Bioenergi BULETIN · pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH) sebesar 15 MW, sedangkan energi...

58
Akrab Teletong Raup Biogas Bergairah (Lagi) Berkat Alih Rupa Limpahan Energi Kulit Mete Bioenergi BULETIN 01 MEDIA KOMUNIKASI BIOENERGI NO. 2015 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Berkah Semesta di Tanah Sumba

Transcript of Bioenergi BULETIN · pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH) sebesar 15 MW, sedangkan energi...

Akrab Teletong Raup Biogas

Bergairah (Lagi) Berkat Alih Rupa

Limpahan Energi Kulit Mete

BioenergiBULETIN

01MEDIA KOMUNIKASI BIOENERGI

NO.

2015

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral

Berkah Semesta

di Tanah Sumba

Penanggung JawabIr. Rida Mulyana, M.Sc. (Dirjen EBTKE)

RedakturDr. Ir. Dadan Kusdiana, M.Sc. (Direktur Bioenergi)Dra. Anna Rufaida, M.M.Ir. Edi Wibowo, M.T.Drs. Dotor PanjaitanAgus Saptono, S.E, M.M.

EditorHartono, S Sos, M.M.Iryan Permana Dharma, S.E.Zulfan Zul, S.T. , M.B.A.Trois Dili Susendi, S.T , M.T.Efendi Manurung, S.T. ,M.T.Tody Ferdica, S.T.Hudha Wijayanto, S.T. , M.T.Ibnu Syahrudin, S.E.

SekretariatFitria Yuliani, S.T.Galan Jaesa Perdana, S.Kom.Octafiana Santi Dwihapsari, S.E.Nita Apriliani Puteri, S.TUnsaini Sabrina Tagfir, S.H Int.Relany Fitriana , S.Ip

PenerbitDirektorat Bioenergi, Ditjen EBTKE

Alamat RedaksiJalan Pengangsaan Timur No. 1Menteng, Jakarta 10320Telp (021) 398 300 77, 319 245 83Faks (021) 319 245 85

Email : [email protected]

Website : www.ebtke.esdm.go.id

ISSN 2338-3968

1

MEDIA KOMUNIKASI BIOENERGI

BioenergiBULETIN

BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

Daftar Isi

Salam HijauBaru-baru ini Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said, dan jajaran staf KESDM

melakukan kunjungan lapangan ke Kabupaten Sumba Timur. Kunjungan kerja tersebut untuk memantau perkembangan pelaksanaan Program Pulau Sumba sebagai Pulau Ikonis Energi Terbarukan. Pada kesempatan yang sama Menteri ESDM juga meresmikan pembangkit listrik mikrohidro (PLTMH) La Au yang terletak di Sumba Timur. Berbagai program inisiatif KESDM, Bappenas, Hivos, Asian Development Bank, dan Kedutaan Norwegia untuk Indonesia itu dimaksudkan untuk meningkatkan akses energi melalui pengembangan dan pemanfaatan energi baru terbarukan di Pulau Sumba. Target terwujudnya ketersediaan energi yang berasal dari energi baru terbarukan sebesar 100 persen. Dengan kerjasama strategis dari berbagai pihak, diharapkan program ini dapat dilaksanakan dan dapat direplikasikan ke daerah lain terutama di bagian timur Indonesia. Gambaran nyata pemanfaatan sumber energi terbarukan dari berbagai kekayaan di Sumba menjadi menu utama dalam edisi kali ini. Kami juga mengetengahkan artikel mengenai pengelolaan biomassa dari sisa olahan kacang mede, limbah jamu, dan ampas tebu. Keberhasilan riset mengenai ujicoba biodiesel berbahan baku campuran minyak alga juga menjadi peluang baru sumber energi terbarukan. Simak juga langkah inovatif yang dilakukan Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Lamongan, Jawa Timur yang mampu mencari solusi sampah kota dan mengolahnya menjadi sumber energi. Pemanfaatan biogas oleh Koperasi Agro Niaga (KAN) menjadi salah satu menu lain yang terhidang dalam edisi kali ini. Selamat membaca.

Salam redaksi

LAPORAN UTAMA Berkah Semesta di Tanah Sumba.................................................... ................................. 2Limbah Berlimpah Berkah ................................................................................................. 10Biomassa Penerang Desa .................................................................................................... 14Geliat Ekonomi Berkat Mentari ......................................................................................... 18

PROfILBergairah (Lagi) Berkat Alih Rupa ..................................................................................... 22

bIOMASSALimpahan Energi Kulit Mede .............................................................................................. 28Racik Ampas Jamu Jadi Energi .......................................................................................... 32Merdeka Sampah, Menuai Listrik ..................................................................................... 36

bIOgASAkrab Teletong Raup Biogas .............................................................................................. 40

REgULASIMandatori B15: Demi Bergairahnya Pasar BBN ............................................................ 46

RISETMenanti Aksi Generasi Ketiga ............................................................................................ 50

MANCANEgARAMenyongsong Era Diesel Hijau ......................................................................................... 54

laporan utama

2 BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

Berkah Semesta di Tanah Sumba

laporan utama

3BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

“Masa depan kita adalah energi baru dan terbarukan. Semoga Pulau Sumba bisa menjadi proyek percontohan sumber energi baru terbarukan,” kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM),

Sudirman Said dalam sambutan peresmian Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) La Au, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa

Tenggara Timur (NTT).

laporan utama

4 BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said pada hari Selasa dan Rabu 7—8 April 2015 melakukan

kunjungan lapangan ke Kabupaten Sumba Timur. Kunjungan itu dalam rangka memantau perkembangan pelaksanaan Program Pulau Sumba sebagai Pulau Ikonis (lambang) Energi Terbarukan (Program Sumba Iconic Island) sekaligus meresmikan PLTMH La Au yang terletak di Sumba Timur. Pada kesempatan yang sama, Menteri ESDM juga memberikan lampu bertenaga surya kepada 10 perwakilan SD di Sumba. Tujuannya agar anak-anak tetap bisa belajar di malam hari meski belum ada listrik yang masuk ke rumah mereka.

Selain meresmikan PLTMH La Au, Sudirman Said juga mengunjungi pembangkit listrik tenaga bayu (PLT Bayu) yang berlokasi di dusun Kalihi, Desa Kamanggih, Kecamatan Kahunga Eti, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT. Di sana, beliau melakukan diskusi dengan masyarakat mengenai manfaat adanya pembangkit ini serta kendala yang dihadapi. “Kita harus perbanyak pembangkit listrik seperti ini sebagai upaya pemerataan energi di daerah terpencil,” kata Sudirman.

Rombongan kunjungan lapangan itu juga meninjau rumah warga yang berpartisipasi dalam program Biogas Rumah (BIRU) Indonesia. BIRU merupakan program pengadaan gas dengan kotoran ternak sebagai bahan baku untuk memasak di rumah. Program BIRU Indonesia diprakarsai oleh Kementerian ESDM, Hivos, SNW, Kedutaan Besar Norwegia, dan Yayasan Rumah Energi.

Saat kunjungan Menteri ESDM didampingi oleh Duta Besar Norwegia untuk Indonesia, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT),

Pemerintah Kabupaten Sumba Timur, Pemerintah Kabupaten Sumba Barat, Pemerintah Kabupaten Sumba Tengah, dan Pemerintah Kabupaten Sumba Barat Daya. Selain itu, perwakilan dari PT. PLN (Persero) dan PT. BNI (Persero) serta beberapa mitra internasional seperti Hivos, Asian Development Bank (ADB), dan Danida juga ikut mendampingi. Saat peninjauan lokasi. Kunjungan lapangan itu juga dihadiri beberapa pejabat di lingkungan Kementerian ESDM, termasuk Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi, Rida Mulyana, Direktur Direktorat Bioenergi, Dadan Kusdiana.

Sumba Iconic Island Sumba memang tengah berbenah. Pulau

Sumba merupakan salah satu dari 4 pulau besar yang berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Populasi penduduknya mencapai 656.259 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk 58,62 orang per kilometer persegi. Pulau seluas 10.710 km2 itu sejatinya menyimpan kekayaan alam luar biasa. Matahari menyinari Bumi Marapu—julukan Sumba yang berarti Bumi Para Arwah—sembilan bulan penuh lamanya. Rerumputan tumbuh subur sehingga cocok dijadikan padang gembala hewan seperti sapi, kuda, kambing, dan babi. Sayangnya, potensi itu terpendam lantaran minimnya akses energi di pulau itu. Selama bertahun-tahun, Sumba seolah tenggelam dalam kegelapan ketika malam menjelang.

Kini, pulau itu mulai menuju cahaya baru. Angin perubahan mulai berhembus sejak 2009. Saat itu diluncurkan konsep mengenai Sumba Iconic Island (SII). Inisiatif itu muncul dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Badan

Menurut Menteri ESDM, pembangkit listrik tenaga bayu dan surya harus diperbanyak sebagai upaya pemerataan energi di daerah terpencil .

laporan utama

5BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan Hivos, sebuah lembaga swadaya masyarakat dari Belanda. Pemilihan Pulau Sumba sebagai Pulau Energi Terbarukan berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Hivos pada 2010. Beberapa pertimbangan yang melatar belakangi di antaranya Pulau Sumba mempunyai akses terhadap energi modern yang rendah. Rasio elektrifikasi pada 2010 sebesar 24,5% dan 29,3% pada 2013. Konsumsi listrik per kapita hanya sebesar 42 kWh. Bandingkan dengan rata-rata nasional sebesar 591 kWh. Hal lain ketergantungan Sumba pada Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) tergolong tinggi, yakni mencapai 85%. Bahan bakar fosil itu dikirim dari daerah lain lewat laut sehingga rentan terhadap kondisi cuaca dan biaya pengangkutan yang mahal.

Di sisi lain, Pulau Sumba menyimpan kekayaan potensi energi baru terbarukan yang belum banyak tergali, seperti air, angin, matahari, dan biogas. Dengan potensi itu Sumba dijadikan sebagai Pulau Ikonis. Itu artinya Sumba akan menjadi pulau yang 100% kebutuhan energinya berasal dari energi baru dan terbarukan.

Selanjutnya pada 2010 dan 2011, konsep mengenai Pulau Ikonis ini dibahas dalam pertemuan bilateral antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Belanda. Hivos sendiri telah melaksanakan beberapa kegiatan awal dalam rangka persiapan implementasi konsep Pulau Ikonis lewat studi listrik on-grid dan off-grid. Empat kabupaten di Pulau Sumba (Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat, dan Sumba Barat Daya), PT. PLN dan Pemerintah Provinsi NTT segera bergabung dengan menandatangi perjanjian penting bagi masyarakat pulau. Pada November

2012, Bank Pembangunan Asia (ADB) bergabung untuk mempercepat program ini. Lalu pada 2013, Kedutaan Norwegia untuk Indonesia pun turut serta mendukung Progam Pulau Ikonis Sumba.

Seluruh pihak tersebut menyatakan komitmen untuk mewujudkan harapan Pulau Sumba sebagai Pulau Ikonik Energi Terbarukan. Tidak hanya itu, dibuat juga sebuah cetak biru (blue print) dan peta jalan (road map) guna pelaksanaan Pulau Ikonis. Program pengembangan Pulau Sumba sebagai Pulau Ikonik Energi Terbarukan bertujuan untuk menyediakan akses energi yang dapat diandalkan

Keberadaan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro menjadi tumpuan dengan memanfaatkan debit air sungai .

Pembangkit Listrik Tenaga Bayu menjadi berkah bagi wilayah dengan kontur berbukit.

laporan utama

6 BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

bagi masyarakat pulau. Target terwujudnya ketersediaan energi telah disusun, sebanyak 100% berasal dari energi baru terbarukan pada tahun 2025. “Target itu kita majukan 5 tahun, dari 2025 menjadi 2020, bisa?” tanya Menteri ESDM Sudirman Said. Beliau menantang para pemangku kepentingan untuk mempercepat capaian energi baru dan terbarukan di Pulau Sumba.

TargetTantangan Menteri ESDM itu bukanlah

hal muluk yang tak mungkin terwujud. Potensi tenaga angin yang luar biasa besar sehingga bila dikombinasikan dengan tenaga air mampu menggantikan listrik dari tenaga diesel yang

digunakan saat ini. Tentu saja biayanya akan jauh lebih rendah. Jumlah ternak lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar biogas. Untuk listrik yang berada di luar jaringan (off-grid), panel tenaga surya merupakan pilihan terbaik. Sedangkan jaringan yang berada di lokasi terpencil bisa menggunakan bermacam-macam kombinasi dari sumber energi baru dan terbarukan.

Pulau Sumba memiliki potensi sumber daya energi baru terbarukan cukup besar. Kapasitas pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH) sebesar 15 MW, sedangkan energi dari pembangkit listrik tenaga angin mencapai 168 MW. Tingkat radiasi surya 5 kWh/m2/hari cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Berdasarkan data PLN Area Pembangkitan NTT pada Oktober 2014, total kebutuhan daya listrik di Pulau Sumba saat ini sebesar 10,7 MW. Sedangkan pasokan daya listrik saat ini mendekati 15 MW, di mana 20,2% pasokan berasal dari energi baru terbarukan.

Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) sebagai ujung tombak pemerintah selalu berperan aktif dalam pencapaian Sumba sebagai Pulau Ikonis. Sejak tahun 2011 hingga akhir Agustus 2014, upaya pengembangan energi terbarukan terus dilakukan. Para pemangku kepentingan yang tergabung dalam Program Pulau Ikonis Sumba telah membangun berbagai macam instalasi energi baru terbarukan.

Pelaksanaan Program Pulau Ikonis itu mempunyai pendekatan multi-actor (Pemerintah,

Penyerahan lampu surya kepada siswa sekolah dasar

Duta Besar Norwegia untuk Indonesia saat penandatangan PLTMH La Au

laporan utama

7BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

InstalasiRealisasi

2011Realisasi

2012Realisasi

2013Realisasi

2014

Akumulasi Realisasi

2011—20014

PLTMH (mikro hidro, mini hidro) 2 unit(52 kW)

5 unit(1.505 kW)

3 unit(1.632 kW)

2 unit(232 kW)

12 unit(3.421 kW)

PLTS Terpusat 11 unit(43 kWp)

14 unit(607 kWp)

8 unit(45 kWp)

6 unit(216,9 kWp)

39 unit(911,9 kWp)

PLTS Tersebar 90 unit(3,1 kWp)

11.054 unit(328,86 kWp)

3.221 UNIT(87,79 kWp)

464 unit(19,35 kWp)

14.829 unit(439,1 kWp)

Solar Water Pumping N/A 2 unit(5,16 kWp)

1 unit(1,44 kWp) N/A 3 unit

(6,6 kWp)

PLT Bayu N/A N/A 95 unit(47,5 kW)

5 unit(2,5 kW)

100 unit(50 kW)

PLT Biomassa N/A N/A 1 unit(30 kW) N/A 1 unit

(30 kW)

Biogas 61 unit(360 m3)

221 unit(1.606 m3)

526 unit(4.088 m3)

220 unit(1.412 m3)

1.173 unit(7.946 m3)

Tungku Hemat Energi N/A 1.600 unit 375 unit 125 unit 2.100 unit

Jaringan Distribusi N/A N/A

45,41 km (JTM)

72,88 km (JTR)

11,46 km (JTM)

31,05 km (JTR)

56,87 km (JTM)104,93 km (JTR)

Akumulasi Kapasitas Terpasang (kW) 98,1 2.446,02 1.853,73 470,77 4.868,62

swasta, perbankan, LSM, dan masyarakat) dan multi-funding (APBN) swasta, hibah luar negeri, dan masyarakat) yang mendorong para pemangku kepentingan di sektor energi terbarukan berkontribusi dalam pengembangan energi terbarukan di Sumba. Sejak diinisasi pada 2011, kapasitas total terpasang energi baru terbarukan mencapai 5,87 MW dengan komposisi PLTMH (mini dan mikro hidro) 70,3%, diikuti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) 27,9%, PLT Bayu 1%, PLT Biomassa 0,62%, dan sisanya 0,2% hibrida antara pembangkit surya-bayu.

Sampai dengan tahun 2014, Ditjen EBTKE juga melakukan dukungan terhadap program Pulau Ikonis dengan melakukan pembangunan infrastruktur energi baru terbarukan. Beberapa instalasi yang sudah menghasilkan energi yaitu 1 unit PLTMH berkapasitas 32 kW; 6 unit PLTS terpusat; 464 unit PLTS tersebar; 5 unit PLTB; 1 unit PLT biomassa kapasitas 30 kW; 220 unit digester biogas; dan 2.200 unit tungku hemat energi yang diserahkan kepada masyarakat. (Lihat Tabel capaian program Sumba Iconic Island).

Saat ini rasio elektrifikasi di Pulau Sumba mencapai 48,5% (data PLN Pembangkit Area Sumba pada Oktober 2014) atau 37,4% (perhitungan Dagi Consulting). Dari rasio elektrifikasi 37,4%. Dari rasio elektrifikasi tersebut

Menteri ESDM Sudirman Said saat peresmian PLTMH La Au di Sumba Timur

TABEL CAPAIAN PROGRAM SUMBA ICONIC ISLAND

laporan utama

8 BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

“Jangan dilihat apa yang mau kita resmikan. Ini bukan soal besarnya kapasitas listrik yang dihasilkan, tetapi soal membangun energi terbaru dengan mengambil Sumba sebagai living example,” kata Menteri ESDM Sudirman Said saat menandatangani plakat peresmian PLTMH La Au di Desa Laimabonga, Kecamatan

Kahaungu Eti, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT. Pembangunan PLTMH La Au mulai dirancang pada Desember 2013 dengan menggunakan saluran irigasi tanah sebagai sumber tenaga. Listrik yang dihasilkan pembangkit itu langsung disalurkan kepada masyarakat (off-grid) dan dikelola oleh kelompok masyarakat. Dengan kapasitas 13 kWh, PLTMH La Au mampu memberikan akses listrik kepada 26 rumah dengan 78 kepala keluarga. PLTMH La Au dibangun oleh Bank BNI bekerjasama dengan Hivos.

PLTMH La Au menjadi harapan masyarakat sekitar untuk meraih masa depan yang lebih baik. Pasalnya, selama puluhan tahun mereka hidup tanpa listrik. “Jika di kota besar seperti Jakarta, 13 kWh hanya sedikit manfaatnya, untuk menyalakan AC saja belum tentu cukup. Namun di sini dampaknya luar biasa. Listrik bisa membentuk suatu kebudayaan baru, dari malam yang gelap gulita menjadi terang benderang. Anak-anak bisa menikmati belajar dengan nyaman,” ujar Sudirman.

Direktur Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (Ibeka) Tri Mumpuni mengungkapkan, pada 1999 dirinya mungunjungi desa ini dan menyaksikan kondisi masyarakat yang memprihatinkan. Rumah-rumah warga banyak berada di atas bukit, sedangkan ketersediaan air ada di bawah bukit. “Jadi setiap hari ibu-ibu mengambil air di bawah bukit lalu di bawah ke rumahnya di atas, sementara bapak-bapak pergi ke ladang,” ujar Tri yang menemani kunjungan kerja Menteri ESDM ke Sumba Timur.

Tri mengisahkan, setiap hari para ibu harus menghabiskan waktu 7 jam lamanya untuk mengumpulkan air demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Saya bertanya ke warga desa, kalau ibu-ibunya sudah tua, lalu tidak sanggup lagi ambil air bagaimana? Jawab bapak-bapaknya ya cari ibu-ibu yang lain, alias kawin lagi,” kata Tri.

Adanya PLTMH yang digunakan untuk menyedot air dari bawah bukit ke atas membuat para ibu tak perlu bersusah payah mencari air. Dampak lain, waktu 7 jam yang bisa dihemat Ibu-Ibu, karena tidak lagi ambil air di bawah bukit, dimanfaatkan para ibu untuk menenun kain, sehingga menambah pendapatan keluarga. “Betapa besar dampak adanya listrik ini sehingga meningkatkan taraf hidup masyarakat di desa,” kata Tri.***

Asa Baru dari La Au

Rencana Pembangunan InfrastrukturKementerian ESDM pada tahun anggaran 2015 akan melakukan pembangunan infrastruktur energi baru terbarukan

di Pulau Sumba. Total anggaran untuk mempercepat implementasi Pulau Ikonis Sumba sebesar Rp114.986.500 akan digunakan untuk:* Pembangunan PLT Biomassa kapasitas 1 MW di Sumba Barat;* Pengembangan hutan energi 1 juta pohon kaliandra di Sumba Barat;* PLT Bau di Sumba Barat;* Revitalisasi 85 unit digester biogas di Sumba Barat Daya;* Implementasi mobil listrik di Sumba Timur;* PLTMH kapasitas 23 kW di Sumba Timur; dan* Penerangan Jalan Umum (PJU) cerdas di Sumba Timur, Sumba Barat, Sumba Barat Daya, dan Sumba Selatan.

9BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

laporan utama

ini sebesar 9,8% disumbang dari energi baru terbarukan. Di luar pelanggan PLN, instalasi energi terbarukan sudah menyediakan akses listrik bagi 4.158 rumah tangga. Selain itu, masyarakat juga mendapatkan akses terhadap fasilitas biogas yang menjangkau 881 rumah tangga dan fasilitas tungku hemat energi bagi 2.100 rumah tangga di seluruh Pulau Sumba.

Menurut Duta Besar Norwegia untuk Indonesia, pemanfaatan energi baru terbarukan diharapkan mampu meningkatkan kualitas hidup penduduk setempat. “Saya ingin anak-anak bisa menjadi Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (Sekjen PBB) setelah desanya dialiri listrik, sehingga mereka bisa belajar di malam hari,” katanya. Harapan itulah yang mulai terbit di Sumba.

Ketersediaan energi merajut asa warga Sumba untuk kegiatan produktif. Sebut saja pemanfaatan biogas untuk usaha nasi kuning dan tahu, serta bio sluri untuk pupuk. Kegiatan pertukangan pun turut hadir lewat energi listrik dari mikrohidro. Kegiatan menenun yang dulu sulit dilakukan kala malam, kini bisa berkat penerangan dari energi angin. Tanah yang gersang pun turut bersolek menjadi lahan pertanian nan hijau lantaran adanya pompa air bertenaga surya. *** Peternakan babi, sumber biogas bagi rakyat Sumba

“Masa depan Sumba ada di energi baru dan terbarukan,” kata Menteri ESDM Sudirman Said.

laporan utama

10 BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

Sebelum 2014, Agustina, warga Desa Kamanggih, Kecamatan Kahaungu Eti, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa

Tenggara Timur (NTT) itu menggunakan kayu setiap kali memasak. Sesekali ia menggunakan kompor minyak tanah ketika sulit mendapatkan kayu bakar pada musim hujan. Ia mencari kayu di hutan sekitar desa dengan berjalan kaki selama 30 menit—60 menit. Setelah terkumpul kira-kira seikat, ia memanggul ke rumah.

Kegiatan itu ia lakukan setiap hari meski hujan. Jika Ina, panggilan akrab Agustina, berhenti mencari kayu bakar jangan harap bisa memasak. Warga lain di Desa Kamanggih juga mencari kayu bakar di hutan. Mereka memilih kayu karena

Limbah Berlimpah Berkah

Agustina tak perlu lagi bermandi asap dan peluh ketika hendak memasak. Kini ia hanya

tinggal memutar tombol kompor, biogas pun langsung aktif seketika.

terhitung murah, tinggal mengambil di hutan. Namun, seiring waktu peluang mendapatkan kayu semakin sulit karena banyak penebangan liar. Akibatnya jarak mencari kayu bakar semakin jauh.

Kondisi itu makin diperburuk dengan tingginya harga sumber energi lain seperti minyak tanah. Hingga Ina harus merogoh kocek sebesar Rp10.000—Rp12.000 untuk membeli seliter minyak tanah. Belum lagi ketersediaan minyak tanah yang tak selalu ada. Minyak tanah kerap sulit didapat saat kondisi cuaca tak menentu. Karena itu, ketika tahun lalu ada program pemasangan instalasi biogas, Ina tak segan untuk langsung mendaftar.

Menteri ESDM meninjau instalasi kompor biogas di Sumba

laporan utama

11BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

MultigunaHinggu membangun kandang untuk enam

ekor babi di belakang rumah. Ia menampung kotoran babi yang mencapai 3—4 kg per hari per ekor di ujung kandang. Kotoran itu lalu masuk ke dalam bak berkapasitas 8 m3. Penampungan itu disebut bak digester tempat berlangsungnya fermentasi oleh bakteri anaerob. Penduduk lantas memanfaatkan gas metana hasil dekomposisi untuk memasak. Dengan demikian, kandang babi selalu dalam keadaan bersih. Bau tak sedap pun tak tercium karena semua kotoran termanfaatkan. Dari 15—20 kg kotoran yang dihasilkan lima ekor babi itu, Ina dapat menyalakan kompor 6—8 jam nonstop.

Padahal, sekali memasak keluarga Hinggu hanya memerlukan 1—2 jam sehari. Setiap 1 m3

/p biogas setara 0,62 liter minyak tanah. Artinya, 8 m3 biogas setara kebutuhan 4—5 liter minyak tanah. Bandingkan ketika menggunakan kayu bakar, ia menghabiskan rata-rata 30 ikat/bulan. Jika menggunakan biogas, ia bisa menghemat hingga rata-rata Rp50.000 setiap minggu.

Saat ini Hinggu memanfaatkan biogas untuk memasak, sedangkan untuk penerangan ia masih memanfaatkan minyak tanah. Jika produksi biogas meningkat, ia pun akan menggunakannya untuk penerangan di rumah. “Jadi, saya bisa menenun saat malam hari,” kata Hinggu. Harga satu lembar kain tenun Sumba berukuran 1 m x 2 m berkisar Rp500.000—700.000.

Manfaat lain dari biogas adalah bioslurry, yaitu pupuk yang diperoleh dari ampas kotoran biogas. Setiap minggu, Ina menyaring kotoran babi yang sudah mengendap dan kehilangan gas metana. Ia lalu menggunakan kotoran sebagai pupuk dan menyebarkannya di lahan yang berada 5 m di depan kandang.

Hasilnya mengagumkan. Lahan seluas 10 m x 5 m itu awalnya lahan tidur dan hanya mampu ditumbuhi rerumputan. Namun, setelah menggunakan bioslurry, Ina bisa menanam beragam sayuran. Ia juga dengan bangga memamerkan sayuran yang tampak tumbuh subur di halaman rumahnya kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said, Duta Besar Norwegia, dan rombongan yang sedang melakukan kunjungan lapangan.

SosialisasiWarga Desa Kamanggih memang memelihara

rata-rata 3—5 ekor babi. Artinya volume kotoran Pemakaian biogas mudah dan hemat

Saat biogas berlebih penduduk bisa memanfaatkan untuk kegiatan menenun di malam hari

laporan utama

12 BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

mencapai 15—25 kg sehari. Memelihara babi memang tidak bisa dilepaskan dari keseharian masyarakat Sumba. Babi merupakan hewan yang wajib dipelihara karena selalu digunakan dalam setiap ritual kehidupan mereka. Walhasil kepemilikan babi lebih menjamin keberlanjutan pasokan sumber bahan baku bagi reaktor biogas dibanding kuda atau sapi.

Selama ini kotoran menumpuk sehingga menimbulkan bau tak sedap. Menurut Robert de Groot, Programme Manager Hivos, warga belum memanfaatkan kotoran babi. Padahal, kotoran hewan itu merupakan salah satu sumber daya energi terbarukan. Pada mulanya warga Desa Kamanggih tak berminat pada biogas. Babi yang

Bioreaktifator bahan pembuat pupuk organik cair

Lahan pekarangan Ina subur berkat bioslurry

mereka pelihara dilepaskan di sekitar rumah tanpa ada upaya memanfaatkan kotorannya. Kalaupun ada kandang, biasanya terletak di bawah rumah dan beralas tanah.

Padahal, agar kotoran babi bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku biogas, maka babi harus tinggal di dalam kandang yang alasnya berlapis semen. Tujuannya agar kotoran tidak bercampur dengan tanah saat dimasukkan ke dalam reaktor. Maklum saja di Sumba masih banyak warga memelihara babi dengan cara membelenggu salah satu kaki depan babi dengan tali lalu mengikatnya ke sebatang pohon di halaman.

Masyarakat mengenal lebih dekat biogas pada 2011 ketika Yayasan Rumah Energi melakukan

laporan utama

13BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

sosialisasi. Program itu bertujuan agar masyarakat dapat segera mengatasi masalah kotoran babi dan mendapat manfaat lain dari biogas. Agi Cakradirana, Deputy Programme Manager Hivos mengatakan, “Awalnya masyarakat masih beranggapan membiarkan limbah lebih efektif daripada membangun reaktor biogas berbiaya jutaan rupiah,” kata Agi. Biaya untuk membuat biogas bervolume 8 m3 sebesar Rp15-juta. “Itu sudah termasuk biaya pelatihan,” kata Agi.

Hivos adalah lembaga swadaya masyarakat dari Belanda yang ditunjuk sebagai konsultan program BIRU (Biogas Rumah), yaitu program kerjasama Pemerintah Indonesia (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral) dan Kerajaan Belanda untuk membantu pengembangan sektor biogas di Indonesia. Program BIRU berencana membangun 900 biodigest di seluruh Pulau Sumba. “Sejak 2011—2014, kami sudah membangun 206 biodigest. Namun sebenarnya target kami jauh di atas angka itu,” ujar Robert. Sementara di Indonesia total biogas yang sudah terbangun sebanyak 14.500 unit.

Untuk mendukung keberlanjutan program BIRU, Hivos melibatkan masyarakat setempat. Di daerah lain di Indonesia, sebagian besar dana pembangunan reaktor biogas ditanggung masyarakat, sedangkan subsidi dari Program Biru

hanya berkisar 20—30%. Namun, rendahnya daya beli masyarakat Sumba membuat Hivos merevisi kebijakan tersebut. “Kami mendapat subsidi dari donor seperti Pemerintah Norwegia, Belanda, dan Jerman sehingga masyarakat Sumba bisa mengakses energi dengan usaha yang terbatas. Masyarakat menanggung sekitar 20% komponen biaya sehingga harganya bisa lebih hemat,” kata Robert. Partisipasi warga Sumba di antaranya dengan menyumbang batu atau pasir untuk membuat reaktor.

Satu instalasi biogas bisa bertahan cukup lama, yaitu 15—20 tahun. Masyarakat Sumba tidak perlu khawatir mengenai perawatan karena mendapat pelatihan intensif dan pengecekan setiap tahun. Beragam kemudahan yang ia dapat dari Biogas membuat Ina tak ragu membantu memperkenalkan progam ini kepada para tetangga. Kini, sudah ada 30 rumah di Desa Kamanggih yang mendapat keuntungan dari penggunaan biogas. Ia berharap tak hanya keluarganya yang merasakan manfaat biogas: kotoran babi tak tercecer di halaman rumah sehingga lingkungan lebih bersih dan sehat; biaya perlu mencari kayu bakar dan membeli minyak tanah; bisa menenun sepanjang hari; dan bisa berkebun di halaman rumah. ***

Sayuran siap panen sebagai sumber pendapatan tambahan keluarga

laporan utama

14 BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

Biomassa Penerang Desa

Panen padi selalu menyisakan limbah berupa gunungan sekam setinggi 2—3 meter di halaman belakang rumah Umbu Tamu di Desa Rakawatu, Kecamatan Lewa, Kabupaten

Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pemanfaatan limbah sekam padi selama ini hanya untuk memenuhi kebutuhan peternakan ayam atau diolah sebagai pakan. Ada juga yang mendekomposisi sekam padi sehingga menjadi pupuk organik yang baik untuk lahan sawah. Namun, Umbu selalu membersihkan sekam-sekam itu dengan cara membakarnya

hingga menjadi abu. “Cara paling praktis ya dibakar, lalu abunya disebar kembali ke sawah,” ujar Umbu.

Potensi berlimpah dari limbah sekam padi di Lewa Sumba timur

laporan utama

15BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

Umbu tetap membakar sekam-sekam itu hingga kini. Namun, ia memetik faedah lain dari limbah pertanian itu. Hasil pembakaran

sekam dimanfatkan lagi menjadi sumber energi listrik di desanya. “Ini berkat adanya pembangkit listrik tenaga biomassa,” kata Umbu. Untuk membangkitkan listrik, Umbu membutuhkan pasokan sekam padi sebanyak 45 kg per jam. Sekam padi merupakan produk sampingan dari proses penggilingan butiran beras, dengan 20% dihasilkan dari jumlah beras tergiling. Sekam padi dimasukkan ke dalam tungku pembakaran berdiameter 1 meter. Sekam dibakar dengan kontrol oksigen yang diatur pada suhu tertentu, yakni sekitar 800—900 0C.

Biomassa dibakar dengan udara terbatas, sehingga gas yang dihasilkan sebagian besar mengandung hidrogen, karbonmonoksida, dan metana. Gas-gas tersebut kemudian direaksikan lagi dengan oksigen (diperoleh dari udara) sehingga dihasilkan panas dari pembakaran tersebut. Pembakaran dilakukan selama 30 menit sehingga sekam mengeluarkan syngas atau gas sintetis. Syngas inilah yang nantinya memutar turbin dan menghasilkan listrik.

BiomassaPembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLT

biomassa) memang masih tergolong baru di Indonesia. PLT biomassa itu mulai beroperasi pada tahun 2013. Pembangunan PLT biomassa diinisiasi oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Mesin yang digunakan adalah mesin untuk gasifikasi yang mengubah bahan sekam menjadi gas.

Gasifikasi merupakan suatu proses mengubah material karbon seperti, batubara, bensin, biofuel atau biomasa menjadi karbon monoksida dan hidrogen dengan mereaksikan material-material tersebut pada suhu tinggi dengan gas oksigen dan atau uap air dalam jumlah tertentu. Hasil dari proses ini adalah gas yang disebut sebagai synthesis gas atau syngas. Dengan proses gasifikasi ini didapat energi dari berbagai jenis material organik untuk dapat diumpankan pada generator gas secara tepat dan bersih.

Keunggulan dari gasifikasi adalah dengan menggunakan syngas didapat energi yang lebih efisien jika dibandingkan dengan pembakaran langsung. Berbeda dengan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang hanya memanfaatkan

Instalasi pembangkit listrik tenaga Biomassa di Lewa

laporan utama

16 BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

uap yang merupakan hasil pemanasan air dari pembakaran langsung material karbon. Pada pembakaran langsung banyak sekali unsur-unsur yang berguna seperti karbon monoksida dan hidrogen terbuang percuma. Dengan tingkat efektifitas dan efisiensi yang tinggi konversi energi primer seperti batubara atau biomass dapat diubah menjadi energi listrik dengan menggunakan mesin generator gas biasa. Dengan demikian proses konversi energi primer menjadi listrik lebih sederhana dibandingkan dengan PLTU.

PLT biomassa di Desa Rakawatu, Lewa memiliki kapasitas 30 kW dan mampu menyediakan listrik untuk 65 rumah. Biaya listrik untuk satu bulan adalah Rp35.000 bagi rumah tangga yang tidak memiliki televisi. Sedangkan keluarga yang mempunyai TV di rumah harus membayar biaya listrik lebih besar, yakni Rp50.000 per bulan. “Itu untuk biaya operasional dan perawatan PLT biomassa,”kata Umbu.

Meski biaya listrik tergolong murah, nyatanya tetap saja ada keluarga yang menunggak pembayaran. “Sebenarnya biaya segitu sudah murah, tapi masih ada masyarakat yang belum bisa rutin membayar,” kata Umbu. Namun, berbeda dengan PLN yang langsung memutuskan hubungan jika pelanggan menunggak pembayaran, Umbu tetap membiarkan sambungan ke rumah-rumah pelanggan. Pasalnya, pemutusan hubungan itu justru akan menjadi beban bagi pelanggan yang lain. “Nanti biaya listrik justru naik karena pelanggan sedikit. Kalau memang sudah habis

Gasifikasi biomassa mampu memutar turbin yang akan menghasilkan listrik

Umbu Tamu (paling kiri) berhasil memanfaatkan sekam padi sebagai pembangkit listrik

laporan utama

17BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

biaya operasionalnya, ya PLT biomassa tidak diaktifkan,” kata Umbu.

Agar PLT biomassa tetap mengalirkan listrik, Umbu tidak hanya menerima dalam bentuk uang. Ia juga menerima pembayaran dalam bentuk sekam padi. Meski begitu, kendala lain menghadang. Para petani di Pulau Sumba harus berhadapan dengan musim berbeda setiap tanam. “Jika musim kemarau berkepanjangan, biasanya petani gagal panen,” kata Umbu. Dampaknya, sekam yang diperoleh sedikit dan tidak memadai untuk menyalakan pembangkit.

Sebagai negara agraris, Indonesia memiliki potensi besar dalam mengelola PLT biomassa. Hampir semua jenis tanaman dapat tumbuh di atas bumi Indonesia sehingga membuat produk pertanian berlimpah ruah. Dari kegiatan pengolahan produk pertanian inilah lantas dihasilkan residu yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber biomassa, misalnya: sekam padi, tongkol jagung, cangkang kelapa sawit, kulit tanduk kopi, cangkang kemiri, dan lain-lain.

Lewa merupakan salah satu daerah lumbung padi di Pulau Sumba, Nusa TenggaraTimur. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Sumba Timur tahun 2013, Lewa menghasilkan 77 ton padi per tahun. Itu berarti, ada potensi 15,4 ton sekam padi yang bisa dijadikan sumber bahan baku pembangkit listrik tenaga biomassa.

Sayangnya, belum banyak yang memanfaatkan limbah pertanian itu sebagai bahan baku untuk menghasilkan listrik. Pasalnya, biaya investasi awal untuk menerapkan teknologi ini secara modern tidak murah. Namun bila dibandingkan dengan manfaat yang diberikan sekiranya teknologi ini patut dan pantas untuk dikembangkan di negeri ini. Peran peneliti dan pemerintah sangat dibutuhkan untuk mengembangkan teknologi ini hingga sanggup mereduksi biaya gasifikasi biomassa. Dengan menghargai semua sumber daya yang ada di negara ini, kesejahteraan akan energi akan mudah digenggam bangsa Indonesia.***

Komposisi gas hasil

Tangki air berfungsi untuk menurunkan suhu

Pembangkit berkapasitas 50 kVA

laporan utama

18 BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

laporan utama

19BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

Geliat Ekonomi Berkat Mentari

Lahan subur itu tak lagi tertidur, beragam sayuran seperti caisin,kol, dan tomat tumbuh di atasnya, menjadi mata pencaharian baru bagi warga Lewa, Sumba

Timur.

Aliran air yang berlimpah membuat warga bisa bercocok tanam di lahan yang dulu tandus

laporan utama

20 BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

Sejak 2013, pemandangan berbeda terlihat di Desa Kondamora, Kecamatan Lewa, Kabupaten Sumba Timur. Sepanjang

mata memandang, hanya ilalang yang sanggup tumbuh dan bertahan. Lahan seluas 5 ha itu kering kerontang ketika musim kemarau datang. Menurut Made Raspita, petani, pemanfaatan lahan paling dilakukan saat musim penghujan. “Paling hanya jagung yang bisa kami tanam di lahan itu,” ujar Made. Selepas itu, saat musim kemarau lahan kembali tertidur.

Kondisi lahan yang berada di ketinggian memang menyulitkan. Padahal sejatinya ada sumber air berupa embung yang berada tidak jauh dari lahan. Hanya saja posisi embung berada di bawah permukaan tanah sehingga membutuhkan pompa untuk menaikkan ke atas. Kondisi itu diperparah dengan ketiadaan listrik untuk menghidupkan pompa.

Merasa ingin “menaklukan kekeringan”, Umbu Johanes, menggunakan generator diesel untuk memompa air. Namun, konsumsi solar untuk diesel tergolong tinggi karena musim kemarau yang panjang. “Di sini musim kemarau bisa berlangsung selama 8—9 bulan, sedangkan musim hujan hanya sekitar 3 bulan,” kata Umbu. Alhasil, lahan itu menganggur selama bertahun-tahun. Potensi air yang melimpah pun hanya terbiarkan terbengkalai.

Tenaga suryaKondisi itu berubah memasuki awal 2013.

Sebagai bagian dari komitmen memajukan energi baru dan terbarukan dalam rangka Pulau Ikonis Sumba, Hivos, Winrock, dan Yayasan Sumba Sejahtera memprakasai pemasangan pompa air bertenaga surya. Pompa air itu merupakan aplikasi pertama sistem tanpa baterai untuk pembangkit listrik di Sumba. Panel surya tergabung dengan pompa melalui unit kontrol sehingga dapat memompa air ke resevoir ketika ada cahaya matahari.

Pompa berkapasitas 1,5 kW itu mampu mengalirkan air sebanyak 80 m3 per hari. Air yang tertampung selanjutnya dialirkan menuju irigasi berlapis semen. Irigasi sepanjang 100 meter dan lebar 50 cm itu menjadi penampung air sebelum dimanfaatkan ke lahan. Dengan demikian, air yang tertampung di embung bisa disalurkan untuk mengairi lahan pertanian.Berkat air yang kini berlimpah, Made bisa tersenyum lega saat kemarau datang. Kini, lahan tidur itu bersalin rupa menjadi lahan subur. Pria kelahiran Bali rutin memanen beragam sayuran setiap pagi, seperti caisin, seledri, dan bayam. Sekarang saya bisa memanen aneka macam. Hasil panennya sebagaian saya konsumsi untuk keluarga, semakin lagi saya jual,” kata Made dengan wajah berseri. Ia lalu menjual hasil kebun itu di Pasar Lewa. Ia biasa menjual hasil kebun itu di Pasar Lewa.

SejahteraBerkah dari lahan pertanian juga dirasakan

Lidia Awang. Lidia merasakan betul peningkatan ekonomi yang terjadi setelah pompa air tenaga surya itu berfungsi. “Saya bisa bangun rumah dari hasil bertani,” kata Lidia. Ketua Kelompok Tani Wanita itu kini bisa memiliki rumah berdinding bata dan semen. Sebelumnya, wanita berusia 41 tahun itu tinggal di rumah tradisional Sumba yang berdinding rotan dan beratap jerami.

Ibu lima anak itu juga tak perlu pusing memikirkan biaya sekolah anak-anaknya. “Dari hasil panen saya bisa beli seragam untuk anak,” kata Lidia. Ia menjual sayuran seperti pakcoy, caisin, dan kol dengan harga Rp5.000 per ikat, sedangkan tomat Rp6.000 per mangkok. Lidia mendapat laba sekitar Rp 1,8-juta selama satu kali musim tanam.

Keberadaan pompa air tenaga surya itu membuka beragam kesempatan peningkatan pengetahuan dan ekonomi bagi warga sekitar. Total kenaikan pendapatan petani perempuan dari 22 keluarga mencapai Rp15-juta. Sedangkan estimasi pendapatan petani di Lewa dari hasil pertanian mencapai Rp48,5-juta.

TersebarPulau Sumba memang berlimpah cahaya

yang menjadi anugerah penduduknya. Matahari dipilih sebagai sumber energi berdasarkan data bahwa radiasi surya di Pulau Sumba tergolong tinggi. Sinar surya mampu mencapai kapasitas pembangkitan 7 kWh/m2 di beberapa wilayah yang hanya sedikit tertutup awan. Sedangkan rata-rata harian radiasi matahari (solar insolation) di Sumba adalah 5 Kwh/m2/hari. Itu berarti matahari bersinar 5 jam sehari dengan radiasi matahari 1.000 watt/m2. Jika Pulau Sumba memiliki luas 11.153 km2,

Lidia Awang (baju merah) beserta kedua anak dan kerabat

laporan utama

21BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

maka potensi energi surya di pulau ini mencapai 55.765 Giga Watt.

Berdasarkan data itu, Kementerian Eenergi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama mitra membangun beragam Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di seluruh penjuru Sumba. Sejak tahun 2011 hingga 2014, sudah 14.892 unit PLTS tersebar yang berada di Pulau Sumba. Total kapasitasnya mencapai 439,1 kWp. Sedangkan PLTS terpusat yang dibangun jumlahnya mencapai 39 unit dengan total kapasitas sebanyak 911,9 kWp.

Di Sumba Timur, Adrianus Takajanji menikmati betul terang dari matahari setelah berkubang dalam kegelapan. Warga Kampung Papu, Kelurahan Watumbaka, Kecamatan Pandawai, Sumba Timur itu sudah menikmati lokasi transmigrasi lokal sejak 2004. Namun, baru pada 2006 ia menikmati terang dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berkapasitas 5 kWp.

PLTS tidak hanya berasal dari pembangunan pemerintah. Tenaga surya juga dimanfaatkan Adi, seorang warga di Sumba Timur, untuk menghasilkan penerangan di rumahnya. Pemanfaatan tenaga surya tidak hanya menyasar penerangan rumah tangga. Berdasarkan pengamatan, lampu-lampu lalu lintas di seantero Waingapu, Sumba Timur pun turut memanfaatkan energi surya.

ModernPT. Perusahaan Listrik Negara (PLN), Badan

Pengkajian dan Penerapan Teknologi, serta Pemerintah Sumbaya pun turut bekerja sama membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya di Pulau Sumba. PLTS yang berada di Desa Bila Cenge, Kodi Utara, Sumba Barat Daya itu berkapasitas 500 kWp. Kapasitas sebesar itu membuat PLTS Bila Cenge mampu menerangi

Embung tempat menyimpan cadangan air di musim kemarau

1.000 rumah dengan “jatah” masing-masing rumah 500 Watt.

PLTS yang menempatilahan seluas 2 ha itu sangat modern dan diklaim tercanggih se-Indonesia. PLTS Bila Cenge menggunakan modul fotovoltaik (PV) jenis thin film atau film tipis. Jenis sel surya ini terbuat dari bahan semikonduktor amorphous silicon. Teknologi sel surya memanfaatkan double junctions, bagian atas menggunakan thin film sementara bagian bawah kristalin film yang memiliki konversi efisiensi 9—10%. Keunggulan lain jenis thin film relatif lebih stabil terhadap perubahan radiasi dibanding PV jenis kristalin.

PLTS Bila Cenge juga memanfaatkan perangkat baterai generasi baru berkapasitas 500 kWh per hari. Tujuannya agar fluktuasi keluaran daya PLTS rendah sehingga poenetrasi eneri yang dihasilkan PLTS lebih optimal. Saat malam menjelang, kala PLTS tak bisa mengubah energi matahari menjadi energi listrik, giliran baterai yang bekerja. ***

Peningkatan ekonomi dari hasil bertani terlihat dengan adanya rumah berdinding bata

profil

22 BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

Bergairah (Lagi) Berkat Alih Rupa

Pabrik yang berlokasi di Sidoarjo itu berhasil menyulap “penampilan” menjadi industri bermasa depan cemerlang.

profil

23BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

profil

24 BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

Sungguh, pengalaman pabrik yang berlokasi di Sidoarjo itu mengingatkan dongeng

klasik, upik abu di kisah Cinderella. Digambarkan sebagai gadis berpenampilan buruk, tiba-tiba Upik Abu mampu menjelma menjadi putri nan cantik. Itu semua berkat tangan ajaib ibu peri yang merasa prihatin dengan nasib anak yang tinggal dengan ibu tirinya.

Kisah PG Kremboong bermula dari isu penutupan pabrik gula yang menjadi wacana Pemerintah kala itu. Pemicunya, rencana efisiensi sejumlah industri gula yang ditenggarai merugi. Utamanya, pabrik-pabrik berkapasitas produksi rendah atau di bawah 2.000 ton per hari. Maklum saja, lebih dari 60% pabrik gula yang ada di tanah air rata-rata berumur di atas 100 tahun.

Kondisi itu kian rumit ketika menyaksikan penampilan seluruh peralatan pabrik gula yang kebanyakan terbilang kuno. Disebut kuno lantaran masih menggunakan teknologi lama. PG Kremboong termasuk salah satunya. Sebagai unit usaha PT Perkebunan Nusantara (PTPN) X

PG Kremboong, pabrik gula tertua di Indonesia merupakan salah satu unit usaha PT Perkebunan Nusantara (PTPN) X

Gunungan limbah ampas tebu menyimpan potensi besar sebagai sumber energi terbarukan

profil

25BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

tergolong pabrik gula generasi pertama di Indonesia. Industri tersebut telah beroperasi sejak 1847.

Saat usianya memasuki usia 165 tahun, manajemen PG Kremboong berpikir ulang melihat kondisi pabrik yang tak kunjung membaik. Sejumlah masalah timbul akibat penurunan kapasitas produksinya. Melalui pemikiran dan pembicaraan intensif, akhirnya diputuskan untuk melakukan peremajaan besar-besaran yang dilakukan secara bertahap. Pabrik yang berlokasi di Dusun Krembung, Kecamatan Krembung, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur itu kemudian mengganti beragam peralatan lama dengan mesin-mesin baru yang jauh lebih efisien.

Contohnya, mengganti mesin uap lama dengan mesin elektromotor. Demikian pula dengan penggantian boiler bertekanan rendah dengan mesin bertekanan tinggi. Selain itu, saringan nira mentah diganti menjadi lebih modern. PG Kremboong juga melakukan penggantian mesin putaran penggiling tebu yang semula 18 unit mesin manual menjadi 2 unit mesin otomatis. Serangkaian penggantian mesin itu mau tidak mau menghabiskan dana besar.

“Tidak dapat disangkal bahwa peremajaan pabrik membutuhkan investasi besar dengan masa pengembalian relatif lama,” terang Kepala Bagian Instalasi PG Kremboong, Santoso WD, ST. Peremajaan pun menghabiskan dana Rp160-miliar dengan waktu pengembalian investasi 8 tahun.

Namun, pengorbanan itu akhirnya berbuah manis. Dengan kapasitas

PG Kremboong investasi pembelian mesin pencetak pelet bagas tebu baru

Jajaran Direksi dan Manajemen PG Kremboong

Pelet ampas tebu produk olahan ampas tebu yang berpeluang besar dipasarkan hingga mancanegara

terpasang giling tebu 2.500 TCD (Ton Canes per Day), PG Kremboong termasuk pabrik dengan kapasitas produksi di atas rata-rata. Setelah program revitalisasi, kapasitas produksi bahkan melonjak hingga 2.700 TCD. Bandingkan dengan produksi sebelum yang hanya mencapai 1.600 TCD. Mesin putaran penggiling baru juga mampu menekan kehilangan rendemen dari 2,8 % menjadi 2,3 % sehingga kuantitas gula yang dihasilkan pun berlipat.

Ampas TebuSisi positif lainnya, berkat

penggunaan mesin baru, konsumsi bahan bakar fosil pun kini ditinggalkan. Sebagai pengganti, seluruhnya digunakan bahan bakar non fosil yakni ampas tebu. Penggantian boiler ketel

profil

26 BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

uap lama yang sebelumnya masih mencampur ampas tebu dengan kayu bakar, minyak tanah, dan batu bara sebagai bahan bakar. dengan adanya boiler baru, saat ini hanya digunakan bahan bakar full ampas tebu. “Bahan bakar fosil sudah sama sekali tidak digunakan,” tutur Gatot Subijakto, MMA, General Manajer PG Kremboong. Manajer Instalasi PG Kremboong, Santoso WD, ST, mengungkapkan, penggantian mesin berperan penting meningkatkan efisiensi.

“Boiler baru menghapus biaya pembelian bahan bakar kayu bakar yang mencapai Rp700-juta—Rp800-juta per tahun,” terang Abdul Aziz Purmali, ST, Manajer Pengolahan PG Kremboong. Tak hanya dari jenis bahan bakar, nilai tambah yang diperoleh pun kian berlipat lantaran jumlah ampas yang dihasilkan boiler baru. Mesin itu

Industri pengolahan tebu menjadi salah satu industri yang banyak melibatkan perkebunan rakyat sebagai penggeraknya tengah menjadi sorotan terkait tingkat efisiensi yang terus menurun

mampu menghasilkan ampas 30 ton per jam. Dari jumlah tersebut, sekitar 24,37 ton per jam dipakai sebagai bahan bakar boiler. Dengan kehadiran limbah penggilingan itu, 100% bahan bakar boiler digantikan oleh ampas tebu sepanjang musim giling. Bisa dibayangkan nilai penghematan yang dihasilkan berkat penggunaan ampas tebu selama setahun. Itu setara dengan Rp5,5-miliar bahan bakar minyak.

Semakin efisien mesin boiler, kebutuhan ampas untuk pembakaran pun makin sedikit. “Sekali proses operasional boiler, masih terdapat sisa 5,8 ton ampas per jam. Sejak mesin baru terpasang, sisa ampas ini menjadi “pekerjaan rumah” karena ruang penyimpanan yang terbatas,” imbuh Abdul Aziz. Kelebihan ampas yang kian membukit akhirnya

memerlukan tambahan ruang seluas 1.000 m2 untuk menampungnya.

Beruntung, Abdul Aziz dan tim di Bagian Pengolahan jeli menangkap peluang. Sisa ampas yang berlimpah lalu diolah menjadi pelet. Setelah jadi, diberikan kepada pabrik gula lain di lingkup PTPN X untuk bahan bakar ketel uap. Upaya itu kemudian berkembang serius, terbukti pada akhir 2013, pabrik membeli mesin produksi pellet bagasse atau pelet ampas yang mulai dioperasikan setahun kemudian. Pelet produksi PG Kremboong dipasarkan dengan harga Rp600 per kg dalam bentuk curah maupun kemasan kantong plastik berukuran 10 kg.

Pilihan PG Kremboong memproduksi pelet ampas memang tepat. Peluang pasar pelet ampas terbuka lebar hingga mancanegara. Apalagi hasil uji laboratorium

profil

27BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

Potensi

KogenerasiAmpas yang belum termanfaatkan menjadi pelet, berpeluang

menjadi bahan bakar untuk menggerakkan satu unit turbin alternator (TA) tambahan. Selama ini listrik yang dihasilkan pembangkit listrik berbahan baku ampas tebu pada masa giling hanya untuk memenuhi kebutuhan mesin yang ada. Di antaranya kebutuhan saat proses gilingan, boiler, keperluan operasional kantor, dan penerangan pabrik. Di luar masa giling kebutuhan listrik masih disuplai dari Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Bila turbin tambahan itu dioperasikan, program mandiri listrik sepanjang tahun termasuk di luar masa giling melalui kogenerasi dapat terwujud. Kogenerasi atau co-generation adalah sistem konversi energi termal (panas) dari pembakaran yang secara simultan menghasilkan manfaat listrik dan panas (uap) sekaligus. Direktur PTPN X, Ir Subiyono, MMA menuturkan bahwa PG Kremboong memiliki potensi untuk kogenerasi dengan adanya surplus ampas tebu. Bahkan listrik yang dihasilkan dari kogenerasi diperkirakan melebihi kebutuhan pabrik.

“Di PG Kremboong, potensi listrik dari ampas tebu mencapai 10 MW. Untuk dipakai sendiri 4,5 MW, sehingga sisanya sebesar 5,5 MW bisa dijual ke PLN,” tuturnya. Untuk memenuhi bahan baku ampas tebu kogenerasi, PTPN X berencana menyalurkan ampas tebu dari PG Watoetoelis dan PG Toelangan. Kedua pabrik gula yang juga merupakan unit bisnis PTPN X itu berada di lokasi berdekatan dengan PG Kremboong.

Untuk mewujudkan program kogenerasi dibutuhkan suntikan dana investasi Rp18-miliar. Investasi yang diperlukan antara lain untuk membeli satu unit turbin alternator (TA) kapasitas 5 MW, Pressure Reducer Dry Superheater (PRDS), dan panel distribusi. Walau saat ini kogenerasi belum menjadi prioritas utama, PG Kremboong mengaku siap mewujudkannya di masa depan.

PG Kremboong adalah representasi pabrik gula berkapasitas kecil di Indonesia. Pengalamannya mengelola energi terbarukan dari ampas tebu merupakan perwujudan upaya trias efisiensi, diversifikasi, dan optimalisasi yang digaungkan PG Kremboong. Itulah tiga langkah strategis perusahaan bertahan dalam industri gula. Ampas tebu memang “barang lama” yang telah dikenal luas di industri tebu sebagai bahan bakar alternatif. Namun, munculnya inovasi-inovasi para pelaku industri yang kerap luput dari pandangan sejatinya bisa menginspirasi pelaku industri lainnya untuk terus mengeksplorasi potensi energi terbarukan di sekelilingnya.***

Universitas Gajah Mada Yogyakarta (UGM) membuktikan, pelet ampas produksi PG Kremboong memenuhi standar DIN 51731 dengan kualitas ekspor.

Achmad Perdana Haris SE, Asisten Manajer Keuangan PG Kremboong, menggambarkan pasar pelet ampas lokal yang demikian luas, salah satunya permintaan dari satu pabrik makanan mencapai 1.000 ton per bulan. Jepang bahkan meminta lebih tinggi yakni 3.500 ton setiap bulan, sementara Korea membutuhkan pelet ampas untuk bahan bakar alat penghangat ruangan ramah lingkungan. “Permintaan itu terpaksa ditolak karena produksi hanya mencapai 100 ton per bulan,” terang Achmad Perdana. Kapasitas mesin pelet yang ada memang terbatas, 500—800 kg per jam.

Sebelum memproduksi pelet, pabrik pernah memproduksi briket ampas berdiameter 10 cm dan panjang 40 cm. Sayangnya, pasar briket kurang berkembang. Karena itu pabrik kini lebih fokus memproduksi pelet ampas. Pelet cenderung lebih unggul lantaran lebih padat dan berkadar air lebih rendah. Itu sebabnya kualitas pembakaran jauh lebih baik dan efisien serta ramah lingkungan. Otomatis energi yang dihasilkan pun lebih tinggi. ***

Uap panas pembakaran ampas tebu telah lama dimanfaatkan sebagai bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar minyak

Ampas tebu berpeluang menjadi bahan bakar kogenerasi

28 BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

biomassa

Energi mahal. Tidak ada lagi frasa itu dalam kamus Aaron Fishman, founder dari East Bali Cashews

(EBC). Dahulu pabrik pengolahan kacang mede di Desa Ban, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, Bali, miliknya menggunakan LPG sebagai bahan bakar utama dalam kegiatan produksi. Kini ia tidak perlu risau dengan kenaikan harga LPG lantaran tidak lagi menggunakannya. Semua berkat cangkang biji jambu mede Anacardium occidentale.

Limpahan Energi Kulit Mede

Jeli melihat peluang biomassa cangkang mede, ketergantungan terhadap LPG (Liquid Petroleum Gas) pun teratasi.

Setahun bergelut dalam bisnis olahan kacang mede, Aaron memandang kulit mede hanya tumpukan limbah semata. Tidak terlintas di pikirannya untuk membuat limbah itu menjadi bahan bakar alternatif. Tak dinyana dalam setahun, usahanya berkembang pesat. Otomatis kebutuhan energi untuk operasional pabrik pun meningkat tajam. Ia pun mulai gerah membayar “tabung biru” yang menjadi sumber energi andalannya.

Melihat limbah kulit mede yang menggunung, Aaron mulai menyadari “kebodohannya”. Mengapa ia perlu membayar mahal gas untuk pabriknya sementara sumber energi potensial teronggok di depan mata? Ide kreatif pun terbit untuk menggunakan cangkang mede menjadi sumber bahan bakar. “Perbandingan mede dan limbah cangkang sekitar 1:4,” kata Aaron. Dalam sehari, pabriknya mengolah sedikitnya 3 ton biji mede. Olahan menghasilkan 250 kg kacang mede, sedangkan 2,250 kg sisanya terbuang menjadi limbah.

29BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

biomassa

Berbekal informasi dari berbagai literatur dan jaringan internet, pria asal Amerika Serikat itu meraba-raba teknologi gasifikasi. Teknologi itu nantinya dimanfaatkan guna menghasilkan uap panas yang dipakai untuk memanggang kacang. Dua orang tenaga terampil untuk membuat mesin gasifikasi diundangnya dari Surabaya.

Sedikit nekat, pria yang berlatar pendidikan filsafat itu mendesain instalasi pemanas. “Saya buat sketsanya, lalu diberikan ke tukang las untuk didesain, dirancang, hingga pemasangan di pabrik,” ungkapnya. Serangkaian uji coba dilakukannya hingga menghasilkan instalasi pemanas yang tepat. Terhitung tiga model instalasi pemanas gasifikasi gagal dibuat hingga akhirnya model keempat berhasil dioperasikan dengan aman pada 2013.

GasifikasiKalori pembakaran cangkang

biji mede setara dengan batubara. Cangkang mede dapat menjadi bahan bakar karena diproses secara gasifikasi atau proses konversi termokimia dari biomassa padat (cangkang) menjadi gas bakar. Gas bakar tersebut mengandung karbon monoksida (CO), hidrogen (H2) dan sedikit kandungan metan (CH4).

Operation Manager EBC, I Nyoman Sudi, menjelaskan ada 4 tahapan dalam proses gasifikasi. Reaktor yang digunakan merupakan reaktor

downdraft (aliran ke bawah) dengan 4 zona ruang sesuai tahapan. Dimulai dari zona pengeringan (drying), zona pirolisis (pyrolisis), zona oksidasi (oxidation) dan zona reduksi (reduction).

Gasifikasi yang dibuat menggunakan reaktor downdraft sehingga biomassa cangkang mede masuk melalui penampungan atas. “Sekali masuk bisa 20 kilogram (per karung),” ujar Nyoman Sudi. Pembakaran dilakukan secara tertutup dengan oksigen terbatas didalam pipa pembakaran berdiameter hanya 18 cm. Minyak laka atau minyak anakardiat (Cashew Nut Shell Liquid) yang terkandung di dalam cangkang akan memacu pembakaran hingga kemudian menghasikan uap panas.

Uap dihasilkan dari proses pirolisa dan pembakaran.

Uap panas tersebut selanjutnya dialirkan ke mesin pengukus (steam machine) dan mesin pengering atau oven. Mesin pengukus memerlukan uap panas untuk mengukus biji kacang mede selama 15—18 menit untuk setiap kali kukus. Sedangkan uap panas yang dialirkan ke oven, mengalir melalui pipa besar dengan tekanan 4—6 bar. Di bagian itu, mede dioven selama 5 jam dengan suhu 75 o—80 oC

“Keuntungan dari proses gasifikasi yaitu dapat menghasilkan bahan bakar gas tanpa menghasilkan limbah

Pekerja wanita mengupas cangkang mete

Pabrik East Bali Cashews, Desa Ban Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, Bali

30 BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

biomassa

Steamer baru meningkatkan efisiensi dan kapasitas

Oven pengering kacang mete

asap, jadi bersih. Pemanfaatan panas sangat efektif dan efisen karena sisa arang hanya tujuh persen,” ungkap Nyoman Sudi. Sisa arang itu pun dapat dimanfaatkan menjadi pupuk pohon jambu mede bersamaan dengan kulit ari yang juga merupakan limbah produksi kacang mede.

HematSebanyak 3—5 ton biji mede

diolah setiap harinya di EBC. Sekitar seperempat atau seperlimanya menjadi mede OC atau biji mede yang telah dikupas dari cangkang. Itulah kacang yang siap dikonsumsi. Sedangkan sisanya merupakan cangkang. Sekarang EBC memiliki 5 unit gasifier. Namun, hanya beberapa

yang dioperasikan tergantung jumlah bahan baku yang diolah.

Bila pasokan banyak, semua unit gasifier beroperasi penuh. “Satu hari bisa 2—3 ton cangkang. Nanti saat produksi naik, cangkang bisa lebih dari 3 ton per hari,” terang Sudi saat memaparkan rencana peningkatan produksi EBC menjadi 5 ton per hari. Itu pun tidak semua cangkang dipakai untuk bahan bakar. Biasanya hanya dibutuhkan sepertiga dari limbah yang dihasilkan setiap harinya. “Sisa cangkang mede dijual ke perusahaan laundry, pabrik batu bata, dan pabrik tahu,” tambahnya.

Cangkang mede sangat cocok dijadikan bahan bakar biomassa untuk pabrik berskala kecil dan menengah

yang berupaya hemat biaya energi. Dari segi teknis, ukuran cangkang tergolong kecil sehingga dapat langsung dimasukkan ke dalam reaktor tanpa perlu dicacah. Kandungan minyaknya berfungsi sebagai pelicin. “Dibanding biomassa lain, cangkang mede itu licin, banyak mengandung minyak, jadi mudah masuk ke ruang bakar,” kata Sudi.

Investasi yang digulirkan pun relatif ringan dengan jangka waktu pengembalian hanya 3—4 bulan. Aaron pun tidak lagi terbebani dengan biaya energi untuk bahan bakar. Setelah menggunakan cangkang mede sebagai bahan bakar, kebutuhan LPG menurun drastis. Pabrik mampu menghemat LPG hingga 70 %.

Satu kilo LPG dapat digantikan dengan 2 kg cangkang. Harga LPG tangki biru Rp 10.000/kg sedangkan cangkang hanya Rp 1.300/kg. Biaya yang dihemat mencapai 60 %. Bila dihitung nominal, keuntungan yang dikantongi dari penghematan itu sekitar Rp1-juta per hari atau mencapai 30 juta per bulan.

Potensi tinggiDesa Ban merupakan sentra

produksi mede terbesar di Pulau Dewata. Dari 9.683 hektar luas kebun jambu mede di Kabupaten Karangasem, 7.403 hektar atau 75 persennya berada di Kecamatan Kubu termasuk Desa Ban, tempat dimana East Bali Cashews berada. Di EBC, kacang mede diproses hingga dikemas

31BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

biomassa

menjadi kudapan lezat bergizi tinggi dengan berbagai varian rasa.

Keberadaan EBC mampu memutus panjang rantai distribusi kacang mede sekaligus menyambungkan petani mede dengan teknologi pengolahan yang memiliki nilai tambah bagi produk. Sebelumnya, biji mede asal Bali dipasarkan ke Vietnam dan India tanpa melalui proses pengolahan. Padahal, di negara itu biji mede diolah lalu kembali dipasarkan ke Indonesia dengan harga tinggi. Kini EBC memiliki 300 karyawan yang didominasi perempuan warga desa setempat.

Di Indonesia, Bali memang dikenal sebagai penghasil jambu mede terbesar. Sejak 1976 tanaman tersebut diwariskan dari generasi ke generasi. Kacang mede merupakan salah satu komoditas pertanian andalan Bali. Volume produksi jambu mede di Bali pada tahun 2013 mencapai 3.735 ton. Dengan perbandingan 1:4, potensi biomassa dari cangkang biji mede diperkirakan sekitar 2.801 ton dalam setahun. Sayangnya, banyak industri kecil dan menengah maupun Usaha Kecil Menengah (UKM) yang tidak menyadari manfaat limbah itu.

Jauh ke depan, EBC memiliki angan menciptakan listrik dari cangkang mede. Meski kebutuhan listrik pabrik

kurang dari kebutuhan sebuah hotel besar, listrik akan berguna untuk masyarakat seperti penerangan jalan dan rumah-rumah yang belum teraliri listrik. “Tetapi butuh modal hingga Rp2-miliar untuk membeli generator dan turbin,” ujar Aaron.

Potensi lainnya yang berlum tergarap yakni Cashew Nut Shell Liquid (CNSL) atau Cairan Kulit Biji Mede (CKBM). “Perlu kapasitas produksi mencapai 30 kali lipat dari kapasitas

EBC saat ini agar cangkang dapat diolah menjadi CNSL,” tambahnya. Walau cita-cita itu belum terwujud, langkah Aaron Fishman memanfaatkan cangkang mede merupakan terobosan bagi industri kecil dan menengah maupun UKM dalam menghasilkan energi secara mandiri. Sukses EBC diharapkan menjadi pemacu pemanfaatan biomassa lainnya bagi industri kecil dan menengah di sekitarnya.***

Zona pemisahan cangkang dari biji

Downdraft Gasifier dan boiler berbahan bakar cangkang mete

32 BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

biomassa

Manajer Teknik PT Sidomuncul, Ir. Sulisyanto.

33BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

biomassa

Di satu sudut areal pabrik PT Sidomuncul, tampak sebuah mesin keruk tengah beraksi

memindahkan gundukan material berwarna cokelat kehitaman. Wujudnya selintas mengingatkan pada sosok kompos yang masih mentah. Atau lebih tepatnya, sampah basah. Sedikit demi sedikit onggokan yang menumpuk berhasil diolah dan dimanfaatkan lebih lanjut. Gundukan itu ternyata ampas sisa hasil produksi jamu produk PT Sidomuncul. Jumlahnya mencapai 30 ton per hari.

Berbagai jenis tumbuhan yang menjadi formula dari produk-produk PT Sidomuncul seperti jahe, temu lawak, kunyit, serta bermacam akar dan daun diekstraksi setiap harinya. Ampas sisa proses itulah yang kemudian dimanfaatkan menjadi energi hijau. “Ampas jamu kering memiliki nilai kalori yang cukup tinggi, mencapai 5000 kkal/kg,” ungkap Manajer Teknik PT Sidomuncul, Ir. Sulisyanto. Alasan itu yang mendasari pihak pabrik mantap mengolah ampas menjadi bahan bakar alternatif.

Sejak beroperasi pada 2010, pabrik yang berlokasi di Ungaran, Semarang, Jawa Tengah itu mulai menghasilkan ampas. “Mulanya ampas dimanfaatkan hanya untuk pupuk kompos yang diberikan kepada para petani di sekitar pabrik tetapi itu hanya sedikit mengurangi ampas yang ada,” tutur Sulisyanto.

Tak ayal bukit ampas pun kian meninggi dari tahun ke tahun.

Racik Ampas Jamu Jadi Energi

Tak kurang dari 10 ton ampas bahan jamu diolah menjadi bahan bakar setiap harinya. Dengan nilai kalori 5.000 kkal/kg, ampas itu setara dengan energi 50-juta

kkal. Potensi besar untuk mengganti pemakaian gas CNG (Compressed Natural Gas) yang selama ini digunakan.

Ampas setelah dikeringkan kemudian diproses menuju mesin pencetak pellet biomassa berkapasitas 10 ton ampas.

34 BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

biomassa

Dilatari misi menjaga lingkungan dari pencemaran, PT Sidomuncul akhirnya berupaya mengurangi stok ampas. Timbullah ide untuk mengolahnya menjadi sumber energi. Ide itu semakin menguat ketika harga bahan bakar minyak meroket dan keberadaannya sangat sulit diperoleh. Muncullah ide untuk membuat pelet ampas.

Pelet ampasUntuk mengolahnya, ampas diubah

menjadi pelet berukuran panjang 55 mm dengan diameter 10 mm. Untuk itu didatangkan mesin pelet yang mampu mengolah 450 kg ampas per jam. Dalam sehari, mesin yang beroperasi 24 jam itu bisa memproduksi 10 ton ampas menjadi pelet.

Ampas jamu kering biasanya dijual seharga Rp 1.100 per kg. Bila diubah menjadi pelet, biaya produksinya hanya Rp 350,00 per kg. Setelah dihitung, biaya membuat pelet masih ekonomis dibandingkan membeli gas CNG (Compressed Natural Gas). Perbandingan nilainya sangat signifikan. Harga gas untuk bahan bakar utama senilai Rp3.200 per kg.

Usai berubah wujud. Massa pelet menyusut hingga 40%. Namun, kandungan air pun berkurang dari 48% menjadi hanya 8—10%. Lantaran

memadat, saat pembakaran tidak ada lagi ampas yang terbang melayang dan memicu polusi udara. Pembakaran pun hanya menyisakan sedikit abu.

Pelet lantas digunakan sebagai bahan bakar peralatan di PT Muncul Putra Offset (MPO). Pabrik rotogravture atau percetakan milik PT Sidomuncul itu memproduksi kemasan produk berbahan plastik maupun kertas. Di PT MPO, ampas kering dituang ke dalam

conveyor belt yang bergerak menuju boiler.

Ampas pun terbakar dalam ruang bakar dengan suhu mencapai 870oC. Panas berfungsi memanaskan oli yang berada di dalam pipa spiral dalam cerobong pembakaran. Oli panas kemudian dialirkan ke mesin-mesin pencetak kemasan seperti unit alat laminating kering atau FLM-dry laminator, digital printer dan laminator.

Optimalisasi pemanfaatanRencananya, pelet juga akan

digunakan untuk proses pengeringan tumbuh-tumbuhan yang akan diekstraksi. Proses membutuhkan energi sebesar 60 x 104 kkal. Selama ini, bahan bakar yang digunakan berupa gas CNG (Compressed Natural Gas). Satu kilogram gas CNG (Compressed Natural Gas) setara 2 kg pelet. Artinya, satu boiler dapat diganti dengan 120 kg pelet.

Untuk memaksimalkan upaya tersebut, PT Sidomuncul pun serius melakoninya. Karena itu untuk meningkatkan pemanfaatan pelet, PT Sidomuncul sampai membeli boiler khusus berbahan baku pelet ampas. PT Sidomuncul memang berencana memperluas usaha dengan mendirikan pabrik baru. “Akhir 2014, pabrik membeli boiler khusus dari Tiongkok. Boiler akan digunakan untuk

Mesin pencetak pellet sekaligus Automatic packaging atau pengemas otomatis beroperasi penuh selama 24 jam setiap hari.

Kepala Pabrik PT Sidomuncul, Hadi Hartoyo.

Diagram alir mesin pencetak pellet biomassa. Terdiri dari pellet mill (pencetak pellet), cooler (pendingin), dan automatic packing atau pengemas yang beroperasi secara otomatis.

35BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

biomassa

Biomassa Nilai Kalori (kcal/kg)Sisa kayu olahan 2.400—3.000Ampas tebu 1.800Sisa kelapa sawit 2.800Sisa tanaman jagung 2.000

Sekam padi 3.000

Sumber : Peran Biomassa sebagaiEnergi Terbarukan, 2010

menggandakan produksi berbagai produk andalan di pabrik baru PT Sidomuncul,” tutur Hadi Hartoyo, Kepala Pabrik PT Sidomuncul.

Optimalisasi lainnya dengan menggunakan pelet untuk bahan bakar chiller absorbsi. “Penggunaan chiller absorbsi akan jauh menghemat listrik. Perbandingannya AC 1 PK berdaya listrik 900 Watt digantikan dengan chiller absorber yang hanya berdaya 150 Watt,” jelas Sulisyanto. Dibandingkan AC yang umumnya menggunakan freon dan boros listrik, chiller absorber hanya menggunakan listrik untuk penggerak awal. Selanjutnya, proses lebih banyak memanfaatkan uap bertekanan rendah.

“Top Level Management PT Sidomuncul mempunyai misi turut menjaga lingkungan. Untuk itu, kami terus mengembangkan dan berinovasi menggali potensi energi dari limbah,” pungkas Hadi. Meramu limbah bagi PT Sidomuncul ibarat berterimakasih kepada alam. Usai mengambil manfaatnya, sepatutnya manusia menjaga alam tetap lestari dengan meminimalir limbah.***

PT. Sidomuncul berinvestasi membeli boiler baru dari Tiongkok berbahan bakar pellet biomassa limbah jamu kering berkapasitas 120 kg pellet.

Boiler pada proses pengeringan bahan berbahan bakar gas CNG (Compressed Natural Gas) akan dimodifikasi berbahan bakar pellet. Satu kilogram gas CNG setara dengan dua kilogram pellet

Ampas jamu setelah dikeringkan kadar air tersisa 7,70 persen siap diproses menjadi pellet.

36 BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

biomassa

Merdeka Sampah, Menuai Listrik

Malam menjelang di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Tambakrigadung, Kecamatan Tikung, Kabupaten Lamongan. Meski jauh dari akses listrik di sekitarnya, TPA yang

dibangun sejak 1990 itu tampak benderang.

Bahu jalan Kota Lamongan terlihat asri. Kota ini bermisi menjadi Green and Clean City setelah meraih Adipura Kencana.

37BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

biomassa

Yah, itu semua berkat listrik mandiri yang berasal dari PLTSa (Pembangkit Listrik

Tenaga Sampah). Upaya itu membuka pandangan baru tentang energi alternatif yang sangat ramah lingkungan. Dengan usaha yang dilakukan, wilayah Kabupaten Lamongan menjadi lebih terang.

Masalah pengelolaan sampah memang tidak berhenti sampai di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) saja. Di TPA, gunungan sampah berpotensi memicu masalah baru bila tidak ada pengelolaan lebih lanjut. Itu karena penyusutan sampah tidak mampu mengimbangi pertambahan sampah setiap harinya.

Sampah kerap menjadi kambing hitam sebagai sumber penyakit dan polusi udara. Keberhasilan pengelolaan sampah menjadi indikator kesuksesan pemerintah daerah mengelola lingkungan. Sejak 2010, Kabupaten Lamongan memulai aksinya guna mengubah wajah kota menuju Kota Berwawasan Lingkungan.

Hal itu tertuang dalam rencana strategis 5 jilid. Tahun pertama (2011) bertema Green and Clean. Berlanjut ke jilid II dengan tema Waste Lover (Pecinta Sampah) dan tahun III (Menuju Lamongan Merdeka Sampah melalui Bank Sampah). Adapun tahun IV dan V (2014) bertema Lamongan Warna-Warni Bunga dan Merdeka Sampah. Pada tahun 2015, program penggunaan energi alternatif yang ditargetkan lebih dari 20% tercantum di dalamnya.

Sebagai wujud nyata rencana tersebut, Pemerintah Kabupaten Lamongan mengakselerasi upaya mewujudkan kota “merdeka” sampah. Bersama jajaran Badan Lingkungan Hidup (BLH) sebagai inisiator, program pengelolaan sampah menjadi energi alternatif digulirkan pada awal 2015.

Bukti nyata upaya itu berada di TPA Tambakrigadung, Kecamatan Tikung, Kabuapeten Lamongan. Di atas sanitary landfill seluas 7 Ha milik pemerintah daerah itu berdiri satu instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Dana untuk investasi alat dan bangunan PLTSa mencapai Rp2-miliar bersumber dari APBD.

Pembangkit listrikGagasan pembangunan PLTSa

tercetus usai Bupati Lamongan, H. Fadeli SH, MM, melakukan studi banding ke Cekoslovakia dan Jerman pada 2014. Kesempatan kunjungan yang diperoleh setelah Kabupaten Lamongan meraih penghargaan Adipura Kencana itu menyisakan ide meramu sampah menjadi listrik. Di kedua negara tersebut, setengah dari total kebutuhan listrik penduduknya tercukupi dari sampah. Dengan dukungan Institut Teknologi Surabaya, BLH mulai mendesain PLTSa di TPA Tambakrigadung. Pada Januari 2015, instalasi PLTSa resmi terpasang di areal TPA.

“Listrik yang dihasilkan mampu mencapai 10.000 Watt dengan distribusi tenaga listrik 20—25 kVa. Sementara listrik baru dipakai untuk

lampu penerangan di PLTSa dan areal TPA. PLTSa mulai beroperasi penuh setelah peresmian oleh Kementerian Lingkungan Hidup pada 23 APRIL 2015,” terang Kepala BLH Kabupaten Lamongan, Drs. Sukiman, MSi. Jam operasional PLTSa 8 jam per hari mulai pukul 07.00—15.00 WIB. Mesin beroperasi setiap hari kecuali hari Jumat saat dilakukan perawatan mesin.

Listrik juga rencananya akan digunakan sebagai tenaga penggerak mesin pembuat pelet biji plastik. Pelet itu ditujukan bagi para pengrajin untuk membuat tikar plastik. “Selain menghasilkan listrik, sisa uap panas yang terbentuk akan dimanfaatkan sebagai pemanas pada industri tahu dan tempe yang akan dibangun di sekitar TPA,” tambah Sukiman.

Peran masyarakatKunci sukses menuju keberhasilan

upaya mewujudkan green city diungkap Sukirman berada di tangan masyarakat. “Kuncinya pemberdayaan dengan

Sampah berputar dalam rotary screening dipisahkan antara bahan terpakai (untuk dibakar) dengan kotoran untuk dijadikan kompos.

Lampu penerangan TPA, sumber listriknya berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa).

38 BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

biomassa

Sampah yang diolah berasal dari timbunan sampah lama di sanitary landfill (TPA) dan sampah baru yang berasal dari warga setempat. Jenisnya seperti bekas kemasan (kertas, kayu, plastik, kain/lap) dan sampah rumah pemukiman seperti bekas perlengkapan rumah tangga (kertas, kardus, perabot plastik, dan pakaian bekas).

Potensi sampah anorganik selain B3 di wilayah Lamongan volumenya mencapai 25,62 m3/hari. Sampah itulah yang menjadi sumber energi PLTSa. Adapun jumlah sampah yang diproses setiap harinya sebanyak 10—12,5 m3. Rangkaian PLTSa terdiri dari rotary screening, incenerator, burner, boiler dan turbin-generator. Prosesnya dimulai dari pemilahan sampah. 1. Sampah bergerak di atas sabuk konveyor menuju rotary screening. Di dalam rotary screening, sampah berputar

sampai terpisahkan antara bahan terpakai dengan kotoran yang terbawa. 2. Bahan terpakai diteruskan melalui screw bagian atas untuk dibakar sedangkan kotoran dilewatkan melalui

screw bawah untuk dikemas menjadi kompos.3. Bahan terpakai atau siap bakar kemudian dimasukkan secara manual ke dalam insenerator atau pemusnah

sampah oleh pekerja. 4. Sampai melalui proses pembakaran suhu sedang hingga kering dan siap dibakar kembali di dalam burner

bersuhu 1.7000C. Sampah dimasukkan bertahap ke dalam ruang bakar setiap 10—20 menit. Lama pembakaran bervariasi tergantung sampah plastik baru atau lama. Sampah baru umumnya lebih cepat terbakar.

5. Pembakaran menghasilkan gas dan residu. Residu pembakaran berupa abu yang dimanfaatkan oleh pengelola menjadi bahan pot-pot bunga. Sedangkan gas diteruskan untuk memanaskan air di boiler.

6. Air yang dipanaskan menghasilkan uap kering (superheated steam) yang tercipta dengan tekanan, temperatur dan aliran. Uap inilah yang menggerakkan baling-baling turbin berkecepatan 5 rpm untuk menghasilkan listrik.***

Metamorfosis Menuju Listrik

1

4

2

5

3

6

39BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

biomassa

melibatkan partisipasi masyarakat untuk mengubah perilaku dalam pengelolaan sampah,” ungkapnya. Tidak tanggung-tanggung, pada tahun 2014, tercatat 7.445 orang kader lingkungan diberi pelatihan pengelolaan sampah. Bank sampah sebanyak 525 unit pun tersebar hingga tingkatan terkecil yaitu RT dan RW.

Masyarakat dibiasakan memilah sampah organik dan anorganik. Pemilahan juga didasarkan pada nilai ekonomisnya. Sampah ekonomis seperti botol plastik minuman disetorkan ke bank sampah, sedangkan non ekonomis (label/kemasan plastik) dikumpulkan untuk diambil kendaraan pengumpul sampah khusus untuk bahan bakar PLTSa. Berkat peran aktif masyarakat, seluruh target rencana 5 jilid terlampaui. “Tahun ini kami akselerasi penyelesaian dua jilid,” ujar Sukiman sumringah.

Pengembangan green energy dalam skenario “merdeka sampah” hingga Mei 2014 menargetkan penggunaan energi alternatif sebesar 13%. Meski pencapaian baru 6%, pemerintah Kabupaten Lamongan tetap optimis dapat mencapai target 20% lebih pada tahun mendatang.

Untuk memperkuat pengembangan green city, pengembangan desa mandiri energi, pengembangan pemanfaatan gas methan untuk 20 KK (kepala keluarga), pengembangan pengolahan plastik menjadi BBM (bahan bakar minyak), serta pengembangan pembangkit listrik tenaga enceng gondok dan sampah masuk daftar perencanaan Pemda Kabupaten Lamongan.

Keberadaan PLTSa tidak hanya menguntungkan pengelola tetapi juga masyarakat sekitar. Adanya PLTSa membuat masyarakat sekitar TPA dapat menikmati listrik sekaligus sebagai kompensasi pada masyarakat sekitar atas keberadaan TPA. Beroperasinya PLTSa membuka lebar pintu inovasi berikutnya untuk pengembangan energi alternatif di Kabupaten Lamongan. Melalui program-program tersebut, tepat kiranya Lamongan meraih apresiasi Adipura Kencana pada 2013 dan menargetkan meraih Kota Berwawasan Lingkungan (Green City) pada tahun 2015.***

Instalasi PLTSa terpasang di areal TPA pada Januari 2015 terdiri dari incenerator (pemusnah sampah), burner (pembakar), boiler (pemanas air) dan turbin-generator.

Timbunan sampah di TPA Tambakrigadung, Kecamatan Tikung, menjadi bahan bakar PLTSa.

Pekerja membersihkan tungku pembakaran atau burner. Suhu pembakaran di dalam burner bisa mencapai 1700 derajat celcius.

40 BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

biogas

Akrab Teletong Raup Biogas

Bau kotoran sapi menyergap di halaman belakang rumah Roisah. Alih-alih mendengus kesal, perempuan warga Desa Slampangrejo, Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang, Jawa Timur, itu tersenyum senang. Kotoran sapi baginya ibarat rupiah yang membuat

dapurnya terus mengepul.

41BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

biogas

42 BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

biogas

Pagi itu Roisah tengah sibuk memasak sarapan kelima orang anggota keluarganya.

Sekilas tampak jilatan api meliuk di atas kompor gas yang dipakainya. Berbeda dengan kebanyakan ibu rumahtangga lain pada umumnya, ia tidak menggunakan tabung gas melon. Tabung LPG 3 kg itu dibiarkan teronggok dengan regulator dan selang terpisah dari tabungnya. Itu karena selang gas kompor miliknya terhubung langsung dengan instalasi biogas yang berada tepat di sebelah kandang sapi. “Sudah jarang pakai LPG, setiap hari sudah biasa pakai biogas, nggak bayar.” tutur Ibu Roisah.

Ibarat memiliki kilang gas pribadi, Roisah tidak perlu repot membeli gas dua minggu sekali seperti yang selama ini dilakukannya. Gas bahan bakar kompor yang dipakai sehari-hari berasal dari kotoran delapan ekor sapi yang Roisah dan suaminya, Kuswari, pelihara. Sumbernya dari reaktor biogas yang dibangun di belakang rumah sejak tiga tahun lalu.

Biogas dihasilkan dari reaktor berukuran 8 m3 dengan bahan baku yang berasal dari kotoran 8 ekor sapi. Bila seekor sapi menghasilkan 15 kg teletong maka dalam sehari dipanen 120 kg teletong yang mampu menghasilkan gas mencapai 1.800 liter. Kompor berbahan bakar biogas itu dipakai Roisah untuk memasak pada pagi hari pukul 04.00—09.00 dan sore hari pukul 14.00—16.00.

“Gas sejumlah itu bahkan lebih untuk memenuhi kebutuhan memasak satu keluarga,” ujar Khoirul Huda, Kepala Unit Pengolahan Limbah Ternak KAN (Koperasi Agro Niaga) Jabung. Menurutnya, gas yang dihasilkan dalam reaktor mini seluas 1 m3 bisa digunakan untuk memasak selama 3 jam untuk menu satu keluarga berjumlah 4—5 orang. Kandungan biogas itu setara energi 0,62 liter minyak tanah atau 0,46 liter elpiji.

Pengalaman serupa dituturkan Sri Rahayu yang tinggal tidak jauh dari rumah Roisah. Ia bahkan telah memasang reaktor biogas di rumahnya

sejak 2010. “Pakai LPG tabung 3 kilogram akan habis kurang dari satu minggu,” tutur Sri yang menghasilkan biogas dari kotoran 4 ekor sapi miliknya. Menurutnya, menggunakan biogas dirasa hemat dan lebih aman. Dapurnya lebih bersih lantaran asap yang dihasilkan lebih sedikit. Masalah kotoran di kandang pun teratasi.

Biogas kecil skala rumahtangga dirasakan sangat membantu perekonomian keluarga. Saat harga LPG naik, Roisah dan Sri pun tidak merasakan langsung dampak kenaikan tersebut.

Kampung biogasRoisah dan Sri hanya dua contoh

ibu rumahtangga yang memanfaatkan biogas teletong sapi. Di mana ada kandang sapi, di situ terdapat reaktor biogas. Begitulah pemandangan di kampung tempat tinggal Roisah. Hingga 2014, 505 unit reaktor biogas dibangun di atas lahan milik 631 KK anggota KAN Jabung.

Kantor Koperasi Agro Niaga (KAN) Jabung, Jl. Suropati 4-6 Kemantren, Jabung.

43BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

biogas

Mulanya, koperasi yang berdiri sejak 1980 itu memberikan pinjaman kepada anggota untuk beternak sapi untuk tujuan menghasilkan susu maupun daging. Jumlah bantuan modal usaha yang diberikan yakni berupa sapi sebanyak 673 ekor. Jumlah sapi terus bertambah hingga pada 2015 tercatat lebih dari 7.000 ekor sapi.

Setelah program beternak sapi sukses berkembang, ide untuk memanfaatkan kotoran sapi sebagai bahan biogas mulai mengemuka. “Satu ekor sapi bisa menghasilkan kotoran 15 kilogram per hari. Potensi kotoran ternak bisa mencapai 105.000 kilogram untuk diubah menjadi biogas setiap harinya,” terang Huda.

Pembangunan reaktor mini di halaman rumah warga dirintis sejak 10 tahun lalu oleh Unit Pengolahan Limbah Ternak KAN Jabung yang berkedudukan di Jl. Suropati 4—6, Kemantren, Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang, Jawa Timur. “Sejak 2005, kami sudah mencari

Aliran pembuangan teletong dari kandang menuju Inlet (ruang masuk teletong).

44 BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

biogas

BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

referensi model reaktor biogas skala rumah tangga yang sesuai bagi para peternak,” papar Khoirul.

Pada 2006, pilot project biogas bekerja sama dengan Universitas Brawijaya sebagai desainer reaktor mulai diwujudkan. Berbekal reaktor mini biogas, warga dapat memproduksi gas sendiri dalam skala kecil dengan konstruksi sederhana. Selama kurun waktu 2006—2009, upaya swadaya KAN Jabung berhasil memasang 108 unit reaktor biogas rumah.

Pada pertengahan tahun 2009, pemerintah melalui Kementerian ESDM bekerjasama dengan HIVOS—organisasi nirlaba asal Belanda—meluncurkan Program Biogas Rumah (BIRU). KAN Jabung menjadi salah satu mitra perintis biogas untuk program itu di wilayah Malang.

Reaktor miniProgram BIRU memfasilitasi akses

kredit bagi koperasi yang memerlukan dana pinjaman. Salah satunya untuk pengadaan biogas bagi para peternak anggota KAN Jabung yang tergabung dalam Kelompok Peternak Pengguna Biogas Rumah. Sri salah satu penerima manfaat kredit Program BIRU lima tahun lalu.

Ia membangun reaktor berukuran 6 m3 dengan investasi Rp6-juta. Uang itu digunakan untuk perbaikan tempat pakan ternak (palungan), saluran kotoran ternak di kandang, inlet, reaktor fixed dome, outlet beserta pipa aliran gas, manometer, serta pemasangan kompor biogas hingga siap digunakan.

Sebagian biaya pembangunan reaktor diperoleh dari program Corporate Social Responsibility (CSR) PT Nestle sebesar Rp1,6-juta. Sisanya pinjaman kredit KAN Jabung. “Dua tahun pinjaman lunas. Pembayaran pun tidak terasa memberatkan karena diangsur dari hasil penjualan susu,” tutur perempuan yang berprofesi sebagai guru TK itu.

Reaktor biogas skala rumahtangga cukup sederhana. Instalasi reaktor tersusun atas beberapa bagian yaitu inlet (tempat teletong dimasukkan), reaktor bawah tanah (ruang anaerobik), penampung gas, outlet (ruang pemisah), pipa penyalur gas,

Proses pembentukan biogas diawali dari pengumpulan teletong dari kandang. Kotoran lalu dimasukkan ke dalam lubang masuk menuju penampungan bawah tanah. Biogas terbentuk melalui tiga proses yaitu hidrolisis (penguraian bahan organik), pengasaman (pengubahan menjadi bahan makanan bakteri pembentuk asam), dan metagenogenik (proses pembentukan gas metan).

Setelah 6 jam proses berlangsung, gas metana terbentuk. Gas metana yang dihasilkan kemudian disalurkan melalui pipa outlet menuju kompor biogas. Kandungan utama biogas berupa gas metan (CH

4) dan karbon dioksida (CO2) serta sejumlah kecil amonia, nitrogen, suflur dioksida, dan hidrogen. Hati-hati, tekanan gas metana yang cukup rendah membuat biogas tidak mudah meledak. Untuk itu, pastikan instalasi saluran benar-benar terpasang dengan benar.

Cara kerja kompor biogas sama dengan kompor gas. Perbedaanya hanya terletak pada sumber energi yang digunakan. Biogas berasal dari fermentasi kotoran ternak. Nyala api biogas berwarna biru dan panas. Tidak jauh berbeda dengan gas LPG. Gas pun tidak berbau kotoran ternak seperti yang dikhawatirkan masyarakat dan tentunya tidak beracun.

Warga umumnya menggunakan dua jenis kompor. Kompor satu tungku biasanya diberikan pada peserta program BIRU. Sedangkan KAN Jabung menyediakan kompor dua tungku hasil modifikasi dari kompor LPG yang ada di pasaran. “Modifikasi sederhana dari kompor LPG menjadi kompor biogas hanya perlu mengubah nossel,” terang Khoirul Huda. Usai beralih rupa, siapapun bisa menggunakan biogas sama seperti menggunakan LPG.***

Ubah Rupa Teletong

dan lubang penammpung ampas menjadi bio slurry. Bentuknya kubah beton (fixed dome) yang disusun dari batu bata dan beton yang tertutup di bawah tanah. Bangunan reaktor dapat bertahan selama lebih dari 15 tahun bila perawatan dilakukan dengan benar.

Reaktor dibuat beragam ukuran tergantung jumlah sapi yang dimiliki peternak. Tim KAN Jabung pernah membuat reaktor mulai dari 6 m3, 8 m3, 12 m3 hingga 50 m3. Dibutuhkan minimal 2 ekor sapi agar reaktor mampu menghasilkan gas. Kebanyakan warga di Desa Jabung memasang reaktor biogas berukuran 6 m3 karena rata-rata warga memiliki 2—5 ekor sapi. Sedangkan reaktor ukuran 50 m3 digunakan peternak dengan jumlah sapi lebih dari 30 ekor. Warga menggunakan biogas tidak

Katup dan pipa gas utama mengalirkan biogas menuju kompor.

45BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

biogas

BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

hanya untuk kebutuhan sehari-hari melainkan untuk industri kecil dan menengah seperti industri kerupuk, industri tahu, dan pengeringan jagung.

Terus meluasKhoirul mengakui, risiko kebocoran

masih dapat terjadi akibat kesalahan teknis pemasangan pipa. Kekurangan lainnya, karat kerak berwarna hitam kerap menempel di bagian bawah alat memasak seperti panci dan

penggorengan. Itu disebabkan adanya kandungan sulfur pada biogas. Toh, itu tidak menyurutkan keinginan warga menggunakan biogas.

Buktinya, undangan pemasangan reaktor biogas yang ditujukan kepada KAN merambah hingga lima kecamatan meliputi Kecamatan Tumpang, Singosari, sampai Lawang. Pengembangan teknologi biogas pun telah diupayakan KAN. “Semester kedua tahun 2015, kami merencanakan

pemasangan kantong penampungan biogas di peternak-peternak yang memiliki kelebihan gas,” papar Khoirul. Selain itu, ada pula inovasi refill biogas ukuran 1 m3.

Dibandingkan wilayah lainnya, Jawa Timur merupakan provinsi dengan jumlah reaktor biogas terpasang paling banyak di Indonesia. Data Program Biogas Rumah (BIRU) per 5 Februari 2015 mencatat, 6.937 reaktor biogas rumah—atau sebesar 49% dari total reaktor biogas di Indonesia—terpasang di wilayah Jawa Timur. Program besutan Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral itu diluncurkan sejak 2009.

Desa-desa sentra peternakan sapi di berbagai wilayah di Indonesia berpotensi untuk pengembangan biogas. Selain nilai investasi yang terjangkau, pemanfaatannya pun meringankan beban ketergantungan terhadap bahan bakar tak terbarukan. Kecamatan Jabung merupakan contoh nyata sukses KAN mengaplikasikan teknologi penghasil biogas. Kini, dapur-dapur pun bisa mengepul tanpa pasokan LPG.***

Inlet terpasang di belakang kandang untuk mengalirkan teletong menuju digester berukuran 6 m3.

Kepala Unit Pengolahan Limbah Ternak, Khoirul Huda, beserta karyawan KAN Jabung.

46 BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

regulasi

Menteri ESDM Sudirman Said menuturkan, secara bertahap pemerintah akan memberikan

porsi lebih besar terhadap energi baru dan terbarukan. Terlebih, salah satu poin paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan Presiden Joko Widodo adalah mandatori pencampuran biofuel hingga 15% pada tahun ini. Mandatori tersebut menjadi kebijakan strategis karena terjadi kekurangan produksi BBM di Indonesia.

Simak saja kondisi 2015. Pemerintah menargetkan produksi siap jual (lifting) minyak Indonesia sekitar 825 ribu barel per hari (bph). Sementara kebutuhan dalam negeri diprediksi mencapai 1,6 juta bph. Tak ayal, impor energi asal fosil menjadi alternatif untuk menutup k e k u r a n g a n . Namun, apakah kondisi itu bakal terus berlangsung? A k a n k a h I n d o n e s i a menyerah dan terus tergantung

Mandatori B15:Demi Bergairahnya Pasar

BBNKebijakan pemanfaatan B15 berperan penting dalam mendukung kebijakan ekonomi

makro. Termasuk penghematan devisa negara melalui pengurangan impor bahan bakar minyak (BBM). Pelaksanaan kebijakan itu bakal menyerap produksi biodiesel dalam negeri sebesar 5,3 juta kiloliter atau setara dengan 4.8 juta ton Crude Palm Oil (CPO). Dampaknya,

akan terjadi penghematan devisa sebesar USD 2.54 miliar.

pada bahan baku energi fosil? Sebagai negara yang kaya akan sumber bahan bakar nabati, kekhawatiran itu harus diubah menjadi peluang dan tantangan.

Sejatinya, pemanfaatan BBN seperti biodiesel dan bioetanol berkemampuan menekan angka impor. Kebijakan untuk mendorong pemanfaatan BBN telah dirintis sejak 2006 melalui Perpres No. 5 tahun 2006. Dalam Perpres tersebut tertera Kebijakan Energi Nasional yang menyatakan bahwa pemerintah menargetkan pemakaian BBN mencapai 5 persen dalam bauran energi nasional (energy mix) pada 2025.

Dua tahun kemudian, upaya Pemerintah dipertegas dengan

dikeluarkannya kebijakan Mandatori BBN yang tertuang di dalam Peraturan Menteri ESDM No. 32 Tahun 2008 tentang

Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan

Bakar Lain. Peraturan Pemerintah yang diluncurkan saat Purnomo Yusgiantoro menjabat sebagai Menteri ESDM saat itu mencantumkan pentahapan kewajiban minimal pemanfaatan BBN. Diharapkan usaha itu mampu menekan besaran impor Bahan Bakar Minyak (BBM). Pemerintah pun menetapkan angka minimal pemanfaatan BBN untuk dicampurkan dalam BBM sebagai biofuel.

Perubahan kebijakan tersebut bertujuan untuk mengakomodir kondisi yang ada. Perubahan pertama melahirkan Peraturan Menteri ESDM No. 25 Tahun 2013. Sedangkan perubahan kedua yang merupakan perubahan terakhir tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM No. 20 Tahun 2014 yang ditetapkan pada 3 Juli 2014.

Perubahan yang dimaksud berupa peningkatan pemanfaatan biodiesel pada tahun 2020 dari 20% menjadi 30% dan pada tahun 2025 dari 25% menjadi 30%. Kenaikan itu berlaku untuk sektor usaha mikro, usaha perikanan, usaha pertanian, transportasi pelayanan umum PSO,

transportasi non PSO, serta industri dan komersial.

Menurut Menteri ESDM, Sudirman Said pemerintah sepakat untuk meningkatkan penggunaan BBN secara bertahap pada 2015

47BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

regulasi

Kenaikan diharapkan tidak hanya mempercepat target pentahapan menuju angka hingga 100% tetapi juga ikut menggairahkan dunia tata niaga BBN.

Dukungan PengusahaUntuk mencapai target, diluncurkan

Peraturan Pemerintah lainnya sebagai pilar penguat kebijakan mandatori itu. Dengan ditetapkannya target baru sebesar 30% pada 2025, merupakan langkah besar dari Kementerian ESDM di bawah pimpinan Sudirman Said. Sesuai Permen No. 20 Tahun 2014, pemanfaatan biodiesel minimum pada Januari 2015 adalah sebesar 10% dan meningkat menjadi 20% pada Januari 2016. Dalam hal ini Menteri ESDM, Sudirman Said menuturkan, pemerintah sepakat untuk meningkatkan penggunaan BBN secara bertahap pada 2015 sehingga target 20% pada tahun depan dapat tercapai.

Terkait kesepakatan itu, pemerintah lalu menerbitkan Peraturan Menteri ESDM No. 12 Tahun 2015 yang berisi kewajiban pencampuran BBN sebanyak 15% pada solar terhitung mulai 1 April 2015 atau dikenal dengan Mandatori B15. Jika mandatori B15 diterapkan pada 1 April 2015, penghematan uang negara sebesar US$1,3-miliar akan terwujud.

Ketetapan mandatori itu otomatis akan menaikkan kebutuhan biodiesel. Rida Mulyana, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Kementerian ESDM, menyatakan perkiraan kebutuhan biodiesel mencapai 5,3-juta kiloliter. Angka itu setara dengan 4,8 juta ton minyak sawit mentah (CPO). “Kami akan meminta dukungan pengusaha minyak kelapa sawit untuk mewujudkan kebijakan B15 ini. Setidaknya diperlukan jaminan dari mereka terkait ketersediaan biodiesel,” kata Rida.

Angin segar pun berhembus di sektor produksi BBN terkait Harga Indeks Pasar (HIP) untuk pembelian. “Sekarang HIP biodiesel dihitung dari HPE CPO (harga patokan ekspor minyak sawit mentah) ditambah US$ 125 per ton. Nanti akan ada PP (Peraturan Pemerintah) untuk mandatori ini,” ujar Rida. Ia optimis

mandatori mampu mendorong penyerapan produksi CPO domestik dan memberikan keuntungan bagi negara. Selama ini produksi CPO rata-rata per tahun mencapai 31-juta ton. Hanya 10-juta ton yang dikonsumsi dalam negeri, sisanya diekspor.

Subsidi biodieselUntuk merealisasikan mandatori

B15 bukanlah perkara mudah. Dari sisi ekonomi, harga biodiesel menjadi salah satu ganjalan tercapainya target pemanfaatan biodiesel. Pada 2025 mendatang diproyeksikan selisih antara produksi dengan konsumsi BBM bisa mencapai 2,5-juta barel per hari. Menanggapi kondisi tersebut, pemerintah menyadari perlunya strategi untuk mempercepat pemanfaatan biodiesel di Indonesia. Salah satunya dengan mengalihkan subsidi BBM ke BBN.

Rida mengungkapkan, pemerintah telah berusaha meningkatkan subsidi biodiesel menjadi Rp4.000 per liter pada APBN-P 2015. Peningkatan itu sangat signikan ketimbang sebelumnya yang hanya Rp1.500 per liter. Jadi alokasi dana APBN untuk BBN menunjukkan adanya peningkatan sebesar Rp3,09-triliun. Anggaran Rp14,31-triliun dari APBN 2015 ditingkatkan menjadi RAPBN-P 2015 sebesar Rp-17,40-triliun. Subsidi biodiesel diberikan dalam upaya melindungi industri BBN domestik. Itu karena biaya produksi melampaui harga pasar, di tengah harga minyak sawit global yang rendah.

Upaya tersebut disambut baik oleh para produsen BBN di tanahair. Dengan demikian harga BBN di Indonesia dapat ditetapkan berdasarkan harga patokan

selain Mean of Platts Singapore (MoPS). Sebelumnya dengan MoPS, produsen harus menanggung kerugian akibat harga MoPS yang rendah. Bahkan berdasarkan data dari Bursa Malaysia, harga terakhir CPO (crude palm oil) Juli 2014 harga CPO mencapai titik terendahnya sejak 2009. Itu yang kerap menyebabkan beberapa produsen menurunkan pasokan BBN-nya ke perusahaan milik negara Pertamina.

Untuk mendukung mandatori B15, pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Sofyan Djalil menyatakan pemberlakuan kewajiban kepada produsen CPO untuk menyetorkan dana pendukung sawit (CPO Supporting Fund). Besarnya yakni US$ 50 per ton dari setiap penjualan CPO, dan US$ 30 per ton dari penjualan Olein. Selain itu, pemerintah juga akan akan mengenakan bea keluar (BK) sekitar 7,5 persen untuk setiap kegiatan ekspor CPO. CPO Supporting Fund nantinya akan digunakan untuk menutup selisih harga pembelian BBN domestik yang lebih tinggi dibandingkan harga produk sejenis di pasar Singapura (MOPS).

Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah akhirnya berbuah manis. Dengan serangkaian kebijakan yang mendorong tata niaga BBN, sebanyak 23 produsen biofuel yang tergabung dalam APROBI (Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia) menyatakan siap menyuplai kebutuhan biodiesel. Kesuksesan kebijakan B15 mendorong tata niaga BBN diharapkan menjadi pintu masuk bebas hambatan bagi implementasi kebijakan B20 di masa mendatang sehingga target pentahapan pemanfaatan BBN 100% tercapai.***

Kebutuhan bahan bakar dalam negeri mencapai 1,6 juta barel per hari

48 BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

regulasi

2006•Instruksi Presiden No 1 Tahun 2006- Penyaluran BBN dilakukan di 500 SPBU (Jakarta, Surabaya, Malang, Denpasar)-

2008•Peraturan Menteri ESDM No. 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan - Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain

2009•Pemerintah memberlakukan keijakan mandatory pemanfaatan BBN pada sektor transportasi, industri, dan - pembangkit listrik

2013•Peraturan Menteri ESDM No. 25 Tahun 2013 tentang Perubahan Pertama Peraturan Menteri ESDM No. 32 - Tahun 2008Pemanfaatan biodiesel ditingkatkan dari B7,5 menjadi B10-

2014•Peraturan Menteri ESDM No. 20 Tahun 2014 yang merupakan perubahan kedua atas Peraturan Menteri - ESDM No. 32 Tahun 2008Mandatori diberlakukan kepada Badan Usaha Pemegang Izin Usaha Niaga Bahan Bakar Minyak dan - Pengguna Langsung untuk Pemanfaatan pada sektor transportasi (PSO dan NonPSO), industri, dan pembangkit listrikTarget pemanfaatan biodiesel pada tahun 2020 adalah B30- Pengujian bersama seluruh stakeholder terkait untuk mendapatkan rekomendasi teknis pemanfaatan B20-

2015•Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015 terkait penambahan BBN pada solar sebesar 15% mulai - 1 April 2015

2016•Implementasi B20-

Transformasi Kebijakan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (BBN)

Sumber: Kajian Teknis dan Uji Pemanfaatan Biodiesel 20% (B20) pada Kendaraan Bermotor dan Alat Besar, Direktorat Jenderal EBTKE (17 Februari 2015) dan Ditjen EBTKE (10 April 2015)***

Sudirman Said, Menteri ESDM mengungkapkan, pemerintah telah berusaha meningkatkan subsidi biodiesel menjadi Rp4.000 per liter pada APBN-P 2015

49BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

regulasi

Biodiesel (minimum)

SektorJuli

2014Januari

2015Januari

2016Januari

2020Januari

2025

Usaha Mikro, Usaha Perikanan, Usaha Pertanian, Transportasi, dan Pelayanan Umum (PSO)

10% 10% 20% 30% 30%

Transportasi NonPSO 10% 10% 20% 30% 30%

Industri dan Komersial 10% 10% 20% 30% 30%

Pembangkit Listrik 20% 25% 30% 30% 30%

Bioetanol (minimum)

SektorJuli

2014Januari

2015Januari

2016Januari

2020Januari

2025

Usaha Mikro, Usaha Perikanan, Usaha Pertanian, Transportasi, dan Pelayanan Umum (PSO)

0,5% 1% 2% 5% 20%

Transportasi NonPSO1% 2% 5% 10% 20%

Industri dan Komersial1% 2% 5% 10% 20%

Pembangkit Listrik- - - - -

Minyak Nabati Murni (minimum)

Sektor Juli 2014Januari

2015Januari

2016Januari

2020Januari

2025

Industri dan Transportasi (Low and Medium Speed Engine)

Industri 5% 10% 20% 20% 20%

Transpor tas i Laut

5% 10% 20% 20% 20%

Transportasi Udara - - 2% 3% 5%

Pembangkit Listrik 6% 15% 20% 20% 20%

Peraturan Menteri ESDM No. 32 Tahun 2008 telah mengalami dua kali perubahan. Perubahan kedua tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM No. 20 Tahun 2014. Inti perubahan yang tercantum yakni perubahan pentahapan kewajiban minimal pemanfaatan biodiesel (B10) sebagai campuran bahan bakar minyak (BBM)

baik untuk biodiesel, bioetanol, dan minyak nabati murni.

Minimal B10

Sumber: Kajian Teknis dan Uji Pemanfaatan Biodiesel 20% (B20) pada Kendaraan Bermotor dan Alat Besar, Direktorat Jenderal EBTKE (17 Februari 2015)***

riset

50 BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

Lima belas kendaraan Mitsubishi Pajero 500 cc dan Nissan 4.200 cc tampak melaju cepat. Iringan

mobil-mobil berbahan bakar diesel itu terlihat melintasi pantai utara (Pantura) Jawa. Tujuan akhirnya sama, Pulau Dewata, Bali.

Sesuai karakternya, dua kendaraan yang tergolong jenis sport tersebut melaju sangat kencang, tanpa ada gangguan yang berarti. Suara mesinnya pun terdengar halus. Itu semua menandakan kerja mesin dan pembakaran bahan bakarnya sempurna. Tak ada yang menduga, dibalik kerja mesin yang tampak normal itu terselip “campur tangan”

Menanti Aksi Generasi Ketiga

Saat jumlah energi fosil menyusut lantaran sulit diperbaharui, mikroalga diyakini berpotensi sebagai penyelamat. Bahan baku bioenergi generasi ketiga itu

tersedia sepanjang masa, tanpa perlu takut habis.

bahan bakar asal biodiesel. Sebanyak 20% (B20) campuran bahan bakar diesel yang mengisi tangki-tangki kendaraan itu adalah diesel hijau dari minyak alga.

Adalah Prof I Nyoman Kabinawa MM MBA, sang arsitek minyak alga pengisi biodiesel kendaraan-kendaraan tersebut. Peneliti biodiesel mikroalga dari Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat itu memang telah lama berkutat melakukan uji coba minyak alga.

Kabinawa menuturkan dalam ujicoba penggunaan biodiesel mikroalga itu tidak terdapat masalah

pada mesin kendaraan. “Mereka (para pengguna kendaraan ujicoba-red) menyampaikan, kendaraan malah menjadi lebih responsif,” ujar Kabinawa. Itu artinya akselerasi kendaraan untuk mencapai kecepatan tertentu, jauh lebih cepat. Ujicoba pemakaian B20 itu sendiri merupakan uji lanjutan. Sebelumnya telah dilakukan ujicoba pada sejumlah kendaraan dengan menggunakan campuran biodiesel 5% (B5) dari minyak alga.

Keberhasilan ujicoba minyak alga asal kultur mikroalga itu membuktikan potensi besar dibalik sosok kecilnya. Potensinya sebagai bioenergi dapat mengurangi tingkat ketergantungan

Bak-bak budidaya alga Botryococcus sp strain I Nyoman Kabinawa (INK)

riset

51BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

energi fosil. Pemanfaatannya bahkan bisa menyalip energi baru dan terbarukan yang telah ada sebelumnya seperti, energi matahari, energi angin, energi panas bumi, energi tenaga air, serta pemanfaatan biomassa seperti singkong, kelapa sawit, dan jarak. Pemerintah sejauh ini memiliki perhatian serius untuk mengembangkan biodiesel mikroalga itu. Dalam Pertamina Energy Look pada akhir 2014, Direktur Pemasaran dan Perdagangan Pertamina, Ahmad Bambang menjelaskan mikroalga dapat berkontribusi lebih besar daripada minyak sawit sebagai bahan bakar biodiesel nabati. Apalagi pada 2025, pemerintah memproyeksikan kontribusi konsumsi biodiesel nabati akan mencapai 5% dari total kebutuhan biodiesel melalui program B30 dan program E20.

Minyak algaI Nyoman Kabinawa memang sohor sebagai periset mikroalga di tanahair. Salah satu pencapaian luar biasanya ketika ia mampu memproduksi biodiesel berbasis alga yang dicampurkan pada bahan bakar solar. “Saya meriset biodiesel mikroalga

sejak Agustus 2008,” katanya. Dari penelitian tersebut memperoleh minyak alga itu setelah membudidayakan dan mengolah alga Botryococcus sp strain I Nyoman Kabinawa (INK) di bak-bak akuarium 10 liter dan bak fiber 200 liter.

Alga yang dikoleksi Kabinawa berasal dari perairan tawar di Desa Karang Tengah, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Alga anggota famili Chlorophyceae yang diperoleh pada Juli 2008 itu dimurnikan lantas dikultur dalam medium MBM (Modified Bristol Medium) dari skala laboratorium sampai skala adaptasi 1.000 liter dalam medium teknis komersial (T-KOM). Kabinawa memanen alga itu pada umur 10-12 hari setelah warna permukaan air menjadi hijau pekat.

Kabinawa menghitung produktivitas tumbuhan renik berukuran mikroskopik dengan diameter 3-30 μm itu mencapai 200 liter per 0,5 meter persegi. Nah, alga dengan kandungan 40% lemak itu selanjutnya diproses menjadi minyak. Tahap berikut, minyak ditransesterifikasi mengunakan katalis tertentu sehingga diperoleh biodiesel mikroalga secara berkesinambungan sebanyak 0,4% per 400 liter kultur

setiap 10 hari. Proses pembuatan minyak alga selanjutnya adalah mengektraksinya. Dari 200 liter alga setidaknya dapat menghasilkan 483 ml minyak.

Dalam ujicoba memakai kendaraan diesel, Kabinawa menambahkan minyak alga itu dengan perbandingan

Alga dari jenis mikroalga diketahui berpotensi menghasilkan minyak dalam jumlah besar lantaran memiliki kadar lemak tinggi

Prof I Nyoman Kabinawa MM MBA, membudidayakan dan mengolah alga Botryococcus sp strain I Nyoman Kabinawa (INK)

riset

52 BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

1:4 atau 2 liter minyak alga dicampurkan dengan 8 liter bahan bakar solar. Hasilnya, diluar dugaan. Mesin kendaraan yang mengandung minyak alga justru bekerja sempurna, terbukti dari tarikannya yang terasa lebih ringan.

Menurut Kabinawa, regangan lokal strain INK sebesar 0,4%—0,6% selama 10-12 hari budidaya. Bila dikonversi, produksi minyak alga dalam luasan satu hektar selama setahun, bisa memproduksi hingga 72.000 liter minyak alga. Tak hanya minyak, produk samping dari proses itu berupa gliserin juga melimpah, mencapai 0,042%—0,073%.

Konsentrasi meningkatPenggunaan minyak alga membuat

konsentrasi bahan bakar nabati jauh meningkat. Peran kalor dari bahan bakar nabati bakal mendongkrak efisiensi bahan bakar. Ujung-ujungnya, pembakaran mesin menjadi lebih sempurna. Alhasil, sisa pembakaran berupa karbondioksida lebih sedikit sehingga mampu menekan pencemaran lingkungan.

Kelebihan alga adalah bebas sulfur. Harap mafhum pada minyak solar nabati mengandung sulfur hingga 24 ppm. Hal itu berdampak terhadap kinerja mesin karena memicu emisi solid particulate matter (SPM) dan asap hitam. Menurut Kabinawa kondisi itu tidak berlaku bagi biodiesel alga. Sebab, minyak alga memang tak mengandung sulfur. Wajar saat Kabinawa meningkatkan persentase minyak alga hingga 40%, mesin tetap berjalan stabil.

Dari percobaan juga terlihat perbedaan nilai minyak diesel (solar). Dengan biodiesel B20, pada kecepatan 2.200 rpm adalah sebesar 1,37% atau 0,004 kg/jam, sedangkan pada 2.500 rpm sebesar 1,64% atau 0,005 kg/jam. “Nilai rata-rata pengurangan emisi gas memakai B20 pada mesin diesel 7 HP mencapai 67,239%,” ujar Kabinawa. Itu menunjukkan performa biodiesel yang telah sejalan dengan peraturan pemerintah dalam hal pengurangan emisi.

Kabinawa mengungkapkan minyak alga juga bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar lampu badai. Untuk tujuan tersebut, 40% minyak alga

Alga memiliki potensi besar untuk dikembangkan sebagai energi baru bahan bakar. Beberapa spesies alga diketahui berpotensi menghasilkan minyak dalam jumlah besar lantaran

memiliki kadar lemak tinggi. Mereka antara lain Scenedesmus obliquus sebanyak 11%—12%, Scenedesmus dimorphus

6%—7%, Chlorella emersonii 63%, Chlorella protothecoides 23%, Chlorella sorokiana 22%, Chlorella minutissima

57%, Dunaliella bioculata 8%, Dunaliella salina 14-20%, Neochloris oleoabundans 35-65%, Spirulina maxima 4-9%, serta Botryococcus braunii.

Pengembangan alga yang hidup di habitat air tawar (limpoplankton) dan air laut

(haloplankton) sebagai sumber energi alternatif tidak akan menemui kendala lantaran memiliki

seabrek keunggulan seperti memiliki struktur sel yang sederhana dan kemampuan untuk mengendalikan sel tanpa mengurangi produktivitas. Alga juga memiliki

kemampuan berfotosintesis sangat tinggi, sekitar 3-8% sinar matahari mampu dikonversi

menjadi energi. Padahal tanaman tingkat tinggi hanya berkisar 0,5%.

Menurut Prof I Nyoman Kabinawa MM MBA, alga memiliki siklus hidup yang pendek antara 1-10 hari. Ia juga mempunyai kemampuan untuk mensintesis lemak sangat tinggi, mencapai 40–86% berat kering biomassa. “Yang penting pula pemanfaatan alga tidak akan bersaing dengan produk pangan,” ujar Kabinawa yang meriset gliserin, hasil samping dari proses biodiesel mikroalga untuk bahan sampo hingga pakan ternak itu.***

Jagoan Mungil Dari 2 Habitat

dicampur dengan 60% minyak tanah sebagai bahan bakar lampu. Volume campuran minyak sebanyak 200 ml bisa menyalakan lampu badai selama 17 jam dengan hasil pembakaran bebas jelaga. “Penelitian hingga pemakaian B60 tetap menghasilkan pembakaran bebas jelaga,” kata Kabinawa.

Lebih jauh Kabinawa menjelaskan saat ini biodiesel mikroalga strain INK sudah diproduksi pula menjadi bio booster bagi kendaraan. Caranya dengan menambahkan minyak asiri dan bahan kimia tertentu sehingga bisa meningkatkan kadar oksigen hingga

kadar tertentu. Peningkatan oksigen itu bakal berujung pada pembakaran yang makin sempurna dan lebih ramah lingkungan. “Penambahannya dalam jumlah mmol dan sangat presisi,” ujar ayah 3 anak itu.

Produk bio booster itu sudah diujicoba pada kendaraan diesel dengan menggunakan satu liter bio booster yang dicampurkan dengan bahan bakar diesel Pertamina DEX sebanyak 500 liter. “Hasilnya memuaskan, tidak ada masalah saat mobil dicek ke bengkel,” kata Kabinawa.***

riset

53BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

Racik 1 . Alga Botryococcus sp strain I Nyoman Kabinawa (INK) asal perairan tawar di Desa Karang Tengah, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. merupakan sumber utama minyak alga.

Racik 2. Anggota famili Chlorophyceae dimurnikan lantas dikultur dalam medium MBM (Modified Bristol Medium) dari skala laboratorium sampai skala adaptasi 1.000 liter dalam medium teknis komersial (T-KOM).

Racik 3. Alga dipanen pada umur 10-12 hari setelah warna permukaan air menjadi hijau pekat. Produktivitas tumbuhan renik berukuran mikroskopik denga diameter 3-30 μm itu mencapai 200 liter per 0,5 meter persegi.

Racik 4. Setelah dipanen alga diekstraksi dan dan d i t r a n s e s t e r r i f i k a s i mengunakan katalis tertentu sehingga diperoleh biodiesel mikroalga secara kontinu 0,4% per 400 liter kultur setiap 10 hari.

Racik Bioalga Ala Prof I Nyoman Kabinawa

1

2

3 4

54 BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

mancanegara

Menyongsong Era Diesel Hijau

Jepang kini telah mampu mengolah alga untuk memenuhi tangki bahan bakar bus. Dua perusahaan besar Jepang yaitu Isuzu Motors Ltd dan Euglena Co

menandatangani perjanjian kerjasama pada penghujung Juni 2014 untuk bersama-sama mengembangkan biodiesel berbahan alga.

Hamparan ganggang hijau Euglena, harta karun energi Jepang.

55BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

mancanegara

Isuzu Motors Ltd merancang bus yang mampu melaju dengan bahan bakar berbasis ganggang.

Bergandengan dengan Euglena Co, perusahaan ventura yang berfokus pada pengembangan bioteknologi, memproduksi DeuSEL atau biodiesel yang terbuat dari organisme bersel tunggal bernama euglena. Ambisi kedua perusahaan tersebut yaitu mengembangkan biodiesel berbasis alga dalam kuantitas besar yang akan dicapai pada 2018.

Sebulan usai perjanjian, mereka mulai mengembangkan biofuel alga untuk shuttle bus. Kendaraan diuji coba menjalani rute sejauh 2 kilometer dari pabrik Isuzu di Fujisawa menuju stasiun terdekat di Kanagawa, Tokyo bagian selatan. Tanggal 25 Juni 2014 tercatat sebagai hari pertama pengoperasian bus yang mampu melaju berbahan bakar minyak ekstrak euglenophyceae tersebut. Selama masa uji coba pada Juli 2014, produsen meneliti dampak penggunaan bahan bakar berbasis Euglena bagi mesin dan performa kendaraan.

DeuSEL, bahan bakar kendaraan tersebut merupakan kombinasi dari kata diesel dan euglena-mikroorganisme berkarakteristik hewan dan tumbuhan. Bus bertenaga DeuSEL dijadwalkan menjalani 22 rute perjalanan setiap harinya. Pada tahap awal, pencampuran minyak alga baru mencapai 5 persen. Harapannya dalam empat tahun dapat menciptakan teknologi yang memungkinkan penggunaan bahan bakar 100 persen alga.

Organisme kecil kaya protein, vitamin dan mineral yang dapat di Jepang dikenal dengan ‘midorimushi’ pertama kali dibudidayakan secara massal pada tahun 2005 di kepulauan bagian selatan Jepang. Euglena Co telah berhasil mengekstrak akumulasi kandungan minyak hasil fotosintesis algae. Proses fotosintesis organisme tersebut mampu menangkap CO2 dan mengubahnya menjadi energi, selain menghasilkan oksigen.

Para ahli menuturkan keunggulan alga bahwa minyak alga per luasannya 700 kali lebih tinggi dari jagung, sehingga bahan bakar berbasis alga disebut sebagai sumber impian yang dapat dibudidayakan. Selain itu, tidak

seperti biofuel lainnya yang terbuat dari sekam padi dan jagung, euglena dapat ‘digandakan’ di dalam pabrik. DeuSEL menjadi lebih mudah diproduksi secara massal. Alga juga berperan penting bagi lingkungan karena dapat menyebar dan menyerap senyawa organik nitrogen dan fosfor dari air limbah dan air limbah pertanian.

Presiden dari Euglena Co mengungkapkan langkah ini semakin mendekatkan Jepang dengan

CO2

euglena fuel

Kerjasama Isuzu Motors Ltd dan Euglena Co mengembangkan Euglena sebagai bahan bakar ramah lingkungan kendaraan bus di Jepang

Bus Midorimushi (Jepang : salah satu jenis algae) Biofuel berbahan bakar DeuSEL, kombinasi dari kata diesel dan euglena.

Bahan bakar alternatif berbasis algae, mendorong reduksi emisi CO2

56 BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015

mancanegara

komersialisasi cultivable resources atau bahan bakar yang dapat dibudidayakan. Pengembangan biofuel berbasis alga di Jepang dipacu semangat upaya menyelamatkan lingkungan dari emisi gas rumah kaca dan menggantikan biofuel konvensional dari jagung dan tebu. Di Jepang, jagung dan tebu dicanangkan tidak lagi menjadi sumber utama bahan bakar alternatif, sebab pemanfaatan keduanya memicu harga komoditas biji-bijian atau grain di pasar dunia meningkat.

Alga, mikroorganisme berukuran panjang 0,05 mm menjadi perhatian sebagai alternatif sumber bahan bakar yang tidak perlu bersaing dengan kebutuhan pangan. Bahan bakar yang bersumber dari tanaman dan material lain yang menyerap karbondioksida untuk pertumbuhannya, turut berperan menekan peningkatan CO2 di udara sebagai hasil pembakaran. Permintaan biofuel terus tumbuh seiring upaya dunia melawan pemanasan global.

Jika Isuzu dan Euglena Co menggebu mengembangkan alga untuk bahan bakar kendaraan, IHI, sebuah perusahaan pembuat alat berat bertenaga listrik di Jepang, membudayakan strain algae yang diberi nama ‘Enomoto algae’. IHI merancang lokasi budidaya alga dekat dengan pabrik raksasa produsen produk

bertenaga nuklir di zona industri Keihin di Kanagawa. IHI mengestimasi permintaan bahan bakar berbasis alga akan mencapai 800-miliar yen pada 2020.

Jepang menduduki peringkat tiga terbesar konsumsi minyak tanah sehari-hari di dunia setelah Amerika Serikat dan China. Tingkat swasebada energi Jepang pun tidak lebih dari 1 persen. Jika pengembangan bahan bakar berbasis ganggang berhasil, maka dapat turut menyumbang swasembada energi Jepang.

Tantangan terbesar pengembangan alga yaitu tingginya biaya produksi yang mencapai 500-600 yen per liter sedangkan bensin konvensional hanya

167 yen per liter. Perlu pengembangan teknologi budidaya massal untuk mengurangi biaya produksi. Tantangan lain yaitu persaingan dengan produsen biodiesel dari alga asal Amerika Serikat. Tahun 2011, Angkatan Laut AS mulai menggunakan bahan bakar berbasis ganggang untuk helikopter mereka. Beberapa pesawat penumpang juga telah berbahan bakar algae.

AS bahkan menyusun cetak biru pengembangan dan menyediakan subsidi yang besar. Presiden Barack Obama telah meyatakan bahwa bahan bakar ganggang dapat menggantikan 17 persen dari bahan bakar yang diimpor untuk sektor transportasi. Co-founder Microsoft, Bill Gates dan pemodal ventura lainnya juga membiayai pengembangan bahan bakar berbasis ganggang.

Euglena Co terus menerus melakukan upaya menumbuhkan jenis ganggang dalam jumlah besar. Industri tersebut menggandeng Universitas Tsukubaka, mulai mengoperasikan fasilitas demonstrasi untuk budidaya massal yang disebut Botryococcus sp. Fasilitas demonstrasi memiliki 23 unit budidaya khusus berkapasitas total 72 ton. Profesor di Universitas Tsukuba, Makoto Watanabe bertujuan mengurangi harga biofuel hingga lebih rendah dari biaya produksi. Ia mempertimbangkan cara memanfaatkan produk turunan yaitu residu ekstraksi ganggang digunakan

sebagai bahan industri kosmetik, makanan dan kesehatan.

Selain moda transportasi darat, euglena dipersiapkan menjadi bahan bakar pesawat terbang hasil kerjasama JX Nippon Oil & Energy dan Hitachi. Perusahaan pesawat terbang ingin mengenalkan penggunaan biofuel untuk mengurangi emisi CO

2. Ogranisasi Penerbangan Sipil Internasional memutuskan untuk mengakhiri emisi CO2 dari penerbangan internasional mulai 2020. Euglena menjadi biofuel alternatif yang menyubstitusi 10 persen dari bahan bakar yang digunakan penerbangan Jepang ke rute domestik pada tahun 2020. ***

Stasiun pengisian DeuSEL, bahan bakar berbasis Algae.

Siklus karbon CO2-Euglena-DeuSEL-Bus Midorimushi

BioEnergyfor a Bright Future