BAB II KAJIAN TEORETIK A. Deskripsi Konseptual 6. c.repository.ump.ac.id/1614/3/AIS RAHMATIKA BAB...
Transcript of BAB II KAJIAN TEORETIK A. Deskripsi Konseptual 6. c.repository.ump.ac.id/1614/3/AIS RAHMATIKA BAB...
8
BAB II
KAJIAN TEORETIK
A. Deskripsi Konseptual
6. Wacana
c. Pengertian Wacana
Ekoyanantiasih (2002: 9) berpendapat bahwa wacana merupakan tataran
yang paling besar dalam hierarki kebahasaan setelah kalimat. Sebagai tataran
terbesar dalam hierarki kebahasaan, wacana bukanlah merupakan susunan kalimat
secara acak, melainkan merupakan suatu satuan bahasa baik lisan maupun tulis
yang tersusun berkesinambungan dan membentuk suatu kepaduan. Pendapat
Tarigan (2009: 26) juga sejalan dengan Ekoyanantiasih, bahwa yang dimaksud
dengan wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar
di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi yang
berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir yang nyata disampaikan
secara lisan atau tertulis. Selain adanya kohesi dan koheresi, Sudaryat (2009: 151)
menambahkan satu unsur lagi untuk mendukung keutuhan sebuah wacana, yakni
konteks situasi. Menurutnya, wacana merupakan satuan gramatikal yang terbentuk
dari dua lapisan, yaitu lapisan bentuk dan lapisan isi. Kepaduan makna atau isi
(kohesi) dan kekompakan bentuk (koherensi) merupakan dua unsur yang turut
menentukan keutuhan wacana. Jadi, secara singkat wacana adalah satuan bahasa
terlengkap yang dibentuk dari rentetan kalimat yang kontinuitas, kohesif, dan
koheren sesuai dengan konteks situasi.
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
9
Selain pendapat di atas, Chaer (2007: 267) menyebutkan bahwa wacana
adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal
merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Sebagai satuan bahasa yang
lengkap, maka dalam wacana tersebut berarti terdapat konsep, gagasan, pikiran,
atau ide yang utuh, yang bisa dipahami oleh pembaca (dalam wacana tulis) atau
pendengar (dalam wacana lisan), tanpa keraguan apa pun. Sebagai satuan
gramatikal tertinggi atau terbesar, wacana dibentuk dari kalimat atau kalimat-
kalimat yang memenuhi persyaratan gramatikal dan persyaratan kewacanaan.
Persyaratan tersebut dapat dipenuhi jika sebuah wacana sudah terbina yang
disebut dengan kekohesian, yaitu adanya keserasian hubungan antara unsur-unsur
yang ada dalam wacana tersebut. Jika wacana sudah kohesif, maka akan terbentuk
kekoherensian, yaitu isi wacana yang apik dan benar. Hal tersebut sejalan dengan
Kridalaksana (2011: 259) yang mendefinisikan wacana sebagai satuan bahasa
terlengkap yang dalam tataran gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi
atau terbesar. Menurutnya, wacana tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk
karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dsb.), paragraf, kalimat, atau
kata yang membawa amanat yang lengkap.
Sehubungan dengan bentuk wacana, Qodratilah, dkk. (2011: 605) juga
sependapat dengan Kridalaksana bahwa wacana merupakan satuan bahasa
terlengkap yang dapat diwujudkan dalam bentuk karangan yang utuh seperti
novel, buku, atau artikel, pada pidato atau khotbah. Hal tersebut diperjelas lagi
oleh Sumarlam, dkk. (2003: 15) yang membagi bentuk wacana menjadi lebih
terperinci, yaitu wacana dapat dinyatakan secara lisan dan secara tertulis. Bentuk
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
10
wacana lisan seperti pidato, ceramah, khotbah, dialog, dan bentuk wacana tertulis
seperti cerpen, novel, buku, surat, dokumen tertulis. Bentuk-bentuk wacana
tersebut akan berarti jika dilihat dari struktur lahirnya (segi bentuk) bersifat
kohesif serta saling terkait dan dari struktur batinnya (segi makna) bersifat
koheren serta terpadu. Djajasudarma (2010: 3) juga sependapat dengan apa yang
telah dikemukakan oleh kedua ahli di atas bahwa wacana merupakan satuan
bahasa yang terlengkap dan satuan bahasa tertinggi dalam hierarki gramatikal.
Wacana ini dapat diwujudkan dalam bentuk karangan yang utuh berupa novel,
buku, seri ensiklopedia, dsb., paragraf, kalimat, atau kata yang membawa amanat
yang lengkap. Menurutnya, wujud wacana dapat dilihat dari segi tataran bahasa
mulai tataran terkecil (kata) yang dapat memuat makna menjadi utuh dengan cara
melihat informasi yang terkandung di dalamnya.
Pendapat selanjutnya mengenai definisi wacana secara fungsional dalam
komunikasi berbahasa. Hal tersebut diawali dengan definisi wacana sebagai
satuan bahasa yang paling besar yang digunakan dalam komunikasi. Satuan
bahasa di bawahnya secara berturut-turut adalah kalimat, frasa, kata, dan bunyi.
Secara berurutan, rangkaian bunyi membentuk kata. Rangkaian kata membentuk
frasa dan rangkaian frasa membentuk kalimat. Akhirnya, rangkaian kalimat
membentuk wacana, baik berupa lisan atau tulis (Rani, 2006: 3). Pendapat
tersebut diperjelas lagi oleh Marwoto (1987: 151) yang lebih berfokus pada fungsi
wacana sebagai alat komunikasi. Menurutnya, wacana adalah paparan
penyampaian ide atau pikiran secara teratur, baik lisan maupun tertulis. Kegiatan
mengarang atau menulis dibutuhkan penguasaan pengetahuan dasar tentang
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
11
menulis dan pengetahuan praktik menulis. Selain harus mengerti beberapa
pengetahuan dasar tentang ejaan, penggunaan kosakata, kalimat, serta kaidah-
kaidah kebahasaan, subyek individu (penulis) juga dituntut menguasai beberapa
pengetahuan dasar tentang wacana. Dengan demikian, dapat disimpulkan semua
bentuk paparan lisan atau tulisan yang merupakan wadah penyampaian informasi
maupun pikiran yang utuh disebut dengan wacana.
Secara umum sebuah wacana mengacu kepada sebuah teks utuh, baik
dalam situasi lisan maupun tulis. Sebuah wacana dapat diajukan kepada setiap
tujuan berbahasa atau kepada setiap jenis bentuk bahasa, misalnya sebuah puisi,
percakapan, tragedi, lelucon, diskusi dalam seminar, sejarah yang penting,
makalah dalam majalah, wawancara, khotbah, dan wawancara TV. Teori tentang
analisis wacana menjelaskan tentang bagaimana kalimat-kalimat dihubungkan dan
memberikan satu kerangka acuan yang terpahami tentang berbagai jenis wacana.
Selain itu, dapat pula memberikan penjelasan tentang urutan kelogisan,
pengelolaan wacana, dan karakteristik stilistik sebuah wacana (Parera, 2004: 218-
219).
Dari definisi wacana yang telah disebutkan oleh beberapa ahli bahasa
dapat disimpulkan bahwa pengertian wacana adalah satuan bahasa terlengkap
yang dinyatakan baik secara lisan maupun tulisan dengan tingkat kohesi dan
koherensi yang tinggi. Maksud dari tingkat kohesi dan koherensi yang tinggi
adalah wacana tersebut memiliki keutuhan dan kepaduan dari segi bentuk dan segi
makna. Wacana dapat diwujudkan dalam bentuk bahasa lisan dan bahasa tulis,
seperti pidato, khotbah, ceramah, dialog, novel, cerpen, puisi, buku, karangan
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
12
ilmiah. Sesuai dengan hal tersebut, penelitian ini menggunakan objek kajian yang
berbentuk karangan ilmiah berupa skripsi.
d. Pengertian Kompetensi Kewacanaan
Ragam kompetensi kebahasaan dibagi menjadi dua, yaitu kompetensi
kemahiran fungsional dan kompetensi komunikatif. Kompetensi kemahiran
fungsional memiliki tiga komponen di dalamnya, yaitu kompetensi partisipasif,
kompetensi interaksional, dan kompetensi akademik. Selanjutnya, kompetensi
komunikatif memiliki empat komponen di dalamnya, yaitu kompetensi
gramatikal, kompetensi sosiolinguistik, kompetensi wacana, dan kompetensi
strategik (Tarigan, 2009: 29).
Sehubungan dengan penelitian ini, kompetensi kewacanaan termasuk ke
dalam kompetensi komunikatif. Kompetensi yang dimaksud dalam hal ini adalah
pengetahuan mendasar seseorang tentang sistem bahasa, seperti kaidah-kaidah tata
bahasanya, kosakatanya, dan seluruh pernak-pernik bahasa serta bagaimana
menggunakan bahasa tersebut secara padu (Brown, 2007: 39). Selain itu,
Richards, et al (2010: 103) mendefinisikan kompetensi adalah kemampuan
seseorang dalam membuat dan memahami kalimat, termasuk kalimat yang belum
pernah mereka dengar sebelumnya, membedakan kalimat yang benar dan kalimat
yang tidak benar dalam bahasa tertentu, serta kemampuan untuk memahami
kalimat-kalimat ambigu dan menyimpang. Kompetensi sering mengacu pada
seorang penutur/pendengar yang baik, yaitu seseorang yang sudah diidealkan
tetapi bukan seseorang yang mungkin mempunyai pengetahuan lengkap pada
keseluruhan bahasa.
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
13
Setelah mengetahui pengertian dari kompetensi dalam sebuah bahasa,
maka dapat diketahui definisi kompetensi komunikatif. Richards, et al (2010: 99)
mendefinisikan kompetensi komunikatif sebagai pengetahuan yang tidak hanya
mengenai kemungkinan-kemungkinan yang dapat muncul dalam suatu bahasa,
tetapi juga mengenai apakah suatu bahasa tersebut dapat diterima, pantas, dan
dapat dilakukan dalam suatu ujaran tertentu. Selanjutnya, Tarigan (2009: 31)
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kompetensi komunikatif adalah
kemampuan untuk menerapkan kaidah-kaidah gramatikal suatu bahasa untuk
membentuk kalimat-kalimat yang benar secara gramatikal dan untuk mengetahui
apabila, di mana, kepada siapa menggunakan kalimat-kalimat tersebut.
Kompetensi kewacanaan merupakan salah satu komponen dari kompetensi
komunikatif. Menurut Riyono (2015: 2) kompetensi wacana adalah kemampuan
untuk mengkaitkan kalimat-kalimat dalam rentang wacana dan untuk membentuk
keseluruhan rangkaian tuturan yang bermakna. Wacana berarti apa saja mulai dari
percakapan sederhana hingga teks tulis panjang (artikel, buku, dan sebagianya).
Kompetensi wacana merupakan kompetensi yang mencakup pengetahuan
yang dibutuhkan untuk mengkombinasikan atau menggabungkan bentuk-bentuk
dan makna-makna untuk mencapai teks-teks lisan dan tertulis yang terpadu atau
utuh. Kompetensi ini berkaitan dengan penguasaan menggabungkan bentuk-
bentuk dan makna-makna gramatikal untuk mencapai teks lisan atau tertulis yang
terpadu dalam berbagai ragam „genre‟ (Tarigan, 2009: 40). Yang dimaksud
„genre‟ di sini adalah tipe/jenis teks, misalnya:
1) narasi lisan atau tulis;
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
14
2) esei argumentatif;
3) laporan ilmiah;
4) surat bisnis;
5) seperangkat instruksi yang masing-masing mewakili setiap genre.
Kesatuan atau kepaduan suatu teks diperoleh atau dicapai melalui kohesi
(segi bentuk) dan koherensi (segi makna). Kohesi berfokus pada bagaimana
ucapan-ucapan dihubungkan secara struktural dan memberi kemudahan dalam
proses interpretasi atau penafsiran suatu teks. Sebagai contoh, penggunaan sarana-
sarana kohesi seperti pronomina, sinonim, elipsis, konjungsi, dan struktur-struktur
paralel yang bertindak menghubungkan ucapan-ucapan individual dan untuk
menyatakan bagaimana cara sekelompok ucapan dapat dipahami atau dimengerti
(secara logis atau secara kronologis) sebagai suatu teks.
Selanjutnya, sarana kohesi yang mendukung aspek-aspek koherensi yang
beraneka ragam juga dapat memberi sumbangan pada kualitas dan kesatuan suatu
teks. Jadi, dapat disimpulkan bahwa kompetensi wacana merupakan jenis-jenis
teks lisan dan tulis namun yang dipilih berdasarkan analisis kebutuhan dan minat
komunikasi para pembelajar, yang mencakup (Tarigan, 2004: 43-44):
1. Kohesi dalam jenis-jenis teks yang beraneka ragam, antara lain:
a. sarana-sarana kohesi leksikal dalam konteks, misal ulangan butir-butir
leksikal, pemakaian sinonim-sinonim (yang berlaku bagi kegiatan menyimak,
berbicara, membaca, menulis); sarana-sarana kohesi gramatikal dalam konteks,
misal koreferemsi nomina dengan pronomina, elipsis, konektor-konenktor
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
15
logis, struktur-struktur paralel (yang berlaku bagi kegiatan menyimak,
berbicara, membaca, menulis).
2. Koherensi dalam jenis-jenis teks yang beraneka ragam, diantaranya:
a. pola-pola wacana lisan, misalnya gerak-maju mekna-makna yang normal,
terutama sekali makna-makna kalamiah dan fungsi komunikatif dan konversasi
kasual (yang berlaku pada kegiatan menyimak, berbicara, membaca);
b. pola-pola wacana tulis, gerak maju, makna-makna normal dalam surat bisnis,
sebagai contohnya (yang berlaku dalam kegiatan membaca dan menulis saja).
Sehubungan dengan hal tersebut, Pangaribuan (2008: 55) berpendapat
bahwa kompetensi kewacanaan dapat dirumuskan sebagai kemampuan
menginterpretasi maupun mengungkapkan seperangkat tuturan lisan atau tulisan
secara kohesif dan koheren. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa kompetensi
kewacanaan dibentuk oleh kemampuan penutur menguasai aspek-aspek kohesi
dan koherensi kewacanaan. Pendapat tersebut diperkuat oleh Badru (2003: 24)
bahwa yang dimaksud dengan kemampuan berwacana adalah kemampuan
menerapkan kaidah-kaidah kewacanaan dalam tulisan. Seseorang dikatakan
mempunyai kemampuan berwacana tinggi jika dia mampu menerapkan
keseluruhan kaidah yang berlaku dalam sebuah wacana. Kaidah kewacanaan
tersebut, antara lain terbentuknya kesatuan dan kepaduan. Kesatuan dan kepaduan
sebuah wacana dapat dilihat dari jalinan kalimat dalam paragraf yang dibuatnya.
Menurutnya, ada dua aspek yang perlu diperhatikan dalam penulisan paragraf,
yaitu masalah alur pikir dan masalah kepaduan paragraf, baik kepaduan di bidang
bentuk maupun kepaduan di bidang makna. Proses membangun paragraf-paragraf
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
16
tersebut atau dalam hal ini adalah wacana dapat diartikan sebagai sebuah tahapan
dari pembentukan kalimat pertama yang menyebabkan timbulnya kalimat kedua,
kalimat kedua menjadi acuan kalimat ketiga, kalimat ketiga mengacu kembali ke
kalimat pertama, dan seterusnya. Rentetan kalimat yang berkaitan yang
menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain tersebut
membentuk kesatuan yang kemudian disebut sebagai wacana (Ekoyanantiasih,
2002: 10).
Berdasarkan pemaparan pendapat para ahli bahasa, simpulan yang dapat
ditarik mengenai pengertian kompetensi kewacanaan adalah kemampuan
seseorang dalam berbahasa tulis maupun lisan yang kohesif dan koheren.
Kompetensi kewacanaan seseorang dihasilkan oleh aspek-aspek kohesi dan
koherensi yang telah dikuasainya. Dengan demikian, makin baik penguasaan
kebahasaannya, tentu makin baik kompetensi kewacanaannya.
7. Kohesi
c. Pengertian Kohesi
Penentu utama sekumpulan kalimat untuk dapat dikatakan sebagai wacana
bergantung pada hubungan kohesif yang terdapat di dalam kumpulan kalimat
tersebut dan di antara kalimat yang satu dengan yang lain. Kohesi adalah
keterkaitan antarunsur dalam teks yang ditandai oleh penggunaan unsur bahasa.
Keterikatan tersebut digunakan untuk menghubungkan informasi antarkalimat
dalam wacana yang dapat dilakukan dengan cara menggunakan kata-kata pengikat
ide. Hubungan kohesif dalam wacana dapat dibangun apabila unsur-unsur dalam
wacana saling berkaitan (Brown & Yule, 1987: 191). Berkaitan tersebut diartikan
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
17
sebagai keserasian, maksudnya adalah keserasian hubungan antara unsur-unsur
yang ada dalam wacana. Keserasian hubungan tersebut dapat dilihat dari berbagai
alat atau peranti wacana, baik yang berupa aspek gramatikal maupun yang berupa
aspek semantik, atau gabungan antara kedua aspek ini (Chaer, 2007: 267). Jadi,
dapat dikatakan bahwa kohesi merupakan keserasian hubungan antara unsur yang
satu dan unsur yang lain dalam wacana sehingga terciptalah pengertian yang apik
atau koheren (Djajasudarma, 2010: 44).
Sehubungan dengan alat atau peranti wacana, Halliday & Hasan (1994:
65) mengartikan kohesi sebagai perangkat sumber-sumber kebahasaan yang
dimiliki setiap bahasa sebagai bagian dari metafungsi tekstual untuk mengaitkan
satu bagian teks dengan bagian lainnya. Sumber-sumber yang dimaksud adalah
referensi, substitusi, elipsis, konjungsi, dan kohesi leksikal. Pendapat tersebut
diperkuat oleh Ramlan (1993: 11) bahwa untuk membentuk paragraf yang baik,
selain harus mengandung kepaduan makna, paragraf tersebut harus mengandung
kepaduan bentuk. Bidang bentuk dalam paragraf dapat dilihat dari pemakaian
tanda-tanda atau unsur-unsur kebahasaan yang menghubungkan kalimat yang satu
dengan kalimat yang lain dalam satuan paragraf. Jadi, terdapat kepaduan lain yang
disebut dengan kohesi, yakni kepaduan di bidang bentuk
Pendapat lain mengenai kohesi diungkapkan oleh Richards, et al (2010:
94) yang menjelaskan bahwa kohesi merupakan hubungan gramatikal atau
leksikal antara unsur-unsur yang berbeda dalam sebuah teks. Hal ini juga
mencakup tentang hubungan antara kalimat yang berbeda atau bagian-bagian yang
berbeda dalam sebuah kalimat. Unsur-unsur tersebut maksudnya adala proposisi
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
18
yang dinyatakan dalam sebuah wacana. Hubungan antara proposisi yang
dinyatakan secara eksplisit oleh unsur-unsur gramatikal dan semantik dalam
kalimat-kalimat yang membentuk wacana disebut dengan kohesi. Kohesi dapat
pula dilihat berdasarkan hubungan unsur-unsur kalimat. Unsur-unsur tersebut
dihubungkan melalui penggunaan sebuah konjungtor yang mengungkapkan
pertentangan, pengutamaan, perkecualian, konsesi, tujuan. Selanjutnya, kohesi
dapat pula ditandai oleh pengulangan kata atau frasa, baik secara utuh maupun
sebagian. Selain itu, kohesi sering pula diciptakan dengan memakai kata yang
maknanya berbeda dengan makna kata yang diacunya, tetapi kata yang digantikan
dan kata pengganti menunjuk ke referen yang sama. Pada umumnya wacana
menunjukkan bentuk lahir yang kohesif dengan ditandai pemakaian sarana kohesi.
Dengan demikian, kohesi dalam wacana tidak hanya menyatakan pertalian bentuk
lahir saja, melainkan menyiratkan koherensi, yakni hubungan semantis yang
mendasari wacana tersebut (Alwi, dkk., 2003: 427).
Sehubungan dengan hubungan antara proposisi dalam wacana, Suladi
(2000: 13) berpendapat bahwa dalam suatu wacana, kohesi merupakan keterkaitan
semantis antara proposisi yang satu dan proposisi yang lainnya dalam wacana
tersebut. Kohesi dapat diartikan sebagai keserasian hubungan antara unsur yang
satu dan unsur yang lain dalam wacana sehingga tercipta pengertian yang apik
atau koheren. Jadi, suatu wacana dikatakan kohesif apabila hubungan antara unsur
yang satu dan unsur lainnya dalam wacana tersebut serasi sehingga tercipta suatu
pengertian yang apik atau koheren. Kohesi dalam wacana diartikan sebagai
kepaduan bentuk yang secara struktural membentuk sintaktikal. Konsep kohesi
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
19
pada dasarnya mengacu kepada hubungan bentuk, maksudnya unsur-unsur
wacana (kata atau kalimat) yang digunakan untuk menyusun suatu wacana
memiliki keterkaitan secara padu dan utuh. Dengan kata lain, kohesi termasuk
dalam aspek internal struktur wacana (Mulyana, 2005: 26). Selanjutnya, kohesi
dapat disebut sebagai unsur yang menentukan keutuhan sebuah wacana. Hal ini
dijelaskan oleh Tarigan (2009: 92) dalam pendapatnya bahwa kohesi (kepaduan)
merupakan salah satu unsur yang turut menentukan keutuhan wacana. Kata kohesi
mengandung pengertian kepaduan dan keutuhan. Jika dikaitkan dengan aspek
bentuk dan makna, dapat dikatakan bahwa kohesi mengacu kepada aspek bentuk.
Selanjutnya, dapat dikatakan pula bahwa kohesi mengacu kepada aspek formal
bahasa (language). Aspek tersebut berkaitan erat dengan kohesi ini untuk
melukiskan bagaimana caranya proposisi saling berhubungan satu sama lain untuk
membentuk suatu teks. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kohesi
merupakan hubungan semantik antara kalimat yang satu dengan yang lain dengan
ditandai oleh adanya bentuk penanda ikatan formal. Kohesi juga berfungsi untuk
membentuk ketekstualan suatu teks, yakni menjalin hubungan makna dan
mengatur keurutan informasi (Pangaribuan, 2008: 58)
Berdasarkan definisi kohesi yang dikemukakan oleh para ahli bahasa,
maka dapat disimpulkan pengertian kohesi dalam penelitian ini adalah keserasian
atau keterkaitan hubungan antara unsur-unsur pembangun wacana yang
menghubungkan bentuk bahasa dan konteksnya. Kohesi lebih mengarah kepada
kepaduan bentuk. Hal ini dapat dilihat melalui alat atau peranti kohesi yang
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
20
digunakan dalam membangun wacana tersebut sehingga tercipta sebuah wacana
yang apik dan kohesif.
d. Macam Peranti Kohesi
3) Peranti Kohesi Leksikal
Peranti kohesi leksikal dapat dibagi menjadi enam, yaitu repetisi, sinonimi,
kolokasi, hiponimi, antonimi, dan ekuivalensi. Keenam peranti kohesi tersebut
digunakan untuk mencapai kepaduan wacana melalui aspek leksikal (Sumarlam,
dkk., 2003: 34). Berikut ini adalah penjelasan dari keenam peranti kohesi leksikal
tersebut.
a) Repetisi (Pengulangan)
Repetisi adalah pengulangan satuan lingual (bunyi, suku kata, kata, atau
bagian kalimat) yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah
konteks yang sesuai. Berdasarkan hal tersebut, repetisi dapat dibedakan menjadi
repetisi epizeuksis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodiplosis,
epanalepsis, dan anadiplosis. Berikut ini adalah penjelasan dan contoh
penggunaan kedelapan jenis repetisi tersebut.
1) Repetisi Epizeuksis
Repetisi epizeuksis ialah pengulangan satuan lingual (kata) yang
dipentingkan beberapa kali secara berturut-turut. Misalnya pada tuturan berikut.
(1) Sebagai orang beriman, berdoalah selagi ada kesempatan, selagi diberi
kesehatan, dan selagi diberi umur panjang. Berdoa wajib bagi manusia.
Berdoa selagi kita sehat tentu lebih baik daripada berdoa selagi kita
butuh. Mari kita berdoa bersama-sama selagi Allah mencinta umat-
Nya.
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
21
Pada tuturan di atas, kata selagi diulang beberapa kali secara berturut-turut
untuk menekankan pentingnya kata tersebut dalam konteks tuturan itu.
2) Repetisi Tautotes
Repetisi Tautotes ialah pengulangan satuan lingual (sebuah kata) beberapa
kali dalam sebuah konstruksi. Agar lebih jelas perhatikan contoh berikut ini.
(2) Aku dan dia terpaksa harus tinggal berjauhan, tetapi aku sangat
mempercayai dia, dia pun sangat mempercayai aku. Aku dan dia saling
mempercayai.
Dalam hal ini, kata mempercayai diulang tiga kali dalam sebuah
konstruksi.
3) Repetisi Anafora
Repetisi anafora ialah pengulangan satuan lingual berupa kata atau frasa
pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya. Pengulangan pada tiap baris
biasanya terjadi dalam puisi, sedangkan pengulangan pada tiap kalimat terdapat
dalam prosa. Contohnya adalah sebagai berikut.
(3) Bukan nafsu,
Bukan wajahmu,
Bukan kakimu,
Bukan tubuhmu,
Aku mencintaimu karena hatimu.
Pada penggalan puisi di atas terjadi repetisi anafora berupa pengulangan
kata bukan pada baris pertama sampai dengan keempat.
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
22
4) Repetisi Epistrofa
Repetisi Epistrofa ialah pengulangan satuan lingual kata/frasa pada akhir
baris (dalam puisi) atau akhir kalimat (dalam prosa) secara berturut-turut.
Misalnya adalah sebagai berikut.
(4) Bumi yang kudiami, laut yang kulayari, adalah puisi.
Udara yang kauhirupi, air yang kauteguki, adalah puisi.
Kebun yang kautanami, bukit yang kaugunduli, adalah puisi.
Gubug yang kauratapi, gubug yang kautinggali, adalah puisi.
Pada bait puisi di atas satuan lingual adalah puisi diulang empat kali pada
tiap baris secara berurutan.
5) Repetisi Simploke
Repetisi simploke ialah pengulangan satuan lingual pada awal dan akhir
beberapa baris/kalimat berturut-turut, seperti pada contoh berikut ini.
(5) Kamu bilang hidup ini brengsek. Biarin.
Kamu bilang hidup ini nggak punya arti. Biarin.
Kamu bilang nggak punya kepribadian. Biarin.
Kamu bilang nggak punya pengertian. Biarin.
Pada bait puisi di atas terdapat pengulangan satuan lingual kamu bilang
hidup ini pada baris pertama dan kedua, dan satuan lingual kamu bilang nggak
punya pada baris ketiga dan keempat, masing-masing terdapat pada awal baris.
Sementara itu satuan lingual yang berupa kata biarin diulang empat kali pada tiap
akhir baris pertama sampai dengan keempat.
6) Repetisi Mesodiplosis
Repetisi Mesodiplosis ialah pengulangan satuan lingual di tengah-tengah
baris atau kalimat secara berturut-turut. Contohnya sebagai berikut.
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
23
(6) Pegawai kecil jangan mencuri kertas karbon.
Babu-babu jangan mencuri tulang-tulang ayam goreng.
Para pembesar jangan mencuri bensin.
Para gadis jangan mencuri perawannya sendiri.
Pada tiap baris puisi di atas terdapat pengulangan satuan lingual jangan
mencuri yang terletak di tengah-tengah baris secara berturut-turut.
7) Repetisi Epanalepsis
Repetisi Epanalepsis ialah pengulangan satuan lingual, yang kata/frasa
terakhir dari baris/kalimat itu merupakan pengulangan kata/frasa pertama. Berikut
ini adalah contoh penggunaan repetisi tersebut.
(7) Minta maaflah kepadanya sebelum dia datang minta maaf.
Kamu mengalah bukan berarti dia mengalahkan kamu.
Berbuat baiklah kepada sesama selagi bisa berbuat baik.
Pada tuturan di atas terdapat repetisi epanalepsis, yaitu frasa minta maaf
pada akhir baris merupakan pengulangan frasa yang sama pada awal baris
pertama. Kata kamu pada akhir baris merupakan pengulangan kata yang sama
pada awal baris kedua. Selanjutnya, frasa berbuat baik pada akhir baris
merupakan pengulangan frasa yang sama pada awal baris ketiga.
8) Repetisi Anadiplosis
Repetisi anadiplosis ialah pengulangan kata/frasa terakhir dari
baris/kalimat itu menjadi kata/frasa pertama pada baris/kalimat berikutnya.
Berikut ini adalah contoh repetisi berikut.
(8) dalam hidup ada tujuan
tujuan dicapai dengan usaha
usaha disertai doa
doa berarti harapan
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
24
harapan adalah perjuangan
perjuangan adalah pengorbanan
Tampak pada puisi di atas, kata tujuan pada akhir baris pertama menjadi
kata pertama pada baris kedua, kata usaha pada akhir kedua menjadi kata pertama
pada baris ketiga, kata doa pada akhir baris ketiga menjadi kata pertama pada
baris keempat, kata harapan pada akhir baris keempat menjadi kata pertama pada
baris kelima, dan kata perjuangan pada akhir baris kelima menjadi kata pertama
pada baris terakhir dari puisi tersebut.
b) Sinonimi (Padan Kata)
Sinonimi dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang
sama; atau ungkapan yang maknanya kurang lebih sama dengan ungkapan lain.
Sinonimi merupakan salah satu aspek leksikal untuk mendukung kepaduan
wacana. Sinonimi berfungsi menjalin hubungan makna yang sepadan antara
satuan lingual tertentu dengan satuan lingual lain dalam wacana.
Berdasarkan wujud satuan lingualnya, sinonimi dapat dibedakan menjadi
lima macam, yaitu sinonimi antara morfem (bebas) dengan morfem (terikat), kata
dengan kata, kata dengan frasa atau sebaliknya, frasa dengan frasa, klausa/kalimat
dengan klausa/kalimat. Berikut ini adalah penjelasan dari kelima macam sinonimi
tersebut.
1) Sinonimi Morfem (Bebas) dengan Morfem (Terikat)
Berikut ini adalah penggunaan morfem (bebas) aku, kamu, dia yang
masing-masing bersinonim dengan morfem (terikat) -ku, -mu, -nya.
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
25
(9) Aku mohon kau mengerti perasaanku.
Kamu boleh bermain sesuka hatimu.
Dia terus berusaha mencari jatidirinya.
2) Sinonim Kata dengan Kata
(10) Meskipun capeg, saya sudah terima bayaran. Setahun menerima gaji
80%. SK pagnegku keluar. Gajiku naik.
Tampak pada tuturan di atas, kepaduan wacana tersebut antara lain
didukung oleh aspek leksikal yang berupa sinonimi antara kata bayaran pada
kalimat pertama dengan kata gaji pada kalimat kedua dan ketiga. Kedua kata
tersebut maknanya sepadan.
3) Sinonim Kata dengan Frasa atau Sebaliknya
(11) Kota itu semalam dilanda hujan dan badai. Akibat adanya musibah
itu banyak gedung yang runtuh, rumah-rumah penduduk roboh, dan
pohon-pohon pun tumbang disapu badai.
Kepaduan wacana tersebut didukung oleh aspek leksikal yang berupa
sinonimi antara frasa hujan dan badai pada kalimat pertama dengan kata musibah
pada kalimat berikutnya.
4) Sinonimi Frasa dengan Frasa
(12) Tina adalah sosok wanita yang pandai bergaul. Betapa tidak. Baru
dua hari pindah ke sini, dia sudah bisa beradaptasi dengan baik.
Wacana di atas kepaduannya didukung oleh aspek leksikal sinonimi antara
frasa pandai bergaul pada kalimat pertama dengan frasa beradaptasi dengan baik
pada kalimat ketiga. Kedua ungkapan itu mempunyai makna yang sepadan.
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
26
5) Sinonimi klausa/kalimat dengan klausa/kalimat
(13) Gunakan landasan teori yang tepat untuk memecahkan masalah
tersebut. Pendekatan yang digunakan untuk menyelesaikan
persoalan itu pun juga harus akurat.
Klausa memecahkan masalah tersebut pada kalimat pertama bersinonim
dengan klausa menyelesaikan persoalan itu pada kalimat kedua. Kedua klausa
yang bermakna sepadan itu mendukung kepaduan wacana yang baik secara
leksikal maupun semantis.
c) Antonimi (Lawan Kata)
Antonimi dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang
lain; atau satuan lingual yang maknanya berlawanan/beroposisi dengan satuan
lingual yang lain. Antonimi juga disebut dengan oposisi makna. Berdasarkan
sifatnya, oposisi makna dapat dibedakan menjadi lima macam, yaitu oposisi
mutlak, oposisi kutub, oposisi hubungan, oposisi hirarkial, oposisi majemuk.
Oposisi makna atau antonimi juga merupakan salah satu aspek leksikal yang
mampu mendukung kepaduan wacana secara semantis. Berikut ini adalah
penjelasan dari kelima macam tersebut.
1) Oposisi Mutlak
Oposisi mutlak adalah pertentangan makna secara mutlak, misalnya
oposisi antara kata hidup dengan kata mati, kata bergerak dengan diam. Misalnya
pada wacana berikut ini.
(14) Hidup dan matinya perusahaan tergantung dari usaha kita. Jangan
hanya diam menunggu kehancuran, mari kita mencoba bergerak
dengan cara yang lain.
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
27
2) Oposisi Kutub
Oposisi kutub adalah oposisi makna yang tidak bersifat mutlak, tapi
bersifat gradasi. Artinya, terdapat tingkatan makna pada kata-kata tersebut.
Misalnya oposisi makna antara kata-kata:
kaya >< miskin
besar >< kecil
panjang >< pendek
lebar >< sempit
senang >< susah
Berikut ini adalah wacana yang mengandung oposisi kutub.
(15) Memasuki era globalisasi sekarang ini, meningkatkan kualitas
sumber daya manusia sangatlah penting. Semua warga negara berhak
untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran, baik itu orang kaya
maupun orang miskin. Semua mempunyai hak yang sama untuk
mengenyam pendidikan.
Pada wacana di atas terdapat oposisi kutub antara kata kaya dengan kata
miskin pada kalimat kedua. Kedua kata tersebut dikatakan berproposisi kurub
sebab terdapat gradasi di antara oposisi keduanya, yaitu adanya realitas sangat
kaya, kaya, agak kaya, agak miskin, miskin, dan sangat miskin bagi kehidupan
orang di dunia ini.
3) Oposisi Hubungan
Oposisi hubungan adalah oposisi makna yang bersifat saling melengkapi.
Karena oposisi ini bersifat saling melengkapi, maka kata yang satu dimungkinkan
ada kehadirannya karena kehadiran kata yang lain yang menjadi oposisinya; atau
kehadiran kata yang satu disebabkan oleh adanya kata yang lain, seperti oposisi
antara kata-kata:
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
28
bapak >< ibu
guru >< murid
dosen >< mahasiswa
dokter >< pasien
senang >< susah
Berikut ini adalah wacana yang mengandung oposisi hubungan.
(16) Ibu Rini adalah seorang guru yang cantik dan cerdas. Selain itu,
beliau juga pandai dalam menyampaikan materi pelajaran di kelas,
sehingga semua murid senang kepadanya.
Wacana di atas terdapat oposisi hubungan antara kata guru pada kalimat
pertama dengan murid pada kalimat kedua. Guru sebagai realitas dimungkinkan
ada karena kehadirannya dilengkapi oleh murid dan sebaliknya.
4) Oposisi Hirarkial
Oposisi hirarkial adalah oposisi makna yang menyatakan deret jenjang
atau tingkatan. Satuan lingual yang beroposisi hirarkial pada umumnya kata-kata
yang menunjuk pada mana-mana satuan ukuran (panjang, berat, isi), nama satuan
hitungan, penanggalan, dan sejenisnya. Misalnya pada oposisi kata-kata berikut
ini.
milimeter >< sentimeter >< meter >< kilometer
kilogram >< kuintal >< ton
detik >< menit >< jam >< hari >< minggu >< bulan >< tahun
SD >< SLTP >< SMU >< PT
Pemakaian kata-kata tersebut antara lain dapat diamati pada tuturan
berikut.
(17) Sudah berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan Shinta menunggu
kabar dari kekasihnya yang sedang bertugas di negeri orang. Setelah
bertahun-tahun tak ada kabar darinya, maka Shinta pun memutuskan
untuk menikah dengan kenalan barunya.
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
29
Pada wacana di atas dapat ditemukan oposisi hirarkial yang menyatakan
realitas tingkatan waktu, yaitu antara satuan waktu berminggu-minggu yang
dioposisikan dengan berbulan-bulan dan dioposisikan pula dengan bertahun-
tahun.
5) Oposisi Majemuk
Oposisi majemuk adalah oposisi makna yang terjadi pada beberapa kata
(lebih dari dua). Perbedaan antara oposisi majemuk dengan oposisi kutub terletak
pada ada tidaknya gradasi yang dibuktikan dengan dimungkinkannya bersanding
dengan kata agak, lebih, dan sangat pada oposisi kutub, dan tidak pada oposisi
majemuk. Adapun perbedaannya dengan oposisi hirarkial, pada oposisi hirarkial
terdapat makna yang menyatakan jenjang atau tingkatan yang secara realitas
tingkatan yang lebih tinggi atau lebih besar selalu mengasumsikan adanya
tingkatan yang lebih rendah atau lebih kecil. Akan tetapi, pada oposisi majemuk
tidak demikian adanya. Contoh kata-kata yang beroposisi majemuk antara lain:
berdiri >< jongkok >< duduk >< berbaring
diam >< berbicara >< bergerak >< bertindak
berlari >< berjalan >< melangkah >< berhenti
Berikut ini adalah contoh oposisi majemuk dalam sebuah wacana.
(18) Adi berlari karena takut dimarahi ibunya. Setelah agak jauh dari
ibunya, ia berjalan menuju rumah temannya. Sampai di rumah itu
lalu ia melangkahkan kakiknya masuk ke dalam rumah. Mendadak ia
berhenti dan terkejut karena ternyata yang tampak di depan mata Adi
adalah ibunya sendiri.
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
30
d) Kolokasi (Sanding Kata)
Kolokasi atau sanding kata adalah asosiasi tertentu dalam menggunakan
pilihan kata yang cenderung digunakan secara berdampingan. Kata-kata yang
berkolokasi adalah kata-kata yang cenderung dipakai dalam suatu dominan atau
jaringan tertentu, misalnya dalam jaringan pendidikan akan digunakan kata-kata
yang berkaitan dengan masalah pendidikan dan orang-orang yang terlibat di
dalamnya. Kata-kata seperti guru, murid, buku, sekolah, pelajaran, dan alat tulis,
misalnya, merupakan contoh kata-kata yang cenderung dipakai secara
berdampingan dalam domain sekolah atau jaringan pendidikan.
Berikut ini adalah wacana yang mengandung oposisi kolokasi jaringan
pertanian.
(19) Waktu aku masih kecil, ayah sering mengajakku ke sawah. Ayah
adalah seorang petani yang sukses. Dengan lahan yang luas dan bibit
padi yang berkualitas serta didukung sistem pengolahan yang
sempurna maka panen pun melimpah. Dari hasil panen itu pula
keluarga ayahku mempu bertahan hidup secara layak.
e) Hiponimi (Hubungan Atas-Bawah)
Hiponimi dapat diartikan sebagai satuan bahasa (kata, frasa, kalimat) yang
maknanya dianggap merupakan bagian dari makna satuan lingual yang lain.
Unsur atau satuan lingual yang mencakupi beberapa unsur atau satuan lingual
yang berhiponim itu disebut “hipernim” atau “hiperordinat”.
Berikut ini adalah contoh penggunaan hiponimi dalam sebuah wacana.
(20) Binatang melata termasuk kategori hewan reptil. Reptil yang hidup
di darat dan di air ialah katak dan ular. Cicak adalah reptil yang
biasa merayap di dinding. Adapun jenis reptil yang hidup di semak-
semak dan rumput adalah kadal. Sementara itu, reptil yang dapat
berubah warna sesuai dengan lingkungannya yaitu bunglon.
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
31
Pada contoh di atas yang merupakan hipernim atau superordinatnya adalah
binatang melata atau yang disebut reptil. Sementara itu, binatang-binatang yang
merupakan golongan reptil sebagai hiponimnya adalah katak, ular, cicak, kadal,
dan bunglon. Fungsi hiponimi adalah untuk mengikat hubungan antara unsur yang
mencakupi dan unsur yang dicakupi.
f) Ekuivalensi (Kesepadanan)
Ekuivalensi adalah hubungan kesepadanan antara satuan lingual tertentu
dengan satuan lingual yang lain dalam sebuah paradigma. Dalam hal ini, sejumlah
kata hasil proses afiksasi dari morfem asal yang sama menunjukkan adanya
hubungan kesepadanan, misalnya hubungan makna antara kata membeli, dibeli,
membelikan, dibelikan, dan pembeli, semuanya dibentuk dari bentuk asal yang
sama, yakni beli.
Berikut ini adalah contoh wacana yang mengandung ekuivalensi.
(21) Andi memperoleh predikat pelajar teladan. Dia memang tekun sekali
alam belajar. Apa yang telah diajarkan oleh guru pengajar di
sekolah diterima dan dipahaminya dengan baik. Andi merasa senang
dan tertarik pada semua pelajaran.
Selanjutnya, peranti kohesi leksikal berupa kata atau frasa bebas yang
mampu mempertahankan hubungan kohesif dengan kalimat mendahului atau yang
mengikuti. Menurut Rani (2006: 129) peranti kohesi leksikal terdiri atas dua
macam, yaitu reiterasi dan kolokasi. Reiterasi meliputi repetisi dan ulangan
hiponim. Berikut ini adalah penjelasan dari peranti kohesi leksikal tersebut.
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
32
a) Repetisi (Pengulangan)
Repetisi atau ulangan merupakan salah satu cara untuk mempertahankan
hubungan kohesif antar kalimat. Hubungan ini dibentuk dengan mengulang
sebagian kalimat. Dengan mengulang, berarti terkait antara topik kalimat yang
satu dengan kalimat sebelumnya yang diulang. Jenis repetisi dalam hal ini dibagi
menjadi tiga macam. Berikut ini adalah penjelasannya.
1) Ulangan Penuh
Ulangan penuh berarti mengulang satu fungsi dalam kalimat secara penuh,
tanpa pengurangan dan perubahan bentuk. Pengulangan tersebut dapat berfungsi
untuk memberi tekanan pada bagian yang diulang. Contohnya adalah sebagai
berikut.
(22) Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah kita tahu dan
apa yang belum kita tahu. Berfilsafat berarti berendah hati bahwa
tidak semuanya akan pernah kita ketahui dalam kesemestaan yang
seakan tidak terbatas ini.
2) Ulangan dengan Bentuk Lain
Ulangan dengan bentuk lain terjadi apabila sebuah kata diulang dengan
konstruksi atau bentuk kata lain yang masih mempunyai bentuk dasar yang sama.
Contohnya adalah sebagai berikut.
(23) Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai
dengan rasa ragu-ragu dan filsafat dimulai dengan kedua-duanya.
Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah kita tahu dan
apa yang belum kita tahu.
3) Ulangan dengan Penggantian
Ulangan dengan penggantian sama dengan penggunaan kata ganti
(substitusi). Untuk menghubungkan kalimat dapat dilakukan dengan mengulang
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
33
bagian kalimat seperti yang sudah dicontohkan pada kalimat-kalimat di atas.
Selain itu, pengulangan dapat dilakukan dengan mengganti bentuk lain seperti
dengan kata ganti. Contohnya adalah sebagai berikut.
(24) Lulusan IPA merasa lebih tinggi dari lulusan IPS. Atau, lebih sedih
lagi, seorang ilmuwan memandang rendah kepada pengetahuan lain.
Mereka meremehkan moral, agama, dan nilai estetika.
b) Ulangan dengan Hiponim
Dalam kehidupan sehari-hari, telah dikenal kata superordinat yang
mempunyai beberapa subordinat. Pengulangan yang terjadi pada kata subordinat
disebut ulangan dengan hiponim. Contohnya adalah berikut ini.
(25) Sering kita melihat seorang ilmuwan yang picik. Ahli fisika nuklir
memandang rendah kepada ahli ilmu sosial. Lulusan IPA merasa
lebih tinggi daripada lulusan IPS.
c) Kolokasi
Suatu hal yang selalu berdekatan atau berdampingan dengan yang lain
biasanya diasosiasikan sebagai satu kesatuan. Seperti ikan dan air sering
diasosiasikan membentuk suatu kesatuan. Contohnya adalah sebagai berikut.
(26) Sifat terbuka atau demokratis dari Pancasila sebagai ideologi
pertama-tama dapat kita lihat dari proses kelahirannya. Sebagaimana
diketahui rumusan Pancasila dan UUD 1945 sebagai ideologi dan
konstitusi bersama lahir melalui proses musyawarah mufakat yang
bersuasana terbuka dan demokratis.
Bagi bangsa Indonesia, Pancasila dan UUD 1945 merupakan dua hal yang
selalu ada berdampingan. Pembahasan Pancasila tentu tidak dapat dipisahkan
dengan pembahasa UUD 1945. Kedua hal tersebut merupakan kolokasi. Pada
contoh wacana di atas, pengulangan diikuti dengan penyajian kata yang
menunjukkan kolokasi. Jadi, kata UUD 1945 pada wacana di atas tidak
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
34
menimbulkan suatu penyimpangan proposisi karena keduanya menunjukkan
kolokasi.
Dari penjelasan dan perincian macam-macam peranti kohesi leksikal yang
telah disebutkan oleh Rani, dkk. dan Sumarlam, dkk., maka peneliti merumuskan
peranti kohesi leksikal yang digunakan dalam penelitian menjadi enam, yaitu (a)
repetisi, (b) ulangan dengan hiponim, (c) kolokasi, (d) sinonimi, (e) antonimi, (f)
ekuivalensi.
4) Peranti Kohesi Gramatikal
Peranti kohesi gramatikal merupakan peranti atau penanda kohesi yang
melibatkan penggunaan unsur-unsur kaidah bahasa. Peranti kohesi gramatikal
yang digunakan untuk menghubungkan ide antarkalimat cukup terbatas ragamnya.
Rani (2006: 97) membagi peranti kohesi gramatikal menjadi tiga macam, yaitu
referensi, penggantian (substitusi), peranti konjungsi. Berikut ini adalah peranti
kohesi tersebut.
a) Referensi
Referensi memiliki arti hubungan antara kata dengan benda. Misalnya kata
“buku” mempunyai referensi kepada sekumpulan kertas yang dijilid untuk
menulis dan dibaca. Referensi dibagi menjadi dua macam, yaitu eksofora dan
endofora. Berikut ini adalah penjelasan dua macam referensi tersebut.
1) Referensi Eksofora
Referensi eksofora adalah pengacuan terhadap anteseden (unsur terdahulu
yang ditunjuk oleh ungkapan dalam suatu klausa atau kalimat) yang terdapat di
luar bahasa (ekstratekstual), seperti manusia, hewan, alam sekitar, atau acuan
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
35
kegiatan. Misalnya, itu matahari. Kata itu pada tuturan tersebut mengacu pada
sesuatu di luar teks, yaitu benda yang berpijar yang menerangi alam ini.
2) Referensi Endofora
Referensi endofora adalah pengacuan terhadap anteseden (unsur terdahulu
yang ditunjuk oleh ungkapan dalam suatu klausa atau kalimat) yang terdapat di
dalam bahasa (intratekstual). Pengacu dan yang diacu adalah koreferensial.
Apabila yang ditunjuk itu sudah lebih dahulu diucapkan atau ada pada kalimat
yang lebih dahulu maka disebut anafora (referensi mundur ke belakang); dan jika
yang ditunjuk berada di depan atau pada kalimat sesudahnya maka disebut
katafora (referensi ke depan). Baik referensi yang bersifat anafora maupun
katafora menggunakan pronomina persona (saya, aku, kami, kita, kamu, engkau,
anda, kalian, kamu sekalian, dia, ia, beliau, mereka), pronomina petunjuk (di sini,
di situ, di sana, di sana sini, yang ini, yang itu), dan pronomina komparatif (sama,
persis, mirip, identik, serupa, segitu, selain, berbeda, yang demikian). Berikut ini
adalah contoh tuturan bereferensi anafora.
(27) (a) Nauval hari ini tidak masuk sekolah. (b) Ia ikut ibunya pergi ke
Surabaya.
Kata ia pada kalimat (b) mengacu pada kata Nauval di kalimat (a).
Selanjutnya, berikut ini adalah contoh tuturan bereferensi katafora.
(28) Seperti kulitnya, mata Zia juga khas; berkelopak tebal, tanpa garis
lipatan.
Pronomina enkilitik -nya pada klausa pertama kalimat di atas mengacu
pada anteseden Zia yang terdapat pada klausa kedua kalimat tersebut.
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
36
b) Penggantian (Substitusi)
Substitusi adalah penyulihan suatu unsur wacana dengan unsur lain yang
acuannya tetap sama, dalam hubungan antarbentuk kata atau bentuk lain yang
lebih besar daripada kata, seperti frasa atau klausa. Secara umum, penggantian itu
dapat berupa kata ganti orang, tempat, dan sesuatu hal. Penggunaan peranti kohesi
yang berupa kata ganti pada dasarnya sama dengan pengulangan (repetisi) dengan
bentuk berbeda. Misalnya sebagai berikut.
(29) Dalam aksioma yang ketiga, Buhler berusaha menguraikan struktur
modell der Sprache. Ia beranggapan bahwa semua bahasa
mempunyai struktur.
Pada kalimat di atas, kata Buhler diganti dengan kata ia. Kata ganti ia
merupakan kata ganti orang ketiga tunggal.
c) Peranti Konjungsi
Konjungsi berfungsi untuk merangkaikan atau mengikat beberapa
proposisi dalam wacana agar perpindahan ide dalam wacana itu terasa selaras.
Sesuai dengan fungsinya, konjungsi dalam bahasa Indonesia dapat digunakan
untuk merangkai ide, baik dalam satu kalimat (intrakalimat) maupun antarkalimat.
Penggunaan konjungsi sebagai peranti kohesi dalam bahasa Indonesia
menunjukkan pola tertentu. Konjungsi digunakan dengan mempertimbangkan
logika berpikir. Penggunaan konjungsi yang tidak mempertimbangkan logika
akan membuat wacana menjadi tidak apik terutama jika dilihat dari kepaduannya.
Peranti kohesi konjungsi dalam bahasa Indonesia dibedakan menjadi 17
macam. Berikut ini adalah penjelasan klasifikasi konjungsi berdasarkan hubungan
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
37
proposisi yang diwujudkan dalam dua kalimat. Pengklasifikasian peranti kohesi
tersebut didasarkan jenis hubungan yang diciptakan.
1) Peranti Urutan Waktu
Proposisi yang menunjukkan tahapan-tahapan seperti awal, pelaksanaan,
dan penyelesaian dapat disusun dengan menggunakan urutan waktu. Urutan waktu
dapat dimulai dari proposisi yang menunjukkan thap awal dan dilanjutkan oleh
tahap berikutmya. Proposisi yang menunjukkan suatu rangkaian kesejarahan atau
urutan waktu dapat menggunakan peranti kohesi yang menunjukkan adanya
urutan waktu. Konjungsi yang menunjukkan urutan waktu antara lain sebelum itu,
sesudah itu, lalu, kemudian, mula-mula, akhirnya. Selain itu, ada konjungsi yang
menunjukkan suatu urutan yang menyatakan kebersamaan (waktu) seperti waktu
itu, sejak itu, ketika itu. Berikut ini adalah contoh penggunaan peranti kohesi.
(30) Dalam pelaksanaannya, penerapan pendekatan analitis ini diawali
dengan kegiatan membaca teks secar keseluruhan. Setelah itu,
pembaca menampilkan beberapa pertanyaan cipta sastra yang
dibacanya.
Penggunaan peranti kohesi urutan waktu mempunyai ciri-ciri seperti
berikut. Pertama, proposisi-proposisi dihubungkan suatu rangkaian yang
membentuk suatu tahapan waktu. Kedua, dalam urutan waktu yang progresif,
proposisi yang ditempatkan dalam urutan pertama atau terdahulu harus proposisi
yang mengandung penunjuk waktu lebih awal.
2) Peranti Pilihan
Penggunaan bahasa Indonesia secara tertulis terdapat kemungkinan untuk
memilih sesuatu seperti peristiwa, barang-barang, keadaan, dan hal-hal dapat
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
38
dijumpai. Untuk menyatakan dua proposisi berurutan yang menunjukkan
hubungan pilihan, sering digunakan kata atau seperti pada contoh berikut ini.
(31) Seorang yang berfilsafat dapat diumpamakan seorang yang berpijak
di bumi sedang tengadah ke bintang-bintang. Dia ingin mengetahui
hakikat dirinya dan kesemestaan galaksi. Atau, orang yang berdiri di
puncak tertinggi, memandang ke ngarai dan lembah di bawahnya.
Seperti tampak pada contoh di atas, penggunaan kata atau sebagai peranti
kohesi antarkalimat dapat diterima. Menurut logika, penggunan peranti kohesi itu
tidak salah. Proposisi yang mengikuti peranti itu tidak cocok jika disatukan
menjadi sebuah kalimat dengan kalimat sebelumnya. Proposisi itu menunjukkan
suatu ilustrasi alternatif proposisi sebelumnya.
3) Peranti Alahan
Sebuah peristiwa atau hal yang bisa menyebabkan peristiwa peristiwa lain
itu ternyata tidak berlaku seperti biasanya. Keadaan tersebut yang disebut
hubungn alahan. Selain itu, hubungan alahan juga terjadi apabila ada sesuatu
peristiwa atau hal yang tidak biasa menyebabkan peristiwa lain, tetapi muncul
dalam hal itu. Contohnya sebagai berikut.
(32) Mendung kelabu menyelimuti kota metropolitan itu kemarin.
Meskipun begitu, tak setetes air pun yang jatuh.
Mendung kelabu berhubungan dengan hujan. Kenyataan sehari-hari
menunjukkan bahwa kalau terdapat mendung kelabu maka akan terjadi hujan.
Namun, pada contoh kalimat di atas tidak terjadi hujan. Hubungan inilah yang
menunjukkan hubungan alahan. Frasa meskipun begitu digunakan untuk
menyatakan hubungan alahan itu. Hubungan alahan antara dua proposisi
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
39
dihubungkan dengan frasa-frasa seperti meski(pun) demikian, meski(pun) begitu,
kendati(pun) demikian, kendatipun begitu, biarpun demikian, dan biarpun begitu.
4) Peranti Parafrasa
Proses komunikasi mempunyai kemungkinan adakalanya pengirim pesan
dalam mengungkapkan sesuatu merasa masih ada sesuatu pesan yang tersirat
dalam ujarannya. Jika sesuatu yang tersirat itu diduga belum dipahami oleh mitra
tuturnya, sering terjadi pengirim pesan ingin memperjelasnya dengan ungkapan
lain yang dapat melengkapi dan menyempurnakan ungkapan sebelumnya. Apabila
proposisi yang diungkapkan itu tidak berbeda dengan sebelumnya, biasanya
digunakan peranti kohesi yang menunjukkan parafrasa tersebut. Peranti parafrasa
dalam bahasa Indonesia, yaitu dengan kata lain dan dengan perkataan lain.
Berikut ini adalah contoh penggunaan peranti parafrasa.
(33) Perlu juga diperhatikan bahwa sejumlah teori dan pendekatan yang
ada tersebut, bagi pembaca justru saling melengkapi. Dengan kata
lain, apabila tujuan pembaca ingin memahami keseluruhan aspek
dalam karya sastra, tidak mungkin mereka hanya memiliki satu
pendekatan.
Pada contoh di atas, proposisi yang mengikuti peranti dengan kata lain
sebenarnya telah dinyatakan dalam kalimat sebelumnya, tetapi tidak dengan
ungkapan yang dinyatakan secara tersurat. Dengan peranti kohesi tersebut,
hubungan kedua kalimat itu menjadi lebih jelas.
5) Peranti Ketidakserasian
Pemakaian bahasa sehari-hari sering ditemukan proposisi yang diurutkan
tidak selalu menunjukkan keserasian. Ketidakserasian itu pada umumnya ditandai
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
40
dengan perbedaan proposisi yang terkandung di dalamnya, bahkan sampai pada
pertentangan. Dua proposisi yang tidak serasi biasanya diungkapkan dengan
menggunakan peranti tidak serasi. Contohnya adalah sebagai berikut.
(34) Pengetahuan filsafati tentang suatu teori adalah pengetahuan tentang
pikiran-pikiran dasar yang melandasai teori tersebut dalam bentuk
potulat, asumsi atau prinsip yang sering kurang mendapatkan
perhatian dalam proses belajar-mengajar. Padahal, untuk melakukan
seleksi terhadap teori mana yang akan dipilih sebagai alat analitis,
seorang ilmuwan harus mampu mengadakan evaluasi terhadap teori-
teori yang ada di mana fokus utama sering diletakkan pada
pikiran-pikiran dasar tersebut.
Peranti ketidakserasian dalam bahasa Indonesia dapat dinyatakan dengan
kata padahal dan frasa dalam kenyataannya.
6) Peranti Keserasian
Peranti keserasian digunakan apabila dua buah ide atau proposisi itu
menunjukkan hubungan yang selaras atau sama. Hubungan kesamaan pada
dasarnya berbeda dengan hubungan penambahan. Hubungan kesamaan tidak
menunjukkan adanya penambahan informasi sebelumnya, melainkan
menunjukkan adanya perlakuan sama antara proposisi sebelumnya dan proposisi
yang mengikuti. Berikut ini adalah contoh penggunaan peranti kohesi keserasian
dengan menggunakan frasa demikian juga.
(35) Berfilsafat berarti berendah hati bahwa tidak semuanya akan pernah
kita ketahui dalam kesemestaan yang seakan tidak terbatas ini.
Demikian juga, berfilsafat berarti mengoreksi diri, semacam
keberanian untuk berterus terang, seberapa jauh sebenarnya yang
telah kita jangkau.
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
41
7) Peranti Tambahan (Aditif)
Peranti tambahan berguna untuk menghubungkan bagian yang bersifat
menambahkan informasi dan pada umumnya digunakan untuk merangkaikan dua
proposisi atau lebih. Proposisi yang dirangkaikan pada umumnya bersifat setara
bahkan proposisi tersebut daat saling menggantikan dan memberi tambahan
keterangan proposisi sebelumnya. Dalam hal ini, penutur menyampaikan
informasi secara bertahap. Informasi yang disampaikan dngan menggunakan
suatu kalimat perlu ditambah lagi. Informasi tersebut kadang tampak lepas dari isi
informasi sebelumnya. Oleh karena itu, agar kalimat itu tampak berkaitan
maknawi, perlu digunakan peranti kohesi tambahan. Berikut ini adalah contohnya.
(36) Tingkah lakunya menawan. Tutur katanya sopan. Murah senyum,
jarang marah, dan tidak pernah berbohong. Juga tidak mau
mempercakapkan orang lain. Selain itu, ia suka menolong sesama
teman. Pantas, Rida gadis pujaan. Tambahan lagi, wajahnya cantik.
Pandai pula, ia berdandan. Mudah diajak bicara. Cepat
menyesuaikan diri. Pandai pula membawa diri dan ramah terhadap
siapa pun.
Ada sejumlah kata yang dapat digunakan untuk mengaitkan informasi
yang bersifat tambahan tersebut. Peranti konjungsi tambahan antara lain pula,
juga, selanjutnya, dan, di samping itu, tambahan lagi, dan selain itu.
8) Peranti Pertentangan (Kontras)
Hubungan pertentangan terjadi apabila ada dua ide/proposisi yang
munjukkan kebalikan atau kekontrasan. Untuk menyatakan adanya hubungan
pertentangan dapat digunakan peranti kohesi pertentangan. Peranti tersebut antara
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
42
lain (akan)tetapi, sebaliknya, dan namun. Berikut ini adalah contoh dari
penggunaan peranti pertentangan tersebut.
(37) Pancasila dapat diinterpretasikan secara luas, tetapi bagaimana pun
luasnya tidak dapat sedemikian rupa sehingga meliputi pengertian
yang bertentangan. Sebaliknya, Pancasila tidak dapat dipersempit
sehingga menjadi monopoli golongan masyarakat tertentu.
9) Peranti Perbandingan (Komparatif)
Apabila dua hal diperbandingkan akan diketahui perbedaan atau
persamaan dan mungkin keduanya. Untuk menunjukkan dua proposisi yang
menunjukkan perbandingan, diperlukan peranti kohesi perbandingan. Peranti
transisi perbandingan digunakan untuk menunjukkan adanya hubungan persamaan
atau perbedaan antara bagian yang satu dengan yang lain. Untuk mengatakan
hubungan perbandingan secara eksplisit sering digunakan kata penghubung antara
lain sama halnya, berbeda dengan itu, seperti, dalam hal seperti itu, lebih dari
itu, serupa dengan itu, dan sejalan dengan itu. Berikut ini adalah contohnya.
(38) Pantun, puisi asli Indonesia, berbeda dengan syair. Pantun
mempunyai dua bagian setiap bait, yaitu bagian sampiran dan isi.
Sampiran terdapat pada dua baris pertama, sedang isinya terkandung
pada dua baris terakhir. Berbeda dengan pantun, syair hanya
memiliki isi. Isi terkandung dalam keempat baris dalam satu bait
tersebut. Perbedaan lain dapat dilihat pada persajakan di akhir baris.
Pantun bersajak selang seling (abab), sedangkan syair bersajak sama
(aaaa). jadi, jelas, puisi asli Indonesia itu berbeda dengan puisi dari
Arab.
10) Peranti Sebab-Akibat
Sebab dan akibat merupakan dua kondisi yang berhubungan. Hubungan
sebab-akibat terjadi apabila salah satu proposisi menunjukkan penyebab
terjadinya suatu kondisi tertentu yang merupakan akibat atau sebaliknya.
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
43
Hubungan sebab-akibat dalam wacana seperti akibatnya, konsekuensinya, dengan
demikian, oleh karena itu, dan sebab itu. Berikut ini adalah contoh penggunaan
peranti sebab-akibat.
(39) Menggugat polisi dalam perkara praperadilan termasuk bahkan soal
mudah. Oleh karena itu, yang dilakukan Farid menjadi istimewa,
bukan karena ia anak Pak De yang kini tengah berperkara dengan
tuduhan melakukan pembunuhan terhadap Ny. Endang dan Dice.
Juga karena ternyata gugatannya terhadap polisi, Jumat pekan lalu,
dimenangkan pengadilan. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur,
m. Anas Chas, menganggap penangkapan dan penahanan terhadap
Farid oleh polisi, 6 Desember 1986, tidak sah. Karena itu, kas negara
harus membayar ganti rugi kepada Farid Rp200 ribu.
11) Peranti Harapan (Optatif)
Hubungan optatif terjadi apabila ada ide atau proposisi yang mengandung
suatu harapan atau doa. Sebuah ide yang menunjukkan suatu harapan atau doa
biasanya didahului dengan peranti optatif, seperti contoh berikut.
(40) Untuk kebaikan buku tersebut, kami senantiasa bersedia menerima
usul-usul penyempurnaan dari berbagai pihak utamanya masing-
masing penyusun naskah. Mudah-mudahan, isi buku bermanfaat dan
berdaya guna bagi sasaran KKN serta semuanya dapat
dimanfaatkannya.
Kata mudah-mudahan pada contoh di atas diikuti oleh proposisi yang
menunjukkan suatu harapan.
12) Peranti Ringkasan dan Simpulan
Peranti tersebut berguna untuk mengantarkan ringkasan dari bagian yang
berisi uraian. Biasanya, ringkasan berupa simpulan yang ditarik dari sejumlah data
yang telah diungkapkannya. Kata-kata yang biasanya digunakan untuk
mengantarkan ringkasan dan simpulan misalnya singkatannya, pendeknya, pada
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
44
umumnya, jadi, kesimpulannya, dengan ringkasnya. Contoh pemakaian peranti
tersebut seperti wacana berikut.
(41) Hukum tidak hanya untuk orang kaya. Semua orang mempunyai
derajat yang sama di depan hukum. Hukum tidak memandang kaya
tau miskin, pria atau wanita, tua atau muda, pembesar atau rakyat
jelata, dan ABRI atau bukan ABRI. Jadi, hukum berlaku untuk siapa
pun, kapan pun, dan di mana pun.
13) Peranti Misal atau Contoh
Peranti ini berfungsi untuk memperjelas suatu uraian, khususnya uraian
yang bersifat abstrak. Ide atau proposisi yang menunjukkan contohan atau misalan
berdasarkan data yang terkumpul didahului oleh peranti misalan atau contoh.
Biasanya, kata yang digunakan adalah contohnya, misalnya, umpamanya. Contoh
penggunaan peranti tersebut seperti wacana berikut.
(42) Departemen Tenaga Kerja bisa juga menyelidik seseorang hingga
jadi terdakwa di meja hijau. Contohnya, Hakim Kustian Efendi dari
Pengadilan Negeri Medan telah memvonis Nyonya Tio Kaso, 44
tahun, dengan hukuman denda Rp10 ribu atau kurungan selama tujuh
hari pada 6 Maret silam. Padahal, yan menyidik Nyonya Tio itu
adalah M. Purba, seorang pegawai pada Dinas Tenaga Kerja Medan.
14) Peranti Keragu-raguan (Dubitatif)
Peranti ini digunakan untuk mengantarkan bagian yang masih
menimbulkan keraguan. Kata yang digunakan adalah jangan-jangan, barangkali,
mungkin, kemungkinan besar. Contoh penggunaannya seperti berikut ini.
(43) Tidak banyak tokoh yang tampil dua kali dalam kulit muka majalah
Tempo. Yustedjo Tarik termasuk dalam jumlah sedikit itu. Kali
pertama, ketika ia membawa medali emas dari Asian Games di New
Delhi 1982. Kali keduanya, pada pekan ini. Mungkin, karena
Yustedjo mempunyai daya tarik kuat untuk menjadi berita.
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
45
Untuk menghubungkan bagian yang masih meragukan, wacana di atas
menggunakan kata mungkin. Kata tersebut menunjukkan suatu ketidakpastian.
Penulis merasa masih ragu-ragu dalam membuat pernyataan atau perkiraan.
15) Peranti Konsesi: Memang, Tentu Saja
Pada saat memberikan penjelasan, adakalanya, pengirim pesan mengakui
sesuatu kelemahan atau kekurangan yang terjadi di luar jalur yang dibicarakan.
Pengakuan itu dapat dinyatakan dengan kata memang atau tentu saja. Proposisi
pengakuan itu disadari oleh pengirim pesan, tetapi yang bersangkutan tidak dapat
mengatasi hal yang diakui itu (meskipun pengakuan itu bersifat negatif).
Contohnya adalah sebagai berikut.
(44) Apabila terdapat bahasa Indonesia logat yang bersifat geografis atau
horisontal atau lebih tepat bersifat etnis, terdapat pula bahasa
Indonesia logat yang bersifat sosial atau vertikal atau bersifat profesi.
Para pemuda, misalnya, memakai bahasa Indonesia yang tercampur
dengan istilah dan ungkapan yang khusus mereka pahami sendiri,
sedangkan orang lain, terlebih orang-orang tua, sukar sekali atau
tidak dapat memahami bahasa pemuda semacam itu. Memang, dapat
dipahami bahwa kelompok-kelompok sosial tertentu seperti
wartawan, dokter, pedagang, makelar, nelayan, pelaut, seniman-
seniwati, dan kelompok sosial yang lain mempergunakan banyak
istilah dan ungkapan profesi tertentu sehingga menyebabkan orang
lain di luar kelompok mereka sukar memahami bahasa Indonesia
mereka.
Pada contoh di atas, kata memang menyatakan suatu pengakuan terhadap
sesuatu peristiwa atau hal yang disadari oleh pengirim pesan. Pengakuan itu
adakalanya merupakan suatu akibat atas pernyataan sebelumnya.
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
46
16) Peranti Penegas
Dalam usaha menyampaikan proposisi kepada penerima, pengirim pesan
serung menggunakan berbagai macam cara agar proposisi yang disampaikan itu
dapat segera dipahaminya. Salah satu cara yang dilakukan pengirim pesan adalah
dengan menggunakan cara penegasan. Proposisi yang telah disebutkan perlu
ditegaskan lagi agar dapat segera dipahami dan diresapi. Proposisi yang dijelaskan
itu pada dasarnya sama dengan proposisi sebelumnya. Perbedaannya, pada
proposisi yang ditegaskan ada suatu usaha kesengajaan untuk menyangatkan
seperti contoh berikut ini.
(45) Demikian juga dengan pilihan kata dan penggunaan struktur kalimat,
antara daerah yang satu dengan daerah yang lain memiliki cara yang
berbeda-beda. Bahkan, dapat terjadi bahwa bahasa-bahasa orang
yang satu daerah juga banyak memiliki perbedaan.
Pada contoh di atas kata bahkan digunakan sebagai peranti yang
menyatakan penegasan yang menyangatkan. Ide yang mengikuti kata itu
mengandung arti lebih menguatkan.
17) Peranti Penjelas
Pada saat seseorang menyampaikan pikiran, perasaan, peristiwa, keadaan,
dan sesuatu hal (disebut proposisi) ada kalanya, seorang penyampai merasa belum
puas dalam penyampaiannya. Oleh karenanya, ia sering menggunakan penjelasan
lanjutannya yang berisi semua hal, baik yang tersurat maupun yang tersirat dari
pernyataan yang telah dinyatakan. Untuk memberikan penjelasan yang serupa
proposisi lanjutan, perlu digunakan peranti kohesi jelasan. Contohnya adalah
sebagai berikut.
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
47
(46) Faktor yang keempat, yaitu saluran. Yang dimaksud saluran dalam
pembicaraan ini adalah alat yang digunakan untuk menyampaikan
pesan dalam suatu kegiatan bertutur.
Penggunaan peranti kohesi jelasan tersebut dimaksudkan untuk membuat
kaitan dua proposisi. Proposisi yang mengikuti peranti itu merupakan bagian yang
memberikan penjelasan proposisi yang telah diungkapkan. Jika tidak
menggunakan peranti kohesi penjelas, proposisi tersebut menjadi tidak
berhubungan.
Selanjutnya, Chaer (2007: 269-270) membagi peranti kohesi gramatikal
menjadi tiga macam. Berikut ini adalah ketiga macam peranti kohesi gramatikal.
a) Konjungsi, yakni alat untuk menghubung-hubungkan bagian-bagian kalimat;
atau menghubungkan paragraf dengan paragraf. Penggunaan konjungsi ini
bertujuan untuk mengubungkan bagian tersebut menjadi lebih eksplisit dan
menjadi lebih jelas dibandingkan dengan hubungan yang tanpa konjungsi.
Misalnya pada wacana berikut ini.
(47) Raja sakit. Permaisuri meninggal.
Pada wacana tersebut, hubungan antara kalimat pertama dengan kalimat kedua
tidak jelas, apakah hubungan penambahan, apakah hubungan sebab dan akibat,
atau hubungan kewaktuan. Hubungan akan menjadi jelas jika diberi konjungsi.
Contohnya, raja sakit dan permaisuri meninggal, raja sakit karena permaisuri
meninggal, raja sakit ketika permaisuri meninggal.
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
48
b) Kata ganti dia, nya, mereka, ini, itu sebagai rujukan anaforis. Penggunaan kata
ganti sebagai rujukan anaforis bertujuan untuk membuat bagian kalimat yang
sama tidak perlu diulang, melainkan diganti dengan kata ganti. Oleh karena itu,
kalimat-kalimat tersebut menjadi saling berhubungan. Misalnya pada wacana
berikut ini.
(48) Rombongan mahasiswa pengunjuk rasa itu mula-mula mendatangi
kantor Menteri Dalam Negeri. Sesudah itu mereka dengan tertib
menuju gedung DPR di Senayan.
c) Elipsis, yakni penghilangan bagian kalimat yang sama yang terdapat pada
kalimat lain. Karena tidak diulangnya bagian yang sama, dengan menggunakan
elipsis, maka wacana tersebut tampak menjadi lebih efektif. Penghilangan
tersebut menjadi alat penghubung kalimat dalam wacana. Misalnya pada
wacana berikut ini.
(49) Teman saya yang duduk di pojok itu namanya Ali; dia berasal dari
Yogyakarta. Yang di ujung sana Ahmad dari Jakarta. Yang di
sebelah gadis berbaju merah itu Nurdin dari Medan.
Tanpa elipsis wacana tersebut menjadi tidak efektif, karena terlalu banyak
menggunakan kata. Selain itu, wacana tersebut menjadi ridak ada penghubung
antara kalimat yang satu dengan kalimat lainnya, sehingga setiap kalimat
menjadi berdiri sendiri. Berikut ini adalah wacana yang tanpa diberi elipsis.
(50) Teman saya yang duduk di pojok itu namanya Ali; dia berasal dari
Yogyakarta. Teman saya yang duduk di ujung sana itu namanya
Ahmad; dia berasal dari Jakarta. Teman saya duduk di sebelah gadis
berbaju merah itu namanya Nurdian; dia berasal dari Medan.
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
49
Selain itu, Sumarlam, dkk. (2003: 23) membagi peranti kohesi gramatikal
menjadi empat, yaitu pengacuan, penyulihan, pelesapan, perangkaian. Berikut ini
adalah penjelasan dari keempat peranti tersebut.
a) Pengacuan (Referensi)
Pengacuan atau referensi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang
berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain (atau suatu
acuan) yang mendahului atau mengikutinya. Jenis kohesi gramatikal pengacuan
tersebut diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu pengacuan persona,
pengacuan demonstratif, dan pengacuan komparatif. Berikut ini adalah penjelasan
dari ketiga jenis kohesi gramatikal pengacuan.
1) Pengacuan Persona
Pengacuan persona direalisasikan melalui pronomina persona (kata ganti
orang) yang meliputi persona pertama, kedua, dan ketiga, baik tunggal maupun
jamak. Pronomina persona I tunggal, persona II tunggal, persona III tunggal ada
yag berbentuk bebas (morfem bebas) dan ada pula yang terikat (morfem terikat).
Selanjutnya, bentuk terikat ada yang melekat di sebelah kanan dan sebelah kiri.
Misalnya satuan lingual aku, kamu, dia, merupakan persona I, II, III tunggal
bentuk bebas. Adapun bentuk terikatnya adalah ku- (kutulis), kau- (kautulis) yang
merupakan bentuk terikat lekat kiri, sedangkan bentuk -nya (istrinya), -mu
(istrimu) masing-masing merupakan bentuk terikat lekat kanan.
Berikut ini adalah contoh kepaduan wacana yang didukung oleh kohesi
gramatikal yang berupa pengacuan persona.
(51) “Pak RT, saya terpaksa minta berhenti”, kata Basuki bendaharaku
yang pandai mencari uang itu.
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
50
Pada tuturan di atas, pronomina persona I tunggal bentuk bebas saya
mengacu pada unsur lain yang berada di dalam tuturan (teks) yang disebutkan
kemudian, yakni Basuki (orang yang menuturkan tuturan itu). Dengan ciri-ciri
tersebut, maka saya merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora
(karena acuannya berada di dalam teks), yang bersifat kataforis (karena acuannya
disebutkan kemudian atau antesedennya berada di sebelah kanan) melalui satuan
lingual berupa pronomina persona I tunggal bebas. Sementara itu, -ku pada
bendaharaku pada tuturan yang sama mengacu pada Pak RT yang telah
disebutkan terdahulu atau yang antesedennya berada di sebelah kiri. Satuan
lingual -ku merupakan pronomina persona I tunggal bentuk terikat lekat kanan.
2) Pengacuan Demonstratif
Pengacuan demonstratif (kata ganti penunjuk) dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu pronomina demonstratif waktu (temporal) dan pronomina demonstratif
tempat (lokasional). Pronomina demonstratif waktu ada yang mengacu pada
waktu kini (kini dan sekarang), lampau (kemarin dan dulu), akan datang (besok
dan yang akan datang), dan waktu netral (pagi dan siang). Sementara itu,
pronomina demonstratif tempat ada yang mengacu pada tempat atau lokasi yang
dekat dengan pembicara (sini, ini), agak jauh dengan pembicara (situ, itu), jauh
dengan pembicara (sana), dan menunjuk tempat secara eksplisit (Surakarta,
Yogyakarta).
Berikut ini adalah contoh penggunaan pengacuan demonstratif temporal
dan lokasional.
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
51
(52) Peringatan 57 tahun Indonesia merdeka pada tahun 2002 ini akan
diramaikan dengan pagelaran pesta kembang api di ibu kota Jakarta.
(53) “Ya di Kota Sala sini jika Ayah dan Ibumu mengawali usaha batik”,
kata Paman sambil menggandeng saya.
Pada tuturan (a) terdapat pronomina demonstratif ini yang mengacu pada
waktu kini, yaitu pada tahun 2002 saat kalimat itu dituturkan oleh pembicara atau
dituliskan oleh penulisnya. Selanjutnya, tuturan (b) mengacu pada tempat yang
dekat dengan pembicara, maksudnya pembicara (Paman) ketika menuturkan
kalimat itu ia sedang berada di tempat yang dekat dengan tempat yang
dimaksudkan pada tuturan itu, yakni berada di Kota Sala.
3) Pengacuan Komparatif
Pengacuan komparatif (perbandingan) ialah salah satu jenis kohesi
gramatikal yang bersifat membandingkan dua hal atau lebih yang mempunyai
kemiripan atau kesamaan dari segi bentuk/wujud, sikap, sifat, watak, perilaku, dan
sebagainya. Kata-kata yang bisa digunakan untuk membandingkan misalnya,
seperti, bagai, bagaikan, laksana, sama dengan, tidak berbeda dengan, persis
seperti, persis sama dengan.
Berikut ini adalah contoh pengacuan komparatif.
(54) Tidak berbeda dengan ibunya, Nita itu orangnya cantik, ramah, dan
lemah lembut.
Satuan lingual tidak berbeda dengan pada tuturan di atas adalah
pengacuan komparatif yang berfungsi membandingkan antara kecantikan,
keramahan, dan kelemahlembutan Nita dengan ciri-ciri yang sama seperti yang
dimiliki oleh ibunya.
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
52
b) Penyulihan (Substitusi)
Penyulihan atau substitusi ialah salah satu jenis kohesi gramatikal yang
berupa penggantian satuan lingual tertentu (yang telah disebut) dengan satuan
lingual lain dalam wacana untuk memperoleh unsur pembeda. Dilihat dari segi
satuan lingualnya, substitusi dapat dibedakan menjadi substitusi nominal, verbal,
frasal, klausal. Berikut ini adalah penjelasan dari masing-masing jenis substitusi.
1) Substitusi Nominal
Substitusi nominal adalah salah satu jenis penggantian satuan lingual yang
berkategori nomina (kata benda) dengan satuan lingual lain yang juga berkategori
nomina, misalnya kata derajat dan tingkat diganti dengan pangkat, kata gelar
diganti dengan titel. Berikut ini adalah contoh penggunaan substitusi nominal.
(55) Agus sekarang sudah berhasil mendapat gelar Sarjana Sastra. Titel
kesarjanaannya itu akan digunakan untuk mengabdi kepada nusa dan
bangsa melalui sastranya.
Satuan lingual nomina gelar yang telah disebut terdahulu digantikan oleh
satuan lingual nomina pula, yaitu kata titel yang disebutkan kemudian.
2) Substitusi Verbal
Substitusi verbal adalah penggantian satuan lingual yang berkategori verba
(kata kerja) dengan satuan lingual lainnya yang juga berkategori verba. Misalnya,
kata mengarang digantikan dengan kata berkarya, kata berusaha digantikan
dengan kata ikhtiar. Berikut ini adalah contoh penggunaan substitusi verbal dalam
wacana.
(56) Wisnu mempunyai hobi mengarang cerita pendek. Dia berkarya
sejak masih di bangku sekolah menengah pertama.
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
53
Wacana di atas tampak adanya penggantian satuan lingual berkategori
verba mengarang dengan satuan linguis lain yang berkategori sama, yaitu
berkarya.
3) Substitusi Frasal
Substitusi frasal adalah penggantian satuan lingual tertentu yang berupa
kata atau frasa dengan satuan lingual lainnya yang berupa frasa. Substritusi frasa
ini misalnya dapat dilihat pada wacana berikut ini.
(57) Aku tidak meneruskan pertanyaanku. Ibuku juga tidak berbicara. Dua
orang sama-sama diam.
Pada contoh di atas, kata aku pada kalimat pertama dan ibuku pada kalimat
kedua disubstitusi dengan frasa dua orang pada kalimat ketiga.
4) Substitusi Klausal
Substitusi klausal adalah penggantian satuan lingual tertentu yang berupa
klausa atau kalimat dengan satuan lingual lainnya yang berupa kata atau frasa.
Berikut ini adalah contoh penggunaan substitusi klausal.
A: “Jika perubahan yang dialami oleh Anang tidak bisa diterima
dengan baik oleh orang-orang di sekitarnya; mungkin hal itu
disebabkan oleh kanyataan bahwa orang-orang itu banyak yang
tidak sukses seperti Anang”.
B: “Tampaknya memang begitu.”
Pada percakapan di atas terdapat substitusi klausal, yaitu tuturan A yang
berupa satuan lingual klausa atau kalimat itu disubstitusi oleh satuan lingual lain
pada tuturan B yang berupa kata begitu. Atau sebaliknya, kata begitu pada tuturan
B menggantikan klausa atau kalimat pada tuturan A.
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
54
Penggantian satuan lingual tertentu dengan satuan lingual lain dalam
wacana berfungsi untuk mengahadirkan variasi bentuk, menciptakan dinamisasi
narasi, menghilangkan kemonotonan, memperoleh unsur pembeda.
c) Pelesapan (Elipsis)
Pelesapan (elipsis) adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa
penghilangan atau pelesapan satuan lingual tertentu yang telah disebutkan
sebelumnya. Unsur atau satuan lingual yang dilesapkan itu dapat berupa kata,
frasa, klausa, kalimat. Selanjutnya, fungsi pelesapan dalam wacana antara lain
ialah untuk (1) menghasilkan kalimat yang efektif (untuk efektivitas kalimat), (2)
efisiensi, yaitu untuk mencapai nilai ekonomis dalam pemakaian bahasa, (3)
mencapai aspek kepaduan wacana, (4) bagi pembaca/pendengar berfungsi untuk
mengaktifkan pikirannya terhadap hal-hal yang tidak diungkapkan dalam satuan
bahasa, (5) untuk kepraktisan berbahasa terutama dalam berkomunikasi secara
lisan.
Berikut ini adalah contoh penggunaan pelesapan (elipsis).
(58) Budi seketika itu terbangun. Menutupi matanya karena silau,
mengusap muka dengan saputangannya, lalu bertanya, “Di mana
ini?”.
Pada tuturan di atas terdapat pelesapan satuan lingual yang berupa kata,
yaitu Budi yang berfungsi sebagai subjek atau perilaku tindakan pada tuturan
tersebut. Subjek yang sama itu dilesapkan sebanyak tiga kali, yaitu sebelum kata
menutupi pada klausa kedua, sebelum kata mengusap pada klausa ketiga, dan
sebelum kata lalu atau di antara kata lalu dan bertanya pada klausa keempat.
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
55
Apabila tuturan itu kembali dituliskan dalam bentuknya yang lengkap tanpa
adanya pelesapan maka akan tampak seperti di bawah ini.
(59) Budi seketika itu terbangun. Budi menutupi matanya karena silau,
Budi mengusap muka dengan saputangannya, lalu Budi bertanya, “Di
mana ini?”.
d) Perangkaian (Konjungsi)
Konjungsi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang dilakukan
dengan cara menghubungkan unsur yang satu dengan unsur yang lain dalam
wacana. Unsur yang dirangkaikan dapat berupa unsur yang lebih besar itu,
misalnya alinea dengan pemarkah lanjutan, dan topik pembicara dengan pemarkah
alih topik atau pemarkah disjungtif.
Dilihat dari segi makna, perangkaian unsur dalam wacana mempunyai
bermacam-macam makna. Makna perangkaian beserta konjungsi yang dapat
dikemukakan di sini antara lain sebagai berikut.
1) Sebab-akibat : sebab, karena, maka, makanya
2) Pertentangan : tetapi, namun
3) Kelebihan (eksesif) : malah
4) Perkecualian (ekseptif) : kecuali
5) Konsesif : walaupun, meskipun
6) Tujuan : agar, supaya
7) Penambahan (aditif) : dan, juga, serta
8) Pilihan (alternatif) : atau, apa
9) Harapan (optatif) : moga-moga, semoga
10) Urutan (sekuensial) : lalu, terus, kemudian
11) Perlawanan : sebaliknya
12) Waktu : setelah, sesudah, usai, selesai
13) Syarat : apabila, jika (demikian)
14) Cara : dengan (cara) begitu
Berikut ini adalah contoh wacana yang mengandung perangkaian
(konjungsi).
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
56
(60) Maksud Bapak benar dan maksud Sigit pun juga tidak salah.
(61) Si Fulan tetap tidak bisa diterima oleh teman-temannya, meskipun
dia sudah mengakui kesalahannya.
Berdasarkan penjelasan dan perincian macam-macam peranti kohesi
gramatikal yang telah disebutkan oleh Rani, Sumarlam, dkk., dan Chaer, maka
peneliti merumuskan peranti kohesi gramatikal yang digunakan dalam penelitian
menjadi empat, yaitu (a) referensi, (b) substitusi, (c) elipsis, (d) konjungsi.
8. Koherensi
c. Pengertian Koherensi
Koherensi sama artinya dengan kepaduan. Wacana yang baik adalah
wacana yang mengandung koherensi. Kepaduan yang baik terjadi apabila
hubungan timbal balik antara kalimat-kalimat yang membina alinea itu baik,
wajar, dan mudah dipahami tanpa kesulitan (Keraf, 2004: 84). Pembaca akan
dengan mudah mengikuti jalan atau alur pikiran penulis tanpa merasa bahwa ada
sesuatu yang menghambat atau semacam jurang yang memisahkan sebuah kalimat
dan kalimat lainnya, serta tidak terasa terdapat loncatan-loncatan pikiran yang
membingungkan. Koherensi atau kepaduan yang baik adalah hubungan timbal
balik yang baik dan jelas antara unsur-unsur (kata atau kelompok kata) yang
membentuk kalimat itu, seperti bagaimana antara subyek dan predikat, hubungan
antarapredikat dan obyek, serta kererangan-keterangan lain yang menjelaskan
tiap-tiap unsur pokok tadi. Apabila gagasan yang tidak berhubungan satu sama
lain disatukan, maka selain merusak kesatuan pikiran, juga akan merusak
koherensi kalimat yang bersangkutan. Kesatuan pikiran lebih ditekankan adanya
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
57
isi pikiran, sedangkan koherensi lebih ditekankan segi struktur, atau inter-relasi
antara kata-kata yang menduduki sebuah tugas dalam kalimat. Oleh karena itu,
bisa terjadi bahwa sebuah kalimat dapat mengandung sebuah kesatuan pikiran,
namun koherensinya tidak baik.
Pendapat lain mengenai koherensi adalah pendapat yang berfokus pada
segi pertautan makna. Seperti yang dijelaskan oleh Rani (2006: 89) bahwa
koherensi adalah kepaduan hubungan maknawi antar bagian-bagian dalam
wacana. Salah satu alat untuk membuat wacana menjadi padu dapat digunakan
pengikat formal (alat kohesi). Wacana yang sudah kohesif perlu dilengkapi
dengan koherensi. Wacana dapat dibentuk dengan menyusun ide-ide secara runtut,
logis, dan tidak keluar dari topik. Menyusun ide secara runtut berarti menata ide-
ide secara teratur, tidak melompat-lompat. Selanjutnya, yang dimaksud dengan
penyusunan logis adalah ide-ide itu disusun dengan cara yang dapat diterima oleh
akal, misalnya ide disusun dari yang dekat ke yang jauh, dari yang dikenal ke
yang belum dikenal, dan kanan ke kiri (sebaliknya). Penyusunan ide yang tidak
keluar dari topik pembicaraan berarti ide-ide yang dipilih tidak menyimpang atau
masih dalam ruang lingkup topik yang sedang dibicarakan. Hal tersebut diperkuat
oleh pendapat Ramlan (1993: 10) yang menyatakan bahwa koherensi merupakan
kepaduan di bidang makna. Maksud dari pernyataan tersebut adalah informasi
yang dinyatakan dalam kalimat yang satu berhubungan erat dengan informasi
yang dinyatakan dalam kalimat yang lain, atau dengan kata lain informasi-
informasi yang dinyatakan dalam sejumlah kaimat yang membentuk paragraf
tersebut berhubungan erat atau sangat padu. Kepaduan tersebut merupakan syarat
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
58
keberhasilan suatu paragraf. Tanpa adanya kepaduan informasi, kumpulan
informasi tersebut tidak menghasikan paragraf. Jadi, koherensi merupakan
kepaduan wacana sehingga komunikatif mengandung satu ide. Koherensi merujuk
pada perpautan makna (Djajasudarma, 2010: 4).
Koherensi berarti kepaduan dan keterpahaman antarunsur dalam suatu teks
atau tuturan. Sebuah wacana yang utuh mengandung unsur-unsur kalimat yang
saling berkaitan. Keutuhan yang koheren tersebut dibangun oleh hubungan-
hubungan makna yang terjadi antar unsur atau bagian secara semantis. Koherensi
juga merupakan unsur isi dalam wacana, sebagai organisasi semantis, wadah-
wadah gagasan disusun dalam urutan yang logis untuk mencapai maksud dan
tuturan dengan tepat. Koherensi adalah kekompakkan hubungan antarkalimat
dalam wacana. Meskipun demikian, interpretasi wacana berdasarkan struktur
sintaksis dan leksikal bukan satu-satunya cara (Brown & Yule, 1987: 223;
Sudaryat, 2009: 152).
Pendapat selanjutnya masih mengenai definisi koherensi yang berfokus
pada segi pertautan semantik. Beberapa pendapat menggunakan istilah yang
berbeda, yakni pertalian semantik seperti yang dijelaskan oleh Menurut Suhaebah
(1996: 8) bahwa koherensi merupakan pertalian semantik antara unsur yang satu
dengan unsur yang lain dalam wacana yang sedemikian rupa sehingga tercipta
pengertian yang utuh atau koheren. Selanjutnya, Suladi (2000: 14) juga
mengartikan koherensi sebagai pertalian semantik antara unsur yang satu dengan
unsur lainnya dalam wacana.
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
59
Dari beberapa penjelasan di atas, berikut ini adalah contoh hubungan
perkaitan antarproposisi yang dinyatakan secara implisit.
A: Angkat telepon itu, Ma!
B: Aku sedang mandi, Pa!
C: Oke!
Dalam wacana tersebut, perkaitan antarproposisi tetap dirasakan ada, tetapi
pada kalimat A dan B tidak secara nyata ditemukan unsur-unsur kalimat yang
menunjukkan adanya perkaitan gramatikal ataupun semantik. Kalimat B dapat
ditafsirkan sebagai bentuk pendek dari kalimat Aku sedang mandi, Pa! (Jadi, aku
tidak dapat menerima telpon itu), sementara kata Oke! yang diucapkan oleh A
dapat ditafsirkan sebagai bentuk dari kalimat seperti Oke! Kalau begitu, biar aku
saja yang menerimanya (Alwi, dkk., 2003: 428). Dari penjelasan tersebut dapat
disimpulkan bahwa terdapat wacana yang sekaligus kohesif dan koheren, dan ada
pula wacana yang koheren tetapi tidak kohesif. Dengan kata lain, suatu wacana
tidak mungkin kohesif tanpa menjadi koheren. Rangkaian kalimat yang kohesif
tetapi tidak koheren dapat dikatakan wacana itu tidak bisa disebut sebagai suatu
wacana.
Sehubungan dengan contoh wacana di atas, Tarigan (2009: 92) juga
berpendapat mengenai koherensi (kerapian). Menurutnya, koherensi adalah salah
satu unsur yang turut menentukan keutuhan wacana. Kata koherensi memiliki
pengertian pertalian dan hubungan. Jika dikaitkan dengan aspek bentuk dan
makna, dapat dikatakan bahwa koherensi mengacu kepada aspek ujaran (speech).
Aspek tersebut menggambarkan bagaimana caranya proposisi-proposisi yang
tersirat atau yang terselubung disimpulkan untuk menafsirkan tindak ilokusi
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
60
dalam pembentukan suatu wacana. Pada dasarnya hubungan koherensi adalah
suatu rangkaian fakta dan gagasan yang teratur dan tersusun secara logis.
Koherensi dapat terjadi secara implisit (terselubung) karena berkaitan dengan
bidang makna yang memerlukan interpretasi. Selain itu, pemahaman ihwal
hubungan koherensi dapat ditempuh dengan cara menyimpulkan hubungan
antarproposisi dalam tubuh wacana itu (Mulyana, 2005: 31).
Berdasarkan definisi koherensi yang dikemukakan oleh para ahli bahasa,
maka dapat disimpulkan pengertian koherensi dalam penelitian ini adalah
kepaduan hubungan maknawi (kepaduan di bidang makna) antarbagian
pembangun wacana. Bagian-bagian pembangun wacana tersebut berupa fakta dan
gagasan yang disajikan secara teratur dan tersusun dengan logis, serta ide-ide
yang termuat di dalam wacana tersebut tidak keluar dari topik.
d. Peranti Koherensi
Proposisi-proposisi di dalam suatu wacana dapat membentuk suatu wacana
yang runtut (koheren) meskipun tidak terdapat pemarkah penghubung kalimat
yang digunakan. Faktor yang memungkinkan terciptanya koherensi itu, antara lain
latar belakang pengetahuan pemakai bahasa atas bidang permasalahan,
pengetahuan atas latar belakang budaya dan sosial, kemampuan “membaca”
tentang hal-hal yang tersirat. Menurut Rani (2006: 136) selain penataan urutan
kalimat (proposisi) bahwa proposisi itu harus positif. Hal ini dapat dipahami
melalui contoh wacana berikut ini.
(62) Boncel belum mempunyai istri.
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
61
Wacana di atas tidak bisa menciptakan referen wacana untuk konsep istri.
Oleh karena itu, wacana tersebut tidak bisa diikuti wacana seperti:
(63) Istrinya cantik. Kulit kuning langsat dan matanya jeli.
Hal itu dapat dipahami karena telah diketahui bahwa Boncel tidak
memiliki istri sehingga tidak mungkin diberikan ciri-ciri tentang istri yang tidak
ada itu.
Selanjutnya, hal yang memegang peranan dalam menciptakan koherensi
adalah praanggapan. Praanggapan yang bersifat logis memungkinkan kita
mengetahui hal-hal yang tersirat dalam wacana yang kita dengar/baca. Contohnya
adalah sebagai berikut.
(64) Bocel tidak lagi memukuli istrinya.
Wacana di atas dapat diketahui bahwa: (a) Boncel adalah orang yang telah
kawin dan (b) ia dikenal sebagai orang yang ringan tangan terhadap istrinya.
Jika kedua praanggapan itu tidak terpenuhi maka wacana di atas tidak mempunyai
nilai kebenaran. Jika kedua praanggapan tersebut benar, maka contoh (65) berikut
ini merupakan wacana yang runtut terhadap wacana (64).
(65) Syukurlah kalau ia sudah sadar.
Faktor lain yang mendukung wacana menjadi koheren adalah lokasi
geografis dan kesadaran budaya. Berikut ini adalah contoh wacananya.
(66) Dono membeli rumah minggu lalu. Lantainya dua meter dari tanah.
Kedua proposisi tersebut merupakan dua tuturan yang padu bagi mereka
yang mempunyai budaya rumah yang tinggi-tinggi, sedangkan bagi kelompok
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
62
lain, yang lantai rumahnya pada umumnya setara dengan tanah, tuturan seperti itu
dianggap aneh.
Sementara itu, Kridalaksana (dalam Mulyana, 2005: 32) mengemukakan
bahwa hubungan koherensi wacana sebenarnya adalah hubungan semantis.
Maksud dari pernyataan tersebut adalah hubungan itu terjadi antarproposisi.
Secara struktural, hubungan itu direpresentasikan oleh pertautan secara semantis
antara kalimat (bagian) yang satu dengan kalimat lainnya. Hubungan maknawi ini
kadang-kadang ditandai oleh alat-alat leksikal, namun kadang-kadang tanpa
penanda. Hubungan semantis yang dimaksud adalah sebagai berikut.
1) Hubungan Sebab-Akibat
Salah satu bagian kalimat menjawab pertanyaan: “Mengapa sampai terjadi
begini?”, atau kalimat yang satu bermakna sebab dan kalimat lainnya menjadi
akibat. Misalnya pada contoh wacana di bawah ini.
(67) Ia tidak mungkin menemukan buku fiksi di perpustakaan itu. Koleksi
perpustakaan itu khusus buku nonfiksi ilmiah.
2) Hubungan Sarana-Hasil
Salah satu bagian kalimat menjawab pertanyaan: “Mengapa hal ini dapat
terjadi?”, dan hasil itu sudah tercapai. Misalnya pada contoh wacana di bawah ini.
(68) Atlet bulutangkis kita akhirnya mendominasi kejuaraan Indonesia
Terbuka. Kita tidak usah heran, mereka berlatih dengan ketat dan
sangat disiplin.
3) Hubungan alasan-sebab
Salah satu bagian kalimat menjawab pertanyaan: “Apa alasannya?”.
Misalnya pada contoh wacana berikut ini.
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
63
(69) Tahun ini mereka bertekad membangun rumah sendiri. Sudah lama
sekali mereka numpang di rumah saudara.
4) Hubungan Sarana-Tujuan
Salah satu bagian kalimat menjawab pertanyaan: “Apa yang harus
dilakukan untuk mencapai tujuan itu?”. Berbeda dengan hubungan sarana-hasil,
dalam hubungan sarana-tujuan, belum tentu tujuan tersebut tercapai. Misalnya
pada contoh wacana berikut ini.
(70) Bekerjalah dengan keras.
Cita-citamu menjadi orang kaya bakal kesampaian.
5) Hubungan Latar-Kesimpulan
Salah satu bagian kalimat menjawab pertanyaan: “Bukti apa yang menjadi
dasar kesimpulan itu?”. Berikut ini adalah contoh wacana tersebut.
(71) Mobil itu sudah tua, tetapi sehat.
Rupanya pemiliknya pandai merawatnya.
6) Hubungan Kelonggaran-Hasil
Salah satu bagian kalimat yang menyatakan kegagalan kegagalan suatu
usaha. Berikut ini adalah contoh wacana tersebut.
(72) Sudah lama aku di kota ini mencarinya.
Alamat itu tak juga kutemukan.
7) Hubungan syarat-hasil
Salah satu bagian kalimat menjawab pertanyaan: “Apa yang harus
dilakukan?”, atau “Keadaan apa yang harus ditimbulkan untuk memperoleh
hasil?”. Berikut ini adalah contoh wacana tersebut.
(73) Beri bumbu dan penyedap rasa yang tepat.
Masakanmu pasti enak.
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
64
8) Hubungan Perbandingan
Salah satu bagian kalimat menyatakan perbandingan dengan bagian
kalimat yang lain. Berikut ini adalah contoh wacana tersebut.
(74) Pengantin itu sangat anggun.
Seperti dewa-dewi dari Khayangan.
9) Hubungan Parafrastis
Salah satu bagian kalimat mengungkapkan isi dari bagian kalimat lain
dengan cara lain. Berikut ini adalah contoh wacana tersebut.
(75) Saya tidak setuju dengan penambahan anggaran untuk proyek ini,
karena tahun lalu dana juga tidak habis. Sudah saatnya kita
menghemat uang rakyat.
10) Hubungan Amplikatif
Salah satu bagian kalimat memperkuat atau memperjelas bagian kalimat
lainnya. Berikut ini adalah contoh wacana tersebut.
(76) Dua burung itu jangan dipisah.
Masukkan dalam satu kandang saja.
11) Hubungan Aditif Waktu (Simultan dan Beruntun)
(77) Biar dia duduk dulu. Saya akan selesaikan pekerjaan ini. (simultan)
(78) Kita sudah sampai Yogya. Langsung ke Parangtritis saja. Habis itu
baru belanja dan cari makan di Malioboro. (beruntun)
12) Hubungan Aditif Nonwaktu
Wacana yang mengandung hubungan aditif non waktu dapat dilihat pada
contoh berikut ini.
(79) Para petani itu malas? Atau kurang beruntung?
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
65
13) Hubungan Identifikasi
Salah satu bagian kalimat menjadi penjelas identifikasi dari sesuatu istilah
yang ada di bagian kalimat lainnya. Misalnya pada wacana berikut ini.
(80) Tidak masuk ke universitas itu tidak berarti bodoh. Kamu tahu
nggak, Einstein? Fisikawan genius itu juga pernah gagal masuk ke
universitas.
14) Hubungan Generik-Spesifik
Wacana yang mengandung hubungan generik-spesifik dapat dilihat pada
contoh berikut ini.
(81) Gadis model itu sangat cantik. Wajahnya bersih, matanya indah,
bibirnya sangat menawan. Apalagi jalannya, luar biasa.
15) Hubungan Ibarat
Salah satu bagian kalimat memberikan gambaran perumpamaan (ibarat).
Berikut ini adalah contoh wacana tersebut.
(82) Kelihatannya mengelola bisnis sungguh piawai.
Memang dia seperti belut di lumpur basah.
Tujuan pemakaian aspek atau peranti koherensi antara lain adalah agar
tercipta susunan dan struktur wacana yang memiliki sifat serasi, runtut, dan logis.
Sifat serasi artinya sesuai, cocok, dan harmonis. Runtut artinya urut, sistematis,
tidak terputus-putus, tetapi bertautan satu sama lain. Sedangkan sifat logis
maksudnya adalah masuk akal, wajar jelas, dan mudah dimengerti.
Sejalan dengan apa yang telah disebutkan oleh Kridalaksana, Sudaryat
(2008: 156) mengemukakan bahwa unsur semantis antarbagian wacana akan
tampak dalam hubungan proposisi-proposisi (klausa atau kalimat). Hubungan
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
66
semantis antarbagian wacana dibagi menjadi 12 bagian. Berikut ini adalah
penjelasan dari hubungan semantis tersebut.
1) Hubungan Sebab-Akibat
Hubungan ini menunjukkan sebab dan akibat berlangsugnya suatu
peristiwa. Misalnya:
(83) Dulu pada waktu mengungsi sukar sekali mendapatkan beras di
daerah kami. Masyarakat hanya memakan singkong sehari-hari.
Banyak anak yang kekurangan vitamin dan gizi. Tidak sedikit yang
lemah dan sakit.
2) Hubungan Sarana-Hasil
Hubungan ini menunjukkan tercapainya suatu hasil dan bagaimana cara
menghasilkannya. Misalnya:
(84) Penduduk sekitar Kampus Bumi Siliwangi yang mempunyai rumah
atau kamar yang akan disewakan memang berusaha selalu
menyenangkan para penyewa. Jelas, banyak sekali para mahasiswa
tertolong, terlebih yang berasal dari luar Bandung dan luar Jawa.
Apalagi sewanya memang agak murah dan dekat pula ke tempat
kuliah. Kondisi ini tentu sangat efisien.
3) Hubungan Sarana-Tujuan
Hubungan ini menunjukkan berlangsungnya suatu peristiwa untuk
mencapai suatu tujuan meskipun tujuan itu belum tentu tercapai. Misalnya:
(85) Dia belajar dengan tekun. Tiada kenal letih siang-malam. Cita-
citanya untuk menggondol gelar sarjana tentu tercapai paling lama
dua tahun lagi. Di samping itu, istrinya pun tabah sekali untuk
berjualan. Untungnya banyak setiap bulan. Keinginannya untuk
membeli gubuk kecil agar mereka tidak menyewa rumah lagi akan
tercapai nanti.
4) Hubungan Latar-Kesimpulan
Hubungan ini menunjukkan salah satu bagiannya merupakan bukti sebagai
dasar kesimpulan. Misalnya:
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
67
(86) Pepohonan telah menghijau di setiap pekarangan rumah dan ruangan
kuliah di kampus kami. Burung-burung beterbangan dari dahan ke
dahan sambil bernyanyi-nyanyi. Udara segar dan sejuk nyaman. Jadi,
penghijauan di kampus itu telah berhasil. Demikianlah keadaan
kampus kami yang berbeda dengan beberapa tahun lalu. Oleh karena
itu, para civitas akademika merasa bangga atas kampus itu.
5) Hubungan Kelonggaran-Hasil
Hubungan ini menunjukkan salah satu bagiannya menyatakan suatu usaha.
Misalnya:
(87) Kami tiba di sini agak Subuh dan menunggu agak lama. Kira-kira
ada dua jam lamanya. Mereka tidak muncul-muncul. Mereka tidak
menepati janji. Kami sangat kecewa dan pulang kembali dengan rasa
dongkol.
6) Hubungan Syarat-Hasil
Hubungan ini menunjukkan salah satu bagiannya menyatakan sesuatu
yang harus dilakukan atau keadaan yang harus ditimbulkan untuk memperoleh
hasil. Misalnya:
(88) Seyogyanyalah penduduk desa kita rajin bekerja dan menabung di
KUD. Tentu saja desa kita lebih maju dan makmur dewasa ini.
Selanjutnya, kita menjaga kebersihan desa ini. Pasti kesehatan
masyarakat desa kita lebih baik.
7) Hubungan Perbandingan
Hubungan ini menunjukkan perbandingan suatu hal atau peristiwa dengan
hal atau peristiwa lainnya. Misalnya:
(89) Sifat para penghuni asrama ini beraneka ragam. Wanitanya rajin
belajar daripada prianya. Wanitanya mudah diatur dibandingkan
prianya yang agak bandel. Wanitanya suka menolong dibandingkan
prianya yang lebih suka menerima atau meminta.
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
68
8) Hubungan Parafrastis
Hubungan ini menunjukkan salah satu bagian wacana yang
mengungkapkan isi bagian lain dengan cara lain. Misalnya:
(90) Perang itu sungguh kejam. Militer, sipil, pria, wanita, tua, dan muda
menjadi korban peluru. Peluru tidak dapat membedakan kawan
dengan lawan. Sama dengan pembunuh. Biadab, kejam dan tidak
kenal perikemanusiaan. Sungguh ngeri.
9) Hubungan Aditif
Hubungan ini menunjukkan gabungan waktu, baik yang simultan maupun
yang beruntun. Misalnya:
(91) Paman menunggu di ruang depan. Sementara itu saya menyelesaikan
pekerjaan. Kini pekerjaan saya sudah selesai. Saya sudah merasa
lapar. Saya segera mengajak Paman makan malam di kantin.
Sekarang saya dan Paman dapat berbicara santai sambil makan.
(92) Orang itu malas bekerja. Duduk melamun saja sepanjang hari.
Berpangku tangan. Bagaimana bisa mendapat rezeki? Bagaimana
bisa hidup berkecukupan. Tanpa menanam, menyiangi, menumbuk,
serta menumpas hama, bagaimana bisa memperoleh panen yang
memuaskan, bukan? Agaknya orang tidak menyadari itu.
10) Hubungan Identifikasi
Hubungan ini menunjukkan antara bagian-bagian wacana yang dapat
dikenal bahasawan berdasarkan pengetahuannya. Misalnya:
(93) Pemerintah daerah mendirikan pabrik tekstil di Majalaya. Dengan
menggalakkan industri tekstil, mereka menduga dan mengharap
keuntungan lebih berlipat ganda.
11) Hubungan Generik-Spesifik
Hubungan ini menunjukkan hubungan antara bagian-bagian wacana dari
umum ke khusus. Misalnya:
(94) Abangku memang bersifat sosial dan pemurah. Dia rela
menyumbang paling sedikit satu juta rupiah buat pembangunan
rumah ibadah itu.
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
69
12) Hubungan Perumpamaan
Hubungan ini menunjukkan bahwa bagian wacana merupakan ibarat
bagian wacana lainnya. Misalnya:
(95) Memang suatu ketakaburan bagi pemuda miskin itu untuk memiliki
mobil dan gedung mewah tanpa bekerja keras memeras otak. Setiap
hari kerjanya hanya melamun dan berpangku tangan saja. Di
samping itu, dia berkeinginan pula mempersunting puti Haji Guntur
bernama Ruminah itu. Jelas, dia itu ibarat pungguk merindukan
bulan. Maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai.
Berdasarkan penjelasan dan perincian macam-macam peranti koherensi
yang telah disebutkan oleh Kridalaksana dan Sudaryat, secara keseluruhan
memiliki kesamaan, maka peneliti menggunakan peranti koherensi sesuai dengan
kedua pendapat ahli bahasa tersebut.
9. Alur Berpikir (Penalaran) dalam Karangan
Bahasa di kehidupan nyata bukan hanya berfungsi sebagai alat komunikasi
biasa, melainkan juga menyertai proses berpikir manusia dalam upayanya
memahami dunia luar, baik secara objektif maupun imajinatif. Hal itu disebabkan
karena selain berfungsi komunikatif, bahasa juga berfungsi kognitif dan emotif.
Berpikir dalam kaitannya dengan logika bahasa adalah aktivitas akal yang terarah
dan dapat dikomunikasikan kepada orang lain. Wujud aktivitas tersebut, berupa
kepiawaian seorang penulis dalam merangkaikan secara sinergis antara term (kata
kata atau simbol bahasa) dan proposisi (putusan apakah term itu logis atau tidak).
Sementara itu, berpikir dalam kaitan dengan aktivitas tulis-menulis, sebagaimana
sudah disinggung bertalian dengan proses penyimpulan berdasarkan sejumlah
bahan bukti atau penunjuk. Pada umumnya, wujud proses ini berupa: (1)
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
70
penalaran induktif, yakni berupa pernyataan mengenai sejumlah hal khusus (baik
berupa fakta, hipotesis, maupun asumsi) yang lantas disimpulkan secara umum,
atau (2) berupa penalaran deduktif yang merupakan kebalikan dari penalaran
induktif. Paragraf yang mengandung penalaran induktif, umpamanya, topik
utamanya biasanya berupa generalisasi induktif (sejumlah besar hal atau peristiwa
yang khusus). Paragraf ini lantas dikembangkan dengan hal-hal yang khusus
untuk menunjang generalisasi tersebut. Apabila sudah memahami proses ini
diharapkan tidak terjadi kesalahan dalam penalaran. Jika terdapat kalimat yang
belum patuh pada kaidah logika kalimat tersebut dapat dikatakan kalimat yang
salah nalar (Wibowo, 2009: 120).
Sehubungan dengan penalaran dalam menulis sebuah wacana, untuk
membangun alur berpikir yang baik dapat dilakukan dengan cara
mengembangkan paragraf yang padu. Pengembangan paragraf adalah penyusunan
atau perincian daripada gagasan-gagasan yang membina paragraf tersebut.
Perincian dan urutan pikiran yang dimaksud di sini adalah bagaimana
pengembangan sebuah gagasan utama dan bagaimana hubungan antara gagasan-
gagasan bawahan yang menunjang gagasan utama tadi. Penulis dapat menjamin
kepaduan dengan mengemukakan perincian isi berdasarkan urutan ruang, dimulai
dari sudut tertentu dan berangsur-angsur bergerak ke sudut yang berlawanan. Ia
dapat juga mempergunakan urutan-urutan logis, seperti sebab-akibat, umum-
khusus, klimak, proses, dan sebagainya. Dengan demikian, perlu ditegaskan
bahwa kepaduan atau koherensi dan pengembangan paragraf secara praktis sulit
dipisahkan. Kepaduan lebih menekankan persoalan hubungan antarkalimat,
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
71
sedangkan pengembangan paragraf lebih menekankan urutan-urutan gagasan.
Oleh karena urutan gagasan itu harus didukung oleh urutan-urutan kalimat, maka
keduanya sulit dipisahkan. Jika dilihat dari segi konseptual dan analisis, keduanya
dapat dibicarakan tersendiri (Keraf, 2004: 91).
Tiap tulisan yang baik selalu akan bertolak dari sebuah tesis. Tesis itulah
yang dikembangkan dalam paragraf-paragraf yang mempunyai pertalian yang
jelas, baik pertalian dalam perkembangan gagasannya maupun perpaduan
paragraf-paragrafnya. Oleh karena hubungan yang jelas itulah, pembaca dapat
mengikuti uraian itu dengan jelas dan mudah. Kesulitan biasanya ditimbulkan
oleh paragraf-paragraf yang menempatkan gagasan pokonya pada awal alinea,
sedangkan paragraf itu sendiri terlalu panjang. Kalimat-kalimat yang memuat
perincian terlalu banyak akan membuat pembaca kehilangan hubungan bila harus
mulai dengan paragraf yang berikut. Oleh karena itu, hal tersebut merupakan
kemampuan yang harus dimiliki oleh penulis, yaitu kemampuan bagaimana ia
harus memulai paragraf yang baru, tetapi perpaduan dengan paragraf sebelumnya,
terutama dengan gagasan utama dalam paragraf sebelumnya harus jelas.
Hubungan kalimat utama dengan tesis dapat diumpamakan dengan
patokan-patokan dari tiap paragraf, yang menunjukkan kepada pembaca apa yang
harus dibuat, bagian yang mana dari tesis itu akan dikembangkan. Patokan
tersebut sekaligus mempunyai tujuan ganda yaitu menempatkan tiap paragraf
sebagai suatu kesatuan yang struktural dari seluruh karangan dan menjamin
transisi antarparagraf (Keraf, 2004: 114). Seperti halnya dengan paragraf, maka
perpaduan antara paragraf dapat juga dijamin dengan cara-cara seperti yang telah
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
72
digunakan dalam sebuah paragraf, yaitu repetisi kata-kata kunci, terutama repetisi
yang dinamakan anafora. Anafora adalah perulangan kata yang sama pada kalimat
yang berturutan atau dalam hal ini juga pada awal paragraf yang berurutan. Di
samping kata-kata kunci bisa dipergunakan kata ganti. Baik kata-kata kunci
maupun kata-kata ganti dipakai untuk menghubungkan hal-hal yang sudah disebut
dalam paragraf sebelumnya.
Kadang-kadang terjadi bahwa sebuah paragraf dapat pula bertindak
sebagai sebuah transisi, seperti halnya sebuah kata transisi dalam sebuah paragraf.
Alinea-alinea semacam ini biasanya menyusul sesudah pengarang menyelesaikan
satu unit dari karangannya, dan ingin meneruskan unit lainnya. Paragraf-paragraf
transisi dapat digunakan untuk beberapa tujuan, yaitu:
1. merupakan ringkasan dari apa yang telah diuraikan, sebelum mulai dengan unit
berikutnya,
2. menyampaikan sebuah ilustrasi atau contoh dan pokok yang telah diuraikan
dalam paragraf atau paragraf-paragraf sebelumnya,
3. menjelaskan apa yang akan diuraikan oleh pengarang dalam bagian atau unit
selanjutnya.
Menurut Kuncoro (2009: 111) paragraf merupakan kumpulan kalimat yang
berkaitan dan di dalamnya mengandung pengembangan suatu gagasan. Oleh
karena itu, cara menyusun sebuah kalimat efektif menjadi sangat penting. Setiap
orang pasti dapat menyusun suatu kalimat. Setiap pembicaraan yang terdiri dari
beberapa kata yang keluar dari mulut seseorang merupakan suatu kalimat. Setiap
kalimat yang terbentuk pasti memiliki satu gagasan. Permasalahannya adalah
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
73
tidak semua gagasan yang terdapat pada kalimat dapat dengan mudah dipahami.
Mudah tidaknya suatu gagasan atau pendapat dapat dipahami sangat ditentukan
oleh efektif-tidaknya suatu kalimat. Penulis membutuhkan paragraf baru apabila
kita ingin mengenalkan suatu gagasan baru atau menggeser fokus perhatian. Cara
mengembangkan gagasan tergantung dari jenis artikel yang akan ditulis.
Misalnya, bila penulis ingin mengembangkan suatu argumen, kita bisa memulai
dengan paragraf baru tiap kali kita memperkenalkan gagasan baru. Satu paragraf
hanya memiliki satu kalimat topik yang menunjukkan subjek utama paragraf
tersebut, bisa juga berupa gagasan utama, atau fokus pembicaraan. Kalimat topik
bisa di depan atau akhir paragraf, tergantung gaya penulisan yang dipakai penulis.
10. Skripsi
c. Pengertian Skripsi
Menurut Djuroto & Suprijadi (2009: 26) skripsi adalah karya tulis ilmiah
pendidikan yang diperuntukkan sebagai persyaratan mahasiswa mendapatkan
gelar sarjana (S-1). Istilah skripsi berasal dari kalimat deskripsi (description) yang
berarti memberikan gambaran tentang suatu masalah yang dibahas dengan
memaparkan serta pustaka untuk menghasilkan kesimpulan. Pembahasan dalam
skripsi harus dilakukan mengikuti alur pemikiran ilmiah yaitu logis dan empiris.
Logis (masuk akal), sedangkan empiris (mendalam). Jadi, yang dimaksud dengan
logis dan empiris adalah dalam pembahasan dibuktikan data yang diperoleh dari
penelitian lapangan.
Mahasiswa yang menyandang gelar sarjana (S-1) harus mampu
menggambarkan kembali ilmu yang sudah didapatkan dari bangku kuliahnya.
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
74
Oleh karena itu, salah satu persyaratan untuk mendapatkan gelar sarjana (S-1),
mereka harus membuat karya ilmiah berupa skripsi. Karya ilmiah tersebut harus
ditulis berdasarkan kajian ilmiah melalui suatu penelitian ilmiah. Format tulisan
dalam skripsi tidak berbeda dengan praskripsi yaitu bab per bab. Perbedaannya
terletak pada bahasan atau analisis skripsi yang harus lebih tajam dan mendalam.
Selanjutnya, Soemanto (2005: 6) mengartikan skripsi sebagai karya ilmiah
yang ditulis melalui kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan hasil penelitian
ilmiah oleh mahasiswa jenjang program sarjana muda atau sarjana. Skripsi dapat
merupakan tugas akhir bagi mahasiswa untuk mencapai gelar kesarjanaannya.
Sugiyono (2014: 5) juga berpendapat bahwa skripsi merupakan salah satu jenis
karya ilmiah di perguruan tinggi yang dikerjakan oleh mahasiswa. Karya ilmiah
tersebut adalah hasil penelitian yang dikerjakan oleh mahasiswa program sarjana
(S1) sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana. Selain itu, Wahyu (1992: 6)
mendefinisikan skripsi sebagai karya ilmiah pada tingkat sarjana muda yang
umumnya didasarkan atas penyelidikkan-penyelidikkan, baik diperoleh dari
pustaka, laboratorium, maupun dari lapangan. Dengan kata lain, skripsi adalah
karangan ilmiah yang memberi gambaran tentang sesuatu masalah dengan data
dari pustaka, laboratorium, lapangan yang dibahas atau dianalisis oleh penulis
skripsi. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Surakhmad (1981: 10) yang
menyebutkan bahwa skripsi adalah karya tulis di tingkat sarjana muda yang
biasanya dijadikan sebagai syarat untuk ujian sarjana muda. Skripsi tersebut pada
umumnya ditulis berdasarkan dari penyelidikkan bahan-bahan bacaan atau
observasi lapangan.
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
75
Dari beberapa pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
skripsi merupakan salah satu jenis karya tulis ilmiah yang dihasilkan oleh
mahasiswa berdasarkan penelitian ilmiah yang sudah dilakukan sesuai dengan
prosedur ilmiah. Skripsi ditulis oleh mahasiswa tingkat akhir di semester delapan
sebagai syarat untuk mendapat gelas sarjana (S-1).
d. Pengertian Latar Belakang Masalah
Menurut Kusmana (2010: 108-109) aspek latar belakang masalah pada
bagian pendahuluan berisi deskripsi tentang kedudukan masalah tersebut. Latar
belakang masalah biasanya mendeskripsikan mengapa masalah itu ada dan timbul
berdasarkan analisis penulis atau mengapa suatu hal dianggap masalah oleh
penulis. Latar belakang masalah merupakan paparan tentang adanya ketimpangan
antara suatu ketentuan dengan kenyataan. Berdasarkan paparan tersebut, biasanya
disertai dengan mengapa masalah tersebut penting untuk dikaji atau diteliti, baik
berimplikasi pada perkembangan ilmu atau pada kepentingan pembangunan. Latar
belakang masalah merupakan bagian yang mengungkapkan masalah yang
membuat penulis gelisah dan resah jika masalah tersebut tidak dikaji atau diteliti.
Pada bagian ini diungkapkan kedudukan masalah yang akan dikaji atau diteliti
dan posisi masalah tersebut dalam perspektif bidang keilmuan penulis. Penyajian
bagian latar belakang dilakukan dengan cara mengkonfrontasi antara teori atau
konsep-konsep dengan fenomena yang terjadi. Penyajian bagian ini dapat pula
dilakukan dengan mengungkap suatu ketentuan, pedoman, peraturan yang
seharusnya dilaksanakan, tetapi kenyataannya tidak demikian sehingga
menimbulkan suatu masalah. Bagian ini dapat pula berupa penyajian prediksi
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
76
logis terhadap sesuatu yang dianggap sebagai penyebab dari suatu fenomena yang
menimbulkan masalah.
Selanjutnya, Leo (2013: 68) juga berpendapat bahwa latar belakang
masalah atau judul yang diangkat harus langsung membiacarakan judul secara
umum dan semakin spesifik. Isi latar belakang masalah merupakan jawaban atas
pertanyaan tentang apa, di mana, kapan, siapa, dan mengapa, atau bagaimana.
Penulisan latar belakang masalah sering kurang diperhatikan oleh mahasiswa.
Pada umumnya mahasiswa memberikan latar belakang masalah yang sangat
umum dan terlalu melebar, bahkan tidak fokus pada atau tidak relevan dengan
judul penelitian. Selain itu, pengantar dari masalah yang dituliskan tidak semakin
spesifik, tetapi semakin melebar dan mengalami loncatan ide dari pemaparan yang
sudah disebutkan sebelumnya di bagian awal.
Menurut Kuntarto (2015: 152) bagian latar belakang penelitian sebuah
skripsi mengungkapkan keingintahuan mahasiswa tentang fenomena/gejala yang
menarik untuk diteliti dengan menunjukkan signifikansi penelitian bagi
pengembangan pengetahuan ilmiah. Terdapat empat komponen latar belakang
masalah yang perlu diperhatikan, yaitu:
1) adanya gejala tentang permasalahan yang akan diteliti,
2) relevansi dan intensitas pengaruh masalah yang diteliti terhadap aspek ilmu
(teknik, sosial, ekonomi, budaya, politik, seni, agama) dengan segala akibat
yang ditimbulkannya,
3) keserasian pendekatan metodologis yang digunakan,
4) gambaran kegunaan hasil penelitian.
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
77
Dari pihak peneliti, pengungkapan bagian ini dapat didasarkan atas
pertanyaan-pertanyaan berikut ini.
1) Tentang topik yang diteliti, apa-apa saja informasi yang telah diketahui, baik
teoretis maupun faktual.
2) Berdasarkan informasi yang diperoleh, adakah ditemukan adanya
permasalahan.
3) Dari permasalahan yang dapat diidentifikasi, bagian mana yang menarik untuk
diteliti.
4) Apakah mungkin secara teknis masalah itu diteliti.
Selain itu, Soemanto (2005: 9-10) berpendapat bahwa penulisan latar
belakang masalah penelitian disajikan secara sistematis, termasuk pada gejala dan
peristiwa yang tersinyalir menimbulkan permasalahan untuk diteliti. Gejala dan
peristiwa tersebut yang menjadi latar belakang masalah untuk skripsi dapat
dijumpai di mana saja dan kapan saja. Beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam menyusun latar belakang masalah, yaitu: (1) tidak terlalu dalam memberi
pengantar sehingga jauh dari konteks permasalahannya, (2) berorientasi pada
profesi, fungsi, bidang studi dan jurusan dari penulis, (3) berorientasi pada
maksud dan konteks penelitian yang akan dilakukan, (4) disusun/disajikan secara
sistematis, ringkas, dan terarah pada suatu permasalahan yang ingin diteliti.
Latar belakang masalah penelitian menguraikan garis besar dari apa yang
akan diteliti, mengapa diteliti, bagaimana penelitiannya, dan untuk apa diteliti.
Menurut Wahyu (1992: 41-42) latar belakang penelitian adalah suatu justifikasi
yang dilandasi penguasaan materi dan masalah serta metode pendekatan yang
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
78
jelas. Agar tulisan tersebut dapat dipahami dan meyakinkan maka perlu disusun
secara sistematis, terarah, sesuai dengan urutan logika dalam kerangka yang
mengandung komponen yang saling berkaitan. Berikut ini adalah komponen yang
harus ada dalam bagian latar belakang penelitian.
1) Menyebutkan adanya suatu masalah, baik berdiri sendiri maupun kompleks.
2) Relevansi dan intensitas pengaruh masalah tersebut terhadap aspek tertentu,
misalnya teknis, sosial, ekonomi, budaya, politik, dengan segala akibat yang
ditimbulkan.
3) Keserasian metode dalam pendekatan yang digunakan dengan masalah yang
diteliti.
4) Gambaran kegunaan hasil penelitian, baik bagi pengembangan ilmu
pengetahuan maupun bagi praktik ilmu pengetahuan.
Sehubungan dengan pengertian latar belakang masalah, Hadi (2004: 26)
menggunakan istilah yang sedikit berbeda dengan beberapa ahli di atas, yakni bab
pengantar. Menurutnya, bab pengantar mengemukakan secara langsung pokok
persoalan yang dihadapi dalam studi atau riset yang termuat dalam skripsi. Bab ini
mengetengahkan betapa mendesak atau pentingnya pokok persoalan itu untuk
dipecahkan. Beberapa istilah yang menjadi tiang pokok dari isi skripsi dibatasi
dengan tegas untuk menghindari multitafsir dan salah tafsir. Bab pengantar ditulis
dengan tujuan hanya untuk mengantarkan persoalan pokok. Oleh karenanya,
penulisan pada bab ini tidak perlu diuraikan secara panjang lebar. Isi yang termuat
dari bab ini adalah persoalan yang diteliti dan pentingnya persoalan tersebut untuk
dipecahkan serta bagaimana persoalan itu akan dipecahkan.
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
79
Simpulan dari pendapat para ahli di atas mengenai pengertian latar
belakang masalah penelitian adalah bagian dari bab pendahuluan yang
menguraikan masalah yang menjadi latar belakang sebuah penelitian. Latar
belakang masalah juga berisi alasan mengapa penelitian tersebut harus dilakukan
dan biasanya menyajikan kronologis sebuah permasalahan yang akan dikaji dalam
penelitian tersebut. Selain itu, penulisan latar belakang dilakukan berdasarkan
masalahan yang berasal dari fenomena yang ada, kebijakan institusional atau
pemerintah, konsep-konsep ilmu pengetahuan, teori para ahli, sehingga dalam
bagian ini berisi konfrontasi antara fenomena yang terjadi dengan kebijakan,
konsep, dan teori. Hal yang perlu diperhatikan lagi adalah penulisan isi disajikan
dari hal umum menuju ke hal khusus atau mengerucut pada permasalahan yang
akan dikaji. Jika diibaratkan bentuk isi latar belakang masalah penelitian seperti
bentuk kerucut terbalik. Oleh karenanya, penyajian latar belakang masalah sebuah
penelitian harus ditulis dengan runtut, sistematis, dan logis. Hal itu bertujuan
untuk menghindari multitafsir dan salah tafsir dalam memahami isi bagian latar
belakang masalah yang memiliki posisi penting pada karya tulis ilmiah.
D. Penelitian Relevan
Penelitian mengenai kajian wacana atau analisis wacana sudah banyak
dilakukan. Sebagai bahan perbandingan untuk membedakan alur penelitian ini
dengan penelitian yang telah dilakukan, berikut ini akan disajikan intisari hasil
penelitian yang relevan dengan permasalahan yang akan dianalisis, yakni tentang
kompetensi kewacanaan.
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
80
1. Rustono dan Sri Wahyuni Sari (2011) telah melakukan penelitian dengan judul
Kohesi Leksikal dan Kohesi Gramatikal dalam Karya Ilmiah Siswa SMA
Sekota Semarang. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui kemampuan
siswa dalam memahami manfaat dan cara penggunaan sarana kohesi leksikal
dan gramatikal dengan tepat. Data penelitian tersebut bersumber dari wacana
karya ilmiah siswa SMA Kota Semarang yang diduga mengandung pemakaian
kohesi leksikal dan kohesi gramatikal yang tidak tepat dan tepat meliputi
kohesi antarklausa, antarkalimat, antarparagraf, dan antarbagian. Metode
pengumpulan data dalam penelitian tersebut adalah teknik telaah penggunaan
bahasa dan teknik lanjutan yang berupa teknik catat. Selanjutnya, dalam
analisis data menggunakan metode deskriptif dan normatif. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa wujud kohesi leksikal yang terjadi pada semua
tataran satuan wacana baik yang tepat dan tidak tepat adalah repetisi sedangkan
wujud kohesi gramatikal adalah penyebutan kata yang menjadi fokus. Secara
keseluruhan frekuensi penggunaan kohesi yang tertinggi terjadi pada
penggunaan kohesi leksikal yang tepat dalam karya ilmiah siswa SMA Kota
Semarang, yakni 80% atau kategori baik. Dengan demikian, karya ilmiah siswa
SMA Kota Semarang lebih baik pemakaian sarana kohesi leksikalnya daripada
pemakaian kohesi gramatikal.
2. Syamsul Ghufron (2012) telah melakukan penelitian dengan judul Peranti
Kohesi dalam Wacana Tulis Siswa: Perkembangan dan Kesalahannya.
Penelitian tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan peranti kohesi dalam
wacana tulis siswa sekolah dasar, perkembangannya, dan kesalahan
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
81
penggunaannya. Data penelitian itu bersumber dari wacana tulis siswa kelas
III, IV, dan V SDN Baratajaya, Surabaya. Data dikumpulkan dengan metode
tes dan metode simak. Temuan penelitian menunjukkan bahwa semua peranti
kohesi terdapat dalam wacana tulis siswa sekolah dasar (kelas III, IV, V).
Peranti kohesi yang paling banyak digunakan oleh siswa SD adalah peranti
kohesi gramatikal konjungsi, leksikal sinonimi, dan gramatikal elipsis. Hasil
penelitian menunjukkan adanya pola perkembangan terlihat dari persentase
penggunaan peranti kohesi gramatikal konjungsi, leksikal repetisi, dan leksikal
sinonimi pada kelas III, IV, V. Selanjutnya, ditemukan beberapa kesalahan
dalam penggunaan peranti kohesi yang terkait dengan penggunaan konjungsi,
elipsis, substitusi, referensi, dan repetisi.
3. Yusra D. (2014) telah melakukan penelitian dengan judul Peningkatan
Keterampilan Berwacana Tulis dengan Strategi Konferensi pada Mahasiswa
Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Jambi.
Penelitian tersebut menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian
tersebut bertujuan untuk memaparkan data verbal dan non verbal. Data yang
dimaksud adalah data kegiatan mahasiswa dan dosen pada pelaksanaan
perkuliahan wacana tulis dengan strategi konferensi. Data penelitian ini adalah
kemampuan berwana tulis mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia PBS FKIP Universitas Jambi. Sumber datanya adalah wacana
tulis yang dibuat oleh mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia PBS FKIP Universitas Jambi sesuai dengan peristiwa perkuliahan
wacana tulis dengan strategi konferensi yang mencakup perkuliahan pada tahap
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
82
prapenulisan sampai dengan pada tahap publikasi. Teknik pengumpulan data
yang digunakan dalam penelitian itu adalah teknik observasi, catatan lapangan,
dan dokumentasi. Dokumentasi digunakan untuk mengkaji keberhasilan
perencanaan tindakan yang telah dibuat. Dokumen berupa hasil karangan
mahasiswa yang dibuat berdasarkan perkuliahan dengan strategi konferensi.
Prosedur penelitian tersebut terdiri dari tahap studi pendahuluan, pelaksanaan
penelitian atau pelaksanaan tindakan, pengamatan tindakan, tahap refleksi,
analisis data, dan menyusun hasil penelitian. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa strategi konferensi dengan aksi perbaikan (konferensi antara mahasiswa
dengan dosen dan antara mahasiswa dengan mahasiswa) ternyata dapat
meningkatkan keterampilan mahasiswa dalam berwacana tulis.
4. Siti Prihatin (2013) telah melakukan penelitian dengan judul Kesalahan di
Bidang Kohesi dan Koherensi serta Penyebabnya pada Karangan Bahasa
Jawa Siswa SMP Kelas VIII di Kota Semarang. Penelitian tersebut bertujuan
untuk mendeskripsikan wujud, macam, dan penyebab kesalahan kohesi dan
koherensi dalam karangan bahasa Jawa siswa kelas VIII di kota Pemalang,
dengan pendekatan struktural fungsional. Data dalam penelitian tersebut adalah
penggalan karangan bahasa Jawa siswa SMP dan yang menjadi sumber datanya
adalahan karangan bahasa Jawa siswa SMP kelas VIII di kota Pemalang.
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan lembar kerja untuk
mengarang yang di dalamnya terdapat perintah dan aturan bahasa yang harus
digunakan dalam mengarang, kemudian dilakukan pencatatan/pemilahan ke
dalam kartu data. Instrumen yang digunakan adalah lembar kerja untuk
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
83
mengarang, dan kartu untuk mencatat penggalan karangan yang mengandung
kesalahan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat kesalahan
kohesi dan koherensi dalam karangan bahasa Jawa siswa meliputi kesalahan
kohesi gramatikal dan leksikal, dan kesalahan koherensi. Kesalahan kohesi
gramatikal meliputi kesalahan konjungsi dan substitusi. Kesalahan kohesi
leksikal meliputi pemakaian repetisi dan pemakaian kata ganti. Kesalahan
koherensi meliputi kaitan argumentatif, alasan tindakan, sebab-akibat,
perumpamaan. Kesalahan koherensi antarparagraf yaitu adanya hubungan
makna antarparagraf yang tidak koheren. Faktor yang menyebabkan adanya
kesalahan yaitu adanya interferensi bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Krama.
Dari penelitian yang sudah dilakukan peneliti-peneliti sebelumnya,
terdapat perbedaan antara penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti. Perbedaan
tersebut terletak pada sumber data. Sumber data penelitian ini adalah skripsi
mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UMP tahun 2013-2015.
Penelitian ini mengkaji kompetensi kewacanaan mahasiswa dalam penulisan latar
belakang masalah pada skripsi. Kewacanaan ini berfokus pada kekohesifan dan
kekoherensian, dan alur berpikir (penalaran) dalam wacana. Selanjutnya, metode
penelitian ini menggunakan metode analisis bahasa, yaitu metode agih dan padan
untuk menganalisis kompetensi kewacanaan pada skripsi. Setelah itu, wacana
akan dianalisis dari penyajian alur berpikir (penalaran) dalam penulisan latar
belakang masalah penelitian pada skripsi.
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016
1
C. Kerangka Pikir
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa Prodi PBSI UMP dalam Penulisan Latar Belakang Masalah
pada Skripsi
Kompetensi Kewacanaan
Kohesi
Kohesi Leksikal
Repetisi, Ulangan dengan Hiponim, Kolokasi, Sinonimi, Antonimi,
Ekuivalensi (Rani, dkk., Sumarlam, dkk.).
Kohesi Gramatikal
Referensi, Substitusi, Konjungsi, Elipsis (Rani, dkk., Sumarlam, dkk.,
Chaer).
Koherensi
Hubungan sebab-akibat, sarana-hasil, alasan-sebab, sarana-tujuan, latar-
kesimpulan, kelonggaran-hasil, syarat-hasil, perbandingan, parafrastis,
amplikatif, aditif awaktu, aditif non waktu, identifikasi, generik-spesifik,
ibarat (Kridalaksana, Sudaryat).
Alur Berpikir (Penalaran) dalam
Karangan
Urutan gagasan, hubungan antargagasan,
penegasan gagasan (Wibowo, Keraf, Kuncoro)
Penulisan Latar Belakang Masalah pada Skripsi
Mahasiswa Prodi PBSI UMP
Sistematis, ringkas, terarah pada topik, logis/sesuai urutan
logika
Wacana yang ditulis
kohesif
Wacana yang ditulis
koheren
Wacana yang ditulis
memiliki urutan gagasan
yang padu
Wacana yang ditulis logis
dan padu
Latar Belakang Masalah yang baik mengandung wacana yang kohesif, koheren, dan mempunyai alur berpikir yang logis serta padu.
Wacana tersebut dapat dibentuk oleh seseorang (mahasiswa) yang mempunyai kompetensi kewacanaan yang baik.
84
Kompetensi Kewacanaan Mahasiswa..., Ais Rahmatika, Program Pascasarjana UMP, 2016