Bedah Anak MC-RD2002

11
MEGACOLON CONGENITAL ------------------------------------------------------------------------------------------------------RD- Collection2002 Megacolon congenital adalah suatu kelainan bawaan berupa aganglionis usus, mulai dari spingter ani interna ke arah proksimal dengan panjang bervariasi, tetapi selalu termasuk anus dan setidak-tidaknya rektum. Penyakit Hirschsprung disebut juga megacolon kongenital merupakan kelainan tersering dijumpai sebagai penyebab obstruksi usus pada neonatus. Pada penyakit ini tidak dijumpai pleksus mienterikus sehingga bagian usus tersebut tidak dapat mengembang. Megakolon congenital atau Hirschprung adalah kelainan congenital yang disebabkan oleh karena tidak adanya ganglion parasimpatis pada lapisan submukosal (meissner) maupun lapisan muskularis (Anerbach ) usus besar Penyakit ini ditemukan oleh Herald Hirschprung, seorang ahli penyakit anak di Denmark tahun 1886, yang melaporkan perjalanan klinis sampai saat kematian dua orang pasien dengan gangguan usus yang berat, masing-masing berumur 7 dan 11 bulan. Gambaran makroskopis kolon yang terdilatasi dan hipertrofi, yang oleh Hirschprung dinilai sebagai penyebab primer gangguan fungsi usus. Penyakit ini ditandai dengan lambatnya pengeluaran mukonium dalam dua kali 24 ja m, diikuti tanda-tanda obstruksi mekanis seperti muntah, kembung, gangguan defekas i (konstipasi dan diare) dan akhirnya disertai kebiasaan defekasi yang tidak teratur Manifestasi klinik penyakit ini adalah gangguan pasase usus fungsional., dalam kepustakaan disebutkan bahwa insiden penyakit ini berkisar 1 diantara 2000 sampai 12.000 kelahiran, dengan insiden tersering 1 diantara 5000 kelahiran. Data tentang penyakit Hirschsprung di Indonesia belum ada. Angka insidensi 1 diantara 5000 kelahiran maka dengan penduduk 220 juta dan tingkat kelahiran 35 per mil, diperkirakan akan lahir 1400 bayi setiap tahun dengan penyakit Hirschsprung di Indonesia. Di Amerika frekuensi 1 dari 5000 kelahiran (Kartono, 1993 ; Yoshida, 2004). Insiden penyakit ini adalah 1 : 5000 kelahiran hidup. Frekuensi pada anak laki-laki dengan perempuan 4 : 1. Diagnosis penyakit hirschprung ini harus ditegakkan secara dini, sebaiknya pada masa neonatal. Keterlambatan diagnosis dapat menimbulkan komplikasi dan kematian. Untuk menegakkan diagnosis penyakit ini diperlukan anmnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti, pemeriksaan foto polos abdomen, barium enema, serta pemeriksaan patologi anatomi biopsi isap rectum. Penyakit ini adalah kasus bedah, sebab terbukti penatalaksanaan konservatif, dari sejak awal penemuan penyakit ini sampai sekarang tidak memberikan hasil memuaskan . Tetapi jika sejak awal dilakukan kolostomi melalui usus yang berganglion dengan prosedur pull through hasilnya akan memuaskan. Prosedur pull through dilakukan bila anak sudah mempunyai berat badan 10 kg, umur sudah lebih tua dan mempunyai megakolon. Pull through ditunda sampai usus kembali ke ukuran normal. Kolostomi dapat ditutup pada saat dilakukan pull through atau sebagai langkah ketiga tergantung keputusan ahli bedah. Prosedur yang digunakan bervariasi adalah prosedur Swenson, Duhamel, Soave Sampai tahun 1930-an etiologi penyakit Hirschprung belum jelas diketahui penyebab sindrom tersebut. Baru jelas setelah Robertson dan Kernohan pada tahun 1938 serta Tiffin, Chander dan Faber pada tahun 1940 mengemukakan bahwa megakolon pada penyakit Hirschprung primer disebabkan oleh gangguan peristalsis di bagian usus distal dengan defisiensi ganglion. Pada tahun 1948, Swenson melaporkan tentang penyempitan kolon distal yang terlihat dalam barium enema dan tidak terdapatnya peristalsis kolon distal. Pengangkatan segmen kolon ini dengan disertai preservasi sfingter ani interna akan menyembuhkan penyakit hirschprung.. Pasien dengan penyakit Hirschsprung harus dikelola segera setelah diagnosis ditegakkan. Tindakan segera yang harus dilakukan adalah pembuatan kolostomi untuk menghilangkan pasase usus. Langkah berikutnya adalah melakukan tindakan bedah definitif yang dilakukan secara elektif. Tanpa penanganan tingkat mortalitas penyakit ini 80 % (Lee Steven, 2003), pasien penyakit Hirschsprung akan meninggal pada bulan-bulan pertama kehidupannya, sebagian besar pada masa neonatus. Kematian tersebut disebabkan oleh komplikasi seperti enterokolitis, perforasi usus, sepsis dan sebagainya. Keterlambatan dan kegagalan tindakan bedah, baik tindakan bedah sementara maupun bedah definitif dapat mengakibatkan cacat bahkan kematian. Penyakit ini merupakan kasus bedah sebab terbukti dengan penatalaksanaan konservatif dari sejak awal, tidak memberikan hasil yang memuaskan. Pembedahan untuk mengatasi penyakit Hirschprung telah dikerjakan sejak 50 tahun yang lalu. Pada tahun 1961 Soave pertama kali melakukan operasi endorectal pull-through untuk menangani penyakit Hirschprung (Kartono,1993). Pengobatan definitif aganglionosis kolon adalah pembedahan dengan membuang semua bagian yang aganglionik, kemudian membawa usus (kolon ) yang normal persarafannya (ganglionik ) ke anus dengan memperhatikan kontinensi. Setiap penderita yang sudah didiagnosis menderita penyakit Hirschsprung perlu dilakukan pembedahan untuk menghilangkan bagian yang patologi dan memperbaiki fungsi saluran cerna (operasi korektif). Beberapa prosedur terapi penyakit Hirschsprung antara lain : Prosedur Swenson, Prosedur Duhamel, Prosedur Rehbein dan Prosedor Soave. Prosedur Soave disebut juga prosedur pull-through ekstramukosa endorektal dari Soave. Di Subbagian Bedah anak FK UGM / RSUP DR Sardjito Yogyakarta, Soave dikerjakan mulai awal 1990. dalam melaksanakan tersebut didapatkan kesulitan dalam pengupasan mukosa, sehingga diciptakan tehnik prosedur modifikasi Soewarno Sejarah penyakit Hirschprung Pada tahun 1886 Hirschsprung melaporkan dua kasus bayi meninggal dengan perut yang kembung oleh kolon yang sangat melebar dan penuh masa feses. Penyakit ini disebut megakolon kongenital dan merupakan kelainan yang tersering dijumpai sebagai penyebab obstruksi usus pada neonatus. Laporan tersebut disertai keterangan mengenai penampilan makroskopik kolon yang terdilatasi dan hipertrofi,

description

bedah anak mc

Transcript of Bedah Anak MC-RD2002

  • MEGACOLON CONGENITAL

    ------------------------------------------------------------------------------------------------------RD-Collection2002

    Megacolon congenital adalah suatu kelainan bawaan berupa aganglionis usus, mulai

    dari spingter ani interna ke arah proksimal dengan panjang bervariasi, tetapi selalu

    termasuk anus dan setidak-tidaknya rektum. Penyakit Hirschsprung disebut juga

    megacolon kongenital merupakan kelainan tersering dijumpai sebagai penyebab

    obstruksi usus pada neonatus. Pada penyakit ini tidak dijumpai pleksus mienterikus

    sehingga bagian usus tersebut tidak dapat mengembang. Megakolon congenital atau

    Hirschprung adalah kelainan congenital yang disebabkan oleh karena tidak

    adanya ganglion parasimpatis pada lapisan submukosal (meissner) maupun

    lapisan muskularis (Anerbach ) usus besar Penyakit ini ditemukan oleh Herald

    Hirschprung, seorang ahli penyakit anak di Denmark tahun 1886, yang melaporkan

    perjalanan klinis sampai saat kematian dua orang pasien dengan gangguan usus yang

    berat, masing-masing berumur 7 dan 11 bulan. Gambaran makroskopis kolon yang

    terdilatasi dan hipertrofi, yang oleh Hirschprung dinilai sebagai penyebab primer

    gangguan fungsi usus. Penyakit ini ditandai dengan lambatnya pengeluaran

    mukonium dalam dua kali 24 jam, diikuti tanda-tanda obstruksi mekanis

    seperti muntah, kembung, gangguan defekasi (konstipasi dan diare) dan akhirnya

    disertai kebiasaan defekasi yang tidak teratur

    Manifestasi klinik penyakit ini adalah gangguan pasase usus fungsional., dalam

    kepustakaan disebutkan bahwa insiden penyakit ini berkisar 1 diantara 2000 sampai

    12.000 kelahiran, dengan insiden tersering 1 diantara 5000 kelahiran. Data tentang

    penyakit Hirschsprung di Indonesia belum ada. Angka insidensi 1 diantara 5000

    kelahiran maka dengan penduduk 220 juta dan tingkat kelahiran 35 per mil,

    diperkirakan akan lahir 1400 bayi setiap tahun dengan penyakit Hirschsprung di

    Indonesia. Di Amerika frekuensi 1 dari 5000 kelahiran (Kartono, 1993 ; Yoshida,

    2004). Insiden penyakit ini adalah 1 : 5000 kelahiran hidup. Frekuensi pada anak

    laki-laki dengan perempuan 4 : 1.

    Diagnosis penyakit hirschprung ini harus ditegakkan secara dini, sebaiknya pada

    masa neonatal. Keterlambatan diagnosis dapat menimbulkan komplikasi dan

    kematian. Untuk menegakkan diagnosis penyakit ini diperlukan anmnesis dan

    pemeriksaan fisik yang teliti, pemeriksaan foto polos abdomen, barium enema,

    serta pemeriksaan patologi anatomi biopsi isap rectum. Penyakit ini adalah

    kasus bedah, sebab terbukti penatalaksanaan konservatif, dari sejak awal penemuan

    penyakit ini sampai sekarang tidak memberikan hasil memuaskan . Tetapi jika sejak

    awal dilakukan kolostomi melalui usus yang berganglion dengan prosedur pull

    through hasilnya akan memuaskan. Prosedur pull through dilakukan bila anak

    sudah mempunyai berat badan 10 kg, umur sudah lebih tua dan mempunyai

    megakolon. Pull through ditunda sampai usus kembali ke ukuran normal. Kolostomi

    dapat ditutup pada saat dilakukan pull through atau sebagai langkah ketiga

    tergantung keputusan ahli bedah. Prosedur yang digunakan bervariasi adalah

    prosedur Swenson, Duhamel, Soave Sampai tahun 1930-an etiologi penyakit Hirschprung belum jelas diketahui

    penyebab sindrom tersebut. Baru jelas setelah Robertson dan Kernohan pada tahun

    1938 serta Tiffin, Chander dan Faber pada tahun 1940 mengemukakan bahwa

    megakolon pada penyakit Hirschprung primer disebabkan oleh gangguan

    peristalsis di bagian usus distal dengan defisiensi ganglion. Pada tahun 1948,

    Swenson melaporkan tentang penyempitan kolon distal yang terlihat dalam barium

    enema dan tidak terdapatnya peristalsis kolon distal. Pengangkatan segmen kolon ini

    dengan disertai preservasi sfingter ani interna akan menyembuhkan penyakit

    hirschprung..

    Pasien dengan penyakit Hirschsprung harus dikelola segera setelah diagnosis

    ditegakkan. Tindakan segera yang harus dilakukan adalah pembuatan kolostomi

    untuk menghilangkan pasase usus. Langkah berikutnya adalah melakukan tindakan

    bedah definitif yang dilakukan secara elektif. Tanpa penanganan tingkat mortalitas

    penyakit ini 80 % (Lee Steven, 2003), pasien penyakit Hirschsprung akan

    meninggal pada bulan-bulan pertama kehidupannya, sebagian besar pada masa

    neonatus. Kematian tersebut disebabkan oleh komplikasi seperti enterokolitis,

    perforasi usus, sepsis dan sebagainya. Keterlambatan dan kegagalan tindakan

    bedah, baik tindakan bedah sementara maupun bedah definitif dapat mengakibatkan

    cacat bahkan kematian. Penyakit ini merupakan kasus bedah sebab terbukti dengan

    penatalaksanaan konservatif dari sejak awal, tidak memberikan hasil yang

    memuaskan. Pembedahan untuk mengatasi penyakit Hirschprung telah dikerjakan

    sejak 50 tahun yang lalu. Pada tahun 1961 Soave pertama kali melakukan operasi

    endorectal pull-through untuk menangani penyakit Hirschprung (Kartono,1993).

    Pengobatan definitif aganglionosis kolon adalah pembedahan dengan membuang

    semua bagian yang aganglionik, kemudian membawa usus (kolon ) yang normal

    persarafannya (ganglionik ) ke anus dengan memperhatikan kontinensi. Setiap

    penderita yang sudah didiagnosis menderita penyakit Hirschsprung perlu dilakukan

    pembedahan untuk menghilangkan bagian yang patologi dan memperbaiki fungsi

    saluran cerna (operasi korektif). Beberapa prosedur terapi penyakit Hirschsprung

    antara lain : Prosedur Swenson, Prosedur Duhamel, Prosedur Rehbein dan Prosedor

    Soave. Prosedur Soave disebut juga prosedur pull-through ekstramukosa

    endorektal dari Soave. Di Subbagian Bedah anak FK UGM / RSUP DR Sardjito

    Yogyakarta, Soave dikerjakan mulai awal 1990. dalam melaksanakan tersebut

    didapatkan kesulitan dalam pengupasan mukosa, sehingga diciptakan tehnik

    prosedur modifikasi Soewarno

    Sejarah penyakit Hirschprung Pada tahun 1886 Hirschsprung melaporkan dua kasus bayi meninggal dengan perut

    yang kembung oleh kolon yang sangat melebar dan penuh masa feses. Penyakit ini

    disebut megakolon kongenital dan merupakan kelainan yang tersering dijumpai

    sebagai penyebab obstruksi usus pada neonatus. Laporan tersebut disertai

    keterangan mengenai penampilan makroskopik kolon yang terdilatasi dan hipertrofi,

  • yang oleh Hirschprung dinilai sebagai penyebab gangguan fungsi usus ( Swenson,

    1990). Sampai tahun 1930 etiologi penyakit Hirschprung belum jelas diketahui.

    Penyebab sindrom tersebut baru diketahui setelah Robertson dan Kernohan pada

    tahun 1940 mengemukakan bahwa penyakit Hirschprung disebabkan gangguan

    peristaltik di bagian usus distal dengan defisiensi ganglion. Pada tahun 1948

    Swenson menerangkan tentang penyempitan kolon distal yang terlihat dalam

    barium enema dan tidak terdapatnya peristaltik pada kolon distal. Pengangkatan

    segmen ini dengan disertai preservasi sfingter ani interna akan menyembuhkan

    penyakit Hirschprung (Robertson, et al, 1988). Pada tahun 1967, Okamoto dan Ueda

    menyimpulkan bahwa penyebab penyakit hirschsprung adalah aganlionosis pada

    bagian akhir usus. Aganglionosis tersebut disebabkan oleh karena gagalnya migrasi

    ke caudal sel-sel neuroblast pada masa awal kehidupan embrio (Kartono,1993

    Anatomi dan fungsi anorektal

    Kanalis analis berasal dari proktoderm yang merupakan invaginasi ektoderm,

    sedangkan rektum berasal dari endoderm. Karena perbedaan anus dan rektum ini,

    maka perdarahan, persarafan, serta aliran limfa berbeda. Rektum dilapisi mukosa

    glanduler, sedangkan kanalis analis, yang merupakan epitel gepeng. Tidak ada yang

    disebut mukosa anus. Daerah batas rektum dan kanalis analis ditandai dengan

    perubahan jenis epitel. Kanalis analis dan kulit luar disekitarnya kaya akan

    persarafan sensoris somatik yang peka terhadap rangsangan nyeri, sedangkan

    mukosa rektum mempunyai persarafan autonom dan tidak peka terhadap nyeri.

    Darah vena di atas garis anorektum mengalir melalui sistem porta, sedangkan yang

    berasal dari anus dialirkan ke sistem kava melalui vena iliaka (Sjamsuhidajat, 1997).

    Kanalis analis Secara makroskopis kanalis analis terdiri atas

    kolumna analis, valvula analis, sinus analis,

    papila analis, zona transisi garis Hilton dan

    kelenjar analis. Kolumna analis merupakan

    lipatan vertikal dari selaput mukosa.

    Sedangkan valvula analis merupakan lipatan

    melintang berbentuk bulan sabit pada ujung

    bawah kolumna analis yang terdapat

    sepanjang linea pektinata, garis ini

    merupakan batas antara endoderm dan

    ektoderm. Sinus analis terdiri dari lekukan-

    lekukan kecil tepat di atas valvula analis

    sedangkan tonjolan mukosa dari valvula

    analis disebut papila analis. Antara linea

    pektinata dan garis putih Hilton terdapat

    peraliha bentuk epitel. Garis putih Hilton

    letaknya lebih rendah dari sfingter interna,

    membentuk lekukan intersfingterika, di

    bawah garis ini kanalis analis dilapisi oleh

    kulit yang mengandung kelenjar keringat

    dan

    kelenjar sebacea. Kelenjar analis bermuara pada kripta analis yaitu cekungan kecil

    pada sinus analis (Brown, 1996). Secara mikroskopis kanalis analis terdiri dari tiga

    macam epitel, di atas linea pektinata struktur menyerupai kolon, antara linea

    pektinata dan garis Hilton dilapisi epitel transitional berlapis dan dibawah garis

    Hilton epitel pipih berlapis (Brown, 1996).

    Sistema Muskulus Sfingter terdiri dari atas otot polos dan

    lurik yang membentuk saluran anal. Otot

    polos sfingter interna adalah intrinsik

    pada dinding usus, menempati 2/3 bagian

    distal saluran anal, sebagian besar

    terletak distal dari garis pektinea, otot

    tersebut merupakan penebalan muskulus

    sirkular yang diperkuat oleh muskulus

    longitudinal di bagian luarnya. Sfingter

    eksterna merupakan lingkaran otot

    memanjang mengelilingi katup anal (anal

    vaives) sampai orifisium anal, tersangga

    diantara muskulus perinei superfisialis

    dan ano-coccygeal raphe. Disamping otot-

    otot sfingter, terdapat otot-otot dasar

    panggul yang terletak pada pintu keluar

    rongga pelvis berupa otot-otot levator ani

    yang terdiri dari pubococcygeus,

    ileococcygeus dan muskulus puborectalis

    (Kartono, 1993).

    Vaskularisasi Vaskularisasi rektum dan kanalis analis berasal dari arteri hemorhoidalis superior,

    media dan inferior. Arteria hemorhoidalis superior merupakan akhir dari arteria

    mesenterika inferior, melalui dinding posterior dari rektum turun sampai ke linea

    pektinata (Leonhard, 1995). Arteria hemorhoidalis media merupakan cabang dari

    arteria iliaka interna, pada wanita berupa arteria uterina. Arteria hemorhoidalis

    inferior merupakan cabang dari arteria pudenda interna, mensuplai anal di sebelah

    distal linea pektinata. Vena pada rektum dan anal mengikuti sistem arteri. Vena

    hemorhoidalis superior berasal dari pleksus hemorhoidalis internus dan berjalan ke

    kranial ke dalam vena mesenterika inferior dan melalui vena lienalis ke vena porta.

    Vena hemorhoidalis inferior dan media mengalirkan darah ke ke vena pudenda

    interna, ke vena iliaka interna selanjutnya ke vena kava inferior. Anastomosis antara

    vena hemorhoidalis superior dan arteria hemorhoidalis media dan inferior disebut

    portosistemic shunt (Leonhard, 1993).

  • Persarafan Nervus parasimpatis berasal dari cabang anterior n. sacralis ke 2,3 dan 4. Persarafan

    preganglion ini membentuk dua saraf erigentes yang memberikan cabang langsung

    ke rektum dan melanjutkan diri sebagai cabang utama ke pleksus pelvis untuk

    organorgan intrapelvis. Didalam rektum, serabut saraf ini berhubungan dengan pleksus ganglion Auerbach. Persarafan simpatis barasal dari dalam ganglion lumbal

    ke 2,3,4 dan pleksus paraaorta. Persarafan ini menyatu pada kedua sisi membentuk

    pleksus hipogastrikus di depan vertebra lumbal 5 dan melanjutkan diri ke arah

    postero-lateral sebagai persarafan presakral yang bersatu dengan ganglion pelvis

    pada kedua sisi. Persarafan simpatis dan parasimpatis ke rektum dan saluran

    anal berperan melalui ganglion pleksus Auerbach dan Meissner untuk mengatur

    peristaltik dan tonus sfingter interna. Serabut saraf simpatis dikatakan sebagai

    inhibitor dinding usus dan motor sfingter interna sedang parasimpatis sebagai motor

    dinding usus dan inhibitor sfingter. Sistem saraf parasimpatis juga merupakan

    persarafan sensorik untuk rasa distensi rektum (Brown, 1996).

    Etiologi

    Penyebab dari penyakit hirschprung disebabkan oleh gangguan peristalsik di

    bagian usus distal dengan defisiensi ganglion. Aganglionosis terjadi kareana sel

    neuroblas bermigrasi dari Krista neuralis saluran cerna bagian atas dan selanjutnya

    mengikuti serabut vagal ke kaudal. Penyakit hirschprung terjadi bila migrasi sel

    neuroblas terhenti pada suatu tempat tertentu dan tidak mencapai rectum.

    Beberapa peneliti mengemukakan timbulnya megakolon congenital dikarenakan

    microenviorement pada kolon distal yang tidak normal yang tidak memungkinkan

    factor pertumbuhan atau lingkungan yang sesuai untuk perkembangan neurocyt.

    Suatu penelitian terbaru meneliti aktifitas adesi molekul neural cell (NCAM) pada

    megakolon congenital, Kobayashi menjelaskan bahwa NCAM berperan penting

    dalam migrasi neurocyt dan lokalisasi neurocyt ketempat spesifik. Selama

    embriogenesis ada kemungkinan hilangnya aktifitas NCAM dapat menjelaskan tidak

    terdapatnya sel ganglion pada megakolon congenital.

    Patofisiologi

    Pada penyakit Hirschprung, kolon mulai dari paling distal sampai pada bagian usus

    yang berbeda ukuran penampangnya, tidak mempunyai ganglion parasimpatis

    intramural. Bagian kolon yang aganglionik ini tidak dapat mengembang

    sehingga tetap sempit dan defekasi terganggu. Akibat gangguan defekasi ini

    kolon proksimal yang normal akan melebar oleh tinja yang tertimbun, membentuk

    megakolon. Hirschprung segmen pendek, daerah aganglionik meliputi rectum

    sampai sigmoid merupakan kelainan terbanyak (18%), yang disebut hirschprung

    klasik. Hirschprung segmen panjang, daerah aganglionik meluas lebih tinggi dari

    sigmoid Bila mengenai seluruh kolon disebut kolon aganglionik total

    Motilitas kolon Motilitas kolon berbeda dengan usus halus, dimana peristaltik digantikan oleh

    gerakan feses disepanjang kolon. Motilitas kolon berfungsi untuk pendorongan feses

    dan absorpsi cairan pada waktu defekasi. Sedangkan gerakan feses dari sigmoid ke

    rektum dihambat oleh beberapa mekanisme yang digunakan untuk kontinensia.

    Kontinensia Kontinensia merupakan keadaan kemampuan untuk mempertahankan feses. Hal ini

    tergantung dari konsistensi feses, tekanan dalam anus, tekanan rektum dan sudut

    anorektal. Kontinensia diatur oleh mekanisme volunter dan involunter yang

    menjaga hambatan secara anatomi dan fisiologi jalannya feses ke rektum dan anus.

    Penghambat yang berperan adalah sudut anus dan rektum yang dihasilkan oleh otot

    levator ani bagian puborektal anterior dan superior. Adanya perbedaan antara

    tekanan dan aktifitas motorik anus, rektum dan sigmoid juga menyebabkan

    progresifitas pelepasan feses terhambat. Kontraksi sfingter ani eksternus seperti

    pada puborektalis diaktifasi secara involunter dengan distensi rektal dan dapat

    meningkat selama 1 2 menit (Kiessewetter, 1979).

    Defekasi Dalam keadaaan istirahat, lumen saluran anus akan menutup akibat puborektal sling

    yang letaknya kranial dari linea pektinea dan oleh tonus istirahat sfingter interna dan

    eksterna yang terletak setinggi dan dibawah katup anal. Peningkatan tekanan bagian

    kranial saluran anus akan dideteksi oleh reseptor regangan pada sleeve dan sling

    complex. Peristaltik yang kuat akan menimbulkan tegangan pada sleeve and sling.

    Untuk menghambat gerakan peristaltik tersebut (seperti menahan flatus) diperlukan

    kontraksi yang kuat yang harus dibantu secara sadar untuk menimbulkan kontraksi

    sling dan sfingter eksterna. Sleeve and sling dapat membedakan gas, cair, padat

    maupun gabungan. Sfingter interna merupakan bagian akhir otot pendorong yang

    secara aktif mengeluarkan feses atau flatus melalui anus. Serabut otot ini, yang

    terdiri dari otot sirkuler dan longitudinal membantu peristaltik di seluruh saluran

    anal sampai ke orifisium. Bagian longitudinal yang sebagian berasal dari otot

    pubococcygeus dan sebagian dari otot rektum involunter, secara aktif menimbulkan

    ectropion anus selama fase peristaltik pengeluaran feses. Fungsi ini berhubungan

    dengan kebersihan bagian saluran anal yang dilapisi kulit ( Kartono, 1993).

    Gambaran Klinis

    Gejala utama dari penyakit hirsprung adalah berupa gangguan defekasi yang dapat

    mulai timbul 24 jam pertama setelah lahir, dapat pula timbul pada umur beberapa

    minggu atau baru menarik perhatian orang tuanya atau setelah umur beberapa bulan.

    TRIAS KLASIK gambaran klinik pada neonatus adalah : 1. Mekonium keluar terlambat lebih dari 24 jam pertama 2. Muntah hijau

  • 3. Perut membuncit seluruhnya.

    Ada kalanya gejala obstipasi kronik ini diselingi oleh diare berat dengan feses

    berbau yang disebabkan oleh timbulnya penyakit berupa enterokolitis.

    Enterokolitis ini disebabkan antara lain oleh bakteri yang tumbuh berlebihan pada

    daerah kolon yang iskemik akibat distensi dinding usus yang berlebihan Dengan

    anamnesis dapat diketahui mulai sejak saat kelahiran berupa terlambatnya

    pengeluaran mukoneum dan adanya konstipasi. Pada pemeriksaan colok dubur

    terasa ujung jari terjepit lumen rectum yang menyempit, pengeluaran kotoran

    mungkin terjadi setelah dilakukan colok dubur. Manifestasi klinis penyakit

    hirschprung yang khas biasanya terjadi pada neonatus cukup bulan dengan

    keterlambatan keluarnya mekoneum pertama, diikuti distensi abdomen dan muntah

    mirip tanda-tanda obstruksi usus setinggi ileum. Pada bayi normal mekonium

    pertama biasanya sudah keluar dalam waktu 24 jam setelah kelahiran, namun pada

    lebih 90 % kasus penyakit hirschprung mekonium keluar setelah 24 jam.

    Berdasarkan panjang daerah aganglioner, hisrchprung dibagi :

    Ultrashort 1/3 bawah rectum Short sampai rektosigmoid Long mencapai olon descenden Sub Total colon transversum Total seluruh kolon

    Diagnosis

    Diagnosis penyakit Hirschprung harus ditegakkan secara dini, keterlambatan

    diagnosis menyebabkan timbulnya komplikasi seperti perforasi, enterokolitis,

    dan sepsis yang merupakan penyebab kematian tersering. Penegakan diagnosis

    harus dimulai dari anamnesis perjalanan penyakit yang khas dan gambaran klinik

    abdomen distensi menyeluruh merupakan kunci, pemeriksaan radiologi barium

    enema terlihat gambaran daerah transisi yaitu daerah perubahan lumen yang

    sempit ke daerah lumen lebar, pada foto setelah 24 jam akan terlihat retensi barium

    dan gambaran mikro kolon pada hirchprung segmen panjang, serta pemeriksaan

    patologi anatomi biopsi isap rectum, mencari tanda histologi yang khas, yaitu

    tidak adanya sel ganglion parasimpatik di lapisan muskularis mukosa, dan

    adanya serabut syaraf yang menebal. Pada pemeriksaan histokimia terdapat

    aktifitas kolinesterase yang meningkat.

    Pada diagnosis didapatkan :

    BB lahir bayi normal berbeda dengan atresia ani BB lahir rendah Pengeluaran mekoneum > 2x24 jam Kembung, munta, diare dan panas bila terjadi enterokolitis RT : nyemprot dan kembung hilang

    Anamnesis; Pada anamnesis perlu ditanyakan: umur pasien oleh karena penderita

    ini biasanya neonatus cukup bulan, mekonium yang keluar terlambat yaitu lebih dari

    24 jam pertama, riwayat muntah hijau. Ada kalanya terdapat riwayat obstipasi

    kronik diselingi oleh diare berat dengan feses berbau yang disebabkan oleh

    timbulnya penyakit berupa enterokolitis

    Pemeriksaan radiologis a. Foto polos abdomen

    Gambaran obstruksi usus letak rendah, dikatakan megakolon bila diameternya lebih besar dari 6,5 cm

    Kolon membesar gambaran seperti U inferted (tapal kuda)

    b. Foto kolon dengan kontras:

    Pemeriksaan ini harus dikerjakan pada bayi dengan pengeluaran mukoneum

    yang terlambat, distensi abdomen, muntah hijau, meskipun dengan colok dubur

    gejala dan tanda obstruksinya mereda. Bahan yang digunakan adalah urografin.

    Gambaran yang ditemukan adalah :

    Tampak daerah penyempitan di bagian rectum ke proksimal yang panjangnya bervariasi.

    Tampak daerah transisi, (distaldaerah sempit dan proksimal longgar) Daerah ini penting untuk pembuatan kolostomi.

    Ditampilkan pula beberapa gambaran zona transisi antara lain:

    1. Abrupt, perubahan mendadak dari segmen sempit ke segmen dilatasi 2. Cone, berbentuk seperti corong atau kerucut 3. Funnel, perubahan dari segmen sempit ke segmen dilatasi secara

    gradual

    Selain gambaran di atas sering juga didapatkan gambaran permukaan

    mukosa yang tidak teratur yang menunjukkan proses enterokolitis pada foto

    pasca evakuasi barium. Apabila dengan dengan foto barium enema tidak

    terlihat gambaran Hirschsprung, dibuat foto retensi barium yang dikerjakan

    24-48 jam sesudah barium enema untuk melihat bayangan sisa barium yang

    tampak membaur dengan feses ke arah proksimal

    Tanda-tanda radiologis yang khas untuk penyakit Hirschsprung adalah :

    1. Adanya gambaran zone transisional 2. Gambaran ireguler pada segmen aganglionik 3. Gambaran penebalan dan adanya nodus pada segmen mukosa kolon, sisi

    oral dari zona transisional

    4. Keterlambatan pengeluaran kontras 5. Gambaran Question mark pada total aganglionosis (Yoshida, 2004).

    Pemeriksaan patologi anatomi Merupakan pemeriksaan untuk diagnosis pasti penyakit hirschprung. Kelainan

    tersebut adalah tidak adanya sel-sel ganglion meissneri pada bagian usus yang

    menyempit dan ditemukannya penebalan serabut syaraf .

    Diagnosis patologis anatomis dilakukan dengan biopsi yang pernah dilaporkan

    Swenson pada tahun 1955. Seluruh ketebalan dinding rektum dieksisi sehingga

    pleksus mienterikus dapat diperiksa. Prosedur biopsi ini secara teknis sulit,

  • meninggalkan jaringan fibrosis dan kemungkinan akan mempersulit pembedahan

    selanjutnya . Biopsi isap mukosa dan submukosa rektum dengan mempergunakan alat

    Rubun atau Noblett dapat dikerjakan lebih sederhana dan tanpa anestesi.

    Diagnosis ditentukan apabila tidak ditemukannya sel ganglion Meissner dan

    ditemukannya penebalan serabut saraf (Swenson, 1990).

    Pemeriksaan manometri Memasukkan balon kecil dengan kedalaman yang berbeda-beda ke dalam rectum

    dan kolon. Study manometri pada megakolon congenital memberikan hasil sebagai

    berikut:

    Dalam segmen dilatasi terdapat hiperaktifitas dengan aktifitas propulsive yang normal.

    Dalam segmen aganglionik tidak terdapat gelombang peristaltic yang terkoordinasi, motilitas normal digantikan oleh konstraksi yang tidak

    terkoordinasi dengan intensitas dan kurun waktu yang berbeda.

    Reflek inhibisi antara rectum dan spingter ani tidak berkembang reflek relaksasi spingter ani interna setelah distensi rectum tidak terjadi bahkan terdapat

    kontraksi spastik dan relaksasi spontan tak pernah terjadi.

    Pemeriksaan ini dilakukan bila pada pemeriksaan klinis, radiologis, dan histologis

    meragukan, misalnya pada megakolon congenital ultra short.

    .Penatalaksanaan

    1. Penatalaksanaan sementara

    Sebelum dilakukan tindakan definitif yaitu tindakan pembedahan pengangkatan

    segmen usus aganglionik, diikuti dengan pengembalian kontinuitas usus.

    Tindakan bedah sementara yaitu dengan pembuatan kolostomi di kolon yang

    berganglion normal yang paling distal, merupakan tindakan pertama yang

    harus dilakukan. Tindakan ini menghilangkan obstruksi usus serta mencegah

    enterokolitis yang merupakan penyebab kematian utama.

    Kolostomi dekompresi dikerjakan pada:

    - Pasien neonatus , karena tindakan bedah definitive langsung tanpa kolostomi menimbulkan banyak komplikasi dan kematian yang disebabkan

    oleh kebocoran anastomosis dan abses rongga pelvis.

    - Pasien anak dan dewasa yang terlambat terdiagnosis, pasien kelompok ini mempunyai kolon yang sangat terdilatasi dengan kolostomi ukuran kolon

    akan mengecil kembali dalam waktu 3 6 bulan sehingga anastomosis nantinya lebih mudah.

    - Pasien dengan enterokolitis berat dan keadaan umumyang buruk

    2. Penatalaksanaan Definitif

    1. Prosedur Swenson Swenson memperkenalkan prosedur rektosigmoidektomi dengan preservasi

    spingter ani, anastomosis dilakukan secara langsung.. Pembedahan ini

    disebut sebagai prosedur tarik terobos atau pull through abdomino

    perineal. Merupakan prosedur pembedahan pertama yang berhasil

    menangani pasien penyakit hirschprung.

    Dalam prosedur ini puntung rectum ditinggalkan 2-3 cm dari garis

    mukokutan, yang pascabedah ditemukan beberapa enterokolitis diduga

    disebabkan oleh spasme rectum yang ditinggalkan. Rektum yang

    ditinggalkan sebenarnya merupakan segmen yang masih aganglionsis yang

    tidak direseksi . Karena dapat terjadi inkontinensia, prosedur ini dikenal

    sebagai SWENSON I. Untuk mengurangi apasme spingter ani. Swenson

    melakukan spingterotomi posterior. dengan cara puntung rectum

    ditinggalkan 2 cm di bagian anterior dan 0,5 1 cm di bagian posterior, dikenal sebagai SWENSON II.

    2. Prosedur Duhamel

    Teknik prosedur duhamel tahun 1956 adalah dengan mempertahankan

    rectum, kolon proksimal ditarik rekto rectal transanal dan dilakukan

    anastomosis kolorektal end to side, prosedur ini sering terjadi stenosis,

    inkontinensia, dan pembentukan fekaloma dalam puntung rectum yang

    ditinggalkan terlalu panjang,untuk mengatasi hal tersebut dilakukan berbagai

    modifikasi

    Prosedur Duhamel Prinsipnya pada membiarkan rektum tetap ada, kemudian usus yang sehat

    (normal persarafannya) dimasukkan ke dalam rektum melalui celah pada

    dinding posterior dari arah retrorektal. Hasil yang dicapai berupa enterotomi.

    Dinding rektum bagian depan yang aganglionik tetap ada, sehingga reflek

    kontrol defekasi tetap baik. Dinding belakang rektum nantinya terdiri dari

    kolon yang normal. Pada permulaan operasi, rektum ditutup dan dipotong

    seperti pada operasi Hartman. Kemudian kolon proksimal dipotong sampai

    pada daerah yang diinginkan pada daerah dengan persarafan normal.

    Duhamel sendiri menganjurkan seluruh kolon yang menyempit dan yang

    melebar direseksi karena biasanya bagian tersebut atoni dan mudah terjadi

    pengerasan feses. Pada tahap berikutnya dilakukan insisi endoanal, yaitu

    insisi semisirkular pada dinding posterior dan kanalais analis kira-kira 1 cm

    di atas pinggir anus. Mukosa dan sfingter dibuka langsung ke arah

    retrorektal yang sudah dibebaskan sebelumnya. Kedua ujung insisi ditahan

    dengan jahitan sementara, sebagai tempat untuk anastomosis koloanal. Ujung

    yang normal persarafannya diturunkan melalui daerah retrorektal menembus

    mukosa dan keluar melalui anus (Ashcraft, 1997).

  • 3. Prosedur Soave

    Soave melakukan prosedur bedah dengan pendekatan abdominoperineal

    dengan membuang lapisan mukosa rekto sigmoid dari lapisan seromuskuler,

    selanjutnya dilkukan penarikan kolon normal keluar anus melalui selubung

    seromuskuler rektosigmoid . Prosedur ini disebut pula sebagai prosedur

    tarik terobos endorektal, kemudian setelah 21 hari sisa kolon yang

    diprolapkan dipotong . Boley melakukan modifikasi prosedur soave dengan

    meperkenalkan prosedur tarik terobos endorektal dengan anastomosis

    langsung tanpa kolon diprolapkan . Teknik ini dilakukan untuk mencegah

    retraksi kolon bila terjadi nekrosis kolon yang diprolapkan.

    Prosedur ini sebenarnya adalah prosedur yang asli (original) untuk

    pengobatan bedah pada aganglionosis kolon. Hal penting yang diperhatikan

    pada teknik ini adalah membebaskan rektum, diseksi tepat pada dinding

    rektum, terus ke bawah ke arah sfingter, kemudian reseksi seluruh anus yang

    tidak mengandung ganglion (segmen aganglionik). Kedua ujung yang

    dipotong yakni bagian proksimal , yaitu usus yang normal dan bagian distal

    yang patologik ditutup sementara dengan jahitan. Setelah rektum dibebaskan

    dari jaringan sekitarnya, ujung rektum dibalik / prolaps ke arah anus. Ujung

    bagian proksimal yang normal persarafannya dilakukan pull-through melalui

    lumen rektum yang terbalik, kemudian dilakukan anastomosis dengan ujung

    anorektal. Anastomosis dilakukan di perineal dan bukan intraabdominal.

    Letak anastomosis tepat di atas anus. Reseksi rektum meninggalkan 1,5 cm

    dinding rektum bagian depan dan hampir seluruh rektum bagian belakang.

    Prosedur ini kalau dikerjakan oleh pakar yang berpengalaman akan

    memberikan hasil yang baik tanpa penyulit. Untuk mencegah penyulit

    berupa enterokolitis, maka Swenson menganjurkan reseksi yang lebih luas

    termasuk posterior sfingterotomi (Swenson, 1990).

    Anastomosis 2 lapis, mokosa dengan chromic catgut, muskulus dengan

    silk 5-0 (Swenson,1990)

    Skematik prinsip pull-through dan teknik anastomosis A. Swenson B. Soave

    C. Rehbein D. Duhamel

    Prosedur Soave Prosedur ini berbeda dengan prosedur Swenson dan Duhamel . Ia melakukan

    pendekatan abdomino-perineal dengan mengelupas mukosa rekto-sigmoid dari

    lapisan seromuskular. Kemudian dilakukan penarikan kolon keluar anus

    melalui selubung seromuskular rekto-sigmoid. Prosedur ini disebut juga

    metode tarik terobos endorektal. Setelah beberapa hari dilakukan pemotongan

    sisa kolon yang diprolapskan (Aschcraft, 1997). Prosedur operasi modifikasi

    Soewarno adalah sebagai berikut, dilakukan penutupan kolostomi, yang pada

    umumnya adalah standart double barrel. Dilakukan irisan tranversal pada

    dinding depan abdomen mulai 4 cm sebelah medial SIAS kanan melalui garis

    Langer sampai mencapai lobang kolostomi. Irisan dilanjutkan melengkung ke

    kraniolateral secukupnya. A hemorroidalis superior dan a. sigmoidalis

    diidentifikasi selanjutnya diikat dan dipotong. Dilakukan reseksi kolon 3 4 cm diproksimal kolostomi dan 1 2 cm di proksimal refleksi peritoneum. Pungtum proksimal kemudian ditutup. Dilakukan pengupasan mukosa rektum

    dari lapisan seromuskuler, dengan cara memegang mukosa dengan 4 buah

    klem ellis. Irisan pertama dilakukan secara tajam selanjutnya seromuskuler

    dipegang dengan 4 buah klem ellis, selanjutnya dilakukan pengupasan secara

    tumpul. Pengupasan ke anal sejauh mungkin sehingga mencapai linea dentata.

    Selanjutnya dilakukan pembebasan kolon proksimal yang sehat, sampai cukup

    untuk diteroboskan keluar anus. Pembebasan ini harus hati-hati sehingga

    arkade pembuluh darah tetap terjamin. Bila sudah dinilai cukup, maka operasi

    dilanjutkan lewat perineum. Anus disiapkan, kemudian cerobong mukosa

    ditarik, dengan jalan memasukkan sonde khusus dengan ujung berbentuk

    kepala yang lebih besar. Mukosa diikat pada leher sonde tersebut dan ditarik

    keluar secara melipat terbalik. Kolon yang sehat kemudian diteroboskan di

  • dalam cerobong mukosa. Lapisan mukosa difiksasi dengan kolon dengan benang

    plain catgut, dan dipasang rektal tube di dalam kolon yang diteroboskan tersebut

    sampai melewati sfingter ani.

    Operasi dilanjutkan lewat abdominal, vesika urinaria, dan organ abdomen

    yang lain ditata kembali, cerobong seromuskuler difiksasi dengan serosa

    kolon yang diteroboskan dengan chromik catgut. Dilakukan appendektomi

    insidental. Rongga abdomen dicuci dan ditutup lapis demi lapis. Sepuluh hari

    setelah dioperasi endorectal pullthrough, telah terjadi perlekatan antara

    cerobong seromuskuler dengan serosa kolon. Dilakukan pemotongan

    pungtum kolon yang diteroboskan 1 cm proksimal linea dentata, dilajutkan

    dengan penjahitan mukosa dengan mukosa. Selama 3 hari rectal tube terus

    dipasang pada rektum yang baru sehingga gangguan obstruksi akibat udema

    di daerah anorektal dapat dihindari (Santoso,1997).

    Operasi definitif pada penyakit megakolon merupakan trauma fisik dan

    psikis yang cukup besar bagi pasien. Pada penyembuhan luka operasi sangat

    tergantung pada sistem imun, dan sistem imun dipengaruhi oleh status gizi

    dari pasien, malabsorpsi, kekurangan asam amino esensial, mineral mauoun

    vitamin (Sjamsuhidajat, 1997).

    Gb 8. Skema tahapan bedah prosedur Soave (Kartono,1993)

    4. Prosedur Rehbein

    Pada dasarnya prosedur rehbein adalah prosedur reseksi anterior yang

    diektensikan kedistal sampai dengan pengangkatan sebagian besar

    rectum. Reseksi segmen aganglionik termasuk sigmid dilanjutkan dengan

    anastomosis ujung keujung dikrjakan intra abdomen ekstra peritoneal.

    5. Prosedur Pull Through Primer Perubahan penting pada penatalaksanaan Hisrchprung Disease adalah

    dilakukanya tindakan definitif prosedur pullthrough pada periode neonatus ,

    pendekatan ini berbeda dengan konsep yang sudah diterima berupa kolostomi

    dekompresi selama periode neonatus dengan tindak lanjut berupa pullthrough

    pada umur 9-12 bulan dengan berat 20 pound. Pendekatan ini didasarkan

    pada laporan mortalitas oleh Swenson dkk. Dimana rekontruksi lebih awal

    dapat di setujui, metode ini mendapat sambutan yang luas ,keberhasilan

    endorectal pullthrough pertama kali oleh SO 1980. Tehnik yang digunakan

    sama dengan yang digunakan pada anak yang lebih tua. Semua operasi

    dilakukan setelah 24 jam diagnosis dan umur seawal mungkin 48 jam.

    Kolostomi Kolostomi pada penyakit Hirschprung sebaiknya dikerjakan paling tidak, setelah 3

    sampai 5 bulan setelah diagnosis ditegakkan, sedangkan operasi definitif tidak

    dikerjakan pada periode awal kelahiran (Ashcraft, 1997). Kolostomi merupakan

    tindakan dekompresi pada kolon berganglion normal yang paling distal. Tindakan

    ini akan menghilangkan obstruksi usus dan mencegah enterokolitis yang

    merupakan penyebab kematian dari penyakit Hirschprung. Kolostomi dikerjakan pd

    1. Pasien neonatus. 2. Pasien anak dan dewasa yang terlambat terdiagnosis. Kelompok ini mempunyai

    kolon yang sangat terdilatasi, dan akan mengecil setelah 3 6 bulan paska kolostomi.

    3. Pasien dengan enterokolitis yang berat dan kondisi umum yang buruk, dengan tujuan memperbaiki keadaan umum ( Swenson,1990).

    Karena peran dari usus besar mengabsorpsi cairan dan elektrolit yang diperlukan

    tubuh, intake dari pasien yang dilakukan kolostomi harus diperhatikan (Hyman,

    2002).

    Komplikasi Pasca Operasi Komplikasi pasca bedah dapat terjadi secara dini (< 4 minggu pasca operasi) dan

    lambat. Angka mortalitas pasca operasi lebih banyak terjadi pada prosedur Swenson

    dan lebih rendah pada prosedur Duhamel dan Soave. Kebocoran anastomosis lebih

    sering terjadi pada prosedur Swenson ,stenosis sering terjadi pada endorectal dan

    pada Swenson dari pada prosedur duhamel.. Angka mortalitas pada megakolon

    congenital yang tidak mendapatkan penanganan adalah 80 %, pada yang

    mendapatkan penanganan angka kematian kurang lebih 30 % yang diakibatkan oleh

    enterokolitis dan komplikasi pasca bedah seperti kebococran anastomosis ,striktur

    anastomosis, abses pelvis dan infeksi luka operasi

    1. Abses seromuskuler 2. Retraksi puntung kolon 3. Nekrosiskolon endorektal 4. Kebocoran anastomose

    Kebocoran anastomosis ringan menimbulkan gejala peningkatan suhu tubuh,

    terdapat infiltrat atau abses, kebocoran berat dapat terjadi demam tinggi,

    pelvioperitonitis atau peritonitis umum. Keadaan ini dapat terjadi akibat dari

    disrupsi anastomosis akibat retraksi atau nekrosis kolon. Pencegahan kebocoran

    dengan memperhatikan factor predisposisi seperti ketegangan anastomosis,

    vaskularisasi tepi sayatan yang tidak adekuat, infeksi sekitar

    anastomosis, pemasangan rectal tube yang terlalu besar, colok dubur dan

    businasi terlalu dini. Bila terjadi kebocoran anastomosis sgera dilakukan

    kolostomi segmen proksimal

  • 5. Stenosis Disebabkan oleh gangguan penyembuhan luka didaerah anastomosis, infeksi

    yang menyebabkan terbentuknya jaringan fibrosis. Prosedur Swenson atau

    Rehbein dapat menyebabkan stenosis sirkular pada garis anastomosis, sedang

    prosedur Duhamel dapat menyebabkan stenosis posterior dan prosedur tarik

    terobos endorektal menyebabkan stenosis memanjang. Stenosis ini

    menyebabkan gangguan defekasi , enterokolitis dan fistulo rekto perineal

    6. Gangguan fungsi sfingter paska operasi Pembedahan dikatakan berhasil bila penderita dapat defekasi teratur dan

    kontinen. Gangguan fungsi sfingter berupa : Inkontinensia, soiling(keciprit) dan

    obstipasi berulang

    7. Enterokolitis Enterokolitis dapat terjadi pada semua prosedur tetapi lebih kecil pada pasien

    dengan endorektal pullthrough. Enterokolitis merupakan penyebab kecacatan

    dan kematian pada megakolon congenital, mekanisme timbulnya enterokolitis

    menurut Swenson adalah karena obtruksi parsial. Obtruksi usus pasca bedah

    disebabkan oleh stenosis anastomosis ,sfingter ani dan kolon aganlionik yang

    tersisa masih spastik.Manifestasi klinis enterokolitis berupa distensi abdomen di

    ikuti tanda obtruksi seperti muntah hijau atau fekal dan feses keluar eksplosif

    cair dan berbau busuk. Enetrokolitis nekrotikan merupakan komplikasi paling

    parah dapat terjadi nekrosis, infeksi dan perforasi

    Penatalaksanaan dengan terapi medik meliputi resisutasi cairan, pemasangan rectal

    tube dan pembilasan dengan NaCl fisilogis 2-3 kali sehari serta pemberian

    antibiotik.Tindakan bedah berupa businasi pada stenosis, sfingterotomi posterior

    untuk spasme spingterani dapat juga dilakukan reseksi ulang stenosis. Hal yang sulit

    pada megakolon congenital adalah terdapatnya gangguan defekasi pasca

    pullthrough, kadang ahli bedah dihadapkan pada konstipasi persisten dan

    enterokolitis berulang pasca bedah.

  • TAPERING COLON PD MC

    ----------------------------------------------------------------------------------------------------RD-Collection2002

    Penyakit Megakolon kongenital, atau Hirschsprung adalah penyakit yang

    diakibatkan aganglionosis intestinal bagian distal yang bersifat kongenital. Pada

    kelainan ini tidak dijumpai adanya pleksus Meissner, Henle maupun Aurbach.

    Penampilan klinis sangat bervariasi dari konstipasi kronis sampai obstruksi

    intestinal. Pembedahan untuk menangani penyakit ini dimulai tahun 1948 dengan

    teknik rektosigmoidektomi oleh Swenson, Duhamel dengan teknik retrorektal

    transanal, Soave dengan teknik endorektal dengan striping mukosa tanpa jahitan

    anastomosis dan diikuti modifikasi lainnya. Apapun teknik operasi yang

    dipergunakan akan selalu mendapatkan kesulitan apabila saat operasi didapatkan

    adanya perbedaan kaliber yang besar antara kolon yang aganglionik degan anus.

    Untuk menghindari tindakan revisi kolostomi maupun reseksi kolon yang panjang

    serta mengurangi morbiditas yang mungkin terjadi dan pertimbangan penghematan

    biaya maka tapering kolon dapat dilakukan dengan cara menyesuaikan kaliber

    kolon yang akan ditarik dengan kaliber anus yang akan dilalui.

    Pasase mekonium yang lebih dari 24 jam merupakan 90% kasus namun pada

    neonatus yang lain keadaan ini kadang-kadang tidak dijumpai sama sekali. Insidensi

    penyakit ini 1 : 5000 kelahiran hidup, frekuensi laki-laki dengan perempuan 4 : 1.

    Pembedahan yang dilakukan untuk menangani penyakit ini telah dimulai pada tahun

    1948 dengan teknik rektosigmoidektomi oleh Swenson yan kemudian

    disempurnakan pada tahun 1964. Tahun 1960 Duhamel memperkenalkan teknik

    rektorektal transanal untuk menghindari diseksi pelvis yang terlalu banyak. Soave

    pada tahun 1966 memperkenalkan teknik endorektal yang dikerjakan dengan

    striping mukosa tanpa jahitan anastomosis. Tehnik semacam ini sebenarnya telah

    diperkenalkan oleh Ravitch dan Sabiston pada 1947 namun dikerjakan untuk operasi

    poliposis maupun colitis ulseratif. Denda dan Scott Boley melakukan modifikasi

    untuk prosedur Soave dengan melakukan tehnik endorektal dengan jahitan,

    sedangkan Nixon melakukan modifikasi dengan tehnik endorektal jahitan disertai

    anastomosis bertahap.

    Tehnik operasi untuk menangani penyakit megakolon telah berkembang dengan

    pesat baik yang dikerjakan dengan dua tahap maupun satu tahap dengan alat-alat

    tambahan maupun secara konvensional. Untuk operasi definitif penyakit ini ada

    empat tehnik operasi pokok yang telah diperkenalkan yaitu tehnik Swenson (1948)

    dengan rektosigmoidektomi dimana disini dilakukan tindakan prolaps dan eksisi.

    Tehnik ini kemudian disempurnakan pada tahun 1964. Tehnik Swenson merupakan

    tehnik operasi yang paling tua.

    Prinsip dari operasi ini adalah rektosigmoidektomi dengan preservasi sfingter ani,

    dengan anastomosis langsung. Disini puntung rektum ditinggal 2-3 cm dari garis

    mukokutan. Sebenarnya sisa rektum yang ditinggalkan masih merupakan segmen

    yang aganglionosis tetapi tidak ikut direseksi karena dapat terjadi inkontinensia.

    Untuk mengurangi spasme sfingter ani Swenson melakukan sfingterotomi.

    Pada tahun 1964 Swenson memperkenalkan sfingterotomi parsial langsung dan

    puntung rektum disisakan 2 cm di bagian anterior dan 0,5-1 cm di bagian posterior.

    Yang perlu diperhatikan pada tehnik Swenson ini adalah bahwa segmen sigmoid

    yang direseksi mulai beberapa sentimeter dari dasar peritoneum sampai 1-2 cm

    proksimal kolostomi, diseksi rektum harus dilakukan tepat pada dinding rektum agar

    mudah dan tidak menimbulkan banyak perdarahan, serta pembebasan kolon

    proksimal dibuat sedemikian rupa sehingga memungkinkan kolon dapat ditarik ke

    perineum melalui anus tanpa tegangan. Puntung rektum diprolapskan dengan tarikan

    klem yang dipasang di dalam lumen. Pemotongan rektum dilakukan 2 cm proksimal

    dari garis mukokutan dimana bagian anterior dan posterior sama tinggi. Tehnik

    pemotongan yang lain adalah secara miring dimana bagian anterior 2 cm di bagian

    posterior 0,5 cm. Kemudian kolon proksimal ditarik ke perineum melalui puntung

    rectum yang telah terbuka. Anastomosis dikerjakan langsung dengan jahitan dua

    lapis menggunakan benang sutera Modifikasi prosedur Swenson dengan tujuan

    untuk menghindari pemotongan usus intraabdominal telah diperkenalkan oleh Denis

    Browne dimana kolon proksimal yang telah dimobilisir diintusepsikan keluar dari

    anus melalui tarikan benang silk besar dengan pertolongan sigmoidoskop

    Tehnik operasi retrorektal transanal mula pertama diperkenalkan oleh Duhamel yang

    dimaksudkan untuk mengurangi diseksi rongga pelvis yang berbahaya. Pada

    tehnik ini rektum tetap dipertahankan dan kolon proksimal yang ganglionik ditarik

    retrorektal transanal kemudian dilakukan anastomosis kolorektal ujung ke sisi.

    Sayang sekali bahwa tehnik ini sering mengalami komplikasi akibat terjadinya

    stenosis, inkontinensia maupun terbentuknya fekaloma, sehingga banyak

    modifikasi-modifikasi yang dikembangkan termasuk modifikasi Grob (1959),

    modifikasi Talbert dan Ravitch, modifikasi Ikeda, modifikasi Martin dan modifikasi

    Adang. Pada tehnik ini puntung rektum dipotong 2-3 cm di atas dasar peritoneum

    dan ditutup dengan jahitan dua lapis menggunakan benang sutera maupun dexon.

    Rongga retrorektal dibuka sehingga seluruh permukaan dinding posterior rektum

    bebas. Setengah cm dari garis mukokutan dibuat sayatan endoanal setengah

    lingkaran pada dinding posterior dan selanjutnya kolon proksimal ditarik retrorektal

    melalui incisi tersebut keluar dari anus. Anastomosis dikerjakan dengan pemasangan

    2 klem dimana setelah 6-8 hari klem tersebut akan terlepas. Grob membuat sayatan

    endoanal tinggi 1,5-2,5 cm di atas garis mukokutan untuk menghindari terjadinya

    inkontinensia, sedangkan Talbert dan Ravitch melakukan reseksi septum dengan

    menggunakan stappler. Pada modifikasi Ikeda reseksi septum dilakukan dengan

    klem rancangan Ikeda sendiri dimana anastomosis akan terjadi 6-8 hari setelah klem

    lepas.

    Pada modifikasi Adang kolon proksimal ditarik retrorektal transanal dan untuk

    sementara dibiarkan prolaps kemudian anastomosis dikerjakan secara tidak langsung

  • pada hari ke 7-14 pasca bedah dengan cara memotong kolon yang prolaps yang

    kemudian dipasang 2 buah klem, dan klem ini dilepas pada hari berikutnya

    Tehnik operasi endorektal untuk menangani penyakit Megakolon atau Hirschprung

    mula pertama diperkenalkan oleh Soave pada tahun 1966. Sebetulnya tehnik ini

    telah diperkenalkan sebelumnya oleh Ravitch dan Sabiston pada tahun 1947 namun

    dipergunakan untuka menangani poliposis dan kolitis ulseratif. Pendekatan yang

    dipergunakan adalah abdomino-perineal dengan membuang lapisan mukosa

    rektosigmoid dari lapisan seromuskular, kemudian kolon proksimal yang ganglionik

    ditarik lewat cerobong endorektal keluar lewat anus dan dibiarkan prolaps tanpa

    dijahit, setelah 21 hari sisa kolon yang diprolapskan dipotong.

    Tehnik Soave pada prinsipnya merupakan tehnik Tarik Melalui Endorektal (TME)

    dengan anastomosis tanpa jahitan. Kelemahan tehnik ini adalah bahwa harus

    dikerjakan dilatasi anus pasca operasi . Tehnik operasi endorektal lain yang

    merupakan modifikasi tehnik Soave diperkenalkan oleh Denda dari Jepang dan Scott

    Boley dari Amerika Serikat, pada prinsipnya adalah tarik melalui endorektal dan

    anastomosis dengan jahitan Nixon (1985) melakukan modifikasi tehnik Soave

    dengan anastomosis bertahap. Kolon proximal yang ganglionik diprolapskan

    sepanjang 5 cm menggelantung di luar anus sebagai kolostomi perineal temporer

    dan dipotong setelah 15-21 hari. Langer et al (1999) memperkenalkan prosedur

    Soave satu tahap transanal tanpa diseksi intraperitoneal mukosektomi rektum

    dimulai pada 0,5 cm proksimal garis dentate.

    Tehnik operasi endorektal lain dari FK-UGM Yogyakarta merupakan modifikasi

    tehnik Soave yang menitikberatkan pada tindakan operasi yang lebih sederhana,

    cepat, aman, murah, tanpa alat-alat canggih, dapat dikerjakan di daerah dimana pada

    tehnik ini puntung rectum dipotong 3 cm di atas dasar peritoneum dan dibiarkan

    terbuka. Striping mukosa dikerjakan dengan pertolongan injeksi NaCl pada mukosa

    yang dengan demikian akan memudahkan pemisahann mukosa dari lapisan

    seromuskular. Mukosa dipisahkan dari muskularis sampai setinggi 1 cm di atas garis

    pektinea, kemudian diprolapskan keluar anus. Pada kenyataannya tindakan ini

    kaliber rektum yang tadinya sempit ternyata setelah dilakukan striping akan menjadi

    lebar dan rata-rata 3 kali bila dibandingkan dengan kaliber semula, yang tentu saja

    akan memudahkan proses penarikan kolon proksimal yang ganglionik melalui

    cerobong endorektal keluar melalui anus. Kolon proksimal yang diprolapskan

    sepanjang 5 cm dapat dibiarkan menggelantung di luar anus ataupun langsung

    dipotong dan dianastomosiskan dengan mukosa yang terlebih dahulu diprolapskan

    tepat 1 cm proksimal garis pektinea. Setelah 5 hari kolon proksimal yang

    diprolapskan dipotong dan dijahit melingkar dengan lapisan mukosa dengan jahitan

    simple.

    Pada operasi Rehbein, yang dipergunakan adalah prosedur reseksi anterior yang

    diekstensi ke distal yang diikuti pengangkatan sebagian besar rektum. Reseksi

    segmen aganglionik termasuk sigmoid diikuti anastomosis end to end, semuanya

    dikerjakan intraabdominal ekstraperitoneal. Tehnik ini merupakan modifikasi dari

    tehnik State .

    Pada prosedur pull-through, apapun tehniknya akan tetap dijumpai kendala apabila

    kolon proksimal yang akan ditarik masih mempunyai kaliber yang besar sehingga

    terjadi disproporsi antara kaliber kolon yang akan ditarik dengan kaliber anus. Untuk

    mengatasi hal ini maka sebelum dilakukan operasi pull-through terlebih dahulu

    harus diketahui kaliber kolon proksimal yang akan ditarik dengan melakukan

    pemeriksaan kolostogram proksimal. Apabila kaliber kolon proksimal sekiranya

    telah sesuai dengan kaliber anus maka baru dikerjakan operasi, sedang bila kaliber

    kolon proksimal masih besar maka dilakukan revisi kolostomi terlebih dahulu dan

    ditunggu sampai kalibernya sesuai dengan kaliber anus. Tapi kadangkala

    pemeriksaan kolostogram proksimal telah menunjukkan kaliber kolon yang yang

    kecil, namun setelah dilakukan laparotomi ternyata kalibernya masih cukup besar

    sehingga masih ada disproporsi antara kolon yang akan ditarik dengan anus. Apabila

    pada keadaan ini tetap saja dilakukan prosedur pull-through maka akan terjadi

    kesulitan dalam proses penarikan kolon proksimal keluar dari anus yang dapat

    berakibat nekrosis kolon akibat iskemia dan berakibat fatal. Untuk menghadapi hal

    ini operator dipaksa untuk menentukan pilihan apakah akan dilakukan revisi

    kolostomi saja ataukah tetap dilakukan operasi pull-through dengan segala

    kesulitannya.

    Pada kasus-kasus penyakit Hirscprung yang terlambat dimana telah terjadi distensi

    kolon yang sangat lebar dengan komplikasi kolitis, tindakan tindakan kolostomi saja

    yang dimaksudkan untuk memperkecil kaliber kolon akan memakan waktu yang

    sangat lama dan akan mempengaruhi psikis penderita dimana bau feses yang keluar

    dari stoma akan mengganggu teman-teman sekolahnya. Untuk mengatasi hal ini

    maka dapat dilakukan pembuatan stoma sampai keadaan anak stabil, kemudian

    prosedur pull-through dikerjjakan tanpa harus menunggu kaliber kolon menjadi

    kecil. Untuk memperkecil kaliber kolon proksimal dapat dilakukan tapering dengan

    cara membuat irisan baji antimesokolik pada ujung kolon yang akan ditarik sehingga

    kaliber kolon akan sesuai dengan kaliber anus dan ini akan mempermudah penarikan

    kolon proksimal keluar dari anus. Cara ini akan menghindari tindakan revisi

    kolostomi maupun pemotongan kolon yang terlalu panjang yang pada akhirnya

    mengurangi morbiditas maupun mortalitas disamping penghematan biaya yang tidak

    sedikit.

    Tapering kolon dapat dilakukan pada operasi endorektal pull-through guna

    mencegah tindakan revisi kolostomi maupun pemotongan kolon yang yang

    terlampau panjang sehingga akan menurunkan morbiditas, mortalitas serta akan

    menekan biaya operasional.