Bemp April 2008

98

Transcript of Bemp April 2008

Page 1: Bemp April 2008
Page 2: Bemp April 2008

1ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan II - 2007

BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKANDirektorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter

Bank Indonesia

Penyantun/PatronDewan Gubernur Bank Indonesia

Board of Governors of Bank Indonesia

Dewan Penasehat/Advisory BoardProf. DR. Anwar Nasution

Prof. DR. InsukindroProf. DR. Iwan Jaya Azis

DR. M. Syamsuddin

Pemimpin Redaksi/Chairman of Editorial BoardMade SukadaWijoyo Santoso

Dewan Penyunting/Editorial BoardHalim Alamsyah

Perry WarjiyoSuseno

Wimboh SantosoEndy Dwi Tjahjono

Solikin M. JuhroHaris Munandar

Redaktur Pelaksana/Staff Editor/Editorial AdministratorAndi Alfian Parewangi

Buletin ini diterbitkan oleh Bank Indonesia, Direktorat Riset Ekonomidan Kebijakan Moneter. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisandibuletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukanmerupakan pandangan resmi Bank Indonesia.

Kami mengundang semua pihak untuk menulis pada buletin inipaper dikirimkan dalam bentuk file ke Direktorat Riset Ekonomi danKebijakan Moneter, Bank Indonesia Gedung Sjafruddin Prawiranegara Lt. 20;Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta Pusat, email : [email protected].

Buletin ini diterbitkan secara triwulan pada bulan April, Juli, Oktober danJanuari, bagi yang ingin memperoleh terbitan ini dapat menghubungiSeksi Publikasi - Bagian Administrasi, Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter,Bank Indonesia Gedung Sjafruddin Prawiranegara Lt. 2; Jl. M.H. Thamrin No. 2,Jakarta Pusat, telp. (021) 381-8206. Untuk permohonan berlangganan:telp. (021) 381-8636, fax. (021) 231-1219, email: [email protected]

Sekretariat/SecretariatRakianto IrawantoM.S. Artiningsih

Page 3: Bemp April 2008

1ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan II - 2007

BULETIN EKONOMI MONETERDAN PERBANKAN

Volume 10, Nomor 4, April 2008

299

Analisis Triwulanan: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran

Triwulan I - 2008

Tim Penulis Laporan Triwulanan, Bank Indonesia

Respon Kebijakan Moneter yang Optimal di Indonesia: The State-Contingent Rule?

Solikin M. Juhro

Mengkaji Perubahan Nilai Tukar Rupiah dan Pasar Saham

Untoro, Priyo R. Widodo

Kinerja Pengelolaan Dana pada Pasar Modal Indonesia

Yuyun Istavirti, SE., MSM, Dr. Ruslan Prijadi, Dr. Andi M. Alfian Parewangi

303

337

361

Page 4: Bemp April 2008

2 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2007

Page 5: Bemp April 2008

299ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan I - 2008

Di tengah berkembangnya berbagai gejolak eksternal maupun domestik, perekonomianDi tengah berkembangnya berbagai gejolak eksternal maupun domestik, perekonomianDi tengah berkembangnya berbagai gejolak eksternal maupun domestik, perekonomianDi tengah berkembangnya berbagai gejolak eksternal maupun domestik, perekonomianDi tengah berkembangnya berbagai gejolak eksternal maupun domestik, perekonomian

Indonesia pada triwulan II-2008 diprakirakan masih mencatat pertumbuhan yang tinggiIndonesia pada triwulan II-2008 diprakirakan masih mencatat pertumbuhan yang tinggiIndonesia pada triwulan II-2008 diprakirakan masih mencatat pertumbuhan yang tinggiIndonesia pada triwulan II-2008 diprakirakan masih mencatat pertumbuhan yang tinggiIndonesia pada triwulan II-2008 diprakirakan masih mencatat pertumbuhan yang tinggi

meskipun lebih rendah dari triwulan sebelumnya. meskipun lebih rendah dari triwulan sebelumnya. meskipun lebih rendah dari triwulan sebelumnya. meskipun lebih rendah dari triwulan sebelumnya. meskipun lebih rendah dari triwulan sebelumnya. PDB triwulan II-2008 diprakirakan akan tumbuh

sebesar 6,0% (yoy), setelah mencatat pertumbuhan sebesar 6,3% (yoy) pada triwulan I-2008.

Lebih rendahnya pertumbuhan ekonomi tersebut didorong oleh kecenderungan menurunnya

permintaan domestik akibat kenaikan harga BBM bersubsidi pada akhir Mei 2008. Di sisi

permintaan, kegiatan konsumsi dan investasi masyarakat diprakirakan tumbuh melambat seiring

dengan penurunan daya beli masyarakat akibat tingginya tekanan inflasi sebagai akibat kenaikan

harga BBM, serta sentimen bisnis yang menurun. Sementara itu, kinerja ekspor juga berpotensi

untuk tumbuh lebih rendah dari prakiraan sejalan dengan belum membaiknya iklim

perekonomian dunia dan melemahnya permintaan eksternal. Kinerja impor juga diprakirakan

akan mengalami penurunan seiring dengan melambatnya kegiatan perekonomian. Kondisi

tersebut dapat mendorong turunnya kontribusi permintaan domestik dan net ekspor. Di sisi

penawaran, hampir seluruh sektor perekonomian diprakirakan akan mengalami penurunan

pertumbuhan pada triwulan II-2008. Namun demikian, sektor-sektor utama ekonomi seperti

sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, serta sektor pengangkutan

dan telekomunikasi masih mencatat pertumbuhan yang tinggi.

Perkembangan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan II-2008 diprakirakanPerkembangan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan II-2008 diprakirakanPerkembangan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan II-2008 diprakirakanPerkembangan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan II-2008 diprakirakanPerkembangan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan II-2008 diprakirakan

akan tetap mencatat surplus.akan tetap mencatat surplus.akan tetap mencatat surplus.akan tetap mencatat surplus.akan tetap mencatat surplus. Seiring dengan masih tingginya pertumbuhan ekonomi, impor

bahan baku dan barang modal untuk keperluan ekspor dan investasi menunjukkan peningkatan.

Kenaikan nilai impor ini dalam jangka waktu pendek akan mengurangi surplus pada NPI. Namun

ke depan, dengan tetap solidnya pertumbuhan ekonomi, perkembangan NPI pada tahun 2008

diharapkan tetap mencatat surplus yang tinggi. Sementara itu, perkembangan transaksi modal

dan finansial diwarnai oleh penerbitan obligasi valas Pemerintah serta tetap terjaganya minat

investor asing terhadap aset domestik. Secara keseluruhan, kinerja NPI pada triwulan II-2008

diprakirakan masih mencatat surplus. Dengan berbagai perkembangan tersebut, realisasi posisi

ANALISIS TRIWULANAN:Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran,

Triwulan I - 2008

Tim Penulis Laporan Triwulanan, Bank Indonesia

Page 6: Bemp April 2008

300 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

cadangan devisa sampai dengan akhir triwulan II-2008 mencapai USD59,5 miliar atau setara

dengan 5,1 bulan impor dan utang luar negeri Pemerintah. Dengan kinerja NPI tersebut,

indikator kerentanan eksternal hingga akhir triwulan II-2008 masih relatif membaik. Posisi utang

luar negeri yang terus meningkat dapat diimbangi dengan peningkatan kegiatan ekonomi,

termasuk kinerja ekspor dan posisi realisasi cadangan devisa.

Nilai tukar rupiah selama triwulan II-2008 bergerak relatif stabil meski sempat mengalamiNilai tukar rupiah selama triwulan II-2008 bergerak relatif stabil meski sempat mengalamiNilai tukar rupiah selama triwulan II-2008 bergerak relatif stabil meski sempat mengalamiNilai tukar rupiah selama triwulan II-2008 bergerak relatif stabil meski sempat mengalamiNilai tukar rupiah selama triwulan II-2008 bergerak relatif stabil meski sempat mengalami

tekanan. tekanan. tekanan. tekanan. tekanan. Tingginya harga minyak serta dampak lanjutannya yang memengaruhi faktor sentimen

pasar sempat memberikan tekanan terhadap nilai rupiah. Rata-rata nilai tukar rupiah sepanjang

triwulan II-2008 bergerak dari Rp9.258/USD menjadi Rp9.259/USD. Pergerakan rupiah selama

triwulan II-2008 relatif terjaga yang tercermin dari penurunan tingkat volatilitas dari 1,42%

pada triwulan I-2008 menjadi 0,61%.

Laju inflasi IHK pada triwulan II-2008 meningkat signifikan dibandingkan dengan triwulanLaju inflasi IHK pada triwulan II-2008 meningkat signifikan dibandingkan dengan triwulanLaju inflasi IHK pada triwulan II-2008 meningkat signifikan dibandingkan dengan triwulanLaju inflasi IHK pada triwulan II-2008 meningkat signifikan dibandingkan dengan triwulanLaju inflasi IHK pada triwulan II-2008 meningkat signifikan dibandingkan dengan triwulan

sebelumnya dan periode yang sama tahun sebelumnya. sebelumnya dan periode yang sama tahun sebelumnya. sebelumnya dan periode yang sama tahun sebelumnya. sebelumnya dan periode yang sama tahun sebelumnya. sebelumnya dan periode yang sama tahun sebelumnya. Dengan menggunakan tahun dasar

2007, laju inflasi tahunan pada akhir triwulan II-2008 mencapai 11,03% (yoy), meningkat dari

8,17% (yoy) pada triwulan I-2008. Peningkatan inflasi IHK tersebut terutama disebabkan oleh

dampak langsung dan tidak langsung dari kenaikan harga BBM bersubsidi sebesar 28,7%

pada akhir Mei 2008. Berdasarkan komponennya, tingginya inflasi pada triwulan laporan

terutama didorong oleh faktor nonfundamental yaitu administered price dan volatile food.

Peningkatan inflasi administered price terutama terkait dengan kenaikan harga BBM dan

kelangkaan komoditas energi. Sementara itu, meningkatnya inflasi volatile food terkait dengan

dampak kenaikan harga pangan internasional. Di samping itu, kenaikan inflasi juga ditengarai

oleh adanya tekanan dari sisi permintaan domestik.

Perkembangan BI Rate diikuti dengan peningkatan suku bunga deposito, namun belumPerkembangan BI Rate diikuti dengan peningkatan suku bunga deposito, namun belumPerkembangan BI Rate diikuti dengan peningkatan suku bunga deposito, namun belumPerkembangan BI Rate diikuti dengan peningkatan suku bunga deposito, namun belumPerkembangan BI Rate diikuti dengan peningkatan suku bunga deposito, namun belum

menghalangi berlanjutnya penurunan suku bunga kredit.menghalangi berlanjutnya penurunan suku bunga kredit.menghalangi berlanjutnya penurunan suku bunga kredit.menghalangi berlanjutnya penurunan suku bunga kredit.menghalangi berlanjutnya penurunan suku bunga kredit. Hingga Mei 2008, suku bunga Kredit

Investasi (KI) dan Kredit Konsumsi (KK) masih menunjukkan penurunan dengan besaran yang

bervariasi, sedangkan suku bunga Kredit Modal Kerja (KMK) tercatat relatif stabil. Di sisi

penghimpunan dana, rata-rata suku bunga deposito periode 1 bulan pada Mei 2008 tercatat

sebesar 6,98%, sedikit meningkat dibandingkan dengan akhir triwulan sebelumnya. Sementara

itu, IHSG pada akhir laporan ditutup pada level 2349 atau melemah 4,01% dibandingkan

dengan akhir triwulan I-2008. Kinerja IHSG selama triwulan II-2008 cenderung lebih fluktuatif

sejalan dengan meningkatnya berbagai faktor risiko domestik dan regional.

Di tengah gejolak yang mewarnai perekonomian global, pertumbuhan ekonomi IndonesiaDi tengah gejolak yang mewarnai perekonomian global, pertumbuhan ekonomi IndonesiaDi tengah gejolak yang mewarnai perekonomian global, pertumbuhan ekonomi IndonesiaDi tengah gejolak yang mewarnai perekonomian global, pertumbuhan ekonomi IndonesiaDi tengah gejolak yang mewarnai perekonomian global, pertumbuhan ekonomi Indonesia

tahun 2008 diprakirakan mencapai 6,0%. tahun 2008 diprakirakan mencapai 6,0%. tahun 2008 diprakirakan mencapai 6,0%. tahun 2008 diprakirakan mencapai 6,0%. tahun 2008 diprakirakan mencapai 6,0%. Pertumbuhan yang cukup tinggi tersebut didorong

oleh kinerja ekspor dan investasi, walaupun dibayangi oleh kemungkinan melambatnya

Page 7: Bemp April 2008

301ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan I - 2008

pertumbuhan konsumsi swasta akibat kenaikan harga BBM bersubsidi. Harga komoditas yang

tinggi serta pertumbuhan ekonomi di negara berkembang yang tetap kuat diprakirakan menjadi

insentif bagi kenaikan ekspor. Prospek ekspor yang cukup cerah diprakirakan mendorong

kenaikan pertumbuhan investasi. Dari sisi produksi, prakiraan tersebut didukung oleh

pertumbuhan sektor-sektor yang berorientasi ekspor, khususnya sektor pertambangan dan sektor

pertanian. Sementara itu, pengeluaran pemerintah diprakirakan dapat tumbuh lebih tinggi

dari tahun sebelumnya disebabkan oleh kelonggaran belanja pemerintah pascapengurangan

subsidi BBM.

Peranan sinergi kebijakan moneter dan fiskal akan menjadi semakin penting dalamPeranan sinergi kebijakan moneter dan fiskal akan menjadi semakin penting dalamPeranan sinergi kebijakan moneter dan fiskal akan menjadi semakin penting dalamPeranan sinergi kebijakan moneter dan fiskal akan menjadi semakin penting dalamPeranan sinergi kebijakan moneter dan fiskal akan menjadi semakin penting dalam

memitigasi dampak negatif gejolak eksternal terhadap prospek perekonomian.memitigasi dampak negatif gejolak eksternal terhadap prospek perekonomian.memitigasi dampak negatif gejolak eksternal terhadap prospek perekonomian.memitigasi dampak negatif gejolak eksternal terhadap prospek perekonomian.memitigasi dampak negatif gejolak eksternal terhadap prospek perekonomian. Bank Indonesia

(BI) akan tetap konsisten mengarahkan kebijakan moneternya untuk mengamankan arah

perkembangan inflasi guna mendukung kesinambungan pertumbuhan ekonomi. Laju inflasi

IHK tahun 2008 diprakirakan akan berada pada kisaran 11,5%-12,5% (yoy), jauh lebih tinggi

dari prakiraan sebelumnya atau berada di atas sasaran yang ditetapkan Pemerintah sebesar

5%+1%.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2008 masih akan menghadapi berbagaiPertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2008 masih akan menghadapi berbagaiPertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2008 masih akan menghadapi berbagaiPertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2008 masih akan menghadapi berbagaiPertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2008 masih akan menghadapi berbagai

risiko, baik yang bersumber dari gejolak eksternal maupun kondisi domestikrisiko, baik yang bersumber dari gejolak eksternal maupun kondisi domestikrisiko, baik yang bersumber dari gejolak eksternal maupun kondisi domestikrisiko, baik yang bersumber dari gejolak eksternal maupun kondisi domestikrisiko, baik yang bersumber dari gejolak eksternal maupun kondisi domestik. Risiko paling

utama saat ini berasal dari perkembangan eksternal yaitu kenaikan harga-harga komoditas

internasional, khususnya harga minyak dan bahan pangan, serta gejolak di pasar finansial

global. Berbagai hal tersebut dapat meningkatkan tekanan inflasi domestik. Selain itu, masih

adanya selisih antara harga pasar dan harga subsidi serta kemungkinan peningkatan konsumsi

BBM dapat menimbulkan risiko pengurangan subsidi BBM lebih lanjut.

Dalam kaitan ini, BI akan tetap melaksanakan kebijakan moneter secara terukur danDalam kaitan ini, BI akan tetap melaksanakan kebijakan moneter secara terukur danDalam kaitan ini, BI akan tetap melaksanakan kebijakan moneter secara terukur danDalam kaitan ini, BI akan tetap melaksanakan kebijakan moneter secara terukur danDalam kaitan ini, BI akan tetap melaksanakan kebijakan moneter secara terukur dan

hati-hati dengan terus mencermati berbagai dinamika perekonomian.hati-hati dengan terus mencermati berbagai dinamika perekonomian.hati-hati dengan terus mencermati berbagai dinamika perekonomian.hati-hati dengan terus mencermati berbagai dinamika perekonomian.hati-hati dengan terus mencermati berbagai dinamika perekonomian. Keputusan BI pada awal

Juli 2008 untuk menaikkan BI Rate menjadi 8,75% didasari atas pertimbangan secara seksama

akan risiko terhadap stabilitas perekonomian dan sistem keuangan Indonesia serta prospek

pertumbuhan ekonomi ke depan. Bank Indonesia melihat adanya peningkatan tekanan pada

sisi permintaan dan indikasi kenaikan ekspektasi inflasi yang dapat menimbulkan kenaikan

inflasi putaran kedua. Oleh karena itu, Bank Indonesia memandang perlu untuk menaikkan BI

Rate untuk mencegah dampak lanjutan kenaikan harga BBM dan bahan pangan terhadap

harga barang-barang lain serta menjangkar ekspektasi inflasi masyarakat ke depan.

Page 8: Bemp April 2008

302 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

halaman ini sengaja dikosongkan

Page 9: Bemp April 2008

303Respon Kebijakan Moneter yang Optimal di Indonesia: The State-Contingent Rule?

RESPON KEBIJAKAN MONETER YANG OPTIMAL DI INDONESIA:The State-Contingent Rule?

Solikin M. Juhro 1

A b s t r a c t

By developing a long-run macro structural model, The Structural Cointegrating Vector

Autoregression (VAR), the optimality principle of monetary policy response in Indonesia is

formulated. It accommodates not only long-run policy response and short-run dynamic error-

correction mechanism, but also specific shocks emerged due to structural changes in the

economy. In that context, the generated policy response basically reflects the optimal response

of a ≈state-contingent rule∆, different from common simple policy rules, such as Taylor rule

and McCallum rule. This study captures several important aspects related to the implementation

of ≈state-contingent rule∆ as an optimal monetary policy in Indonesia, namely: (i) the superiority

of interest rate as a policy variable, or an operational target, against monetary base, (ii) the

identification of monetary policy lag which is estimated averagely one-and-a half year, and (iii)

the sub optimality of central bank monetary policy response, attributed by an over tight or

loose policy response.

JEL Classification:JEL Classification:JEL Classification:JEL Classification:JEL Classification: C32, E52

Keywords: Kebijakan Moneter di Indonesia, Respon Kebijakan Moneter, Structural Cointegration

Vector Autoregression (VAR).

1 Penulis adalah peneliti ekonomi di Bank Indonesia dan pengajar tamu pada beberapa universitas di tanah air ([email protected]).Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Prof. Rustam Didong, Dr. N. Haidy A. Pasay,dan Dr. Perry Warjiyo atas segala bantuan pemikiran dan arahan dalam penyempurnaan tulisan ini. Apa yang disampaikan padatulisan ini merupakan pemikiran dan analisis pribadi, bukan lembaga tempat penulis bekerja.

Page 10: Bemp April 2008

304 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

2 Sejalan dengan makna yang tersirat dalam UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia, yang diamandemen oleh UU No.3/2004.,tujuan Bank Indonesia adalam mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.

3 Perjalanan siklus kegiatan ekonomi di Indonesia mencatat peranan penting beberapa langkah kebijakan reformasi dan deregulasi dipasar keuangan, dua di antaranya yaitu Kebijakan Deregulasi Perbankan 1 Juni 1983 dan Paket Kebijakan 27 Oktober 1988, dalammempengaruhi perkembangan dan struktur perbankan, serta konsentrasi kredit. Perkembangan di sektor keuangan yang cukup

I. PENDAHULUAN

Perubahan struktural perekonomian Indonesia, terutama pada periode pasca-krisis

ekonomi 1997, yang dibarengi oleh fluktuasi dan keterkaitan yang kurang stabil antara beberapa

indikator makro utama, serta perkembangan yang tidak sejalan antara sektor keuangan dan

sektor riil, menyebabkan upaya pencarian pijakan baru dalam manajemen pengendalian moneter

di Indonesia menjadi sesuatu yang sangat penting. Sementara itu, dalam situasi ekonomi yang

belum sepenuhnya pulih dari permasalahan yang timbul sebagai akibat krisis ekonomi 1997

tersebut, tantangan bagi penerapan paradigma kebijakan moneter yang baru juga semakin

berat dan kompleks. Dengan komitmen Bank Indonesia pada penerapan kerangka kerja Inflation

Targeting2 serta kecenderungan kekurangstabilan keterkaitan antara besaran moneter dengan

output dan inflasi, maka kecenderungan untuk memilih sasaran operasional suku bunga

dibandingkan dengan besaran moneter (uang primer) cukup kuat.

Terkait dengan permasalahan tersebut, pemahaman mengenai respon kebijakan mana

yang sebaiknya dipakai di Indonesia: rules atau discretion juga masih merupakan pertanyaan

empiris sampai saat ini. Seperti diketahui, penerapan respon kebijakan moneter di Indonesia

saat ini masih cenderung (bias) kepada penggunaan pola discretion dengan penekanan unsur

pre-emptive policy yang minimal. Dalam kondisi pasar dan permasalahan yang belum begitu

kompleks pada periode sebelum 1990-an, paradigma pengendalian moneter dengan

menggunakan uang primer dianggap lebih relevan, bahkan pada dua setengah tahun terakhir

pada periode setelah krisis 1997. Namun, secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa relevansi

dari penggunaan uang primer sebagai sasaran operasional belum menunjukkan unsur kebijakan

yang berorientasi forward-looking. Dengan mempertimbangkan kondisi tersebut, efektivitas

dan keoptimalan strategi kebijakan moneter di Indonesia sampai saat ini masih dipertanyakan.

Berkaitan dengan tantangan tersebut, dapat dikemukakan pula bahwa strategi kebijakan

mana yang dipilih akan sangat bergantung pada karakteristik dari perekonomian dan paradigma

pengendalian moneter di Indonesia yang mengalami pasang surut selama tiga dasawarsa

terakhir. Hal ini terlebih dengan mempertimbangkan tingginya fluktuasi makroekonomi sebagai

akibat terjadinya perubahan struktural di Indonesia, khususnya dalam tiga dasawarsa terakhir,

serta adanya reorientasi strategi kebijakan moneter dengan sasaran akhir kebijakan berupa

kestabilan harga.3 Akan tetapi, dengan mendasarkan pada beberapa temuan empiris, dapat

Page 11: Bemp April 2008

305Respon Kebijakan Moneter yang Optimal di Indonesia: The State-Contingent Rule?

ditarik pemahaman bahwa, apapun alternatif kerangka kerja yang dipilih, kebijakan moneter

harus diterapkan dengan tetap mengacu pada kaidah-kaidah yang terkait dengan prinsip manfaat

dan kerugian, khususnya dalam jangka menengah-panjang. Secara konseptual, penerapan

kebijakan moneter perlu senantiasa diarahkan untuk mengacu pada prinsip-prinsip keoptimalan

Penelitian ini ditujukan untuk menjawab isu-isu strategis yang terkait dengan penerapan

kebijakan moneter yang optimal di Indonesia, terutama yang terkait dengan perumusan

kerangka kerja kebijakan moneter yang optimal dikaitkan dengan perumusan respon kebijakan

yang sesuai dengan karakteristik dasar perekonomian Indonesia. Agenda penelitian ini akan

diarahkan untuk meneliti hal-hal yang terkait dengan beberapa isu tersebut. Permodelan hipotetis

akan dikembangkan dengan tujuan akhir adalah mencari dan menguji alternatif respon kebijakan

dalam rangka penerapan kebijakan moneter yang «optimal» yang sesuai dengan karakteristik

perekonomian Indonesia, terutama dikaitkan dengan reorientasi strategi kebijakan dalam era

perubahan ekonomi pasca krisis 1997. Adapun pengembangan analisis untuk kasus Indonesia

dilakukan melalui pengembangan model makro stuktural jangka panjang, Structural

Cointegrating Vector Autoregression (Solikin, 2005). Pertimbangan utama dari hal tersebut,

selain dikarenakan oleh karateristik sistem permodelan yang dilandaskan pada karakteristik

dasar model dinamis keseimbangan umum jangka panjang, sistem permodelan yang

dikembangkan oleh Garratt et al. (1998) tersebut juga mampu dalam menjelaskan respon

kebijakan berdasarkan kaidah keoptimalan.

Melalui pengembangan model tersebut, kaidah keoptimalan yang dirumuskan

merepresentasikan baik respon kebijakan jangka panjang maupun jangka pendek dengan

mekanisme pengkoreksian kesalahan (error correction). Selain itu, dengan diperhitungkannya

juga keberadaan shocks spesifik dalam permodelan tersebut, respon kebijakan yang dihasilkan

pada dasarnya mencerminkan respon optimal dalam suatu ≈kaidah terkondisi∆ atau ≈State-

Contingent rule∆, sebagaimana terminologi yang disampaikan oleh J.M. Keyness pada tujuh

dasa warsa yang lalu.4 Apa yang dimaksud dengan ≈State-Contingent rule∆? Dalam kaitan ini,

King (1997) menjelaskan bahwa ≈The coice of monetary strategy is often described as choice

between rules and discretion º The optimal strategy is a State-Contingent rule, which allows

flexibility in the response of policy to shocks while retaining a credible commitment to price

stability∆. Sementara itu, Woodford (2003) menekankan bahwa: ≈The fully optimal policy

pesat pada akhirnya tidak dapat diimbangi oleh perkembangan di sektor riil, yang pada gilirannya menyebabkan munculnyapermasalahan ketidakseimbangan struktural dalam perekonomian. Beberapa hasil penelitian untuk kasus Indonesia yang mendukungpernyataan tersebut menunjukkan bahwa perubahan yang cepat di sektor keuangan Indonesia telah menyebabkan kegiatan penciptaanuang oleh sistem keuangan menjadi berlipat ganda dan melampaui penciptaan uang oleh bank sentral, yang selanjutnya menyebabkanperilaku angka pelipat ganda uang cenderung tidak stabil (Sarwono, 1996). Lebih jauh lagi, kecenderungan tersebut tidak hanyaterjadi pada perilaku angka pelipat ganda uang, tetapi juga income velocity dan fungsi permintaan uang (Solikin, 1998).

4 Dipublikasikan di Lloyd»s Bank Monthly Review. Lihat: Boughton (2002) dan Muchlinski (2002).

Page 12: Bemp April 2008

306 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

commitment would lead not only to the optimal long-run average values of target variables,

but also to the optimal responses to disturbances∆. Dengan demikian, ≈State-Contingent rule∆

dianggap sebagai strategi kebijakan yang optimal, yang memungkinkan bank sentral untuk

merespon shocks tanpa mengorbankan pencapaian tujuan stabilitas harga.

Dari hasil studi ini diperoleh temuan utama, yaitu bahwasanya rumusan respon kebijakan

yang didasarkan pada disain ≈State-Contingent rule∆ berhasil merepresentasikan disain policy

rule yang optimal bagi perekonomian Indonesia, dengan suatu karakteristik emerging market

yang unik. Pada akhirnya, lima bagian dari penelitian ini disampaikan dengan cukup sederhana.

Melanjutkan bagian pendahuluan ini, bagian selanjutnya mengulas sebuah pemikiran awal

mengenai respon kebijakan dalam kerangka pelaksanaan kebijakan moneter yang optimal.

Sebelum diketengahkan hasil pengujian empiris, akan disampaikan terlebih dahulu tinjauan

moetodologi dan permodelan yang terkait. Bagian terakhir berupa beberapa catatan penutup.

II. TEORI

II.1 Respons Kebijakan Moneter yang Optimal

Pada dasarnya, alternatif penentuan respon kebijakan moneter dapat dilakukan dengan

menggunakan suatu rule atau dengan menggunakan discretion. Konsensus yang diambil setelah

melalui perdebatan panjang di antara para ekonom berkaitan dengan pilihan terhadap kedua

pola penetapan tersebut menyatakan bahwa bank sentral tidak dapat menerapkan kebijakan

moneter sepenuhnya berdasarkan pola discretion. Di sisi lain, beberapa pola rule diyakini sebagai

suatu prasarat bagi penerapan kebijakan moneter yang baik sehingga penerapan kebijakan

tanpa menggunakan suatu rule tertentu mungkin akan menimbulkan konsekuensi yang

sebaliknya.

Dari keberadaan disain utama policy rule yang dikenal secara umum, monetary growth

rule dan interest rate rule, dapat dikemukakan dua pokok pemikiran. Pertama, bahwa disain

policy rule pada dasarnya merefleksikan keterkaitan antara sasaran akhir kebijakan

(perkembangan output dan harga) dengan sasaran operasional atau instrumen kebijakan

(perkembangan besaran moneter - yaitu uang primer - dan suku bunga jangka pendek).

Umumnya, apabila dipilih pertumbuhan output sebagai sasaran akhir kebijakan dalam kerangka

strategis GDP nominal targeting, maka monetary growth rule menjadi pilihan. Sebaliknya,

apabila dipilih stabilitas harga sebagai sasaran akhir kebijakan dalam kerangka strategis inflation

targeting, maka interest rate rule menjadi pilihan. Namun demikian, McCallum and Nelson

(1999), menekankan bahwa peran indikator sasaran akhir dalam kedua disain rule tersebut

dapat dipertukarkan sehingga dimungkinkan, misalnya, penetapan suatu rule dengan uang

Page 13: Bemp April 2008

307Respon Kebijakan Moneter yang Optimal di Indonesia: The State-Contingent Rule?

primer sebagai sasaan operasional/ instrumen dimana perkembangannya merupakan respon

dari perkembangan output dan inflasi. Demikian pula, dimungkinkan penetapan interest rate

rule yang mendasarkan feedback-nya dari perkembangan output.

Kedua, dalam analisis kebijakan moneter policy rule tidak mesti atau harus mencerminkan

perilaku optimal dari bank sentral, tergantung pada tujuan analisis. Apabila tujuan analisis

adalah mencari kebijakan yang optimal, maka disain policy rule seyogyanya dihasilkan dari

langkah optimalisasi yang mengacu pada fungsi tujuan bank sentral, yang tentunya dapat

didasarkan pada perilaku atau fungsi utilitas masyarakat; dimana dalam praktek, tidak ada

satupun bank sentral yang menyatakan fungsi tujuan tersebut secara tegas. Dengan demikian,

tidak semua analisis yang disarankan untuk dipakai harus mengasumsikan adanya langkah

optimal dari bank sentral. Dalam hal ini, cukup diyakini bahwa analisis positif yang mengkaji

pengaruh dari hypothetical rules yang mencerminkan beberapa alternatif pendekatan

merupakan sesuatu yang lebih bermanfaat (McCallum, 2001).

Apabila diyakini bahwa policy rule seharusnya mencerminkan perilaku optimal, maka

secara mendasar strategi pemilihan kerangka kebijakan moneter oleh bank sentral seharusnya

diarahkan secara langsung pada penggunaan asumsi perilaku optimal dari agen-agen ekonomi.

Untuk menyimpulkan bahwa suatu kebijakan adalah optimal biasanya diperlukan evaluasi

terhadap perubahan kemakmuran dari masing-masing agen ekonomi sebagai akibat dari

penerapan beberapa alternatif kebijakan, yang dapat diturunkan melalui sistem permodelan

yang sederhana maupun analisis keseimbangan umum (general equilibrium).

Secara teoritis, berdasarkan beberapa studi antara lain oleh Ball (1997), Svensson (1997),

Rudesbusch and Svensson (1998), dan Blake et al., (1998), dapat ditunjukkan bahwa perumusan

kebijakan yang optimal umumnya dilakukan dengan mempertimbangkan (paling tidak) unsur

pokok yaitu analisis costs-benefits dari penerapan suatu kebijakan, misalnya stabilisasi output

atau harga, yang didasarkan pada langkah optimisasi dalam pengambilan keputusan oleh bank

sentral. Dalam kaitan ini, analisis tersebut dapat dijabarkan dengan merujuk pada fungsi kerugian

(loss function) yang harus diminimalkan oleh bank sentral, dengan subyek penetapan instrumen

kebijakan serta beberapa fungsi kendala mengenai keterkaitan struktural antar-variabel dalam

sistem perekonomian. Berdasakan kondisi tersebut, kebijakan moneter yang optimal dapat

diturunkan (secara matematis) sebagai suatu fungsi reaksi yang optimal dari bank sentral, atau

yang dikenal dengan ≈optimal decision rule∆ atau ≈optimal policy rule∆, yang menetapkan

nilai instrumen kebijakan sebagai fungsi dari segenap informasi yang tersedia.

Di luar unsur pokok tersebut, agar dapat dicapai kerangka penerapan dan monitoring

kebijakan yang terbaik, secara spesifik perumus kebijakan perlu mempertimbangkan dua aspek.

Pertama, orientasi kebijakan forward looking dengan memperhitungkan tenggat waktu dari

Page 14: Bemp April 2008

308 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

pengaruh kebijakan moneter (Svensson, 1997). Dalam kaitan ini, Svensson mengajukan proposal

mengenai pelaksanaan kebijakan moneter berdasarkan inflation forecast, bukan nilai aktual.

Keunggulan teoritis pendekatan ini, selain dapat menghasilkan respon yang ekuivalen dengan

kondisi optimal, juga dapat meningkatkan kredibilitas kebijakan moneter melalui pemfokusan

pada ekspektasi inflasi. Kedua, informational requirements dalam perumusan kebijakan dengan

memperhitungkan mekanisme penyesuaian perilaku dalam jangka pendek (Blake,2000). Dalam

kaitan ini, disarankan bahwa bank sentral sebaiknya mengadopsi policy rule yang lebih umum,

dengan memperhitungkan faktor-faktor yang digunakan dalam melakukan forecast. Dengan

kemungkinan penggunaan spesifikasi model yang lebih detail, menurut Blake, representasi

model dengan error correction mechanism dapat memberikan kerangka pengendalian kebijakan

terbaik. Dalam studinya, Blake et al. (1998) menunjukkan bahwa suatu rule yang sederhana,

misalnya tipe Taylor rule, bersifat inferior terhadap rule lain yang lebih optimal dan bersifat

lebih kompleks, yang ditaksir dengan memperhitungkan pola penyimpangan (deviasi) terhadap

rule yang sederhana apabila terjadi shocks dalam perekonomian.

Dalam kaitan tersebut, isu mendasar yang muncul adalah bagaimana

mengimplementasikan penetapan target eksplisit dari suatu kebijakan moneter pada

penggunaan instrumen dan pemilihan respon kebijakan. Hal ini terkait dengan kondisi empiris

bahwa perilaku ekonomi aktual yang diamati mungkin saja konsisten dengan perilaku perumus

kebijakan, baik yang didasarkan pada optimalisasi respon kebijakan yang sederhana maupun

yang relatif kompleks. Dengan beberapa kondisi yang telah diuraikan di atas, kajian terhadap

bagaimana seharusnya kebijakan moneter diterapkan secara optimal dalam kerangka

permodelan ekonomi yang realistis, yang sesuai dengan karakteristik atau fluktuasi

perekonomian, menjadi suatu pilihan yang strategis. Untuk kasus perekonomian yang sedang

mengalami masa transisi struktural dan kelembagaan ekonomi yang panjang dengan fluktuasi

indikator ekonomi yang cukup tinggi seperti Indonesia, aidah keoptimalan tersebut seharusnya

dirumuskan dalam disain yang merepresentasikan baik respon kebijakan jangka panjang maupun

jangka pendek, maupun keberadaan shocks spesifik dalam perekonomian, yang pada dasarnya

tercermin dalam suatu ≈State-Contingent rule∆, suatu konsep mendasar yang belum

mendapatkan perhatian memadai dalam riset kebijakan moneter selama ini.

II.2. Model

Pengembangan model keseimbangan umum dalam menerangkan keterkaitan di antara

beberapa variabel makro utama, termasuk sasaran akhir dan sasaran operasional kebijakan,

termasuk pengidentifikasian lag kebijakan, dilakukan melalui pengembangan model makro

stuktural jangka panjang, yang dirumuskan dalam Structural Cointegrating Vector

Page 15: Bemp April 2008

309Respon Kebijakan Moneter yang Optimal di Indonesia: The State-Contingent Rule?

Autoregression (VAR) yang dikembangkan oleh Garratt et al (1998). Dengan menggunakan

strategi tersebut, selain didapatkan statistik yang lebih realistik secara teoritis, juga dapat

dikaji karakteristik keterkaitan jangka panjang yang sesuai dengan landasan teoritis ala model

dinamis keseimbangan umum (dynamic general equilibrium models).5 Dalam kaitan ini, untuk

kasus Indonesia, sebagaimana yang dilakukan oleh Solikin (2005), terdapat empat persamaan

keseimbangan jangka panjang yang dapat merepresentasikan keterkaitan antara variabel

ekonomi makro utama, khususnya variabel sasaran operasional dan sasaran akhir kebijakan,

yaitu:

(i) Hubungan kesimbangan arbitrasi pasar barang (Purchasing Power Parity - PPP)

(ii) Sintesa Okun»s Law dan hubungan keseimbangan pasar barang (Employment Determination

Equilibrium - EDE)

(iii) Hubungan keseimbangan pasar uang (Money Market Equilibrium - MME)

(iv) Hubungan paritas suku bunga (Interest Rate Parity - IRP)

Berdasarkan paparan landasan teoritis beberapa model keseimbangan jangka panjang

di atas, maka formulasi dari ≈core model∆ keseimbangan jangka panjang untuk tujuan pengujian

empiris yang diajukan adalah:

pt √ p*t √ et = a10 + a11 t + ξ1,t+1 (II.1)

nt = a20+ a21 t + β22 (rt √ pt) + β21 yt + ξ2,t+1 (II.2)

mt √ pt = a30+ a31t + β33 rt +β35 yt + ξ3,t+1 (II.3)

rt √ r*t = a40+ ξ4,t+1 (II.4)

Dari bangun model di atas, vektor error term (reduced form) dapat dituliskan sebagai:

ξt = β» zt-1 √ ( aaaaa0 √ aaaaa1 ) √ a1t , (II.5)

dimana:

zzzzzt = (rt , pt, yt , nt , p*t , et , mt , st, r*t )»,

rt : suku bunga nominal.

pt : indeks harga barang domestik.

yt : output riil.

nt : kesempatan (lapangan) kerja.

5 Sebagaimana bangun model umumnya yang memperhitungkan mekanisme ≈error corection∆ dalam sistem, maka sistem permodelanstruktural cointegrating VAR ini juga menekankan adanya mekanisme penyesuaian dinamis jangka pendek dari keterkaitan antarvariabel dengan mengacu pada kondisi keseimbangan jangka panjang dalam sistem. Dengan demikian, bangun sistem permodelanpada dasarnya diarahkan untuk dapat menangkap keterkaitan jangka panjang antar-variabel yang konsisten dengan landasan teori(theory consistent) dan mempunyai interpretasi ekonomi yang jelas, dengan interaksi dinamis jangka pendek antar variabel yangsecara fleksibel dapat ditaksir dengan menggunakan kerangka model VAR.

Page 16: Bemp April 2008

310 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

p*t : indeks harga barang internasional.

et : nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang internasional (US$).

mt : besaran moneter nominal.

st : indeks harga saham.

r*t : suku bunga internasional.

Sementara itu,

aaaaa0 = (a10, a20 , a30 , a40)» , aaaaa1 = (a11, a21 , a31 )», ξξξξξt = (ξ1t, ξ2t , ξ3t , ξ4t)», dan

(II.5)»

Dalam permodelan dinamis jangka pendek, penyimpangan terhadap hubungan jangka panjang,

ξt , dapat diaproksimasi dengan menggunakan fungsi linier dari sejumlah (finite) perubahan

dari nilai masa lalu dari zzzzzt-1. Dengan demikian, strategi permodelan yang digunakan adalah

memperhitungkan ξt dalam error correction model:

(II.6)

dimana bbbbb adalah vektor 4x1 dari intercept, α adalah matrik 4x4 dari koefisien error correction

(juga dikenal sebagai the loading coefficient matrix), {ΓΓΓΓΓi , i=1,...,s-1} adalah matrik 4x9 dari

koefisien jangka pendek, uuuuut adalah vektor 9x1 dari disturbances yang diasumsikan IID(0,Σ),

dengan Σ = (σij) adalah matrik positive definite. Dengan menggunakan persamaan (4.4),

didapatkan:

(II.7)

, dimana c c c c c = bbbbb + α (a (a (a (a (a1 √ aaaaa0 ) dan ξt = βββββ» zzzzzt-1 adalah error correction terms. Dilihat dari

konstruksinya, spesifikasi permodelan di atas mengandung prediksi jangka panjang dari teori

ekonomi, berbeda dengan pendekatan yang didasarkan pada unrestricted VAR yang

mengasumsikan adanya sifat keterkaitan jangka panjang secara ≈tersamar∆.

β' =0 1 0 0 -1 -1 0 0 0

-β22 β22 -β21 1 0 0 0 0 0

-β33 -1 -β35 0 0 0 1 0 0

-100000001

∆zt = b α ξt + Σs-1

i=1

Γi ∆zt-i + ut

∆zt = c + α (a1 t - β' zt-1) + Σs-1

i=1

Γi ∆zt-i + ut

Page 17: Bemp April 2008

311Respon Kebijakan Moneter yang Optimal di Indonesia: The State-Contingent Rule?

II.3. Pengidentifikasian Shocks Kebijakan Moneter

Strategi untuk asumsi pengidentifikasian shocks kebijakan moneter dalam penelitian ini

merupakan feedback rule or reaction function dari otoritas moneter, yaitu suatu rule yang

mengkaitkan respon kebijakan otoritas moneter dengan kondisi perekonomian. Dengan

demikian, asumsi yang diperlukan (necessary assumptions) umumnya meliputi asumsi bentuk

fungsional, asumsi mengenai variabel yang diperhitungkan oleh otoritas moneter dalam

penetapan instrumen dan kerangka oparasional, dan asumsi mengenai apa instrumen atau

sasaran operasional itu sendiri. Selain itu, asumsi yang harus diacu adalah asumsi mengenai

sifat dari keterkaitan antara kebijakan moneter dengan variabel-variabel dalam feedback rule.

Berkaitan dengan hal tersebut, banyak pendapat yang menyatakan bahwa fraksi yang cukup

besar dari variasi langkah otoritas moneter merefleksikan respon yang sistematis terhadap kondisi

ekonomi. Dalam praktek ditemukan fakta bahwa tidak semua variasi dari langkah otoritas

moneter merefleksikan respon yang sistematis terhadap kondisi ekonomi. Dalam kaitan ini,

variasi yang tidak dapat diperhitungkan tersebut secara formal dikenal sebagai shocks kebijakan

moneter.

Sebagaimana pendekatan-pendekatan yang lazim digunakan, misalnya oleh Sims (1992),

Bernanke et al. (1999), dan Garratt et al. (1998), diasumsikan bahwa shocks kebijakan moneter

ditaksir sebagai komponen yang tidak sistematis (non-systematic component) dari perubahan

perilaku sasaran operasional atau instrumen kebijakan. Dengan demikian, komponen yang

sitematis (systematic component) dari kebijakan moneter dapat diturunkan sebagai solusi

problem optimisasi otoritas moneter. Dalam penelitian ini akan digunakan beberapa indikator

sasaran operasional kebijakan moneter, yaitu suku bunga (price-based approach). Selain itu,

penting pula untuk melihat peranan variabel operasional lain, yaitu nilai tukar dan uang primer

(quantity-based approach), walaupun terdapat kecenderungan bagi otoritas moneter untuk

meninggalkan penggunaanya.

Analogi dengan pendekatan Garratt et al, problem optimisasi yang ditetapkan adalah

minimisasi fungsi kerugian (loss function) otoritas moneter yang memperhitungkan keberadaan

sasaran akhir dan sasaran operasional atau instrumen kebijakan moneter secara lebih umum,

yaitu:

(II.8)

, dimana Ψt-1 adalah information set dari otoritas moneter pada akhir periode t-1 dan C C C C C (wwwwwt, rt)

adalah fungsi kerugian kuadratik:

(II.9)

Minrt {E [C (wt, rt ) t-1 ] }Ψ

C (wt,rt ) =1/2{ (wt- wtt )‘ Q(wt- wt

t ) + θ (rt - rt-1)2 }

Page 18: Bemp April 2008

312 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

, dimana wwwwwt = (pt yt nt)« dan wwwwwtt = (pt

t ytt n

tt)« adalah matrik variabel-variabel indikator sasaran

akhir (target variables), dan masing-masing tingkat yang diharapkan (desired values), yang

diasumsikan mempunyai derajad itegrasi satu, I(1). Fungsi tujuan tersebut dapat pula dituliskan

dalam bentuk variabel stasioner, yaitu:

(II.10)

QQQQQ adalah matrik 3 x 3 yang memperhitungkan preferensi jangka pendek bank sentral dalam

pencapaian sasaran akhir kebijakan moneter, yaitu stabilisasi harga, output riil, dan kesempatan

kerja. 6 Selanjutnya, term terakhir dimaksudkan untuk menangkap adanya biaya penyesuaian

(cost of adjustments) dari penggunaan sasaran operasional atau instumen kebijakan (policy

instrument), rt. 7

Selanjutnya, komponen yang sistematis dari suatu respon kebijakan moneter, ,

ditentukan dengan meminimumkan E{CCCCC [(∆wwwwwt, ∆rt) | Ψt-1]} dengan memperhitungkan adanya

≈common knowledge∆ mengenai keterkaitan antara target variable, w w w w wt, dengan policy

instrument, rt , yang dapat diturunkan sebagai sub-sistem dari suatu model umum struktural

error correction model, sebagai berikut:

(II.11)

dimana: ∏ww , ∏wr , ∏wξ , ∏i,wz, dan uuuuut,ww adalah matrik parameter sistem persamaan reduced

form yang mengkaitkan target variables dengan policy instruments.

Dari First-order condition dari minimisasi persamaan (9) diperoleh:

(II.12)

, dimana:

Secara sederhana, bagian sebelah kiri persamaan (12) dapat dijabarkan sebagai E[∆rt |Ψt-1] =

E[rt - rt-1 |Ψt-1] = E[rt |Ψt-1] √ E[rt-1|Ψt-1] = rst - rt-1. Dengan pemahaman bahwa komponen yang

sistematis dari suatu respon kebijakan moneter adalah, maka feedback rule atau reaction

function diperoleh sebagai berikut:

∆E[ t β' zt-1) +r t-1] = ϕ0 + ϕ 1‘ (a t -i-1Σs-1

ϕ‘i, 2 ∆zt-iΨ

C (wt, rt )= 1/2{ ∆( wt - ∆wt )‘ Q ∆wt - ∆wt ) + θ )2 }∆( ( rt

6 Dalam formulasi umum persamaan (II.10), dimungkinkan adanya fleksibilitas dalam penetapan sasaran akhir kebijakan moneter,yang tidak hanya terbatas merujuk pada adanya ≈trade-off∆ jangka pendek antara perkembangan harga dan output, namun jugaaspek lainnya seperti peningkatan kesempatan kerja. Dengan demikian terjadi peningkatan dimensi matrik preferensi, QQQQQ, dan perubahanformulasi fungsi kerugian, tidak seperti formulasi pada umumnya.

7 Sebagaimana pula dalam kajian yang dilakukan oleh Svensson (1997).

s

tr

∆ t β' zt-1) += 1 t -i-1Σs-1

∆zt-iΠw ww +Πwr ∆ tr +Πwξ (a Πi, wz + ut, ww

Page 19: Bemp April 2008

313Respon Kebijakan Moneter yang Optimal di Indonesia: The State-Contingent Rule?

(II.13)

Sebagaimana diasumsikan sebelumnya bahwa shocks kebijakan moneter , εrt , ditaksir

sebagai komponen yang tidak sistematis dari respon kebijakan moneter. Dengan kata lain,

shocks kebijakan moneter tersebut dapat didefinisikan sebagai perbedaan antara perilaku

sasaran operasional atau instrumen kebijakan yang terjadi/aktual, rt , dengan perilaku komponen

yang sistematis dari suatu respon kebijakan moneter, rst , atau dapat dituliskan sebagai:

εrt = rt - rst (II.14)

Dengan menggunakan (II.13) dan (II.14), diperoleh keterkaitan struktural untuk persamaan

perilaku instrumen yang konsisten dengan karakteristik jangka panjang dari model strutural

Cointegrating Vector Autoregression, sebagaimana persamaan (7), yaitu:

(II.15)

II.4. Perumusan ≈The State-Contingent rule∆

Perumusan respon kebijakan moneter di Indonesia disusun dengan jalan mendisain suatu

sintesis yang mengakomodir perkembangan instrumen/sasaran operasional berdasarkan suatu

rule si satu sisi dan pola penyimpangannya ≈yang optimal∆ di sisi lain dalam hal otoritas moneter

merepons suatu shocks dalam perekonomian dari waktu ke waktu. Pertimbangan tersebut

sangat relevan apabila dkaitkan dengan karakteristik perekonomian Indonesia, terutama terkait

dengan perubahan struktural dan fluktuasi jangka pendek variabel-variabel ekonomi makro.

Variasi pengembangan tersebut mengarah pada perumusan ≈State-Contingent rule∆

dalam bentuk ≈error correcting rules∆. Walaupun sedikit lebih kompleks dari bentuk rule

pada umumnya, secara teknis, paling tidak terdapat tiga alasan yang melatarbelakangi perlunya

mempertimbangkan pola tersebut, yaitu:

(i) Perkembangan variabel yang terkait dengan pola hubungan dalam suatu rule umumnya

bersifat non-stasioner. Dengan demikian, dengan asumsi terdapatnya hubungan

keseimbangan jangka panjang di antara variabel-variabel tersebut, maka dimungkinkan

pola dinamis dari suatu instrumen yang berupa respon dari terjadinya fluktuasi dalam jangka

pendek di satu sisi, serta respon terhadap adanya penyimpangan terhadap keseimbangan

jangka panjangnya di sisi lain.

(ii) Hubungan keseimbangan jangka panjang yang diperhitungkan dalam sistem pada dasarnya

selaras dengan hubungan keseimbangan dalam sistem permodelan yang digunakan secara

umum dalam analisis kebijakan, yaitu persamaan sintesa Okun»s law (yang mengaitkan

rst - rt-1 = ϕ0 + ϕ‘1 1(a t - β' zt-1) +

i-1Σs-1

ϕ‘i, 2 ∆zt-i

t∆r = ϕ0 + ϕ‘1 1(a t - β' zt-1) +i-1Σs-1

ϕ‘i, 2 ∆zt-i + εrt

Page 20: Bemp April 2008

314 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

Kurva Phillips dan penawaran agregat) dan Kurva IS, persamaan Kurva LM, dan persamaan

perilaku yang merepresentasikan keterkaitan antara nilai tukar dan pembentukan harga

domestik.

(iii) Dalam disain umumnya, rule yang dipaparkan sebelumnya cenderung bersifat telalu restriktif,

yaitu bahwa respon kebijakan hanya didasarkan pada perkembangan beberapa variabel

saja. Dengan pendekatan alternatif ini dimungkinkan dilakukan pengujian spesifikasi dan

restriksi permodelan lebih lanjut. Dengan demikian, disarankan untuk mengadopsi policy

rule yang lebih umum yang memperhitungkan faktor-faktor atau informasi lain yang terkait

dengan pembentukan perilaku target variables.

Berdasarkan strategi pengidentifikasian shocks kebijakan moneter serta penurunan

error correction rule pada model makro structural cointegration VAR sebelumnya, maka ≈State-

Contingent rule∆ dengan bentuk ≈error correcting rule∆ dapat diturunkan berdasarkan

penurunan persamaan (15), persamaan perilaku respon kebijakan:

(II.15)

Selanjutnya, untuk mengakomodir pengaruh shocks spesifik dalam perilaku respon kebijakan,

ditambahkan term yang secara teknis direfleksikan oleh respon perilaku sasaran operasional

terhadap impuls yang ditimbulkan oleh structural innovations tertentu, . Dengan

mengakomodir konsep generalized impulse response function, 8 maka state-contingent rule

dapat diformulasikan sebagai:

(II.15)*

t∆r = ϕ0 + ϕ‘1 1(a t - β' zt-1) +i-1Σs-1

ϕ‘i, 2 ∆zt-i + εrt

)(tj

εψ

r*t = r*

t-1 +ϕ0 +

'ϕ11

ϕ21

ϕ31

ϕ41

a21t -

a31t -

-

-

((

a11t -

β

β22

33

r

rt-1

t-1

+

(pt-1 -

-

β22

p

pt-1

t-1

β35 y t-1

* - et-1 )- β21y t-1 + nt-1 )

)m+ t-1pt-1-

a11t - (rt-1 - r*t-1 )

+i-1Σs-1 ϕ ∆ t-iir

+ϕ ie∆

r

e

+ϕip

t-i +ϕ im

∆pt-i

∆mt-i

+ϕiy

+

∆y t-i

ϕis∆s t-i

+ϕiu∆n t-i

+ ϕ+ is ∆r*

+ *ϕip

t-i

∆p*t-i

+Ψ j ( t )ε

8 Analisis dinamis model VAR umumnya dilakukan dengan menerapkan «orthogonalized» impulse response, dimana sebelum dilakukananalisis impulse response dan variance decompositions, perilaku shocks pada model VAR diortogonalisasi dengan menggunakanCholesky decomposition. Pendekatan ini mengandung kelemahan karena sangat bergantung pada urutan variabel dalam sistemmodel VAR. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Pesaran and Shin (1997) mengajukan analisis «generalized» impulse response,suatu pendekatan yang tidak memerlukan pengortogonalisaian shocks dan tidak terpengaruh oleh urutan variabel dalam sistemmodel VAR. Dalam kaitan ini, untuk untuk suatu matrik error variance yang non-diagonal, «orthogonalized» dan «generalized» impulseresponse memiliki kesamaan hanya pada kasus pengenaan impulse reseponse dari shocks pada persamaan pertama dalam sistemmodel VAR.

Page 21: Bemp April 2008

315Respon Kebijakan Moneter yang Optimal di Indonesia: The State-Contingent Rule?

Dari persamaan (II.15)* dapat dilihat beberapa karakteristik respon kebijakan, yaitu:

(i) Bagian pertama dari struktur feedback pada persamaan tersebut (yang diekspresikan oleh

variabel dalam level) pada dasarnya selaras dengan pola feedback dalam simple rules pada

umumnya. Apabila alternatif instrumen/sasaran operasional yang dipilih adalah suku bunga,

maka dihasilkan salah satu variasi dari bentuk umum Taylor rule.

(ii) Bagian kedua (yang diekspresikan oleh variabel dalam first-different) mencerminkan struktur

feedback berupa respon dinamis jangka pendek dalam rangka penyesuaian menuju

keseimbangan jangka panjang (error correcting mechanism).

(iii) Bagian terakhir, ψj ( ε

t ), pada dasarnya menangkap pengaruh shocks spesifik yang bersumber

dari keterkaitan atau fungsi dari komponen yang tidak sistematis pada perilaku respon

kebijakan (dalam rentang periode ke depan), yaitu structural innovations yang bersumber

dari perilaku variabel tertentu dalam sistem, misalnya expenditure (demand) shocks, labor

market (supply) shocks, dan external shocks.

Pola feedback dalam persamaan tersebut dapat dianggap sebagai yang pola rule yang

konsisten dengan karakteristik jangka panjang dari model strutural berdasarkan konsep

keoptimalan dalam analisis keseimbangan umum dinamis. Selain itu, perilaku instrumen

berdasarkan persamaan tersebut dihipotesiskan sesuai dengan karakteristik ekonomi serta

kerangka operasional kebijakan moneter di Indonesia.

Selain mengakomodir manfaat dari penggunaan mekanisme ≈error correction∆ dari suatu

rules, perumusan strategi tersebut mempunyai beberapa keunggulan lain, antara lain:

(i) Mengakomodir konsep keoptimalan serta kesederhanaan penaksiran secara bersama-sama

dalam suatu permodelan ekonomi yang bersifat ≈satelite model∆ dengan ukuran yang tidak

terlalu besar.

(ii) Dengan menggunakan analisis generalized impulse response function yang mengatasi

permasalahan ordering dalam analisis VAR pada umumnya, kinerja rules ini dapat dianalisis

dengan derajat fleksibilitas yang tinggi dalam mengakomodir pola keterkaitan antar variabel

ekonomi makro diantara pilihan/kombinasi strategi penetapan sasaran operasional dan

sasaran akhir kebijakan moneter.

(iii) Perilaku sasaran operasional pada persamaan (15)* sekaligus mencerminkan respon kebijakan

moneter yang sistematis dan non-sistematis. Dengan demikian, pola ini sejalan dengan

pola ≈State-Contingent rule∆, yaitu alternatif pola yang sebaiknya dianut seperti yang

dikemukakan oleh Keynes, sebagaimana disebutkan dalam Boughton (2002) dan Muchlinski

(2002)) dan Fischer (1996), yaitu tidak hanya mengacu pada kondisi keseimbangan jangka

panjang, namun juga respon dinamis jangka pendek dan shocks spesifik yang muncul dari

interaksi variabel dalam sistem.

Page 22: Bemp April 2008

316 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

III. METODOLOGI

Metode estimasi yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah Structural Cointegrating

Vector Autoregressive (SCVAR), merujuk pada pendekatan yang dilakukan oleh Pesaran dan

Shin (1997) dan Pesaran, Shin, dan Smith (1998). Penaksiran parameter struktural dengan

prosedur Maximum Likelihood Estimation (MLE) diaplikasikan terhadap data set data triwulanan

dengan rentang waktu 1974.1 √ 2003.4. Pengaruh perubahan struktural khususnya dampak

dari krisis ekonomi 1997 akan diidentifikasi sejak triwulan ketiga 1997 sampai triwulan terakhir

2003.

Data yang diidentifikasi dalam penelitian ini meliputi: (i) inflasi domestik, yang diukur

dengan menggunakan Indeks Harga Konsumen tahun dasar 1996 (IHK); (ii) tingkat output ,

yang diukur dengan menggunakan angka Produk Domestik Bruto tahun dasar 1993 (Y); (iii)

kesempatan kerja (N), yang diukur dengan menggunakan angka kesempatan kerja menurut

definisi Badan Pusat Statistik (BPS); (iv) besaran moneter, yang diukur dengan menggunakan

data besaran moneter dalam artian sempit, yaitu uang primer (M0); (v) suku bunga, yang

diukur dengan menggunakan indikator suku bunga kebijakan, yaitu suku bunga Sertifikat Bank

Indonesia, dengan jangka waktu 3 bulan (RSBI3); (vi) nilai tukar, yang diukur dengan

menggunakan nilai tukar mata uang rupiah terhadap US$ (KURS); (vii) indeks harga saham,

yang diukur dengan menggunakan angka Indeks Harga Saham Gabungan tahun dasar 1982

(IHSG); (viii) inflasi luar negeri, yang diukur dengan menggunakan Indeks Harga Konsumen

perekonomian Amerika Serikat tahun dasar 1996 (IHKUS); dan (ix) suku bunga luar negeri,

yang diukur dengan menggunakan suku bunga London Interbank Over-Rates jangka waktu 3

bulan (RLIB3).

IV. HASIL DAN ANALISIS

Merujuk pada metode penaksiran yang diuraikan pada Solikin (2005), penaksiran model

makro yang menunjukkan Long-Run Equilbrium Relationships dan diformulasikan dalam

persamaan (1) √ (4) memberikan hasil sebagai berikut.9

(1) Purchasing Power Parity (PPP):

LIHK - LIHKUS - LKURS = -7.411 - 0.009*Trend + LIHK - LIHKUS - LKURS = -7.411 - 0.009*Trend + LIHK - LIHKUS - LKURS = -7.411 - 0.009*Trend + LIHK - LIHKUS - LKURS = -7.411 - 0.009*Trend + LIHK - LIHKUS - LKURS = -7.411 - 0.009*Trend + ξ1,t+11,t+11,t+11,t+11,t+1

(2) Employment Determination Equilibrium (EDE):

LN = 7.286 - 0.019*RSBI + 0.220*LIHK + 0.300*LY - 0.727E-3*Trend + LN = 7.286 - 0.019*RSBI + 0.220*LIHK + 0.300*LY - 0.727E-3*Trend + LN = 7.286 - 0.019*RSBI + 0.220*LIHK + 0.300*LY - 0.727E-3*Trend + LN = 7.286 - 0.019*RSBI + 0.220*LIHK + 0.300*LY - 0.727E-3*Trend + LN = 7.286 - 0.019*RSBI + 0.220*LIHK + 0.300*LY - 0.727E-3*Trend + ξ2,t+12,t+12,t+12,t+12,t+1

(3) Money Market Equilibrium (MME):

LM0 - LIHK = -11.428 - 0.018*RSBI + 1.743*LY - 0.419*LIHSG + LM0 - LIHK = -11.428 - 0.018*RSBI + 1.743*LY - 0.419*LIHSG + LM0 - LIHK = -11.428 - 0.018*RSBI + 1.743*LY - 0.419*LIHSG + LM0 - LIHK = -11.428 - 0.018*RSBI + 1.743*LY - 0.419*LIHSG + LM0 - LIHK = -11.428 - 0.018*RSBI + 1.743*LY - 0.419*LIHSG + ξ3,t+13,t+13,t+13,t+13,t+1

9 Notasi L di depan nama variabel merujuk pada transformasi logaritma natural (ln).

Page 23: Bemp April 2008

317Respon Kebijakan Moneter yang Optimal di Indonesia: The State-Contingent Rule?

(4) Interest Rate Parity (IRP):

RSBI3 √ RLIB3 = 8.600 + RSBI3 √ RLIB3 = 8.600 + RSBI3 √ RLIB3 = 8.600 + RSBI3 √ RLIB3 = 8.600 + RSBI3 √ RLIB3 = 8.600 + ξ4,t+14,t+14,t+14,t+14,t+1

Dapat dikemukakan bahwa koefisien negatif dari unsur trend pada persamaan (II.1)

menunjukkan bahwa dalam jangka panjang perilaku nilai tukar rupiah cenderung depresiatif

terhadap US$. Dari persamaan (II.2) diperlihatkan bahwa dalam jangka panjang, perkembangan

Tabel II.1.Rangkuman Hasil Penaksiran Model (Reduced Form) Vector Error Correcting Model (VECM)

D(RSBI3) 0,74 PPP ( √ ), ** Kecenderungan ke arah ketidakstabilanEDE ( + ) terlihat padaperiode pasca krisis ekonomiMME ( √ ) 1997, tapi masih dalam batasIRP ( √ ), *** kisaran kestabilan.

D(LIHK) 0,64 PPP ( + ) Walaupun masih dalam batas kisaranEDE ( √ ) kestabilan, perilaku persamaan cender-ungMME ( + ), */- rentan terhadap gejolak ekonomi.IRP ( + ), */-

D(LY) 0,33 PPP ( + ) Walaupun masih dalam batas kisaranEDE ( √ ), ** kestabilan, perilaku persamaan cender-ungMME ( + ), * rentan terhadap gejolak ekonomi.IRP ( + )

D(N) 0,51 PPP ( √ ) Walaupun masih dalam batas kisaranEDE ( √ ), ** kestabilan, perilaku persamaan cender-ungMME ( + ), ** rentan terhadap gejolak ekonomi.IRP ( + ), */-

D(LIHKUS) 0,57 PPP ( √ )EDE ( √ ), *** -MME ( + ), **IRP ( + )

D(LKURS) 0,25 PPP ( + ), */- Sangat stabil sebelum 1997, danEDE ( √ ) cenderung bergejolak pada periodeMME ( + ) pasca krisis ekonomi 1997.IRP ( + )

D(LM0) 0,18 PPP ( + ), */- Kecenderungan ke arah ketidakstabilanEDE ( + ) terlihat sejak awal 1990-anMME ( √ ) (fenomena tingginya capital inflow),IRP ( √ ) tapi masih dalam batas kisaran kestabilan.

D(LIHSG) 0,25 PPP ( √ ) Kecenderungan ke arah ketidakstabilanEDE ( + ), */- terlihat sejak awal 1990-anMME ( √ ), ** (fenomena tingginya capital inflow),IRP ( √ ) tapi masih dalam batas kisaran kestabilan.

D(RLIB3) 0,13 PPP ( √ )EDE ( √ ), * -MME ( + )IRP ( + )

Var. Dependen R2 ECM Terms Perilaku Kestabilan

Keterangan:

Notasi D di depan nama variabel merujuk pada transformasi first difference. Tanda dalam kurung (º) pada kolom keempatmenunjukkan arah pengaruh ECM terms pada masing-masing persamaam reduced VECM. Tanda ***, **, *, */- masing-masing menunjukkan tingkat signifikasi parameter (level of significance) 99%, 95%, 90%, dan 80% (opsional).

Page 24: Bemp April 2008

318 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

harga dan output secara signifikan mempengaruhi penciptaan kesempatan kerja; sementara

pengaruh suku bunga, walaupun secara teoritis mempunyai arah benar (negatif) tidak begitu

signifikan secara statistik. Kecenderungan penurunan kesempatan kerja dalam jangka panjang

tidak terlalu signifikan. Sementara itu, dalam jangka panjang perilaku real money balance (M0)

pada persamaan (II.3) secara signifikan tergantung pada perkembangan output riil dan pasar

modal; sementara suku bunga berpengaruh tidak terlalu signifikan. Yang terakhir, persamaan

(II.4) menunjukkan bahwa dalam jangka panjang perilaku interest rate differential relatif konstan.

Sementara itu, penaksiran model (Reduced Form) Vector Error Correcting Model (VECM).

memberikan hasil yang pada umumnya yang cukup baik, yang tercermin pada beberapa kriteria,

antara lain Goodness of fit (koefisien determinasi, R2) yang cukup tinggi untuk konteks regresi

antar variabel dalam bentuk first difference, adanya respon (penyesuaian) dinamis perkembangan

jangka pendek masing-masing variabel terhadap kondisi keseimbangan jangka panjang (error

correcting term) dalam sistem, dan hasil uji stabilitas parameter berdasarkan cummulative sum

recursive residuals (CUSUM test) menujukkan bahwa secara umum persamaan cukup stabil.

Rangkuman hasil penaksiran disampaikan pada Tabel II.1.10

IV.1. Penaksiran Respon Kebijakan Moneter: State-Contingent rule

Dari penaksiran sistem permodelan, masing-masing persamaan policy rule dalam bentuk

error correction model yang dihasilkan adalah sebagi berikut:

a. Policy rule berdasarkan perilaku suku bunga (Interest rate rule):

D(RSBI3) = -38,05 √ 4,74*ECM1(-1) √ 2,22*ECM2(-1) √ 1,83*ECM3(-1) √ 0,25*ECM4(-1) +

0,22*D(RSBI3(-1)) + 23,69*D(LIHK(-1)) √ 16,09*D(LY(-1)) √ 14,29*D(LN(-1)) +

15,44*D(LKURS(-1)) √ 99,76*D(LIHKUS(-1)) + 10,83*D(LM0(-1)) √ 0,16*D(LIHSG(-1)) +

0,14*D(RLIB3(-1))

b. Policy rule berdasarkan perilaku uang primer (Monetary base rule):

D(LM0) = 1,38 + 0,08*ECM1(-1) √ 0,10*ECM2(-1) + 0,01*ECM3(-1) + 0,002*ECM4(-1) √

7,83e-05*D(RSBI3(-1)) √ 0,01*D(LIHK(-1)) + 0,25*D(LY(-1)) √ 0,51*D(LN(-1)) +

0,20*D(LKURS(-1)) + 1,90*D(LIHKUS(-1)) √ 0,02*D(LM0(-1)) √ 0,02*D(LIHSG(-1)) +

0,001*D(RLIB3(-1))

Keterangan: D(º)menunjukkan ekspresi variabel dalam bentuk first difference. ECM[1 s.d. 4] merupakan error correction term. Lº merupakan ekspresi variabel dalam bentuk logaritma natural.

10 Detail hasil penaksiran dan analisis model dapat dilihat di Solikin (2005).

Page 25: Bemp April 2008

319Respon Kebijakan Moneter yang Optimal di Indonesia: The State-Contingent Rule?

Grafik II.1.Interest rate rule dan stance kebijakan moneter

0

10

20

30

40

50

60

70

80 82 84 86 88 90 92 94 96 98 00 02

%

R S B I3 a k tu a l R S B I3 r ule

-10

-5

0

5

10

15

20

25

80 82 84 86 88 90 92 94 96 98 00 02

M o ne ta ry S ta nc e 1

%

A r e a k e b i j a ka n te r l a l u ke ta t

0,5 SD1,0 SD

Secara grafis, perilaku masing-masing policy rule tersebut, termasuk konsekuensinya pada

stance kebijakan moneter ditunjukkan pada Grafik II.1 dan Grafik II.2 berikut.

Page 26: Bemp April 2008

320 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

Grafik II.2.Monetary base rule dan stance kebijakan moneter

-10

0

10

20

30

40

50

60

70

80

80 82 84 86 88 90 92 94 96 98 00 02

M 0 Y a ktu a l M 0 Y ru le

%

80 82 84 86 88 90 92 94 96 98 00 02

M o n e t a r y S t a n c e 2

%

A r e a ke b i ja k a n te r l a l u l o n g g a r

0.5 SD1.0 SD

-20

-10

0

10

20

30

40

Keterangan: Indikator stance kebijakan moneter (monetary stance) padagrafik panel bawah merupakan selisih antara perkembangan indikatorsasaran operasional aktual terhadap optimal rule-nya. Standard deviasi(SD) dari kisaran (+ 0.5 √ 1 SD) dihitung berdasarkan centered movingaverage (7 kuartal).

Perlu kemukakan bahwa perilaku tersebut pada dasarnya belum memperhitungkan

pengaruh shock spesifik, karena pada dasarnya pengaruh tersebut dapat diperlakukan dengan

cukup fleksibel, tergantung pada jenis dan sumber dari structural innovation yang terjadi. Dalam

analisis ini, salah satu fenomena menarik yang dapat diamati adalah menyangkut perubahan

perilaku respon kebijakan moneter sebagai dengan adanya shocks dari sisi eksternal sebagai

akibat gejolak nilai tukar, misalnya dalam masa krisis ekonomi yang dimulai pada kuartal ke-3

tahun 1997. Dengan demikian, perilaku respon kebijakan mengalami perubahan dalam besaran

yang proposional dengan besarnya shocks spesifik yang oleh structural innovations dari

persamaan perilaku nilai tukar. Lihat Grafik II.3.

Page 27: Bemp April 2008

321Respon Kebijakan Moneter yang Optimal di Indonesia: The State-Contingent Rule?

Grafik II.3. Policy Rule dan Stance Kebijakan Moneterdengan Shocks Spesifik

Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa pengaruh shocks nilai tukar tersebut pada perilaku

sasaran operasional suku bunga cukup signifikan pada 1,5 tahun pertama periode krisis, dimana

pengaruh maksimal terjadi setelah 3 kuartal. Selanjutnya, pengaruh tersebut mengecil dan

cenderung bersifat netral dalam jangka mengengah-panjang. Sementara itu, pengaruh shocks

nilai tukar pada perikau sasaran operasional (pertumbuhan) uang primer juga cukup signifikan

pada 1,5 tahun pertama periode krisis, dimana pengaruh tersebut mencapai maksimal pada

kuartal kedua, dan selanjutnya berkurang namun bersifat permanen dalam jangka menengah-

panjang. Walaupun cukup signifikan, dalam kedua kasus tersebut pengaruh shocks nilai tukar

tidak memberikan perubahan yang berarti pada stance kebijakan moneter secara umum, apakah

terlalu ketat atau longgar. Hal ini dikarenakan pada 2 tahun pertama periode krisis, deviasi

perilaku respon kebijakan aktual terhadap perilaku respon kebijakan berdasarkan optimal policy

rate sangat besar.

0

10

20

30

40

50

95 96 97 98 99 00 01 02 03

shocks RSBI3 rule RSBI3 rule +

%

0

10

20

30

40

50

95 96 97 98 99 00 01 02 03

shocks M0Y rule M0Y rule +

%

Page 28: Bemp April 2008

322 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

IV.2. Evaluasi Penerapan Respon Kebijakan Moneter

Arah umum stance kebijakan moneter di Indonesia pada periode 1980 √ 2003 akan

diamati berdasarkan periodisasi pelaksanaan kebijakan moneter dalam lebih dari dua dasawasa

terakhir. Dalam kaitan ini, diidentifikasikan 9 periode pelaksanaan kebijakan moneter sejak

awal tahun 1980-an, yang didasarkan pada perubahan stance kebijakan moneter sebagai respon

dari perubahan struktural dalam perekonomian. Identifikasi perubahan struktural tersebut

didasarkan pada perbedaan perilaku yang signifikan antara perkembangan output nominal

dan output riil, dimana perbedaan yang terjadi pada dasarnya mencerminkan perubahan kondisi

fundamental perekonomian yang disertai dengan perkembangan di sektor keuangan, termasuk

diantaranya reformasi struktural dan krisis keuangan. Lihat Grafik II.4.

Sementara itu, berdasarkan perumusan respon kebijakan moneter yang optimal dalam

bentuk «State-Contingent rule», evaluasi kinerja kebijakan moneter dalam merespon

perkembangan yang terjadi menunjukkan kekurangoptimalan respon kebijakan moneter dalam

beberapa periode, baik yang terkait dengan terlalu ketat/longgar maupun keterlambatan respon.

Kekurangoptimalan respon kebijakan moneter tersebut diamati melalui pembandingan respon

kebijakan monter, yang tercermin dari perkembangan suku bunga SBI dan M0, secara aktual,

dengan respon kebijakan yang optimal yang ditaksir dari perilaku policy rule. Perbedaaan dari

perilaku tersebut merefleksikan stance kebijakan moneter, apakah cenderung terlalu ketat atau

longgar, dengan memberikan batas toleransi berupa kisaran + 0,5 √ 1,0 simpangan baku dari

masing-masing perilaku respon kebijakan moneter. Penetapan kisaran tersebut dilakukan dengan

Grafik II.4. Pertumbuhan Tahunan PDB Nominal dan Riil(Centered 7-Quarter Moving Average)

80 82 84 86 88 90 92 94 96 98 00 02

%

-10

0

10

20

30

40

50

I II III IV V IV VII VIII IX

PDB NominalPDB Riil

Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah.

Page 29: Bemp April 2008

323Respon Kebijakan Moneter yang Optimal di Indonesia: The State-Contingent Rule?

lebih mempertimbangkan aspek teknis dengan tujuan untuk menangkap kondisi dimana

kebijakan moneter diterapkan dalam kondisi yang cukup ekstrim secara praktis dan dengan

derajad sensitivitas tertentu. Sementara itu, untuk meredam pengaruh fluktuasi data terhadap

besarnya nilai simpangan baku tersebut, simpangan baku tersebut dihitung dengan berdasarkan

data dengan trasformasi centered moving average (7 kuartal).11 Transformasi ini sekaligus

mempunyai dampak berupa peredaman permasalahan yang timbul sebagai akibat adanya

pengukuran variabel yang tidak mempunyai kesetaraan unit.

Berkaitan dengan penetapan batas toleransi tersebut, deviasi respon kebijakan pada

kisaran 0 √ 0,5 simpangan baku dapat dianggap sebagai diviasi yang dapat ditolerir, sehingga

11 Beberapa penulis menggunakan transformasi ≈moving average∆ sebagai tolok ukur untuk menangkap penyimpangan perilakusuatu variable terhadap kecenderungan perilaku normalnya. Sebagai misal, Bernanke and Mihov (1998) menggunakan deviasi dari36-month moving average (normalized) sebagai angka indikator.

12 Respons kebijakan yang sangat ketat tersebut tidak terlepas dari implementasi program stabilisasi untuk mengatasi krisis ekonomiberdasarkan kerjasama antara Pemerintah Indonesia dan IMF pada 1997. Beberapa analisis dan evaluasi atas pelaksanaan programIMF di beberapa negara Asia menunjukkan bahwa stance kebijakan suku bunga yang ditetapkan di beberapa negara pada umumnyaterlalu ketat.

Tabel II.2.Evaluasi Penerapan Respons Kebijakan Moneter

1980 - 1982 Kebijakan moneter sebelum era deregulasi Kecenderungan ketat Kecenderungan ketatdan liberalisasi sektor keuangan

1983 - 1984 Kebijaksanaan moneter untuk meletakkan Cukup optimal Kecenderungan terlalulandasan yang kokoh bagi perkembangan longgar pada 1983.3 -perbankan guna mendukung tujuan 1984.2pemba-ngunan.

1985 - 1987 Kebijakan moneter yang berhati-hati Cukup optimal pada Cukup optimal(discretionary policy) di tengah-tengah 1985/86, tetapi terlalutekanan pada neraca pembayaran. longgar pada 1987

1988 - 1989 Kebijakan moneter ekspansif guna Terlalu longgar Cukup optimal, tetapimendorong kegiatan ekonomi Terlalu ketat pada

1988.4 -1999.31990 - 1992 Kebijakan moneter ketat dan penerapan Terlalu ketat Terlalu longgar pada

prinsip kehati-hatian di bidang perbankan 1990, tetapi terlaluketat pada 1991/92

1993 - 1994 Kebijakan moneter dalam situasi ekonomi Cukup optimal Cukup optimalyang cenderung stabil

1995 - 1997.2 Kebijakan moneter yang cenderung Terlalu ketat Terlalu ketat pada 1995,berhati-hati di tengah tekanan peningkatan dan cukup optimalpermintaan agregat dan inflasi. pada 1996

1997.3 - 1999 Kebijakan moneter dalam periode krisis Terlalu ketat Terlalu longgar pada ekonomi (ekstrim)12 1998 (ekstrim)

2000 - 2003 Kebijakan moneter untuk menciptakan Terlalu longgar pada Cukup optimal padastabilitas guna mendukung proses 2000/01, tetapi cukup 2000/01, tetapi terlalupemulihan ekonomi. optimal pada 2002/03 ketat pada 2002/03

Periode Arah Umum Kebijkan MoneterEvaluasi stance kebijakan berdasarkan

optimal policy rule

Suku Bunga Uang Primer

Page 30: Bemp April 2008

324 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

respon kebijakan dalam kisaran ini dapat dianggap cukup optimal. Sementara itu, deviasi respon

kebijakan pada kisaran 0,5 √ 1,0 simpangan baku dapat dianggap sebagai diviasi yang mengarah

pada kecenderungan ketidakoptimalan (sub-optimal) dari respon kebijakan. Selanjutnya, deviasi

respon kebijakan pada kisaran di atas 1,0 simpangan baku dianggap sebagai divaiasi respon

mengarah pada kondisi ekstrim, yang mengindikasikan ketidakopimalan dengan derajat yang

lebih tinggi (terlalu ketat/longgar). Perubahan kisaran tentunya akan mempengaruhi kondisi

ekstrim yang teridentifikasi.

Dengan membandingkan arah umum kebijakan moneter di satu sisi, serta stance kebijakan

moneter berdasarkan sasaran operasional suku bunga SBI dan uang primer di sisi lain, hasil

evaluasi penerapan respon kebijakan moneter secara umum disampaikan pada Tabel II.2.

Dari Tabel II.2, dapat disimpulkan mengenai beberapa hal. Pertama, episode pelaksanaan

kebijakan moneter umumnya diwarnai oleh penerapan respon kebijakan yang suboptimal dan

reaktif dengan unsur discretion yang cukup dominan. Hal ini tercermin pada adanya

kecenderungan penerapan respon kebijakan yang terlalu ketat/longgar, maupun adanya respon

kebijakan yang cenderung merupakan reaksi dari kondisi yang terjadi secara instan, yang dapat

diinterpretasikan sebagai adanya kekurangkonsistenan kebijakan dari waktu ke waktu. Misalnya,

respon kebijakan dilaksanakan terlalu ketat pada tahun pertama yang dilanjutkan dengan

ekpsansi di tahun-tahun berikutnya.

Kedua, selain adanya ruang gerak pelaksanaan respon kebijakan yang cukup optimal

pada beberapa tahun tertentu, dengan menggunakan kedua sasaran operasional uang primer

dan suku bunga SBI, evaluasi respon pelaksanaan kebijakan pada tahun 1991 dan 1995

menunjukkan hasil yang konsisten, yaitu pelaksanaan respon kebijakan moneter yang terlalu

ketat.

Ketiga, kecuali periode 1993 √ 1994 dan beberapa tahun tertentu dimana kebijakan

moneter dilaksanakan dengan cukup optimal, masing-masing perilaku respon kebijakan

berdasarkan suku bunga dan uang primer cenderung menghasilkan evaluasi stance kebijakan

yang berbeda. Hal ini dimungkinkan antara lain karena adanya perbedaan orientasi dari

penggunaan masing-masing instrumen dan sasaran operasional kebijakan. Misalnya, pada saat

diterapkan Pakto 88, penurunan RR dari 15% ke 2% menyebabkan penurunan uang primer

secara signifikan, sementara di sisi lain, dengan suku bunga pasar yang berlaku ekspansi kredit

perbankan mengalami peningkatan yang tinggi. Sementara itu, pada periode krisis ekonomi

(1997.3 √ 1999) diwarnai oleh dua kejadian. Di satu sisi, kebijakan moneter ketat yang diterapkan

atas rekomendasi IMF, melalui peningkatan suku bunga SBI yang drastis, diharapkan dapat

meredam penurunan nilai tukar rupiah yang semakin cepat dan menjaga kepercayaan

masyarakat pada kinerja sistem keuangan. Di sisi lain, tekanan perlemahan nilai tukar pada

Page 31: Bemp April 2008

325Respon Kebijakan Moneter yang Optimal di Indonesia: The State-Contingent Rule?

neraca keuangan (balance sheet) perusahaan dan bank telah menimbulkan permasalahan utang

sektor swasta yang semakin berat, sehingga dapat memicu krisis kepercayaan masyarakat dan

keterpurukan sektor perbankan lebih jauh, apabila Pemerintah dan Bank Indonesia tidak

melakukan langkah pengamanan berupa pengucuran bantuan likuiditas yang sangat besar.

Keempat, adanya kecederungan penggunaan kedua sasaran operasional uang primer

dan suku bunga SBI bersama-sama secara ≈kompelementif∆, dimana perilaku keduanya bersifat

saling merespon satu sama lain. Sebagai contoh, dalam kondisi terjadi kelebihan likuiditas

sebagi akibat penyaluran bantuan likuiditas dan penarikan dana oleh masyarakat pada masa

awal krisis ekonomi, suku bunga SBI meningkat (ditingkatkan) secara signifikan. Pertanyaan

berikutnya adalah apakah kondisi sebaliknya, bahwa peningkatan suku bunga direspon oleh

peningkatan uang primer? Jawabannya ya. Secara tidak langsung, dalam kasus ini dapat

dicontohkan pada kodisi dimana terjadi offsetting pada pengaruh kebijakan moneter, terutama

pada periode sebelum diterapkannya kebijakan nilai tukar mengambang bebas pada 1997.

Dalam kaitan ini, peningkatan suku bunga SBI yang ditujukan untuk kontraksi moneter

berdampak pada peningkatan perbedaan suku bunga dalam dan luar negeri (interest rate

differential), sehingga berdampak pula pada peningkatan arus modal masuk. Walaupun tidak

terjadi sebagai akibat suatu respon kebijakan moneter secara langsung, pada akhirnya uang

primer akan mengalami peningkatan.

Kelima, adanya keterkaitan erat antara ketidakoptimalan stance kebijakan moneter pada

periode krisis ekonomi (1997.3 √ 1999) dengan fenomena twin crises. 13 Berdasarkan hasil

evaluasi, disimpulkan bahwa dengan menggunakan sasaran operasional suku bunga dan uang

primer, penerapan respon kebijakan moneter tidak hanya mengindikasikan respon kebijakan

yang berlawanan, yaitu terlalu ketat berdasarkan perilaku suku bunga dan terlalu longgar

berdasarkan perilaku uang primer, tetapi juga tidak optimal. Seperti telah dijelaskan sebelumnya,

respon kebijakan yang berlawanan tersebut lebih dikarenakan oleh adanya perbedaan orientasi

kebijakan pada masa krisis. Dengan demikian, kondisi tersebut tidak terkait dengan adanya

permasalahan ketidakkonsistenan stance kebijakan moneter selama masa krisis, namun sangat

terkait dengan kondisi lain, yaitu ketidakoptimalan penerapan respon kebijakan moneter yang

mencapai level ekstrim.

Dalam kaitan ini, dapat dikemukakan bahwa dalam kondisi normal, pengaruh kebijakan

moneter umumnya dapat diarahkan untuk mencapai sasaran yang diinginkan. Kebijakan

13 Kaminsky and Reinhart (1999) mengidentifikasi terjadinya twin crises di negara-negara Amerika Latin dan Asia pada tahun 1990-an dan menyimpulkan bahwa keterkaitan «vicious spiral» antara krisis mata uang (currnecy crises) dan krisis perbankan (bankingcrises). Umumnya, permasalahan di sektor perbankan mendahului terjadinya krisis mata uang, dan selanjutnya krisis mata uangtersebut memperparah permasalahan perbankan, dimana untuk selanjutnya kedua krisis tersebut satu sama lain saling memperparahdampak negatfnya pada perekonomian

Page 32: Bemp April 2008

326 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

moneter ketat melalui peningkatan suku bunga, misalnya, dapat mengurangi tekanan pada

nilai tukar mata uang domestik, mengurangi tekanan inflasi, meredakan krisis kepercayaan,

dan selanjutnya mencegah krisis nilai tukar (currency crises). Namun, dalam kondisi tidak normal,

seperti yang terjadi pada periode 1997.3 √ 1999, kebijakan moneter tersebut dapat menghasilkan

pengaruh sebaliknya yang cenderung tidak optimal. Hal ini terutama apabila dikaitkan dengan

permasalahan kompleks yang muncul secara simultan, tidak hanya tekanan yang berat pada

nilai tukar domestik, tetapi juga terpuruknya sistem perbankan secara keseluruhan (banking

crises) sebagai dampak dari melonjaknya posisi utang swasta dan memburuknya neraca

keuangan bank.

Dalam terjadinya twin crises tersebut, pengaruh kebijakan moneter tidak seperti yang

diharapkan, atau bahkan berbalik arah (Goldfajn and Gupta, 2002). Dalam kondisi dimana

hanya terjadi krisis mata uang, kebijakan moneter ketat mempunyai potensi untuk menstabilkan

nilai tukar dan sektor keuangan. Namun, apabila juga terjadi krisis perbankan maka yang terjadi

adalah kondisi sebaliknya. Dalam situasi yang demikian, keoptimalan respon kebijakan moneter

juga sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya adalah sampai sajauhmana currency

mismatch yang terjadi pada neraca keuangan bank-bank domestik, serta sampai sejauhmana

kewenangan (discretion) bank sentral dalam menyuplai likuiditas dalam situasi krisis (Shin, 2005).

Sebagaimana yang terjadi di Indonesia, kompleksitas permasalahan, yang menyebabkan

ketidakoptimalan respon kebijakan, terjadi tidak hanya tercerin pada peningkatan suku bunga

yang sangat tinggi, namun juga aliran likuiditas yang sangat besar.

IV.3. Perbandingan State-Contingent Rule dengan Simple Rules Lain

Dalam studi ini, beberapa simple rule yang diperhitungkan adalah Taylor rule, Taylor-

Smoothing rule, dan McCallum rule. Formulasi masing-masing policy rule tersebut dapat

disampaikan sebagi berikut.

(i) Taylor rule (Taylor, 1993):

,dimana it adalah suku bunga kebijakan (jangka pendek), i*

t adalah suku bunga keseimbangan

jangka panjang, yt adalah output riil, dan π

t adalah rata-rata inflasi dalam empat periode

terakhir. Sementara itu, π∗ dan y* masing-masing merupakan target inflasi dan tingkat output

potensial.

it = α + γ

π (π

t -

π∗) + γ

y (y

t -

y*)

α = i*

t + π

t

Page 33: Bemp April 2008

327Respon Kebijakan Moneter yang Optimal di Indonesia: The State-Contingent Rule?

(ii) Taylor-Smoothing rule (Clarida, Galli, and Gertler, 1998):14

,dimana it adalah suku bunga kebijakan yang ditargetkan, i

t suku bunga kebijakan aktual, dan

Et[π

t+1]

adalah ekspektasi inflasi satu periode ke depan. Sementara itu, ρ adalah smoothing

parameter, yang menangkap proses penyesuaian dalam perilaku suku bunga kebijakan.

(iii) McCallum rule (McCallum, 1987):

, dimana bt adalah pertumbuhan uang primer (base money), α = x* adalah target pertumbuhan

output nominal per periode (rata-rata dalam setahun), xt-1

adalah output nominal aktual pada

periode sebelumnya, dan ∆v adalah rata-rata perubahan base velocity dalam siklus kurun waktu

beberapa tahun terakhir (misal 4 tahun) .

Untuk tujuan analisis, penaksiran parameter dari masing-masing policy rule tersebut

dilakukan dengan beberapa asumsi pokok, yaitu: (i) target inflasi jangka menengah/panjang

sebesar 5%; (ii) output potensial ditaksir dengan menggunakan metode filterisasi Hoddrick-

Prescott; (iii) pertumbuhan output nominal jangka penengah/panjang 12% (inflasi sebesar 5%

dan pertumbuhan ekonomi sebesar 7%).

Dengan memperhitungkan adanya perilaku komponen policy rule yang tidak sistematik,

yang tercermin dari perilaku error-term, serta keterkaitan antar variabel dalam persamaan,

maka persamaan Taylor rule dan McCallum rule ditaksir dengan menggunakan metode

penaksiran Ordinary Least Squares (OLS), sementara Taylor-Smoothing rule ditaksir dengan

menggunakan metode penaksiran Generalized Method of Moment (GMM).15 Dalam kaitan

ini, variabel instrumental yang digunakan adalah data dua periode terakhir dari variabel-variabel

inflasi tahunan, output gap, pertumbuhan uang primer tahunan, dan konstanta. Selain itu,

14 Clarida, Galli, and Gertler (1998) mengajukan disain rule yang merupakan modifikasi dari spesifikasi Taylor rule, yaitu denganmemperhitungkan adanya pemulusan suku bunga kebijakan (interest rate smoothing). Dalam kaitan ini, Taylor rule dengan spesifikasistandar pada umumnya dianggap terlalu restriktif dalam menggambarkan perilaku suku bunga aktual. Paling tidak terdapat tigaalasan: (i) spesifikasi tersebut mengasmsikan terdapatnya penyesuaian perilaku suku bunga kebijakan yang bersifat segera sehinggamengabaikan adanya kecenderungan bank sentral untuk melakukan pemulusan (smoothing), (ii)spesifikasi tersebut mengasumsikanbahwa suku bunga kebijakan bereaksi secara sistematis terhadap kondisi ekonomi sepanjang waktu, sehingga tidak memperhitungkanadanya kerandoman dalam langkah kebijakan, dan (iii) spesifikasi tersebut mengasumsikan bahwa bank sentral dapat mengendalikansuku bunga kebijakan dengan sempurna, pada target yang diinginkan.

15 Generalized Method of Moments (GMM) adalah metode penaksiran yang merupakan robust esrimator, dengan prinsip melakukanpemilihan nilai taksiran parameter (parameter estimate) agar moments dari sampel selaras dengan moments dari populasi, yaitusama dengan nol. Dengan demikikian, keterkaitan teoritis yang disyaratkan adalah adanya kondisi ortogonalitas (orthogonalityconditions) antara suatu fungsi dari parameter, linier atau non-linier, dengan kumpulan variabel instrumental (instrumental variables).Berbeda dengan metode penaksiran OLS dan MLE, GMM tidak menyaratkan adanya informasi mengenai bentuk distribusi dariresidual. Selain itu, metode penaksiran pada umumnya merupakan kasus spesial dari GMM.

it = α + γ

π (E

t [π

t+1]-

π∗) + γ

y (y

t -

y*)

α = ρi

t+1 + (1 - ρ)i

t

bt = α - ∆ v γ

x (x* - x

t-1)

Page 34: Bemp April 2008

328 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

Dari hasil tersebut dapat dilihat beberapa hal bahwa:

(a) Parameter pada Taylor rule berkisar antara 12√13%. Untuk kasus peekonomian Amerika

Serikat, Taylor menetapkan judgment untuk parameter sebesar 4%, dengan rincian suku

bunga keseimbangan jangka panjang dan rata-rata target inflasi masing-masing-masing

sebesar 2%. Dengan melihat perkembangan historis data inflasi di Indonesia yang rata-rata

sekitar 6 √ 7 %, maka hal tersebut yang berimplikasi bahwa dalam suku bunga keseimbangan

jangka panjang di Indonesia berkisar antara 5 √ 7 %. Dalam jangka panjang, apabila target

inflasi 5% dapat diperihara, maka suku bunga keseimbangan akan berkisar antara 7 √ 8%.

Spesifikasi Taylor rule standard menunjukkan adanya penyeimbangan prioritas strategi

kebijakan dalam pencapaian kestabilan harga dan pertumbuhan ekonomi. Sementara itu,

dengan memperhitungkan adanya proses penyesuaian perilaku suku bunga kebijakan secara

gradual, terlihat bahwa pegendalian inflasi mendapatkan prioritas lebih.

(b) Parameter pada McCallum rule mencapai 5%. Angka berbeda dari target pertumbuhan

output nominal yang ditetapkan, sebagaimana rumusan McCallum, yaitu sebesar rata-rata

3% per triwulan. Secara empiris, perbedaan tersebut dimungkinkan terutama untuk negara

berkembang seperti Indonesia yang mengalami perubahan struktural yang berarti dalam

dua dasawarsa terakhir. Dalam kaitan ini, perbedaan sebesar 2% dapat diperhitungkan

sebagai margin positif dalam kaitannya dengan perubahan base velocity dalam siklus jangka

panjang.

Perbandingan perilaku policy variables (respon kebijakan) dengan menggunakan rumusan

State-Contingent rule dan masing-masing simple rule secara kualitatif (visual) dapat dilihat

pada Grafik II.5 dan Grafik II.6. Dapat dilihat bahwa secara umum, respon kebijakan yang

didasarkan pada rumusan Taylor rule, baik versi standard maupun dengan memperhitungkan

interest rate smoothing, bebeda dengan respon kebijakan dengan sasaran operasional suku

bunga yang didasarkan pada rumusan State-Contingent rule. Secara signifikan perbedaan

Tabel II.3.Hasil penaksiran parameter policy rule

1.a. Taylor 13 - 0,5 0,5 -1.b. Taylor-Smoothing 12 0,4 0,7 0,3 -2. McCallum 5 - - - 0,3

Policy Rule α ρ γπ

γy

γx

normalisasi parameter preferensi kebijakan bank sentral dilakukan dalam penaksiran Taylor

rule melalui restriksi parameter+ =1. Adapun hasil penaksiran parameter persamaan dengan

menggunakan data kuartalan mulai awal tahun 1980 disampaikan pada Tabel 3 (untuk

memudahkan interpretasi ditampilkan dalam format yang lebih sederhana:

Page 35: Bemp April 2008

329Respon Kebijakan Moneter yang Optimal di Indonesia: The State-Contingent Rule?

terlihat pada tiga periode, yaitu periode sebelum 1 Juni 1983 (1980 √ 1982), periode 1988 √

1989, dan periode awal krisis (1997.3 √ 1999). Pada dua periode pertama terlihat bahwa

rumusan respon kebijakan berdasarkan Taylor rule mengimplikasikan stance kebijakan yang

cukup longgar pada periode awal 1980-an, dan sebaliknya terlalu ketat pada masa diterapkannya

Pakto 1988. Kedua kondisi tersebut kurang didukung oleh fakta empiris yang terjadi. Sementara

itu, pada awal masa krisis masing-masing rumusan Taylor rule mengindikasikan stance kebijakan

moneter berbeda, yaitu terlalu ketat (Taylor rule) dan relatif optimal (Taylor-Smoothing rule).

Hasil tersebut menyimpulkan bahwa respon kebijakan berdasarkan rumusan State-Contingent

rule suprior dibandingkan dengan respon kebijakan berdasarkan rumusan Taylor rule.

Sementara itu, temuan yang cukup menarik adalah berkaitan dengan penerapan respon

kebijakan moneter berdasarkan sasaran operasional uang primer. Dapat dilihat bahwa secara

umum, terdapat kecenderungan arah respon kebijakan yang didasarkan pada rumusan

McCallum rule relatif selaras dengan respon kebijakan dengan sasaran operasional uang primer

Grafik II.5.Perbandingan policy rule 1: interest rate rule

%

0

10

20

30

40

50

60

70

80 82 84 86 88 90 92 94 96 98 00 02

Tylor RuleTylor-Smoothing Rule

State Cont. Rule 1

%

-20

-10

0

10

20

30

40

80 82 84 86 88 90 92 94 96 98 00 02

M-Stance 1 (SCR)M-Stance 1 (TR)M-Stance 1 (TSR)

Page 36: Bemp April 2008

330 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

yang didasarkan pada rumusan State-Contingent rule. Dalam kaitan ini, perbedaan yang terjadi

lebih terkait pada intensitas dari respon kebijakan yang diterapkan, misalnya ≈terlalu∆ atau

hanya sekadar ≈cukup∆, sehingga konsekuensi yang ditimbulkan pada evaluasi stance kebijakan

umumnya tidak terlalu serius.

Grafik II.6.Perbandingan policy rule 2:monetary base rule

%

0

10

20

30

40

50

86 88 90 92 94 96 98 00 02

State Cont. Rule 1McCallum Rule

%

-40

-20

0

20

40

60

86 88 90 92 94 96 98 00 02

M-Stance 2 (SCR)M-Stance 2 (MCR)

Perbedaan interpretasi terlihat pada periode mulai 1985 sampai pertengahan 1988,

dimana kebijakan moneter dilaksanakan secara berhati-hati (discretionary policy) di tengah-

tengah tekanan pada neraca pembayaran. Dalam hal ini, rumusan McCallum rule

mengindikasikan adanya respon kebijakan yang terlalu ketat, sementara rumusan State-

Contingent rule mengindikasikan kebijakan moneter yang cukup optimal. Selain itu, pada periode

krisis ekonomi (1997.3 √ 1999), rumusan McCallum rule tidak dapat mengakomodir sepenuhnya

Keterangan: Indikator stance kebijakan moneter (monetary stance) padagrafik panel bawah merupakan selisih antara perkembangan indikatorsasaran operasional aktual terhadap optimal rule-nya.

Page 37: Bemp April 2008

331Respon Kebijakan Moneter yang Optimal di Indonesia: The State-Contingent Rule?

pengaruh krisis ekonomi pada lonjakan pertumbuhan besaran moneter, yang tercermin pada

taksiran perkembangan respon kebijakan yang relatif sama dengan periode sebelum dan

sesudahnya, sehingga respon kebijakan diindikasikan dalam tingkatan yang sangat ketat,

melebihi indikasi yang dihasilkan dari rumusan State-Contingent rule.

Analisis perbandingan selanjutnya dilakukan secara kuantitatif, yaitu dengan melakukan

penaksiran fungsi kerugian bank sentral berdasarkan taksiran perkembangan sasaran operasional

yang mencerminkan respon kebijakan moneter yang optimal. Dari sisi metodologi dan empiris,

langkah tersebut dapat diterapkan pada perbandingan respon dengan sasaran operasional

suku bunga, yaitu antara State-Contingent rule dengan Taylor rule. Dalam kaitan ini, untuk

mengamati keterkaitan antara perkembangan suku bunga dengan fungsi kerugian bank sentral,

dilakukan penyederhanaan dengan penggunaan sistem permodelan »ad-hoc» yang diajukan

oleh Ball (1997), yang terdiri dari kurva IS dinamis sebagai representasi permintaan agregat dan

Kurva Phillips sebagai representasi penawaran agregat. Sementara itu, fungsi kerugian kuadratik

distandarisasi dengan mengetengahkan peran variabel pertumbuhan ekonomi dan inflasi sebagai

sasaran akhir kebijakan moneter dengan bobot yang agak berbeda. Dalam kaitan ini, sesuai

dengan hasil penaksiran preferensi strategis kebijakan, rata-rata bobot pertumbuhan ekonomi

dan inflasi berdasarkan perilaku State-Contingent rule masing-masing adalah sekitar 0,6 dan

0,4. Sementara itu, berdasarkan perilaku Taylor rule rata-rata bobot pertumbuhan ekonomi

dan inflasi adalah sama, yaitu masing-masing 0,5. Selanjutnya, dengan asumsi bahwa level

sasaran akhir yang ditargetkan sama dan bersifat konstan, serta dimungkinkan timbulnya biaya

penggunaan instrumen kebijakan dalam bentuk fluktuasi perilaku sasaran operasional terkait,

maka fungsi kerugian bank sentral (berdasarkan perilaku policy rule) ditaksir dari penjumlahan

varians dari pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan perubahan policy rule.

Hasil penaksiran fungsi kerugian bank sentral berdasarkan respon State-Contingent rule

menunjukkan jumlah varians pertumbuhan ekonomi dan inflasi sebesar 0,037%, serta biaya

penggunaan instrumen sebesar 0,113%. Sementara itu, berdasarkan Taylor rule, jumlah varians

pertumbuhan ekonomi dan inflasi adalah sebesar 0,040%, dengan biaya penggunaan instrumen

sebesar 0,133%. Dengan demikian, dengan atau tanpa memperhitungkan biaya penggunaan

instrumen kebijakan, fungsi kerugian bank sentral berdasarkan respon State-Contingent rule

lebih kecil (relatif minimal) dibandingkan dengan fungsi kerugian bank sentral berdasarkan

respon Taylor rule, yaitu dengan rasio masing-masing sekitar 0,93 (tanpa biaya penggunaan

instrumen) dan 0,87 (dengan biaya penggunaan instrumen); masing-masing lebih kecil dari

satu. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagai policy rule, State-Contingent rule

mempunyai kontribusi yang lebih besar (superior) dalam mendukung pelaksanaan kebijakan

moneter yang efisien.

Page 38: Bemp April 2008

332 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

V. KESIMPULAN

Perumusan kerangka kebijakan moneter yang sesuai, dengan mengacu pada prinsip-

prinsip keoptimalan, untuk kasus Indonesia tentunya tidaklah mudah. Hal ini mengingat

karakteristik perekonomian Indonesia cukup unik dan masih dalam proses transisi struktural

dan kelembagaan yang cukup panjang, yang diwarnai dengan tingginya fluktuasi beberapa

perkembangan variabel makro ekonomi. Penelitian ini mengetengahkan satu hal yang mendasar

dalam merumuskan respon kebijakan yang optimal untuk kasus di Indonesia, yaitu bahwasannya

rumusan respon kebijakan yang didasarkan pada disain ≈State-Contingent rule∆ berhasil

merepresentasikan disain policy rule yang optimal bagi perekonomian Indonesia. Disain policy

rule tersebut mengakomodir baik respon kebijakan jangka panjang maupun jangka pendek

dengan mekanisme pengkoreksian kesalahan (error correction), serta keberadaan shocks spesifik

yang muncul dari adanya perubahan struktural perekonomian secara tiba-tiba maupun

perubahan dinamis dari adanya unsur ketidakpastian yang mempengaruhi volatilitas perilaku

respon kebijakan moneter.

Dua aspek terkait yang dapat ditarik dari hasil pengujian empiris adalah bahwa berdasarkan

perumusan respon kebijakan moneter yang optimal dalam disain «State-Contingent rule», evaluasi

kinerja kebijakan moneter dalam merespon perkembangan yang terjadi menunjukkan

kekurangoptimalan (sub-optimal) penerapan respon kebijakan moneter pada beberapa periode,

terutama yang terkait dengan terlalu ketat atau longgarnya respon kebijakan. Sementara itu,

sebagai sebagai suatu policy rule, dengan diperhitungkannya komponen mekanisme

penyesuaian perubahan struktural, State-Contingent rule relatif superior dibandingkan dengan

simple policy rule lain yang lazim digunakan, yaitu Taylor rule dan McCallum rule. Hasil tersebut

juga didukung oleh penaksiran fungsi kerugian bank sentral, yang menunjukkan bahwa State-

Contingent rule mempunyai kontribusi yang lebih besar dalam mendukung pelaksanaan

kebijakan moneter yang efisien dibandingkan dengan Taylor rule, dalam artian bahwa State-

Contingent rule menghasilkan taksiran fungsi kerugian yang relatif minimal dibandingkan Taylor

rule, yaitu dengan rasio rata-rata sebesar 0,9 (lebih kecil dari 1). Selain itu, perilaku jangka

panjang State-Contingent rule tersebut dapat diidentifikasikan dengan baik dalam kondisi

dengan adanya perubahan struktural dan unsur ketidakpastian.

Berkaitan dengan hasil evaluasi stance kebijakan moneter pada masa krisis ekonomi

(1997.3 √ 1999), dapat disimpulkan bahwa respon kebijakan moneter yang berlawanan arah

dan tidak optimal (pada level ekstrim) pada periode ini sangat terkait dengan fenomena twin

crises. Sebagaimana yang terjadi di Indonesia, fenomena twin crises telah menyebabkan

peningkatan suku bunga SBI sempat dilakukan beberapa kali, mengingat peningkatan suku

bunga pada tahap awal belum mampu meredam perlemahan rupiah, sementara kepercayaan

Page 39: Bemp April 2008

333Respon Kebijakan Moneter yang Optimal di Indonesia: The State-Contingent Rule?

pasar pada sistem keuangan terus menurun sehingga terjadi penarikan dana simpanan

perbankan yang sangat besar (bank runs). Untuk mencegah semakin memburuknya kondisi

perbankan dan perekonomian secara makro, bantuan likuiditas (BLBI) kepada perbankan

diberikan dalam jumlah yang sangat besar, sehingga pada gilirannya mendorong ekspansi

besaran moneter yang sangat drastis. Pada tahap berikutnya, untuk menyerap kelebihan likuiditas

di masyarakat dan membatasi ekspansi BLBI, kebijakan pengetatan moneter kembali dilakukan,

antara lain melalui peningkatan suku bunga.

Sementara itu, terkait dengan pengidentifikasian respon kebijakan dengan adanya

perubahan struktural, dapat dilihat pula adanya perbedaan perilaku antara disain State-

Contingent rule dan simple rules, misalnya Taylor rule. Dalam disain State-Contingent rule,

perubahan struktural dalam perekonomian secara otomatis diakomodir melalui keberadaan

dua komponen, yaitu error correction terms dan shocks spesifik (misalnya gejolak nilai tukar

pada periode krisis) dalam bentuk impuls. Sementara itu, dalam disain Taylor rule, komponen

mekanisme penyesuaian tersebut tidak ada, sehingga pengamatan terhadap kemungkinan

adanya perubahan respon diamati melalui penggunaan variabel dummy (structural break).

Yang terakhir, di luar beberapa temuan yang telah diuraikan di atas, perlu dikemukakan

bahwa pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini lebih ditujukan pada relevansi

permasalahan yang diajukan serta asumsi yang mendasari, khususnya terkait dengan pengaruh

kebijakan dan perkembangan di sektor-sektor lain (fiskal, nilai tukar, dan riil) yang berjalan

seperti yang telah ditetapkan oleh Pemerintah dan Bank Indonesia. Dengan demikian, dengan

adanya kendala keterbatasan dan pengolahan data (terutama data kesempatan kerja), potensi

perubahan karakteristik perkembangan data, keunikan struktur perekonomian Indonesia, serta

pergeseran orientasi kebijakan moneter, terutama pada masa terjadinya twin crises pada periode

1997.3 √ 1999, sangat diperlukan suatu kehati-hatian dalam menginterpretasikan ≈magnitude∆

parameter permodelan.

Selain itu, juga disadari akan perlunya penggunaan kerangka pengkajian alternatif, atau

bahkan pengembangan kerangka permodelan yang lebih realistis. Hal tersebut terutama terkait

dengan fakta bahwa sebagai salah satu aspek strategis dalam bidang kajian kebijakan,

perumusan kerangka kerja kebijakan moneter akan senantiasa menjadi suatu topik kajian yang

layak untuk dicermati. Demikian pula, penelitian dengan hasil yang telah disampaikan di atas

pada dasarnya juga dapat dianggap sebagai suatu penelitian awal. Dalam perspektif yang

lebih luas, dalam penelitian ini belum dikaji secara tegas beberapa hal, antara lain terkait dengan

konsistensi dan kredibilitas kebijakan moneter. Berkaitan dengan penyusunan kerangka kebijakan

moneter yang berlangsung saat ini, topik lanjutan tersebut tentunya merupakan suatu yang

penting untuk dilakukan selanjutnya.

Page 40: Bemp April 2008

334 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

Daftar Pustaka

Ball, L. (1997), ≈Efficient rule for Monetary Policy∆, NBER Working Paper No. 5952, March.

Bank Indonesia, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank

Indonesia, Bank Indonesia, Jakarta, 1999, yang diamandemen dengan Undang-undang

Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004.

Bernanke, B. et al. (1999), Inflation Targeting: Lessons from International Experience, Princenton

University Press.

Blake, Andrew P. (1998), et al., ≈Optimal Monetary Policy∆, National Institute Economic Review.

Blake, Andrew P. (2000), ≈Optimality and Taylor Rules∆, mimeo, National Institute of Economic

and Social Research.

Boughton, James M. (2002), ≈Why White, Not Keyness? Inventing the Postwar International

Monetary System∆, IMF Working Paper, WP/02/52, Washington DC.

Clarida, R.H. (2001), ≈The Empirics of Monetary Policy rules in Open Economies∆, on Seminar

on Monetary Policy in Open Economics, IMF, June 2001.

Clarida, Richard, Jordi Gali, and Mark Gertler (1998), ≈Monetary Policy Rules in Practice: Some

International Evidence,∆ European Economic Review, Vol. 42, pp. 1033-67.

Fischer, Stanley (1996), Central Banking: the Challenges Ahead √ Maintaining Price Stability,

Finance and Development.

Garratt, A., K. Lee, M.H. Pesaran, Y. Shin (1998), ≈A Long Run Structural Macroeconomic

Model of the UK∆, DAE Working Paper, University of Cambridge, June, Revised April 2001.

Garratt, A., K. Lee, M.H. Pesaran, Y. Shin (1999), ≈A Structural Cointegrating VAR Approach to

Macroeconomic Modelling∆, DAE Working Paper, University of Cambridge, January.

Goldfajn, Ilan and Poonam Gupta (2002), «Overshootings and Reversals: The Role of Monetary

Policy», in Banking, Financial Integration, and International Crises, edited by Hernandez and

Klaus Schmidt-Hebbel, Central Bank of Chile.

Kaminsky, G. L. and Carmen M. Reinhart (1999), «The Twin Crises: The Causes of Banking and

Balance of Payments Problems», American Economic Review, Vol. 89, No. 3.

King, Menvyn (1997), ≈Changes in the UK Monetary Policy: rules and Discretion in Practice∆,

Journal of Monetary Economics, 39,.

McCallum, Bennett T. (1987), ≈Robustness Properties of a rule for Monetary Policy∆, Carnegie-

Rochester Conference Series on Public Policy, Autumn.

________ (2001), ≈Should Monetary Policy Respond Strongly to Output Gaps?∆, NBER Working

Paper No. 8226, April.

Page 41: Bemp April 2008

335Respon Kebijakan Moneter yang Optimal di Indonesia: The State-Contingent Rule?

_________ and E. Nelson (1999),∆Performance of operational Policy rules in an Estimated

Semi-Classical Structural Model∆, in Taylor, J.B. (ed) Monetary Policy rules, University of

Chicago Press for NBER.

Muchlinski, Elke (2002), Against Rigid rules √ Keynes»s Economic Theory, Discussion Paper,

Frein Universitat Berlin.

Pesaran, MH, Y. Shin and RJ Smith (1998), ≈Structural Analysis of Error Correction Models∆,

DAE Working Paper, University Chambridge.

Pesaran, M.H. and Yongcheol Shin (1997), ≈Generalized Impulse Response Analysis in Linier

Multivariate Models∆, DAE Working Paper, University Chambridge, Mei, Revised July.

Rudebusch, G. D. and Lars E. O. Svensson (1998), ≈Policy rules for Inflation Targeting∆, NBER

Working Paper, No. 6512, April.

Sarwono, H.A. dan Warjiyo, P. (1998), ≈Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam

Sistem Nilai Tukar Fleksibel: Suatu Pemikiran untuk Penerapannya di Indonesia∆, Buletin

Ekonomi Moneter dan Perbankan, Vol. 1.

Shin, Hyung Song (2005), ≈Liquidity and Twin Crises∆, Working Paper, London School of

Economics, January.

Sims, Christoper A. (1992), ≈Interpreting the Macroeconomic Time Series Facts: The Effects of

Monetary Policy∆, Cowles Foundation Discussion Paper, No.1011.

_________ (1986), «Are Forecasting Models Usable for Policy Analysis?», FRB of Minneapolis

Quarterly Review, No.10.

Solikin (2005), «Analisis Kebijakan Moneter dalam Model Makroekonometrik Struktural Jangka

Panjang: Structural Cointegrating Vector Autoregression», Buletin Ekonomi Moneter dan

Perbankan, Bank Indonesia, Vol. 8 (2).

________ (1998), ≈The Stability of Income Velocity, Demand for Money, and Money Multiplier

in Indonesia, 1971-1996∆, Unpublished Working Paper, Department of Economics, The

University of Michigan, August.

Svensson, Lars E.O. (1997), ≈Optimal Inflation Targets, ≈Consevative∆ Central Banks, and Linear

Inflation Contracts∆, The American Economic Review, March.

________ (1997), ≈Inflation Forecast Targeting: Implementing and Monitoring Inflation Targets∆,

European Economic Review, Vol. 41.

________ (2002), ≈Inflation Targeting: Should It be Modeled as AnInstrument rule or A Targeting

rule?∆, NBER Working Paper, No. 8925, May.

Taylor, J.B. (1993), ≈Discretion versus Policy rules in Practice∆, Carnegie-Rochester Congferences

Series on Public Policy, 39.

_________ (1996), ≈How Should Monetary Respond to Shocks While Maintaining Long-Run

Price Stability √ Conceptual Issues∆, Conference Paper, Federal Reserve Bank of Kansas.

Page 42: Bemp April 2008

336 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

_________ (2000), ≈Using Monetary Policy rules in Emerging Market Economies∆, Conference

Paper, Banko de Mexico.

Woodford, Michael (2003), Interest and Prices: Foundations of A Theory of Monetary Policy,

Princenton University Press, NJ.

Page 43: Bemp April 2008

337Mengkaji Perubahan Nilai Tukar Rupiah dan Pasar Saham

MENGKAJI PERUBAHAN NILAI TUKAR RUPIAHDAN PASAR SAHAM

Untoro, Priyo R. Widodo 1

A b s t r a c t

This paper analyzes the relationship between the Exchange rate and the stock market in Jakarta,

Singapore, Malaysia, Thailand, Philippine and Hongkong using a high frequency data. We applied the

Vector Autoregressive method on the daily data covering 1 July 1997 to 30 June 2006.

The analysis provides several results as follows: (i) the exchange rate movements is influenced by

the regional and the Hongkong stock market index, except Thailand, (ii) Jakarta stock market index is

influenced by the regional stock market except Thailand, (iii) the Rupiah rate influence the regional and

Hongkong stock index, (iv) the Jakarta»s stock market index is integrated to the regional stock market

index. These results may be a usefull as an additional guidance to evaluate the Rupiah»s exchange rate

and the regional stock market movement in general.

JEL Classification:JEL Classification:JEL Classification:JEL Classification:JEL Classification: C32, F31, G15

Keywords: Stock, Vector Autoregressive, exchange rate.

1 Untoro is a senior researcher in PPSK√ Bank Indoneisa ([email protected]); Priyo R. Widodo is a researcher in PPSK√ Bank Indonesia([email protected]) .

Page 44: Bemp April 2008

338 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

I. PENDAHULUAN

Kegiatan portfolio investasi oleh pelaku pasar luar negeri kedalam aset dalam negeri,

yaitu dalam penanaman di pasar modal dapat mempengarui pergerakan nilai tukar rupiah

terhadap US Dollar. Indikasi ini tampak pada grafik pergerakan nilai tukar rupiah dan grafik

pergerakan indeks harga saham gabungan bursa efek Jakarta. Pergerakan yang terjadi secara

grafis menunjukkan pergerakan yang simetris, dimana penguatan nilai tukar akan diikuti oleh

penguatan indeks harga saham. Demikian pula sebaliknya perlemahan indeks harga saham

akan diikuti dengan menelahnya nilai tukar rupiah.

Atas dasar kajian grafis tersebut maka dalam penelitian ini dilakukan pengujian atas

hubungan simetris tersebut. Kajian tersebut diperlukan karena kajian mengenai hubungan

antara pergerakan nilai tukar dan pergerakan saham penting dilakukan dalam kerangka

kebijakan moneter, karena pergerakan diantara kedua pasar tersebut pada umumnya saling

berkaitan. Dalam teori ekonomi klasik (lihat Dornbusch dan Fisher, 1980) dijelaskan bahwa

pergerakan nilai tukar akan berdampak pada international competitiveness dan posisi neraca

perdagangan serta kepada real output dari suatu Negara, yang selanjutnya akan berdampak

pada cash flow dari perusahaan dan harga saham dari perusahaan tersebut.

Untuk melakukan kajian lebih mendalam, maka kajian terhadap volatilitas nilai tukar

rupiah dan pasar saham di Indonesia akan dibandingkan dengan kasus yang sama dari beberapa

Negara lainnya yaitu Singapore, Malaysia, Thailand, Philipine dan Hongkong. Pembandingan

ini perlu dilakukan dalam kaitannya dengan upaya untuk menangkap kecenderungan Negara

tujuan kegiatan portfolio investasi yang dilakukan oleh para investor.

Grafik III.1 Perkembangan Harian Nilai tukar Rupiahdan Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan Jakarta

0

2.000

4.000

6.000

8.000

10.000

12.000

14.000

16.000

18.000Rupiah

0

200

400

600

800

1.000

1.200

1.400

1.600

1.800Indeks

Rupiah

IHSG

30 Des 01

1997

01Jul

01Jan

30Jun

27Des

25Jun

22Des

19Jun

16Des

14Jul

11Des

09Jun

06Des

04Jun

01Des

29Mei

25Nop

24Mei

20Nop

19Mei

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Sumber: CEIC Data

Page 45: Bemp April 2008

339Mengkaji Perubahan Nilai Tukar Rupiah dan Pasar Saham

Dalam periode Januari 1998 hingga Desember 2005, perkembangan pasar saham di

Indonesia menunjukkan perkembangan yang bergejolak dengan tren jangka panjang indeks

harga saham yang meningkat. Sementara itu, pada periode yang sama terjadi pula gejolak

pada nilai tukar rupiah dan tren jangka panjangnya menunjukkan penguatan nilai tukar rupiah.

Paper ini melakukan pengujian kemungkinan adanya saling pengaruh antara perubahan harga

saham di Indonesia dengan perubahan nilai tukar rupiah ini. Lebih jauh penelitian ini mengkaji

keterkaitan harga saham di Indonesia dan beberapa negara lain yakni Malaysia, Singapura,

Hong Kong, Filipina dan Thailand.

II. TEORI

Literatur empiris yang menguji hubungan harga saham dengan nilai tukar sebagian besar

menguji keterkaitan tersebut dalam negara maju, namun masih sedikit yang memberikan

perhatian dalam negara yang sedang berkembang. Hasil studi tersebut tidak menunjukkan

kesimpulan yang mengkerucut. Studi yang dilakukan Smith (1992), Solnik (1997) dan Aggarwal

(1981) menemukan hubungan positif yang signifikan antara harga saham dengan nilai tukar.

Sebaliknya, Soenen dan Hennigar (1998) menemukan hubungan negatif yang signifikan. Selain

itu, studi yang dilakukan Franck dan Young (1972) serta Eli Bartov dan Gordo (1994) menunjukkan

keterkaitan yang lemah diantara kedua pasar.

Hubungan arah kausalitas keduanya juga tidak seragam. Abdala dan Murinde (1997)

menemukan arah kausalitas dari nilai tukar ke harga saham, namun Ajayi dan Moungoe (1996)

melaporkan sebaliknya yaitu kausalitas terjadi dari harga saham ke nilai tukar. Sedangkan,

Bahmani Oskooe dan Sohrabian (1992) menyatakan adanya kausalitas dua arah antara harga

saham dan nilai tukar dalam jangka pendek tetapi tidak terjadi dalam jangka panjang.

Hubungan antara harga saham dan nilai tukar belum ada keseragman atau konsesus

teori. Misalnya, model keseimbangan portofolio penentu nilai tukar menyatakan hubungan

negatif antara harga saham dan nilai tukar dengan arah kausalitas dari harga saham ke nilai

tukar. Dalam model ini, individu-individu memegang aset domestik dan asing, termasuk mata

uang dalam portofolio mereka. Nilai tukar mempunyai peran dalam menyeimbangkan

permintaan dan penawaran aset. Kenaikan harga saham domestik mendorong individu untuk

membeli lebih banyak aset domestik. Investor lokal yang ingin membeli lebih banyak aset

domestik akan menjual aset asing yang menyebabkan mata uang domestik mengalami apresiasi.

Kenaikan kesejahteraan akibat kenaikan harga aset domestik akan mendorong investor

meningkatkan permintaan uang yang pada gilirannya akan meningkatkan tingkat bunga

domestik. Selanjutnya, kenaikan tingkat bunga tersebut akan menarik modal asing yang

mendorong apresiasi mata uang domestik.

Page 46: Bemp April 2008

340 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

Sebaliknya, hubungan positif antara harga saham dan nilai tukar dengan arah kausalitas

dari nilai tukar ke harga saham disebabkan depresiasi mata uang domestik menjadikan

perusahaan domestik lebih kompetitif yang menorong kenaikan ekspor mereka. Kondisi ini

selanjunya meningkatkan harga saham-saham perusahaan tersebut.

Penjelasan mengenai lemahnya keterkaitan antara harga saham dan nilai tukar dapat

dijelaskan dengan asset market approach. Pendekatan ini menyatakan nilai tukar menjadi

penentu harga suatu aset (harga satu unit mata uang asing). Sehingga, seperti halnya harga-

harga asset lain, nilai tukar juga ditentukan oleh ekspetasi nilai tukar mendatang. News atau

faktor yang mempengaruhi nilai tukar masa mendatang akan mempengaruhi nilai tukar

sekarang. Faktor atau news yang menyebabkan perubahan nilai tukar mempunyai kemungkinan

untuk berbeda dengan faktor yang menyebabkan perubahan harga saham. Perbedaan inilah

yang menyebabkan tidak ada keterkaitan antara nilai tukar dan harga saham.

II.1 Pengaruh pasar saham terhadap nilai tukar

Mishkin (2001) menjelaskan pengaruh kenaikan harga-harga saham terhadap

pengeluaran. Pengaruh ini berawal ketika kenaikan harga saham meningkatkan investasi yang

dilakukan oleh perusahaan. Nilai equiti perusahaan meningkat dengan adanya kenaikan harga

saham sedangkan dalam jangka pendek harga-harga equipment tidak berubah. Akibatnya

investasi menjadi lebih murah dan perusahaan terdorong melakukan investasi lebih banyak

lagi. Dengan demikian, investasi merupakan fungsi dari harga saham:

I = f (R, SP) (III.1)

√ , +

Di mana I adalah investasi, SP adalah harga-harga saham, dan R tingkat bunga pinjaman.

Kedua, kenaikan harga saham akan berpengaruh positif terhadap nilai asset keuangan

yang dipegang rumah tangga dengan meningkatkan kekayaan rumah tangga dan konsumsi.

Orang yang mempunyai kakayaan lebih biasanya lebih memilih illiquid assets, artinya pengeluaran

terhadap baranng durables dan perumahan akan meningkat.

C = f [ MPC (Y-T), W(SP) ] (III.2)

+ , +

di mana C adalah konsumsi, Y adalah pendapatan, T adalah pajak, W adalah kekayaan

dan MPC adalah marginal propensity to consume.

Perekonomian suatu negara akan mempunyai pengeluaran (E) agregat sama dengan

pendapatan (Y) dalam posisi keseimbangan, selajutnya dapat dituliskan sebagai:

Page 47: Bemp April 2008

341Mengkaji Perubahan Nilai Tukar Rupiah dan Pasar Saham

Y=E= C + I + G + NX = C(MPC(Y-T), W(SP)) + I(S, SP) + G + NX (III.3)

+,+ + - , + + +

di mana G adalah pengeluaran pemerintah, dan NX adalah ekspor bersih.

Dengan memasukan pengaruh harga saham terhadap pola konsumsi dan investasi

diperoleh hubungan investasi dan tabungan (IS) yang tergantung dari harga-harga saham. Ini

modifikasi perekonomian terbuka Model Mundell-Fleming. Alur kedua berbeda dari model

standar yaitu dangan suatu asumsi keterkaitan jangka pendek antara nilai tukar nominal dan

current account. Asumsi ini berdasar hubungan negatif antara nilai tukar dengan current account

yang disebut J-curve effect. J-curve effect menyatakan bahwa pengaruh segera dari depresiasi

adalah membuat current account defisit sebelum berubah menjadi surplus. Ini berarti ada

hubungan terbalik antara nilai tukar dan current account.

Dengan demikian current account dalam kerangka neraca pembayaran mempunyai

karakteristik sebagai berikut:

CA = f (Y, E, Y*) (III.4)

- , - , +

di mana Y adalah pendapatan domestik, Y* adalah pendapatan luar negeri, dan E adalah

nilai tukar nominal. Setelah modifikasi model-model tersebut di susun ulang menjadi:

BP = CA(Y, E, Y*) + K (R √ R*) = 0 (III.5)

-, -, + +

IS: Y = C(Y, T, W(SP)) + I(R, SP) + G + CA(Y, E, Y*) (III.6)

+, -, + +, - + -, +, -

LM: MB / P = L (Y, R) (III.7)

+, -

di mana CA sebagai current account didefinisikan sebagai:

CA = NX = X*P √ M*P*E (III.8)

X adalah jumlah ekspor, M adalah jumlah impor, P adalah tingkat nilai tukar mata uang

domestik yang tetap dalam model jangka pendek, MB/P adalah keseimbangan mata uang riil,

K adalah neraca modal, R adalah tingkat bunga pinjaman, serta NX adalah ekspor bersih.

Model tersebut secara sederhana divisualisasikan pada Grafik III.2

Kurva BP menunjukkan indentitas akuntansi neraca pembayaran. Ini merupakan

mekanisme yang menyeimbangkan pasar modal dan keuangan internasional. Negara yang

memiliki current account negatif, akan meminjam uang dari luar. Kurva BP yang berslope slightly

Page 48: Bemp April 2008

342 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

upward mengikuti asumsi imperfect capital mobility. Kurva LM menggambarkan tingkat

pendapatan ( Y ) dan tingkat bunga ( R ) keseimbangan yang mungkin tercapai dalam pasar

uang domestik. Keseimbangan pasar uang akan konsisten lebih tinggi jika bank sentral

melakukan penawaran uang tetap. Sehingga kurava LM mempunyai slope upward. Kurva IS

mencerminkan keseimbangan antara tabungan danninvestasi dalam perekonomian. Perusahaan

akan meminjam lebih banyak ketika tingkat bunga rendah (lebih murah) sehingga pengeluaran

(output) dalam keseimbangan menjadi lebih tinggi.

Kenaikan harga-harga saham akan meningkatkan tingkat pengeluaran pada tingkat bunga

tertentu (kurva IS bergeser ke kanan IS1). Kurva LM tidak terpengaruh perubahan harga-harga

saham. Sehingga, pengaruh positif kenaikan harga-harga saham adalah keseimbangan baru

dengan output dan tingkat bunga yang lebih tinggi di titik B. Keseimbangan baru yang berada

di atas kurva BP menegaskan bahwa untuk setiap output tertentu tingkat bunga yang terjadi

adalah lebih tinggi dari sebelumnya. Tingkat bunga yang lebih tinggi ini menarik aliran modal

asing masuk (R > R* mendorong kenaikan K dalam persamaan 5). Hasilnya neraca pembayaran

menjadi surplus (BP > 0). Penyesuaian neraca modal dapat berlangsung cepat dalam pasar

yang mempunyai mobilitas tinggi.

Keseimbangan baru di titik B juga mempunyai tingkat pendapatan (Y) lebih tinggi. Hal

ini konsisten dengan pengeluaran yang lebih tinggi dari perekonomian domestik dan luar negeri

yang berakibat kenaikan impor dan memburuknya current account (lihat persamaan 8). Meski,

impor tidak segera menyesuaikan diri secepat pasar modal dalam jangka pendek. Dengan

demikian, pengaruh surplus neraca modal lebih besar daripada pengaruh defisit, sehingga

Grafik III.2 :Model Mundell-Fleming Perekonomian Terbuka

dan Reaksi Terhadap kejutan Pasar Modal

R

IS

BP

LM

Y» Y

A

Y

B

IS 1

Ro*

BP 1

Page 49: Bemp April 2008

343Mengkaji Perubahan Nilai Tukar Rupiah dan Pasar Saham

secara keseluruhan neraca pembayaran adalah surplus. Inilah alasan kenapa titik B di atas

kurva B.

Untuk mencapai keseimbangan pasar internasional, penyesuaian neraca pembayaran

memerlukan jalur nilai tukar ketika harga tetap. Kenaikan nilai tukar (depresiasi mata uang)

menyebabkan memburuknya current account dan neraca pembayaran kembali ke nol. Kenaikan

nilai tukar sejalan dengan pergeseran kurva BP ke atas ( BP ke BP1). Keseimbangan akhir semua

pasar tercapai pada titik B (R1, Y1). Keseimbangan baru ini konsieten dengan tingkat pengeluaran,

tingkat bunga, nilai tukar domestik, dan harga-harga saham yang lebih tinggi. Hasil paling

penting analisis ini adalah bahwa kenaikan harga-harga saham dikuti dengan depresiasi mata

uang.

II.2 Pengaruh Nilai Tukar Terhadap Pasar Saham

Nilai tukar mampu mempenagruhi pasar saham melalui beberapa alur. Pertama, depresiasi

mata uang menyebabkan penurunan harga-harga saham yang didorong adanya ekspektasi

inflasi (Ajayi dan Mongoue, 1996).

(III.9)

di mana RER merupakan nilai tukar riil.

Nilai tukar nominal yang lebih tinggi dalam jangka pendek sejalan dengan penurunan

rasio harga P*/P dalam keseimbangan jangka panjang (nilai tukar riil sama dengan satu).

Rendahnya rasio P*/P berimplikasi relatif tingginya harga domestik. Dengan demikian, depresiasi

nilai tukar nominal menciptakan ekspetasi inflasi di masa mendatang. Inflasi ditanggapi sebagai

berita negatif oleh pasar modal karena cenderung membatasi pengeluaran konsumen dan

akan mengurangi pendapatan perusahaan.

Kedua, investor tidak mempunyai keinginan untuk memegang asset yang mata uangnya

mengalami depresiasi karena akan mengikis pengembalian investasi. Misalnya, kasus depresiasi

USD, investor akan menahan diri untuk memegang asset dalam AS termasuk saham. Jika investor

asing menjual kepemilikan saham-saham AS maka harga saham akan turun.

Ketiga, pengaruh depresiasi nilai tukar akan berbeda terhadap setiap perusahaan

tergantung apakah perusahaan mengimpor atau mengekspor lebih banyak dan apakah

perusahaan tersebut melakukan hedging dari fluktuasi nilai tukar. Importir akan menanggung

biaya yang lebih tinggi karena pelemahan mata uang domestik dan pendapatan menjadi lebih

rendah yng berakibat turunnya harga saham.

P

PERER

**

=

Page 50: Bemp April 2008

344 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

Terakhir, depresiasi mata uang domestik akan mendorong industri berorientasi ekspor

dan melemahkan industri ynag tergantung dari impor. Ini berpengaruh positif terhadap output

domestik. Kenaikan output ini dapat dipandang sebagai indikator boming perekonomian yang

mendorong kenaikan harga saham.

Secara keseluruhan, pengaruh nilai tukar harga-harga saham tidak seragam, keterkaitan

positif dan negatif mempunyai dasar pendukung. Ajayi dan Mongoue (1996) mengasumsikan

hubungan negatif lebih dominant. Dalam jangka pendek, ekspetasi investor lebih mempengaruhi

pasar saham daripada kondisi fundamental perekonomian. Dari uraian di atas, kita dapat

melakukan spesifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi harga saham sebagai berikut:

SP = f (Y, INF, E) (III.10)

+, - , -

di mana Y adalah output, INF adalah inflasi dan E adalah nilai tukar.

II.3 Tinjauan Empiris

Franck dan Young (1972) melakukan pengujian hubungan harga saham dan nilai tukar

petama kali. Mereka tidak menemukan keterkaitan antara kedua variabel keuangan tersebut.

Aggarwal (1981) menguji keterkaitan antara perubahan nilai tukar dolar dan perubahan indek

harga saham. Dia menggunakan data harga saham bulanan AS dan nilai tukar riil periode

1974-1978. Hasil penelitian tersebut dengan regresi sederhana menunjukkan bahwa harga

saham dan nilai dolar AS berkorelasi positif dan keterkaitan ini lebih kuat dalam jangka pendek

daripada dalam jangka panjang.

Solnik (1987) menguji dampak beberapa variabel (nilai tukar, tingkat bunga dan

perubahan ekspetasi inflasi) terhadap harga saham. Dia menggunakan data bulanan dari

sembilan negara. Solnik menemukan depresiasi mempunyai pengaruh positif namun tidak

signifikan terhadap pasar saham AS dibandingkan perubahan ekspetasi inflasi dan tingkat bunga.

Soenen dan Hanniger (1988) menggunakan data bulanan harga saham dan nilai tukar

efektif periode 1980-1986. Mereka menemukan hubungan negatif yang kuat antara nilai dolar

AS dan perubahan harga saham.

Mohsen Bhmani dan Ahmad Sohbrain (1992) menganalisis hubungan jangka panjang

harga-harga saham dan nilai tukar menggunakan kointegrasi serta pengujian kausalitas Granger.

Mereka menggunakan data bulanan indeks harga saham dan nilai tukar efektif selama periode

1973-1988. Hasil studi mereka menunjukkan adanya hubungan kausalitas dua arah antara

Page 51: Bemp April 2008

345Mengkaji Perubahan Nilai Tukar Rupiah dan Pasar Saham

harga saham dan nilai tukar efektif dalam jangka pendek. Namun, mereka tidak menukan

keterkaitan jangka panjang variable tersebut.

Smith (1992) menggunakan model keseimbangan Portofolio menguji faktor-faktor

yang menentukan nilai tukar. Model memasukan equities, stocks of bonds and money sebagai

faktor penentu nilai tukar. Hasilnya menunjukkan nilai equity secara signifikan mempengaruhi

nilai tukar, stock of money dan bond mempunyai pengaruh kecil terhadap nilai tukar. Hasil ini

mempunyai implikasi equities bukan hanya sebagai faktor tambahan dalam model keseimbangan

portofolio nilai tukar, juga menegaskan pengaruh equities lebih penting daripada obligasi

pemerintah dan uang.

Eli Bartov dan Gordon M. Bodnor (1994) menyimpulkan bahwa perubahan nilai dolar

saat sekarang hanya mempunyai kekuatan kecil dalam menjelaskan abnormal stock returns.

«Mereka juga menemukan perubahan lag dolar mempunyai keterkaitan negatif dengan abnormal

stock returns. Hasil regresi menunjukkan perubahan lag dolar mempunyai kekuatan untuk

menjelaskan kesalahan dalam analisis peramalan pendapatan kuartalan.

Ajayi dan Mougoue (1996) menunjukkan kenaikan agregat harga saham domestik

mempunyai dampak negatif dalam jangka pendek terhadap mata uang domestik, namun dalam

jangka panjang kenaikan harga saham mempunyai pengaruh positif nilai mata uang domestik.

Meskipun, depresiasi mata uang mempunyai pengaruh negatif terhadap pasar saham dalam

jangka pendek.

Yu Qiao (1997) menggunakan data indek harga saham harian dan nilai tukar spot dari

pasar keuangan keuangan Hongkong, Tokyo, dan Singapura selama periode 3 Januari 1983

sampai dengan Juni 1994 untuk menguji kemungkinan interaksi variabel keuangan tersebut.

Hasil studi dengan menggunakan kausalitas Granger menunjukkan perubahan harga saham

disebabkan perubahan nilai tukar di pasar Tokyo dan Hongkong. Pasar Singapura tidak

menujukkan adanya kausalitas tersebut. Sedangkan kausalitas dari nilai harga saham ke nilai

tukar terjadi di pasar Tokyo. Dengan demikian, di pasar Tokyo menunjukkan adanya kausalitas

dua arah antara harga saham dan perubahan nilai tukar. Dia juga menggunakan model VAR

untuk menganalisis kestabilan jangka panjang keterkaitan harga saham dan nilai tukar dalam

pasar keuangan Asia. Hasilnya menunjukkan hubungan yang stabil dalam jangka panjang antara

harga saham dan nilai tukar.

Isam Abdala dan Victor Murinde (1997) mengaplikasikan pendekatan kointegrasi untuk

menguji hubungan jangka panjang antara indek harga saham dan nilai tukar efektif riil untuk

Pakistan, Korea, India, dan Philipina. Mereka menggunakan data bulanan dari Januari 1985

Page 52: Bemp April 2008

346 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

sampai dengan Juli 1994. Studi mereka menunjukkan tidak ada keterkaitan jangka panjang di

Pakistan dan Korea, sedangkan keterkaitan jangka panjang ditemukan di India dan Philipina.

Mereka juga menemukan kausalitas satu arah dari nilai tukar ke harga saham untuk Pakistan

dan Korea. Adanya keterkaitan jangka panjang di India dan Pakistan memungkinkan mereka

menggunakan pendekatan error correction model untuk menguji kausalitas untuk kedua negara.

Hasilnya menunjukkan kausalitas satu arah dari nilai tukar ke harga saham untuk India,

sedangkan Philipina menunjukkan kausalitas sebaliknya, yaitu dari harga saham ke nilai tukar.

Naeem M. dan Abdul R. menguji keterkaitan harga saham dan nilai tukar dalam jangka

pendek dan jangka panjang. Mereka menggunakan data bulanan empat negara Asia yang

terdiri dari Pakistan, India, Bangladesh, dan Sri-Lanka selama Januari 1994 sampai dengan

Desember 2000. Alat analisis yang digunakan untuk pengujian hubungan jangka pendek dan

jangka panjang adalah kointegrasi, vector error correction model dan uji kausalitas Granger.

Hasil studi menunjukkan tidak ada keterkaitan harga saham dan nilai tukar di keempat negara

tersebut. Sedangkan dalam jangka panjang, mereka menemukan kausalitas dua arah variabel

harga saham dan nilai tukar di Bangladesh dan Sri-Lanka.

Meski tidak terdapat keseragaman teori mengenai keterkaitan antara variabel harga saham

dan nilai tukar, alur keterkaitan kedua variabel tersebut sebetulny dapat juga di cari runtutan

yang logis secara ekonomi berdasr teori ekonomi yang telah ada. Bagian ini akan menguraikan

alur keterkaitan tersebut. Dengan demikian, kenaikan harga saham akan meningkatkan output

melalui kenaikan kekayaan dan investasi. Kemudian, analisis model Mundell-Fleming dan

pengaruh kurva J digunakan untuk melihat pengaruh output yang tinggi terhadap nilai tukar.

III. METODOLOGI

III.1. Data

Data yang digunakan adalah data nilai tukar rupiah dan indeks harga saham gabungan

dari Indonesia, Malaysia, Singapore, Thailand, Phillipina dan Hongkong. Adapun periode waktu

yang digunakan diupayakan sama yaitu dari data periode waktu 01 Juli 1997 hingga 30 Juni

2006. Jenis data yang dipergunakan meliputi data harian stock market index , dan nilai tukar

rupiah terhadap USDollar. Seluruh data diambil dari CEIC data.

Stock market index yang dipergunakan yaitu Jakarta Stock Exchange Composite Price

Index untuk Indonesia, Kuala Lumpur Composite Price Index untuk Malaysia, Bangkok S.E.T

price index untuk Thailand, Singapore Straits Times Price Index untuk Singapore, Phillipine SE

Composite Price Index untuk phillipine dan Hang Seng Price Index untuk Hong Kong.

Page 53: Bemp April 2008

347Mengkaji Perubahan Nilai Tukar Rupiah dan Pasar Saham

III.2. Model

Model yang digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian ini adalah model vector

autoregression (VAR). Analisis menggunakan VAR diharapkan dapat menjelaskan perilaku

dinamis antar dua variabel atau lebih variabel endogen yang saling terkait. Penggunaan bivariate

VAR untuk melihat keterkaitan dua variabel dan Multitivariate VAR digunakan untuk melihat

keterkaitan lebih variabel.

Multivariate VAR akan memasukan beberapa variabel harga saham negara-negara Asia

Tenggara dan Hongkong untuk melihat pengaruh keterkaitan variabel-variabel dari negara-

negara tersebut. Model bivariate VAR yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua

variabel yaitu indeks harga saham gabungan Jakarta (IHSG) dan nilai tukar.

Multivariate VAR yang akan digunakan dalam penelitian ini akan mengikuti bentuk umum

VAR yang telah banyak digunakan oleh penelitian-penelitian sebelum dari kasus yang serupa

untuk berbagai negara. Secara umum bentuk multivariate VAR adalah sebagai berikut (Enders,

1995:312).

(III.11)

di mana Ai0 merupakan parameter yang menunjukkan intersep, dan Aij(L) merupakan variabel

lag dalam operator. Dengan mengikuti model persamaan (III.11 ) maka model multivariate VAR

yang akan dibangun dalam penelitian ini menjadi:

Di mana ER adalah nilai tukar riil Indonesia, Sedangkan SINDO, SMALAY, SSING, STHAI, PHI

DAN SHKG adalah indek harga saham Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina, dan

Hongkong.

Page 54: Bemp April 2008

348 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

Spesifikasi model VAR meliputi pemilihan variabel dan banyaknya selang yang digunakan

di dalam model. Sesuai dengan metodologi Sims (1980), variabel yang digunakan di dalam

persamaan VAR dipilih berdasarkan model ekonomi yang relevan. Teori ekonomi jelas berperan

di dalam pemilihan variabel ini, karena itu Bernanke dan Blinder (1992) menyebutnya sebagai

pendekatan semi-structural VAR. Adapun hubungan antar variabel dapat dilihat pada diagram

berikut:

Grafik III.3. Alur Pikir

PergerakanIHSG

PergerakanKLCI/STI/TSI/

PSI/HSI

PergerakanKurs IDR

Para fund manager akan memindahkan investasinya dari pasar finansial di luar negeri

kepasar saham di Indonesia bila dinilai pasar saham Indonesia memberikan potensi keuntungan

yang memadai. Akibatnya ketika para fund manager melakukan tindakan tersebut, maka

melalui pemindahan dana dari mata uang asing ke dalam bentuk rupiah akan menggerakkan

nilai tukar rupiah dan pada akhirnya akan dipindahakan dalam bentuk investasi di pasar saham.

Sehingga pergerakan nilai tukar akan diikuti dengan pergerakan pasar saham Jakarta. Demikian

sebaliknya, para fund manager asing akan melakukan keputusan untuk melepas portfolio

investasi di pasar saham Jakarta dan akan memindahkan dana mereka pada pasar finansial di

luar negeri. Tindakan mereka akan berdampak pada pergerakan nilai tukar rupiah. Sehingga

pergerakan pasar saham Jakarta akan diikuti dengan perubahan nilai tukar rupiah.

Pergerakan antar pasar saham yang saling mempengaruhi tidak harus diikuti oleh

pergerakan dana. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh psikologis dari para pelaku pasar

yang dalam mengambil keputusan investasinya akan memperhatikan perkembangan pergerakan

pasar saham regional. Oleh karena itu tidak tertutup kemungkinan bahwa pergerakan pasar

saham Jakarta dipengaruhi atau mempengaruhi pergerakan pasar saham Singapore, Kuala

Lumpur, Thailand, Phillipine dan Hongkong.

Page 55: Bemp April 2008

349Mengkaji Perubahan Nilai Tukar Rupiah dan Pasar Saham

IV. HASIL DAN ANALISIS

Secara garis besar terdapat empat hal yang ingin diperoleh dalam pembentukan suatu

sistem persamaan dengan menggunakan persamaan VAR, yaitu mengetahui hubungan sebab

akibat antar variabel, melacak respon variabel saat ini atau diwaktu yang akan datang jika

terdapat shock pada variable tertentu lainnya, memprediksi kontribusi presentase varian setiap

variable terhadap perubahan variabel tertentu, dan melakukan ektrapolasi nilai saat ini dan

masa depan seluruh variabel dengan memanfaat seluruh informasi masa lalu variabel. Selanjutnya

seperti yang telah dipaparkan diatas, pengujian empiris yang dilakukan pada penelitian ini

menggunakan metode VAR. Metode VAR dipilih berkaitan dengan tujuan utama dilakukannya

penelitian ini adalah untuk melakukan kajian saling pengaruh antar variabel.

IV.1. Uji Kausalitas

Uji kausalitas antar variabel dilakukan hingga lag 5 dengan menggunakan pendekatan

Granger untuk sample waktu 1 Juli 1997 hingga 30 Juni 2006 menunjukkan bahwa :

a. Bursa saham Jakarta secara granger berpengaruh nilai tukar rupiah dengan lag 2, lag 3, lag

4, dan lag 5.

b. Nilai tukar Rupiah secara granger berpengaruh kepada bursa efek Jakarta dengan lag 1, lag

2, lag 3, lag 4, dan Lag 5.

c. Bursa saham Kuala Lumpur secara granger berpengaruh nilai tukar rupiah dengan lag 2,

lag 3, lag 4, dan lag 5.

d. Nilai tukar Rupiah secara granger berpengaruh kepada bursa efek Kuala Lumpur dengan

lag 1, lag 2, lag 3, lag 4, dan Lag 5.

e. Bursa saham Bangkok secara granger berpengaruh nilai tukar rupiah dengan lag 2, lag 3,

lag 4, dan lag 5.

f. Nilai tukar Rupiah secara granger berpengaruh kepada bursa efek Bangkok dengan lag 2,

lag 3, lag 4, dan Lag 5.

g. Bursa saham Philipine secara granger berpengaruh nilai tukar rupiah dengan lag 2, lag 3,

lag 4, dan lag 5.

h. Nilai tukar Rupiah secara granger berpengaruh kepada bursa efek Philipine dengan lag 2,

lag 3, lag 4, dan Lag 5.

i. Bursa saham Hongkong secara granger berpengaruh nilai tukar rupiah dengan lag 2, lag 3,

lag 4, dan lag 5.

j. Nilai tukar Rupiah secara granger berpengaruh kepada bursa efek Hongkong dengan Lag

5.

Page 56: Bemp April 2008

350 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

k. Bursa saham Jakarta secara granger berpengaruh kepada bursa efek Singapore dengan lag

1, lag 2, lag 3, lag 4, dan Lag 5.

l. Bursa saham Jakarta secara granger berpengaruh kepada bursa efek Kuala Lumpur dengan

lag 1, lag 2, lag 3, lag 4, dan Lag 5.

m. Bursa saham Bangkok secara granger berpengaruh kepada bursa efek Jakarta dengan lag

1, lag 2, lag 3, lag 4, dan Lag 5.

n. Bursa saham Jakarta secara granger berpengaruh kepada bursa efek Bangkok dengan lag

2, lag 3, lag 4, dan Lag 5.

o. Bursa saham Phillipine secara granger berpengaruh kepada bursa efek Jakarta dengan lag

4, dan Lag 5.

p. Bursa saham Jakarta secara granger berpengaruh kepada bursa efek Phillipine dengan lag

1, lag 2, lag 3, lag 4, dan Lag 5.

q. Bursa saham Hongkong secara granger berpengaruh kepada bursa efek Jakarta dengan

lag 2, lag 3, lag 4, dan Lag 5.

r. Bursa saham Jakarta secara granger berpengaruh kepada bursa efek Hongkong dengan

Lag 5.

IV.2. Uji Stabilitas Data

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Nilai Tukar Rupiah (ler), Jakarta Stock

Exchange Composite Price Index untuk Indonesia (lsindo), Kuala Lumpur Composite Price Index

untuk Malaysia (lsmalay), Bangkok S.E.T price index untuk Thailand (lsthai), Singapore Straits

Times Price Index untuk Singapore (lssing), Phillipine SE Composite Price Index untuk Phillipine

(lsphi) dan Hang Seng Price Index untuk Hong Kong (lshkg). Variabel-variabel tersebut sebelum

diestimasi menggunakan sistem VAR terlebih dahulu diuji kestasioneran datanya menggunakan

uji Augmented Dickey Fuller (ADF) dan Phillips-Perron (PP). dari hasil uji tersebut akan didapatkan

nilai kritis dari masing-masing metode tersebut.

Untuk keperluan pengujian akar unit, kita menggunakan hipotesis nol yang menyatakan

bahwa setiap data mempunyai akar unit (data tidak stasioner). Jika dari hasil pengujian tenyata

menolak hipotesis nol (data tidak stasioner) maka berarti data telah stasioner. Hasil pengujian

dinyatakan menolak hipotesis nol jika nila p-value (prob.) lebih kecil dari dari nilai alpha (critical

value) yang kita gunakan. Dalam pada itu dalam penelitian ini kita menggunakan nilai alpha

10% atau 0,1. dengan demikian dari hasil ADF dan PP maka menunjukkan bahwa pada first

defference semua data menunjukkan tolak hipotesa nol yang berarti data stasioner.

Page 57: Bemp April 2008

351Mengkaji Perubahan Nilai Tukar Rupiah dan Pasar Saham

Table III.1Hasil Uji Stasionaritas

Ler 0.0013 0.0000 0.0026 0.0000Lsindo 0.3431 0.0000 0.3555 0.0000Lshkg 0.4164 0.0000 0.4792 0.0000

Lsmalay 0.0364 0.0000 0.0413 0.0000Lsphi 0.6127 0.0000 0.6434 0.0000Lssing 0.7002 0.0000 0.0600 0.0001Lsthai 0.2985 0.0000 0.3903 0.0000

Test Critical Value1% level -3.961970 -3.9608375% level -3.411730 -3.411175

10% level -3.127747 -3.127417

Uji Stasioneritas Variabel ADF (Prob. Value) PP (Prob. Value)

Variabel I(0) I(1) I(0) I(1)

IV.3. Penetapan dan Uji Sample Waktu

Setelah dilakukan pengamatan atas periode data yang akan diteliti yaitu dari 01-07-

1997 hingga 30-06-2006, maka dalam kajian diputuskan untuk membagi periode waktu

penelitian menjadi beberapa periode sampel waktu. Pembagian periode waktu didasarkan

pada pengamatan tren pergerakan nilai tukar rupiah dan tren pergerakan indeks saham

gabungan Jakarta.

Atas dasar pergerakan nilai tukar rupiah maka ditetapkan :

- Sampel 1 : periode 01Juli 1997 s.d. 30 Desember 2001

- Sampel 2 : periode 1 Januari 2002 s.d. 30 Juni 2006

- Selanjutnya dilakukan pula analisa dengan menggunakan sampel penuh yaitu :

- Sampel 3 : periode 01 Juli 1997 s.d. 30 Juni 2006

Pengujian 4 sampel waktu ini dilakukan dengan (i) uji kointegrasi, (ii) uji stabilitas VAR

dan (iii) pembentukan model VAR. Uji kointegrasi dilakukan dengan maksud untuk

mengindikasikan hubungan antar variabel, khususnya mengindikasikan hubungan dua arah

atau satu arah atau tidak memiliki hubungan antar variabel. Sedangkan uji stabilitas VAR

dilakukan untuk memperoleh keyakinan bahwa model VAR yang dibentuk seluruh roots nya

kurang dari satu, sehingga persamaan VAR yang akan dihasilkan tidak bias.

Page 58: Bemp April 2008

352 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

IV.3.1. Uji Kointegrasi dan Stabilitas VAR untuk Periode 01Juli 1997 s.d. 30Desember 2001

Dari hasil uji kointegrasi untuk periode waktu 01 Juli 1997 hingga 30 Desember 2001,

menunjukkan bahwa dengan tingkat kepercayaan 5% mengindikasikan terdapat 2 kointegrasi

dan dengan tingkat kepercayaan 1% menunjukkan bahwa terdapat setidak-tidaknya satu

hubungan kointegrasi dari variable yang diuji.

Uji stabilitas VAR untuk data periode waktu 01 Juli 1997 hingga 30 Desember 2001

menunjukkan hasil VAR stabil tercapai pada selang 30 dengan seluruh roots nya memiliki modulus

kurang dari satu dan semuanya terletak didalam unit circle.nPembentukan Model VAR

Pada uji VAR optimum menunjukkan bahwa untuk data periode 01 Juli 1997 hingga 30

Desember 2001, VAR optimum tercapai pada selang 1 periode. Dengan demikian multivariate

VAR model yang dihasilkan sebagaimana pada Tabel III.2. menunjukkan hal-hal sebagai berikut:

a. Perubahan nilai tukar rupiah dipengaruhi perkembangan satu hari sebelumnya dari

perkembangan nilai tukar rupiah, pasar saham Jakarta, pasar saham Singapore, pasar saham

Kuala Lumpur, dan Pasar saham Hongkong

b. Bursa saham Jakarta dipengaruhi oleh perkembangan perdagangan saham Jakarta, pasar

saham Hongkong dan pasar saham Thailand pada satu hari sebelumnya.

c. Perubahan nilai tukar rupiah selain mempengaruhi perkembangan nilai tukar rupiah satu

hari kemudian , mempengaruhi pula pergerakan bursa saham Philipina dan bursa saham

Singapore pada satu hari kemudian.

d. Bursa saham Jakarta selain mempengaruhi perkembanagn rupiah dan bursa saham Jakarta,

mempengaruhi pula perkembangan bursa saham Kuala Lumpur dan bursa saham Thailand

pada satu hari kemudian.

Table III.2Hasil Estimasi VAR, Januari 1997 √ Desember 2001

D(LER(-1)) -0.042097*) 0.021049 -0.013291 -0.016489 -0.044478*) -0.029640*) -0.010066D(LSINDO(-1)) -0.098368*) 0.074817*) 0.007512 0.086115*) 0.020760 0.005335 0.060022*)D(LSHKG(-1)) -0.151070*) 0.068652*) -0.045884 0.064585*) 0.040087 0.037667*) 0.002113D(LSMALAY(-1)) -0.177830*) -0.029906 -0.012506 -0.137634*) 0.034524 -0.006022 -0.055669*)D(LPHI(-1)) 0.021475 0.001056 -0.014090 0.043777 -0.005259 -0.010642 0.012910D(LSSING(-1)) 0.138610*) -0.028947 0.041543 -0.004473 0.078236*) 0.006765 0.157111*)D(LSTHAI(-1)) -0.016770 0.068844*) 0.034665 0.027020 0.065471*) 0.018066 0.021009

D(LER) D(LSINDO) D(LSHKG) D(LSMALAY) D(LPHI) D(LSSING) D(LSTHAI)

Hasil Vector Autoregression EstimatesSample(adjusted): 7/03/1997 12/30/2001

Sumber: Pengolahan data Keterangan : *) significan pada α = 5%

Page 59: Bemp April 2008

353Mengkaji Perubahan Nilai Tukar Rupiah dan Pasar Saham

IV.3.2. Uji Kointegrasi dan Stabilitas VAR untuk Periode 1 Januari 2002 s.d. 30Juni 2006

Dari hasil uji stabilitas VAR, Var stabil tercapai pada selang 30 dengan seluruh roots nya

memiliki modulus kurang dari satu dan semuanya terletak didalamunit circle. Selang optimum

untuk data periode 01 Januari 2002 hingga 30 Juni 2006 tercapai pada selang 6 periode.

Dengan demikian multivariate VAR model yang dihasilkan sebagaimana pada Tabel III.3.

menunjukkan hal-hal sebagai berikut :

a. Perubahan nilai tukar rupiah dipengaruhi oleh perkembangan nilai tukar rupiah (1, 2 dan 4

hari sebelumnya), perkembangan bursa saham Jakarta (1, 3 dam 6 hari sebelumnya), dan

perkembangan bursa saham Phillipine (6 hari sebelumnya).

b. Bursa saham Jakarta dipengaruhi oleh perkembangan nilai tukar rupiah (4 dan 5 hari

sebelumnya), perkembangan bursa saham Jakarta (4 hari sebelumnya), perkembangan bursa

saham Kuala Lumpur ( 4 dan 5 hari sebelumnya), bursa saham Thailand (3 hari sebelumnya),

dan perkembangan bursa saham Phillipine (4 dan 6 hari sebelumnya),

c. Perubahan nilai tukar rupiah tidak mempengaruhi pergerakan pasar saham regional dan

Hongkong.

d. Bursa saham Jakarta mempengaruhi pergerakan pasar saham Singapore (1 dan 3 hari

kemudian), bursa saham Kuala Lumpur (2, 4 dan 6 hari kemudian), bursa saham Thailand

(3, dan 4 hari kemudian), bursa saham Phillipine (1hari kemudian) dan bursa saham Hongkong

(4 hari kemudian)

IV.3.3. Uji Kointegrasi dan Stabilitas VAR untuk Periode 01 Juli 1997 s.d. 30Juni 2006

Dari hasil uji kointegrasi untuk periode waktu 01 Juli 1997 hingga 30 Juni 2006,

menunjukkan bahwa terdapat 2 kointegrasi pada critical value baik 5% maupun 1%. Hasil

VAR stabil tercapai pada selang 30 dengan seluruh roots nya memiliki modulus kurang dari

satu dan semuanya terletak didalam unit circle

Selang optimum untuk data periode 01 Juli 2007 hingga 30 Juni 2006 tercapai pada

selang 7 periode. Dengan demikian multivariate VAR model yang dihasilkan sebagaimana pada

Tabel III.4. menunjukkan hal-hal sebagai berikut :

a. Perubahan nilai tukar rupiah dipengaruhi oleh perkembangan nilai tukar rupiah ( 1, 3 , 4, 5,

6 dan 7 hari sebelumnya) , perkembangan bursa saham Jakarta (1 hari sebelumnya),

perkembangan bursa saham Kuala Lumpur (1 hari sebelumnya), perkembangan bursa saham

Phillipine (2 hari sebelumnya), dan perkembangan bursa saham Hongkong (1 dan 5 hari

sebelumnya).

Page 60: Bemp April 2008

354 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

b. Bursa saham Jakarta dipengaruhi oleh perkembangan bursa saham Jakarta (1, 3 dan 6 hari

sebelumnya), perkembangan bursa saham Kuala Lumpur (3 dan 6 hari sebelumnya),

perkembangan bursa saham Thailand (1, 3, 4 dan 7 hari sebelumnya), perkembangan bursa

saham Phillipine (2 hari sebelumnya), dan perkembangan bursa saham Hongkong (1, 3

dan 5 hari sebelumnya).

Table III.3Hasil Estimasi VAR, Januari 2002 √ Juli 2006

D(LER(-1)) -0.042097*) 0.021049 -0.013291 -0.016489 -0.044478*) -0.029640*) -0.010066D(LER(-1)) -0.076122*) 0.014852 -0.047191 -0.020365 -0.052818 -0.017916 -0.026199D(LER(-2)) -0.084171*) -0.021548 0.179602 -0.031731 -0.005872 -0.022320 -0.021598D(LER(-3)) -0.039269 -0.059636 0.149356 -0.030083 0.041847 -0.022077 -0.016344D(LER(-4)) 0.050325*) -0.116281*) -0.134972 -0.020090 -0.049279 0.074897 -0.033684D(LER(-5)) -0.015979 0.096232*) 0.027740 0.003243 0.022651 -0.031720 0.060020D(LER(-6)) -0.010431 -0.082524 -0.029821 0.022671 -0.039997 0.034258 0.038975

D(LSINDO(-1)) -0.065395*) 0.029636 0.226544*) 0.020452 0.007998 0.073356*) -0.025133D(LSINDO(-2)) 0.009045 -0.049589 0.104428 -0.029421*) -0.040307 -0.003003 -0.028083D(LSINDO(-3)) -0.032642*) 0.044654 0.140710*) 0.005414 0.051382*) 0.007600 0.007502D(LSINDO(-4)) -0.017898 -0.065916*) -0.026236 -0.035616*) -0.056828*) -0.033284 -0.050493*)D(LSINDO(-5)) -0.012637 0.002152 -0.047344 0.008960 -0.020997 0.021781 -0.012833D(LSINDO(-6)) -0.035347*) 0.006214 -0.066607 0.026134*) -0.023229 -0.016804 -0.014783D(LSSING(-1)) -0.001202 0.004590 0.000541 0.001922 0.003043 -0.000237 0.009193D(LSSING(-2)) -0.000190 0.000467 -0.005912 3.85E-05 -0.002449 0.000807 -0.002897D(LSSING(-3)) 0.000331 0.004082 -0.647783*) 0.000698 0.002904 0.005688 -0.001886D(LSSING(-4)) 2.44E-05 0.005279 -0.002996 0.001460 0.001670 -0.002043 0.011244*)D(LSSING(-5)) 8.18E-05 -0.000148 -0.001772 9.92E-05 0.004347 0.001694 -0.001758D(LSSING(-6)) 0.000530 0.002651 -0.311454*) 0.005525 0.006029 0.007908 -0.000981

D(LSMALAY(-1)) 0.002206 -0.005346 0.002888 0.053118*) 0.074149 0.005701 -0.045023D(LSMALAY(-2)) 0.008570 0.064782 -0.000501 0.021648 0.056807 0.030222 0.029833D(LSMALAY(-3)) -0.034898 -0.093834*) 0.266858*) 0.040217 -0.020020 -0.000589 0.007396D(LSMALAY(-4)) -0.003308 0.155330*) -0.071033 0.007808 -0.027274 0.042264 0.041949D(LSMALAY(-5)) -0.012508 0.008572 -0.030639 0.010502 0.065886 -0.067937 -0.026403D(LSMALAY(-6)) 0.029861 -0.028245 -0.003966 -0.014818 0.005695 0.038203 0.044287

D(LSTHAI(-1)) -0.008595 0.047794 -0.042198 0.005676 0.001591 0.057930 -0.005968D(LSTHAI(-2)) 0.000386 -0.031314 -0.026371 -0.014553 0.015110 -0.038440 -0.016581D(LSTHAI(-3)) -0.011671 0.063360*) 0.022284 -0.004145 0.012524 0.032397 0.031135D(LSTHAI(-4)) -0.001557 -0.017118 -0.039331 0.034707*) 0.026967 0.033238 0.009268D(LSTHAI(-5)) -0.003680 0.003046 0.043952 -0.002749 -0.015185 0.039229 0.027024D(LSTHAI(-6)) 0.005474 -0.021697 0.082084 -0.015163 -0.040308 0.016180 0.027242

D(LPHI(-1)) 0.007936 -0.002237 -0.210549*) -0.021246 0.035013 0.088112 -0.046468*)D(LPHI(-2)) 0.017486 0.005831 0.065846 0.013907 -0.010660 -0.002026 0.003683D(LPHI(-3)) 0.005030 0.035453 -0.077385 -0.009181 0.004898 0.021846 0.014966D(LPHI(-4)) 0.007845 0.092761*) 0.038607 0.020397 0.061248*) -0.040652 0.020919D(LPHI(-5)) 0.003802 0.006544 -0.049543 -0.005029 0.011983 -0.032785 -0.031373D(LPHI(-6)) -0.023780*) 0.075663*) 0.022142 5.79E-05 0.062878 0.054967 0.002865

D(LSHKG(-1)) -0.026081 0.051446 -0.079409 0.022164 -0.016661 0.041149 0.029823D(LSHKG(-2)) -0.025519 -0.034841 -0.076264 0.042875*) 0.014329 -0.014838 0.050209D(LSHKG(-3)) 0.021814 -0.015331 0.338673*) 0.032809*) 0.016501 0.025791 0.028759D(LSHKG(-4)) 0.020017 0.007120 -0.091535 -0.018461 0.002192 -0.000105 -0.052829D(LSHKG(-5)) 0.005048 0.038406 0.109367 0.022186 0.006404 -0.001653 0.009467D(LSHKG(-6)) 0.020751 0.027937 0.153159 0.008886 -0.005590 -0.010715 -0.008536

D(LER) D(LSINDO) D(LSSING) D(LSMALAY) D(LSTHAI) D(LPHI) D(LSHKG)

Hasil Vector Autoregression EstimatesSample(adjusted): 1/01/2002 6/26/2006

Sumber: Pengolahan data Keterangan : *) significan pada α = 5%

Page 61: Bemp April 2008

355Mengkaji Perubahan Nilai Tukar Rupiah dan Pasar Saham

Table III.4Hasil Estimasi VAR, Seluruh Sampel

D(LER(-1)) -0.040097*) 0.020852 -0.034028 -0.011834 -0.011946 -0.044745 -0.020363D(LER(-2)) 0.029206 -0.010518 -0.004806 0.027584*) -0.000629 -0.032079*) -0.019025D(LER(-3)) -0.029769*) 0.006627 0.001906 0.048303*) 0.022154*) 0.021746*) 0.034464*)D(LER(-4)) 0.053998*) -0.001947 -0.037290*) -0.048162*) -0.020954 -0.005380 -0.017123D(LER(-5)) -0.049271*) -0.003950 -0.008424 0.032896*) -0.006251 -0.020606 -0.016107D(LER(-6)) -0.041718*) 0.022492 0.001614 -0.016267 0.014258 0.021862*) 0.001214D(LER(-7)) 0.036070*) 0.069009*) -0.025450 -0.014481 0.045560 0.009885 -0.010976

D(LSINDO(-1)) -0.074854*) 0.058352*) 0.060523*) 0.062692*) 0.056522*) 0.039942*) 0.000101D(LSINDO(-2)) -0.018675 -0.000439 0.011427 0.012058 -0.005512 -0.031349*) -0.020466D(LSINDO(-3)) -0.019316 0.050602*) 0.088238*) 0.018217 0.040417*) 0.039236*) 0.023426D(LSINDO(-4)) -0.008663 -0.003216 -0.001486 0.055926*) -0.021422 0.025054 0.030451D(LSINDO(-5)) -0.036996 -0.018517 -0.033456 0.001698 -0.006423 -0.006946 -0.039991D(LSINDO(-6)) 0.026283 -0.050830*) -0.011888 0.003471 -0.030068 -0.012974 -0.025105D(LSINDO(-7)) 0.033064 0.002097 -0.046525 0.021691 -0.001305 0.024023 0.019979D(LSSING(-1)) 0.014510 -0.003614 -0.005333 -0.001135 0.010662 0.006954 0.012518D(LSSING(-2)) 0.000577 -0.004903 -0.007165 -0.011534 -0.005377 -0.006939 -0.005991D(LSSING(-3)) 0.000599 0.002545 -0.586498*) 0.004579 0.002145 0.005593 0.002846D(LSSING(-4)) 0.011398 -0.001312 -0.015729 0.002203 0.002943 0.006679 0.019047D(LSSING(-5)) 0.002851 -0.001852 -0.004084 -0.010791 -0.001722 -0.001079 -0.008579D(LSSING(-6)) -0.000637 0.000470 -0.265217*) 0.010710 0.004491 0.006710 0.001199D(LSSING(-7)) 0.014936 -0.003769 -0.009672 0.003770 -0.001379 0.002904 0.017333

D(LSMALAY(-1)) -0.158991*) -0.019686 -0.014370 -0.096801*) -0.024443 0.036575*) -0.006028D(LSMALAY(-2)) 0.042417 0.001430 0.021777 0.064919*) 0.018332 0.013399 -0.035286*)D(LSMALAY(-3)) -0.001992 0.035849*) 0.077032*) 0.087402*) 0.047496*) -0.004301 -0.025606D(LSMALAY(-4)) 0.003356 -0.004981 0.019769 -0.035901*) -0.006765 0.011574 0.041048*)D(LSMALAY(-5)) 0.024465 -0.018253 0.001268 0.006788 -0.020515 -0.006406 0.005104D(LSMALAY(-6)) -0.023391 -0.040944*) -0.000655 -0.113214*) -0.027953 -0.022774 -0.028969D(LSMALAY(-7)) -0.021397 0.023835 0.035973 0.062067*) 0.024872 -0.007068 -0.028264

D(LSTHAI(-1)) -0.006948 0.062780*) -0.000438 0.019744 0.001869 0.072948*) 0.029727D(LSTHAI(-2)) -0.005346 0.007902 -0.007931 -0.040536*) -0.020964 0.014238 -0.020126D(LSTHAI(-3)) -0.041984 0.063343*) 0.082499*) 0.012862 0.027445 0.036817*) 0.032701D(LSTHAI(-4)) 0.009596 0.042151*) -0.008390 0.095672*) 0.039595 0.009152 0.011678D(LSTHAI(-5)) -0.017431 -0.010468 -0.001172 -0.031568*) -0.013691 0.004983 -0.053839*)D(LSTHAI(-6)) 0.019108 -0.010903 0.040761 0.019509 -0.020944 -0.000194 0.036745*)D(LSTHAI(-7)) -0.015129 0.071243*) 0.009221 -0.001687 0.018927 0.060564 0.020890

D(LPHI(-1)) 0.022167 0.003144 -0.074023*) 0.022900 0.040557*) 0.027335 -0.011242D(LPHI(-2)) 0.086593*) -0.041862*) 0.022917 -0.025360 -0.015834 -0.051075*) -0.030459D(LPHI(-3)) -0.009063 0.032634 0.046531 0.003443 0.053090*) 0.036553*) 0.052674*)D(LPHI(-4)) 0.046270 0.025501 -0.005121 0.053332*) 0.023940 -0.013834 0.013704D(LPHI(-5)) 0.029838 0.028675 0.016521 -0.004620 0.005595 -0.035601*) 0.003908D(LPHI(-6)) 0.052960 0.005674 0.027211 -0.028165 0.021812 0.009231 -0.030679D(LPHI(-7)) 0.037352 -0.025744 0.043626 -0.028683 -0.008152 -0.056814*) 0.003419

D(LSHKG(-1)) -0.108306*) 0.057099*) 0.037866 0.067020*) 0.045615*) 0.050634*) -0.019465D(LSHKG(-2)) -0.044816 -0.017825 0.002321 0.042891*) 0.042408*) -0.000935 0.013690D(LSHKG(-3)) 0.039607 -0.038478*) 0.194998*) -0.003191 -0.004960 -2.21E-05 0.015568D(LSHKG(-4)) -0.022980 -0.042347 -0.005889 -0.101696*) -0.022515 -0.018456 -0.075115*)D(LSHKG(-5)) -0.071820*) 0.039714*) 0.103458*) 0.065246*) 0.056753*) 0.029436 0.113595*)D(LSHKG(-6)) 0.035595 0.022695 0.096881*) 0.041643*) 0.029918 0.017520 -0.020198D(LSHKG(-7)) 0.018849 -0.014632 -0.021913 -0.059188*) -0.023470 -0.006595 -0.040140*)

D(LER) D(LSINDO) D(LSSING) D(LSMALAY) D(LSTHAI) D(LPHI) D(LSHKG)

Hasil Vector Autoregression EstimatesSample(adjusted): 7/09/1997 6/26/2006

Sumber: Pengolahan data Keterangan : *) significan pada α = 5%

Page 62: Bemp April 2008

356 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

c. Perubahan nilai tukar rupiah mempengaruhi pergerakan pasar saham regional dan

Hongkong, yaitu bursa saham Singapore ( 1 dan 3 hari kemudian), bursa saham Kuala

Lumpur (1 dan 4 hari kemudian), Bursa saham Thailand (1 dan 3 hari kemudian), Bursa

saham Phillipine (1, 2, dan 3, hari kemudian )

d. Bursa saham Jakarta mempengaruhi pergerakan pasar saham regional dan Hongkong, yaitu

bursa saham Singapore ( 4 hari kemudian), bursa saham Kuala Lumpur (2, 3, 4 dan 5 hari

kemudian), Bursa saham Thailand (1 dan 3 hari kemudian), dan Bursa saham Phillipine (1, 2,

dan 3 kemudian)

IV.4. Pembandingan Sample Waktu

IV.4.1. Pergerakan Nilai Tukar Rupiah

Dengan melihat kembali pergerakan Rupiah (Grafik III.1), maka kita dapat menyatakan

bahwa Sample 1 merupakan periode pelemahan rupiah ternyata terkait dengan perkembangan

satu hari sebelumnya dari perkembangan nilai tukar rupiah, pasar saham Jakarta, pasar saham

Singapore, pasar saham Kuala Lumpur, dan Pasar saham Hongkong

Pada sample 2, yang merupakan periode stabilisasi nilai rupiah dan penguatan bursa

saham Jakarta, maka nilai tukar rupiah dipengaruhi perkembangan nilai tukar rupiah (1, 2 dan

4 hari sebelumnya), perkembangan bursa saham Jakarta (1, 3 dam 6 hari sebelumnya), dan

perkembangan bursa saham Phillipine (6 hari sebelumnya).

Sedang untuk sample 3 yang merupakan penggabungan seluruh sample waktu

menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi pergerakan nilai tukar adalah perkembangan

nilai tukar rupiah ( 1, 3 , 4, 5, 6 dan 7 hari sebelumnya) , perkembangan bursa saham Jakarta

(1 hari sebelumnya), perkembangan bursa saham Kuala Lumpur (1 hari sebelumnya),

perkembangan bursa saham Phillipine (2 hari sebelumnya), dan perkembangan bursa saham

Hongkong (1 dan 5 hari sebelumnya).

Dari kajian ketiga periode waktu tersebut, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa

perubahan nilai tukar rupiah dipengaruhi oleh perkembangan bursa saham regional dan bursa

saham Hongkong kecuali bursa saham Thailand, yang secara statistik ternyata tidak berdampak

pada pergerakan nilai tukar rupiah.

IV.4.2. Pengaruh bursa saham regional dan bursa saham Hongkong terhadappergerakan Bursa Saham Jakarta

Pergerakan bursa saham di Jakarta ternyata tidak dipengaruhi oleh pergerakan bursa

Page 63: Bemp April 2008

357Mengkaji Perubahan Nilai Tukar Rupiah dan Pasar Saham

saham Singapore dan bursa saham Hongkong., namun perkembangan bursa saham Jakarta

dipengaruhi oleh perkembangan bursa saham regional lainnya. Pada umumnya pengaruh

regional pasar saham tersebut terjadi pada 1, 3, 4, 5 , 6 dan 7 hari kemudian. Terutama oleh

perkembangan bursa saham Thailand (1, 3, 4 dan 7 hari sebelumnya), perkembangan bursa

saham Hongkong (1, 3 dan 5 hari sebelumnya) dan perkembangan bursa saham Kuala Lumpur

(3 dan 6 hari sebelumnya),

IV.4.3. Dampak Nilai Rupiah Terhadap Bursa Saham Regional

Dalam periode ketika nilai tukar rupiah bergejolak, yaitu periode 1 Juli 1997 hingga 30

Desember 2001, Perubahan nilai tukar rupiah selain mempengaruhi perkembangan nilai tukar

rupiah satu hari kemudian , mempengaruhi pula pergerakan bursa saham Philipina dan bursa

saham Singapore pada satu hari kemudian, dan ketika nilai tukar rupiah relatif stabil, yaitu

pada periode 1 Januari 2002 hingga 30 juni 2006, ternyata tidak terbukti secara statistik

menunjukkan bahwa gejolak nilai tukar rupiah mempengaruhi pergerakan bursa saham regional

dan bursa saham Hongkong. Namun dengan mendasarkan pada gabungan sample waktu

menunjukkan adanya pengaruh pergerakan nilai tukar rupiah terhadap pergerakan pasar saham

regional dan Hongkong, yaitu bursa saham Singapore ( 1 dan 3 hari kemudian), bursa saham

Kuala Lumpur (1 dan 4 hari kemudian), Bursa saham Thailand (1 dan 3 hari kemudian), Bursa

saham Phillipine (1, 2, dan 3, hari kemudian ), dengan koefisien yang kecil.

IV.4.4. Dampak Bursa Saham Jakarta Terhadap Bursa Saham Regional

Bursa saham Jakarta mempengaruhi pergerakan pasar saham regional dan Hongkong,

pada periode yang berbeda. Pergerakan bursa saham Jakarta lebih banyak mempengaruhi

bursa saham Kuala Lumpur dalam 2, 3, 4 dan 5 hari kemudian, kemudian Bursa saham Phillipine

dalam 1, 2, dan 3 hari kemudian, bursa saham Thailand dalam 1 dan 3 hari kemudian, dan

bursa saham Sinngapore dan bursa saham Hongkong dalam 4 hari kemudian. Dengan demikian

dapat ditarik kesimpulan bahwa pergerakan bursa saham Jakarta terintegrasi dengan pergerakan

bursa saham regional lainnya .

V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

V.1. Kesimpulan

Dari kajian yang dilakukan dengan pendekatan VAR melalui pemisahan periode waktu

pertama yaitu dari tanggal 1 Juli 1997 hingga 30 Desember 2001; periode waktu kedua yaitu

Page 64: Bemp April 2008

358 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

dari tanggal 1 Januair 2002 hingga 30 Juni 2006; dan periode waktu secara keseluruhan yaitu

dari 1 Juli 1997 hingga 30 Juni 2006 dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

a. Pergerakan nilai tukar rupiah dipengaruhi oleh perkembangan bursa saham regional dan

bursa saham Hongkong kecuali bursa saham Thailand, yang secara statistik ternyata tidak

berdampak pada pergerakan nilai tukar rupiah.

b. Pergerakan bursa saham Jakarta dipengaruhi oleh perkembangan bursa saham regional,

selain bursa saham Singapore dan bursa saham Hongkong.

c. Terbukti secara statistik bahwa gejolak nilai tukar rupiah mempengaruhi pergerakan bursa

saham regional dan bursa saham Hongkong, walaupun dalam koefisien yang terbatas

d. Pergerakan bursa saham Jakarta terintegrasi dengan pergerakan bursa saham regional lainnya

. Bursa saham Jakarta mempengaruhi pergerakan pasar saham regional dan Hongkong,

pada periode yang berbeda. Pergerakan bursa saham Jakarta lebih banyak mempengaruhi

bursa saham Kuala Lumpur dalam 2, 3, 4 dan 5 hari kemudian, kemudian Bursa saham

Phillipine dalam 1, 2, dan 3 hari kemudian, bursa saham Thailand dalam 1 dan 3 hari

kemudian, dan bursa saham Sinngapore dan bursa saham Hongkong dalam 4 hari kemudian.

V.2. Rekomendasi

Disadari bahwa kajian ini tidak dapat secara langsung dipakai sebagai dasar pengambilan

kebijakan di bidang nilai tukar maupun di bidang capital market mengingat kajian hubungan

antara nilai rupiah dan perkembangan bursa saham regional maupun hubungan antara bursa

saham Jakarta dengan bursa regional hanya mendasarkan pada data variabel indeks harga

saham dan nilai rupiah.

Namun demikian temuan dari kajian ini dapat dipergunakan sebagai sinyal atas hubungan

pengaruh antara perkembangan nilai tukar rupiah dan pergerakan pasar saham di regional

dan pasar saham Hongkong, maupun hubungan integrasi antar pasar saham di kawasan regional

dan pasar Hongkong.

Selanjutnya untuk lebih memperdalam kajian ini, pengembangan penelitian dengan

mempergunakan variabel lainnya seperti perkembangan transaksi modal, perkembangan nilai

tukar mata uang negara yang bersangkutan dan beberapa variabel lainnya dapat dipergunakan

dalam kajian mendatang.

Page 65: Bemp April 2008

359Mengkaji Perubahan Nilai Tukar Rupiah dan Pasar Saham

Daftar Pustaka

Abdalla, Issam S.A. and Victor Murinde, 1997, Exchange Rate and Stock Price Interactions in

Emerging Financial Markets: Evidence on India, Korea, Pakistan and the Philippines, Applied

Financial Economics, 7, 25 - 35

Aggarwal, Reena, Carla Inclan, and Ricardo Leal, 2001,Volatility in Emerging Stock Markets,

The Journal of Financial and Quantitative Analysis, Vol. 34.

Ajayi, Richard A and Mbodja Mougoue, 1996, On the dynamic relaption between stock prices

and exchange rates, The Journal of Financial Research, Vol. XIX, No. 2, pages 193-207.

Ajayi, Richard A, Joseph Friedman, and Seyed M. Mehdian, 1998, On the relationship between

stock returns and exchange rates: tests of granger causality, Global Finance Journal, 9(2):241-

251

Bekaert, Geert and Campbell R. Harvey, 2000, Foreign Speculators and Emerging Equity Market,

The Journal of Finance, VOL. LV, No. 2

Crowder, William J. and Mark E. Wohar, Cointegration, 1998, Forecasting and International

Stock Prices, Global Finance Journal, 9(2): 181 √ 204

Edison, Hali J., 1991, Forecast performance of exchange rate models revised, Applied Economics,

23, 187 √ 1996.

Fang, Wenshwo, 2001, Stock Return Process and Expected Depreciation Over the Asian Financial

Crisis, Applied Economics, 33, 905 - 912

Granger, C.W.J., Namwon Hyung, and Yongil Jeon, 2001, Spurious regressions with stationary

series, Applied Economics, Vol 33, 899-904

Hatemi-J, Abdulnasser and Manuchehr Irandoust, 2002, On the Causality Between Exchange

Rates and Stock Prices: A Note, Bulletin of Economic Research 54:2

Huang, Roger D. and William A. Kracaw, 1984, Stock Market Returns and Real Activity: A

Note, The Journal of Finance, VOL. XXXIX, No. I.

Oskooee, Mohsen Bahmani and Ahmad Sohrabian, 1992, Stock prices and the effective exchnge

rate of the dollar, Applied Economics, Vol 24, 459-464

Solnik, Bruno, 1987, Using Financial Price to Test Exchange Rate Models: A Note, The Journal

of Finance, VOL. XLII, No. 1

Page 66: Bemp April 2008

360 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

halaman ini sengaja dikosongkan

Page 67: Bemp April 2008

361Kinerja Pengelolaan Dana pada Pasar Modal Indonesia

KINERJA PENGELOLAAN DANAPADA PASAR MODAL INDONESIA

Yuyun Istavirti, SE., MSM 1, Dr. Ruslan Prijadi,Dr. Andi M. Alfian Parewangi

A b s t r a c t

The mutual fund is a fast growing, flexible and sizely attainable product, hence make it as favourable

choice for the investors. As in other developing countries, however, the management of the fund invested

in mutual fund is done by pointed fund manager. This paper raises and answers the question of how

efficient the fund management is. This paper ustilizes the decomposition return model on the monthly

data set from 2002-2006 in Indonesia. The model derived, enable us to trace and decompose the

management performance into (i) the allocation policy skill, (ii) the security selection skill and (iii) the

market timing strategy or the tactical asset allocation abilty.

The model estimation result shows significant management capabilities on allocating the fund into

suitable asset class. We record that the best asset allocation policy was on February 2002, June 2004,

August 2004 and February 2006. Inline with this, another result shows the negatif contribution of the

short term-tactical asset allocation as conformed by several previous studies; Treynor-Mazuy (1996),

Wardhani (2003), and Henriksson (1984) among others. There is an exception for February 2006 where

a successful market timing strategy contributed an additional 7.34% return. The security selection strategy

is confirmed to have a positive and significant impact on the mutual fund performance. During the

observation period, the best security selection strategy was achieved on February, March and July 2002,

September 2003, and March, October, and December 2005. For these certain period, the security selection

activities gave more than 2% additional monthly return.

1 Yuyun Istavirti adalah lulusan Program Pascasarjan Ilmu Manejemen Universits Indonesia ([email protected]); Dr. RuslanPrijadi adalah Ketua PPS Bidang Ilmu Manajemen Universitas Indonesia; Andi M. Alfian Parewangi adalah staf pengajar FEUI dankonsultan pada Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter - Bank Indonesia ([email protected]). Penulis berterima kasihkepada Prof Dr. I Gusti Ngurah Agung dan Dr. Rofiqoh Rokhim atas komentar dan saran yang diberikan dalam penelitian ini.

Page 68: Bemp April 2008

362 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

The policy implication is straightforward; a more intensively monitoring on the implementation of

the planned asset allocation to give a safer financial investment environment for the investors. This pper

also suggest the investment manager to provide a sufficient information about the portfolio»s risk profile.

Our quantitative description has shown a large varieties both on return and risk across the mutual fund

manager showing their varied risk taking behaviour, on which the investor has a right to know.

JEL Classification:JEL Classification:JEL Classification:JEL Classification:JEL Classification: H54, G11, G31, O16

Keywords: Mutual fund, asset allocation, security selection, market timing, period specific

estimation, financial investment.

Page 69: Bemp April 2008

363Kinerja Pengelolaan Dana pada Pasar Modal Indonesia

I. PENDAHULUAN

Indonesia sebagaimana negara berkembang lainnya, cenderung didominasi oleh pasar

uang ketimbang pasar modal. Sejauh ini, dapat dikatakan bahwa peran industri perbankan

dalam mengakselerasi sektor riil belum dapat dikatakan memuaskan. Berbagai permasalahan

seperti patahnya pass through effect suku bunga dari otorita moneter ke perbankan serta

tingginya resiko sektor riil merupakan kendala yang menghambat fungsi utama dari institusi

keuangan bank sebagai pool dan intermediator dana.

Menghadapi hal ini pasar modal merupakan salah satu alternatif. Meski pasar modal

Indonesia masih tergolong baru, namun merupakan pasar modal tertua di Asia Tenggara dan

keempat tertua di Asia setelah Bombay (1830), Hongkong (1871) dan Tokyo (1871) 2 . Dengan

jumlah investor yang sedikit, dari segi prestasi pasar modal Indonesia termasuk salah satu diantara

3 negara yang disebut sebagai the fastest growing capital market in Asia (Bapepam-LK,1995).

Selama 10 tahun terakhir rata-rata peningkatan indeks tahunan bursa Indonesia mencapai

12,76%, yang merupakan peningkatan tertinggi dibandingkan dengan pergerakan indeks bursa

regional lainnya.

Dalam pengelolaan reksadana, dana investor dipercayakan kepada manajer investasi. Ini

memunculkan pertanyaan tentang kemampuan manajer investasi untuk mengoptimalkan return

dana investasi untuk mencapai tujuan investasi3 sesuai dengan yang tercantum dalam

prospektus. Secara umum terdapat 3 jenis aktivitas pengelolaan yang dilakukan oleh manajer

investasi, pertama, kebijakan alokasi aset yakni keputusan untuk mengalokasikan dana kedalam

kelas aset yang ada, kedua, pemilihan sekuritas (stock picking) yakni keputusan untuk memilih

instrumen atau produk keuangan dari suatu kelas aset yang sama, dan ketiga, waktu pasar

(market timing atau sering dikenal dengan tactical asset allocation) yakni keputusan tentang

kapan transaksi dilakukan.

Di Indonesia studi tentang reksa dana menyangkut kemampuan manajer dalam hal

market timing dan stock picking dengan memasukkan variabel ekonomi makro pernah dilakukan

dengan menggunakan model Henriksson dan Merton (HM). Hasil yang diperoleh menunjukkan

bahwa secara keseluruhan manajer investasi masih belum memiliki kemampuan market timing

dan faktor ekonomi makro tidak memberikan pengaruh yang berarti terhadap kinerja reksa

dana saham (Partawidjaja, 2005).

2 Bapepam √LK Tahun 20043 Tujuan investasi yang biasa disebut dalam prospektus adalah menjaga nilai atau melindungi kapital (dana yang diinvestasikan),

memperoleh pendapatan tetap, dan membuat pertumbuhan jangka panjang.

Page 70: Bemp April 2008

364 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

Wardani (2003) dalam studinya mengaplikasikan model Henriksson dan Merton (HM)

yang dikombinasikan dengan model Carhart (1997), menemukan bahwa dari 18 reksa dana

saham yang diobservasi, hanya satu pengelola yang memiliki menunjukkan kemampuan stock

picking yang signifikan. Yati (2000) dengan data harian pada periode 1997-1999 menggunaka

model Treynor dan Mazuy (TM), menunjukkan adanya hubungan antara kinerja saham-saham

LQ 45 secara individual dengan kemampuan market timing pengelolaan dana. Dia juga

memperlihatkan bahwa beta adalah indikator penentu yang pentng dalam market timing saham-

saham di BEJ.

Sedangkan penelitian di luar negeri yang berkaitan dengan reksa dana dalam kaitannya

dengan asset allocation, security selection dan market timing telah banyak dilakukan diantaranya

oleh Kon (1983) yang menggunakan model pengukuran timing perfomance dari Fama dan

risk-adjusted selectivity perfomance-nya Jensen dengan meyertakan Quandt switching-regression

model ditambah faktor identitifiability condition dan prosedur diskriminan tambahan yang ia

kembangkan sendiri. Kon menemukan bahwa hanya 1 (satu) reksa dana yang memiliki

kemampuan pemilihan sekuritas dan market timing yang positif dan signifikan pada level

signifikansi 0.05.

Studi lain yang dilakukan Henriksson (1984) yang menggunakan model Henriksson-

Merton, menemukan bahwa hanya 3 dari 116 reksa dana yang memperlihatkan kemampuan

timing yang positif signifikan. Dari 3 reksa dana tersebut, keseluruhannya memiliki yang negatif

(2 diantaranya bahkan signifikan negatif) yang memperlihatkan inferior stock picking

perfomance.

Dari serangkaian telaah studi empiris yang penulis lakukan, sejauh ini penulis belum

mendapatkan studi yang menganalisa pengaruh kebijakan alokasi aset, pemilihan sekuritas,

dan waktu pasar terhadap kinerja reksa dana saham di Indonesia dalam satu analisis atau

model yang terintegrasi. Studi yang ada selama ini menganalisis 3 (tiga) strategi tersebut secara

terpisah-pisah. Ini yang merupakan latar belakang dari paper ini yakni apllikasi model yang

mampu mengintegrasikan 3 aspek pengelolaan dana secara bersamaan.

Secara eksplisit, paper ini berutujuan untuk menganalisa perkembangan pasar modal di

Indonesia melalui pengukuran kemampuan pengelolaan dana investasi oleh para pelaku di

pasar modal. Bagian selanjutnya dari paper ini akan menguraikan tinjauan teori dan model

teoritis yang menjadi landasaan. Bagian ketiga akan membahas model emprisi dan metodologi

yang dipergunakan untuk mengolah data, bagian keempat menyajikan hasil dan analisis

sementara kesimpulan akan diberikan pada bagian akhir.

Page 71: Bemp April 2008

365Kinerja Pengelolaan Dana pada Pasar Modal Indonesia

4 Blake,David,Bruce N.Lehmann,Allan Timmerman (1998),∆Asset Allocation Dynamics and Pension Fund Perfomance∆, Journal ofEconomics Literature,G11,G23

5 Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Brinson, Hood dan Beebower dengan data tahun 1977 sampai dengan tahun 1987, alokasiaset menyumbangkan 91.5% bagi kinerja investasi, sisanya ditentukan pemilihan sekuritas, market timing dan faktor lainnya.

6 Markowitz, H.M (1952), ≈ Portfolio Selection∆ The Journal of Finance, March ,Vol.7-1,77-91

II. TEORI

II.1 Konsep Dasar

Salah satu produk keuangan yang dipandang sebagai terobosan besar dalam pasar

keuangan khususnya pasar modal adalah mutal fund. Per definisi, reksa dana adalah wadah

yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya

diinvestasikan dalam bentuk portofolio efek oleh manajer investasi. Karena sifatnya yang seperti

ini, maka potensi partisipatory pelaku ekonomi menjadi lebih besar. Ditambah denngan

fleksibilitasnya yang besar, dalam skala agregat reksadana berpotensi menciptakan akumulasi

modal yang signifikan.

Terdapat 2 cara mengklasifikasikan reksa dana, pertama berdasarkan sifat operasionalnya

dan kedua berdasarkan jenis aset yang terkandung dalam reksa dana itu. Berdasarkan sifat

operasionalnya, reksa dana dapat terbagi menjadi 2 yakni reksa dana terbuka (open√end) dengan

ciri tidak perlu tercatat di bursa, dapat dijual sepanjang ada peminat, investor dapat menjual

kembali produk reksa dana ini ke pengelola dan harga produk ditentukan berdasarkan NAB

per saham yang dihitung oleh bank kustodia. Sebaliknya dari ciri itu dikategorikan sebagai

reksa dana tertutup (close-end) (Pratomo et al,2002:46). Berdasarkan berdasarkan kategorisasi

investasi, saat ini terdapat 6 jenis reksadana, 4 diantaranya yang diobservasi dalam paper ini

adalah reksadana pasar uang, reksadana pendapatan tetap, reksadana saham dana dan

reksadana campuran.

Dalam pengelolaan dana, manajer investasi dapat mengaplikasikan strategi pertama yakni

kebijakan alokasi aset yang merupakan informasi penting bagi setiap investor, terkait dengan

toleransi risiko yang mereka miliki. Alokasi aset ini biasanya diartikan sebagai pembentukan

bobot kelas aset normal atau bobot kelas aset pasif (Drobetz dan Kohler, 2002). Secara empiris,

kebijakan alokasi pasif ini disimpulkan sebagai faktor utama yang menentukan return investasi

(Blake et.al.,1998)4 dengan peran mencapai 91.5% (Brinson, Hood dan Beebower, 1986)5 .

Konsep utama yang melatarbelakangi lahirnya konsep pengalokasian aset adalah teori portofolio

modern6 yang diformalkan oleh Harry Markowitz dalam bentuk memasukkan prinsip diversifikasi.

Paper seminalnya ini yang mengantarkannya memperoleh hadiah Nobel Ekonomi pada tahun

1990.

Page 72: Bemp April 2008

366 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

7 Manurung, Adler. H (2007). ≈Reksa Dana Investasiku∆, September, Penerbit Buku Kompas-Jakarta8 Grafik yang menunjukkan portofolio-portofolio yang memaksimalkan imbal hasil harapan untuk setiap tingkat risiko.

Strategi alokasi aset dapat diverifikasi lebih lanjut menjadi 3 tipe (Manurung,2007)7 ,

yaitu (i) strategic asset allocation, (ii) tactical asset allocation yang merekomendasikan contrarian

trades sesuai dengan kondisi pasar (market timing) yang terjadi, dan (iii) dynamic asset allocation,

yang menyerupai aset alokasi strategis namun lebih menekankan pada pengendalian risiko.

Pendekatan ini disebut juga sebagai portfolio insurance.

Strategi kedua yang dapat dilakukan manajer investasi adalah pemilihan sekuritas (security

selection). 2 buah portofolio dapat memiliki komposisi alokasi yang sama namun dapat berbeda

dalam pilihan sekuritas. Tergantung pada kinerja sekuritas yang ada dalam masing-masing

portofolio, return kedua portofolio tersebut dapat berbeda.

Kebijakan yang ketiga adalah penentuan kapan harus membeli dan kapan harus menjual

instrumen dalam portfolio atau sering disebut strategi waktu pasar (market timing). Rule of

thumb implementasi strategi ini adalah buy low sell high. Strategi market timing yang tepat

membutuhkan pemahaman atas kondisi dan dinamika pasar. Disini, kemampuan untuk

memprediksi variabel-variabel kunci akan menentukan keberhasilan strategi ini.

Informasi investor yang lengkap tentang perilaku dan kinerja manajer investasi, akan

memudahkan penilaian apakah manajer investasi mereka telah melakukan smart-investing atau

speculative investing. Jika ditelusuri, akar teori untuk alokasi aset dan pemilihan sekuritas adalah

sama; kebijakan alokasi merupakan upaya untuk membentuk sebuah frontier yang efisien

(efficient frontier) 8 , sementara pemilihan sekuritas sesungguhnya adalah upaya untuk memilih

portofolio tertentu di-sepanjang frontier yang telah dipilih sebelumnya.

II.2. Penentuan Benchmark

Penggunaan tolak ukur (benchmark) dalam pengukuran kinerja reksa dana dimaksudkan

untuk membandingkan apakah kinerja reksa dana yang dikelola oleh manajer investasi dapat

≈mengalahkan∆ (outperform) pasar atau justru ≈kalah∆ (underperform) dari pasar.

Terdapat satu isu yang seringkali menjadi area kontroversi diantara studi-studi tersebut,

yakni pemilihan dan penentuan tolok ukur (benchmark). Patokan ini perlu untuk

membandingkan kinerja investasi dan mengetahui portofolio mana yang memiliki kinerja lebih

baik ditinjau dari besarnya tingkat return dari risiko dibandingkan patokan tersebut (Izakia et

al, 1997). Tolak ukur yang digunakan dalam paper ini menggunakan pembanding yang relevan

dan umum dipakai oleh pihak reksa dana, seperti Tabel 1.

Page 73: Bemp April 2008

367Kinerja Pengelolaan Dana pada Pasar Modal Indonesia

Tabel IV.1Pembanding Kinerja Reksa Dana (Benchmark) 9

1. Reksa dana saham Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), LQ 45dan Bisnis 40.

2. Reksa dana pendapatan tetap Rata-rata bunga deposito tiga bank (pemerintah danswasta) untuk periode 12 bulan.

3. Reksa dana pasar uang Rata-rata bunga deposito tiga bank (pemerintah danswasta) untuk periode 3 bulan setelah pajak.

4. Reksa dana campuran Menggunakan ketiga pembanding diatas

No. Jenis Reksa Dana Pembanding

Sumber: Izakia Mahdi, Eko P.Pratomo,Jasper J.Meijerink,1997:144, Mengukur Kinerja Reksa Dana, Mengapa Harus Reksa Dana?cetakan kedua, Jakarta:Glory Offset Press

9 Tolak ukur yang sama juga dikemukakan dalam buku Karvof, Anatoli., (2004). ≈Guide to Investing in Capital Market∆ ,PT. CitraAditya Bakri-Bandung. Pratomo, Eko dan Ubaidillah Nugraha (2005). ≈ Reksa Dana Solusi Perencanaan Investasi di Era Modern∆, PT.Gramedia Pustaka Utama-Jakarta.

∑=

==M

j

ijijii RPRER1

)(ˆ

Pada bagian berikutnya akan diuraikan konstruksi model empiris yang mengintegrasikan

kebijakan alokasi aset, stock picking dan market timing secara bersamaan.

II.3. Model Dekomposisi Return

Diasumsikan terdapat suatu portofolio P dimana Pp∈ . Masing-masing portofolio terdiri

dari N aset dimana Ni∈ (dalam paper ini terdapat 3 kelas aset). Pada setiap aset i dalam

portofolio p tersebut, terdapat M kemungkinan kejadian dimana Mj∈ . Kejadian yang dimaksud

adalah seperti kondisi pasar.

Misalkan dalam suatu kurun periode tertentu t, terdapat M = 3 variasi kejadian yakni

kondisi pasar yang baik, sedang dan buruk. Probabilita suatu masing-masing kejadian untuk

suatu aset i adalah Pij. Tentu saja untuk 2 aset yang berbeda, katakan saham 1 dan saham 2 (i

=1 dan i =2), probabilita untuk masing-masing kejadian sangat mungkin berbeda. Dengan

spesifikasi seperti ini, maka return yang diharapkan dari sebuah investasi i, secara umum dapat

dinyatakan dengan rumus sebagai berikut: (Elton et al,2003:46):

(IV.I)

Dalam hal ini )(ˆii RER = adalah tingkat return yang diharapkan dari investasi i,

ijP

merupakan probabilitas memperoleh return pada investasi i untuk peristiwa j, dan M adalah

banyaknya peristiwa (event) j yang mungkin terjadi. Rumus tersebut hanya dapat dipergunakan

apabila tingkat probabilitas kejadian (probabilitas masing-masing tingkat return) dapat

Page 74: Bemp April 2008

368 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

M

R

R

M

j

ij

i

∑== 1

Gambar IV.1. Dekomposisi Total Return

Kuadran-4 Kuadran-2

Return dariKebijakan Alokasi dan

Market Timing

Kuadran-3

Return dariKebijakan Alokasi dan

Kuadran-1

Return dariKebijakan Alokasi

(Sesuai denganbenchmark

ReturnAktualA

KTU

AL

PASI

F

PEMILIHAN SEKURITAS

MA

RK

ET T

IMIN

G

AKTUAL PASIF

Sumber: Brinson, Hood dan Beenbower, 1986

diperkirakan. Dalam kenyataan umumnya sulit menentukan probabilitas tingkat return, oleh

karena itu probabilitas return untuk setiap investasi dianggap sama yaitu: M

1 sehingga:

(IV.2)

Mengacu pada setting di atas, model dekomposisi total return yang mampu mengadopsi

kebijakan alokasi aset, stock picking dan market timing dapat diturunkan dari \h Gambar 1.

Model ini dikembangkan dari model dasar yang diajukan oleh Brinson, Hood dan Beebower

(1986) dan kemudian diaplikasikan oleh Blake et.al.(1999). Aplikasi model ini untuk Indonesia

dilakukan pertama kali oleh Isavirti (2008).

Kerangka ini menampilkan kombinasi dari 2 teknik pengelolaan dana, yakni pemilihan

sekuritas dan market timing. Setiap pengelola dana memiliki pilihan apakah secara aktif

mengaplikasikan teknik tersebut (kolom/ baris pertama) atau tidak mengaplikasikannya alias

pasif (kolom/ baris kedua). Jika pengelola dana tidak melakukan aktifitas pemilihan sekuritas

dan market timing, maka return yang dihasilkan semata-mata merefleksikan kebijakan alokasi

aset sesuai dengan benchmark. Keuntungan alokasi aset ini tercermin pada Kuadran √ 1.

Retun aktual yang dihasilkan oleh dana yang dikelola, tergambar pada Kuadran √ 4

(return aktual). Return aktual ini meliputi semua teknik pengelolaan dana. Jika pengelola dana

Page 75: Bemp April 2008

369Kinerja Pengelolaan Dana pada Pasar Modal Indonesia

secara aktif melakukan pemilihan sekuritas dan tidak melakukan aktifitas market timing, maka

return yang diperoleh merupakan gabungan antara pemilihan sekuritas dan kebijakan alokasi,

dan tercermin pada Kuadran √ 3. Sebaliknya, ketika pengeola dana secara aktif melakukan

market timing namun tidak melakukan pemilihan sekuritas, maka return yang diperoleh semata-

mata merupakan return dari aktivitas pemilihan sekuritas dan kebijakan alokasi aset. Ini tercermin

pada Kuadran √ 2.

Dengan demikian, kontribusi masing-masing teknik pengelolaan dana dapat diberikan

sebagai:

Sub Total = Kuadran 2 + Kuadran 3 - Kuadran 1

Kebijakan Alokas = Kuadran 1Market Timing = Kuadran 2√ Kuadran 1Pemilihan Sekuritas = Kuadran 3√Kuadran 1

Perlu diperhatikan bahwa selain kebijakan alokasi aset, pemilihan sekuritas dan market

timing, terdapat kemungkinan perbedaan total return di atas dengan aktual return (Kuadran √

4). Selisih ini merupakan faktor lain seperti perubahan harga aset akibat perubahan ekspektasi

masyarakat, dinamika bursa di luar negeri, atau hal-hal sebab lain yang memberikan shock

pada pasar keuangan.

Formulasi kerangka dekomposisi ini dapat diberikan secara eksplisit. Asumsikan pengelola

dana menghadapi K kelas aset. Jika diasumsikan bahwa pengelola dana tidak melakukan aktifitas

pemilihan sekuritas dan market timing, maka satu-satunya yang dilakukan adalah kebijakan

alokasi yang merupakan kebijakan pasif. Kebijakan alokasi ini merupakan kebijakan alokasi

normal yang idealnya merefleksikan alokasi aset dalam kondisi keseimbangan pasar modal

jangka panjang. Alokasi normal untuk setiap kelas aset k pada periode t dinotasikan sebagai

Wnit. Retun yang diperoleh dari kebijakan alokasi aset semata ini, dinotasikan sebagai Rnit.

Dengan asumsi bahwa terdapat K kelas aset, maka total return dari kebijakan alokasi aset pada

periode t, adalah sebesar: ∑K

k

pktpktRnWn . , berkesesuaian dengan Kuadran √ 1 pada Gambar IV.1.

Dalam dinamika pasar, retun setiap kelas aset ini dapat berubah-ubah sesuai dengan

tarik menarik permintaan dan penawaran pasar. Return aktual setiap kelas aset k pada periode

t dinotasikan sebagai Rait. Menyikapi hal tersebut, sangat rasional jika pengelola dana

mengantisipasi return aktual yang terjadi sedemikian rupa sehingga komposisi alokasi aktual

dalam portofolio akan berubah menjadi Wait. Dari sini kita memperoleh total aktual return

Page 76: Bemp April 2008

370 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

10 Data reinvested Dividend/Cash/Capital Gain Distribution tidak berhasil dikumpulkan karena tidak dipublikasikan.

pada periode t sebesar ∑K

k

pktpktRaWa . , berkesuaian dengan Kuadran √ 4 pada Gambar IV.1.

Kebijakan market timing memiliki konsekuensi langsung terhadap pengalokasian dana.

Ketika seorang pengelola dana memutuskan untuk melepas suatu saham X hari ini dan

berencana akan membeli saham yang sama keesokan harinya, maka pada saat itu terjadi

rekomposisi alokasi aset dalam portofolio menjadi Wait. Dengan demikian, maka return yang

dihasilkan murni dari market timing ini adalah perubahan bobot alokasi dikalikan dengan return

normal, ∑ −K

k

pktpktpktRnWnWa ).( .

Untuk strategi pemilihan sekuritas, alokasi aset tidak mengalami perubahan sehingga

bobot yang dipergunakan tetap bobot alokasi normal Wnkt. Namun strategi ini merupakan

strategi yang mengantisipasi perubahan return aktual yang terjadi, sehingga net return yang

diperoleh dari pemilihan sekuritas adalah sebesar ∑ −K

i

pktpktpktRnRaWn )( .

Dengan kerangka ini kita dapat mengkonstruksi model empiris yang mendekomposisikan

total return secara lengkap kedalam komponen-komponennya yakni,

(IV.3)

pktWn dan pkt

Wa adalah strategi alokasi normal dan aktual untuk kelas aset k periode t

dalam suatu portofolio p, sementara dan menunjukkan return normal dan aktual dan untuk

kelas aset k pada periode t, dalam suatu portofolio p. Suku pertama dari model di atas merupakan

kontribusi kebijakan alokasi aset terhadap total kinerja, suku kedua merupakan kontribusi

pemilihan sekuritas, suku ketiga menunjukkan kontribusi market timing, dan suku keempat

merupakan residu yang diasumsikan sangat kecil.

III. METODOLOGI

III.1. Data

Data yang berhasil dikumpulkan untuk penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber

dari BEJ, Bapepam dan dari pengelola dana. Variabel yang terlibat adalah (i) Net Asset Value

(NAV/unit)10 , (ii) return harian saham yang terdaftar di BEJ, (iii) tingkat suku bunga SBI (1-

))(()(

)(

11

11 1

pktpktpkt

K

k

pkt

K

k

pitpitpit

K

k

pktpktpkt

K

k

K

k

pktpktpktpkt

RnRaWnWaRnWnWa

RnRaWnRnWnRaWa

−−+−+

−+=

∑∑

∑∑ ∑

==

== =

Page 77: Bemp April 2008

371Kinerja Pengelolaan Dana pada Pasar Modal Indonesia

Bulan) yang merupakan proxy dari Risk-Free Rate, (iv) rencana alokasi aset masing-masing reksa

dana saham yang terdapat dalam prospektusnya, (v) realisasi alokasi aset masing-masing reksa

dana saham yang didapatkan dari Bapepam, (vi) tolok ukur (benchmark) return untuk masing-

masing kelas aset yakni Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) penutupan untuk kelas aset

saham, rata-rata suku bunga deposito 3 bulan bank pemerintah dan swasta untuk kelas aset

hutang, dan suku bunga SBI 1 bulan untuk kelas aset deposito.

Alokasi berdasarkan rencana alokasi yang tertuang dalam prospektus, dipergunakan

sebagai proksi untuk bobot alokasi aset normal yang mencerminkan alokasi aset dalam kondisi

keseimbangan jangka panjang. Ini berbeda dengan Brinson, Hood dan Beebower yang

menggunakan rata-rata alokasi aktual dari seluruh periode observasi.

Secara umum, perkembangan return dan alokasi dana oleh 14 pengelola reksadana saham

yang diobservasi, tampak pada gambar berikut:

III.2. Teknik Estimasi Panel Period-Specific

Tersedia banyak pilihan model dalam menganalisa kinerja pasar modal. Beberapa

diantaranya adalah CAPM Model, multi-factor model dan conditional multi-factor model, lihat

Howe dan Pope (1996), Chalmers et al (1999), Wermers (2000), Pastor dan Stambugh (2001),

Kothari dan Warner (2001), Bauer et al. (2002), Kazemi et al,.(2003), Otten dan Bams (2003)

dan Patro (2005) untuk kasus pasar modal Amerika Serikat atau Jayadev (1996) untuk reksa

dana India, Deaves (2004) untuk reksa dana Kanada, Bangassa (2000) untuk reksa dana Inggris,

Christensen untuk reksa dana Denmark, Casarin (2000) untuk reksa dana Italia, dan Annaert et

al. (2001) untuk reksa dana di negara-negara Eropa.

Dalam paper ini, penulis mengaplikasikan model data panel dengan teknik estimasi period-

specific. Teknik estimasi ini memungkinkan untuk menganalisa kontribusi ketiga strategi

pengelola dana dari waktu ke waktu yang terefleksi pada arah, besaran dan signifikansi dari

parameter βit. Secara umum, estimasi yang melibatkan series dan cross section dapat

diklassfikasikan berdasarkan variasi parameternya.

Model yang paling sederhana adalah ketika seluruh koefisien konstan lintas waktu dan

lintas individu. Model dengan parameter yang konstan ini akan mengarah pada (i) model variabel

dummy atau model kovarian dan (ii) seemingly unrelated regression (SUR). Model dengan

koefisien yang bersifat random akan mengarah pada model error components dan Swamy

random coefficient model.

Model panel period-specific ini tergolong dalam varian model Swamy random coefficient

Page 78: Bemp April 2008

372 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

it

K

k

itkitkit xy ϑβ +=∑=1

..

it

K

k

itkktkit exy ++=∑=1

.)( λβ

≠∀

=∀∆=

st

stE st

;0

;],[ λλ

==∀∆

=otherwise

stjieeE

ii

jsit;0

,;],[

model (Swamy dan Mehta, 1975, 1977), dalam hal sifat random parameter lintas waktu.

Spesifikasi yang paling umum untuk model panel adalah yang memungkinkan parameter

bervariasi lintas individu dan waktu,

(IV.4)

Vektor yyyyyit merupakan serangkaian variabel endogen berukuran (NxT), xxxxxk.it adalah vektor variabel

penjelas berukuran (NxTxK) untuk individu Ni∈ pada periode Tt ∈ dan Kk ∈ jumlah variabel

penjelas. Jika diasumsikan tidak ada perbedaan parameter lintas individu (cross section invariant)

maka modelnya menjadi,

(IV.5)

Sebagaimana umumnya permasalahan model time series, model panel period specific ini

juga berpotensi mengalami kasus otokorelasi dan kasus heteroscedasticity. Untuk model standar

εβ += xy , dengan kovarian Φ= .]',[ 2

tE σεε , kasus ini muncul ketika matriks kovarian residual

Φ , tidak diagonal dengan elemen diagonal yang merupakan fungsi dari regressor, )(.

2

itkt xf=σ .

Mengatasi kemungkinan ini, maka struktur kovarian parameter random diset secara lebih

bebas yakni;

(IV.6)

Setting ini menunjukkan bahwa vektor residual persamaan yang terdiri dari K-buah residul,

eeeeeit=( e1it , e2it , ..., eKit) selain memiliki rata-rata nol E(eeeee)= 0, juga tidak direstriksi untuk diagonal.

Keleluasaan yang sama juga diaplikasikan pada efek waktu yang random terhadap slope

parameter dengan struktur kovarian ∆=]'[λλE , yang juga tidak harus diagonal. Dalan notasi

matriks, model ini dapat diberikan sebagai:

(IV.7)

Dimensi dari yyyyyi dan XXXXXi masing-masing (T x 1) dan (T x K). Matriks merupakan

vektor dengan T buah elemen yang mana elemennya sendiri juga merupakan matriks

β~

yi = Xi +Z~λ +e ii

λ‘ = ( 1λ‘ , 2λ‘ , ...., Tλ‘ )

Page 79: Bemp April 2008

373Kinerja Pengelolaan Dana pada Pasar Modal Indonesia

=

'

'

2

'

1

.

.~

iT

i

i

i

x

x

x

Z

dengan ukuran (T x K) sehingga secara total ukuran λ» adalah (TK x T).

Residu dari persamaan ),...,,( itititt eee=e juga merupakan matriks dengan ukuran (T x 1).

Matriks iZ~ merupakan matirks diagonal dengan elemen ),....,,,(

321

'

iTiiiit xxxx=x yang

juga merupakan matriks dengan ukuran (N x T). Ukuran total matriks iZ~ adalah (T x TK)

(IV.8)

Jika diperhitungkan N individu, maka (4 dapat dituliskan kembali sebagai ,

dimana yyyyy, XXXXX, dan iZ~ masing-masing berukuran (NT), (NT x K), dan (NT x TK).

Sejauh ini, kita mengasumsikan bahwa hanya time effect yang ada dalam model. Dengan

setting seperti ini, maka matriks kovarian dari seluruh komponen random model diberikan

sebagai:

(IV.9)

Bermodalkan ini maka dengan mengaplikasikan teknik estimated generalized least square

(EGLS), estimator yang tidak bias dan efisien dapat diperoleh yakni: .

III.3. Model Empiris

Sebelum estimasi model, terlebih dahulu dilakukan pengujian stasioneritas data dengan

panel unit root test. Alternatif pertama pengujian stasioneritas data ini diberikan oleh Levin, Lin

dan Chu dan Breitung dengan hipotesa nol ada common unit root. Alternatif lain adalah Im-

Pesaran-Shin, ADF-Fisher dan PP-Fisher dengan hipotesa nol terdapat individual unit root, serta

spesifikasi oleh Hadri dengan hipotesa nol tidak ada common unit root.

Berdasarkan model teoritis yang diuraikan sebelumnya model empiris yang diestimasi

adalah:

(IV.10)

tittitt

ittittit

OtherMT

SSALRET

ελβλβ

λβλβ

++++

++++=

).().(

).().(

4433

2211

O

NTeTIZIZ

ZZEZZE

2')(

]''~)'(

~[)'

~)(

~[(

σ+∆⊗=

+=++= eeeeλI λ λλ

yX'XX'β 111)(ˆ −−−= OI OI

λ = (1t

λ , ...., Ktλ )t 2tλ ,

β~

y = X +Z~λ + e

Page 80: Bemp April 2008

374 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

dimana RETit, ALit, dan SSit beruturut-turut adalah return investasi yang dihasilkan, keputusan

alokasi, pemilihan sekuritas, dan market timing yang dilakukan oleh pengelola dana untuk

reksadana i pada periode t. Variabel Otherit menangkap faktor lain yang mempengaruhi return

diluar 3 kebijakan dan strategi pengelolaan dana. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya,

parameter random ttt 321 ,, λλλ dan t4λ yang menunjukkan time effect dari setiap kebijakan

pengelolaan dana yang dilakukan oleh fund manajer, dapat kita peroleh dengan estimasi

Estimated Generalized Least Square (EGLS). Parameter EGLS ( ) ditaksir dari estimator GLS ( )

dengan terlebih dahulu menaksir matriks kovarian dari .

Berdasarkan arah, besaran dan signifikansi dari parameter ini, kita dapat mengukur tingkat

efisiensi pengelolaan dana pada pasar modal di Indonesia. Dalam taraf aplikasi, mengacu pada

model panel period specific yang dijelaskan sebelumya, maka estimasi model empiris ini dilakuan

dengan metode kovarian koefisien (coefficient covariant method) Period SUR yang tergolong

dalam pendekatan Panel Corrected Standard Error (PCSE), (Beck dan Katz, 1995).

Kovarian koefisien ini robust terhadap perbedaan varian lintas periode meski tidak robust

ketika terdapat korelasi contemporenous antar lintas residu persamaan T. Sesungguhnya terdapat

asumsi yang lebih tepat dalam menspesifiksi residu seperti mengasumsikan proses residu berjalan

mengikuti first order autoregressive namun dalam aplikasi empiris, hal ini dapat menurunkan

tingkat akurasi parameter yang diestimasi sehingga tidak penulis ikuti (Doran dan Griffiths,

1983 dalam Judge et.al., 1985).

IV. HASIL DAN ANALISIS

Inspeksi awal data menunjukkan bahwa semua variabel stasioner pada, baik menggunakan

Levin-Lin-Chu, Breitung, Im-Pesaran-Shin maupun dengan Hadri. Pengujian unit root atas residual

model juga menunjukkan hal yang sama. Ini menguatkan bahwa tidak ada masalah dalam

spesifikasi dan kemungkinan spurious.

Pengujian atas normalitas error tidak dilakukan sebab jumlah series data yang

dipergunakan sebanyak 60 periode dengan 14 cross section. Jumlah observasi ini 2 kali lebih

besar dari yang umumnya dipersyaratkan yakni 30 periode. Uji multikolinearitas juga tidak

dilakukan sebab data merupakan data panel yang merupakan salah satu cara mengatasi kasus

multikolinearitas selain transformasi (Gujarati, 1986). Selain itu tanda-tanda adanya kasus

multikolinearitas yang ditandai dengan nilai R2 yang besar dan t-statistik yang umumnya tidak

signifikan, tidak ditemukan pada setiap hasil estimasi model.

β β~

OI OI

Page 81: Bemp April 2008

375Kinerja Pengelolaan Dana pada Pasar Modal Indonesia

Tabel IV.2Kontribusi Strategi Pengelolaan Dana terhadap Return Bulanan Reksadana

Feb-02 0,84 4,76 2,06 * 0,79Mar-02 1,95 * -1,74 * 2,06 * -1,85 **Apr-02 1,80 * -1,32 * 1,80 * -0,90 **May-02 2,43 * -2,76 * 1,72 * -1,10 ***Jun-02 1,68 * -0,64 * 1,60 * 0,08Jul-02 1,94 * 0,15 2,13 * 0,93 **Aug-02 1,76 * -0,23 1,84 * 0,40Sep-02 1,76 * -1,52 ** 1,77 * -0,18Oct-02 1,81 * -1,12 * 1,81 * -0,35Nov-02 1,82 * -0,86 * 1,83 * 0,13Dec-02 1,69 * -0,73 * 1,60 * -0,10Jan-03 1,69 * -0,83 * 1,56 * -0,38 **Feb-03 1,74 * -1,00 * 1,72 * 0,02Mar-03 -7,04 15,25 1,80 * -1,52 *Apr-03 1,82 * -1,48 * 1,78 * -1,22 *May-03 1,68 * -0,83 * 1,55 * -0,27 *Jun-03 1,70 * -0,88 * 1,65 * -0,72 *Jul-03 1,97 * -2,78 * 1,83 * -1,58 *Aug-03 1,64 * -0,55 1,55 * -0,09Sep-03 1,95 * -1,43 * 2,24 * -0,46Oct-03 1,79 * -1,27 * 1,72 * -0,75 **Nov-03 1,83 * -1,35 * 1,78 * -0,99 *Dec-03 1,75 * -1,06 * 1,66 * -0,62 *Jan-04 1,74 * -1,04 * 1,61 * -0,47 *Feb-04 1,80 * -1,22 * 1,84 * -1,25 *Mar-04 1,85 * -1,44 * 1,67 * -0,86 *Apr-04 1,73 * -0,96 * 1,65 * 0,18May-04 1,67 * -0,56 * 1,58 * 0,23 *Jun-04 2,37 * -1,00 1,83 * -1,26 *Jul-04 1,75 * -1,18 * 1,69 * -0,30 **Aug-04 3,17 * -2,16 * 1,61 * -0,61 *Sep-04 1,80 * -1,38 * 1,75 * -1,19 *Oct-04 1,78 * -1,25 * 1,74 * -0,35Nov-04 1,74 * -1,02 * 1,77 * -1,05 *Dec-04 1,35 * 0,72 1,71 * -0,91 *Jan-05 1,96 * -3,08 * 1,62 * -0,34 *Feb-05 1,83 * -2,13 * 1,70 * -0,62 *Mar-05 1,89 * -0,56 2,04 * -2,21Apr-05 1,68 * -0,68 ** 1,58 * 0,09May-05 1,68 * -0,86 * 1,43 * 0,09Jun-05 1,71 * -0,91 * 1,64 * -0,67 *Jul-05 1,75 * -1,16 * 1,68 * -0,82 *Aug-05 1,80 * -1,31 * 1,65 * -0,74 *Sep-05 1,99 * -0,98 1,87 * 1,39Oct-05 1,96 * -1,94 * 2,01 * -2,15 *Nov-05 1,78 * -1,23 * 1,83 * -1,48 *Dec-05 1,92 * -1,47 * 2,07 * -0,70 ***Jan-06 1,81 * -1,38 * 1,87 * -1,19 *Feb-06 3,88 *** -2,35 * 1,79 * -1,47 *Mar-06 1,72 * -0,97 * 1,73 * -1,04 *Apr-06 1,79 * -1,16 * 1,80 * -0,48May-06 1,73 * -0,99 * 1,73 * -1,02 *Jun-06 1,88 * -1,63 * 1,82 * -1,17 **Jul-06 1,75 * -1,16 * 1,57 * -0,29Aug-06 1,71 * -0,95 * 1,70 * -0,94 *Sep-06 1,74 * -0,95 *** 1,73 * -0,62Oct-06 1,71 * -1,14 ** 1,59 * -0,55Nov-06 1,90 * -1,49 ** 1,87 * -1,13Dec-06 1,63 * 1,05 1,86 * 2,34 ***

Periode Kebijakan Alokasi Alokasi Aset Taktis Stock Picking Lainnya

*) Signifikan pada α = 1%, , **) pada 5% dan ***) pada 10%.Estimasi model dekomposisi period specific. Variable dependent : Total Return, Method: Pooled EGLS (Period weights).R-squared = 0.999905, Adjusted R-squared = 0.999867, S.E. of regression = 0.007401, DW stat = 2.004910.

Page 82: Bemp April 2008

376 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

Hasil estimasi divisualisasikan pada Gambar IV.2 dan Tabel IV.2. Secara umum model

empiris tergolong baik dengan Adjusted R2 = 0.999, standar error = 0.007401, dan statistik

Durbin Watson = 2.0049 yang menunjukkan model terbebas dari serial korelasi.

Sepanjang periode observasi, hasil estimasi menunjukkan signifikansi peran positif strategi

alokasi aset dan pemilihan sekuritas terhadap kinerja reksa dana di Indonesia. Untuk tahun

2002, kontribusi strategi alokasi aset terbesar terjadi pada bulan Mei 2002 dengan koefisien

2,43. Besaran koefisien ini menunjukkan bahwa kebijakan alokasi pasif ini mampu memberikan

return yang senantiasa lebih besar dari return pasar, dan untuk bulan Mei 2002 ini, kebijakan

alokasi pasif tersebut memberikan tambahan return 2,43% per bulan diatas return pasar. Pada

bulan Mei 2002 ini NAB mencapai angka tertinggi sepanjang tahun dengan rata-rata 1488,2.

Setelah itu, NAB mengalami penurunan hingga 1211,23 pada akhir tahun.

Gambar IV.2Perkembangan Rata-rata Kemampuan manajer

investasi dalam Alokasi Aset, Pemilihan Sekuritasdan Market Timing

Dinamika Kemampuan Rata-rata Pengelola DanaSepanjang Periode Observasi

Hasil estimasi panel dengan alokasi sesuai prospektus sebagai proksi bobot alokasi normal.

Secara umum, perkembangan kinerja reksa dana saham di Indonesia sampai tahun 2002

relatif buruk. Rata-rata tingkat return masing-masing reksa dana saham pada tahun ini bernilai

negatif kecuali 3 reksa dana Si Dana Saham, Nikko Saham Nusantara dan Arjuna dari 14

reksadana yang diobservasi. Salah satu penyebabnya adalah lebih banyak investor yang tertarik

untuk menaruh dana-nya pada jenis reksa dana pendapatan tetap.

Ketertarikan penempatan dana pada reksa dana pendapatan tetap ini didorong oleh

sekuritisasi obligasi rekap (securitization of recap bond) yakni obligasi negara yang dipak dan

Slope Regresi

Normal Allocation WeightRencana Alokasi sesuai Prospektus

-10

-5

0

5

10

15

20

2002M02 M05 M08 M11 M02 M05 M08 M11 M02 M05 M08 M11 M02 M05 M08 M11 M02 M05 M08 M11

2003 2004 2005 2006

AlokasiSecurity SelectionMarket TimingOther

Page 83: Bemp April 2008

377Kinerja Pengelolaan Dana pada Pasar Modal Indonesia

Tabel IV.3NAB dan Rata-rata Alokasi Kelas Aset, Tahun 2002

Januari 1.255,75 18,7% 1,9% 79,4%Februari 1.257,96 25,4% 7,8% 66,8%Maret 1.312,51 16,4% 2,4% 81,2%April 1.474,64 16,8% 3,1% 80,1%Mei 1.488,22 13,4% 2,4% 84,3%Juni 1.424,98 18,7% 1,9% 79,4%Juli 1.337,11 18,3% 18,9% 62,8%Agustus 1.298,05 31,2% 24,5% 44,3%September 1.198,86 16,4% 19,7% 63,9%Oktober 1.077,55 22,2% 1,1% 76,7%November 1.127,50 21,4% 18,4% 60,2%Desember 1.211,23 19,4% 1,0% 79,6%

Periode Nilai AktivaBersih

Kelas AsetUang

Kelas AsetHutang

Kelas AsetEkuitas

Sumber: Bapepam (2007), diolah.

dijual sebagai reksa dana. Hal ini juga ditunjang oleh tren penurunan suku bunga SBI. Kelesuan

pasar saham secara umum tercermin dari peningkatan total nilai perdagangan saham di BEJ

yang sangat kecil, Rp 7.063 miliar, menyusul penurunan frekuensi perdagangan per November

2002 hanya 1.763 kali sedangkan tahun sebelumnya 1.814 kali (Bapepam, 2002).

Menghadapi hal ini, reaksi utama dari para pengelola dana adalah melakukan realokasi

dana sebagaimana diilustrasikan pada Gambar IV.3. Terdapat 2 titik waktu yakni bulan September

dan November 2002 yang mana alokasi atas ekuitas mengalami titik terendah. Upaya realokasi

jangka pendek atau tactical asset allocation yang disesuikan dengan kondisi pasar ini tidak

membantu bahkan memberikan kontribusi negatif terhadap return. Berdasaran hasil estimasi

panel period-specific, koefisien alokasi aset taktis adalah sebesar minus 1,52 (September 2002)

dan minus 0,86 (November 2002). Bahkan pada bulan Mei 2002 ketika NAB mengalami titik

tertinggi dan kebijakan alokasi pasif memberikan marginal return terbesar (2,43% per bulan),

kebijakan alokasi aset taktis (market timing) justru memberikan pengurangan return terbesar,

minus 2,76% per bulan (signifikan pada). Satu-satunya kontribusi kebijakan market timing

yang positif hanya terjadi pada bulan Juni 2002 dengan koefisien yang sangat kecil (0,15),

itupun secara statistik tidak signifikan. Kegagalan alokasi aktif para menajer investasi reksadana

saham ini menunjukkan bahwa kebijakan alokasi pasif yang tertuang dalam prospektus masih

merupakan kebijakan alokasi yang superior dan memberikan return lebih dibandingkan return

benchmark.

Berbeda dengan upaya realokasi dana, upaya pemilihan sekuritas (stock picking) selama

tahun 2002 ini mampu memberikan kontribusi positif terhadap total return, terutama pada

Page 84: Bemp April 2008

378 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

Gambar IV.3Perkembangan NAB dan Kebijakan Alokasi Aktual

Sumber: Bapepam, diolah.

Rata-rata NAB

1000

2000

3000

4000

5000

6000

2002 2003 2004 2005 2006

Rata-rata Alokasi Aset Hutang

.00

.05

.10

.15

.20

.25

2002 2003 2004 2005 2006

Rata-rata Alokasi Aset Uang

.05

.10

.15

.20

.25

.30

.35

2002 2003 2004 2005 2006

Rata-rata Alokasi Ekuitas

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

1.0

2002 2003 2004 2005 2006

semester pertama. Khususnya pada bulan Juli 2002 para pengelola reksadana mampu memilih

efek yang memberikan return lebih diatas return rata-rata pasar. Hasil estimasi juga menunjukkan

bahwa kemampuan pemilihan sekuritas ini senantiasa positif sepanjang periode observasi.

Pada periode 2003, meski NAB reksadana saham secara rata-rata masih lebih rendah

dari tahun 2002, reksadana saham mulai kembali mengalami peningkatan. Alokasi dana untuk

ekuitas naik 11% menjadi 91% yang merupakan pengalihan dari kelas aset uang. Salah satu

faktor pedorong utama menggeliatnya pasar modal pada tahun ini adalah kecenderungan

inflasi yang semakin menurun dengan volatilitas yang rendah. Tercatat inflasi sebesar 8,76%

(y.o.y) pada awal tahun dan terus menurun hingga 5,09% pada akhir tahun 2003. Penurunan

inflasi domestik ini berkebalikan dengan laju inflasi dunia. Pada kelompok negara maju, laju

inflasi meningkat menjadi menjadi 1,9% dari 1,5% pada tahun 2002

Pada sisi lain, nilai tukar Rupiah mengalami apresiasi terhadap Dollar dan stabil pada

level rata-rata Rp8.577,13. Faktor ini mendorong suku bunga terus menurun sepanjang tahun

Page 85: Bemp April 2008

379Kinerja Pengelolaan Dana pada Pasar Modal Indonesia

Tabel IV.4NAB dan Rata-rata Alokasi atas Kelas Aset, Tahun 2003

Januari 1117,83 8% 1% 91%Februari 1149,30 19% 1% 80%Maret 1139,86 16% 2% 81%April 1287,80 17% 3% 80%Mei 1406,07 13% 2% 84%Juni 1440,31 8% 1% 91%Juli 1449,04 13% 2% 84%Agustus 1477,72 17% 3% 80%September 1617,44 20% 4% 75%Oktober 1699,80 22% 1% 77%November 1683,13 19% 1% 80%Desember 1856,15 17% 3% 80%

Periode Nilai AktivaBersih

Kelas AsetUang

Kelas AsetHutang

Kelas AsetEkuitas

Sumber : Bapepam, diolah.

seiring menurunnya tingkat suku bunga SBI 1 bulan sebesar 462 bps dibandingkan tahun

sebelumnya, yang diantisipasi oleh pelaku bursa dengan pengalokasian dana dari pasar uang

ke pasar modal.

Meski tahun 2003 ini dapat dikategorikan sebagai tahun yang stabil, reaksi dari pengelola

reksa dana saham bervariasi dari bulan ke bulan sepanjang tahun ini, sebagaimana terlihat

dalam Tabel IV.4. Berdasarkan hasil estimasi, kebijakan alokasi taktis yang dilakukan oleh para

pengelola dana yang disesuaikan dengan kondisi pasar secara statistik justru memberikan

tambahan negatif bagi return. Kesalahan terbesar dalam hal pembobotan kelas aset terjadi

pada bulan Juli 2003 yang memberikan marginal return negatif sebesar minus 2,78%. Ini

berarti setiap pergerakan alokasi sebesar 1% yang menyimpang dari rencana alokasi awal,

secara rata-rata menurunkan return rekasadana saham sebesar minus 2,78% per bulan.

Dalam hal strategi pememilihan sekuritas, para pengelola dana berhasil memilih sekuritas

yang memberikan return diatas rata-rata return pasar sepanjang tahun 2003. Pada bulan

September 2003, kemampuan stock picking dalam memberikan marginal return mencapai

2,4% yang tertinggi selang periode 2002- 2006.

Maret 2003 merupakan pengecualian. Pada bulan ini, koefisien marginal untuk pemilihan

sekuritas sebesar 1,8%, yang menunjukkan performa baik para manajer investasi dalam memilih

sekuritas yang menguntungkan. Pada sisi lain, kebijakan alokasi pasif yang direncanakan sesuai

dengan prospektus, justru memberikan return yang jauh dibawah return benchmark. Hal ini

ditunjukkan dengan koefisien marginal return sebesar minus 7,04%. Strategi alokasi taktis

yang merupakan keputusan realokasi dana lintas kelas aset oleh manajer investasi, justru

membuahkan tambahan return sebesar 15,25% per bulan.

Page 86: Bemp April 2008

380 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

Gambar IV.4Perkembangan NAB atas 14 ReksaDana Saham selama tahun 2003

Fenomena bulan Maret 2003 ini perlu digarisbawahi; yakni secara statistik 2 strategi

terakhir (alokasi pasif dan alokasi taktis) tidak signifikan. Ini dapat diinterpretasikan bahwa

kebijakan alokasi ini tidak berlaku umum untuk seluruh pengelola dana yang diobservasi dalam

penelitian ini. Pada bulan Maret 2003 ini, variasi return reksa dana sangat tinggi (1,62), atau

28 kali lebih tinggi dibanding rata-rata variasi 11 bulan lainnya pada tahun yang sama.

Pemicu fenomena bursa saham pada bulan Maret 2003 ini adalah mencuatnya

kekhawatiran akan percahnya perang di Irak, menyusul berakhirnya masa tenggak waktu yang

diberikan Amerika kepada Irak untuk melucuti senjatanya. Dalam skala global, antisipasi telah

dilakukan oleh berbagai pihak antara lain Jepang dan Amerika yang membuat kesepakatan

untuk mengambil langkah bersama ketika perang mengancam bursa (Fukuda, konferensi pers

19 Maret 2003) sementara Taiwan menurunkan band pergerakan harga saham yang tadinya +

7% dalam sehari dan bahkan membuka kemungkinan untuk menghentikan transaksi bursa

sama sekali. Selain itu Taiwan juga berencana mengaktifkan Dana Stabilitas Nasional (NSF). Di

Korea Selatan, otoritas moneter menegaskan langkah intervensi dalam bentuk tax break dan

injeksi likuiditas manakala diperlukan untuk meredam gejolak bursa.

Ketika pasar sedang menunggu, reaksi dari 14 pengelola dana yang diobservasi ini

beragam sehingga memberikan hasil yang sangat variatif, lihat Lampiran 1. Penelusuran individual

menunjukkan reksa dana Nikko, BIG Nusantara, Master Dinamis, Mawar dan Bahana mencatat

return yang fantastis pada Maret 2003 ini yakni 459%, 141%, 88% , 66% dan 27,88%. Pada

sisi lain, reksa dana yang terpuruk adalah Si Dana Saham, Panin Dana Maksima, Phinisi dan

Schroder masing-masing dengan return minus 66%, minus 47%, minus 40% dan minus

37%. Hal ini dapat diilustrasikan pada perkembangan NAB dari 14 reksadana saham yang

diobservasi pada Gambar IV.4.

2003

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

M10M01 M04 M07

ABN AMROCerdasSentosaMaster Din.

Bahana D.PBIG Nus.Panin D.MPhinisi

Si DanaSchroderBNI Berk.Mawar

NikkoArjuna

Page 87: Bemp April 2008

381Kinerja Pengelolaan Dana pada Pasar Modal Indonesia

Tahun 2004 merupakan tahap perkembangan lebih lanjut reksa dana di Indonesia. Dengan

situasi perekonomian yang relatif stabil, rata-rata return reksa dana saham di Indonesia tercatat

34% relatif lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata return di Asia seperti di Filipina, 27,1%

(Lipper Company). Lonjakan NAB untuk reksa dana secara umum di Indonesia sangat signifikan

yakni Rp104,04 trilyun dibandingkan dengan tahun 2003 sebesar Rp69,47 trilyun. Meskipun

demikian 14 reksa dana saham yang diobservasi dalam penelitian ini hanya menunjukkan tingkat

return rata-rata 3,7%. Rata-rata return tertinggi sepanjang tahun 2004 ini dibukukan oleh BIG

Nusantara sebesar 21,6% sementara yang terburuk adalah Danareksa Mawar dengan return

rata-rata minus 1,6%.

Variasi alokasi aset taktis lintas 14 reksa dana yang diobservasi cukup besar. Kecuali untuk

beberapa pengeloa dana, secara umum hasil estimasi menunjukkan strategi alokasi aset taktis tidak

mampu meningkatkan return, bahkan memberikan marginal return yang negatif yang menunjukkan

pembobotan kelas aset yang salah arah. Pada bulan Agustus 2004, kesalahan pembobotan ini

memberikan penurunan marginal atas return sebesar minus 2,16%. Pada saat yang bersamaan,

kebijakan alokasi pasif secara signifikan memberikan tambahan return sebesar 3,17%.

Tahun 2005 ditandai dengan pengetatan likuiditas otoritas moneter melalui peningkatan

suku bunga SBI dan mengakibatkan crash pada pasar modal. Kondisi ini kemudian mendorong

sebagian pemilik reksa dana melakukan redemption sehingga mengakibatkan aset industri

reksa dana diawal tahun sebesar Rp 108,223 triliun anjlok 74.49% menjadi Rp 27,589 diakhir

tahun 2005. Dampak dari kebijakan ini mengalami puncaknya pada bulan Maret dengan

beralihnya alokasi dana ke pasar uang menjadi 22% dari 13% pada awal tahun. Reaksi individual

dalam bentuk kebijakan alokasi taktis dapat dilihat dalam Lampiran IV.1.

Pada akhir Agustus 2005, harga minyak dunia merangkak naik dan mencapai level tertinggi

pada US$ 71 per barel. Ini memicu kenaikan harga BBM yang pada akhirnya memicu inflasi.

Menghadapi shock eksternal ini, pengelola dana merealokasi dana dalam portofolio mereka,

dan berupaya memilih sekuritas yang berpotensi memberikan keuntungan lebih besar, dalam

hal ini pasar uang dana aset riil. Saat ini harga minyak mentah per Mei 2008 telah menyentuh

US$143 per barel, atau 200% dibandingkan Agustus 2005. Meski tidak masuk dalam periode

observasi, namun pola perilaku investor menghadapi kenaikan harga minyak mentah yang

memicu inflasi, relatif sama.

Perbandingan inflasi yang kontras dapat terlihat pada angka inflasi 1.42% per Januari

2005, dan di akhir Oktober mencapai 15.65% (Bank Indonesia, 2005). Meski inflasi berdampak

secara menyeluruh terhadap semua produk pasar uang dan pasar modal, namun reaksi dari

jenis produk tersebut terhadap perubahan inflasi berbeda-beda, tergantung pada tingkat

elastisitas pasar atas inflasi. Peningkatan inflasi ini menurunkan tingkat suku bunga riil yang

Page 88: Bemp April 2008

382 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

merupakan biaya dalam memegang uang. Dari sudut pandang investor, ini merupakan

penurunan daya tarik produk pasar uang, dan pada periode ini rata-rata tingkat realokasi untuk

pasar uang menurunkan sebesar 3%.

Bagi produk pasar modal terutama obligasi, inflasi yang terjadi selang tahun 2005 ini

akan meningkatkan penawaran obligasi akibat menurunnya biaya relatif pendanaan perusahaan

melalui penerbitan obligasi. Pada saat yang bersamaan inflasi secara relatif menurunkan return

obligasi dibandingkan dengan aset riil, dari sudut pandang investor. Hal ini memicu penurunan

permintaan obligasi.

Hasil estimasi menunjukkan bahwa upaya realokasi dana yang dilakukan oleh para manajer

investor pada tahun 2005 ini, tidak berhasil. Berdasarkan hasil estimasi hanya upaya pemilihan

sekuritas yang mampu memberikan marginal return yang positif. Pada akhir 2005, strategi

pemilihan sekuritas mampu memberikan marginal return sebesar 2,97%.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Penelitian ini menunjukkan kontribusi positif yang signifikan atas kebijakan alokasi aset

pasif yang telah ditentukan dan tertuang dalam prospektus masing-masing reksadana. Temuan

ini selaras dengan berbagai penelitian sebelumnya tentang peran besar kebijakan alokasi dalam

menentukan return investasi reksadana. Hasil penelitian juga menunjukkan peran positif dan

signifikan dari strategi pemilihan sekuritas terhadap kinerja reksa dana saham yang diobservasi.

Ini menunjukkan kemampuan para pengelola untuk melihat perkembangan pasar menyangkut

sekuritas yang mampu memberikan return yang lebih baik dari return pasar.

Pada sisi lain, strategi alokasi aset taktis yang disesuaikan dengan kondisi pasar (market

timing) justru memberikan marginal return yang negatif. Secara rata-rata, kesalahan manajer

investasi dalam hal strategi market timing yang terbesar, terjadi pada Januari 2005, Juli 2003,

Mei 2002 dan Februari 2006, masing-masing dengan koefisien sebesar minus 3.0773, minus

2.7850, minus 2.7636 dan minus 2.3539. Ini menunjukkan stretegi pembobotan kelas aset

oleh manajer investasi pada bulan-bulan ini, salah dalam arah pengalokasian.

Mengingat alokasi aset memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kinerja

reksa dana, maka sebaiknya Bapepam melakukan monitoring yang intensif terhadap pelaksanaan

kebijakan alokasi aset yang telah ditetapkan oleh masing-masing reksa dana sebagaimana

tercantum di dalam prospektusnya. Hal ini diharapkan dapat memicu para manajer investasi

untuk melakukan kebijakan investasi yang konsisten sehingga para investor merasa terlindungi.

Hasil penelitian ini menyarankan perlunya penyediaan informasi yang memadai untuk

investor mengenai risiko oleh pengelola aset (asset management). Memang setelah crash tahun

Page 89: Bemp April 2008

383Kinerja Pengelolaan Dana pada Pasar Modal Indonesia

2005 prospektus yang terbit telah mencantumkan risiko tetapi risiko yang tercantum hanya

informasi umum yang berkaitan dengan pengelolaan investasi. Saran ini didasarkan pada

identifikasi kuantitatif atas dinamika return dan risiko yang cukup bervariasi lintas reksa dana

yang menunjukkan tingkat pengambilan risiko yang bervariasi lintas pengelola.

Negatifnya kontribusi strategi market timing yang ditunjukkan dalam penelitian ini, secara

eksplisit memberikan saran kepada para pengelola dana untuk memperpanjang horizon waktu

yang dipertimbangkan dalam optimalisasi kinerja pengelolaan dana mereka. Dengan kata lain,

penulis menyarankan agar para pengelola dana tidak terlalu bereaksi atas volatilitas pasar jangka

pendek.

Sebaliknya, kontribusi positif dari strategi security selection secara eksplisit memberikan

saran agar para pengelola lebih mencermati kondisi fundamental dari para perusahaan yang

me-listing sahamnya pada bursa. Ini menggiring pada saran lebih lanjut agar dilakukan

penyempurnaan informasi tentang kondisi fundamental perusahaan baik oleh pengelola dana

maupuan oleh lembaga yang memiliki otoritas atas pasar modal termasuk Bapepam dan

pengelola bursa. Informasi ini juga melingkupi informasi tentang fundametal makro

perekonomian seperti ekonomi dan politik, peraturan, nilai tukar, risiko likuiditas.

Mengingat kemungkinan konflik interst yang potensial terjadi, penulis menyarankan

kepada otoritas moneter untuk mendukung adanya lembaga yang independen untuk melakukan

analisa kinerja para pengelola dana. Dalam jangka panjang, penulis meyakini hal ini akan

mendukung perkembangan reksa dana yang lebih baik.

Untuk penelitian lebih lanjut, paper ini perlu dikembangkan dalam bentuk aplikasi teknik

estimasi yang memiliki selain kelebihan teknik estimasi panel, juga berkemampuan untuk

mengatasi masalah-masalah yang sering terjadi pada data runtun waktu seperti masalah serial

korelasi. Salah satu contoh teknik seperti ini adalah panel GARCH. Hal ini penting untuk

mempertajam analisis terhadap reksa dana yang ada di Indonesia.

Mengingat keterbatasan data sebagaimana yang penulis alami, maka perlu dilakukan

penelitian lebih lanjut dengan cakupan data yang lebih baik. Baik dalam hal jumlah jenis reksa

dana, dan juga dalam hal panjang series serta frekuensi yang lebih tinggi misalnya harian.

Penelitian ini telah berhasil mendekomposisikan dan mengatribusikan total return kedalam

3 komponennya; alokasi aset, pemilihan sekuritas dan waktu pasar. Namun demikian, penelitian

ini tidak secara khusus menguraikan tentang penyebab dinamika dan variasi dari 3 komponen

tersebut sepanjang waktu. Ini juga membuka ruang penelitian lebih lanjut yang turut

memperhitungkan faktor-faktor perilaku, persepsi dan interprestasi terhadap kondisi pasar,

serta variabel kebijakan.

Page 90: Bemp April 2008

384 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

Daftar Pustaka

Bapepam, Statistik Pasar Modal, Minggu ke V Desember 2003

Black,David,Bruce N.Lehmann,Allan Timmerman (1998), ∆Asset Allocation Dynamics and Pension

Fund Perfomance∆,Journal of Economics Literature,G11,G23

Brinson,G.P.,L.,Hood L.R dan Beebower G.L.,(1986),∆Determinants Portofolio Perfomance∆,

Financial Analyst Journal,(July/August),39-48.

Brinson,G.P.,L.,Singer B.D dan Beebower G.L.,(1991), ∆Determinants Portofolio Perfomance

II: An Update∆, Financial Analyst Journal,(May/June), 40-48.

Carhart, Mark M (1997). On Persistence in Mutual Fund Perfomance, The Journal of Finance,

Vol II No.1, p.57-82.

Drobetz,Wolfgang, Friederike Kohler (2002).∆ The Contribution of Asset Allocation Policy to

Portfolio Perfomance∆,Working Paper,No.2/02, Basel: Department of Finance, University of

Basel.

Elton, Edwin J., Martin J.Gruber, Stephen J. Brown, William Goetzmann, 2003, Modern Portofolio

Theory and Investments Analysis, USA: John Wiley & Sons, Inc.

Gujarati N, Damodar, (2003). Basic Econometrics, Fourth Edition, New York: McGraw-Hill

Companies, Inc.

Howe, Thomas S. And Ralph A. Pope, (1996). Equity Mutual Fund Historical Perfomance Ratings

As Predictors of Future

Istavirti, Yuyun, (2008), Pengaruh Strategi Asset Allocation, Security Selection dan Market Timing

terhadap Kinerja Reksa Dana Saham di Indonesia, tesis pada Program Pascasarjana Ilmu

Manajemen Universitas Indonesia.

Judge, et.al, (1985), The Theory and Practice of Econometrics, John Wiley & Sons, Singapore.

Kothari, S.P. and Jerold B.Warner (2001). Evaluating Mutual Fund Perfomance, Journal of Finance,

Vol . LVI No.5.

Mahdi, Izakia, Eko P. Pratomo dan Jasper J. Mejerink, 2002, Mengukur Kinerja Reksa Dana,

Mengapa harus Reksa Dana?, p. 141-157.

Manurung, Adler H., (2007). Reksa Dana Investasiku. Penerbit Buku Kompas √Jakarta

Markowitz, H.M (1952), ≈ Portfolio Selection∆ The Journal of Finance, March ,Vol.7-1,77-91.

Partawidjaja, Djumyati (2005), ≈ Pengukuran Kinerja Reksa Dana Saham Berdasarkan Market

Timing dan Stock Selection Serta Fakor Ekonomi Makro yang Mempengaruhinya∆, Tesis S-

2 yang tidak dipublikasikan, Pascasarjana Ilmu Manajemen Universitas Indonesia.

Pratomo,Eko.P. dan Ubaidillah Nugraha (2002). Reksa Dana Solusi Perencanaan Investasi di Era

Page 91: Bemp April 2008

385Kinerja Pengelolaan Dana pada Pasar Modal Indonesia

Modern, PT. Gramedia Pustaka Utama-Jakarta.

Roy D. Henriksson, R.C. Merton, ≈On Market Timing and Investment Perfomance: Statistical

Procedure for Evaluating Forcast Skills,∆Journal Business 54, October 1981.

Swamy dan Mehta, (1975), ≈Bayesian and Non Bayesian Analysis of Switching Regressions

ande of Random Coefficient Regression Models∆, Journal of the American Statistical

Association, 70, 593-602.

_______________, (1977), ≈Estimation of Linear Models with Time and Cross-Sectionally Varying

Coefficients∆, Journal of the American Statistical Association, 72, 80-898

Treynor, Jack L. and K. Mazuy (1996). Can Mutual Funds Outguess the Market?., Harvard

Business Review, p. 131-136.

Wardani, Ratna (2003), Analisis Faktor-Faktor Determinasi Kinerja Reksa Dana Saham di Indonesia

Periode 1998-2001, Tesis S-2 yang tidak dipublikasikan, Pascasarjana Ilmu Manajemen

Universitas Indonesia.

Page 92: Bemp April 2008

386 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

ABN AMRO

2002 2003 2004 2005 2006

Eku_1AasaheUang_1Aasahe

Ht_1AasaheRet_1Aasahe

0,4

0,6

0,8

1,0

0,2

0,0

-0,2

Eku_1UparjeUang_1Uparje

Ht_1UparjeRet_1Uparje

ARJUNA

0,6

0,8

1,0

0,4

0,2

0,0

-0,2

2002 2003 2004 2005 2006

Ret_1DxprieEku_1Dxprie

Uang_1DxprieHt_1Dxprie

BAHANA DANA PRIMA

1,0

0,5

0,0

-0,2

2002 2003 2004 2005 2006

BIG NUSANTARA

Ret_1EpnuseEku_1Epnuse

Uang_1EpnuseHt_1Epnuse

3

4

2

1

0

-1

2002 2003 2004 2005 2006

Ret_1NikemfEku_1Nikemf

Uang_1NikemfHt_1Nikemf

BNI BERKEMBANG

0,8

1,2

0,4

0,0

-0,4

-0,8

2002 2003 2004 2005 2006

Ret_1OdmaweEku_1Odmawe

Uang_1OdmaweHt_1Odmawe

MAWAR

0.4

0.6

0.8

1.0

0.2

0.0

-0.2

-0.4

2002 2003 2004 2005 2006

Grafik Lampiran IV.1Return dan Alokasi Dana atas 14 Reksadana Saham, 2002-2006

Page 93: Bemp April 2008

387Kinerja Pengelolaan Dana pada Pasar Modal Indonesia

Ret_1DhdineKu_1Dhdinee

Uang_1DhdineHt_1Dhdine

MASTER DINAMIS

1.0

0.5

0.0

-0.5

2002 2003 2004 2005 2006

NIKKO

Ret_1RbsaheEku_1Rbsahe

Uang_1RbsaheHt_1Rbsahe

3

4

5

2

1

0

-1

2002 2003 2004 2005 2006

-1,0

-0,5

0,0

0,5

1,0

1,5

2,0

2,5

2002 2003 2004 2005 2006

Ret_1HzphseEku_1Hzphse

Uang_1HzphseHt_1Hzphse

Ret_1Bs SeneEku_1Bs Sene

Uang_1Bs SeneHt_1Bs Sene

-0.4

0.0

0.4

0.8

1.2

2002 2003 2004 2005 2006

DANA SENTOSA

Ret_1AxcereEku_1Axcere

Uang_1AxcereHt_1Axcere

-0.2

0.0

0.2

0.4

0.6

0.8

1.0

2002 2003 2004 2005 2006

RENCANA CERDAS

Sumber: Bapepam, diolah.

Ret_1Gr MakeEku_1Gr Make

Uang_1Gr MakeHt_1Gr Make

0.8

1.2

1.6

0.4

0.0

-0.4

-0.8 PANIN DANA MAKSIMA

2002 2003 2004 2005 2006

Grafik Lampiran IV.1Return dan Alokasi Dana atas 14 Reksadana Saham, 2002-2006 (Lanjutan)

Page 94: Bemp April 2008

388 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

Ret_1KxplueEku_1Kxplue

Uang_1KxplueHt_1Kxplue

0.4

0.6

0.8

1.0

0.2

0.0

-0.2

-0.4SCHRODER

2002 2003 2004 2005 2006

Ret_1In SaheEku_1In Sahe

Uang_1In saheHt_1In Sahe

SI DANA SAHAM-0.8

-0.4

0.0

0.4

0.8

1.2

1.6

2.0

2.4

2002 2003 2004 2005 2006

Grafik Lampiran IV.1Return dan Alokasi Dana atas 14 Reksadana Saham, 2002-2006 (Lanjutan)

Page 95: Bemp April 2008

389Kinerja Pengelolaan Dana pada Pasar Modal Indonesia

Grafik Lampiran IV.2Indikator Makro Indonesia, 2002-2006

Pertumbuhan IHK

4

8

12

16

20

2002 2003 2004 2005 2006

Suku Bunga Diskonto (% pa.)

6

8

10

12

14

16

18

2002 2003 2004 2005 2006

Call Money Rate (% pa.)

0

4

8

12

16

20

2002 2003 2004 2005 2006

Harga Minyak Mentah (US$ per Barrel)

10

20

30

40

50

60

70

80

2002 2003 2004 2005 2006

Kurs Rata-rata Rupiah terhadap US$

8000

8400

8800

9200

9600

10000

10400

2002 2003 2004 2005 2006

Sumber: International Financial Statistic, IMF (2007).

Page 96: Bemp April 2008

390 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

halaman ini sengaja dikosongkan

Page 97: Bemp April 2008

PETUNJUK PENULISAN

1. Naskah harus merupakan karya asli penulis (perorangan, kelompok atau institusi) yang tidak

melanggar hak cipta. Naskah yang dikirimkan, belum pernah diterbitkan dan tidak sedang

dikirimkan ke penerbit lain pada waktu yang bersamaan. Hak cipta atas naskah yang diterima,

TETAP menjadi hak penulis.

2. Setiap naskah yang disetujui untuk diterbitkan, akan mendapatkan kompensasi finansial

sebesar Rp 1.000.000,- s.d. Rp 3.000.000,-.

3. Naskah dapat dikirimkan dalam bentuk softcopy (file). Sangat disarankan untuk mengirimkan

softcopy anda ke:

[email protected]

Jika tidak memungkinkan, file tersebut dapat disimpan dalam disket atau CD dan dikirimkan

melalui pos ke alamat redaksi berikut:

BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN

Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia

Gedung B, Lt. 20, JI. M. H. Thamrin No.2

Jakarta Pusat, INDONESIA Telpon: 62-21-3818202, Fax: 62-21-3800394

4. Naskah dibatasi.+ 25 halaman berukuran A4, spasi satu (1), font Times New Roman dengan

ukuran font 12.

5. Persamaan matematis dan simbol harap ditulis dengan mempergunakan Microsoft Equation.

6. Setiap naskah harus disertai abstraksi, maksimal satu (1) halaman ukuran A4. Untuk naskah

yang ditulis dalam bahasa Indonesia, abstraksi-nya ditulis dalam Bahasa Inggris, dan

sebaliknya.

7. Naskah harus disertai dengan kata kunci (Keyword) dan dua digit nomor Klasifikasi Journal

of Economic Literature (JEL). Lihat klasifikasi JEL pada, http:// www.acaweb.org/journal/

jel_class_system.html.

8. Naskah ditulis dengan penyusunan BAB secara konsisten sebagai berikut,

Page 98: Bemp April 2008

392 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

I. JUDUL BABI. JUDUL BABI. JUDUL BABI. JUDUL BABI. JUDUL BAB

IIIII.1. Sub Bab.1. Sub Bab.1. Sub Bab.1. Sub Bab.1. Sub Bab

IIIII.1.1. Sub Sub Bab.1.1. Sub Sub Bab.1.1. Sub Sub Bab.1.1. Sub Sub Bab.1.1. Sub Sub Bab

9. Rujukan dibuat dalam footnote (catatan kaki) dan bukan endnote.

10.Sistem referensi dibuat mengikuti aturan berikut,

a.a.a.a.a. Publikasi buku:Publikasi buku:Publikasi buku:Publikasi buku:Publikasi buku:

John E. Hanke dan dan dan dan dan Arthur G. Reitsch, (1940), , (1940), , (1940), , (1940), , (1940), Business ForecastingBusiness ForecastingBusiness ForecastingBusiness ForecastingBusiness Forecasting, PrenticeHall, New, PrenticeHall, New, PrenticeHall, New, PrenticeHall, New, PrenticeHall, New

Jersey.Jersey.Jersey.Jersey.Jersey.

b.b.b.b.b. Artikel dalam jurnal:Artikel dalam jurnal:Artikel dalam jurnal:Artikel dalam jurnal:Artikel dalam jurnal:

Rangazas, Peter. ≈Schooling and Economic Growth: A King-Rebelo Experiment with ≈Schooling and Economic Growth: A King-Rebelo Experiment with ≈Schooling and Economic Growth: A King-Rebelo Experiment with ≈Schooling and Economic Growth: A King-Rebelo Experiment with ≈Schooling and Economic Growth: A King-Rebelo Experiment with

Human Capital∆, Human Capital∆, Human Capital∆, Human Capital∆, Human Capital∆, Journal of Monetary EconomicsJournal of Monetary EconomicsJournal of Monetary EconomicsJournal of Monetary EconomicsJournal of Monetary Economics, Oktober 2000,46(2), hal. 397-416., Oktober 2000,46(2), hal. 397-416., Oktober 2000,46(2), hal. 397-416., Oktober 2000,46(2), hal. 397-416., Oktober 2000,46(2), hal. 397-416.

c.c.c.c.c. Artikel dalam buku yang diedit orang lain: Artikel dalam buku yang diedit orang lain: Artikel dalam buku yang diedit orang lain: Artikel dalam buku yang diedit orang lain: Artikel dalam buku yang diedit orang lain: Frankel, Jeffrey A. dan dan dan dan dan Rose, Andrew K.

≈Empirical Research on Nominal Exchange Rates∆, dalam Gene Grossman dan Kenneth≈Empirical Research on Nominal Exchange Rates∆, dalam Gene Grossman dan Kenneth≈Empirical Research on Nominal Exchange Rates∆, dalam Gene Grossman dan Kenneth≈Empirical Research on Nominal Exchange Rates∆, dalam Gene Grossman dan Kenneth≈Empirical Research on Nominal Exchange Rates∆, dalam Gene Grossman dan Kenneth

Rogoff, eds., Rogoff, eds., Rogoff, eds., Rogoff, eds., Rogoff, eds., Handbook of International EconomicsHandbook of International EconomicsHandbook of International EconomicsHandbook of International EconomicsHandbook of International Economics. Amsterdam: North-Holland, 1995,. Amsterdam: North-Holland, 1995,. Amsterdam: North-Holland, 1995,. Amsterdam: North-Holland, 1995,. Amsterdam: North-Holland, 1995,

hal. 397-416.hal. 397-416.hal. 397-416.hal. 397-416.hal. 397-416.

d.d.d.d.d. Kertas kerja Kertas kerja Kertas kerja Kertas kerja Kertas kerja (working papers)(working papers)(working papers)(working papers)(working papers):::::

Kremer, Michael dan dan dan dan dan Chen, Daniel. ≈Income Distribution Dynamics with Endogenous. ≈Income Distribution Dynamics with Endogenous. ≈Income Distribution Dynamics with Endogenous. ≈Income Distribution Dynamics with Endogenous. ≈Income Distribution Dynamics with Endogenous

Fertility∆. National Bureau of Economic Research (Cambridge, MA) Working PaperFertility∆. National Bureau of Economic Research (Cambridge, MA) Working PaperFertility∆. National Bureau of Economic Research (Cambridge, MA) Working PaperFertility∆. National Bureau of Economic Research (Cambridge, MA) Working PaperFertility∆. National Bureau of Economic Research (Cambridge, MA) Working Paper

No.7530, 2000.No.7530, 2000.No.7530, 2000.No.7530, 2000.No.7530, 2000.

e.e.e.e.e. Mimeo dan karya tak dipublikasikan: Mimeo dan karya tak dipublikasikan: Mimeo dan karya tak dipublikasikan: Mimeo dan karya tak dipublikasikan: Mimeo dan karya tak dipublikasikan: Knowles, John. ≈Can Parental Decision Explain. ≈Can Parental Decision Explain. ≈Can Parental Decision Explain. ≈Can Parental Decision Explain. ≈Can Parental Decision Explain

U.S. Income Inequality?∆, Mimeo, University of Pennsylvania, 1999.U.S. Income Inequality?∆, Mimeo, University of Pennsylvania, 1999.U.S. Income Inequality?∆, Mimeo, University of Pennsylvania, 1999.U.S. Income Inequality?∆, Mimeo, University of Pennsylvania, 1999.U.S. Income Inequality?∆, Mimeo, University of Pennsylvania, 1999.

f.f.f.f.f. Artikel dari situs WEB dan bentuk elektronik lainnya: Artikel dari situs WEB dan bentuk elektronik lainnya: Artikel dari situs WEB dan bentuk elektronik lainnya: Artikel dari situs WEB dan bentuk elektronik lainnya: Artikel dari situs WEB dan bentuk elektronik lainnya: Summers, Robert dan dan dan dan dan Heston, Alan, Alan, Alan, Alan, Alan

W. ≈Penn World Table, Version 5.6∆∆http:// pwtecon.unpenn.edu/, 1997.W. ≈Penn World Table, Version 5.6∆∆http:// pwtecon.unpenn.edu/, 1997.W. ≈Penn World Table, Version 5.6∆∆http:// pwtecon.unpenn.edu/, 1997.W. ≈Penn World Table, Version 5.6∆∆http:// pwtecon.unpenn.edu/, 1997.W. ≈Penn World Table, Version 5.6∆∆http:// pwtecon.unpenn.edu/, 1997.

g.g.g.g.g. Artikel di koran, majalah dan periodicals sejenis: Artikel di koran, majalah dan periodicals sejenis: Artikel di koran, majalah dan periodicals sejenis: Artikel di koran, majalah dan periodicals sejenis: Artikel di koran, majalah dan periodicals sejenis: Begley, Sharon. ≈Killed by Kindness∆, ≈Killed by Kindness∆, ≈Killed by Kindness∆, ≈Killed by Kindness∆, ≈Killed by Kindness∆,

NewsweekNewsweekNewsweekNewsweekNewsweek, April 12, 1993, hal. 50-56., April 12, 1993, hal. 50-56., April 12, 1993, hal. 50-56., April 12, 1993, hal. 50-56., April 12, 1993, hal. 50-56.

11.Naskah harus disertai dengan biodata penulis, lengkap dengan alamat, telepon, rekening

Bank dan e-mail yang dapat dihubungi. Disarankan untuk menulis biodata dalam bentuk

CV (curriculum vitae) lengkap.