Batunanggar, RISK-BASED SUPERVISION: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia.

18
RISK-BASED SUPERVISION Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia 1 Sukarela Batunanggar “Risiko, bila ditulis dalam alfabet Cina, terdiri dari dua karakter. Yang pertama berarti ancaman dan yang kedua berarti peluang” (John F. Kennedy) Pengantar Sistem keuangan dan lembaga-lembaga yang bertugas mengawasinya telah berkembang selama beberapa tahun terakhir ini sebagai respons terhadap tantangan-tantangan yang ditimbulkan oleh kompetisi, globalisasi dan tehnologi. Otoritas pengawasan bank memiliki peran yang sangat strategis dalam menciptakan suatu sistem keuangan yang sehat dan tangguh dalam lingkungan global yang terus bergolak (turbulance). Sejalan dengan itu, model-model dan tehnik pengawasan yang digunakan juga terus dikembangkan untuk meningkatkan efektivitas pengawasan bank. Akhir-akhir ini, pengawasan bank di negara-negara maju seperti Inggris, Amerika Serikat, dan Australia makin mengarah pada pendekatan risiko. Tulisan ini membahas konsep pengawasan berdasarkan risiko (risk-based supervision) tersebut. Pembahasan diawali dengan tinjauan tentang model-model pengawasan bank dibeberapa negara dan dilanjutkan dengan uraian ringkas mengenai kerangka pengawasan bank berdasarkan risiko, gambaran model pengawasan risiko yang diadopsi oleh Bank of England (BoE) dan sekilas mengenai model pengawasan bank oleh Bank Indonesia (BI), dan diakhiri dengan beberapa masalah pokok (key issues) dalam implementasi pendekatan baru dalam sistem perbankan Indonesia. Model-Model Pengawasan Bank Seputar Dunia Model-model pengawasan dari satu negara ke negara lainnya memiliki perbedaan yang mendasar, baik dalam hal pengaturan ketentuan (jurisdiksional) dan dalam pendekatan atau tehnik pengawasan. Perbedaan-perbedaan tersebut mencerminkan faktor-faktor historis, politik dan filosofis suatu negara i . 1 Dimuat dalam PENGEMBANGAN PERBANKAN, Insitut Bankir Indonesia, JULI- AGUSTUS NO.72 1998. Pengawas bank di Direktorat Pengawasan Bank 2, Bank Indonesia, Jakarta. Pandangan yang dikemukakan dalam tulisan ini adalah pandangan pribadi penulis dan tidak mesti mewakili pandangan Bank Indonesia. E-mail Address: [email protected] atau [email protected]

description

RISK-BASED SUPERVISION: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia

Transcript of Batunanggar, RISK-BASED SUPERVISION: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia.

Page 1: Batunanggar, RISK-BASED SUPERVISION: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia.

RISK-BASED SUPERVISION Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia1

Sukarela Batunanggar

“Risiko, bila ditulis dalam alfabet Cina, terdiri dari dua karakter.

Yang pertama berarti ancaman dan yang kedua berarti peluang” (John F. Kennedy)

Pengantar

Sistem keuangan dan lembaga-lembaga yang bertugas mengawasinya telah berkembang selama beberapa tahun terakhir ini sebagai respons terhadap tantangan-tantangan yang ditimbulkan oleh kompetisi, globalisasi dan tehnologi. Otoritas pengawasan bank memiliki peran yang sangat strategis dalam menciptakan suatu sistem keuangan yang sehat dan tangguh dalam lingkungan global yang terus bergolak (turbulance). Sejalan dengan itu, model-model dan tehnik pengawasan yang digunakan juga terus dikembangkan untuk meningkatkan efektivitas pengawasan bank.

Akhir-akhir ini, pengawasan bank di negara-negara maju seperti Inggris, Amerika Serikat, dan Australia makin mengarah pada pendekatan risiko. Tulisan ini membahas konsep pengawasan berdasarkan risiko (risk-based supervision) tersebut. Pembahasan diawali dengan tinjauan tentang model-model pengawasan bank dibeberapa negara dan dilanjutkan dengan uraian ringkas mengenai kerangka pengawasan bank berdasarkan risiko, gambaran model pengawasan risiko yang diadopsi oleh Bank of England (BoE) dan sekilas mengenai model pengawasan bank oleh Bank Indonesia (BI), dan diakhiri dengan beberapa masalah pokok (key issues) dalam implementasi pendekatan baru dalam sistem perbankan Indonesia.

Model-Model Pengawasan Bank Seputar Dunia

Model-model pengawasan dari satu negara ke negara lainnya memiliki perbedaan yang mendasar, baik dalam hal pengaturan ketentuan (jurisdiksional) dan dalam pendekatan atau tehnik pengawasan. Perbedaan-perbedaan tersebut mencerminkan faktor-faktor historis, politik dan filosofis suatu negarai.

1Dimuat dalam PENGEMBANGAN PERBANKAN, Insitut Bankir Indonesia, JULI-AGUSTUS NO.72 1998. Pengawas bank di Direktorat Pengawasan Bank 2, Bank Indonesia, Jakarta. Pandangan yang dikemukakan dalam tulisan ini adalah pandangan pribadi penulis dan tidak mesti mewakili pandangan Bank Indonesia. E-mail Address: [email protected] atau [email protected]

Page 2: Batunanggar, RISK-BASED SUPERVISION: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia.

Risk-based Supervision: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia

Dalam kebanyakan negara, bank sentral banyak terlibat dalam pengawasan bank, baik sebagai pengawas tunggal atau dengan membagi tanggung jawab dengan lembaga atau badan lain. Di beberapa negara, pengawasan bank-bank ditangani oleh suatu badan di luar bank sentral yang kadang kala juga mengawasi lembaga-lembaga keuangan lainnya dengan berperan sebagai “mega regulator”ii.

Praktek pendekatan pengawasan bank di setiap negara dapat sangat tergantung pada kekuatan infrastruktur legal dan akunting. Di negara-negara dimana konsep dan praktek akunting tidak dikembangkan dengan baik, para pengawas bank umumnya tidak dapat bersandar pada data yang diberikan oleh bank-bank dan mereka harus mencurahkan banyak sumberdaya untuk mendeteksi kejahatan (fraud) dan praktek akunting yang tidak benar.

Amerika Serikat memiliki suatu sistem pengawasan bank yang sangat kompleks dan intensif. Tim-tim pemeriksa dari Federal Reserve Bank, the Office of the Comptroller, State Banking Department, Federal Deposit Insurance Coorporation secara rutin menghabiskan waktu yang panjang di bank-bank untuk memeriksa secara detil transaksi-transaksi dan pinjaman-pinjaman individualiii.

Pada spektrum lain, Selandia Baru memberikan hampir seluruh penekanannya pada kewajiban bagi bank -bank untuk mempublikasikan secara terbuka kondisi keuangan mereka setiap tiga bulan sehingga para deposan dapat mengetahui informasi yang memadai untuk melakukan penilaianiv. Di Australia, public disclosure dipandang sebagai penunjang dari pengawasan bank tapi bukan suatu substitusi yang potensial. Sedangkan di Indonesia, bank-bank juga diwajibkan untuk menerbitkan laporan keuangan secara triwulanan. Tampaknya data dan informasi yang disajikan dalam laporan tersebut perlu disempurnakan agar lebih transparan dan informatif sejalan dengan jiwa reformasi.

Kerangka Pengawasan Berdasarkan Risiko (PBR)

Pengawasan bank, khususnya di negara-negara maju telah mengarah ke pendekatan berdasarkan risiko (risk-based approach). Dalam beberapa tahun terakhir ini, badan-badan pengaturan (regulatory bodies) nasional dan internasional telah mengintensifkan kerjasama mereka untuk memperkuat sistem keuangan internasional. Krisis Meksiko dan Barings merupakan pendorong bagi para pemimpin negara G-7 untuk meningkatkan kerjasama internasional guna mengembangkan pengaman-pengaman, standar-standar, transparansi dan sistem-sistem yang diperlukan untuk memantau dan mengakomodasi risiko-risiko secara global dan terintegrasi.

Prinsip-prinsip Pokok Pengawasan Bank yang Efektif

The Basle Committee on Banking Supervision (the Committee)v, yang dibentuk oleh para gubernur bank sentral negera-negara Group Ten, secara kontiniu mengembangkan sistem-sistem dan pendekatan pengawasan bank untuk diterapkan secara internasional. Komite telah berhasil merumuskan suatu prinsip pokok pengawasan yang efektif (the core principles for effective banking supervision) pada September 1997vi. Prinsip-prinsip pokok tersebut terdiri dari duapuluh lima persyaratan minimum yang diperlukan agar sistem pengawasan

S. Batunanggar, May 1998 2

Page 3: Batunanggar, RISK-BASED SUPERVISION: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia.

Risk-based Supervision: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia

efektif. Prinsip-prinsip tersebut dibagi dalam tujuh kelompok utama sebagaimana ditunjukkan pada Box berikut:

Pendekatan Pemenuhan Modal berdasarkan Risiko Pasar (Market-risk Capital

Approach)

Box 1. Prinsip-prinsip Pokok Pengawasan Bank yang Efektif

1. Prekondisi bagi pengawasan bank yang efektif Prinsip pertama ini menekankanperlunya suatu kerangka sasaran dan tanggung jawab yang jelas, dapat dicapai dankonsisten bagi badan-badan yang terlibat dalam pengawasan bank.

2. Perizinan dan struktur yang memfokuskan pada proses perizinan, strukturkepemilikan dan lingkup bisnis dari bank-bank dan grup perbankan.

3. Persyaratan dan peraturan-peraturan kehati-hatian (prudensial) yangmenekankan perlunya untuk mengidentifikasi berbagai tipe risiko yang dihadapi bank, danmetode-metode untuk menjamin bahwa risiko-risiko tersebut dipantau dan dikendalikansecara tepat. Pengembangan dan penekanan (enforcement) dari pengawas atas pedoman-pedoman prudensial merupakan bagian integral dari proses ini. Pedoman tersebut harusmeliputi kecukupan modal (capital adequacy), cadangan kerugian kredit (loan lossreserves), konsentrasi asset, likuiditas, manajemen risiko dan kontrol-kontrol intern, yangdapat bersifat kuantitatif dan/atau kualitatif.

4. Metode pengawasan bank yang berkesinambungan (on-going bankingsupervision) Prinsip-prinsip ini menyatakan bahwa baik pengawasan langsung (on-site)maupun tidak langsung (off-site) harus digunakan. Yang terakhir meliputi analisa ataslaporan-laporan dan kondisi dari bank-bank dan entitas terafiliasinya atas dasarkonsolidasi dan juga individual. Disini ditekankan pentingnya validasi data secaraindependen dan perlunya berhubungan dengan manajemen bank untuk menjamin bahwaoperasi bank dimengerti sepenuhnya.

5. Persyaratan-persyaratan informasi Setiap bank harus memelihara catatan-catatanyang memadai yang dihasilkan sesuai dengan kebijakan akunting yang konsisten sehinggamemungkinkan pengawas untuk memperoleh pandangan yang obyektif atas kondisikeuangan dan profitabilitas bank. Bank-bank dan harus menerbitkan laporan keuanganberkala yang secara obyektif mencerminkan kondisinya.

6. Wewenang formal pengawas Pengawas harus memiliki wewenang yang memadaiuntuk melakukan tindakan korektif jika bank gagal memenuhi standar-standar prudensial,atau jika kepentingan para deposan terancam.

7. Perbankan lintas batas (cross-border banking) Prinsip-prinsip ini menilai peranansupervisor negara asal (home) dan setempat (host), dan menekankan perlunyapengawasan secara konsolidasi atau global dan wewenang untuk bertukar membagiinformasi dengan para pengawas lainnya.

Sumber: BIS, The Core Principles for Effective Banking Supervision, September 1997

Faktor modal sangat vital bagi kelangsungan usaha bank. Sejalan dengan itu, pada awal 1996 the Basle Committe telah mengembangkan suatu model pemenuhan modal berdasarkan risiko pasar (market risk capital requirements). Model 1996 ini merupakan penyempurnaan dari model 1988 yang selama ini telah diterapkan secara internasional dan dikenal sebagai pendekatan ‘asset berisiko’ (risk asset approach) yang hanya mencakup perhitungan terhadap risiko kredit. Implementasi model ‘baru’ tersebut direncanakan pada akhir tahun 1997.

Komponen mendasar dari kerangka ini adalah adanya kesempatan bagi bank-bank untuk menggunakan model-model value-at-risk (VaR) sebagai dasar perhitungan market-risk capital. VaR mengukur kerugian atas suatu portofolio untuk tingkat keyakinan (level of confidence) tertentu jika terjadi pergerakan negatif dalam

S. Batunanggar, May 1998 3

Page 4: Batunanggar, RISK-BASED SUPERVISION: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia.

Risk-based Supervision: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia

harga-harga pasar. Pada dasarnya, VaR dihitung dengan metode statistik seperti: variance-covariance, simulasi historis, dan simulasi Montecarlo. Untuk menguji kinerja model ini digunakan suatu tehnik yang ini disebut sebagai backtesting techniques yakni perbandingan antara angka-angka yang dihasilkan oleh VaR dengan keuntungan dan kerugian aktual. VaR merupakan suatu alat yang sangat berguna, tetapi bukan berarti tanpa kelemahan, karena itu harus didukung dengan tehnik-tehnik manajemen risiko lainnya.

Sejalan dengan perkembangan konsep tersebut, akhir-akhir ini praktek penilaian risiko bank juga makin mengarah pada pendekatan nilai pasar (mark-to-market framework)vii. Sebagai contoh, RiskMetrics dan CreditMetrics yang diciptakan JP Morgan memberikan metodologi, data dan software untuk mengevaluasi risiko-risiko kredit secara individual, atau seluruh fortofolio. Penciptanya mengantisipasi bahwa produk ini akan mengawali suatu cara pemikiran baru tentang risiko kredit. CreditMetrics ditujukan untuk menghasilkan suatu ‘risk-based capital allocation system’ dan suatu ‘risk-based credit pricing model’ yang pada intinya memungkinkan bank untuk mendeteksi pengaruh konsentrasi dan diversifikasi dalam portofolio kredit. Berikut ini akan dibahas secara ringkas suatu model pengawasan berdasarkan risiko yang akan diadopsi oleh Bank of England (BoE).

Pengawasan Berdasarkan Risiko Model BoE

Perkembangan industri perbankan dan beberapa pengalaman pahit seperti kasus kolaps-nya Barings Bank telah mendorong Bank of England (BoE) untuk menyempurnakan strategi dan sistem pengawasan bank yang dilakukannya agar mampu melaksanakan tanggungjawabnya secara lebih efektifviii. Evaluasi selama satu tahun atas aktivitas BoE oleh Arthur Andersen telah menghasilkan suatu ‘consultation paper’, A Risk-Based Approach to Supervision, yang diterbitkan pada bulan Maret 1997 laluix. Pendekatan ‘baru’, yang direncanakan untuk dilaksanakan pada tahun ini, ditujukan untuk mendeteksi risiko-risiko yang melekat (inherent risks) dalam suatu kelompok bank di tingkat pengawas.

Pendekatan tersebut dinamakan ‘RATE’ (Risk Assessment, Tools of supervision and Evaluation) yang didasarkan pada dua prinsip. Pertama, pengawasan harus dilakukan pada bidang-bidang tertentu secara konsisten; dan kedua, manajemen bank-bank harus menyadari mengapa suatu alat atau tehnik digunakanx. Dengan menghubungkan alat pengawasan dengan bidang-bidang risiko tertentu, BoE berharap dapat mencapai kedua sasaran tersebut (lihat Diagram 1).

S. Batunanggar, May 1998 4

Page 5: Batunanggar, RISK-BASED SUPERVISION: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia.

Risk-based Supervision: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia

S. Batunanggar, May 1998 5

RiskAssesment

Tools of supervision

Evaluation

Normal Supervisory practices

Risk asessment using nine evaluation factors

devise supervisory action plan; formalfeedback to banks (and other regulations)

Stocktake of supervisory

action and results Execute supervisory planincluding tools of supervision

(ensuring appropriateremedial action)

Diagram RATE Sumber: A Risk Based Approach to Supervision (the RATE framework),

Aconsultative paper by theBank of England, March 1997

Sebenarnya, selama ini pendekatan BoE dalam pengawasan telah berdasarkan risiko (risk-based). Program pengawasan tahunan dan prioritisasi dari kegiatan pengawasan yang tercakup di dalamnya telah didasarkan pada suatu penilaian terhadap besar dan tingkat risiko yang dihadapi oleh suatu bank. Pada dasarnya, formula baru merumuskan secara lebih eksplisit hal-hal yang implisit dalam sistem lama. Dan meskipun BoE bersikukuh bahwa dia telah memiliki semua informasi pengawasan yang diperlukan untuk beroperasi berdasarkan suatu dasar ‘risiko-yang-disesuaikan’ (risk-adjusted basis), namun pentingnya kunjungan langsung (on-site) dalam formula Rate tampaknya menandai suatu perubahan kearah pengumpulan informasi secara langsung ketimbang bersandar pada laporan-laporan rutin.

BoE mengakui bahwa “beban tugas pengawasan aktif selama fase penilaian risiko akan terpaksa dilakukan secara sangat selektif untuk kelompok-kelompok bank besar dan beragam (diverse)”. Dengan berlakunya formula Rate, ‘UK-incorporated banks’ akan menghadapi penilaian risiko secara formal sekali selama periode pengawasan yang ditetapkan, yang dilanjutkan dengan serangkaian penilaian informal. Setiap audit risiko formal meliputi sembilan faktor evaluasi, mulai dari ‘exposure’ risiko pasar hingga efektivitas manajemen.

Karena itu, komunikasi merupakan suatu ‘kata-kunci’ bagi pengawas. BoE lebih menekankan pada pemeriksaan struktur manajemen bank daripada legalitas organisasinya, sehingga mereka dapat memahami ukuran (benchmark) yang tepat untuk menilai efektivitas manajemen risiko dari suatu bank secara lebih baik. Setelah setiap penilaian selesai pengawas akan mengkomunikasikan temuannya dalam surat pembinaan kepada dewan direksi bank. Surat tersebut memuat pokok-pokok masalah yang perlu diperhatikan dan merinci tindakan perbaikan (remedial action) yang diinginkan BoE untuk dilakukan bank.

Jumlah dan insentisitas pengawasan akan tergantung pada profil risiko yang diperkirakan dari suatu bank. Lamanya periode pengawasan adalah krusial untuk dikemukakan. Meskipun periode pengawasan standar akan berlangsung selama setahun, bank yang memiliki profil risiko tinggi akan menghadapi suatu siklus pengawasan baru untuk setiap enam bulan. Sebaliknya, suatu bank yang memiliki

Page 6: Batunanggar, RISK-BASED SUPERVISION: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia.

Risk-based Supervision: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia

profil risiko yang sangat rendah, mungkin hanya akan mendapat kunjungan resmi dari pengawas sekali dua tahun. Kunjungan-kunjungan insidental akan tetap dilakukan untuk menjaga agar informasi pengawasan up to date.

Formula Rate tidak semuanya bersifat ‘keras’. Jika menemukan adanya bidang-bidang penting yang dinilai dibawah-standar, BoE memiliki tiga pilihan yang tersedia: pertama, meminta bank untuk meningkatkan modal, kedua, membatasi bank dari kelompoknya, dan ketiga, dalam kasus ekstrim, mencabut izin bank dengan Financial Services Acts.

Proses penilaian risiko didasarkan lima faktor kuantitatif dan empat faktor kualitatif. Pada sisi kuantitatif, ukuran-ukuran yang digunakan meliputi capital, assets, market risk, earnings and liabilities - yang secara kolektif dikenal sebagai CAMEL. Camel akan dikombinasikan dengan suatu ukuran risiko bisnis yang dihitung secara kualitatif untuk menetapkan profil risiko bisnis bank. secara menyeluruh.

Exposure risiko bisnis akan dihitung berdasarkan penilaian kualitatif dari standar-standar kontrol yang dimiliki bank. Faktor kualitatif yang dinilai merupakan aspek-aspek internal organisasi bank yang meliputi internal kontrol, organisasi dan manajemen (COM) disamping faktor bisnis (B) yang merupakan evaluasi atas lingkungan eksternal organisasi bank.

Kualifikasi unit bisnis yang masuk dalam penilaian risiko adalah yang memiliki kontribusi lebih dari lima persen dari laba kotor grup, menggunakan lebih dari lima persen modal wajib bank, atau memiliki ‘exsposure’ lebih dari sepuluh persen dari modal bank. Jika unit-unit bisnis adalah bersifat non-keuangan – yang berada dibawah pengawasan lembaga lainnya – BoE akan mempertimbangkan prosedur pengawasan tersebut sewaktu menggunakan formula Rate.

Proses penilaian risiko oleh BoE meliputi delapan langkah seperti digambarkan dalam Diagram 2 berikut :

S. Batunanggar, May 1998 6

Page 7: Batunanggar, RISK-BASED SUPERVISION: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia.

Risk-based Supervision: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia

Diagram 2. Langkah-langkah Penilaian Risiko

Langka

Lan

L

Jika Tida

Apa Man

Setidaknbaru ters

1. Dengyangmemkarak

S. Batuna

Apakah terdapat suatu grup

Jika Ya k

Laksanakan RATE Secara

individual

Dapatkan idengan me

Renca

h 1

Lan

gkah 2

Langkah 4

angkah 3

Langkah

Langkah 5

Sumber: A Risk BaA Consultat

faat Pendekatan

ya, terdapat tujebut yakni sebag

an penetapan k lebih banyak peroleh pemahteristik bisnis

nggar, May 1998

Laksanakan RATE

Baik secara konsolidasi

Pertimbangkan unit-unit yang signifikan dengan mengggunakan pedoman

Qualitative Consolidated Supervision

nformasi pra-kunjungan termasuk nghubungi otoritas pengawas lain

nakan dan susun tugas pemeriksaan

Laksanakan pemeriksaan

Laksanakan penilaian risiko formal menggunakan faktors CAMELB dan COM

Persiapkan program pengawasan

Yakinkan konsistensi

Umpan-balik formal kepada bank (dan otoritas pengawas lain)

gkah 7

6

Langkah 8

sed Approach to Supervision (the RATE framework), ive Paper by the Bank of England, March 1997

PBR?

uh buah manfaat yang dapat dipetik dari pendekatan ai berikut :

erangka yang lebih sistematis dan meluangkan waktu untuk kunjungan bank, BoE (baca: pengawas) akan aman yang lebih baik atas kualitas manajemen, dan risiko-risiko yang dihadapi bank. Hal ini akan

7

Page 8: Batunanggar, RISK-BASED SUPERVISION: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia.

Risk-based Supervision: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia

meningkatkan konsistensi bank untuk menjabarkan tugas-tugas pengawasan dan menilai secara lebih sistematis apakah bank senantiasa memenuhi kriteria minimum otorisasi.

2. Kedua, bank-bank akan memperoleh manfaat dari pengawasan BoE yang lebih terfokus dan dari alat-alat pengawasan yang bersasaran lebih spesifik pada bidang-bidang yang berisiko terbesar dan mendapat perhatian utama dalam bank-bank individual.

3. Hubungan yang lebih eksplisit dari alat-alat pengawasan dengan bidang-bidang risiko atau perhatian memampukan (enable) manajemen bank-bank untuk lebih memahami mengapa suatu alat digunakan. Begitu manajemen bank dan para pengawas telah memiliki persepsi yang sama bahwa risiko-risiko telah diidentifikasi dengan tepat dan bahwa sistem-sistem kontrol yang memadai dan efektif telah ditetapkan, diharapkan tugas-tugas pengawasan yang dijalankan akan bermanfaat bagi kedua belah pihak.

4. Baik BoE dan manajemen bank harus mencurahkan sumberdaya atas penilaian risiko awal. Secara khusus, BoE akan perlu meluangkan lebih banyak waktu kunjungan (on-site) mendiskusikan masalah-masalah dengan manajemen senior bank.

5. BoE akan dapat memutuskan secara lebih tepat intensitas pengawasannya dengan pemahaman yang lebih baik atas profil risiko bank. Intensitas pengawasan dan besarnya tindakan pengawasan akan meningkat sejalan dengan penilaian profil risiko suatu bank. Satu keuntungan hal ini bagi bank adalah biaya pengawasan -- dalam bentuk waktu manajemen atau biaya-biaya langsung (seperti jasa akuntan) -- akan lebih rendah bagi bank dengan profil risiko yang lebih rendah. Sebaliknya, suatu bank yang berisiko tinggi akan menanggung biaya yang lebih tinggi.

6. Dari perspektif BoE, penggunaan sumberdaya akan lebih efisien karena alokasi sumberdayanya berdasarkan risiko dimana upaya pengawasan yang dicurahkan akan lebih besar kepada bank-bank yang berisiko tinggi. Hal ini memampukan bank BoE untuk mentargetkan dan memprioritaskan penggunaan sumberdaya spesialis, seperti Traded Market and Review Teams, secara lebih efektif.

7. Lebihlanjut, pemahaman yang lebih baik atas profil risiko bank akan membantu BoE dalam memfokuskan tindakan-tindakan pengawasannya dan dalam menetapkan tindakan perbaikan (remedial actions) yang dibutuhkan. Jika tindakan perbaikan tidak segera dilakukan bank dan tidak memuaskan BoE, maka tindakan lainnya dapat dilakukan seperti peningkatan rasio modal bank, atau dalam kasus ekstrim peninjauan kembali perizinan bank.

Lalu, di Indonesia sendiri bagaimana konsep dan praktek PBR tersebut? Berikut ini akan diuraikan secara ringkas mengenai kebijakan dan pendekatan pengawasan bank yang diadopsi oleh BI yang berwenang sebagai pengawas dan pembina sistem perbankan Indonesiaxi.

S. Batunanggar, May 1998 8

Page 9: Batunanggar, RISK-BASED SUPERVISION: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia.

Risk-based Supervision: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia

Sekilas mengenai Perkembangan Kebijakan Perbankan di Indonesia

Sebelum membahas model pengawasan BI, ada baiknya disinggung sekilas mengenai perkembangan kebijakan perbankan di Indonesia. Kebijakan pengawasan bank di Indonesia telah berevolusi sejalan dengan perkembangan berbagai kebijakan moneter dan perbankan yang telah diimplementasikan oleh pemerintah; yang dapat dibagi kedalam enam periode utamaxii. Yang pertama, periode rehabilitasi ekonomi dan stabilisasi moneter (1968-1972); kedua, stabilisasi moneter (1973-1983); ketiga, liberalisasi perbankan pertama (1983-1988) dengan kebijakan deregulasi Juni (Pakjun) 1983xiii; keempat, liberalisasi perbankan kedua (1988-1990) dengan Paket Kebijakan Oktober (Pakto) 1988xiv; kelima, regulasi perbankan prudensial (1991-1997) dimana diberlakukan Paket Kebijakan Februari (Pakfeb) 1991 serta paket-paket lanjutannya; dan keenam reformasi perbankan dan stabilisasi moneter (1997-sekarang). Tulisan ini tidak bermaksud untuk membahas kebijakan-kebijakan tersebut diatas satu persatu. Yang lebih difokuskan disini adalah kebijakan regulasi prudensial yang diterapkan dalam periode kelima.

Sebagai langkah adaptif dan antisipatif terhadap berbagai masalah aktual dan potensial dalam sistem perbankan sebagai dampak dari kebijakan deregulasi perbankan kedua pada dekade 80an, pemerintah dalam dekade 90an memperkuat regulasi sistem perbankan. Pada bulan Februari 1991 pemerintah menetapkan paket kebijakan perbankan berdasarkan prinsip kehati-hatian (prudential banking policies) mengacu pada norma-norma internasional yang ditetapkan oleh the Basle Committee on Banking Supervision, the Bank for International Settlements (BIS). Pada intinya, kebijakan prudensial tersebut meliputi penerapan kewajiban pemenuhan modal yang diukur dengan suatu 'risk-weighted capital adequacy ratio' yang diadopsi dari model the Basle Committee, penetapan penyisihan minimum kerugian aktiva produktif (loan-loss provisions) dan batas maksimum pemberian kredit (legal lending limit) yang mengatur eksposur bank kepada peminjam individual dan pihak-pihak terafiliasi dengan bank. Selanjutnya, sejak pertengahan tahun 1990-an BI menempuh strategi self-regulatory banking dengan mewajibkan bank-bank untuk menyusun dan melaksanakan sistem-sistem dan prosedur operasinya secara konsisten berdasarkan acuan-acuan yang ditetapkan oleh BI.

Pengawasan Perbankan Model BI

Secara konseptual, sistem pengawasan yang diadopsi oleh BI adalah sama dengan yang dimiliki oleh negara-negara yang telah maju seperti Amerika dan Inggris, meskipun terdapat perbedaan-perbedaan tehnis dalam prakteknya. Pada dasarnya, pengawasan yang dilakukan oleh BI dilakukan melalui dua metode. Pertama adalah pengawasan (off-site supervision) yakni pengawasan terhadap operasi bank melalui laporan-laporan yang wajib disampaikan oleh bank-bank kepada BI. Yang kedua adalah pemeriksaan (on-site examination) yakni penelitian setempat terhadap kegiatan bank yang dilakukan secara rutin dimana frekuensi dan lama pemeriksaan tergantung pada kondisi dan masalah yang dihadapi oleh masing-masing bank. Tugas-tugas supervisi off-site dan on-site dilakukan secara simultan dan berkesinambungan. Tujuannya adalah untuk mengecek kepatuhan bank-bank terhadap ketentuan yang berlaku, untuk

S. Batunanggar, May 1998 9

Page 10: Batunanggar, RISK-BASED SUPERVISION: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia.

Risk-based Supervision: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia

memastikan bahwa tidak terdapat rekayasa atau kejahatan (fraud) dalam operasi bank serta untuk menilai kinerja dan kondisi bank secara menyeluruh.

Dengan reorganisasi bidang pengawasan perbankan pada tahun 1994, unit kerja pengawasan dengan unit kerja pemeriksaan yang sebelumnya terpisah digabungkan kedalam satu atap yang dibagi menjadi beberapa urusan terkait yang terdiri dari tim-tim pengawas (dedicated team). Masing-masing dedicated team bertanggungjawab penuh atas pengawasan (termasuk pemeriksaan) dan pembinaan terhadap beberapa bank. Pengawas berperan sebagaimana layaknya seorang account officer bagi bank yangdiawasinya. Keuntungan dari struktur seperti ini adalah bahwa tugas-tugas pengawasan dapat dilaksanakan secara lebih efisien dan efektif. Dengan sistem ini, diharapkan masalah-masalah potensial bank akan dapat diidentifikasi secara cepat sehingga tindakan-tindakan korektif atas permasalahan bank pun seyogianya akan dapat dilakukan dengan cepat pulaxv.

Pengawasan Prudensial Model BI

Sejalan dengan implementasi Pakfeb 1991, pengawasan bank di Indonesia oleh BI mulai diarahkan ke pendekatan risiko. BI telah mengembangkan suatu sistem yang mengacu pada sistem CAMEL (Capital, Asset Quality, Management, Earnings, Liquidity) USAxvi. Dengan sistem ini, kondisi suatu bank dinilai secara rutin Pada intinya, sistem CAMEL ini menghasilkan dua produk pengawasan yakni perama, tingkat kesehatan bank; dan kedua, analisis kondisi dan permasalahan bank. Sistem ini berfungsi sebagai suatu alat deteksi dini (early warning system) atas masalah yang dihadapi bank baik yang aktual maupun potensial. Dengan berhasilnya identifikasi masalah bank secara dini, kemudian dapat dilakukan tindak lanjut pengawasan dan pembinaan bank yang diperlukan (cease and desist order).

Dalam tahun-tahun terakhir, BI terus mengembangkan dan mengimplementasikan pendekatan pengawasan berdasarkan risiko (risk-driven supervision). Penilaian tingkat kesehatan bank yang baru -- yang mulai diberlakukan per April 1997 – telah menetapkan secara lebih eksplisit mengenai penilaian manajemen risiko bank. Berdasarkan model baru tersebut penilaian manajemen dibagi menjadi dua aspek yakni manajemen umum dan manajemen risiko yang dinilai secara kualitatifxvii.

Pada hakekatnya, penilaian manajemen umum merupakan evaluasi terhadap efektivitas organisasi bank. Dalam hal ini, faktor-faktor yang dinilai meliputi enam aspek yakni strategi/sasaran, struktur, sistem dan sumberdaya manusia, kepemimpinan dan budaya kerja dari organisasi bankxviii. Sedangkan penilaian manajemen risiko bank meliputi evaluasi terhadap enam aspek yaitu risiko likuiditas, risiko pasar, risiko kredit, risiko operasional, risiko hukum dan risiko pemilik dan pengurus.

Pada dasarnya, formula Camel BoE adalah sama dengan Camel-nya BI. Namun, ditinjau dari komponen yang dievaluasi, terdapat dua perbedaan mendasar antara keduanyaxix (lihat Tabel berikut).

S. Batunanggar, May 1998 10

Page 11: Batunanggar, RISK-BASED SUPERVISION: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia.

Risk-based Supervision: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia

Tabel 1. Perbandingan antara CAMEL BoE dan BI FAKTOR

EVALUASI BoE

(”CAMEL + BCOM”) BI

(“CAMEL”) Faktor

kuantitatif CAMEL: (5) 1) Capital 2) Assets 3) Market Risk 4) Earning 5) Liabilities

CAEL: (4) 1) Capital 2) Assets 3) Earning 4) Liquidity

Faktor kualitatif

Business and Management (4) 1) Business 2) Internal Controls 3) Organisation 4) Management

Manajemen: (2) 1) Manajemen Umum (6) (Strategi/Sasaran, struktur, sistem,

sumberdaya manusia, kepemimpinan, budaya kerja

2) Manajemen Risiko (6) (Risiko likuiditas, risiko pasar, risiko kredit, risiko operasional, risiko hukum, risiko pemilik dan pengurus).

Pertama, dalam formula Camel terdapat dua faktor evaluasi yang berbeda dimana dalam sistem BI M adalah manajemen dan L adalah likuiditas sedangkan dalam sistem BoE M adalah market risk dan L adalah liabilities. Dalam sistem BoE market risk dinilai secara kuantitatif bersama dengan empat faktor lainnya (capital, assets, earning and liabilities). Sementara itu, sistem Camel BI memasukkan faktor risiko pasar dalam aspek manajemen yang dinilai secara kualitatif. Kedua, disamping penilaian kualitatif terhadap efektivitas fungsi-fungsi manajemen dalam memanajemeni risiko, model BoE juga mencakup penilaian terhadap lingkungan eksternal atau bisnis bank; sedangkan dalam sistem Camel BI faktor bisnis tidak tercakup secara rinci.

Beberapa Masalah Pokok dalam Aplikasi PBR di Sistem Perbankan Indonesia

Krisis ekonomi Indonesia memang tidak semata-mata disebabkan oleh ketimpangan dalam sistem perbankan. Namun disadari bahwa berbagai masalah yang dihadapi oleh sektor perbankan telah menjadi pemicu krisis tersebut. Karena itu, pembenahan sistem perbankan merupakan salah satu kebijakan prioritas sebagai bagian dari upaya pemulihan ekonomi nasional. Sejalan dengan itu, reformasi perbankan (banking reform) merupakan suatu tuntutan yang harus segera dilaksanakan. Gubernur BI dalam salah satu sambutannya mengemukakan bahwa terdapat empat pilar utama yang menjadi acuan dalam langkah-langkah reformasi perbankan yang harus dilakukan. Pertama, meningkatkan pelaksanaan prinsip kehati-hatian perbankan (prudential banking regulation); kedua, memperkuat sistem pengawasan oleh Bank Indonesia; ketiga, menyempurnakan ketentuan dan perangkat hukum perbankan; dan keempat, melaksanakan program restrukturisasi kelembagaan bank (banking retructuring)xx.

Relevan dengan langkah-langkah reformasi perbankan tersebut -- khususnya pilar kedua --, agaknya pengembangan dan implementasi PBR perlu dijadikan sebagai

S. Batunanggar, May 1998 11

Page 12: Batunanggar, RISK-BASED SUPERVISION: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia.

Risk-based Supervision: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia

salah satu agenda pokok BI. Untuk itu, menurut hemat penulis, terdapat beberapa masalah pokok yang penting untuk dipertimbangkan.

1. Pengembangan Metode Penilaian Risiko Formal Dengan pesatnya perkembangan produk-produk perbankan seperti ‘derivatives’, maka risiko pasar termasuk risiko kredit perlu dinilai secara lebih akurat. Untuk itu, perlu dikembangkan metode-metode penilaian risiko-risiko bisnis bank secara formal. Metode-metode tersebut perlu diperkenalkan dan disosialisasikan tidak hanya untuk para pengawas tetapi juga kepada manajemen dan pejabat bank sehingga mereka dapat menggunakannya dalam menilai dan memanajemeni risiko.

2. Pengembangan Alat-alat Pengawasan (tools of supervision). Sejalan dengan pengembangan alat penilaian risiko dimaksud, pengembangan alat-alat pengawasan (tools of supervision) merupakan upaya lainnya yang perlu dilakukan. Tanpa dukungan sistem dan alat pengawasan yang memadai adalah sulit untuk mengidentifikasi apalagi menilai risiko-risiko yang melekat dalam operasi bank secara efektif. Sebagai perbandingan, BoE menggunakan lima alat-alat pengawasan yaitu :

Reporting Accountants Report -- suatu laporan yang dipersiapkan oleh akuntan (biasanya auditor eksternal bank) yang menilai sistem-sistem internal dan kecukupan serta efektivitas kontrol bank. Dalam kasus perbankan Indonesia, laporan akuntan publik lebih ditekankan pada audit keuangan.

Traded Markets Team Visits – suatu kunjungan oleh staf ahli treasury BoE yang memfokuskan pada bidang treasury bank dengan penekanan pada manajemen risiko, sistem-sistem dan kecukupan control. Kunjungan diikuti dengan surat pembinaan yang memuat bidang-bidang yang mendapat perhatian khusus dan tindakan perbaikan yang diperlukan.

Review Team Visit – suatu kunjungan oleh staf ahli BoE dengan fokus pada penilaian sistem-sistem dan kecukupan kontrol di bidang lainnya seperti kredit.

Prudential Meetings – pertemuan dengan manajemen senior bank untuk mendiskusikan kinerja keuangan bank, bisnis dan profil risikonya, strategi dan lingkungan pasar yang lebih luas dimana dia beroperasi.

Ad hoc Meetings – pertemuan di BoE atau di bank untuk mendiskusikan perkembangan bisnis atau rencana-rencana dan masalah-masalah yang timbul dari proses penilaian risiko.

Dalam kaitan ini, tampaknya perlu bagi BI untuk lebih mengembangkan tim-tim pengawas spesialis. Perkembangan industri perbankan khususnya di bidang treasury dan kredit dengan berbagai inovasi produk-produk derivatif tentunya memerlukan pengawas spesialis yang memahami bidang tugasnya secara profesional.

S. Batunanggar, May 1998 12

Page 13: Batunanggar, RISK-BASED SUPERVISION: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia.

Risk-based Supervision: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia

3. Adopsi Sistem dan Metode Pengawasan Internasional secara Lebih Luas BI senantiasa berupaya untuk memperkuat sistem pengawasan bank di Indonesia. Adopsi atas prosedur dan sistem pengawasan bank internasional yang ditetapkan oleh the Basle Committee perlu dilaksanakan secara lebih luas dan konsisten sebagaimana dinyatakan oleh Gubernur dan Direksi BI dalam berbagai kesempatan akhir-akhir ini. Dalam mengadopsi sistem dan metode tersebut perlu dipertimbangkan kondisi sistem perbankan Indonesia. Dalam beberapa hal, tentunya perlu dilakukan penyesuaian (adjustment) agar implementasinya efektif. Karena itu, dipandang perlu untuk meningkatkan kegiatan penelitian, survey, studi banding khususnya di bidang perbankan baik baik cakupan, kuantitas maupun kualitasnya, untuk dapat menghasilkan kebijakan-kebijakan, sistem-sistem dan metode-metode pengawasan bank yang teruji, obyektif dan berorientasi pasar (market oeriented). Hal ini sejalan dengan research-based strategy BI yang perlu diimplementasikan secara nyata.

4. Pengembangan Sumberdaya Manusia (SDM). Sistem bukanlah segalanya. Sistem sebaik dan secanggih apapun bukanlah obat mujarab atau panacea. Dia ibarat senjata – meski ‘sakti mandraguna’ - yang takkan bisa mengenai sasaran apalagi melumpuhkan musuh dengan sendirinya. Sistem atau kebijakan yang handal akan percuma jika hanya jadi pajangan atau sekedar lip service belaka. Agar efektif dalam mencapai sasaran, suatu sistem mensyaratkan kemampuan, kesungguhan (komitmen) dan konsistensi dari para penggunanya. Manusia – the man behind the gun yang sering terabaikan – merupakan faktor terpenting dari semuanya. Pendekatan PBR tidak hanya memerlukan para pengawasan yang benar-benar memahami secara mendalam karakteristik dan profil usaha bank termasuk penggunaan metode dan alat-alat pengawasan yang diperlukan, tetapi juga mensyaratkan para pengawas yang memiliki suatu professional judgement. Untuk itu, pengembangan pengetahuan dan keterampilan para pengawas melalui pendidikan, pelatihan, lokakarya dan sejenisnya tentunya harus dilakukan secara terencana dan kontinu. Sejalan dengan itu, pengembangan SDM sektor perbankan juga perlu terus ditingkatkan sehingga manajemen bank-bank diisi oleh SDM yang kompeten dan bertanggung jawab (fit and proper).

5. Pembinaan Moral dan Law Enforcement Selanjutnya, perlu lebih disadari bahwa para bankir dan pengawas adalah pihak-pihak yang dalam profesinya bermain dalam suatu ‘arena berisiko tinggi’. Karena itu, kesadaran dan ketaatan mereka terhadap kode etik profesinya masing-masing harus lebih disosialisasikan dan ‘dipaksakan’ (enforce) agar terlaksana secara konsisten dan konsekwenxxi. Untuk membentengi sistem perbankan dari momok kolusi yang berbahaya itu, tidak hanya diperlukan ketentuan-ketentuan sebagai sistem pengaman tetapi yang lebih penting adalah pembinaan moral dan ‘law enforcement’! Dalam hal ini, diperlukan budaya organisasi yang mendukung dan komitmen penuh serta kepemimpinan yang efektif dari manajemen.

6. Peningkatan Transparansi dan Komunikasi Diantara karakteristik utama dari pendekatan PBR adalah perlunya transparansi dan komunikasi yang efektif antara pengawas dengan bank. Dalam hal ini, penyamaan persepsi atas metode atau alat pengawasan yang digunakan dan pembinaan komunikasi yang baik diantara pengawas dan bank sangat penting untuk menjamin

S. Batunanggar, May 1998 13

Page 14: Batunanggar, RISK-BASED SUPERVISION: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia.

Risk-based Supervision: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia

efektivitas dan obyektivitas penilaian. Dalam kenyataannya, untuk mendapatkan kedua hal ini bukanlah hal yang mudah. Penyamaan persepsi dan pemahaman atas sesuatu sistem atau model baru sering mensyaratkan atau reorientasi pola pikir dan perubahan prilaku baik organisasi maupun individunya. Untuk ini perlu suatu proses pengenalan, sosialisasi dan institusionalisasi strategi dan sistem baru secara intensif dan berkesinambungan.

7. Pengembangan Organisasi Pengawasan Bank Secara alamiah, perubahan-perubahan mendasar dalam suatu tatanan (ekosistem) menuntut reformasi dan reorientasi dari sistem-sistem tidak terkecuali subsistem-subsistem dan para individu yang ada di dalamnya. Ini menjadi keharusan kalau ingin tetap survive dalam lingkungan global yang terus bergolak. Penyesuaian atas kondisi internal dan eksternal organisasi merupakan prasyarat utama efektivitas suatu strategi dan sistem. Evaluasi yang kontinu dan pemahaman yang mendalam atas kedua hal itu amatlah vital. Perubahan cepat yang telah dan akan terus terjadi dalam sistem perbankan menuntut respons yang cepat - kalau tidak ‘instant’ - dari otoritas pengawas. Dalam hal ini, reorganisasi bisa menjadi salah satu langkah yang perlu dilakukan.

Penutup

Seperti ungkapan dalam kutipan di depan, risiko selalu berdimensi ganda. Satu sisi adalah ancaman dan sisi lainnya merupakan peluang. Pada hakekatnya keduanya memang pasangan yang sejati. Karena itu, tiada peluang tanpa ancaman, ‘no gain no pain’!. Bercermin pada aksioma ini, krisis ekonomi dan moneter yang melanda Indonesia, di satu sisi adalah pil terpahit yang harus kita rasakan. Namun, di sisi lain dia telah membuka peluang baru dan kesadaran (baca: keharusan) semua pihak untuk melakukan pembaharuan secara total yang sekian lama terbelenggu. Dalam hal ini, pengembangan PBR sebagai bagian dari reformasi perbankan merupakan suatu peluang sekaligus tantangan.

Akhirnya, para pengawas bank itu ibarat pendekar, perlu selalu diisi dengan berbagai ilmu dan senjata yang sesuai dengan kondisi medan tempurnya. Dia juga perlu terus berlatih agar mampu mengenali segala kekuatan dan kelemahannya dirinya dan juga lawannya dengan baik. Kalau peribahasa Melayu mengatakan : “tak kenal maka tak sayang”, peribahasa Cina akan mengatakan : “tak kenal maka tak menang”. Karena itu, falsafah Cina klasik berikut ini relevan untuk dijadikan refleksi. Sun Tzu, sang maha guru strategi sekaligus panglima perang Cina legendaris, berkata :

“Orang yang mengenal diri dan musuhnya takkan pernah menghadapi risiko besar dalam pertempuran; Orang yang mengenal dirinya tapi tak mengenal musuhnya kadang kala menang dan kadang kalah; Orang yang tak mengenal baik dirinya sendiri maupun musuhnya akan selalu menghadapi risiko besar dalam setiap pertempuran”.

S. Batunanggar, May 1998 14

Page 15: Batunanggar, RISK-BASED SUPERVISION: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia.

Risk-based Supervision: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia

End Notes iEllis, Ross, "Prudential Supervision of Financial Institutions", Reserve Bank of Australia Bulletin. ii Negara-negara Scandinavia merupakan contoh dimana suatu "mega regulator" diluar bank sentral yang mengawasi bank-bank, perusahaan asuransi, perusahaan sekuritas, dan manajer investasi (fund managers). Canada juga mengarah ke jalan ini dengan 'the Office of Superintendent of Financial Institutions (OSFI) yang mengawasi bank-bank dan perusahaan asuransi. Singapura merupakan salah satu contoh bank sentral yang bertindak sebagai "mega regulator". Di Indonesia sendiri, bank sentral diberi wewenang untuk mengawasi bank-bank sedangkan lembaga-lembaga keuangan bukan bank berada dibawah pengawasan Departemen Keuangan. iiiSebagai contoh, satu kantor cabang bank Australia di New York dengan sekitar seratus staff mungkin dikunjungi oleh tim beranggotakan sepuluh pemeriksa dengan waktu selama tiga minggu. Bank-bank besar US memiliki pemeriksa yang secara permanen menetap di bank tersebut. ivIdenya adalah agar semua orang akan mengetahui informasi sebanyak yang diketahui oleh bank sentral, sehingga mestinya tidak ada alasan khusus untuk mengkambing-hitamkan bank sentral jika suatu bank mendapat kesulitan. Masalahnya adalah bahwa menilai stabilitas bank secara periodik bukanlah tugas yang mudah bagi deposan yang tidak terampil. Namun demikian, terdapat para pengamat professional seperti badan-badan pemeringkat (rating agencies), analis pasar modal, dan 'financial press' yang melakukan penilaian untuk publik atas kondisi bank. v The Basle Committee on Banking Supervision dibentuk oleh Gubernur bank sentral negara-negara Group Ten di tahun 1975. Komite ini beranggotakan wakil-waki senior dari otoritas pengawasan dan bank-bank sentral dari Belgia, Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Luxemburg, Belanda, Swedia, Switzerland, Inggris dan Amerika Serikat. Komite biasanya bertemu di the Bank for International Settlements (BIS) di Basle, Swiss dimana Sekretariat berkedudukan secara permanen. vi Bank for International Settlements, The Basle Committee on Banking Supervision, The Core Principles for Effective Banking Supervision, September 1997. vii Anon. (1997), ‘CreditMetrics: a new era for credit-risk management?, Financial Derivatives, April 3, 1997 Issue 63. viiiBatunanggar, S., “Risk-Based Supervision: Suatu Tinjauan terhadap Model Pengawasan Bank of England”, Majalah Intern Bank Indonesia, Gema Korps, Februari 1998. ix Bank of England (1997), ‘A Risk Based Approach to Supervision (the RATE framework), A Consultative Paper by the Bank of England, March 1997. x Anon. (1997), ‘Bank moves toward risk-based supervision’, Financial Derivatives, April 3, 1997 Issue 63.

S. Batunanggar, May 1998 15

Page 16: Batunanggar, RISK-BASED SUPERVISION: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia.

Risk-based Supervision: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia

xiBerdasarkan pengamatan penulis, publikasi tulisan atau hasil penelitian mengenai sistem dan pendekatan pengawasan bank di Indonesia relatif sangat terbatas terutama jika dibandingkan dengan kondisi di negara-negara maju. Umumnya, materi relevan yang tersedia hanya berupa kebijakan-kebijakan pengawasan bank yang tertuang dalam berbagai peraturan dan ketentuan yang ditetapkan oleh BI. xiiBatunanggar, S. "Strategic Management in Action: The Case of Bank Indonesia", MBA Dissertation, School of Management and Finance, University of Nottingham, England 1996, page 21-23. Sebelumnya penulis menganalisis dan membagi perkembangan kebijakan tersebut dalam lima periode utama disertai dengan pokok-pokok kebijakan dan tujuannya beserta faktor-faktor kunci yang mendasarinya. xiiiPakjun 1983 berintikan pembebasan suku bunga dan penghilangan pagu kredit serta penerapan instrumen moneter tidak langsung. xivPakto 1988 pada intinya meliputi kebijakan penurunan likuiditas minimum (reserve requirements dari 15% menjadi 2%, pembukaan kembali lisensi bagi bank umum dan bank campuran, dan pemberian izin bagi BUMN untuk menyimpan 50% dana jangka pendeknya di bank umum swasta selain bank BUMN. xvPandangan kontra melihat adanya masalah potensial dalam fungsi kontrol. Alasannya cukup sederhana sekaligus klasik. Kembali ke salah satu prinsip dasar pengawasan, dimana harus ada pemisahan (segregation) antara fungsi pengawasan (off-site) dengan fungsi pemeriksaan (on-site). Sebaliknya, kelemahan sistem pengawasan yang terpisah ini adalah adanya masalah efisiensi, koordinasi dan integrasi. Tetapi masalah ini bukan menjadi fokus dari tulisan ini. xviMontgomery, John, The Indonesian Financial System: Its Contribution to Economic Performance, and Key Policy Issues, Working Papers, International Monetary Fund, April 1997. xviiSurat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/11/KEP/DIR tanggal 30 April 1997 tentang Tatacara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum. xviiiBatunanggar, S.,”Analisis Organisasi: The Seven Ss of McKinsey Revisited”, artikel, belum/tidak dipublikasikan. Secara konseptual, model penilaian manajemen umum bank oleh BI mengacu pada alat analisis organisasi yang populer dikenal sebagai the seven Ss framework of McKinsey – srategy, structure, systems, staffs, skills and shared values yang (Waterman et.al.,1980). xixBatunanggar, S., “CAMEL BoE dan BI: Suatu Perbandingan”, Majalah intern Bank Indonesia, Gema Korps, Februari 1998. xxSambutan Gubernur BI dalam Diskusi Struktur dan Kebijakan Industri Perbankan Indonesia Pasca Tahun 2000, disampaikan oleh Direktur BI Achwan, SE, MA, Pengembangan Perbankan, Edisi No. 70 Maret-April 1998. xxBatunanggar, S,“Bank Mismanagement”, Majalah Intern Bank Indonesia, Gema Korps, Desember 1992.

S. Batunanggar, May 1998 16

Page 17: Batunanggar, RISK-BASED SUPERVISION: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia.

Risk-based Supervision: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia

S. Batunanggar, May 1998 17

Page 18: Batunanggar, RISK-BASED SUPERVISION: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia.

Risk-based Supervision: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia

Referensi 1. Anon., ‘Bank moves toward risk-based supervision’, and ‘CreditMetrics: a new era for

credit-risk management?, Financial Derivatives, April 3, 1997 Issue 63. 2. Bank of England, ‘A Risk Based Approach to Supervision (the RATE framework), A

Consultative Paper by the Bank of England, March 1997; and ‘A Risk Based Approach to Supervising Foreign Exchange and Other Market Risk’, July 1997.

3. __________,‘Basic Principles of Banking Supervision’, Handbook in Central Banking, Centre for Central Banking Studies, May 1996.

4. __________,’The Objectives, Standards and Process of Banking Supervision’, February 1997.

5. Bank Indonesia, berbagai kebijakan dibidang perbankan. 6. Bank for International Settlements, The Basle Committee on Banking Supervision,

berbagai publikasi menyangkut pengawasan bank, capital accord dan risk management, Dokumen No. 12a (July) 1994 s/d No. 37 (April 1998).

7. Batunanggar, S.,“Pengantar Organisasi dan Manajemen Bank”, Materi Kursus Pengawas Bank I, Bank Indonesia, Juni 1998, tidak dipublikasikan.

8. __________,“Risk-Based Supervision: Suatu Tinjauan terhadap Model Pengawasan Bank of England”, dan “CAMEL BoE dan BI: Suatu Perbandingan, Majalah Intern Bank Indonesia”, Gema Korps, Februari 1998.

9. __________,”The Tao of Organization: Suatu Tinjauan Filosofis tentang Organisasi”, Majalah Intern Bank Indonesia, Gema Korps, Juni 1997; dan “Analisis Organisasi: The Seven Ss of McKinsey Revisited”, artikel, belum/tidak dipublikasikan.

10. __________,"Strategic Management in Action: The Case of Bank Indonesia", MBA Dissertation, School of Management and Finance, University of Nottingham, England 1996.

11. __________,“Bank Mismanagement”, Majalah Intern Bank Indonesia, Gema Korps, Desember 1992.

12. Board of Governor of the Federal Reserve System, Division of Banking Supervision and Regulation, ’Trading and Capital-Market Activities Manual, February 1998; and ‘Commercial Bank Examination Manual’, May 1995.

13. Dale, Richard, International Banking Deregulation, the Great Banking Experiment, Blackwell Publishers, 1992.

14. Gubernur BI, ‘Sambutan pada Acara Pembukaan Sekolah Staf dan Pimpinan Bank Angkatan ke-18’, 13 April 1998 dan Sambutan dalam Diskusi Struktur dan Kebijakan Industri Perbankan Indonesia Pasca Tahun 2000, disampaikan oleh Direktur BI, Achwan, Pengembangan Perbankan, Edisi No. 70 Maret-April 1998.

15. Hall, Maximilian J.B, Handbook of Banking Regulation and Supervision, Woodhead-Faulkner, 1989.

16. Montgomery, John, ‘The Indonesian Financial System: Its Contribution to Economic Performance, and Key Policy Issues’, Working Papers, International Monetary Fund, April 1997.

17. Reserve Bank of Australia, berbagai artikel mengenai pengawasan bank dan perbankan dalam Reserve Bank of Australia Bulletin: Edisi December 1997, October 1997, Otober 1996 dan September 1996.

S. Batunanggar, May 1998 18