Bahan Krisis

download Bahan Krisis

of 31

Transcript of Bahan Krisis

Akar Krisis Keuangan Global dan Momentum Ekonomi Syariah Sebagai Solusi Ditulis oleh Agustianto Krisis keuangan Amerika Serikat saat ini, mulai merambah ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Pada tanggal 8 Oktober 2008, kemaren, IHSG tertekan tajam turun 10 %, demikian pula Nikken di Jepang jatuh lebih dari 9 %. Hampir semua pasar keuangan dunia terimbas krisis financial US tersebut. Karena itu para pengamat menyebut krisis ini sebagai krisis finansial global. Krisis keuangan global yang terjadi belakangan ini, merupakan fenomena yang mengejutkan dunia, tidak saja bagi pemikir ekonomi mikro dan makro, tetapi juga bagi para elite politik dan para pengusaha. Dalam sejarah ekonomi, ternyata krisis sering terjadi di mana-mana melanda hampir semua negara yang menerapkan sistem kapitalisme. Krisis demi krisis ekonomi terus berulang tiada henti, sejak tahun 1923,1930, 1940, 1970, 1980, 1990, dan 1998 2001 bahkan sampai saat ini krisis semakin mengkhawatirkan dengan munculnya krisis finansial di Amerika Serikat . Krisis itu terjadi tidak saja di Amerika latin, Asia, Eropa, tetapi juga melanda Amerika Serikat. Roy Davies dan Glyn Davies, 1996 dalam buku The History of Money From Ancient time to Present Day, menguraikan sejarah kronologi secara komprehensif. Menurut mereka, sepanjang abad 20 telah terjadi lebih 20kali kriss besar yang melanda banyak negara. Fakta ini menunjukkan bahwa secara rata-rata, setiap 5 tahun terjadi krisis keuangan hebat yang mengakibatkan penderitaan bagi ratusan juta umat manusia. Pada tahun 1907 krisis perbankan Internasional dimulai di New York, setelah beberapa decade sebelumnya yakni mulai tahun 1860-1921 terjadi peningkatan hebat jumlah bank di Amerika s/d 19 kali lipat. Selanjutnya, tahun1920 terjadi depresi ekonomi di Jepang. Kemudian pada tahun 1922 1923 German mengalami krisis dengan hyper inflasi yang tinggi. Karena takut mata uang menurun nilainya, gaji dibayar sampai dua kali dalam sehari. Selanjutnya, pada tahun 1927 krisis keuangan melanda Jepang (37 Bank tutup); akibat krisis yang terjadi pada bank-bank Taiwan Pada tahun 1929 30 The Great Crash (di pasar modal NY) & Great Depression (Kegagalan Perbankan); di US, hingga net national product-nya terbangkas lebih dari setengahnya. Selanjutnya, pada tahun 1931 Austria mengalami krisis perbankan, akibatnya kejatuhan perbankan di German, yang kemudian mengakibatkan berfluktuasinya mata uang internasional. Hal ini membuat UK meninggalkan standard emas. Kemudian1944 66 Prancis mengalami hyper inflasi akibat dari kebijakan yang mulai meliberalkan perekonomiannya. Berikutnya, pada tahun 1944 46 Hungaria mengalami hyper inflasi dan krisis moneter. Ini merupakan krisis terburuk eropa. Note issues Hungaria meningkat dari 12000 million (11 digits)hingga 27 digits. Pada tahun 1945 48 Jerman mengalami hyper inflasi akibat perang dunia kedua.. Selanjutnya tahun 1945 55 Krisis Perbankan di Nigeria Akibat pertumbuhan bank yang tidak teregulasi dengan baik pada tahun 1945. Pada saat yang sama, Perancis mengalami hyperinflasi sejak tahun 1944 sampai 1966. Pada tahun (1950-1972) ekonomi dunia terasa lebih stabil sementara, karena pada periode ini tidak terjadi krisis untuk masa tertentu. Hal ini disebabkan karena Bretton Woods Agreements, yang mengeluarkan regulasi di sektor moneter relatif lebih ketat (Fixed Exchange Rate Regime). Disamping itu IMF memainkan perannya dalam mengatasi anomalianomali keuangan di dunia. Jadi regulasi khususnya di perbankan dan umumnya di sektor

keuangan, serta penerapan rezim nilai tukar yang stabil membuat sektor keuangan dunia (untuk sementara) "tenang". Namun ketika tahun 1971 Kesepakatan Breton Woods runtuh (collapsed). Pada hakikatnya perjanjian ini runtuh akibat sistem dengan mekanisme bunganya tak dapat dibendung untuk tetap mempertahankan rezim nilai tukar yang fixed exchange rate. Selanjutnya pada tahun 1971-73 terjadi kesepakatan Smithsonian (di mana saat itu nilai 1 Ons emas = 38 USD). Pada fase ini dicoba untuk menenangkan kembali sektor keuangan dengan perjanjian baru. Namun hanya bertahan 2-3 tahun saja. Pada tahun 1973 Amerika meninggalkan standar emas. Akibat hukum "uang buruk (foreign exchange) menggantikan uang bagus (dollar yang di-back-up dengan emas)-(Gresham Law)". Pada tahun 1973 dan sesudahnya mengglobalnya aktifitas spekulasi sebagai dinamika baru di pasar moneter konvensional akibat penerapan floating exchange rate sistem. Periode Spekulasi; di pasar modal,uang, obligasi dan derivative. Maka tak aneh jika pada tahun 1973 1874 terjadi krisis perbankan kedua di Inggris; akibat Bank of England meningkatkan kompetisi pada supply of credit. Pada tahun 1974 Krisis pada Euro dollar Market; akibat west German Bankhaus ID Herstatt gagal mengantisipasi international crisis. Selanjutnya tahun 1978-80 Deep recession di negaranegara industri akibat boikot minyak oleh OPEC, yang kemudian membuat melambung tingginya interest rate negara-negara industri. Selanjutnya sejarah mencatat bahwa pada tahun 1980 krisis dunia ketiga; banyaknya hutang dari negara dunia ketiga disebabkan oleh oil booming pada th 1974, tapi ketika negara maju meningkatkan interest rate untuk menekan inflasi, hutang negara ketiga meningkat melebihi kemampuan bayarnya. Pada tahun 1980 itulah terjadi krisis hutang di Polandia; akibat terpengaruh dampak negatif dari krisis hutang dunia ketiga. Banyak bank di eropa barat yang menarik dananya dari bank di eropa timur. Pada saat yang hampir bersamaan yakni di tahun 1982 terjadi krisis hutang di Mexico; disebabkan outflow kapital yang massiveke US, kemudian di-treatments dengan hutang dari US, IMF, BIS. Krisis ini jugamenarik Argentina, Brazil dan Venezuela untuk masuk dalam lingkaran krisis. Perkembangan berikutnya, pada tahun1987 The Great Crash (Stock Exchange), 16 Oct 1987 di pasar modal US & UK.Mengakibatkan otoritas moneter dunia meningkatkan money supply. Selanjutnya pada tahun 1994 terjadi krisis keuangan di Mexico; kembali akibat kebijakan finansial yang tidak tepat. Pada tahun 1997-2002 krisis keuangan melanda Asia Tenggara; krisis yang dimulai di Thailand, Malaysia kemudian Indonesia, akibat kebijakan hutang yang tidak transparan. Krisis Keuangan di Korea; memiliki sebab yang sama dengan Asteng. Kemudian, pada tahun 1998 terjadi krisis keuangan di Rusia; dengan jatuhnya nilai Rubel Rusia (akibat spekulasi) Selanjutnya krisis keuangan melanda Brazil di tahun 1998. pada saat yang

hamper bersamaan krisis keuangan melanda Argentina di tahun 1999. Terakhir, pada tahun 2007-hingga saat ini, krisis keuangan melanda Amerika Serikat. Dari data dan fakta historis tersebut terlihat bahwa dunia tidak pernah sepi dari krisis yang sangat membayakan kehidupan ekonomi umat manusia di muka bumi ini. Apakah akar persoalan krisis dan resesi yang menimpa berbagai belahan dunia tersebut ? Dalam menjawab pertanyaan tersebut, cukup banyak para pengamat dan ekonom yang berkomentar dan memberikan analisis dari berbagai sudut pandang. Dalam menganalisa penyebab utama timbulnya krisis moneter tersebut, banyak yang berkonklusi bahwa kerapuhan fundamental ekonomi (fundamental economic fragility) adalah merupakan penyebab utama munculnya krisis ekonomi. Hal ini seperti disebutkan oleh Michael Camdessus (1997), Direktur International Monetary Fund (IMF) dalam kata-kata sambutannya pada GrowthOriented Adjustment Programmes (kurang lebih) sebagai berikut: "Ekonomi yang mengalami inflasi yang tidak terkawal, defisit neraca pembayaran yang besar, pembatasan perdagangan yang berkelanjutan, kadar pertukaran mata uang yang tidak seimbang, tingkat bunga yang tidak realistik, beban hutang luar negeri yang membengkak dan pengaliran modal yang berlaku berulang kali, telah menyebabkan kesulitan ekonomi, yang akhirnya akan memerangkapkan ekonomi negara ke dalam krisis ekonomi". Ini dengan jelas menunjukkan bahwa defisit neraca pembayaran (deficit balance of payment), beban hutang luar negeri (foreign debt-burden) yang membengkak--terutama sekali hutang jangka pendek, investasi yang tidak efisien (inefficient investment),dan banyak indikator ekonomi lainnya telah berperan aktif dalam mengundang munculnya krisis ekonomi. Sementara itu,menurut pakar ekonomi Islam, penyebab utama krisis adalah kepincangan sektor moneter (keuangan)dan sektor riel yang dalam Islam dikategorikan dengan riba. Sektor keuangan berkembangcepat melepaskan dan meninggalkan jauh sektor riel. Bahkan ekonomi kapitalis,tidak mengaitkan sama sekali antara sektor keuangan dengan sektor riel. Tercerabutnyasektor moneter dari sektor riel terlihat dengan nyata dalam bisnis transaksi maya (virtual transaction) melalui transaksi derivatif yang penuh ribawi. Tegasnya, Transaksi maya sangat dominan ketimbang transaksi riil.Transaksi maya mencapai lebih dari 95 persen dari seluruh transaksi dunia. Sementara transaksi di sektor riel berupa perdagngan barang dan jasa hanyasekitar limapersen saja. Menurut analisis lain, perbandingan tersebut semakin tajam, tidak lagi 95 % : 5 %, melainkan 99% : 1 %. Dalam tulisan Agustianto di sebuah seminar Nasional tahun 2007 di UINJakarta, disebutkan bahwa volume transaksi yang terjadi di pasaruang (currency speculation and derivative market) dunia berjumlah US$1,5 trillion hanya dalam sehari, sedangkan volume transaksi pada perdagangan dunia di sektor riil hanya US$ 6 trillion setiap tahunnya (Rasio 500 : 6 ), Jadi sekitar 1-an %. Celakanya lagi, hanya 45 persen dari transaksi di pasar, yangspot, selebihnya adalah forward, futures,dan options. Islam sangat mencela transaksi dirivatif ribawi dan menghalalkan transaksi riel. Hal ini dengan

tegas difirmankan Allah dalam Surah Al-Baqarah : 275 : Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Sebagaimana disebut di atas, perkembangan dan pertumbuhan finansial di dunia saat ini, sangat tak seimbang dengan pertumbuhan sektor riel. Realitas ketidakseimbangan arus moneter dan arus barang/jasatersebut, mencemaskan dan mengancam ekonomi berbagai negara. Pakar manajamen tingkat dunia, Peter Drucker, menyebut gejala ketidak seimbangan antara arus moneter dan arus barang/jasa sebagai adanya decopling, yakni fenomena keterputusan antara maraknya arus uang (moneter) dengan arus barang dan jasa. Fenomena ketidakseimbangan itu dipicu oleh maraknya bisnis spekulasi (terutama di dunia pasar modal, pasar valas dan proverti), sehingga potret ekonomi dunia seperti balon saja (bubble economy). Disebut ekonomi balon, karena secara lahir tampak besar, tetapi ternyata tidak berisi apa-apa kecuali udara. Ketika ditusuk, ternyata ia kosong. Jadi, bublle economy adalah sebuah ekonomi yang besar dalam perhitungan kuantitas moneternya, namun tak diimbangi oleh sektor riel, bahkan sektor riel tersebut amat jauh ketinggalan perkembangannya. Sekedar ilustrasi dari fenomena decoupling tersebut, misalnya sebelum krisis moneter Asia, dalam satu hari, dana yang gentayangan dalam transaksi maya di pasar modal dan pasar uang dunia, diperkirakan rata-rata beredar sekitar 2-3 triliun dolar AS atau dalam satu tahun sekitar 700 triliun dolar AS. Padahal arus perdagangan barang secara international dalam satu tahunnya hanya berkisar 7 triliun dolar AS. Jadi, arus uang 100 kali lebih cepat dibandingkan dengan arus barang (Didin S Damanhuri, Problem Utang dalam Hegemoni Ekonomi), Dalam ekonomi Islam, jumlah uang yang beredar bukanlah variabel yang dapat ditentukan begitu saja oleh pemerintah sebagai variabel eksogen. Dalam ekonomi Islam, jumlah uang yang beredar ditentukan di dalam perekonomian sebagai variabel endogen, yaitu ditentukan oleh banyaknya permintaan uang di sektor riel atau dengan kata lain, jumlah uang yang beredar sama banyaknya dengan nilai barang dan jasa dalam perekonomian. Dalam ekonomi Islam, sektor finansial mengikuti pertumbuhan sektor riel, inilah perbedaan konsep ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional, yaitu ekonomi konvensional, jelas memisahkan antara sektor finansial dan sektor riel. Akibat pemisahan itu, ekonomi dunia rawan krisis, khususnya negaranegara berkembang (terparah Indonesia). Sebab, pelaku ekonomi tidak lagi menggunakan uang untuk kepentingan sektor riel, tetapi untuk kepentingan spekulasi mata uang. Spekulasi inilah yang dapat menggoncang ekonomi berbagai negara, khususnya negara yang kondisi politiknya tidak stabil. Akibat spekulasi itu, jumlah uang yang beredar sangat tidak seimbang dengan jumlah barang di sektor riel. Spekulasi mata uang yang mengganggu ekonomi dunia, umumnya dilakukan di pasar-pasar uang. Pasar uang di dunia ini saat ini, dikuasai oleh enam pusat keuangan dunia (London, New York, Chicago, Tokyo,Hongkong dan Singapura). Nilai mata uang negara lain, bisa saja tiba-tiba menguat atau sebaliknya. Lihat saja nasib rupiah semakin hari semakin merosot dan nilainya

tidak menentu. Di pasar uang tersebut, peran spekulan cukup signifikan untuk menggoncang ekonomi suatu negara. Lihatlah Inggris, sebagai negara yang kuat ekonominya, ternyata pernah sempoyongan gara-gara ulah spekulan di pasar uang, apalagi kondisinya seperti Indonesia, jelas menjadi bulanbulanan para spekulan. Demikian pula ulah George Soros di Asia Tenggara. Bagi spekulan, tidak penting apakah nilai menguat atau melemah. Bagi mereka yang penting adalah mata uang selalu berfluktuasi. Tidak jarang mereka melakukan rekayasa untuk menciptakan fluktuasi bila ada momen yang tepat, biasanya satu peristiwa politik yang menimbulkan ketidak pastian. Menjelang momentum tersebut, secara perlahan-lahan mereka membeli rupiah, sehingga permintaan akan rupiah meningkat. Ini akan mendorong nilai rupiah secara semu ini, akan menjadi makanan empuk para spekulan. Bila momentumnya muncul dan ketidak pastian mulai merebak, mereka akan melepas secara sekaligus dalam jumlah besar. Pasar akan kebanjiran rupiah dan tentunya nilai rupiah akan anjlok. Robin Hahnel dalam artikelnya Capitalist Globalism In Crisis:Understanding the Global Economic Crisis (2000), mengatakan bahwa globalisasi - khususnya dalam financial market, hanya membuat pemegang asset semakin memperbesar jumlah kekayaannya tanpa melakukan apa-apa. Dalam kacamata ekonomi Islam, mereka meraup keuntungan tanpa 'iwadh (aktivitas bisnis riil,seperti perdagangan barang dan jasariil) Mereka hanya memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang terdapat dalam pasar uang dengan kegiatan spekulasi untuk menumpuk kekayaan mereka tanpa kegiatan produksi yang riil. Dapat dikatakan uang tertarik pada segelintir pelaku ekonomi meninggalkan lubang yang menganga pada sebagian besar spot ekonomi. They do not work, they do not roduce, they trade money for stocks, stocks for bonds, dollars for yen, etc.They speculate that some way to hold their wealth will be safer and more remunerative than some other way. Broadly speaking, the global credit system has been changed over the past two decades in ways that pleased the speculators (Hahnel, 2000). Hahnel juga menyoroti bagaimana sistem kredit atau sistem hutang sudah memerangkap perekonomian dunia sedemikian dalam. Apalagi mekanisme bunga (interestrate) juga menggurita bersama sistem hutang ini. Yang kemudian membuat sistem perekonomian harus menderita ketidak seimbangan kronis. Sistem hutang ini menurut Hahnel hanya melayani kepentingan spekulator, kepentingan segelintir pelaku ekonomi. Namun segelintir pelaku ekonomi tersebut menguasai sebagian besar asset yang ada di dunia. Jika kita kaji pemikiran Hahner ini lebih mendalam akan kita lihat dengan sangat jelas bahwa perekonomian akan berakhir dengan kehancuran akibat sistem yang dianutnya, yakni kapitalisme ribawi Penasihat keuangan Barat, bernama Dan Taylor, mempunyai keyakinan bahwa sistem kewangan dan perbankan Islam mempuyai keunggulan system yang lebih baik berbanding dengan sistem keuangan Barat yang berasaskan riba. Krisis keuangan yang sedang dihadapai oleh negaranegara Barat seperti USA dan UK memberikan kekuatan secara langsung dan tidak langsung kepada sistem finansial Islam yang berdasarkan Syariah. Sistem keuangan Barat sudah runtuh....

"Islamic finance and banking willwin", begitulah kata penasihat kewangan Barat. BDO Stoy Hayward says financial turmoil puts Islamic products in strong position. According to the financial advisers Islamic banks areone of the few financial institutions who still have significant sums of money available to finance individuals and corporates, unlike their western banking counterparts, who will only continue to constrict their lending policies inlight of the current economic crisis. Dan Taylor, Head of Banking at BDO Stoy Hayward, says: "As the riskprofile of Islamic Banks is generally lower than conventional western banks, this presents a more solid option for both retail and institutional investors and suggests that dealings with Islamic financial institutions will grow dramatically as people switch to more secure products in this environment." "Further growth of Islamic banking in the UK will also be attributed to their more conservative approach to financing, as the risks are shared with theinvestor, much like the private equity model. In addition, it is more difficult for Islamic financial institutions to use leverage; therefore their risk profile is naturally lower," continues Taylor (Ahmad Sanusi Husein, IIUM) Kembali kepada aktivitas riba para spekulan, bahwa Mereka meraup keuntungan dari selisih harga beli dan harga jual. Makin besar selisihnya, makin menarik bagi para spekulan untuk bermain. Berdasarkan realitas itulah, maka Konferensi Tahunan Association of Muslim Scientist di Chicago, Oktober 1998 yang membahas masalah krisis ekonomi Asia dalam perspektif ekonomi Islam, menyepakati bahwa akar persoalan krisis adalah perkembangan sektor finansial yang berjalan sendiri, tanpa terkait dengan sektor riel. Dengan demikian, nilai suatu mata uang dapat berfluktuasi secara liar. Solusinya adalah mengatur sektor finansial agar menjauhi dari segala transaksi yang mengandung riba, termasuk transaksi-transaksi maya di pasar uang. Gejala decoupling, sebagaimana digambarkan di atas, disebabkan, karena fungsi uang bukan lagi sekedar menjadi alat tukar dan penyimpanan kekayaan, tetapi telah menjadi komoditas yang diperjualbelikan dan sangat menguntungkan bagi mereka yang memperoleh gain. Meskipun bisa berlaku mengalami kerugian milyaran dollar AS. Dapat disimpulkan, perekonomian saat ini digelembungkan oleh transaksi maya yang dilakukan oleh segelintir orang di beberapa kota dunia, seperti London (27 persen), Tokyo-Hong KongSingapura(25 persen), dan Chicago-New York (17 persen). Kekuatan pasar uangini sangat besar dibandingkan kekuatan perekonomian dunia secara keseluruhan.Perekonomian global praktis ditentukan oleh perilaku lima negara tersebut. Karena itu, Islam menolak keras segala jenis transaksi maya seperti yang terjadi di pasar uang saat ini. Sekali lagi ditegaskan, "Uang bukan komoditas". Praktek penggandaan uang dan spekulasi dilarang. Sebaliknya, Islam mendorong globalisasi dalam arti mengembangkan perdagangan internasional. Dalam ekonomiIslam, globalisasi merupakan bagian integral dari konsep universal Islam. Rasulullah telah menjadi pedagang internasional sejak usia remaja. Ketika berusia belasan tahun, dia telah berdagang ke Syam (Suriah), Yaman, dan beberapa negara di kawasan Teluk sekarang.

Sejak awal kekuasaannya, umat Islam menjalin kontak bisnis dengan Cina, India, Persia, dan Romawi. Bahkan hanya dua abad kemudian (abad kedelapan), para pedagang Islam telah mencapai EropaUtara. Ternyata nilai-nilai ekonomi syariah selalu aktual, dan terbukti dapat menjadi solusi terhadap resesi perekonomian. Di zaman Nabi Muhammad jarang sekali terjadi resesi. Zaman khalifah yang empat juga begitu.Pernah sekali Nabi mengalami defisit, yaitu sebelum Perang Hunain, namun segeradilunasi setelah perang. Di zaman Umar bin Khattab (khalifah kedua) dan Utsman (khalifahketiga) , malah APBN mengalami surplus. Pernah dalam zaman pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, tak dijumpai lagi satu orang miskinpun!!! Apa rahasianya? Kebijakan moneter Rasulullah Saw -- yang kemudian diikuti oleh para khalifah -- selalu terkait dengan sektor riil perekonomian berupa perdagangan . Hasilnya adalahpertumbuhan sekaligus stabilitas. Pengaitan sektor moneter dengan sektor riil merupakan obat mujarab untuk mengatasi gejolak kurs mata uang -- seperti yang melanda Indonesia sejak akhir 1997 sampai saat ini. "Perekonomian yang mengaitkan sektor moneter langsung dengansektor riil akan membuat kurs mata uang stabil." Inilah yang dijalankan bank-bank Islam dewasa ini, di mana setiap pembiayaan harus ada underline transactionnya.Tidak seperti bank konvensional yang menerapkan sistem ribawi. Tantangan umatIslam dewasa ini adalah menunjukkan keagungan dan keampuhan ekonomi syariah.Tidak hanya bagi masyarakat muslim, melainkan juga bagi masyarakat non muslim,tidak hanya di Indonesia tetapi juga di dunia international. Islam ternyata mewariskan sistem perekonomian yang tepat, fair, adil, manusiawi, untuk menciptakan kemaslahatan dankesejahteraan hidup, tidak hanya di dunia, tapi juga di akhirat . Wallahu a'lam. (Penulis adalah Sekjen DPP Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia danDosen Pascasarjana UI dan Trisakti)http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?Itemid=60&catid=8:kajian-ekonomi&id=1236:akar-krisiskeuangan-global-dan-momentum-ekonomi-syariah-sebagai-solusi-&option=com_content&view=article jumat 16 des 2011

MEMBANDINGKAN DENGAN KRISIS DI MEKSIKO[ Index ]

Krisis mata uang dan krisis ekonomi di Indonesia sering dibandingkan dengan krisis yang sama yang terjadi di Meksiko mulai Desember 1994. Krisis ini berjalan sekitar dua tahun dan di tahun 1997 ekonomi Meksiko sudah sehat kembali, walaupun laju pertumbuhan ekonomi tidak sampai melebihi 5% setahun dan tingkat inflasi masih double digit. Krisis di Meksiko dan krisis di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, banyak kesamaannya, akan tetapi juga cukup banyak perbedaannya. Maka itu "happy endingnya" (setelah dua tahun) tidak perlu sama. ini tidak memastikan happy ending untuk Indonesia akan memerlukan waktu lebih lama. Kita tidak tahu. Seperti di Meksiko, pada tahun pertama krisis maka besar sekali ketidakpastian dan spekulasi yang sering ganas menguasa keadaan serta perkembangan. Kesamaan antara krisis Meksiko dan krisis Indonesia (dan Thailand) adalah besarnya depresiasi atau devaluasi mata uang. Mula-mula depresiasi ini masih dikendalikan oleh bank sentral dengan melebarkan spread atau band intervensi, akan tetapi, seperti di Thailand, ini hanya menghabiskan cadangan bank sentral dan akhirnya gerakan kurs dilepaskan, yang menyebabkan free fall kurs mata uang. Pasar mata uang dan bursa efek dikuasai oleh panik, dan semua fihak "lari ke pintu keluar". Meksiko, Thailand dan Indonesia minta pertolongan IMF. Yang paling dini panggil IMF adalah Indonesia. Bantuan internasional datang dalam jumlah yang cukup besar. Amerika Serikat dan Kanada langsung membantu Meksiko. Jepang bersedia membantu Asia Tenggara, mengikuti IMF, Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia. Begitu pula sejumlah negara lain. Di Asia Tenggara setelah paket IMF/Bank Dunia berlaku dua bulan, BELUM terasa dampak positipnya. Krisis kepercayaan dan krisis di bidang per-bankan masih merajalela. Di waktu pertama setelah intervensi IMF di Meksiko, keadaannya juga kira-kira sama karena dalam jangka pendek belum tampak pelaksanaan efektif reforma yang dituntut dunia internasional. Paket policy pemerintah Meksiko yang tegas baru muncul bulan Maret 1995. Paket ini Kajima, sesuai orthodoxy IMF. Di bidang fiskal, di satu fihak kenaikan penerimaan pemerintah diusahakan lewat penyesuaian harga, tarip dan pajak, di lain fihak pengeluaran banyak dipotong. Harga BBM dinaikkan sekitar 50% walauupun tidak sekaligus, dan pajak penjualan (VAT) dinaikkan dari 10% menjadi 15% (dengan pengecualian untuk bahan keperluan hidup yang pokok). Di bidang moneter dilakukan politik moneter yang ketat dan pembatasan ekspansi kredit. Kurs mata uang dibiarkan mengambang bebas. Sektor perbankan dibenahi. Di satu fihak, para depositor dijamin penuh (setelah banknya diperiksa dan dinyatakan sehat), di lain fihak direksi dan komisaris bank yang bersalah diseret ke pengadilan. Tidak ada kalangan yang tahan kekebalannya. Akhirnya, juga dilancarkan program-program untuk memberi employment kepada ratusan ribu pekerja

yang kehilangan nafkahnya. Kalangan masyarakat papan bawah sebisa-bisanya dijamin agar beberapa keperluan hidupnya terjamin supplynya pada harga yang terjangkau. Yang penting bagi kita untuk disadari adalah dampak kebijakan yang kontraktip mi. PDB turun di tahun 1995 (untuk tahun 1994 mash sekitar 3,5% dengan inflasi yang rendah dan kurs mata uang peso yang stabil). Untuk seluruh tahun 1995 laju pertumbuhan negatip ini (diperkirakan oleh Rencana) mencapai minus 2%. Untuk triwulan pertama 1995 pertumbuhan ini minus 1%, triwulan kedua minus 4%, triwulan ketiga minus 2,3% dan triwulan keempat minus 0,6%. Untuk tahun 1996 pertumbuhan sudah menjadi positip. Maka "pelajaran" utama dan krisis Meksiko adalah kontraksi ekonomi, sebagian karena mengikuti resep IMF, sebagian oleh karena modal masih lari dan sentimen pasar masih serba negatip. Krisis di Indonesia mungkin tidak separah di Meksiko. Krisis keuangan di Indonesia hanya menyangkut sektor swasta; di Meksiko baik sektor swasta maupun pemerintah. Defisit neraca berjalan di Indonesia jauh lebih kecil. Di Meksiko sektor yang akhirnya mengangkat kembali ekonomi adalah ekspor. Ekspor, didorong oleh devaluasi dan pasar NAFTA, bisa meningkat dua kali dalam satu tahun. Untuk Asia Tenggara prospeknya lebih suram, karena ekonomi Jepang lesu sekali dan Amerika tidak akan bersedia menampung kenaikan ekspor sampai dua kali dan Asia Tenggara. Mereka akan pasang palang pintu. Perbedaan besar antara Meksiko dan Indonesia juga terletak di bidang politik. Di Meksiko pada akhir tahun 1 994 ada penggantian presiden. Bukan karena krisis politik melainkan karena keharusan konstitusional. Di Indonesia dewasa ini krisis moneter cenderung menjadi krisis (kepercayaan) politik. Kekurangan transparency di Meksiko juga terdapat di tahun 1994, akan tetapi di tahun 1995 maka transparency ini sangat ditingkatkan. Akhirnya, di tahun 1996 Meksiko mampu untuk melonggarkan kebijakan fiskal yang kontraktip. (HABIS)

http://www.pacific.net.id/pakar/sadli/1297/261297.html

Di awal tahun 1990-an, Meksiko adalah negara dengan perekonomian yang sedang tumbuh dengan cukup baik. Hasil ekspor sektor manufakturnya menyumbang hingga lebih dari dua per tiga total devisa Meksiko. Nilai impor Meksiko meningkat tajam seiring adanya liberalisasi perdagangan dari US$11 miliar pada 1987 menjadi US$48 miliar di tahun 1992. Tahun 1991 tercatat ada sekitar 137 ribu perusahaan manufaktur yang beroperasi di Meksiko. Sektor manufaktur tumbuh pesat di Meksiko karena besarnya jumlah sumber daya manusia terampil di sana, besarnya pangsa pasar konsumsi, serta rendahnya biaya distribusi. Namun, pada bulan Desember 1994 terjadi devaluasi terhadap nilai tukar peso secara tiba-tiba, dan dimulailah krisis ekonomi Meksiko yang dikenal dengan istilah Krisis Peso Meksiko. Krisis terparah sepanjang sejarah Meksiko itu mengakibatkan lebih dari 50% penduduknya jatuh ke jurang kemiskinan. Apa yang menjadi penyebab krisis ekonomi di Meksiko tahun 90-an tersebut? Cekidot Gan..

Dampak krisis ekonomi Meksiko yang meluas hingga ke beberapa negara di Amerika Latin dikenal dengan istilah Tequila Effect. Dalam bahasa Spanyol, krisis tersebut mendapat sebutan lain, yakni El Error De Diciembre (Kekeliruan di bulan Desember). Istilah itu dipopulerkan oleh mantan Presiden Meksiko Carlos Salinas de Gortari sebagai bentuk deskripsi atas kebijakan Presiden Zedillo yang secara tiba-tiba mengganti kebijakan mata uang ketat menjadi mata uang mengambang. Meskipun pada saat itu banyak ekonom yang menyatakan bahwa kebijakan devaluasi adalah keputusan yang sangat tepat untuk mengatasi krisis, pendukung Salinas tetap menganggap bahwa proses devaluasi itu merupakan kesalahan pada level politik. Beberapa analis berpendapat bahwa akar krisis ekonomi Meksiko adalah karena kesalahan kebijakan politik mantan Presiden Salinas de Gortari ketika berkuasa yang berakhir pada defisit anggaran negara. Sebagaimana siklus pemilu pada umumnya, kecenderungan pemberian stimulus ekonomi di masa pra-pemilu, pelan tapi pasti, akan berakhir pada ketidakstabilan ekonomi pasca pemilu. Ada pula yang mengamati tren peningkatan kuantitas kredit yang dilakukan oleh pihak perbankan selama periode tingkat suku bunga rendah sebelumnya. Ekonom Hufbauer dand Schott (2005) dari Institute for International Economics memberikan beberapa komentar atas kekeliruan kebijakan ekonomi makro yang menimbulkan krisis. Menurut mereka, 1994 adalah tahun terakhir pemerintahan Carlos Salinas de Gortari. Sebagaimana presiden-presiden sebelumnya dari Partai Revolusi Institusi (PRI), pada saat menjelang pemilu, presiden dan PRI sangat boros dalam hal pengeluaran untuk biaya politik hingga mengakibatkan defisit anggaran negara. Untuk menutupi defisit anggaran tersebut, Salinas mengeluarkan Tesobonos, sejenis surat utang atau instrumen utang yang berdenominasi dalam peso tetapi diindeks dalam dollar. Faktor lainnya adalah adanya fakta bahwa perbankan Meksiko telah menerapkan praktik perbankan kotor yang korup dan mendapat pengaruh besar dari perilaku keluarga dan kroni-kroni Salinas yang doyan rente. Selain itu, kelompok pemberontak Zapatista Army of National Liberation (EZLN) secara resmi mendeklarasikan perang terhadap pemerintah Meksiko pada 1 Januari 1995. Meski konflik bersenjata segera berakhir dalam waktu dua minggu kemudian, para investor tetap saja merasa khawatir dengan kondisi stabilitas keamanan Meksiko. Gregory Mankiw dalam buku Macroeconomics edisi ke-5 menjelaskan pendapatnya bahwa country risk -lah yang menjadi pencetus krisis. Aksi kekerasan yang dilancarkan oleh kelompok pemberontak Zapatista Army of National Liberation (EZLN) di Chiapas tahun 1994 terjadi bersamaan dengan pembunuhan calon Presiden Luis Donaldo Colosio. Peristiwa tersebut membuat masa depan politik Meksiko makin suram bagi kalangan investor yang kemudian mulai menempatkan premi risiko yang lebih besar pada aset-aset Meksiko. Meksiko menggunakan sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate) yang menerima peso selama reaksi investor terhadap premi risiko negara lebih tinggi dan membayar dengan dollar. Namun, Meksiko tidak memiliki cadangan devisa yang cukup untuk mempertahankan nilai tukar tetap dan sudah kehabisan dolar di penghujung tahun 1994. Peso lalu didevaluasi meski pemerintah sebelumnya telah

menjanjikan hal yang sebaliknya, peso tidak akan didevaluasi, sehingga membuat para investor ketakutan dan lebih meningkatkan profil risikonya. Saat pemerintah berupaya memperpanjang surat utang yang jatuh tempo, para investor tak mau membeli surat utang pemerintah dan default menjadi pilhan yang sangat mungkin. Menurut Mankiw, krisis kepercayaan telah merusak sistem perbankan yang kemudian mempengaruhi kepercayaan para investor. Seiring dengan meningkatnya defisit transaksi berjalan, meningkatnya pengeluaran pemerintah, serta maraknya berbagai kekhawatiran seperti yang telah dijelaskan oleh para ekonom menjadi peringatan bagi mereka yang sudah terlanjur membeli Tesobonos. Para investor segera menjual Tesobonos yang telah mereka beli dan makin menguras cadangan bank sentral yang memang sudah menipis. Dihadapkan pada fakta bahwa tahun 1994 adalah tahun pemilu yang hasilnya sangat tidak pasti, bank sentral Meksiko Banco de Mxico memutuskan untuk membeli Surat Utang Negara demi menjaga stabilitas moneter sekaligus menjaga tingkat suku bunga agar tidak naik terlalu tinggi. Hal itu kemudian mengakibatkan penurunan cadangan dolar yang jauh lebih besar. Namun, tidak ada hal positif yang dilakukan selama lima bulan terakhir masa pemerintahan Salinas. Beberapa kritik yang muncul di publik antara lain menyebutkan bahwa Salinas hanya ingin menjaga popularitasnya karena ia sedang mencari dukungan internasional untuk menjadi direktur jendral WTO. Zedillo mulai menjabat sebagai Presiden Meksiko secara resmi pada 1 Desember 1994. Beberapa hari setelah melakukan pertemuan tertutup dengan beberapa pengusaha Meksiko untuk meminta pendapat tentang rencana devaluasi, Zedillo mengumumkan bahwa pemerintahannya akan membiarkan rentang fixed rate meningkat hingga 15 persen (hingga 4 peso per US dollar) dengan menghentikan kebijakan pemerintahan sebelumnya untuk menjaga agar peso berada pada posisi fixed. Pemerintah tak berdaya melawan kekuatan pasar alias tak mampu melakukan apa pun, hingga pada akhirnya terpaksa membiarkan kurs terus mengambang. Di bawah rezim mata uang mengambang. Peso pun terperosok dari 4 peso per dolar AS menjadi 7,2 peso per dolar AS hanya dalam kurun waktu satu minggu saja.

Mutiara Hikmah Premi risiko negara (country's risk premium) cukup terpengaruh oleh pemberontakan bersenjata di Chiapas. Para investor jelas enggan menanamkan uangnya di negara yang tidak stabil. Kondisi keuangan pemerintah Meksiko dan ketersediaan uang tunai terganggu oleh peningkatan pengeluaran selama dua dekade, satu periode hiperinflasi sejak 1985 hingga 1993 serta meningkatnya beban utang. Pada awalnya, kenaikan premi risiko tidak mempengaruhi nilai peso, karena Meksiko beroperasi dengan kurs tetap. Sebagaimana kita lihat, dengan kurs tetap, bank sentral sepakat untuk memperdagangkan peso sebagai mata uang domestik untuk mata uang asing (dolar) pada tingkat yang telah ditetapkan sebelumnya. Jadi, ketika kenaikan premi risiko negara itu menekan nilai peso, Bank Sentral Meksiko harus menerima peso dan membayar dengan dolar. Intervensi pasar valas secara otomatis ini mengurangi jumlah

uang beredar di Meksiko ketika mata uang mau tidak mau mengalami depresiasi. Namun, cadangan mata uang asing Meksiko terlalu kecil untuk mempertahankan kurs tetap. Ketika Meksiko kehabisan dolar pada akhir tahun 1994, pemerintah Meksiko mengumumkan devaluasi peso. Akan tetapi, pilihan itu malah memukul balik karena pemerintah telah berulang kali berjanji tidak akan melakukan devaluasi. Investor bahkan menjadi semakin tidak percaya kepada pembuat kebijakan Meksiko dan takut akan terjadi devaluasi lanjutan. Investor di seluruh dunia (termasuk investor di Meksiko) menolak membeli aset-aset Meksiko. Premi risiko negara kembali naik dan kian mendorong naik tingkat bunga dan menekan peso ke bawah. Pasar saham Meksiko anjlok. Ketika pemerintah Meksiko perlu melakukan penjadwalan ulang sebagian utangnya yang jatuh tempo, investor tidak bersedia memberikan utang baru. Tidak mampu membayar utang (default) menjadi satu-satunya pilihan pemerintah Meksiko saat itu. Dalam beberapa bulan saja Meksiko berubah dari perekonomian yang sedang tumbuh menjadi perekonomian penuh risiko dengan pemerintahan di ambang kebangkrutan. Dari krisis peso Meksiko, sekali lagi secara ilmiah dapat kita buktikan bahwa utang yang unsustainable akan berujung pada krisis keuangan dan krisis ekonomi. Pemerintah yang boros, populis, hanya mengutamakan kepentingan pribadi dan golongan, akan terus menciptakan utang-utang baru tanpa mempertimbangkan dampak negatifnya yang sangat destruktif terhadap masa depan rakyat. Mari kita doakan semoga pemerintah Indonesia segera mendapat hidayah dari Allah SWT, menghentikan segala bentuk utang yang berbau riba, dan kita semua kembali ke jalan yang diridhoi Allah SWT. Semoga.http://irwanyusriadi.blogspot.com/2011/11/krisis-peso-di-meksiko-1994.html

Krisis finansial Asia 1997Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Belum Diperiksa Langsung ke: navigasi, cari Keseluruhan atau sebagian dari artikel ini membutuhkan perhatian dari ahli subyek terkait.Jika Anda adalah ahli yang dapat membantu, silakan membantu memperbaiki kualitas artikel ini.

Krisis finansial Asia adalah krisis finansial yang dimulai pada Juli 1997 di Thailand, dan memengaruhi mata uang, bursa saham dan harga aset lainnya di beberapa negara Asia, sebagian Macan Asia Timur. Peristiwa ini juga sering disebut krisis moneter ("krismon") di Indonesia. Indonesia, Korea Selatan dan Thailand adalah negara yang paling parah terkena dampak krisis ini. Hong Kong, Malaysia dan Filipina juga terpengaruh. Daratan Tiongkok, Taiwan dan Singapura hampir tidak terpengaruh. Jepang tidak terpengaruh banyak tapi mengalami kesulitan ekonomi jangka panjang.

Daftar isi[sembunyikan]

1 Sejarah 2 Thailand 3 Filipina 4 Hong Kong 5 Korea Selatan 6 Malaysia 7 Indonesia 8 Singapura 9 Tiongkok daratan 10 Amerika Serikat dan Jepang 11 Laos 12 Konsekuensi 13 Referensi o 13.1 Buku o 13.2 Surat kabar o 13.3 Lainnya

[sunting] SejarahSampai 1996, Asia menarik hampir setengah dari aliran modal negara berkembang. Tetapi, Thailand, Indonesia dan Korea Selatan memiliki "current account deficit" dan perawatan kecepatan pertukaran pegged menyemangati peminjaman luar dan menyebabkan ke keterbukaan yang berlebihan dari risiko pertukaran valuta asing dalam sektor finansial dan perusahaan. Pelaku ekonomi telah memikirkan akibat Daratan Tiongkok pada ekonomi nyata sebagai faktor penyumbang krisis. RRT telah memulai kompetisi secara efektif dengan eksportir Asia lainnya terutaman pada 1990-an setelah penerapan reform orientas-eksport. Yang paling penting, mata uang Thailand dan Indonesia adalah berhubungan erat dengan dollar, yang naik nilainya pada 1990-an. Importir Barat mencari pemroduksi yang lebih murah dan menemukannya di Tiongkok yang biayanya rendah dibanding dollar. Krisis Asia dimulai pada pertengahan 1997 dan memengaruhi mata uang, pasar bursa dan harga aset beberapa ekonomi Asia Tenggara. Dimulai dari kejadian di Amerika Selatan, investor Barat kehilangan kepercayaan dalam keamanan di Asia Timur dan memulai menarik uangnya, menimbulkan efek bola salju. Banyak pelaku ekonomi, termasuk Joseph Stiglitz dan Jeffrey Sachs, telah meremehkan peran ekonomi nyata dalam krisis dibanding dengan pasar finansial yang diakibatkan kecepatan krisis. Kecepatan krisis ini telah membuat Sachs dan lainnya untuk membandingkan dengan pelarian bank klasik yang disebabkan oleh shock risiko yang tiba-tiba. Sach menunjuk ke kebijakan

keuangan dan fiskal yang ketat yang diterapkan oleh pemerintah pada saat krisis dimulai, sedangkan Frederic Mishkin menunjuk ke peranan informasi asimetrik dalam pasar finansial yang menuju ke "mental herd" di antara investor yang memperbesar risiko yang relatif kecil dalam ekonomi nyata. Krisis ini telah menimbulkan keinginan dari pelaksana ekonomi perilaku tertarik di psikologi pasar.

[sunting] Thailand

pertukaran uang Baht-dollar Dari 1985 ke 1995, Ekonomi Thailand tumbuh rata-rata 9%. Pada 14 May dan 15 May 1997, mata uang baht, terpukul oleh serangan spekulasi besar. Pada 30 Juni, Perdana Mentri Chavalit Yonchaiyudh berkata bahwa dia tidak akan mendevaluasi baht, tetapi administrasi Thailand akhirnya mengambangkan mata uang lokal tersebut pada 2 Juli. Pada 1996, "dana hedge Amerika telah menjual $400 juta mata uang Thai. Dari 1985 sampai 2 Juli 1997, baht dipatok pada 25 kepada dolar. Baht jatuh tajam dan hilang setengah harganya. Baht jatuh ke titik terendah di 56 ke dolar pada Januari 1998. Pasar saham Thailand jatuh 75% pada 1997. Finance One, perusahaan keuangan Thailand terbesar bangkrut. Pada 11 Agustus, IMF membuka paket penyelamatan dengan lebih dari 16 miliar dolar AS (kira-kira 160 trilyun Rupiah). Pada 20 Agustus IMF menyetujui, paket "bailout" sebesar 3,9 miliar dolar AS.

[sunting] FilipinaBank sentral Filipina menaikkan suku bunga sebesar 1,75 persentasi point pada Mei dan 2 point lagi pada 19 Juni. Thailand memulai krisis pada 2 Juli. Pada 3 Juli, bank sentral Filipina dipaksa untuk campur tangan besar-besaran untuk menjaga peso Filipina, menaikkan suku bunga dari 15 persen ke 24 persen dalam satu malam.

[sunting] Hong KongPada Oktober 1997, dolar Hong Kong, yang dipatok 7,8 ke dolar AS, mendapatkan tekanan spekulatif karena inflasi Hong Kong lebih tinggi dibanding AS selama bertahun-tahun. Pejabat

keuangan menghabiskan lebih dari US$1 miliar untuk mempertahankan mata uang lokal. Meskipun adanya serangan spekulasi, Hong Kong masih dapat mengatur mata uangnya dipatok ke dolar AS. Pasar saham menjadi tak stabil, antara 20 sampai 23 Oktober, Index Hang Seng menyelam 23%. Otoritas Moneter Hong Kong berjanji melindungi mata uang. Pada 15 Agustus 1997, suku bunga Hong Kong naik dari 8 persen ke 23 persen dalam satu malam.

[sunting] Korea SelatanKorea Selatan adalah ekonomi terbesar ke-11 dunia. Dasar makroekonominya bagus namun sektor banknya dibebani pinjaman tak-bekerja. Hutang berlebihan menuntun ke kegagalan besar dan pengambil-alihan. Contohnya, pada Juli, pembuat mobil ketiga terbesar Korea, Kia Motors meminta pinjaman darurat. Di awal penurunan pasar Asia, Moody's menurunkan rating kredit Korea Selatan dari A1 ke A3 pada 28 November 1997, dan diturunkan lagi ke Baa2 pada 11 Desember. Yang menyebabkan penurunan lebih lanjut di saham Korea sejak jatuhnya pasar saham di November. Bursa saham Seoul jatuh 4% pada 7 November 1997. Pada 8 November, jatuh 7%, penurunan terbesar yang pernah tercatat di negara tersebut. Dan pada 24 November, saham jatuh lagi 7,2 persen karena ketakutan IMF akan meminta reform yang berat. Pada 1998, Hyundai Motor mengambil alih Kia Motors.

[sunting] MalaysiaPada 1997, Malaysia memiliki defisit akun mata uang besar lebih dari 6 persen dari GDP. Pada bulan Juli, ringgit Malaysia diserang oleh spekulator. Malaysia mengambangkan mata uangnya pada 17 Agustus 1997 dan ringgit jatuh secara tajam. Empat hari kemudian Standard and Poor's menurunkan rating hutang Malaysia. Seminggu kemudian, agensi rating menurunkan rating Maybank, bank terbesar Malaysia. Di hari yang sama, Bursa saham Kuala Lumpur jatuh 856 point, titik terendahnya sejak 1993. Pada 2 Oktober, ringgit jatuh lagi. Perdana Mentri Mahathir bin Mohamad memperkenalkan kontrol modal. Tetapi, mata uang jatuh lagi pada akhir 1997 ketika Mahathir bin Mohamad mengumumkan bahwa pemerintah akan menggunakan 10 miliar ringgit di proyek jalan, rel dan saluran pipa. Pada 1998, pengeluaran di berbagai sektor menurun. Sektor konstruksi menyusut 23,5 persen, produksi menyusut 9 persen dan agrikultur 5,9 persen. Keseluruhan GDP negara ini turun 6,2 persen pada 1998. Tetapi Malaysia merupakan negara tercepat yang pulih dari krisis ini dengan menolak bantuan IMF.

[sunting] IndonesiaPada Juni 1997, Indonesia terlihat jauh dari krisis. Tidak seperti Thailand, Indonesia memiliki inflasi yang rendah, perdagangan surplus lebih dari 900 juta dolar, persediaan mata uang luar yang besar, lebih dari 20 miliar dolar, dan sektor bank yang baik. Tapi banyak perusahaan Indonesia yang meminjam dolar AS. Di tahun berikut, ketika rupiah menguat terhadap dolar, praktisi ini telah bekerja baik untuk perusahaan tersebut -- level

efektifitas hutang mereka dan biaya finansial telah berkurang pada saat harga mata uang lokal meningkat. Pada Juli, Thailand megambangkan baht, Otoritas Moneter Indonesia melebarkan jalur perdagangan dari 8 persen ke 12 persen. Rupiah mulai terserang kuat di Agustus. Pada 14 Agustus 1997, pertukaran floating teratur ditukar dengan pertukaran floating-bebas. Rupiah jatuh lebih dalam. IMF datang dengan paket bantuan 23 miliar dolar, tapi rupiah jatuh lebih dalam lagi karena ketakutan dari hutang perusahaan, penjualan rupiah, permintaan dolar yang kuat. Rupiah dan Bursa Saham Jakarta menyentuh titik terendah pada bulan September. Moody's menurunkan hutang jangka panjang Indonesia menjadi "junk bond". Meskipun krisis rupiah dimulai pada Juli dan Agustus, krisis ini menguat pada November ketika efek dari devaluasi di musim panas muncul pada neraca perusahaan. Perusahaan yang meminjam dalam dolar harus menghadapi biaya yang lebih besar yang disebabkan oleh penurunan rupiah, dan banyak yang bereaksi dengan membeli dolar, yaitu: menjual rupiah, menurunkan harga rupiah lebih jauh lagi. Inflasi rupiah dan peningkatan besar harga bahan makanan menimbulkan kekacauan di negara ini. Pada Februari 1998, Presiden Suharto memecat Gubernur Bank Indonesia, tapi ini tidak cukup. Suharto dipaksa mundur pada pertengahan 1998 dan B.J. Habibie menjadi presiden. mulai dari sini krisis moneter indonesia memuncak.

[sunting] SingapuraEkonomi Singapura berhasil mengatur performa yang relatif sehat dibandingkan dengan negara lain di Asia selama dan setelah krisis finansial, meskipun hubungan erat dan ketergantungan ekonomi regional tetap membawa efek negatif terhadap ekonominya. Tetapi, secara keseluruhan kemampuannya menghilangkan krisis diperhatikan secara luas, dan meningkatkan penelitian kebijakan fiskal Singapura sebagai pelajaran bagi negara tetangganya. Sebagai ekonomi terbuka, dolar Singapura terbuka terhadap tekanan spekulatif seperti telah terjadi pada 1985. Ekonomi sangat penting dalam keberlangsungan Singapura sebagai negara merdeka, pemerintah Singapura berhasil mengatur suku pertukaran mata uangnya untuk menghindari potensi penyerangan speklulatif.

[sunting] Tiongkok daratanRepublik Rakyat Cina tidak terpengaruh oleh krisis ini karena renminbi yang tidak dapat ditukar dan kenyataan bahawa hampir semua investasi luarnya dalam bentuk pabrik dan bukan bidang keamanan. Meskipun RRT telah dan terus memiliki masalah "solvency" parah dalam sistem perbankannya, kebanyakan deposit di bank-bank RRT adalah domestik dan tidak ada pelarian bank.

[sunting] Amerika Serikat dan Jepang

"Flu Asia" juga memberikan tekanan kepada Amerika Serikat dan Jepang. Ekonomi mereka tidak hancur, tetapi terpukul kuat. Pada 27 Oktober 1997, Industri Dow Jones jatuh 554-point, atau 7,2 persen, karena kecemasan ekonomi Asia. Bursa Saham New York menunda sementara perdagangan. Krisis ini menuju ke jatuhnya konsumsi dan keyakinan mengeluarkan uang. Jepang terpengaruh karena ekonominya berperan penting di wilayah Asia. Negara-negara Asia biasanya menjalankan defisit perdagangan dengan Jepang karena ekonomi Jepang dua kali lebih besar dari negara-negara Asia lainnya bila dijumlahkan, dan tujuh kali lipat RRT. Sekitar 40 persen ekspor Jepang ke Asia. Pertumbuhan nyata GDP melambat di 1997, dari 5 persen ke 1,6 persen dan turun menjadi resesi pada 1998. Krisis Finansial Asia juga menuntun ke kebangkrutan di Jepang.

[sunting] LaosLaos terpengaruh ringan oleh krisis ini dengan nilai tukar Kip dari 4700 ke 6000 terhadap satu dolar AS.

[sunting] KonsekuensiKrisis Asia berpengaruh ke mata uang, pasar saham, dan harga aset lainnya di beberapa negara Asia. Indonesia, Korea Selatan dan Thailand adalah beberapa negara yang terpengaruh besar oleh krisis ini. Krisis ekonomi ini juga menuju ke kekacauan politk, paling tercatat dengan mundurnya Suharto di Indonesia dan Chavalit Yongchaiyudh di Thailand. Ada peningkatan anti-Barat, dengan George Soros dan IMF khususnya, keluar sebagai kambing hitam. Secara budaya, krisis finansial Asia mengakibatkan kemunduran terhadap ide adanya beberapa set "Asian value", yaitu Asia Timur memiliki struktur ekonomi dan politik yang superior dibanding Barat. Krisis Asia juga meningkatkan prestise ekonomi RRC. Krisis Asia menyumbangkan ke krisis Rusia dan Brasil pada 1998, karena setelah krisis Asia bank tidak ingin meminjamkan ke negara berkembang. Krisis ini telah dianalisa oleh para pakar ekonomi karena perkembangannya, kecepatan, dinamismenya; dia memengaruhi belasan negara, memiliki efek ke kehidupan berjuta-juta orang, terjadi dalam waktu beberapa bulan saja. Mungkin para pakar ekonomi lebih tertarik lagi dengan betapa cepatnya krisis ini berakhir, meninggalkan ekonomi negara berkembang tak berpengaruh. Keingintahuan ini telah menimbulkan ledakan di pelajaran tentang ekonomi finansial dan "litani" penjelasan mengapa krisis ini terjadi. Beberapa kritik menyalahkan tindakan IMF dalam krisis, termasuk oleh pakar ekonomi Bank Dunia Joseph Stiglitz.

[sunting] Referensi

[sunting] Buku

(Inggris)(Indonesia)Berbagai Laporan Bank Dunia Mengenai Perkembangan Ekonomi Indonesia Sejak Krisis Moneter 1997 Kaufman, GG., Krueger, TH., Hunter, WC. (1999) The Asian Financial Crisis: Origins, Implications and Solutions. Springer. ISBN 0-7923-8472-5 Pettis, Michael (8 Desember 2001). The Volatility Machine: Emerging Economies and the Threat of Financial Collapse. Oxford University Press. ISBN 0-19-514330-2. Blustein, Paul (8 Desember 2001). The Chastening: Inside the Crisis that Rocked the Global Financial System and Humbled the IMF. PublicAffairs. ISBN 1-891620-81-9. Noland, Markus, Li-gang Liu, Sherman Robinson, and Zhi Wang. (1998) Global Economic Effects of the Asian Currency Devaluations. Policy Analyses in International Economics, no. 56. Washington, DC: Institute for International Economics. Pempel, T. J. (1999) The Politics of the Asian Economic Crisis. Ithaca, NY: Cornell University Press. Ries, Philippe. (2000) The Asian Storm: Asia's Economic Crisis Examined.

[sunting]http://id.wikipedia.org/wiki/Krisis_finansial_Asia_1997

Krisis Moneter Negara Indonesia tahun 1990-an

A.

Sejarah

Krisis

Moneter

tahun

1990-an

Sampai 1996, Asia menarik hampir setengah dari aliran modal negara berkembang. Tetapi, Thailand, Indonesia dan Korea Selatan memiliki "current account deficit" dan perawatan kecepatan pertukaran pegged menyemangati peminjaman luar dan menyebabkan ke keterbukaan

yang berlebihan dari resiko pertukaran valuta asing dalam sektor finansial dan perusahaan. Pelaku ekonomi telah memikirkan akibat Daratan Tiongkok pada ekonomi nyata sebagai faktor penyumbang krisis. RRT telah memulai kompetisi secara efektif dengan eksportir Asia lainnya terutaman pada 1990-an setelah penerapan reform orientas-eksport. Yang paling penting, mata uang Thailand dan Indonesia adalah berhubungan erat dengan dollar, yang naik nilainya pada 1990-an. Importir Barat mencari pemroduksi yang lebih murah dan menemukannya di Tiongkok yang biayanya rendah dibanding dollar. Krisis Asia dimulai pada pertengahan 1997 dan mempengaruhi mata uang, pasar bursa dan harga aset beberapa ekonomi Asia Tenggara. Dimulai dari kejadian di Amerika Selatan, investor Barat kehilangan kepercayaan dalam keamanan di Asia Timur dan memulai menarik uangnya, menimbulkan efek bola salju. Banyak pelaku ekonomi, termasuk Joseph Stiglitz dan Jeffrey Sachs, telah meremehkan peran ekonomi nyata dalam krisis dibanding dengan pasar finansial yang diakibatkan kecepatan krisis. Kecepatan krisis ini telah membuat Sachs dan lainnya untuk membandingkan dengan pelarian bank klasik yang disebabkan oleh shock resiko yang tiba-tiba. Sach menunjuk ke kebijakan keuangan dan fiskal yang ketat yang diterapkan oleh pemerintah pada saat krisis dimulai, sedangkan Frederic Mishkin menunjuk ke peranan informasi asimetrik dalam pasar finansial yang menuju ke "mental herd" diantara investor yang memperbesar resiko yang relatif kecil dalam ekonomi nyata. Krisis ini telah menimbulkan keinginan dari pelaksana ekonomi perilaku tertarik di psikologi pasar.

B.

Indikator

Krisis

Moneter

tahun

1990-an

Belum pernah Indonesia di masa Orde Baru mengalami krisis ekonomi yang begitu dahsyat seperti terjadi di semester kedua tahun 1997 ini. Anehnya, dampak pada kehidupan sosial masih belum terlalu terasa. Krisis mata uang yang menimpa ekonomi kita ini juga tidak, atau kurang, disebabkan oleh kelemahan-kelemahan ekonomi atau kebijakan pemerintah secara langsung. Pada permulaannya, kita kena imbas dan krisis di Bangkok. Krisis yang melanda Asia Tenggara, bahkan sampal menyentuh Korea Selatan, dipicu oleh larinya modal pinjaman dan modal portfolio (yang paling ganas adalah "hedge funds") yang datang dan luar. Modal ini, berbondong-bondong masuk Asia Tenggara dan Timur sejak pertengahan dasawarsa delapanpuluhan. Negara-negara Asia ini menarik sebagai emerging economies yang dinamis, yang laju pertumbuhannya tinggi. Maka prospek keuntungan juga bagus. Karena besarnya pemasukan modal dan luar ini maka defisit neraca berjalan membengkak, di Thailand sampai 7% dan PDB. Di Indonesia hanya separohnya. Sebelumnya, angka 2% PDB merupakan patokan batas aman bagi defisit neraca berjalan itu. Maka pemodal (non-FDI) dari luar negeri sebetulnya ikut bertanggungjawab atas boom dan bust yang terjadi. Tetapi kepanikan mereka lalu dukuti oleh kalangan-kalangan dalam negeri. Kurs mata uang jatuh. Diukur dan mata uang nasional maka jatuhnya sampai dua kali. Tetapi jatuhnya rupiah menjadi yang terdalam. Dari Rp 2.450 pada Juni 1997 menjadi lebih dan Rp 6.000 menjelang akhir tahun ini. Di Thailand baht mulai 26 per dollar, akan tetapi sekarang dibawah 50. Ringgit Malaysia tidak kehilangan nilai terlalu banyak. Begitu pula peso Filipina.

Maka yang harus dicari sebabnya adalah jatuhnya nilai Rupiah yang terbesar karena keadaan ekonomi umum tidak separah di Thailand. Keterangan yang paling masuk akal adalah krisis kepercayaan mulai melanda Indonesia. Krisis in mempunyai dimensi politik, artinya menyangkut kepercayaan kepada keadaan serta hari depan politik, terutama setelah Presiden perlu istirahat yang tidak ditegaskan oleh komunike dokter apa sakitnya. Kekurangan transparansi yang meliputi kepemerintahan Orde Baru ikut memperparah krisis kepercayaan. Apa prospek tahun 1998 ? Sangat buruk. Dengan kurs Rupiah di atas Rp 5.000 per dollar maka banyak sekali perusahaan akan mengalami krisis keuangan dan bankrut. Banyak proyek sudah dan masih akan dihentikan karena modalnya kurang dan prospek pasarnya menjadi suram. Pengangguran akan bertambah dengan ratusan ribu. Ini akan terjadi juga di Thailand, dan juga terjadi di Meksiko di tahun 1995, tahun pertama krisis yang serupa. Krisis ekonomi Indonesia bahkan dibuat lebih parah lagi oleh dampak kekeringan panjang, debu dan kebakaran hutan yang merusak beberapa tanaman komoditi, seperti tembakau, kelapa sawit dan coklat. Panen padi pun menurun 4% sehingga memerlukan impor. Krisis sosial dan krisis politik yang mengancam keutuhan bangsa karena meledak bersamaan dengan krisis moneter 1997 bertambah parah karena selama lebih dari 3 dekade sistem pemerintahan yang sentralistik telah mematikan daya kreasi daerah dan masyarakat di daerahdaerah. Desentralisasi dan Otonomi Daerah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat daerah dalam pembangunan ekonomi, sosial-budaya, dan politik daerah, menghadapi hambatan dari kepentingan-kepentingan ekonomi angkuh dan mapan baik di pusat maupun di daerah. Ekonomi Rakyat di daerah-daerah dalam pengembangannya memerlukan dukungan modal, yang selama bertahun-tahun mengarus ke pusat karena sistem perbankan sentralistik. Modal dari daerah makin deras mengalir ke pusat selama krisis moneter. Undang-undang Otonomi Daerah dan Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah dikembangkan melalui kelembagaan ekonomi dan keuangan mikro, dan peningkatan kepastian usaha di daerah-daerah. Kepastian usaha-usaha di daerah ditingkatkan melalui pengembangan sistem keuangan Syariah dan sistem jaminan sosial untuk penanggulangan kemiskinan, dan pengembangan program-program santunan sosial, kesehatan, dan pendidikan. Krisis Moneter juga menciptakan suasana ketergantungan ekonomi Indonesia pada kekuatan kapitalis luar negeri, lebih-lebih melalui cara-cara pengobatan Dana Moneter Internasional (IMF) yang tidak mempercayai serta mempertimbangkan kekuatan ekonomi rakyat dalam negeri khususnya di daerah-daerah. Harapan yang kini muncul adalah agar krisis moneter 1997 mampu membawa kapitalisme di Asia Timur dan Asia Tenggara memasuki milenium ketiga dengan sebuah wajah baru, di mana koreksi terhadap rasionalitas formal pelaku ekonomi dimungkinkan oleh intervensi struktural sebuah pemerintahan yang transparan dan demokratis dalam mekanisme pasar.

C.

Dampak

Sosial

Krisis

Moneter

tahun

1990-an

Krisis perekonomian yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 di Indonesia telah menimbulkan dampak sosial yang luas di masyarakat. Dampak tersebut diantaranya dirasakan di bidang ekonomi secara umum, politik dan budaya.

Seperti yang telah kita ketahui sejak pertengahan tahun 1997, Indonesia di dera krisis perekenomian yang sebenarnya adalah akumulasi persoalan di masa lalu yang memuncak seiring dengan terjadinya krisis regional di hampir semua belahan asia. Krisis ditandai dengan menurunnya secara drastis nilai tukar rupiah terhadap dollar, sehingga membuat kinerja perekonomian Indonesia yang banyak mengandalkan utang dalam dollar, tapi pemasukan dalam rupiah menjadi collapse. Kondisi perekonomian yang sempoyongan ini merambah kesemua sektor; likuidasi beberapa bank, penutupan beberapa perusahaan, PHK besar-besaran, hargaharga sembako melonjak. Krisis ekonomi (Krismon) ini mau tak mau memicu krisis sosial; kriminilitas melonjak, kekerasan kolektif meningkat. Krisis sosial juga memicu krisis politik; Soeharto mulai kehilangan legitimasi politik. Krisis, dapat kita bedakan menjadi dua kelompok. Pertama, yang percaya bahwa krisis itu disebabkan oleh unsur eksternal, yaitu perubahan sentimen pasar uang secara cepat yang menimbulkan panik finansial. Panik finansial ini dengan proses penularan (contagion) menjadi krisis . Kedua, yang berpendapat bahwa krisis timbul karena adanya kelemahan struktural di dalam perekonomian nasional, dalam sistim keuangan atau perbankan dan praktek kapitalisme kroni atau kapitalisme ersatz . Krisis di Indonesia merupakan kombinasi dari adanya gejolak eksternal melalui dampak penularan (contagion) pada pasar finansial dengan ekonomi nasional yang mengandung berbagai kelemahan struktural, yaitu sistim perbankan dan sektor riilnya. Dalam perkembangannya krisis ekonomi menjalar ke krisis sosial-politik karena kelemahan pada sistim sosial-politik Indonesia.

D.

Pemulihan

Krisis

Moneter

tahun

1990-an

Bagaimana Indonesia keluar dari krisis? Pembahasan ini tidak dapat dipisahkan dari proses terjadinya krisis itu sendiri. Perkembangan dari suatu gejolak menjadi krisis, dan dari krisis yang satu ke yang lain telah melalui proses dari timbulnya masalah, langkah-langkah mengatasi masalah (policy responses) dan reaksi dari pasar serta masyarakat, baik di dalam negeri maupun di luar, semuanya telah tercampur. Berbagai pelajaran telah dapat dipetik, baik dari mengidentifikasi sebab-musababa maupun sifat dari krisis dan efektif tidaknya langkah mengatasi masalah yang diambil. Dalam kaitan ini, harus diterima bahwa delam menghadapi suatu contagion, kata-kata the sooner the better dan the problems usually are bigger than expected, memang sangat tepat. Karena itu untuk keluar dari krisis kita tidak mempunyai kemewahan untuk berlambat-lambat dan karena prosesnya panjang serta berat maka harus berani menerima banyak kekecewaan selama proses tersebut. Ini menuntut kita untuk jangan cepat putus asa. Tetapi jangan juga cepat puas. Jalan keluar harus disesuaikan dengan masalah yang dihadapi. Karena krisis ini bukan bersifat single variable, maka jalan keluarnya tidak mungkin hanya dari satu aspek saja. Aspeknya banyak, yang satu terkait dengan yang lain, karena itu pendekatannya harus sistemik, dalam keseluuruhan kaitannya. Tidak berati semua harus diselesaikan sekaligus, karena dalam bidang ekonomi saja ada masalah jangka pendek dan jangka panjang, ada mikro dan makro yang

semuanya harus diselesaikan. Dalam hal ini pemilihan prioritas dan pentahapan (sequencing ) yang realistis mungkin perlu diperhatikan. Namun dari pelajaran di atas, karena kita harus menerima kekecewaan, maka pendeketan ini harus terus menerus, konsisten tapi fleksibel. Krisis moneter dan krisis multidimensi yang mencakup berbagai bidang kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat, tidak seharusnya dijadikan alasan ekonomi Indonesia menjadi makin tergantung pada utang dan kepentingan-kepentingan ekonomi luar negeri. Sebaliknya, daya tahan ekonomi Indonesia semakin dikukuhkan di perdesaan dan daerah-daerah luar Jawa. Dalam masa dekat hubungan ekonomi pusat-daerah dan antardaerah dalam rangka otonomi daerah ditingkatkan, diserasikan, dan diselaraskan. Peningkatan daya tahan ekonomi nasional yang berlandaskan ekonomi rakyat lebih mendesak ketimbang peningkatan daya saing yang liberalkapitalistik. Gerakan koperasi sebagai wadah kegiatan ekonomi rakyat makin digalakkan agar berperan makin besar dalam memajukan perekonomian nasional yang tangguh. Berbagai langkah keluar yang sudah dilakukan pada dasarnya menyangkut beberapa aspek: kebijakan makro, moneter dan fiskal untuk mengatasi masalah nilai tukar, inflasi dan memburuknya perekonomian, kebijaksanaan restrukturisasi keuangan dan perbankan, termasuk restrukturisasi pinjaman perusahaan dan restrukturisasi perusahaan, kebijaksanaan restrukturisasi sektor riil, kebijakan restrukturisasi kelembagaan, dan penaggulangan dampak sosial krisis dengan program jaringan sosial. Pendekatannya sendiri, dari cara penanggulangan gejolak moneter pada tingkat permulaan sampai meminta bantuan IMF dalam bentul stand-by arrangement dengan segala aspeknya bisa dibahas secara tersendiri. Posisi Indonesia memang aneh di bandingkan dengan negara-negara lain yang terkena krisis (Korea dan Thailand). Meskipun pada permulaannya langkah-langkah yang digunakan untuk mengatasi masalah berjalan dengan lebih baik dari negara lain, meskipun kondisi permulaannya Indonesia relatif lebih baik, akan tetapi ternyata kondisi Indonesia dalam krisis ini adalah paling buruk dibandingkan dengan negara-negara lain. Kita juga dapat menggunakan langkah-langkah Kebijakan untuk Mengatasi Krisis Ekonomi, diantaranya : Bidang moneter: ditempuh kebijakan moneter ketat untuk mengurangi laju inflasi dan penurunan atau depresiasi nilai mata uang lokal secara berlebihan. Bidang fiscal: ditempuh kebijakan yang lebih terfokus kepada upaya relokasi pengeluaran untuk kegiatan-kegiatan tidak produktif kepada kegiatan-kegiatan yang diharapkan dapat mengurangi social cost yang ditimbulkan oleh krisis ekonomi. Bidang pengelolaan (governance): ditempuh kebijakan untuk memperbaiki kemampuan pengelolaan baik di sektor publik maupun swasta. Termasuk di dalamnya upaya mengurangi intervensi pemerintah, dan monopoli. Bidang perbankan: ditempuh kebijakan yang akan memperbaiki kelemahankelemahan sistem perbankan berupa program restrukturisasi perbankan yang bertujuan untuk mencapai dua hal,yaitu: mengatasi dampak krisis dan menghindari terjadinya krisis serupa di masa datang. Posted by SITOY at 12:03 PMhttp://onlyineconomic.blogspot.com/2010/05/krisis-moneter-negara-indonesia-tahun.html

Terjerumusnya Negara-Negara Berkembang ke dalam Utang Luar NegeriHusi Guteriano Neves, Timor Post, 4 Desembru 2009Liga ba pajina iha lingua Tetum kona ba Timor-Leste tenke debe ka la'e? Pemerintah Timor-Leste sekarang tengah menempuh berbagai cara untuk memperolah utang dari beberapa sumber; Portugal, Cina, dan Institusi Keuangan Internasional seperti Bank Dunia dan IMF adalah sumber-sumber yang termasuk di dalamnya. Yang menyedihkan adalah, hingga sekarang, alasan fundamental yang melandasi rencana ini belum mengemuka ke permukaan publik. Hal ini menyulitkan kita untuk memprediksi apa yang akan terjadi pada generasi mendatang. Hal yang jelas adalah bahwa pinjaman ini akan digunakan untuk merealisasi ambisi para pemimpin Timor-Leste, seperti membangun jalan tol, pelabuhan, gedung mewah, dan sarana infrastruktur lain. Mengingat bahwa keputusan ini adalah keputusan yang sangat krusial bagi masa depan Negara ini, melalui artikel ini, penulis ingin mengkaji persoalan utang luar negeri dalam konteks global. Kiranya artikel ini akan menjadi sebuah informasi tambahan bagi kalangan masyarakat sipil di Timor-Leste untuk memahami dampak yang ditimbulkan dari pinjaman luar negeri; dan dalam konteks yang lebih luas, untuk membantu kita membuat keputusan berdasarkan informasi dari berbagai sudut pandang. Latar Belakang Global Pinjaman luar negeri, atau utang luar negeri adalah salah satu hantu bagi pembangunan ekonomi negara dunia ketiga pada saat ini. Beberapa referensi yang mengkaji mengenai pembangunan di negara-negara berkembang mulai melihat persoalan pinjaman luar negeri sebagai salah satu pusat penyebab keterbelakangan negara-negara dunia ketiga. Beberapa persoalan yang timbul dari utang luar negeri adalah memperlebar jurang antara negara-negara miskin di bagian selatan dan negara-negara kaya di bagian utara; memiskinkan penduduk di negara-negara dunia ketiga; dan sering pula dilihat sebagai sebuah bentuk penjajahan baru. Menurut perhitungan IMF, pada tahun 2006, utang luar negeri dari 146 negara selatan melampaui 2.207 milliar USD dan uang yang harus mereka bayarkan adalah 495.3 milliar USD. Jumlah ini diakui sendiri oleh IMF bahwa angka ini melampaui kemampuan negara-negara di atas untuk membayar, mengingat nilai di atas sama dengan 80% dari seluruh export barang dan jasa dari negara-negara di atas.[i]

Data yang ditunjukkan oleh organisasi masyarakat sipil lebih menyedihkan lagi. Menurut data dari Jubilee Debt Campaign, sebuah jaringan yang melakukan advokasi untuk menghapus utang luar negeri negara-negara berkembang, pada tahun 2006, total utang luar negeri negara-negara berkembang adalah 2.9 triliun USD, dan pada tahun yang sama mereka membayar 573 miliar USD.[ii] Sementara negara-negara paling miskin di dunia, pada tahun yang sama membayar 34 miliar USD kepada negara-negara kaya; artinya negara-negara miskin membayar 94 juta USD setiap harinya kepada negara-negara kaya.[iii] Perhitungan lain menunjukkan bahwa negaranegara berkembang membayar 13 USD untuk membayar kembali 1 USD; dan sekitar 60 negara termiskin telah membayar 550 miliar USD untuk pinjaman pokok dan bunganya, selama 30 tahun terakhir, namun masih berutang 523 milliar USD.[iv] Contoh lain dari betapa pedihnya utang luar negeri adalah kawasan Sub-Sahara Afrika. Menurut Noreena Hertz, penulis buku The Debt Threat: How Debt is Destroying the World, setiap harinya rakyat di kawasan yang terkenal dengan kemiskinan ini membayar 30 juta USD; pada saat yang bersamaan 26 juta penduduknya terinfeksi penyakit HIV-AID, setiap 10 tahun, dan 40 juta anak kehilangan orang tuanya karena HIV-AIDS.[v] Angka-angka di atas merupakan manifestasi dari sistem ketidakadilan global yang sekarang sedang berlaku di dunia, dimana utang luar negeri adalah salah satu bagian terpenting darinya. Adalah sebuah keprihatinan ketika melihat bahwa di negara-negara yang memiliki utang besar, negara tidak mampu memberikan pelayanan sosial dasar seperti kesehatan, pendidikan, air bersih, dan lainnya; pada saat yang bersamaan uang yang mengalir ke luar negeri mencapai ratusan juta dollar setiap tahunnya. Meskipun rakyat yang menanggung beban untuk membayar utang luar negeri seperti di atas, tetapi bukanlah mereka yang mengambil keputusan. Kabanyakan dari utang yang diberikan oleh lembaga-lembaga internasional, dan negara-negara Barat, masuk ke kantong para diktator serta kroni-kroninya; seperti Soeharto di Indonesia, Ferdinand Marcos di Filippina, regime apartheid di Afrika Selatan, Agusto Pinochet di Chille dan lainya. Dengan realitas tersebut, berbagai kalangan akademisi, wartawan dan aktivis internasional melihat utang luar negeri sebagai sebuah bentuk penjajahan baru; diimana utang luar negeri telah memfasilitasi aliran sumber kekayaan dari negara-negara miskin ke negara-negara kaya. Wartawan dokumenter ternama, John Pilger, bahkan menyebut utang luar negeri sebagai sebuah bentuk lain dari perang (War by other Means), dimana perang yang tidak terlihat di layar televisi atau berita, perang yang terdiam dan tersembuny, tidak menggunakan senjata dan peluru, tidak ada okupasi militer; tetapi telah membunuh jutaan anak dan orang miskin di seluruh dunia dalam hitungan harinya.[vi] Bagaimana Krisis ini Muncul? Sejarah munculnya krisis utang luar negeri adalah baru; setidaknya setelah Perang Dunia Kedua. Pasca Perang Dunia Kedua, para pemerintah di negara-negara utara, bank-bank swasta serta lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan IMF memberikan pinjaman utang kepada negara-negara dunia ketiga (Amerika Selatan, Afrika dan Asia) untuk mendanai proyekproyek infrastruktur maha besar seperti jalan tol, bendungan, gedung-gedung mewah, pelabuhan, dan lainnya. Mayoritas negara-negara dunia ketiga pada waktu itu juga berambisi untuk

mentranformasi status masyarakat mereka; dari masyarakat agrarian ke masyarakat industrialis; menciptakan lapangan kerja bagi rakyat; membangun infrastruktur seperti jalan raya, lapangan terbang, pelabuhan, bendungan, etc; menyediakan pelayanan kesehatan, pendidikan dan air bersih; serta mimpi nan indah lainnya. Untuk merealisasi mimpi-mimpin tersebut, negara-negara yang baru merdeka pada saat itu berpaling kepada Bank-Bank Swasta dan negara-negara barat untuk mendapatkan pinjaman luar negeri, dengan harapan bahwa hasil penjualan sumber daya alam mereka nantinya, akan digunakan untuk membayar kembali utang tersebut. Kemudian mulai tahun 1970-an, Bank-Bank swasta di Eropa Barat dan Amerika Utara juga mulai meningkatkan partisipasi mereka dalam hal pinjaman luar negeri secara drastis. Alasan utama bank-bank swasta ini untuk meningkatan keterlibatan mereka adalah mereka melihat bahwa memberikan pinjaman adalah salah satu cara untuk menginvestasikan uang mereka dalam bentuk Eurodollar. Antara tahun 1960-an hingga tahun 1970-an, jumlah uang di bank-bank swasta meningkat sebelas kali lipat; dari 10 milliar USD sampai sampai 110 milliar USD. Untuk negara-negara Amerika Selatan saja, antara tahun 1950-an hingga 1970, mereka menerima sekitar 20 milliar USD dalam bentuk utang luar negeri. Ketika terjadi krisis minyak global pada tahun 1973, Negara-negara penghasil atau pengekspor minyak menerima uang dalam jumlah yang besar dari hasil penjualan minyak mereka. Di sisi lain, negara-negara pengimpor minyak menghadapi defisit dalam anggaran mereka karena melonjaknya harga minyak yang berdampak pada pelonjakan harga bahan-bahan sembako. Situasi ini sangat menguntungkan para bank-bank swasta di Amerika Utara dan Eropa Barat. Karena di satu sisi, negara-negara pengimpor minyak membutuhkan pinjaman untuk menutup defisit anggaran mereka; di sisi lain, negara-negara penghasil atau pengekspor minyak yang pendapatannya meningkat drastis, sebagian dari pendapatan mereka ditabung di Bank-Bank swasta di Amerika Serikat dan Eropa Barat. Demi meningkatkan keuntungan mereka, bank-bank ini kemudian menurunkan tingkat bunga mereka dan memberikan pinjaman kepada negara-negara berkembang. Yang menarik adalah bank-bank ini memberikan pinjaman agar negara-negara berkembang dapat membeli bahanbahan dari negara-negara Eropa Barat dan Amerika Utara. Salah satu contohnya adalah pada tahun 1970-an, 42% dari bahan konstruksi Inggris dan 32% dari industria textile Inggris dipasarkan di negara-negara berkembang. Contoh lain adalah Bank Expor-Impor Amerika, memberikan pinjaman kepada negara-negara Amerika Selatan agar mereka memberikan pesawat dari Amerika Serikat, untuk mempromosikan ekonomi yang berorientasi ekspor. Bagi bank-bank swasta Amerika, alasan ekonomisnya jelas: memperluas pasar dan peningkatan keuntungan, karena terjadinya perubahan terhadap pasar domestik di Amerika Serikat. Selain alasan ekonomis, pinjaman luar negeri juga digunakan untuk sebagai salah satu strategi untuk menghambat meluasnya pengaruh komunis; melalui apa yang disebut dengan Containment Policy. Secara global kebanyakan negara yang mendapat pinjaman dari Amerika Serikat adalah diktator, yang juga merupakan boneka-boneka Washington, sehingga para kreditor percaya bahwa para negara penerima utang akan menggunakan kembali uang tersebut untuk membeli peralatan militer dari Amerika Serikat. Dua negara yang menarik untuk dilihat adalah Indonesia dan Meksiko. Indonesia, salah satu negara yang kaya akan sumber daya alam, juga tidak terlepas dari jerat utang luar negeri. Ketika

Soekarno digulingkan oleh Soeharto pada tahun 1965, negara-negara barat langsung bereaksi dengan memberikan bantuan dalam bentuk Aid untuk membantu pemulihan ekonomi. Kemudian diikuti dengan 534 juta dollar dalam bentuk utang, dengan rencana bahwa akan dibayar bersama bunganya setahun kemudian.[vii] Sebuah perhitungan yang tidak dapat terealisasikan. Yang terjadi, utang Indonesia, justru meningkat terus dari tahun ke tahun. Misalnya pada tahun 1970, utang luar negeri Indonesia adalah 3.7 miliar USD, dan pada tahun 2002, utang luar negeri US melonjak sampai 78.9 milliar USD.[viii] Selain Indonesia, salah satu negara yang menarik untuk dilihat dalam kaitannya dengan kasus Timor-Leste adalah Meksiko. Antara tahun 1977 hingga 1979, Meksiko berutang 88 Milliar USD. Dari angka di atas hanya 14.3 milliar USD atau 16.25% yang digunakan di dalam negeri; sementara 73.7 milliar USD atau 83.75% digunakan untuk membeli bahan dari negara lain. Karena Mexico adalah negara yang kaya akan minyak, ketika terjadi krisis minyak global, negara ini tidak mengeluarkan banyak uang untuk mengimpor minyak. Namun tujuan utama untuk meminjam adalah untuk mengembangkan industry minyaknya, dengan sebuah perhitungan bahwa meningkatnya harga minyak akan memberikannya pendapatan yang banyak untuk membayar kembali utang. Sebuah perhitungan yang kemudian ikut membawa Mexico ke dalam krisis utang; karena pada tahun 1980-an harga minyak global jatuh di pasar internasional. Pada tahun 1979, terjadi perubahan kebijakan finansial di Washington, dimana Paul Volcker, kepada Federal Reserve menaikkan tingkat bunga untuk mengatasi inflasi di U.S. Meskipun diakui bahwa Ia tidak berniat untuk membawa negara-negara peminjam ke dalam krisis utang, tetapi keputusan ini membawa malapetaka bagi negara-negara peminjam. Bunga utang Meksiko naik tiga kali lipat, dari 2.3 milliar USD menjadi 6.1 milliar USD. Menurut para ekonom, negaranegara Amerika Selatan membayar 100 milliar USD lebih banyak antara tahun 1976 hingga 1985, untuk bunganya saja, sebagai konsekuensi dari keputusan ini. Dampak lain dari kebijakan Washington adalah jatuhnya bahan-bahan komoditas di pasaran pada tahun 1980-an. Sebagai contohnya, harga daging sapi dari Argentina jatuh dari 2.25/kg pada tahun 1980 ke 1.60 pada akhir 1981; harga gula dari Brazil dan negara-negara Karibian jatih dari 79 cent/kg ke 27 cent/kg pada tahun 1982. Jatuhnya harga barang-barang eksport ini menurunkan daya negara-negara peminjam untuk membayar utang. Fenomena yang serupa juga dirasakan oleh negara-negara Afrika, dimana bahan-bahan eksport utama mereka anjlok di pasaran internasional; situasi yang membuat mereka mustahil untuk mengembalikan utang. Dengan keadaan global tersebut, negara-negara dunia ketiga kemudian terjerumus ke dalam sebuah krisis utang yang terus berlanjut hingga sekarang, dan terus menguras negara-negara dunia ketiga. Diawali dengan Mexico; negara yang juga kaya akan minyak, pada awalnya mengimpikan bahwa hasil expor minyaknya akan dapat digunakan untuk membayar kembali utangnya, pada tahun 1982, menyatakan menyerah dan tidak dapat membayar kembali utangnya; kemudian menyerat ke negara-negara berkembang lainnya. Terjerumusnya Negara-negara Berkembang Sebagai reaksi terhadap krisis ini, pada tahun 1985, Secretary of the Treasury Amerika Serikat, James Baker menginisiasi sebuah kebijakan baru, yaitu Structural Adjustment Program (SAP). Kebijakan ini berbasiskan apa yang disebut dengan Washington Consensus. Berdasarkan

kebijkana baru ini, Negara-negara yang ingin mendapatkan utang dari IMF dan Bank Dunia harus berkomitmen untuk melakukan re-strukturisasi atau perubahan dalam kebijakan ekonomi makro mereka, yang berarah pada ekonomi yang berorientasi ekspor (export-led growth), mengurangi peranan Negara dalam ekonomi, dan privatisasi sector-sektor publik.[ix] Kepercayaan yang melandasi kebijakan ini adalah bahwa peranan Negara dalam ekonomi harus dikurangi, dan keterbukaan ekonomi untuk dunia luar adalah komponen penting dari konsensus neo-liberal; pemerintah harus mengurangi atau menghapus semua aturan, privatasisi terhadap perusahaan-perusahaan Negara atau publik dan beralih dari Industrialisasi Subtitusi Impor menuju ke strategi yang berorientasi kepada ekspor.[x] Dalam konteks yang lebih luas, mengharuskan Pemerintah Negara-negara yang memperoleh utang untuk mengurangi pengeluaran pemerintah untuk mengontrol inflasi; melakukan liberalisasi terhadap impor dan menghapus semua hambatan-hambatan bagi investasi asing; privatisasi terhadap perusahaanperusahaan milik Negara; mengurangi nilai mata uang dan mengurangi atau menghapus semua peraturan yang melindungi buruh lokal.[xi] Selain itu, peranan IMF dan Bank Dunia ditingkatkan dalam manajemen utang luar negeri, dengan menjadi agen penting dalam pembangunan; dan juga memformulasikan kebijakan ekonomi pemeritntah di Negara-negara berkembang yang memperoleh pinjaman dari IMF atau Bank Dunia; semua peranan yang diakui belum dimainkan oleh IMF sebelumnya.[xii] Hingga akhir tahun 1970-an, sekitar 70 negara berkembang yang telah mengikuti nasehat Bank Dunia dan IMF. Seperti yang diakui oleh Bello, selain untuk membayar kembali utang luar negeri kepada Negara-negara utara, menghancurkan system ekonomi yang berbasiskan pada peran Negara, juga adalah tujuah strategis dari doktrin ini.[xiii] Program restrukturisasi ini memiliki dampak yang sangat besar terhadap hubungan antara Negara-negara berkembang dan Negara-negara industry maju. Program ini dirancang khusus untuk tujuan spesifik; diantaranya untuk memastikan bahwa negara-negara peminjam akan mengembalikan utang; untuk meningkatkan aliran barang dari Selatan ke Utara; dan meningkatkan kontrol terhadap pasar di negara-negara Selatan untuk produk-produk dari Utara.[xiv] Secara singkat, Pablo Davalos menguraikan program Structural Adjustment sebagai sebuah proses global yang mendefinisikan kekuasaan geopolitis dan pre-eminence capital keuangan; dimana bertujuan untuk memastikan control, dominasi kepemilikan dan penggunaan sumber daya alam dan persedian buruh. Dengan kata lain, semua program ini dirancang khusus untuk memastikan pengontrolan terhadap ekonomi negara-negara Selatan. Dengan demikian, beberapa kalangan menilai utang luar negeri sebagai tidak lebih dari sebuah sebuah bentuk kolonialisme baru paska Perang Dunia Kedua. Konsekuensi yang ditimbulkan oleh krisis utang luar negeri pada tahun 80-an sangat menyedihkan bagi Negara-negara berkembang. Secara ekonomis, meskipun Negara-negara yang berutang tersebut berusaha untuk membayar kembali utang mereka, justru mereka terjerumus ke dalam siklus utang yang sangat menyedihkan, sehingga ekonom menguraikan decade 80 sebagai lost decade bagi Negara-negara berkembang.[xv] Secara global, utang luar negeri negaranegara berkembang bertambah dari 639 miliar USD ke 1.341 milliar USD pada tahun 1990; dan terus meningkat dari tahun ke tahun hingga sekarang.[xvi] Untuk Amerika Selatan saja, utang mereka bertambah dari 280 milliar USD ke 435 miliar USD pada tahun 1993.

Di Afrika, melalui SAP, negara-negara Afrika dipaksa untuk memotong anggaran untuk kesehatan, pendidikan serta sector palayanan sosial lainnya; melakukan privatisasi terhadap perusahaan-perusahaan milik negara, menghapus semua aturan yang bertujuan untuk melindungi produk-produk dalam negeri dan buruh lokal, serta membuka pasar bagi investasi asing.[xvii] Dari banyak kajian yang dilakukan, program restrukturisasi yang diimpose oleh Bank Dunia dan IMF, realitas yang terjadi tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan; justru menambah kemiskinan dan kemelaratan rakyat Afrika. Bahkan hal ini sendiri diakui oleh Bank Dunia, bahwa program restrukturisasi tidak banyak membantu Afrika.[xviii] Fenomena yang sama juga berlaku untuk negara-negara di Amerika Latin seperti Argentina, Chile, Meksiko dan Asia seperti Thailand dan Filipina. Khusus untuk kawasan Asia, para ekonom sering mengklaim bahwa kebijakan-kebijakan di atas membawa dampak positif terhadap perumbuhan ekonomi. Fokusnya sering terarah pada kasus Korea, Singapure, dan Taiwan, serta Thailand, dan Indonesia selama tahun 1980-an hingga 90-an sebelum terjadinya krisis. Khusus untuk kasus Indonesia dan Thailand, meskipun diakui bahwa dilihat dari GDP-nya, terjadi peningkatan dari tahun 1960-an hingga tahun 1990-an, namun pada akar rumput, kebijakan-kebijakan yang datang atas nasehat dari Bank Dunia dan IMF telah menghancurkan pertanian lokal, meningkatkan arus urbanisasi, meningkatkan eksploitasi terhadap buruh lokal, dan memperlebar jurang antara miskin dan kaya. Khusus untuk Thailand, kebijakan-kebijakan di atas menghancurkan pertanian yang sering menjadi sumber kehidupan masyarakat rural. Dampaknya banyak rakyat yang meninggalkan area rural dan pertanian mereka untuk mencari kerja di area perkotaan. Dari sejumlah itu, ada yang terjerumus ke dalam prostitusi, dan juga ada yang menjadi obyek perdagangan dengan apa yang disebut Human Trafficking. Dalam konteks hubugan antara Negara-negara Utara dan Selatan, utang luar negeri juga secara terus menerus memperlebar jurang antara Utara dan Selatan. Contohnya, hingga sekarang, 5% penduduk dunia menguasai 80% sumber ekonomi global sementara yang menyisakan 20% sumber daya ekonomi untuk 95% penduduk dunia. Dengan pengalaman global tersebut, pada saat ini banyak kalangan yang sudah mulai melakukan kampanhe global untuk membatalkan semua proses pembayaran kembali terhadap utang luar negeri oleh negara-negara Selatan. Catatan untuk Timor-Leste Uraian di atas menunjukkan sejarha dan dampak yang ditimbulkan oleh utang luar negeri. Semua rekor ini sudah didokumentasi oleh banyak kalangan. Sehingga sangat disayangkan bahwa di saat semua penduduk di negara-negara berkembang sudah menyadari akan bahayanya dari berutang, Timor-Leste yang hingga sekarang ini belum berutang, justru mau menjerumuskan diri kepada sebuah siklus setan yang ujungnya nggak jelas tersebut. Dalam kaitan dengan pengalaman global dan situasi kita saat ini, ada beberapa poin penting yang saya ingin garisbawahi. Pertama, sejarah utang luar negeri mengindikasikan dengan jelas bahwa negara-negara kreditor memberi pinjaman dengan tujuan untuk memperluas pasar buat produk mereka, menguasai sumber daya alam, dan memperoleh buruh yang murah. Ini adalah sebuah bentuk penjajahan baru yang berlaku bagi negara besar manapun yang permintaan terhadap bahan-bahan mentah

dan perluasan pasar meningkat, seperti yang dialami Cina sekarang ini. Situasi ini tentu saja berlaku bagi utang yang diklaim konsensional sekalipun. Dalam kasus kita sekarang, meskipun Pemerintah Timor-Leste belum memberikan informasi secara detail mengenai berbagai kondisi dari utang tersebut, tetapi indikasi ini terlihat jelas dengan 40% dari uang yang dipinjamkan dari Portugal akan digunakan untuk membeli bahan-bahan dari Portugal. Itu belum terhitung dengan jumlah tenagara kerja atau yang nota bene ahli yang akan didatangkan dari Portugal. Meskipun 40% diklaim akan digunakan untuk membelanjakan bahan-bahan di Timor-Leste, tetapi yang jelas bahwa hampir tidak ada yang tinggal untuk ekonomi lokal, karena Timor-Leste sekarang tidak memproduksi sesuatu. Jadi 40% mungkin akan menyerang ke negara-negara seperti Indonesia, Australia, Singapure, dll. Kondisi yang mungkin lebih buruk juga akan berlaku bagi pinjaman dari Cina. Beberapa kasus seperti yang ditunjukkan oleh organisasi Lao Hamutuk[xix], seharusnya sudah memberikan lampu hijau bagi kita tentang pinjaman dari Cina. Selain itu, pengalaman kita dengan bantuan luar negeri Cina selama beberapa tahun terakhir sudah seharusnya menjadi referensi bagi kita, bahwa bukan hanya uang yang datang, tetapi juga tenaga kerja mereka dan perusahaan mereka. Sehingga, kebanyakan uang tersebut akan kembali ke Cina untuk membayar tenaga kerja Cina, membayar para perusahaan Cina, dan membeli semua bahan dari Cina. Ini sama dengan apa yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan negara-negara kreditor pada tahun 1960-an hingga 70an; dimana pinjaman diberikan sebagai bagian dari perluasan pasar untuk produk-produk mereka. Untuk Cina persediaan akan pasar luar negeri dan kontrol terhadap sumber daya alam sangat penting mengingat meningkatnya produksi mereka, dan jumlah penduduk mereka yang besar berdampak pada meningkatnya permintaan akan sumber daya alam, terutama minyak. Kedua, kasus Meksiko juga memberikan sebuah contoh yang penting bagi Timor-Leste untuk memikirkan. Mesksiko adalah salah satu negara yang kaya akan minyak, lebih banyak dari Timor-Leste beberapa kali lipat. Namun seperti yang sudah sering diperingatkan oleh banyak kalangan, "kondisi harga minyak yang tidak menentu seringkali menyulitkan pemerintah negara2 pengexpor minyak untuk membuat rancangan pembangunan yang pasti dan tepat. Hal ini terbukti dalam kasus Meksiko, dimana memulai pinjaman dengan perhitungan bahwa harga minyak di pasar internasional akan tetap tinggi. Namun ketika harga minyak justru anjlok di saat mereka harus mengembalikan utang mereka. Akhirnya, Meksiko terjerumus ke dalam utang, dan menyatakan menyerah untuk membayar utangnya. Untuk kasus kita, sampai sekarang belum jelas mengenai bagaimana kita akan membayar utang tersebut. Ketertutupan Pemerintah untuk analisis mereka membuat situasi menjadi lebih sulit, karena banyak orang Timor-Leste tidak tahu apa yang ada di dalam pikiran para pemimpin kita. Namun dilihat dari kaca mata negara-negara yang akan memberikan utang, baik itu Cina maupun Portugal, mata mereka sedang tertuju kepada minyak. Sayangnya hingga sekarang, perhitungan Pemerintah kita tentang harga minyak di masa depan, jangka waktu pembayaran, serta bunga dari utang dan kondisi lain yang terlampir dalam utang ini belum mengemuka ke publik. Hal ini menyulitkan publik untuk meraba-raba apa yang akan terjadi dengan utang di masa depan. Ketiga, sejah ini, yang tampak jelas bahwa, yang mendorong Pemerintah kita untuk berutang adalah untuk merealisasikan mimpi-mimpinya, seperti membangun jalan tol, pusat listrik, pelabuhan, lapangan udara, dll. Namun, kita belum dijelaskan, apa yang akan dihasilkan dari

semua ini untuk mengembalikan uang untuk membayar kembali utang. Pemerintah mungkin berargumen bahwa rakyat Timor-Leste membutuhkan jalan raya yang bagus untuk membawa produk mereka untuk dipasarkan di Dili. Tentu saja, tidak ada orang Timor-Lese yang menolak akan pentingnya jalan raya, listrik, dan infrastruktur lain. Tetapi juga harus diingat pula bahwa membangun jalan tol atau jalan raya yang nan indah, pelabuhan, dll tidak selamanya membantu rakyat kecil, terutama para petani kita. Pengalaman beberapa negara mengindikasikan bahwa kebanyakan dari infrastruktur di atas lebih banyak menguntungkan para orang kaya dan para perusahaan karena memfasilitasi mereka untuk memperluas pasarnya hingga ke pelosok, dan bukan sebaliknya, seperti yang diharapkan orang Timor-Leste. Dengan kata lain, dengan jalan yang bagus, akan mempermudah mereka untuk menjual produk-produk mereka ke desa-desa; bukan membantu para petani untuk memasarkan hasil pasarannya ke kota. Para petani Timor-Leste tidak akan dapat bersaing dengan para perusahaan-perusahaan yang masuk dari luar dengan dana yang besar. Akhirnya, para petani lokal akan semakin tersisih dengan kebijakan pemerintah yang membuka pasar lebar-lebar, tanpa perlindungan petani kita.

[i] Charles W. Kegley, Jr. (2007). World Politics: Trend and Transformation. Belamont, CA: Thompson. P. [ii] Jubilee Debt Campaign. Where did the Debt Come From? [iii] Ibid [iv] Ibid [v] Democracy Now. (2005, January 13th). The Debt Threat: How Debt is Destroying the Developing World. [vi] John Pilger. (1993). War by Other Means. [vii] ric Toussaint, Damien Millet. (2005, July). Indonesia; History of a Bankruptcy Orchestrated by IMF and the World Bank. [viii] Ibid [ix] Robert Gilpin. (2001). Global Political Economy: Understanding the International Economic Order. Princeton and Oxford: Princeton University Press. p. 314. [x] Gilpin (2001). Global Political Economy: Understand the International Economic Order. Princeton and Oxford; Princeton University Press. p.315 [xi] Walden Belo (2001). Building an Iron Cage: The Bretton Woods Institutions, the WTO, and the South. In Sarah Anderson (Ed.). Views from the South: The Effects of Globalization and the WTO on Third World Countries. Chicago: Food First Books & The International Forum on Globalization. P.66 [xii] Robert K. Schaeffer (2005). Understanding Globalization: The Social Consequences of Political, Economic and Environmental Changes. Maryland: Rowman & Little Field Publishers, Inc. p.88 [xiii] Ibid [xiv] [xiv] Robert K. Schaeffer (2005). Understanding Globalization: The Social Consequences of Political, Economic and Environmental Changes. Maryland: Rowman & Little Field Publishers, Inc. p.93 [xv] [xv] Robert K. Schaeffer (2005). Understanding Globalization: The Social Consequences of Political, Economic and Environmental Changes. Maryland: Rowman & Little Field Publishers, Inc. p.94 [xvi] [xvi] Robert K. Schaeffer (2005). Understanding Globalization: The Social Consequences of Political, Economic and Environmental Changes. Maryland: Rowman & Little Field Publishers, Inc. p.95 [xvii] Brooke G. Schoepf, Claude Scoepf & Joyce V. Millen (2000). Theoretical Therapies, Remote Remedies: SAPs and the Political Ecology of Poverty and Health in Africa. In Jim Yong Kim. Et all (Eds.). Dying for Growth: Global Inequality and the Health of the Poor. Monroe; Common Courage Press. P.99

[xviii] Brooke G. Schoepf, Claude Scoepf & Joyce V. Millen (2000). Theoretical Therapies, Remote Remedies: SAPs and the Political Ecology of Poverty and Health in Africa. In Jim Yong Kim. Et all (Eds.). Dying for Growth: Global Inequality and the Health of the Poor. Monroe; Common Courage Press. P.101 [xix] Lao Hamutuk. (2009, November). Why Should Timor-Leste G