Behavior Setting
-
Upload
architecturetheory -
Category
Documents
-
view
882 -
download
9
Transcript of Behavior Setting
3
ARSITEKTUR PERILAKU
BEHAVIOR SETTING
OLEH:
Bunga Mulia – 0704205028
Komang Beny Kurniawan - 0704205060
Victor Kurniawan - 0704205091
3
FAKULTAS TEKNIK | TEKNIK ARSITEKTUR | UNIVERSITAS
UDAYANA | 2009
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat
dan karunia-Nyalah makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah ini merupakan tugas mata kuliah Arsitektur Perilaku yang berjudul ”Behavior
Setting/Tatar Perilaku”.
Kami mengucapkan terima kasih kepada para dosen pengajar yang telah meluangkan
waktunya untuk membimbing dan membantu kami dalam proses pembuatan makalah ini
sehingga kami berhasil menyusun makalah ini tepat pada waktunya.
Kami menyadari bahwa makalah yang kami buat ini jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kami mengharapkan dukungan-dukungan, saran dan kritik yang bersifat
membangun demi kesempurnaan makalah ini. Kami juga meminta maaf apabila terdapat
kesalahan-kasalahan pada makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
positif bagi pembaca sekalian.
Denpasar, September 2009
Hormat kami
(Penulis)
3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 1
DAFTAR ISI 2
PENDAHULUAN 3
BEHAVIOR SETTING 4
1. Definisi Behavior Setting
2. Pola Perilaku
3. Batas Behavior Setting
4. Faktor yang Mempengaruhi Batas Perilaku
5. Kecocokan Lingkungan (Konsep of Fit)
6. Faktor yang mempengaruhi Kecocokan Lingkungan
KESIMPULAN 11
DAFTAR PUSTAKA 12
3
PENDAHULUAN
Salah satu alasan dasar membangun bangunan, taman atau system infrastuktur
adalah menyediakan sarana untuk berbagai aktivitas manusia. Seperti tidur, bekerja,
rekreasi, ibadah sebagai pemenuhan berbagai tingkat tuntutan kebutuhan manusia. Dalam
pemenuhan kebutuhan tersebut, terlihat adanya pola perilaku penggunanya. Lingkungan
fisik terdiri atas seperangkat permukaan dengan berbagai kualitas. Meskipun kadang kala
lingkungan dirancang untuk tujuan estetika semata, pada umumnya tujuan perancangan
suatu lingkungan adalah guna memenuhi aktivitas tertentu. Konsep ruang aktivitas dan tatar
perilaku ini dapat dikatakan sama, demikian diungkapkan oleh David Haviland (1967).
Behavior setting terjadi pada pertemuan antara individu dan lingkungannya.
Barker (1986) seorang tokoh psikologi ekologi menelusuri pola perilaku manusia
berkaitan dengan tatanan lingkungan, dan melahirkan konsep “tatar perilaku” atau
umumnya disebut dengan behavior setting.
3
BEHAVIOR SETTING
1. Definisi Behavior Setting
Behavior Setting adalah kombinasi yang stabil dan tetap antara aktivitas dan ruang yang
memiliki ciri antara lain:
a. Aktivitas yang berulang-pola tetap aktivitas
Di dalam behavior setting terdapat suatu aktivitas yang berulang, berupa suatu pola
prilaku (standing pattern of behavior) yang memiliki satu atau lebih pola perilaku
ektraindividual. Istilah ekstraindividual menunjukkan fakta operasional bahwa sebuah
setting tidak bergantung hanya pada sebuah seorang manusia atau objek. Misalkan
saja kita ambil contoh sebuah tempat di pertamina. Setiap harinya selalu saja ada
banyak orang yang dating dengan tujuan mengisi bensin, pertamax, solar ataupun
minyak tanah. Walaupun ada satu orang yang membatalkan niatnya ke pertamina
tersebut selalu saja ada orang lain yang datang. Jadi di pertamina tersebut terjadi
aktivitas yang tetap tanpa pengaruh dari orang yang membatalkan niatnya ke
pertamina tadi. Dengan pengertian bahwa pola aktivitas selalu tetap, dan tidak
dipengaruhi oleh seorang manusia/objek. Demikian pula dengan objek dan lokasi
biasanya tidak ada objek atau lokasi yang sedemikian pentingnya dalam setting
sehingga tidak tergantikan.
b. Adanya layout khusus lingkungan
Behavior setting berkombinasi dengan lingkungan (circumjacent milieu) yang
berkaitan dengan pola prilaku. Setiap behavior setting berbeda dengan setting
lainnya, menurut waktu dan ruang. Seseorang hanya bisa menjadi bagian dalam
sebuah behavior setting apabila dia masuk dalam setting tertentu pada waktu dan
tempat yang tepat. Seperti contoh, orang yang berada pada pertamina pada waktu
tertentu berada pada behavior setting di pertamina tersebut. Sedangkan orang yang
3
membatalkan untuk pergi ke pertamina tadi tidak terlibat dalam behavior setting di
pertamina.
c. Adanya hubungan yang harmonis/cocok antara aktivitas dan ruang.
Behavior setting membentuk suatu hubungan yang synomorpy. Synomorpy berarti
struktur yang sama antara aktivitas dan ruang. Batas-batas ruang sebuah setting
tidak ditentukan secara sembarangan tetapi merupakan sesuatu yang harus selaras
dengan prilaku ektraindividual dalam setting. Bagian ini merupakan bagian yang
terpenting bagi arsitek dalam perancangan lingkungan karena bagian inilah yang
diotak-atik oleh perancang.
d. Periode/waktu yang spesifik
Behavior setting dilakukan pada periode waktu tertentu. Seseorang jika
membatalkan rencananya untuk pergi ke pertamina memang dapat menimbulkan
perbedaan dalam hal berfungsinya suatu setting, akan tetapi tidak berarti bahwa
bagian itu menghalangi terjadinya behavior setting. Dengan demikian berarti suatu
tatanan fisik tertentu bisa jadi bagian behavior setting apabila aktifitas yang terjadi
berbeda-beda dan pada waktu yang berbeda pula. Melalui definisi ini terlihat bahwa
setiap criteria menunjukkan atribut tertentu dalam sebuah setting.
2. Pola Perilaku
Behavior setting dipengaruhi oleh :
a. Prilaku emosional yang jelas
Yang dimaksud di sini adalah tingkah laku yang nyata dari setiap orang sangat
mempengaruhi behavior setting. Seperti seorang yang mengantri mengisi bensin,
masing-masing orang dengan perilaku dan style yang berbeda-beda. Ada yang sambil
duduk di atas motornya mengecek handphone, ada yang mengunyah permen karet
ada yang bercerita dengan orang lain dan masih banyak contoh yang lain. Setiap
orang berprilaku berbeda karena masing-masing mempunyai peran yang berbeda.
b. Prilaku mengatasi masalah
3
Perilaku mengatasi masalah beranggapan bahwa kebutuhan-kebutuhan lingkungan
masalah yang harus diselesaikan melalui analisis yang saksama. Merancang tidak
dianggap sebagai proses intuitif yang bercirikan ilham saja, tapi sebagai proses
langkah demi langkah yang bergantung pada informasi yang padat. Dengan demikian,
terciptanya suatu kebutuhan-kebutuhan lingkungan dan ruang dapat dianalisa
melalui aktivitas dan pola perilaku individu atau sekelompok.
c. Aktifitas berfikir
Dari aktifitas berfikir membentuk pola perilaku manusia. Karena dari kegiatan berfikirlah seseorang dapat berprilaku.
d. Hubungan interpersonal
Adanya interaksi interpersonal atau antara orang membentuk adanya behavior
setting. Ketika tidak ada interaksi interpersonal, aktivitas dalam setting tersebut tidak
ada.
Di pertamina terdapat serangkai kejadian yang berurutan, sebuah program yang
meliputi interaksi orang yang mengisi bensin dan orang membayar harga bensin
dengan petugas di pertamina. Perilaku ini membentuk pola perilaku yang terjadi
berulang-ulang. Terjadi sebagai suatu program yang berlaku bagi setiap pertamina.
e. Manipulasi objek
Manipulasi objek yang dimaksud di sini adalah objek yang dikelilingi oleh prilaku.
Objek ini mempengaruhi behavior setting karena objek inilah yang menentukan
behavior setting.
Aktivitas seperti contoh di atas menggambarkan betapa kompleksnya perilaku
manusia yang harus diwadahi oleh suatu tatanan fisik dan terlihat bahwa setiap behavior
setting terdiri atas beberapa sub prilaku yang lebih sederhana.
3. Batas Behavior Setting
3
Batas perilaku adalah batas dimana suatu perilaku berhenti (tidak berlanjut) terdiri
dari dua jenis yaitu:
a. Batas fisik/physicalboundary: batas perilaku yang dipengaruhi dan ditandai dengan
elemen fisik lingkungan (batas fisik ruang) meliputi elemen dasar ruang (atas, bawah,
vertikal).
Batas yang ideal adalah batas yang jelas seperti batas dinding. Apabila batas dari
satu behavior setting itu tidak jelas, masalah yang muncul adalah tidak jelasnya
pemisah aktifitas, terutama apabila sebagian aspek dari pola perilaku harus
dipisahkan dari lainnya. Masalah juga muncul apabila pemisah atau batas yang ada
hanya berupa batas simbolik bukan batas fisik, misalnya melalui pola lantai, atau
perbedaan warna lantai, yang belum tentu dapat dikenali atau diketahui oleh setiap
orang yang terlibat dalam aktivitas di daerah itu.
Beberapa objek berfungsi membentuk batas spasial dan objek lain berfungsi
mendukung pola aktivitas yang terjadi di dalamnya. Objek pembatas mengelilingi
perilaku, sedangkan jenis objek kedua, sebagai pendukung pola aktivitas, perilaku
mengelilingi objek kedua. Seperti contoh pada pertamina, batas fisik spasial berupa
tali yang rentangkan sebagai batas tempat antrian.
b. Batas simbolis : batas perilaku yang ditandai oleh elemen non ruang atau symbol.
Selain dibangun sebuah dinding sebagai sebuah batas yang jelas, juga dapat
dilakukan melalui pengaturan administratif, atau kadang-kadang juga dipakai tanda-
tanda simbolik untuk menentukan batas untuk masing masing behavior setting.
Sebagai contoh, peringatan symbol dilarang merokok di pasang di dinding.
4. Faktor yang Mempengaruhi Batas Perilaku
a. Tingkat pengenalan batas: yaitu tingkat jelas tidaknya suatu elemen batas perilaku
dapat dikenal oleh manusia.
Maksudnya disini adalah seberapa jelasnya batas suatu elemen tersebut dilihat oleh
setiap orang, baik batas tersebut fisik maupun simbolis. Biasanya semakin jelas
3
visibilitas dari batas tersebut, membuat beberapa orang semakin jelas dalam
mengenal dan mengintepretasikan batas-batas tersebut.
b. Tingkat pemisahan batas, yaitu tingkat pembatasan elemen batas terhadap suatu
perilaku (visual, aksesibilitas, bahan, elemen, indra, dll)
Elemen batas terhadap suatu perilaku, baik fisik maupun simbolis memisahkan tiap-
tiap perilaku pada suatu tempat tersebut, seperti contohnya pada tingkat
pembatasan elemen visual yaitu apa yang kelihatan oleh mata manusia menjadi
batas suatu aktivitas pada suatu ruang tertentu, seperti contohnya dinding, dan
sebagainya. Aksesibilitas juga demikian, seperti contohnya pintu masuk pada suatu
ruang yang menunjukkan bahwa ruang tersebut memisahkan aktivitas luar dengan
aktivitas yang ada pada ruang yang memiliki pintu masuk tersebut. Bahan, disini
dimaksudkan bahan apa yang dipakai dalam membentuk suatu batas perilaku,
biasanya semakin solid bahan yang dipakai maka batas tersebut secara visual akan
semakin terlihat oleh manusia, seperti contohnya pembatas berupa dinding bata,
kaca, sekat triplex dsb.
5. Kecocokan Lingkungan (Konsep of Fit)
Suatu lingkungan/desain/setting ruang yang cocok/ideal yang ditimbulkan dari
adanya suatu pola perilaku yang berulang akibat setting fisik ruang tertentu yang spesifik.
Asas penataan ruang ialah pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara
terpadu, berdaya guna, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan. Untuk dapat terjadinya
konsep of fit atau kecocokan lingkungan banyak hal yang harus diperhatikan. Sebelum
mendesain/mensetting suatu ruang hendaknya kita harus mempelajari pola tingkah laku
maupun kebiasaan penguna. Dari hal tersebut dapat kita ketahui apa-apa saja yang
dibutuhkan oleh pengguna sehingga kita dapat melengkapi pada desain yang akan dibuat.
Dengan contoh konkrit, ketika A bangun tidur, dia langsung menuju ke kamar mandi untuk
melakukan aktifitasnya yaitu mandi, buang air besar, dsb. Setelah itu dia menggunakan
pakaian untuk berangkat kerja. Sebelum berangkat dia sarapan terlebih dahulu di ruang
makan. Dari kebiasaan yang dilakukan oleh A, maka kita dapat mendesain/mensetting ruang
3
yang sedemikian rupa, yang di dalamnya terdapat kamar tidur, kamar mandi, dan ruang
makan sehingga konsep of fit/kecocokan lingkungan dapat tercapai.
6. Faktor yang mempengaruhi Kecocokan Lingkungan
a. Organisasi
Faktor organisasi disini timbul dari adanya pola perilaku yang berulang dari manusia
itu sendiri. Misalkan saja dari sirkulasi, keinginan, kebiasaan, dsb. Dari hal-hal
tersebut maka dapat dihasilkan suatu organisasi ruang yang nyaman dan ideal.
b. Tingkatan hidup
Disini dimaksudkan bahwa tingkatan hidup sangat mempengaruhi kualitas ruang
yang dihasilkan. Semakin tinggi tingkatan hidup seseorang, semakin tinggi pula
kualitas dan kenyamanan ruang yang dapat dihasilkan.
c. Budaya
Dalam mendesain/mensetting ruang yang ideal, faktor budaya sangat memiliki peran
penting yang dimana faktor tersebut mengarahkan suatu desain agar cocok dan
sesuai dengan lingkungan sekitar.
d. Gaya hidup
Gaya hidup merupakan pola perilaku manusia yang atau dapat dikatakan sebagai
kompetensi fisik. Dari kebiasaan tersebut kita dapat mendesain/mensetting ruang
yang cocok/ideal.
e. Aktivitas dasar
Aktivitas dasar merupakan aktivitas utama atau aktivitas yang paling sering
dilakukan. Suatu desain/setting ruang yang ideal akan terwujud apabila aktivitas
dasar dapat terpenuhi. Seperti contoh, aktivitas makan. Di sejumlah budaya, ayah
sebagai kepala keluarga selalu makan lebih dahulu diikuti dengan anggota keluarga
lainnya. Hal ini berpengaruh pada desain ruang makan.
3
f. Struktur kelompok
Kecocokan lingkungan tidak akan bisa tercapai apabila tidak adanya sekelompok
orang (urban, pedesaan, pusat kota, daerah rekreasi). Dari pernyataan tersebut
suatu desain/setting ruang tidak akan sempurna apabila tidak memahami struktur
kelompok.
g. Gender
Dari faktor di atas, setting ruang yang ideal disesuaikan menurut gender seseorang
yaitu laki-laki atau perempuan. Warna atapun desain ruangan harus disesuaikan.
Senagai contoh, tampak pada masyarakat arab yang mempengaruhi desain tatanan
ruang, penghubung ruang, desain ruang terbuka dan akses jalan.
h. Nilai privasi
Suatu desain akan terasa nyaman bila memiliki nilai privasi sesuai dengan keinginan
pemakai. Nilai privasi tersebut akan berpengaruh terhadap setting ruang yang ideal.
Contoh, setiap kebudayaan memiliki perbedaan pada sikap terhadap privasi.
i. Hubungan sosial
Di kehidupan sehari-hari kita ketahui bahwa setiap orang tidak bisa hidup sendiri
tanpa bantuan orang lain, jadi dalam mencapai suatu setting ruang yang ideal kita
harus memperhatikan desain yang akan kita buat agar seseorang dapat berinteraksi
dengan orang lain. Sebagai contoh, rumah-rumah di Amerika Latin yang
menempatkan dapur sebagai tempat bersosialisasi kaum wanita atau menjamu
tamu-tamunya.
3
KESIMPULAN
Melalui pengamatan behavior setting ini, arsitek dapat mengenal system social dari
dalam setting, dalam arti melihat pola-pola perilaku sistematis yang ditunjukkan oleh
penghuni lingkungan tertentu.
Bagi para psokolog, pengamatan ini memberi pandangan tentang manusia yang
mengalami tekanan situsional yang sering kali berpengaruh terhadap perilaku seseorang.
Dengan demikian, hasil pengamatan ini dapat memperluas wawasan pengetahuan
arsitek dan perencana lingkungan tentang manusia dari perspektif yang berbeda, bukan
hanya teoretis semata.
3
DAFTAR PUSTAKA
Laurens, Joyce. 2004. Arsitektur dan Perilaku Manusia. Jakarta: PT Grasindo. Hlm. 172-200.