biomol 8

25
PROPOSAL DETEKSI VIRUS VNN DENGAN PCR PADA KERAPU 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan saat ini mulai berkembang, bukan hanya perikanan darat dan payau akan tetapi perikanan laut juga saat ini semakin berkembang. Ikan kerapu merupakan salah satu komoditas perikanan laut yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi dengan banyaknya permintaan dipasaran. Namun budidaya ikan kerapu saat ini sedang mengalami kendala akibat adanya serangan penyakit infeksi Viral Nervous Necrosis (VNN) dengan tingkat kematian yang tinggi. Melihat kondisi tersebut perlu adanya usaha untuk menanggulangi infeksi ataupun penyebaran dari virus ini, salah satunya dengan cara pendeteksian awal adanya virus ini. Balai Budidaya Laut Lombok salah satu Balai yang saat ini sedang melakukan pendeteksian virus VNN menggunakan metode PCR yang dilakukan secara rutin. Metode PCR merupakan metode untuk memperbanyak molekul DNA dengan ukuran tertentu secara enzimatik melalui mekanisme perubahan suhu (Sulandari, 2003). Dengan metode ini dapat diperoleh pelipatgandaan suatu sekuen DNA dalam genom virus yang mana hanya dengan mencampurkan kulturnya di dalam tabung PCR. Sehingga dari jaringan tubuh ikan yang sakit dapat diketahui jenis organisme patogen yang menyerangnya. Melihat pentingnya metode PCR dalam pendeteksian virus maka penguasaan teknologi ini dinilai merupakan hal yang penting, yang

Transcript of biomol 8

Page 1: biomol 8

PROPOSAL DETEKSI VIRUS VNN DENGAN PCR PADA KERAPU

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perikanan saat ini mulai berkembang, bukan hanya perikanan darat dan payau akan tetapi

perikanan laut juga saat ini semakin berkembang. Ikan kerapu merupakan salah satu komoditas

perikanan laut yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi dengan banyaknya permintaan

dipasaran. Namun budidaya ikan kerapu saat ini sedang mengalami kendala akibat adanya

serangan penyakit infeksi Viral Nervous Necrosis (VNN) dengan tingkat kematian yang tinggi.

Melihat kondisi tersebut perlu adanya usaha untuk menanggulangi infeksi ataupun penyebaran

dari virus ini, salah satunya dengan cara pendeteksian awal adanya virus ini.

Balai Budidaya Laut Lombok salah satu Balai yang saat ini sedang melakukan pendeteksian

virus VNN menggunakan metode PCR yang dilakukan secara rutin. Metode PCR merupakan

metode untuk memperbanyak molekul DNA dengan ukuran tertentu secara enzimatik melalui

mekanisme perubahan suhu (Sulandari, 2003). Dengan metode ini dapat diperoleh

pelipatgandaan suatu sekuen DNA dalam genom virus yang mana hanya dengan mencampurkan

kulturnya di dalam tabung PCR. Sehingga dari jaringan tubuh ikan yang sakit dapat diketahui

jenis organisme patogen yang menyerangnya.

Melihat pentingnya metode PCR dalam pendeteksian virus maka penguasaan teknologi

ini dinilai merupakan hal yang penting, yang kegiatannya diusulkan melalui proposal Praktek

Kerja Lapangan dengan judul “Analisa Virus VNN Pada Ikan Kerapu Dengan Menggunakan

Metode PCR Dibalai Budidaya Laut Lombok, Sekotong Lombok Barat”.

1.2 Tujuan

Page 2: biomol 8

Tujuan dari pelaksanaan Praktek Kerja Lapang (PKL) ini adalah untuk mengetahui cara

menganalisa virus VNN yang biasa menyerang pada ikan kerapu dengan menggunakan metode

PCR dan mengetahui permasalahan dalam menggunakan metode tersebut.

1.3 Manfaat

Manfaat yang didapat dari pelaksanaan Praktek Kerja Lapang (PKL) antara lain:

a)      Dapat menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam bidang penyakit ikan khususnya

dalam proses analisis pendeteksian virus.

b)      Dapat menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam menggunakan teknik PCR.

c) Dapat dimanfaatkan oleh lembaga perguruan tinggi sebagai bahan kajian untuk mengembangkan

riset dalam penanggulangan virus pada ikan.

Page 3: biomol 8

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Pada Ikan

Penyakit ikan biasanya timbul berkaitan dengan lemahnya kondisi ikan yang diakibatkan

oleh beberapa faktor yaitu antara lain penanganan ikan, faktor pakan yang diberikan, dan

keadaan lingkungan yang kurang mendukung. Pada padat penebaran ikan yang tinggi jika faktor

lingkungan kurang menguntungkan misalnya kandungan zat asam dalam air rendah, pakan yang

diberikan kurang tepat baik jumlah maupun mutunya, penanganan ikan kurang sempurna, maka

ikan akan menderita stress.Dalam keadaan demikian ikan akan mudah terserang oleh penyakit

(Sarig, 1971).

Bell (1978) mengemukakan bahwa ada tiga kemungkinan penyebab kematian populasi ikan

di kolam atau di perairan lain, yaitu stress lingkungan atau keracunan, infeksi mikroba (virus,

bakteri, protozoa, dan fungi), dan infeksi metazoa (coelenterate, cestoda, nematoda,

acantocephala, crustacea, dan lain-lain). Stress mencakup semua spesies ikan dan dari semua

kelompok umur. Infeksi mikroba ditandai dengan adanya radang atau luka di bagian luar

(eksternal) atau bagian dalam (internal) tubuh ikan, pendarahan subkutan, pembengkakan, luka,

perubahan warna ikan insang yang pucat dan filamen yang rusak, sirip-sirip yang cabik, insang

atau kulit ditutupi oleh mucus (lendir), dan lain-lain. Infeksi mikroba biasanya hanya terjangkit

pada satu spesies dan kematian satu spesies dan kematian biasanya berjalan relatif cepat. Infeksi

metazoa, baik yang bersifat ekto maupun yang endoparasit, biasa keduanya dapat dilihat dengan

mata telanjang. Efek yang bersifat sublethal berkembang lambat, dan kematian juga lambat.

Biasanya hanya satu spesies ikan yang terjangkit, dan kadang-kadang dari satu kelompok umur

saja.

2.2 Penyakit yang Menyerang Ikan Kerapu

Dalam budidaya ikan, termasuk budidaya ikan kerapu penyakit ikan dapat mengakibatkan

kerugian ekonomis. Penyakit pada ikan kerapu dibagi menjadi penyakit noninfektif dan infektif.

Penyakit noninfektif tidak menyebabkan infeksi dan tidak menular namun tetap menjadi masalah

penting karena penyakit noninfeksi ini dapat membuka peluang terjadinya perkembangan

penyakit infeksi. Sedangkan penyakit infeksi disebabkan oleh patogen yang mana dapat menular.

Page 4: biomol 8

Penyakit infektif diantaranya penyakit bintik putih yang disebabkan oleh parasit Cryptocaryon

sp, penyakit gatal oleh parasit Trichodina sp, penyakit piscicolasis oleh parasit Piscicola sp

sejenis lintah, penyakit diplectanumiosis yang disebabkan oleh parasit cacing  jenis Diplectanum,

penyakit kerusakan sirip oleh bakteri dari jenis Mycobacter sp, penyakit pendarahan pada mata

oleh bakteri jenis Streptococcus sp, sindrom gelembung renang, jamur yang umumnya

merupakan infeksi sekunder, dan yang paling mematikan penyakit yang disebabkan oleh virus

dimana masih belum ditemukan obat yang cocok untuk memberantasnya. Salah satunya yakni

Viral Nervous Necrosis atau VNN dimana pada umumnya menginfeksi stadia larva sampai

yuwana dan menyerang sistem organ syaraf mata dan otak yang ditandai dengan gejala yang

cukup spesifik karena ikan menampakan tingkah laku berenang yang tidak normal dan umumnya

ikan berdiam di dasar (Kordi, 2007).

2.3 Viral Nervous Necrosis

Viral Nerveus Necrosis (VNN) (istilah alternatif: virus encephalopathy dan retinopathy

(VER) adalah penyakit yang terdaftar oleh The Office International des Epizooties (OIE),

menjadi masalah utama di dalam produksi perikanan laut di dunia. Identifikasi virus penyebab

VNN ini adalah anggota family Nodaviridae diperoleh dengan menyelidiki asam nukleat dan

protein struktural dari larva virus Pseudocaranx dentex. Keluarga Nodaviridae terdapat dua jenis

yaitu jenis Alphanodavirus dan Betanodavirus, kedua jenis ini sangat ganas dalam menginfeksi

ikan. Betanodaviruses (family Nodarideae) adalah agen penyebab serangan viral nerveus

necrosis (VNN) pada budidaya ikan laut. Betanodaviruses adalah virus kecil, berbentuk bola,

tidak punya kapsid dengan genome yang terdiri atas dua ikatan tunggal (Yukio, 2007).

Betanodaviruses adalah agen peyebab serangan viral nerveus necrosis (VNN) pada

budidaya ikan laut. Otak ikan dan jaringan lain hewan invertebrate telah diuji dengan Reverse

Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) dengan tujuan untuk mendeteksi

betanodavirus. Hasil positif uji PCR diperoleh dari otak 8 jenis ikan laut (shrimp fish Aeoliscus

strigatus, milkfish Chanos chanos, three spot damsel Dascyllus trimaculatus, Japanese anchovy

Engraulis japonicus, pinecone fish Monocentris japonica, blue ribbon eel Rhinomuraena

quaesita, look down fish Selene vomer, yellow tang Zebrasoma flavesenes), 1 jenis invertebrate

laut (spiny lobster Pamulirus versicolor), dan 2 jenis ikan air tawar (South American leaf fish

Monocirrhus polyacanthus and red piranha Pygocentrus nattereri). Tingkat pendeteksian PCR

Page 5: biomol 8

adalah 11/237 (4.64%). Secara subklinik dan ikan dalam akuarium terkena infeksi dan

invertebrate berdasarkan sumber inoculum betanodaviruses (Anonim, 2011).

2.4 Transmisi dari VNN

Transmisi  dari virus ini dapat terjadi secara vertikal dan horizontal. Transmisi VNN

secara vertical, dapat menyebar dari induk ke larva. Telur adalah suatu sumber  virus yang

penting. VNN dapat dideteksi ada pada gonad, usus, perut, ginjal dan hati sebagai tempat inang

mengeram. VNN menyebar dalam indung telur sehingga telur dapat menyebabkan transmisi

vertikal dari virus ini. Kebiasaan makan dan makanan dari ikan dapat juga menjadi sarana

penyebaran virus VNN  baik itu antar spesies (Inter-Species) maupun sesama spesies (Intra-

Species) baik secara klinis atau secara subklinik sehingga menyerang ikan. Organisme sebagai

makanan hidupnya yang terkontaminasi VNN seperti pada Artemia, Copepoda, dan Ikan rucah

sebagai pakan hidup ikan kerapu. Perilaku sebagai ikan karnivora misalnya pada masa larva ikan

grouper (kerapu) juga menjadi alternatif dari penyebaran virus VNN tersebut. Transmisi VNN

secara horizontal pada populasi ikan liar pada area budidaya aquakultur dan ikan-ikan liar di laut

pernah diketahui terkena infeksi VNN dengan genotype RGNNV. Transmisi secara horisontal

juga dapat melalui ikan yang tidak punya gejala terkena infeksi VNN (Anonim, 2011).

2.5 Gejala Ikan yang Terserang VNN

Gejala klinis umum VNN pada beberapa jenis ikan antara lain perilaku ikan terserang

berenang tak menentu, dan ikan mengapung dengan perut diatas disebabkan oleh pembengkakan

gelembung renang (swim bladder), warna tubuh terlihat lebih gelap dan selera makan berkurang.

Kematian (mortalitas) kumulatif mencapai 34% dan 56% selama 10 minggu. Ikan yang terkena

infeksi VNN biasanya memperlihatkan keadaan gangguan saraf yang berhubungan dengan

vacuolisasi (kerusakan) kuat sistem nerves pusat dan retina (Thie´ry, et. all, 2006).

2.6 Diagnosa Virus

Saat ini telah dikembangkan berbagai metode diagnosis virus diantaranya metode

konvensional seperti histopatologi, dotblot, hibridisasi, in situ dan PCR dan RT-PCR. Metode

diagnosis dengan PCR mungkin merupakan salah satu metode yang cepat dan menjanjikan

tingkat akurasi yang tinggi dibandingkan metode lain. Sampel dapat disiapkan dalam awetan

alkohol 70% dalam potongan kecil (0,5 cm), untuk PCR dan penggunaan formalin 10% untuk

pemeriksaan histopatologi (Nguyen, 1997).

Beberapa sistem diagnosa yang efektif dari VNN antara lain:

Page 6: biomol 8

a. Berdasarkan Asam Nukleat misalnya RT-PCR dan PCR serta Hibridisasi secara in situ.

b. Berdasarkan Protein misalnya IFA, penandaan IHC, ELISA, Western Blot dan One-step

Immunochromatography.

c. Berdasarkan Virion misalnya Kultur Sel (Chi, 2006).

2.7 Polymerase Chain Reaction

Reaksi berantai polimerase (Polymerase Chain Reaction, PCR) adalah suatu metode

enzimatis untuk melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuen nukleotida tertentu dengan

cara in vitro. Metode ini pertama kali dikembangkan pada tahun 1985 oleh Kary B. Mullis

seorang peneliti di perusahaan CETUS Corporation. Metode ini sekarang telah banyak

digunakan untuk berbagai macam manipulasi dan analisis genetik. Pada awal perkembangannya

metode ini hanya digunakan untuk melipatgandakan molekul DNA, tetapi kemudian

dikembangkan lebih lanjut sehingga dapat digunakan pula untuk melipatgandakan dan

melakukan kuantitasi molekul mRNA (Yuwono, 2006).

Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah cara in vitro untuk memperbanyak target sekuen

spesifik AN untuk analisis cepat atau karakterisasi, walaupun material yang digunakan pada awal

pemeriksaan sangat sedikit. Pada dasarnya PCR meliputi tiga perlakuan yaitu:denaturisasi,

hibridisasi dari "primer" sekuen DNA pada bagian tertentu yang diinginkan, diikuti dengan

perbanyakan bagian tersebut oleh Tag polymerase; dikerjakan dengan mengadakan campuran

reaksi dalam tabung mikro yang kemudian diletakkan pada blok pemanas yang telah diprogram

pada seri temperatur yang diinginkan (Prijanto, 1992).

2.8 Prinsip Kerja PCR

Reaksi pelipatgandaan suatu fragmen DNA dimulai dengan melakukan denaturasi DNA

template (cetakan) sehingga rantai DNA yang berantai ganda akan terpisah menjadi rantai

tunggal. Denaturasi DNA dilakukan dengan menggunakan panas (950C) selama 1-2 menit,

kemudian suhu diturunkan menjadi 550C sehingga primer akan “menempel” (annealing) pada

cetakan yang telah terpisah menjadi rantai tunggal. Primer akan membentuk jembatan hidrogen

dengan cetakan pada daerah sekuen yang komplomenter dengan sekuen primer. Suhu 550C yang

digunakan untuk penempelan primer pada dasarnya merupakan kompromi. Amplifikasi akan

lebih efisien jika dilakukan pada suhu yang lebih rendah (370C) tetapi biasanya akan terjadi

mispriming yaitu penempelan primer pada tempat yang salah. Pada suhu yang lebih tinggi (550C)

spesifisitas reaksi amplifikasi akan meningkat, tetapi secara keseluruhan efisiensinya akan

Page 7: biomol 8

menurun. Reaksi ini dilakukan berulang-ulang sampai 25-30 kali (siklus) sehingga pada akhir

siklus akan didapatkan molekul-molekul DNA rantai ganda yang baru hasil polimerasi dalam

jumlah yang jauh lebih banyak dibandingkan jumlah DNA cetakan yang digunakan (Yuwono,

2006).

2.9 Komponen PCR

Ada 2 komponen terpenting dari reaksi PCR, yaitu sekuen DNA pendek atau sisi area

yang akan dikopi. Tindakan utama adalah untuk mengidentifikasi atau menentukan target dari

cetakan DNA yang akan dikopi. Yang mengendalikan reaksi PCR adalah oligonukleotida yang

diciptakan secara kimiawi dan ditambahkan dalam konsetrasi yang tinggi ke dalam cetakan

DNA. Beberapa pengetahuan tentang rangkaian DNA yang tercetak dibutuhkan untuk rangkaian

primer yang sesuai. Komponen lain dari reaksi PCR terdiri dari kerangka DNA yang akan

dicetak, membangun blok dengan membentuk ke empat nukleutida, dan DNA polimerase

bergabung dengan blok pada dasar dari rangkaian kerangka DNA. Ketika menset sample yang

berisi beberapa primer dan reaksi komponen, ini biasa untuk mempersiapkan campuran

sempurna yang dapat memberikan kuantitas sama pada PCR lain. Prosedur ini membantu untuk

memastikan adanya homogenitas di antara sampel-sampel. Dalam melakukan percobaan

terhadap sampel yang berbeda-beda, utamanya harus memeriksa variasi dari sampel DNA

dengan tidak ada perbedaan pada reaksi komponen dan cara pengolahan sampel (Anonim, 2011).

Empat komponen utama pada proses PCR adalah (1) DNA cetakan, yaitu fragmen DNA

yang dilipatgandakan, (2) oligonukleotida primer yaitu suatu sekuen oligonukleotida pendek (15-

25 basa nukleotida) yang digunakan untuk mengawali sintesis rantai DNA, (3)

deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP) terdiri atas dATP, dCTP, dGTP, dTTP, dan (4) enzim

DNA polymerase yaitu enzim yang melakukan katalisis reaksi sintesis rantai DNA. Komponen

lain yang juga penting adalah senyawa buffer (Yuwono, 2006).

BAB V.  HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Koleksi Sampel

            Sampel diambil dari bak pendederan di wilayah pembudidayaan dimana saat itu banyak

ikan yang sakit dan mati. Sampel yang diambil sebanyak 4 ekor ikan kakap beserta air

budidayanya. Alat yang digunakan untuk membawa sampel dari bak menuju lab yakni box

Page 8: biomol 8

steroform sedangkan untuk airnya menggunakan botol aqua. Setelah di lab ikan kemudian

diidentifikasi baik secara morfologi maupun anatomi dan diukur panjang maupun bobot

tubuhnya. Setelah itu dilakukan pengujian kualitas air dari wadah budidaya sampel tersebut.

                                    Gambar 5. Sampel Ikan Kakap

5.1.1.  Identifikasi Sampel

5.1.2. Isolasi Jaringan

            Setelah diidentifikasi, sampel kemudian dibedah pada bagian kepalanya. Tidak semua

sampel yang dibedah namun hanya ada 2 ekor yang dibedah.         Pada kasus VNN jaringan

tubuh ikan yang diambil yakni berasal dari bagian otak dan mata (untuk ikan besar) dan seluruh

bagian kepala untuk larva hal ini dikarenakan karena VNN termasuk golongan virus yang

menyerang system saraf dan retina mata  ikan laut yang dikenal dengan nama Viral

Encephalopathy and Retinopathy (VER) (Anonim, 2011). Bagian otak dan mata yang diambil

kemudian dimasukkan ke dalam mikrotube khusus PCR.

5.1.3. Isolasi dan Ekstraksi RNA

            Sampel yang didapatkan akan diekstraksi untuk mendapatkan materi genetiknya (RNA).

Ekstraksi ini diawali dengan penambahan 500 µl RNA extraction solution. Pemberian RNA

extraction solution dikarenakan VNN termasuk dalam golongan virus RNA. Kemudian larutan

tersebut digerus dengan pellet pestle steril dan diinkubasi pada suhu (25-300C) selama 5 menit

setelah itu diberi 100 µl chloroform dan di vortex kembali. Inkubasi ini bertujuan untuk

mengkondisikan lingkungan untuk tumbuh dan berkembang  biak sehingga virus dapat tumbuh

dan menunjukan karakteristik sesuai dengan yang dikehendaki, sedangkan pemberian chloroform

dapat membantu menghilangkan penghambat PCR yang terdapat pada larutan ekstrak metode ini

akan menghasilkan lapisan air yang mengandung asam nukleat (Theophilus, B.D.M. 2008).

Sampel kemudian diinkubasi kembali dalam suhu 25-300C selama 2-3 menit selanjutnya di

sentrifugasi  pada kecepatan 12.000 rpm selama 15 menit. Sentifugasi bertujuan untuk

Page 9: biomol 8

memisahkan berat jenis larutan sehingga nantinya dapat dipisahkan dimana berat jenis yang lebih

kecil akan naik ke atas. Setelah di sentrifugasi fase cair yang ada dibagian atas dipindahkan

sebanyak 200 µl ke dalam mikrotube dengan ditambahkan 200 µl isopropanol dan divortex

(dicampur) selama 20 detik. Sentrifugasi kembali pada kecepatan 12.000 rpm selama 10 menit

kemudian buang cairan pada bagian atas. Hasil akhirnya kemudian dicuci dengan alkohol 75 %

sebanyak 500 µl dan disentrifugasi kembali pada kecepatan 9000 rpm selama 5 menit. Kemudian

buang alkohol absolute dan keringkan. Padatan yang ada kemudian dilarutkan dengan 200 µl

ddH2O (aquabides).

5.2 Amplifikasi

            Amplifikasi merupakan reaksi pelipatgandaan cDNA target secara in vitro sehingga dapat

dideteksi dengan elektroforesis (Anonim, 2011). Sebelum dilakukannya amplifikasi terlebih

dahulu disiapkan formulasi reaksi first PCR dan nested PCR untuk sejumlah reaksi yang mana

terdiri dari 1 kontrol positif berat, 1 kontrol positif sedang atau 1 kontrol positif ringan, 1 kontrol

negatife dan sejumlah sampel. Komposisi pereaksi untuk first PCR dan nested PCR tercantum

dalam tabel dibawah ini.

Tabel 2. Komposisi pereaksi untuk first PCR (RT-PCR reaction)

No. Pereaksi Jumlah atau Volume Pereaksi

1. Premix RT-PCR 7 µl

2. IQzyme 2 unit/µl 0.5 µl

3. RT-enzyme mix 0.5  µl

Tabel 3. Komposisi pereaksi untuk nested  PCR

No. Pereaksi Jumlah atau Volume Pereaksi

1. Premix nested PCR 14 µl

2. IQzyme 2 unit/ µl 1 µl

            Formulasi reaksi yang dibuat kemudian ditambahkan ke dalam sampel dimana 2  µl

sampel ditambahkan 8 µl pereaksi first PCR dalam mikrotube ukuran 0.2 ml. Proses ini juga

dilakukan pada kontrol positif dan negatife kemudian dilakukan proses amplifikasi dengan siklus

seperti tabel di bawah ini.

Tabel 4. Pengaturan suhu dan siklus Thermocycler reaksi first PCR.

Page 10: biomol 8

No. Suhu Lama Jumlah Siklus

1. 420C 30 menit1 siklus

2. 940C 2 menit

3. 940C 30 detik

15 siklus4. 620C 30 detik

5. 720C 30 detik

6. 720C 30 detik1 siklus

7. 200C 7 menit

            Setelah reaksi first PCR selesai ke dalam setiap mikrotube ditambahkan 15 µl pereaksi

nested PCR dan dilanjutkan dengan amplifikasi dengan siklus pada tabel 4 berikuti ini.

Tabel 5. Pengaturan suhu dan siklus Thermocycler reaksi nested PCR.

No. Suhu Lama Jumlah Siklus

1. 940C 20 detik

30 siklus2. 620C 20 detik

3. 720C 30 detik

4. 720C 30 detik1 siklus

5. 200C 7 menit

Pada kasus VNN proses ampilifikasi dilakukan dengan 2 jenis pereaksi yakni first PCR

dan nested PCR hal ini dikarenakan VNN termasuk dalam virus jenis RNA (Anonim, 2011).

Sedangkan dalam proses PCR yang diperbanyak adalah materi DNA sehingga perlu diubah

terlebih dahulu dari RNA menjadi DNA dengan bantuan pereaksi first PCR pada proses

ampiflikasi pertama. Dalam reverse transcription (RT)-PCR reaction atau perekasi first PCR,

sebaliknya, untai RNA pertama-tama di transkrip balik menjadi DNA komplemen

(complementary DNA, atau cDNA) menggunakan enzim reverse transcriptase, dan cDNA yang

dihasilkan akan digandakan sepertihalnya PCR pada umumnya dengan kata lain transkripsi balik

dimana RNA ditranskrip balik menjadi cDNA menggunakan enzim reverse transcriptase dan

primer (Anonim, 2011). Kemudian setelah proses RT-PCR dilanjutkan dengan proses nested

PCR dimana adalah suatu teknik perbanyakan (replikasi) sampel DNA menggunakan bantuan

Page 11: biomol 8

enzim DNA polymerase yang menggunakan dua pasang primer untuk mengamplifikasi fragmen

(Anonim, 2011).

Pada proses amplifikasi terjadi beberapa tahapan yakni denaturasi, annealing dan

pemanjangan dimana semua proses tersebut dipengaruhi oleh suhu dan waktunya. Pada suhu 94-

950C DNA mengalami denaturasis (pembelahan untai ganda menjadi untai tunggal). Waktu yang

diperlukan untuk proses ini sekitar 30 detik pada suhu 950C atau 15 detik pada suhu 970C.

Apabila DNA target mengandung banyak nukleotida G/C suhu denaturasi dapat ditingkatkan.

Denaturasi ini merupakan proses yang penting dimana jika proses ini tidak lengkap akan

menyebabkan renaturasi secara cepat, sedangkan waktu denaturasi yang terlalu lama dapat

mempengaruhi kerja enzim taq polymerase dan mempengaruhi keberhasilan proses PCR.

Apabila suhunya diturunkan antara 36-720C terjadi proses penempelan primer (annealing) yang

merupakan penempelan primer pada DNA yang telah terbelah pada tempat yang spesifik. Bila

suhunya dinaikan lagi sampai 720C, maka primer dengan bantuan enzim DNA polymerase akan

membentuk untaian DNA sesuai dengan runutan DNA yang terbelah proses ini disebut elongasi

(extention). Extention adalah pemanjangan primer dengan bantuan enzim polymerase sehingga

akan terbentuk 2 buah DNA untai tunggal baru. Umumnya setelah proses siklus PCR selesai

ditambah post elongasi selama 5-10 menit pada temperature 720C agar semua hasil PCR

berbentuk untai ganda (Muladno, 2003).

5.3 Elektroforesis

Menurut Prasetyo (2009) elektroforesis adalah perpindahan molekul yang bermuatan

sebagai respon terhadap medan listrik. Angka perpindahan tergantung pada kekuatan medan

listrik, muatan listrik, ukuran dan bentuk molekul, kekuatan ionik, viskositas, dan suhu medium

yang digunakan oleh molekul tersebut untuk berpindah. Ada bermacam-macam zat kimia yang

digunakan sebagai gel di dalam proses elektroforesis. Penggunaan jenis gel disesuaikan dengan

tujuan yang akan dicapai. Pada kesempatan ini hanya dua cara yang digunakan dalam proses

elektroforesis yaitu elektroforesis gel agarose (AGE) dengan visualisasi menggunakan ethidium

bromide dan elektroforesis gel polyacrilamide (PAGE) dengan visualisasi menggunakan silver

staining (Sulandari, Sri, M. Syamsul, 2003).

            Dalam PKL ini bahan yang digunakan yakni elektroforesis gel agarose (AGE) dengan

visualisasi menggunakan ethidium bromide. Sebelum berlanjut pada proses elektroforesis

Page 12: biomol 8

pertama-tama disiapkan terlebih dahulu larutan ethidium bromide dan agarose yang mana

langkah-langkahnya seperti berikut:

5.3.1 Penyiapan Et Br (Ethidium Bromide)            Ethidium bromide adalah zat mutagen yang sangat kuat dan dapat menyebabkan kanker.

Oleh karena itu dalam menggunakan zat ini harus dilengkapi dengan sapu tangan dan masker

sebagai pelindung diri. Etidium merupakan sebuah molekul yang dapat mengikat kuat pada

DNA. Etidium juga biasa digunakan dalam biokimia untuk memvisualisasi potong-potongan

DNA yang telah di pisahkan pada gel elektroforesis (Anonim, 2011).  Ethidium bromide

disiapkan dalam larutan stock 10 mg/ml dalam botol gelap.

5.3.2 Persiapan Agarose

Agarose adalah polimer linier yang tersusun dari residu D-galaktose dan L-galaktose.

Agarose yang dibuat sebesar 1,5-2% dalam larutan 1  TAE atau 1  TBE dalam botol gelas

kemudian panaskan pada suhu 100-1500C selama 10 menit dalam microwave hingga bening.

Setelah dipanaskan kemudian didinginkan hingga suhunya mencapai 600C. Agarose yang cukup

dingin dituangkan ke dalam cetakan agarose yang telah dipasangi sisir dan yang perlu

diperhatikan saat penuangan yakni menghindari terjadinya gelembung udara namun jika ada

gelembung udaranya dapat dibuang dengan menggunakan mikrotip.

Setelah agarose telah terbentuk dan siap digunakan maka berlanjut pada proses

elektroforesis dimana 2 µl loading dye disiapkan sesuai jumlah sampel yang ada. Kemudian

lakukan preparasi DNA marker, masukan 4 µl  marker dalam sumur gel agarose. Amplicon hasil

PCR sebanyak 10 µl  dicampurkan dengan masing-masing loading dye dan masukan 10 µl

campuran tersebut dalam sumur berikutnya. Setelah semua dimasukan dalam gel agarose

kemudian alirkan listrik 100 V hingga indikator warna bromphenol blue bergerak ¾ bagian dari

panjang gel.

5.3.3. Running DNA

Running DNA berlangsung di dalam gel yang direndam pada larutan buffer. Running

DNA ini dibantu dengan adanya aliran listrik pada alat elektroforesis. Dimana DNA di dalam gel

mengikuti arus listrik dari kutub negatife menuju kutub positif. Pergerakan ini terjadi dimana

fragmen DNA yang lebih kecil berat molekulnya akan berjalan lebih cepat dari molekul DNA

yang lebih besar. Setelah menunggu ± 1 jam baru kemudian gel agarose diangkat dan siap

menuju tahap selanjutnya.

Page 13: biomol 8

5.3.4. Pewarnaan DNA

Pewarnaan DNA dengan larutan Et Br ini akan memudahkan kita untuk dapat melihat

hasilnya karena biasanya dalam proses ini Et Br dapat memvisualisasikan potongan DNA setelah

melalui proses elektroforesis. Pewarnaan dimulai dengan memasukan 0,05 % Et Br dalam wadah

plastic bersamaan dengan gel agarose hingga terendam seluruhnya. Digoyang-goyangkan selama

10 menit agar larutan terserap pada gel agarose kemudian diangkat. Untuk menghilangkan Et Br

yang tersisa gel agarose direndam kembali dalam aquades selama 10 menit dengan perlakuan

yang sama dengan Et Br di atas. Kemudian letakan gel agarose pada UV transilluminator untuk

dibaca hasilnya.

5.4. Visualisasi Pita DNA            Pembacaan pita DNA yang terbentuk dengan menggunakan UV transilluminator

dilakukan dengan membandingkan pergerakan pita pada sampel dengan kontrol positif da

negatife. Gambar hasil PCR dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

                                        Kontrol Negatif                Sampel 1.

Dari gambar terlihat antara sampel 1 dan kontrol negatifnya sejajar sehingga dapat disimpulkan

bahwa sampel tersebut negative terserang VNN.

5.5. Permasalahan Dalam Metode PCRDalam metode PCR dapat juga ditemukan adanya kendala yang dapat menyebabkan

kegagalan dalam metode tersebut. Salah satu yang terjadi di Laboratorium Kesehatan Ikan dan

Lingkungan Sekotong adalah masalah tegangan listrik yang tidak stabil. Tegangan listrik yang

tidak stabil ini berpotensi dalam merusak laju amplifikasi dimana akan berpengaruh dalam

pengaturan suhu. Menurut Puspaningrum (2008), penyebab kegagalan PCR yang biasanya terjadi

adalah proses denaturasi DNA target atau amplikon yang tidak lengkap oleh suhu yang tidak

tepat. Tidak lengkapnya proses denaturasi akan menyebabkan renaturasi secara cepat sedangkan

waktu denaturasi yang terlalu lama dapat mempengaruhi kerja taq polymerase. Masalah listrik

ini tidak terlalu menjadi masalah yang pokok dalam metode PCR ini hal ini dapat ditanggulangi

dengan menggunakan stavol.

Page 14: biomol 8

           

Page 15: biomol 8

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2011. Virus VNN. http://petambakaceh.org/index.php/informasi/info-penyakit/154-apa-itu-vnn. Diakses 1 Oktober 2011.

                       , 2011. Transfering virus. http:// rizal-bbajujungbatee.blogspot.com/2009/10/transferring-virus.html. Diakses 1 Oktober 2011.

                          , 2011. Reaksi PCR. http://reaksi chain polymerase. Blogspot. Com/2007/07/komponen-pcr. Html. Diakses 20 September 2011.

                      , 2011. Amplifikasi_Acak_Polimorfisme_DNA. http://id.wikipedia.org/wiki/Amplifikasi_Acak_Polimorfisme_DNA. Diakses 29 November 2011.

                          , 2011. Betanodavirus. http://viralzone.expasy.org/cgi-bin/viralzone/search?

query=betanodavirus&commit=search+virus. Diakses 29 November 2011.

                        ,  2011. RT-PCR. http://tophotnews.wordpress.com/?s=RT-PCR. Diakses 29 November 2011.

                      , 2011. Nested PCR. http://id.wikipedia.org/wiki/Nested_PCR. Diakses 29 November 2011.

                      , 2011. Characterisation of the capsid protein gene from a  nodavirus strain affecting the Atlantic halibut Hippoglossus hippoglossus and design of an optimal reverse-transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR) detection assay. http://www.int-res.com/articles/dao/39/d039p079.pdf. Diakses 29 November 2011.

                                  , 2011. Ethidium bromide dan asam nuleat. http://kamulagingapain.blogspot.com/2009/10/ethidium-bromide-dan-asam-nuleat.html. Diakses 29 November 2011.

Bell, G. R., 1978. Investigation of Mortalalities in the field, in: Bagenal, T. (editor). Methods for assessement of production in freshwater. IPB Handbook No.3(Blackwell, Oxford), pp.225-273.

Chi, S. C., 2006. Piscine Nodavirus Infection in Asia. Department of Life Science and Institute of Zoology. National Taiwan University.

Muladno, 2003. Seputar Teknologi Rekayasa Genetika. USESE (Unit for Social and Economic Study and Evaluation), KPP IPB Baranangsiang III F6 No. 18. Bogor.

Page 16: biomol 8

Nguyen, H. D., K. Mushiake, T. Nakai and K. Muraga, 1997. Tissue distribution of striped jack nervous necrosis virus (SJNNV) in adult striped jack, Faculty of Applied Biological Science, Hiroshima University. Higashihiroshima 739. Japan.

Kordi, K., M. Ghufran, 2007. Budidaya Kerapu Macan. Aneka Ilmu. Semarang.

Prasetyo, A., 2009. Materi Asistensi Biomedik FK UNS. FK UNS. Semarang

Prijanto, Muljati. 1992. Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk Diagnosis Human Immunodeficiency Virus (HIV). (http://www.pcr.htm). Diakses 1 Desember 2011.

Puspaningrum, A., 2008. Penerapan Metode. FMIPA UI.  Bogor.

Sarig, S., 1971. Diseases of Warmwater Fishes. TFH Publ., Neptune City New Jersey.

Sulandari, Sri, M. Syamsul, 2003. Panduan Praktis Laboratorium DNA. Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi-LIPI. Jakarta.

Theophilus, B.D.M. 2008. Principles and Medical Applications of the Polymerase Chain Reaction. In: Molecular Biomethods Handbook Second Edition. Ed: Walker, J.M., Rapley, R. Humana Press, NJ, USA

Thie´ry, R., J. Cozien, J. Cabon, F. Lamour, M. Baud, and A. Schneemann, 2006. Induction of a Protective Immune Response against Viral Nervous Necrosis in the European Sea Bass Dicentrarchus labrax by Using Betanodavirus Virus-Like Particles, French Food Safety Agency, BP 70, F-29280 Plouzane´, France,1 and Department of Molecular Biology, The Scripps Research Institute, La Jolla, California 920372

Yuasa, K., I. Koesharyani, D. Roza, F. Jhonny, and Zafran. 2011. Manual for PCR procedure : Rapid diagnosis on Viral Nervous Necrosis (VNN) in grouper. Lolitkanta-JICA Booklet. 13. 35 pp.

Yukio, M., Leobert d. De la peña and Erlinda R. Cruz-lacierda, 2007. Susceptibility of Fish Species Cultured in Mangrove, Southeast Asian Fisheries Development Center (SEAFDEC) (Tigbauan 5021, Iloilo, Philippines).

Yuwono, T., 2006. Teori dan Aplikasi Polymerase Chain Reactio. Penerbit Andi. Yogyakarta.

Page 17: biomol 8