang dan mustika arajang memiliki kekuatan gaib dari leluhur (dinamisme). Padahal, menurut para bissu itu, mereka justru melakukan pemujaan terhadap Tuhan walau dengan tata cara ritual yang mereka yakini. Dan juga, mereka tidak menolak sunnatullah, melainkan menerima dan menjalankan sunnatullah.

Di tahun 1950-an saat pecah pemberontakan DI/TII Kahar Muzakar, Bissu merupakan salah satu pihak yang paling menderita. Kahar Muzakkar menganggap kegiatan para Bissu ini adalah menyembah berhala, tidak sesuai dengan ajaran Islam dan membangkitkan feodalisme. Karena itu kegiatan, alat-alat upacara, serta para pelakunya diberantas. Ratusan perlengkapan upacara dibakar atau di tenggelamkan ke laut. Banyak sanro (dukun) dan Bissu di bunuh atau dipaksa menjadi pria yang harus bekerja keras.

Penderitaan para Sanro dan Bissu masih berlanjut ketika Orde Lama (Orla) ditumbangkan oleh rejim Orde Baru (Orba) pada tahun 1965. Keributan yang menyoroti arajang dan pelaksanaan upacara mappalili terjadi di Segeri. Arajang hampir diganyang oleh salah satu ormas pemuda yang berkuasa ketika itu. Para Bissu dan mereka yang percaya akan kesaktian arajang menjadi tertuduh penganut komunis atau anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka dianggap tidak beragama, melakukan perbuatan siriq, dianggap menganut ajaran anisme. Barang siapa masih menganggap arajang sebagai benda kramat berarti menduakan Tuhan. Di antara mereka yang tertangkap harus memilih antara mati di bunuh atau memilih masuk agama Islam serta menjadi manusia normal (pria).

Muncul doktrin dalam masyarakat, bahwa bila melihat Bissu atau Wandu maka konon mereka yang melihatnya akan sial tidak mendapatkan rejeki selama 40 hari – 40 malam.Demikian pula seluruh amal baik yang diperbuatnya selama 40 hari tersebut tidak diterima pahalanya oleh Tuhan YME. Karena itu, jika melihat Bissu atau Wandu maka dia harus diusir jauh-jauh. Banyak di antara sanro dan Bissu yang sebelumnya sangat dihormati oleh masyarakat, kini menjadi sasaran lemparan dan olok-olokan bocah di jalanan. Gerakan pemurnian ajaran Islam tersebut mereka sebut “Operasi Toba” (Operasi Taubat) yang gencar-gencarnya terjadi pada tahun 1966. Sejak itu, upacara Mappalili mengalami kemunduran, upacara-upacara Bissu tidak lagi diselenggarakan secara besar-besaran. Para Bissu bersembunyi dari ancaman maut yang memburunya. Masyarakat tidak lagi peduli akan nasib mereka, karena sebagian dari mereka memang mendukung gerakan “Operasi Toba” tersebut. Sebagian masyarakat yang bersimpati kepada para Bissu, hanya tinggal diam tanpa bisa berbuat apa-apa. Namun ketika masyarakat menuai padinya, ternyata hasilnya memang kurang memuaskan sehingga beberapa masyarakat beranggapan hal tersebut terjadi karena tidak melakukan upacara Mappalili .

Dengan kesadaran itulah beberapa di antara mereka menyembunyikan Bissu yang tersisa agar tidak di bunuh dan agar upacara mappalili dapat dilaksanakan lagi. Bissu-bissu yang selamat itulah yang masih ada sekarang ini. Kini jumlah mereka yang tersisa di seluruh wilayah adat Sulawesi Selatan tidak lebih dari empatpuluh orang saja. Padahal untuk melakukan sebuah upacara Mappalili yang besar, jumlah Bissu minimal harus berjumlah empatpuluh orang (Bissu PattappuloE) dalam sebuah wilayah adat.

Di antaranya sudah ada yang telah menunaikan ibadah haji ke Mekkah, bahkan dalam lagu bissu-nya yang didapati di dalam naskah tua, sudah ada yang mencantumkan nama Allah, malaikat, dan nabi. Pada umumnya bissu asli di Sulawesi Selatan yang jumlahnya saat ini diduga tinggal empat puluh-an itu secara statistik kependudukan menganut agama Islam.

Kepercayaan Bissu

Komunitas Bissu di Pangkep tetap eksis dengan segala aktivitas yang menjadi ciri khasnya. Keberadaan mereka bahkan menjadi salah satu warna tersendiri di Pangkep yang belakangan selalu mengisi salah satu keberagaman kebudayaan Pangkep dengan pertunjukan seni Tari Maggiri. Tapi, apa sebetulnya agama dan kepercayaan yang dianut komunitas ini?

Page 15: Bissu Di Tanah Bugis

Hal itu menjadi sororan masyarakat Pangkep saat ini.

Komunitas Bissu percaya terhadap Dewata Seuwae (kepercayaan turiolo Bugis Makassar Pra Islam). Hal itu kemudian menuai sorotan berbagai pihak mengenai kepercayaan yang dianut komunitas ini. Anggota DPRD Pangkep dari PKS, M Yusuf Halid, mengungkapkan, bagaimanapun kepercayaan yang dianut oleh Bissu itu menyimpang dari aqidah Islam yang murni. Meski demikian, Pemerintah Kabupaten harus bertindak arif menanganinya.Menurut Drs Ahmad, Kasubdin Promosi Wisata Disbudpar Pangkep, saat ini masyarakat Bugis Makassar pada umumnya menganut Agama Islam. Namun demikian, upacara-upacara pemujaan kepada dewata dan leluhur yang tentu saja di luar ajaran Islam masih diapresiasi baik oleh masyarakat yang menggantungkan hidupnya terutama sebagai petani dan nelayan.Upacara-upacara ritual yang kini lebih mengarah kepada tradisi dan kebudayaan ini merupakan kelanjutan dari kepercayaan Bugis Kuno yang masih tersisa. Dengan kekuatan yang dipercaya sebagai kekuatan supranatural, 'Bissu Dewatae'---sebutan bagi komunitas Bissu di Pangkep dahulu merupakan penasehat kerajaan yang sangat dihormati dan disegani.

'Bissu Dewatae' digambarkan sebagai manusia setengah dewa dan dianggap sebagai media untuk berkomunikasi dengan dunia spiritual. Komunitas Bissu Dewatae hidup dalam suatu aturan serta disiplin tinggi yang tampaknya sulit untuk dijalankan oleh mereka yang tidak mampu melihat gaya hidup semacam ini sebagai suatu panggilan suci.

Seorang calon bissu akan membutuhkan pendidikan serta pelatihan yang tidak mudah selama bertahun-tahun untuk dapat menjadi bagian dari komunitas ini. Selain mempelajari etika kebissuan, yakni sebuah bahasa artifisial yang mereka gunakan dalam mantera dan saat berkomunitas dengan para dewata.

Saat melakukan upacara ritual, Bissu Dewatae berada dalam keadaan kerasukan dan saat itu tubuh mereka menjadi kebal terhadap segala bentuk benda tajam. Kehebatan mereka dapat disaksikan saat mereka melakukan Tarian Maggiri, sebuah tarian ritual dimana mereka menusuk diri mereka dengan benda-benda tajam tanpa terluka.

Wisatawan dapat menyaksikan atraksi-atraksi mereka pada saat Mappalili, yaitu upacaraturun sawah yang biasanya dilaksanakan pada bulan November. Upacara ini merupakan upacara tahunan yang paling spektakuler di Pangkep yang berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Puang Matowa Bissu di Pangkep, Saidi, kepada Upeks mengurai, kata 'Bissu' berasal dari kata 'Bessi' atau 'Mabessi' yang artinya bersih atau suci.

Hal ini mengacu kepada kondisi jasmani seorang bissu yang tidak berpayudara dan tidak mengalami menstruasi. Umumnya kalangan bissu awalnya adalah wadam (wanita adam), calabai atau kawe-kawe. Kata Calabai akronim dari sala bai atau sala baine karena mereka adalah waria, setengah lelaki dan setengah perempuan sifatnya. Mereka adalah komunitas pria feminim. Namun ada pula Bissu perempuan, yaitu mereka yang menjadi bissu setelah mengalami masa menopause (tidak subur). Satu-satunya Bissu perempuan di Sulsel sekarang bernama Mak Temmi (Puang Temmi) tinggal di Kanaungan-Labakkang, Pangkep.

Sementara itu, dalam Makkulau (Disbudpar, 2007), pemerhati budaya di Pangkep ini menganggap, tidak ada sesuatu yang mengkhawatirkan dalam ajaran dan kepercayaan yang dianut oleh Bissu. "Meskipun mereka menganut kepercayaan tu-riolo terhadap Dewata Seuwae' namun ajaran dan kepercayaan mereka hanya untuk komunitasnya, tidak mereka sebarkan atau dakwahkan sebagai dakwah islamiyah. Komunitas ini hanya komunitas kecil, jumlahnya hanya sekitar 20 orang di Pangkep, dan untung ada penambahan bissu dalam 5 tahun," jelasnya. Dia mengungkapkan, untuk menjadi seorang bissu seseorang itu harus memenuhi syarat: faktor keturunan (ada neneknya yang pernah menjadi bissu), waria (calabai), ada panggilan spiritual (biasanya lewat mimpi) terhadapnya, dan menjalani masa magang. Syarat tersebut harus lengkap, tidak boleh hanya ada salah satunya. Meskipun ada juga Bissu perempuan—mereka yang menjadi Bissu setelah tidak subur lagi (menopause)—namun itu tidak dominan, sudah langka. Bissu umumnya berangkat dari status waria yang mendapatkan semacam ‘panggilan spiritual’ untuk menjalani takdirnya sebagai Bissu. Pemimpin Bissu digelari ‘Puang Matoa’, sedang wakilnya disebut ‘Puang Lolo’. Kalau melihat sepintas Bissu, mungkin kita akan tertipu karena mereka rata - rata berwajah keras dan berjanggut, padahal intinya mereka gemulai.Yang membedakan Bissu dengan waria pada umumnya dapat kita saksikan saat mereka melakukan seni tari maggiri. Para Bissu itu menusukkan keris ke beberapa anggota anggota tubuhnya seperti tangan, pinggang, perut, atau leher, sambil menari diiringi musik palappasa. Mereka tidak menpan senjata tajam. Mereka adalah waria sakti dari peradaban bugis masa lampau. Pada masa keemasan kerajaan di Tanah Bugis, tidak satupun upacara atau sidang yang lengkap tanpa keterlibatan mereka. Bissu adalah pemelihara benda pusaka kebesaran kerajaan dan keagamaan pada masa itu.Sebenarnya Bissu itu apa sich ? Pertanyaan pertama Mbak Meisya kepadaku saat Talk Show. Spontan saya jawab bahwa Bissu itu mirip - mirip dengan Biksu, soal peran. Kalo Biksu adalah pendeta Hindu sedang Bissu adalah Pendeta Bugis pada masa pra Islam. Sebelum Islam datang ke Sulawesi Selatan, masyarakat Bugis Makassar itu sudah mengenal suatu kepercayaan animisme yang disebut Kepercayaan terhadap Dewata SeuwaE. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa Bissu itu ‘pendeta’ masa lampau yang hidup di masa kini.Dalam Sureq Galigo, komunitas bissu yang merupakan wanita adam (wadam) banyak disebut-sebut, termasuk perannya dalam kerajaan maupun dalam masyarakat adat. Bissu juga menjadi penghubung manusia dan Sang Pencipta, sekaligus menjadi penghubung masa lalu dan masa akan datang. Di kekinian, bissu boleh dikata menjadi benteng terakhir yang melindungi peradaban atau tradisi Bugis kuno.

Di antara bissu yang tenaganya banyak digunakan untuk keperluan ritual itu adalah Zaidi Puang Matoa. Dialah sesepuh atau pimpinan bissu yang tinggal di komunitasnya di Segeri, Kabupaten Pangkep.

Page 16: Bissu Di Tanah Bugis

Sebut saja upacara pernikahan putri Gubernur Sulsel M Amin Syam beberapa waktu lalu yang disebut-sebut salah satu prosesi pernikahan adat lengkap. Tak hanya putri gubernur, pernikahan putra-putri pembesar lainnya, termasuk keturunan raja, di sejumlah kabupaten/kota di Sulsel juga melibatkan Zaidi. Selain itu, di acara adat lain seperti syukuran, bernazar, naik rumah, memulai tanam padi, menebar benih ikan di tambak, Zaidi juga terlibat.

Tak jarang Zaidi juga terbang ke Jakarta dan kota-kota lain, setiap ada panggilan, terutama dari orang-orang Bugis yang berdiam di luar Sulsel, untuk urusan serupa. Selain yang terkait soal adat, Zaidi juga punya kelebihan mengobati orang dan melihat masa depan atau kejadian-kejadian penting yang akan terjadi.

Karena ke-bissu-an dan pengetahuannya itu, termasuk pemahamannya akan bahasa torilangi (bahasa dewata) yang banyak terdapat dalam naskah I La Galigo, sejak tahun 2003-2005, Zaidi menjadi satu-satunya bissu yang terlibat dalam pementasan teater keliling dunia, yang mengangkat cerita dari naskah kuno Sureq Galigo. Pementasan yang disutradarai Robert Wilson, salah satu sutradara teater terbaik di dunia, dibawa berkeliling di antaranya ke Singapura, Italia, Perancis, Spanyol, Belanda, Amerika Serikat.

Masih terkait dengan naskah I La Galigo, Zaidi pun dilibatkan oleh sejumlah guru besar dari Universitas Hasanuddin untuk menerjemahkan sebagian naskah itu. †�Karena memang ada bahasa dalam naskah I La Galigo yang sama sekali tidak bisa dipahami oleh siapa pun kecuali oleh bissu, karena memang itu adalah bahasa dewata atau bahasa torilangi,†� ujar bissu kelahiran 31 Desember 1963 ini.

Kepedulian Zaidi pada tradisi Bugis kuno bukan hanya ditunjukkan dengan mau terlibat dan memberi masukan di sejumlah perhelatan adat, tetapi juga kerap berkeliling kabupaten atau tempat lain untuk mencari benda-benda kuno yang dia percayai masih merupakan peninggalan pendahulunya dan sudah ada sejak zaman Sawerigading (tokoh sentral dalam cerita I La Galigo).

Diusir orangtua

Bagi Zaidi, menjadi bissu bukanlah cita-cita atau pengaruh, apalagi ikut-ikutan, melainkan panggilan dan takdir. Panggilan ini bahkan sudah dirasakan Zaidi sejak masih berusia sembilan tahun. Tak heran di antara komunitas bissu yang ada di Pangkep dan daerah lain seperti Bone, Luwu, Soppeng, dan Wajo, Zaidi cukup dikenal.

Seangkatannya, Zaidi-lah satu-satunya bissu. Angkatan lain jauh di atas maupun di bawah Zaidi. Perbedaan yang cukup jauh ini disebabkan adanya pemberantasan bissu tahun 1980-an yang menyebabkan komunitas itu jadi berkurang.

Dia masih sangat kecil saat tertarik menjadi bissu, sementara kami boleh dikata sudah tua. Waktu itu kami heran, soalnya, selain masih sangat kecil, tidak ada di antara kami yang pernah mengajak dia untuk ikut menjadi bissu. Kalau ada acara ma’bissu atau acara adat lain yang melibatkan bissu, biasanya dia yang datang paling duluan. Sering pula kami dapati dia main bissu-bissu-an dengan teman-temannya. Makanya kami heran, kisah Puang Lolo, wakil Puang Matoa di komunitas bissu di Pangkep.

Menurut Zaidi, begitu kedua orangtuanya mengetahui minatnya menjadi bissu, mereka pun murka. Tiap hari saya dipukuli dan disiksa sampai badan saya luka-luka, bengkak, dan berdarah. Saya bahkan beberapa kali dilarikan ke UGD rumah sakit akibat pukulan orangtua saya. Tapi anehnya hal itu tidak mematikan keinginan saya menjadi bissu, katanya.

Bahkan, ketika orangtuanya memberikan pilihan angkat kaki dari rumah dan dikucilkan keluarga atau tidak menjadi bissu, Zaidi memilih meninggalkan rumah. Bukan hanya dari keluarga, tantangan juga datang dari masyarakat dan pemuka agama. Zaidi akhirnya bukan hanya meninggalkan rumah, tetapi juga meninggalkan kampungnya hingga situasi masyarakat membaik.

Orangtuanya akhirnya mau menerimanya kembali setelah seorang tokoh masyarakat menemui orangtuanya dan memintanya untuk menerima Zaidi apa adanya. Orang tua itu bilang kepada orangtua saya bahwa suatu saat saya akan jadi orang penting dan dicari oleh orang-orang penting. Dia juga bilang bahwa bissu sudah menjadi takdir saya dan karena itu orangtua saya harus ikhlas menerima apa adanya, katanya.

Kini, bersama rekan-rekannya sesama bissu di Pangkep yang jumlahnya tinggal sekitar 10 orang, Zaidi terus menjaga adat dan peradaban Bugis. Zaidi pun tak jemu-jemunya mengajarkan kepada siapa pun, terutama bissu-bissu baru yang jumlahnya kian berkurang kian hari, tentang adat dan kebijakan para pendahulu.  

Adat masih ada saja tatanan kehidupan sudah kacau seperti sekarang. Pemimpin dan pembesar sudah banyak yang bertindak tidak benar. Peradilan sudah tidak adil, banyak orang kaya yang melupakan orang miskin dan tidak peduli lagi sekitarnya, alam dirusak sedemikian rupa. Bagaimana jadinya kalau adat dan kebijakan atau falsafah hidup orang dulu sudah hilang

Page 17: Bissu Di Tanah Bugis

sama sekali. Karena itu, saya sangat berharap akan semakin banyak orang mau mendalami budaya dan adat istiadat pendahulu kita, katanya.

 

Puang Upe, salah satu bissu dari Segeri Mandalle, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, telihat risau ketika menceritakan regenerasi para bissu di masa mendatang. Masyarakat lokal di daerahnya terlihat enggan untuk memesan mereka lagi dalam ritual-ritual adat.

Puang Upe pun bertanya-tanya, apakah masyarakat di era ini sudah lupa pada dewata yang sudah memberi hidup?

Itulah ungkapan Puang Upe, usai mementaskan Tarian Mabissu, tarian penghormatan pada dewata, Minggu malam (8/7), di Institut Seni Indonesia (ISI), Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dengan bahasa bugis, Puang Upe menceritakan tentang keberadaan komunitas bissu di daerah Segeri Mandalle yang kian menyusut. Dari sebelumnya sekitar 40 orang, kini hanya menjadi 12 orang saja.

Katanya, sebagian bissu dibunuh dan sebagian lagi melepaskan atribut bissu untuk berpindah ke profesi lain seperti petani atau perias pengantin. “Saat ini kami tidak lagi diistimewakan. Kami tidak lagi hidup mewah bersama raja, melainkan harus hidup mandiri dengan menunggu sumbangan masyarakat yang akan menyelenggarakan adat. Ironisnya, upacara ritual jarang diadakan,” keluh Puang Upe.

Tidak semua orang mengenal pendeta agama bugis kuno ini. Zaman pra Islam, bissu memiliki peranan istimewa karena merupakan operator komunikasi antara manusia dan dewa melalui upacara tradisional. Untuk itulah, bissu harus menjauhi hal–hal yang bersifat duniawi.

Bissu memiliki dua elemen gender manusia yakni laki-laki dan perempuan. Artinya, bissu diperankan oleh laki-laki yang memiliki sifat perempuan. Mereka akan berpenampilan layaknya perempuan dengan pakaian dan tata rias feminin, namun tetap memakai atribut maskulin.

“Tidak semua orang bisa menjadi bissu. Biasanya yang menjadi bissu akan mendapatkan panggilan gaib lewat mimpi. Setelah mendapat bisikan ini, orang tersebut harus melapor pada pemimpin bissu atau puwang matowa untuk ditahbiskan,” kata Puang Upe.

Bissu memiliki kedudukan lebih tinggi dari raja karena menjadi penasehat raja dan dewan adat. Oleh karenanya kebutuhan bissu mendapat tunjangan hidup raja dari sumbangan masyarakat.

Sebelum ajaran Islam ke Sulawesi pada awal abad XVII, bissu berperan penting dalam upacara adat seperti upacara pelantikan raja, kelahiran, kematian, pertanian. Dalam upacara adat itu, mereka akan menarikan Tari Mabbisu atau tarian mistis dengan memutari benda yang dikeramatkan yang diyakini sebagai tampat roh leluhur beristirahat.

Puncak dari Tarian Mabbisu adalah gerakan maggiri yakni menusukkan keris ke bagian tubuh seperti perut, telapak tangan, perut, dan tenggorokan. Masyarakat Sulawesi percaya, ketika bagian tubuh bissu yang ditusuk keris tidak berdarah, maka roh leluhur sudah merasuki bissu. Dengan demikian masyarakat percaya permohonan mereka didengar oleh leluhur dan harapannya dewata memberikan berkat kepada mereka.

Pesatnya agama Islam di Sulawesi membuat peranan  bissu mulai ditinggalkan. Mereka tidak lagi menetap di kerajaan, melainkan berkumpul dengan masyarakat sekitar. Bahkan, saat pemberontakan DI/TII yang dipimpin Kahar Mudzakar, bissu–bissu ini dibunuh serta dipaksa untuk menjadi laki-laki sejati sesuai ajaran agama.

“Saat ini ada dua buah kubu bissu. Kubu pertama adalah bissu yang benar-benar mempertahankan tradisi leluhur, dan bissu kedua yang melepaskan nilai kesrakalan,” ujar Puang Upe yang sampai saat ini ikut dalam kubu pertama.

Puang Upe melanjutkan, regenerasi menjadi kegetiran mereka saat ini. Meski ia belum bisa menjawabnya sampai sekarang, ia yakin bila kehidupan bissu akan tetap ada berdampingan dengan generasi selanjutnya. Panggilan–panggilan gaib itu akan terus mendatangi calon-calon bissu berikutnya dengan waktu yang tidak bisa ditentukan.

Ariyanti Sultan, Pencipta Tari dari Institut Seni Indonesia yang juga mendalami kehidupan bissu di Sulawesi ini mengatakan bahwa kehidupan bissu di masa sekarang dan mendatang akan terancam.

Page 18: Bissu Di Tanah Bugis

Menurutnya, ada dua faktor yang berpengaruh yakni perubahan sistem pemerintah dari sistem kerajaan menjadi kesatuan, serta sulitnya bissu beradaptasi di era teknologi komunikasi saat ini. Untuk itulah, persoalan yang muncul adalah regenerasi dan kepemimpinan baru para bissu.

Bissu perlu diberikan ruang tersendiri untuk hidup karena merupakan bagian dari budaya. Peranan mereka dalam upacara-upacara adat seharusnya bisa didayagunakan kembali untuk meningkatkan daya tarik wisata di sana.  

“Upacara ritual dan bissu sudah menjadi icon wisata. Seharusnya pemerintah memberikan ruang untuk ini karena merupakan local wisdom yang bagus dan menarik. Sayangnya, pemerintah tidak memperhatikan icon pariwisata ini,” kata Ariyanti.

Entah sampai kapan bissu-bissu ini akan dilirik oleh pemerintah untuk turut serta dalam pengembangan budaya dan pariwisata. Bissu dan upacara ritual adalah kekayaan budaya yang mahal nilainya. Di tengah kekhawatiran akan klaim budaya negara lain, setidaknya bissu juga menjadi catatan khusus pemerintah sebagai warisan budaya asli Indonesia.

(Olivia Lewi Pramesti

Page 19: Bissu Di Tanah Bugis

Masa suram bagi komunitas bissu adalah ketika perubahan sistem pemerintahan dari kerajaan menjadi republik, dan

diperparah lagi dengan masuknya ajaran Islam pada abad ke XVII. Agama Islam menganggap bahwa kepercayaan yang

dianut oleh komunitas bissu adalah sebuah bentuk kemusrykan. Upacar-upacar adat, seperti Mappalili dianggap sebagai

bentuk pemujaan yang tak boleh dilaksanakan.

Dari aspek kaidah tidak, agama Islam tidak pernah memberikan toleransi untuk mengadakan campur baur (pembauran)

antara satu kepercayaan dengan kepercayaan lainnya. Islam tidak pernah menyisakan ruang kosong untuk mengisi ruang

ketauhidan selain bertauhid kepada Allah SWT.

Aktivitas dan pemikiran bissu tersebut, seperti adat Mappalili dengan pemikiran bahwa panen hanya akan berhasil jika

dilakukan mappalili, upacara adat l;ainnya yang m emosisikan diri bissu sebagai perantar doa atau mantra dengan orang yang

sakit, punya nazar, hajatan,penyebutan Dewata Seuwae sebagai pangganti nama Allah merupakan beberapa tindakan yang

tidak dapat ditolerir dalam agama Islam. 

 Dalam pandangan masyarakat, khususnya para ulama menganggap bahwa bissu yang ada sekarang hanyalah masa lalu yang tersisa yang tak perlu untuk dilestarikan, apalagi kepercayaan yang dianutnya adalah kepercayaan yang bertentangan dengan tauhid Islam. Tetapi adapula yang berpendapat lain, bahwa Bissu dengan segala aktivitasnya adalah kebudayaan khas Bugis Makassar pada masa lampau yang perlu mendapat perhatian dan disikapi dengan arif., khususnya dari Pemerintah Kabupaten  untuk kepentingan pariwisata daerah. Apabila pemerintah memberi ruang untuk bissu maka secara otomatis akan ada respon dari masyarakat untuk member ruang untuk hidup pula bagi komunitas bissu ini.terlebih kegiatan, ajaran dan keyakinan bissu tidak bisa diajarkan sebagaiman agama didakwakan, jadi tidak perlu khawatir bahwa bissu akan menyebarkan kemusrykan, karena ajaran, keyakinan, dan aktivitas bissu hanya bisa diturunkan kepada seseorang yang memenuhi syarat, yaitu: faktor keturunan, ada panggilan dewata, dan menjalani proses-proses menjadi bissu.

Komunitas bissu mengalami prahara yang memorak-porandakan seluruh pranata kebissuannya pada masa gerombolan Kahar Musakkar melancarkan operasi Toba , yaitu operasi penumpasan bissu. Ribuan perlengkapan upacara ritual bissu dibakar atau ditenggelamkanke laut. Tidak sedikit bissu yang dibunuh, yang dibiarkan hidup digunduli dan dipaksa menjadi lelaki tulen. Sisa-sisa dari operasi tersebut kemungkinan itulah bissu-bissu tua yang ada sekarang. 

Di tahun 1950-an saat pecah pemberontakan DI/TII Kahar Muzakar, Bissu merupakan salah satu pihak yang paling

menderita. Kahar Muzakkar menganggap kegiatan para Bissu ini adalah menyembah berhala, tidak sesuai dengan ajaran

Islam dan membangkitkan feodalisme. Karena itu kegiatan, alat-alat upacara, serta para pelakunya diberantas. Ratusan

perlengkapan upacara dibakar atau di tenggelamkan ke laut. Banyak sanro (dukun) dan Bissu di bunuh atau dipaksa menjadi

pria yang harus bekerja keras.

Penderitaan para Sanro dan Bissu masih berlanjut ketika Orde Lama (Orla) ditumbangkan oleh rejim Orde Baru (Orba) pada

tahun 1965. Keributan yang menyoroti arajang dan pelaksanaan upacara mappalili terjadi di Segeri. Arajang hampir

diganyang oleh salah satu ormas pemuda yang berkuasa ketika itu. Para Bissu dan mereka yang percaya akan kesaktian

arajang menjadi tertuduh penganut komunis atau anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka dianggap tidak

beragama, melakukan perbuatan siriq, dianggap menganut ajaran anisme. Barang siapa masih menganggap arajang sebagai

benda kramat berarti menduakan Tuhan. Di antara mereka yang tertangkap harus memilih antara mati di bunuh atau memilih

masuk agama Islam serta menjadi manusia normal (pria). Muncul doktrin dalam masyarakat, bahwa bila melihat Bissu atau

Wandu maka konon mereka yang melihatnya akan sial tidak mendapatkan rejeki selama 40 hari – 40 malam. Demikian pula

seluruh amal baik yang diperbuatnya selama 40 hari tersebut tidak diterima pahalanya oleh Tuhan YME. Karena itu, jika

melihat Bissu atau Wandu maka dia harus diusir jauh-jauh. Banyak di antara sanro dan Bissu yang sebelumnya sangat

dihormati oleh masyarakat, kini menjadi sasaran lemparan dan olok-olokan bocah di jalanan.

Gerakan pemurnian ajaran Islam tersebut mereka sebut “Operasi Toba” (Operasi Taubat) yang gencar-gencarnya terjadi pada

tahun 1966. Sejak itu, upacara Mappalili mengalami kemunduran, upacara-upacara Bissu tidak lagi diselenggarakan secara

besar-besaran. Para Bissu bersembunyi dari ancaman maut yang memburunya. Masyarakat tidak lagi peduli akan nasib

mereka, karena sebagian dari mereka memang mendukung gerakan “Operasi Toba” tersebut. Sebagian masyarakat yang

bersimpati kepada para Bissu, hanya tinggal diam tanpa bisa berbuat apa-apa. Namun ketika masyarakat menuai padinya,

ternyata hasilnya memang kurang memuaskan sehingga beberapa masyarakat beranggapan hal tersebut terjadi karena tidak

melakukan upacara Mappalili . Dengan kesadaran itulah beberapa di antara mereka menyembunyikan Bissu yang tersisa agar

tidak di bunuh dan agar upacara mappalili dapat dilaksanakan lagi. Bissu-bissu yang selamat itulah yang masih ada sekarang

ini. Kini jumlah mereka yang tersisa di seluruh wilayah adat Sulawesi Selatan tidak lebih dari empatpuluh orang saja.

Padahal untuk melakukan sebuah upacara Mappalili yang besar, jumlah Bissu minimal harus berjumlah empatpuluh orang

(Bissu PattappuloE) dalam sebuah wilayah adat.

Page 20: Bissu Di Tanah Bugis

Bissu bisa eksis sampai sekarang ini karena fungsi sosial yang dimiliki oleh bissu tersebut. Kalau dahulu, komunitas bissu

ini dikejar-kejar pada saat operasi Toba,kini masyarakat dan pemerintah kabupaten Pangkep malahan memberi tempat dan

ruang untuk hidup bagi komunitas bissu. ataspersetujuan DPRD Pangkep komunitas bissu ini dibuatkan sebuah tempat yaitu

Bola Arajang.

Kini komunitas yang makin berkurang ini berada dalam ambang antara ada dan tiada. Dikatakan ada karena sesekali

komunitasnya masih menghendaki dan memandang perlu untuk mengedepakannya bagi kepentingan yang bertalian dengan

upacara. Dapat menjadi tiada ketika masyarakat yang semula menopang keberadaannya kemudian meninggalkannya karena

berbagai sebab.

Berbagai peristiwa yang berusaha melenyapkan eksistensi mereka telah dialami oleh komunitas Bissu di Sulawesi Selatan.

Mereka telah melewati jaman di mana mereka harus diburu bahkan dibunuh untuk dilenyapkan. Saat itu, nyawa seekor

anjing lebih berharga dibanding nyawa mereka. Masyarakat Bugis sebagai pemilik tradisi ini, kini sebagian besar bahkan

menyudutkan komunitas Bissu ini. Berbagai tekanan menjadikan mereka sebagai suatu komunitas yang terasing, walau

beberapa di antaranya masih dapat tegar bertahan dengan berkompromi dengan perubahan. Komunitas Bissu bercerai berai,

jumlah dan kualitasnya semakin menyusut dari hari ke hari. Melihat pola regenerasi dan dukungan mayoritas masyarakat

Bugis masa kini, maka dapat dipastikan bahwa Bissu-bissu yang tersisa sekarang adalah generasi terakhir pewaris tradisi

Bugis klasik ini.