Bilangan Peroksida % mEK/gram Sampel -...

50
Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 141 Pada penelitian ini didapatkan hasil kadar air terkecil pada sampel 9 yang merupakan nilai kadar air terbaik. Bilangan Peroksida Tingkat ketengikan yang terjadi pada pliek u dari 10 sampel yang diuji coba menunjukkan bawha nilai ketengikan yang dihasilkan berkisar 3 s.d 14 mEk/kg dan nilai ketengikan ini dihitung dengan bilangan peroksida, perhitungan ini dilakukan untuk melihat daya tengik dari pliek u yang dihasilkan. Gambar 2 Nilai ketengikan ini dapat dijadikan suatu standar untuk mengetahui masa simpan dari produk yang di uji, semakin tinggi nilai tengik menunjukkan produk tersebut tidak dapat disimpan lebih lama, dan sebaliknya apabila nilai tengiknya berkurang akan menghasilkan produk tersebut dapat disimpan lebih lama. Salah satu penyebab ketengikan ini terjadi disebabkan oleh proses hidrolitik dan oksidatif. Proses hidrolitik ini terhadi karena adanya mikroorganisme terhadap lemak yang menimbulkan hidrolisis sederhana dari lemak menjadi asam lemak digliserida, dalam proses lemak yang mengalami ketengikan hidrolitik tidak menganggu nilai gizi yang ada pada pliek u (Winarno, 1989) Hasil penelitian ini menunjukkan nilai ketengikan masih dalam kondisi wajar dan sampel terbaik ada pada sampel 3 dan 1 Metode RGB Pengukuran pencerahan warna ini dilakukan dengan menggunakan nilai RGB dari salah satu aplikasi adobe photoshop, pengukuran ini akan melihat perubahan warna yang terjadi diawal sampel diambil dan perubahan setelah 7 hari tanpa perlakukan khusus, perubahan yang terjadi menunjukkan adanya perubahan warna apabila ketengikan yang dihasilkan akan meningkat, semakin tengik pliek u akan semakin berubah warna tersebut menjadi gelap. Perubahan warna ini diukur melalui nilai RGB dari beberapa titik sehingga nilai warna dapat dihasilkan secara nyata. 4.1613 13.5286 2.7559 10.7325 7.5976 5.5887 5.3966 10.2506 7.8949 4.5006 0 4 7 11 14 18 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 % mEK/gram Sampel Bilangan Peroksida

Transcript of Bilangan Peroksida % mEK/gram Sampel -...

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 141

Pada penelitian ini didapatkan hasil kadar air terkecil pada sampel 9 yang merupakan nilai kadar air terbaik. Bilangan Peroksida

Tingkat ketengikan yang terjadi pada pliek u dari 10 sampel yang diuji coba

menunjukkan bawha nilai ketengikan yang dihasilkan berkisar 3 s.d 14 mEk/kg dan nilai ketengikan ini dihitung dengan bilangan peroksida, perhitungan ini dilakukan untuk melihat daya tengik dari pliek u yang dihasilkan.

Gambar 2

Nilai ketengikan ini dapat dijadikan

suatu standar untuk mengetahui masa simpan dari produk yang di uji, semakin tinggi nilai tengik menunjukkan produk tersebut tidak dapat disimpan lebih lama, dan sebaliknya apabila nilai tengiknya berkurang akan menghasilkan produk tersebut dapat disimpan lebih lama.

Salah satu penyebab ketengikan ini terjadi disebabkan oleh proses hidrolitik dan oksidatif. Proses hidrolitik ini terhadi karena adanya mikroorganisme terhadap lemak yang menimbulkan hidrolisis sederhana dari lemak menjadi asam lemak digliserida, dalam proses lemak yang mengalami ketengikan hidrolitik tidak menganggu nilai gizi yang ada pada pliek u (Winarno, 1989)

Hasil penelitian ini menunjukkan nilai ketengikan masih dalam kondisi wajar dan sampel terbaik ada pada sampel 3 dan 1

Metode RGB

Pengukuran pencerahan warna ini dilakukan dengan menggunakan nilai RGB dari salah satu aplikasi adobe photoshop, pengukuran ini akan melihat perubahan warna yang terjadi diawal sampel diambil dan perubahan setelah 7 hari tanpa perlakukan khusus, perubahan yang terjadi menunjukkan adanya perubahan warna apabila ketengikan yang dihasilkan akan meningkat, semakin tengik pliek u akan semakin berubah warna tersebut menjadi gelap. Perubahan warna ini diukur melalui nilai RGB dari beberapa titik sehingga nilai warna dapat dihasilkan secara nyata.

4.1613

13.5286

2.7559

10.7325

7.5976

5.5887 5.3966

10.2506

7.8949

4.5006

0

4

7

11

14

18

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

% m

EK/g

ram

Sampel

Bilangan Peroksida

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”142

Gambar 3

Dari hasil pengamatan warna yang

dilakukan terlihat bahwa perubahan warna di hari pertama dan di hari ke 7 menunjukkan angka yang signifikan semakin lama disimpan warna dari pliek u akan semakin gelap seiring dengan reaksi ketengikan semakin tinggi. Hasil warna terbaik dari penelitian ini dihasilkan pada sampel no 2 di hari pertama dengan nilai RGB = 93;64;36 dan hari ke tujuh pada sampel no 2 nilai RGB = 48;39;33

KESIMPULAN

Hasil analisa dan pengamatan yang

dilakukan bahwa sampel yang diambil dari 10 tempat di pasar Pidie Jaya menunjukkan kadar air yang dihasilkan adalah 10 % b/k dan nilai bilangan peroksida terhadap ketengikan pliek u berada dibatas normal paling kecil diangka 3 mEk/gram, namun dalam proses pengolahan pliek u ketengikan merupakan nilai khas khusus dari produk tersebut dan di rekomendasikan sampel terbaik pada sampel 2. Pengukuran warna berdasarkan penilaian RGB sampel awal dan

setelah 7 hari menunjukkan sampel terbaik pada sampel 2 (RGB = 93:64:36 dan 48:39:33).

DAFTAR PUSTAKA

Mustaqimah., Basyamfar, A.R dan Ratna.

2010. Perancangan dan Aplikasi Alat Pengepresan Pliek U Tipe Ulir. Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh.

Sulisma. 2010. Survei Cara Pembuatan Dan Uji Mutu (Kimia dan Sensorik) Pliek U Di Kabupaten pidie. Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.

Syarief.R., S. Santausa dan Isyana. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan, PAU Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Syarief, R dan H. Halid. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Penerbit ARCAN bekerja sama dengan PAU Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Winarno, F.G. 1983. Gizi Pangan, Teknologi dan Konsumsi. Penerbit Gramedia. Jakarta.

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 143

KAJIAN MUTU HEDONIK PEMPEK CERIA DENGAN PEWARNA NABATI HEDONIC QUALITY REVIEW OF PEMPEK CERIA WITH VEGETABLE DYES

Tri Widayatsih* dan Fitra Mulia Jaya Fakultas Perikanan, Universitas PGRI Palembang Email Korespondensi : [email protected]

ABSTRACT

Pempek is one of the traditional foods in South Sumatra province, and it has become one of the favourite foods for most of citizens in Indonesia. The nutrient in Pempek is very helpful for human body. Pempek has an animal’s protein which is very good for our body because it is made from the fish as a basic material. However, carbohydrate is energy source gained in pempek made from tapioca flour. However, the nutrient content of pempek has only a protein and carbohydrate. Pempek Ceria is the new innovation of traditional food of Palembang which consist of four healty-five perfect, they are from vagetables, so that it can be attractive as can be seen from colours, and different taste. This research was conducted in Campus C Laboratory, Fishery Faculty, PGRI University of Palembang, Urip Sumoharjo street, Sematang Borang, Palembang. This research was conducted on November 2016- January 2017. Pempek ceria was made from the fish cork,tapioca flour, with the additional material: cassava leaves, carrot, turmeric. Sensory test data with the hedinic test was analyzed by using Friedman-Covover test model. A test result of Pempek ceria showed that the favourite colour of cheerful pempek was PHJ w3.5, POr was 3.8, PMr was 3.75 and the different treatment was about 3.23 until 3.40 the different taste of Pempek with different treatment was about 3.55 until 3.90. The highest score was in P.Kn treatment (Pempek Ceria was made by turmeric) and the lowest score was P.Mr treatment (Pempek Ceria was made by tomatoes.

Keyword: carrot, cassava leaves, Fish cork, tomatoes and tumeric

ABSTRAK Pempek merupakan makanan khas Sumatera Selatan dan telah menjadi salah satu makanan kesukaan di semua lapisan masyarakat Indonesia. Kandungan gizi yang dimiliki pempek pun sangat bermanfaat bagi tubuh manusia. Pempek mengandung protein hewani yang sangat baik karena berbahan dasar ikan. Sedangkan karbohidrat sebagai sumber tenaga yang dimiliki oleh pempek berasal dari sagu (tepung tapioka). Namun, kandungan gizi pada pempek hanya terdapat protein dan karbohidrat. Pempek ceria, adalah inovasi baru dengan khas Palembang yang mengandung empat sehat lima sempurna yakni dari sayur-sayuran sehingga dapat menambah daya tarik terhadap penampilan dengan warna ceria dan cita rasa yang agak berbeda. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kampus C, Fakultas Perikanan, Universitas PGRI Palembang, Jl. Urip Sumoharjo, Kecamatan Sematang Borang, Palembang. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2016-Januari 2017. Pembuatan pempek dengan bahan dasar ikan gabus dan tepung tapioka, dengan penambahan, masing-masing: daun singkong, wortel, tomat, dan kunyit

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”144

Data uji sensoris dengan uji hedonik dianalisa dengan menggunakan uji model Friedman-Conover. Hasil uji kesukaan terhadap pempek ceria menunjukkan bahwa nilai rata-rata kesukaan terhadap warna pempek ceria adalah PHj 3,5, POr 3,8, PMr 3,75, dan PKn 3,65, aroma adalah, PHj 3,2, POr 3,35, PMr 3,70, dan PKn 3,58, tekstur pempek dengan perlakuan yang berbeda berkisar antara 3,23 sampai 3,40, rasa pempek dengan perlakuan yang berbeda berkisar antara 3,55 sampai 3,90. Nilai tertinggi terdapat pada perlakuan P.Kn (pempek ceria dari kunyit) dan nilai terendah terdapat pada perlakuan P.Mr (pempek ceria dari tomat).

Kata kunci : Ikan Gabus, Kunyit, Penambahan Daun Singkong, Tomat, Wortel

PENDAHULUAN

Kota Palembang merupakan ibukota provinsi Sumatera Selatan yang terkenal sebagai kota pempek. Menurut Safta (2006), pempek merupakan makanan khas Sumatera Selatan dan telah menjadi salah satu makanan kesukaan di semua lapisan masyarakat Indonesia. Cita rasa yang dimiliki pempek sangatlah khas dan enak sehingga digemari oleh masyarakat dari berbagai latar belakang.

Pempek mengandung protein hewani yang sangat baik karena berbahan dasar ikan. Sedangkan karbohidrat sebagai sumber tenaga yang dimiliki oleh pempek berasal dari sagu (tepung tapioka). Namun, saat ini bahan baku pembuatan pempek yakni ikan belida dan ikan tenggiri semakin sulit untuk diperoleh. Hal ini menyebabkan ikan tersebut harganya semakin mahal. Penggunaan ikan gabus (Channa striata) dan ikan patin (Pangasius hypopthalmus) dapat menjadi solusi dari keterbatasan dan mahalnya bahan baku pempek.

Pembuatan pempek pada umumnya hanya menggunakan tepung tapioka, ikan, dan penambah rasa garam, warna yang dihasilkan adalah putih. Untuk menambah khasanah keberagaman pempek, diperlukan adanya inovasi pempek, dalam hal penambahan sayuran, selain akan menambah protein nabati juga akan memberikan keberagaman warna. Pempek ceria dengan pewarna nabati, diharapkan akan dapat digemari, terutama anak - anak, karena

penampilannya menarik dengan warna merah, kuning, hijau dan oranye, merupakan solusi bagi yang tidak senang mengkonsumsi sayuran. Jadi para anak yang membutuhkan asupan protein hewani dan nabati, dapat mengkonsumsi pempek ceria. Penelitian Tujuan untuk mengaji Mutu Hedonik Pempek Ceria Dengan Pewarna Nabati

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan

November 2016 s/d Januari 2017 yang di Kampus C Universitas PGRI Palembang Jl. Urip Sumoharjo Kecamatan Sematang Borang Palembang. Adapun parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: analisis sensoris dengan uji hedonik, untuk menentukan kesukaan terhadap: warna, aroma, tekstur dan rasa. Analisa statistik non arametrik, hasil uji hedonik dianalisa dengan uji model Friedman-Conover.

Analisis Sensoris

Untuk mengetahui tingkat penerimaan konsumen terhadap pempek ceria, maka dilakukan analisis sensoris yaitu uji hedonik berdasarkan metode (Soekarto, 1995). Dalam uji ini panelis diminta untuk mengungkapkan tanggapan pribadianya tentang kesukaan atau sebaliknya ketidaksukaan terhadap cita rasa meliputi : warna, aroma, tekstur dan rasa dari pempek ceria. Panelis yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 20 orang panelis agak terlatih. Penilaian sensoris untuk

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 145

pempek ceria berdasarkan 5 skala hedonik (Rahayu, 2001) yaitu :

Skor Skala hedonik 5 = Sangat suka 4 = Suka 3 = Netral 2 = Tidak suka 1 = Sangat tidak suka

Prosedur penyiapan sampel dari uji hedonik adalah sebagai berikut : 1. Masing-masing pempek diletakkan dalam

piring, jadi ada empat piring berisi pempek ceria warna merah, oranye, hijau dan kuning, masing-masing pempek warna diberi nomor kode.

2. Panelis diminta untuk mencicipi pempek ceria yang disediakan dan menentukan skor penilaiannya berupa warna, aroma, tekstur dan rasa dari pempek tersebut berdasarkan skala hedonik yang digunakan.

Analisa Statistik Non Parametrik

Data uji sensoris dengan uji hedonik dianalisa dengan menggunakan uji model Friedman-Conover. Menurut Conover dalam karya Imam dan Davenport (1980) Dalam Sudjono (1985), menyatakan bahwa langkah pertama adalah dengan memberi pangkat pada masing-masing angka hasil percobaan. Pangkat diberikan pada masing-masing baris panelis. Banyaknya perlakuan dibandingkan dengan masing-masing skor, skor tertinggi diberi pangkat tertinggi sampai pada pangkat 1 Apabila terdapat dua atau tiga pangkat yang sama maka dibuat rerata. Setelah semua angka hasil percobaan diberi pangkat kemudian pangkat dari masing-masing perlakuan dijumlahkan.

A = P2 + P2 + P2 + P2 +………+ pn2 Kemudian dihitung jumlah kuadrat

perlakuan (B) B = (1/n) ∑ R2 J n= Jumlah panelis

R2 J= Jumlah pangkat masing-masing perlakuan yang dipangkat duakan selanjutnya dihitung T-kritik L :

[ ( )

]

Keterangan : T = Nilai kritik A = Jumlah kuadrat total B = Jumlah kuadrat perlakuan N = Jumlah panelis k = Jumlah perlakuan

Peubah T menyebar menurut sebaran F derajat bebas k1 = k-1 dan k2 = (n-1) (k-1), jika nilai T lebih kecil atau sama dengan F- Tabel maka kesimpulanya adalah tidak ada pengaruh pada setiap perlakuan (terima H0) dan jika nilai T lebih besar dari F-Tabel, maka kesimpulanya adalah paling sedikit adalah sepasang perlakuan yang berbeda nyata (terima H1). Untuk mengetahui perlakuan mana yang berbeda setelah diterima H1, maka digunakan rumus :

[

⁄ ]

Jika selisih jumlah pangkat antara dua

perlakuan lebih besar dari nilai U (Konstanta Conover), bearti berbeda nyata. Jika selisih jumlah pangkat antara dua perlakuan lebih kecil atau sama dengan nilai U, berarti tidak berbeda nyata.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil uji hedonik kesukaan terhadap

warna, rasa, tekstur dan aroma, sebagai berikut :

Warna

Warna merupakan daya tarik pertama bagi konsumen untuk menerima atau menolak produk dalam suatu bahan pangan. Warna merupakan salah satu atribut dari

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”146

penampakan suatu produk yang dapat menentukan tingkat kesukaan atau penerimaan konsumen terhadap produk secara keseluruhan (Meigaard et al., 2009

dalam Agusandi dkk., 2013). Diagram batang nilai rata-rata warna pempek ceria dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Rerata Warna Pempek Ceria Keterangan :

PHj : Pempek Hijau (daun singkong) POr : Pempek Oranye (wortel) PMr : Pempek Merah (tomat) PKn : Pempek Kuning (kunyit)

Hasil uji kesukaan terhadap pempek ceria menunjukkan bahwa nilai rata-rata kesukaan terhadap warna pempek ceria adalah PHj 3,5, POr 3,8, PMr 3,75, dan PKn 3,65. Tingkat tertinggi pada perlakuan POr , dan terendah pada perlakuan PHj. Warna yang dihasilkan berasal dari sayuran yang ditambahkan pada Gambar 1 terlihat bahwa, warna oranye mendapatkan nilai kesukaan tertinggi. Menurut Sri (2014), pempek ikan jelawat dengan penambahan wortel 20% paling disukai oleh panelis, berwarna jingga berbintik-bintik. Sedangkan pada penelitian ini warna yang didapat adalah oranye yang merata, hal ini kemungkinan disebabkan karena wortel yang dicampurkan terlebih dahulu dipanaskan, menurut hasil penelitian terdahulu di Australia, dengan pemanasan akan meningkatkan kadar karotennya 2-5 kali lipat.

Penambahan tomat pada penelitian ini memberikan warna merah, dan mendapat nilai 3,75 atau urutan kedua berdasarkan kesukaan panelis. Sedangkan penambahan kunyit memberikan warna kuning dan mendapat nilai 3,65 atau urutan ketiga berdasarkan kesukaan panelis dan yang mendapat nilai terendah

adalah pempek dengan penmbahan daun singkong, yakni sebesar 3,50. Rupa memberikan peranan penting dalam penerimaan makanan oleh konsumen, rupa juga memberikan petunjuk terhadap perubahan kimia dalam makanan (De man, 1997).

Pempek ceria dengan tambahan daun singkong, memberikan warna yang paling rendah, hal ini disebabkan karena daun tanaman singkong mengandung klorofil yang dapat memberikan warna hijau, tetapi warna hijau kurang muncul, kemungkinan disebabkan karena proses pemanasan yang kurang lama, sehingga klorofil yang ada pada daun singkong belum dapat terekstrasi secara sempurna, sehingga warna yang dihasilkan tidak optimal. Kemungkinan juga disebabkan karena daun singkong yang digunakan kurang banyak, atau perbandingannya belum sesuai. Dengan warna yang kurang optimal menyebabkan panelis tidak menyukainya, dibandingkan dengan penampakan warna pempek ceria yang lain.

Aroma

Aroma makanan dapat menentukan kelezatan dari makanan tersebut. Aroma lebih banyak dipengaruhi oleh panca indera penciuman. Pada umumnya bau yang dapat diterima oleh hidung dan otak lebih banyak merupakan campuran empat bau yaitu harum, asam, tengik dan hangus (Winarno 2004).

3.50

3.80 3.75

3.65

3.303.403.503.603.703.803.90

P.Hj P.Or P.Mr P.Kn

Rer

ata

rasa

Perlakuan

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 147

Aroma merupakan salah satu daya tarik selain warna dari bahan makanan untuk dikonsumsi, senyawa yang menghasilkan aroma harus dapat menguap dan molekul-molekul senyawa tersebut mengadakan kontak dengan penerima (reseptor) panelis. Aroma yang menguap

diterima oleh sel-sel olfaktori yang terdapat pada hidung yang dilanjutkan ke otak dalam bentuk impuls listrik (Setiyaningsih et al., 2010 dalam Agusandi dkk., 2013). Diagram batang nilai rata-rata-rata aroma pempek ceria dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Rerata aroma pempek ceria

Hasil uji kesukaan terhadap aroma

pempek ceria menunjukkan bahwa nilai rata-rata kesukaan terhadap aroma pempek ceria adalah, PHj 3,2, POr 3,35, PMr 3,70, dan PKn 3,58. Tingkat tertinggi pada perlakuan PMr yaitu yang paling disukai panelis, adalah pempek ceria dengan penambahan tomat, dengan nilai 3,70. Sedangkan tingkat terendah pada perlakuan PHj, yakni pempek ceria dengan penambahan daun singkong.

Tekstur

Tekstur salah satu faktor yang mempengaruhi penerimaan konsumen terhadap pempek ceria. Tekstur dan

konsentrasi bahan akan mempengaruhi cita rasa suatu bahan. Perubahan tekstur dan viksositas bahan dapat mengubah rasa dan bau yang timbul, karena dapat mempengaruhi kecepatan timbulnya rasa terhadap sel reseptor alfaktori dan kelenjar air liur, semakin kental suatu bahan penerimaan terhadap intensitas rasa, bau dan rasa semakin berkurang tekstur dan konsistensi bahan akan mempengaruhi cita rasa suatu bahan (Ridwan dalam Ubadillah, et al., 2008). Diagram batang nilai rata-rata tekstur pempek ceria dengan perlakuan yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Rerata Tekstur pempek ceria

3.20 3.35

3.70 3.58

2.80

3.00

3.20

3.40

3.60

3.80

P.Hj P.Oh P.Mr P.Kn

Rera

ta a

rom

a

Perlakuan

3.40 3.40

3.23 3.25

3.103.153.203.253.303.353.403.45

P.Hj P.Or P.Mr P.Kn

Rera

ta te

kstu

r

Perlakuan

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”148

Hasil uji kesukaan terhadap pempek menunjukkan bahwa nilai rata-rata kesukaan terhadap tekstur pempek dengan perlakuan yang berbeda berkisar antara 3,23 sampai 3,40. Nilai tertinggi terdapat pada perlakuan P.Or dan P.Hj (pempek ceria dari wortel dan daun singkong) dan nilai terendah terdapat

pada perlakuan P.Mr (pempek ceria dari tomat). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat tingkat kesukaan yang juga cenderung sama terhadap tekstur pempek ceria yang dihasilkan, dimana nilai T = 19,39 lebih kecil dari F Tabel (K1=3), K2=57) = 3,07 maka dilakukan uji lanjut Friedman conover.

Tabel 1. Hasil Uji Lanjut Friedman Conover Terhadap Tekstur

Perlakuan Pangkat Notasi=14,36 P.Mr (pempek ceria dari tomat : merah) 46,5 B P.Kn (pempek ceria dari kunyit : kuning) 50,5 A P.Hj (pempek ceria dari daun ubi : hijau) 51,0 A P.Or (pempek ceria dari wortel : orange) 55,0 A

Hasil pengujian terhadap tekstur pempek

menujukkan tidak ada perbedaan yang nyata antar perlakuan, artinya tingkat kesukaan pempek memiliki tingkat kesukaan tekstur yang cenderung sama.

Rasa

Rasa merupakan faktor penting untuk menentukan diterima atau tidaknya suatu produk makana. Walaupun semua parameter normal, tetapi tidak diikuti oleh rasa yag enak maka makanan tersebut tidak akan

diterima oleh konsumen. Rasa lebih banyak melibatkan indera pengecap (Winarno, 1997). Walaupun warna, aroma dan tekstur baik, jika rasanya tidak enak, maka makanan tersebut tidak akan diterima. Oleh karena itu, rasa, maka makanan tersebut tidak akan diterima. Oleh karena itu, rasa merupakan faktor pentig lainnya dalam keputusan terakhir konsumen untuk menerima atau menolak suatu makanan. Diagram batang nilai rata-rata rasa pempek dengan yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Rerata rasa pempek ceria

Hasil uji kesukaan terhadap pempek

menunjukkan bahwa nilai rata-rata kesukaan terhadap rasa pempek dengan perlakuan penambahan daun singkong, wortel, tomat, kunyit, berkisar antara 3,55 sampai 3,90. Nilai tertinggi terdapat pada perlakuan P.Kn (pempek ceria dari kunyit) dan nilai terendah

terdapat pada perlakuan P.Mr (pempek ceria dari tomat). Nilai T = 3,75 lebih besar dari F Tabel (K1=3, K2=57) = 3,07, maka akan dilakukan uji lanjut Friedman conover. Hasil analisa uji Friedman conover terhadap rasa dapat dilihat pada Tabel 2.

3.85

3.70

3.55

3.90

3.20

3.40

3.60

3.80

4.00

P.Hj P.Or P.Mr P.Kn

Rer

ata

rasa

Perlakuan

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 149

Tabel 2. Hasil Uji Lanjut Friedman Conover Terhadap Rasa Perlakuan Pangkat Notasi =12,89

P.Mr (pempek ceria dari tomat : merah) 42,0 A P.Hj (pempek ceria dari daun singkong : hijau) 50,3 A P.Or (pempek ceria dari wortel : orange) 53,0 AB P.Kn (pempek ceria dari kunyit : kuning) 57,0 B

Hasil uji Friedman conover terhadap rasa

pempek menunjukkan bahwa perlakuan yang berbeda memberikan pengaruh nyata terhadap nilai pempek yang dihasilkan.

KESIMPULAN

Hasil kajian mutu hedonik pempek ceria,

menunjukkan bahwa dari segi warna, pempek ceria yang yang paling disukai adalah pempek dengan penambahan wortel (POr), sedangkan dari segi aroma yang paling disukai panelis adalah pempek ceria dengan penambahan tomat (P.Mr). Tekstur pempek ceria yang paling disukai adalah pempek ceria dengan tambahan daun singkong (PHj) dan pempek ceria dengan tambahan wortel (POr), sedangkan untuk rasa, pempek ceria yang paling disukai panelis adalah rasa pempek ceria dengan tambahan kunyit (PKn).

DAFTAR PUSTAKA

Rwahyu. 2008. Tomathasiatnya. (http://tubuhsehat.blogdetik.com/2008/10/02/tomat-dan- khasiatny/, diakses 16 Juli 2013)

Soekarto, S.T. 1990. Dasar – dasar Pengawasan dan Standarisasi Mutu Pangan . Bogor: PAU - Pangan dan Gizi IPB.

Supriadi, dkk. 2013. Manfaat dan Kandungan GiziWortel .(http://www.tipscaramanfaat.com/manfaat-dan-kandungan-gizi-wortel- 287.html, diakses 17 Juli 2013

Surya, P, F. 2005. Cara Praktis Pembuatan Pempek Palembang. Yogyakarta

Susanto, T. 1997. Pengaruh Teknologi terhadap Nilai Produk Makanan dalam Perspektif Islam. Makalah Seminar Sehari " Makanan Baik dan Sehat dalam Perspektif Islam". Sie Keputrian SKI- PAM Gizi. Malang.

Universitas Muhammadiyah, 2013. Modul Penanganan Mutu Fisis (Organoleptik). Program Studi Teknologi Pangan, Univ. Muhammadiyah Semarang. Jawa Tengah.

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”150

PENGEMBANGAN METODE ANALISIS MIGRASI DEHP DAN DBP DARI KEMASAN KERTAS & KARTON KE DALAM

SIMULAN PANGAN KERING (TENAX) SECARA KROMATOGRAFI GAS SPEKTROMETER MASSA

ANALYTICAL METHOD DEVELOPMENT OF DBP AND DEHP MIGRATION

FROM PAPER AND CARDBOARD PACKAGING INTO DRY FOOD SIMULANT (TENAX) BY GC-MS

Wiwi Hartuti*, Tanti Lanovia, Hary Wahyu T Pusat Riset Obat dan Makanan, Badan POM RI

*Email Korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

Research Center of Food and Drugs has been developed analytical method for determination of phthalates (DBP) and (DEHP) migration from paper and cardboard packaging using Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GC-MS). It was validated based on five validation parameters: specificity, linearity, precision, accuracy and Limit of Detection and Limit of Quantitation (LOD – LOQ). The validation results show that the analysis meets the acceptance criteria for five validation parameters which was: (i) chromatogram and retention time of standard solution equal to the test solution and no interference occurs between both the main peak of test soution and standard solution (specificity); (ii) Linearity test of standard solution yields correlation coefficent values of DBP and DEHP are 0.9987 dan 0.9925 (acceptance criteria > 0,99). Linearity test of sample yields correlation coefficent values of DBP and DEHP are 0.9963 and 0.9957 (acceptance criteria > 0,99). The RSD values of sample precision test with 2 hours incubation time and 66 °C incubation temperature for DBP and DEHP are 3,364 and 5,557 %, and 2/3 CV Horwitz values are 12,212 dan 9,674 respectively. Based on these values it can be concluded that the analysis method of determining the level of migration of DBP and DEHP by GC-MS is valid and can be used for analysis. The test results of 11 sample types of paper and cardboard packaging indicate that DBP and DEHP levels are below the maximum limit.

Keywords: analytical method, migration, simulant, tenax

ABSTRAK Metode analisis penetapan kadar migrasi senyawa ftalat (DBP dan DEHP) dari kemasan kertas & karton menggunakan Kromatografi Gas Spektrometri Massa yang dikembangkan oleh Pusat Riset Obat dan Makanan divalidasi berdasarkan parameter, spesifisitas, linieritas, presisi, perolehan kembali dan batasan deteksi (LOD) dan kuantifikasi (LOQ). Hasil validasi menunjukkan uji spesifisitas (i) bentuk kromatogram dan waktu retensi (RT) larutan baku sama dengan larutan uji, tidak terjadi interferensi antara puncak utama larutan uji dengan larutan baku. (ii) Uji linieritas baku menghasilkan nilai koefisien korelasi DBP 0.9987 dan nilai DEHP 0.9925 (syarat

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 151

keberterimaan > 0,99), uji linieritas sampel menghasilkan nilai koefisien korelasi DBP 0.9963 dan nilai DEHP 0.9957 (syarat keberterimaan > 0,99). Nilai %RSD uji presisi larutan sampel dengan waktu inkubasi 2 jam dan suhu inkubasi 66 °C untuk DBP dan DEHP secara berturut-turut adalah 3,364 dan 5,557 % dan nilai 2/3 CV Horwitznya adalah 12,212 dan 9,674. Berdasarkan data tersebut, hasil uji presisi memenuhi persyaratan (Nilai % RSD < Nilai 2/3 CV Horwitz). Untuk nilai persen perolehan kembali senyawa DBP dan DEHP antara 79.396 dan 88.981 %. Nilai LOD dan LOQ untuk DBP dan DEHP secara berturut-turut adalah 0.041 dan 0.319 (LOD) dan 0.137 dan 1.063 µg/mL (LOQ), sehingga disimpulkan bahwa metode ini valid dan dapat digunakan untuk pengujian sampel. Hasil pengujian 11 sampel kemasan kertas dan karton menunjukkan kadar DBP dan DEHP masih berada dibawah nilai batasan maksimum yang diperbolehkan. Kata kunci: metode analisis, migrasi, simulan, tenax

PENDAHULUAN

Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta teknologi kemasan yang sangat pesat, isu terkait kemasan pangan semakin beragam. Isu tentang keamanan kemasan pangan muncul disebabkan oleh komponen penyusun kemasan yang biasa disebut zat kontak pangan (Food Contact Substances). Zat kontak pangan tersebut dapat berpindah (bermigrasi) ke dalam pangan dan dinamakan sebagai migran. Sebagian dari migran merupakan senyawa kimia yang berbahaya bagi kesehatan dan dapat berasal dari residu bahan baku (starting materials) seperti monomer, katalis yang digunakan untuk mempercepat laju reaksi, hasil urai bahan dasar dan bahan tambahan yang digunakan dalam proses pembuatan kemasan pangan.

Beberapa isu yang berkembang seperti pelarangan penggunaan plastik polikarbonat (PC) untuk pembuatan botol susu bayi di sejumlah negara karena adanya potensi migrasi senyawa bisfenol A (BPA) dari plastik polikarbonat yang merupakan salah satu senyawa yang dapat menyebabkan gangguan sistem endokrin (endocrine disrupter). Selain itu, keberadaan senyawa ftalat, yang banyak digunakan sebagai pemlastis seperti Dietilheksi ftalat (DEHP)

dan Dibutil ftalat (DBP) sampai saat ini masih tetap menjadi perhatian karena berpotensi menyebabkan gangguan sistem endokrin dan pencetus kanker. Negara Eropa telah menetapkan batas migrasi spesifik untuk senyawa ftalat tersebut. Sementara itu, maraknya penggunaan kemasan pangan multilapis (multilayer) di pasaran, terdapatnya beberapa inovasi baru di bidang kemasan pangan seperti kemasan pangan aktif (active packaging) dan kemasan pangan pintar (intelligent packaging), serta penggunaan kemasan pangan dari bahan daur ulang yang merupakan hasil dari perkembangan ilmu dan teknologi kemasan juga memunculkan pertanyaan mengenai keamanan kemasan pangan.

Peraturan Kepala Badan POM NOMOR HK.03.1.23.07.11.6664 Tahun 2011 tentang Pengawasan Kemasan Pangan, mengatur tentang batas migrasi komponen penyusun kemasan yang banyak digunakan sebagai pemlastis seperti Dietilheksil ftalat (DEHP) dan Dibutil ftalat (DBP). Penggunaan ftalat sebagai plasticizer sebenarnya digunakan untuk jenis plastik Polivinil klorida (PVC) saja. Penambahan plasticizer pada plastik PVC bertujuan untuk mendapatkan plastik PVC dengan tekstur yang lentur yang tidak didapatkan dari jenis plastik lainnya. Namun seiring dengan perkembangan penggunaan

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”152

kemasan dan teknologi pembuatan kemasan ditemukan juga cemaran ftalat pada kemasan pangan lainnya seperti kemasan kertas dan karton. Hal ini terjadi karena proses dan teknologi pembuatan kemasan yang belum mengikuti prinsip-prinsip GMP yang memungkinkan terjadinya cemaran pada proses pembuatan kemasan tersebut. Hal ini yang mendorong Pusat Riset Obat dan Makanan melalui bidang Keamanan Pangan melakukan penelitian dan pengembangan metode analisis untuk mengetahui kadar migrasi senyawa ftalat dari kemasan kertas dan karton. Kemasan kertas diambil sebagai sampel penelitian karena kemasan kertas ini banyak digunakan sebagai pengemas yang kontak langsung dengan pangan yang dikemas (kemasan primer). Sehingga risiko yang dihasilkan dari proses migrasi ini juga semakin besar.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan larutan simulan yang mewakili pangan kering yaitu poli (2,6–difenil-p-fenilen oksida) dengan ukuran partikel 60 sampai 80 mesh dan ukuran pori 200 nm yang lebih dikenal dengan Tenax. Tenax merupakan simulan sesuai untuk mewakili pangan kering yang diatur dalam Peraturan Kepala Badan POM NOMOR HK.03.1.23.07.11.6664 Tahun 2011 tentang Pengawasan Kemasan Pangan. Simulan adalah media yang digunakan untuk meniru karakteristik pangan tertentu. Pemilihan larutan simulan ini berdasarkan kepada jenis pangan yang dikemas. Karena untuk kemasan kertas dan karton kebanyakan jenis pangan yang dikemas adalah pangan kering seperti kue basah, pizza, pasta dan lain-lain. Penelitian ini akan mengembangkan metode migrasi senyawa ftalat (DBP dan DEHP) dari kemasan kertas & karton dengan menggunakan Kromatografi Gas Spektrometer Massa (GC-MS).

Untuk mengetahui pengembangan metode yang dilakukan memenuhi persyaratan dan valid untuk digunakan maka

dilakukanlah validasi metode analisis. Validasi metode analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter tertentu, berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya (Harmita, 2004). Berdasarkan Harvey (2000), validasi merupakan suatu proses evaluasi kecermatan dan keseksamaan yang dihasilkan oleh suatu prosedur dengan nilai yang dapat diterima. Sebagai tambahan, validasi memastikan bahwa suatu prosedur tertulis memiliki detail yang cukup jelas sehingga dapat dilaksanakan oleh analis atau laboratorium yang berbeda dengan hasil yang sebanding.

Parameter analisis yang harus dipertimbangkan dalam validasi metode analisis : (1) Spesifisitas adalah kemampuan suatu metode analitik untuk mengukur secara akurat suatu analit dengan adanya interferensi yang bisa diharapkan ada dalam matriks sampel. Spesifisitas suatu metode diuji dengan membandingkan hasil dari sampel yang mengandung pengotor dengan hasil sampel yang tidak mengandung pengotor. Pada metode analisis yang melibatkan kromatografi, spesifisitas dapat ditentukan melalui perhitungan daya resolusinya (Rs) (Persulessy dalam Imankhasani, 2005). Suatu metode dikatakan memiliki spesifisitas yang baik apabila menghasilkan nilai resolusi lebih dari 1,5 antara puncak analit dengan komponen pengganggu (Ibrahim, 2009).

(2).Linieritas adalah kemampuan metode analisis yang memberikan respon yang secara langsung atau dengan bantuan transformasi matematik yang baik, proporsional terhadap konsentrasi analit dalam sampel (Harmita, 2004). Linieritas dapat diuji secara informal dengan membuat plot residual yang dihasilkan oleh regresi linier pada respon konsentrasi dalam satu seri kalibrasi (IUPAC, 2002).

Rentang penerimaan linieritas tergantung dari tujuan pengujian. Pada

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 153

kondisi yang umum, nilai koefisien regresi (r) ≥ 0,999 (CDER, 1994). Sementara untuk uji cemaran, BPOM (2001) mensyaratkan kriteria penerimaan linieritas untuk pada minimum lima level konsentrasi dengan koefisien regresi (r) ≥ 0,98. Dalam Harmita (2004) dan Ibrahim (2009), disebutkan satu parameter sekunder yang perlu diperhitungkan jika nilai koefisien regresi yang didapatkan tidak memenuhi standar (r ≥ 0,98), yaitu koefisien variasi (Vxo) dimana nilainya harus lebih dari 5%.

(3)Presisi adalah ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian antara hasil uji individual, diukur melalui penyebaran hasil individual dari rata-rata jika prosedur diterapkan secara berulang pada sampel-sampel yang diambil dari campuran yang homogen (Harmita, 2004). Presisi biasanya dibagi dalam dua kategori: keterulangan (repeatability) dan ketertiruan (reproducibility). Keterulangan adalah nilai presisi yang diperoleh jika seluruh pengukuran dihasilkan oleh satu orang analis dalam satu periode tertentu, menggunakan pereaksi dan peralatan yang sama. Ketertiruan adalah nilai presisi yang dihasilkan pada kondisi yang berbeda, termasuk analis yang berbeda, atau periode dan laboratorium yang berbeda dengan analis yang sama. Karena ketertiruan dapat memperbanyak sumber variasi, ketertiruan dari analisis tidak akan lebih baik hasilnya dari nilai keterulangan, jenis presisi yang paling penting adalah keterulangan, sedangkan ketertiruan hanya bersifat sebagai tambahan. Keseksamaan diukur sebagai simpangan baku atau simpangan baku relatif (RSD).

(4). Akurasi atau Rekoveri adalah ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan hasil analisis dengan kadar analit yang sebenarnya. Kecermatan dinyatakan sebagai persen perolehan kembali (recovery) analit yang ditambahkan. Dalam beberapa literatur, data dari parameter linieritas digunakan untuk menghitung konsentrasi sampel yang di-spike.

Namun, data dari parameter linieritas tidak selalu identik terhadap data kalibrasi dari prosedur analisis rutin, sehingga studi recovery biasanya menggunakan nilai yang didapat dari data kalibrasi pada rentang kerja (Ermer dalam Ermer dan Miller, 2005).

Akurasi harus diujikan pada sampel yang di spike dengan sejumlah cemaran yang telah diketahui jumlahnya (EMA, 1995). CDER (1994) merekomendasikan agar parameter akurasi diujikan pada tiga level konsentrasi, sedangkan Ibrahim (2009) merekomendasikan pengujian pada satu level konsentrasi dengan tiga kali pengulangan untuk metode analisis cemaran agar dapat dikatakan valid.

(5) Limit of Detection (LOD) dan Limit of Quantitation (LOQ). Limit deteksi suatu prosedur analisis adalah jumlah terkecil dari analit dalam sampel yang dapat dideteksi namun belum tentu dapat dikuantifikasi sebagai angka yang tetap. Limit kuantifikasi suatu prosedur analisis adalah konsentrasi terendah analit dalam sampel yang dapat ditentukan secara kuantitatif dengan presisi dan akurasi yang dapat diterima (Ermer dalam Ermer dan Miller, 2005). Batas deteksi (LOD) untuk suatu prosedur analisis adalah suatu titik dimana analisis dimungkinkan, yang dapat ditentukan dengan pendekatan statistik berdasarkan pengukuran ulangan blanko (sampel negatif) atau dengan pendekatan empiris dengan mengukur sejumlah konsentrasi analit. Batas kuantifikasi (LOQ) atau konsentrasi dimana data kuantitatif dapat dihasilkan dengan derajat kepercayaan yang tinggi, dapat ditentukan dengan pendekatan serupa (Armbruster et al., 1994). Dalam Giese (2004), terdapat dua cara untuk menentukan LOD dan LOQ, yaitu dengan menentukan kurva kalibrasi menggunakan sepuluh level konsentrasi, atau melakukan analisis blanko berulang.

LIPI (2009) menyatakan bahwa prinsip uji Limit of Detection (LOD) dan Limit of Quantitation (LOQ) pada metode yang

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”154

menggunakan instrumen dilakukan dengan membuat sederet blanko contoh atau blanko metode (blanko yang diperoleh melalui prosedur analisis seperti yang diperlakukan kepada sampel) sebanyak 7 – 10 kali ulangan kemudian diukur respon blanko tersebut dan dicari nilai deviasi standarnya. LOD dicari dengan menghitung konsentrasi analit dalam rata-rata blanko contoh ditambah dengan tiga kali nilai standar deviasi, sedangkan LOQ ditentukan dengan cara yang hampir sama hanya ditambah sepuluh kali nilai standar deviasi.

TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan metode analisis migrasi senyawa dietilheksil ftalat (DEHP) dan dibutil Ftalat (DBP) dari kemasan kertas dan karton ke dalam simulan pangan kering (tenax) menggunakan Kromatografi Gas Spektrometer Massa (GCMS).

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilakukan di laboratorium kimia Pusat Riset Obat dan Makanan. Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah Kromatografi Gas Spektrometer Massa dengan kolom RTX5-MS. Sampel yang diuji adalah kemasan kertas dan karton sebanyak sebelas (11) buah. Baku pembanding yang dipakai adalah Dibutil Ftalat (DBP) dengan nilai kemurnian 99 % (Sigma aldrich) dan Dietilheksil Ftalat (DEHP) dengan kemurnian 99 % (Merck). Baku internal yang digunakan adalah Butil Benzil Ftalat (BBP) dengan nilai kemurnian 95 % (Merck). Pereaksi yang digunakan adalah sikloheksana; simulan pangan kering (tenax) dan aseton.

Prosedur kerja untuk pengujian sampel adalah sebagai berikut: Sampel kemasan kertas dan karton dipotong dengan ukuran 3 x 3 cm sebanyak tiga buah kemudian ditimbang. Simulan pangan kering (tenax) ditimbang ± 2 g

dan taburkan di atas cawan petri yang telah dibilas aseton sehingga menutupi semua permukaan cawan. Masukkan cawan petri yang telah berisi simulan pangan kering (tenax) ke dalam oven yang telah diatur suhunya 66°C. Setelah suhu oven mencapai 66 ˚C, letakkan tiga buah sampel kemasan kertas & karton tersebut diatas permukaan cawan petri yang telah ditaburi oleh simulan pangan kering (tenax). Inkubasi sampel kemasan kertas & karton tersebut selama 2 jam. Selesai inkubasi, keluarkan sampel tersebut dari oven. Sisihkan sampel dari cawan petri dan pindahkan simulan pangan kering (tenax) ke dalam labu erlenmeyer 100 mL. Lakukan ekstraksi terhadap simulan pangan kering dengan cara menambahkan 15 mL larutan sikloheksana dan kocok selama 1 menit. Kemudian larutan ekstraksi didiamkan selama 5 menit, saring filtrat menggunakan kertas saring dan masukkan larutan ke dalam labu takar 25 mL. Lakukan ekstraksi kembali terhadap simulan pangan kering (tenax) dengan menambahkan 10 mL larutan sikloheksana dan masukkan larutan hasil ekstraksi ke dalam labu takar 25 mL. Tambahkan larutan baku internal sehingga didapatkan konsentrasi akhir 1 µg/mL. Tepatkan volume larutan ekstraksi dengan menambah larutan sikloheksana sampai tanda batas. Pindahkan larutan tersebut ke dalam vial autosampler. Lakukan analisis menggunakan kromatografi gas spektrometer massa sesuai prosedur yang ditunjukkan oleh Tabel 1 dan Tabel 2. Mengingat keberadaan senyawa ftalat yang banyak terdapat terdapat di alam serta cemarannya pada peralatan gelas dan pada proses preparasi, dilakukan juga pengujian pada larutan blangko. Pembuatan larutan blangko sama dengan larutan uji, yang membedakan adalah larutan blangko tidak menggunakan sampel kemasan.

Validasi Metode dilakukan dengan menggunakan parameter sebagai berikut: (1). Uji spesifisitas dan selektivitas; (2) Uji Linieritas; (3). Uji Presisi; (4). Uji Akurasi dan

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 155

(5). Penetapan batas deteksi dan kuantifikasi (LOD dan LOQ).

Uji Spesifisitas dilakukan dengan cara menyuntikkan larutan baku dan campuran larutan baku dengan larutan uji ke instrumen Kromatografi Gas Spektrometer Massa sesuai dengan prosedur yang ditunjukkan oleh Tabel 1 dan tabel 2.

Tabel 1. Kondisi GC-MS (EU, 2001)

Parameter Kondisi

Kolom 30 m x 0,25mm I.D. x 0,25μm RTX-5MS

Injeksi Splitless, 1 μl

Oven 50°C, 1 menit, 30°C/menit hingga 280°C, 15°C/menit hingga 320°C, 3 menit

Gas pembawa

Helium, 1 ml/menit (36,2 cm/detik), aliran tetap (52,6 kPa)

Jalur transfer 325°C

Deteksi MS dalam mode SIM

Mode Pulsed splitless

Suhu awal 290°C

Tekanan 7,64 psi

Aliran total 23,05 ml/menit

Tabel 2. Kondisi ion analit (EU, 2001)

Ion Analit Analit

DEHP BBP DBP

Ion primer 149 149 149

Ion sekunder 279 91 223

Uji Linieritas dilakukan dengan dua cara yaitu uji linieritas baku dan uji linieritas sampel. Uji linieritas baku dilakukan dengan membuat satu seri konsentrasi larutan baku dan kemudian menganalisisnya menggunakan instrumen Kromatografi Gas Spektrometer Massa. Hasil analisis diolah datanya dengan

mencari nilai koefisien regresi (r). Untuk uji linieritas sampel dilakukan dengan membuat satu seri konsentrasi spike sample (larutan sampel yang ditambahkan dengan larutan baku dengan jumlah konsentrasi tertentu).

Uji presisi ini dilakukan dengan cara yang sama dengan pengujian sampel. Hal yang membedakan adalah pengulangan yang dilakukan adalah sebanyak enam kali pengulangan.

Uji akurasi ini dilakukan dengan cara menambahkan baku dengan konsentrasi tertentu ke dalam sampel yang selanjutnya akan melewati proses ektraksi. Pengulangan pada akurasi ini adalah sebanyak enam kali.

Limit of Detection (LOD) dan Limit of Quantitation (LOQ) dilakukan dengan cara menganalisis sampel dengan konsentarsi yang rendah dengan jumlah ulangan sebanyak sepuluh kali. Limit kuantifikasi suatu prosedur analisis adalah konsentrasi terendah analit dalam sampel yang dapat ditentukan secara kuantitatif dengan presisi dan akurasi yang dapat diterima (Ermer dalam Ermer dan Miller, 2005).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengembangan metode analisis migrasi ftalat (DBP dan DEHP) pada sampel kemasan kertas dan karton ini dilakukan dengan lima parameter yaitu uji spesifisitas dan selektivitas, uji linearitas, uji presisi, uji akurasi dan Penetapan batas deteksi dan kuantifikasi (LOD dan LOQ). Validasi metode analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter tertentu berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya. Bahasa lainnya adalah validasi merupakan suatu proses evaluasi kecermatan dan keseksamaan yang dihasilkan oleh suatu prosedur dengan nilai yang dapat diterima. Sebagai tambahan, validasi memastikan bahwa suatu prosedur tertulis memiliki detail

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”156

yang cukup jelas sehingga dapat dilaksanakan oleh analis atau laboratorium yang berbeda dengan hasil yang sebanding.

Pada uji spesifisitas untuk ketiga jenis analit senyawa ftalat ini tidak terlalu mengalami kesulitan. Karena analisis yang dilakukan adalah menggunakan Kromatografi Gas Spektrometer Massa (GC-MS) dengan menggunakan metode Selected Ion Monitoring (SIM). Dengan metode SIM ini hanya ion target saja yang terdeteksi dan yang akan dianalisis. Jadi untuk uji spesifisitas tidak terdapat kendala yang berarti baik untuk pengujian larutan baku maupun untuk pengujian pada sampel kemasan plastik (Gambar 1 dan Gambar 2).

Gambar 1. Spektrum Kromatogram DBP,

BBP dan DEHP

Gambar 2. Spektra Ion DBP, BBP dan DEHP

Untuk uji linieritas kedua senyawa memberikan hasil yang memenuhi parameter validasi yaitu nilai regresi linier ≥0.99. Selain didapatkan nilai regresi linier juga didapat nilai persamaan regresi y = a+bx yang akan digunakan untuk mencari nilai dari hasil uji presisi dan pengujian sampel. Untuk uji presisi dilakukan dengan waktu inkubasi selama 2 jam dan suhu inkubasi 66 °C. Pemilihan suhu dan waktu inkubasi ini berdasarkan Pada Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Nomor HK.03.1.23.07.11.6664 Tahun 2011 tentang Pengawasan Kemasan Pangan. Nilai %RSD pada uji presisi larutan sampel dengan waktu inkubasi 2 jam dan suhu inkubasi 66 °C untuk DBP dan DEHP memenuhi persyaratan parameter validasi (Nilai % RSD < Nilai 2/3 CV Horwitz). Uji presisi ini menggunakan metode spike sample, hal ini dilakukan karena semua sampel yang diuji tidak ada yang mempunyai nilai migrasi yang melebihi batasan yang ditetapkan oleh Peraturan Kepala badan POM (sampel negatif).

Untuk persen nilai perolehan kembali didapatkan hasil pengujian memenuhi persyaratan validasi yaitu 80-110 persen, kecuali untuk hasil uji perolehan kembali sampel I. Persen perolehan kembali untuk sampel I adalah 79.396 %. Hal ini terjadi karena proses ekstraksi yang kurang maksimal. Ekstraksi dilakukan sebanyak dua kali dengan menggunakan pelarut sikloheksana. Namun, nilai perolehan kembali yang didapatkan tidak terlalu jauh dari yang dipersyaratkan. Sehingga bisa disimpulkan bahwa metode ini masih memenuhi syarat uji akurasi. Penetapan batasan deteksi dan kuantifikasi yang terdiri dari LOD dan LOQ dilakukan dengan menggunakan sampel kemasan kertas dan karton dengan penambahan larutan baku (spiking) karena sampel kemasan yang diuji tidak ada satupun mengandung DEHP dan DBP melebihi batasan Peraturan Kepala Badan.

DBP DBP

BBP

DEHP

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 157

Hasil pengembangan metode analisis ini menunjukkan bahwa metode ini valid dan dapat digunakan untuk penetapan kadar migrasi senyawa ftalat dari kemasan kertas dan karton menggunakan simulan pangan kering (tenax) dan dianalisis dengan Kromatografi Gas Spektrometer Massa. Setelah dilakukan validasi metode analisis ini dilakukan pengujian terhadap sebelas jenis kemasan kertas dan karton dari berbagai macam merek. Dari sebelas sampel yang diuji tidak ditemukan kemasan kertas atau karton yang mengandung senyawa DBP dan DEHP dengan nilai migrasi yang melebihi batasan yang ditetapkan oleh Peraturan Kepala Badan POM RI.

KESIMPULAN

Metode analisis penetapan kadar migrasi senyawa ftalat (DBP dan DEHP) dari kemasan kertas & karton menggunakan Kromatografi Gas Spektrometri Massa yang dikembangkan oleh Pusat Riset Obat dan Makanan (PROM) telah divalidasi berdasarkan parameter validasi, yaitu, Spesifisitas, Linieritas, Presisi, Nilai Perolehan Kembali dan Penetapan Batasan Deteksi dan Kuantifikasi (LOD dan LOQ). Hasil validasi menunjukkan bahwa pengujian berada dalam rentang penerimaan untuk kelima macam parameter validasi yaitu untuk uji spesifisitas (i) Bentuk kromatogram dan waktu retensi (RT) larutan baku sama dengan larutan uji, tidak terjadi interferensi antara puncak utama larutan uji dengan puncak utama pada larutan baku senyawa sejenis.

Uji linieritas baku menghasilkan nilai koefisien korelasi untuk DBP dan DEHP secara berturut-turut adalah 0.9987 dan 0.9925 (syarat keberterimaan > 0,99), Untuk uji linieritas sampel menghasilkan nilai koefisien korelasi DBP dan DEHP secara berturut-turut adalah 0.9963 dan 0.9957 (syarat keberterimaan > 0,99). Nilai %RSD pada uji presisi larutan sampel dengan waktu inkubasi 2 jam dan suhu inkubasi 66 °C untuk

DBP dan DEHP secara berturut-turut adalah 3,364 dan 5,557 % dan nilai 2/3 CV Horwitznya adalah 12,212 dan 9,674. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa hasil uji presisi memenuhi persyaratan parameter validasi ( Nilai % RSD < Nilai 2/3 CV Horwitz). Untuk nilai persen perolehan kembali didapatkan nilai rata-rata senyawa DBP dan DEHP tersebut untuk larutan I sebesar 79.396 dan 82.994 %. Larutan II sebesar 82.462 dan 86.691 %; Larutan III sebesar 85.515 dan 87.188 %; Larutan IV 88.981 dan 82.208 % dan Larutan V sebesar 84.345 dan 87.529 % (syarat keberterimaan 80 – 110%). Nilai LOD dan LOQ untuk DBP dan DEHP secara berturut-turut adalah 0.041 dan 0.319 (LOD) dan 0.137 dan 1.063 µg/mL (LOQ). Berdasarkan nilai tersebut dapat disimpulkan bahwa metode analisis penetapan kadar migrasi DBP dan DEHP secara Kromatografi Gas Spektrometer Massa valid dan dapat digunakan untuk pengujian sampel. Hasil pengujian terhadap sebelas (11) sampel kemasan kertas dan karton mengggunakan metode analisis yang tervalidasi ini menunjukkan kadar DBP dan DEHP masih berada dibawah nilai batasan maksimum yang ditetapkan oleh Peraturan Kepala Badan POM RI No HK.03.1.23.07.11.6664 Tahun 2011 Tentang Pengawasan Kemasan Pangan.

DAFTAR PUSTAKA

Badan POM RI, 2011. Peraturan Kepala

Badan POM No. K.03.1.23.07.11.6664 tentang Pengawasan Kemasan Pangan. BPOM, Jakarta.

Consumer Products Safety Commision (CPSC) United States, 2009. Test Method: CPSC-CH-C1001-09. Standard Operating Procedure for Determination of Phthalates.

[EMA] The European Agency for the Evaluation of Medicinal Products. 1995. ICH Topic Q 2 B. Validation of Analytical Procedures.

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”158

Ermer, J. 2005. Performance parameters, calculations and tests. Di dalam : Method Validation in Pharmaceutical Analysis (J. Ermer dan J.H.McB.Miller, eds.). WILEY-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA, Weinheim.

European Union (EU). 2001. Standard operation procedure for: Determination of release of phthalate Plasticisers in saliva stimulant.

ECOBILAN. 2001. Eco-Profile of High Volume Commodity Phtalate Esters (DEHP/DINP/DIDP).

Giese, G. 2004. Method Validation. Institute of Hygiene and Environment, City of Hamburg.

Harmita, 2004. Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode dan Cara Perhitungannya. Majalah Ilmu Kefarmasian, Volume I No.3, Desember 2004, 117 – 135. Departemen Farmasi FMIPA-UI.

[LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2009. Petunjuk umum uji kinerja (validasi) metode analisis. Kursus teknik analisis dan validasi/verifikasi metoda spektrometri serapan atom (AAS), Bandung.

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 159

ANALISIS KUALITATIF SPESIES PADA PRODUK DAGING OLAHAN YANG TIDAK BERMEREK DI PASAR TRADISIONAL KOTA BANDUNG DENGAN

MENGGUNAKAN MULTIPLEX-PCR

QUALITATIVE ANALYSIS OF SPECIES IN UNLABELED PROCESSED MEAT PRODUCTS IN TRADITIONAL MARKET IN BANDUNG CITY USING MULTIPLEX PCR

ASSAY

Yelliantty Jurusan Teknologi Pangan, Fakultas Teknik, Universitas Pasundan

Email korespondensi: [email protected]

ABSTRACT Cases concerning the substitution of meat raw material also occur in Indonesia and are quite common. Therefore, careful monitoring and control that needs to be done on the meat products. Screening or sampling products on the market should be conducted periodically to ensure the safety of consumers and society in general. Such screening should be done accurately. This study aimed to analyze the composition of meat in processed products in traditional markets in Bandung using PCR method. This study was using five specific primers to detect five different species. Screening is done on samples of meatballs from several markets. The results showed the presence of several samples that contain meat of some species. based it can be concluded that the substitution of raw materials processed meat products also occurs in the traditional market in the city of Bandung, and the PCR method referred to can be used as the basis for the development of detection methods of food security in Indonesia. Keywords: meat, multiplex PCR, species identification

ABSTRAK Kasus tentang penggantian bahan baku daging juga terjadi di Indonesia dan cukup umum. Oleh karena itu, pemantauan dan pengendalian yang cermat perlu dilakukan pada produk daging. Pemutaran atau pengambilan sampel produk di pasaran harus dilakukan secara berkala untuk menjamin keamanan konsumen dan masyarakat pada umumnya. Skrining semacam itu harus dilakukan secara akurat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis komposisi daging dalam produk olahan di pasar tradisional di Bandung dengan menggunakan metode PCR. Penelitian ini menggunakan lima primer spesifik untuk mendeteksi lima spesies yang berbeda. Skrining dilakukan pada sampel bakso dari beberapa pasar. Hasil menunjukkan adanya beberapa sampel yang mengandung daging dari beberapa spesies. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa substitusi bahan baku produk olahan daging juga terjadi di pasar tradisional di Kota Bandung, dan metode PCR disebut dapat dijadikan dasar pengembangan metode deteksi ketahanan pangan di Indonesia. Kata kunci: daging, identifikasi spesies, multiplex-PCR

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”160

PENDAHULUAN

Daging merupakan salah satu sumber protein tinggi bagi manusia. Saat ini banyak sekali panganan atau pun pangan olahan yang berbahan baku daging. Beberapa bahan pangan olahan yang sudah banyak dikonsumsi di Indonesia di antaranya adalah nugget, bakso, sosis, daging asap, kornet, burger, dan lainnya. Pangan olahan berbahan dasar daging merupakan jenis pangan yang banyak diminati oleh masyarakat Indonesia di samping daging segar. Hal ini dikarenakan pangan olahan berbahan dasar daging tersebut memiliki keragaman rasa dan bentuk yang menarik, waktu simpan yang relatif lama, dan relatif lebih murah dibandingkan dengan harga daging segar, bahkan beberapa pihak menyatakan bahwa pangan olahan berbahan daging ini juga dapat memenuhi kebutuhan gizi dengan baik.(Ghovvati, Nasirsi et al. 2009; Biswas, Kumar et al. 2011)

Produsen bahan pangan dan pangan olahan daging sudah diproduksi oleh banyak pihak. Dari tingkat produsen besar (pabrik) hingga industri rumah tangga. Pada produk yang dihasilkan oleh perusahaan besar umumnya memiliki kualitas tinggi, baik pada mutu produk maupun pengemasannya. Selain itu, produk yang dihasilkan oleh perusahaan besar juga secara tidak langsung disertai jaminan kualitas produk yang diberikan pada masyarakat (konsumen). Jaminan kualitas ini ditunjukkan oleh adanya label atau keterangan pada kemasan mengenai isi atau komposisi yang terkandung di dalam produknya.(Ghovvati, Nasirsi et al. 2009; Sakalar and Abasiyanik 2011)

Beberapa penelitian di negara lain menunjukkan adanya kemungkinan terjadi ketidaksesuaian antara komposisi pada label dibandingkan dengan komposisi nyata yang terkandung di dalam produk. Beberapa kasus yang pernah ditemukan diantaranya adalah pencampuran atau substitusi bahan baku daging dari hewan lain. Salah satunya adalah

penggunaan daging hewan bertaring seperti anjing atau pengerat seperti tikus pada pangan olahan bakso maupun sosis. Selain itu, ada juga pencampuran atau substitusi daging ayam atau ikan dalam produk pangan olahan bakso sapi.(Sakalar and Abasiyanik 2011; Johnson 2014)

Substitusi atau pencampuran bahan baku daging tersebut merupakan suatu masalah yang serius. Hal ini dapat merugikan bagi konsumen baik dalam segi ekonomi bahkan kesehatan. Pencampuran bahan baku daging yang tidak sesuai dengan yang ditulis pada label menunjukkan tindakan tidak bertanggung jawab dari produsen, dan secara ekonomi konsumen mengalami kerugian karena telah membayar produk yang tidak sesuai. Kerugian dalam bidang kesehatan juga dapat dialami oleh konsumen, karena pencampuran substitusi oleh bahan baku yang tidak sehat dapat menjadi sumber penyakit bagi konsumen.(Ghovvati, Nasirsi et al. 2009; Sakalar and Abasiyanik 2011; Hoekstra 2012; Johnson 2014)

Kasus mengenai substitusi bahan baku daging juga terjadi di Indonesia dan cukup sering ditemukan. Oleh karena itu, pemantauan dan pengendalian yang seksama perlu dilakukan terhadap produk-produk daging tersebut. Skrining maupun sampling pada produk yang ada di pasaran perlu dilakukan secara berkala untuk memastikan keselamatan konsumen dan masyarakat pada umumnya. Dengan adanya data mengenai skrining produk, maka kita dapat memperoleh informasi mengenai gambaran keamanan produk yang beredar di masyarakat.

Analisis kualitatif untuk mengetahui komposisi suatu produk sangat beragam. Berbagai pendekatan dapat dilakukan. Selama ini penentuan komposisi pangan daging biasanya menggunakan metoda berbasis protein. Namun metoda tersebut cukup memakan biaya dan relatif sulit dilakukan. Pendekatan lainnya adalah dengan

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 161

menggunakan teknik PCR.(Doosti, Ghasemi Dehkordi et al.; Sakalar and Abasiyanik 2011)

Teknik PCR dapat digunakan untuk menganalisis suatu bahan pangan biologis seperti daging. Teknik ini memiliki sensitivitas yang baik dalam mendeteksi keberadaan sampel yang sangat kecil dan sedikit. Di samping itu, biaya yang diperlukan untuk melakukan teknik tersebut relatif lebih murah dibandingkan dengan protein. Pengerjaannya pun relatif lebih praktis dibandingkan metoda berbasis protein. Oleh karena itu pada penelitian ini akan dilakukan analisis secara kualitatif menggunakan metoda PCR untuk mendeteksi dan mengkonfirmasi komposisi bahan baku daging pada produk daging dan olahannya yang diproduksi oleh produsen besar dan dipasarkan di daerah Bandung Raya.

BAHAN DAN METODE

Produk Daging Olahan seperti sosis sapi, sosis ayam, kornet sapi, baso sapi, baso ayam dan baso ikan. Produk daging olahan memiliki label (tanpa merek) dan dipasarkan di pasar tradisional Bandung Raya.

Isolasi DNA Protokol pemurnian DNA yang diambil

dari jaringan dengan menggunakan (QIA amp DNA mini kit).

Polymerase Chain Reaction

Urutan primer yang digunakan adalah sebagai berikut: (Sakalar and Abasiyanik, 2011) Ruminansia Forward: 5'-GAA AGG ACA AGA GAA ATA AGG-3' Reverse: 5'-TAG CGG GTC GTA GTG GTT CT-3' Babi Forward: 5'-CTA CAT AAG AAT ATC CAC CAC-3' Reverse: 5'-ACA TTG TGG GAT CTT CTA GGT-3'

Ikan Forward: 5’-TAA GAG GGC CGG TAA AAC TC-3’ Reverse: 5’-GTG GGG TAT CTA ATC CCA G-3’ Unggas Forward: 5’- GGG CTA TTG AGC TCA CTG TT-3’ Reverse: 5’-TGA GAA CTA CGA GCA CAA AC-3’

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagian besar sampel pangan olahan memiliki kandungan bahan baku dasar yang sesuai dengan keterangan yang diberikan oleh penjual mengenai produk yang dijual. Data tersebut menunjukkan bahwa pangan olahan daging yang ada di daerah Bandung Raya memiliki kualitas yang baik dilihat dari aspek kesesuaian bahan baku dengan produk olahan yang dihasilkan. Akan tetapi terdapat beberapa sampel yang menunjukkan hasil yang masih memerlukan konfirmasi lebih lanjut, yaitu produk kornet sapi dan bakso sapi. Hasil PCR dari kedua sampel tersebut menunjukkan kecenderungan adanya dua speies yang berbeda. Kemungkinan pada sampel tersebut terjadi substitusi atau penambahan daging jenis lain yaitu unggas sebagai bahan baku.

Hasil analisis PCR menunjukkan kesesuaian dengan keterangan pedagang maupun label yang ditempelkan untuk semua produk. Akan tetapi ada beberapa produk yang tidak terdeteksi dan kurang jelas hasil analisisnya. Hasil analisis yang tidak terdeteksi banyak terjadi pada sampel sosis sapi, sosis ayam, dan bakso ayam. Hal ini dapat disebabkan oleh kualitas isolasi DNA yang kurang baik. Hasil isolasi tersebut bergantung pada metoda isolasi DNA yang mungkin kurang sesuai atau kurang optimal untuk produk tertentu.

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”162

Faktor sampel dapat memengaruhi keberhasilan atau kualitas DNA yang terisolasi. Matriks sampel merupakan kendala yang paling utama dalam penelitian ini. Meskipun isolasi DNA dapat dilakukan, namun kualitas dari DNA tidak selalu sama pada tiap sampel. Hasil penelitian pada tabel 1 menunjukkan bahwa sampel kornet sapi dari semua titik sampel dapat teranalisis dengan PCR, sedangkan pada sampel sosis terdapat pemeriksaan yang tidak berhasil dilakukan. Hal tersebut menunjukkan bahwa matriks sampel memang dapat memengaruhi keberhasilan isolasi DNA.

Jumlah kandungan daging sapi pada sosis dan kornet adalah berbeda. Selain itu, tekstur dan ukuran komponen daging dalam produk masing-masing berbeda. Pada sosis, komponen daging sangat homogen dibandingkan dengan kornet. Pada kornet, ukuran komponen daging masih lebih besar dan serat otot daging masih dapat terlihat secara organoleptik. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa kondisi sel maupun jaringan daging pada sampel kornet masih bertahan dibandingkan dengan sosis. Sehingga bisa didapatkannya sampel DNA yang lebih banyak dengan kondisi yang cukup baik. Oleh karena itu, metoda isolasi DNA masih perlu dioptimasi untuk beberapa jenis produk olahan daging lainnya. Tabel 1. Hasil Analisis Spesies Sampel

Produk

Lokasi Pasar

1 2 3

A B A B A B

SS Sesuai

* Sesuai

Sesuai

* Sesuai

SA Sesuai

* * Sesuai

Sesuai

Sesuai

KS Sesuai

Sesuai

Sesuai**

Sesuai

Sesuai

Sesuai

BS Sesuai

* Sesuai

Sesuai**

Sesuai

Sesuai

BA Sesuai

Sesuai

* Sesuai

* *

BI Sesuai

Sesuai

* Sesuai

Sesuai

Sesuai

Keterangan: SS (sosis sapi); SA (sosis ayam); KS (kornet sapi); BS (bakso sapi); BA (bakso ayam); BI (bakso ikan); *) Tidak terdeteksi; **) Memerlukan konfirmasi

Hasil penelitian ini belum bisa menggambarkan kejadian adanya substitusi bahan baku maupun fraud yang terjadi di Bandung Raya. Jumlah sampel yang diambil masih sangat minimal dan tidak memenuhi persyaratan secara statistik untuk dapat mewakili populasi secara keseluruhan. Namun data yang didapat pada penelitian ini dapat menjadi data awal untuk pengembangan metode pengawasan dan pengendalian produk olahan daging berbasis molekuler.

Berdasarkan paparan di atas, penelitian ini masih memiliki kekurangan yaitu data yang didapat masih bersifat kualitatif dan jumlah sampel yang masih belum mencukupi untuk digunakan sebagai data yang mewakili populasi. Selain itu, pada penelitian ini masih dibutuhkan penelitian lanjutan terkait dengan optimasi protokol analisis dan penelitian dengan jumlah sampel yang lebih besar.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat

disimpulkan bahwa metoda multiple PCR dapat digunakan untuk menganalisis kesesuaian bahan baku pangan olahan daging yang dijual di Kota Bandung. Bahan baku daging yang digunakan pada produk olahan sesuai dengan keterangan produk yang dijual.

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 163

DAFTAR PUSTAKA

Biswas, A. K., V. Kumar, et al. 2011. Dietary fibers as functional ingredients in meat products and their role in human health. International Journal of Livestock Production 2(4): 45-54.

Doosti, A., P. Ghasemi Dehkordi, et al. Molecular assay to fraud identification of meat products. Journal of Food Science and Technology 51(1): 148-152.

Ghovvati, S., M. R. Nasirsi, et al. 2009. Fraud identification in industrial meat

products by multiplex PCR assay. Food Control 20: 696-699.

Hoekstra, A. Y. 2012. The hidden water resource use behind meat and dairy." Animal Frontier 2(2): 1-8.

Johnson, R. 2014. Food Fraud and “Economically Motivated Adulteration” of Food and Food Ingredients.

Sakalar, E. and M. F. Abasiyanik. 2011. Qualitative analysis of meat and meat products by multiplex polymerase chain reaction (PCR) technique. African Journal of Biotechnology 10(46): 9379-9386.

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”164

PENENTUAN UMUR SIMPAN CHEESE SPREADABLE ANALOGUE MENGGUNAKAN PERDEKATAN ARRHENIUS METODE ACCELERATED SHELF LIFE TESTING

(ASLT) BERDASARKAN RESPON KADAR AIR

SHELF LIFE DETERMINATION OF CHEESE SPREADABLE ANALOGUE WITH ARRHENIUS APPROACH USING SHELF LIFE ACCELERATED TESTING METHOD

ACCORDING TO WATER CONTENT

Yudi Garnida*, Yusman Taufik, Jaka Rukmana Jurusan Teknologi Pangan, Fakultas Teknik, Universitas Pasundan

*Email Korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

Shelf life was defined as the time required by a food product to be unfit for consumption in terms of safety, nutrition, physical properties, and organoleptics, once stored under recommended conditions. Accelerated shelf life testing (ASLT) with Arrhenius model was widely used to predict the shelf life of food products that are easily damaged by the effects of chemical reactions, such as fat oxidation, Maillard reactions, protein denaturation and so on. The purpose of this research was to know the age of save cheese spreadable analogoe in plastic polypropylene (PP) packaging at different storage temperature based on Arrhenius approach of accelerated shelf life testing method (ASLT) so that it can be known the shelf life of the product. The storage temperature consists of 3 temperature variations, which are 18ºC, 28ºC, and 38ºC. The results show that the recommended shelf life for cheese spreadable analogoe product in polypropylene (PP) plastic packaging based on water content response when kept at 18ºC, 28ºC and 38ºC respectively 250 days, 179 days and 128 days.

Keywords: arrhenius, cheese spreadable analogoe, moisture content, shelf life

ABSTRAK

Umur simpan didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan oleh suatu produk pangan menjadi tidak layak dikonsumsi jika ditinjau dari segi keamanan, nutrisi, sifat fisik, dan organoleptik, setelah disimpan dalam kondisi yang direkomendasikan. Accelerated shelf life testing (ASLT) dengan model Arrhenius banyak digunakan untuk menduga umur simpan produk pangan yang mudah rusak oleh akibat reaksi kimia, seperti oksidasi lemak, reaksi Maillard, denaturasi protein dan sebagainya. Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui umur simpan cheese spreadable analogoe dalam kemasan plastik polypropylene (PP) pada suhu penyimpanan yang berbeda berdasarkan pendekatan Arrhenius metode accelerated shelf life testing (ASLT) sehingga dapat diketahui umur simpan produk tersebut. Suhu penyimpanan terdiri dari 3 variasi suhu, yaitu 18ºC, 28ºC , dan 38ºC. Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur simpan yang direkomendasikan untuk produk cheese spreadable analogoe dalam kemasan plastik polypropylene (PP) berdasarkan respon kadar air apabila disimpan pada suhu 18ºC, 28ºC, dan 38ºC berturut turut 250 hari, 179 hari dan 128 hari. Kata kunci: keju oles, umur simpan, arrhenius, kadar air

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 165

PENDAHULUAN

Keju merupakan salah satu produk susu olahan berbentuk padat yang memerlukan fermentasi pada proses pembuatannya. Keju telah dikonsumsi di Asia beberapa ribu tahun yang lalu dan banyak tulisan purbakala berisi referensi yang mentransformasi susu cair menjadi keju sebagai suatu metode preservasi (Altekruse et al., 1998).

Saat ini, meskipun keju masih dikonsumsi hanya pada kalangan tingkat ekonomi tertentu, namun beberapa tahun terakhir, permintaan terhadap produk susu ini cukup besar. Pada tahun 1998, konsumsi keju mencapai 1.094.333 kg, dimana dari jumlah ini keju yang diproduksi di dalam negeri sekitar 34.976 kg, sedangkan sisanya dipenuhi dengan cara impor.

Tahun 2000, konsumsi keju mengalami penurunan yaitu menjadi sekitar 767.095 kg, dimana jumlah tersebut sekitar 742.547 kg keju adalah hasil produksi dalam negeri, beberapa diantaranya yaitu keju Cheddar, “Gouda”, Cream cheese, Edam dan Mozzarella. Jenis keju yang tidak dapat dibuat didalam negeri dengan jumlah sekitar 24.548 kg, dipenuhi dengan cara impor yaitu keju Brie (Perancis), Emmenthal (Swiss), Cammembert (Perancis), Parmesan (Italia), Gruyere (Swiss) dan Ricota (Italia) (Biro Pusat Statistik 1998; 2000).

Keju olahan (processed cheese) adalah salah satu jenis keju yang dibuat dengan mencampur dan menghancurkan keju alami disertai dengan pemanasan, sehingga menghasilkan suatu produk yang seragam dan lentur. Bahan-bahan tambahan makanan yang biasa digunakan dalam pembuatan keju olahan adalah garam-garam pengemulsi, pewarna, air, dan flavor (Dewi, 2007).

Keju olahan ditandai dengan badan yang kompak, tekstur yang lembut dan bebas dari lubang-lubang gas. Keju olahan dapat diiris tanpa meremas atau melekat, dan dengan pemanasan akan mencair secara seragam dan lembut, tanpa pemisahan antara fase lemak dan fase protein (Dewi, 2007).

Menurut Herawati (2011) Jenis keju alami yang paling banyak digunakan dalam pembuatan keju olahan di Indonesia adalah keju cheddar, sehingga sering disebut keju Cheddar olahan. Bentuknya pun bermacam-macam mulai dari kotak (block), irisan (slice), celupan (dip/sauce) hingga olesan (spreadable).

Permintaan keju dipasaran semakin meningkat, namun peningkatan permintaan ini tidak berbanding lurus dengan harga jual dipasaran. Olahan keju masih merupakan salah satu produk impor, maka harus ada penanggulangan khusus untuk fenomena yang terjadi diatas, hal ini dapat diwujudkan dengan membuat keju analog yang mempunyai karakteristik yang sama baik dari sifat organoleptik -kimia dengan keju asli.

Keju analog pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat pada awal 1970-an. Pembuatan keju analog dari berbagai keju alami (misalnya Cheddar, Monterey Jack, Mozzarella, Parmesan, Romano, Biru dan Cream). Dari beberapa jenis keju yang sering digunakan adalah keju cheddar dan mozarella.

Pengembangan keju analog melibatkan penggunaan sumber lemak dan protein selain yang dari susu, hal ini ditujukan untuk memberikan tekstur dan sifat fungsional sama dengan produk asli, keju analog dapat dianggap sebagai produk rekayasa. Keju analog mendapatkan peningkatan penerimaan baik dari pihak produsen maupun konsumen karena sangat potensial, keju analog umumnya diproduksi untuk memiliki kesetaraan gizi bahkan

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”166

dalam beberapa produk keju analog memiliki keunggulan gizi atas keju biasa. Kandungan vitamin dan mineral dapat lebih baik atau unggul daripada keju alami yang mengalami proses fortifikasi (Shaw, 1984).

Selama dekade terakhir ini konsumen semakin sadar akan menjaga asupan nutrisi yang cukup dan berimbang terutama mengenai makro nutrient (karbohidrat, protein dan lemak) terlebih untuk protein dan lemak. Kekhawatiran konsumen terhadap konsumsi natrium dan lemak jenuh maka dengan sifat fungsional dari keju analog dapat mengatasi kekhawatiran tersebut dalam kasus ini mengganti lemak hewani dengan lemak dan minyak nabati, untuk memberikan bahan makanan rendah kolesterol dan lemak jenuh. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan protein pada pembuatan Cheese Spreadable Analogue selain dari keju itu sendiri disubstitusi dari berbagai tepung seperti tepung maizena serta penggunaan caseinat.

Kendala yang dihadapi adalah menentukan masa kadaluarsa dari produk Cheese Spreadable Analogue. Pada prakteknya, ada lima pendekatan yang dapat digunakan untuk menduga masa kadaluarsa, yaitu dengan nilai pustaka (literatur value), distribution turn over, distribution abuse test, consumer complains dan dengan accelerated shelf-life testimg (ASLT) (Haryadi, 2004).

BAHAN DAN METODE

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan-bahan untuk pembuatan Cheese Spreadable Analogue dan bahan-bahan untuk analisis respon kimia.

Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan Cheese Spreadable Analogue adalah Gouda Cheese dan Cheddar Cheese, Isolat Soy Protein, Tepung Maizena, Minyak Nabati, Garam, Emulsifier

(Trisodium Sitrat, Disodium Fosfat) , Asam Asetat.

Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis kimia adalah aquadest, garam Kjeldahl, larutan H2SO4 pekat, larutan NaOH 30%, larutan Na2SO4, batu didih, granul Zn, larutan HCl baku, phenolptalein, N-heksan, alkohol dan larutan baffer..

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan-bahan untuk pembuatan Cheese Spreadable Analogue dan bahan-bahan untuk analisis kimia.

Alat-alat yang digunakan untuk pembuatan Cheese Spreadable Analogue yaitu alat timbangan, sendok, pisau, slicer, spatula, mixer, hand blander.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan metode eksperimen (percobaan) yang terdiri dari satu tahap yaitu penelitian utama. Penelitian utama yang dilakukan adalah untuk menduga umur simpan dari Cheese Spreadable Analogue yang dikemas menggunakan jenis kemasan plastik polypropylene (PP) 0,03 mm dimana kondisi penyimpanan divariasikan dengan beberapa suhu yaitu 18ºC, 28ºC, dan 38ºC

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perubahan Air Selama Penyimpanan Kadar air yang terdapat di dalam bahan

pangan dapat mempengaruhi masa simpan, tekstur, kenampakan dan cita rasa makanan tersebut (Winarno, 2004).

Menurut Astawan (2006), semakin tinggi kadar air suatu produk maka masa simpanya juga akan semakin rendah karena kandungan air yang tinggi dapat menyebabkan mikroba lebih mudah untuk tumbuh sehingga cepat terjadi pembusukan.

Berdasarkan data hasil perhitungan kadar air pada sampel Cheese Spreadable Analogue yang dikemas menggunakan kemasan plastik PP 0,03 mm dan disimpan

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 167

pada suhu yang berbeda, didapatkan hasil seperti pada Tabel 1.

Tabel 1.Kadar Air Cheese Spreadable

Analogue Campuran Kelapa dan Rosella Selama Penyimpanan

Lama Penyimpanan

(Hari)

Kadar Air (%)

Suhu 180C

Suhu 280C

Suhu 380C

0. 7.28 7.28 7.28

7 7.40 7.39 8.45

14 7.53 7.98 8.57

21 7.89 8.38 8.87

28 7.96 8.49 8.95

Berdasarkan hasil analisis kadar air pada

Tabel 1. dapat diketahui bahwa terjadi peningkatan kadar air selama penyimpanan, Untuk lebih jelasnya data tersebut diplotkan ke dalam grafik pada Gambar 1.

Gambar 1. Grafik Kadar Air Cheese

Spreadable Analogue pada Beberapa macam Suhu dan Waktu Penyimpanan

Berdasarkan Tabel 1. dan Gambar 1.

diketahui bahwa semakin tinggi suhu dan lama penyimpanan, maka semakin tinggi kadar air Cheese Spreadable Analogue.

Peningkatan kadar air diduga karena adanya proses penguapan sehingga kadar airnya bahan keluar, namun karena adanya proses pengemasan menyebabkan uap air tidak bias keluar dari produk, sehingga terakumulasi di dalam produk. Menurut Winarno (2004), proses penguapan terjadi karena adanya interaksi antara produk dengan lingkungannya akibat perbedaan suhu. Menurut Wirakartakusumah (1992), bila suatu bahan pangan diletakkan dalam ruang dengan suhu dan tekanan tertentu, maka akan terjadi penyerapan atau penguapan air sampai tekanan uap air dalam bahan pangan tersebut sama dengan tekanan uap air dari udara dalam ruang. Kondisi keseimbangan sering diungkapkan dengan istilah kelembaban relatif keseimbangan, yaitu kelembaban udara yang seimbang dengan bahan pangan yang diketahui kadar airnya.

Berdasarkan Tabel 2. dapat diketahui bahwa semakin tinggi suhu penyimpanan, maka laju penurunan mutu (k) Cheese Spreadable Analogue semakin menigkat karena kadar air nya semakin tinggi

Tabel 2 Regresi Linier Kadar Air

Suhu Persamaan Regresi r

180C Y = 7,237 + 0,026 X 0.97

280C Y = 7,217+ 0,049 X 0.95

380C Y = 7,667 + 0,054 X 0.88

Tabel 3. Nilai Konstanta Kerusakan (k)

Suhu Penyimpanan Nilai k (/hari)

180C 0.0029

280C 0.00405

380C 0.00566

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”168

Berdasarkan Tabel 12 diketahui bahwa produk Cheese Spreadable Analogue yang disimpan pada suhu 380C memiliki nilai konstanta kerusakan terbesar dibandingkan dengan suhu penyimpanan yang lainnya yaitu sebesar 0,00566/ hari, sedangkan pada suhu 180C memiliki nilai konstanta kerusakan sebesar 0,0029/ hari dan pada suhu 280C memiliki nilai konstanta kerusakan sebesar 0,00405/ hari.

Tabel 4. Umur SimpanProduk Cheese

Spreadable Analogue Berdasarkan Kadar Air

Suhu Penyimpanan Umur Simpan (hari)

180C 250.00

280C 179.01

380C 128.09

Dengan menggunakan persamaan Arrhenius, maka dapat dihitung umur simpan produk Cheese Spreadable Analogue berdsarkan respon kadar air. Hasil yang diperoleh menunjukan umur simpan produk berturut turut 250 hari apabila disimpan di suhu 180C, 179 hari apabila disimpan di suhu 280C, dan 128 hari apabila disimpan di suhu 380C.

KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa

umur simpan yang direkomendasikan untuk produk cheese spreadable analogoe dalam kemasan plastik polypropylene (PP) berdasarkan respon kadar air apabila disimpan pada suhu 18ºC, 28ºC, dan 38ºC berturut turut 250 hari, 179 hari dan 128 hari.

DAFTAR PUSTAKA

Altekruse, S.F., B.B. Timbo, J.C. Mowbray,

N.H. Bean dan M.E. Potter. 1998.

Cheese-associated outbreaks of human illness in the United States: sanitary manufacturing practices protect consumers. J. Food Protect.

Dewi, N. 2007. Kajian Pembuatan Keju Olahan. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak. Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Malang, Malang.

Herawati, H. 2011. Peluang Pemanfaatan Tapioka Termodifikasi Sebagai Fat Replacer Pada Keju Rendah Lemak. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan

Shaw M,. 1984. Cheese substitutes: threat or opportunity. J. Soc. Dairy Technol.

Winarno F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia, Jakarta.

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 169

Pengolahan Teknologi Pangan

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”170

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 171

KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN FUNGSIONAL PATI AREN ASETAT PADA KONSENTRASI PATI AREN YANG BERBEDA

PHYSICOCHEMICAL AND FUNCTIONALCHARACTERISTICS OF ACETYLATED

ARENGA STARCH PREPARED AT DIFFERENT ARENGA STARCH CONCENTARTIONS

Abdul Rahim* dan Syahraeni Kadir

Departemen Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Tadulako *Email korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

The objective of the study was to evaluate the physicochemical and functional characteristics of acetylated arenga starches. The acetylation process was carried out at different arenga starch concentrations (50, 200, 350, 500, 650, 800, 950) g with reaction time 60 min, concentration of acetic anhydride 15%, and pH 8. Acetyl percentage (Ac%), degree of substitution (DS), functional groups using fourier transform infrared (FTIR) spectra, crystallinity using X-ray diffraction(XRD), water holding capacity (WHC), oil holding capacity (OHC), swelling powe and emulsion stability. The results showed that the production of acetylated arenga starches at the concentration of arenga starch has been various physicochemical and functional characteristics. Generally produced acetate starch has low Ac% and DS so it is potentially used as a functional food. The FTIR spectra showed the process of acetylation of arenga starch, crystallinity of acetylated arenga starches is smaller than the native starch. The WHC, OHC and swelling power tends of acetylated arenga starches increased with increasing of arenga starches concentration. The emulsion stability of acetylated arenga starches is more stable than arenga starch. The acetylated arenga starch is potential applied as a functional food. Keywords: acetylated arenga starch, acetylation, functional characteristics, physicochemical

characteristics

ABSTRAK

Tujuan penelitian untuk mengevaluasi karakteristik fisikokimia dan fungsional pati aren hasil asetilasi. Proses asetilasi dilakukan pada berbagai jumlah pati aren (50, 200, 350, 500, 650, 800, 950) gram dengan lama reaksi 60 menit, konsentrasi asetat anhidrida 15% dan pH 8. Variabel pengamatan yaitu persen asetil, derajat substitusi (DS), gugus fungsional menggunakan spektra fourier transform infrared (FTIR), kristalinitas menggunakan X-ray diffraction (XRD), daya menahan air, daya menahan minyak, daya mengembang dan kestabilan emulsi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi pati asetat pada konsentrasi pati aren yang berbeda memiliki karakteristik fisikokimia dan fungsional yang bervariasi. Pati aren asetat yang diproduksi umumnya memiliki persen asetil dan DS yang rendah sehingga sangat berpotensi digunakan sebagai bahan pangan fungsional. Spektra FTIR menunjukkan terjadinya proses asetilasi pati aren, kristalinitas pati asetat lebih kecil dibandingkan pati alaminya. Daya menahan air, minyak dan daya mengembang cenderung meningkat seiring bertambahnya jumlah pati aren. Kestabilan emulsi pati aren asetat lebih stabil daripada pati aren alami. Pati aren asetat yang dihasilkan berpotensi diaplikasikan sebagai bahan pangan fungsional. Kata kunci: Asetilasi, karakteristik fisikokimia, karakteristik fungsional, pati aren asetat

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”172

PENDAHULUAN

Pati aren sebagaimana jenis pati lainnya dapat dimanfaatkan untuk produk pangan dan non pangan, namun demikian pati alami pemanfaatannya masih terbatas karena mudah mengalami retrogradasi, tidak stabil terhadap panas dan asam. Untuk memperbaiki sifat-sifat tersebut, maka perlu dilakukan modifikasi kimiawi secara asetilasi yang menghasilkan pati asetat yang sulit mengalami retrogradasi, stabil terhadap panas dan asam serta memiliki karakteristik fisikokimia dan fungsional yang mirif dengan tepung terigu. Padan penelitian ini, sintesis pati aren asetat dilakukan dengan cara asetilasi menggunakan asetat anhidrida.

Beberapa Asetilasi pati yang sudah pernah dikaji oleh peneliti sebelumnya diantaranya pati jagung asetat (Annison et al., 2003; Garg dan Jana, 2011), pati kentang asetat (Fang et al., 2002), pati jagung amilosa tinggi asetat (Lopez et al., 2009) dan pati aren asetat (Rahim et al., 2015). Pati aren asetat berpotensi sebagai pengganti terigu untuk pembuatan roti karena mempunyai kemampuan daya mengembang selama pemanggangan roti, hal ini disebabkan kemampuan pati asetat dalam memerangkap gas karbondiaoksida dalam roti (Rahim et al., 2017). Pada saat ini produksi pati asetat belum berkembang dengan baik sedangkan sumber pati-patian di Indonesia cukup melimpah. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka penulis tertarik untuk mengkaji produksi dan karakteristik fisikokimia dan fungsional pati aren asetat sebagai pangan fungsional.

BAHAN DAN METODE

Pati aren yang digunakan diperoleh dari

Kecamatan Palolo Kabupaten Sigi Sulawesi Tengah dan asetat anhidrida dengan kemurnian 98%. Bahan kimia yang digunakan untuk penelitian dan analisis diperoleh dari Laboratorium Agroindustri, Fakultas Pertanian Universitas Tadulako. Metode modifikasi untuk

produksi pati aren asetat menggunakan metode yang dikembangkan oleh Rahim et al. (2017) dengan sedikit modifikasi.

Asetilasi pati dilakukan dengan cara dibuat suspensi pati aren yang terdiri dari 50, 200, 350, 500, 650, 800 dan 950 gram dengan menambahkan akuades berturut-turut (113; 452; 791; 1.130; 1.469; 1.808; 2.147) mL diaduk selama satu jam pada suhu ruang. Suspensi pati ditambahkan asetat anhidrida 15% (v/b) secara tetes demi tetes sambil mempertahankan pH suspensi 8 dengan cara ditambahkan NaOH 3% pada suhu ruang selama 60 menit. Suspensi pati ditambahkan HCl 0,5 N sampai pH 4,5 untuk menghentikan reaksi. Proses selanjutnya dilakukan pengendapan dan pencucian dengan akuades dua kali dan etanol satu kali, kemudian dikeringkan dengan cabinet drier pada suhu 50oC selama 12 jam sehingga diperoleh pati aren asetat yang dapat diaplikasikan untuk pangan.

Parameter analisis meliputi persen asetil dan derajat substitusi (Singh et al., 2004), pengikatan gugus asetil menggunakan spektra fourier transform infrared (FT-IR), kristalinitas menggunakan X-ray diffractometer (X-RD), daya menahan air dan minyak (Larrauri et al., 1996), daya mengembang dan kelarutan (Adebowale et al., 2009) dan kestabilan emulsi (Perrechil dan Cunha, 2010). Analisis data menggunakan software Statistical Product and Service Solution versi 13 dengan metoda One Way Anova dan Univariate Analysis of Variance dengan tingkat signifikan 5% pada perbandingan means menggunakan metoda Duncan (Trihendradi , 2005).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Asetil dan derajat substitusi

Nilai kadar asetil dan derajat substitus i (DS) pati aren asetat pada berbagai jumlah pati aren dapat dilihat pada Gambar 1. Kadar asetil dan DS pati aren asetat tertinggi pada jumlah pati aren 200 g, kemudian menurun sampai 500 g dan selanjutnya meningkat

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 173

sampai 800 g dan kemudian mengalami penurunan pada sampel 950 g. Pola peningkatan persen asetil dan DS tidak bersifat linier, akan tetapi bersifat kuadratik. Setelah mencapai optimum maka persen asetil dan DS cenderung mengalami penurunan yang disebabkan terjadinya reaksi hidrolisis

pada pati aren asetat oleh NaOH yang menghasilkan pati aren dengan hasil samping natrium asetat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah pati aren yang digunakan telah terjadi difusi dan absorbsi gugus asetil ke dalam molekul pati secara maksimal sehingga dihasilkan pati termodifikasi.

Gambar 1. Kadar asetil dan derajat substitusi (DS) pada jumlah pati aren yang berbeda Menurut Hui et al. (2009) bahwa sintesis

pati oktenil suksinat dari pati kentang, bahwa pola peningkatan DS tidak linier, akan tetapi berbentuk kuadratik. Lebih lanjut dijelaskan bahwa DS pati kentang oktenil suksinat meningkat (0,0133- 0,0143) seiring dengan meningkatnya waktu reaksi dari 2 sampai 3 jam yang disebabkan oleh adanya tumbukan partikel antara pati kentang dengan oktenil suksinat, dan kemudian DS menurun (0,0143-0,0135) sampai dengan waktu reaksi 4 jam karena jumlah oktenil suksinat anhidrida semakin berkurang dan terjadi reaksi hidrolisis pada pati kentang suksinat.

Persen asetil dan DS yang bervarias i pada setiap jumlah pati aren yang digunakan menunjukkan bahwa produksi pati aren asetat dapat dilakukan dengan variasi jumlah pati aren yang menghasilkan pati termodifikasi

yang memiliki nilai DS relatif rendah (DS < 1) sehingga pati aren asetat yang dihasilkan dapat diaplikasikan sebagan bahan pangan fungsional. Spektra FTIR

Spektra FTIR pati aren alami dan pat i aren asetat pada jumlah pati aren berbeda disajikan pada Gambar 2. Spektra pati aren alami memiliki puncak pada bilangan gelombang 3510, 2932 dan 1651,07 cm-1 yang berturut-turut merupakan vibrasi dari gugus OH, metilen (CH2), dan pengikatan air (H2O). Menurut Rahim et al. (2012) bahwa spektra pati aren alami memiliki puncak pada bilangan gelombang 3426, 2932 dan 1651 cm-

1 yang masing-masing merupakan vibrasi O-H dari gugus hidroksi, C-H, dan pengikatan H2O dalam molekul pati.

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”174

Gambar 2. Spektra FTIR pati aren asetat pada jumlah pati aren berbeda: pati aren

alami (a), 200g (b), 650g (c) dan 950g (d). Spektra pati aren asetat memiliki puncak

baru pada bilangan gelombang 1720 cm-1 yang menunjukkan terjadinya inkorporasi gugus asetat mensubstitusikan gugus hidroksi dalam molekul pati. Di samping itu pati aren asetat memiliki ikatan hidrogen yang lebih kecil dibandingkan pati aren alami karena terjadi reaksi gugus asetat dengan gugus hidroksi pada molekul glukosa pada daerah bilangan gelombang 3000 – 3700 cm-1. Pati asetat memiliki bilangan gelombang antara 1735–1740 cm-1 yang menunjukkan daerah asetil (C=O). Disamping itu intensitas gugus hidroksi pada 3000–3600 cm-1 menurun yang menunjukkan gugus hidroski pada molekul pati telah digantikan oleh asetil (Halal et al. , 2015).

Kristalinitas

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pati aren alami dan pati aren asetat

mempunyai kristalin tipe A dengan pola puncak utama pada 2θ = 15o, 17o, 18o dan 23o

(Gambar 3). Derajat kristalinitas granula pati aren asetat lebih rendah dibandingkan dengan pati alami. Hal ini menunjukkan bahwa pati asetat mempunyai ikatan intra dan antar molekul yang lemah sehingga mengalami kerusakan kristalin oleh proses asetilasi. Ikatan hidrogen intra dan antar molekul bertanggung jawab untuk struktur kristal yang sangat teratur. Penurunan kristalinitas ini disebabkan oleh merenggangnya ikatan hidrogen inter dan intra molekul akibat proses asetilasi. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil yang dilaporkan oleh Lopez et al. (2009), bahwa derajat kristalinitas dari granula pati jagung asetat lebih rendah dibandingkan dengan pati alaminya. Menurut Sha et al. (2012) bahwa derajat kristalinitas dari granula pati beras asetat lebih rendah dari pada pati beras alami akibat proses asetilasi.

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 175

Gambar 3. Kristalinitas pati aren asetat pada lama reaksi berbeda: pati aren alami

(a), 200g (b), 650g (c), 800g (d) dan 950g (e).

Kemampuan menahan air dan minyak Pengaruh jumlah pati aren terhadap

kemampuan menahan air dan minyak (WHC-OHC) pati aren asetat dapat dilihat pada Gambar 4. WHC dan OHC pati aren asetat meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah pati aren. Data ini menunjukkan bahwa sifat hidrofilik dan hidrofobik cenderung lebih baik setelah asetilasi. Peningkatan WHC dan OHC disebabkan oleh adanya perubahan geometrik dan gugus

fungsional asetat pada molekul pati yang memfasilitasi kemampuan menahan air dan minyak. Inkorporasi gugus asetat dalam molekul pati dapat melemahkan ikatan hidrogen intra dan antar molekul pati sehingga menyebabkan perubahan geometrik molekul pati dan gugus karbonil pada asetat yang memiliki kemampuan menahan air, sedangkan gugus metil pada asetat memiliki kemampuan menahan minyak.

Gambar 4. WHC dan OHC pati aren asetat pada jumlah pati aren yang berbeda

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”176

Hasil penelitian serupa dikemukakan oleh Lawal (2004) bahwa WHC dan OHC pati new cocoyam asetat lebih tinggi daripada pati new cocoyam alami yang disebabkan oleh inkorporasi gugus fungsi asetat ke dalam molekul pati yang akan memfasilitasi meningkatnya kapasitas pengikatan molekul air dan minyak. Daya mengembang dan kelarutan

Daya mengembang pati aren asetat cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah pati aren, sedangkan kelarutan pati aren asetat mengalami

penurunan pada 50 g, kemudian meningkat sampai 350 g dan selanjutnya menurun seiring dengan bertambahnya jumlah pati aren (Gambar 5). Peningkatan daya mengembang diduga disebabkan oleh melemahnya kekuatan asosiasi antarmolekul pati karena inkorporasi gugus asetil pada gugus hidroksil dalam molekul pati. Penelitian ini mirip dengan hasil penelitian oleh Wang et al. (2011) bahwa daya mengembang pati jagung oktenil suksinat meningkat dengan meningkatnya waktu reaksi dan DS sampai dengan 0,81.

Gambar 5. Daya mengembang dan kelarutan pati aren asetat pada

jumlah pati aren yang berbeda Kelarutan pati aren asetat mengalami

fluktuasi seiring dengan meningkatnya jumlah pati aren yang digunakan, namun kelarutan pati aren alami lebih tinggi daripada pati aren asetat. Penurunan kelarutan pati aren asetat seiring dengan meningkanya jumlah pati aren disebabkan oleh inkorporasi gugus asetil pada molekul pati yang menyebabkan peningkatan sifat hidrofobik. Beberapa hasil penelitian sebelumnya memiliki kecenderungan yang mirip diantaranya pati new cocoyam asetat (Lawal (2004), pati kentang asetat (Singh et

al., 2004), pati sword bean asetat (Adebowale et al., 2009), dan pati sorgum merah dan putih suksinat (Olayinka et al., 2011).

Kestabilan emulsi

Kestabilan emulsi pati aren asetat pada jumlah pati aren yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 6. Kestabilan emulsi pati aren alami lebih kecil daripada pati aren asetat. Hal ini disebabkan karena pati aren asetat memiliki kemampuan mengikat air dan minyak yang lebih besar dibandingkan

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 177

dengan pati alami, sehingga emulsi yang terbentuk selama penyimpanan stabil. Kestabilan emulsi ini diduga adanya gugus asetil pada molekul pati yang menyebabkan

molekul pati dapat bersifat hidrofilik dan hidrofobik atau biasa disebut emulsifiyer (Perrachil and Cunha, 2010).

Gambar 6. Kestabilan emulsi pati aren asetat pada jumlah pati aren yang berbeda

KESIMPULAN

Produksi pati aren asetat pada jumlah pati berbeda dengan asetat anhidrida 15% (v/b pati), pH suspensi 8 selama 60 menit menghasilkan pati termodifikasi yang memiliki kadar asetil dan nilai DS yang bervariasi dan secara umum dapat diaplikasikan untuk pangan fungsional.

DAFTAR PUSTAKA

Adebowale, K.O., T. Henle, U.

Schwarzenbolz and T. Doert, 2009. Modification and properties of African yam bean (Sphenostylis stenocarpa Hochst. Ex A. Rich.) Harms starch I : Heat moisture treatments and annealing. Food Hydrocol. 23: 1947–1957.

Annison, G., R.J. Illman and D.L. Topping, 2003. Acetylated, propionylated or

butyrylated starches raise large bowel short chain fatty acids preferentially when fed to rats. J. Nutr. 133: 3523-3528.

Fang, J.M., P.A. Fowler, J. Tomkinson and C.A.S. Hill, 2002. The preparation and characterization of a series of chemically modified potato starches. Carbohydr. Polym. 47: 245-252.

Garg, S. and A. M. Jana, 2011. Characterization and evaluation of acylated starch with different acyl groups and degrees of substitution. Carbohydr. Polym. 83: 1623 – 1630.

Halal, S.E.M.E, R. Collusi, V.Z. P into, J. Bartz, M. Radunz, N.L.V. Carreno, A.R.C. Dias and L.D.R. Zavareze, 2015. Structure, morphology and functionality of acetylated and oxidized barley starches. Food Chem. 168: 247-256.

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”178

Hui, R., C.Q. He, F.M. Liang, X. Qiong and H.G. Qing, 2009. Preparation and properties of octenyl succinic anhydride modified potato starch. Food Chem. 114: 81-86.

Larrauri, J.A., P. Ruperez, B. Borroto and S. S. Calixto, 1996. Mango Peels as a New Tropical Fibre: Preparation and Characterization. Lebensm. Wiss. u. Technol. 29: 729–733.

Lawal, O. S. 2004. Composition, physicochemical properties and retrogradation characteristics of native, oxidised, acetylated and acid-thinned new cocoyam (Xanthosoma sagittifolium) starch. Food Chem. 87: 205–218.

Lopez-Rubio, A., J.M. Clarke, B. Scherer, D.L. Topping and E.P. Gilbert, 2009. Structural modifications of granular starch upon acylation with short chain fatty acids. Food Hydrocol. 23: 1940-1946.

Olayinka, O.O., B.I.O. Owolabi and K.O. Adebowale, 2011. Effect of succinylation on the physicochemical, rheological, thermal and retrogradation properties of red and white sorghum starches. Food Hydrocol. 25: 515 – 520.

Perrachil F.A. and R.L. Cunha, 2010. Oil-in-Water Emulsions Stabilized by Sodium Caseinate: Influence of pH, High-Pressure Homogenization and Locust Bean Gum Addition. Journal of Engineering 97: 441-448.

Rahim, A., Haryadi, M.N. Cahyanto dan Y. Pranoto, 2012. Characteristics of butyrylated arenga starch prepared at different reaction time and butyric anhydride concentration. Int. Food Res. J. 19(4): 1655-1660.

Rahim, A., K. Syahraeni and Jusman, 2015. Chemical and Functional Properties of Acetylated Arenga Starches Prepared at Different Reaction Time. Int. J.

Curr. Res. Biosci. P lant Biol. 2(9): 43-49.

Rahim, A., K. Syahraeni and Jusman, 2017. The influence degree of substitution on the physicochemical properties of acetylated arenga starches. Int. Food Res. J. 24(1): 102-107.

Sha, X.S., Z.J. Xiang, L. Bin, L. Jing, Z. Bin, Y.J. Jiao and S.R. Kun, 2012. Preparation and physical characteristics of resistant starch (type 4) in acetylated indica rice. Food Chem. 134: 149–154.

Singh, N., D. Chawla and J. Singh, 2004. Influence of acetic anhidrida on physicochemical, morphological and thermal properties of corn and potato starch. Food Chem. 86: 601-608.

Trihendradi, C. 2005. Step by step SPSS 13 analisis data statistik. Andi Offset. Yogyakarta.

Wang, X., Li, X., L. Chen, F. Xie, L.Yu and B. Li, 2011. Preparation and characterisation of octenyl succinate starch as a delivery carrier for bioactive food components. Food Chem. 126: 1218–1225.

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 179

OPTIMASI PENCAMPURAN SARI JERUK NIPIS (Citrus aurantifolia) DAN MALTODEKSTRIN TERHADAP KARAKTERISTIK MUTU MINUMAN SERBUK

MENGKUDU (Morinda citrifolia, L.)

OPTIMIZATION OF MIXING LIME JUICE (Citrus aurantifolia) AND MALTODEXTRIN TO THE QUALITY CHARACTERISTICS THE NONI POWDER DRINK (Morinda citrifolia,

L.)

Aisman*, Neswati, Mega Mustika Faculty of Agricultural Technology, Andalas University *Corresponding author email: [email protected]

ABSTRACT

The research were conducted to determine the effect of the concentration of lime juice, maltodextrin and noni juice to the quality characteristics and the right formula in the making of powder noni beverage by using surface response method. The combined factor variables are maltodextrin (X1) 10%, 17.5%, and 25%; Lime juice (X2) 15%, 25%, and 35%; and noni juice (X3) 65%, 75%, and 85%. The experimental design used was the Central Composite Design (CCD) with response variables ie Water Content, Ash Content, Vitamin C Level, and Antioxidant Activity. Differences in the amount of mixing maltodextrin, lemon juice and noni juice provide a real effect on Water Content, Ash Content, Vitamin C, and Antioxidant Activity. The recommended optimum solutions for all four responses were Maltodextrin 10%, Lime juice 34.37% and noni juice 76.34%. Water content 4,84%, ash content 0,78%, vitamin C level 86,42 mg/100 g and antioxidant activity 79,29% with desirability value 0,741. Keywords: CCD, lemon, maltodextrin, noni, powder drink,

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi sari jeruk nipis, maltodekstrin dan sari mengkudu terhadap karakteristik mutu serta formula yang tepat dalam pembuatan minuman serbuk mengkudu dengan menggunakan metode permukaan respon. Variabel faktor yang dikombinasikan yaitu maltodekstrin (X1) 10%, 17,5%, dan 25%; Sari Jeruk Nipis (X2) 15%, 25%, dan 35%; serta Sari Mengkudu (X3) 65%, 75%, dan 85%. Rancangan Percobaan yang digunakan adalah Central Composite Design (CCD) dengan variabel respon yaitu Kadar Air, Kadar Abu, Kadar Vitamin C, dan Aktifitas Antioksidan. Perbedaan jumlah pencampuran maltodekstrin, sari jeruk nipis dan sari mengkudu memberikan pengaruh nyata terhadap Kadar Air, Kadar Abu, Kadar Vitamin C, dan Aktifitas Antioksidan. Solusi optimum yang direkomendasikan untuk keempat respon adalah Maltodekstrin 10%, Sari Jeruk Nipis 34,37% dan Sari Mengkudu 76,34%. Nilai kadar air 4,84%, kadar abu 0,78%, kadar vitamin C 86,42 mg/100 g dan aktifitas antioksidan 79,29% dengan nilai desirability 0,741. Kata kunci : CCD, jeruk nipis, maltodekstrin, mengkudu, minuman serbuk

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”180

PENDAHULUAN

Tanaman mengkudu (Morinda

citrifolia,L.) terutama buahnya dapat diolah menjadi minuman fungsional. Menurut Pohan dan Antara (2001) hasil penelitian menyatakan bahwa buah mengkudu berkhasiat untuk mengobati beberapa penyakit degeneratif seperti kanker, tumor, dan diabetes.

Buah mengkudu dapat menurunkan kadar lemak, penelitian Bijanti (2008) pada ternak unggas menghasilkan bahwa pemberian sari buah mengkudu pada ayam broiler dapat menurunkan kadar lemak abdominal dengan berat karkas yang tetap masih tinggi, tidak mempengaruhi kadar vitamin C dan kadar MDA dalam darah, sehingga dapat melawan stress dan memperbaiki kualitas karkas.

Olahan buah mengkudu memberikan bau tidak sedap yang dihasilkan dari asam kaprat dan asam kaproat, dengan demikian diperlukan cara untuk menghilangkan bau tersebut.

Suriawiria (2002) menyatakan untuk menghilangkan bau dari buah mengkudu dapat dilakukan melalui proses fermentasi sehingga komponen asam penghasil bau akan terurai dan bau akan hilang. Cara lain yang dapat dilakukan yaitu membuatnya menjadi minuman serbuk dengan penambahan sari jeruk, antara lain dari jeruk nipis.

Konsentrasi sari jeruk nipis yang ditambahkan terhadap minuman serbuk mengkudu perlu diketahui untuk mendapatkan kualitas produk yang optimal. Berdasarkan penelitian pendahuluan, penambahan sari jeruk nipis 25% dapat menghilangkan bau tidak sedap pada mengkudu.

Sari jeruk nipis juga dapat menurunkan kadar kolesterol bagi yang mengkonsumsinya sebagaimana dilaporkan oleh Yulianti, Murningsih dan Ismadi (2013) bahwa penambahan sari jeruk nipis pada ransum itik dengan level 4,5 ml/ekor/hari mampu

meningkatkan kadar HDL darah dan menurunkan kadar kolesterol, trigliserida dan LDL darah.

Maltodekstrin dapat ditambahkan sebagai bahan pengikat. Sofyan, Lukman dan Arsyadi (2009) menyatakan maltodekstrin merupakan senyawa turunan pati yang dihasilkan dari proses hidrolisis enzim α amilase yang memiliki nilai DE kecil dari 20. Fungsi bahan pengikat adalah mengikat cairan yang disemprotkan melalui noozle spray dryer sehingga dihasilkan produk dalam bentuk serbuk yang berkualitas baik. Menurut Raflis (2014) penambahan maltodekstrin 17,5 % menghasilkan serbuk jeruk nipis dengan mutu yang baik.

Husniati (2009) melaporkan, maltodekstrin adalah produk modifikasi pati antara lain dari pati dari singkong dengan DE (dextrose equivalent) 5-10. Maltodekstrin pada nilai DE tersebut mempunyai sifat yang mudah larut dalam air dingin, derajat kemanisan rendah dan dapat diaplikasikan sebagai bahan tambahan dalam industri makanan, minuman, dan obat-obatan.

Minuman serbuk mengkudu yang baik akan dihasilkan dari kombinasi yang optimal antara sari mengkudu, sari jeruk nipis dan maltodekstrin.

Berdasarkan hal tersebut maka telah dilakukan penelitian dengan judul “Optimasi Pencampuran Sari Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia) dan Maltodekstrin Terhadap Karakteristik Mutu Minuman Serbuk Mengkudu (Morinda citrifolia, L.)”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh tingkat konsentrasi sari jeruk nipis, sari mengkudu dan maltodekstrin terhadap mutu produk dan menentukan formula yang tepat dalam pembuatan minuman serbuk mengkudu. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh konsentrasi sari jeruk nipis dan maltodekstrin terhadap karakteristik mutu serta menentukan formula yang terbaik

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 181

dalam pembuatan minuman serbuk mengkudu.

BAHAN DAN METODE

Alat dan Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah buah mengkudu yang telah matang. Jeruk nipis yang masih segar dan bagus, serta Maltodekstrin. Bahan yang digunakan untuk analisa kimia adalah aquades, larutan iod 0,01 N, metanol dan indikator kanji.

Alat yang digunakan dalam pembuatan minuman serbuk mengkudu yaitu juicer, spray dryer, saringan, pisau, timbangan, baskom dan sendok. Alat-alat yang digunakan dalam analisa adalah gelas piala 500 ml, labu ukur 100 ml, cawan alumunium, cawan porselen, pipet tetes, gelas ukur, timbangan analitik, desikator, kertas saring, wadah plastik, tanur dan spektrofotometer. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan Metode Permukaan Respon dengan rancangan Central Composite Design (CCD) terdiri dari 17 run percobaan termasuk 3 ulangan pada center point. Tiga variabel proses pembuatan minuman serbuk yaitu maltodekstrin, sari jeruk nipis dan sari mengkudu. Setiap respon dari proses pembuatan minuman serbuk akan digunakan untuk mengembangkan sebuah model matematis yang berkolerasi dengan kadar maltodekstrin, sari jeruk nipis dan sari mengkudu menurut persamaan polinomial berikut :

Dimana y adalah perkiraan nilai respon, xi dan xj mewakili peubah-peubah, βj adalah efek linear, βij adalah efek interaksi, βjj adalah efek kuadratik.

Perangkat lunak Expert Design Versi 7.0.0 (STAT-Ease Inc, Minneapolis, USA) digunakan untuk analisis regresi dari data

percobaan sesuai dengan persamaan polinomial dan juga untuk evaluasi signifikasi statistik dari persamaan yang dikembangkan. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap yaitu pembuatan sari mengkudu, pembuatan sari jeruk nipis, dan pembuatan minuman serbuk mengkudu. Pembuatan Sari Mengkudu

Mengkudu dikupas kulit, pembersihan dari biji dan pembuangan bintil hitam yang masih tersisa pada daging buah, cuci bersih, kemudian dipotong kecil dan dihancurkan menggunakan juicer, dilanjutkan dengan pemisahan ampas dengan larutan sari mengkudu sehingga didapatkan sari buah mengkudu.

Pembuatan Sari jeruk nipis

Jeruk nipis dicuci bersih, dilakukan pengecilan ukuran. Pembersihan dari biji yang menempel, kemudian buah jeruk diperas menggunakan juicer dan didapatkan sari buah jeruk. Pembuatan Minuman Serbuk Mengkudu

Sari mengkudu, sari jeruk nipis dan maltodekstrin sesuai perlakuan dicampurkan hingga homogen. Serbuk diperoleh dengan pengeringan menggunakan alat spray dryer. Pengamatan

Pengamatan terhadap sari mengkudu dan jeruk nipis adalah aktivitas antioksidan dan vitamin C. Pengamatan terhadap minuman serbuk mengkudu yaitu kadar air, kadar abu, vitamin C dan aktivitas antioksidan. Uji organoleptik seduhan minuman serbuk mengkudu dilakukan terhadap warna, rasa dan aroma.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisa Bahan Baku

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”182

Pengamatan karakteristik kimia terhadap bahan baku meliputi kadar vitamin C dan aktivitas antioksidan. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil Analisis Bahan Baku Sari

Mengkudu dan Sari Jeruk Nipis.

Parameter Sari Mengkudu

Sari Buah Jeruk Nipis

Antioksidan (%) 65,63 30,71

Vitamin C (mg/100g) 110,5 23,32

Menurut Suriawiria (2012) komponen

kimia yang berperan sebagai antioksidan pada sari mengkudu adalah asam askorbat, senyawa terpenoid dan beberapa zat antrhaqunione. Menurut Hariana (2006) komponen kimia yang berperan sebagai

antioksidan pada sari jeruk nipis adalah vitamin B1 dan asam askorbat. Enda (2012) melaporkan kandungan vitamin C dalam buah jeruk nipis adalah 27 mg/100g atau sama dengan 0,03%.

Kandungan antioksidan yang tinggi dalam bahan dapat mencegah terjadinya kerusakan oksidatif dan pembentukan reaksi berantai yang menimbulkan penyakit degeneratif (Winarsi, 2007).

Analisa Kimia Minuman Serbuk Mengkudu

Data hasil pengamatan diolah menggunakan software design expert 7.0.0. Ada tiga pengujian dalam menentukan model yaitu uji sum of square, uji lack of fit dan uji statistika dasar (R-squared). Data yang diperoleh dapat terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kombinasi Perlakuan dan Hasil Analisis Respon

Std Run (X1)

maltodeksrin (%)

(X2) jeruk

nipis (%)

(X3) mengkudu

(%)

Kadar air (%)

Kadar abu (%)

Kadar vitamin C (mg/100g)

Antioksidan (%)

4 1 25,00 35,00 65,00 7,65 1,47 75,45 58,81

15 2 17,50 25,00 75,00 5,07 0,96 76,81 76,26

3 3 10,00 35,00 65,00 4,58 0,48 87,55 60,28

6 4 25,00 15,00 85,00 7,34 1,39 81,72 68,28

10 5 30,11 25,00 75,00 8,83 1,37 86,34 77,19

11 6 17,50 8,18 75,00 5,05 1,06 65,26 67,06

16 7 17,50 25,00 75,00 5,36 1,04 77,03 80,86

12 8 17,50 41,82 75,00 6,03 1,45 80,81 85,69

1 9 10,00 15,00 65,00 4,07 0,35 65,92 51,26

7 10 10,00 35,00 85,00 4,95 1,06 90,11 89,71

5 11 10,00 15,00 85,00 4,75 0,94 82,25 79,04

9 12 4,89 25,00 75,00 5,18 0,45 86,08 75,89

14 13 17,50 25,00 91,82 6,83 1,58 94,26 85,91

2 14 25,00 15,00 65,00 7,32 1,16 62,39 53,19

17 15 17,50 25,00 75,00 5,27 1,06 78,34 74,07

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 183

8 16 25,00 35,00 85,00 7,81 1,61 91,37 74,22

13 17 17,50 25,00 58,18 5,12 1,23 70,03 68,43

Kadar Air Berdasarkan hasil pengujian kadar air,

rentang nilai respon yang didapatkan berkisar dari 4,07% - 8,83%. Desain model yang direkomendasikan pada respon ini adalah quadratic. Hasil analisis ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa model yang dihasilkan signifikan dengan nilai (p-value prob > F) kecil dari 0,05 yaitu 0,0003 dengan nilai rata-rata (mean) dari respon kadar air adalah 5,95% dan standar deviasi 0,40.

Keakuratan model juga dapat diketahui dari perbandingan nilai aktual penelitian dengan prediksi model. Hasil prediksi dinyatakan sebagai garis lurus dan aktual dinyatakan sebagai kotak. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Distribusi Sebaran Nilai Aktual

dan Prediksi Respon Kadar Air

Grafik kontur dan grafik 3D-surface kadar air pada perlakuan menggambarkan bahwa interaksi antara maltodekstrin, sari jeruk nipis dan sari mengkudu sangat mempengaruhi kadar air produk. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada gambar 2,3 dan 4.

Gambar 2. Permukaan Respon Kadar Air pada Perlakuan Maltodekstrin dan Sari Jeruk Nipis

Degradasi perubahan warna pada Gambar 2 menunjukkan respon terhadap kadar air, semakin tinggi penambahan maltodekstrin menyebabkan kadar air semakin tinggi. Blancard dan Katz, 1995 cit Raharjo, 2016 menyatakan bahwa spesifikasi maltodekstrin memiliki kadar air sebesar 6%, sehingga memungkinkan semakin banyak maltodekstrin yang digunakan menyebabkan kadar air semakin meningkat. Hal ini sejalan dengan penelitian Raharjo (2016) dimana kadar air meningkat seiring dengan penambahan maltodekstrin pada minuman serbuk instan kayu secang.

Perubahan degradasi warna pada Gambar 3 menunjukkan respon terhadap kadar air yang dipengaruhi oleh maltodekstrin dan sari mengkudu. Penambahan sari mengkudu berpengaruh tidak nyata terhadap respon kadar air, sedangkan penambahan maltodekstrin berpengaruh nyata terhadap respon kadar air.

Gambar 3. Permukaan Respon Kadar Air pada Perlakuan Maltodekstrin dan Sari Mengkudu

Tresna dan Hadi (2015) menyatakan

banyaknya proporsi maltodekstrin maka adsorpsi uap air semakin bertambah, hal ini disebabkan gugus dari maltodekstrin yang

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”184

bersifat hidrofilik pada permukaan produk minuman instan.

Gambar 4. Permukaan Respon Kadar Air pada Perlakuan Sari Jeruk Nipis dan Sari Mengkudu

Gambar 4 menunjukan interaksi antara

sari jeruk nipis dan sari mengkudu berpengaruh tidak nyata terhadap respon kadar air. Air berfungsi sebagai pendorong rekasi-reaksi kimia dan juga mikrobiologi yang terjadi pada bahan pangan. Penghilangan air dalam bahan pangan dapat menghambat terjadinya reaksi kimia serta dapat memperpanjang umur simpan produk pangan karena menghambat pertumbuhan mikroorganisme (Fardiaz 1993). Kadar Abu

Berdasarkan hasil pengujian kadar abu, rentang nilai respon yang didapatkan berkisar dari 0,35% - 1,58%, dan desain model yang direkomendasikan oleh program software design sexpert 7.0.0 pada respon ini adalah quadratic. Hasil analisis ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa model yang dihasilkan signifikan dengan nilai (p-value prob > F) kecil dari 0,05 yaitu 0.0009 dengan nilai rata-rata (mean) dari respon kadar abu adalah 1,10% dan standar deviasi 0,13. Hasil prediksi model dinyatakan sebagai garis lurus dan aktual hasil dinyatakan sebagai kotak. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Distribusi Sebaran Nilai Aktual

dan Prediksi Respon Kadar Abu Grafik kontur dan grafik 3D-surface

kadar abu pada perlakuan menggambarkan bahwa interaksi antara maltodekstrin, sari jeruk nipis dan sari mengkudu sangat mempengaruhi kadar abu produk. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada gambar 6, 7 dan 8.

Gambar 6. Permukaan Respon Kadar Abu pada Perlakuan Maltodekstrin dan Sari Jeruk Nipis

Semakin tinggi penambahan

maltodekstrin kadar abu semakin tinggi. Hal ini disebabkan karena maltodekstrin memiliki unsur mineral 0,6%. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Siregar (2015) dimana kadar abu meningkat seiring dengan penambahan maltodekstrin pada minuman serbuk instan daun katuk.

Gambar 7. Permukaan Respon Kadar Abu pada Perlakuan Maltodekstrin dan Sari Mengkudu

Gambar 7 memperlihatkan, semakin

tinggi penambahan maltodekstrin dan sari

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 185

mengkudu, kadar abu yang dihasilkan semakin meningkat. Gambar 8. Permukaan Respon Kadar Abu

pada Perlakuan Sari Jeruk Nipis dan Sari Mengkudu

Gambar 8 memperlihatkan interaksi antara sari jeruk nipis dan sari mengkudu memberikan pengaruh tidak nyata terhadap kadar abu. Metode pengabuan dilakukan dengan cara mendestruksi komponen organik sampel dengan suhu tinggi didalam suatu tanur pengabuan, tanpa terjadi nyala api dan berbentuk abu berwarna putih keabu-abuan dengan berat yang konstan (Kusnandar, Nur dan Dani, 2003).

1. Kadar Vitamin C

Berdasarkan hasil pengujian kadar vitamin C, rentang nilai respon yang didapatkan berkisar dari 62,09 mg/100g – 94,26 mg/100g (Tabel 2), dan desain model yang direkomendasikan oleh program software design sexpert 7.0.0 pada respon ini adalah quadratic. Hasil analisis ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa model yang dihasilkan signifikan dengan nilai (p-value prob > F) kecil dari 0,05 yaitu 0,0002 dengan nilai rata-rata (mean) dari respon kadar vitamin C adalah 79,51 mg/100g dan standar deviasi 2,49.

Hasil prediksi model (predicated) dinyatakan sebagai garis lurus dan aktual hasil penelitian (actual) dinyatakan sebagai kotak, sebagaimana terlihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Distribusi Sebaran Nilai Aktual

dan Prediksi Respon Kadar Vitamin C

Penambahan maltodekstrin berpengaruh

tidak nyata terhadap kadar vitamin C, sedangkan penambahan sari jeruk nipis berpengaruh nyata terhadap kadar vitamin C, hal tersebut karena maltodekstrin tidak mengandung vitamin C. Menurut Maharani (2009) komposisi vitamin C buah jeruk nipis adalah 27 mg/100g. Semakin tinggi penambahan sari jeruk nipis kadar vitamin C semakin meningkat. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Permukaan Respon Kadar Vitamin C pada Perlakuan Maltodekstrin dan Sari Jeruk Nipis

Vitamin C terendah dihasilkan pada

penambahan maltodekstrin 10% dan sari mengkudu 65%, sedangkan vitamin C tertinggi pada penambahan maltodekstrin 25% dan sari mengkudu 85%. Penambahan maltodekstrin tidak berpengaruh nyata terhadap kadar vitamin C, hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 11.

Interaksi antara sari jeruk nipis dan sari mengkudu memberi pengaruh nyata terhadap kadar vitamin C yang dihasilkan. Semakin tinggi penambahan sari jeruk nipis dan sari

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”186

mengkudu kadar vitamin C yang dihasilkan semakin meningkat. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 11. Permukaan Respon Kadar

Vitamin C pada Perlakuan Maltodekstrin dan Sari Mengkudu

Gambar 12. Permukaan Respon Kadar Vitamin C pada Perlakuan Sari Jeruk Nipis dan Sari Mengkudu

Proses pengeringan dengan prinsip

HTST mampu mempertahankan stabilitas kandungan vitamin C dan menurunkan resiko terjadinya proses oksidasi vitamin C yang tidak diinginkan pada produk.

Anggraini dan L. Puspita (2014) melaporkan bahwa antioksidan dan kadar vitamin C yang terdapat dalam ekstrak sari buah sirsak mengalami penurunan setelah diolah menjadi minuman serbuk sirsak. Selain itu aktivitas antioksidan dan kadar vitamin C minuman serbuk sirsak semakin menurun seiring dengan bertambahnya konsentrasi maltodekstrin yang ditambahkan. Penurunan aktivitas antioksidan pada minuman serbuk sirsak dengan penambahan maltodekstrin 20% adalah sebesar 36,84% sedangkan kadar

vitamin C mengalami penurunan sebesar 65,44%.

2. Aktivitas Antioksidan

Berdasarkan hasil pengujian aktivitas antioksidan, rentang nilai respon yang didapatkan berkisar dari 51,26% – 89,71% (Tabel 2) dan desain model yang direkomendasikan oleh program software design sexpert 7.0.0 pada respon ini adalah linear vs mean. Hasil analisis ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa model yang dihasilkan signifikan dengan nilai (p-value prob > F) kecil dari 0,05 yaitu 0,0026 dengan nilai rata-rata (mean) dari respon aktivitas antioksidan adalah 72,31% dan standar deviasi 7,37.

Keakuratan model dapat diketahui dari perbandingan nilai aktual penelitian dengan prediksi model. Hasil prediksi model (predicated) dinyatakan sebagai garis lurus dan aktual hasil penelitian (actual) dinyatakan sebagai kotak, sebagaimana terlihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Distribusi Sebaran Nilai Aktual

dan Prediksi Respon Aktivitas Antioksidan

Gambar 14 menunjukan penambahan

maltodekstrin berpengaruh tidak nyata terhadap aktifitas antioksidan, sedangkan penambahan jeruk nipis berpengaruh nyata. Semakin tinggi penambahan jeruk nipis aktivitas antioksidan semakin meningkat.

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 187

Gambar 14. Permukaan Respon Aktivitas Antioksidan pada Perlakuan Maltodekstrin dan Sari Jeruk Nipis

Gambar 15 menunjukan bahwa

penambahan sari mengkudu memberikan pengaruh nyata terhadap aktivitas antioksidan, sedangkan penambahan maltodekstrin berpengaruh tidak nyata. Semakin tinggi penambahan sari mengkudu aktivitas antioksidan semakin tinggi.

Gambar 15. Permukaan Respon Aktivitas Antioksidan pada Perlakuan Maltodekstrin dan Sari Mengkudu

Gambar 16 memperlihatkan interaksi

antara sari jeruk nipis dan sari mengkudu memberi pengaruh nyata terhadap aktifitas antioksidan yang dihasilkan. Semakin tinggi penambahan sari jeruk nipis dan sari mengkudu aktivitas antioksidan yang dihasilkan semakin meningkat.

Gambar 16. Permukaan Respon Aktivitas Antioksidan pada Perlakuan Sari Jeruk Nipis dan Sari Mengkudu

Antioksidan merupakan senyawa yang

dapat menghambat reaksi oksidasi dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif sehingga kerusakan sel dapat dihambat. Antioksidan dapat berupa enzimatis maupun non enzimatis, antioksidan non enzimatis dapat ditemukan dalam buah-buahan dan sayur-sayuran (winarsi, 2007).

Organoleptik

Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji kesukaan atau uji hedonik dengan rentang nilai 1=sangat tidak suka, 2=tidak suka, 3=biasa, 4=suka, dan 5=sangat suka. Berdasarkan analisis sidik ragam dengan taraf α = 5% dapat diketahui bahwa kombinasi perlakuan maltodekstrin, sari jeruk nipis dan sari mengkudu memberikan pengaruh yang nyata terhadap warna, rasa dan aroma minuman serbuk mengkudu yang dihasilkan. Warna

Rentang nilai kesukaan terhadap warna berkisar antara 2,56 sampai 3,84. Warna minuman serbuk mengkudu yang lebih disukai panelis adalah pada kombinasi perlakuan maltodekstrin 30,11%, sari jeruk nipis 25% dan sari mengkudu 75%.

Warna produk yang dihasilkan pada minuman serbuk antara putih dan putih kecoklatan. Kombinasi maltodekstrin mempengaruhi warna yang dihasilkan, dimana semakin tinggi penambahan maltodekstrin warna pada produk yang dihasilkan semakin terang.

Rasa

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”188

Rentang nilai kesukaan terhadap rasa berkisar antara 2,44 sampai 3,88. rasa minuman serbuk mengkudu yang lebih disukai panelis adalah pada kombinasi perlakuan sari jeruk nipis 41,82% dan sari mengkudu 75%, sedangkan produk yang tidak disuka pada kombinasi perlakuan sari jeruk nipis 15% dan mengkudu 85%.

Maltodekstrin tidak memiliki rasa yang khas, sehingga penambahan maltodekstrin pada minuman serbuk mengkudu tidak mempengaruhi rasa yang dihasilkan. Sari jeruk nipis memiliki rasa khas yang dapat meminimalisir rasa mengkudu yang tidak disukai. Jeruk nipis mengandung senyawa asam sitrat yang menjadi komponen terpenting dalam memberikan cita rasa. Aroma

Rentang nilai kesukaan terhadap aroma berkisar antara 2,60 sampai 3,56. Aroma yang disukai oleh panelis adalah pada kombiasi perlakuan sari jeruk nipis 35% dan sari mengkudu 65%, sedangkan respon aroma terendah pada kombinasi sari jeruk nipis 8,18% dan sari mengkudu 75%.

Maltodekstrin tidak memiliki aroma khas, penambahan maltodekstrin pada minuman serbuk megkudu tidak mempengaruhi aroma yang dihasilkan. Mengkudu memiliki aroma khas yang tidak sedap sehingga kurang disukai oleh konsumen. Penambahan sari jeruk nipis dapat meminimalisir aroma pada mengkudu.

Hasil penelitian Lailiyah 2014 menunjukkan bahwa jumlah maltodekstrin berpengaruh terhadap warna, aroma, dan tidak berpengaruh terhadap rasa, tekstur, dan tingkat kesukaan yoghurt susu kedelai bubuk. Interaksi penggunaan maltodekstrin dan lama pengeringan tidak berpengaruh terhadap sifat organoleptik yoghurt susu kedelai bubuk (warna, rasa, aroma, tekstur, dan tingkat kesukaan). Optimasi Respon Permukaan

Optimasi dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan kombinasi perlakuan terbaik antara maltodekstrin, sari jeruk nipis dan sari mengkudu terhadap mutu kimia produk. Tabel 3 menunjukan target komponen (goal) dan bobot kepentingan dari setiap variabel serta respon untuk mendapatkan solusi dari variabel yang menghasilkan respon optimal.

Tabel 3. Uraian Variabel dan Respon yang

akan Dioptimasi

Kriteria Goal Batas bawah

Batas atas

Maltodekstrin (%)

In range 10,00 25,00

Sari jeruk nipis (%)

In range 15,00 35,00

Sari mengkudu (%)

In range 65,00 85,00

Kadar air (%) Minimize 4,07 8,83

Kadar abu (%) Minimize 0,35 1,61

Kadar vitamin C (mg/100g)

Maximize 62,39 94,26

Aktivitas antioksidan (%)

Maximize 51,26 89,71

Berdasarkan data Tabel 3 didapatkan

hasil optimasi dengan nilai desirability 0,741 yaitu kombinasi maltodekstrin 10%, sari jeruk nipis 34,37% dan sari mengkudu 76,34%. Tujuan dari optimasi menggunakan rancangan CCD ini adalah untuk dapat menentukan kombinasi optimum dan faktor (peubah bebas) yang diinginkan serta dapat menggambarkan bahwa respon mendekati optimum.

KESIMPULAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 189

Berdasarkan hasil penelitian dapat

disimpulkan sebagai berikut : 1. Perbedaan jumlah maltodekstrin, sari jeruk

nipis dan sari mengkudu dalam pembuatan minuman serbuk mengkudu memberikan pengaruh nyata terhadap kadar air, kadar abu, kadar vitamin C dan aktivitas antioksidan.

2. Nilai desirability tertinggi adalah 0,741 serta menunjukan kombinasi paling optimal yaitu maltodekstrin 10%, sari jeruk nipis 34,37% dan sari mengkudu 76,34%. Kualitas produk ditunjukan dengan kadar air 4,84%, kadar abu 0,78%, kadar vitamin C 86,42 mg/100g dan aktivitas antioksidan 79,29%.

SARAN

Dari hasil optimasi tedapat dua kombinasi perlakuan lagi yang mendekati optimal yaitu kombinasi maltodekstrin 10%, sari jeruk nipis 32,07 %, sari mengkudu 76,93% serta perlakuan maltodekstrin 10%, sari jeruk nipis 30,88% dan sari mengkudu 79,07%. Untuk itu disarankan dilakukan lagi pengujian untuk kombinasi produk tersebut dibandingkan dengan kombinasi yang paling optimal.

DAFTAR PUSTAKA

Anggraeni dan L. Puspita. 2014. Pengaruh

Penambahan Maltodekstrin Pada Pengolahan Minuman Serbuk Sirsak Terhadap Aktivitas antioksidan. (Skripsi) Universitas Pendidikan Indonesia.

Bijanti R. 2008. Potensi Sari Buah Mengkudu (Morinda Citrifolia) Terhadap Kualitas Karkas, Kadar Vitamin C dan Kadar Malonedialdehide (MDA) dalam Darah Ayam Pedaging. Media

Kedokteran Hewan. Vol. 24, No. 1, Januari 2008

Enda, F.A. 2012. Pengaruh Pemberian Larutan Ekstrak Jeruk Nipis (citrus aurantifolia) Terhadap Pembentukan Plak Gigi [Karya Tulis Ilmiah]. Semarang. Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro

Fardiaz, S. 1993. Analisis Mikrobiologi Pangan Edisi Pertama. Cetakan Pertama. Raja Grafindo Persada: Jakarta.

Hariana, A. 2006. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya. Penebar Swadaya : Jakarta.

Husniati. 2009. Karakterisasi Sifat Fungsi Maltodekstrin Dari Pati Singkong. Jurnal Riset Industri Vol 3, No. 2 (2009).

Kusnandar, F., Nuri, A. Dan Dian, H. 2003. Analisa Pangan. Buku Materi Pokok Pangan 4411/ 3sks/Modul1-9. Universitas Terbuka.

Lailiyah, N. 2014. Pengaruh Jumlah Maltodekstrin dan Lama Pengeringan Terhadap Sifat Organoleptik Yoghurt Susu Kedelai Bubuk. e-journal boga, Volume 03, Nomor 1, edisi yudisium periode Februari tahun 2014, hal. 65-78

Maharani, D. 2009. Potensi Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia, S) untuk pencegahan dan pengolahan infeksi Bakteri Aeromonas Hydrophila Pada Ikan Lele Dumbo. [Skripsi]. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Teknologi Bogor. Bogor.

Pohan, H.G. dan N.T. Antara. 2001. Pengaruh penambahan madu dan asam sitrat terhadap karakteristik minuman fungsional dari sari buah mengkudu. Forum Komunikasi IHP.

Raharjo, A. R. 2016. Pengaruh Penambahan Maltodekstrin Terhadap Karakteristik Minuman Serbuk Instan Kayu Secang (Caesalpinia sappan, L.). [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian Unand. Padang.

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”190

Raflis, R. 2014. Pengaruh Perbedaan Jumlah Penambahan Maltodekstrin dalam Pembuatan Bubuk Ekstrak Jeruk Nipis Sebagai Flavour Enhancer. [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian Unand : Padang.

Siregar, A.H.S. 2009. Pengaruh Penambahan Maltodekstrin Terhadap Karak-teristik Minuman Serbuk Instan Daun Katuk (Saropus androgynus). [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian Unand. Padang.

Sofyan Lukman,H. Dan Arsyadi. 2009. Penggunaan Maltodekstrin dari Pati Beras (Oryza Sativa) Sebagai Bahan Pengikat Tablet Asetosal. Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi.

Suriawiria, unus. 2002. Mengkudu dan Jamur Asinan. Papas Sinar Sinanti : Jakarta.

Tresna,S.Y dan Hadi, W.S. 2015. pengaruh lama pengeringan dan konsentrasi maltodekstrin terhadap karakteristik fisik, kimia dan organoleptik minuman instan daun mengkudu (morinda). Universitas Brawijaya. Malang

Winarsi, H. 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas. Yogyakarta : Kanisius

Yulianti W., W. Murningsih dan V. D. Y. B. Ismadi. 2013. Pengaruh Penambahan Sari Jeruk Nipis (Citrus Aurantifolia) dalam Ransum Terhadap Profil Lemak Darah Itik Magelang Jantan. Animal Agriculture Journal, Vol. 2. No. 1, 2013, p 51 – 58