BENTUK-BENTUK KECEMASAN TOKOH WANITA DALAM ANTOLOGI CERPEN ... · bentuk takut akan benda-benda...
Transcript of BENTUK-BENTUK KECEMASAN TOKOH WANITA DALAM ANTOLOGI CERPEN ... · bentuk takut akan benda-benda...
BENTUK-BENTUK KECEMASAN TOKOH WANITA DALAM ANTOLOGI CERPEN PEREMPUAN KEDUA
KARYA EVI IDAWATI (TINJAUAN PSIKOLOGI SASTRA)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Progran Studi Sastra Indonesia
Disusun oleh
Dwi Indah Kurniawati NIM: 014114014
FAKULTAS SASTRA JURUSAN SASTRA INDONESIA
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2008
PERSEMBAHAN
SEPERTI HARI INI…!
ATAUPUN HARI ESOK…?!
SEGALA SESUATU ITU ADA MASANYA
DAN
TUHAN AKAN MENJADIKAN SEGALA SESUATU
INDAH PADA WAKTUNYA
KITA HANYA PERLU BERUSAHA
DAN BERSABAR DALAM PENGHARAPAN
UNTUK BISA MERASAKANNYA
SKRIPSI INI AKU HATURKAN UNTUK KELUARGAKU:
BAPAK FRANSISKUS SUPRIHONO, BA IBU FRANSISKA SRI LESTARI
DAN KAKAKKU DIDIT PULUNGGONO
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan
daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 19 Maret 2008
Penulis,
Dwi Indah Kurniawati
ABSTRAK
BENTUK-BENTUK KECEMASAN TOKOH WANITA DALAM ANTOLOGI CERPEN PEREMPAUN KEDUA
KARYA EVI IDAWATI (TINJAUAN PSIKOLOGI SASTRA)
Dwi Indah Kurniawati Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta 2008
Penelitian ini mengkaji bentuk-bentuk kecemasan tokoh wanita dalam antologi cerpen Perempuan Kedua karya Evi Idawati. Objek penelitian yang akan dianalisis dalam antologi cerpen Perempuan Kedua terdiri dari dua belas cerpen. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan psikologi sastra yang digunakan untuk menganalisis bentuk-bentuk kecemasan yang dialami tokoh wanita dalam kehidupan pribadinya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Langkah yang di tempuh peneliti, yaitu pertama, melakukan analisis secara struktural terhadap antologi cerpen Perempuan Kedua meliputi analisis tokoh dan penokohan. Kedua, melakukan analisis psikologis terhadap antologi cerpen Perempuan Kedua untuk menemukan bentuk-bentuk kecemasan tokoh wanita. Hasil analisis struktural dari antologi cerpen Perempuan Kedua dapat disimpulkan sebagai berikut, tokoh dan penokohan meliputi empat jenis, yaitu tokoh sentral, tokoh bawahan, tokoh protagonis, dan tokoh antagonis . Hasil analisis psikologis dari antologi cerpen Perempuan Kedua, adalah 1) Rasa cemas yang timbul akibat melihat dan mengetahui ada bahaya yang mengancam, terdapat dalam cerpen “Pinangan Tengah Malam”, “Beri Aku Waktu”, “Di Depan Jenazah Ayah”, “Tikungan”, dan “Bukan Salahmu, Firda”. 2) Rasa cemas yang berupa penyakit, meliputi 2.1) cemas yang umum, terdapat dalam cerpen “Perempuan Kedua”, “Disinilah Tempat Cinta”, dan “Perceraian Bawah Tangan”, 2.2) Cemas dalam bentuk takut akan benda-benda atau hal-hal tertentu, terdapat dalam cerpen “Dipan Antik”, dan “Biola”, 2.3) Cemas dalam bentuk ancaman, terdapat dalam cerpen “Di Depan Jenazah Ayah”. 3) Cemas karena merasa berdosa atau bersalah, karena melakukan hal-hal yang berlawanan dengan keyakinan, terdapat dalam cerpen “Hanya Satu Malam”, dan “Bukan Pertarungan Biasa”.
ABSTRACT
FORMS OF DREAD OF WOMAN CHARACTER
IN ANTHOLOGY SHORT STORY PEREMPUAN KEDUA BY EVI IDAWATI
(THE PSYCHOLOGICAL LITERARY STUDIES)
Dwi Indah Kurniawati Sanata Dharma University
Yogyakarta 2008
This research study the form of dread of woman character in anthology short story Perempuan Kedua by Evi Idawati. Research object which will be analysis in anthology short story Perempuan Kedua consisted of twelve short story. Approach used in the research is approach of psychology literature is used to analyse the natural dread forms of woman character in its person life.
Method used in the research is descriptive method. Step which is going through researcher, that is first, doing analysis structurally to anthology short story Perempuan Kedua, covering analysis of the characters, and the characterization. Secondly, doing psychology analysis to anthology short story Perempuan Kedua to find the forms of dread of woman character.
Result of structural analysis from anthology short story Perempuan Kedua inferential as follows, the character and the characterization cover four type, that is central character, subordinate character, protagonist character, and antagonist character. Result of psychology analysis of anthology short story Perempuan Kedua, is 1) Worriing arising out of effect of seeing and knowing there danger menacing, there are in short story " Pinangan Tengah Malam", " Beri Aku Waktu", "Di Depan Jenazah Ayah", “Tikungan”, and "Bukan Salahmu, Firda”. 2) Worry which is in the form of disease, covering 2.1) worriing public, there are in short story "Perempuan Kedua", " Disinilah Tempat Cinta", and " Perceraian Bawah Tangan", 2.2) Worriing in the form of in fear of certain things or object, there are in short story " Dipan Antik", and "Biola", 2.3) Worriing in the form of threat, there are in short story "Di Depan Jenazah Ayah. 3) Worry because feel guiltying or making a mistake, because doing adversative things with the confidence, there are in short story "Hanya Satu Malam", and " Bukan Pertarungan Biasa".
KATA PENGANTAR
Penulis memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah
memberikan limpahan berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul Bentuk-Bentuk Kecemasan Tokoh Wanita dalam Cerpen
Perempuan Kedua Karya Evi Idawati (Tinjauan Psikologi Sastra). Skripsi ini ditulis
untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana S1 pada Program Studi
Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, di Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik
berkat dukungan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, dalam kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Drs. B. Rahmanto, M. Hum. selaku dosen pembimbing I dan Ketua
Jurusan Sastra Indonesia yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam
menyusun skripsi ini.
2. Ibu Peni Adji, S. S, M. Hum. selaku dosen pembimbing II yang telah
memberikan bimbingan, masukan, dan arahan dalam penyusunan skripsi ini.
3. Bapak/Ibu staf pengajar Program Studi Sastra Indonesia, Drs. B. Rahmanto, M.
Hum., Peni Adji, S. S, M. Hum., Dr. Praptomo Brayadi, M. Hum., Drs. Hery
Antono, M. Hum., Drs. P. Ari Sugayo, M. Hum., DrsYoseph Yapi Taum, M.
Hum., Dra. Fransiska Tjandrasih Adji, M. Hum., Drs. FX. Santosa, M. Hum., dan
Prof. Dr. Alex Sudewa yang telah membekali ilmu sehingga penulis dapat
menyelesaikan studi di Universitas Sanata Dharma.
4. Staf Perpustakaan Universitas Sanata Dharma yang telah membantu memberi
pinjaman buku-buku referensi kepada penulis.
5. Bapakku Fransiskus Suprihono, BA dan Ibuku Fransiska Sri Lestari yang selalu
memberikan kasih sayang dan perhatian kepada penulis.
6. Kakakku Didit Pulunggono yang selalu memberikan dukungan dan perhatian
dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Keluarga Minomartani, Tante Har dan Om Karyadi, adik-adikku Iwan, Indra,
Oki, dan Tiok terima kasih atas kebersamaan selama penulis menyelesaikan masa
studi.
8. Spesial buat Nofa Tri Handaka. Thanks untuk tetap setia dan sabar memberi
perhatian kepada penulis selama menyelesaikan masa studi.
9. Mbak Era. Thanks untuk kebersamaan dan dorongan dalam menyelesaikan
skripsi ini.
10. Sahabat-sahabatku, Yuni yang telah baik dan setia memberi support kepada
penulis, Eni, Empit, dan Dwik yang selalu memberi semangat kepada penulis.
11. Teman-temanku Thomas, Amri the genk, Luki, Adibu, kak Lief, kak Toni, kak
Melfit, kak Sally. Terima kasih untuk doa, kebersamaan dan dorongan semangat
dalam menyelesaikan skripsi ini.
12. Teman-teman Sastra Indonesia 2001, terima kasih atas kebersamaan kalian
selama ini.
13. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang turut membantu
penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, tetapi penulis
berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.
Yogyakarta, 19 Maret 2008 Penulis Dwi Indah Kurniawati
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………….. i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ……………………… ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI …………………………….. iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ……………………………………….. iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……………………………….. v
ABSTRAK ………………………………………………………………. vi
ABSTRACT ……………………………………………………………… vii
KATA PENGANTAR …………………………………………………... viii
DAFTAR ISI …………………………………………………………….. xi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ……………………………………………... 1
1.2 Rumusan Masalah ………………………………………………….... 4
1.3 Tujuan Masalah …………………………………………………….... 4
1.4 Manfaat Penelitian …………………………………………………... 4
1.5 Tinjauan Pustaka …………………………………………………….. 5
1.6 Landasan Teori ………………………………………………………. 6
1.6.1 Tokoh dan Penokohan …………………………………………. 7
1.6.2 Teori Psikologi………………………………………………..... 8
1.6.3 Kecemasan……………………………………………………... 9
1.7 Metodelogi Penelitian………………………………………………... 10
1.7.1 Pendekatan…………………………………………………….. 10
1.7.2 Metode Penelitian……………………………………………… 10
1.7.3 Teknik Pengumpulan Data…………………………………….. 13
1.8 Sumber Data………………………………………………………… 11
1.9 Objek Penelitian…………………………………………………….. 11
1.10 Sistematika Penyajian……………………………………………… 12
BAB II ANALISIS TOKOH DAN PENOKOHAN DALAM
ANTOLOGI CERPEN PEREMPUAN KEDUA
2.1 Tokoh dan Penokohan ……….……………………………………… 13
2.1.1 Cerpen “Pinangan Tengah Malam”…………………………. 13
2.1.1.1 Tokoh Nora ………………………………………….. 13
2.1.1.2 Tokoh Anton ………………………………………… 15
2.1.1.3 Tokoh Pasha …………………………………………. 16
2.1.2 Cerpen “Beri Aku Waktu”…………………………………... 17
2.1.2.1 Tokoh Umi …………………………………………... 17
2.1.2.2 Tokoh Usman ………………………………………... 19
2.1.2.3 Tokoh Rida …………………………………………... 20
2.1.3 Cerpen “Dipan Antik”……………………………………….. 21
2.1.3.1 Tokoh Istri …………………………………………… 21
2.1.3.2 Tokoh Suami ………………………………………… 23
2.1.4 Cerpen “Hanya Satu Malam”………………………………... 23
2.1.4.1 Tokoh Aku …………………………………………… 23
2.1.5 Cerpen “Di Depan Jenazah Ayah”…………………………… 26
2.1.5.1 Tokoh Aku …………………………………………… 26
2.1.5.2 Tokoh Ayah ………………………………………….. 29
2.1.5.3 Tokoh Ibu ……………………………………………. 29
2.1.6 Cerpen “ Tikungan”…………………………………………. 30
2.1.6.1 Tokoh Aku …………………………………………... 30
2.1.6.2 Tokoh Pembantu …………………………………….. 32
2.1.7 Cerpen “Bukan Salahmu, Firda”…………………………….. 33
2.1.7.1 Tokoh Firda ………………………………………….. 33
2.1.7.2 Tokoh Ibu ……………………………………………. 34
2.1.7.3 Tokoh Desi …………………………………………... 35
2.1.7.4 Tokoh Akmal ………………………………………... 35
2.1.8 Cerpen “Perempuan Kedua”………………………………… 36
2.1.8.1 Tokoh Roe …………………………………………… 36
2.1.8.2 Tokoh Faisal …………………………………………. 38
2.1.8.3 Tokoh Joan …………………………………………... 39
2.1.9 Cerpen “Di Sinilah Tempat Cinta”………………………….. 40
2.1.9.1 Tokoh Aku …………………………………………... 40
2.1.9.2 Tokoh Nin …………………………………………… 42
2.1.10 Cerpen “Biola”………………………………………………. 43
2.1.10.1 Tokoh Aku …………………………………………. 43
2.1.10.2 Tokoh Ibu …………………………………………... 44
2.1. 10.3 Tokoh Ve …………………………………………... 46
2.1.11 Cerpen “Bukan Pertarungan Biasa”…………………………. 46
2.1.11.1 Tokoh Aku ………………………………………….. 46
2.1.11.2 Tokoh Suami ………………………………………... 48
2.1.11.3 Tokoh Nadia ………………………………………… 49
2.1.12 Cerpen “Perceraian Bawah Tangan”………………………… 50
2.1.12.1 Tokoh Laksita ………………………………………. 50
2.1.12.2 Tokoh Suami ………………………………………... 51
2.1.12.3 Tokoh Mia ………………………………………….. 51
BAB III ANALISIS BENTUK-BENTUK KECEMASAN TOKOH
WANITA DALAM ANTOLOGI CERPEN PEREMPUAN
KEDUA
3.1 Rasa Cemas yang Timbul Akibat Melihat dan Mengetahui ada
Bahaya yang Mengancam Dirinya…………………………………… 58
3.1.1 “Pinangan Tengah Malam”……………………………………... 58
3.1.2 “Beri Aku Waktu”………………………………………………. 59
3.1.3 “Di Depan Jenazah Ayah”……………………............................. 59
3.1.4 “Tikungan”………………………………………………………. 60
3.1.5 “Bukan Salahmu, Firda”……………………………………........ 61
3.2 Rasa Cemas yang Berupa Penyakit…………………………………... 61
3.2.1 Cemas yang Umam……………………………………................ 61
3.2.1.1 “Perempuan Kedua”…………………………………….. 62
3.2.1.2 “Di Sinilah Tempat Cinta”……………………………… 63
3.2.1.3 “Perceraian Bawah Tangan”............................................. 63
3.2.2 Cemas dalam Bentuk Takut akan Benda-Benda………………... 64
3.2.2.1 “Dipan Antik”…………………………………………... 64
3.2.2.2 “Biola”………………………………………………….. 65
3.2.3 Cemas dalam Bentuk Ancaman………………………………… 66
3.2.3.1 “Di Depan Jenazah Ayah”…………………………….... 66
3.3 Cemas karena Merasa Berdosa atau Bersalah karena Melakukan
Hal-Hal yang Berlawanan dengan Keyakinan atau Hati Nurani……… 66
3.3.1 “Hanya Satu Malam”…………………………………………… 67
3.3.2 “Bukan Pertarungan Biasa”…………………………………….. 68
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan……………………………………………………………. 72
4.2 Saran…………………………………………………………………... 72
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….. 74
LAMPIRAN SINOPSIS…………………………………………………. 75
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sastra adalah ungkapan spontan dari perasaan yang mendalam. Sastra adalah
ekspresi pikiran dalam bahasa, sedang yang dimaksud “pikiran” adalah pandangan,
ide-ide, perasaan, pikiran, dan semua kegiatan mental manusia. Karya sastra
merupakan suatu ungkapan perasaan, isi hati, dan pikiran pengarang, apa yang
dilihat, dirasakan, bahkan dialaminya. Penciptaan sebuah karya sastra sangat
dipengaruhi oleh lingkungam sekitar. Karya sastra merupakan ekspresi atau
pandangan kebudayaan. Kehadiran sebuah karya sastra pada saat tertentu dapat
menampilkan kembali sesuatu yang terjadi yang dialami oleh pengarangnya. Sebuah
karya sastra pada dasarnya merupakan suatu reaksi terhadap suatu keadaan yang
dialami oleh pengarangnya. Dari pengalaman itu, pengarang menulis karyanya untuk
mengemukakan obsesi dan permasalahan hidupnya. Obsesi tersebut dapat berupa
cita-cita dan cinta yang kemudian tertuang dalam karya sastra (Sumardjo, 1986: 2).
Sumardjo (1984: 65) menegaskan bahwa sebuah karya sastra merupakan hasil
pengamatan sastrawan terhadap kehidupan sekitarnya. Penciptaan serbuah karya
sastra dipengaruhi oleh latar belakang pengarangnya, lingkungan sastra, dan
kepribadian pengarangnya itu sendiri. Bahkan, sebuah karya sastra dapat
mengandung kisah kehidupan seseorang sewaktu ia mengalami krisis dalam jiwanya.
Krisis tersebut muncul ketika seseorang mengalami suatu peristiwa dan peristiwa itu
kemudian menimbulkan kesan yang kuat di dalam jiwanya. Dengan kata lain karya
sastra mempunyai kaitan yang erat dengan pengalaman jiwa pengarangnya. Sebab
sebuah karya sastra merupakan seleksi dari kehidupan dan merupakan refleksi
terhadap kehidupan itu sendiri yang direncanakan dengan tujuan tertentu. Wellek dan
Warren via Budianto (1990: 109) menyatakan bahwa sastra menyajikan kehidupan
dan kehidupan sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial walaupun karya sastra
juga meniru alam dan dunia subjektif manusia.
Evi Idawati adalah seorang penulis perempuan Indonesia. Dia banyak
menyalurkan ide dan gagasannya melalui puisi, cerpen, esai, dan novel. Evi dikenal
sebagai penyair yang produktif dengan karya-karya elegan yang sering
dipublikasikan di media massa. Sebagai penulis, Evi Idawati sering mengangkat
tema-tema perempuan dalam tulisannya. Problematika kehidupan perempuan dalam
rumah tangga, relasi sosial, dunia kerja, dan sebagai personal di tulis Evi dengan
bahasa yang datar dan sederhana, bahkan tidak terasa emosional meski sedang
menggugat sekalipun. Kebangkitan penulis perempuan dengan karya-karyanya telah
memberi warna baru dalam dunia sastra di Indonesia. Selain itu, sastra bisa menjadi
media bagi perempuan untuk memperjuangkan “keberadaan”nya dalam budaya yang
seringkali tidak memihak dan mengakui perempuan.
Karya sastra yang menyajikan kehidupan berdasarkan kenyataan sosial
dipaparkan Evi Idawati dalam bentuk antologi cerpen Perempuan Kedua. Antologi
cerpen Perempuan Kedua merupakan antologi cerpen tunggalnya yang ketiga setelah
“Mahar” (Gitanagari 2003) dan “Malam Perkawinan” (Grasindo 2005). Cerpen
Perempuan Kedua diceritakan Evi sebagai realita kehidupan dengan menghadirkan
permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh kaum perempuan.
Permasalahan-permasalahan yang dihadirkan dalam karya sastra berbentuk
cerpen ini tidak lepas dari kehidupan pribadi perempuan. Berbagai problematika
perkawinan, kehidupan privasi perempuan (baik sebagai ibu atau calon ibu, istri,
maupun anggota masyarakat), bahkan hubungan pribadi dengan Tuhan, tidak jarang
menjadi butiran-butiran konflik batin yang dapat menimbulkan suatu kecemasan
dalam kehidupan pribadi perempuan. Persoalan cinta yang muncul di antara hak dan
kewajiban individu seorang perempuan terkadang membuat perempuan mengalami
suatu tekanan batin yang sulit untuk dihilangkan. Permasalahan tersebut yang coba
dijabarkan dalam antologi cerpen Perempuan Kedua, yang nantinya akan dianalisis
dalam penelitian ini.
Antologi cerpen Perempuan Kedua sendiri memuat tiga belas cerpen yang
terdiri dari dua belas cerpen berisi permasalahan seputar kehidupan perempuan dan
satu cerpen yang tidak membahas permasalahan perempuan. Dalam penelitian ini
penulis hanya akan menganalisis dua belas cerpen yang memunculkan permasalahan
berupa kecemasan yang dialami tokoh wanita yang terdapat dalam antologi cerpen
Perempuan Kedua. Persoalan yang muncul dalam dua belas cerpen tersebut
memunculkan adanya suatu kecemasan batin dalam diri perempuan.
Adanya masalah yang muncul dalam dua belas cerpen, maka penulis
berminat untuk meneliti antologi cerpen Perempuan Kedua ini dengan sudut
pandang psikologi sastra. Selain itu, penulis juga tertarik dengan antologi cerpen ini
karena hampir seluruh isi cerita dari tiap-tiap cerpen mengangkat perempuan sebagai
pemeran utama dalam cerita. Kandungan isi cerita pun sangat ringan, tetapi dapat
memunculkan suatu konflik yang memicu timbulnya kecemasan pada tokoh wanita.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
masalah-masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini antara lain:
1.2.1 Bagaimana tokoh dan penokohan yang ada dalam antologi cerpen Perempuan
Kedua karya Evi Idawati?
1.2.2 Bagaimana bentuk-bentuk kecemasan yang dialami tokoh wanita dalam
antologi cerpen Perempuan Kedua karya Evi Idawati?
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan masalah-masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini,
maka tujuan penelitian ini adalah:
1.3.1 Mendeskripsikan tokoh dan penokohan yang ada dalam antologi cerpen
Perempuan Kedua karya Evi Idawati.
1.3.2 Mendeskripsikan bentuk-bentuk kecemasan yang dialami tokoh wanita dalam
antologi cerpen Perempuan kedua karya Evi Idawati.
1.4 Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka dapat disimpulkan manfaat dari
penelitian ini, adalah:
1.4.1 Penelitian ini diharapkan dapat menambah bahan kajian dalam memahami
cerpen Perempuan Kedua karya Evi Idawati dengan mengetengahkan sebuah
problematika perempuan berupa kecemasan.
1.4.2 Penelitian ini diharapkan dapat menambah bahan kajian perempuan melalui
media seni sastra.
1.4.3 Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya tinjauan sastra dari sudut
psikologi.
1.5 Tinjauan Pustaka
Kastari (2006) menyatakan bahwa buku antologi cerpen Perempuan Kedua
merupakan puncak gugatan persoalan perempuan. Perempuan Kedua bukan
bermaksud melakukan eksploitasi hal-hal yang tidak wajar tentang perempuan dalam
pandangan kita, seperti memandang lembaga perkawinan, perempuan, sikap
kesetaraan, keluarga, tetapi lebih bersikap gugatan dari seorang penulis untuk
memposisikan diri di atas wacana sebagai eksistensi sebagai sesama manusia. Karya
ini sebagai bentuk empati dan keberpihakan kemanusiaan terhadap perempuan .
Secara spesifik Kastari (2006) menjelaskan bahwa cerpen-cerpen karya Evi
Idawati yang terhimpun dalam antologi cerpen Perempuan Kedua bercerita tentang
impian dan kenyataan dunia perkawinan. Meliputi masalah personal perempuan, baik
sebagai ibu, istri dan anggota masyarakat, bahkan yang menyangkut soal hubungan
suami istri, hubungan dengan Tuhan yang bisa di lihat dari sisi negatif dan
positifnya. Hal ini bukan bermaksud mengeksploitasi perempuan yang tidak wajar
sekalipun, tetapi untuk memperkaya keberagaman cara pandang manusia terhadap
sebuah perkawinan.
Dari tinjauan di atas, sejauh sepengetahuan penulis saat melakukan penelitian
ini belum ada tulisan yang menganalisis mengenai cerpen Perempuan Kedua dalam
bentuk penelitian maupun karya ilmiah lainnya. Berdasarkan hasil interpretasi data
yang penulis lakukan maka akan dianalisis cerpen Perempuan Kedua ini melalui
analisis unsur intrinsik berupa tokoh dan penokohan serta latar, dan akan dianalisis
bentuk-bentuk kecemasan tokoh wanita yang ditinjau dari sudut psikologi sastra.
1.6 Landasan Teori
Karya sastra merupakan struktur yang terdiri dari bagian-bagian bermakna.
Struktur karya sastra menyarankan pada pengertian hubungan antar unsur (intrinsik)
yang bersifat timbal balik, saling menentukan, saling mempengaruhi, secara
bersamaan membentuk kesatuan yang utuh. Untuk memudahkan pemahaman
terhadap sebuah karya sastra misalnya cerpen, dapat dilakukan dengan memaparkan
struktur cerpen tersebut. Tujuan pemaparan adalah mengetahui fungsi dan
keterikatan antara berbagai unsur karya sastra secara bersama menghadirkan
keseluruhannya (Nurgiyantoro, 1998: 36-37).
Dalam karya sastra ada dua segi yang dapat dijadikan wahana untuk di
analisis yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Analisis intrinsik mencakup hal-
hal ruang dalam sastra yaitu tokoh dan penokohan, latar, alur, dan tema. Analisis
ekstrinsik mencakup hal-hal di luar sastra seperti tinjauan sosiologi, psikologi,
pemikiran, dan seterusnya (Wellek dan Warren, 1995: 77). Analisis struktural ini
bertujuan untuk memaparkan secara cermat semua anasir atau unsur karya sastra
yang bersama-sama menghasilkan makna secara menyeluruh (Teeuw, 1984: 135).
Untuk dapat mencapai tujuan penelitian ini maka terlebih dahulu dianalisis
unsur intrinsik yang dikhususkan pada tokoh dan penokohan serta latar dengan
alasan unsurtokoh dan penokohan tersebut sangat mendukung dalam memunculkan
karakter tokoh-tokohnya guna mengungkapkan permasalahan mengenai kecemasan
yang terdapat dalam antologi cerpen Perempuan Kedua karya Evi Idawati yang akan
dianalisis penulis. Selanjutnya akan dianalisis mengenai bentuk-bentuk kecemasan
yang dialami tokoh perempuan dengan menggunakan sudut pandang psikologi sastra.
Berikut ini dipaparkan mengenai unsur intrinsik karya sastra yaitu tokoh dan
penokohan, teori psikologi, dan pengertian kecemasan yang akan dijadikan landasan
teori dalam penelitian ini.
1.6.1 Tokoh dan Penokohan
Sama halnya dengan unsur plot dan pemplotan, tokoh dan penokohan
merupakan unsur penting dalam karya naratif. Plot boleh dipandang sebagai tulang
punggung cerita, tetapi siapa yang melakukan “sesuatu” yang dalam plot disebut
peristiwa adalah tokoh dan penokohan (Nurgiyantoro, 1998: 164). Suatu karya
naratif boleh saja memiliki peristiwa menarik yang penuh konflik dan cerita yang
dasyat, tetapi cerita tersebut tidak ada artinya jika tokoh dan penokohan tidak ada.
1.6.1.1 Tokoh
Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berperan dalam
berbagai peristiwa cerita (Sudjiman, 1998: 16). Berdasarkan fungsi tokoh dalam
cerita, tokoh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tokoh sentral dan tokoh bawahan.
Tokoh sentral adalah tokoh utama yang mempunyai peranan penting dan menjadi
pusat sorotan dalam cerita. Tokoh bawahan adalah tokoh yang kehadirannya atau
pemunculannya di dalam cerita sedikit, namun kehadirannya akan sangat mendukung
tokoh utama. Tokoh bawahan dekat dengan tokoh utama dan sering dimanfaatkan
pengarang untuk memberi gambaran lebih terperinci tentang tokoh utama mengenai
pikiran dan perasaannya (Sudjiman, 1988: 18-20).
Tokoh protagonis dan antagonis, tokoh protagonis menampilkan sesuatu yang
sesuai dengan pandangan kita, harapan-harapan kita, pembaca. Tokoh antagonis
adalah tokoh penyebab terjadinya konflik dan ketegangan (Nurgiyantoro, 1998: 178).
1.6.1.2 Penokohan
Penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh dalam
karya sastra. Citra tokoh dapat ditangkap melalui tindakan, ujaran, pikiran,
penampilan fisik, dan apa yang dikatakan atau dipikirkan tokoh tentang dirinya.
Bentuk penokohan yang paling sederhana adalah melalui pemberian nama. Setiap
“sebutan” merupakan sejenis cara memberi kepribadian dan menghidupkan
(Sudjiman, 1988: 24).
1.6.2 Teori Psikologi
Psikologi tidak mempelajari jiwa, melainkan gejala-gejala kejiwaan. Gejala
kejiwaan secara umum disebut tingkah laku. Dengan demikian, psikologi adalah
ilmu yang mempelajari tingkah laku organisme, terutama tingkah laku manusia.
Tingkah laku yang dimaksud adalah tingkah laku dalam arti yang luas mencakup
perbuatan dan penghayatan (Rumini dkk, 1995: 1).
Perbuatan adalah tingkah laku yang dapat diamati secara langsung, terutama
berupa gerakan atau perbuatan. Sedangkan penghayatan adalah tingkah laku yang
berupa gerakan atau perbuatan. Sedangkan penghayatan adalah tingkah laku yang
tidak dapat secara langsung diamati, seperti perasaan, pikiran, motivasi, reaksi
berbagai kelenjar dan lain sebagainya. Salah satu contoh tingkah laku penghayatan
adalah kecemasan (Rumini dkk, 1995: 1).
1.6.3 Pengertian Kecemasan
Kecemasan adalah manifestasi dari berbagai emosi yang bercampur baur,
yang terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan
pertentangan batin (konflik). Kecemasan itu mempunyai segi yang disadari seperti
rasa takut, terkejut, tidak berdaya, rasa berdosa atau bersalah, terancam dan
sebagainya. Juga ada segi-segi yang terjadi di luar kesadaran dan tidak bisa
menghindari perasaan yang tidak menyenangkan itu. (Daradjat, 1985: 27).
Frustasi atau tekanan perasan adalah suatu proses yang menyebabkan orang
merasa akan adanya hambatan terhadap terpenuhinya kebutuhan-kebutuhannya.
Konflik atau pertentangan batin adalah terdapatnya dua macam dorongan atau lebih
yang berlawanan atau bertentangan satu sama lain dan tidak mungkin dipenuhi dalam
waktu yang sama (Daradjat, 1985: 24-26).
Bentuk-bentuk kecemasan meliputi: 1) rasa cemas yang timbul akibat melihat
dan mengetahui ada bahaya yang mengancam dirinya; 2) rasa cemas yang berupa
penyakit dan terlihat dalam beberapa bentuk, antara lain (a) cemas yang umum, (b)
cemas dalam bentuk takut akan benda-benda atau hal-hal tertentu, (c) cemas dalam
bentuk ancaman; 3) cemas karena merasa berdosa atau bersalah, karena melakukan
hal-hal yang berlawanan dengan keyakinan atau hati nurani (Daradjat, 1985: 27-28).
1.7 Metodelogi Penelitian
1.7.1 Pendekatan
Pendekatan psikologi sastra merupakan pendekatan yang akan digunakan
dalam penelitian ini. Pendekatan psikologi sastra artinya pendekatan dari sudut
psikologi dan sudut sastra. Pendekatan psikologi sastra merupakan penelaahan sastra
yang menekankan pada segi psikologi yang terdapat dalam suatu karya sastra, karena
psikologi mempelajari proses-proses kejiwaan maka psikologi dapat diikutsertakan
dalam studi sastra. Hal ini disebabkan jiwa manusia merupakan ilmu pengetahuan
dan kesenian (Sukada, 1987: 105).
Hartoko dan Rahmanto (1985: 126) mendefinisikan psikologi sastra sebagai
cabang ilmu sastra yang mengkaji sastra dari sudut psikologi. Perhatian dapat
diarahkan kepada pengarang dan pembaca (psikologi komunikasi sastra) atau kepada
teks sastra itu sendiri. Pengetahuan tentang psikologi mendorong kita untuk
menyadari bahwa sebuah karya sastra yang baik sekurang-kurangnya mempunyai
dua jenis makna, yaitu jelas dan terselubung.
1.7.2 Metode Penelitian
Metode yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini adalah
metode deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status
sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem, suatu pemikiran
ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan metode deskriptif ini
adalah membuat deskriptif, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan
akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antar fenomena yang
diselidiki (Nazir, 1985: 63). Dengan metode deskriptif ini peneliti membuat deskripsi
dengan mencatat kemudian menganalisis dan menginterpretasikan data yang diteliti
yaitu data yang berhubungan dengan unsur intrinsik karya sastra dan data analisis
bentuk kecemasan yang dialami tokoh wanita dari sudut pandang psikologi sastra.
Hasil analisis dan interpretasi tersebut akan dideskripsikan dalam bentuk laporan
penelitian.
1.7.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalan penelitian ini adalah teknik
studi pustaka. Pelaksanaan teknik ini yaitu menelaah pustaka yang ada kaitannya
dengan objek penelitian yakni mengenai tokoh dan penokohan, latar, dan bentuk-
bentuk kecemasan yang dialami tokoh wanita dalam cerpen Perempuan Kedua karya
Evi Idawati.
1.8 Sumber Data
Judul buku : Perempuan Kedua
Pengarang : Evi Idawati
Penerbit : P Idea Yogyakarta (Kelompok Pilar Media)
Tahun terbit : 2005 (Cetakan Pertama)
Halaman : 180 halaman 1.9 Objek Penelitian
Dalam penelitian ini, populasi penelitian yang digunakan adalah karya sastra
berupa antologi cerpen yang berjudul Perempuan Kedua karya Evi Idawati. Antologi
cerpen Perempuan Kedua ini terdiri dari tiga belas cerpen dan hanya satu cerpen
yang tidak akan dianalisis karena tidak memunculkan problematika perempuan,
cerpen tersebut berjudul “Lelaki Yang Menggantungkan Tasbih Di Lehernya”. Dua
belas cerpen memunculkan problematika perempuan yang berakibat pada munculnya
kecemasan dalam diri perempuan.
Berikut ini adalah dua belas cerpen yang akan di analisis dalam penelitian ini:
1)“Pinangan Tengah Malam”, 2)“Beri Aku Waktu”, 3)“Dipan Antik”, 4)“Hanya Satu
Malam”, 5)“Di Depan Jenazah Ayah”, 6)”Tikungan”, 7)”Bukan Salahmu, Frida”,
8)”Perempuan Kedua”, 9)”Di Sinilah Tempat Cinta”, 10)”Biola”, 11)”Bukan
Pertarungan Biasa”, 12)”Perceraian Bawah Tangan”.
1.10 Sistematika Penyajian
Bab I adalah pendahuluan berisi latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori, metode penelitian, sumber data,
objek penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II adalah analisis unsur intrinsik
berupa tokoh dan penokohan dalam antologi cerpen Perempuan Kedua karya Evi
Idawati. Bab III adalah pembahasan mengenai bentuk-bentuk kecemasan yang
dialami tokoh wanita dalam antologi cerpen Perempuan Kedua karya Evi Idawati.
Bab IV adalah bagian penutup yang berupa kesimpualan dan saran.
BAB II
ANALISIS TOKOH DAN PENOKOHAN
ANTOLOGI CERPEN PEREMPUAN KEDUA
2.1 Tokoh dan Penokohan
Di dalam sebuah karya sastra, tokoh merupakan pelaku cerita. Setiap tokoh
mempunyai ciri perwatakan yang bermacam-macam. Tokoh yang ada dalam cerita
dan ciri-ciri perwatakannya dapat diketahui melalui sebuah analisis. Di bawah ini
akan di analisis tokoh-tokoh yang ada dalam antologi cerpen Perempuan Kedua.
2.1.1 “Pinangan Tengah Malam”
2.1.1.1 Tokoh Nora
Tokoh sentral dalam cerpen “Pinangan Tengah Malam” adalah Nora. Tokoh
Nora disebut tokoh sentral karena mempunyai peranan yang penting dalam
menghadirkan suatu permasalahan dalam cerita atau lebih tepat menjadi pusat
perhatian dalam isi cerita.
Nora digambarkan sebagai sesosok wanita yang memiliki kehidupan pribadi
yang kurang menyenangkan, yaitu persoalan cinta yang mengalami kegagalan dan
kekecewaan. Kehidupan perkawinan yang telah gagal sebelumnya telah membuat
Nora harus merasakan sakit dan luka hati. Bahkan, hubungan tanpa ikatan resmi
dengan Anton telah membuat Nora merasa kecewa dan putus asa. Penantian cinta
Nora pada Anton hanya menambah beban batin dalam benak Nora, karena Anton
telah beristri dan tidak mungkin menceraikan istrinya. Gambaran tokoh Nora tersebut
dapat di lihat dalam kutipan berikut:
(1) Mata Nora mengambang. Kenapa dia harus berada dalam situasi seperti ini. Pencarian cinta yang dilakukannya hanya menimbulkan luka dan
sakit hati. Tak ada yang mencintainya…. Dia merasa terluka. Sampai kapan dia harus merasakan kesakitan yang sama untuk menemukan cinta yang dicarinya. (hlm.18)
Tokoh Nora juga digambarkan sebagai wanita yang pantang menyerah dan
kuat dalam menghadapi masalah yang muncul dalam kehidupan pribadinya. Hal
tersebut dapat di lihat ketika Nora ditanya oleh temannya yang bernama Angel, soal
perasaannya.
(2) “Aku belajar dari hidupku. Kebahagiaan tidak datang sendiri pada kita. Kita harus berjuang mendapatkan dan mempertahankannya,” kata Nora pada Angel, temannya. (hlm.9)
(3) “Aku tidak ingin mengulang kesakitan yang sama. Aku berbahagia
dengan apa yang aku miliki saat ini, biarkanlah aku menikmati semuanya lebih dulu. Jika aku menginginkan hal itu, aku pasti akan mendapatkannya,” kata Nora dengan sangat yakin. (hlm.9)
Di samping mempunyai sikap pantang menyerah dan kuat, tokoh Nora
digambarkan sebagai sosok wanita yang mampu berpikir secara logis, akan tetapi
kehidupan cinta yang begitu mengecewakan membuat kacau pikirannya. Tampak
dalam kalimat berikut:
(4) Selama ini, jika ada hal baru yang datang pada dirinya, Nora tidak pernah melibatkan perasaaannya. Dia tidak ingin sebuah peristiwa akan mempengaruhinya. Tapi, akhir-akhir ini begitu banyak yang terjadi, hingga ungkapan kata-kata tak akan sanggup mewakili gempa di hatinya. Dia hanya berdiam diri, menatap langit di tengah malam, mencoba membuka file kehidupannya. Sambil berkali-kali berkata, apa yang kau inginkan sebenarnya? (hlm.4)
Sebagai wanita yang mampu berpikir secara logis, Nora sungguh ceroboh
dalam mengambil keputusan, karena telah mencintai laki-laki yang sudah beristri.
Dapat dilihat dalam kalimat berikut:
(5) Sudah bukan rahasia lagi bagi keluarganya, jika hubungannya dengan Anton telah berjalan begitu lama. Tapi, dalam waktu yang panjang itu, Nora merasa sudah tidak bisa dipisahkan dari Anton. Tak ada komitmen di luar mencintai dengan tulus. Mereka sadar tak akan bisa bersatu dalam perkawinan jika tanpa keajaiban Tuhan. Anton sudah menikah dan hidup bahagia…. (hlm.8)
2.1.1.2 Tokoh Anton
Tokoh antagonis dalam cerpen “Pinangan Tengah Malam” adalah Anton.
Tokoh Anton dimunculkan sebagai tokoh yang memiliki watak mendukung
kemunculan terjadinya konflik dan ketegangan yang dialami oleh tokoh sentral atau
utama. Tanpa kehadiran tokoh Anton, maka tidak ada cerita yang menggambarkan
kecemasan hati tokoh Nora. Pemunculan tokoh Anton di dalam cerita walaupun
hanya sedikit, mampu memunculkan kecemasan dalam hati Nora.
Tokoh Anton digambarkan sebagai laki-laki yang tidak setia kepada istrinya,
yang berselingkuh dengan wanita lain. Anton digambarkan sebagai suami
penyeleweng, yang menyukai wanita idaman lain, yaitu Nora. Kutipan berikut ini
menunjukkan bahwa Anton sudah beristri, menyeleweng.
(6) “Bagaimana mungkin aku meninggalkan istriku. Aku menyayanginya, sebab dia mengangkatku dari ketidakjelasan, dan membawaku ke ruang yang semula tidak pernah aku bayangkan. Tapi, aku mencintaimu. Jika bersamamu aku merasa mendapat tambahan energi yang luar biasa. Aku memang ingin memilikimu. Kalau kamu mau, kita bisa menikah, tapi aku tidak akan menceraikan istriku”. (hlm.16)
Anton adalah sosok laki-laki yang dicintai Nora, yang mampu meluluhkan
hati Nora, hingga suatu pinangan di tengah malam telah menggetarkan cinta yang
ada dalam hati Nora.
(7) “Atas nama cinta, malam ini aku meminangmu menjadi istriku”. (hlm.9)
Pinangan yang pada ada akhirnya membuat hati Nora berada dalam
kebimbangan dan kegalauan. Pinangan itu tidak ada artinya, karena Anton tidak
mampu mewujudkan pinangannya pada Nora menjadi sebuah kenyataan. Di bawah
ini, dapat di lihat bagaimana gambaran tokoh Anton:
(8) Kini, semua terjawab sudah. Surat itu, dikembalikan Anton padanya.
Nora, semalaman, menunggu Anton untuk datang ke rumahnya. Tapi, Anton tidak pernah datang. Hanya kata-kata lewat handpone yang berkali-kali berdering. (hlm.15)
(9) ”Lalu, apa arti pinanganmu malam itu? Kamu hanya ingin tidur
denganku!” (10) “Harus kutegaskan sekali lagi. Aku mencintaimu! Tidak ada bahasa
yang mengartikulasikan cintaku padamu. Kamu tahu, telah kubuat lubang di dadaku dan lelaplah kamu di situ. Tapi, itu tidak cukup. Aku tak ingin ada celah yang memisahkan kita. Aku ingin kau adalah aku dan aku adalah kau. Tapi lagi-lagi, kata-kata ini terlalu bertele-tele. Bahasa ternyata tak bermakna di hadapan hati yang digelorakan cinta. Apalagi yang mesti kuucapkan?” (hlm.16)
Dari kutipan tersebut dapat di lihat bagaimana sikap tokoh Anton yang tidak
tegas dengan segala kata-kata dan ucapannya pada Nora. Semua itu hanya sekedar
bahasa yang keluar dari mulut laki-laki pengecut yang tidak berani bertindak atas
kata-katanya sendiri.
Selain gambaran sikap Anton di atas, di bawah ini adalah kutipan dari balasan
sms Nora yang dapat mewakili bagaimana pengambaran tokoh Anton yang tidak
bertanggungjawab dan tidak mampu berkomitmen atas tindakan dan keputusannya.
Berikut kutipannya:
(11) “Kamu tidak perlu mengucapkan apa-apa lagi. Aku ingin kamu melakukan apa yang kamu katakan! Aku memberimu kesempatan untuk menjadikan nyata kata-kata yang kamu ucapkan. Tapi, kamu tidak pernah melakukannya…. Tapi, apa yang kamu katakan omong kosong. Aku tidak menyesal berhubungan denganmu. Tapi, aku tidak bisa meneruskan lagi apa yang kita sepakati.” (hlm.17)
2.1.1.3 Tokoh Pasha
Tokoh Pasha digambarkan sebagai tokoh bawahan, karena kemunculannya
tidak terlalu penting dalam sebuah cerita. Kehadirannya hanya sebatas pelengakap
cerita, tetapi, juga mendukung isi cerita. Tokoh Pasha dimunculkan saat dibutuhkan
saja. Pasha diceritakan sebagai adik laki-laki Nora, yang baik dan penurut. Dapat di
lihat dalam kutipan berikut, yaitu ketika Nora menyuruh Pasha mengantarkan
amplop putih yang berisi balasan pinangan kepada Anton, dan ketika Ibunya Nora
menyuruh Pasha untuk menjenguk Nora di tempat di mana Nora mencari ketenangan
diri:
(12) “Tolong mampir ke rumah Anton. Berikan ini padanya,” Nora menyerahkan amplop putih pada Pasha. (hlm.5)
(13) Ketika perlahan memutar kunci dan membukanya, Nora terkejut.
Pasha telah berdiri di depannya. “Ada apa?” Tanya Nora pada saat itu juga. “Diminta Mama menemani Mbak Nora. Kenapa hp-nya dimatikan? Mama cemas, karena Mbak Nora tidak bisa dihubungi. Lalu, aku diminta kemari,” jawab Pasha. (hlm.12)
2.1.2 “Beri Aku Waktu”
2.1.2.1 Tokoh Umi
Tokoh Umi disebut sebagai tokoh utama, karena menjadi tokoh yang menjadi
pusat perhatian dalam cerpen “Beri Aku Waktu”. Umi adalah seorang tokoh yang
mengalami masalah dalam kehidupan rumah tangganya. Umi harus merasakan
beratnya masa-masa menjelang perceraian. Proses perceraian yang sangat
memberatkannya karena Umi harus berpisah dan mempertahankan haknya untuk
mendapatkan anak-anaknya kembali. Namun, semua itu dihadapi Umi dengan kuat
hati.
Berikut ini akan dipaparkan mengenai penokohan Umi. Tokoh Umi
digambarkan sebagai sesosok wanita pekerja keras yang mandiri. Dapat di lihat
dalam kalimat di bawah ini:
(14) Umi sendiri yang mengurus beberapa kepentingan Usman atas namanya. Membayar macam-macam tagihan dengan rekeningnya. Karena selama ini Umi sangat mandiri. Tidak pernah menggantungkan
secara finansial pada suami. Bisnis Umi sudah berjalan lama. Dan mereka hidup dari sana. Usman ikut membantu membesarkannya. (hlm.24)
Latar belakang kehidupan Umi sewaktu kecil yang sudah hidup susah
menjadikan Umi sebagai orang yang kuat dan tabah dalam menghadapi semua
cobaan yang datang dalam kehidupan rumah tangganya. Gambaran tokoh Umi
tersebut terlihat melalui perbincangannya bersama Rida, sahabatnya. Berikut
kutipannya:
(15) “… Setelah kebakaran yang mengambil nyawa orang tuaku. Aku hidup sendiri dengan kakekku. Menjadi pengemis. Berjalan ke sana ke mari sampai aku bertemu denganmu …” (hlm.26)
(16) “Aku yakin bisa. Aku sudah melampaui kesakitan yang paling pedih
bagi perempuan seusiaku. Aku berharap, aku akan bisa melewati yang satu ini. Aku tahu, memang tidak sama, tetapi aku akan tetap mencoba.” (hlm.26)
Tokoh Umi juga digambarkan sebagai seorang istri yang sabar dalam
menghadapi masalah dalam keluarga dan istri yang pemaaf, yang bijak dalam
memahami suatu masalah. Kutipan-kutipan berikut menggambarkan sosok Umi
tersebut:
(17) “Aku tidak ingin bermusuhan dengan Usman. Bagaimanapun juga, dia ayah anak-anakku.” (hlm.26)
(18) “Obat sakit hati adalah memaafkan. Sekecil apapun sakit hati, kalau
kita tidak bisa memaafkan, sakit hati itu akan menjadi besar, meracuni sepanjang hidup kita. Dan kita menjadi budak dari dendam, dengki, akhirnya kita akan menghalalkan segala cara untuk membalasnya. Aku tidak mau terjebak seperti itu.” (hlm.27)
Umi juga merupakan seorang ibu yang penyayang dan tanggungjawab, yang
ingin memperjuangkan haknya sebagai seorang ibu atas anak-anaknya. Hal itu dapat
di lihat dalam kutipan berikut ini:
(19) “Apakah aku bisa mendapatkan anak-anakku? Aku tahu, Usman tidak akan membiarkan jalannya mudah bagiku. Tapi, aku ikhlas jika dia
mengambil semua harta, tanpa menyisakan untukku dan hidup dengan perempuannya. Asalkan anak-anak bersamaku,” kata-kata Umi membuat Rida termenung. (hlm.25)
(20) “Sudahlah, yang penting sekarang, bagaimana membuat Usman
mengizinkan anak-anak di bawah asuhanku. Biar mereka ikut denganku. Aku tidak mungkin punya anak lagi. Usiaku sudah tidak memungkinkan.” (hlm.28)
(21) “Aku tidak punya siapa-siapa, kecuali anak-anakku. Kamu boleh
mengambil dan meniadakan apa yang pernah kita miliki. Tapi tolong, izinkan aku tetap memiliki anak-anakku….” (hlm.33)
(22) “Aku punya hak untuk bertemu dengan mereka. Dan sudah menjadi
kewajibanku untuk melindungi dan mencintai mereka, karena aku ibunya.” (hlm.34)
2.1.2.2 Tokoh Usman
Tokoh Usman digambarkan sebagai tokoh antagonis, karena kemunculannya
menimbulkan kecemasan dalam diri tokoh Umi. Tokoh Usman adalah sosok laki-laki
dan suami yang tidak bertanggung jawab, kasar, dan egois. Hanya demi memuaskan
keinginannya untuk menikah lagi, Usman lebih memilih menghancurkan ikatan
perkawinan yang telah dibina dengan Umi. Berikut ini kutipan yang menggambarkan
tokoh Usman yang begitu kasar, yang memfitnah istrinya di depan anak-anaknya.
(23) “Kalian tidak pantas memanggil dia ibu. Dia tidak bisa menjaga kehormatannya sebagai istri dan perempuan. Apa yang dia lakukan, telah mencoreng mukaku sebagai laki-laki!” Pedas suara Usman menggelegar di tengah ruangan. Tiga anaknya mendengarkan sambil menundukkan kepalanya. (hlm.22)
Usman juga digambarkan sebagai laki-laki yang egois. Dia ingin memiliki
semua harta yang telah dikumpulkan Umi bersamanya. Berikut kutipnnya:
(24) Usman memang busuk. Dia sengaja menunggu waktu untuk mengambil alih semua yang pernah di rintis bersama menjadi miliknya. Dia sengaja menyingkirkan Umi dan memutarbalikkan fakta di depan anak-anak untuk melegitimasi apa yang dia lakukan. (hlm.24)
(25) “Kenapa kamu jadi berubah seperti ini. Seharusnya semua harta kamu
berikan pada dia dan anak-anak. Bukan kamu nikamati sendiri.” “Ada anak-anak denganku.” “Jadi, mereka kamu gunakan sebagai senjata untuk mendapat bagian lebih banyak.” (hlm.30-31) (Kutipan ini dapat di lihat dalam percakapan Usman dengan Rida)
Demi keinginannya untuk menikah lagi, Usman memilih untuk menceraikan
Umi, istrinya. Usman sangat tidak bertanggung jawab, karena telah mengusir Umi
dari rumah. Berikut gambaran tokoh Usman tersebut:
(26) “Aku telah menceraikan ibumu. Kalian tetap tinggal di rumah ini.” “Lalu ibu, di mana dia sekarang?” Tanya si bungsu takut-takut. “Aku sudah memintanya untuk pergi,” kata Usman lagi. (hlm.22)
2.1.2.3 Tokoh Rida
Tokoh Rida digambarkan sebagai tokoh protagonis, karena kehadirannya
dalam cerita tidak memunculkan suatu kecemasan, tetapi sangat baik dan mendukung
tokoh Umi sebagai tokoh utama. Rida adalah teman sekaligus saudara bagi Umi.
Rida adalah orang yang mengangkat Umi dari kemiskinan dan menjadikan Umi
sebagai saudaranya. Walaupaun bukan saudara sedarah, ikatan persaudaraan mereka
sangat kuat. Melalui Rida pula, Umi berkenalan dengan Usman.
Rida digambarkan sebagai seorang yang setia kawan, suka membantu, hal ini
terlihat ketika Umi sedang menghadapi masalah dalam rumah tangganya. Rida
senantiasa membantu dengan tulus. Gambaran tokoh Rida tersebut dapat di lihat
dalam kutipan berikut:
(27) “Aku tidak mau, kamu bersikap tidak adil pada Umi. Kenapa kamu harus melukai hatinya?” Rida menatap Usman tajam. “Kamu tidak usah ikut campur dengan urusan kami,” tegas suara Usman menjawab pertanyaan Rida. “Aku tidak peduli apa yang kamu katakan. Ketika sudah menyangkut Umi, urusan itu menjadi urusanku.” (hlm.29)
Tokoh Rida juga digambarkan sebagai sosok penyayang yang memiliki jiwa
kasih sayang yang besar terhadap Umi. Berikut kutipan yang menggambarkan sikap
Rida yang penyayang:
(28) Masih terlihat jelas dalam benak Rida. Seorang gadis kecil, dengan muka tirus dan badan yang kurus menggandeng lelaki tua. Wajahnya kotor. Tidak memakai sandal, meskipun hari siang. Rida menghapus air matanya. (hlm.25)
(29) “Aku pun menyayangimu, sejak awal kita tahu bahwa kita bukan
sedarah, namun hubungan kita melebihi semua itu. Tapi, aku menyesal telah mengenalkan si brengsek itu padamu. Rasanya tanganku gatal, ingin memukulnya.” (hlm.28)
Melihat perlakuan Usman terhadap Umi, Rida menjadi membenci Usman
karena perlakuannya yang sangat di luar batas dan kasar. Berikut ini kutipan yang
menggambarkan bahwa Rida sangat membenci Usman:
(30) “Setelah apa yang dilakukannya padamu, kau masih juga berbaik hati dengan dia? Kalau aku, sudah kuhabisi laki-laki itu!” (hlm.26)
(31) “Aku memang membencinya. Dia lelaki brengsek. Kalau dia hanya
ingin mengawini perempuan itu. Tidak pantas dia memperlakukan ibu dari anak-anaknya dengan cara seperti ini. Mengambil semua harta, anak-anak, masih meyakiti juga. Aku yang orang luar muak. Aku tidak bisa membayangkan, kamu masih bisa memaafkan dia. Apa kamu tidak sakit hati?” (hlm.27)
2.1.3 “Dipan Antik”
2.1.3.1 Tokoh Istri
Tokoh istri menjadi tokoh sentral yang menjadi sorotan dalam cerpen “Dipan
Antik”, dimana tokoh istri ini mengalami kegelisahan karena kejadian misterius
dengan sebuah dipan antik koleksi suaminya yang ada di dalam kamar tidurnya.
Tokoh istri adalah seorang ibu rumah tangga yang kegiatan sehari-harinya
hanya mengurusi rumah, menjaga anak-anak, dan menunggu suaminya yang sering
pergi keluar kota untuk urusan kerja.
(32) Sementara, aku lebih banyak tidur sendiri dibanding berdua dengan suami, karena dia lebih banyak berada di luar kota dengan urusan pekerjaannya. (hlm.41)
(33) “Tidak ada apa-apa. Aku hanya merasa nyaman. Toh, aku memang
tidak punya kesibukan, selain menunggumu pulang kerja. Anak-anak sudah besar dan punya kesibukan sendiri. Kenapa kamu cemburu dengan dipan antik itu?” (hlm.45)
Sebagai seorang ibu rumah tangga, tokoh istri dapat digambarkan sebagai
perempuan yang menyukai sesuatu yang berbau modern, termasuk suasana
rumahnya. Dia tidak suka dengan koleksi suaminya yang berupa dipan antik, karena
setiap kali merebahkan diri di tempat tidur selalu merasa gelisah seperti ada
seseorang yang mengawasinya. Melalui kutipan berikut dipaparkan gambaran tokoh
istri:
(34) Berkali-kali aku meminta padanya, agar membiarkan ruang tidur kami dengan nuansa modern dan minimalis. Tapi, dia tetap ngotot sambil berceramah tentang harga yang harus di bayar untuk mendapatkan barang-barang itu. (hlm.37)
(35) Sebenarnya, aku juga suka barang-barang lain yang dia beli, kecuali
tempat tidur kami. Setiap kali aku merebahkan diri di tempat tidur, aku selalu gelisah. Aku merasa ada sepasang mata yang selalu mengawasiku hampir di semua sudut. Sepasang mata laki-laki. Aku tidak pernah melihatnya. Tapi, merasakan. (hlm.38)
Gambaran tokoh istri dapat dilukiskan sebagai perempuan yang memiliki
insting yang tajam akan hal-hal yang tidak tampak oleh indera mata. Tampak dalam
kutipan berikut:
(36) Sementara, aku sendiri melihat sesuatu tidak hanya dari apa yang tampak oleh indera mataku, tetapi juga oleh perasaanku. (hlm.40)
2.1.3.2 Tokoh Suami
Tokoh suami adalah seorang laki-laki yang mempunyai hobi mengoleksi
barang-barang antik. Karena kegemarannya ini, sebuah dipan antik yang menjadi
koleksinya telah membuat istrinya merasa takut dan gelisah bila tidur di atas dipan
tersebut.
(37) Kesukaan suamiku pada barang-barang antik, sungguh melewati batas bagiku. Tidak hanya kursi, lemari, gelas, piring, tapi juga tempat tidur. (hlm.37)
Tokoh suami merupakan suami yang pekerja keras dan bertanggung jawab
terhadap keluarga. Ini membuktikan bahwa tokoh suami memenuhi segala kebutuhan
materiil dengan baik dengan bekerja ke luar kota
(38) “Sementara, aku lebih banyak tidur sendiri dibanding berdua dengan suami, karena dia lebih banyak berada di luar kota dengan urusan pekerjaannya.” (hlm.41)
Tokoh suami digambarkan sebagai lelaki yang memiliki pemikiran yang logis
dan berfikir secara realistis tentang dipan antik yang dia beli, karena tokoh suami
harus bersaing untuk bias mendapatkan dipan antic itu. Dapat di lihat dalam kutipan
ini:
(39) “Kamu jangan berpikir macam-macam. Ini hanya sebuah barang. Tidak bernyawa. Aku menyukainya, karena aku harus bersaing dengan Anton untuk mendapatkannya. Hilangkan pikiran burukmu!” (hlm.39)
(40) Suamiku memang orang yang apa adanya. Melihat sesuatu pun apa
adanya. Asal dia merasa nyaman, tidak terganggu, pasti tidurnya nyenyak. (hlm.40)
2.1.4 “Hanya Satu Malam”
2.1.4.1 Tokoh Aku
Tokoh aku adalah tokoh sentral dalam cerita, karena menjadi pusat sorotan
dalam cerita. Tokoh aku digambarkan sebagai seorang perempuan yang mengalami
kegelisahan dalam hati akan janji dan keteguhannya dengan Tuhan, bahwa ia akan
setia untuk memuliakanNya. Namun pertemuan satu malam dengan seorang laki-laki
telah mengurangi rasa kecintaanya dengan Tuhan.
Dalam cerpen ini disebutkan bahwa tokoh aku mempunyai pemikiran dengan
hidup sendiri, maka hari-harinya dapat dihabiskan untuk Allah. Memberikan diri
seutuhnya untuk Allah untuk mencapai cintaNya.
(41) Dulu, aku berpikir, dengan hidup sendiri, aku dapat menghabiskan hari-hariku hanya untuk Allah. Aku merasa sangat mencintaiNya, hingga apapun yang diberi oleh-Nya dapat aku terima dengan ikhlas dan lapang dada. Berbulan-bulan, aku benar-benar merasa nyaman dengan kesedirianku. Aku menjadi orang yang mabuk. Menghabiskan waktu dengan pemujaan pada-Nya. (hlm.48)
(42) “Keseluruhan hatiku adalah milik-Mu, cinta yang ada di hatiku pun
milik-Mu. Aku tidak ingin membaginya untuk siapa pun di dunia.” (hlm.48)
Sikap cinta yang berlebihan terhadap Tuhan, membuat tokoh aku memiliki
pemikiran, yaitu memganggap suami dan anak-anaknya sebagai perintang untuk
mencapai cinta pada-Nya. Berikut kutipan yang menujukkan hal tersebut:
(43) Aku memilih meninggalkan orang-orang yang aku cintai di dunia. Suami dan anak-anakku. Karena aku menganggap bahwa mereka adalah perintang untuk mencapai cinta pada-Nya. (hlm.49)
Tokoh aku, digambarkan sebagai perempuan yang tidak bisa memegang
teguh janjinya pada-Nya. Pertemuan satu malam dengan seorang laki-laki telah
melunturkan keteguhan hati dan kecintaannya pada-Nya, hingga sebuah dosa pun
telah dia perbuat. Keinginan untuk bersama laki-laki itu pun telah terucap dalam
doanya. Kutipan berikut ini akan menggambarkan sikap tokoh aku tersebut:
(44) “Mata itu menembus hatiku. Terasa sejuk dan nyaman. Walau terhias dosa padaku. Hanya satu malam dari seluruh hidupku yang aku persembahkan untuknya.” (hlm.50)
(45) Hanya satu malam ketika dorongan hati menuntun langkah untuk
bertemu. Nafsu dan cahaya. Menghiasi malam yang mengepung hasrat untuk berdua. (hlm.50)
(48) Sungguh, bukan rencanaku kalau aku menerima pinangannya. Juga bukan keinginanku jika aku punya praduga. Tapi, aku meminta pada Tuhan agar memberi aku kesempatan bersama dia, di hari-hariku yang akan datang. (hlm.51)
(49) Aku mengikrarkan hatiku sepenuhnya untuk-Nya. Aku menutup diri
dengan riuhnya dunia. Aku meninggalkan yang aku cintai di dunia. Uang, perhiasan, suami, dan anak-anakku. Aku memilih hidup sendiri. Tapi sekarang, aku meginginkan lelaki itu untuk bersamaku. (hlm.51)
(50) Tak bisa kupercaya. Bagaimana mungkin dalam satu malam, aku telah
hancurkan hatiku yang aku berikan pada-Nya. Walau aku kembali bersimpuh untuk menghapus dosaku. (hlm.52)
(51) Padahal, keyakinan bahwa dunia dan segala isinya tidak bisa
memancingku kembali, hanya omong kosong. Aku menginginkan dia. Aku mau hidup bersamanya. Aku ingin menjadi miliknya. Setelah satu malam yang aku lewati bersamanya. (hlm.54)
Ketidakteguhan tokoh aku membuat hatinya menjadi pasrah menerima semua
yang telah menjadi rencana dalam hidupnya dengan menyerahkan segala rencana
dalam kehendakNya. Berikut kutipannya:
(52) Aku mengalir untuk-Mu, mengikuti takdir-Mu. Apa yang aku rencanakan, menjadi ruang kecil dari rencana besar yang Kau inginkan. Aku berada di dalamnya…. Tapi, karena Engkau menginginkan aku dalam rencana-Mu yang lain, sehingga bisa kulakukan apa yang Kau gariskan dengan kepatuhan yang sama ketika mengucapkan ikrarku pada-Mu. (hlm.55-56)
Penggambaran tokoh lain dalam cerpen “Hanya Satu Malam” ini tidak ada
lagi, selain tokoh aku tersebut. Pengarang hanya menyebutkan tokoh laki-laki tanpa
memberikan gambaran secara jelas dan terpaparkan. Oleh karena itu, tokoh aku
sebagai tokoh sentral dalam cerpen “Hanya Satu Malam”, yang bergumul dengan
Tuhan karena kegelisahan hatinya.
2.1.5 “Di Depan Jenazah Ayah”
2.1.5.1 Tokoh Aku
Tokoh aku adalah tokoh sentral karena menjadi tokoh penting dalam cerita.
Tokoh aku digambarkan sebagai tokoh yang mengalami banyak derita dan ketakutan
yang begitu hebat, sejak kecil hingga dia berumur tiga puluh tahun oleh kedua orang
tuanya. Bahkan, ketika di depan jenazah ayahnya, rasa takut itu pun muncul kembali.
(53) Sekali lagi, kulihat wajah ayah. Ada rasa takut yang menguasaiku. Rasa yang terbangun dari deraan kata dan siksa yang dia berikan padaaku. Selama tiga puluh tahun hidupku adalah ketakutan. (hlm.57)
Meskipun mendapat perlakuan yang sangat buruk dari kedua orang tuanya,
namun tokoh aku tetap mempunyai keinginan untuk bertahan hidup. Tokoh aku
digambarkan sebagai perempuan yang kuat dan tabah menghadapi semua siksaan,
pukulan, dan cacian dari orang tuanya. Berikut gambaran sikap tokoh aku tersebut:
(54) Rasa sakit yang aku terima, luka-luka dan memar di tubuhku, tidak seberapa rasanya dibanding luka hatiku. Ibu dan ayahku menjadi monster yang siap melahap dan memakanku setiap waktu…. Aku harus hidup. Aku harus bisa bertahan. Aku mengucapkan kata-kata itu untuk meyakinkan diriku, bahwa aku bisa melampaui semuanya. (hlm.65)
Tokoh aku adalah anak kelima dari delapan bersaudara. Dari kecil telah
mendapat perlakuan berbeda antara kakak dan adik-adiknya, sering mendapat
pukulan, dan kata-kata kasar dari orang tuanya. Berikut kutipan yang memaparkan
hal tersebut:
(55) Saat masih kecil, aku tidak menyadari perbedaan perlakuan antara aku, kakak, dan adik-adikku. Ketika ibu memukulku, aku mengira pantas dipukuli, karena telah berbuat sesuatu yang tidak menyenangkan mereka. Sebab itulah yang selalu dikatakan ibuku. (hlm.59)
Menjelang remaja, perlakuan kedua orang tuanya semakin kasar. Tokoh aku
masih sering mendapat marah, pukulan, terlebih mendapat lemparan barang-barang
bila ayahnya sedang penuh amarah padanya.
(56) Tidak hanya wajah, seluruh badanku pernah bersentuhan dengan barang-barang yang dia lemparkan. Piring, gelas, bahkan jika kebetulan aku tepat di depannya, dia meludahiku, sambil mematikan
api rokok di kulitku. Aku tidak bisa berteriak. Jika aku melakuakannya, ibu akan datang sambil marah-marah dan mengatakan aku selalu mencari gara-gara agar dikasihani orang lain. Maka, ibu pun akan ikut memukuliku. (hlm.60)
Kakak dan adik-adiknya pun sering mengejek tokoh aku, karena sering
menangis di kamar. Mereka tidur satu kamar buat bertiga, sehingga bila sedang
menangis tidak ada tempat buat melampiaskan tangisnya. Berikut ini kutipan yang
memaparkan hal tersebut:
(57) Pertama-tama aku sering menangis di kamar. Tapi, kakak dan adikku sering mengejek. Aku tidak punya kamar sendiri. Satu kamar untuk tiga anak. Kami tidur bebarengan. Jika ada yang tidur terlambat dan tidak dapat tempat, dia akan tidur di lantai. Aku tidak punya ruang pribadi untuk melampiaskan tangisku. Makanya, aku tidak mau menangis di depan mereka lagi. (hlm.60-61)
Pada waktu berumur lima belas tahun, tokoh aku mencoba bekerja di rumah
budenya agar mendapatkan uang saku. Namun, hal tersebut tetap tidak
menyenangkan hati orang tuanya. Tokoh aku masih saja mendapatkan marah dan
pukulan. Berikut kutipan gambaran tersebut:
(58) “Apa yang kamu lakukan di sini? Pulang! Selalu saja membuat orang tua malu. Kenapa harus berlama-lama di rumah orang,” kata ibu dengan sinis. (hlm.61)
(59) Apa sebenarnya salahku? Apa? Aku hanya berusaha menghindari
mereka agar tidak memukuliku lagi. Aku hanya bekerja untuk mencari uang saku yang tidak pernah di beri oleh mereka. Salahkah itu? (hlm.63)
(60) “Anak kurang ajar! Kerjanya membuat malu orang tua! Apa kamu
tidak tahu. Orang-orang mengira aku tidak bisa memberi makan anaknya, sengaja mempekerjakanmu untuk menghidupi keluarga! Dasar anak tidak tahu diri! Aku menyesal telah melahirkanmu! Aku menyesal! Kenapa kamu tidak seperti anak-anak lain. Yang manut dan taat pada orang tua. Kenapa? Kurang ajar! Kurang ajar!” terikan ibu semakin menjauh bebarengan dengan barang-barang yang dilemparkan ayah padaku. (hlm.64)
Perlakuan yang berbeda dengan saudara-saudaranya, perlakuan kasar, sering
dipukul dan dimarahi oleh orang tuanya, membuat tokoh aku tidak pernah bisa
mempercayai orang tuanya sendiri dan mempunyai prasangka yang buruk terhadap
mereka. Berikut ini kutipannya:
(61) Jangan-jangan mereka, ibu dan bapakku, sedang merencanakan sesuatu untuk menyakitiku. Aku tidak pernah mempercayai mereka, meski mereka orang tuaku. Aku selalu mempunyai prasangka buruk pada mereka. Aku menyebutnya insting. Jika aku punya praduga seperti itu. Pasti akan terjadi. Aku menguatkan hati. (hlm.63)
Rasa takut yang berlebihan dalam diri tokoh aku, membuat dia melihat hantu
di mana-mana, menjadi pendiam dan penutup, hidup dalam dunia fantasi yang dia
ciptakan sendiri. Kutipan berikut menggambarkan hal tersebut:
(62) Hari-hari selanjutnya, aku melihat hantu di mana-mana. Di rumahku, di sekolah, dan di sekelilingku. Aku selalu ketakutan. Mendengar suara ayah dan ibu pun, aku ketakutan. Aku sudah tidak bisa menangis. Aku hidup di dalam diriku sendiri. Menjadi perempuan yang tertutup. (hlm.65)
(63) Aku semakin pendiam dan tertutup. Tidak ada yang bisa membawa
aku keluar dari dunia yang aku ciptakan. Aku hidup dalam fantasi yang aku buat sendiri. Aku berada di surga dengan rasa nyaman yang terus-menerus ada, sehingga aku yakin, akan tiba hariku untuk keluar dari ruang bawah tanah di hatiku. (hlm.66)
Rasa takut yang telah ada selama tiga puluh tahun, setelah menikah terus saja
menghantui pikiran dan hatinya. Bahkan, tokoh aku berpikiran bahwa suaminya juga
akan menyakitinya seperti orang tuanya dulu. Berikut ini kutipnnya:
(64) Bayang-bayang dalam pikiran bahwa suami akan menyakitiku tidak bisa terhapus. Dia orang lain, bagaimana dia tidak menyakitiku? Sedangkan ibu yang melahirkanku, ayah yang seharusnya melindungiku malah meninggalkan sakit yang mendalam. (hlm.66)
Kematian ayahnya, membuat tokoh aku merelakan dan mengikhlaskan
perlakuan yang telah dia terima dari ayahnya dulu. Berikut kutipannya:
(65) Memang tidak pernah terucap kata maaf dari mulutku untuk ayahku. Tapi, aku merelakan apa yang dia lakukan padaku, bertahun-tahun yang lalu. Aku mengikhlaskan apa yang aku terima. Lemparan, ludah, dan cacian darinya. (hlm.67)
2.1.5.2 Tokoh Ayah
Tokoh ayah adalah tokoh antagonis, karena kebenciannya terhadap tokoh aku
memunculkan konflik dan ketegangan dalam cerita. Tokoh ayah digambarkan
sebagai orang yang tidak banyak bicara, tapi orangnya kasar, mudah marah, dan
ringan tangan (suka memukul dan melempar barang-barang). Ciri-ciri sikap tokoh
ayah tersebut dapat di lihat dalam kutipan berikut:
(66) Suara ayahku seperti petir yang menghantam dan membakar diriku.
Tangannya adalah cambuk yang mendera kulit dan jiwaku. Setiap lecutannya adalah kepedihan yang tak tersisa. (hlm.57)
(67) Setiap kali melihatku di dalam rumah, meski aku tidak
menggangunya, ayahku pasti akan marah. Dia selalu melemparkan apa saja yang ada di depannya untuk menghalauku pergi darinya. (hlm.60)
(68) Tidak hanya wajah, seluruh badanku pernah bersentuhan dengan
barang-barang yang dia lemparkan. Piring, gelas, bahkan jika kebetulan aku tepat di depannya, dia meludahiku, sambil mematikan api rokok di kulitku. (hlm.60)
(69) Tanpa kata-kata dia menampar mukaku. Aku menghindarinya dengan
ambruk ke lantai. Melihat apa yang aku lakukan, amarahnya semakin memuncak. Dia mengambil kursi yang ada di belakangnya, dan dia pukulkan berulang kali ke tubuhku. Masih belum puas, dia mengambil apa saja yang ada di sekitarnya. Dia menjambak rambutku. Membenturkan kepalaku ke dinding. Berulangkali. (hlm.64)
2.1.5.3 Tokoh Ibu
Tokoh ibu juga digambarkan sebagai orang tua yang kasar, yang suka marah-
marah dengan mengeluarkan kata-kata kasar yang tidak sepantasnya diucapkan oleh
seorang ibu. Berikut gambaran kutipan dari sikap ibu tersebut:
(70) “Apa yang kamu lakukan di sini? Pulang! Selalu saja membuat orang tua malu. Kenapa harus berlama-lama di rumah orang,” kata ibu dengan sinis. (hlm.61)
(71) “Ini” ibu berkata pada ayah, seperti menunjukkan barang yang tidak
berharga. Aku berdiri mematung di depan mereka. (hlm.63) (72) “Anak kurang ajar! Kerjanya membuat malu orang tua! Apa kamu
tidak tahu. Orang-orang mengira aku tidak bisa memberi makan anaknya, sengaja mempekerjakanmu untuk menghidupi keluarga! Dasar anak tidak tahu diri! Aku menyesal telah melahirkanmu! Aku menyesal! Kenapa kamu tidak seperti anak-anak lain. Yang manut dan taat pada orang tua. Kenapa? Kurang ajar! Kurang ajar!” terikan ibu semakin menjauh bebarengan dengan barang-barang yang dilemparkan ayah padaku. (hlm.64)
2.1.6 “Tikungan”
2.1.6.1 Tokoh Aku
Tokoh aku adalah tokoh sentral atau tokoh utama yang menjadi sorotan
dalam cerita. Tokoh aku digambarkan sebagai seorang ibu rumah tangga. Dia selalu
memiliki pikiran buruk soal tikungan di depan rumahnya. Bayangan mobil kijang
putih dan sebuah kecelakaan selalu hadir ketika hendak menyeberang jalan. Kutipan
berikut akan menjelaskan gambaran tokoh aku tersebut:
(73) Aku benci sekali. Setiap lewat tikungan di depan rumah, selalu saja ada pikiran buruk yang entah dari mana datangnya, mengusikku. (hlm.69)
(74) Bahkan akhir-akhir ini, bayangan itu selalu hadir saat aku naik motor,
dan menunggu jalan sepi untuk menyeberang jalan. Sebuah mobil kijang warna putih melaju dengan kecepatan tinggi pada saat aku menyeberang, sehingga terjadilah kecelakaan. Begitu selalu. Aku jadi takut naik motor. (hlm.69)
Pikiran buruk dan bayangan kecelakaan yang selalu mengusiknya, membuat
tokoh aku merasa takut bila harus mengendarai sepeda motor untuk keluar rumah.
Ketakutannya itu membuat ragu hatinya bila harus menyeberang jalan. Berikut ini
kutipannya:
(75) “Ayo, menyeberang! Ayo, menyeberang! Jalanan sudah sepi! Sudah sepi!” kata hatiku selalu berkata begitu. Tapi, aku ketakutan. Berkali-kali melihat kebelakang untuk memastikan. Mesti sudah melihat tidak
ada kendaraan, tapi aku selalu ragu. Jangan-jangan mata menipuku. Atau ketika aku menyeberang, tanpa terlihat olehku, ada mobil yang melaju. (hlm.70)
Tokoh aku digambarkan mempunyai pemikiran yang logis soal tikungan
depan rumahnya, walaupaun kadang pikiran dan bayangan buruk soal tikungan
tersebut selalu mengusiknya. Kutipan berikut yang memaparkan gambaran tokoh aku
tersebut:
(76) Aku memang agak meragukan omongan pembantuku. Bagiku, tikungan itu memang bahaya, karena ada belokan enam puluh derajat, dua ratus meter dari tikungan itu, sehingga mobil yang lewat tidak bisa terlihat sebelumnya. Kalau kita tidak sigap dan panik, akibatnya jadi fatal, terjadilah kecelakaan. (hlm.72)
Dalam cerpen ini, tokoh aku sebagai ibu rumah tangga digambarkan sebagai
perempuan yang bisa menghargai orang lain yang lebih rendah statusnya yaitu pada
pembantunya. Berikut gambaran sikap tokoh aku tersebut:
(77) Dia sudah lama tinggal bersama kami. Hampir lima tahunan. Sejak dia berumur tujuh belas. Dia dititipkan oleh salah seorang teman. Tapi, karena anaknya supel, bisa ngladeni dan menjadi teman anak-anakku, aku menerimanya. Dan menganggapnya tidak sebagai orang lain. Aku bisa membayangkan kalau tidak ada dia. Betapa repotnya. (hlm.74-75)
Hal negatif yang ada dalam diri tokoh aku adalah malas memasak. Setelah
pembantunya minta ijin untuk pulang kampung selama satu minggu. Semua
pekerjaan rumah dia urus sendiri, namun satu hal yang dia hindari adalah memasak.
Berikut kutipan tersebut:
(78) Yang paling aku hindari dari pekerjaan itu adalah memasak. Tidak tahu kenapa, bawaannya malas kalau memasak. Aku tidak punya kesabaran berlama-lama di dapur. Padahal, aku perempuan. (hlm.75)
(79) Aku selalu merasa menghadapi soal yang sulit sekali dijawab, pada
saat aku menentukan hendak memasak apa. (hlm.77) Pikiran dan bayangan buruk yang selama ini mengusik tokoh aku, akhirnya
menjadi nyata. Kecelakaan itu menimpa tokoh aku, peristiwa tersebut akhirnya
membuat tokoh aku menjadi lebih peka terhadap pikiran buruk dan lebih berhati-hati.
Berikut gambaran sikap tokoh aku tersebut:
(80) Terlepas dari yang dikatakan benar atau salah, tikungan itu ada penunggunya atau tidak, aku belajar sesuatu dari peristiwa itu. Tentang keinginan buruk yang secara tidak kita sadari, ada dalam diri kita. Dan keraguanlah yang membantu mewujudkannya. (hlm.79)
(81) Tapi mulai sekarang, aku lebih menghindari tikungan itu, dan memilih
jalan memutar yang lebih aman. (hlm.79)
2.1.6.2 Tokoh Pembantu
Tokoh pembantu digambarkan sebagai tokoh bawahan, karena kehadirannya
dalam cerita sedikit akan tetapi sangat mendukung cerita. Tokoh pembantu adalah
seorang yang supel, bisa melayani, dan menjadi teman bagi anak majikannya.
Berikut kutipan yang menggambarkan sikap tersebut:
(82) Tapi, karena anaknya supel, bisa ngladeni dan menjadi teman anak-anakku, aku menerimanya. (hlm.74)
Di dalam cerpen ini, tokoh pembantu digambarkan memiliki sikap mistik
tentang hal-hal dunia lain, mempunyai pemikiran yang pendek. Berikut kutipan
gambaran sikap tokoh pembantu tersebut:
(83) “Kata Mbak Ida, ada penunggunya. Walaupun kita berhati-hati, tapi kalau sudah diinginkan penunggunya, kita akan diseret untuk menyeberang. Padahal, kita tahu jalanan lagi ramai. Terjadilah kecelakaan.” “Begitu?” “Apalagi kalau kita tidak percaya. Pasti tidak lama lagi, akan mengalami sendiri.” (hlm.72)
2.1.7 “Bukan Salahmu, Firda”
2.1.7.1 Tokoh Firda
Tokoh Firda adalah tokoh sentral karena yang menjadi sorotan dalam cerpen
“Bukan Salahmu, Firda”. Firda digambarkan sebagai gadis yang belia. Secara fisik,
Firda adalah gadis yang cantik, tubuhnya mungil, wajahnya imut, berkulit putih,
hidungnya mancung, dan matanya kecil. Bahkan ibunya Firda menganggap Firda
sebagai anak yang pintar. Berikut kutipan gambaran tokoh Firda tersebut:
(84) Firda gadis yang sangat cantik. Mungil, wajahnya imut, kulitnya putih, hidungnya mancung, matanya kecil seperti bintang yang berkerlip dari kejauhan. Ibundanya yakin, dengan kecantikan seperti itu, Firda akan membuat banyak lelaki jatuh cinta padanya. Yang selama ini, ibundanya tahu, Firda anak yang pintar. (hlm.84)
Firda berasal dari keluarga sederhana, dengan kehidupannya pas-pasan. Firda
adalah anak pertama, mempunyai empat orang adik dan mereka tinggal di rumah tipe
dua tujuh. Untuk mengurangi beban keluarganya Firda bekerja membantu di tempat
budenya yang kebetulan kaya. Berikut kutipannya:
(85) Keluarganya pas-pasan. Bapaknya hanya mandor di perusahaan budenya. (hlm.89)
(86) Firda anak pertama. Adiknya empat orang, masih kecil-kecil. Mereka
tinggal di perumahan tipe dua tujuh yang hanya mempunyai satu kamar. Jika malam, ruang tamu berubah menjadi ruang tidur bagi keluarga mereka. (hlm.82-83)
(87) Pertimbangannya sederhana, budenya akan membiayai sekolah dan
kebutuhan Firda sehari-hari, sehingga bisa mengurangi beban keluarganya. (hlm.83)
Firda memang bukan gadis yang pintar, tapi dia pintar menggunakan
kemampuannya sebagai perempuan untuk merebut Akmal, tunangan Desi. Firda
jatuh cinta pada Akmal dan Akmal pun menyukai Firda. Dengan merebut Akmal dari
Desi, Firda berpikir bahwa dia tidak akan hidup susah lagi, walaupun harus
mengorbankan keperawanannya untuk mendapatkan hal tersebut. Berikut gambaran
kutipan tersebut:
(88) “Akmal menyukaiku. Dia tidak menyukai Desi.” “Ibu, maafkan aku, aku memang sengaja merebut Akmal dari Desi. Aku mencintainya, ibu. Kalau aku tidak merebutnya, aku tidak akan mendapatkan lelaki seperti dia. Dengan menjadi istrinya, aku tidak
perlu repot lagi. Dia akan mencukupi kebutuhannku. Aku bisa membantu adik-adik,” Firda bicara dengan nada biasa saja. (hlm.87)
(89) Dia memang cantik, meski ibunya mengatakan dia pintar, tapi dia
merasa dirinya tidak pintar. Satu-satunya cara yang dia ketahui, adalah menggunakan kemampuan dasarnya sebagai perempuan untuk menjerat Akmal.
(90) Jadi, dia berani tidur dengan Akmal, menyerahkan keperawanannya
pada lelaki itu, pada saat dia berkunjung ke rumah tunangannya. (hlm.90)
2.1.7.2 Tokoh Ibu
Tokoh ibu adalah tokoh protagonis, karena kehadirannya menampilkan
sesuatu yang sesuai dengan pandangan kita, harapan-harapan kita, yaitu mendukung
tokoh Firda. Tokoh ibu digambarkan sebagai sesosok ibu yang sangat sayang
terhadap putrinya, Firda. Dia begitu membanggakan kecantikan dan kepintaran
putrinya.
(91) Ibunya yakin, dengan kecantikan seperti itu, Firda akan membuat banyak lelaki jatuh cinta padanya. Yang selama ini, ibundanya tahu, Firda anak yang pintar. (hlm.84)
Tokoh ibu memiliki sikap yang sabar dan pengertian terhadap Firda, terlebih
di saat Firda dapat masalah dengan Desi.
(92) “Kalau begitu, kamu kembali saja ke rumah. Ibu takut, Desi akan menyakitimu.” (hlm.88)
(93) “Syukurlah, kalau begitu. Ibu hanya bias berdoa, semoga semuanya
baik-baik saja.” (hlm.89)
2.1.7.3 Tokoh Desi
Tokoh Desi adalah tokoh antagonis, karena kehadirannya dalam cerita
memunculkan konflik terhadap tokoh utama atau sentral. Tokoh Desi digambarkan
sebagai gadis dari kalangan orang kaya. Desi sangat manja karena status dia yang
anak orang kaya, segala sesuatu bisa dia dapatkan. Dia tidak suka dengan Firda
karena telah merebut Akmal, tunangannya. Bahkan, Desi sangat membenci Firda,
ketika Desi ulang tahun dia membeberkan kejelekan Firda di depan teman-teman
Desi.
(94) “Kalau dia tidak merebut Akmal dariku, dia tidak akan bias mendapat lelaki seperti Akmal. Keluarganya miskin. Kalau ibuku tidak saying pada ibunya, dia tidak akan berada di sini ….” (hlm.91)
2.1.7.4 Tokoh Akmal
Tokoh Akmal adalah tokoh bawahan. Kehadirannya dalam cerita sedikit akan
tetapi sangat mendukung keberadaan tokoh utama dalam cerita. Tokoh Akmal
digambarkan sebagai tunangan Desi, dia bukan lelaki ganteng, tetapi Akmal adalah
lulusan Akademi Militer. Dalam perjalanan cerita, Akmal ternyata tidak menyukai
Desi dan dia lebih memilih Firda. Hubungan antar Akmal dengan Firda membuat
pertunangan Akmal dengan Desi menjadi batal, karena Firda telah menyerahkan
keperwanannya pada Akmal sehingga Akmal harus bertanggung jawab.
(95) Akmal bukan lelaki yang ganteng. Tapi, Desi dan Akmal dijodohkan sejak mereka masih duduk di bangku sekolah menengah …… Mereka dipertunangkan sejak Akmal berada di kelas satu Akademi Militer. Tapi, hubungan mereka rusak gara-gara pertemuan Akmal dengan Firda di rumah Desi. (hlm.82)
2.1.8 “Perempuan Kedua”
2.1.8.1 Tokoh Roe
Diceritakan bahwa tokoh Roe adalah perempuan kedua dari laki-laki yang
sudah beristri, laki-laki pengecut yang sangat menyebalkan. Walaupun
kedudukannya dalam cerita sebagai perempuan kedua, tetapi Roe adalah tokoh utama
dalam cerpen ini. Roe merupakan wanita yang ceroboh mengambil tindakan dengan
menjadikan dirinya sebagai perempuan kedua. Kutipan berikut akan menunjukkan
gambaran Roe sebagai perempuan kedua:
(96) Menjadi perempuan kedua dari seorang lelaki penakut, memang sangat menyebalkan. (hlm.95)
(97) Tapi kenapa, sampai akhir bulan, saat Faisal tidak bisa menyanggupi
kata-katanya, Roe masih tetap menjadi perempuan kedua bagi Faisal. (hlm.102)
(98) Awalnya, Roe menyukai semua yang dia lakukan dengan Faisal.
Menikmati dengan suka cita. Tapi sekarang, dia berpikir ulang, pantaskah dia menjadi perempuan kedua bagi laki-laki penakut seperti Faisal. (hlm.104)
(99) “Apa yang kamu dapatkan dengan menjadi perempuan kedua bagi
Faisal?” Tanya Joan pada Roe, saat mereka berbincang-bincang sebelum tidur. (hlm.104-105)
Tokoh Roe digambarkan sebagai perempuan yang memiliki sikap tegas.
Perbincangan Roe dengan Faisal berikut ini menunjukkan gambaran sikap Roe
tersebut:
(100) “Aku ingin kita selesai sampai di sini,” Roe membuka percakapan di sebuah resto di utara kota. (hlm.97)
(101) “Apa yang kau berikan padaku jika aku mau?” Faisal tergagap. Dia
diam sejenak, seakan berpikir. (hlm.99) (102) “Kamu tidak akan bisa memberikan apa yang aku inginkan. Sekarang,
kita balik saja. Apa yang kamu punyai untuk kamu berikan padaku. Jika penawarannya menguntungkan, aku akan mengambilnya. Jika tidak, lupakan saja,” Roe menjawab tegas. (hlm.99)
(103) “Sayang sekali, aku tidak berminat. Jika ingin bersenang-senang,
carilah orang lain. Bukan diriku. Kamu tahu itu, kan?” (hlm.99) Sisi lain yang ada dalam diri tokoh Roe adalah Roe digambarkan sebagai
perempuan yang mempunyai sikap santai dan terbuka dalam bersikap dan berbicara.
Berikut ini kutipan dari gambaran tokoh Roe tersebut:
(104) “Hahaha!” suara Roe memecah keheningan resto yang kebetulan sedang sepi pengunjung. (hlm.98)
(105) “Kalau begitu, jadilah suami yang manis. Jangan neko-neko. Bukankah dia sudah mencukupi semua kebutuhanmu. Terlibat hubungan segitiga seperti ini, bukan kelasmu. Jadi, kembalilah pada dia. Jadilah suami dan bapak yang baik untuk istri dan anak-anakmu!” (hlm.99-100)
(106) “Aku suka lelaki yang berani. Meskipun hanya berani dalam berkata-
kata.” (hlm.101) Sikap santai Roe juga terlihat sewaktu berbincang dengan temannya, Joan.
Berikut ini kutipannya:
(107) “Kenapa jadi kamu yang sewot. Istrinya aja diam.” “Coba, kalau dia tahu kelakuan suaminya!” “Nyatanya, dia tidak tahu!” jawab Roe singkat. (hlm.103)
(108) “Apa yang kamu dapatkan dengan menjadi perempuan kedua bagi Faisal?” Tanya Joan pada Roe, saat mereka berbincang-bincang sebelum tidur. “Senang.” “Hanya itu?” “Heeeh.” “Ruginya dirimu!” “Aku tidak merasakan rugi.” (hlm.104-105)
Tokoh Roe termasuk tipe perempuan yang suka merokok. Berikut ini kutipan
yang menggambarkan sikap roe tersebut:
(109) Roe mengambil rokok di dalam tasnya. Membukanya, mengambil satu dan menyelipkan di bibirnya. Korek yang berada di tangan kirinya menyala. Dia mendekatkan api, meghisap dan menghembuskannya. Asap putih keluar dari mulutnya. Sambil meletakkan korek di meja, dia memandang Faisal yang duduk di depannya. (hlm.98)
Gambaran tokoh Roe yang dari awal cerita diceritakan mempunyai sikap
tegas, ternyata di akhir cerita tokoh Roe tidak mampu bersikap tegas. Roe tidak bisa
meninggalkan Faisal dan tetap menjadi perempuan kedua. Kutipan berikut ini yang
menunjukkan sikap Roe tersebut:
(110) Tidak ada tangis yang pecah pada hari itu, saat Roe dan Faisal duduk berdua, berhadapan, di resto yang sama, yang sering mereka kunjungi bersama. Yang mengesalkan Joan. Roe tetap menjadi perempuan kedua bagi Faisal. “Maaf, aku ternyata tidak bisa meninggalkannya!” (hlm.105)
2.1.8.2 Tokoh Faisal
Tokoh Faisal merupakan tokoh antagonis, karena kemunculannya dalam
cerita menjadi penyebab terjadinya konflik batin dalam diri tokoh Roe. Tokoh Faisal
digambarkan sebagai sesosok laki-laki yang menimbulkan kecemasan dalam diri
tokoh Roe. Digambarkan bahwa, Faisal adalah laki-laki yang sudah mempunyai istri
dan dia juga mencintai perempuan lain yaitu Roe. Berikut kutipan yang
menggambarkan bahwa Faisal sudah beristri dan mencintai Roe:
(111) “Iya. Tapi, bagaimana? Aku mencintaimu. Aku takut sekali dengan istriku. Kalau dia tahu, bisa jadi huru-hara bagiku.” (hlm.99)
Digambarkan bahwa tokoh Faisal sebagai laki-laki yang memiliki sikap tidak
tegas dalam segala hal dan tidak bisa berkomitmen atas ucapannya. Berikut kutipan
gambaran tokoh Faisal tersebut:
(112) “Jangan bersikap begitu padaku. Aku tidak terbiasa tegas dalam segala hal. Apalagi urusan hati. Kenapa kita tidak mengalir saja. Kalau waktu meminta kita menikah, kita menikah. Kalaupun tidak, toh bisa kita nikmati semuanya dengan gembira.” (hlm.99)
(113) “Bagaimana kalau kita tidak menikah saja. Bukankah lebih asyik
rasanya jika bisa menikmati hidup ini dengan bersenang-senang. Aku yakin kamu akan menyukainya,” kata Faisal dengan santai. (hlm.95-96)
Dalam cerpen ini, pengarang menggambarkan bahwa Faisal adalah laki-laki
sekaligus suami yang takut pada istri. Rasa takut ini dikarenakan segala kebutuhan
Faisal yang mencukupi adalah istrinya. Bisa dibilang Faisal adalah laki-laki yang
lemah. Dalam kutipan berikut dapat dilihat gambaran tokoh Faisal tersebut:
(1114) “Jujur, aku mencintaimu. Tapi, bagaimana kalau istriku tahu. Mobil ini, pemberiannya. Rumah yang aku tempati, miliknya. Aku tidak punya apa-apa, kecuali hati.” (hlm.96)
(115) “Bagaimana kalau kita menikah saja. Asal kau berjanji
merahasiakannya. Istriku tidak akan tahu. Dan aku akan aman-aman saja.” (hlm.98)
(116) “Iya. Tapi, bagaimana? Aku mencintaimu. Aku takut sekali dengan
istriku. Kalau dia tahu, bisa jadi huru-hara bagiku.” (hlm.99)
2.1.8.3 Tokoh Joan
Tokoh Joan merupakan tokoh bawahan, karena pemunculannya dalam cerita
sangat mendukung tokoh utama. Joan adalah teman Roe. Dia baik dan suka memberi
nasihat dan masukan dalam hubungan Roe dengan Faisal. Berikut gambaran sikap
Joan tersebut:
(117) “Yang terpenting sekarang, keluarlah dari kemelut ini, sesegera mungkin. Selamatkan dirimu dari perasaanmu sendiri. Jangan beri kesempatan Faisal untuk menjual kata-katanya lagi padamu.” (hlm.104)
(118) “Sekarang, lakukan apa yang kau anggap benar. Biarkan Faisal
dengan ketakutannya. Lepas darimu, dia akan memburu gadis-gadis lainnya. Percayalah padaku, lelaki seperti itu, jika menyangkut perempuan, dia tidak akan pernah bisa dipercaya.” (hlm.105)
Hubungan Joan dengan Roe sangat dekat, oleh karena itu Joan tidak suka jika
Roe berhubungan dengan Faisal, apalagi bila menjadi perempuan kedua bagi Fiasal.
Joan menganggap Faisal adalah lelaki pengecut. Berikut ini kutipan gambaran sikap
Joan tersebut:
(119) “Omong kosong! Aku tahu dia tidak mencintaimu,” Joan berkata dengan tegas. (hlm.102)
(120) “Nah, kan. Apa kataku? Lebih baik kamu segera memutuskan. Faisal
memang pengecut. Kita masing-masing tahu. Tapi, kamu tidak pantas melibatkan dirimu dengan lelaki seperti dia. Apalagi menjadi perempuan keduanya. Yang benar saja. Dia tidak akan hidup tanpa pemberian istrinya. Dan gilanya, dia menggunakan fasilitas itu dengan dirimu. Jika aku jadi istrinya, aku akan membunuhnya!” suara Joan gemas sekali. (hlm.103)
2.1.9 “Di Sinilah Tempat Cinta”
2.1.9.1 Tokoh Aku
Tokoh aku adalah tokoh utama, yang menjadi sorotan dalam cerita. Tokoh
aku digambarkan sebagai perempuan yang merasa bahwa dirinya tidak pernah
dicintai oleh orang-orang yang seharusnya mencintai dan menjaganya. Tokoh aku
lebih memilih untuk melarikan diri dan bersembunyi. Berikut gambaran sikap tokoh
aku tersebut:
(121) “Kamu tahu, ketika aku pertama kali menyadari, tak ada orang yang mencintaiku, bahkan ibu, bapak, saudara seperti menjadi musuh yang siap membunuhku. Aku harus melarikan diri dari mereka. Bersembunyi di tempat yang tidak mereka ketahui. Aku menyembunyikan diriku sendiri di tempat yang seharusnya menerima aku apa adanya. (hlm.110)
(122) “Dan sekarang, aku pun berada dalam situasi yang sama. Aku merasa
tidak ada orang yang mencintaiku. Tidak ada yang menyayangiku. Mereka hanya menyakiti. (hlm.111)
Pada saat rasa sakit dan luka hati yang terus menerus ada, tokoh aku merasa
bahwa itu adalah sebuah penderitaan. Berpikir bahwa hidupnya hanya sebuah
kesedihan tanpa ada cinta dan sayang. Berikut ini gambaran kutipannya:
(123) “Mungkin aku ditakdirkan untuk mengalami semua penderitaan ini,” kataku pada Nin, suatu sore ketika dia berada di kamarku. “Dari mana kamu tahu hal itu?” dia bertanya padaku. “Aku hanya menduga,” jawabku. “Aku beritahukan padamu, cobalah sekali lagi kau lihat kehidupanmu dari kecil sampai sekarang ini. Apa yang kau sebut penderitaan itu? Katakan padaku.” “Tangis.” (hlm.108)
Tokoh aku merasa pesimis, karena apa yang dilakukannya terhadap orang
lain tidak pernah dihargai dan merasa disia-siakan. Sehingga menganggap orang lain
hanya menyakitinya. Berikut kutipannya:
(124) “…Teman, sahabat, kekasih. Tidak ada orang yang bisa dipercaya. Mereka hanya memanfaatkan kita. Atas nama apa pun yang mereka
katakana, mereka menjadi pedagang yang berhitung untung dan rugi untuk sesuatu yang mereka beri. Ketika aku sadari hal itu, apakah aku salah, jika aku merasa disakiti? ……” (hlm.113)
Diceritakan bahwa, tokoh aku pernah tinggal bersama orang tua angkat. Di
dalam keluarga tersebut dia bertugas menjaga anak-anaknya. Di sini pun dia merasa
disia-siakan, tidak dihargai atas segala yang dia perbuat. Hal ini tampak ketika dia
diusir dari rumah, karena di tuduh mencuri. Berikut ini kutipannya:
(125) Sementara, aku ikut orang lain yang tidak ada hubungan famili… Tiga orang anaknya sangat bandel. Suka berantem dan mencuri. Tapi, mereka tidak peduli. Mereka menuduh aku melakukan perbuatan yang dikerjakan oleh anak-anaknya. Akhirnya, mereka mengusirku dari rumah itu. Sakit, jika mengingat tak ada yang bisa memberikan ruang di hatinya untukku… (hlm.114)
Nasihat Nin, temannya, seiring waktu telah membukakan hati dan pikiran
tokoh aku. Bahwa, benar cinta yang selama ini dia cari ternyata ada di dalam hatinya
sendiri. Berikut ini kutipan gambaran sikap tokoh aku tersebut:
(126) “Sudah hilang sakitnya?’ Lalu, kami tertawa bersama… Aku tidak peduli lagi seberapa besar, kemarin dan hari-hari sebelumnya, aku merasa haus akan cinta. Dan mencoba mencarinya ke mana-mana. Ternyata, cinta ada di hatiku sendiri. Benar kata Nin, aku tidak perlu mencarinya untukku, karena aku sudah menemukannya di hatiku. Yang harus aku lakukan adalah memberi cinta. (hlm.116-117)
2.1.9.2 Tokoh Nin
Tokoh Nin, digambarkan sebagai tokoh protagonis, karena karakternya sesuai
dengan harapan dan pandangan pembaca. Kehadirannya dalam cerita sangat
mendukung keberadaan tokoh utama dalam menjalin sebuah cerita. Diceritakan
bahwa, tokoh Nin adalah teman sekaligus sahabat bagi tokoh aku. Nin sangat baik
dan penuh dengan nasihat. Bahkan di saat tokoh aku merasa tidak ada yang
mencintainya, tokoh Nin berusaha dengan bijak memberi nasihat sebagai seorang
sahabat. Berikut ini kutipan gambaran tokoh Nin tersebut:
(127) “Aku hanya ingin kamu tahu, setiap orang pernah merasakannya. Tinggal bagaimana kita menyikapinya… Jadi, mulai sekarang, cobalah berpikir dari sudut pandang yang lain. Cobalah untuk tidak melibatkan perasaanmu yang mendalam itu…… (hlm.108-109)
(128) “Tidak ada yang melarangmu untuk menangis…… Tapi, kamu jangan
terpaku hanya menangis. Kamu harus melewati semua ini. Kamu harus bisa mengendalikan hatimu. Tak ada yang bisa membuatmu tersenyum, kalau kamu tidak menginginkan dirimu sendiri tersenyum.” (hlm.109-110)
(129) “Di sinilah tempat cinta. Kenapa harus kau cari cinta? Jika di hatimu
sudah ada cinta. Yang harus kau lakukan kemudian, memberikannya… (hlm.112)
Tokoh Nin, digambarkan mempunyai kehidupan yang hampir sama dengan
tokoh aku, terbuang dari orang-orang yang seharusnya mencintainya. Namun, Nin
memiliki sikap dewasa dalam menanggapi segala masalah yang ada, menjadikan
tokoh Nin lebih bijak untuk menjalani hidupnya. Berikut ini kutipan yang
menggambarkan tokoh Nin:
(130) “…Bukankah kita tumbuh untuk selalu berubah dan berkembang di dalam pikiran, perasaan, juga pemahaman terhadap diri kita sendiri, lingkungan, dan dunia. Jadi, jangan pernah berkata tentang penderitaan padaku. Aku akan menceritakannya padamu suatu hari. Dan kau akan mengerti. Yang kau anggap penderitaan adalah salah satu anak tangga untuk menuju bahagia.” (hlm.109)
(131) “Aku memang tidak mau menjawab pada saat itu, karena aku punya
harapan. Harapanku, kamu akan mencari jawaban sendiri, sehingga kamu bisa mengerti.” (hlm.111)
(132) “Aku berkata begitu, karena aku menjadi dirimu. Jika aku menjadi
aku, aku akan berkata hal yang berbeda.” (hlm.112) (133) “Jika kamu berani menerima bahagia, kamu juga harus berani
merasakan sakit.” (hlm.116)
2.1.10 “Biola”
2.1.10.1 Tokoh Aku
Tokoh aku sebagai tokoh utama yang menjadi sorotan dalam cerita.
Pengarang menggambarkan tokoh aku sebagai perempuan yang memiliki sikap
peduli terhadap keluarganya. Kematian ayahnya membuat tokoh aku menjadi
memperhatikan keadaan ibunya. Berikut ini kutipan gambaran sikap tokoh aku :
(134) “Tapi, aku sedih, setelah ayah meninggal, Ibu harus membanting tulang untuk menghidupi kami. Bolehkah aku membantu Ibu mencari uang? Biar Nin dan Dayu yang sekolah,” pintaku pada ibu. (hlm.122)
(135) “Tapi, Ibu jangan mati sekarang. Ibu sudah terlalu lama bersedih.
Aku ingin membahagiakan Ibu. Aku ingin menghilangkan kepedihan Ibu.” Lalu, sura ibu yang patah-patah kembali terngiang di telingaku. (hlm.124)
Tokoh aku digambarkan sebagai perempuan yang suasana hatinya mudah
terbawa pada kenangan-kenangan sedih dalam perjalanan hidupnya. Berikut
kutipannya:
(136) Ternyata, bukan hal yang mudah melupakan sesuatu di masa lalu. Apa yang aku terima, baik buruknya, mempengaruhi langkahku. Aku bisa berjalan dengan langkah ringan. Tetapi, kadang menyeret beban……… (hlm.120)
(137) …Peristiwa itulah yang selalu muncul setiap kali kupegang biola.
Setiap kali aku menggesek biola, aku seperti menyayat diriiku sendiri. Jujur, aku ingin menyimpan biola ini….Karena setiap kali aku memegangnya, wajah ibu terbayang di mataku. (hlm.125)
Kehidupan keluarga yang sangat sederhana menjadikan tokoh aku menjalani
hidup dengan keikhlasan. Berikut ini kutipannya:
(138) Sejak kecil, ibu mengharapkan aku bisa mengangkat derajat hidup keluarga dari kekurangan. Hidup kami memang tidak berkecukupan. Tapi, kami menjalaninya dengan keikhlasan. (hlm.121)
Karena kehidupan yang sederhana itu, tokoh aku memiliki ambisi untuk
menjadi kaya. Berikut kutipannya:
(139) “Kenapa Ibu berkata seperti itu? Padahal aku ingin kaya, punya uang banyak untuk membeli apa yang Ibu inginkan,” kataku padanya. (hlm.121)
Sebagai anak nomor satu, rasa sayang kepada keluarganya sangat besar
terutama kepada ibunya. Menganggap ibunya sebagai dirinya sendiri, yang telah
menyatu dalam tubuh dan jiwanya. Berikut ini kutipan gambaran tokoh aku tersebut:
(140) …Kepedihan ibu adalah kepedihanku. Tangisnya adalah tangisku. Jika bisa kugantikan hidupnya akan kuberikan diriku untuk kebahagiaannya. Barangkali orang tidak akan mengira begitu dekatnya aku dengan ibu, sehingga aku merasa menjadi dirinya. (hlm.120)
(141) …Ketika mencipta, aku merasa menjadi dirinya. Menuangkan kata-
katanya. Bahkan, gerakan tanganku adalah tangan ibu. Irama di hatiku adalah irama ibu. Bagiku, ibulah yang mencipta dan membuat nyata impiannya dengan mendampingiku dalam berkarya. (hlm.128)
2.1.10.2 Tokoh Ibu
Tokoh Ibu digambarkan sebagai tokoh protagonis, karena karakternya sesuai
dengan harapan dan pandangan pembaca. Kehadirannya dalam cerita sangat
mendukung keberadaan tokoh utama dalam menjalin sebuah cerita. Diceritakan Oleh
pengarang, tokoh ibu digambarkan sebagai sesosok ibu yang memilki sikap bijaksana
dalam menghadapi kesusahan. Memiliki pemikiran bahwa hidup bahagia tidak
diukur dengan harta, melainkan rasa bersyukur. Berikut kutipan gambaran sikap
tokoh ibu tersebut:
(142) “Biarlah orang menganggap kita menderita, karena hidup tidak berkecukupan harta. Tapi, ibu tahu, kita lebih kaya dibandingkan mereka, karena kita menjalani semua dengan rasa ikhlas dan bahagia,” kata ibu padaku ketika kami tidur berdua. (hlm.121)
(143) “Jika pun kamu punya uang. Tidak semua keinginan ibu bisa di beli.
Saat ibu memilih menikah dengan ayahmu, ibu diharuskan meninggalkan keluarga oleh kekekmu, karena kakekmu tidak menyetujui hubungan kami……… Bahkan, ibu bersyukur telah menikmati kehidupan yang jauh berbeda, sehingga batin ibu semakin kaya.” (hlm.121-122)
Sebagai seorang ibu tentu saja memiliki rasa sayang dan berkorban pada
keluarga. Sikap tokoh ibu tersebut dapat ditunjukkan melalui kutipan berikut:
(144) “Saat seusiamu, nenek membelikan ibu sebuah biola. Sudah lama sekali. Dia menjadi teman ibu saat sedih dan gembira… Ibu ingin kamu belajar menggunakannya. Ibu punya sedikit tabungan, bisa kamu gunakan untuk membeli senar yang baru.” (hlm.122)
(145) “Ibu akan bekerja lebih keras lagi,” katanya dengan suara mantap.
(hlm.123) Sebagai seorang perempuan yang telah memilih meninggalkan orang tuanya
demi mengikuti sang suami. Tokoh ibu digambarkan sebagai ibu yang berani
mengambil resiko dengan apa yang telah dijalani dan dialaminya. Berikut kutipan di
saat tokoh ibu sedang sakit:
(146) “Jangan! Jangan datang pada mereka. Ibu tidak mau. Kalau karena penyakit ini ibu harus mati, ibu akan menerima, meski ibu masih ingin mendampingi kalian…… Jika melihatmu berhasil, mereka akan datang padamu, dan mengatakan, kita adalah bagian dari mereka,” aku mengangguk. (hlm.124)
Tokoh ibu juga digambarkan sebagai seorang ibu yang tangguh dan memiliki
pendirian yang kuat. Berikut kutipannya:
(147) Ketika ayah meninggal karena kecelakaan, sementara aku dan kedua orang adikku masih kecil, ibu berubah menjadi ayah bagi kami. Mencoba mencukupi semua kebutuhan keluarga. Ibu tidak mau kembali pada keluarganya. Dia tetap hidup dengan pilihannya. (hlm.123)
2.1.10.3 Tokoh Ve
Pengarang tidak menjelaskan secara jelas, bagaimana karakter dan sifat tokoh
Ve. Namun, dapat dilihat melalui kutipan bahwa tokoh Ve merupakan tokoh
bawahan yang keberadaannya mendukung tokoh utama. Hal ini dapat dilihat karena
tokoh Ve adalah sahabat baik tokoh aku. Kebaikannya adalah membantu
meringankan beban ekonomi keluarga tokoh aku. Berikut kutipan yang dapat
menunjukkan sikap tokoh Ve tersebut:
(148) Aku punya utang banyak pada keluarga Ve. Seluruh biaya pengobatan dan perawatan ibu, keluarga Ve yang menganggung. Jika aku masih merepotkan mereka, ibu tentu tidak menginginkannya. (hlm.126)
(149) Tapi, Ve memaksa dengan caranya. Sebagai penyanyi yang sedang
naik daun, Ve memberi kesempatan padaku untuk mengiringinya. Dengan itulah Ve membantuku. (hlm.126)
2.1.11 “Bukan Pertarungan Biasa”
2.1.11.1 Tokoh Aku
Tokoh aku adalah tokoh sentral atau utama, karena kehadirannya menjadi
sorotan dalam menjalin sebuah cerita. Pengarang menggambarkan tokoh aku sebagai
seorang istri sekaligus wanita karier yang mandiri, yang memiliki obsesi tinggi
dalam mewujudkan impian guna mengumpulkan uang yang banyak sebagai jaminan
masa depan. Demi mengejar obsesinya dalam berkarier, tokoh aku rela hidup
terpisah dari suaminya. Berikut kutipannya:
(150) …Hidup berumah tangga sekian waktu dengan seorang bocah kecil buah hati kami. Seharusnya tujuh tahun menjadi saat indah kebersamaan dan cinta kami. Tapi, aku memilih hidup terpisah, bukan karena aku tidak mencintai suamiku. Aku ingin mengembangkan karierku, agar bisa mengumpulkan banyak uang untuk masa depan kami. (hlm. 129-130)
Tokoh aku dikenal sebagai seorang istri yang bisa menjaga kehormatan
suaminya dan sebagai muslimah yang taat. Namun, di balik semua itu, ternyata tokoh
aku melakukan hubungan gelap dengan atasannya guna mendapatkan proyek-proyek
yang ditanganinya. Berikut kutipannya:
(151) …Aku memang bukan perempuan yang baik, karena tidak menggunakan cara yang jujur untuk mendapatkan proyek-proyek yang aku tangani. Tapi, orang mengenalku sebagai perempuan yang baik. Aku muslimah yang taat, memakai jilbab. Kemana-mana berusaha menjaga kehormatan suamiku… (hlm.131)
Dari kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa tokoh aku bukan perempuan
yang baik karena bermuka dua, dia pandai bersandiwara. Di depan suaminya baik,
namun di balakang dia menjalin hubungan gelap dengan relasi kerjanya yang akan
memberinya komisi yang banyak. Berikut kutipan yang menunjukkan hal tersebut:
(152) …Keyakinan itu begitu kuatnya, sampai aku merasa ketakutan dan berdosa. Lelaki sebaik itu, telah dipilihkan Tuhan menjadi suamiku, kenapa aku harus menghianatinya hanya untuk pekerjaanku? Hanya untuk target-target pribadiku? (hlm.137)
(153) Bagaimana kalau dia tahu, kerudung yang menutup kepalaku hanya
pengaman terhadap sepak terjangku. Bahwa cinta yang ada di hatiku bisa dibeli oleh transaksi dan komisi. Akankah dia bisa memahaminya? Aku bermuka dua. Di depannya aku menjadi istri baik, tapi di belakangnya….aku tidak berani membayangkan. Jangan! Jangan! (hlm.137)
Untuk menutupi rasa bersalah dan berdosanya, tokoh aku berusaha
memberikan apapun yang dia punya guna menebus kesalahan pada suaminya.
Berikut kutipannya:
(154) Aku merasa berdosa padanya. Dan tiga tahun ini aku berusaha menebusnya. Aku memberikan apa pun yang aku punya untuknya. Mobil, rumah, deposito, dia bisa menggunakan semuanya. Tapi, perasaan berdosa itu tidak bisa hilang. (hlm.132)
(155) Dia lebih banyak merepotkan aku. Jadi, apa yang aku lakukan slama
ini benar. Berusaha memberi apa pun yang diinginkannya. Dengan begitu, dia tidak bisa meninggalkan aku. (hlm.138)
Pengarang mengambarkan tokoh aku memiliki pemikiran bahwa dengan
memberi kepuasan material kepada suaminya, maka tidak mungkin suaminya akan
meninggalkannya. Berikut kutipannya:
(156) …Aku yakin, aku bisa menguasainya lagi. Tidak mungkin dia meniggalkan semua yang dia miliki sekarang, meski itu dari hasil jerih payahku. Dia tidak akan punya keberanian. Siapa orang di dunia ini yang mau meninggalkan kenyamanan, tidak ada. Hanya orang-orang sakit saja. Dan dia bukan lelaki yang sakit. (hlm.142)
2.1.11.2 Tokoh Suami
Tokoh suami sebagai tokoh protagonis, karena kehadirannya dalam cerita
sesuai dengan paandangan dan harapan kita sebagai pembaca. Pengarang
menggambarkan sosok suami sebagai laki-laki yang saleh, pengertian, dan baik.
Berikut kutipan yang menunjukkan karakter tokoh suami:
(157) Dulu, saat kami menikah, aku bersyukur mendapatkan suami yang saleh, yang bisa mengerti aku, juga bisa memahami diriku. (hlm.132)
(158) “…Sementara, dia begitu baik padaku, tidak neko-neko, mencintaiku
dengan tulus.” (hlm.134) (159) Dia begitu baik padaku, tidak pernah meminta, kecuali aku ingin
memberi. Tidak pernah protes. Memahamiku. Sayang pada keluarga. Dia lelaki yang baik. (hlm.136)
Tokoh suami digambarkan sebagai suami yang sabar dan sebagai suami yang
menginginkan keutuhan keluarganya. Berikut kutipannya:
(160) “Entahlah, aku sudah tidak kuat lagi.kenapa kita tidak berkumpul saja. Menjadi keluarga yang utuh,” suaranya pelan, dia tidak berani memandangku. (hlm.144)
2.1.11.3 Tokoh Nadia
Tokoh Nadia digambarkan sebagai tokoh bawahan, karena mampu
mendukung tokoh utama. Nadia adalah sahabat sekaligus rekan kerja tokoh aku.
Nadia banyak membantu perkembangan karier tokoh aku. Nadia yang mengenalkan
tokoh aku pada relasi baru yang menjadi pemimpin baru di tempatnya bekerja yang
akan memberi banyak uang.
(161) “Aku akan mengenalkannya padamu. Dia akan memberi kamu banyak uang. Dia pimpinan baru di sini. Minggu depan dia mulai aktif bekerja.” (hlm.130)
Oleh pengarang, tokoh Nadia digambarkan sebagai tokoh yang bisa
mendukung tokoh aku, tetapi kadang kata-katanya menimbulkan kecemasan dalam
diri tokoh aku. Melalui kutipan-kutipan berikut dapat di lihat bagaimana karakter
tokoh Nadia:
(162) “Jangan naïf. Suamimu juga barangkali punya pacar. Kenapa kamu merasa berdosa. Toh, dia juga menikmati hasilnya. Coba kalau dia yang bekerja. Tidak mungkin kamu bisa mendapatkan semua ini, dalam waktu yang singkat,” Nadia berkata dengan nada cepat. (hlm.132)
(163) “Apa dasar agamamu juga tidak kuat? Bukan jaminan, kan? Berkali-
kali aku bilang padamu, kesetiaan itu seperti benang yang tipis. Godaan di mana-mana. Pekerjaanmu menuntut kamu berbaik-baik dengan orang yang berada diatasmu. Apalagi kamu hidup berjauhan dengan suamimu…… (hlm.133)
(164) “… Aku kadang tidak mengerti. Aku sudah mengingatkanmu agar
tidak melibatkan perasaanmu dengan klienmu, tapi kamu melakukannya juga. Sekarang, setelah kamu mendapatkan apa yang kamu inginkan, kamu merasa berdosa, lalu berusaha menebusnya. Aku melihat rumah tanggamu rapuh……” (hlm.135)
2.1.12 “Perceraian Bawah Tangan” 2.1.12.1 Tokoh Laksita
Tokoh Laksita adalah tokoh sentral, karena menjadi sorotan dalam cerita.
Pengarang menggambarkan tokoh Laksita sebagai wanita yang memiliki keinginan
untuk hidup sendiri, bebas mencari apa yang diinginkan tanpa ada yang membatasi.
Berikut kutipannya:
(165) “… Padahal, selama ini aku seperti memimpikan kesendirian. Bisa pergi ke manapun, menjadi tuan bagi dirinya sendiri. Hidup melajang menjadi impian…… tapi, semua jadi terpendam, ketika aku sibuk dengan urusan-urusan rumah. Dan aku merasa, saat inilah aku bisa memulainya……” (hlm.173)
Pengarang menggambarkan tokoh Laksita, sebagai perempuan yang egois
yang memutuskan untuk bercerai dengan suaminya hanya untuk mengejar obsesi diri
sendiri.
(166) Jadi, mendingan aku ngomong ke Mia saja. Bahwa aku dan suamiku sudah sepakat untuk bercerai, meskipun kami masih satu rumah. Hanya untuk menutupi kesepakatan itu dari anak-anak dan keluarga lain. (hlm.168)
(167) Sudah enam bulan ini, aku dan suamiku sepakat berpisah. Ada surat
yang kami tanda tangani, jika dalam waktu satu tahun ini, kami belum bisa mencapai titik temu, maka kami akan berpisah secara baik-baik. (hlm.168-169)
Namun, kesendiriannya itu telah membuat tokoh Laksita sadar, bahwa dia
sangat membutuhkan keluarganya dan merasa hidupnya tidak berarti tanpa mereka.
Berikut kutipannya:
(168) Enam bulan sudah lewat, aku berharap selama itu, aku bisa menikmati kesendirianku. Tapi, aku tidak bahagia dengan apa yang aku lakukan. Aku semakin tahu, aku tidak berarti apa-apa tanpa suami dan anak-anakku. Aku mencintai mereka. Aku mencintai keluargaku. (hlm.174)
2.1.12.2 Tokoh Suami
Tokoh suami sebagai tokoh bawahan, meskipun kemunculannya dalam cerita
sedikit tetapi mendukung tokoh utama. Pengarang mengambarkan tokoh suami
sebagai laki-laki yang sabar dan penuh pengertian yang mendukung sang istri untuk
mengembangkan karier. Berikut ini kutipan yang menggambarkan sikap tokoh
suami:
(169) Aku sudah mempunyai suami yang baik, perhatian, memahami, dan mendukungku. Kenapa juga kami harus bercerai. (hlm.171)
(170) “… Bukankah selama kamu menikah, dia juga memberi kesempatan
padamu untuk mengembangkan karier dan potensimu. Aku melihat dukungan dia yang besar padamu.” (hlm.173)
(171) Aku menjadi bocah kecil bersama dia. Merengek minta segala sesuatu
dan harus dituruti. Dan dia begitu sabar menghadapiku. Tidak pernah menyatakan keberatan. (hlm.174)
2.1.12.3 Tokoh Mia
Tokoh Mia digambarkan sebagai tokoh protagonis, karena menampilkan
sesuatu sesuai dengan pandangan dan harapan pembaca.Tokoh Mia adalah sahabat
baik tokoh Laksita. Mia begitu dekat dengan Laksita, bahkan kedekatan mereka
seperti saudara. Mia yang mengenalkan Laksita pada tokoh suami hingga akhirnya
menikah. Mia sangat marah ketika melihat Laksita jalan berdua dengan lelaki tanpa
didampingi suaminya. Berikut kutipannya:
(172) “Sekarang, katakan padaku, kenapa kamu melakukannya. Apa kamu tidak membayangkan perasaan suamimu, anak-anakmu, jika mereka melihat kamu bersama laki-laki lain. Siapa dia? Tanya dia lebih lanjut. (hlm.165)
(173) “O, begitu. Jadi, selama ini, suamimu tidak tahu apa yang kamu
lakukan. Aku malu punya sahabat seperti kamu. Aku memang tidak berhak mencampuri persoalanmu, juga teman-temanmu lainnya. Tapi, aku menganggap kamu lebih dari saudaraku… Aku akan menutup telinga dan mataku, sekarang, jika menyangkut dirimu.” (hlm.166)
Mengetahui temannya sudah bercerai, Mia merasa sedih dan prihatin
melihatnya. Berikut kutipannya:
(174) “Iya aku tahu. Aku ikut prihatin. Dan menyesal. Tapi, kalau itu yang terbaik menurut kalian. Aku tidak bisa berbuat apa-apa.” (hlm.171)
Sebagai seorang sahabat, Mia sangat baik sekali, memberi masukan dan
nasihat, dan mau menjadi pendengar yang baik di saat sahabatnya sedang dalam
masalah. Berikut kutipannya:
(175) “Tapi, di dunia ini tidak ada pasangan yang sama. Setiap orang punta sifat dan karakter yang berbeda, termasuk kesenangan dan kebiasaan buruknya…… Kenapa tidak dari awal-awal saja, sebelum ada anak-anak, sebelum semua orang tahu, bahwa kalian pasangan yang harmonis dan bahagia.” (hlm.169)
(176) “Oke. Aku bisa memahami. Tapi, aku berharap, kamu dan suamimu
bisa menemukan jalan terbaik, sehingga tidak perlu melanjutkan kesepakatan itu. Aku bisa menjadi pendengar yang baik, kalau kamu mau.” (hlm.170)
Hasil analisis tokoh dan penokohan dapat disimpulkan oleh penulis sebagai
berikut, dalam cerpen “Pinangan Tengah Malam” terdapat tiga tokoh yaitu tokoh
Nora, Anton, dan Pasha. Tokoh Nora adalah tokoh sentral, digambarkan sebagai
tokoh yang mengalami kegagalan dalam hubungan cinta. Nora harus merasakan sakit
hati dan rasa kecewa. Tokoh Anton adalah tokoh antagonis, digambarkan sebagai
lelaki yang dicintai Nora setelah dia bercerai dengan suaminya. Anton adalah lelaki
yang sudah berkeluarga dan dia sangat mencintai istrinya sekaligus juga mencintai
Nora. Tokoh Pasha adalah tokoh bawahan, diceritakan sebagai adik Nora.
Cerpen “Beri Aku Waktu”, tokoh dan penokohannya adalah Umi, Usman,
dan Rida. Tokoh Umi sebagai tokoh utama, digambarkan sebagai wanita sekaligus
ibu yang pekerja keras, bertanggung jawab, sabar, dan penyayang pada anak-
anaknya. Tokoh Usman sebagai tokoh antagonis. Usman adalah suami Umi,
digambarkan memiliki sikap yang kasar, egois, dan tidak bertanggung jawab
terhadap keluarganya. Tokoh Rida adalah tokoh protagonis yaitu sebagai sahabat
sekaligus saudara bagi Umi, digambarkan sebagai seorang sahabat yang setia kawan,
suka membantu, dan memiliki sifat penyayang.
Cerpen “Dipan Antik”, tokoh dan penokohannya adalah tokoh istri dan tokoh
suami. Tokoh istri adalah seorang ibu rumah tangga yang menyukai hal-hal yang
berbau modern. Tokoh istri adalah tokoh sentral atau utama, digambarkan selalu
merasa ketakutan setiap kali tidur di dipan antik koleksi suaminya. Tokoh suami
adalah seorang yang mempunyai hobi mengoleksi barang-barang antik. Digambarkan
sebagai suami yang pekerja keras.
Cerpen “Hanya Satu Malam” hanya memiliki satu tokoh yaitu, tokoh aku
sebagai tokoh sentral. Tokoh aku digambarkan sebagai perempuan yang mengalami
kegelisahan hati karena telah mengingkarai janji setianya pada Tuhan, karena
seorang laki-laki. Cerpen “Di Depan Jenazah Ayah” tokoh dan penokohannya
meliputi tokoh aku, tokoh ayah, dan tokoh ibu. Tokoh aku adalah tokoh sentral,
digambarkan sebagai anak yang banyak mengalami tekanan dan siksaan dari kedua
orang tuanya. Tokoh ayah adalah tokoh antagonis, digambarkan sebagai sosok yang
pendiam tetapi begitu kasar dan ringan tangan, suka memukul dan melempar barang-
barang. Tokoh ibu digambarkan sebagai ibu yang suka marah-marah dengan
megeluarkan kata-kata kasar bila sedang mencaci-maki tokoh aku.
Cerpen “Tikungan” memiliki dua tokoh, yaitu tokoh aku dan tokoh
pembantu. Tokoh aku sebagai tokoh sentral adalah seorang ibu rumah tangga yang
takut melewati tikungan depan rumahnya, bila hendak menyeberang selalu tampak
bayangan mobil kijang putih dan sebuah kecelakaan. Tokoh pembantu adalah tokoh
bawahan, digambarkan sebagai seorang yang supel, bisa melayani dan memiliki
sikap mistik.
Cerpen “Bukan Salahmu, Firda” tokoh dan penokohannya meliputi tokoh
Firda, tokoh Ibu, tokoh Desi, dan tokoh Akmal. Tokoh Firda adalah tokoh sentral,
digambarkan sebagai gadis belia yang cantik, berkulit putih, hidung mancung, dan
matanya kecil. Firda dianggap telah merebut Akmal, tunangan Desi. Tokoh ibu
adalah tokoh protagonist, digambarkan sebagai seorang ibu yang sayang dan
pengertian dengan anak-anaknya terlebih dengan Firda. Tokoh Desi adalah tokoh
antagonis, digambarkan sebagai gadis dari keluarga yang kaya, dia sangat manja dan
tidak menyukai Firda. Tokoh Akmal adalah tokoh bawahan, digambarkan sebagai
laki-laki yang tidak terlalu ganteng, tetapi dia adalah lulusan Akademi Militer.
Akmal adalah tunangan Desi.
Cerpen “Perempuan Kedua” tokoh dan penokohannya adalah Roe, Faisal, dan
Joan. Tokoh Roe adalah tokoh sentral, digambarkan sebagai perempuan kedua dari
Faisal, yang memiliki sikap tegas namun kadang bisa santai dan terbuka. Tokoh
Faisal adalah tokoh antagonis, digambarkan sebagai laki-laki yang beristri yang takut
pada istrinya, karena segala kebutuhan hidupnya disediakan oleh istrinya. Tokoh
Joan adalah tokoh bawahan, digambarkan sebagai sahabat Roe yang baik dan suka
memberi nasihat dan masukan dalam hubungan Roe dengan Faisal.
Cerpen “Di Sinilah Tempat Cinta” memiliki dua tokoh yaitu tokoh aku dan
tokoh Nin. Tokoh aku adalah tokoh utama, digambarkan sebagai perempuan yang
merasa dirinya tidak dicintai orang-orang yang seharusnya mencintai dan
menjaganya. Tokoh Nin sebagai tokoh protagonis adalah teman sekaligus sahabat
bagi tokoh aku, sangat baik dan penuh dengan nasihat. Cerpen “Biola” memiliki tiga
tokoh yaitu tokoh aku, tokoh ibu, dan tokoh Ve. Tokoh aku adalah tokoh sentral,
digambarkan sebagai anak yang peduli dengan keadaan keluarganya, sangat sayang
dengan ibunya. Tokoh ibu adalah tokoh protagonist, digambarkan sebagai seorang
ibu yang tabah dalam menghadapi kesusahan bahkan di saat dia divonis terkena sakit
kanker darah. Tokoh Ve sebagai tokoh bawahan adalah sahabat bagi tokoh aku,
sangat baik dan suka menolong keluarga tokoh aku di saat kesusahan.
Cerpen “Bukan Pertarungan Biasa” memiliki tiga tokoh, yaitu tokoh aku,
tokoh suami, dan tokoh Nadia. Tokoh aku adalah tokoh sentral, digambarkan sebagai
istri sekaligus wanita karier yang mandiri dan memiliki obsesi tinggi dalam
mewujudkan impiannya. Tokoh suami adalah tokoh protagonis, digambarkan sebagai
laki-laki yang saleh, pengertian, baik, dan sebagai suami yang sabar. Tokoh Nadia
adalah tokoh bawahan, diceritakan sebagai teman sekaligus rekan kerja tokoh aku.
Cerpen “Perceraian Bawah Tangan” memiliki tiga tokoh, yaitu tokoh Laksita,
tokoh suami, dan tokoh Mia. Tokoh Laksita adalah tokoh sentral, digambarkan
sebagai wanita yang memiliki keinginan untuk hidup sendiri, bebas mencari apa
yang diinginkannya tanpa ada yang membatasi termasuk suaminya. Tokoh suami
adalah tokoh bawahan, digambarkan sebagai suami yang sabar dan penuh pengertian
terhadap tokoh Laksita. Tokoh Mia adalah tokoh protagonis, digambarkan sebagai
sahabat sekaligus saudara yang mau mendengarkan keluh kesah tokoh Laksita di saat
ada masalah.
BAB III
ANALISIS BENTUK-BENTUK KECEMASAN TOKOH WANITA
DALAM ANTOLOGI CERPEN PEREMPUAN KEDUA
Pada bab III, peneliti akan menganalisis bentuk-bentuk kecemasan dengan
menggunakan teori psikologi dari Zakiah Daradjat. Dalam antologi cerpen
Perempuan Kedua, tokoh wanita merupakan tokoh yang mengalami kecemasan. Di
dalam landasan teori telah diuraikan bahwa kecemasan adalah manifestasi dari
berbagai emosi yang bercampur baur, yang terjadi ketika orang sedang mengalami
tekanan perasaan (frustasi) dan pertentangan batin (konflik).
Adapun bentuk-bentuk kecemasan meliputi: 1) Rasa cemas yang timbul
akibat melihat dan mengetahui ada bahaya yang mengancam dirinya. Cemas ini lebih
dekat kepada rasa takut, karena sumbernya jelas terlihat dalam pikiran. 2) Rasa
cemas yang berupa penyakit dan terlihat dalam beberapa bentuk, antara lain 2.1)
cemas yang umum, dimana orang merasa cemas (takut) yang kurang jelas, tidak
tertentu dan tidak ada hubungannya dengan apa-apa, serta takut itu mempengaruhi
keseluruhan diri pribadi; 2.2) cemas dalam bentuk takut akan benda-benda atau hal-
hal tertentu; 2.3) cemas dalam bentuk ancaman, orang merasa cemas karena
menyangka akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan, sehingga ia merasa
terancam oleh sesuatu itu. 3) Cemas karena merasa berdosa atau bersalah, karena
melakukan hal-hal yang berlawanan dengan keyakinan atau hati nurani (Daradjat,
1985: 27-28).
Berikut akan dianalisis bentuk-bentuk kecemasan tokoh wanita dalam
antologi cerpen Perempuan Kedua. Karena antologi cerpen Perempuan Kedua yang
akan dianalisis berisi dua belas cerpen dengan judul yang berbeda-beda, maka dalam
menganalisis bentuk-bentuk kecemasan, penulis menguraikan berdsarkan isi cerita
dari setiap cerpen kemudian dikelompokkan bentuk-bentuk kecemasannya.
3.1 Rasa Cemas yang Timbul Akibat Melihat dan Mengetahui ada Bahaya yang
Mengancam
Rasa cemas ini lebih dekat kepada rasa takut, karena sumbernya jelas terlihat
dalam fikiran. Cemas ini terdapat dalam cerpen “Pinangan Tengah Malam”, “Beri
Aku Waktu”, “Di Depan Jenazah Ayah”, “Tikungan”, dan “Bukan Salahmu, Firda”.
3.1.1 “Pinangan Tengah Malam”
Dalam cerpen “Pinangan Tengah Malam” yang mengalami kecemasan adalah
tokoh Nora. Kecemasan tokoh Nora terlihat ketika dia hendak menulis surat kepada
Anton yang berisi balasan pinangan. Nora begitu ragu apakah Anton akan menerima
surat balasannya atau tidak. Berikut ini kutipan gambaran perasaan Nora yang
cemas:
(317) Dia menulis dengan tangan gemetar. Sempat dia berhenti sejenak karena ragu. Dia melihat handphone di tangannya, dibacanya kata-kata yang tertulis di sana. Dia menghembuskan nafas, bimbang. (hlm.5)
Kecemasan Nora juga terlihat pada waktu dia menunggu kedatangan Anton
di rumahnya untuk sebuah kepastian atas surat balasan yang dia kirimkan kepada
Anton. Berikut ini kutipannya:
(316) Sore yang menggelisahkan bagi Nora. Beberapa kali dia berdiri dan berjalan memutari ruangan. Sambil tangannya meremas-remas seperti ada yang dicemaskannya. Jika ada suara mobil, Nora berdiri dari duduknya, berjalan mendekati jendela, dan melihat keluar. Tapi, wajahnya menjadi kecewa saat tidak terlihat siapa-siapa. (hlm.6)
Dapat disimpulkan, bahwa rasa cemas tokoh Nora tampak pada rasa takut Nora yang
terlihat dalam pikirannya, yaitu apakah balasan pinangan Nora akan diterima Anton
atau tidak. dalam hal menunggu balasan.
3.1.2 “Beri Aku Waktu”
Tokoh yang mengalami kecemasan adalah Umi. Umi merasa takut dan cemas
akan terpisah dari anak-anaknya setelah nanti bercerai dengan Usman, suaminya.
Karena Usmanlah yang selama ini mengasuh anak-anaknya setelah Umi di usir dari
rumah. Rasa cemas tokoh Umi terlihat dari rasa takut yang muncul dalam
pikirannya, bahwa Umi takut terpisah dengan anak-anaknya setelah nanti bercerai
dengan Usman.
(317) “Apakah aku bisa mendapatkan anak-anakku? Aku tahu, Usman tidak akan membiarkan jalannya mudah bagiku. Tapi, aku ikhlas jika dia mengambil semua harta, tanpa menyisakan untukku dan hidup dengan perempuannya. Asalkan anak-anak bersamaku.” (hlm.25)
3.1.3 “Di Depan Jenazah Ayah” Kecemasan tokoh aku terlihat ketika dia datang ke rumah dan melihat tubuh
ayahnya yang meninggal yang terbaring terbujur kaku. Rasa cemas tokoh aku trlhat
ketika melihat jenazah ayahnya yang meninggal. Pikiran tokoh aku terbayang ke
masa lalu yaitu ketika tokoh aku sering mendapat siksaan dari ayahnya. Pikiran itu
membuat tokoh aku menjadi takut melihat jenazah ayahnya.
(318) Tubuh yang terbujur kaku, terasa dingin tersentuh oleh tanganku. Sekali lagi, kulihat wajah ayah. Ada rasa takut yang menguasaiku. Rasa yang terbangun dari deraan kata dan siksa yang dia berikan padaku. Selama tiga puluh tahun hidupku adalah ketakutan. (hlm.57)
(319) Dan ketika kulihat tubuh di depanku, aku merasa dia tahu aku
datang, lalu dengan kebenciannya, dia akan bangun dan
mengambil apa saja untuk dilemparkan padaku. Dia akan berteriak keras sambil mengatakan akulah anak yang ingin dibunuhnya. (hlm.57-58)
Perasaan cemas yang muncul dalam pikiran tokoh aku juga terlihat ketika dia
sudah menikah. Tokoh aku merasa takut jangan-jangan suami yang dinikahinya juga
akan menyakitinya seperti yang dilakukan oleh kedua orangtuanya.
(320) Tapi, tidak mudah. Bayang-bayang dalam pikiran bahwa suami akan menyakitiku tidak bisa terhapus. Dia orang lain, bagaimana dia tidak menyakitiku? Sedangkan ibu yang melahirkan aku, ayah yang seharusnya melindungiku malah meninggalkan sakit yang mendalam. (hlm.66)
3.1.4 “Tikungan” Rasa takut yang dialami tokoh aku muncul, karena dia merasa dibayang-
bayangi sebuah mobil kijang putih yang melaju kencang ketika hendak menyeberang
di tikungan depan rumahnya, sehingga terjadi kecelakaan. Rasa cemas tokoh aku
terlihat ketika hendak menyeberang tikungan di depan rumahnya. Dalam pikirannya
seperti dibayang-bayangi ada sebuah mobil kijang putih yang melaju kencang
sehingga terjadi kecelakaan . pikiran itu yang membuat tokoh aku selalu merasa takut
bila hendak menyeberang di tikungan depan rumahnya.
(321) Bahkan akhir-akhir ini, bayangan itu selalu hadir saat aku naik motor, dan menunggu jalan sepi untuk menyeberang jalan. Sebuah mobil kijang warna putih melaju dengan kecepatan tinggi pada saat aku menyeberang, sehingga terjadilah kecelakaan. (hlm.69)
(322) Meski sudah melihat tidak ada kendaraan, tapi aku selalu ragu. Jagan-
jangan mata menipuku. Atau ketika aku menyeberang, tanpa terlihat olehku, ada mobil yang melaju. Lalu, sopirnya terkejut, tidak bisa menghentikan mobilnya, sehingga terjadilah kecelakaan. (hlm.70)
(323) Tapi, seperti hari-hari sebelumnya, bayangan mobil kijang putih yang
melaju cepat, dan motor yang rusak selalu terlihat di mataku. Aku berusaha menyingkirkannya dengan berbagai cara. Tidak mau hilang juga. (hlm.72-73)
(324) Entah kenapa, jantungku jadi berdebar-debar. Bayangan sebuah mobil
kijang melaju dengan kecepatan tinggi kembali mengusikku. Beberapa kali aku mengedip-ngedipkan mata. Menoleh ke belakang untuk memastikan. (hlm.78)
3.1.5 “Bukan Salahmu, Firda”
Rasa cemas tokoh Firda yang muncul dalam pikirannya yaitu bukan karena
dia kehilangan keperawanannya, tetapi Firda takut tidak bias mendaptkan laki-laki
seperti Akmal, karena dengan mendapatkan Akmal, Firda berharap kebutuhan
hidupnya akan terjamin.
Firda adalah gadis cantik yang hidup dari keluarga pas-pasan. Dia merasa
dirinya tidak pintar, tetapi satu-satunya cara untuk menjerat Akmal, yaitu
menggunakan kemampuan dasarnya sebagai perempuan. Firda berani tidur dengan
Akmal, menyerahkan keperawanannya kepada lelaki itu. Dia berani dan nekat tidur
dengan Akmal, karena Firda takut tidak dapat mendapatkan laki-laki seperti Akmal.
(325) Jadi, dia berani tidur dengan Akmal, menyerahkan keperawananya pada lelaki itu, pada saat dia berkunjung ke rumah tunangannya. Firda tidak merasa berdosa, karena dengan apa yang dia lakukan, dia berharap, Akmal akan bertanggung jawab padanya. (hlm.90)
Dengan mendapatkan laki-laki seperti Akmal, Firda berharap semua
kebutuhan hidupnya akan terjamin, karena itu dia tidak ingin melepaskan Akmal.
(326) “Ibu, maafkan aku, aku sengaja merebut Akmal dari Desi. Aku mencintai dia, Ibu. Kalau aku tidak merebutnya, aku tidak akan mendapatkan laki-laki seperti dia. Dengan menjadi istrinya, aku tidak perlu repot lagi. Dia akan mencukupi kebutuhanku. Aku bisa membantu adik-adik,” Firda bicara dengan nada biasa saja. (hlm.87)
3.2 Rasa Cemas yang Berupa Penyakit dan Terlihat dalam Beberapa Bentuk
3.2.1 Cemas yang Umum.
Rasa cemas yang umum terlihat di mana orang merasa cemas (takut) yang
kurang jelas, tidak tertentu dan tidak ada hubungannya dengan apa-apa, serta takut
itu mempengaruhi keseluruhan diri pribadi.
Rasa cemas yang umum ini ditemukan dalam cerpen “Perempuan Kedua”,
“Disinilah Tempat Cinta”, dan “Perceraian Bawah Tangan”.
3.2.1.1 “Perempuan Kedua”
Rasa cemas tokoh Roe yang tidak jelas, terlihat dari sikapnya yang tidak
tegas dalam sebuah hubungan. Sikap Roe inilah yang menyebabkan kecemasan yang
kurang jelas dalam diri Roe. Sikap Roe tersebut dapat dilihat ketika Roe
mempertanyakan soal janji Faisal untuk menikahinya. Berikut kutipannya:
(327) “Tapi, kamu sudah berkata padaku untuk menikah denganku.” (hlm.96)
Pernyataan kutipan Roe di atas digunakan Roe sebagai alat untuk menekan
dan mengetahui laki-laki seperti apa Faisal itu. Karena, Roe hanya ingin bermain-
main dengan Faisal saja. Namun di satu sisi, Roe juga merasa tidak pantas untuk
menjadi perempuan kedua bagi Faisal. Berikut kutipan yang menjelaskan pernyataan
tersebut:
(328) “Iya. Iya. Aku Cuma ingin bermain-main dengan dia sebentar, kenapa sih?” (hlm.104)
(329) Awalnya, Roe menyukai semua yang dia lakukan dengan Faisal.
Menikmati dengan suka cita. Tapi sekarang, dia berfikir ulang, pantaskah dia menjadi perempuan kedua bagi laki-laki penakut seperti Faisal. (hlm.104)
Ketidaktegasan sikap Roe dalam hubungannya dengan Faisal menimbulkan
kecemasan yang kurang jelas. Hal ini terlihat ketika Roe tetap berniat untuk
melanjutkan hubungannya dengan Faisal. Berikut gambaran kutipannya:
(330) “Maaf, aku ternyata tidak bisa meninggalkannya!” (105)
3.2.1.2 “Di Sinilah Tempat Cinta”
Rasa cemas yang kurang jelas terlihat ketika tokoh aku merasa bahwa masa
lalunya adalah sebuah penderitaan, karena orang-orang yang seharusnya
mencintainya meninggalkannya.
(331) “Mungkin aku ditakdirkan untuk mengalami semua penderitaan ini,” kataku pada Nin, suatu sore ketika dia berada di kamarku.
“Dari mana kamu tahu hal itu?” dia bertanya padaku. “Aku hanya menduga,” jawabku. (hlm.108)
Dari kutipan di atas dapat di lihat bahwa jawaban tokoh aku hanya sebuah
dugaan, bahwa dia ditakdirkan untuk menderita. Dugaan ini muncul karena
perasaannya sendiri sehingga mengakibatkan kecemasan yang kurang jelas. Seperti
terlihat dalam kutipan di bawah ini, tokoh aku merasa bahwa dirinya hanya disakiti
dan itu hanya perasaannya saja.
(332) “….Teman, sahabat, kekasih. Tidak ada orang yang bias dipercaya. Mereka hanya memanfaatkan kita. Atas nama apapun yang mereka katakan, mereka menjadi pedagang yang berhitung untung dan rugi untuk sesuatu yang mereka beri. Ketika aku sadari hal itu, apakah aku salah, jika aku merasa disakiti?..........”
“Apakah kamu pernah menanyakan hal ini pada mereka?” “Aku hanya merasa.” “Jika hanya merasa, lupakanlah. Bukan orang lain yang menyakitimu.
Tapi, kamu yang menyakiti dirimu sendiri.” (hlm.112-113)
Dari kutipan di atas, dapat diketahui bahwa sikap menduga dan merasa tokoh
aku tersebut, hanya akan menimbulkan kecemasan yang kurang jelas bagi dirinya
sendiri.
3.2.1.3 “Perceraian Bawah Tangan”
Kecemasan tokoh Laksita, terlihat ketika Laksita menginginkan bercerai
dengan suaminya, dengan bercerai dari suaminya, dia merasa mampu mendapatkan
semuanya jika sendririan. Namun, di sisi lain keputusannya itu hanya membuat
batinnya semakin gelisah, tidak pasti apa yang sesungguhnya diinginkannya.
(333) Kadang ketika tidur sendirian sempat terlintas dalam pikiranku. Apa yang ebenarnya kau inginkan. Aku sudah mempunyai suami yang baik, perhatian, memahami, dan mendukungku. Kenapa juga kami bercerai. (hlm.171)
(334) ”… Aku pun gemetar ketika membaca kata-kata yang dituliskannya.
Sepanjang malam aku menangis. Tidak ada rasa bahagia sama sekali. Padahal, selama ini, aku seperti memimpikan kesendirian. Bisa pergi kemanapun, menjadi tuan bagi diri sendiri. Hidup melajang menjadi impian… “ (hlm.172)
(335) Bisa jadi, apa yang terjadi antara aku dan suami adalah imbas dari kegelisahan yang sangat, yang berkecamuk di batinku. Aku hanya perlu menenangkan diri. Berpikir dengan jernih, sehingga aku tidak keliru memutuskan segala sesuatunya. (hlm.173-174)
Bahkan, ketika melewati enam bulan perpisahan dengan suaminya, dia
merasa tidak bahagia dan semakin tidak berarti tanpa suami dan anaknya.
(336) Enam bulan sudah lewat, aku berharap selama itu, aku bisa menikmati kesendirianku. Tapi, aku tidak bahagia dengan apa yang aku lakukan. Aku semakin tahu, aku tidak berarti apa-apa tanpa suami dan anak-anakku. (hlm.174)
3.2.2 Cemas dalam Bentuk Takut akan Benda-Benda atau Hal-Hal Tertentu
Bentuk cemas dalam bentuk takut akan benda-benda atau hal-hal tertentu
terdapat dalam cerpen “Dipan Antik” dan “Biola”.
3.2.2.1 “Dipan Antik”
Tokoh ibu merasa takut dengan koleksi barang antik milik suaminya yaitu
sebuah dipan antik. Dia merasa ketakutan setiap kali merebahkan tubuhnya di tempat
tidur itu, karena dia merasakan ada orang lain yang menemaninya tidur. Berikut
gambaran kutipannya:
(337) Setiap kali aku merebahkan diri di tempat tidur, aku selalu gelisah. Apalagi jika kelambu dibiarkan tertutup. Dan aku terbaring sendirian di dalamnya. Aku merasa ada sepasang mata yang selalu mengawasiku
hamper semua sudut. Sepasang mata laki-laki. Aku tidak pernah melihatnya. Tapi, merasakannya. (hlm.38)
(338) Belum ada sebuah tempat tidur yang membuatku takut, seperti dipan
antik yang kami miliki ini. Aku gelisah setiap kali hendak tidur sendirian. (hlm.41)
Bahkan ketika tokoh ibu berada di kamar, karena rasa takut, dia tertidur dan
kemudian seperti melihat wajah suaminya. Dia merasakan ada tangan kekar yang
memeluknya. Berikut kutipannya:
(339) Tengah malam, aku dengar suara sayup-sayup lelaki. Aku membuka mata, terlihat wajah suamiku. Aku tersenyum padanya. Lalu, aku kembali menutup mata. Kurasakan tangan kekar memelukku dari belakang. (hlm.42)
3.2.2.2 “Biola”
Rasa takut tokoh aku terlihat pada sebuah biola pemberian almarhum ibunya.
Dengan memainkan kembali biola tersebut, tokoh aku seperti terbayang oleh wajah
ibunya, karena bersama gesekan biola itu tokoh aku mengenang kepedihan ibunya.
Kutipan gambaran berikut akan menjelaskan pernyataan di atas:
(340) Setiap kali memainkan biola, suara dan kata-kata ibu terlihat begitu jelas di depanku. Tak pernah bisa kulihat nada-nada di depanku, kecuali wajah ibu. (hlm.119-120)
(341) Peristiwa itulah yang selalu muncul setiap kali kupegang biola. Setiap
kali aku menggesekkan biola, aku seperti menyayat diriku sendiri. Jujur. Aku ingin menyimpan biola ini. Tapi, aku juga ingin membuangnya di tempat terjauh yang tidak bisa aku temukan. Aku akan melemparnya pada angin, agar membawanya terbang. Karena setiap kali aku memegangnya, wajah ibu terbayang di mataku. (hlm.125)
(342) Bagiku, ibulah yang mencipta dan membuat nyata impiannya dengan
mendampingiku dalam berkarya. Selalu terngiang di telingaku, “Gesekkan kepedihanku….” (hlm.128)
3.2.3 Cemas dalam Bentuk Ancaman Kecemasan ini menyertai gejala-gejala gangguan dan penyakit jiwa. Orang
merasa cemas karena menyangka akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan,
sehingga ia merasa terancam oleh sesuatu itu. Rasa cemas ini terdapat dalam cerpen
“Di Depan Jenazah Ayah”.
3.2.3.1 “Di Depan Jenazah Ayah”
Rasa takut tokoh aku terlihat ketika ibunya memarahinya karena bekerja di
tempat budenya. Tokoh aku merasa ketakutan melihat ibunya marah, karena dia
menduga bahwa akan terjadi sesuatu pada dirinya. Rasa takut ini muncul karena
perasaan trauma akan disiksa oleh orang tuanya. Berikut kutipannya:
(343) Ada rasa takut yang luar biasa jika membayangkan apa yang mereka lakukan. Jangan-jangan mereka, ibu dan bapakku, sedang merencanakan sesuatu untuk menyakitiku. Aku tidak pernah mempercayai mereka, meski mereka orang tuaku. Aku selalu punya prasangka buruk pada mereka. Aku menyebutnya insting. Jika aku punya praduga seperti itu, pasti akan terjadi. (hlm.62-63)
(344) Hari-hari selanjutnya, aku melihat hantu di mana-mana. Di rumahku,
di sekolah, dan di sekelilingku. Aku selalu ketakutan. Mendengar suara ayah dan ibu pun, aku ketakutan. Aku sudah tidak bisa menangis. Aku hidup di dalam diriku sendiri. Menjadi perempuan tertutup. (hlm.65)
Kutipan (344) menunjukkan bahwa kecemasan tokoh aku menyertai gejala-
gejala gangguan jiwa, karena telah mengalami banyak tekanan dan sikasaan dari
orang tuanya, hingga menjadikan dia sebagai pribadi yang tertutup.
3.3 Cemas karena Merasa Berdosa atau Bersalah, karena Melakukan Hal-Hal
yang Berlawanan dengan Keyakinan atau Hati Nurani
Rasa cemas ini dapat dilihat dalam cerpen “Hanya Satu Malam” dan “Bukan
Pertarungan Biasa”.
3.3.1 “Hanya Satu Malam”
Tokoh aku merupakan orang yang teguh memegang janji untuk setia dan
mengabdikan diri sepenuhnya hanya untuk Tuhan.
(345) Keseluruhan hatiku adalah milik-Mu. Cinta yang ada di hatiku pun milik-Mu. Aku tidak ingin membaginya untuk siapa pun di dunia. (hlm.48)
Bahkan untuk menunjukkan kecintaannya pada Allah, tokoh aku rela
meninggalkan suami dan anak-anaknya.
(346) Aku memilih meninggalkan orang-orang yang aku cintai di dunia. Suami dan anak-anakku. Karena aku menganggap bahwa mereka adalah perintang untuk mencapai cinta-Nya. (hlm.49)
Rasa cemas tokoh aku terlihat karena telah melakukan kesalahan yang
berlawanan dengan keyakinan hatinya yang telah diteguhkan kepada Tuhan.
Pertemuan tokoh aku dengan seorang lelaki, telah membuat janjinya pada Tuhan
menjadi ternoda. Batinnya sangat gelisah karena ternyata dia tidak mampu
memenuhi kesetiaannya pada Tuhan. Walaupun, dia telah bersimpuh untuk
menghapus dosanya. Berikut gambaran kutipannya:
(347) Aku mengikrarkan hatiku sepenuhnya untuk-Nya. Aku menutup diri dengan riuhnya duani. Aku meninggalkan yang aku cintai di dunia. Uang, perhiasan, suami, dan anak-anakku. Aku memilih hidup sendiri. Tapi sekarang, aku menginginkan lelaki itu untuk bersamaku. (hlm.51)
(348) Bagaimana mungkin dalam satu malam, aku telah menghancurkan
hatiku yang aku berikan pada-Nya. Walau aku kembali bersimpuh untuk penghapusan dosaku. Tapi, di hati kecilku yang lain, aku ingin Engkau mempertemukan lagi aku dengannya sampai terbuka mataku. (hlm.52)
(349) Bisakah aku ungkapkan kegalauan hatiku di depan-Mu? Walau telah
kuikrarkan diriku pada-Mu untuk mengabdi dengan sepenuh hati. Tapi, ternyata aku mengingnkan hal lain di dunia. Sesak nafasku, Tuhan. Gemuruh di dadaku seanantiasa menancapkan rasa bersalah yang sangat kuat, sehingga tak sanggup aku menahan air mataku jika tiba saat waktuku dengan-Mu. (hlm.54-55)
3.3.2 “Bukan Pertarungan Biasa” Tokoh aku merupakan seorang wanita karier dengan penghasilan yang lebih
besar di banding suaminya. Dia mendapatkan uang yang banyak tidak dengan cara
yang terpuji. Dia memanfaatkan kliennya dengan mengencaninya untuk
mendapatkan banyak uang. Dari kutipan di bawah ini, menjelaskan pernyataan di
atas.
(350) ”Aku akan mengenalkannya padamu. Dia akan memberi kamu banyak uang. Dia pimpinan baru di sini. Minggu depan dia mulai aktif bekerja.”
“Boleh,” aku menjawab singkat. (hlm.130) (351) Aku memang bukan perempuan yang baik, karena tidak menggunakan
cara jujur untuk mendapatkan proyek-proyek yang aku tangani. (hlm.131)
Tokoh aku adalah seorang muslimah yang dikenal baik, bahkan di depan
suaminya. Tetapi, apa yang telah dia lakukan selama ini telah membuatnya merasa
berdosa pada suaminya. Dan, dia menebus kesalahannya dengan memberi barang-
barang yang dia punyai. Berikut kutipannya:
(352) Aku merasa berdosa padanya. Dan tiga tahun ini aku berusaha menebusnya. Aku memberikan apa pun yang aku punya untuknya. Mobil, rumah, deposito, dia bisa menggunakan semaunya. Tapi, perasaan berdosa tidak bisa hilang juga. (hlm.132)
(353) ”Tapi, aku merasa berdosa. Bagaimana kalau dia tahu semua yang aku
lakukan selama ini. Dia pasti akan terluka. Dia tidak akan mengira, aku sanggup melakukannya. Sementara, dia begitu baik padaku, tidak neko-neko, mencintaiku dengan tulus.” (hlm.134)
Bukan hanya karena merasa berdosa karena telah menghianati suaminya,
tokoh aku juga menjadi gelisah kalau ternyata suaminya telah mengetahui
perbuatannya tetapi berusaha menutupinya. Berikut kutipannya:
(354) Tapi, aku punya keyakinan, dia belum tahu, dan barangkali tidak akan tahu apa yang aku lakukan. Keyakinan itu begitu kuatnya, sampai aku
merasa ketakutan dan berdosa. (hlm.136-137)
(355) Bagaimana kalau dia tahu, kerudung yang menutup kepalaku hanya pengaman terhadap sepak terjangku. Bahwa cinta yang ada di hatiku bisa dibeli oleh transaksi dan komisi. Akankah dia bisa memahaminya? Aku bermuka dua.di depannya aku menjadi istri baik, tapi di belakangnya….aku tidak berani membayangkan. (hlm.137)
Lama-kelamaan perasaan berdosanya, semakin membuat tokoh aku menjadi
gugup, cemas kalau suaminya akan benar-benar tahu perbuatannya.
(356) Lama-kelamaan, hubunganku semakin tidak harmonis. Yang ada dalam pikiranku hanya keinginan menebus penghianatanku dengan semua benda yang dia inginkan. Aku tidak pernah mengira, bahwa perasaan berdosa yang bermukim semakin lama di hatiku sanggup membuatku gugup, apalagi ketika bersamanya. Aku cemas, dia akan tahu. (hlm.137-138)
Dari hasil analisis bab III dapat disimpulkan bentuk-bentuk kecemasan apa
saja yang terdapat dalam cerpen Perempuan Kedua. Berikut ini hasil analisisnya:
Cemas akibat melihat dan mengetahui ada bahaya yang mengancam dirinya, terdapat
dalam cerpen “Pinangan Tengah Malam”, rasa cemas yang dialami Nora yaitu rasa
takut yang muncul dalam pikirannya apakah balasan pinangan Nora akan diterima
Anton atau tidak. Cerpen “Beri Aku Waktu”, rasa cemas yang dialami Umi yaitu rasa
takut dan cemas akan terpisah dari anak-anaknya setelah nanti bercerai dengan
Usman. Cerpen “Di Depan Jenazah Ayah”, rasa cemas tokoh aku terlihat ketika
melihat tubuh ayahnya yang meninggal dan terlihat ketika sudah menikah dibayang-
bayangi rasa takut kalau suaminya akan menyakitinya. Cerpen ”Tikungan”, rasa
takut tokoh aku muncul karena merasa dibayang-bayangi sebuah mobil kijang putih
yang melaju kencang ketika hendak menyeberang di tikungan sehingga terjadi
kecelakaan, dan “Bukan Salahmu Firda”, tokoh Firda takut kalau tidak bisa
mendapatkan Akmal sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dan
keluarganya.
Cemas Yang Berupa Penyakit, meliputi Cemas yang umum terdapat dalam
cerpen “Perempuan Kedua”, sikap Roe yang kurang tegas dalam hubungannya
dengan Faisal menyebabkan kecemasan yang kurang jelas dalam diri Roe, cerpen
“Di Sinilah Tempat Cinta”, perasaan cemas yang kurang jelas ditunjukkan tokoh aku
melalui sikapnya yang selalu memiliki perasaan menduga serta merasa, dan cerpen
“Perceraian Bawah Tangan”, rasa cemas yang kurang jelas pada tokoh Laksita
terlihat ketika menginginkan bercerai tetapi di satu sisi perasaannya menjadi hampa
karena perceraian itu, dan tidak tahu apa yang sebenarnya diinginkannya .
Cemas dalam bentuk takut akan benda-benda atau hal-hal tertentu, terdapat
pada cerpen “Dipan Antik”, rasa takut tokoh ibu nampak pada sebuah dipan antik
koleksi suaminya, dan cerpen “Biola”, rasa takut tokoh aku terlihat pada sebuah
biola pemberian almarhum ibunya. Cemas dalam bentuk ancaman, terdapat pada
cerpen “Di Depan Jenazah Ayah”, rasa takut tokoh aku muncul karena perasaan
trauma akan disiksa oleh orang tuanya hingga menjadikan tokoh aku pribadi yang
tertutup. Cemas karena merasa berdosa atau bersalah, terdapat pada cerpen “Hanya
Satu Malam”, rasa cemas tokoh aku terlihat karena dia merasa berdosa telah
mengingkari janjinya pada Tuhan, dan cerpen “Bukan Pertarungan Biasa”, perasan
cemas tokoh aku muncul akibat merasa bersalah pada suaminya karena menghianati
pernikahan mereka.
TABEL BENTUK—BENTUK KECEMASAN
No Judul Cerpen Gejala Kecemasan
Bentuk Kecemasan
1 “Pinangan Tengah Malam”
Rasa cemas Nora yaitu rasa takut yang muncul dalam pikirannya apakah balasan pinangan Nora akan diterima Anton atau tidak.
2 “Beri Aku Waktu” Rasa cemas Umi yaitu takut terpisah dari anak-anaknya setelah nanti bercerai dengan Usman.
3 “Di Depan Jenazah Ayah” Rasa cemas tokoh aku yaitu ketika melihat jenazah ayanhnya yang meninggal dan ketika sudah menikah dibayang-bayangi rasa takut kalau suaminya akan menyikasanya.
4 “Tikungan” Rasa cemas tokoh aku muncul karena dibayang-bayangi sebuah mobil kijang putih yang melaju kencang ketika hendak menyeberang di tikungan sehingga terjadi kecelakaan.
5 “Bukan Salahmu, Firda” Tokoh Firda takut kalau tidak bsa mendapatkan Akmalsehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kecemasan Akibat Melihat dan Mengetahui ada Bahaya yang
Mengancam
6 “Perempuan Kedua”
Rasa cemas tokoh Roe muncul karena sikap Roe yang kurang tegas dalam hubungannya dengan Faisal
7 “Di Sinilah Tempat Cinta” Perasaan cemas yang kurang jelas tampak melalui sikap tokoh yang selalu memiliki perasaan menduga dan merasa.
8 “Perceraian Bawah Tangan”
Rasa cemas tokoh Laksita terlihat ketika ingin bercerai, tetapi di sisi lain perasaanya menjadi hampa karena perceraian itu dan tidak tahu apa yang sebenarnya diinginkannya.
Cemas yang Umum
9 “Dipan Antik” Rasa takut tokoh ibu nampak pada sebuah dipan antic koleksi suaminya. Tokoh ibu merasa takut bila tidur di dipan antik tersebut.
10 “Biola” Rasa takut tokoh aku terlihat pada sebuah biola pemberian almarhum ibunya.
Cemas dalam Bentuk Takut
akan Benda-Benda/Hal-Hal Tertentu
11 “Di Depan Jenazah Ayah” Rasa takut tokoh aku terlihat karena perasaan trauma akan disiksa oleh orang tuanya hingga menjadikan tokoh aku pribadi yang tertutup.
Cemas dalam Bentuk Ancaman
Cemas Berupa Penyakit
12 ””Hanya Satu Malam” Rasa cemas tokoh aku terlihat karena dia merasa berdosa telah mengingkari janjinya pada Tuhan.
13 “Bukan Pertarungan Biasa”
Perasaan bersalah tokoh aku muncul akibat merasa bersalah pada suaminya karena menghianati pernikahan mereka.
Cemas karena Merasa Berdosa atau Bersalah, karena Melakukan Hal-Hal yang Berlawanan dengan Keyakinan
BAB IV
PENUTUP 4.1 Kesimpulan
Hasil penelitian antologi cerpen Perempuan Kedua karya Evi Idawati dapat
disimpulkan sebagai berikut. Antologi cerpen Perempuan Kedua mengangkat
permasalahan sekitar kehidupan pribadi perempuan, mulai dari problematika
perkawinan sampai hubungan pribadi dengan Tuhannya. Antologi cerpen Perempuan
Kedua berisi tigabelas cerpen, dari tigabelas cerpen tersebut yang dianalisis hanya
dua belas cerpen. Dua belas cerpen yang dianalisis mengandung unsur kecemasan dan
kecemasan itu yang menjadi permasalahan bagi tokoh wanita, sebagai tokoh
utamanya.
Unsur intrinsik yang akan di bahas dalam penelitian ini, meliputi tokoh dan
penokohan. Tokoh dan penokohan dari tiap-tiap cerpen disimpulkan memiliki empat
jenis tokoh, yaitu tokoh sentral, tokoh bawahan, tokoh protagonis dan tokoh
antagonis. Tokoh sentral disini adalah tokoh wanita sebagai tokoh utama yang
mengalami kecemasan, tokoh bawahannya adalah tokoh yang berposisi sebagai tokoh
yang pemunculannya dalam cerita sangat membantu tokoh utama. Tokoh protagonis
adalah tokoh yang sesuai dengan pandangan dan harapan kita sebagai pembaca,
sedangkan tokoh antagonis di sini adalah tokoh yang menimbulkan kecemasan bagi
tokoh utama.
Bentuk-bentuk kecemasan dalam antologi cerpen Perempuan Kedua dapat
dibagi menjadi tiga bentuk kecemasan, yaitu 1) Rasa cemas yang timbul akibat
melihat dan mengetahui ada bahaya yang mengancam, 2) Rasa cemas yang berupa
penyakit, meliputi 2.1) Cemas yang umum; 2.1) Cemas dalam bentuk takut akan
benda-benda atau hal-hal tertentu; 2.3) Cemas dalam bentuk ancaman, 3) Cemas
karena merasa berdosa atau bersalah karena melakukan hal-hal yang berlawanan
dengan keyakinan.
Dua belas judul cerpen yang ada dalam antologi cerpen Perempuan Kedua
dapat dianalisis ke dalam tiga bentuk kecemasan berdasarkan isi cerita dari tiap-tiap
cerpennya. Berikut hasil analisis bentuk-bentuk kecemasan dari kedua belas cerpen:
Cemas akibat melihat dan mengetahui ada bahaya yang mengancam terdapat pada
cerpen “Pinangan Tengah Malam”, “Beri Aku Waktu”, “Di Depan Jenazah Ayah”,
“Tikungan” dan “Bukan Salahmu Firda”. Cemas Yang Berupa Penyakit, meliputi a.
Cemas yang umum: terdapat dalam cerpen “Perempuan Kedua”, “Di Sinilah Tempat
Cinta”, “Perceraian Bawah Tangan”. b. Cemas dalam bentuk takut akan benda-
benda atau hal-hal tertentu: terdapat pada cerpen “Dipan Antik”, dan “Biola”. c.
Cemas dalam bentuk ancaman: terdapat dalam cerpen “Di Depan Jenazah Ayah”.
Cemas karena merasa berdosa atau bersalah: terdapat pada cerpen “Hanya Satu
Malam”, dan “Bukan Pertarungan Biasa”.
4.2 Saran
Demikian penelitian yang berjudul Bentuk-Bentuk Kecemasan Tokoh Wanita
dalam Antologi Cerpen Perempuan Kedua karya Evi Idawati. Penelitian ini baru
tahap awal yaitu berupa analisis unsur intrinsik karya sastra yang terdiri dari tokoh
dan penokohan melalui analisis secara psikologi sastra. Masih banyak permasalahn
lain dalam antologi cerpen Perempuan Kedua yang dapat diangkat sebagai bahan
penelitian. Peneliti berharap agar peneliti selanjutnya dapat mengangkat
permasalahan-permasalahan lain sebagai objek penelitian dalam antologi cerpen
Perempuan Kedua karya Evi Idawati, sehingga penelitian selanjutnya semakin
beragam.
DAFTAR PUSTAKA
Daradjat, Zakiah. 1985. Kesehatan Mental. Jakarta: Gunung Agung Hartoko dkk dan B. Rahmanto. 1986. Pemandu Di Dunia Sastra. Yogyakarta:
Kanisius Idawati, Evi. 2005. Perempuan Kedua. Yogyakarta: Pilar Media Kastari, Jayadi. 2006. Evi Idawati; Menggugat Lewat Perempuan Kedua.
http://www.google.co.id/search?q=ev+idawati&hl=id&lr=&start=60&sa=N Luxemburg, Jan Van. 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia Nazir, Mohammad. 1985. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gama Press Pujiwati. 2001. Kecemasan Tokoh Anti dalam Novel Rumah Keseribu Karya Titis
Basino P.I dan Implementasinya dalam Pembelajaran Sastra Di SMU. Yogyakarta: PBSID Universitas Sanata Dharma
Rumini, Sri dkk. 1995. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UPP IKIP Semi, Atar. 1989. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya Sukada, Made. 1987. Pembinaan Kritik Sastra Indonesia. Bandung: Angkasa Sumardjo, Jakob. 1986. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Teeuw, 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya Wellek dan Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia
LAMPIRAN SINOPSIS 1. “Pinangan Tengah Malam”
Cerpen “Pinangan Tengah Malam” menceritakan tentang seorang Nora yang
gelisah karena sebuah pinangan yang pada malam itu di kirim Anton melalui sms.
Karena mengalami kekecewaan yang mendalam, sebelumnya Nora pernah bercerai
dengan suaminya, dan kini cintanya pada Anton tidak berbalas. Pada akhirnya Nora
memutuskan untuk menyembunyikan diri di tempat terpencil, agar segala yang dia
alami bisa dilampaui dengan baik.
2. “Beri Aku Waktu”
Cerpen “Beri Aku Waktu” bercerita tentang rumah tangga Umi yang sudah di
ujung tanduk. Umi akan di cerai oleh suaminya, Anton, dan di usir dari rumah,
karena Anton berniat menikahi wanita lain bernama Yati. Umi merasa takut dan
cemas bila anak-anak tidak dapat bersama dia lagi, karena hanya anak-anaklah satu-
satunya yang dia miliki. Dengan sekuat tenaga Umi akan berusaha mendapatkan
anak-anak dari tangan Usman, bahkan dengan merelakan semua harta yang pernah
dia kumpulkan.
3. “Dipan Antik”
Cerpen “Dipan Antik” mengisahkan tentang sebuah dipan antik yang
membuat takut tokoh ibu. Kisah ini berawal ketika tokoh suami yang suka
mengoleksi barang-barang antik, membeli sebuah dipan antik yang konon ceritanya
berasal dari pedalaman yang umurnya sudah puluhan tahun.
Dipan antik ini, membuat tokoh ibu selalu ketakutan setiap kali merebahkan
tubuh di atas tempat tidur itu. Seperti ada orang lain yang selalu mengawasi dan
menemaninya tidur. Bahkan, malam hari ketika tokoh ibu tidur sendirian tanpa
sang suami, rasa takutnya begitu kuat. Seperti ada suara sayup-sayup lelaki, yang
kemudian tangan kekarnya memeluk dari belakang. Kejadian itu membuat tokoh ibu
menjadi betah berlamalama di kamar tidurnya, dan menjadi menyukai dipan antik
tersebut.
4. “Hanya Satu Malam”
Cerpen “Hanya Satu Malam”, mengisahkan tentang seorang wanita muslim
yang sedang bergolak batinnya, karena telah menodai janjinya pada Tuhan, yaitu
untuk selalu setia memuja-Nya. Hanya satu malam saat tokoh aku bersama seorang
lelaki, menghiasi dirinya dengan dosa.
Kejadian itu membuat batinnya bergejolak, karena selama ini dia sudah
meninggalkan yang dia cintai, untuk setia pada Tuhan, tapi di sisi lain hatinya
menginginkan lelaki itu.
5. “Di Depan Jenazah Ayah”
Cerpen “Di Depan Jenazah Ayah” mengisahkan tentang seorang perempuan
yang hidup dengan orang tua yang begitu membencinya. Kebencian orang tuanya
yang suka menyiksa, memukul, dan memarahi tokoh aku sejak dia masih kecil.
Bahkan, bila melihat tokoh aku di dalam rumah, sang ayah pasti akan memarahinya.
Bukan hanya itu, sang ayah pun akan mulai melempari tokoh aku dengan barang-
barang.
Hal itu berlangsung hingga tokoh aku beranjak dewasa dan setelah menikah,
tokoh aku meninggalkan orang tuanya. Kabar kematian ayahnya pun terdengar.
Tokoh aku kemudian pulang ke rumah dan ketika di depan jenazah ayahnya,
ketakutan bahwa ayahnya akan menyakitinya, kembali membayangi tokoh aku.
6. “Tikungan”
Cerpen “Tikungan” bercerita mengenai kecemasan tokoh ibu soal tikungan di
depan rumahnya. Tikungan itu sangat tajam, karena memiliki belokan enam puluh
derajat.
Jika hendak menyebrang di tikungan itu, tokoh ibu selalu di baying-bayangi
sebuah mobil kijang warna putih melaju dengan kecepatan tinggi, sehingga terjadilah
kecelakaan. Bayangan itu membuat tokoh aku takut naik motor, jika hendak
menyebrang jalan di depan rumahnya.
Dan akhirnya, menjadi nyata juga bayangan yang menggelisahkan tokoh aku,
yang sempat terlupakan.
7. “Bukan Salahmu, Firda”
Cerpen “Bukan Salahmu, Firda” menceritakan tentang seorang gadis bernama
Firda. Firda adalah gadis cantik berkulit putih, tetapi karena dia bukan anak orang
kaya, maka tidak banyak laki-laki yang mau mendekatinya. Keluarga Firda bekerja
pada keluarga Desi, yang kebetulan mereka masih bersaudara. Ibu Firda adalah adik
dari ibu Desi. Keluarga Desi sangat kaya, karena itu ibu telah menjodohkan Desi
dengan Akmal.
Namun, pertemuan Firda dengan Akmal menumbuhkan bibit cinta, mereka
saling jatuh cinta, hingga Firda berhasil merebut Akmal dari Desi. Firda nekat
merebut Akmal dari Desi, bahkan dia rela tidur dengan Akmal. Ini dilakukan Desi
agar biaya hidup keluarganya bisa lebih ringan, karena Akmal merupakan orang
berpendidikan dan mampu secara materi. Akmal adalah lulusan Akademi Militer.
Kejadian itu membuat hubungan Desi dengan Firda menjadi tidak baik
8. “Perempuan Kedua”
Cerpen “Perempuan Kedua” bercerita tentang tokoh Roe, yang bermain api
dengan Faisal, laki-laki yang sudah beristri. Roe mau menjadi perempuan kedua bagi
Faisal, karena Faisal berjanji untuk menikahinya. Tetapi, janji Faisal itu hanya
sekedar di bibir saja. Pada kenyataannya Faisal tidak dapat membuktikan janjinya,
karena dia takut istrinya. Semua biaya hidup Faisal yang mencukupi adalah istrinya,
karena itu dia tidak berani menceraikan istrinya dan berkomitmen dengan Roe.
Roe sempat kecewa dan hanya menganggap Faisal sebagai mainannya saja.
Tetapi, seiring waktu ternyata Roe tidak dapat lepas dari Faisal dan tetap menjadi
perempuan kedua bagi Faisal.
9. “Di Sinilah, Tempat Cinta”
Cerpen “Di Sinilah, Tempat Cinta” mengisahkan tentang tokoh aku yang
kecewa akan hidupnya, karena dia merasa tidak ada orang yang mencintai dan
menyayanginya. Tokoh aku merasa bahwa hidupnya hanya sebuah penderitaan saja.
Tokoh aku, beerpikiran bahwa apa yang dia lakukan tidak pernah dihargai
oleh orang lain, mereka hanya berhitung untung dan rugi. Kehadiran Nin,
sahabatnya, sangat membantu tokoh aku mencari apa yang sebenarnya dia rasakan
saat itu. Tentang semua penderitaaan, tangis, dan rasa disakiti telah yang membuat
perasaan tokoh aku menjadi mudah sensitif terhadap hal-hal tersebut. Bahwa,
sesungguhnya cinta yang dia cari ada di dalam hatinya sendiri.
10. “Biola”
Cerpen “Biola” mengisahkan tentang seorang gadis yang terbayang akan
kenangan-kenangan bersama ibunya setiap kali memegang dan memainkan biolanya.
Biola itu adalah pemberian neneknya yang kemudian diberikan pada ibunya dan
sebelum ibunya meninggal, biola tersebut telah diberikan pada tokoh aku. Dari biola
tersebut, ibunya menginginkan agar apa yang diinginkannya dapat diwujudkan oleh
tokoh aku, yaitu menjadi seseorang yang dipandang, baik oleh orang lain maupun
keluarga besarnya.
Keinginan tokoh aku untuk mewujudkan keinginan ibunya, tidaklah mudah.
Karena setiap kali mencoba memainkan biolanya, tokoh aku selalu teringat akan
almarhum ibunya, teringat akan penderitaannya, akan kasih sayangnya. Bahkan
ketika impiannya sebagai pemain biola yang terkenal telah menjadi kenyataan, tetap
saja tokoh aku selalu teringat oleh ibunya. Ketika mencipta lagu, tokoh aku merasa
menjadi ibunya,bahkan gerakan tangannya adalah tangan ibunya.
11. “Bukan Pertarungan Biasa”
Cerpen “Bukan Pertarungan Biasa” menceritakan tentang rumah tangga
tokoh aku yang keadaannya kurang harmonis, padahal sudah dikaruniai seorang
putri. Hal ini disebabkan tokoh aku dan tokoh suami hidup berjauhan karena tempat
kerja mereka juga saling berjauhan. Tokoh aku memilih hidup berjauhan dengan
suaminya karena dia ingin mengembangkan kariernya, agar bisa mengumpulkan
banyak uang untuk masa depan.
Tanpa sepengetahuan suaminya, tokoh aku diam-diam berkhianat. Dia
melakaukan kencan buta dengan kliennya, guna mendapatkan uang yang banyak.
Namun. Lama-kelamaan perasaan bersalah pada suami mulai mengusiknya, dia
seperti bermuka dua, di depan suaminya dia baik namun dibelakangnya, dia
berkhianat. Untuk menutupi rasa bersalahnya, tokoh aku memberikan kebutuhan
material kepada suaminya, mulai dari mobil sampai kebutuhan hidup suaminya.
Tetapi, perasaan takut semakin membuat hubungan mereka menjadi tidak harmonis
dan ketika sang suami meminta untuk bercerai, tokoh aku menjadi sangat ketakutan,
jangan-jangan suaminya mengetahui perbuatan busuk yang dia tutupi selama ini.
12. “Perceraian Bawah Tangan”
Cerpen “Perceraian Bawah Tangan” mengisahkan tentang rumah tangga
tokoh Laksita. Rumah tangga Laksita sebenarnya sudah harmonis, tetapi karena rasa
egois yang muncul dalam diri Laksita, dan memutuskan untuk bercerai. Perceraian
mereka hanya di bawah tangan, ada surat yang harus mereka tanda tangani dan bila
dalam waktu satu tahun Laksita dan suaminya belum mencapai titik temu, maka
mereka akan berpisah secara baik-baik. Laksita dan suaminya masih tinggal satu
rumah, hal itu mereka lakukan untuk menutupi perceraian dari keluarga dan terutama
dari anak-anak mereka.
Laksita sangat beruntung memiliki suami yang begitu pengertian, memahami,
mendukung, dan sabar terhadapnya, tetapi muncul keinginan untuk melajang dan
berpisah dengan suaminya. Keinginan melajang itu muncul karena Laksita pada
waktu menikah masih terlalu muda, sehingga masa-masa mudanya terenggut oleh
urusan-urusan rumah. Tetapi keinginan untuk bercerai itu ternyata tidak bisa
membuatnya bahagia, Laksita semakin merasa bahwa dia membutuhkan dan
mencintai suami dan anak-anaknya.
BIOGRAFI PENULIS Dwi Indah Kurniawati, lahir di Klaten Jawa Tengah, 24 Juli 1983. Memulai
studi di Fakultas Sastra Jurusan Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta pada tahun 2001. Tugas akhir yang disusun penulis berjudul Bentuk-
Bentuk Kecemasan Tokoh Wanita dalam Cerpen Perempuan Kedua Karya Evi
Idawati (Tinjauan Psikologi Sastra), yang mengantarkan penulis mendapatkan gelar
sarjana sastra.
Jenjang pendidikan yang telah ditempuh oleh penulis yaitu SDN Jogosetran I
Klaten (1989-1995), SMP N 4 Klaten (1995-1998), dan kemudian melanjutkan studi
di SMU Padmawijaya Klaten (1998-2001).