Ber 317 an - vika-kika-gadis

133
gadis kika vika BER-317-AN

Transcript of Ber 317 an - vika-kika-gadis

Page 1: Ber 317 an - vika-kika-gadis

gadis kika vika

BER-317-AN

Page 2: Ber 317 an - vika-kika-gadis

BER-317-AN

Oleh:

Gadis, Kika, Vika

Copyright © 2010 by (Gadis, Kika, Vika)

Editor:

Hagi Hagoromo

Disain Sampul & Tata Letak:

Edbert & Robert

Fotografer:

Carla Setja Atmadja

Diterbitkan melalui:

www.nulisbuku.com

2

Page 3: Ber 317 an - vika-kika-gadis

Terimakasih dari:

Kika, untuk: Ibu Sri Adiati a.k.a Mama, Pak Herry Setyobudi a.k.a Papa, Trixiequita Calyca Meediza, Ibu Mien Soetardjo, Ibu Kamilah Soetikno a.k.a Mbah Uti-

Mbah Utiku, untuk teman-teman terbaik sepanjang jalan.

Gadis, untuk: Rashjad, Kehok, Mama dan Ayah

Vika, untuk: Arie, Vinsa, Aska, Mama, Mama.

3

Page 4: Ber 317 an - vika-kika-gadis

untuk:

persahabatan, ketenaran dan perekonomian yang lebih baik

4

Page 5: Ber 317 an - vika-kika-gadis

Tentang Ber317anMelalui beberapa SMS dan satu telepon konfirmasi, kami – Gadis, Kika, dan Vika, sepakat berjumpa untuk sekadar saling meng-update diri masing-masing, pertengahan Juni 2009.

Ngobrol ngalor ngidul yang berujung pada sebuah gagasan untuk menulis bersama, karena sama-sama sadar posisi sebagai penulis amatir. Dalam hal ini, barangkali ‘gotong royong’ memang merupakan solusi paling tepat untuk merealisasikan niat.

Berbagi tugas, Gadis mencari inspirasi judul, menetapkan deadline dan mengompilasi cerita. Kika dan Vika berkewajiban menjadikan judul-judul yang diberikan Gadis menjadi cerita –angle bebas, Gadis tak membatasi, silakan berkreasi yang penting harus menyetorkannya tepat waktu.

Ber317an sendiri hanyalah sebuah frasa. Sebagai pribadi kami punya tujuan hidup masing-masing. Dalam project ini kami disatukan oleh tujuan membuat tulisan-tulisan ini benar-benar jadi sebuah buku; yang kemudian dibeli, dibaca, dan dinikmati pembaca sebagaimana kami menikmati proses ini.

Terimakasih setulusnya untuk sahabat-sahabat yang dengan tulus mengulurkan tangan: Hagi Hagoromo yang di tengah kesibukan super padatnya bersedia ‘mengeditori’ tulisan kami. Carla Setja Atmadja, untuk foto-foto indahnya atas object yang biasa-biasa saja. Edbert & Robert untuk desain cover dan lay out-nya yang seru. Mirza Wardana untuk pengantarnya yang SPJ [Singkat, Padat, Jelas].

Tujuan berikutnya, kami akan segera bicarakan lagi.

5

Page 6: Ber 317 an - vika-kika-gadis

gadis – kika – vika

PengantarDalam hidup, memang tidak ada yang sama. Semuanya dirupakan berbeda dari asalnya. Bahkan untuk saudara kembar pun, pribadinya bisa saja berbeda.

Ber317an memberikan gambaran itu. Bagaimana satu judul cerita bisa berkembang berbeda. Karena memang, dalam hidup, satu cerita bisa tampil dalam wajah berbeda, pada awalnya, prosesnya, dan tentu saja ending-nya.

Kolaborasi ber-tiga-satu-tujuan dari tiga penulisnya memang 'berbeda' dan bawa pesan: ide boleh beda, tapi bisa dong bersatu. Satu ide “persatuan” yg sepertinya sekarang [mulai] langka.

Kumpulan cerpen yang ditulis bareng oleh Mbak Gadis, Mbak Kika, dan Mbak Vika [nama disusun alphabetical order, bukan berdasarkan urutan usia *peace yow! *] ini, judulnya dibuat oleh Gadis Imaniar yang witty-outspoken dan ceritanya dikembangkan masing-masing oleh Vika Wisnu yang silently wild yet sharp dan Kika Dhersy Putri yang just wild.

Bahu-membahunya tiga perempuan ini mengingatkan saya pada kerjasama ala Charmed -serial trio penyihir bersaudari asal Amerika. Pembacanya seolah kesihir buat masuk ke cerita-cerita yang ada.

Dan sentuhan “perasaan” yang dituangkan lewat tulisan dalam angle-angle ceritanya, tertuang apik, romantik, dan kadang menggelitik, sekaligus haru di antara setting hati yang berkonflik. Semuanya ada di kumpulan cerpen Ber317an!

Mirza Wardana

6

Page 7: Ber 317 an - vika-kika-gadis

www.mirzawardana.com

7

Page 8: Ber 317 an - vika-kika-gadis

8

Page 9: Ber 317 an - vika-kika-gadis

Cerita #1 “Durian adalah buah favorit saya. Karena… enak! Seenak tidur

nyenyak tanpa kepikiran hutang yang harus dibayar . Kepiting, adalah juga makanan favorit saya. The best part of

eating kepiting is: ketika menemukan telurnya! Tapi saya nggak suka repotnya, makanya saya selalu mempercayakan urusan membuka cangkang kepiting kepada Mama. She’s the best.”

“Saya membayangkan Kika dan Vika akan membuat cerita yang metaforik tentang durian dan kepiting, bukan semata-mata

cerita tentang seorang gadis penjual durian atau abang penjual kepiting. Ketika membaca hasilnya, cerita Kika seperti yang

sudah saya bayangkan seperti apa arahnya. Cerita Vika, sama sekali nggak terlintas sebelumnya di benak saya.”

[Gadis, tentang “Durian dan Kepiting”]

9

Page 10: Ber 317 an - vika-kika-gadis

Durian dan Kepiting Kika Dhersy Putri

Killswitch Engage. Bir Bintang. Rokok Dji Sam Soe.

Suatu sore, sebuah kafe, dan kita pertama bertemu.

Terlalu bergaya muda untuk umurmu. Umurmu dan

umurku yang ternyata cuma berbeda beberapa bulan.

Kacamata. Aku selalu jatuh cinta dengan pria

berkacamata. Tapi biasanya mereka yang berdandan

rapi. Kemeja dan celana panjang dengan garis yang

tertib. Sepatu kerja dan dasi. Kamu entitas yang

berbeda. Pekerja kreatif, dan aku memakluminya.

Menyapa dengan mbak, dan aku memaafkanmu.

Mungkin kemeja dengan ujung bermanset, pencil skirt,

dan giwang mutiara melegalkan panggilan itu.

10

Page 11: Ber 317 an - vika-kika-gadis

Kamu memilih bir. Sementara aku capucino. “Pilihan

yang terlampau sore…”, kataku diam-diam dalam hati.

Kaos band. Muka-muka tengkorak. Terbaca : Killswitch

Engage. “Band apa lagi sih itu?", lagi-lagi dalam hati. Aku

tidak mau keliatan terlalu tua dan terlalu banyak

pertanyaan. Lalu kau mengelap bibir botol bir itu dengan

telunjuk dan jempolmu. "POP!" Dan aku mendelik. Suara

aneh, hasil memasukkan jempol ke bibir bir. "Butuh

metode tepat, dan tentunya ukuran jempol yang pas biar

bisa bunyi kaya tadi!", seolah-olah itu informasi paling

penting yang wajib disampaikan kepada calon klien.

Dan kamu menyalakan rokok pertamamu di pertemuan

pertama kita. Caramu menyalakan pemantiknya, dan

sudut sempurna kepalamu saat api menemui ujung

rokokmu : hatiku resmi tercuri.

Eva Arnaz. Warkop DKI. Robert Davis Chaniago. Satria

Bergitar.

11

Page 12: Ber 317 an - vika-kika-gadis

Tertawa. Tertawa. Tertawa berderai tak putus-putus.

Kamu pria dengan virus tawa yang menular. Kamu suka

film-film tak lazim. Begitu juga aku. Kamu tergila-gila

dengan Eva Arnaz. “Bulu keteknya terutama…

Fantastis!”, pengakuanmu dengan muka sungguh-

sungguh. Dan lagi-lagi aku menyambut dengan tawa

yang tak putus-putus. Seperti aku, ternyata kamu hafal

luar kepala scene-scene dan judul-judul film box office

Warkop DKI. Bahkan seri-seri awal saat Dono-Kasino-

Indro masih menggunakan nama alias dan dengan

Camelia Malik berperan jadi anak dosen yang sekaligus

bunga kampus. Lalu kamu membuka salah satu rahasia

hidupmu: kamu terobsesi dengan nama Robert Davis

Chaniago. Tokoh chef fiktif yang diperankan Dono. Nama

itu yang kamu jadikan password sekaligus nick name

untuk YM-mu. Satu guilty pleasure-mu kamu buka. "Aku

nggak pernah absen menonton Satria Bergitar dan semua

sekuel Berkelana! Aku ngefans berat sama Rhoma

Irama!” Itu menjawab jambang di wajahmu.

Abu-abu. 29 Februari. Ban bocor dan hujan.

12

Page 13: Ber 317 an - vika-kika-gadis

Hari itu, 29 Februari. Kamu dalam kemeja abu-abu dan

celana abu-abu gelap nyaris hitam. Abu-abu dan dirimu

ternyata sungguh berjodoh. Sungguh, kamu tampak

beberapa derajat lebih tampan. Kita berjanji bertemu

lagi. Bukan urusan pekerjaan tentu saja. Coffee shop

yang sama dengan pertemuan pertama kita. Bercakap-

cakap. Tak habis-habis, tak bosan-bosan. Dan aku

bertanya, pertanyaan yang sesudahnya aku sesali pernah

kutanyakan : "Are you in a relationship?" "Yes", katamu

pendek. “Tepat 90 hari dari sekarang aku nikah!” “O…”

pendek saja komentarku. Dan hatiku setawar sepucat

mentega. "Why good and attractive men were always

taken?" tanyaku dalam hati.

Hujan deras menggila malam itu. Saat kita memutuskan

pulang. Kamu mengantarkanku sampai mobil. Nasibku

sedang buruk rupanya. Banku bocor. Dan setelah 10

tahun mengemudi, aku tak pernah tahu bagaimana cara

menggunakan dongkrak. Aku menelfonmu dan minta

pertolongan. Kamu belum jauh dan dalam 5 menit sudah

sibuk bergulat dengan dongkrak dan ban serep di bagasi

13

Page 14: Ber 317 an - vika-kika-gadis

belakang. Aku menawarkan untuk memayungimu, kamu

menolak dan mendudukkanku di belakang kemudi.

"Kamu duduk di dalam aja ya? Ban serepmu juga bocor.

Aku cari tambal ban paling deket sini. Kunci pintu, jangan

dibuka sampai aku datang!"

Hatiku resmi tercuri kedua kalinya.

Mobil kita berjalan beriring. Aku menawarimu mampir ke

rumahku yang lebih dekat untuk baju kering dan kopi

hangat. Cuma ada baju adik lelakiku. Terlalu ketat untuk

badanmu, tapi kamu tak punya pilihan lain. Dan kita

bercakap-cakap lagi dengan ketiak yang tergigit lengan T-

Shirt. Jam 3 pagi kamu memutuskan pulang. Kita

menutup dini hari dengan ciuman, dan sebuah janji paling

absurd: berpacaran 90 hari hingga hari akad nikahmu.

Tattoo bintang 5 sudut. Analogi bajak laut.

Aku ingat. Itu Minggu malam. Hari ke 6 dari hari jadian

kita. Kamu dengan kemeja putih dan celana jeans.

Menjemputku untuk makan malam. A sushi date. Aku

14

Page 15: Ber 317 an - vika-kika-gadis

tak pernah bisa menolak dingin-lembut-basah-membelai

lidah dari potongan-potongan salmon berwarna orange

cerah. Kita belum pernah berselisih, apalagi soal

makanan. Apa yang kamu suka aku suka, kecuali 2 hal :

kepiting dan durian.

Belum lama aku duduk, dan mobil belum lagi berjalan,

kamu menggulung lengan kemejamu asal-asalan. Ada

tatoo baru, bintang 5 sudut dengan gradasi hitam-putih

dan selarik pita di bawahnya. Terbaca : kick deep. "Ini

inisial namamu." jelasmu pendek saja.

Hatiku resmi tercuri. Ketiga kalinya.

Hari-hari berlalu. Aku sibuk menghitung mundur. Ini

seperti kamu jatuh cinta dan sakit kanker stadium akhir

sekaligus. Waktunya tak banyak, dan itu sukses melipat

gandakan semua rasa rindu, semua rasa cinta, semua

nafsu dan keinginan 1000 kali lipat dari hubungan

normal. SMS-SMS cinta. Telfon-telfon rindu. Dan kita

15

Page 16: Ber 317 an - vika-kika-gadis

resmi mengadopsi kelinci dan kambing sebagai nama

panggilan untuk masing-masing.

Dan malam itu aku mengirimimu SMS. Pendek saja. AKU

INGIN DIPILIH. Dan kamu membalas dengan pertanyaan

“Kenapa?” di ujung telfonmu, dan aku tak berkata-kata,

memilih untuk menjawab dengan isak tertahan di ujung

telfonku. Kamu memilih diam, daripada mengumbar

kata-kata untuk menenangkan dan menghentikan

tangisku. Pelan dan tenang, kamu mulai bercerita

tentang analogi bajak lautmu.

Aku, kamu ibaratkan satu peti kecil. Ringan saja, tapi

barang yang paling berharga dan dicari seluruh orang di

dunia. Tapi, muatan kapalnya sudah penuh. Benda-

benda berharga yang dikumpulkan seumur karirnya

sebagai bajak laut. Peti kecil itu akan membuat kapalnya

karam. Cuma ada pilihan untuk membuang semua

muatan kapalnya untuk menaikkan peti kecil itu ke kapal.

Dan dia sungguh tidak bisa memilih peti kecil itu. Bukan,

16

Page 17: Ber 317 an - vika-kika-gadis

bukan karena kurang cinta, tapi semata-mata karena ada

terlalu banyak pihak yang harus disakiti hatinya untuk

keputusan itu.

Kepiting dan durian

Hari ini adalah hari ke 90 itu. Pukul 9 pagi, kamu akan

melafalkan janji sehidup-matimu dengan perempuan itu.

Aku telah melepasmu dengan 1 ciuman semalam. Pagi

ini, aku ingin membikin 1 perpisahan kecil denganmu.

Perpisahan pribadi yang sunyi sekaligus.

Undangan pernikahanmu di sudut meja. Masih tersegel

rapat. Aku tak ingin membukanya. Tak pernah ingin.

Aku dalam kaos Killswith Engage yang kau pakai di

pertemuan pertama kita juga di pertemuan terakhir kita

semalam. Aroma tubuhmu masing mengepung semua

serat kainnya.

17

Page 18: Ber 317 an - vika-kika-gadis

Dan aku telah menyiapkan perpisahan ini dengan

sempurna. Sup kepiting, kepiting asam-manis, sushi

dengan crab stick, kepiting rebus, kepiting soka goreng

tepung. Juga durian montong 1 bulatan utuh, dodol

duren, ketan durian, dan sus berfla durian pekat.

Biar aku makan semuanya. Habiskan sampai tandas.

Sendiri. Biar hidungku kembang-kempis menolak aroma

rapat durian. Biar air mataku mengucur deras, karena

sedih dan perasaan mual yang berusaha ditahan. Biar

tubuhku merah-merah menggatal beberapa jam lagi. Biar

bibirku bengkak sebulat bulan purnama sehabis ini. Biar

perutku mulas, dan aku terancam diare tak

berkesudahan, ditambah rasa panas tak habis-habis.

Biar. Biar saja.

Kepiting dan durian. Dua hal yang paling kamu suka di

dunia ini.

Kepiting dan durian. Dua hal yang paling aku benci di

dunia ini.

18

Page 19: Ber 317 an - vika-kika-gadis

Ternyata kita memang tak berjodoh. Tak akan pernah

berjodoh. ●

19

Page 20: Ber 317 an - vika-kika-gadis

Durian dan Kepiting Vika Wisnu

Dua laki-laki yang tampak sangat berbeda satu sama lain itu sebenarnya bersaudara. Seibu seayah. Yang perawakannya tinggi, besar, tegap, berkulit gelap, dan berkumis lebat itu si abang. Namanya lengkapnya Asrachien. Panggilannya sehari-hari: Gus Rokin. Kalau bicara suaranya menggelegar. Di seberangnya, yang berdiri membelakanginya, yang badannya kerempeng, klimis, dan terlihat malu-malu itu si adik. Di KTP namanya tertulis Abdurrahim, tapi lebih dikenal dengan nama Gus Rokim. Dia sangat murah senyum dan sekilas orang pasti akan mengira dia peranakan Tionghoa.

Di Kampung Dipangga, tempat mereka tinggal, sebut saja nama Gus Rokin dan Gus Rokim. Pasti semua orang tahu. Dan biasanya akan dengan senang hati menawarkan diri mengantarkan si tamu ke rumah mereka yang terletak di atas lahan luas, dekat pesantren di ujung dalam gang. Tamu-tamu Gus Rokin pada umumnya datang untuk minta bantuan jasa keamanan. Itu karena setelah keluar dari korps marinir empat tahun lalu, Gus Rokin mendirikan perusahaan penyedia tenaga sekuriti, satpam,

20

Page 21: Ber 317 an - vika-kika-gadis

sampai body guard. Koneksinya luas. Mulai dari pengadaan satpam real estate, pengamanan event musik, sampai pengawal pribadi pejabat setempat. Sedangkan yang mencari Gus Rokim umumnya bermasalah dengan kesehatan. Mulai dari kanker, patah tulang, sampai stres berat. Kabarnya banyak pasiennya yang datang dari luar Jawa, bahkan luar negeri, demi mengupayakan kesembuhan.

Sebenarnya, bukan hanya ciri fisik yang berbeda. Semua orang di kampung sudah mahfum, Gus Rokin dan Gus Rokim juga berbeda partai. Gus Rokin kader Partai Menjangan, sedangkan Gus Rokim sekretaris pimpinan cabang Partai Harapan. Padahal, mereka sama-sama darah daging, cucu buyut dari Kyai Yusuf –pendiri kampung ini– yang menurut sejarahnya telah berwasiat melarang semua keturunannya untuk menjadi pangreh praja, apalagi ikut-ikutan politik. Mendiang Kyai Yusuf sebenarnya dikenal sebagai tokoh yang berpandangan moderat. Namun di akhir hayatnya, beliau berpesan agar trahnya menjaga tradisi untuk berjuang melalui jalan kebudayaan, pendidikan, perdagangan, kesehatan, atau apapun. Tapi dilarang keras berambisi jadi penguasa.

Petuah ini sudah berjalan tiga generasi. Bu Nyai, cucu kandung Kyai Yusuf, ibu Gus Rokin dan Gus Rokim adalah seorang guru madrasah aliyah. Bertemu dan menikah dengan Haji Sabar ar-Rahman ayah mereka –seorang penulis yang juga guru ilmu filsafat di Pondok Pesantren yang didirikan Kyai Yusuf. Paman, bibi, dan kemenakan-kemenakan mereka pun selain aktif mengajar di Pondok, sebagai budayawan, kebanyakan juga berbisnis. Ada yang

21

Page 22: Ber 317 an - vika-kika-gadis

punya toko kain, jadi apoteker, mendirikan usaha catering, pokoknya tidak ada yang masuk partai. Padahal tawaran untuk berpolitik tidaklah sedikit, mengingat Kyai Yusuf dan keluarganya sangat dihormati dan cukup berpengaruh di kalangan santri, alumni pesantren, dan warga sekitar.

Sebelas tahun lalu, ketika Gus Rokin memutuskan masuk akademi militer, sempat diadakan rapat keluarga besar. Pada masa itu pemerintahan dan militer sangat intim. Kepala pemerintahan daerah, bahkan kepala perkumpulan olahraga pun diambil dari personil tentara. Menurut rapat keluarga, yang demikian itu banyak mudharat-nya. Kakek-kakek, paman, dan terutama ayahnya, khawatir Gus Rokin tidak bisa menjaga wasiat. Namun akhirnya toh, Haji Sabar mengijinkan anak sulungnya yang benar-benar menunjukkan kesungguhannya menjadi prajurit. Tentu saja dengan beberapa persyaratan, termasuk berusaha sekuat tenaga agar tidak terpersuasi menjadi backing pejabat, seandainya suatu hari karirnya menanjak tinggi. Maka ketika perlahan tapi pasti Gus Rokin terus naik pangkat dan mulai sering mendapat bingkisan dari orang-orang tak dikenal dalam jumlah tak masuk akal, Haji Sabar memintanya berpikir kembali. Gus Rokin pun mengundurkan diri.

Akan halnya Gus Rokim, sejak dulu tidak banyak cakap. Tidak terlalu suka keramaian. Di usia sekolah, dia sudah mulai menunjukkan minatnya pada aktivitas-aktivitas sosial dan kesehatan. Gus Rokim giat di Pramuka dan Palang Merah, sering menjadi sukarelawan ke daerah-

22

Page 23: Ber 317 an - vika-kika-gadis

daerah banjir dan longsor di seluruh pelosok Jawa. Tidak pernah terdengar dia bergabung di organisasi kepemudaan atau lembaga-lembaga yang berafiliasi dengan pandangan politik tertentu. Gus Rokim sebenarnya bercita-cita jadi dokter. Namun entah mengapa dia tidak pernah mendaftar ke Fakutas Kedokteran. Mungkin karena kemudian ia lebih tertarik mendalami ilmu akupunktur. Gus Rokim bahkan pernah enam bulan berguru di Cina belajar tentang pengobatan herbal dan tusuk jarum. Sepulangnya dari sana ia membuka klinik pengobatan alternatif.

Kalau ada situasi yang sama di antara keduanya kini adalah: mereka sama-sama harus menghadapi tentangan keluarga besar karena tiba-tiba memutuskan untuk terjun ke politik praktis. Ini berarti melanggar amanah Kyai Yusuf. Sebab Gus Rokin dan Gus Rokim sama-sama mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Meski begitu, baik Gus Rokin maupun Gus Rokim pantang mundur. Walaupun pilihan partai mereka berbeda, tapi keduanya punya motivasi sama: dengan kekuasaan yang dimiliki nantinya mereka dapat mengupayakan kebaikan dalam skala yang lebih besar, maka lebih bermanfaatlah hidup keduanya. Abang dan adik itu juga meyakinkan seluruh anggota keluarga besar bahwa apabila Tuhan tidak merestui pilihan mereka, Dia pasti punya cara sendiri untuk menggagalkan rencana ini. Bukankah tidak ada yang sulit bagi Sang Maha kalau memang Ia menghendaki? “Apakah nantinya saya ataupun Rokim gagal atau sebaliknya berhasil dalam kiprah kami di bidang politik ini, semuanya semata kehendak Ilahi,”

23

Page 24: Ber 317 an - vika-kika-gadis

begitu Gus Rokin berargumentasi. Keluarga besar pun tidak mendebat lagi.

Konsekuensinya, enam bulan terakhir ini Gus Rokim tidak praktek. Gus Rokin pun menyerahkan segala urusan bisnis kepada Mat Baidowi, tangan kanannya yang juga masih sepupunya. Masing-masing direpotkan dengan urusan konsolidasi dan rapat-rapat kepartaian. Untungnya, istri dan anak-anak mereka tidak serta merta turut dijauhi keluarga hanya karena mendukung para suami dan ayahnya menjadi politisi. Yang tak terduga sekaligus membesarkan hati adalah, di luar sana, dukungan bagi kakak beradik ini sama-sama signifikan. Di hari pencontrengan, pemilih berasal tidak hanya dari warga sekitar, tapi juga hasil getok tular tentang kredibilitas dan pelayanan keduanya kepada saudara-saudara dan kerabat pasien, kolega, klien lama, klien baru, teman-teman di milis, dan fans mereka di beberapa situs jejaring pertemanan termasuk Facebook. Para petinggi partai pun berkomentar baik tentang pribadi mereka. Tak heran ketika penghitungan suara dilakukan, bahkan sampai dua kali diulang, nama mereka tetap sah sebagai calon jadi. Tak ada rekayasa.

Minggu ini adalah minggu tersibuk sehubungan dengan kampanye presiden yang kurang beberapa hari lagi. Entah kebetulan atau memang disengaja, dalam agenda kampanyenya, Calon Presiden dari Partai Menjangan dan Partai Harapan sama-sama dijadwalkan mengunjungi Pondok Pesantren Kyai Yusuf di Kampung Dipangga yang dikenal modern, gudangnya cendekiawan dan tokoh budaya bereputasi nasional. Calon Presiden Partai

24

Page 25: Ber 317 an - vika-kika-gadis

Menjangan akan meninjau pondok dan berdiskusi dengan para guru dan kyai, sedangkan Calon Presiden Partai Harapan direncanakan meresmikan Laboratorium Obat Herbal di lingkungan yang sama. Jadwalnya sama: hari Rabu pagi, namun jamnya belum bisa dikonfirmasi.

Tim Sukses Partai Menjangan tentu saja mempersiapkan cara khusus untuk menyambut rombongan Calon Presiden, yaitu dengan pesta durian. Sebab konon, sang Capres adalah penggemar berat durian, terutama jenis dari wilayah ini. Kebetulan bulan-bulan ini durian sedang musim. Tentu saja seluruh pedagang durian yang dikerahkan dari seluruh pelosok kota, tidak hanya dari Kampung Dipangga saja, serasa kejatuhan durian. Dagangan mereka dibeli dengan harga lebih mahal. Anak buah Gus Rokin yang rata-rata berbadan tegap mengarahkan langsung bagaimana durian-durian itu harus ditata. Bahkan siswa siswi madrasah diniyah juga sudah dilatih menarikan tarian penyambutan dengan kostum durian.

Di sisi lain, penyambutan bagi Calon Presiden dari Partai Harapan tak kalah meriah. Sejak subuh mereka sudah siap dengan berpanci-panci gulai kepiting. Pendekatan hidangan istimewa ini digunakan Gus Rokim karena dia tahu betul bahwa Capresnya penggila gulai kepiting. Walaupun dikenal sebagai ahli herbal dan beberapa pihak masih meragukan halal-haramnya kepiting, Gus Rokim maju terus. Katanya sudah ada fatwa Majelis Ulama bahwa makan kepiting tidak apa-apa sejauh tidak menimbulkan bahaya bagi yang mengonsumsinya.

25

Page 26: Ber 317 an - vika-kika-gadis

Demikianlah. Di hari Rabu bersejarah itu, udara di atas Kampung Dipangga dipenuhi persilangan aroma durian dan gulai kepiting. Koran-koran lokal memberitakan rencana acara hari ini. Radio-radio melaporkan perkiraan rute yang akan dilewati Calon Presiden dan jalur-jalur yang disterilkan, termasuk akses jalan ke Pondok Pesantren Kyai Yusuf. Komentator dan para pengamat membuat asumsi bahwa momen ini bisa jadi akan mengarah ke langkah rekonsiliasi, setelah kedua Capres dari dua partai yang berseberangan itu saling serang dan menjatuhkan dalam kesempatan debat publik seminggu sebelumnya. Dalam suasana yang informal, dengan agenda yang dirancang mengedepankan acara-acara kultural, diharapkan aura kampanye kali ini akan sangat berbeda. Di lokasi, terlihat Gus Rokin dan Gus Rokim seolah tak henti-henti menelepon dan menerima telepon. Sementara anak buah mereka tak kalah sibuk dengan handy talky, berkoordinasi.

Para undangan dan warga setempat sudah berkumpul sejak pukul tujuh. Berita yang beredar, nanti akan ada kejutan dari rombongan Capres-Capres itu. Mungkin pembagian sembako atau uang, tapi tidak boleh dipublikasikan. Beritakan ke tetangga silakan, beritahu ke wartawan jangan. Ibu-ibu dan anak-anak berdesakan. Ada yang membawa payung, bunga kenang-kenangan, dan ada pula yang sedia kotak bekal kosong untuk menampung jatah makanan. Namun, sampai pukul sembilan lebih empatpuluh menit, belum ada tanda-tanda rombongan datang. Informasi terakhir, capres Partai Menjangan sudah meninggalkan ibukota negara.

26

Page 27: Ber 317 an - vika-kika-gadis

Sedangkan capres Partai Harapan dijadwalkan langsung terbang dari perbatasan negeri jiran.

Pukul sembilan lebih empat puluh delapan menit, diinformasikan Capres Partai Harapan sudah berada di bandara. Dan sebagai pemimpin rakyat, beliau akan menumpang bis umum berbaur dengan masyarakat lainnya. Pukul sembilan lebih lima puluh satu menit, ada laporan pesawat yang ditumpangi capres Partai Menjangan gagal take off sehingga harus ganti pesawat lain. Hadirin mulai resah. Tepat pukul sepuluh, Gus Rokim melalui pengeras suara memberitahukan ia baru saja ditelepon Capres Partai Harapan, minta agar rakyat bersabar menunggunya sebentar. Pukul sepuluh lebih enam belas menit, Gus Rokin mewakili Partai Menjangan menaiki mimbar di panggung lainnya dan menghimbau supaya semuanya tenang, katanya, “Capres kita pasti datang!”

Tahu-tahu adzan Zhuhur sudah berkumandang. Kedua Capres belum tampak pula batang hidungnya. Gus Rokin dan Gus Rokim masih di posisinya sejak semula, di barisan terdepan menghadap panggung partai masing-masing. Tiba-tiba, terdengar suara dari arah masjid Pesantren, suara parau yang sangat mereka kenal, suara Haji Sabar, “Semua… ayooo sholaaat…! Calon Presiden bisa datang, bisa saja tak datang. Semua atas seijin Allah. Datang atau tidak datang, yang pasti waktu sholat sudah datang. Ayo segera dirikaaan…” Suara lantang itu seperti menyihir semua hadirin, satu persatu mereka meninggalkan tempat menuju tempat wudhu terdekat. Antri dan bergiliran. Lalu tanpa dikomando lagi berdiri merapat.

27

Page 28: Ber 317 an - vika-kika-gadis

Laki-laki di barisan laki-laki, perempuan di shaf perempuan. Semua. Tak satu pun tersisa. Sholat.

Hampir genap tiga rakaat, sirene meraung-raung mendekat. Capres Partai Menjangan dan Capres Partai Harapan datang bersamaan. Pasukan pengaman Calon Presiden berlarian, memastikan kondisi aman. Memang aman. Lokasi acara sepi, tidak ada para penari, tidak ada musik sambutan, tidak juga kader partai yang harusnya siaga di depan. Wajah Capres Partai Menjangan seketika merah padam merasa dipermalukan. Capres Partai Harapan kembali ke mercy tanpa ekspresi, rupanya sejak dari bandara dia memang tidak naik bis Damri. Kabar tadi itu cuma aksi, untuk publikasi. Akhirnya, tanpa menunggu jamaah keluar, tanpa sepatah kata, rombongan kedua Capres itu kembali ke ibukota. Kunjungan, tatap muka, dan peresmian, semua, batal!

Gus Rokin dan Gus Rokim kalang kabut berusaha mengejar, anak buah masing-masing dengan sigap menghubungi semua nomor telepon genggam para ajudan, lalu melarikan kendaraan secepat kilat agar para Capres dapat segera menerima penjelasan, bahwa yang baru saja terjadi, semata-mata karena miskomunikasi dan miskoordinasi. Dari kejauhan, di atas mihrab, Haji Sabar melihat kedua puteranya bergegas-gegas, meninggalkan sholat sunnah ba’diyah demi memburu Capres-Capres mereka, bahkan tanpa mengucap salam kepadanya. Haji Sabar mendekat ke microphone sambil bersiap turun. Suara paraunya terdengar lagi, kali ini dalam intonasi yang terpatah-patah seperti menahan geli, “Semuaaa… ayo makaaan! Silakan dinikmati dan disyukuri, hari ini kita

28

Page 29: Ber 317 an - vika-kika-gadis

pesta duriaaan… dan makan gulai kepiting sepuasnyaaa... Ayooo… mariii...” ●

29

Page 30: Ber 317 an - vika-kika-gadis

Cerita #2Beruntung saya pny mama spt mama saya. Nggak pernah minta

nilai sekian di rapot, nggak pernah memaksa jurusan apa yg dipilih pd saat SMA atau kuliah.

Mama percaya setiap anaknya menentukan pilihan yg plg baik & cocok utk diri mereka sendiri, termasuk urusan pasangan

hidup.

"Anak2 mama punya karakter yg berbeda. Berbeda itu 'lucu'. Jd silakan jd diri sendiri & pilih yg mnrt kamu baik & pas (buat

kamu). Yang penting tanggung jawab atas semua pilihan" gitu katanya.

(Gadis, tentang “Gadis Bukan Dia”)

30

Page 31: Ber 317 an - vika-kika-gadis

Gadis Bukan Dia Kika Dhersy Putri

pernahkah kau sungguh-sungguh melihat wajahmu sendiri?

dengan kedua matamu sendiri?

atau karena putus asa [atau merasa sungguh tak punya pilihan lain]

akhirnya pasrah percaya pada cermin?

Seorang gadis cilik sungguh tekun dia di depan teve. Kira-kira lima tahun usianya. Berkuncir dua dengan garis rambut yang acak-acakan. Tampaknya ibunya tak pernah punya cukup waktu [atau mungkin memang tak pernah cukup punya perhatian?] untuk membuat kuncir dua dengan garis rambut yang rapi-simetris. Bedaknya tak rata, cemang-cemong. Dia memang biasa mandi sendiri sejak tiga tahun. Sejak ibunya mulai pontang-panting cari kerja serabutan, jadi hostes kata orang-orang. Hostes

31

Page 32: Ber 317 an - vika-kika-gadis

‘kan nyonya rumah, tapi entah jadi nyonya rumah siapa. Bapaknya minggat entah ke mana. Jangan tanya babysitter atau pembantu. Terlalu mewah untuk hidupnya. Yang ada cuma tetangga yang tempo-tempo menjenguk. Atau cukup istimewa kalau ada yang bersedia dititipi dari sarapan sampai sarapan esok paginya.

Tapi siapa yang mau direpoti anak titipan orang, sementara anak sendiri saja kurang terurus? Lalu, ditinggal di rumah sendiri lebih sering terjadi. Cuma dia dan video VHS. Satu-satunya barang berharga peninggalan bapaknya.

Putri Salju. Cuma itu yang ditontonnya, terus dan terus, setiap hari. Itu dan itu-itu saja. Sampai goyang gambarnya, dan ibunya marah-marah. Entah karena takut video peninggalan berharga bapaknya rusak, atau matanya ikut bosan dengan adegan yang itu-itu saja. Ah, memang koleksi pilihannya pun tak banyak. Cuma ada Bambi, Mickey Mouse-Minnie Mouse-Goofy-Donald Duck, dan entah seri ke berapa dari Google V. Itupun punya persewaan yang terlampau terlambat dikembalikan ibunya.

Semuda lima tahun, Citra Maya, nama gadis itu, sudah punya idolanya sendiri. Bukan! Bukan Google Pink! Bukan juga Putri Salju! Dia suka Ibu Tiri. Dia suka warna hitam gaunnya. Dia suka merah darah bibirnya. Dan lebih suka lagi cerminnya. Ibu Tiri seperti ibu. Ibu yang selalu

32

Page 33: Ber 317 an - vika-kika-gadis

bergaun hitam. Punggunggnya suka terbuka. Lengannya juga. Bibir ibu juga selalu merah. Dan ibunya paling suka berdandan. Berlama-lama di depan cermin. Lebih lama dari sekedar menanyainya “Sudah makan belum?” atau “Hari ini kamu main apa?” atau “Ada teman yang nakal sama kamu nggak?”

Bercermin. Mengaca. Itu hobi barunya. Mematut-matut diri. Mulai menyisir sendiri rambutnya. Mulai mencuri pakai sepatu-sepatu hak tinggi ibunya, bibir merahnya, juga baju-baju seksinya.

“Aku memang cantik kayak ibu! Atau aku malah lebih cantik?”

Dan gadis kecil itu mulai merapal pertanyaan si Ibu Tiri dengan bahasanya sendiri: “Cermin, cermin di dinding. Siapa sih yang paling cantik di rumah ini?” Senyumnya mengembang. “Aku yang paling cantik?” Dan dia mulai berbicara sendiri. Cermin menjadi teman khayalnya. Seperti cermin si Ibu Tiri. Cermin yang bisa bicara.

***

Mari kita lihat Citra Maya sekarang. Umur 17 tahun. Gadis centil yang paling rajin ikut kegiatan eskul yang membuka kesempatan untuk tampil di depan umum. Teater ikut

33

Page 34: Ber 317 an - vika-kika-gadis

sejak SD, walau selalu dapat peran figuran. Eskul band? Tentu saja. Sayang niat besarnya jadi vokalis tidak berbanding lurus dengan kualitas suaranya. Dia lebih sering dijadikan backing vocal, itupun dengan penampilan seminimal mungkin. Suaranya jauh dari merdu. Dia juga ikut dalam barisan gadis-gadis ber-rok super pendek dengan setelan muka super ceria sejak SMP. Bersorak paling keras di pinggir lapangan untuk para atlet basket idola. Dia selalu jadi fondasi untuk pijakan aneka formasi teman-teman cheers-nya.

Kalau ukuran populer cuma dikenal anak satu sekolah, tentu dia lulus dengan mulus! Anak-anak satu sekolah mengenalnya dengan Maya Centil atau Maya Dandan. Gadis dengan polesan kosmetik maksimal dan selalu lekat dengan cermin kecil di tangan. Semua cermin, atau benda yang bisa difungsikan sebagai cermin adalah karibnya: spion mobil, cermin toilet, sampai dinding laboratorium bahasa yang diberi lapisan anti UV tebal. Mematut diri. Menambah bedak. Memerahkan pipi. Menambah lip gloss. Dia gadis paling cantik!

Walau cantik, seumur hidup, Maya belum pernah punya pacar. Banyak sih, teman pria yang rajin ke rumah, dan selalu semangat untuk ikut kerja kelompok di rumahnya. Tapi tidak pernah ada yang menyatakan suka, nembak, atau apapun istilahnya. Brondong-brondong itu lebih tertarik pada ibunya! Ibu yang tetap singset dan cantik dengan bibir merahnya, kini sudah tiga kali kawin cerai. Ibu yang selalu punya daya tarik, keramahan alami untuk

34

Page 35: Ber 317 an - vika-kika-gadis

jenis kelamin laki-laki. Ditambah bajunya tetap seperti dulu. Selalu terbuka, seperti hatinya untuk banyak lelaki.

Maya lelah. Maya bosan. Maya benci. Semua selalu tentang ibunya. Ibunya awet muda. Ibunya cantik. Ibunya seksi. Malah dari bisik-bisik geng cowok-cowok sekelasnya ibunya adalah bahan fantasi nomer satu!

Indra, cowok paling jago Matematika yang diincarnya dari kelas satu. Selalu rangking satu, selalu ketua kelas, ketua OSIS, kapten basket. Sejak tugas Biologi terakhir, Indra rajin telefon dan SMS. Tanya ini dan itu. Mengajak nongkrong dengan cowok-cowok idola, yang paling keren, paling ganteng. Indra lebih rajin lagi untuk selalu punya alasan mampir ke rumah: pinjam catatan, meminjami tugas, belajar bersama.

Tapi dia benci kunjungan Indra kalau ibunya sedang di rumah. Namun Indra tampaknya paling tahu mengepaskan kunjungan dengan jadwal ibunya di rumah. Entah kenapa, ibunya selalu terlalu ramah pada Indra.

Indra berjanji mengantar tugas Lab Fisika hari ini. Tapi dia tak bisa melarikan diri dari eskul-eskulnya. Saat dia datang, Indra sudah ada di ruang tamu. Adegan tak pantas. Ibunya dibalut rok mini super tinggi, sementara Indra di sisi lain seperti anak anjing baru belajar birahi. Tangannya mengelus kurang ajar paha ibunya dan mulutnya lekat di tank top perempuan itu.

35

Page 36: Ber 317 an - vika-kika-gadis

Keterlaluan! Ibunya wanita jalang! Indra hidung belang!

Maya menghambur ke kamar dengan air mata terburai sepanjang jalan! “Cermiiiiiiin! Cermiiiiin! Siapa yang tercantik di rumah ini? Aku atau ibuku?” Tapi cermin diam saja. Berkali-kali. Berkali-kali dia bertanya. Cermin diam saja. Cuma ada mukanya cantiknya. Putih mulus. Matanya lentik. Hidungnya mancung berair tangis.

BRAK! PRAAAAAAAANG!

Tangannya berdarah. Dan ada wajah lain di cermin. Bukan wajah yang akrab. Wajah yang tak pernah dikenalnya.

Wajah yang asing.

Wajah yang sama sekali tidak cantik. Tidak putih. Tidak mulus. Tidak lentik. Tidak mancung.

Ternyata cermin telah berdusta. ●

36

Page 37: Ber 317 an - vika-kika-gadis

Gadis Bukan Dia

Vika Wisnu

“Kau akan jadi suamiku,” Nawang berkata ringan. Matanya tak berpindah dari lembaran fillet ayam di tangannya, seolah dia sedang mengajariku cara –step by step- membuat sendiri Chicken Cordon Bleu. Kutunggu dia melanjutkan kalimatnya sambil meneruskan membolak-balik lembar-lembar suratkabar kemarin, satu-satunya bacaan yang ada. Kulihat sekilas wajah Nawang. Ekspresinya serius, tidak jahil seperti biasanya. Tiba-tiba, aku penasaran…

“Lalu di malam pertama…” lanjutnya dengan nada rendah dan terdengar hati-hati, “aku akan menari telanjang di depanmu.” Suaranya tercekat. Kututup koran. Nawang sedang setengah menengadah, memejamkan matanya, membayangkan sesuatu, “Tari Kecak!” serunya cepat, dengan senyum dan mata telah terbuka lebar, seakan itu adalah ide terhebat di dunia. Kutinggalkan dia kegelian

37

Page 38: Ber 317 an - vika-kika-gadis

sendiri, tak kugubris panggilannya memintaku untuk mengguntingkan lembaran aluminium foil sebagai pembungkus bahan masakannya. Nawang memotongnya sendiri sambil terus tertawa geli. Kunyalakan teve dan mengeraskan volumenya. Nonton sinetron, acara yang paling Nawang tidak suka.

Kami berteman, bukan pacaran. Nawang sekarang memang sedang tidak punya pacar dan aku juga belum menemukan gadis yang pas. Tapi kami berteman, bukan pacaran. Nawang bukan tipeku dan pacar-pacar Nawang tidak ada yang setipe denganku. Tiga mantan pacarku adalah gadis-gadis yang feminin, berambut panjang, dan bertubuh langsing. Ketiganya berakhir bukan karena aku berkhianat atau mereka selingkuh. Aku hanya merasa tak siap ketika mereka mengajakku membawa hubungan kami ke pelaminan. Aku merasa belum cukup modal, baik materi maupun mental. Aku merasa belum bisa menjanjikan sebuah kehidupan yang layak bagi mantan-mantan calon istriku itu. Nawang sering meledekku. Alasan bodoh, katanya. Nawang yang tomboy, yang rambutnya tak pernah melewati bahu, yang tidak terlalu cantik, tapi selalu tampak sumringah. Tidak gemuk juga sebenarnya, tapi tidak langsing. Bahunya lebar. Bicaranya blak-blakan, tidak malu-malu, dan tidak pernah tersipu-sipu.

Ini tahun ketiga aku mengenalnya, sejak dia belum lulus kuliah, dan melamar di stasiun radio tempatku bekerja. Aku jadi mentornya selama tiga bulan masa training.

38

Page 39: Ber 317 an - vika-kika-gadis

Nawang dan empat dari sebelas teman seangkatannya paling sering bikin ulah, tapi kekonyolan dan keceriaan mereka membuat studio kami lebih meriah. Walau paling muda di antara semua, dia paling menonjol bakat mandornya. Suka mengatur dan sedikit bossy. Meskipun usilnya setengah mati, siapapun akan sulit untuk marah kepadanya. Karena Nawang selalu punya cara berkelit dengan jenaka dan mencairkan suasana.

Pacar Nawang yang terakhir seorang pilot. Mereka berkenalan lewat Yahoo Messenger, dilanjutkan kopi darat di sebuah kedai di bandara, lalu mereka menjalin hubungan jarak jauh. Paket-paket dari sang kekasih selalu dialamatkan ke kantor dan Nawang selalu secara demonstratif membukanya di ruang meeting. Memperlihatkan kepada semua orang: parfum, syal bulu, buku-buku cetakan pertama Harry Potter, dan aneka hadiah lain yang diterimanya nyaris setiap bulan. Dua minggu lalu mereka putus. Pilot gudang hadiah itu berterus terang bahwa dia sudah beristri dan istrinya mencurigai tagihan kartu kreditnya yang terus membengkak. Herannya, Nawang tertawa-tawa saja ketika istri pilot pujaannya itu melabraknya di telepon.

“Kau tidak ingin beristri?” tanyanya sambil menyodorkan sepiring ayam goreng berisi keju itu kepadaku. Rasanya enak, Nawang memang punya sedikit keahlian memasak. Di tempat kosnya yang baru ini, ada pantry kecil, semacam yang biasa ada di apartemen berukuran studio, tapi tanpa kulkas dan oven pemanggang. Itupun sudah

39

Page 40: Ber 317 an - vika-kika-gadis

membuatnya sangat bangga. Dua minggu terakhir ini Nawang bereksperimen dengan resep-resep yang dia dapat dari internet. Aku diteleponnya tiap hari untuk mampir mencicipi hasil karyanya. Dan inilah yang terjadi, sambil memasak, Nawang curhat. Aku tidak bisa melarikan diri, karena berangkat dari rumah dalam keadaan perut kosong dan berharap disambut dengan hidangan lezat. Seringnya, Nawang baru berencana memasak itu atau ini, menungguku untuk menemaninya belanja di supermarket di lantai dasar gedung, lalu memintaku menunggunya mengolah bahan-bahan itu hingga jadi layak makan.

“Dim?” tanyanya lagi, “Kau tidak ingin kawin? Umurmu kan sudah tiga puluh dua?” Sejurus aku merasakan getaran kesungguhan dalam suara Nawang. Tapi aku tak ingin terjebak lagi.

“Kenapa, sih?” kupasang tampang sebal.

“Aku serius. Aku ingin tahu, apakah betul mitos yang menyebutkan bahwa pada dasarnya pria takut berkomitmen?” Matanya tak menyorotkan keisengan.

“Hmmm…” selembar tissue kucabut dari kotaknya, kuusapkan ke mulutku yang belepotan mayonnaise. “Masalahnya ‘kan sudah jelas…” kataku, “Dia sudah beristri, bukan takut berkomitmen.”

40

Page 41: Ber 317 an - vika-kika-gadis

“Ini bukan soal Alex,” Nawang menyebut nama mantan kekasih pilotnya dengan mata menutup, “Ini tentang kamu.”

“Kenapa kamu tiba-tiba ingin tahu soal aku?” sergahku.

“Karena kamu…” Nawang terhenti. Diam. Sekejap kemudian ia mengemasi piringku dan piringnya, lalu beranjak dari kursi, “Lupakan. Sori.”

Hari itu aku pulang dari tempat kosnya tanpa pamit. Nawang meninggalkanku sendirian di sofa. Dia tidur. Aku tak tega membangunkannya. Kurasa dia masih sangat patah hati.

Seminggu kemudian, Nawang mengajukan surat pengunduran diri. Katanya, ia mendapat panggilan untuk mengikuti tes sebagai koresponden jaringan televisi National Geographic. Kuucapkan selamat, mengharapkannya lolos tes. Karena setahuku, salah satu cita-citanya adalah traveling keliling dunia sebelum umur 30. Sekarang umurnya 23. Kupikir kesempatan itu memang harus diambilnya. Bulan depan Nawang akan berangkat ke Jakarta untuk tes pertama. Kalau sukses, dia harus mengikuti training di Singapura selama dua bulan. Tiba-tiba aku merasa sedih membayangkan akan segera kehilangan tingkah-tingkah ajaibnya.

41

Page 42: Ber 317 an - vika-kika-gadis

Tadi pagi di mejaku, Nawang meninggalkan sesuatu. Sebuah gantungan kunci boneka Troll berambut ungu. Katanya, sewaktu-waktu aku rindu padanya, pandangi saja boneka itu dan panggil namanya tiga kali, niscaya hatiku akan merasa damai terkenang wajahnya. Kujulingkan mataku, memutus aktingnya yang berlagak sendu dan mata yang dibuatnya berkaca-kaca. Nawang terbahak, meninju lenganku kuat-kuat, “Dasar tua bangka!” hahaha…

***

Hari cepat berlalu, September akan segera berakhir. Dua bulan yang sepi. Di awal-awal keberangkatannya Nawang memang masih sering kali terlihat online dan masih setiap kali mengundangku chatting. Kuceritakan promosiku sebagai Program Director seminggu setelah ia pergi. Nawang bilang aku cocok untuk jabatan itu karena aku galak dan sok tahu. Dia menceritakan tentang pengalaman serunya sebagai trainee bersama calon-calon dari kota lain. Juga perjalanan pertamanya ke hutan hujan di Kalimantan. Aku membaca pesan-pesannya seolah dia berada di depanku, dengan ekspresi konyolnya yang berbeda-beda setiap topik percakapan. Emoticon-emoticon yang dikirimnya membuatku membayangkan dia sedang berbicara dengan intonasi-intonasi tertentu, khasnya, yang dirindukan penggemarnya, yang ternyata kurindukan juga. Kurasa dia kini telah disibukkan pekerjaan barunya.

42

Page 43: Ber 317 an - vika-kika-gadis

“Dim…” kepala botak Hasriel, produser Morning Show tiba-tiba muncul di balik pintu. “Sudah pernah lihat ini belum?” disodorkannya secarik kertas yang sudah kusut, sepertinya bekas diremas-remas. Kubaca sekilas, sebuah puisi setengah halaman, diketik dengan font italic Book Antiqua 12.

kepadamulah surat-surat tanpa alamat itu tertuju

suatu hari huruf-hurufnya akan berserakan di pekarangan jiwamu

suku demi suku katanya akan tersusun satu per satu

mungkin jauh setelah angin tak lagi butuh berhembus

karena daun-daun sukarela menjatuhkan diri sendiri

putik dan sari telah menemukan cara mandiri untuk bertemu dan berjanji

dan jubah panjangmu terbang tersingkap hanya sebab satu tarikan nafas

bukan soal terlambat, waktu kita panjang

kau tak perlu terburu tahu, cintaku

dari Nawang untuk Dimitri.

Mendadak dadaku sesak. Di bawahnya tertulis alamat blog Nawang yang selama ini tak pernah dia pamerkan. Klik demi klik mengantarkanku membaca virtual diary-nya yang dipenuhi namaku, rincian hari-hari yang dilaluinya bersamaku, beberapa puisi dan fotonya berdua denganku. Tiba-tiba aku merasa amat sangat merindukannya. Mungkin rindu yang lebih dari yang

43

Page 44: Ber 317 an - vika-kika-gadis

pernah kuharapkan. Selama ini Nawang telah mengisi hatiku tanpa kusadar. Dia menghiasi hari-hariku tanpa kupikirkan betapa sesungguhnya ia berusaha keras untuk membuatku ceria dan tertawa. Aku mengabaikannya hanya karena ia bukan tipeku. Aku membiarkannya patah hati hanya karena kusangka aku bukan yang diinginkannya. Kulipat kertas kusut itu rapi-rapi, kusimpan di laci. Jariku mengetik tanpa perintah, bergerak begitu saja mengikuti debaran jantungku yang seketika terasa begitu perih. Dengan format huruf yang sama kutuliskan,

Gadis bukan dia…

Tak perlu memintaku cinta

Hatiku telah berada dalam genggammu yang remaja

Sekian lama

Kini terbang bersama senyummu yang belia

Angin musim semi, tahukah?

Tanpanya aku tak berdaya…

dari Dimitri untuk Nawang

Kuketikkan alamat e-mail-nya. Sending. Sent. ●

44

Page 45: Ber 317 an - vika-kika-gadis

Cerita #3“Saya rasa, saya bukan satu-satunya manusia yang merasa

terganggu dengan BB a.k.a. bau badan. Well, memang BB pun adalah bagian dari pemberian Tuhan, tapi berdosakah saya jika

saya benar-benar tak tahan?

Di lift seringnya, saya terperangkap situasi ini, tidak ada tempat untuk mengadu, tidak ada komisi khusus yang menangani

pemberantasan bau badan, hanya ada dompet di tangan untuk menutup hidung secara manis.

Suatu saat saya benar-benar ‘diuji’ satu lift dengan seorang laki-laki yang [maaf] sangat **u **ki dan saya benar-benar nggak

bisa berbuat apa-apa kecuali ‘menikmati’ hingga pintu terbuka di lantai yang saya tuju.

Saya SMS Kika dan Vika ini akan menjadi judul berikutnya yang harus kalian buat ceritanya. Rhyme-nya terdengar bagus juga,

antara kaki dan laki-laki.”

“Saya mengharapkan cerita yang mengandung pesan ‘jagalah kebersihan badan Anda’.

Hasil jadinya, menurut saya baik cerita Kika maupun Vika, dua-duanya telah menyampaikan pesan ini secara implisit.

[Gadis, tentang “Bau Kaki Laki-Laki”]

45

Page 46: Ber 317 an - vika-kika-gadis

Bau Kaki Laki-laki

Kika Dhersy Putri

Pernah tahu rasanya menjelang 30 tahun? Tujuh belas tahun mungkin disambut dengan gembira sebagai ijin punya pacar, punya KTP, boleh ikut PEMILU, dan resmi boleh menyetir sendiri. Dua puluh juga begitu. Sepertinya kamu resmi dianggap dewasa dan boleh mengambil sendiri keputusan-keputusan besar untuk hidupmu.

Tiga puluh beda lagi. Rasanya cuma satu. Kamu menua.

Lalu kamu sibuk menata hidup jadi lebih mapan, atau paling tidak dianggap orang begitu. Meyakinkan diri bahwa kamu sudah punya karir yang pas dan cocok dengan dirimu, lebih-lebih lagi memastikan apa gajinya sudah cukup untuk hidup mandiri, karena tentu sangat memalukan dan memporak-porandakan kepercayaan dirimu untuk masih jadi parasit buat orangtua. Satu lagi,

46

Page 47: Ber 317 an - vika-kika-gadis

pekerjaan itu haruslah bisa membuat orangtuamu, terutama ibumu, cukup bangga untuk menyebutkannya di depan teman-teman arisannya. Kalau kamu masih di zona lajang, maka beban hidupmu bertambah satu lagi: cari pasangan. Cari suami dalam kasus saya.

Dan saya cuma punya waktu tujuh bulan lagi untuk mengencani total 30 pria hingga ulangtahun ke-30 saya. Misinya jelas: di hari ulangtahun, saya sudah dapat pria tepat yang bisa diprospek lebih lanjut.

Kenapa 30? Karena saya tidak terlalu berhoki di departemen jodoh ini. Jarang berkencan, saat menjalani hubungan pun lebih sering terjebak di pelukan pria yang salah. Jadi, saya percaya butuh jumlah yang cukup untuk memilih yang pria baik sekaligus benar.

Hitungan ini akan dimulai jauh ke belakang, sejak saya mengenali bahwa pria adalah obyek yang menarik. Kelas 3 SD waktu tidak sengaja baju seragam saya tertukar setelah jam olahraga dengan anak paling bandel yang ajaibnya selalu juara kelas. Ketika sepulang sekolah, saya menukar pakai seragam kami dengan senyum malu-malu dan muka merah. Pria nomor dua mendominasi masa SMP sekaligus SMU. Pria nomor tiga, disela-sela kelas 3 SMU, saat saya tergoda mencicip selingkuh usia dini. Pria nomor empat, sahabat mantan pacar sahabat kuliah saya yang kemudian saya putuskan sepihak karena ternyata saya tidak terlalu mencintainya. Nomor lima, lelaki buaya

47

Page 48: Ber 317 an - vika-kika-gadis

darat dengan 27 pacar sebelum saya. Nomor enam, ternyata suami orang. OK, jadi total saya mesti berkencan dengan 24 orang. Berdasarkan rata-rata matematis, maka saya harus mengencani satu pria per 8,75 hari. Tugas berat, tapi sungguh saya tidak punya banyak pilihan. Dan jelas-jelas jadi perawan tua sama sekali bukan opsi yang akan saya ambil.

Dulu saya memilih percaya pada bibit, bebet, bobot. Lalu percaya cinta pada pandangan pertama. Tapi semua gagal. Maka saya memilih memasrahkannya pada sepatu. Toh, saya shoe-fettish dengan koleksi yang cuma bisa ditandingi Imelda Marcos. Kenapa kali ini tidak memilih percaya pada hal yang paling saya sukai? Saya percaya pria baik bisa memilih sepatu yang baik, sepatu yang pas. Itu saja.

Lalu saya mengencani pria sneaker putih. Nomor tujuh. Celana bermuda, T-shirt putih bersih, dan intipan tato naga di balik celana selututnya memikat hati. Ternyata seperti sepatunya, dia masih mau main-main. Ternyata lagi, dia sudah punya istri, tapi mengaku terus terang punya komitmen open marriage. Artinya dia bebas berkencan dengan siapapun, dan istrinya pun begitu. Asal masih saling pulang ke rumah, maka urusan beres. Status: tercoret.

Nomor delapan, pria sepatu kulit buaya. Mengilat sekali. Memperhatikan benar kerapian French tip manicure saya

48

Page 49: Ber 317 an - vika-kika-gadis

dan highlight rambut saya yang merah keunguan. Tapi salah satu teman saya sering melihat dia di klab gay. Baiklah, mungkin gay adalah sahabat terbaik wanita, tapi saya saya sedang menaruh cinta di nomor nol, dan persahabatan di nomor 1001. Nomor sembilan, pria pantopel bertali, ternyata lebih suka pergi futsal daripada memenuhi janji kencan. Nomor 10, nomor 11, 12, 13, 14, 15, 19, 20, 23. Pria Nike limited edition, pria pantopel berujung lancip, pria berboot ala Tantowi Yahya, pria sepatu pantopel berhak 5 cm, pria sepatu moccasin, pria sepatu berujung kotak, pria sepatu suede hijau army, dan pria-pria yang saya tak ingat lagi jenis-jenis sepatunya.

Dia nomor 24. Pria harapan terakhir. Saya bertemu dengannya di lift kantor. Dia menjaga pintu, saat saya repot dengan file-file kantor saya dan stiletto Nine West animal print terbukti tidak terlalu membantu dalam upaya mengejar detik-detik akhir mesin absensi. Saya melihat sepatunya. Bally. Hitam. Model yang paling sederhana, sekaligus klasik. Kamu tak akan tahu merknya, kecuali kamu memang suka melengketkan matamu di kaca display tokon saat window shopping. Berkilat, tapi tidak berlebihan sampai-sampai sepatu kaca Cinderella merasa minder. Celananya abu-abu tua, nyaris hitam. Lipatan celananya sempurna. Satu garis. Berdasi, kombinasi ungu dan abu-abu. Hmm, ternyata berjas. Sedikit ke atas, uh, bibirnya bagus, hidungnya sempurna. Alisnya apalagi. Ini yang menjadikannya lebih tak terelakkan: pipi keunguan bekas cukuran, kacamata, dan rambut cepak, satu senti dari kulit kepalanya.

49

Page 50: Ber 317 an - vika-kika-gadis

Dua hari kemudian, kita sudah berkencan. Makan siang di kantin gedung seberang. Jumat malam kami sudah resmi makan malam dan nonton. Bally memang tidak pernah mengecewakan. Nyaman dan tahan lama. Harga memang tak pernah bohong. Modelnya sederhana tapi jelas-jelas berkelas. Seperti sepatunya, dia pun begitu. Pekerjaan mantap. Punya rumah sendiri. Rajin sholat. Umur 33 dan siap menikah tahun ini.

Hari ini, satu hari menjelang ulangtahun saya. Minggu siang dan dia meminta saya menemani ke undangan pernikahan teman kantornya. Saya deg-degan, ini pertama kalinya dia ke rumah. Ibu dan ayah saya kontan jatuh cinta di “assalamualaikum” pertamanya di pintu depan. Apalagi ditambah cium tangan dan pertanyaan di mana musholla saat minta ijin sholat Zhuhur sebelum berangkat.

Lalu, sepatu Bally pemikat hati ditanggalkannya.

Ada serbuan bau yang aneh. Kawin campur antara telur kadaluarsa, ikan asin, dan baju kurang kering yang terpaksa dipakai.

Cinta saya kontan layu. Layu karena bau. Bau kaki laki-laki idaman hati. ●

50

Page 51: Ber 317 an - vika-kika-gadis

51

Page 52: Ber 317 an - vika-kika-gadis

Bau Kaki Laki-Laki

Vika Wisnu

Bau kaki laki-laki. Kami sering mengulangi frasa itu berkali-kali hingga nyaris tak ada maknanya, bahkan lebih menyerupai mantra sihir.

Baukakakilakilakibaukakilakilakibaukaki…

Magis memang. Sebab setelah itu, entah dari mana asalnya, selalu muncul keberanian yang tak biasa. Aku, misalnya. Seketika tak takut lagi menghadang tikus. Padahal biasanya menatap gambarnya pun tak sanggup, kecuali Mickey dan Minnie Mouse. Lain halnya Maida. Dia jadi berani bilang terus terang kepada ayahnya bahwa Satya adalah pacarnya. Satya, anak SMP sebelah yang rambutnya ditata gaya rasta dan tak pernah lepas dari walkman-nya itu, menurut ayah Maida sangat tidak layak untuk putrinya, tapi dengan mantra baukakilakilakibaukakilakilaki, Maida berani menjamin, Satya berhati baik, pintar, dan kreatif. Dan ayah Maida

52

Page 53: Ber 317 an - vika-kika-gadis

pun mengijinkan cowok yang menurutku lebih mirip komedian Cagur itu bertandang ke rumah mereka setiap malam Minggu. Dengan catatan: tidak boleh lewat dari jam sembilan malam.

Seharusnya, ini hanya menjadi rahasia kami berdua. Tak boleh ada orang lain tahu. Tapi karena sebuah ‘kecelakaan kecil’. Ada satu teman kami -Rahmad namanya- yang akhirnya turut mengetahuinya juga dan kami langsung diceramahinya. “Kalau minta kekuatan, sebutlah nama Tuhan!” Dia lalu menyebutkan 99 Nama Tuhan dengan fasih dan mendoakan agar iman kami dikuatkan, “Jangan minta pertolongan siapapun kecuali kepada Tuhan!” Waktu itu kami berjanji untuk tidak mengulangi lagi menyebut baukakilakilaki berkali-kali setiap kali kami dalam keadaan terjepit dan butuh tambahan kekuatan dan keberanian. Sebaliknya Rahmad juga berjanji untuk tidak membocorkan rahasia ini. Dia setuju untuk tidak mempermalukan kami.

Sebenarnya, bukan kami tak ingin minta pertolongan kepada Tuhan. Kebiasaan merapal frasa baukakilakilaki itu muncul secara kebetulan. Ada guru baru di sekolah kami. Namanya Pak Pitono. Perawakannya tinggi, tegap, atletis, dan suka tersenyum. Senyumnya manis sekali. Pak Pitono mengajar olahraga. Tak perlu waktu lama, semua murid segera saja mengidolakannya. Bahkan sebagian gadis-gadis menjulukinya Brad Pitt sebagai nama rahasia di kala sedang membicarakannya. Julukan itu tampaknya

53

Page 54: Ber 317 an - vika-kika-gadis

diilhami karena sesama guru memanggilnya singkat saja, Pak Pit, bukan memanggil dengan nama lengkapnya.

Nah, suatu sore aku dan Maida sedang berkemas usai berlatih basket. Kami di ruang ganti putri. Tiba-tiba kami mencium bau yang tak bisa dilukiskan, busuk menyengat sampai-sampai kami hampir muntah karenanya. Herannya, karena penasaran, bukannya menghindar, kami malah berusaha mencari sumber bau itu. Setelah menelusur, kami temukan sepatu Pak Pitono dengan kaus kakinya. Si Brad Pitt itu tidak ada, mungkin sedang mandi. Di lokasi sepatu itulah uap bau terkuat yang menyebar ke mana-mana, bahkan ke ruang ganti putri yang jaraknya hampir 10 meter dari kamar mandi putra.

Aku dan Maida lari menjauh sekuat tenaga. Kami diliputi perasaan yang sama, antara mual, tidak percaya, dan ingin tertawa. Sejak itu kami berdua berhenti menjadi penggemarnya dan mulai menjulukinya BKL singkatan dari Bau Kaki Laki-Laki. Kepada teman-teman yang lain, kami bilang BKL itu singkatan dari Brad Pitt Kaleee.... Mereka percaya dan mulai menggunakan inisial yang sama saat sedang menggosipkannya.

Soal kapan frasa itu kemudian menjadi mantra, seingatku pertama kali ketika aku ditugasi mewawancarai walikota yang mengunjungi sekolah kami. Gemetar antara takut salah dan bangga membuatku mencari cara menenangkan diri. Maida bilang, “Pikirkan hal yang

54

Page 55: Ber 317 an - vika-kika-gadis

indah-indah, maka ketakutanmu akan lenyap.” Entah kenapa yang melintas di benakku adalah kata itu, baukakilaki-laki, kuucapkan berulangkali. Mulanya Maida menganggapku konyol, tapi kemudian dia ikut-ikutan mencoba, untuk beberapa kesempatan yang menurutnya ‘sangat genting’, dan katanya, “Berhasil!”

Bertahun-tahun setelahnya, mantra yang pernah sangat manjur itu terlupakan seiring waktu. Setelah lulus SMP, aku pindah ke Yogyakarta. Maida mengikuti ayahnya yang ditugaskan di Waingapu. Kami tak pernah bertemu lagi. Kurasa dia telah lupa dengan mantra itu, karena beberapa kali kami kontak via telepon dia tak pernah menyinggung-nyinggung itu lagi. Aku pun tak pernah lagi mengucapkan baukakilaki-laki berkali-kali untuk mencari kekuatan dan keberanian, dalam keadaan terjepit sekalipun. Aku berdoa biasa saja, memohon kepada Tuhan, sebagaimana yang diajarkan orang tuaku, dibimbingkan suamiku, dan kudapat di pengajian.

Hingga suatu hari, di tengah siang bolong aku sendirian di rumah. Suamiku baru berangkat dan aku sengaja tidak masuk kantor karena merasa kurang sehat. Tiba-tiba, entah dari mana dia masuk, seorang pria bertubuh besar berdiri di ruang makan. Wajahnya ditutup topeng ala Ninja. Tangan kanannya membawa pisau sepanjang lengan. Lututku langsung lemas. Matanya merah. Dari tubuhnya tercium aroma alkohol yang sangat kuat. Aku berdoa sebisaku. Mauku lari dan minta pertolongan siapapun. Tapi lidahku kelu. Pria itu kelihatan senang

55

Page 56: Ber 317 an - vika-kika-gadis

melihatku ketakutan. Didekatinya aku pelan-pelan, ujung pisaunya menyingkap pinggiran dasterku. “Jangan teriak...” katanya, “Tidak akan ada yang menolongmu...”

Aku masih berdiri gemetar. Dalam keadaan nyaris putus asa, tahu-tahu refleks saja aku merapal baukakilaki-laki. Puluhan kali, ratusan kali, baukakilakilakibaukakilakilakibaukaki... Sepersekian detik yang tak tertangkap oleh matanya, kusambar vas keramik di sudut meja. Kupukulkan ke kepala laki-laki itu hingga ia jatuh terjengkang. Ketika ia berhasil bangun, matanya tampak sangat murka, kulempar dia dengan lampu hias, kudorong meja tulis ke arahnya hingga jatuh terduduk dan pisaunya terlepas dari genggaman tangannya. Aku terus memukuli kepalanya dengan kamus tebal dan terus berteriak, “Tolong! Tolong!”. Entah karena dia sangat mabuk atau karena pukulanku yang bertubi-tubi, laki-laki asing itu langsung pingsan. Aku meloncat keluar memanggil Hansip, “Paaak, tolooong! Cepaaat...!”

Di tangan tiga orang Hansip, lagi-laki yang sudah setengah sadar itu harus menerima bogeman lagi. Di wajah, di perut, di dada, di kepala. “Tolong, bawa dia pergi...” Aku tak tahan. Sesenggukan kutelepon suamiku. Secepat kilat dia datang, menenangkan. Aku menceritakan semua kejadian dengan terbata-bata. Dadaku masih bergemuruh kencang karena takut yang luar biasa. Aku tidak berani membayangkan, bagaimana seandainya si penjahat tadi gagal kukalahkan. Apa yang akan terjadi padaku, ngeri sekali. Suamiku memelukku erat. Berkali-kali mengucap

56

Page 57: Ber 317 an - vika-kika-gadis

istighfar, “Kau hebat! Kau berani sekali,” katanya menghibur. “Itu bukti kalau kita percaya akan pertolongan Tuhan, Dia pasti membantu, menyelamatkanmu dari marabahaya.”

Tangisku makin keras. Aku merasa berkhianat. Tak

mungkin kuberitahukan kepadanya, bahwa sepanjang

perlawananku menghadapi rampok itu yang kurapal

adalah baukakilakilakibaukakilakilakibaukaki... ●

57

Page 58: Ber 317 an - vika-kika-gadis

Cerita #4“Warung saya, Cirkel, yang belum lama beroperasi mendapat

catatan khusus dari customer melalui Twitter dan Facebook, tentang nyamuk yang mengganggu kenyamanan mereka

nongkrong di outdoor area.

Saya dan suami berunding soal cara jitu memberantasnya. Mulai dari meletakkan di setiap meja aroma therapy dengan

esens citronella, menanam sereh dan lavender di pot-pot yang ada, berkurang sih untuk beberapa saat, namun ketika malam

makin larut justru makin merajalela, seakan para nyamuk itu back from the death.

Setelah berusaha dengan berbagai cara tetap tidak ada hasilnya, kami berdoa semoga nyamuk mau pergi, atau

setidaknya semoga tamu kami bisa menerima kondisi alam Surabaya di musim panas seperti ini. Serangan nyamuk di bulan

Juli, sepertinya memang fenomena alam tidak bisa dilawan.”

“Ketika saya menyodorkan judul ini kepada Kika dan Vika, saya mengharapkan cerita yang happy ending, mungkin sebuah

komedi romantik. Agar saya terhibur dan dapat melupakan soal invasi nyamuk. Ternyata, Kika dan Vika menampilkan roman-

roman yang ending-nya, bagi saya: pilu.”

[Gadis, tentang “Nyamuk di Bulan Juli”]

58

Page 59: Ber 317 an - vika-kika-gadis

Nyamuk di Bulan Juli Kika Dhersy Putri

Akhirnya aku punya cara untuk melihat baik-baik wajahmu. Melihat lamat-lamat naik turunnya dadamu saat kau bernafas. Lentiknya bulu matamu. Sempurnanya campuran warna kulitmu: tidak putih pucat membosankan, tidak pula hitam kusam menenggelamkan. Lembutnya rambutmu dan wanginya yang pas, entah itu dari sampomu atau mungkin dari sekilas wangi parfum yang bersimbiosis dengan bau badanmu.

Hari itu bulan Juli yang hampir lewat. Tanggal tua yang terlampau tua. Kau oleng di tangga dengan muka pucat. Saat lenganku sigap menangkapmu, terasa benar panasnya kulitmu. Keringat sebesar jagung di keningmu.

Hari ini ternyata ada presentasi penting. Kamu memaksa diri untuk datang. Malam-malam sebelumnya kamu

59

Page 60: Ber 317 an - vika-kika-gadis

sudah demam. Naik-turun, dikomplitkan deritamu dengan sakit di persendian dan kepala berdenyut seperti mau meledak. Tapi tak ada pilihan lain kecuali memaksa badan untuk begadang dan menyelesaikan tugas penting atas nama tanggungjawab kepada perusahaan yang sudah membayarmu pantas.

Akhirnya kamu tumbang. Tapi anehnya hatiku riang, seperti terbang.

Kamu, yang paling menarik di kantor ini. Sejak hari pertamamu dikelilingkan oleh staf HRD sebagai warga kantor terbaru. Yang kuingat wajahmu sering malu-malu. Apalagi kalau kusapa di pantry saat berpapasan makan siang. Kata-katamu sering terputus di tengah, lalu kamu seperti bicara pada dirimu sendiri.

Yang kutahu kamu berpacar. Mungkin kamu menjaga dirimu dan perasaan pacarmu. Tidak mau terlalu akrab dengan pria lain.

Yang kutahu pacarmu yang selalu mengantar dan menjemputmu setiap hari. Desas-desusnya kalian sudah tinggal bersama. Kebenaran yang tak pernah berani kutanyakan, karena untuk menjawab sepotong “Selamat pagi” saja, kamu sungkan bukan main. Katanya, pacarmu editor in chief sebuah koran internasional. Umurnya 40, matang dan ganteng. Badannya bagus dengan otot-otot

60

Page 61: Ber 317 an - vika-kika-gadis

berjejalan seperti berebut ingin tampil di balik kemeja lengan pendeknya.

Aku seperti menemukan pembenaran untuk selamat pagi yang tak pernah berbalas pantas. Apalah artinya aku. Priamu = mapan, ganteng, berbadan sempurna, berambut tebal mengilat, dan nyaris berbulu di seluruh bagian tubuh, pengelana dunia, orang penting yang kenal banyak orang penting lain. Aku = pria kelas kacung kampret perusahaan iklan, muka berkualitas biasa saja, badan yang lebih sering kuakui berisi padahal nyaris tambun, rambut tipis dengan garis tumbuh yang makin hari makin tinggi, pengelana gadungan yang paling jauh cuma ke Bali, dan berstatus nyaris penting yang sangat ingin dianggap penting orang lain.

Ditambah katanya pacarmu berketetapan hati ingin meresmikan hubungan kalian. Ingin terbang membawamu mengikat janji di luar negeri, di Belanda, di tengah sahabat-sahabat terdekat kalian. Pilihan yang kutahu pasti bukan karena kalian beda agama. Mungkin akhir tahun ini. Lagi-lagi aku tak pernah cukup kata dan alasan untuk menanyakannya langsung padamu, menatap matamu dan mengira-ira bagaimana sebenarnya perasaanmu pada priamu.

Untung hari ini tiba. Kau tumbang dan tak ada pilihan lain selain aku yang kemudian memilih untuk buru-buru minta

61

Page 62: Ber 317 an - vika-kika-gadis

ijin lewat resepsionis untuk membawamu ke rumahsakit terdekat.

Di mobil ini cuma kamu dan aku. Kamu yang tergolek lemah dengan mata sayu yang lebih sering kau pejamkan. Aku yang setengah hati ingin cepat mengemudi untuk membawamu berjumpa dokter, setengah hati lainnya ingin berlama-lama demi meluangkan waktu berdua denganmu. Ya, berdua saja dengan kamu yang cuma selengan jauhnya dariku.

Akhirnya tiba di unit gawat darurat. Kamu digotong dan didudukkan di kursi roda. Dokter-dokter sibuk menekankan stetoskopnya di dada indahmu. Jantungku seperti berhenti berdegup saat kancing-kancing kemejamu setengah dibuka paksa. Lalu lenganmu, ditensi, ditancap jarum besar, dan darahmu disedot keluar. Dokter curiga ini gejala typhus atau malah demam berdarah. Juli selalu jadi bulan yang aneh. Panas tak berhujan. Nyamuk beranak pinak berkali lipat, termasuk jenis yang bisa membikin titik-titik merah di kulit dan memaksa jumlah trombosit terjun bebas.

Aku diam-diam di sudut kamar periksa. Melihatmu yang lemah baik-baik. Mencoba menjejalkan semua memori fotografi ini dalam otakku sebagai kenangan berharga. Ini tak kan lama, karena segera saat priamu datang aku sama sekali tak punya hak atasmu lagi. Untungnya priamu tak datang-datang [hatiku diam-diam berdoa dia tak datang-

62

Page 63: Ber 317 an - vika-kika-gadis

datang, tak perlu datang kalau bisa]. Yang kutahu, kantornya di pusat kota yang sesak lalu lintas. Apalagi ini nyaris jam makan siang, terbayang bagaimana riuhnya mobil-mobil yang tercurah serapat air hujan deras itu!

Aku masih sempat menungguimu di kursi kamar rawat inap. Duduk selekat-lekatnya dengan dipan pasien. Rakus menghisap semua garis-garis mukamu, lekuk indah hidungmu, dahi tinggimu, warna kulitmu, tebal alismu, semua. Semuanya.

Tapi keberuntunganku ternyata tak berumur panjang. Datang dia priamu. Aku berbasa-basi dan menyerahterimakan dirimu padanya.

Tapi sungguh aku makhluk yang tahu bersyukur. Aku bersyukur Tuhan pada suatu hari memutuskan untuk menciptakan nyamuk jenis demam berdarah dan melipatgandakan populasinya di bulan Juli. Untuk satu alasan, aku punya alasan bersama pria yang cuma bisa kukagumi diam-diam: Bhumi Rajendra Hutama. ●

63

Page 64: Ber 317 an - vika-kika-gadis

Nyamuk di Bulan Juli

Vika Wisnu

Perceraian itu pahit, seperti air perasan daun sirih merah. Tapi, air perasan daun sirih merah menghilangkan batuk dalam semalam dan membuat tidur jadi tenang. Karena itu pahitnya pun segera terlupakan. Apa yang bisa tersembuhkan dengan perceraian?

Malam ini Ara menginap. Aku yang menawarinya. Kuminta tidur di kamar depan, kamar tamu, bukan di kamarnya, karena kamarnya sedang kurenovasi. Miko dan Divo sedang di rumah papanya sampai hari Minggu. Sendirian di rumah pasti sangat menyiksa Ara yang terbiasa direpotkan urusan dua ksatria kecilnya itu. Awalnya ia menolak. Katanya, “Aku harus mulai terbiasa dengan keadaan ini, Ma.” Lalu kubilang aku butuh bantuannya membuat roti gulung untuk arisan hari Sabtu, tentu saja kalau tidak merepotkan. Dan Ara tidak pernah terlalu repot untuk menolak permintaan tolongku, jadi dia langsung setuju, “Mau bikin berapa loyang?”

64

Page 65: Ber 317 an - vika-kika-gadis

Jumat petang, lepas Maghrib Ara datang. Ia membawa satu tas berisi beberapa lembar baju, peralatan mandinya, dan sebotol besar mayonnaise, “Kebetulan ada di kulkas, siapa tahu Mama perlu…” Lalu kami sibuk di dapur. Ara membuat adonan roti sambil bercerita tentang pesanan cupcakes yang diterimanya minggu lalu. Si pemesan, seorang sekretaris kantor pengacara yang ingin sekali membuat boss-nya terkesan di hari peresmian kantor baru. Dia membaca Novena semalaman dan amat bersyukur ketika esok harinya menemukan blog Ara yang berisi foto-foto cupcakes dan aneka kue, persis seperti yang diangankannya. Mbak sekretaris itu mengambil pesanannya dengan permintaan khusus agar Ara ikut mendoakan semoga nanti boss-nya benar-benar suka. Ara menirukan keceriwisannya dengan suara satu oktaf lebih tinggi dan dengan tempo crescendo.

Kami tidak sedikitpun membahas tentang Haris. Mantan menantuku itu mungkin sedang mengajak cucu-cucuku ke Timezone atau tempat-tempat hiburan lain yang elektronik, berlampu terang, dan computerized. Haris tidak suka aktivitas outdoor seperti keluarga besar kami. Olahraga rutinnya squash, kadang bowling, sesekali futsal di lapangan indoor, tapi lebih sering bilyar.

Sejak awal aku meragukan kesungguhan Haris membahagiakan Ara. Haris tahu, Ara sangat mengutamakan keluarga besar. Aku mendidiknya begitu. Bagi Ara, hubungan yang harmonis dengan kerabat dekat atau jauh itu penting, karena mereka dilahirkan dari satu

65

Page 66: Ber 317 an - vika-kika-gadis

leluhur. Haris tidak begitu. Baginya silaturahmi dengan keluarga cukup satu tahun sekali, ketika lebaran seusai sholat Idul Fitri. Selebihnya, berkunjung ke rumah kerabat, baginya hanya buang-buang waktu. Aku sangat tidak setuju dengan prinsipnya itu.

Aku tahu, Ara sangat mencintai Haris. Aku hanya tidak bisa paham mengapa. Haris tidak setipe dengan almarhum suamiku –ayah Ara- orang pergerakan yang berjuang demi kebaikan dan kepentingan rakyat, seorang idealis yang rela mengorbankan dirinya demi membantu orang lain. Haris bukan macam itu. Dia bukan pria sejati yang mudah mengulurkan tangan, bahkan untuk sekedar mengantarkanku ke rumah sakit ketika aku terserang muntaber.

Haris sepertinya juga enggan berbaur dengan keluarga kami. Ia selalu menolak setiap undangan acara keluarga. Mubazir, katanya. Sejak dulu aku selalu merasa, menantuku yang satu itu tak lebih dari seorang pemuda fanatik yang suka mengatasnamakan dalil-dalil agama demi kepentingan dan kesenangannya sendiri. Tapi Ara mencintainya setengah mati.

“Memangnya besok arisan di rumah siapa?” Ara memasukkan loyang terakhir ke oven. “Tante Mar,” kataku. Lalu kutawarkan Ara untuk ikut, aku berharap dia mau karena Aldi baru datang dari Australia. Dulu Aldi naksir Ara, tapi Ara sudah pacaran dengan Haris.

66

Page 67: Ber 317 an - vika-kika-gadis

Dibandingkan Aldi, Haris tidak ada apa-apanya. Aldi punya karir mapan, lebih tampan, dan yang paling penting: peduli pada tradisi keluarga besar kami, tak seperti Haris yang seolah menganggap kami tak ada. Padahal Ara punya empat kakak dan dua adik, masing-masing sudah berkeluarga. Satu sama lain, sesama ipar saling dekat dan akrab, kecuali Haris. Dengan saudara-saudaraku –paman dan bibi Ara- Haris bersikap seolah tak kenal. Cuma senyum kalau ketemu, itupun sekadarnya. Dia jarang bercakap dengan salah satu dari kami, kecuali Ara, tentu saja. Aku tidak suka sikapnya. Tapi Ara mencintainya dan ingin Haris tetap seperti adanya.

“Wah, kayaknya nggak bisa. Besok ada kelas yoga, Ma.” Kalau untuk hal-hal yang sekiranya tidak membutuhkan bantuan tenaganya, Ara bisa menolak. Aku tidak memaksanya. Aku tak pernah memaksa Ara. Bahkan ketika menerima lamaran Haris, aku mengikuti keinginannya, sekalipun yang aku mau pernikahan mereka tidak pernah ada. Ara putriku yang istimewa. Menurutku Haris bukan orang yang tepat baginya. Tapi aku tak memaksa.

Ketika Ara akhirnya memutuskan menggugat cerai, itu pun keputusannya. Aku hanya memberinya pandangan, bagaimana hidupnya kelak akan jauh lebih baik tanpa Haris. Toh, Ara punya penghasilan bagus, jauh lebih bagus dari Haris. Dia bisa melakukan apapun yang selama ini dihalangi Haris. Kurasa, bercerai adalah jalan terbaik. Apalagi Haris jelas-jelas minta Ara mengijinkannya beristri

67

Page 68: Ber 317 an - vika-kika-gadis

lagi. Tidak ada yang perlu dipertahankan lagi. Sekalipun Haris berkeras bahwa poligami itu tidak dilarang agama, aku tidak melihat manfaatnya bagi Ara. Satu hal yang aku benci, mengapa firasatku tentang keburukan Haris terbukti. Begitulah yang kukatakan kepada Ara ketika ia minta pendapatku, apakah ia benar-benar harus mengakhiri tujuh tahun perkawinannya. Tidak ada pilihan lain: cerai! Tapi, bukan berarti aku memaksanya.

“Mau diapakan, Ma?” Ara menengok bekas kamarnya yang berantakan, “Diganti keramiknya, yang lama pecah-pecah.” Kubuat dua cangkir teh hijau sementara Ara mengganti bajunya dengan piyama. “Kau boleh tidur di kamar depan atau di kamar Mama…”

Ara tertawa, “Yang nggak ada nyamuk kamar yang mana?”

“Jangan sembarang bicara, ya?! Sejak kapan di rumah Mama ada nyamuk?”

“Hahaha…” Ara mengempaskan tubuhnya ke sofa, “Sejak Haris pergi, di rumahku juga tidak pernah ada nyamuk lagi…” hahaha…

Kubayangkan wajah Haris, betapa banyaknya masalah yang ia timbulkan dalam perkawinannya dengan putriku selama ini. Aku ikut tertawa bersama Ara, tergelak. Tapi

68

Page 69: Ber 317 an - vika-kika-gadis

tak lama. Karena beberapa detik kemudian kami saling diam. Ara tiba-tiba terisak di ujung tawanya, membuatku tiba-tiba merasa sangat berdosa. Isakannya yang perlahan itu seolah menuduh akulah yang memisahkan mereka.

Ara yang sangat penurut. Satu-satunya momen saat ia membantahku hanyalah ketika ia minta restuku menikahi Haris. Tujuh tahun lalu kuyakinkan Ara, bahwa Haris tak cukup layak jadi suaminya. Ara menantang, “Dari mana Mama tahu?” Aku tak bisa menjawabnya. Aku hanya merasa ada yang salah pada pemuda itu, seperti menyembunyikan sesuatu, entah apa. Dan aku tidak bisa melihat masa depan di matanya yang selalu menghindari mataku. Namun Ara berkeras Haris orang yang baik. Kelak ketika mereka sudah menikah, aku tahu Ara selalu berusaha membuat kesan bahwa Haris sungguh-sungguh baik dan aku pun tahu betapa letihnya Ara mengupayakan itu karena kenyataannya Haris tidaklah sungguh-sungguh baik. Tapi Ara mencintainya. Aku akhirnya merestui pernikahan mereka.

“Kalau saja Ara nurut sama Mama, pasti tidak begini jadinya…” Ara menatap hampa. Kuraih kepalanya ke bahuku, “Ara, kita tidak bisa membuat waktu berjalan mundur.”

Kami kembali dengan pikiran masing-masing. Sejujurnya, harus kutelan sendiri kata-kataku yang baru saja terucap,

69

Page 70: Ber 317 an - vika-kika-gadis

karena kusesali satu hal: seandainya aku tidak punya firasat apa-apa tentang Haris, tidak merasa ada yang tak beres tentangnya, mungkin tidak begini jadinya. Seandainya aku bisa lebih menyelami kepribadian mantan menantuku itu, mungkin Ara tidak perlu sendirian berjuang membela Haris di hadapanku. Mungkin Haris tak perlu mencari perempuan lain yang lebih baik dari Ara atau ibu mertua lain yang lebih memahaminya ketimbang aku.

Awal Juli tujuh tahun lalu itu, Ara meronta melepaskan diri dari pelukanku ketika aku memohon, “Percayalah kepada Mama, jangan kawin dengan Haris. Ini demi kebaikanmu. Demi masa depanmu…”

Ara tidak membanting pintu seperti anak-anakku yang lain ketika mereka kesal atau tak setuju padaku. Ara hanya menjauh dariku dan berkata dingin, “Siapakah kita yang merasa tahu apa yang terjadi di masa depan, Mama? Siapakah kita yang merasa sok menjadi Tuhan?” ketika menyebut kata ‘kita’ tekanan suaranya begitu sinis. Aku tahu siapa yang dimaksudkannya.

Awal Juli malam ini, Ara menangis di dadaku. Tak kutanyakan mengapa. Mungkin sebagian dari sisa-sisa kemarahan, kekesalan, dan kekecewaannya kepada entah Haris, aku, dirinya sendiri, atau situasi yang tidak berjalan seperti yang diinginkannya. Kubelai rambutnya, kubiarkan dia menghabiskan air matanya. Ketika akhirnya Ara nyaris

70

Page 71: Ber 317 an - vika-kika-gadis

tertidur kelelahan, lamat-lamat aku mendengar suara yang tak asing, khas, seperti sebelum-sebelumnya sering kudengar ketika sesuatu peristiwa besar akan terjadi, seperti firasat. Suara itu, dekat sekali di telingaku, berdenging, dengan frekuensi tinggi yang seakan datang dari suatu tempat yang jauh, hendak mengabarkan sesuatu. Ngiiiing…

Aah…! Ada nyamuk! Di pipi Ara! Di rumahku!

“Ara!” hampir kutampar pipinya, makhluk itu tak tertangkap, keburu terbang entah ke mana, dengingnya di mana-mana.

“Ara! Ada Haris!” aku histeris. Ara sontak bangkit, “Haris?” ulangnya tak percaya, “Mana dia?” Ara bergegas merapikan rambutnya yang kusut, menghapus sisa-sisa ingus dan air matanya dengan tisu, “Benar ada Haris, Ma?”

“Ada… ada… nyamuk…” aku malu.

Ara mengernyit heran, sejurus kemudian ia paham, dan meledaklah tawanya. Hahaha… aku ikut tertawa lagi bersamanya. “Mama nggak punya obat Haris?” katanya sambil mendesis dan berlagak menyemprotkan spray insektisida ssssshh… ssshh…

71

Page 72: Ber 317 an - vika-kika-gadis

Kami tertawa hingga jauh malam.

Perceraian tidak pernah dapat menyembuhkan apapun.

Aku tahu Ara sangat terluka, merasa gagal, dan tak

berdaya. Aku pun merasakan hal yang sama. Penyesalan

yang sama, mungkin lebih dari yang dirasakan Ara. Tapi

malam hampir berganti pagi. Dan pagi yang akan datang

nanti membawa rahasianya sendiri, bukan hal-hal yang

kami sangka telah kami ketahui. Entah bagaimana

perasaan Ara sekarang ini. Tapi aku sendiri merasa sedikit

lega kami bisa tertawa, menertawakan kegagalan kami.

Menjelang subuh aku berdoa, semoga hari berikutnya

dan hari-hari sesudahnya, segalanya berjalan lebih baik

bagi Ara, bagiku, dan bagi Haris… ●

72

Page 73: Ber 317 an - vika-kika-gadis

Cerita #5“Cincin kawin yang saya pilih, emas putih dengan berlian kecil-

kecil yang berbaris. Calon suami saya waktu itu bilang pilihan saya kurang merepresentasikan cincin kawin yang anggun. Jadi

batal beli yang itu, deh. Setelah tiga tahun pernikahan, suatu malam saya bermimpi melihat cincin itu lagi, sedang saya

kenakan di jari manis. Pas bangun ternyatan teteup, masih cincin yang lama. Mungkin saya terobsesi, sebab tidak terlalu lama sebelumnya, sepupu-sepupu saya melakukan semacam

gerakan renewal cincin kawin. Ada yang beralasan, yang lama sudah nggak muat lagi. Yang satunya bilang, untuk menandai

sekian tahun pernikahan kami….”

“Entah mengapa saya mengharapkan Kika dan Vika akan membuat cerita sedih seputar pernikahan dengan judul ini.

Begitu membaca hasilnya, kok sedihnya sedih beneran . Saya sampai berpikir, jangan-jangan cerita-cerita yang mereka tulis

itu adalah kisah nyata…”

[Gadis, tentang “Cincin Kawin”]

73

Page 74: Ber 317 an - vika-kika-gadis

Cincin Kawin

Kika Dhersy Putri

Mimpi buruk. Saya bangun dengan baju basah. Keringat sebiji jagung di kening. Saya jarang mimpi. Mimpi bagus maupun mimpi buruk. Mimpi sepertinya tak punya jadwal kunjungan kerja ke mekanisme hidup saya. Tapi dua hari ini mimpi buruk tidak pernah absen. Mengganggu. Saya sungguh terganggu.

Mimpi yang sama. Selalu ada Keisha, putri saya. Mimpi bisu. Saya cuma bisa melihat mukanya sedih. Dan tiga patah kata. Tapi saya tak pernah bisa membaca apa katanya. Lalu air mata yang tiba-tiba jadi pusaran air. Air dan air yang jadi banjir. Saya bukan penghobi arti mimpi, saya cuma ibunya. Tapi itu cukup untuk membuat saya tahu. Dia sedang dalam masalah.

74

Page 75: Ber 317 an - vika-kika-gadis

Lalu ritual pagi saya akan selalu sama, berusaha menghubungi semua nomor telepon yang saya tahu. Nomor handphone yang selalu tak berjawab, nomor rumahnya yang selalu dijawab suara merdu tanda tak ada yang mengangkat di ujung lain. Dan nada tut tut tut dari telepon suaminya. Malahan beberapa kali saya berusaha meninggalkan e-mail di mailbox-nya. Sama. Tak berjawab.

Keisha Sarasvati. Kei kami memanggilnya. Dia anak saya kesatu dan satu-satunya. Umurnya nyaris 19 beberapa hari lagi. Dia tidak lagi tinggal bersama kami sejak menikah enam bulan lalu. Kecelakaan dalam tanda kutip. Hamil satu bulan. Baru lulus SMU, baru masuk kuliah. Belum lagi satu semester di Fakultas Kedokteran.

Apa saya bukan ibu yang baik?

Tak habis pikir. Ternyata masuk kedokteran pun tak membuat Kei sedikit lebih pandai dari gadis-gadis lain seumurnya. Alpa urusan pembuahan, lupa menghitung hari subur, abai siklus haid, atau tahu fungsi kondom. Yah, paling tidak yang terakhir saya sebutkan: kondom. Atau mungkin ini karma? Saya dan bapaknya juga sama bodoh. Mungkin malah lebih bodoh karena saya lebih tua setahun saat terpaksa menikah dengan alasan yang sama. Sungguh, ternyata pernah mengalami tidak pernah menumbuhkan pengertian dan tenggang rasa. Sesal saya lebih dalam. Bertumpuk-tumpuk seperti awan sesak nyaris ambrol jadi hujan. Masih merinding kalau ingat

75

Page 76: Ber 317 an - vika-kika-gadis

sesaknya sedetik ketika mereka mengaku takut-takut pada kami. BAM! Dadamu ditimpa beban satu dunia sekaligus, jalur nafasmu dibuntu. Hatimu ngilu bukan kepalang.

Suaminya satu tahun lebih tua. Senior di kampusnya. Anak kaya manja yang berotak cukup pintar. Entah pintar sungguh, atau uang bapaknya yang cukup pintar untuk menjadikannya calon dokter. Pendiam, tahu sopan, tapi selalu menjaga jarak. Saya tak pernah benar-benar menyukai sikap dinginnya. Mungkin karena saya tak pernah bisa memaafkan. Dendam yang belum sembuh malah tumbuh-tumbuh saat janin Key harus diluruh. Katanya akibat jatuh, terpeleset di kamar mandi. Bayinya habis nafas, tak bergerak. Masih ingat tangisnya waktu rahimnya dikeruk-keruk, dipadu sempurna sakitnya rasa kehilangan calon jagoan kecilnya dalam hitungan detik karena disedot keluar secara paksa. Buntalan daging kecil berdarah belum lagi jelas kelaminnya. Tapi itu anak lelaki, saya dan Kei yakin sepenuh hati.

Mimpi ketiga. Mimpi buruk yang sama, tapi pusaran itu makin deras. Makin besar. Airnya jadi merah. Merah darah. Banjir keringat, nafas satu-satu, saya instan kena asma. Mual sekaligus sesak di ulu hati. Tekad saya bulat sudah. Saya tak bisa menunggu lagi. Saya harus ketemu Kei. Saya harus ke Malang.

***

76

Page 77: Ber 317 an - vika-kika-gadis

Saya benci mengemudi sendiri. Tapi ini Kamis, suami saya tak mungkin bolos dari kantornya. Hujan deras menghantam kaca depan. Macet, dan saya lupa bawa kacamata. Kombinasi sempurna untuk melekatkan punggung dengan tegang di kursi kemudi. Untung hari masih siang, walaupun pekatnya seperti nyaris senja.

Ingatan akan pusaran-pusaran merah darah itu makin jelas. Saya makin tak tenang. Sungguh saya butuh konsentrasi, tapi pikiran ini susah dijejakkan di kemudi. Lalu gerakan mulut Kei yang memanggil-manggil dalam kepala saya. Cuma bisa membaca panggilan: ibu, lalu dua kata lagi yang tak terbaca.

Air mata - banjir - pusaran air – bibir membiru - pusaran air – merah – darah. Apa ini pusaran darah?

DOK DOK DOK!

Ketukan keras di kaca jendela mobil, tapi rasanya jantung saya yang diketuk! Sudah sampai di traffic light terakhir sebelum masuk komplek perumahannya. Pengemis kecil yang menggigil kebasahan di bawah hujan. Bibirnya biru. Seperti bibir Kei di mimpi saya semalam. Gerak bibir yang sama! Ya Tuhan! Gerak bibir yang sama! Cepat saya sentak tombol power window untuk mencari tahu apa katanya: “Ibu! Tolong saya!”

77

Page 78: Ber 317 an - vika-kika-gadis

IBU! TOLONG SAYA!

Keiiiiiii! Ibu gila! Ibu bodoh! Ibu macam apa saya ini? Anak saya minta tolong! Tolol! Kenapa saya harus menunggu hingga tiga malam. Tiga mimpi ngeri baru saya memutuskan ke sini? Kenapa? TOLOL!

Rumah Kei dan suaminya di cluster paling ujung. Cluster terakhir dengan rumah jarang dan tanah-tanah kosong berpatok yang menunggu pembeli. Paling dekat dengan tanah kosong dan sawah. Nyaris di batas luar perumahan. Kata Kei sudah lumayan punya rumah sendiri, mertuanya sudah baik membelikan mereka rumah dan mobil mungil baru. Rumahnya pun tak kalah mungil. Dua kamar tidur dengan ruang tamu yang menerus langsung ke ruang makan, hingga tamunya tahu hidangan makan malam: tahu atau tempe goreng, saking sempitnya.

Cat putih pucatnya sudah terlihat. Hujan rasanya makin deras saja. Mobil saya pacu kencang. Dada saya berdebar kencang. Seperti ada penabuh tambur di dalamnya. Udara dingin menyembur dari AC, tapi telapak tangan saya meninggalkan jejak keringat di kemudi.

Pagarnya terbuka.

Lampu terasnya masih menyala.

78

Page 79: Ber 317 an - vika-kika-gadis

Tak hirau hujan, saya menerabas. Saya ketuk-ketuk pintu depan. Sepi tanpa jawaban. Bel di pintu depan pun tanggapannya sama sepi. Apa mereka pergi tergesa? Tapi kenapa mobil mungil masih ada di garasi?

Telepon rumah berdering-dering di dalam. Sepi. Dering khas HP Kei. Juga sama sepi tak berjawab. Dia ada. Dia masih di dalam. Saya tahu Kei, saya paling hafal ritualnya mengecek tas sebelum keluar rumah dan memastikan semua barang. Meninggalkan HP sama tidak mungkinnya dengan lupa pakai celana dalam keluar rumah. Dia paling tertib urusan bawa HP.

Pintu samping! Ya, saya punya kunci cadangan ke pintu itu! Saya harus masuk. Otak saya rasanya beku. Deg-degan yang menggedor-gedor. Jangan-jangan! Jangan-jangan!

Dan saya sampai depan kamarnya. Terbuka.

Potongan-potongan gambar dan suara menyerbu seperti film ke kepala. Nafas saya satu-satu. Mual sekaligus sakit di ulu hati menusuk. Rasa ngilu yang dalam.

“Ibuuuuuuuu! Tolong saya!” Kei dengan perut hamil dan didorong jatuh oleh suaminya. Disepak tepat di perutnya. Pukulan-pukulan bertubi. Lebam. Biru. Permintaan tolong

79

Page 80: Ber 317 an - vika-kika-gadis

yang sepi. Memar-memar di punggungnya. Bekas gigitan di lengan dalam. Darah yang mengalir di pahanya. Pukulan-pukulan. Caci maki. Erangan-erangan. Suara-suara tinggi. Derak barang pecah belah dibanting keras. Bilur dan luka. Merah. Darah. Kilau pisau bedah. Napas tersengal. Putus-putus. Air mata.

Tuhan!

Dia tidak pernah bahagia?

Kenapa saya tak pernah tahu?

“Ibu! Tolong saya!” Bisik lemah itu seperti suara jauh dari mimpi.

Saya tergugu di samping ranjang.

Kamar itu putih pucat. Rapi. Selimut terlipat di tempatnya. Bantal berbunga kecil tersusun dua-dua. HP Kei tergeletak manis di bawah lampu baca.

Saya melihat di atas ranjang kosong itu hiasan dinding

yang serasi. Telapak tangan kiri nyaris abu-abu pucat,

diplester di dinding dalam bingkai kaca berukir. Saya ingat

80

Page 81: Ber 317 an - vika-kika-gadis

betul cincin kawin mata satu yang saya pilihkan untuk Kei

masih melingkar di jari manisnya. ●

81

Page 82: Ber 317 an - vika-kika-gadis

Cincin Kawin

Vika Wisnu

London 7 Juli 2005.

Pagi yang cerah dan secangkir kopi tak bergula yang lebih beraroma dari biasanya. Kemarin tanpa terduga dia meneleponku dan hari ini kami akan bertemu untuk ngobrol-ngobrol sambil menikmati English breakfast, “Jangan lupa! Aku menginap di Hotel Hilton Metropole, dekat Edgware Road,” suaranya masih terngiang. Dia datang ke kota ini untuk sebuah konferensi. Aku datang ke kota ini, dua musim lalu, untuk menantikan dia datang untukku.

“Apa kabar, Zee?” kujabat tangannya dan summer pun berganti aura tropis yang menghangatkan hati. Dia berkisah tentang hari-harinya, operasi lutut ibunya, dan diet vegetarian yang masih ia jalani. Kupuaskan diriku

82

Page 83: Ber 317 an - vika-kika-gadis

memandangi lagi wajahnya, gerak bibirnya, tawa lepasnya….

“So…” tiba-tiba ia seperti merasa seperti terlalu mendominasi, “Kau berhasil mendapatkannya?” Zee tahu aku melamar beasiswa post graduate program.

“Ya.”

“Saint Andrews University?”

“Ya. Terrorism Psychology.”

“Wow...”

Komentarnya tak berlanjut, terputus oleh telepon genggamnya yang tiba-tiba berdering. Dari Jakarta. Tampaknya sangat penting, atau mungkin genting, karena sesaat kemudian berangsur-angsur ekspresi riangnya menghilang.

“Norman…,” suaranya berubah tercekat.

“Zee?” perasaanku mulai tak enak.

83

Page 84: Ber 317 an - vika-kika-gadis

“Ada bom lagi.”

Bom bunuh diri meledak di stasiun bawah tanah antara Aldgate East dan Liverpool Street pukul 08.51, lima menit berikutnya di jalur Picadilly, setengah jam kemudian di Stasiun Edgware Road, dan terakhir di atas double decker penuh penumpang di Tavistock Square. Empat bom berturut-turut! Zee membuka laptopnya. Selang beberapa menit aku ikut sibuk. Editorku di Jakarta menelepon mengonfirmasi. Kuhubungi kedutaan karena disinyalir ada warga Indonesia yang jadi korban. Temanku sesama mahasiswa memberi kabar, “Seorang petinggi bank BUMN perwakilan London selamat dari ledakan di bis. Sekarang dia dirawat sementara di Tavistock Hotel!”

Jalanan macet. Police line sudah terpasang di titik-titik kejadian. BBC memberitakan sedikitnya 700 orang cidera. Di reruntuhan bus tingkat merah yang khas itu ditemukan mayat seorang perempuan yang tinggal separuh badan dari perut ke atas. Diduga dia adalah salah satu dari empat pelaku. Chaos. Di televisi, Kepala Polisi menghimbau warga untuk tidak keluar rumah. Kantor-kantor dan pertokoan memutuskan tutup lebih awal. Seluruh angkutan publik dinyatakan berhenti beroperasi. Ribuan orang tumpah ruah di jalan-jalan. London lumpuh.

Aku dan Zee keluar dari hotel yang segera dijadikan pusat evakuasi. Kami menyusup ke tengah raungan sirene dan kerumunan manusia yang dilanda ketegangan antara

84

Page 85: Ber 317 an - vika-kika-gadis

terkejut, ingin tahu, sedih, cemas, marah, campur aduk. Dalam suasana itu ingatanku seketika berlari cepat, mundur ke satu kejadian serupa bersama orang yang sama, bersama Zee, di Bali tahun 2002, pertama kali aku mengenalnya, pertama kali aku menjadi saksi mata sebuah peristiwa pemboman yang brutal.

Di mulut salah satu gang di Legian, aku hampir menabraknya. Kala itu panik melanda seluruh penjuru Kuta. Segumpal C-4 telah meluluhlantakkan Hotel Kuta Beach, Sari Club, dan Paddy’s Bar. Mayat bergelimpangan. Sebagian yang sudah ditutup kain putih berjajar di atas trotoar. Asap tebal membubung. Di jalanan, serpihan pintu, puing bangunan, pecahan kaca berserakan. Zee, jurnalis yang baru saja mengundurkan diri dari korannya dan aku sarjana baru yang ingin merasakan liburan di pulau dewata. Naluri kewartawanannya belum hilang dan aku betul-betul tidak tahu harus berbuat apa. Belum sempat menyebutkan nama masing-masing, tahu-tahu saja kami telah menjelajahi seluruh kota berdua.

Dengan motor sewaan, aku memboncengkannya ke lokasi ledakan, ke Hard Rock Hotel mengejar konferensi pers, ke Rumah Sakit Sanglah tempat sebagian besar korban dirujuk, ke Konsulat Australia untuk mendapatkan pernyataan Perdana Menteri Alexander Downer tentang banyaknya warga Australia yang tewas dan terluka. Ke berbagai tempat. Sampai dua minggu berikutnya, aku mengantarnya untuk melihat dan melaporkan fakta.

85

Page 86: Ber 317 an - vika-kika-gadis

Ketika semuanya berakhir, Zee memberikan padaku satu amplop berisi sejumlah uang. “Untuk apa?” waktu kutanyakan itu, Zee berkata ringan, “Ini honorarium.” Aku menolaknya karena memang yang kulakukan untuknya selama dua pekan di Bali bukan untuk alasan uang. Zee minta maaf karena merasa menilaiku terlalu rendah. Lalu kami berpisah, ia kembali ke Jakarta, aku pulang ke Surabaya. Tapi kami tetap bertemu di dunia maya. Zee kemudian bekerja kembali di sebuah majalah berita. Enam minggu sesudahnya aku diterima sebagai koresponden The Guardian biro Asia dan berkantor di Jakarta. Sejak itu kami sering bersama lagi, ke mana pun pergi.

Dibandingkanku, Zee delapan belas tahun lebih tua. Namun gayanya yang ceria membuatnya tampak bukan seperti perempuan berusia empatpuluh dua. Dia tidak menikah. Pekerjaan adalah suaminya. Dari kerapnya kami bertemu dan bercerita, akhirnya kutahu sebuah rahasia, Zee sakit. Kanker otak stadium 4. Dia bilang umurnya tak lama lagi. Itu sebabnya ia tak mau cari laki-laki. Zee tak mau membuat suaminya menangis sewaktu-waktu nanti ia mati.

“Kalau mati, kau sudah tidak bisa melihat lagi. Kau tidak akan tahu apakah suamimu sedang menangisimu atau tidak,” kukatakan padanya untuk santai saja, nikmati hidup selagi bisa. Zee hanya tertawa.

86

Page 87: Ber 317 an - vika-kika-gadis

Aku jatuh cinta padanya. Tergila-gila pada kelembutannya, semangatnya, kecerdasannya, caranya berbicara, caranya memanggil namaku, caranya mengajariku dan meluruskan kesalahanku. Aku mengagumi kecantikannya, dandanannya, rambut sebahunya yang ikal, perawakannya yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata wanita Indonesia, hidungnya yang ramping dan matanya yang indah. Zee keren dan gaya. Selera dandannya, pilihan warna-warna bajunya, wangi parfumnya. Bagiku dia mempesona. Aku menginginkannya. Untuk pertama kalinya aku merasa begitu mendambakan seorang wanita. Ketika tahu hal itu, Zee mulai menjauhiku.

Zee lalu berusaha mengubah situasi di antara kami. Ia meyakinkanku bahwa aku adalah adik kecilnya yang sedang merasakan pengalaman baru di ibukota dan di dunia media, sementara ia kakak tertua yang harus selalu kudengarkan nasihatnya. Aku tahu hatinya tidak berkata demikian. Aku tahu ia merasakan apa yang kurasakan. Aku ingat caranya memandangku, caranya merajuk ketika aku menolak naik taksi dan malah mengajaknya naik kopaja dari Blok M ke Slipi. Zee memperkenalkanku kepada orangtuanya, mengajakku menengok perpustakaan pribadinya, dan mencekokiku dengan kehebatan karya Tagore dan Disraeli. Di sela makan siangnya kubacakan untuknya komik anak-anak Jimy Lima dan Zee selalu tertawa. Aku suka melihatnya tertawa. Tapi ia tak mau melihatku jatuh cinta padanya.

87

Page 88: Ber 317 an - vika-kika-gadis

Suatu hari Zee berpamitan. Ia akan pindah ke Adelaide dan bekerja di sana. Selain itu, untuk membuktikan informasi yang didapatnya bahwa fasilitas kesehatan di sana jauh lebih baik, ia ingin mengupayakan perawatan dan mungkin kesembuhan.

“Zee, kau bisa mati kapan saja, di mana saja. Kau tidak bisa lari dari maut!” Aku protes keputusannya pergi.

“Kalaupun harus mati,” kata Zee, “Setidaknya aku tidak merepotkan siapa pun.” Disodorkannya padaku wasiat agar kelak mayatnya langsung dikremasi. Kurobek-robek kertas itu penuh emosi, “Kau tidak bisa lari dariku, Zee. Kau tidak bisa lari dari cinta…”

“Norman, kau masih muda. Kau tampan, berbakat, masa depanmu masih panjang. Tuhan akan….”

“Tuhan akan bangga padamu,” potongku sinis, “Hanya kau satu-satunya orang yang paling menderita, kau sakit, kau tak ingin membuat orang lain sedih, kau tanggung semuanya sendiri, kau ingkari perasaanmu, kau tinggalkan semua orang yang menyayangimu, kau mengelak untuk berbahagia!”

“Norman, kau hanya kasihan padaku…”

88

Page 89: Ber 317 an - vika-kika-gadis

Egoku tersayat. Suara Zee terdengar perih.

Hari ini, dua tahun sejak kepergiannya, tak banyak yang berubah darinya. Hanya rambutnya yang jadi sangat pendek dan beberapa noda kehitaman yang samar di wajahnya akibat kemoterapi. Zee berjalan di sampingku. Kedua tangannya tersembunyi di saku jeansnya. Diam. Menekuri jalan. Kami baru saja menyelesaikan laporan masing-masing. Editorku baru saja menutup teleponnya yang ke sekian. Menlu Hasan Wirayuda sudah mengirim kawat dukacita, Presiden George W. Bush sudah mengeluarkan tudingan bahwa Al Qaeda berada di balik semua ini, indeks saham dikabarkan langsung melorot. Kepalaku mulai penuh dengan teori-teori dan aku mulai menguatirkan Zee.

Kurengkuh bahunya mendekat padaku. Di teras museum National Gallery kami duduk berdampingan, bersandar di pilar raksasanya yang kokoh. Trafalgar Square telah lengang, hanya beberapa polisi lalu lalang dan lampu mobil patroli yang terus berkedip. Suasana berkabung begitu terasa di kota tua yang otomatis lumpuh dalam sehari ini. Zee masih diam, aku terpekur. Seekor merpati melintasi taman. Siluetnya menyerupai sayap malaikat, melesat ke langit yang mulai meredup.

“Menikahlah denganku, Zee.” Kugenggam tangannya. Dan musim kelima pun seketika tiba, merangkum segala

89

Page 90: Ber 317 an - vika-kika-gadis

cuaca. Begitu rancu. Badai salju dan terik matahari jadi satu. Kupu-kupu terbang dari satu bunga mekar ke kelopak layu. Gelap dan terang datang bersamaan. Musim ini telah kunikmati sepanjang tahun sejak aku kehilangan dirinya. Rindu yang sekian lama kuperam, kuharap hari ini rasanya tak lagi asam.

“Aku sekarat, Norman. Kau hanya akan mengawini calon mayat.”

Keras kepala! Masih saja pikiran itu yang ada di otaknya! “Zee…,” Kutatap matanya lekat, “Aku tidak mau ada bom lagi dan kau bukan milikku…”

Zee menggigil berkeras menahan agar tak menitik air matanya. Kudekatkan wajahku, mencari rona di wajahnya yang begitu pucat. Kutemukan bibirnya yang membiru terkatup rapat. Kulumat. Dalam dingin yang mulai merayap, dalam senyap dan barangkali dalam putus asaku yang telah sedemikian pekat, kupaksa ia menerima yang kuyakini, “Kau tidak akan mati. Tidak, Zee…” kataku, “Tidak hari ini.” Hangat air matanya mengaliri pipiku, bersatu dengan air mataku.

Zee, betapa lama saat ini kunanti, memelukmu dan merasakan detak jantungmu, menghirup kecemasanmu, menghisap kekuatiran-kekuatiranmu akan segala yang mungkin tak kau ingini, merasakan hangat rindumu yang begitu lama kau hindarkan untuk kuketahui. Ah, Zee,

90

Page 91: Ber 317 an - vika-kika-gadis

berdoalah semoga langit menjatuhkan hujan tembaga dan membekukan kita berdua di taman kota. Lalu suatu hari nanti, ketika tiba saat matahari musim semi memerahkan kuncup-kuncup bunga poppy, di bawah pepohonan yang rindang belasan kanak-kanak berlarian riang, berkejaran, mengitari kita dengan terpana dan mengira kita ini adalah buah pahatan Da Vinci. Padahal kita sungguh-sungguh abadi.

***

Cincin itu berdiameter lima belas mili. Bahannya emas duapuluhdua karat, berhias berlian sebesar biji wijen, kubeli di Christie tepat seminggu setelah peristiwa London Blast setahun lalu. Zee memakainya kemarin, di jari manisnya yang lentik. Senyumnya terus mengembang. Tanganku digenggamnya hingga akhir acara sambil tak henti menyapa satu per satu tamu yang hadir, yang dengan sukacita menyalami kami. Mengucapkan selamat, menggoda, ikut berbahagia bersama kami. Ini hari pernikahanku dan Zee. Aku telah lulus summa cum laude dan Zee memutuskan meninggalkan Adelaide untuk hidup bersamaku di Jakarta. Siapakah lelaki di dunia ini yang paling berbahagia? Penuh percaya diri kubisikkan di telinganya, “Kurasa kau sangat mencintaiku.” Zee menoleh berseri-seri, cantik sekali. Cantik sekali.

91

Page 92: Ber 317 an - vika-kika-gadis

Delapan belas jam kemudian, masih kubisikkan berbagai kata di telinganya, tak pula kulepas genggamannya. Tapi Zee sudah tak tersipu lagi. Kami sudah berada sejauh puluhan kilometer dari lokasi pesta. Tak ada tamu, tak ada kerabat, tak ada sahabat di sana. Kami berdua saja. Di ruangan bercat hijau lembut, kulihat infus dan beraneka selang dipasangkan di tubuh kekasihku.

Persis pukul sepuluh pagi di keesokan harinya, saat matahari menjelang tinggi, kubaringkan pengantinku di tanah basah. Orang-orang bilang, aku perlu dibantu. Tapi semua telah kukerjakan sendiri, dengan tangan dan seluruh tenagaku; memandikannya, mengafaninya dan memimpin para hadirin mendoakannya. Karena aku tahu hanya aku yang paling dicintainya, aku yang selalu dirindukannya, aku yang paling dia inginkan ada di dekatnya. Setelah permukaan liang rata tertutup tanah, dekat kayu nisannya, aku termangu. Lalu ketika bayang-bayangku berpindah arah, orang-orang mulai berlalu satu per satu. Meninggalkanku dengan tatapan haru.

Banyak peristiwa tak terduga yang telah kualami bersamanya. Tapi dua kali peristiwa pemboman pun tak lebih mencengangkanku dibanding mengantarkannya ke liang lahat. Zee suka kejutan, spontanitas, dan hal-hal yang tak terprediksi. Kematiannya justru satu-satunya kejadian yang sejak jauh-jauh hari ia antisipasi. Zee bahkan mempersiapkan diriku untuk menghadapi ketidakhadirannya dalam hidupku yang niscaya. Zee menempatkan kematiannya sebagai isu abadi dalam

92

Page 93: Ber 317 an - vika-kika-gadis

hubungan kami. Bagiku, tetap saja hari ini datang terlalu tiba-tiba, meski peringatannya telah kuterima sangat dini. Yang kuinginkan hanya bisa bersamanya sedikit lebih lama. Salahku mengira bahwa cintaku dapat menangguhkan kepergiannya.

“Norman,” seseorang merengkuh bahuku dari belakang, berusaha membimbingku berdiri, “Mari kita pulang.” Kutepiskan. Aku cukup kuat, kataku dalam hati. Kutolakkan uluran tangan itu dan bergegas bangkit. Aku kuat. Ya, seharusnya memang aku cukup kuat untuk berjalan sendiri kalau saja mataku tidak tiba-tiba tersilaukan oleh sebuah kilauan. Sepasang tangan buru-buru menyergap, tapi tak kuasa menahan berat tubuhku yang terlanjur jatuh, terduduk, lalu tersungkur. Dadaku serasa terkoyak oleh entah apa yang begitu menyesak. Maafkan, Zee, bukan aku mengingkari janji, tapi aku tak sanggup lagi. Betapa kemudian aku meraung, melolong, memanggil namanya berulangkali.

Sebentuk lingkaran mungil kutemukan di puncak gundukan. Cincin emas duapuluhdua karat berdiameter limabelas mili dengan hiasan berlian sebesar biji wijen yang kupasangkan di depan penghulu dan para saksi, yang tak kulepaskan sekejap pun dari jari manisnya yang lentik. Cincin kawinnya. Yang kupinta untuk dia kenakan selama-lamanya.

93

Page 94: Ber 317 an - vika-kika-gadis

“Berjanjilah untuk tidak mati.” Itu pesan terakhir Zee. Ia telah menjadi istriku meski belum genap sehari.

“Itu berarti kau curang, sayang…” kuciumi keningnya dalam perjalanan ke rumah sakit. Darah terus mengucur dari hidungnya, membasahi sapu tanganku dan renda-renda kebaya putihnya.

“Norman, kau membuatku bahagia,” pandangannya tetap hangat, tapi tubuhnya mulai dingin, ”Aku ingin melihatmu selalu bahagia,” lirihnya terbata. Sesudahnya, Zee menutup mata.

Malam itu, langit serupa tanah lapang yang rerumputannya adalah bintang-bintang. Zee berjalan di atasnya, melambaikan tangan, kubalas dengan salam perpisahan. Kukatakan kepadanya, “Istriku sayang, besok aku akan datang, walau mungkin tak terlalu pagi.” Mataku yang sembab melihatnya mengangguk, mengerti. Dari serak tumpukan taburan mawar, kenanga dan melati, kupungut kembali tanda cintaku untuknya. Cincin kawin itu, Zee tak membawanya serta. ●

94

Page 95: Ber 317 an - vika-kika-gadis

Akhir Cerita

“Saya cukup terharu. Saya merasa saya nggak berbakat menulis cerita dan judul-judul yang saya buat menurut

saya cemen. Tapi Kika dan Vika ternyata bisa menemukan angle cerita yang cukup menarik, yang bahkan oleh saya

nggak terpikirkan.”

“Seingat saya, dalam proses penulisan cerita-cerita ini Kika selalu telat, lewat dari deadline yang sudah

disepakati. Terus, ada satu periode di mana tiba-tiba Vika ngabari dia sakit, nggak jelas apa sakitnya, tapi

kedengarannya cukup parah, saya sampai ikut panik.”

95

Page 96: Ber 317 an - vika-kika-gadis

(Gadis, setelah semua cerita terkumpul, diedit, siap dicetak dan dipublikasikan)

96