biomol 8
-
Upload
choi-hyo-ra-saranghaeelfshawol -
Category
Documents
-
view
68 -
download
5
Transcript of biomol 8
PROPOSAL DETEKSI VIRUS VNN DENGAN PCR PADA KERAPU
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perikanan saat ini mulai berkembang, bukan hanya perikanan darat dan payau akan tetapi
perikanan laut juga saat ini semakin berkembang. Ikan kerapu merupakan salah satu komoditas
perikanan laut yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi dengan banyaknya permintaan
dipasaran. Namun budidaya ikan kerapu saat ini sedang mengalami kendala akibat adanya
serangan penyakit infeksi Viral Nervous Necrosis (VNN) dengan tingkat kematian yang tinggi.
Melihat kondisi tersebut perlu adanya usaha untuk menanggulangi infeksi ataupun penyebaran
dari virus ini, salah satunya dengan cara pendeteksian awal adanya virus ini.
Balai Budidaya Laut Lombok salah satu Balai yang saat ini sedang melakukan pendeteksian
virus VNN menggunakan metode PCR yang dilakukan secara rutin. Metode PCR merupakan
metode untuk memperbanyak molekul DNA dengan ukuran tertentu secara enzimatik melalui
mekanisme perubahan suhu (Sulandari, 2003). Dengan metode ini dapat diperoleh
pelipatgandaan suatu sekuen DNA dalam genom virus yang mana hanya dengan mencampurkan
kulturnya di dalam tabung PCR. Sehingga dari jaringan tubuh ikan yang sakit dapat diketahui
jenis organisme patogen yang menyerangnya.
Melihat pentingnya metode PCR dalam pendeteksian virus maka penguasaan teknologi
ini dinilai merupakan hal yang penting, yang kegiatannya diusulkan melalui proposal Praktek
Kerja Lapangan dengan judul “Analisa Virus VNN Pada Ikan Kerapu Dengan Menggunakan
Metode PCR Dibalai Budidaya Laut Lombok, Sekotong Lombok Barat”.
1.2 Tujuan
Tujuan dari pelaksanaan Praktek Kerja Lapang (PKL) ini adalah untuk mengetahui cara
menganalisa virus VNN yang biasa menyerang pada ikan kerapu dengan menggunakan metode
PCR dan mengetahui permasalahan dalam menggunakan metode tersebut.
1.3 Manfaat
Manfaat yang didapat dari pelaksanaan Praktek Kerja Lapang (PKL) antara lain:
a) Dapat menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam bidang penyakit ikan khususnya
dalam proses analisis pendeteksian virus.
b) Dapat menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam menggunakan teknik PCR.
c) Dapat dimanfaatkan oleh lembaga perguruan tinggi sebagai bahan kajian untuk mengembangkan
riset dalam penanggulangan virus pada ikan.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyakit Pada Ikan
Penyakit ikan biasanya timbul berkaitan dengan lemahnya kondisi ikan yang diakibatkan
oleh beberapa faktor yaitu antara lain penanganan ikan, faktor pakan yang diberikan, dan
keadaan lingkungan yang kurang mendukung. Pada padat penebaran ikan yang tinggi jika faktor
lingkungan kurang menguntungkan misalnya kandungan zat asam dalam air rendah, pakan yang
diberikan kurang tepat baik jumlah maupun mutunya, penanganan ikan kurang sempurna, maka
ikan akan menderita stress.Dalam keadaan demikian ikan akan mudah terserang oleh penyakit
(Sarig, 1971).
Bell (1978) mengemukakan bahwa ada tiga kemungkinan penyebab kematian populasi ikan
di kolam atau di perairan lain, yaitu stress lingkungan atau keracunan, infeksi mikroba (virus,
bakteri, protozoa, dan fungi), dan infeksi metazoa (coelenterate, cestoda, nematoda,
acantocephala, crustacea, dan lain-lain). Stress mencakup semua spesies ikan dan dari semua
kelompok umur. Infeksi mikroba ditandai dengan adanya radang atau luka di bagian luar
(eksternal) atau bagian dalam (internal) tubuh ikan, pendarahan subkutan, pembengkakan, luka,
perubahan warna ikan insang yang pucat dan filamen yang rusak, sirip-sirip yang cabik, insang
atau kulit ditutupi oleh mucus (lendir), dan lain-lain. Infeksi mikroba biasanya hanya terjangkit
pada satu spesies dan kematian satu spesies dan kematian biasanya berjalan relatif cepat. Infeksi
metazoa, baik yang bersifat ekto maupun yang endoparasit, biasa keduanya dapat dilihat dengan
mata telanjang. Efek yang bersifat sublethal berkembang lambat, dan kematian juga lambat.
Biasanya hanya satu spesies ikan yang terjangkit, dan kadang-kadang dari satu kelompok umur
saja.
2.2 Penyakit yang Menyerang Ikan Kerapu
Dalam budidaya ikan, termasuk budidaya ikan kerapu penyakit ikan dapat mengakibatkan
kerugian ekonomis. Penyakit pada ikan kerapu dibagi menjadi penyakit noninfektif dan infektif.
Penyakit noninfektif tidak menyebabkan infeksi dan tidak menular namun tetap menjadi masalah
penting karena penyakit noninfeksi ini dapat membuka peluang terjadinya perkembangan
penyakit infeksi. Sedangkan penyakit infeksi disebabkan oleh patogen yang mana dapat menular.
Penyakit infektif diantaranya penyakit bintik putih yang disebabkan oleh parasit Cryptocaryon
sp, penyakit gatal oleh parasit Trichodina sp, penyakit piscicolasis oleh parasit Piscicola sp
sejenis lintah, penyakit diplectanumiosis yang disebabkan oleh parasit cacing jenis Diplectanum,
penyakit kerusakan sirip oleh bakteri dari jenis Mycobacter sp, penyakit pendarahan pada mata
oleh bakteri jenis Streptococcus sp, sindrom gelembung renang, jamur yang umumnya
merupakan infeksi sekunder, dan yang paling mematikan penyakit yang disebabkan oleh virus
dimana masih belum ditemukan obat yang cocok untuk memberantasnya. Salah satunya yakni
Viral Nervous Necrosis atau VNN dimana pada umumnya menginfeksi stadia larva sampai
yuwana dan menyerang sistem organ syaraf mata dan otak yang ditandai dengan gejala yang
cukup spesifik karena ikan menampakan tingkah laku berenang yang tidak normal dan umumnya
ikan berdiam di dasar (Kordi, 2007).
2.3 Viral Nervous Necrosis
Viral Nerveus Necrosis (VNN) (istilah alternatif: virus encephalopathy dan retinopathy
(VER) adalah penyakit yang terdaftar oleh The Office International des Epizooties (OIE),
menjadi masalah utama di dalam produksi perikanan laut di dunia. Identifikasi virus penyebab
VNN ini adalah anggota family Nodaviridae diperoleh dengan menyelidiki asam nukleat dan
protein struktural dari larva virus Pseudocaranx dentex. Keluarga Nodaviridae terdapat dua jenis
yaitu jenis Alphanodavirus dan Betanodavirus, kedua jenis ini sangat ganas dalam menginfeksi
ikan. Betanodaviruses (family Nodarideae) adalah agen penyebab serangan viral nerveus
necrosis (VNN) pada budidaya ikan laut. Betanodaviruses adalah virus kecil, berbentuk bola,
tidak punya kapsid dengan genome yang terdiri atas dua ikatan tunggal (Yukio, 2007).
Betanodaviruses adalah agen peyebab serangan viral nerveus necrosis (VNN) pada
budidaya ikan laut. Otak ikan dan jaringan lain hewan invertebrate telah diuji dengan Reverse
Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) dengan tujuan untuk mendeteksi
betanodavirus. Hasil positif uji PCR diperoleh dari otak 8 jenis ikan laut (shrimp fish Aeoliscus
strigatus, milkfish Chanos chanos, three spot damsel Dascyllus trimaculatus, Japanese anchovy
Engraulis japonicus, pinecone fish Monocentris japonica, blue ribbon eel Rhinomuraena
quaesita, look down fish Selene vomer, yellow tang Zebrasoma flavesenes), 1 jenis invertebrate
laut (spiny lobster Pamulirus versicolor), dan 2 jenis ikan air tawar (South American leaf fish
Monocirrhus polyacanthus and red piranha Pygocentrus nattereri). Tingkat pendeteksian PCR
adalah 11/237 (4.64%). Secara subklinik dan ikan dalam akuarium terkena infeksi dan
invertebrate berdasarkan sumber inoculum betanodaviruses (Anonim, 2011).
2.4 Transmisi dari VNN
Transmisi dari virus ini dapat terjadi secara vertikal dan horizontal. Transmisi VNN
secara vertical, dapat menyebar dari induk ke larva. Telur adalah suatu sumber virus yang
penting. VNN dapat dideteksi ada pada gonad, usus, perut, ginjal dan hati sebagai tempat inang
mengeram. VNN menyebar dalam indung telur sehingga telur dapat menyebabkan transmisi
vertikal dari virus ini. Kebiasaan makan dan makanan dari ikan dapat juga menjadi sarana
penyebaran virus VNN baik itu antar spesies (Inter-Species) maupun sesama spesies (Intra-
Species) baik secara klinis atau secara subklinik sehingga menyerang ikan. Organisme sebagai
makanan hidupnya yang terkontaminasi VNN seperti pada Artemia, Copepoda, dan Ikan rucah
sebagai pakan hidup ikan kerapu. Perilaku sebagai ikan karnivora misalnya pada masa larva ikan
grouper (kerapu) juga menjadi alternatif dari penyebaran virus VNN tersebut. Transmisi VNN
secara horizontal pada populasi ikan liar pada area budidaya aquakultur dan ikan-ikan liar di laut
pernah diketahui terkena infeksi VNN dengan genotype RGNNV. Transmisi secara horisontal
juga dapat melalui ikan yang tidak punya gejala terkena infeksi VNN (Anonim, 2011).
2.5 Gejala Ikan yang Terserang VNN
Gejala klinis umum VNN pada beberapa jenis ikan antara lain perilaku ikan terserang
berenang tak menentu, dan ikan mengapung dengan perut diatas disebabkan oleh pembengkakan
gelembung renang (swim bladder), warna tubuh terlihat lebih gelap dan selera makan berkurang.
Kematian (mortalitas) kumulatif mencapai 34% dan 56% selama 10 minggu. Ikan yang terkena
infeksi VNN biasanya memperlihatkan keadaan gangguan saraf yang berhubungan dengan
vacuolisasi (kerusakan) kuat sistem nerves pusat dan retina (Thie´ry, et. all, 2006).
2.6 Diagnosa Virus
Saat ini telah dikembangkan berbagai metode diagnosis virus diantaranya metode
konvensional seperti histopatologi, dotblot, hibridisasi, in situ dan PCR dan RT-PCR. Metode
diagnosis dengan PCR mungkin merupakan salah satu metode yang cepat dan menjanjikan
tingkat akurasi yang tinggi dibandingkan metode lain. Sampel dapat disiapkan dalam awetan
alkohol 70% dalam potongan kecil (0,5 cm), untuk PCR dan penggunaan formalin 10% untuk
pemeriksaan histopatologi (Nguyen, 1997).
Beberapa sistem diagnosa yang efektif dari VNN antara lain:
a. Berdasarkan Asam Nukleat misalnya RT-PCR dan PCR serta Hibridisasi secara in situ.
b. Berdasarkan Protein misalnya IFA, penandaan IHC, ELISA, Western Blot dan One-step
Immunochromatography.
c. Berdasarkan Virion misalnya Kultur Sel (Chi, 2006).
2.7 Polymerase Chain Reaction
Reaksi berantai polimerase (Polymerase Chain Reaction, PCR) adalah suatu metode
enzimatis untuk melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuen nukleotida tertentu dengan
cara in vitro. Metode ini pertama kali dikembangkan pada tahun 1985 oleh Kary B. Mullis
seorang peneliti di perusahaan CETUS Corporation. Metode ini sekarang telah banyak
digunakan untuk berbagai macam manipulasi dan analisis genetik. Pada awal perkembangannya
metode ini hanya digunakan untuk melipatgandakan molekul DNA, tetapi kemudian
dikembangkan lebih lanjut sehingga dapat digunakan pula untuk melipatgandakan dan
melakukan kuantitasi molekul mRNA (Yuwono, 2006).
Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah cara in vitro untuk memperbanyak target sekuen
spesifik AN untuk analisis cepat atau karakterisasi, walaupun material yang digunakan pada awal
pemeriksaan sangat sedikit. Pada dasarnya PCR meliputi tiga perlakuan yaitu:denaturisasi,
hibridisasi dari "primer" sekuen DNA pada bagian tertentu yang diinginkan, diikuti dengan
perbanyakan bagian tersebut oleh Tag polymerase; dikerjakan dengan mengadakan campuran
reaksi dalam tabung mikro yang kemudian diletakkan pada blok pemanas yang telah diprogram
pada seri temperatur yang diinginkan (Prijanto, 1992).
2.8 Prinsip Kerja PCR
Reaksi pelipatgandaan suatu fragmen DNA dimulai dengan melakukan denaturasi DNA
template (cetakan) sehingga rantai DNA yang berantai ganda akan terpisah menjadi rantai
tunggal. Denaturasi DNA dilakukan dengan menggunakan panas (950C) selama 1-2 menit,
kemudian suhu diturunkan menjadi 550C sehingga primer akan “menempel” (annealing) pada
cetakan yang telah terpisah menjadi rantai tunggal. Primer akan membentuk jembatan hidrogen
dengan cetakan pada daerah sekuen yang komplomenter dengan sekuen primer. Suhu 550C yang
digunakan untuk penempelan primer pada dasarnya merupakan kompromi. Amplifikasi akan
lebih efisien jika dilakukan pada suhu yang lebih rendah (370C) tetapi biasanya akan terjadi
mispriming yaitu penempelan primer pada tempat yang salah. Pada suhu yang lebih tinggi (550C)
spesifisitas reaksi amplifikasi akan meningkat, tetapi secara keseluruhan efisiensinya akan
menurun. Reaksi ini dilakukan berulang-ulang sampai 25-30 kali (siklus) sehingga pada akhir
siklus akan didapatkan molekul-molekul DNA rantai ganda yang baru hasil polimerasi dalam
jumlah yang jauh lebih banyak dibandingkan jumlah DNA cetakan yang digunakan (Yuwono,
2006).
2.9 Komponen PCR
Ada 2 komponen terpenting dari reaksi PCR, yaitu sekuen DNA pendek atau sisi area
yang akan dikopi. Tindakan utama adalah untuk mengidentifikasi atau menentukan target dari
cetakan DNA yang akan dikopi. Yang mengendalikan reaksi PCR adalah oligonukleotida yang
diciptakan secara kimiawi dan ditambahkan dalam konsetrasi yang tinggi ke dalam cetakan
DNA. Beberapa pengetahuan tentang rangkaian DNA yang tercetak dibutuhkan untuk rangkaian
primer yang sesuai. Komponen lain dari reaksi PCR terdiri dari kerangka DNA yang akan
dicetak, membangun blok dengan membentuk ke empat nukleutida, dan DNA polimerase
bergabung dengan blok pada dasar dari rangkaian kerangka DNA. Ketika menset sample yang
berisi beberapa primer dan reaksi komponen, ini biasa untuk mempersiapkan campuran
sempurna yang dapat memberikan kuantitas sama pada PCR lain. Prosedur ini membantu untuk
memastikan adanya homogenitas di antara sampel-sampel. Dalam melakukan percobaan
terhadap sampel yang berbeda-beda, utamanya harus memeriksa variasi dari sampel DNA
dengan tidak ada perbedaan pada reaksi komponen dan cara pengolahan sampel (Anonim, 2011).
Empat komponen utama pada proses PCR adalah (1) DNA cetakan, yaitu fragmen DNA
yang dilipatgandakan, (2) oligonukleotida primer yaitu suatu sekuen oligonukleotida pendek (15-
25 basa nukleotida) yang digunakan untuk mengawali sintesis rantai DNA, (3)
deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP) terdiri atas dATP, dCTP, dGTP, dTTP, dan (4) enzim
DNA polymerase yaitu enzim yang melakukan katalisis reaksi sintesis rantai DNA. Komponen
lain yang juga penting adalah senyawa buffer (Yuwono, 2006).
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Koleksi Sampel
Sampel diambil dari bak pendederan di wilayah pembudidayaan dimana saat itu banyak
ikan yang sakit dan mati. Sampel yang diambil sebanyak 4 ekor ikan kakap beserta air
budidayanya. Alat yang digunakan untuk membawa sampel dari bak menuju lab yakni box
steroform sedangkan untuk airnya menggunakan botol aqua. Setelah di lab ikan kemudian
diidentifikasi baik secara morfologi maupun anatomi dan diukur panjang maupun bobot
tubuhnya. Setelah itu dilakukan pengujian kualitas air dari wadah budidaya sampel tersebut.
Gambar 5. Sampel Ikan Kakap
5.1.1. Identifikasi Sampel
5.1.2. Isolasi Jaringan
Setelah diidentifikasi, sampel kemudian dibedah pada bagian kepalanya. Tidak semua
sampel yang dibedah namun hanya ada 2 ekor yang dibedah. Pada kasus VNN jaringan
tubuh ikan yang diambil yakni berasal dari bagian otak dan mata (untuk ikan besar) dan seluruh
bagian kepala untuk larva hal ini dikarenakan karena VNN termasuk golongan virus yang
menyerang system saraf dan retina mata ikan laut yang dikenal dengan nama Viral
Encephalopathy and Retinopathy (VER) (Anonim, 2011). Bagian otak dan mata yang diambil
kemudian dimasukkan ke dalam mikrotube khusus PCR.
5.1.3. Isolasi dan Ekstraksi RNA
Sampel yang didapatkan akan diekstraksi untuk mendapatkan materi genetiknya (RNA).
Ekstraksi ini diawali dengan penambahan 500 µl RNA extraction solution. Pemberian RNA
extraction solution dikarenakan VNN termasuk dalam golongan virus RNA. Kemudian larutan
tersebut digerus dengan pellet pestle steril dan diinkubasi pada suhu (25-300C) selama 5 menit
setelah itu diberi 100 µl chloroform dan di vortex kembali. Inkubasi ini bertujuan untuk
mengkondisikan lingkungan untuk tumbuh dan berkembang biak sehingga virus dapat tumbuh
dan menunjukan karakteristik sesuai dengan yang dikehendaki, sedangkan pemberian chloroform
dapat membantu menghilangkan penghambat PCR yang terdapat pada larutan ekstrak metode ini
akan menghasilkan lapisan air yang mengandung asam nukleat (Theophilus, B.D.M. 2008).
Sampel kemudian diinkubasi kembali dalam suhu 25-300C selama 2-3 menit selanjutnya di
sentrifugasi pada kecepatan 12.000 rpm selama 15 menit. Sentifugasi bertujuan untuk
memisahkan berat jenis larutan sehingga nantinya dapat dipisahkan dimana berat jenis yang lebih
kecil akan naik ke atas. Setelah di sentrifugasi fase cair yang ada dibagian atas dipindahkan
sebanyak 200 µl ke dalam mikrotube dengan ditambahkan 200 µl isopropanol dan divortex
(dicampur) selama 20 detik. Sentrifugasi kembali pada kecepatan 12.000 rpm selama 10 menit
kemudian buang cairan pada bagian atas. Hasil akhirnya kemudian dicuci dengan alkohol 75 %
sebanyak 500 µl dan disentrifugasi kembali pada kecepatan 9000 rpm selama 5 menit. Kemudian
buang alkohol absolute dan keringkan. Padatan yang ada kemudian dilarutkan dengan 200 µl
ddH2O (aquabides).
5.2 Amplifikasi
Amplifikasi merupakan reaksi pelipatgandaan cDNA target secara in vitro sehingga dapat
dideteksi dengan elektroforesis (Anonim, 2011). Sebelum dilakukannya amplifikasi terlebih
dahulu disiapkan formulasi reaksi first PCR dan nested PCR untuk sejumlah reaksi yang mana
terdiri dari 1 kontrol positif berat, 1 kontrol positif sedang atau 1 kontrol positif ringan, 1 kontrol
negatife dan sejumlah sampel. Komposisi pereaksi untuk first PCR dan nested PCR tercantum
dalam tabel dibawah ini.
Tabel 2. Komposisi pereaksi untuk first PCR (RT-PCR reaction)
No. Pereaksi Jumlah atau Volume Pereaksi
1. Premix RT-PCR 7 µl
2. IQzyme 2 unit/µl 0.5 µl
3. RT-enzyme mix 0.5 µl
Tabel 3. Komposisi pereaksi untuk nested PCR
No. Pereaksi Jumlah atau Volume Pereaksi
1. Premix nested PCR 14 µl
2. IQzyme 2 unit/ µl 1 µl
Formulasi reaksi yang dibuat kemudian ditambahkan ke dalam sampel dimana 2 µl
sampel ditambahkan 8 µl pereaksi first PCR dalam mikrotube ukuran 0.2 ml. Proses ini juga
dilakukan pada kontrol positif dan negatife kemudian dilakukan proses amplifikasi dengan siklus
seperti tabel di bawah ini.
Tabel 4. Pengaturan suhu dan siklus Thermocycler reaksi first PCR.
No. Suhu Lama Jumlah Siklus
1. 420C 30 menit1 siklus
2. 940C 2 menit
3. 940C 30 detik
15 siklus4. 620C 30 detik
5. 720C 30 detik
6. 720C 30 detik1 siklus
7. 200C 7 menit
Setelah reaksi first PCR selesai ke dalam setiap mikrotube ditambahkan 15 µl pereaksi
nested PCR dan dilanjutkan dengan amplifikasi dengan siklus pada tabel 4 berikuti ini.
Tabel 5. Pengaturan suhu dan siklus Thermocycler reaksi nested PCR.
No. Suhu Lama Jumlah Siklus
1. 940C 20 detik
30 siklus2. 620C 20 detik
3. 720C 30 detik
4. 720C 30 detik1 siklus
5. 200C 7 menit
Pada kasus VNN proses ampilifikasi dilakukan dengan 2 jenis pereaksi yakni first PCR
dan nested PCR hal ini dikarenakan VNN termasuk dalam virus jenis RNA (Anonim, 2011).
Sedangkan dalam proses PCR yang diperbanyak adalah materi DNA sehingga perlu diubah
terlebih dahulu dari RNA menjadi DNA dengan bantuan pereaksi first PCR pada proses
ampiflikasi pertama. Dalam reverse transcription (RT)-PCR reaction atau perekasi first PCR,
sebaliknya, untai RNA pertama-tama di transkrip balik menjadi DNA komplemen
(complementary DNA, atau cDNA) menggunakan enzim reverse transcriptase, dan cDNA yang
dihasilkan akan digandakan sepertihalnya PCR pada umumnya dengan kata lain transkripsi balik
dimana RNA ditranskrip balik menjadi cDNA menggunakan enzim reverse transcriptase dan
primer (Anonim, 2011). Kemudian setelah proses RT-PCR dilanjutkan dengan proses nested
PCR dimana adalah suatu teknik perbanyakan (replikasi) sampel DNA menggunakan bantuan
enzim DNA polymerase yang menggunakan dua pasang primer untuk mengamplifikasi fragmen
(Anonim, 2011).
Pada proses amplifikasi terjadi beberapa tahapan yakni denaturasi, annealing dan
pemanjangan dimana semua proses tersebut dipengaruhi oleh suhu dan waktunya. Pada suhu 94-
950C DNA mengalami denaturasis (pembelahan untai ganda menjadi untai tunggal). Waktu yang
diperlukan untuk proses ini sekitar 30 detik pada suhu 950C atau 15 detik pada suhu 970C.
Apabila DNA target mengandung banyak nukleotida G/C suhu denaturasi dapat ditingkatkan.
Denaturasi ini merupakan proses yang penting dimana jika proses ini tidak lengkap akan
menyebabkan renaturasi secara cepat, sedangkan waktu denaturasi yang terlalu lama dapat
mempengaruhi kerja enzim taq polymerase dan mempengaruhi keberhasilan proses PCR.
Apabila suhunya diturunkan antara 36-720C terjadi proses penempelan primer (annealing) yang
merupakan penempelan primer pada DNA yang telah terbelah pada tempat yang spesifik. Bila
suhunya dinaikan lagi sampai 720C, maka primer dengan bantuan enzim DNA polymerase akan
membentuk untaian DNA sesuai dengan runutan DNA yang terbelah proses ini disebut elongasi
(extention). Extention adalah pemanjangan primer dengan bantuan enzim polymerase sehingga
akan terbentuk 2 buah DNA untai tunggal baru. Umumnya setelah proses siklus PCR selesai
ditambah post elongasi selama 5-10 menit pada temperature 720C agar semua hasil PCR
berbentuk untai ganda (Muladno, 2003).
5.3 Elektroforesis
Menurut Prasetyo (2009) elektroforesis adalah perpindahan molekul yang bermuatan
sebagai respon terhadap medan listrik. Angka perpindahan tergantung pada kekuatan medan
listrik, muatan listrik, ukuran dan bentuk molekul, kekuatan ionik, viskositas, dan suhu medium
yang digunakan oleh molekul tersebut untuk berpindah. Ada bermacam-macam zat kimia yang
digunakan sebagai gel di dalam proses elektroforesis. Penggunaan jenis gel disesuaikan dengan
tujuan yang akan dicapai. Pada kesempatan ini hanya dua cara yang digunakan dalam proses
elektroforesis yaitu elektroforesis gel agarose (AGE) dengan visualisasi menggunakan ethidium
bromide dan elektroforesis gel polyacrilamide (PAGE) dengan visualisasi menggunakan silver
staining (Sulandari, Sri, M. Syamsul, 2003).
Dalam PKL ini bahan yang digunakan yakni elektroforesis gel agarose (AGE) dengan
visualisasi menggunakan ethidium bromide. Sebelum berlanjut pada proses elektroforesis
pertama-tama disiapkan terlebih dahulu larutan ethidium bromide dan agarose yang mana
langkah-langkahnya seperti berikut:
5.3.1 Penyiapan Et Br (Ethidium Bromide) Ethidium bromide adalah zat mutagen yang sangat kuat dan dapat menyebabkan kanker.
Oleh karena itu dalam menggunakan zat ini harus dilengkapi dengan sapu tangan dan masker
sebagai pelindung diri. Etidium merupakan sebuah molekul yang dapat mengikat kuat pada
DNA. Etidium juga biasa digunakan dalam biokimia untuk memvisualisasi potong-potongan
DNA yang telah di pisahkan pada gel elektroforesis (Anonim, 2011). Ethidium bromide
disiapkan dalam larutan stock 10 mg/ml dalam botol gelap.
5.3.2 Persiapan Agarose
Agarose adalah polimer linier yang tersusun dari residu D-galaktose dan L-galaktose.
Agarose yang dibuat sebesar 1,5-2% dalam larutan 1 TAE atau 1 TBE dalam botol gelas
kemudian panaskan pada suhu 100-1500C selama 10 menit dalam microwave hingga bening.
Setelah dipanaskan kemudian didinginkan hingga suhunya mencapai 600C. Agarose yang cukup
dingin dituangkan ke dalam cetakan agarose yang telah dipasangi sisir dan yang perlu
diperhatikan saat penuangan yakni menghindari terjadinya gelembung udara namun jika ada
gelembung udaranya dapat dibuang dengan menggunakan mikrotip.
Setelah agarose telah terbentuk dan siap digunakan maka berlanjut pada proses
elektroforesis dimana 2 µl loading dye disiapkan sesuai jumlah sampel yang ada. Kemudian
lakukan preparasi DNA marker, masukan 4 µl marker dalam sumur gel agarose. Amplicon hasil
PCR sebanyak 10 µl dicampurkan dengan masing-masing loading dye dan masukan 10 µl
campuran tersebut dalam sumur berikutnya. Setelah semua dimasukan dalam gel agarose
kemudian alirkan listrik 100 V hingga indikator warna bromphenol blue bergerak ¾ bagian dari
panjang gel.
5.3.3. Running DNA
Running DNA berlangsung di dalam gel yang direndam pada larutan buffer. Running
DNA ini dibantu dengan adanya aliran listrik pada alat elektroforesis. Dimana DNA di dalam gel
mengikuti arus listrik dari kutub negatife menuju kutub positif. Pergerakan ini terjadi dimana
fragmen DNA yang lebih kecil berat molekulnya akan berjalan lebih cepat dari molekul DNA
yang lebih besar. Setelah menunggu ± 1 jam baru kemudian gel agarose diangkat dan siap
menuju tahap selanjutnya.
5.3.4. Pewarnaan DNA
Pewarnaan DNA dengan larutan Et Br ini akan memudahkan kita untuk dapat melihat
hasilnya karena biasanya dalam proses ini Et Br dapat memvisualisasikan potongan DNA setelah
melalui proses elektroforesis. Pewarnaan dimulai dengan memasukan 0,05 % Et Br dalam wadah
plastic bersamaan dengan gel agarose hingga terendam seluruhnya. Digoyang-goyangkan selama
10 menit agar larutan terserap pada gel agarose kemudian diangkat. Untuk menghilangkan Et Br
yang tersisa gel agarose direndam kembali dalam aquades selama 10 menit dengan perlakuan
yang sama dengan Et Br di atas. Kemudian letakan gel agarose pada UV transilluminator untuk
dibaca hasilnya.
5.4. Visualisasi Pita DNA Pembacaan pita DNA yang terbentuk dengan menggunakan UV transilluminator
dilakukan dengan membandingkan pergerakan pita pada sampel dengan kontrol positif da
negatife. Gambar hasil PCR dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
Kontrol Negatif Sampel 1.
Dari gambar terlihat antara sampel 1 dan kontrol negatifnya sejajar sehingga dapat disimpulkan
bahwa sampel tersebut negative terserang VNN.
5.5. Permasalahan Dalam Metode PCRDalam metode PCR dapat juga ditemukan adanya kendala yang dapat menyebabkan
kegagalan dalam metode tersebut. Salah satu yang terjadi di Laboratorium Kesehatan Ikan dan
Lingkungan Sekotong adalah masalah tegangan listrik yang tidak stabil. Tegangan listrik yang
tidak stabil ini berpotensi dalam merusak laju amplifikasi dimana akan berpengaruh dalam
pengaturan suhu. Menurut Puspaningrum (2008), penyebab kegagalan PCR yang biasanya terjadi
adalah proses denaturasi DNA target atau amplikon yang tidak lengkap oleh suhu yang tidak
tepat. Tidak lengkapnya proses denaturasi akan menyebabkan renaturasi secara cepat sedangkan
waktu denaturasi yang terlalu lama dapat mempengaruhi kerja taq polymerase. Masalah listrik
ini tidak terlalu menjadi masalah yang pokok dalam metode PCR ini hal ini dapat ditanggulangi
dengan menggunakan stavol.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2011. Virus VNN. http://petambakaceh.org/index.php/informasi/info-penyakit/154-apa-itu-vnn. Diakses 1 Oktober 2011.
, 2011. Transfering virus. http:// rizal-bbajujungbatee.blogspot.com/2009/10/transferring-virus.html. Diakses 1 Oktober 2011.
, 2011. Reaksi PCR. http://reaksi chain polymerase. Blogspot. Com/2007/07/komponen-pcr. Html. Diakses 20 September 2011.
, 2011. Amplifikasi_Acak_Polimorfisme_DNA. http://id.wikipedia.org/wiki/Amplifikasi_Acak_Polimorfisme_DNA. Diakses 29 November 2011.
, 2011. Betanodavirus. http://viralzone.expasy.org/cgi-bin/viralzone/search?
query=betanodavirus&commit=search+virus. Diakses 29 November 2011.
, 2011. RT-PCR. http://tophotnews.wordpress.com/?s=RT-PCR. Diakses 29 November 2011.
, 2011. Nested PCR. http://id.wikipedia.org/wiki/Nested_PCR. Diakses 29 November 2011.
, 2011. Characterisation of the capsid protein gene from a nodavirus strain affecting the Atlantic halibut Hippoglossus hippoglossus and design of an optimal reverse-transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR) detection assay. http://www.int-res.com/articles/dao/39/d039p079.pdf. Diakses 29 November 2011.
, 2011. Ethidium bromide dan asam nuleat. http://kamulagingapain.blogspot.com/2009/10/ethidium-bromide-dan-asam-nuleat.html. Diakses 29 November 2011.
Bell, G. R., 1978. Investigation of Mortalalities in the field, in: Bagenal, T. (editor). Methods for assessement of production in freshwater. IPB Handbook No.3(Blackwell, Oxford), pp.225-273.
Chi, S. C., 2006. Piscine Nodavirus Infection in Asia. Department of Life Science and Institute of Zoology. National Taiwan University.
Muladno, 2003. Seputar Teknologi Rekayasa Genetika. USESE (Unit for Social and Economic Study and Evaluation), KPP IPB Baranangsiang III F6 No. 18. Bogor.
Nguyen, H. D., K. Mushiake, T. Nakai and K. Muraga, 1997. Tissue distribution of striped jack nervous necrosis virus (SJNNV) in adult striped jack, Faculty of Applied Biological Science, Hiroshima University. Higashihiroshima 739. Japan.
Kordi, K., M. Ghufran, 2007. Budidaya Kerapu Macan. Aneka Ilmu. Semarang.
Prasetyo, A., 2009. Materi Asistensi Biomedik FK UNS. FK UNS. Semarang
Prijanto, Muljati. 1992. Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk Diagnosis Human Immunodeficiency Virus (HIV). (http://www.pcr.htm). Diakses 1 Desember 2011.
Puspaningrum, A., 2008. Penerapan Metode. FMIPA UI. Bogor.
Sarig, S., 1971. Diseases of Warmwater Fishes. TFH Publ., Neptune City New Jersey.
Sulandari, Sri, M. Syamsul, 2003. Panduan Praktis Laboratorium DNA. Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi-LIPI. Jakarta.
Theophilus, B.D.M. 2008. Principles and Medical Applications of the Polymerase Chain Reaction. In: Molecular Biomethods Handbook Second Edition. Ed: Walker, J.M., Rapley, R. Humana Press, NJ, USA
Thie´ry, R., J. Cozien, J. Cabon, F. Lamour, M. Baud, and A. Schneemann, 2006. Induction of a Protective Immune Response against Viral Nervous Necrosis in the European Sea Bass Dicentrarchus labrax by Using Betanodavirus Virus-Like Particles, French Food Safety Agency, BP 70, F-29280 Plouzane´, France,1 and Department of Molecular Biology, The Scripps Research Institute, La Jolla, California 920372
Yuasa, K., I. Koesharyani, D. Roza, F. Jhonny, and Zafran. 2011. Manual for PCR procedure : Rapid diagnosis on Viral Nervous Necrosis (VNN) in grouper. Lolitkanta-JICA Booklet. 13. 35 pp.
Yukio, M., Leobert d. De la peña and Erlinda R. Cruz-lacierda, 2007. Susceptibility of Fish Species Cultured in Mangrove, Southeast Asian Fisheries Development Center (SEAFDEC) (Tigbauan 5021, Iloilo, Philippines).
Yuwono, T., 2006. Teori dan Aplikasi Polymerase Chain Reactio. Penerbit Andi. Yogyakarta.