bahan SLE
-
Upload
anditta-zahrani -
Category
Documents
-
view
50 -
download
6
description
Transcript of bahan SLE
BAB II
PENDAHULUAN
2.1 Pengertian
SLE (Systemisc Lupus erythematosus) adalah penyakit autoimun
dimana organ dan sel mengalami kerusakan yang disebabkan oleh tissue-
binding autoantibody dan kompleks imun, yang menimbulkan peradangan
dan bisa menyerang berbagai sistem organ namun sebabnya belum diketahui
secara pasti, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan
atau kronik, terdapat remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya
berbagai macam autoantibody dalam tubuh.
Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ
yang berbeda. Beratnya penyakit bervariasi mulai dari penyakit yang ringan
sampai penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan
jenis antibodi yang muncul dan organ yang terkena.
2.2. Etiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik,
hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi
selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar
termal).
Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui. Diduga faktor
genetik, infeksi dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi SLE.
Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari
sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan reaksi imunologi ini akan
menghasilkan antibodi secara terus menerus. Antibody ini juga berperan
dalam pembentukan kompleks imun sehingga mencetuskan penyakit
inflamasi imun sistemik dengan kerusakkan multiorgan.
Dalam keadaan normal, sistem kekebalan berfungsi mengendalikan
pertahanan tubuh dalam melawan infeksi. Pada lupus dan penyakit autoimun
lainnya, sistem pertahanan tubuh ini berbalik melawan tubuh, dimana
antibodi yang dihasilkan menyerang sel tubuhnya sendiri. Antibodi ini
menyerang sel darah, organ dan jaringan tubuh, sehingga terjadi penyakit
menahun.
Mekanisme maupun penyebab dari penyakit autoimun ini belum
sepenuhnya dimengerti tetapi diduga melibatkan faktor lingkungan dan
keturunan. Beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu timbulnya lupus:
Infeksi
Antibiotik (terutama golongan sulfa dan penisilin)
Sinar ultraviolet
Stres yang berlebihan
Obat-obatan tertentu
Hormon.
Meskipun lupus diketahui merupakan penyakit keturunan, tetapi gen
penyebabnya tidak diketahui. Penemuan terakhir menyebutkan tentang gen
dari kromosom 1. Hanya 10% dari penderita yang memiliki kerabat (orang
tua maupun saudara kandung) yang telah maupun akan menderita lupus.
Statistik menunjukkan bahwa hanya sekitar 5% anak dari penderita lupus
yang akan menderita penyakit ini.
Lupus seringkali disebut sebagai penyakit wanita walaupun juga bisa
diderita oleh pria. Lupus bisa menyerang usia berapapun, baik pada pria
maupun wanita, meskipun 10-15 kali lebih sering ditemukan pada wanita.
Faktor hormonal mungkin bisa menjelaskan mengapa lupus lebih sering
menyerang wanita. Meningkatnya gejala penyakit ini pada masa sebelum
menstruasi dan/atau selama kehamilan mendukung keyakinan bahwa hormon
(terutama estrogen) mungkin berperan dalam timbulnya penyakit ini.
Meskipun demikian, penyebab yang pasti dari lebih tingginya angka kejadian
pada wanita dan pada masa pra-menstruasi, masih belum diketahui.
Faktor Resiko terjadinya SLE
1. Faktor Genetik
Jenis kelamin, frekuensi pada wanita dewasa 8 kali lebih sering
daripada pria dewasa
Umur, biasanya lebih sering terjadi pada usia 20-40 tahun
Etnik, Faktor keturunan, dengan Frekuensi 20 kali lebih sering
dalam keluarga yang terdapat anggota dengan penyakit tersebut
2. Faktor Resiko Hormon
Hormon estrogen menambah resiko SLE, sedangkan androgen
mengurangi resiko ini.
3. Sinar UV
Sinar Ultra violet mengurangi supresi imun sehingga terapi
menjadi kurang efektif, sehingga SLE kambuh atau bertambah
berat. Ini disebabkan sel kulit mengeluarkan sitokin dan
prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut maupun
secara sistemik melalui peredaran pebuluh darah
4. Imunitas
Pada pasien SLE, terdapat hiperaktivitas sel B atau intoleransi
terhadap sel T
5. Obat
Obat tertentu dalam presentase kecil sekali pada pasien tertentu dan
diminum dalam jangka waktu tertentu dapat mencetuskan lupus
obat (Drug Induced Lupus Erythematosus atau DILE). Jenis obat
yang dapat menyebabkan Lupus Obat adalah :
Obat yang pasti menyebabkan Lupus obat : Kloropromazin,
metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid
Obat yang mungkin menyebabkan Lupus obat : dilantin,
penisilamin, dan kuinidin
Hubungannya belum jelas : garam emas, beberapa jenis
antibiotic dan griseofurvin
6. Infeksi
Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang-
kadang penyakit ini kambuh setelah infeksi
7. Stres
Stres berat dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah
memiliki kecendrungan akan penyakit ini.
2.3. Diagnosis
Kriteria untuk klasifikasi SLE dari American Rheumatism Association
(ARA, 1992). Seorang pasien diklasifikasikan menderita SLE apabila
memenuhi minimal 4 dari 11 butir kriteria dibawah ini :
1. Artritis, arthritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer disertai
rasa nyeri, bengkak, atau efusi dimana tulang di sekitar persendian
tidak mengalami kerusakan
2. Tes ANA diatas titer normal = Jumlah ANA yang abnormal
ditemukan dengan immunofluoroscence atau pemeriksaan serupa
jika diketahui tidak ada pemberian obat yang dapat memicu ANA
sebelumnya
3. Bercak Malar / Malar Rash (Butterfly rash) = Adanya eritema
berbatas tegas, datar, atau berelevasi pada wilayah pipi sekitar
hidung (wilayah malar)
4. Fotosensitif bercak reaksi sinar matahari = peka terhadap sinar UV /
matahari, menyebabkan pembentukan atau semakin memburuknya
ruam kulit
5. Bercak diskoid = Ruam pada kulit
6. Salah satu Kelainan darah;
- anemia hemolitik,
- Leukosit < 4000/mm³,
- Limfosit<1500/mm³,
- Trombosit <100.000/mm³
7. Salah satu Kelainan Ginjal;
- Proteinuria > 0,5 g / 24 jam,
- Sedimen seluler = adanya elemen abnormal dalam air kemih yang
berasal dari sel darah merah/putih maupun sel tubulus ginjal
8. Salah satu Serositis :
- Pleuritis,
- Perikarditis
9. Salah satu kelainan Neurologis;
- Konvulsi / kejang,
- Psikosis
10. Ulser Mulut, Termasuk ulkus oral dan nasofaring yang dapat ditemukan
11. Salah satu Kelainan Imunologi
- Sel LE+
- Anti dsDNA diatas titer normal
- Anti Sm (Smith) diatas titer normal
- Tes serologi sifilis positif palsu
2.4. Gejala
Gejala dari penyakit lupus:
- demam
- lelah
- merasa tidak enak badan
- penurunan berat badan
- ruam kulit
- ruam kupu-kupu
- ruam kulit yang diperburuk oleh sinar matahari
- sensitif terhadap sinar matahari
- pembengkakan dan nyeri persendian
- pembengkakan kelenjar
- nyeri otot
- mual dan muntah
- nyeri dada pleuritik
- kejang
- psikosa.
Gejala lainnya yang mungkin ditemukan:
- hematuria (air kemih mengandung darah)
- batuk darah
- mimisan
- gangguan menelan
- bercak kulit
- bintik merah di kulit
- perubahan warna jari tangan bila ditekan
- mati rasa dan kesemutan
- luka di mulut
- kerontokan rambut
- nyeri perut
- gangguan penglihatan.
2.5. Manifestasi Klinis
Jumlah dan jenis antibodi pada lupus, lebih besar dibandingkan
dengan pada penyakit lain, dan antibodi ini (bersama dengan faktor lainnya
yang tidak diketahui) menentukan gejala mana yang akan berkembang.
Karena itu, gejala dan beratnya penyakit, bervariasi pada setiap penderita.
Perjalanan penyakit ini bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan
sampai penyakit yang berat.
Gejala pada setiap penderita berlainan, serta ditandai oleh masa bebas
gejala (remisi) dan masa kekambuhan (eksaserbasi).
Pada awal penyakit, lupus hanya menyerang satu organ, tetapi di
kemudian hari akan melibatkan organ lainnya.
Otot dan kerangka tubuh
Hampir semua penderita lupus mengalami nyeri persendian dan kebanyakan
menderita artritis. Persendian yang sering terkena adalah persendian pada
jari tangan, tangan, pergelangan tangan dan lutut. Kematian jaringan pada
tulang panggul dan bahu sering merupakan penyebab dari nyeri di daerah
tersebut.
Kulit
Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu pada tulang pipi dan
pangkal hidung. Ruam ini biasanya akan semakin memburuk jika terkena
sinar matahari. Ruam yang lebih tersebar bisa timbul di bagian tubuh lain
yang terpapar oleh sinar matahari.
Ginjal
Sebagian besar penderita menunjukkan adanya penimbunan protein di
dalam sel-sel ginjal, tetapi hanya 50% yang menderita nefritis lupus
(peradangan ginjal yang menetap). Pada akhirnya bisa terjadi gagal ginjal
sehingga penderita perlu menjalani dialisa atau pencangkokkan ginjal.
Sistem saraf
Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita lupus. Yang paling sering
ditemukan adalah disfungsi mental yang sifatnya ringan, tetapi kelainan
bisa terjadi pada bagian manapun dari otak, korda spinalis maupun sistem
saraf. Kejang, psikosa, sindroma otak organik dan sakit kepala merupakan
beberapa kelainan sistem saraf yang bisa terjadi.
Darah
Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus. Bisa terbentuk
bekuan darah di dalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkan stroke
dan emboli paru. Jumlah trombosit berkurang dan tubuh membentuk
antibodi yang melawan faktor pembekuan darah, yang bisa menyebabkan
perdarahan yang berarti. Seringkali terjadi anemia akibat penyakit
menahun.
Jantung
Peradangan berbagai bagian jantung bisa terjadi, seperti perikarditis,
endokarditis maupun miokarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi
sebagai akibat dari keadaan tersebut.
Paru-paru
Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pleura
(penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari
keadaan tersebut sering timbul nyeri dada dan sesak nafas.
2.6. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dapat memberikan (1) penegakkan atau
menyingkirkan suatu diagnosis; (2) untuk mengikuti perkembangan penyakit,
terutama untuk menandai terjadinya suatu serangan atau sedang berkembang
pada suatu organ; (3) untuk mengidentifikasi efek samping dari suatu
pengobatan.
6.1. Pemeriksaan Autoantibodi
Antibody Prevalensi,
%
Antigen yang
Dikenali
Clinical Utility
Antinuclear
antibodies (ANA)
98 Multiple nuclear Pemeriksaan
skrining terbaik;
hasil negative
berulang
menyingkirkan SLE
Anti-dsDNA 70 DNA (double-
stranded)
Jumlah yang tinggi
spesifik untuk SLE
dan pada beberapa
pasien berhubungan
dengan aktivitas
penyakit, nephritis,
dan vasculitis.
Anti-Sm 25 Kompleks protein
pada 6 jenis U1
RNA
Spesifik untuk SLE;
tidak ada korelasi
klinis; kebanyakan
pasien juga memiliki
RNP; umum pada
African American
dan Asia dibanding
Kaukasia.
Anti-RNP 40 Kompleks protein
pada U1 RNAγ
Tidak spesifik untuk
SLE; jumlah besar
berkaitan dengan
gejala yang overlap
dengan gejala
rematik termasuk
SLE.
Anti-Ro (SS-A) 30 Kompleks Protein
pada hY RNA,
terutama 60 kDa
dan 52 kDa
Tidak spesifik SLE;
berkaitan dengan
sindrom Sicca,
subcutaneous lupus
subakut, dan lupus
neonatus disertai
blok jantung
congenital; berkaitan
dengan penurunan
resiko nephritis.
Anti-La (SS-B) 10 47-kDa protein
pada hY RNA
Biasanya terkait
dengan anti-Ro;
berkaitan dengan
menurunnya resiko
nephritis
Antihistone 70 Histones terkait
dengan DNA
(pada nucleosome,
chromatin)
Lebih sering pada
lupus akibat obat
daripada SLE.
Antiphospholipid 50 Phospholipids,β2
glycoprotein 1
cofactor,
prothrombin
Tiga tes tersedia –
ELISA untuk
cardiolipin dan β2G1,
sensitive
prothrombin time
(DRVVT);
merupakan
predisposisi
pembekuan,
kematian janin, dan
trombositopenia.
Antierythrocyte 60 Membran eritrosit Diukur sebagai tes
Coombs’ langsung;
terbentuk pada
hemolysis.
Antiplatelet 30 Permukaan dan
perubahan antigen
sitoplasmik pada
platelet.
Terkait dengan
trombositopenia
namun sensitivitas
dan spesifitas kurang
baik; secara klinis
tidak terlalu berarti
untuk SLE
Antineuronal
(termasuk anti-
glutamate
receptor)
60 Neuronal dan
permukaan antigen
limfosit
Pada beberapa hasil
positif terkait dengan
lupus CNS aktif.
Antiribosomal P 20 Protein pada
ribosome
Pada beberapa hasil
positif terkait dengan
depresi atau psikosis
akibat lupus CNS
Tabel 3 Autoantibodi yang ditemukan pada Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
Catatan: CNS = central nervous system, CSF= cerebrospinal fluid, DRVVT = dilute Russell viper venom time, ELISA= enzyme-linked immunosorbent assay.
Secara diagnostic, antibody yang paling penting untuk dideteksi
adalah ANA karena pemeriksaan ini positif pada 95% pasien, biasanya
pada onset gejala. Pada beberapa pasien ANA berkembang dalam 1
tahun setelah onset gejala; sehingga pemeriksaan berulang sangat
berguna. Lupus dengan ANA negative dapat terjadi namun keadaan ini
sangat jarang pada orang dewasa dan biasanya terkait dengan
kemunculan dari autoantibody lainnya (anti-Ro atau anti-DNA). Tidak
ada pemeriksaan berstandar internasional untuk ANA; variabilitas
antara pemeriksaan yang berbeda antara laboratorium sangat tinggi.
Jumlah IgG yang besar pada dsDNA (bukan single-strand DNA)
spesifik untuk SLE. ELISA dan reaksi immunofluorosensi pada sel
dengan dsDNA pada flagel Crithidia luciliae memiliki sekitar 60%
sensitivitas untuk SLE; identifikasi dari aviditas tinggi untuk anti-
dsDNA pada emeriksaan Farr tidak sensitive namun terhubung lebih
baik dengan nephritis
6.2. Pemeriksaan laboratorium untuk menentukan adanya penyakit SLE
Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah bisa menunjukkan adanya antibodi antinuklear,
yang terdapat pada hampir semua penderita lupus. Tetapi antibodi
ini juga juga bisa ditemukan pada penyakit lain. Karena itu jika
menemukan antibodi antinuklear, harus dilakukan juga pemeriksaan
untuk antibodi terhadap DNA rantai ganda. Kadar yang tinggi dari
kedua antibodi ini hampir spesifik untuk lupus, tapi tidak semua
penderita lupus memiliki antibodi ini.
Pemeriksaan darah untuk mengukur kadar komplemen (protein yang
berperan dalam sistem kekebalan) dan untuk menemukan antibodi
lainnya, mungkin perlu dilakukan untuk memperkirakan aktivitas
dan lamanya penyakit.
Ruam kulit atau lesi yang khas
Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis
Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya
gesekan pleura atau jantung
Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein
Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis
sel darah
Biopsi ginjal
Pemeriksaan saraf.
2.7. Penatalaksanaan
Untuk penatalaksanaan, Pasien SLE dibagi menjadi:
Kelompok Ringan
Gejala : Panas, artritis, perikarditis ringan, efusi pleura/perikard ringan,
kelelahan, dan sakit kepala
Kelompok Berat
Gejala : efusi pleura perikard masif, penyakit ginjal, anemia hemolitik,
trombositopenia, lupus serebral, vaskulitis akut, miokarditis,
pneumonitis lupus, dan perdarahan paru.
Penatalaksanaan Umum :
Kelelahan bisa karena sakitnya atau penyakit lain, seperti anemi, demam
infeksi, gangguan hormonal, komplikasi pengobatan, atau stres emosional.
Upaya mengurangi kelelahan disamping obat ialah cukup istirahat,
pembatasan aktivitas yang berlebih, dan mampu mengubah gaya hidup
Hindari Merokok
Hindari perubahan cuaca karena mempengaruhi proses inflamasi
Hindari stres dan trauma fisik
Diet sesuai kelainan, misalnya hyperkolestrolemia
Hindari pajanan sinar matahari, khususnya UV pada pukul 10.00 sampai
15.00
Hindari pemakaian kontrasespsi atau obat lain yang mengandung hormon
estrogen
Penatalaksanaan Medikamentosa :
Untuk SLE derajat Ringan;
Penyakit yang ringan (ruam, sakit kepala, demam, artritis, pleuritis,
perikarditis) hanya memerlukan sedikit pengobatan.
Untuk mengatasi artritis dan pleurisi diberikan obat anti peradangan
non-steroid
Untuk mengatasi ruam kulit digunakan krim kortikosteroid.
Untuk gejala kulit dan artritis kadang digunakan obat anti malaria
(hydroxycloroquine)
Bila gagal, dapat ditambah prednison 2,5-5 mg/hari.
Dosis dapat diberikan secara bertahap tiap 1-2 minggu sesuai
kebutuhan
Jika penderita sangat sensitif terhadap sinar matahari, sebaiknya pada
saat bepergian menggunakan tabir surya, pakaian panjang ataupun
kacamata
Untuk SLE derajat berat;
Penyakit yang berat atau membahayakan jiwa penderitanya (anemia
hemolitik, penyakit jantung atau paru yang meluas, penyakit ginjal,
penyakit sistem saraf pusat) perlu ditangani oleh ahlinya
Pemberian steroid sistemik merupakan pilihan pertama dengan dosis
sesuai kelainan organ sasaran yang terkena.
Untuk mengendalikan berbagai manifestasi dari penyakit yang berat
bisa diberikan obat penekan sistem kekebalan
Beberapa ahli memberikan obat sitotoksik (obat yang menghambat
pertumbuhan sel) pada penderita yang tidak memberikan respon yang
baik terhadap kortikosteroid atau yang tergantung kepada
kortikosteroid dosis tinggi.
Pengobatan Pada Keadaan Khusus
Anemia Hemolitik
Prednison 60-80 mg/hari (1-1,5 mg/kg BB/hari), dapat ditingkatkan
sampai 100-200 mg/hari bila dalam beberapa hari sampai 1 minggu
belum ada perbaikan
Trombositopenia autoimun
Prednison 60-80 mg/hari (1-1,5 mg/kg BB/hari). Bila tidak ada respon
dalam 4 minggu, ditambahkan imunoglobulin intravena (IVIg) dengan
dosis 0,4 mg/kg BB/hari selama 5 hari berturut-turut
Perikarditis Ringan
Obat antiinflamasi non steroid atau anti malaria. Bila tidak efektif
dapat diberikan prednison 20-40 mg/hari
Perkarditis Berat
Diberikan prednison 1 mg/kg BB/hari
Miokarditis
Prednison 1 mg/kg BB/hari dan bila tidak efektif dapat dapat
dikombinasikan dengan siklofosfamid
Efusi Pleura
Prednison 15-40 mg/hari. Bila efusi masif, dilakukan pungsi
pleura/drainase
Lupus Pneunomitis
Prednison 1-1,5 mg/kg BB/hari selama 4-6 minggu
Lupus serebral
Metilprednison 2 mg/kg BB/hari untuk 3-5 hari, bila berhasil
dilanjutkan dengan pemberian oral 5-7 hari lalu diturunkan perlahan.
Dapat diberikan metilprednison pulse dosis selama 3 hari berturut-
turut
2.8. PROGNOSIS
Beberapa tahun terakhir ini prognosis penderita lupus semakin
membaik, banyak penderita yang menunjukkan penyakit yang ringan.
Wanita penderita lupus yang hamil dapat bertahan dengan aman sampai
melahirkan bayi yang normal, tidak ditemukan penyakit ginjal ataupun
jantung yang berat dan penyakitnya dapat dikendalikan.
Angka harapan hidup 10 tahun meningkat sampai 85%.
Prognosis yang paling buruk ditemukan pada penderita yang mengalami
kelainan otak, paru-paru, jantung dan ginjal yang berat.
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE)
SLE adalah suatu penyakit autoimun multisistem dengan manifestasi dan
sifat yang sangat berubah – ubah (Patologi ,Robbin). Sebelum mempelajari
penyakit SLE, sebaiknya kita mempelajari reaksi hipersensitivitas. Pada dasarnya
hipersensitivitas dapat dibagi 4 yaitu hipersensitivitas tipe I , hipersensitivitas tipe
II , hipersensitivitas tipe III dan hipersensitivitas tipe III.
A.Hipersensitivitas tipe I ( alergi dan anafilaksis)
Hipersensitivitas tipe I merupakan respon jaringan yang terjadi secara cepat
( secara khusus hanya dalam bilangan menit) setelah interaksi dengan antibodi IgE
yang sebelumnya berikatan dengan sel mast dan sel basofil pada penjamu yang
tersensitisasi.
Banyak tipe I yang terlokalisasi mempunyai 2 tahap yang dapat ditentukan secara
jelas :
1. Respon awal, ditandai dengan vasodilatasi, kebocoran vaskular, dan spasme
otot polos yang biasanya muncul dalam rentang 5 hingga 30 menit setelah
terpajan oleh suatu alergen dan menghilang setelah 60 menit.
2. Kedua fase lambat , yang muncul 2 hingga 8 jam kemudian dan berlangsung
selama beberapa hari. Ditandai dengan infiltrasi eosinofil serta sel peradangan
akut dan kronis lainnya yang lebih hebat pada jaringan dan juga ditandai dengan
penghancuran jaringan dalam bentuk kerusakan epitel mukosa.
Sel mast ( dari sum – sum tulang) tersebar luas dalam jaringan , menonjol
pada daerah didekat pembuluh darah dan saraf serta dalam
subepitel.Sitoplasmanya mengandung granula dilapisi membran yang mempunyai
berbagai mediator yang aktif secara biologis. Sel mast dapat diaktivasi dengan
adanya IgE ( pertautan silang dan terikat melalui Fc afinitas tinggi), komplemen
C5a dan C3a ( berikatan pada reseptor membran sel mast spesifik) , rangsang fisik
(panas, dingin,sinar matahari ) ,obat – obatan ( kodein , morfin ,dll...), dan
sitokin tertentu dari makrofag.
Pada reaksi hipersensitivitas tipe I ada dua jenis mediator yang dilepaskan
yaitu mediator primer dan mediator sekunder. Mediator primer terdiri dari
histamin, adenolin,heparin, faktor kemotaksis untuk neutrofil dan eosinofil, dan
protease normal. Histamin akan meningkatkan permeabilitas vaskular,
vasodilatasi,bronkokonstriksi.
dan meningkatnya sekresi mukus. Adrenalin akan menyebabkan bronkokonstriksi
dan mnghambat agregasi trombosit dan protease normal akan memproduksi kinin
dan memecah komplemen yang berfungsi sebagai faktor kemotaksis dan
inflamasi.
Mediator sekunder tediri atas lipid dan sitokin. Mediator lipid berasal dari
aktifasi fosfolipase A2 yang memecah fosfolipid dari membran sel mast menjadi
asam arakhidonat dan selanjutnya akan dipecah menjadi leukotrin dan
prostaglandin.Mediator sekunder adalah leukotrin, prostaglandin , faktor
pengaktivasi trombosit dan sitokin dari sel mast ( TNF,IL-1,IL-4,dll...).
Ringkasan kerja mediator sel mast pada hipersentisivitas tipe I
Kerja Mediator
Infiltrasi sel Sitokin ( misalnya TNF)
Leukotrin B4
Faktor kemotaksis eosinofil pada anafilaksis
Faktor kemotaksis neutrofil pada anafilaksis
Faktor pengaktivasi trombosit
Vasoaktif ( vasodilatasi, Histamin
↑ pemeabilitas
vaskular)
Faktor pengaktivasi trombosit
Leukotrin C4,D4,E4
Protease netral yang mengaktivasi komplemen dan
kinin
Prostaglandin D2
Spasme otot polos Leukotrin C4,D4,E4
Histamin
prostaglandin
Faktor pengaktivasi trombosit
Manifestasi klinis à sistemik dan lokal.
- gatal
- urtikaria
- eritema kulit
- kesulitan bernafas ( bronkokonstriksi dan hipersekresi mukus)
- edema laring
- vomitus
- kaku perut
- diare
- syok anafilaktik
MORE INFO : Ada hubungan dengan gen sitokin pada kromosom 5q yang
mengatur keluarnya IgE dalam sirkulasi.
B. Hipersensitivitas tipe II ( bergantung pada antibodi )
Diperantarai oleh antibodi yang diarahkan untuk melawan antigen target
pada permukaan sel atau komponen jaringan lain. Hipersensitivitas ada 3 proses
yaitu
tergantung komplemen, ADCC,disfungsi sel yang diperantarai antibodi.
A.tergantung komplemen
à antigen – antibodi à aktivasi komplemen àlisis oleh kompleks penyerang
membran (lisis langsung)
à antigen – antibodi àmakrofag (fagositosis)
(opsonisasi) à tambah komplemen à makrofag ( fagositosis)
B. ADCC, sitotoksisitas selular bergantung antibodi
-Pada sel yang membawa reseptor untuk bagian Fc IgG
- diperantarai oleh leukosit termasuk neutrofil ,eosinofil,makrofag dan sel NK
(natural killer)
C. Disfungsi sel yang diperantarai antibodi
Seperti pada myastenia gravis , dimana antibodi menduduki reseptor
asetilkolin.
C Hipersensitivitas tipe III ( diperantarai kompleks imun)
Diperantarai oleh pengendapan komleks antigen – antibodi (imun), diikuti
dengan aktivasi komplemen dan akumulasi leukosit polimorfonuklear. Tempat
pengendapan biasanya ginjal,sendi, kulit,jantung,permukaan serosa dan pembuluh
darah kecil.
Faktor yang mempengaruhi apakah dan dimana kompleks imun mengendap
1.muatan kompleks (anion/ kation)
2.ukuran kompleks imun
3.Status sistem fagosit mononuklear à normalnya menyaring keluar kompleks
imun , makrofag >> / disfungsional menyebabkan bertahannya kompleks
imundalam sirkulasi, dan meningkatkan kemungkinan pengendapan jaringan.
4.valensi antigen
5. aviditas antibodi
6.afinitas antigen terhadap berbagai jaringan
7. hemodinamika
8.arsitektur dimensi kompleks tersebut.
D.Hipersensitivitas tipe IV (selular )
Diperantarai oleh sel T tersensitisasi secara khusus bukan antibodi dan dibagi
lebih lanjut menjadi 2 tipe dasar :
1.hipersensitivitas tipe lambat diinisiasi oleh CD4+ ( DTH, Delayed type of
hipersensitivity).
Antigen – antibodi akan berikatan dengan sel Th1 MHC I à aktivasi komplemen
à melepaskan sitokin, MAF,MIFdll...--> aktivasi makrofag à makrofag akan
melepaskan enzim dan O2 teroksidasi dll...
2.sitotoksisitas sel langsung diperantarai oleh sel T CD8+ ( A cell mediated
immune )
antigen luar – antibodi ( dibantu oleh IL-1) akan berikatan dengan sel Th1
MHC II
yang akan mengeluarkan IL2,IFN – γ,MAF,MIF. IL2 dan IFN – γ akan
mengaktifkan limfosit T.
Tabel perbandingan rekasi hipersensitivitas
karakteristik I II III IV
antibodi IgE IgG/IgM IgG/IgM Tidak ada
antigen eksogen Permukaan sel larut Jaringan, organ
Respon imun 15-30 menit Menit - jam 3-10 jam 48-72 jam
tampilan Weal dan flare
/kemerahan
Lisis dan nekrosis Eritema dan odem Eritema
Yang mengaktifkan Basofil dan eosinofil Ab dan komplemen Komplemen dan
neutrofil
Monosit dan limfosit
Ditransfer dengan Ab Ab Ab Sel T
contoh Asma Transfusi SLE Tes tuberkulin
Hay fever Eritroblastosis fetalis
SLE merupakan penyakit autoimun , maka akan dibahas mekanisme autoimun
sebelum menjelaskan SLE.Autoimunitas menunjukan hilangnya toleransi diri.
Toleransi imunologi adalah suatu keadaan saat seseorang tidak mampu
mengembangkan suatu respon imun melawan suatu antigen yang
spesifik.Toleransi diri secara khusus menunjukkan kurangnya responsivitas imun
terhadap antigen jaringannya sendiri.
Mekanisme penyakit autoimun
- kegagalan toleransi
kegagalan kematian sel yang diinduksi oleh aktivasi.
- gangguan anergi sel T
- pemintasan kebutuhan sel B untuk bantuan sel T
*mengubah epitop sel T dari suatu antigen sendiri
- kegagalan supresi yang diperantarai sel T
- mimikri molekular
beberapa agen infeksius memberikan epitop kepada antigen diri dan respon
imun
yang melawan mikrobatersebut akan menghasilkan respon yang serupa terhadap
antigen diri yang beraksi silang
- aktivasi limfosit poliklonal
autoimunitas dapat terjadi jika klon yang self reaktif terhadap anergik tidak
diaktifkan oleh mekanisme yang tidak tergantung antigen. Contoh superantigen
yang merangsang sel T CD4+ sehingga bertambah banyak tetapi tidak terdapat
antigen maka terjadi penimbunan sel T CD4+ ( autoimun).
- pelepasan antigen terasing
ada antigen yang biasanya disimpan / diasingkan di dalam suatu organ.Pada saat
organ tersebut dibuang maka terjadilah pelepasan antigen.
- pajanan epitop sendiri yang tersembunyi dan penyebaran epitop
sejumlah besar determinan sendiri tidak diproses sehingga tidak dikenali oleh
sistem imun jadi sel T semacam itu dapat menyebabkan penyakit autoimun jika
epitop tersebut kemudian disajikan dalam bentuk suatu imunogenik.
Setelah dijelaskan diatas mekanisme autoimun maka sekarang kita akan
membahas SLE lebih dalam.
SLE adalah penyakit kronik , gangguan autoimun inflamasi yang dapat
mempengaruhi kulit,sendi,ginjal, dan organ – organ lain.( sumber : Medline,
www.nlm.nih.gov/ lupus).
Etiologi
- autoimun ( kegagalan toleransi diri)
- cahaya matahari ( UV)
- stress
- agen infeksius seperti virus, bakteri ( virus Epstein Barr,
Streptokokus,klebsiella)
- obat – obatan : Procainamid,Hidralazin,antipsykotik,Chlorpromazine,Isoniazid
- zat kimia : merkuri dan silikon
- perubahan hormon
Sign dan symptom
- fatigue
biasanya merupakan respon terhadap steroid. Penggunaan anti malaria,dan
untuk latihan.
- perubahan berat badan
SLE biasanya dapat menyebabkan kehilangan berat badan dan kenaikan berat
badan.
Kehilangan berat badan / weight loss akibat :
* kekurangan nafsu makan (IL1)
* efek samping obat
* penyakit gastrointestinal
* kehilangan banyak cairan akibat obat – obatan antidiuretik
Kenaikan berat badan akibat :
* retensi air dan garam yang berhubungan dengan penyakit ginjal
* meningkatnya nafsu makan dengan adanya penggunaan steroid.
- Demam
paling sering pada pasien SLE.
Dapat disebabkan oleh :
* Demam yang berulangkali dapat disebabkan SLE yang aktif / infeksi
* Demam berkepanjangan dapat disebabkan oleh keterlibatan CNS atau efek
samping dari obat.
Demam untuk mengobati aktif SLE biasanya menggunakan NSAIDS/
Acetaminophen.
Demam untuk infeksi ( malaria) menggunakan antimalaria.
Steroid sangat efektif tetapi jarang digunakan untuk demam.
- Arthitis
Limfosit B sinovial à produksi IgG abnormal à produksi faktor rheumatoid à
pembentukan kompleks imun pada sinovial dan atau kartilago à aktivasi
komplemen jalur klasik dan alternatif à respon inflamasi à arthitis.
- ruam dan hipersensitivitas terhadap cahaya ( photosensitivity)
cahaya matahari memiliki sinar ultraviolet (UV), sinar UV merusak sel dari kulit
(keratinosit) dan menyebabkan sel menjadi mati.Pada orang sehat tanpa lupus , sel
yang mati ini akan dibuang dengan cepat dan inflamasi yang diinduksi oleh
matahari akan menginduksi kerusakan kulit dengan cepat (sun burn), dimana pada
pasien lupus , sel kulit lebih sensitif terhadap sunburn dan dengan adanya
peningkatan kejadian yang menyebabkan kematian sel (apoptosis) yang tidak
dibersihkan secara efisien akibatnya isi dari sel yang mati dapat dilepaskan dan
menyebabkan inflamasi.Selain itu sel tersebut memiliki DNA dan molekul-
molekul termasuk Ro yang secara normal tidak terpapar pada sel imun sehingga
menyebabkan reaksi imun.Akibatnya orang yang menderita lupus akan
mengalami ruam photosensitivity.
- Fenomena Raynaud
adalah kondisi yang menurunkan kecepatan aliran darah ke ekstremitas pada
respon terpapar dingin, stress, merokok,dan kafein. Fenomena Raynaud
merupakan problem yang sering pada SLE dan mendahului tampilan
penyakit.Akibatnya jari tangan dan kaki menjadi pucat, biru atau merah.
Fenomena Raynaud dapat terbagi 2 yaitu Fenomena Raynaud primer yang tidak
terkait dengan penyakit lain dan Fenomena Raynaud sekunder yang terkait dengan
penyakit lain.
-Alopecia ( kebotakan)
Ada berbagai macam alopecia tetapi yang berkaitan dengan kondisi autoimun
seperti Lupus dan alergi adalah Alopecia areata. Alopecia areata adalah suatu
penyakit autoimun (sistem imun yang menyerang folikel rambut) dimana folikel
menjadi sangat kecil, produksi rambut lambat dan kehilangan rambut untuk
berbulan-bulan atau bertahun – tahun.Folikel biasanya kembali normal dan
rambut akan tumbuh dalam satu tahun.Selain itu, pengobatan terhadap arthitis
juga dapat menimbulkan kerontokan rambut.Contoh obat- obatan tersebut adalah
methotrexat(Rheumatrex), arava/ leflunomide,plaquenil
(hidroksikloroquin),NSAIDs.Kerontokan rambut pada penyakit arthitis biasanya
sekunder ( telogen effluvium), dimana akar rambut didorong secara prematur pada
resting state(telogen).
-Ginjal
agregat kompleks imun akan disaring di ginjal dan mengendap di membran basal
glomerulus.Kompleks lainnya mungki mengaktifkan komplemen dan menarik
granulosit dan menimbulkan reaksi inflamasi sebagai glomerulonefritis.Kerusakan
ginjal menimbulkan proteinuri dan kadang- kadang pendarahan.Derajat gejala
penyakit dapat berubah – ubah sesuai dengan kadar kompleks imun.Kelainan
ginjal juga dapat menyebabkan kulit gatal,sakit/nyeri dada,susah berpikir,mual
dan muntah.
-GI tract, saluran pencernaan
karena penggunaan steroid dan NSAIDs.
-pulmo, paru- paru
1.pleuritis
nyeri dada yang diperburuk dengan menarik nafas dalam.Pleuritis dapat berasal
dari inflamasi saluran pada pernafasan dan didalam dada.
2. nafas pendek
Penumpukan cairan pada ruang di paru – paru (efusi pleura) dapat turut campur
tangan dengan pengembangan paru – paru.Inflamasi dari kantung udara
( pneumonitis) atau disfungsi dan luka pada jaringan penyokong antara kantung
udara ( penyakit paru – paru intersial) dapat menyebabkan kesulitan
bernafas.Hipertensi pulmonary dapat juga menyebabkan nafas pendek yang
biasanya terjadi pada saat pendesakan.
-Kardiovaskular
1.sakit / nyeri dada selama latihan
Selain ini juga penyakit arteri koroner dapat menyebabkan angina
pectoris.Penyakit nyeri dada tiba – tiba atau tekanan yang tidak terjadi dlam
beberapa menit bisa mengindentifikasikan serangan jantung (miokardiac infark)
2.nyeri dada akibat inflamasi sekeliling jantung (pericarditis)
3.nafas pendek akibat penyakit pada katup jantung
kerusakan atau penyempitan katup jantung dapat terjadi akibat kerusakan lapisan
ruang jantung dan permukaan katup halus(endokardium).Kondisi dikenal dengan
endokarditis verrucous (Libman- sacks endocarditis).
-sistem saraf
cemas, depresi,bingung,kehilangan ingatan, halusinasi,kejang ,lemah, dan
matirasa merupakan akibat SLE pada CNS (Central Nervous Sistem). Lemah dan
matirasa disebabkan karena rusaknya satu atau lebih saraf pada tangan atau kaki
dan juga karena problem di CNS (sum- sum tulang dan otak).Akibat SLE yang
paling sering adalah kesulitan untuk konsentrasi dan berpikir jernih.
4.Mata
Gejala paling sering adalah mata kering dengan perasaan seperti berpasir, tidak
adanya air mata atau penurunan air mata (Keratoconjuctivitis sicca). Jarang terjadi
à inflamasi pembuluh darah di retina à kerusakan penglihatan. Scleritis juga
bisa terjadi pada pasien lupus, dimana scleritis adalah inflamasi pada bagian putih
mata.
5.Darah
Jumlah darah menurun terjadi anemia, leukopenia, trombositopenia.Anemia
menyebabkan nafas pendek dan fatigue.Leukopenia menyebabkan mudah terkena
infeksi.Trombositopenia menyebabkan mudah memar dan pendarahan.
Pemeriksaan penunjang pada SLE
-CBC (Complete Blood Cell Count)
mengukur jumlah sel darah, maka terdapat anema, leukopenia,trombositopenia.
-ESR(Erithrocyte Sedimen Rate), laju endap darah
pada lupus akan ESR akan lebih cepat daripada normal.
-fungsi hati dan ginjal (biopsi)
-urinalysis
pengukuran urin à kadar protein dan sel darah merah
- X-ray dada
-ECG(Echocardiogram)
-test Syphilis
false positif bila indikasi antibodi antifosfolipid.
-ANA (antibodi antinuklear)
Pola fluroresensi nukleus menunjukkan jenis antibodi yang terdapat dalam serum
pasien dan dikenal dengan adanya 4 pola dasar:
* persamaan homogen atau difus biasanya mencerminkan antibodi terhadap
kromatin, histon, dan DNA rantai ganda.
* pola perwarnaan melingkar atau perifer paling sering menunjukkan adanya
antibodi terhadap DNA untai ganda
* pola bercak adalah pola yang paling umum dan menunjukkan adanya bercak
yang berukuran seragam atau berbeda – beda.Pola ini menggambarkan adanya
antibodi terhadap unsur nukleus non DNA à antigen sm,RNP(ribonukleiprotein)
serta antigen SSA dan SSb.
*Pola nukleolar menggambarkan adanya sedikit bintik- bintik fluroresensi yang
terputus – putus didalam nukleus yang memperlihatkan antibodi.Paling sering
pada sklerosis sistemik.
Uji imunofluroresensi ANA pada setiap pasien SLE + sehingga uji tersebut sangat
sensitif.
- serum globulin elektroforesis
-faktor rheumatoid
-urin protein
-serum protein elektroforesis
-mononukleosis spot test à heterophil antibody test
-Cryoglobulin
-test Coomb
-C3
-antitiroid microsomal body
-antithyroglobulin antibody
-antimitokondrial antibody
-antismooth muscle antibody
-test pitalupus
temuan spesifik pada lupus, menunjukkan adanya pita igG yang khas dan atau
difusi igM pada persambungan pita igG dermo-epidermis pada kulit yang ada dan
yang tidak.(www.nlm.nih.gov/medline)
Penatalaksanaan dan pencegahan (efek samping)
-NSAIDs à menurunkan inflamasi dan sakit pada otot , sendi, dan jaringan lain.
Contoh aspirin,ibuprofen,baproxen dan sulindac.
Efek samping : gangguan perut, ulser,sakit perut,, ulcer bleeding.
Untuk mengurangi efek samping sebaiknya dimakan sesudah makan atau
mencampur obat untuk mencegah ulcer seperti misoprostol yang diberikan
bersama – sama.
-Kortikosteroidà lebih poten untuk menurunkan inflamasi dan memperbaiki
fungsi
penggunaan bisa oral, injeksi ke sendi dan intravena. Contoh : prednison.
Efek samping : meningkatkan berat badan , penipisan kulit dan tulang,
infeksi,diabetes,katarak,nekrosis sendi,wajah bengkak (moon face).
Kelaparan dapat dikontrol dengan banyak minum , antasida, histamin H2
bloker(cimetiden, ranitidin) dan inhibitor pompa proton(omeperazol).
-Hidroksikloroquin(plaquenil)
obat antimalaria , efektif untuk SLE dengan penyakit fatique, kulit dan sendi.Baik
untk mengurangi ruam tapi meningkatkan penipisan pembuluh darah.
Contoh lain obat malaria : Kloroquin
Efek samping: diare, gangguan perut, dan pigmen mata berubah( harus dipantau
oleh ahli mata)
-imunosupresif
seperti methotrexat(rheumatrex),azathioprine(imuran),cyclophosphanid(cytoxan),
cholrambucil, dan cyclosporin.
Efek samping: menurunkan hasil CBC, meningkatkan infeksi dan meningkatkan
pendarahan. Rheumatrexà toksisitas hati
- untuk penyakit ginjal yang berhubungan dengan SLE à mycophenolate
mofetil.
-plasmapheresisà pembuangan antibodi dan substansi imun lain unutk
menurunkan respon imun. Plasmapheresis juga dapat membuang cryoglobulin.
- transplantasi ginjal
-rituximab(rituxan)à i.v antibodi untuk menekan sel darah putih , sel B dan
menurunkan sirkulasinya
-omega 3- minyak ikan à menurunkan aktivitas penyakit dan resiko penyait
jantung.
-vitamin D à karena pasien lupus tidak bisa terpapar matahari (400-800 unit/hari)
-kalsium à ibu hamil dan menopause
- pola makan
- latihan
-imunisasi à influenza, pneumococcal,rubella,varicella,polio dll..
pencegahan
- tidak merokok
- tidak terpapar bahan kimia
- imunisasi
- menyadari symptom awal dan komunikasi dengan dokter dll...
prognosis dan rehabilitasi
prognosis
SLE ada dua yaitu mild dan yang merusak fungsi organ tubuh.
Pasien yang tidak bereaksi dengan terapi standar akan cepat menyebabkan
kegagalan organ dan meninggal.Banyak pasien dalam keadaan remisi dengan
sedikt atau tidak ada masalah problem dan relaps, ketika inflamasi aktif dan
menyebabkan kemerahan(ruam).Keselamatan dari SLE meningkat dari 40% tahun
1950 an jadi 90% dalam 10 tahun.Ini disebabkan diagnostik dini, pengobatan
lebih awal, meningkatkan terapi.Banyak pasien remisi dan tidak memerlukan
pengobatan.Pada suatu studi 667 pasien, diperkirakan 25% mencapai remisi
terakhir pada tahun terakhir.Remisi juga terlihat pada orang yang mengalami
penyakit ginjal parah.Orang hamil juga bisa melahirkan bayi normal jika tidak ada
penyakit ginjal parah dan penyakit jantung.
Rehabilitasi
-terapi fisik untuk menurunkan rasa sakit, kejang, inflamasi, dan meningkatkan
pergerakan sendi.
-latihan aerob
-latihan isometrik
-latihan isotonik
-latihan kekuatan
-es à kompres
-latihan pernafasan
-terapi bekerja
-terapi bicara
-terapi rekreasi
referensi
www.nlm.nih.com
Ilmu Penyakit Dalam UI
Basic Pathology Robbins
dan berbagai sumber lainnya.
PENDAHULUANSystemic lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit multisistem yang disebabkan oleh kerusakan jaringan akibat deposisi immune complex . Terdapat spektrum manifestasi klinis yang luas dengan remisi dan eksaserbasi. Respons imun patogenik mungkin berasal dari pencetus lingkungan serta adanya gen tertentu yang rentan.
Dari berbagai penelitian epidemiologik terlihat bahwa angka kejadian penyakit ini semakin meningkat dengan nyata, sebagian mungkin karena bertambah baiknya pemahaman dokter mengenai cara-cara mengdiagnosis SLE. Meskipun harapan hidup penderita SLE di negara-negara barat semakin baik, tetapi di negara berkembang termasuk Indonesia, ternyata masih belum memuaskan
Patogenesis SLE sampai sekarang belum dipahami secara tuntas, meski jelas hal ini berhubungan dengan hilngnya toleransi diri (self tolerance), yang mengakibatkan terbentuknya autoantibody dan selanjutnya menyebabkan kerusakan jaringan. Lebih jauh lagi diketahui bahwa kerusakan jaringan itu tidak hanya diperantai oleh immune complex, tetapi juga oleh sel T, sitokin, kemokin serta molekul radikal oxygen teraktivasi dan produk-produk dari aktivasi komplemen.
Penatalaksanaan SLE tetap merupakan masalah karena sampai saat ini belum ada penamganan yang menghasilkan penyembuhan secara total, dapat terjadi eksaserbasi setelah masa stabil beberapa bulan dan juga efek samping pengobatan.
KLASIFIKASI
SLE adalah salah satu dari beberapa jenis lupus (tabel 1). Jenis lain adalah lupus kutaneus (dikoid) kronik, lupus karena obat, lupus kutaneus subakut, dan lupus neonatal. Penderita dengan gambaran seperti lupus, tetapi tidak memenuhikriteria biasanya didiagnosa sebagaai undiferentiented connective tissue disease (UCTD).
Tabel 1. tipe lupus Erytematous (koopman, 2000)
1. Systemik lupus erytematous (SLE)
2. Chronik cutaneus (discoid) lupus (CLE)
3. Subacute cutaneus lupus erytematous (SCLE)
4. Drug-induced lupus erytematous (DILE)
5. Neonatal lupus erytematous
Terdapat 14 kriteria untuk SLE,diagnosa dapat ditegakkan jika mempunyai 4 kriteria atau lebih.Pada tahun 1982, kriteria ini di revisi menjadi hanya 11 item. Tahun 1997 kriteria ini juga mengalami revisi pada kriteria yang ke-10 yaitu adanya sel LE tidak lagi digunakan sebagai salah satu kriteria.
Kriteria SLE dari ARA, tahun 1997:
1. 1. Malar rash.2. 2. Discoid rashi. 3. Fotosensitivitas4. Ulkus oral5. Arthritis .6. Serositis.7. Gangguan Renal .8. Kelainan neorologis.9. Kelainan hematologis.10. Kelainan imunologis.11. Antibodi antinuclear .
Penderita dikatakan mempunyai SLE jika terdapat minimal 4 kriteria terpenuhi, baik secara bersamaan ataupun simultan, selama observasi.
PATOGENESIS
Terjadinya SLE dimulai dengan interaksi antara gen yang rentan serta faktor lingkungan yang menyebabkan terjadinyaa respons imun yang abnormal. Respon tersebut terdiri dari pertolongan sel T hiperaktif pada sel B yang hiperaktif pula, dengan aktivasi poliklonal stimulasi aantigenik spesifik padaa kedua sel tersebut. Pada penderita SLE mekanisme yang menekan respon hiperaktif seperti itu, mengalami gangguan. Hasil dari respon imun abnormal tersebut adalah produksi autoantibody dan pembentukan immune complex. Subset patogen autoantibody dan deposit immune complex dijaringan serta kerusakan awal yang ditimbulkannya merupakan karakteristik SLE.
Antigen dari luar yang akan di proses makrofag akan menyebabkan berbagai keadaan seperti : apoptosis,aktivasi atau kematian sel tubuh,sedangkan beberapa antigen tubuh tidak dikenal(self antigan) contoh: nucleosomes,U1RP,Ro/SS-A.Antigen tersebut diproses seperti umumnya antigen lain oleh makrofag dan sel B.Peptida ini akan menstimulasi sel T dan akan diikat sel B pada receptornya sehingga menghasilkan suatu antibody yang merugikan tubuh.Antibody yang dibentuk peptida ini dan antibody yang terbentuk oleh antigen external akan merusak target organ (glomerulus,sel endotel,trombosit).Disisi lain antibody juga berikatan dengan antigennya sehingga terbentuk immune complex yang merusak berbagai organ bila mengendap.
Perubahan abnormal dalam system imun tersebut dapat mempresentasikan protein RNA,DNA dan phospolipid dalam system imun tubuh.Beberapa autoantibody dapat meliputi trombosit dan eritrosit karena antibody tersebut dapat berikatan dengan glycoprotein II dan III di dinding trombosit dan eritrosit.Pada sisi lain antibody dapat bereaksi dengan antigen cytoplasmic trombosit dan eritrosit yang menyebabkan proses apoptosis.
Peningkatan immune complex sering ditemukan pada SLE dan ini menyebabkan kerusakan jaringan bila mengendap.Immune complex juga berkaitan dengan complemen yang akhirnya menimbulkan hemolisis karena ikatannya pada receptor C3b pada eritrosit.
Kerusakan pada endotel pembuluh darah terjadi akibat deposit immune complex yang melibatkan berbagai aktivasi complemen ,PMN dan berbagai mediator inflamasi.
Keadaan-keadaan yang terjadi pada cytokine pada penderita SLE adalah ketidakseimbangan jumlah dari jenis-jenis cytokine.Keadaan ini dapat meningkatkan aktivasi sel B untuk membentuk antibody.
Berbagai keadaaan pada sel T dan sel B yang terjadi pada SLE :
Sel T :
-Lymphopenia
-Penurunan sel T suppressor
-Peningkatan sel T helper
-Penurunan memory dan CD4
-Penurunan aktivasi sel T suppressor
-Peningkatan aktivasi sel T helper
Sel B :
-Aktivasi sel B
-Peningkatan respon terhadap cytokine.
Bagian terpenting dari patogenesis ini ialah terganggunya mekanisme regulasi yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas.
GEJALA KLINIS
Onset penyakit dapat spontan atau didahului factor presipitasi seperti kontak dengan sinar matahari,infeksi,obat,penghentian kehamilan,trauma fisik/psikis.Setiap serangan biasanya didahului gejala umum seperti demam,malise,kelemahan,anorexia,berat badan menurun,iritabilitas.Demam ialah manifestasi yang paling menonjol kadang-kadang dengan menggigil.
Manifestasi kulit berupa butterfly appearance.Manifestasi kulit yang lain berupa lesi discoid,erythema palmaris,periungual erythema,alopecia.Mucous membran lession cenderung muncul pada periode exacerbasi.pada 20% penderita juga didapatkan fenomena Raynaud.
Manifestasi gastrointestinal berupa nausea,diare,GIT discomfort.Gejala menghilang dengan cepat bila manifestasi sistemiknya diobait dengan adekuat.Nyeri GIT mungkin disebabkan peritonitis sterildan arteritis pembuluh darah kecil mesenterium dan usus yang mengakibatkan ulserasi usus.Arteritis juga dapat menimbulkan pancreatitis.
Manifestasi muskuloskeletal berupa athralgia,myalgia,myopathi.
Joint symptoms dengan atau tanpa aktif sinovitis ada pada 90% penderita.Atritis cenderung menjadi deformasi,dan gambaran ini hampir selalu tidak didapatkan pada pemeriksaan radiografi.
Manifestasi ocular ,termasuk conjungtivitis,fotofobia,transient atau permanent monooculr blindness dan pandangan kabur.Pada pemeriksaan fundus dapat juga ditemukan cotton-wool spots pada retina(cytoid bodies).
Pleurisi , pleural effusion , bronchopneumonia , pneumonitis sering dijumpai.Pleural effusion unilateral ringan lebih sering dijumpai daripada bilateral.Mungkin didapatkan sel LE pada cairan pleura.Pleural effusion menghilang dengan terapi yang adekuat.Restriktif pulmonary disease juga mungkin dijumpai.
Manifestasi di jantung dapat berupa cardiac failure akibat dari micarditis dan hipertensi.Cardiac aritmia juga sering dijumpai.Valvular incompetence yang sering dijumpai adalah mitral regurgitasi.
Vasculitis pada percabangan mesenterica sering muncul dan dihubungkan dengan polyarteritis nodusa ,termasuk ditemukan adanya aneurysma pada percabangannya.Abdominal pain (setelah makan),illeus,peritonitis,perforasi dapat terjadi.
Komplikasi neurologis bermanifestasi sebagai perifer dan central berupa psikosis,epilepsi,sindroma otak organik ,periferal dan cranial neuropathies,transverse myelitis,stroke.Depresi dan psikosis dapat juga akibat induksi dari obat kortikosteroid.Perbedaan antara keduanya dapat diketahui dengan menurunkan atau menaikan dosis steroid.Psikosis lupus membaik bila dosis steroid dinaikan,dan pada psikosis steroid membaik bila dosisnya diturunkan.
Komplikasi renal berupa glomerulonefritis dan gagal ginjal kronik.Manifestasi yang paling sering berupa proteinuria.Histopatologi lesi renal bervariasi mulai glomerulonefritis fokal sampai glomerulonfritis membranoploriferatif difus.Keterlibatan renal pada SLE mungkin ringan dan asimtomatik sampai progresif dan mematikan.Karena kasus yang ringan semakin sering dideteksi ,insidens yang bermakna semakin menurun.Ada 2 macam kelainan patologis pada renal berupa nefritis lupus difus dan nefritis lupus membranosa.Nefritis lupus difus merupakan manifestasi terberat.Klinis berupa sebagai sindroma nefrotik,hipertensi,gagal ginjal kronik.
Adenopathi menyeluruh dapat ditemukan,terutama pada anak-anak,dewassa muda,dan kulit hitam.Splenomegali terjadi pada 10% penderita.Secara histologis lien menunjukan fibrosis periarterial(onion skin lesion).
Hepatomegali mungkin juga dapat ditemukan ,tetapi jarang disertai icterus.
Kelenjar parotis dapat membesar pada 6% kasus SLE.
Pada Drug Induce Lupus Erythematosus kelainan pada ginjal dan SSP jarang ditemukan.Anti Ds-DNA,hipocomplementemia serta complex immune juga jarang ditemukan.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan :
1.Hematologi
Ditemukan anemia,leukopenia,trombocytopenia.
2.Kelainan imunologi
Ditemukan ANA,Anti-Ds-DNA,rheumatoid factor,STS false positive,dan lain-lain.
ANA sensitive tapi tidak spesifik untuk SLE.Antibody double-stranded DNA(Anti-Ds DNA) dan anti-Sm spesifik tapi tidak sensitive.Depresi pada serum complement(didapatkan pada fase aktif)dapat berubah menjadi normal pada remisi.Anti-Ds DNA juga berhubungan dengan aktivitas daripada perjalanan penyakit SLE ,tetapi anti-Sm tidak.
Suatu varietas antibody antinuclear lain dan juga anticytoplasmic (Ro,La,Sm,RNP,Jo-1)berguna secara diagnostik pada penyakit jaringan ikat dan kadang ditemukan pada SLE dengan negatif ANA.
Serologi Tes Siphillis false positive dapat ditemukan 5-10% penderita.Mereka disertai antikoagulan lupus,yang manifestasi sebagai perpanjangan Partial Thrombiplastin(PTT).
Kadar complemen serum menurun pada fase aktif dan paling rendah kadarnya pada SLE dengan nefritis aktif.
Urinalisis dapat normal walaupun telah terjadi proses pada ginjal.Untuk menilai perjalanan SLE pada ginjal dilakukan biopsy ginjal dengan ulangan biopsy tiap 4-6 bulan.Adanya silinder eritrosit dan silinder granuler menandakan adanya nefritis yang aktif.
Berikut tabel dibawah, jenis autoantibody yang berperan dalam SLE dan prevalensinya.
Autoantibody pada penderita SLE.
Incidence %
Antigen detected
Clinical importance
Antinuclear antibodies
98 Multiple nuclear
Substrat sel manusia lebih sensitive dari murine. Pemeriksaan negatif yang berturut-turut menyingkirkan SLE.
Anti-DNA 70 DNA(ds) Spesifik untuk SLE;Anti-ssDNA tidak.Titer yang tinggi berkorelasi
dengan nephritis dan tingkat aktivitas SLE.
Anti-Sm 30 Protein complexed to 6 species or small nuclear RNA
Spesifik untuk SLE.
Anti-RNP 40 Protein complexed to U1RNA
Titer tinggi pada sindrom dengan manifestasi polimyositis,scleroderma,lupus dan mixed connective tissue disease.Jika + tanpa anti-DNA,resiko untuk nephritis rendah.
Anti-Ro(SS-A) 30 Protein complexed to y1-y5 RNA.
Berhubungan dengan Sjorgen’s Syndrome,subacute cutaneus lupus,inherited C’ deficiencies,ANA-negative lupus,lupus in eldery,neonatal lupus,congenital heart block.Dapat menyebabkan nephritis.
Anti-La(SS-B) 10 Phosphoprotein
Selalu berhubungan dengan anti-Ro.Resiko nephritis rendah bila +.Berhubungan dengan Sjorgen’s Synd.
Antihistone 70 Histones Lebih banyak pada drug induced lupus(95%) daripada spontaneous lupus.
Antiphospholipid
50 Phospholipid 3 tipe- lupus anticoagulan(LA),anticardiolipin(aCL),dan false-positive test for syphilis(BFP).LA dan aCL berhubungan dengan clotting,fetal loss,thrombocytopenia,valvular heart disease.Antibodi pada β2-glycoprotein I bagian dari grup ini.
Antierythrocyte 60 Erythrocyte Jumlah sedikit dari antibody ini dapat mrnnyebabkan hemolisis.
Antiplatelet 30 Platelet surface + cytoplasma
Berhubungan dengan thrombocytopenia pada 15% penderita.
Antilymphocyte 70 Lymphocyte surface
Kemungkinan berhubungan dengan leukopenia dan abnormal fungsi sel T.
Antiribosomal 20 Ribosomal P protein
Berhubungan dengan psikosis atau depresi dengan CNS SLE.
ANA Anti-Native DNA
Rheumatoid Factor
Anti-Sm
Ani-SS-A
Anti-SS-B
Anti SCL-70
Anti Centromere
Anti-Jo-1
Rheumatoid Arthritis 30-60 0-5 72-85 0 0-5 0-2 0 0 0
SLE 95-10060 20 10-25 15-20 5-20 0 0 0
Sjorgen Syndrome 95 0 75 0 60-70 60-70 0 0 0
Diffuse scleroderma 80-95 0 25-33 0 0 0 33 1 0
Limited scleroderma(CREST syndrome)
80-95 0 33 0 0 0 20 50 0
Polymiositis 80-95 0 33 0 0 0 0 0 20-30
Wegener’s granulomatosis
0-15 0 50 0 0 0 0 0 0
ANA = Antinuclear antibody , ANCA = Anticytoplasmic antibody
Semua angka diatas menunjukan frekwansi dalam %.
Frekwensi pemeriksaan abnormal yang didapatkan pada pemeriksaan laboratorium pad SLE.
Anemia 60%
Leukopenia 45%
Trombocytopenia 30%
False test for syphilis 25%
Lupus anticoagulant 7%
Anti-cardiolipin antibody 25%
Direct coomb test positive 30%
Proteinuria 30%
Hematuria 30%
Hypocomplementemia 60%
ANA 95-100%
Anti-native DNA 50%
Anti-Sm 20%
___________________________________________________________
Beberapa obat dapat menyebabkan ANA tes positf dan kadang-kadang sindroma mirip lupus.Gejala menghilang jika obat dihentikan segera.
Obat-obat yang dapat memicu timbulnya SLE terhadap orang dengan predisposisi genetic.
Definite ascociation
Chlorpromazine Methyldopa
Hydralazine Procainamide
Isoniazid Quinidine
Possible ascociation
Beta-blocker Methimazole
Captopril Nitrofurantion
Carbamazepine Penicillinamine
Cimetidine Phenitoin
Ethosuximide Propylthiouracil
Hydrazine Sulfasalazine
Levodopa Sulfonamide
Lithium Trimethadione
Unlikely ascociation
Allopurinol Penicillin
Chlortalidone Phenylbutazone
Gold salt Reserpine
Griseofulvin Streptomycin
Methysergide Tetracycline
Oral contraceptive
__________________________________________________________
DIAGNOSIS
Diagnosis SLE harus dipikirkan pada :
1.Wanita muda
2Didapatkan lesi pada area yang terekspose matahari
3.Manifestasi sendi
4.Depresi dari hemoglobin,sel darah putih,sel darah merah,trombosit
5.Tes serologi ynag positif(ANA,anti-native DNA,serum complemen yang rendah).
Diagnosis pasti dapat ditegakan bila 4 atau lebih dari 11 kriteria ARA terpenuhi.
Kriteria SLE dari ARA, tahun 1997:
1.Malar rash
erythema yang fixed,datar/meninggi.Letaknya pada malar,biasanya tidak mengenai lipatan nasolabial.
2.Discoid rash
Lesi erythemetous yang meninggi dengan squama keratotic.Kadang tampak scar yang atofi.
3.Fotosensitivitas.
Diketahui melalui anamnesa dan pemeriksaan fisik.
4.Ulkus oral
Ulserasi dimulut atau nasofaring,biasanya tidak nyeri.
5.Arthritis
nonerosive arthritis melibatkan 2 atau lebih dari sendi perifer. Ditandai dengan nyeri,bengkak,atau efusi.
6.Serositis
Pada pleuritis didapatkan riwayat nyeri pleural,pleural friction rub,efusi pleura.Pada pericarditis tampak pada ECG,gesekan pericard,efusi pericard.
7.Gangguan Renal
proteinuria >0,5 g/hari atau >3+,atau cellular cast berupa eritrosit,hemoglobin granular,tubular,atau campuran.
8.Kelainan neorologis
psikosis,kejang-kejang (tanpa sebab yang jelas).
9.Kelainan hematologis
anemia hemolitic
leukopenia(<4000/μL)
limfopenia (<1500/μL)
trombositopenia (<100.000/μL).
10.Kelainan imunologis
Anti ds-DNA , Anti-Sm(antibody terhadap antigen otot polos) ,Antifosfolipid antibody,STS false positve.
11.Antibodi antinuclear
ANA test +.
Penderita dikatakan mempunyai SLE jika terdapat minimal 4 kriteria terpenuhi, baik secara bersamaan ataupun simultan, selama observasi.
DIAGNOSIS BANDING
-Rheumatoid arthritis dan penyakit jaringan konektif lainnya.
-Endokarditis bacterial subacute.
-Septikemia oleh Gonococcus/Meningococcus disertai dengan arthritis ,lesi kulit.
-Drug eruption.
-Limfoma.
-Leukemia.
-Trombotik trombositopeni purpura.
-Sarcoidosis.
-Lues II
-Bacterial sepsis.
PROGNOSIS
Bervariasi ,tergantung dari komplikasi dan keparahan keradangan.Perjalanan SLE kronis dan kambuh-kambuhan seringkali dengan periode remisi yang lama.
Dengan pengendalian yang baik pada fase akut awal prognosis dapat baik.
TATALAKSANA
Penderita SLE tidak dapat sembuh sempurna(sangat jarang didapatkan remisi yang sempurna).Meskipun begitu dokter bertugas untuk memanage dan mengkontrol supaya fase akut tidak terjadi.Tujuan pengobatan selain untuk menghilangkan gejala,juga memberi pengertian dan semangat kepada penderita untuk dapat bekerja dan melakukan kegiatan sehari-hari.
Terapi terdiri dari terapi suportif yaitu diit tinggi kalori tinggi protein dan pemberian vitamin.
Beberapa prinsip dasar tindakan pencegahan eksaserbasi pada SLE,yaitu:
1.Monitoring teratur
2.Penghematan energi dengan istirahat terjadwal dan tidur cukup
3.Fotoproteksi dengan menghindari kontak sinar matahari atau dengan pemberian sun screen lotion untuk mengurangi kontak dengan sinar matahari
4.Atasi infeksi dengan terapi pencegahan pemberian vaksin dan antibiotik yang adekuat.
5.Rencanakan kehamilan/hindari kehamilan .
Berikut adalah beberapa terapi medikamentosa pada penderita SLE.
1. NonSteroid Anti-Inflamatory Drug (NSAID):
NSAID berguna karena kemampuannya sebagai analgesik, antiperitik dan antiinflamasi. Obat ini berguna untuk mengatasi SLE dengan demam dan arthralgia/arthritis. Aspirin adalah salah satu yang paling banyak diteliti kegunaannya. Ibuprofen dan indometasin cukup efektif untuk mengobaati SLE dengan arthritis dan pleurisi, dalam kombinasi dengan steroid dan antimalaria. Keterbatasan obat ini adalah efeksamping pada saluran pencernaan terutama pendarahan dan ulserasi. Cox2 dengan efek samping yang lebih sedikit diharapkan dapat mengatasi hal ini, sayang belum ada penelitian mengenai efektivitasnya
pada SLE. Efek samping lain dari OAINS adalah : reaksi hipersensitivitas, gangguan renal, retensi cairan, meningitis aseptik.
2. Antimalaria
Efektivitas antimalaria terhadap SLE yang mengenai kulit dan sendi telah lama diketahui, dan obat initelah dianggap sebagai obat pilihan pertama untuk SLE kulit terutama LE diskoid dan LE kutaneus subakut. Obat ini bekerja dengan cara mengganggu pemrosesan antigen di makrofag dan sel penyaji antigen yang lain dengan meningkatkan pH di dalam vakuola lisosomal. Juga menghambat fagositosis, migrasi netrfil, dam metabolisme membran fosfolipid. Antimalaria dideposit didalam kulit dan mengabsorbsi sinar UV. Hidrosiklorokuin menghaambat reaksi kulit karena sinar UV. Bebrapa penelitian melaporkan bahwa antimalaria dapat menurunkan koSLEterol total, HDL dan LDL, pada penderita SLE yang menerima steroid maupun yang tidak.
Terdapat 3 obat antimalaria yang tersedia : hidroksiklorokuin (dosis 200-400mg/hari), klorokuin (250mg/hari), kuinarkrin (100mg/hari). Hidroksiklorokuin lebih efektif daripada klorokuin, dan efek sampingnya lebih ringan. Efek samping antimalaria yang paling sering adalah efek pada saluran pencernaan, kembung, mual, dan muntah; efk sam ping lain adalah timbulnya ruam, toksisitas retin, daan neurologis (jarang).
3. Kortikosteroid
Cara kerja steroid pada SLE adalah melalui mekaanisme antiinflamasi dan amunosuprefit. Dari berbagai jenis steroid, yang paling sering digunakan adalah prednison dan metilprednisolon.
Pada SLE yang ringan (kutneus, arthritis/arthralgia) yang tidak dapat dikontrol oleh NSAID dan antimalaria, diberikan prednison2,5 mg sampai 5 mg perhari. Dosis ditingkatkan 20% tiap 1 sampai 2 minggu tergantung dari respon klinis. Pada SLE yang akut dan mengancam jiwa langsung diberikan steroid, NSAID dan antimalaria tidak efektif pada keadaan itu. Manifestasi serius SLE yang membaik dengan steroid antara lain : vaskulitis, dermatitis berat ataau SCLE, poliarthritis, poliserosistis, myokarditis, lupus pneumonitis, glomeruloneftritis (bentuk proliferatif), anemia hemolitik, neuropati perifer dan krisis lupus.
Pada SLE aktif dan berat, terdapat beberapa regimen pemberian steroid:
1. Regimen I: daily oral short acting (prednison, prednisolon, metilprednisolon), dosis: 1-2 mg/kg BB/hari dimulai dalam dosis terbagi, lalu diturunkaan secara bertahap (tapering) sesuai dengan perbaikan klinis dan laboratoris. Regimen ini sangat cepat mengontrol penyakit ini, 5-10 hari untuk manifestasi hemotologis atau saraf, serositis, atau vaskulitas; 3-10 minggu untuk glomerulonephritis.
1. Regimen II : methylprednisolone intravena, dosis: 500-1000 mg/hari, selama 3-5 hari atau 30 mg/kg BB/hari selam 3 hari. Regimen ini mungkin dapat mengontrol penyakit lebih cepat dari pada terapi oral setiaap hari, tetapi efek yang menguntungkan ini hanya bersifat sementara, sehingga tidak digunakan untuk terapi SLE jangka lama.
2. Regimen III: kombinasi regimen 1 atau 2 dengan obat sitostatik azayhioprine atau cyclophosphamide.
Setelah kelaainan klinis menjadi tenang dosis diturunkan dengan kecepatan 2,5-5 mg/minggu sampai dicapai maintenance dose.
4. Methoreksat
Methoreksat adaalah antagonis folat yang jika diberikan dalam dosis untuk penyaakit rematik efek imunosupresifnya lebih lemah daripada obat alkilating atauazathrioprin. Methorekxate dosis rendah mingguan, 7,5-15 mg, eektif sebagai “steroid sprring agent” dan dapat diterima baik oleh penderita, terutama pada manifestsi kulit dan mukulosketetal. Gansarge dkk. Melakukan percobaan dengan memberikan Mtx 15 mg/minggu pada kegagalan steroid dan antimalaria.
Efek samping Mtx yang paling sering dipakai adalah:lekopenia, ulkus oral, toksisitas gastrointestinal, hepatotoksisitas.untuk pemantauan efek samping diperlukan pemeriksaan darah lengkap,tes fungsi ginjal dan hepar.pada penderita dengan efek samping gastrointestinal,pemberian asam folat 5 mg tiap minggu akan mengurangi efek tersebut.
5. Imunosupresan atau sitostatik yang lain.
Azathhioprine (Imuran AZA)
Cylophosphamide (chitokxan, CTX)
Chlorambucil (leukeran, CHL)
Cyclosporine A
Tacrolimus (FK506)
Fludarabine
Cladribine
Mycophenolate mofetil
6. Terapi hormonal
Dehidroxyepiandrosterone Sulfate (DHEAS)
Danazol
7. Pengobatan Lain
Dapsone
Dapsone, atau 4.4’- diaminophenylsulphone, bekerja dengan cara mengganggu metabolisme folat dan menghambat asam para aminobenzoat, dan menghambat jalur alternative komplemen serta sitotoksisitas netrofil. Tersedia sejak lebih dari 50 tahun yang lalu untuk pengobatan lepra. Dapson ternyata efektif untuk pengobatan Lupus eritematosus kutaneus. Leukopenia, dan trombositopenia pada SLE, dengan dosis 50-150 mg/hr. hampir semua penderita yang menerima dapsone akan mengalami anemia hemolitik ringan yang biasanya berhubungan dengan dosis.
Clofazimine (Lamprene)
Clofazimine adalah anti leprosi juga yang telah terbukti untuk LE kutaneus yang refrakter. Digunakan dengan dosis antara 100 sampai 200 mg/hr. efek samping yang terutama adalah warna kulit yang berubah menjadi pink atau coklat gelap, dan menjadi kering.
Thalidomide
Thalidomide dengan dosis50 sampai 100 mg/hr serta dosis pemeliharaan 25 sampai 5o mg/hr, efektif untuk LE kutaneus refrakter. Obat ini bekerja dengan menghambat TNF alfa. Obat ini dikontraindikasikan pada kehamilan karena banyak laporan mengenai terjadinya malformasi janin (fokomelia).
Immunoglobulin intravena
Immunoglobulin intravena (IVIg) bekerja dengan menghambat reseptor Fc reikuloendotelial. Terapi ini berguna untuk mengatasi trombositopenia iun, dan pada keadaan mengamcam jiwa, dengan dosis 2 k/kgBB/hari. 5 hari berturut-turut setiap bulan. IVIg sangat mahal, oleh karena itu hanya digunakan pada SLE yang resisten terhadap terapi standar, atau pada keadaan SLE yang berat.
External Device
Terdapat beberapa teknik eksternal yang kegunaannya pada SLE agak terbatas, yaitu: plasmapheresis, photopheresis, immunoadsorption, UVA1light (panjang gelombang: 340-400nm), and iradiasi limfoid total.
8. Transplantasi Sumsum Tulang
Hanya diberikan pada kasus SLE yang paling agresif dan rekfrakter. Terapi ini masih merupakan ekspwrimental untuk saat ini.
Pengobatan Terhadap Komplikasi
Pada komplikasi gagal ginjal dipertimbangkan pemberian diuretic,anti hipertensi,mungkin juga dilakukan dialysis serta transplantasi ginjal.
Terhadap kejang-kejang dapat diberikan antikonvulsan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Symposium National Immunology Week 2004,Surabaya 9-10 Oktober 2004;hal201-213.
2. Current Medical Diagnosis and Treatment 2004;Chapter 20;Arthritis and Musculosceletal disorder ;page 805-807.
3. Harrisson’s Principle of Internal Medicine 15th Edition;Volume 2;page 1922- 1928.
4. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I,Edisi ketiga;hal 150-159.
5. Medical Journal : Cermin Dunia Kedokteran no.142,2004 ; hal.27-30.
6. The Merck Manual Edisi 16 ,Jilid 2 ; hal.878-830.
http://www.internafkui.or.id/?page=article.detail&id=2
Pendahuluan
Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang melibatkan
berbagai organ dengan manifestasi klinis yang bervariasi dari yang ringan sampai
berat. Pada keadaan awal, sering sekali sukar dikenal sebagai LES, karena
manifestasinya sering tidak terjadi bersamaan. Sampai saat ini penyebab LES
belum diketahui ada dugaan faktor genetik, infeksi dan lingkungan ikut berperan
pada patofisiologi LES.
Prevalensi bervariasi di tiap negara. Di Indonesia sampai saat ini belum pernah
dilaporkan. Pada dekade terakhir terlihat adanya kenaikan kasus yang berobat di
RSCM Jakarta. Salah satu faktor adalah kewaspadaan dokter yang meningkat.
Untuk peningkatan ini perlu upaya penyebarluasan gambaran klinis kasus LES
yang perlu diketahui sehingga diagnosa lebih dini dan pengobatan yang lebih
adekuat. Baron dkk melaporkan keterlibatan ginjal lebih sering ditemukan pada
LES dengan onset usia kurang dari 18 tahun. Sedangkan penelitian Font dkk lesi
diskoid dan serositis lebih sering ditemukan sebagai manifestasi awal pasien LES
laki-laki sedangkan artritis lebih jarang. Samanta dkk pada penelitian di Asia dan
kulit putih di Inggris melaporkan kelainan ginjal lebih sering ditemukan pada
populasi di Asia. Wanita lebih sering terkena dibanding laki-laki dan umumnya
pada kelompok usia produktif.
Predisposisi Genetik
Predisposisi genetik merupakan faktor terpenting pada terjadinya LES. Kurang
lebih 75 % LES dari berbagai etnik mempunyai kelompok HLA : DR2, DR3,
DR4, atau DR8. Beberapa gen pada orang Afrika – Amerika berhubungan
dengan LES yaitu Fcy reseptor IIA, IIIA dan RHB yang berpredisposisi terjadinya
nefritis lupus. Secara garis besar seperti gambar 2
Ganbar1 Hubungan antara gen dan terjadinya LES
Pengaruh Gender
Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa umumnya wanita lebih banyak
menderita penyakit otoimun seperti tertera di tabel 1
Walaupun wanita terbanyak menderita penyakit otoimun akan tetapi pada
umumnya berbagai penyakit otoimun tidak berbeda tingkat keparahannya dengan
laki-laki. Hormonal endogenous pada wanita tidak selalu dapat menerangkan
terjadinya penyakit otoimun akan tetapi faktor-faktor lainnya misal hormonal
yang berlebih, faktor kromosom X dan Y , faktor khronobiotik dan variasi
biologis wanita (kehamilan dan menstruasi) merupakan kondisi yang juga dapat
menerangkan prevalensi tinggi pada wanita.
Pengaruh Lingkungan
Pengaruh sinar matahari/ultra violet sebagai faktor yang dapat meningkatkan
eksaserbasi LES mekanismenya dapat dijelaskan. Dengan cara perubahan pada
struktur DNA dermis yang akan menginduksi apoptosis keratinosit dan sel
lainnya di kulit.
Beberapa peneliti mengemukakan adanya hubungan antara Ebstein Barr virys
(EBV) dengan LES. Infeksi EBV akan mengaktivasi sel B limfosit yang secara
genetik akan membentuk otoantibodi Nuklear antigen pada EBV (EBNA) adalah
salah satu molekul EBV yang dapat membuat rentetan pada partikel Ro.
Disamping itu berbagai partikel toksin dan faktor lingkungan dapat
mempengaruhi sistem imun serta respon inflamasi.
Paparan lingkungan dapat mempengaruhi beberapa tahun sebelum bermanifestasi
LES. Salah satu contoh paparan dengan silika dapat terjadi 13,6 tahun sebelum
manifestasi klinik LES. Berbagai penelitian mengemukakan bahwa terjadinya
onset lupus dapat terjadi pada dekade ke III dan ke IV. Hubungan antara faktor
lingkungan dengan manifestasi klinik lupus seperti terlihat pada gambar 2
Gambar 2.
Perubahan sistem Imun pada lupus
Ada dua sistem imun yang berpengaruh pada sel T dan sel B untuk pembentukan
otoantibodi yaitu sistem imun innate dan adaptive). Adanya pengaruh internal
dan eksternal termasuk infeksi dan berbagai antigen (self antigen) akan
mengaktifkan sistem innate immunity melalui sel dendritik yang ada di berbagai
jaringan tubuh misal di kulit, saluran pernapasan, saluran cerna, dan kelenjar
getah bening perifer. Aktivasi berbagai patogen tersebut melalui Toll Like
Receptor (TLR) yang tersebar di sel dendritik jaringan sel patogen yang mampu
mengaktifkan sel melalui TLR disebut Pathogen – associated molecular patterns
(PAMPs). Pada sel dendritik LES sub famili TLR ialah TLR 9 sedangkan sel B
akan mengikat rentetan dari DNA (CpG DNA sequence). Pada sel dendritik LES
di jaringan dan sirkulasi akan diaktivasi oleh CpG DNA, seterusnya imun
kompleks DNA tersebut akan berikatan dengan TLR9 sedangkan anti DNA akan
berikatan dengan Fc Ry RIIA pada sel dendritik yang akhirnya mekanisme
tersebut akan mengaktifkan sistem imunitas innate. Berbagai sub famili TLR
mengenal virus ss/ds RNA yaitu TLR 3,7 dan 8. Sedangkan kompleks dari RNA
akan mengikat TLR 7. Ikatan dan mekanisme tersebut akan menghasilkan
penglepasan IFN alfa dan sitokin lainnya yang akan mengaktifkan sel dendritik
dan monosit / makrofag. Rentetan ini akan mengaktifkan sel T terutama Th 1
melalui APC (antigen-presenting Cell ) dan mengaktifkan sel B yang akan
memproduksi otoantibodi. Rentetan kejadian tersebut akan mengaktifkan
imunitas adaptif. Seperti terlihat pada gambar 3
Aktivasi sistem imun adaptif akan berjalan dengan cara mengaktifkan CD4 yang
secara bersamaan dengan sel B (yang menghasilkan antibodi dan kaskade
terbentuknya kompleks imun) yang dapat merusak rentetan kejadian tersebut
seperti yang terlihat pada gambar 4 .
Gambar 4. Aktivasi sistem imun adaptif
Otoantibodi
Data terakhir mengemukakan bahwa hampir 85 % penderita LES akan diawali
adanya otoantibodi yang diperkirakan telah muncul 2 – 3 tahun sebelum gejala
klinis muncul. Beberapa penulis mengemukakan bahwa urutan pemeriksaan
adalah tes ANA lalu ds DNA & antifosfolipid dan bila masih diperlukan untuk
menunjang diagnosis adalah pemeriksaan anti-Sm dan anti-RNP. ANA sering
dipakai sebagai pemeriksaan penyaring untuk penyakit otoimun. Sering sekali dari
deteksi awal pemeriksaan ANA dapat mengetahui beberapa penyakit otoimun
kususnya penyakit rematik dan LES. Dalam upaya untuk mengetahui beberapa
penyakit maka pemeriksaan yang lebih khusus dengan immunofluorescence dapat
membantu pendekatan penyakit pada penyakit otoimun seperti yang tertera
dibawah ini .
Gambaran secara menyeluruh alur tes ANA dapat dilihat pada bagan dibawah ini:
Bagan 2. A practical guide to interpretation of the ANA test
Antibodi ds DNA
Anti ds DNAS suatu pemeriksaan klasik yang akan menunjukan spesifitas
cukup tinggi untuk lupus. Gambaran klinik yang dihungkan dengan ds DNA
seperti tabel dibawah ini :
Tabel 2. Clinical Utility of Measuring Anti-DNA
High Titers of anti-dsDNA
Have approximately 90% specificity for SLE
Often indicate clinically active disease and increased risk for nephritis
Low titers of anti-dsDNA
Can be detecting anti-ssDNA
Can be found in
Drug induced lupus
Rheumatoid arthritis
Sjogrensyndrome
Other CTD
Chronic infections
Chronic liver disease
Aging
Kepustakaan
1. Pisetsky DS, Glikeson G, Clair EW. Systemic Lupus Erythematosus.
Diagnosis and treatment. Med Clin North Am, 1997 ; 81 : 113-27.
2. Mills JA. Systemic Lupus Erythematosus. N Engl J Med, 1994 ; 330 : 1871-6.
3. Boumpas DT, Austin HA, Fessler BJ, Balow JE, Klippel JH, Locksin MD.
Systemic Lupus Erythematosus : Emerging Concept. Ann Intern Med, 1995 ;
122 : 940-50.
4. Steinberg AD, Gourley MF, Klinman DM, Tsokos GC, Zscott DE, Krieg
AM. Systemic Lupus Erythematosus. NIH Conference Ann Intern Med, 1991 ;
115 : 548-57.
5. Lewkonia RM. The clinical genetic of lupus. Lupus, 1992 ; 1 : 55-62.
6. Pisetsky DS, Gilkeson G. Systemic Lupus Erythematosus. Med Clin North
Am, 1997 ; 81 : 113-127.
7. Hochberg MC. The epidemiology of Systemic Lupus Erythematosus. Dalam :
Wallace DJ, Hahn BH, eds. Dubois'Lupus Erythematosus, fourth ed.
Philadelphia : William & Wilkins, 1997 : 93-104.
8. Barron KS, Silverman ED, Gonzales J, Reveile JD. Clinical, Serologic and
ImmuIogenetic Studies in Childhood Onset Systemic Lupus Erythematosus.
Arthritis Rheum, 1993 ; 36 : 348-54.
9. Font J, Cervera R, Novorro, et al. Systemic Lupus Erythematosus in men ;
Clinical and immunological characteristics. Ann Rheum Dis 1992; 51: 1050-2.
10. Hahn BH. Review of Pathogenesis of Systemic Lupus Erythematosus
Dalam : Wallace DJ, Hahn BH, eds. Dubois'Lupus Erythematosus, fourth ed.
Lippincott. William & Wilkins, 2007 ;46-53.
11. Giles I, Isenberg D. Antinuclear Antibodies: An Overview Dalam : Wallace
DJ, Hahn BH, eds. Dubois' Systemic Lupus Erythematosus, fourth ed.
Philadelphia : William & Wilkins, 2007 : 432-435.
12. Lockshin MD. Sex differences in autoimmune disease. Lupus, 2006;15:
753-756.
13. Harley JB, Harley ITW, Guthridge JM, James JA. The curiously suspicious:
a role for Epstein-Barr virus in Lupus. Lupus, 2006;15: 768-777.
14. Mohan C. Environment versus genetics in autoimmunity: a geneticist’s
perspective. Lupus, 2006; 791-793.
15. Edwards CJ, Cooper C. Early environmental exposure and the development
of lupus. Lupus, 2006; 15: 814-819.
The classic malar rash, also known as a butterfly rash, with distribution over the cheeks and nasal bridge. Note that the fixed erythema, sometimes with mild induration as seen here, characteristically spares the nasolabial folds.
Alopecia in SLE often affects the temporal regions or creates a patchy pattern. Oral ulcers may be noted, with palatal ulcers being most specific for SLE.
Photosensitive rash is often macular or diffusely erythematous in sun-exposed areas of the face, arms, or hands, as in the image below. Photosensitive systemic lupus erythematosus (SLE) rashes typically occur on the face or extremities, which are sun-exposed regions. Photo courtesy of Dr. Erik Stratman, Marshfield Clinic.
LE specific lesions fall into one of three categories:
1. Acute Cutaneous LE (ACLE) often presents as a “butterfly rash.” The butterfly rash has an abrupt onset and can last for hours or days, and usually heals without scarring. Typically, it is localized on the face, but it could occur anywhere on the body. Variations of this rash have been observed, including bullous formations or blisters. Systemic manifestations are common with ACLE.
Systemic Lupus ErythematosusAuthor: Christie M Bartels, MD,
http://bimaariotejo.wordpress.com/2009/06/07/systemic-lupus-
erythematosus-sle/
Clinical Features: General
Epidemiology o Age: 80% > 50 years o Vasculitis: Male > Female 2:1 o Prognosis: Worse with Increased age
Several anatomical patterns of neuropathy
o Mononeuritis Multiplex o Onset
Abrupt: Most common Slow progression: In elderly
o Asymmetric o Motor & Sensory o Nerves commonly affected
Peroneal (Sciatic) nerve: Most common (90%) Posterior tibial (40%) Ulnar (35%) Median (25%) Radial
o Confluent Mononeuritis Multiplex o Distal; Asymmetric; Motor & Sensory Loss o Other asymmetry by symptoms or signs
o Distal ± Symmetric: In small vessel vasculopathy o Plexopathy : Lumbosacral > Brachial o ? Small fiber neuropathy
Pain: Common (50%); Burning Dysesthesias Systemic features
o Fever; Weight loss; Arthralgias; Fatigueo May be related to associated connective tissue disease
Specific connective tissue disorders associated with vasculitis
BehçetChurg-StraussCRESTCryoglobulinemia
DrugsGiant cell arteritis ? GVHDInfections
Peripheral Nerve SpecificPolyarteritis NodosaRheumatoid ArthritisSjögren'sSpanish toxic oilSystemic lupus erythematosisWegener's
Pathology Biopsy necessary for diagnosis: Indications & procedure
o Asymmetric or disabling neuropathy o Biopsy both nerve & muscle o Perform total, not fascicular, nerve biopsy
Pathological findings o Epineurial inflammation
o Associated with vesselso Mononuclear cell types: T-cells > Macrophageso Polymorphonuclar leukocytes: Acute disease o Cell fragments
o Vessel Pathology o Active: Necrosis of vessel wall; Inflammation o Size & location of vessel changes has some disease
specificity o Chronic vasculitis
Luminal narrowing Vessel recanalization Focal calcification of walls Increased number of epineurial vessels
o Immunostaining: IgM, IgG or C3 deposits on vessel walls12
Lumpy, often itchy rash, quite intense in colour.